Jurnal IQRA, Ilmu Kependidikan dan Keislaman Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
KONSEP PEMBELAJARAN EFEKTIF DALAM KAJIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA Fatimah Saguni ∗ Abstract: One of the objectives to conduct cross-cultural psychological study is to compare group of leaners of Indonesia on their perception of effective method of learning related to Problem Based Learning (PBL) and Cooperative learning (CL) will give applied input of PBL and CL of jigsaw type in the future. The study of crosscultural psychology in the certain group of leaners as far as the writer knows, in Indonesia is still few. In the method of CL with jigsaw type, it is not found yet the difference in the side ethnic, but use IPK (high and low) in the process of learning. In the meantime, in the method of PBL, discrimination is not committed among the students. One of the methods focusing on the students is PBL. The objective of PBL is to analyse the problems given in the form of scenario then the students discuss it with his mates in the group. In this situation, the students obtain theories and practices during their learning. As a result, the students are able to enhance their critical thinking ability to solve their learning problems. They even are able to solve not only the same problems but also the different ones. Kata Kunci: Konsep, Pembelajaran Efektif, Psikologi Lintas Budaya.
Globalisasi menegaskan hukum alam yang tak bisa dihindari bahwa manusia selalu berpikir dan bertindak dalam lingkup tradisi dan budayanya masing-masing. Pengaruh globalisasi dalam dunia pendidikan dengan segala implikasinya seperti kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi telah mempersempit ruang dan jarak antar manusia. Dalam memahami dunia pendidikan, diperlukan ∗
Penulis Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu.
174 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
pendidikan yang berorientasi pada pemahaman lintas budaya (cross-cultural education) (Depag & IRD, 2003). Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi sebagai mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Budaya merupakan produk masyarakat yang muncul dari interaksi antar individu di dalam masyarakat. Interaksi antar individu dalam kelompok etnik diatur oleh sistem sosial yang luas dan tergantung pada sifat budaya masing-masing kelompok etnik yang saling melengkapi sehingga terwujud suatu ikatan yang positif diantara mereka. Kondisi sifat budaya yang saling melengkapi tersebut kemudian akan memunculkan suatu hubungan yang saling ketergantungan. Dalam kondisi saling ketergantungan ini, batas etnik kemudian diatur oleh kelompok etnik yang bersangkutan. Apabila nilai-nilai yang berhubungan dengan identitas etnik tidak begitu sesuai dengan kegiatannya, maka tatanan sosial yang terbentuk juga menjadi terbatas (http://prasetijo.wordpress.com). Psikologi lintas budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. TINJAUAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA Definisi Budaya Kata budaya didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Koentjaraningrat dalam Susana, 2009). Budaya menurut Triandis (1999) adalah tradisi yang menyatakan apa yang sudah berlaku di masa lampau. Juga mencakup cara orang-orang mempelajari diri sendiri dan lingkungannya, dan asumsi yang tak terkatakan tentang bagaimana seharusnya lingkungan dan orang-orang bertingkah laku. Ada dua aspek di dalam kebudayaan, yaitu aspek subjektif dan objektif. Contoh dari aspek objektif adalah peralatan, radio, jalan, stasiun. Aspek subjektif meliputi kategorisasi, asosiasi, norma, peran dan nilai. Triandis (1999) mencatat sekurangnya ada tiga ciri dari definisidefinisi budaya yang ada, yakni bahwa budaya terbentuk melalui interaksi yang berkesinambungan yang saling mempengaruhi dan
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 175
terus menerus berubah (adaptive interactions), merupakan sesuatu yang ada pada seluruh kelompok budaya bersangkutan (shared elements) dan dialihkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, dari generasi ke generasi (transmitted accross time periods and generations). Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan sosial-politik dan adaptasi biologis dan adaptasi kultural merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu. Etnisitas adalah istilah lain yang digunakan bertukar-tukar dengan ras dan budaya. Istilah tersebut paling luas digunakan untuk menggambarkan kelompok orang yang berbeda di Amerika Serikat dan nampak termasuk konsep-konsep baik ras maupun budaya. Contoh-contoh kategori yang biasanya disebut sebagai kelompok etnis termasuk orang Amerika Afrika, Asia dan Kepulauan Pasifik, Latin, dan penduduk asli Amerika. Dengan demikian, etnisitas umumnya digunakan sebagai acuan pada kelompok-kelompok yang ditandai oleh kebangsaan, asal geografis, budaya, atau bahasa yang sama (Betancourt & Lopez, dalam Matsumoto & Juang, 2004). Konsep etnisitas berasal dari kata Yunani ethnos, yang berarti orang-orang dari suatu bangsa atau suku. Ahli psikologi biasanya menggunakan etnisitas sebagai kategori untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan diantara orang, sebagai contoh melaporkan perbedaan etnis dalam gaya belajar, emosi, atau pengasuhan. Akan tetapi, ketika etnisitas digunakan hanya sebagai kategori, hasilnya dapat lebih destruktif dari pada konstruktif. Meskipun informasi mengenai perbedaan etnis pada cakupan luas psikologi dapat berguna, informasi yang demikian dengan sendirinya tidak menjelaskan sifat dari hubungan antara etnisitas psikologi. Apa tepatnya variabel-variabel yang berkaitan meliputi perbedaan-perbedaan psikologis diantara
176 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
individu-individu dan kelompok individu? Penggunaan etnisitas (atau ras, untuk hal itu) sebagai suatu deskriptor kategori sedikit berguna untuk mengatasi masalah penting ini. Singkatnya, hanya mengetahui etnisitas (atau ras, atau kebangsaan) dari seseorang hanya sedikit menjelaskan hasil psikologi di dalam kognisi, emosi, motivasi atau kesehatan (Phinney dalam Matsumoto & Juang, 2004). Definisi Psikologi Lintas Budaya Psikologi lintas-budaya adalah cabang psikologi yang melihat bagaimana faktor-faktor budaya mempengaruhi perilaku manusia. Asosiasi Internasional Lintas-Budaya Psikologi (IACCP) yang didirikan pada tahun 1972, terus tumbuh dan berkembang hingga saat ini, yang dapat dilihat dari penelitian mengenai perilaku ditinjau dari aspek psikologi lintas budaya. Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya. Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubunganhubungan di antara ubahan psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut. Menurut Berry, Poortinga, Segall, Dasen (1999) psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok yaitu keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi.
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 177
Riset lintas budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku. Selain fokus umum ini, setiap definisi secara khusus lebih menitikberatkan ciri tertentu dan tentang Psikologi Lintas-Budaya sengaja menonjolkannya agar benar-benar mempertimbangkannya. (1) gagasan yang ditonjolkan ialah cara mengenali hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. (2) terpusat peluang rampat (generalizability) dari pengetahuan psikologi yang dianut. (3) lebih menitik beratkan pengenalan berbagai jenis pengalaman budaya, yang mungkin menjadi faktor pemacu keragaman perilaku manusia. (4) mengedepankan persoalan perubahan budaya dan hubungannya dengan perilaku individual. PERBEDAAN BUDAYA DALAM PERILAKU ANTAR KELOMPOK Apabila seseorang mempunyai orientasi budaya individual yang selaras dengan orientasi budaya masyarakat tempat ia tinggal (alosentris dalam masyarakat kolektivis dan idiosentris dalam masyarakat individualis), maka akan terjadi konsistensi antara elemen perilaku, perasaan, dan kognitif dari perilaku sosialnya (Triandis, 1999). Akan tetapi apabila orientasi budaya individual seseorang tidak selaras dengan orientasi budaya masyarakat tempat ia tinggal (alosentris dalam masyarakat individualis dan idiosentris dalam masyarakat kolektevis), maka akan terjadi kesenjangan dalam diri seseorang. Elemen perilaku mungkin selaras dengan norma-norma yang berlaku, tetapi elemen perasaan dan kognitif, biasanya selalu mempertanyakan norma yang berlaku. Meskipun demikian ketika mereka berada dalam masyarakat, perilaku mereka akan tetap sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya saja, meski seseorang bersifat idiosentris, tetapi ketika ia berada dalam masyarakat kolektivis, ia akan lebih mengekspresikan perilaku kolektivis dibandingkan individualis.
178 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
Struktur ini akan berpengaruh pada perilaku kolektivis yang berupa taat kepada atasan dan memberi teladan kepada bawahan. Sementara itu bidang kerja kewirausahaan menghendaki kemandirian dan keuletan yang praktis tidak begitu tergantung pada struktur organisasi. Tuntutan kerja yang demikian menyebabkan individu lebih mengandalkan kemampuan dan kreativitas pribadi dibandingkan orang lain. Menurut Slavin (2009) bahwa individu belajar dari pengalaman yang menghasilkan perubahan dalam dirinya. Arah dan intensitas perubahan dalam diri individu yang belajar beragam antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, walaupun secara konsepstual pengalaman belajar yang dihadapi relatif sama. Keragaman arah dan intensitas perubahan dalam diri individu yang belajar tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Proses Belajar dalam Kelompok Fokus psikologi lintas-budaya dicerminkan oleh banyak kajian yang menyoroti perubahan perilaku sebagai, akibat kontak antar budaya. Anak-anak dalam budaya individualis pertama-tama harus belajar bagaimana menjadi mandiri dan baru kemudian belajar keterampilan berfungsi dalam kelompoknya. Belajar keterampilan sosial bukan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa. Keberhasilan pribadi lebih merupakan prioritas dibandingkan keberhasilan kelompok. Tujuan-tujuan pribadi sering tidak berkaitan dengan tujuan kelompok. Ketika tujuan pribadi tidak sejalan dengan tujuan kelompok, maka tujuan pribadi yang akan lebih diutamakan. Emosi individu tidak lekat pada kelompoknya (Hofstede & Hofstede, 2005). Salah satu penelitian tentang perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah kemampuan berfikir logis. Dalam penelitiannya pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindahpindah). Luria (dalam Matsumoto dan Juang, 2004) menemukan bahwa kemampuan berfikir logis lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan logis, namun pada subyek yang
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 179
sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberi jawaban yang benar. Tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan. Mahasiswa yang terlibat di dalamnya memberikan prioritas pada relasi dan perhatian pada kebutuhan mahasiswa lain, meskipun tidak menguntungkan secara pribadi. Tujuan kelompok lebih penting dibandingkan tujuan pribadi. Penentu perilaku sosial adalah norma, tugas, dan kewajiban, disamping adanya kebutuhan dan sikap pribadi. Keberhasilan kelompok lebih penting dibandingkan keberhasilan pribadi. Dalam kaitan kelompok komunikasi menjadi sangat penting. Matsumoto dan Juang (2004), komunikasi adalah satu dari aspek yang paling penting dari kehidupan kita. Komunikasi adalah proses yang mengikat kita bersama-sama; komunikasi membantu kita menyelesaikan pekerjaan kita, memiliki hubungan, mencapai tujuan. Komunikas juga penting untuk mengembangkan, mempertahankan, dan meneruskan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan di dalam memperkuat tujuan budaya dan nilai-nilai di dalam generasi. Dengan demikian, komunikasi memiliki peran yang khusus di dalam pemahaman kita akan budaya dan pengaruh budaya atas perilaku. Komunikasi kelompok selalu melibatkan komunikasi antar pribadi. Namun demikian, kebanyakan teori komunikasi antar pribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Menurut Barrick, Stewart, dan Piotrowski (2002), sikap mendukung, saling memaafkan, dan toleran merupakan karakter penting yang harus dimiliki anggota kelompok. Hal tersebut akan menciptakan rasa saling membutuhkan antar anggota kelompok. Dalam kelompok diskusi, komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Dalam kaitan metode pembelajaran problem based learning (PBL) mahasiswa berdiskusi saling memberi informasi berkomunikasi antar mahasiswa dalam kelompok untuk mengemukakan pendapatnya terkait dengan materi kuliah atau masalah yang muncul dalam tugas-tugas mereka. Sedangkan dalam kelompok cooperative learning tipe jigsaw, mahasiswa secara heterogen saling berdisukisi untu menyamakan pendapat sehingga terjadi saling ketergantungan dalam proses belajar diantara mahasiswa.
180 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
Berikut akan dijelaskan metode problem based learning dan metode CL tipe jigsaw. Problem based learning disingkat PBL dan cooperatif learning tipe jigsaw disingkat CL tipe jigsaw. Problem Based Learning (PBL) Problem based learning pertama kali dicetuskan Don Woods, seorang Profesor Kimia pada Fakultas Kedokteran Universitas McMaster Kanada tahun 60-an, Woods memperkenalkan prinsip penggunaan permasalahan sebagai titik awal bagi proses integrasi munculnya suatu pengetahuan. Pengembangan PBL secara umum dihasilkan dari usaha para pendidik di jurusan kedokteran Universitas McMasters di Kanada pada tahun 1970an. Ciri khas dari pelaksanaan PBL di McMaster adalah pemecahan masalah. Problem based learning merupakan metode pembelajaran yang menghadirkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk merangsang cara berpikir kritis mahasiswa. Penggunaan PBL telah membantu mahasiswa menjadi lebih mandiri dan aktif dalam proses belajar. Menurut Wong, Lee, dan Mok (2001) adanya informasi yang diterima mahasiswa mendukung pembelajaran mandiri, sehingga mahasiswa lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. Di akhir proses belajar mahasiswa menghasilkan produk dalam bentuk karya nyata dan dapat menjelaskan bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Wong dan Mok (2003) menyatakan bahwa belajar menggunakan PBL yang berorientasi pada situasi nyata adalah sangat praktis dan mendorong mahasiswa untuk bekerja sama dalam kelompok, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, mencari solusi untuk masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Masalah di sini merupakan suatu bentuk masalah yang dibuat dalam bentuk skenario. Masalah digunakan untuk melibatkan rasa ingin tahu mahasiswa dan untuk memulai pembelajaran melalui pokok bahasan. Penelitian Carlisle dan Ibbotson (2005) menyatakan bahwa PBL adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan skenario sebagai pemicu bagi mahasiswa untuk belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 6–10 orang. Mahasiswa menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan mereka mengidentifikasi masa-
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 181
lah-masalah penting yang ada dalam skenario, kemudian mahasiswa melanjutkan studi mandiri untuk mencari solusi terhadap masalah yang terdapat dalam skenario. Diskusi kelompok kecil (tutorial) merupakan jantung bagi PBL. Aktivitas pembelajaran bertumpu pada proses tutorial. Di dalam proses tutorial ini, para mahasiswa melakukan pemahaman dan pencarian pengetahuan yang tersimpan di dalam masalah yang tersaji di modul (skenario) melalui langkah-langkah terstruktur guna mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Untuk tutor yang berpengalaman, maka dia akan dapat memfasilitasi mahasiswa dalam jumlah lebih besar dari 10 orang, tetapi bagi tutor yang belum berpengalaman akan terasa lebih nyaman apabila jumlah mahasiswa 6-8 orang (Harsono, 2005). Garis Besar Aktivitas Mahasiswa Seluruh anggota berperan
Penulis (sekretaris)
Tutor
• Mencatat pendapat/ usulan kelompok • Membantu mengurutkan pendapat kelompok • Sebagai partisipan kelompok • Mencatat sumber belajar yang digunakan dalam diskusi
• Mendorong partisipasi anggota kelompok • Membantu ketua & sebagai time keeper • Memeriksa catatan penulis (cermat, benar) • Mencegah penyimpangan, tujuan belajar, memastikan pencapaian tujuan, menilai proses diskusi
Ketua
• Memimpin jalannya diskusi • Mengajak seluruh kawan untuk berpartisipasi • Mempertahankan dinamika kelompok time keeper • Memastikan kelompok telah melaksanakan tugas, memastikan penulis bekerja secara cermat
Anggota
• Mengikuti langkah/ urutan proses • Berpartisipasi dalam diskusi • Memperhatika dan menghargai pendapat kawan • Mengajukan pertanyaan terbuka, mencermati seluruh tujuan belajar, membagi pendapat dengan kawan
Gambar 1: Aktivitas mahasiswa yang berkaitan dengan peran seluruh anggota pada pelaksanaan PBL (Adaptasi Harsono, 2005).
Pembagian peran ketua akan memberikan tanggung jawab dan kompetensi yang merata pada semua anggota. Ketua kelompok
182 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
membutuhkan partisipasi dan masukan dari semua anggota, ketua yang mengambil keputusan akhir, mengatur interaksi antar anggota, dan menentukan tujuan kelompok. Ketua bertugas mendorong dan mengatur komunikasi, partisipasi dan pengambilan keputusan bersama di antara anggotanya. Ketua bertugas mengelola dan melaksanakan diskusi dengan tepat. Jika setiap mahasiswa dapat berbagi peran sebagai ketua, maka ketika berperan kembali sebagai anggota kelompok, mereka bisa lebih memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeliharaan keutuhan kelompok, karena mereka dapat memahami dan berempati terhadap tanggungjawab ketua (Harsono, 2005). Metode Cooperatif Learning (CL) Cooperative learning tipe jigsaw Cooperative learning tipe jigsaw adalah salah satu tipe dari metode kooperatif yang dikembangkan oleh Aronson, Blaney, Stephan, Sikes, dan Snapp (1978) di Austin, Texas. Pada tipe ini, kelas dibagi menjadi 4 kelompok dengan 4-5 anggota pada setiap kelompok. Setiap kelompok disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji). Materi pelajaran dibagi sesuai jumlah mahasiswa yang ada dalam kelompok sehingga setiap mahasiswa mempelajari salah satu bagian dari materi tersebut. Semua mahasiswa yang mendapat bagian materi yang sama membentuk kelompok baru dan belajar bersama dikenal sebagai kelompok ahli (KA). Kelompok ahli adalah kelompok mahasiswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal (kelompok jigsaw). Keterampilan bekerja dan belajar secara bersama dipelajari langsung di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Lie (2007) menemukan bahwa CL tipe Jigsaw di desain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab mahasiswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran mahasiswa lain. Mahasiswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok lain. Dengan demikian, tumbuh sikap dan perilaku saling tergantung, menyediakan kesempatan
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 183
bagi para mahasiswa untuk saling membantu dalam proses belajar. Kondisi ini dapat mendorong mahasiswa untuk belajar bersama dan bertanggung jawab terhadap bagian materi untuk mencapai tujuan bersama. Depaz dan Moni (2008) melaporkan CL tipe jigsaw diterapkan untuk mendukung motode kooperatif, kelompok dibentuk dan mahasiswa bekerjasama sepanjang proses belajar. Selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab, mahasiswa juga saling tergantung dan saling memberitahu teman sekelompoknya. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerjasama dan saling membantu untuk memahami suatu materi pelajaran. Metode CL tipe jigsaw memberikan informasi yang diperlukan kepada kelompok lain dengan tujuan agar anggota kelompok lain dapat memahami materi dengan baik. Belajar bersama membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk melatih keberanian berdiskusi dan mempunyai tanggung jawab dalam proses belajar. Artzit (1983) menyatakan bahwa CL tipe jigsaw merupakan metode yang melibatkan kelompok kecil, mahasiswa diharapkan berdiskusi untuk menyamakan pengetahuan yang dimiliki dan mengatasi kesenjangan pengetahuan mahasiswa antara satu sama lain. Adanya diskusi dalam kelompok yang heterogen memungkinkan perbedaan antar mahasiswa dapat diatasi karena mahasiswa saling membantu satu sama lain, antara mahasiswa yang pandai dengan mahasiswa yang kurang pandai (Stockdale & Williams, 2004). Kemampuan akademik secara heterogen dapat dilihat dari Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang diperoleh mahasiswa sebagai prestasi belajarnya. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli
Gambar 2. Ilustrasi kelompok jigsaw Untuk pelaksanaan metode CL tipe jigsaw, disusun langkahlangkah pokok yaitu: 1) mahasiswa dikelompokkan ke dalam anggota kelompok, 2) tiap mahasiswa dalam kelompok diberi sub-
184 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
materi yang berbeda, 3) anggota dari kelompok berbeda yang telah mempelajari submateri yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan submateri mereka, 4) setelah selesai diskusi sebagai kelompok ahli, tiap anggota kembali ke kelompok asal secara bergantian mengajar teman satu kelompok mereka tentang submateri yang mereka kuasai atau setiap anggota kelompok ahli mempresentasikan hasil diskusi, 5) tutor memberi evaluasi (Aronson dkk., 1978; Slavin, 2009; Lao dkk., 2008). Menurut Susana (2009) Salah satu cara para ilmuan sosial dalam memahami hubungan dengan orang-orang lain adalah melalui klasifikasi in-group dan out group. Hubungan in-group adalah hubungan yang ditandai adanya tingkat familiar, keintiman dan kepercayaan. Kita merasa dekat dengan orang-orang di sekeliling yang di pertimbangkan ada dalam kelompok kita. Hubungan diri dengan in-group berkembang melalui ikatan yang mengikat ingroup bersama lewat persahabatan atau hubungan atau tujuan. Sebaliknya hubungan outgroup ditandai kurangnya familiaritas, keintiman, dan kepercayaan. Dalam hubungan ini orang mungkin akan merasa kurang adanya kebersamaan dan bahkan mungkin melibatkan perasaan negatif, seperti permusuhan, agresi, dan persaan superioritas. Klarifikasi ke dalam hubungan ingroup dan outgroup ini hanya untuk mempermudah kita dalam memahami perilaku seseorang terhadap orang lain meskipun kita mengetahui bahwa hubungan yang sesungguhnya tak dapat dikategorikan secara kaku dalam perbedaan dikotomi seperti itu, karena yang terjadi kadangkadang lebih kompleks dan tidak sesederhana itu. Usaha untuk memahami negosiasi secara lebih sistematis dalam budaya-budaya yang berbeda menuntut kita untuk lebih mengacu pada konsep individualisme dan kolektivisme. Sesuatu yang diharapkan dalam budaya individualisme, negoisasi semetinya melihat cara negoisasi sebagai prioritas utama mencapai kesepakatan.atau persetujuan yang berdasar pada tuntutan yang logis dari tugas yang diselesaikan pada waktu itu. Sebaliknya dalam budaya kolektif negosiasi dititikberatkan pada kelanjutan harmoni seterusnya dalam hubungan mereka dengan kelompok lain. Hal ini bukan berarti orang-orang dari budaya kolektif akan lebih baik hati dengan pihak lain yang diajak bernegosiasi.
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 185
Dwairy (2002) menyatakan bahwa karakteristik diri (self) dari orang-orang dengan orientasi budaya kolektivis adalah: (1) diri tidak bersifat otonom, tetapi melekat pada kelompoknya. Hal inilah yang mengarahkan individu untuk mencapai tujuan kelompok dibandingkan tujuan pribadi. Hakekat diri adalah relasional meliputi cinta, pengorbanan, dan kepedulian terhadap orang lain (Choi, Sang-Chin, & Kim, 2004). Oleh karena itu orang yang kolektivis lebih didominasi oleh emosi-emosi yang lekat dengan relasi interpersonal seperti perasaan bersahabat, perasaan kedekatan, dan perasaan hormat (Triandis & Suh, 2002), (2) perilaku individu lebih bersifat situasional dan kontekstual dari pada disposisional. Perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari pada internal, yang lebih menekankan pada peran dan norma dari pada atribusi perilaku. Diri dipandang sebagai sesuatu yang bersifat mudah berubah, sedangkan lingkungan bersifat stabil (Triandis & Suh, 2002). Bagi orang yang kolektivis menyesuaikan diri dan selaras dengan norma masyarakat lebih penting dari pada menjaga konsistensi antara sikap dan perilaku. Oleh karena itu menurut Triandis dan Suh (2002) orang kolektivis akan lebih termotivasi oleh kegagalan dari pada keberhasilan hidup, (3) prioritas lebih diberikan kepada tanggung jawab terhadap tugas dari pada keadilan dan hak-hak pribadi, dan (4) orang yang kolektivis lebih mengutamakan pengalaman yang memusatkan pada emosi orang lain (simpati dan rasa malu) dari pada emosi pribadi. Relasi, keselarasan, dan kepatuhan pada kelompok lebih diutamakan dari pada ekspresi diri. Upaya dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar mahasiswa untuk mewujudkan pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas memerlukan metode pembelajaran yang efektif untuk lebih memberdayakan potensi mahasiswa.
Persepsi Mahasiswa Tentang Konsep Pembelajaran Yang Efektif
186 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
Menurut Cook (1979) munculnya metode pembelajaran bermula dari adanya isu-isu sosial yang kontroversial tentang penghapusan perbedaan di Amerika, yaitu antara sekolah-sekolah dengan etnis siswa berkulit hitam dan berkulit putih. Siswa-siswa selalu lebih memilih berteman baik dengan siswa yang berlatar belakang sama. Keadaan ini memicu terciptanya prasangkaprasangka sosial yang buruk antar etnis yang dikhawatirkan akan mengganggu keamanan, kedamaian, dan kelangsungan pembangunan di Amerika. Para ilmuwan sosial menghapus perbedaan antara sekolah-sekolah dengan etnis siswa berkulit hitam dan siswa berkulit putih. Marlow & Page (dalam Alsa, 2005) konstruktivisme adalah teori tentang bagaimana pelajar harus belajar (learning how to learn). Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran menuntut pelajar untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber seperti dari buku pelajaran, media cetak dan media elektronik, sedangkan lingkungan sosial dan masyarakat sebagai penyedia informasi. Kebijakan baru dalam praktik pendidikan diinspirasi GPEP Panel (General Professional Education of the Physician and College Preparation for Medicine) di Amerika Serikat yang didukung oleh himpunan akademi kedokteran (Association of American Medical Colleges) (Muller, 1984). Laporan ini memberikan rekomendasi untuk mengadakan perubahan dalam pendidikan kedokteran seperti dengan menambah jam belajar mandiri (independent learning) dan pemecahan masalah (problem solving), mengurangi jam perkuliahan dengan ceramah. Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa cukup efektif karena mahasiswa belajar dalam kelompok kecil (Brahmia & Etkina, 2001). Menurut Gillies dan Ashman (2003), belajar dalam kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Mahasiswa memilih metode pengajaran efektif dipengaruhi dominan oleh kelompok etnik darimana mereka berasal. Kelompok etnik mempengaruhi sistem nilai sebagai standar kesuksesan pengalaman metode pengajaran yang dilakukannya. Zaini, Munthe dan Aryani (2007) menyatakan bahwa pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak mahasiswa untuk belajar secara aktif. Ketika mahasiswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktifitas pembe-
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 187
lajaran. Dengan ini mahasiswa secara aktif baik untuk menemukan ide pokok dari materi kuliah, memecahkan masalah, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari ke dalam satu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Dengan belajar aktif mahasiswa diajak serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental akan tetapi juga melibatkan fisik. Dengan cara ini mahasiswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan. TEORI PIAGET DALAM PERSPEKTIF LINTAS-BUDAYA Penelitian lintas-budaya mengenai teori Piaget (Matsomoto & Juang, 2004) berfokus pada empat pertanyaan penting. Temuantemuan ini sekarang menunjukkan paduan yang menarik akan kesamaan dan perbedaan budaya dalam berbagai aspek perkembangan kognitif yang menyamai tahap-tahap Piaget. Tahap-tahap Perkembangan Piaget Studi-studi yang telah menjawab pertanyaan ini telah secara menyakinkan menunjukkan bahwa tahap-tahap Piaget terjadi pada ururan tetap yang sama pada budaya lain. Sebagai contoh, suatu penelitian lintas-budaya yang meneliti anak-anak di Inggris, Australia, Yunani, dan Pakistan (Shayer, Demetriou, & Perez dalam Matsumoto & Juang, 2004) menemukan bahwa anak-anak sekolah pada masyarakat yang berbeeda ini melakukan tugas-tugas Piaget dalam tahap operasi konkrit yang sama. Kami tidak menemukan budaya dimana anak berumur 4 tahun yang biasanya kurang kesadaran akan ketetapan benda ata anak berumur 5 tahun memahami prinsip konservasi. Dengan demikian, kita tahu bahwa anak-anak dari budaya yang sangat berbeda sesungguhnya mempelajari tugas-tugas Piaget dengan urutan yang sama. Hasil-hasil penelitian menemukan variasi budaya yang mengejutkan pada usia dimana anak-anak pada masyarakat yang berbeda umumnya mencapai tahap Piaget ketiga dan keempat. Dalam beberapa hal, perbedaan tersebut mungkin sebanyak 5 atau 6 tahun. Akan tetapi, dilupakan bahwa anak-anak dapat memiliki potensi menyelesaikan tugas-tugas lebih cepat dari pada yang ditunjukkan oleh jawaban mereka. Sebagai contoh, seorang anak
188 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
pada tahap operasi konkrit biasanya akan memberikan jawaban pertama yang muncul ke pikiran selama suatu ujian. Jika anak tersebut berasal dari suatu budaya dimana dia telah memiliki praktek melakukan tugas tersebut, jawaban ini adalah mungkin benar. Akan tetapi, seorang anak yang tidak pernah berpikir mengenai konsep tersebut sebelumnya dapat juga memberikan jawaban yang salah dan hanya kemudian menyadari kesalahan tersebut. Setelah dilakukan ujian kedua kali pada akhir dari sesi ujian, ditemukan bahwa banyak anak-anak memperbaiki jawaban mereka sebelumnya pada usaha kedua (Dasen, Dasen, Lavallee, & Retschitzki; Dasen, Ngini, & Lavellee dalam Matsumoto dan Juang, 2004). Dengan demikian, bahwa pencapaian suatu tugas mungkin tidak menunjukkan kemampuan kognitif yang sebenarnya. Variasi Budaya dalam Tahap-tahap Piaget Ada variasi budaya yang besar di dalam urutan dimana anakanak menguasai kemampaun spesifik tertentu di dalam tahap Piaget. Di dalam suatu studi perbandingan anak-anak suku (Inuit dari Kanada, dan Baoul dari Afrika, dan Aranda dari Australia), setengah dari semua anak-anak Inuit yang diteliti menyelesaikan tugas spasial pada usia 7 tahun, setelah dari Aranda menyelesaikannya pada usia 9 tahun, dan Baoul tidak mencapai poin setengah sampai usia 12 tahun (Dasen dalam Matsumoto & Juang, 2004). Akan tetapi, pada satu ujian konservasi cairan, urutan berubah secara dramatis: setengah dari anak-anak Baoul menyelesaikan masalah ketika mereka berumur 8 tahun, Inuit pada 9 tahun, dan Aranda pada 12 tahun. Mengapa usia dimana anak-anak ini dapat melakukan tugas yang sama begitu bervariasi? Anak-anak Inuit dan Aranda hidup di masyarakat nomaden, dimana anak-anak perlu mempelajari kemampuan ruang lebih awal karena keluarga mereka terus-menerus berpindah. Anak-anak Baoul hidup di suatu masyarakat yang menetap, dimana mereka jarang melakukan perjalanan namun sering mengambil air dan menyimpan padi. Kemampuankemampuan yang digunakan anak-anak ini di dalam kehidupan mereka sehari-hari nampanya mempengaruhi urutan dimana
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 189
mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas Piaget pada tahap operasi konkrit. Apakah budaya bukan Barat menganggap penalaran ilmiah sebagai titik akhir perkembangan penting? Teori Piaget beranggapan bahwa penalaran ilmiah yang dihubungkan dengan operasi formal adalah titik akhir univerasl dari perkembangan kognitif bahwa berpikir yang paling dihargai di Swiss dan masyarakat Barat lainnya (operasi formal) adalah ukuran dari semua budaya harus dinilai. Karena Piaget menganggap penalaran ilmiah sebagai pencapaian manusia yang penting, teori tahapanyan dirancang untuk menelusuri langkah-langkah untuk tiba pada berpikir ilmiah. Perspektif ini diterima secara luas di dalam psikologi Amerika Utara, dan secara umum oleh masyarakat Amerika Utara. Matsumoto & Juang, (2004) menyatakan bahwa banyak kebudayaan di seluruh dunia tidak memiliki keyakinan bahwa proses berpikir abstrak dan hipotetis adalah titik akhir yang penting atau diinginkan di dalam proses perkembangan kognitif. Sebagai contoh, banyak budaya menganggap perkembangan kognitif lebih bersifat relasional melibatkan kemampuan dan proses berpikir yang diperlukan untuk berhasil terlibat di dalam konteks interpersonal. Apa yang disebut orang Amerika Utara sebagai “akal sehat”, dari pada perkembangan kognitif sendiri, dianggap sebagai hasil yang jauh lebih diinginkan pada banyak budaya. Struktur nilai ini khususnya nampak pada budaya yang lebih bersifat kolektivis dan berorientasi-kelompok, dimana berpikir yang tingkat-tinggi, individualistik dan abstrak sering tidak disetujui . Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa perspektif ini sama sekali tidak dimiliki secara universal. Masyarakat yang berbeda menghargai dan mengganjar kemampuan dan perilaku yang berbeda. Sebagai contoh, sampai belakangan ini, peneliti paling dihormati di dalam masyarakat Islam tradisional adalah pemimpin agama dan penyair. Meskipun sistem pendidikan Islam memasukkan ilmu pengetahuan dan matematika, tujuan utamanya bukan untuk melatih orang-orang di dalam metode ilmiah namun untuk meneruskan keimanan, pengetahuan umum, dan apresiasi yang mendalam untuk puisi dan sastra. Orang-orang dari budaya yang demikian diperkirakan tidak diuntungkan ketika dihadapkan
190 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
dengan tugas-tugas Piaget lanjutan, yang dibuat hampir hanya dari fisika, kemia, dan matematika Barat (Matsumoto & Juang, 2004). HASIL-HASIL PENELITIAN DARI BERBAGAI NEGARA (TAIWAN, TURKI, AMERIKA, KOREA, ITALIA DAN MALAYSIA) Kai-Wen (2006) meneliti mengenai apakah metode pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan efek residu (sisa) pada kemampuan mahasiswa dalam berhubungan personal satu sama lain? studi kasus di salah satu Fakultas Teknik di Taiwan. Partisipan 98 orang mahasiswa tingkat II Fakultas Teknik di Taiwan yang mengikuti kelas Akuntansi. Usia partisipan rata-rata 19 tahun. Metode pembelajaran yang diterapkan adalah metode kooperatif (bagi kelompok eksperimen) dan metode ceramah (bagi kelompok kontrol). Penelitian ini memberikan fakta empiris bahwa metode pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami isi dan konsep Akuntansi, mengidentifikasi pentingnya sikap kooperatif, bertanggung jawab dalam kelompok, serta mengembangkan kemampuan interpersonal dalam kelompok. Hasil penelitian ini juga memberikan pemahaman bahwa teori mengenai sikap kooperatif yang dikembangkan di bumi belahan berat, ternyata dapat pula diterapkan dalam memahami dinamika mahasiswa di Taiwan. Senocak, Yavus Taskesenligil, Mustafa Sozbilir (2007) meneliti dampak penggunaan metode PBL dalam mempelajari materi “gas” dalam mata kuliah Kimia Dasar. Subjek penelitian yaitu 101 orang mahasiswa Universitas Ataturk (Turki) yang mengikuti mata kuliah Kimia Dasar dan diambil dari dua kelas yang berbeda. Sebelum menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, subjek mengisis Tes Diagnosis Gas sebagai tes awal, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar masingmasing subjek. Hasil tes akhir (post test) menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelompok eksperimen lebih tinggi daripada nilai rata-rata kelompok kontrol. Marley (2007) meneliti skor IQ dan prestasi belajar suatu analisis panel lintas lapisan. Partisipan penelitian yaitu 289 orang siswa (192 orang laki-laki dan 97 orang siswa perempuan).
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 191
Prosedur yang digunakan yaitu memilih secara acak 289 kasus yang disediakan dari 67 orang psikolog sekolah dari 27 negara bagian di Amerika. Tes IQ meruapakan program yang sering dilakukan pada sekolah-sekolah di Amerika Serikat, terutama dalam melihat keterkaitannya dengan hasil belajar para siswa. Fakta membuktikan bahwa diestimasikan staf administrasi sekolah bagian psikologi menyelenggarakan 1,5-1,8 juta tes setiap tahunnya. Data tersebut diambil dari sekitar 5 juta siswa yang mengikuti program pendidikan khusus. Chan Lin dan Chan (2007) meneliti integrasi antar keahlian berbagai disiplin ilmu dalam menunjang metode problem based learning. Partisipan penelitian adalah 50 orang mahasiswa (12 orang laki-laki dan 38 orang perempuan) yang mengambil jurusan Gizi dan Pangan di salah satu universitas di Taiwan. Mereka diberikan modul belajar tentang “Interaksi antara Obat-obatan dan Nutrisi” di tahun 2004. Modul ini bertujuan memberikan pemahaman kepada partisipan mengenai beberapa macam obat-obatan dan nutrisi, serta interaksi di antara keduanya, dan tujuan akhirnya yaitu mempersiapkan mereka menjadi ahli diet. Di dalam latar penerapan metode PBL, bahan-bahan kuliah diberikan sebagai problem dasar dan disusun sedemikian rupa untuk dapat dipelajari siswa di dalam kelompok kecil. Beberapa permasalahn klinis yang terkait dengan topik digunakan sebagai konteks pembelajaran dan semuanya dieksplorasi oleh partisipan. Diperlukan adanya diskusi untuk setiap kasus di dalam kelompok, kemudian dilakukan pemilihan topik, dan menyusun suatu penelitian yang tentang topik tersebut sebagai hasil akhir proyek mereka ini. Dalam penelitian ini forum elektronik digunakan untuk mendukung proses belajar siswa dalam konteks PBL. Adapun forum ini terdiri dari 11 forum kelompok yang mendukung interaksi kelompok dan 3 forum khusus yang memfasilitasi komunikasi dengan para ahli. Untuk memotivasi siswa agar berpartisipasi aktif dalam forum, terdapat 15 poin yang dialokasikan ke dalam skor akhir mereka. Data kualitatif dalam proses belajar digunakan untuk menganalisis. Data kualitatif tersebut mencakup pesan dari forum diskusi, proyek kelompok, refelksi tertulis dari mahasiswa, serta informasi langsung dari partisipan (mahasiswa, instruktor, fasilitator, dan para ahli).
192 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
Peneliitian Killic (2008) mengenai dampak penerapan metode pembelajaran Jigsaw akan konsep dan metode pengajaran metode pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran bersama, mahasiswa yang sudah memahami topik tersebut akan membantu mahasiswa yang belum paham. Beberapa orang akan mampu menguasai materi jika dibantu oleh orang lain yang sudah lebih mampu menguasai materi tersebut. Subjek penelitian yaitu 80 orang mahasiswa tahun kedua Universitas Ataturk Fakultas Kazim Karabekir, di mana 40 orang masuk ke dalam kelompok eksperimen (yang menggunakan metode pembelajaran jigsaw) sedangkan 40 orang lainnya masuk ke dalam kelompok kontrol yang menerima metode pembelajaran secara ceramah. Hasil penelitian tersebut yaitu bahwa mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran jigsaw akan memperoleh hasil yang lebih baik daripada mahasiswa yang menggunakan metode ceramah. Lao, Hsu, Chuang, dan Hsieh (2008) konflik yang dihadapi oleh mahasiswa dalam suasana kelas yang menggunakan teknik Jigsaw sebagai metode pembelajaran bersama. Penelitian ini terdapat 9 orang yang sudah lulus sekolah dan mereka dibagi menjadi 3 kelompok dengan menggunakan aktivitas jigsaw selama 3 jam. Peneliti bertujuan untuk mengobservasi status belajar para mahasiswa di dalam kelas dengan topik “aborsi”, fokus pada 3 negara berbeda dan 3 cara yang berbeda. Eksperimen didokumentasikan dengan menggunakan alat perekam yaitu video kamera, rekaman suara, dan komputer.dan hasilnya dicatat oleh para peneliti yaitu bahwa konflik muncul atas dua situasi yang berbeda, yaitu konflik karena pemahaman yang berbeda pada setiap orang dan konflik terjadi karena interaksi mahasiswa dalam kelompok. Tumkaya, Aybek, dan Aldag (2009) penelitian ini dilakukan di salah satu universitas di Turki. Partisipan terdiri dari 353 mahasiswa yang berpartisipasi secara sukarela dan mereka berasal dari fakultas yang berbeda-beda. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa kecenderungan berpikir kritis terkait dengan kemampuan memecahkan masalah. Jenis kelamin bukan meruapakan variabel yang signifikan dengan kecenderungan berpikir kritis maupun dalam kemampuan memecahkan masalah. Latar belakang jurusan yang diambil mahasiswa terkait dengan
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 193
adanya kecenderungan berpikir kritis, namun keberagaman tersebut tidak terkait dengan kemampuan dalam memecahkan masalah. Adapun mahasiswa jurusan sosial memiliki skor yang lebih baik jika dibandingkan dengan mahasiswa jurusan eksakta. Ikseon (2009) penelitian ini berfokus untuk memahami proses transisi mahasiswa menuju metode baru yang lebih inovatif yang disesuaikan dengan gaya belajar mereka yang berbeda. Partisipan penelitian ini adalah 70 orang mahasiswa kelas Anasthesiologi Fakultas Kedokteran Gigi di Korea sepanjang 3 minggu. Lima buah tes belajar dan dua buah survey diberikan dengan menggunakan metode tatap muka dan melalui internet (online). Pada penelitian ini lingkungan studi kasus diperkenalkan pada kelas yang menganut metode ceramah, yaitu kelas Anasthesiologi pada Fakultas Kedokteran Gigi di Korea sepanjang 3 minggu dengan menggunakan media internet. Lingkungan ini berusaha menerapkan pendekatan terpadu (antara pendekatan tatap muka dan pendekatan secara tidak langsung melalui internet). Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana gaya belajar dapat mempengaruhi cara mahasiswa memecahkan permasalahan ketika metode PBL diterapkan dalam kelas ceramah. Impedovo (2009) meneliti pemecahan masalah dalam pengajaran mata kuliah Sistem Proses Mesin berdasar pada instruksi dengan menggunakan fasilitas pendukung. Subyek adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Ilmu Komputer di Universitas Bari (Italia). Prosedur pelaksanaan, pada penelitian ini diberikan pretest, proses belajar dengan perlakuan khusus, dan posttest. Pemberian pretest dimaksudkan untuk meninjau pengetahuan awal yang telah dimiliki oleh seluruh partisipan. Skor ini menjadi dasar pengujian jika terjadi perubahan sejalan perubahan kemampuan pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas memecahkan masalah dapat digunakan dalam konteks pembelajaran di universitas. Setiap mahasiswa yang menjadi partisipan merasakan keuntungan dari proses belajar, mengembangkan prinsip instruksi fasilitas pendukung, serta adanya peningkatan sikap dan kemampuan memecahkan masalah. Situasi (lingkungan) belajar dengan menggunakan fasilitas pendukung internet mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dengan situasi yang nyaman dan menarik,
194 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
dan keadaan tersebut memberi dampak positif lainnya yaitu peningkatan kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah. Penelitian Sahin (2010) mengenai pengaruh metode PBL terhadap keyakinan epistemologi mahasiswa akan ilmu Fisika, pembelajaran Fisika, dan pemahaman konseptual akan mekanisme Newton. Subjek penelitian adalah 124 orang mahasiswa (22 orang perempuan dan 102 laki-laki) di salah satu universitas negeri di Turki. Subjek dipisah menjadi dua kelompok besar yaitu 55 orang di kelompok PBL (3 orang perempuan dan 52 orang laki-laki) dan 69 orang di kelompok tradisional (19 orang lperempuan dan 50 orang laki-laki). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa di kelas PBL memperolah hasil lebih baik daripada mahasiswa yang berada di kelas tradisional, yang ditunjukkan lewat skor FCI. Namun tidak terdapat perbedaan antra kelompok PBL dan tradisional dalam hal keyakinan epistemologi mereka akan ilmu Fisika. Dari penelitian ini nampak bahwa pendekatan PBL memiliki pengaruh yang efektif bagi pemahaman konseptual mahasiswa. Zakaria dan Yusoff (2009) meneliti tentang sikap dan kemampuan menyelesaikan masalah pada mahasiswa matrikulasi di Malaysia. Subjek penelitian yaitu 436 orang mahasiswa matrikulasi (155 orang mahasiswa dan 281 orang mahasiswi), subjek tersebut terdiri dari 141 orang mahasiswa jurusan Fisika, 154 orang mahasiswa jurusan Biologi, dan 141 orang mahasiswa jurusan Akuntansi. Penelitian ini dilaksanakan tanpa memperhatikan adanya perbedaan jenis kelamin dan jurusan. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap dan kemampuan menyelesaikan masalah berdasarkan jenis kelamin. Hasil ini mengidentifikasikan adanya perbedaan sikap yang terkait dengan kepercayaan diri dan kemampuan menyelesaikan masalah di antara mahasiswa dari berbagai jurusan kuliah. Tella (2007) meneliti dampak motivasi belajar pada hasil studi siswa SMA di Nigeria. Subjek yaitu 450 orang siswa sekolah menengah yang terdiri dari 10 sekolah yang berbeda, dengan usai 15-22 tahun. Hasil pertama dari penelitian ini menyatakan bahwa prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu jenis kelamin. Pernyataan ini kurang selaras oleh penelitian Siena dkk. dalam
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 195
Tella (2007) menyatakan pendapat bahwa keberhasilan siswa lebih dipengaruhi oleh faktor keluarga dan rekan sebaya, bukan karena perbedaan jenis kelamin. Perbedaan hasil ini dapat dipandang dari segi latar belakang penelitian yang berbeda, di mana penelitian Siena dkk. dilakukan di Asia, sedangkan penelitian ini dilaksanakan di Nigeria (Afrika), sehingga konteks budaya mempengaruhi hasil penelitian masing-masing. Studi lintas budaya pada umumnya menunjukkan bahwa anak-anak Amerika lebih tidak kooperatif dibandingkan dengan anak-anak Asia. Bahkan hasil penelitian Cox, Lobel dan McLeod dalam Susana (2009) juga menunjukkan bahwa pelajar Inggris lebih kompetitif daripada orang Amerika keturunan Spanyol, kulit hitam dan Asia. Keragaman karakteristik individual tersebut merupakan konsekuensi dari keragaman latarbelakang antropologis (etos kerja, adat istiadat, nilai), latarbelakang sosial (kelompok, iklim, intensi) dan latar belakang personal (ciri individual, kepribadian, kebutuhan) yang telah menyatu dalam diri individu. Misalnya sistem nilai budaya yang diserapnya dari kehidupan masyarakat (kelompok sosial) tempat indiviu itu tumbuh-kembang menjadi ciri individualnya dan bahkan telah membentuknya sebagai pribadi dengan ciri kepribadian tertentu. Penelitian membuktikan bahwa atribusi tidak hanya dipengaruhi oleh budaya, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial seperti kelas sosial dan ras. Misalnya penelitian Tom dan Cooper (dalam Matsumoto & Jung, 2004) yang menyelidiki atribusi dari guru-guru SD kulit putih tentang perpormance murid-muridnya yang bervariasi berdasar aspek kelas sosial, ras dan gender. Hasilnya menunjukkan bahwa guru-guru lebih mungkin untuk memperhitungkan kesuksesan akan dicapai oleh murid-murid dari kelas sosial menengah, kulit putih dan memotong kegagalan mereka dihubungkan dengan kelas sosial dan ras yang lain. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wong, Derlega, dan Corlos (dalam Matsumoto & Jung, 2004) dengan sampel pelajar kulit hitam dan kulit putih, yaitu semua subjek mengharapkan pelajar kulit hitam dan kulit putih, yaitu semua subjek mengharapkan pelajar kulit putih lebih baik performancenya daripada pelajar kulit hitam.
196 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
Temuan ini secara khusus penting dalam pemahaman kita selanjutnya mengenai interaksi antar budaya. Melakukan interpretasi tentang sebab-sebab perilaku khususnya yang berkaitan dengan intensi (niat) dan kehendak baik adalah penting untuk kesuksesan beberapa tipe interaksi sosial. Ada pesan yang menarik dalam hal ini, yaitu jangan terlalu cepat mengartikan perilaku buruk atau perasaan negatif orang lain khususnya dalam setting hubungan antar budaya, sebab barangkali perilaku itu sebenarnya berakar dalam budaya yang mendukung perilaku tersebut dan dianggap bukan sesuatu yang buruk. Cara kita membandingkan sikap dan perilaku kita terhadap orang lain telah menjadi topik utama dalam psikologi sosial. Alasan perbandingan tersebut bervariasi tergantung pada nilai-nilai independen atau interdependen. Pada kelompok budaya individualis perbandingan sosial dapat memberikan umpan balik akan kualitas dan kemampuan, dan dari sini akan memperkuat atau memperlemah persaan tentang diri. Sedangkan dalam kelompok budaya kolektif, perbandingan sosial dapat menimbulkan perbedaan makna tergantung pada sasaran dengan siapa perbandingan tersebut dibuat. Dalam hubungannya dengan anggota lain dalam kelompoknya sendiri, perbandingan sosial akan menjadi petunjuk anggota-anggota kelompok untuk merasakan konsensus kelompok dan untuk mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin muncul mengenai kesepakatan itu dimasa yang akan datang (Susana, 2009). Berdasarkan pendekatan antropologi-budaya dan sosiologi, negara-negara Barat pada umumnya mempunyai orientasi budaya masyarakat individualis (yang menekankan pada individu) yang sangat dipengaruhi oleh budaya Eropa Barat sementara itu negaranegara non-Barat pada umumnya mempunyai orientasi budaya masyarakat kolektivis (yang menekankan pada kelompok) yang berakar dari nilai-nilai tradisi yang berkembang di Asia dan Eropa Timur seperti kebudayaan Islam, Hindu, Budha, dan Cina (G. Hofstede & G. J. Hofstede, 2005; Koentjaraningrat, 1985; Triandis, 1999). Orientasi budaya masyarakat individualis mempunyai ciriciri mengutamakan rasionalitas, hak-hak pribadi, kebebasan individu, tujuan pribadi, keunikan individu, konsistensi, kesetaraan
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 197
gender, demokrasi liberal, dan aturan berdasarkan undang-undang (Hofstede, 1991; Koentjaraningrat, 1985; Triandis, 1999). Orientasi budaya masyarakat kolektivis mempunyai ciri-ciri mengutamakan hubungan interpersonal, nama baik (harga diri) kelompok (misalnya keluarga, organisasi, suku, negara), harmoni, ketaatan pada kelompok, dan pengabdian diri (Hofstede, 1991; Koentjaraningrat, 1985 Triandis, 1999). Apabila ini terinternalisasi dalam diri seseorang, maka akan muncul orientasi budaya individual (Triandis dalam Susana, 2009). PENUTUP Pengkajian lintas budaya untuk membandingkan kelompok belajar di Indonesia mengenai persepsi metode pembelajaran yang efektif yang berkaitan dengan Problem based learning dan Cooperative learning akan memberikan masukan terapan PBL dan CL tipe jigsaw di masa mendatang. Pengenalan kelompok sebagai identitas individu akan memudahkan perlakuan penelitian lintas budaya. Apabila seseorang mempunyai orientasi budaya individual yang selaras dengan orientasi budaya individu lainnya tempat ia tinggal, maka akan terjadi konsistensi antara elemen perilaku, perasaan, dan kognitif dari perilaku sosialnya. Disadari bahwa pengkajian psikologi lintas budaya dalam kelompok belajar tertentu untuk metode pembelajaran sepengetahuan penulis di Indonesia masih kurang. Dalam metode CL tipe jigsaw, penulis tidak melihat perbedaan dari sudut etsnis, tetapi menggunakan IPK (tinggi, sedang, dan rendah) dalam proses pembelajaran untuk membedakan kemampuan antar mahasiswa dalam setiap kelompok miliki kemampuan berbeda yaitu tinggi, sedang dan rendah. Sementara dalam metode PBL tidak dilakukan pembedaan antar mahasiswa. PBL merupakan salah suatu metode yang berfokus pada mahasiswa untuk menganalisis permasalahan yang diberikan dalam bentuk skenario kemudian mahasiswa mendiskusikannya bersama rekan-rekan sekelompok. Teori dan praktek sekaligus mahasiswa dapatkan selama proses belajar berlangsung. Hasil akhir, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah. Sehingga mahasiswa tidak hanya dapat
198 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201.
menyelesaikan masalah yang sama namun juga dapat menyelesaikan masalah yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Tella, A. 2007. The Impact of Motivation on Student`s Academic Achievement and Learning Outcomes in Mathematics among Secondary School Students in Nigeria. Eurasia Journal of Mathematics, Science, & Technology Education, 3 (2), 149-156. Artzt, A.F. 1983. The comparative effects of the student-team method of instruction and the traditional teacher-centered method of instructtion upon student achievement, attitude, and social interaction in high school mathematics course. Doctoral dissertation, New York University. Alsa, A. 2005. Program belajar, jenis kelamin, belajar berdasar regulasi diri dan prestasi belajar matematika pada pelajar SMA Negeri di Yogyakarta. Disertasi. UGM. Aronson, E., Blaney, N., Stephan, C., Sikes, J., & Snapp, M. 1978. The jigsaw classroom. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc. Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., Dasen, P.R. 1999. Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Brahmia, S. & Etkina, E. 2001. Switching students on to science: An innovative course design for physics students. Journal of college science teaching, 31, 183–187. Cook, S.W. 1979. Social science and school desegregation: Did we mislead the Supreme Court? Personality and social psycology bulletin, 5, 420 – 437. Carlisle, C. & Ibbotson, T. 2005. Introducing problem-based learning into research methods teaching: Student and facilitator evaluation. Nurse education today, 25, 527-541. Chan Lin, L.J. & Chan, K.C. 2007. Integrating interdisciplinary experts for supporting problem-based learning. Journal of innovations in education and teaching international, 44 (22), 211-224. Cheng, K.W. & Chen, Y.F. 2008. Effects of cooperative learning in a college course on student attitudes toward accounting: a quasi experiment. International journal of management, 25 (1), 111-120. Choi, Sang-Chin, & Kim, U. 2004. Emotional attachment as the basis of trust and interpersonal relationship: Psychological, indigenous, and cultural analysis. Dalam Setiadi, B. N., Supratiknya, A., Lonner, W. I., & Poortinga, Y. H. (Ed.). Ongoing themes in psychology and
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 199 culture (hh. 97–113). International Association for Cross-cultural Psychology. Depag RI dan IRD. 2003. Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalisme. Majalah Inovasi Edisi IV. Depaz, I. & Moni R.W. 2008. Using peer teaching to support co-operative learning in undergraduate pharmacology. Bioscience Education Journal. Vol. 11. diakses di www.bioscience.Heacademy.ac.uk/ journal/vol11/beej-11-8.pdf tanggal 5 September 2009. Dwairy, M. 2002. Foundations of psychosocial dynamic personality theory of collective people. Clinical Psychology Review, 22, 343360. Gillies, R.M. & Ashman, A.F. 2003. Cooperative learning: The social and intellectual outcomes of learning in groups. London, UK: Routledge Falmer. Harsono. 2005. Pengantar problem-based learning. Edisi kedua. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM. Hofstede, G., & Hofstede, G. J. 2005. Cultures and Organizations: the software of the mind. New York: McGraw-Hill. Ikseon, C. 2009. Implementing a case-based e-learning environment in a lecture-oriented anaesthesiology class: Do learning style matter in a complex problem solving over time? British Journal of Educational Technology Vol. 40 (5), 933-947 Impedovo, S. A., Ferrante, D., Impedovo, R., Modugno, G., Pirlo, E., & Stasolla, C.A. Trullo. 2009. Problem solving to teach processing systems: engineering learning objects based on anchored instruction. International journal of education and information technologies, 1 (3), 36-45. Kai-Wen, C. 2006. Does cooperative learning enhance the residual effects of student interpersonal relationship skills? A case-study at a Taiwan Technical College. Journal of American academy of business, Cambridge, 10 (1), 312-316. Kilic, D. 2008. The effects of the jigsaw technique on learning the concepts of the principles and methods of teaching. World applied science journal, 4 (1), 109-114. Koci, Y; Doymus, K; Karacop, A; Simsek, U. 2010. The Effects of Two Cooperative Learning Strategies on the Teaching and Learning of the Topics of Chemical Kinetics. Journal of Turkish science education, 7, 52-65. Lao, A.C., Hsu, S., Chuang, J.C.L., & Hsieh, C.H. 2008. Student Conflicts in a jigsaw-type technology classroom for collaborative knowledge
200 Jurnal IQRA, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010, 173-201. instruction. 1-4. Diakses di http://www.apsce.net/ ICCE2008/ papers/ ICCE2008-paper123.pdf. tanggal 19 April 2009. Lie, A. 2007. Cooperative learning: Mempratekkan kooperatif learning di ruang- ruang kelas. Jakarta: Grasindo. Matsumoto, D and Juang, L. 2004. Culture and Psychology, 3th Edition, Wadsworth Thomson. Marley W. 2007. Psychometric intelligence and achievement: A crosslagged panel analysis. Journal of Intelligence, 35, 59-68. Mazoch, S. 2002. Constructivism. http://www.swt.edu/SM58005/ constructivism.html. (diakses tanggal 25 Agustus, 2011). Muller, S. 1984. Physicians for the Twenty-First Century: Report of the Project Panel on the General Professional Education of the Physician and College Preparation for Medicine. J. Med. Educ. 59, Part 2. Sahin, M. 2010. Effects of Problem-Based Learning on University Students`Epistemological Beliefs About Physics and Physics learning and Conceptual Understanding of Newtonian Mechanics” Journal Science Educational Technology, 19, 266-275. Stolley, K.S. 2005. The Basics of Sociology, Connecticut: Greenwood Press. Senocak, E., Taskesenligil, Y., & Sozbilir, M. 2007. A study on teaching gases to prospective primary science teachers through problembased learning, Res science education, 37, 279-290. Susana, T. 2009. Pengaruh orientasi budaya individual, jenis kelamin, dan orientasi budaya masyarakat terhadap gejala somatisasi dan depresi murni. Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Slavin, R.E. 2009. Educational Psychology: Theory and Practice. Pearson: 9th ed New Jersey. Stockdale, S.L. & Williams, R.L. 2004. Cooperative learning groups at the college level: Differential effects on high, average, and low exam performers. Journal of behavioral educational, 13 (1), 21-30. Triandis, H. C. 1999. Cross-cultural psychology. Asian Journal of Social Psychology, 2, 127-143. Triandis, H. C., & Suh, E. M. 2002. Cultural influences on personality. Annual Review of Psychology, 53, 133-160. Tumkaya, S., Aybek, B., & Aldag, H. 2009. An investigation of university students` critical thinking disposition and perceived problem solving skills. Eurasian journal of educational, 36, 57-74. Voronov, M., & Singer, J. A. 2002. The myth of individualismcollectivism: Acritical review. The Journal of Social Psychology, 142, 461-480.
Saguni, Konsep Pembelajaran ..... 201 Wong, F.K.Y., Lee, W.M., & Mok, E. 2001. Educating nurses to care for the dying in Hong Kong: A problem based learning approach. Cance nursing, 24, 112-121. Zaini, H. Munthe, B., & Aryani S.A. 2007. Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta. CTSD (Center for Teaching Staff Development). cetakan ke-6. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Zakaria, E. & Yusoff, N. 2009. Attitudes and Problem-solving Skills in Algebra Among Malaysian Matriculaton College Students. European Journal of Social Science, 8 (2), 232-245.