KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM BAHASA BANJAR DAN CARA PANDANG MASYARAKAT PENUTURNYA (SEBUAH KAJIAN ETNOLOGI AWAL) Siti Jamzaroh Balai Bahasa Banjarmasin
[email protected]
LATAR BELAKANG Bahasa merupakan salah satu budaya yang sangat penting bagi perkembangan peradaban manusia. Melalui bahasa nilai-nilai norma, etika, sosial, sikap dan cara pandang masyarakatnya dapat diungkapkan. Kajian etnolinguistik tidak terlepas dari hipothesis Sapir-Whorf. Hipothesis SapirWhorf (Sapir-Whorf Hipothesis) antara lain: (1) linguistic relativity, hipothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut; (2) linguistics determinans, hipothesis yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Jadi pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui aspek formal bahasa, yakni tatabahasa dan leksikon. Tatabahasa dan leksikon bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut (Widhiarso, hal 23 ). Penalaran konsep ruang dan waktu merupakan salah satu dari beberapa konsep kebahasaan yang dapat mengungkapkan pola pikir masyarakat etnis tertentu. Latar belakang ekologi hidup etnis yang berbeda tentu akan memperlihatkan konsep ruang dan waktu yang berbeda pula. Masyarakat Banjar merupakan masyarakat tutur asli Banjar yang mendiami seluruh wilayah geografis di seluruh wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan. Daud (1997: 38) menyatakan bahwa daerah pemukiman para imigran Melayu, inti nenek moyang orang Banjar, yang mula-mula adalah lembah-lembah sungai Martapura, sungai Negara, dan sungai-sungai lain yang semuanya merupakan cabang-cabang sungai Negara. Yang terpenting adalah sungai-sungai Tabalung: Balangan, (Batang) Alai, Labuhan Amas, Amandit, dan Tapin. Selanjutnya, Daud juga menambahkan bahwa pemusatan penduduk yang besar dahulu juga terletak di tepi-tepi sungai tersebut, yaitu di tebing-tebing sungai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang umumnya berupa rawa-rawa. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Banjar dalam memahami konsep ruang dan waktu tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kajian difokuskan pada leksikon dan rangka wacana. Cara pandang merupakan salah satu cermin kearifan lokal yang akan sangat bermanfaat karena dengan data kebahasaan yang ada dapat ditelaah tentang banyak hal mengenai pola pikir, pandangan dunia masyarakat. Keseluruhan nilai-nilai tersebut akan terjalin dan terajut dalam teks kearifan lokal. KERANGKA TEORI Dalam tulisan ini akan dibahas dua hal, yakni konsep ruang dan waktu atau kewaktuan. Oleh karena itu, kerangka teori yang digunakan terkait kedua hal tersebut. Konsep Ruang Konsep ruang menurut Aristoteles adalah konsep tempat yang dipikirkan sebagai lokasi absolut (dalam sebuah tempat dalam sebuah kosmis) dari suatu hal (atau batas suatu figur). Hal-hal yang cenderung mencari tempat-tempat alamiahnya di alam semesta (Bagus, 2000:963). Tempat alamiah yang dimaksud adalah arah mata angin.
Effendi (1996: 22) menjelaskan bahwa konsep ruang dapat dilihat sebagai (a) letak sesuatu, baik bersifat mutlak maupun relatif, dan (b) arah sesuatu, baik yang menyatakan asal, tujuan maupun jarak sesuatu dalam hubungan dengan suatu peristiwa (keadaan, kejadian, atau perbuatan). Sejalan dengan hal tersebut, Mahsun (2005) menyatakan bahwa konsep ruang yang dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan nomina ruang. Nomina ruang adalah nomina yang menyatakan tempat segala sesuatu yang ada. Namun demikian, pembatasan nomina ruang tetap dilakukan, yakni yang berhubungan dengan pemarkah arah, tempat, letak atau asal segala. Dalam hal ini nomina ruang yang diawali dengan preposisi. Konsep Waktu Plato memandang waktu adalah ”gambaran keadaan yang sempurna yang bergerak”. Dengan ini Plato mengartikan waktu sebagai tiruan tidak sempurna dari alam bentuk-bentuk ideal sempurna yang tidak berwaktu dan tidak berubah. (Bagus, 2000: 1174). Dalam pengertian ini, kewaktuan dikonsepkan dan dipahami sesuai dengan pola pikir seseorang dalam memahami perubahan gejala alam yang di sekitarnya sebagai pemarkah waktu. Chung (1985:99) menyebutkan bahwa kala waktu menunjukkan waktu tertentu terjadinya sebuah peristiwa dengan mengacu pada titik tertentu pada dimensi waktu yang disebut dengan lokus kala waktu. Lokus kala waktu yang dipilih biasanya mengacu pada waktu terjadinya tindak tutur. Comrie (1976:2-3) menyatakan bahwa kala waktu yang paling umum ditemukan dalam bahasa-bahasa dunia adalah kala kini, kala lampau dan kala akan datang. Apabila waktu terjadinya sebuah peristiwa sebelum lokusi kala waktu, maka terwujudlah kala waktu lampau; apabila waktu terjadinya sebuah peristiwa temasuk dalam lokusi kala waktu maka terwujudlah kala waktu kini; dan kala akan datang digunakan apabila sebuah peristiwa terjadi setelah lokusi kala waktu. Aspek adalah cara pandang yang berbedabeda dalam pengamatan konstituensi internal sebuah situasi. Samsuri (1993: 252) menambahkan bahwa bahasa-bahasa bukan fleksi seperti halnya bahasa Indonesia tidak mempergunakan perubahan morfologi untuk menyatakan aspek, melainkan memakai partikel-partikel yang menunjukkan keadaan, peristiwa, atau kejadian. Lyons (1977:682-683) dalam (Mahsun, 2005) dia membagi pengelompokkan waktu bersifat dinamis (deiktis) dan statis (nondeiktis). Bersifat dinamis karena unsur bahasa yang digunakan untuk menyatakan waktu dengan makna temporal jelas jika dihubungkan dengan suatu acuan. Acuan diganti makna semantisnya berubah. Bersifat nondeiktis karena perubahan peristiwa dalam waktu disebabkan oleh pusat deiktis yang berubah tempatnya dalam jarak waktu. Artinya, jarak antara pusat deiktis dengan peristiwa berubah sesuai dengan pusat deiktis dalam waktu. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan teknik rekam, observasi, studi pustaka, sedangkan teknik kajiannnya yang digunakan adalah teknik pelesapan dan penyulihan. Teknik pelesapan digunakan untuk mengetahui sifat kehadiran kedua leksikon, dna teknik penyulihan digunakan untuk mengetahui kesinoniman keduanya. Data berupa data primer berupa hasil wawancara dengan informan asli penutur dialek Banjar Hulu, data sekunder berupa hasil penelitian terdahulu yang terkait dari penulis sendiri. PEMBAHASAN Pemukiman masyarakat Banjar banyak terdapat di lembah-lembah sungai, khususnya sungai Martapura (wilayah dialek Banjar Kuala) dan sungai Negara dan anak-anak cabangnya (wilayah dialek Banjar Hulu) Pada masa lalu, aliran sungai merupakan jalur transportasi utama di semua wilayah Kalimantan Selatan, mengingat topografi wilayah ini yang lebih banyak rawa-rawa daripada dataran tanah yang padat. Kondisi ekologi ini membawa pengaruh pada penalaran konsep ruang dan waktu pada masyarakat Banjar. Konsep Ruang Masyarakat tradisional Banjar mengenal konsep ruang yang bersifat relatif. Artinya, arah, letak, dan asal yang ditunjuk seseorang di suatu tempat tidak akan sama dengan letak yang ditunjuk di tempat yang lain.
Penanda nomina ruang secara sintaksis dalam bahasa Banjar, dan juga bahasa-bahasa daerah lain di nusantara adalah preposisi. Beberapa preposisi dalam bahasa Banjar memiliki kesamaan dengan preposisi dalam bahasa Indonesia. Preposisi tersebut antara lain: a) ka ’ke’ b) di ’di’ c) datang di /matan di ’dari (jauh)’ d) pada ’dari (dekat)’ Preposisi tersebut diikuti nomina ruang membentuk keterangan penjelas tempat atau ruang. Preposisi ka merupakan preposisi yang menandai makna ’arah yang dituju’, dan preposisi di menandai makna ’tempat yang dituju’; frase preposisional datang di/ matan di menandai makna ’arah datang (jauh)’, dan preposisi pada menandai makna ’arah datang (dekat)’ . a. Arah Konsep ruang terkait dengan arah mata angin adalah nomina ruang dalam bahasa Banjar berhubungan dengan kondisi geografis tempat bermukim masyarakat Banjar. Kondisi geografis wilayah ini yang lebih banyak berupa tanah rawa dan aliran-aliran sungai menyulitkan masyarakat Banjar tradisional untuk mempersepsikan arah mata angin. Konsep arah mata angin digantikan dengan leksikon hilir/kuala, hulu, matahari hidup, matahari pajah (kata pajah digunakan untuk benda mati, dan mati digunakan benda hidup), atas, bawah, dalam dan luar. Data berikut ini ditemukan di wilayah Nagara, Kab. Hulu Sungai Selatan.. (1) Rumah ini ampah matahari hidup ’Rumah ini menghadap (ke) timur’ (2). Jalan kipit ini manuju ampah matahari pajah. ’Jalan sempit ini menuju arah (ke) barat’ (3) Inya naik jukung manuju ampah ka hilir ’Dia naik perahu menuju arah hilir sungai ’ (4) Acil datang ampah ka hulu. ’Dia datang (dari) arah hulu’ Penggunaan frase matahari hidup pada kalimat (1) Rumah ini ampah matahari hidup dalam berkomunikasi sehari-hari lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat dibandingkan dengan arah timur yang lebih abstrak. Demikian pula dengan frase matahari pajah pada kalimat (2) Jalan kipit ini manuju ampah matahari pajah yang berarti arah barat. Kata hidup dikontraskan dengan pajah ’mati’ sebagai penanda arah yang berlawanan. Pada kedua kalimat tersebut preposisi ka terinplisit dalam percakapan tersebut. (Bahasa Jawa: kata pajah ’mati’ untuk nomina insani, mati untuk nomina non-insani) Penggunaan frase ka hilir pada kalimat (3) inya naik jukung ampah ka hilir menunjukkan bahwa arah yang dimaksud adalah arah ke mana arah air sungai itu mengalir; demikian pula frase ka hulu pada kalimat (4) Acil hanyar datang di hulu yang menunjukkan arah ke mana arah sungai itu berasal/berhulu. Namun demikian arah ka hilir dan ka hilir bersifat deiktis, artinya tidak selalu menunjukkan arah ke utara atau ke selatan yang sama dalam setiap percakapan. Karena, pada kenyataannya arah aliran sungai selalu berkelokkelok.. Hal ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang jauh dari sungai. Kata hilir mengarah pada suatu tempat yang sudah maju, dan kata hulu mengarah pada ’tempat yang lebih sepi, udik atau kurang maju’. Misalnya: (5) Kai itu bajajalanan ampah ka hilir ’Kakek nitu berjalan-jalan arah ke kota (tempat yang lebih ramai)’ (6) Inya datang ampah ka hulu. ’Dia datang (dari) arah ke desa/kampung (tempat yang lebih sepi)’ Konsep lain yang dikenal masyarakat Banjar yang temasuk dalam nomina ruang adalah konsep ka darat dan ka laut. Konsep ka darat dan ka laut merupakan konsep arah
dalam masyarakat nelayan. Kata darat berarti ’pantai’ dan laut berarti ’laut’, atau air di mana perahu atau jukung berlayar. Kata darat mengandung makna ’(i) bagian permukaan bumi yang padat ; tanah yang tidak digenangi air (sebagai lawan dari laut atau air); (ii) tanah atau bumi; (iii) tanah yang tinggi sebagai lawan dari tanah yang rendah pantai, biasanya berpayapaya atau sebagai lawan dari tanah persawahan dan rawa-rawa (KBBI, 2002:237). Masyarakat tradisional Banjar juga menggunakan konsep darat dan laut dalam berkomunikasi, meskipun sedang tidak berada di pantai. Berikut ini kalimat yang mengandung konsep darat dan laut. (7) Mulai tangah ari hintadi, Abah Aban tulak ka darat. ’Sejak siang tadi, Abah Aban berangkat ke pehumaan’. (8) Baisukan tadi, inya hanyar haja tulak ka laut. ’Pagi tadi, dia baru saja pergi ke jalan raya.’ b) Letak Pengungkapan konsep ruang yang berhubungan dengan letak sesuatu tempat dalam bahasa Banjar juga ditandai dengan penggunaan preposisi ka dan di. Jadi, preposisi ka dan di memiliki dua fungsi utama, yakni penanda arah dan tempat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut ini. (9) Wayah tangah ari tadi, inya ada di warung Acil Rukayah ’Tadi siang, dia ada di warung Acil Rukayah.’ (10) Damini aku mahadangi ikam di rumah ikam ’Sekarang ini, saya menunggu kamu di rumahmu.’ (11) Burung punai itu bainggap di atas batang rambutan. ’Burung punai itu hinggap di atas pohon rambutan.’ (12) Sarkawi maandak parang di bawah pangguringan. ’Sarkawi meletakkan parang di bawah tempat tidur.’ (13) Jamban andaknya di balakang rumah. ’Jamban letaknya di belakang rumah’ Pada data (9)—(13) preposisi di pada frase di warung Acil Rukayah, di rumah ikan, di atas batang rambutan, di bawah panggurungan dan di balakang rumah menunjuk pada satu titik tempat, disebut juga konsep nomina ruang tanpa dimensi (Effendi, 1993: ) Data (14)-(15) di bawah ini, preposisi di pada frase di lamari dan di (dalam) rumah menandai konsep nomina ruang tiga dimensi. (14) Baisukan tadi Acil Dahlia maandak ipuk di lamari. ’Tadi pagi, Acil Dahlia meletakkan dompet di lemari.’ (15) Inya mangiau anaknya mulai di (dalam) rumah ’Dia memanggil anaknya dari dalam rumah.’ Preposisi ka dan di dalam bahasa Banjar dapat juga diikuti oleh pronomina aku, inya, ikam, dll. Dalam situasi ini, preposisi ka dan di membentuk frase preposisional. (16) Ayuha ikam badahulu pada di aku, kawin ha lawan di inya ’Silakan kamu lebih dahulu dari aku, menikahlah dengan dia’ (17) Kanapa bukah ka aku? ’Mengapa lari ke (arah) aku?’ c) Asal Dalam konsep asal ini, nomina ruang didahului dengan frase datang di/ matan di atau pada yang digunakan sebagai pengganti preposisi dari. Berikut ini kalimat yang menggunakan frase datang di/ matan di (18) Nininya hanyar haja datang di Makah ’ Neneknya baru (tiba) dari Makah.’
(19) Datang di mana, Pian? ’Dari mana, Saudara.’ (20) Inya turun pada rumah. ’Dia turun dari rumah’ (21) Rumahnya kada talalu jauh pada balai adat nitu. ’Rumahnya tidak terlalu jauh dari balai adat nitu.’ Preposisi datang di/matan di pada kalimat (18), dan (19) digunakan menandai makna ’arah datang (jauh)’. Hal ini berbeda dengan penggunaan pada yang juga bermakna ’dari’ pada kalimat (20) dan (21) yang menandai makna ’arah datang (dekat)’ saja. Jadi ada perbedaan makna pada dalam bahasa Indonesia dengan pada dalam bahasa Banjar, yakni dalam bahasa Indonesia, preposisi pada menandai konsep ruang dalam dua dimensi (Effendi, 1993: 22) . Untuk menjelaskan perbedaan penggunaan preposisi datang di/ matan di dengan pada dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut. (22a) Nininya hanyar haja matan di Makkah. (22b) *Nininya hanyar haja pada Makkah. (23a) Matan di mana, Pian? (23b) *Pada di mana, Pian? (24a) *Inya turun datang di rumah. (24b) * Inya turun matan di rumah. (25a)*Rumahnya kada talalu jauh datang di balai adat nitu. (25b)*Rumahnya kada talalu jauh matan di balai adat nitu. Konsep Waktu Bahasa Banjar, seperti halnya bahasa-bahasa lainnya di nusantara, bukan termasuk bahasa fleksi sehingga bahasa ini tidak mengenal tense atau sistem kala. Oleh karena itu, sebagai penanda waktu, bahasa Banjar menggunakan leksikon yang menandai waktu lalu, waktu kini dan waktu yang akan datang. Dalam rangka wacana, pengungkapan waktu antara lain waktu lampau (sudah’), kini (lagi, rahat/ parahatan ’sedang’), dan yang akan datang (handak ’akan’) yang digunakan penanda aspek. Sebagai keterangan waktu, digunakan kata samalam ’kemarin’ tadi ’tadi, bahari, mulai di ’sejak’; waktu kini damini atau wayah ini ’sekarang’; waktu akan datang: handak ’akan’, kaina ’nanti’ Waktu Lampau Waktu Kini Waktu Akan datang pemarkah sudah rahatan, lagi’sedang’ handak ’akan’ keterangan samalam ’kemarin’ wayah ini ’sekarang’ kaina ’nanti’ waktu tadi ’yang lalu’ damini ’sekarang’ isuk ’besok’ bahari ’dulu sekali’ Titik waktu atau titik lokusi kala waktu dapat dipandang sebagai titik dalam suatu jangka atau periode tertentu dan pada waktu itulah terjadi suatu peristiwa. Titik waktu mengacu pada waktu kini, waktu lampau dan waktu mendatang. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut. 1) Waktu Lampau Pengungkapan konsep waktu lampau ditandai dengan adanya kata sudah sebagai pemarkah waktu, dan penanda keterangan waktu leksikon samalam ’kemarin’, tadi .’yang lalu’, bahari ’dulu/dahulu’ (26) Sabran sudah siap mahadang di palatar. ’Sabran sudah siap menunggu di halaman.’ (27) Ari sudah parak tangah malam. ’Hari sudah dekat/mendekati tengah malam’ . Penanda keterangan waktu ditandai dengan kata samalam, tadi merupakan kata-kata yang mirip seperti halnya kata semalam dan tadi dalam bahasa Indonesia tetapi maknanya
berbeda. Dalam bahasa Indonesia, makna semalam ’satu malam’, dan tadi ’baru saja’. Dalam penggunaannya, kedua kata itu pun melampau batas waktu yang biasanya seperti halnya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata bahari berbeda sekali maknanya dalam bahasa Indonesia. Kata bahari dalam bahasa Indonesia bermakna ’lautan’. (28) Inya umpat mambaiki rumah mamarinanya samalam. ’Dia ikut memperbaiki rumah pamannya kemarin,’ (29) Samalam mamarinaku datang di Jawa. ’Kemarin pamanku tiba dari Jawa.’ (30) Ahad tadi kami basunatan. ’Ahad yang lalu, kami punya hajat sunatan.’ (31) Malam tadi nini Ijah mati. ’Tadi malam nenek Ijah meninggal.’ (32) Wayah bahari, urang tulak ka Banjar naik jukung haja. ’Jaman dulu, orang-orang pergi ke Banjar naik perahu saja.’ Konstruksi frase ahad tadi dan malam tadi berbeda dengan konstruksi frase tadi malam dan tadi minggu dalam bahasa Indonesia. Konstruksi frase dalam bahasa Indonesia lebih banyak berurutan DM sedangkan konstruksi frase ahad tadi dan malam tadi berstruktur MD. Kata tadi dalam kalimat ahad tadi dan malam tadi tidak merujuk pada perputaran waktu dalam 1 hari, yakni selama 24 jam tetapi tidak terbatas. 2) Waktu Kini Pengungkapan waktu kini ditandai dengan leksikon hanyar ’bar,u rahat atau parahatan ’sedang’ sebagai pemarkah verba; dan kata damini (Hulu Sungai) atau wayahini (Banjarmasin) ’sekarang’ sebagai keterangan waktu. (33) Damini urang manggawi pahumaan ’Hari ini orang-orang mengerjakan ladang’. (34) Kami rahat manjamur iwak. ’Kami sedang menjemur ikan.’ (35) Kai Kajal turun ka pahumaan. ’Kakek Kajal (sedang) pergi ke ladang.’ 3) Waktu Akan datang Pengungkapan konsep waktu yang akan datang ditandai dengan adanya kata handak sebagai pemarkah verba, dan penanda keterangan waktu leksikon isuk ’besok’, dan kaina ’nanti’. (37) Iwak haruan itu handak dimasak habang. ’Ikan haruan itu akan dimasak bumbu merah.’ (38) Mama handak manyanga iwak saluang. ’Ibu akan menggoreng ikan saluang.’ (39) Ahad kaina kami handak bamalam di sini. ’Minggu nanti kami akan menginap di sini.’ 4) Gabungan Waktu Lampau-Kini, dan Waktu Lampau– Yang Akan Datang Dalam penggunaannya, sering kali ditemui adanya gabungan pemarkah waktu, yakni waktu lampau-waktu kini, waktu kini- waktu akan datang. (40) Mulai isuk tadi, inya hanyar handak maulah gawiannya nang samalam. ’Sejak pagi tadi, dia baru saja handak mengerjakan pekerjaannya yang kemarin.’ (41) Abah hanyar handak manukar sapida. ’Ayah baru akan membeli sepeda’. (42) Hanyar haja bulikan ee sudah handak tulakan pulang. ’Baru saja pulang ee sidin sudah akan pergi lagi.
Konsep Ruang Dan Waktu Dan Cara Pandang Masyarakat Banjar Pada bagian awal makalah ini, telah disampaikan bahwa ada hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara bahasa dan pikiran. Bahasa dalam hal ini leksikon maupun struktur bahasa merupakan bentuk representasi dari penalaran seseorang. Konsep Ruang Konsep hulu dan hilir (kuala) ini tidak hanya memiliki keterkaitan dengan konsep arah mata angin saja, pembagian penutur bahasa Banjar, yakni dialek Banjar Hulu, dan dialek Banjar Kuala (Hilir). Pembagian dialek ini membawa konsekuensi besar pada penuturnya, yakni penutur bahasa dialek Banjar Hulu dianggap ’lebih udik atau terbelakang’ dari penutur dialek Banjar Kuala. Pemahaman ini muncul karena pengertian hulu dianggap ’lebih terasing, lebih dulu, lebih kuno’ dibandingkan hilir/kuala. Kuala atau hilir merupakan pertemuan arus sungai dengan air laut yang berarti bahwa kuala merupakan suatu tempat bertemunya masyarakat dari lain daerah di provinsi ini. Konsep Waktu Konsep waktu terkait dengan hari, minggu, bulan, dan tahun. Dalam hal penanggalan, masyarakat Banjar banyak mengadopsi konsep Islam yang masuk bersamaan masuknya agama Islam di wilayah ini. Pengaruh Islam tersebut tampak pada nama-nama hari dan bulan. Misalny (1) penamaan hari dalam seminggu yang dimulai dari hari Sabtu, misalnhya ahad, sanayan/isnin, salasa, arba, kamis, jumahat, dan saptu, berbeda dengan penanggalan nasional yang dimulai pada hari senin. Masyarakat tradisional Banjar tidak mengenal minggu sebagai konsep bilangan 7 hari, baik waktu lampau maupun waktu mendatang. Kalau kosa kata ini ada, dikarenakan proses adopsi dari bahasa Indonesia. Untuk penyebutan bilangan hari pada waktu lampau, digunakan kata bahari ’dulu/ dahulu’, samalam ’kemarin, dan tadi ’tadi’ dan penyebutan bilangan hari pada waktu akan datang penutur Banjar menggunakan kata handak pada verba dan isuk ’besuk’ atau kaina ’nanti’ sebagai keterangan waktu. jadi untuk menyebut hari selasa seminggu lagi, digunakan frase salasa kaina, selasa yang lalu digunakan frase salasa tadi . Dalam penanggalan dalam satu bulan, masyarakat tradisional Banjar menyebut bulan naik (
Fernandez, Inyo, Yos. 2008. Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik Masyarakat Petani dan Nelayan. UMS Library . http://eprints.ums.ac.id/1201/ Gunawan, Restu, 2008,”Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra, Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jalarta Jamzaroh, Siti 2006. Inovasi Internal dan Eksternal Bahasa Banjar Hulu. Tesis. Yoyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. ------------, 2010. Ciri-ciri Arkhais dalam Dialek Banjar Hulu. Makalah. Prosiding Ilmiah Seminar Austronesia V, Fakultas Sastra Universitas Udayana, tangal 20-22 Juli . Mahsun, 2005. Konsep Ruang dalam Bahasa Mbojo. Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. Februari 2005, ISSBN 0215-4846, Tahun ke 23, Nomor 1. ---------, Manusia Sumbawa: Tinjauan Awal .http//: www.e-li/org/main/pdf/pdf-400.pdf. Samsuri, 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Budaya. Wisnumurti, Oka. 2008. Mengelola Nilai Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama.(Suatu tinjauan Empiris-Sosiologis). http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/59-mengelola-nilai-kearifanlokal-dalam-mewujudkan-kerukunan-umat-beragama.html