Halaman 53 Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
❏ Oktavianus
CERMINAN NILAI BUDAYA LINTAS BUDAYA Oktavianus Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang Abstract This writing tries to see how the language reflects the speakers’ arttitude, perception, and belief in relation to the norms in their daily life. The data are taken from Minangkabau and English language. The reason to choose these different languages as the object of the study is to show how the languages from the different family represent the concepts and norms related to human being from the different culture. Key words: language reflects, speakers’ arttitude, perception, belief, norms
1. PENDAHULUAN Ketika bahasa dipakai dalam suatu peristiwa tutur, dan ketika dua orang penutur terlibat dalam suatu pembicaraan serius tentang suatu hal, maknamakna dan pesan yang muncul tidak hanya terkait dengan konteks situasi tetapi juga berhubungan erat dengan konteks budaya. Kata-kata yang digunakan mencerminkan perilaku, sudut pandang dan keyakinan yang dianut oleh penuturnya (lihat Kramsch 1998: 3). Dengan kata lain, Kramsch mengemukakan language expresses and symbolizes cultural reality. Malinowski mengamati cara bertani dan menangkap ikan yang dipraktikkan oleh penduduk asli Pulau Trobrian. Pemahaman terhadap makna terdalam dari rutinitas penduduk itu ternyata dapat dilakukan melalui bahasa yang dipakainya dalam kaitan dengan konteks budaya seperti sistem ekonomi suku tribal, organisasi sosial, pola kekerabatan, siklus musim, konsep waktu dan ruang (lihat Kramsch 1998: 26). Fenomena budaya antara suatu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya sudah tentu tidak sama. Keunikan dan kekhasan lokal adalah hal yang mewarnai setiap budaya. Keunikan dan kekhasan dimaksud tentu saja akan berimplikasi pula kepada bahasa karena bahasa adalah bagian dari budaya. Suku Minangkabau, sebagai contoh, menganut filosofi alam terkembang jadi guru (Navis 1984). Sebagian besar ajaran, ibarat dan perumpamaan yang bahkan dijadikan pedoman hidup bersumberkan dari alam. Fenomena seperti itu tentu juga ditemukan pada suku bangsa lainnya. Inilah yang akan dibicarakan pada tulisan ini.
2. FILOSOFI “ALAM TERKEMBANG JADI GURU” LINTAS BAHASA Bahasa tidaklah bersifat otonom sama sekali. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga merupakan alat untuk LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
mengekspresikan dan menampilkan makna-makna budaya yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Penutur setiap bahasa mengungkapkan gagasannya dengan cara yang berbeda sehingga cara seperti itu dapat membentuk model-model budaya yang mengandung nilai-nilai yang bersifat universal. Bahasa adalah bagian dari budaya (lihat Anwar, 1990). Keduanya dapat diibaratkan dengan mata uang dengan kedua sisinya. Di samping itu, bahasa mengkategorisasi realitas budaya (Duranti 1997: 25; Foley 1997: 16). Oleh sebab itu, bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu masyarakat. Model budaya dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Bahasa sangat berperan untuk itu. Sebagai contoh, model budaya dapat diungkapkan secara eksplisit melalui ungkapan-ungkapan yang dimiliki oleh suatu etnis (Bonvillain 1997: 48). Untuk hal yang sama, Minangkabau memiliki pepatah-petitih, mamangan, dan bidal. Dalam budaya Inggris, fenomena seperti itu juga ditemukan. Aneka nilai dan makna budaya yang menjadi pedoman bagi suatu suku bangsa dapat dicermati melalui ungkapan itu. (1)
BING
The early bird cathes the worm ‘burung yang bangun lebih dahululah yang akan mendapatkan cacing’ (DT- Bonvillain 1997)
Ungkapan di atas, tidak hanya memiliki makna secara semantis (surface meaning) tetapi juga memiliki makna terdalam (deep meaning) yang mencerminkan sikap dan etos kerja masyarakat penutur bahasa Inggris. Ungkapan itu mengimplikasikan bahwa siapa yang bekerja lebih giat dialah yang akan berhasil dan siapa yang pemalas akan ketinggalan. Eksistensi ungkapan itu
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 54 ❏ Oktavianus erat kaitannya dengan konteks budaya yang berlaku di tengah-tengah masyarakat penutur asli bahasa Inggris. Di Amerika Serikat, sebagai contoh, sistem pendidikan dan peran pemerintah sangat mendorong masyarakatnya untuk senantiasa meningkatkan perekonomian. Mempertahankan prestise sebagai warga negara maju, keinginan untuk senantiasa membuat inovasi-inovasi baru menjadikan setiap orang berkompetisi sehingga ungkapan the early bird catches the worm menjadi slogan yang mereka pakai. Di samping itu, sebagian besar orang Amerika lebih memilih menjadi pengelola usahanya sendiri (Stevenson 1989: 58). Ini merupakan cerminan dari budaya mandiri mereka. Bahasa Minangkabau juga memiliki ungkapan yang hampir senada dengan ungkapan dalam bahasa Inggris sebagaimana dikemukakan di atas. Hal itu dapat dicermati pada contoh berikut. (2)
BM
Sia nan jago siang, rasaki dicotok murai ‘siapa yang bangun kesiangan rezekinya dipatuk murai’
Sama seperti ungkapan dalam bahasa Inggris, ungkapan (2) tidak hanya mengandung makna pada tataran semantis, tetapi juga mengandung makna terdalam yaitu cerminan sikap, perilaku, dan etos kerja masyarakat Minangkabau. Seperti halnya suku-suku bangsa lainnya, orang Minangkabau sangat mempedulikan perekonomiannya. Merantau yang merupakan trend bagi sebagian besar orang Minang tidak hanya untuk keperluan mencari pengalaman, tetapi juga demi alasan ekonomi yang dikenal dengan slogan mancarian paruik nan indak barisi, pungguang nan indak basaok. Berdagang yang dikenal dengan istilah manggaleh dalam bahasa Minangkabau menjadi pilihan utama. Rumah makan Minang (yang terkenal dengan istilah Rumah Makan Padang) ditemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia dan bahkan sampai ke luar negeri. Pada ungkapan di atas, bahasa Minangkabau menggunakan burung murai sebagai sumber inspirasi, sedangkan bahasa Inggris hanya menyebutkan bird ‘burung’. Secara leksikon, bird ‘burung’ mengacu pada burung secara umum. Bahasa Inggris tidak menyebutkan jenis burung secara khusus sehingga tidak jelas jenis burung apa yang dimaksudkan pada konteks yang demikian. Fenomena lainnya dapat dicermati pada pertuturan berikut. Keduanya menggunakan sumber inspirasi yang berbeda untuk menyatakan maksud yang hampir sama, tetapi tetap bersumberkan dari alam. LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya (3)
BM
BING
Bungo ndak satangkai kumbang ndak saikua ‘bunga tidak setangkai kumbang tidak seekor’ There are more fish in the sea ‘banyak ikan di laut’ (DT- Fanany 2003)
Melalui pencermatan terhadap implikatur percakapan, ungkapan (3) memiliki makna yang berisi nasihat untuk tidak putus asa dalam memilih pasangan atau jodoh. Dalam bahasa Minangkabau, bungo ’bunga’ menjadi lambang kias untuk wanita, sedangkan kumbang menjadi lambang kias untuk laki-laki. Dalam bahasa Inggris, ikan menjadi lambang kias baik untuk laki-laki maupun wanita. Keberadaan kedua ungkapan di atas menggambarkan lingkungan fisik yang tidak persis sama antara penutur bahasa Minangkabau dan penutur bahasa Inggris. Minangkabau berada di kawasan tropis yang kaya dengan tumbuhan, sedangkan penutur bahasa Inggris tinggal di kawan yang terkenal dengan perbedaan musimnya. Penggunaan ikan dalam ungkapan di atas diperkirakan selain dari kedekatan dengan laut juga disebabkan oleh familiaritas mereka dengan ikan sebagai bagian dari makanan sehari-hari. Selain dari model ungkapan di atas, ungkapan berikut memberikan fenomena tersendiri bagi keberadaan bahasa Minangkabau dan bahasa Inggris. Keduanya juga memiliki makna yang sama, tetapi menggunakan sumber inspirasi yang berbeda. Yang menarik sumber inspirasinya tetap mengacu ke alam sehingga filosofi alam terkembang jadi guru berlaku, baik bagi budaya Inggris maupun budaya Minangkabau. (4)
BM
BING
Aia cucuran atok jatuahnyo ka palimbahan juo ‘air tuturan atap jatuhnya ke pelimbahan jua’ The apple does not fall from the tree ‘apel tidak jatuh dari kayu’ (DT- Fanany 2003)
Ungkapan di atas mendeskripsikan bahwa sikap, watak, dan perilaku seorang anak turun dari orang tuanya. Walaupun tidak sepenuhnya berlaku, jika seorang bapak pintar, anaknya seharusnya pintar pula. Jika seorang bapak pemalas, anaknya akan pemalas pula. Bahasa Minangkabau mengambil perumpamaan dari air cucuran yang jatuh dari atap, sedangkan bahasa Inggris mengambil perumpamaan dari buah apel. Buah apel dideskripsikan tidak jatuh dari pohon kayu, tetapi jatuh dari pohon apel itu sendiri. Dalam bahasa Minangkabau, air yang jatuh dari cucuran atap merupakan lambang kias bagi anak,
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 55 Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
❏ Oktavianus sedangkan pelimbahan menjadi lambang kias untuk orang tua. Dalam bahasa Inggris, apel menjadi lambang kias bagi anak, sedangkan pohon apel menjadi lambang kias bagi orang tua. Berikut adalah ungkapan dengan makna yang sama dengan ungkapan di atas. (4a)
BM
Kok kuriak induaknyo, rintiak anaknyo ‘kalau kurik induknya, burik anaknya’ (DT-AKU 2002)
Ungkapan (4a) diderivasi dari proses beternak ayam atau itik. Jika seekor induk ayam berwarna kurik, anaknya setidak-tidaknya berbulu rintik ‘burik’. Fenomena seperti ini menunjukkan adanya pewarisan sifat dan perilaku induk kepada anaknya. Ungkapan (1)-(4a) menggambarkan dua bahasa yang berbeda menampilkan makna dan nilai budaya dengan cara yang tidak persis sama. Makna dan nilai budaya yang demikian dapat dijadikan pedoman bagi penutur masing-masing bahasa. Di samping itu, masing-masing model budaya itu menampilkan nilai-nilai universal dan nilai-nilai yang bersifat spesifik yang merupakan cerminan sikap, sudut pandang, dan keyakinan yang dianut. Selanjutnya, nilai budaya bahkan cenderung pula secara implisit diungkapkan atau terefleksikan melalui interaksi dan komunikasi sehari-hari. Kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi memiliki banyak lapis makna yang mengacu ke objek, peristiwa, dan hal-hal yang bersifat simbolik-metaforik. Oleh sebab itu, model-model budaya dan makna budaya membentuk suatu worldview yang unik yang dimiliki oleh setiap penutur bahasa. Fenomena seperti ini dimungkinkan terjadi karena setiap individu atau kelompok mengungkapkan ide atau gagasan dengan caranya masing-masing karena bahasanya menfasilitasi hal yang demikian. Inilah yang kemudian melahirkan konsep relativitas bahasa yang dikenal dengan hipotesis SapirWhorf. Dunia realitas ada dan tumbuh dalam suatu konteks makna budaya dan perilaku sosial yang bisa diidentifikasi (Bonvillain 1997). Sapir (dalam Hymes 1964: 128) bahkan juga mengatakan bahwa semua pengalaman manusia dimediasi melalui budaya dan bahasa. Dengan demikian, nilai budaya yang dimiliki oleh suatu etnis dapat ditelusuri melalui berbagai bentuk lingualnya. Bentuk-bentuk lingual itu dikemas sedemikian rupa sehingga tampil dengan varianvarian yang mencerminkan kedinamisan budaya yang sekaligus merupakan cerminan kedinamisan masyarakatnya dan cara pandang masyarakat itu terhadap dunia realitas.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
2.1 Kearifan dan Kehati-hatian Di Minangkabau, ada istilah raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, baso-basi ‘basa-basi’, tau mambaco nan ndak tampak ‘memahami sesuatu yang implisit’ dan paham di eriang jo gendiang ‘mengerti dengan ereng dan gendeng’. Raso jo pareso adalah pertimbangan antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan dalam berinteraksi dengan orang lain (lihat Usman 2002: 467). Basobasi terkait dengan sopan santun dalam bertindak dan berperilaku. Ungkapan idiomatis itu merupakan refleksi dari sifat arif dan bijak. Sikap seperti ini biasanya menimbulkan rasa simpati dan apresiasi dari kelompok lain. Dalam berinteraksi sikap seperti ini menjadikan seseorang dihargai dan sebagai panutan. Dalam hal kearifan, ungkapan pada pertuturan berikut menggambarkan citra positif. (5)
Maadoi inyo bak maelo jalo di aia, raso ka tagang dikanduakan. Raso ka kandua ditagangkan. Tagang bandantiang indak putuih. Kandua manjelo indak kusuik. ‘menghadapi dia sebaiknya bak menghela jala dalam air, jika terasa tegang dikendurkan tegang berdenting tidak putus, kendur berjela tidak kusut’ (DT-KPS 1999)
Kearifan seseorang diibaratkan dengan menarik jala di dalam air yang dilakukan dengan hati-hati agar jala tidak robek atau putus. Sumber inspirasi ungkapan adalah proses menarik jala dari air. Penggunaan sumber inpirasi ini sebagai pembentuk ungkapan menggambarkan lingkungan fisik yang ada di Minangkabau seperti sungai dan danau. Dari sungai dan danau inilah orang menangkap ikan sebagai mata pencarian mereka. Jala lebih cenderung dipakai untuk menangkap ikan di sungai atau batang air. Pengalaman penutur bahasa Minangkabau dalam menangkap ikan dengan jala yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari membuat mereka melahirkan ungkapan di atas. Orang yang sudah terbiasa menjala mengetahui dengan persis cara menghela jala yang masih terbenam dalam air sehingga jala tidak putus dan ikan juga tidak lepas. Pada konteks tertentu, fenomena seperti ini dikiaskan kepada seseorang terutama yang memiliki kedudukan sedikit lebih tinggi di tengahtengah masyarakat yang disebut dengan ungkapan berikut. (6)
Ditinggian sarantiang didauluan salangkah ‘ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah’ (DT-KPS 1999)
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 56 ❏ Oktavianus Seseorang yang berkedudukan sebagai pemimpin suatu organisasi, ninik mamak, penghulu, kepala rumah tangga dituntut bersikap hati-hati dan arif dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dialami oleh konstituennya. Kehati-hatian dan kearifan itu diibaratkan dengan menghela jala dalam air. Jika tidak hati-hati, jala bisa putus atau rusak. Cara seperti itu dilakukan agar konstituennya tidak tercerai-berai. Dengan demikian, orang berperilaku seperti ini dicitrapositifkan oleh para konstituennya. Untuk konsep kearifan, bahasa Inggris memiliki kata wise yang oleh Hornby (1985: 987) dikonotasikan dengan showing experience, knowledge, good judgement, and prudence. Konsep kearifan ini juga ditemukan dalam ungkapan. Berikut beberapa contoh. (7)
a. b.
Look before you leap Out of fryingpan into fire
Kedua ungkapan di atas menggambarkan suatu situasi atau keadaan yaitu (a) sikap kehatihatian dan (b) kesulitan ganda. Di samping berisi peringatan, keduanya sebenarnya juga mencerminkan nilai kearifan. Dalam suatu konteks pertuturan, kedua ungkapan di atas dapat muncul dengan konstruksi yang lebih lengkap sehingga peringatan dan nilai kearifan yang terkandung dalam ungkapan itu dicermati dengan mudah. Hal dapat dilihat pada contoh berikut. (7)
c. d.
Look before you leap [to avoid trobles] Out of fryingpan into fire [so be careful]
Bila dicermati, kedua ungkapan di atas hampir setara pula dengan ungkapan Minangkabau berikut. (7e) (7f)
(7g)
Bajalan salangkah maadok suruik ‘melakukan sesuatu dengan hati-hati’ Lapeh dari muluik rimau masuak ka muluik buayo ‘lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya’ Sudah jatuah diimpok janjang ‘sudah jatuh ditimpa tangga’
Nilai kearifan dan kehati-hatian dalam ungkapan di atas memang tidak disampaikan secara eksplisit. Situasi yang digambarkan oleh ungkapan itu sebenarnya secara tidak langsung membawa dan berisi pesan kearifan dan kehatihatian kepada penuturnya. Jadi, makna dan nilai ungkapan itu dipahami secara terbalik. Konsep lainnya yang juga terkait dengan kearifan adalah raso dan pareso. Dalam bahasa Minangkabau ada ungkapan, raso dibao naiak dan LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya pareso dibao turun. Konsep ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang diperbuat dan diperkatakan harus dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu agar tidak menimbulkan efek negatif (lihat Hakimy, 1977). Konsep raso dan pareso erat kaitannya dengan suatu keyakinan untuk senantiasa menjaga hubungan sosial antarsesama. Ungkapan seperti lamak di awak katuju di urang; dan penggunaan istilah urang awak, dun (sanak), adalah bentuk-bentuk lingual yang mencerminkan pentingnya hubungan sosial bagi masyarakat Minangkabau. Pentingnya raso jo pareso dalam masyarakat Minangkabau diungkapkan pula melalui pantun ibarat berikut. (8)
Rarak kalikih dek bindalu ‘lerak kelikis karena benalu Tumbuah sarumpun di tapi tabek ’tumbuh serumpun di tepi tebat’ Kok abih raso jo malu ’kalau habis rasa dengan malu’ Bak kayu lungga pangabek ’bak kayu longgar pengikat’ (DT-KPS 1999)
Seseorang yang tidak memiliki raso ‘rasa’ diibaratkan dengan kayu yang longgar pengikat. Jika kayu longgar pengikat, sangat susah membawanya. Jika dipikul kayu itu berserakan satu sama lain dan mendatangkan kesusahan kepada orang yang membawanya. Ungkapan ini diperkirakan muncul dari pengalaman penutur dalam proses mencari kayu api di rimba sehingga seseorang mengalami sendiri bagaimana susahnya membawa kayu api yang longgar pengikat. Kayu itu berserakan sepanjang jalan. Pengalaman seperti inilah yang menjadi penyebab munculnya ungkapan di atas. 2.2 Sopan Santun Selain dari raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, basobasi ‘basa-basi’ adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam bertindak dan bertutur. Konsep baso-basi di Minangkabau hampir setara dengan phatic communion dalam budaya Inggris. Basobasi merupakan adat sopan santun dalam pergaulan antarindividu dan masyarakat. Baso-basi bahkan dianggap sebagai pakaian dan dijadikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks tertentu, dalam ritual-ritual tertentu, jika seseorang diberikan suatu tugas yang ia sendiri memang memiliki keterampilan atau keahlian tentang itu, ungkapan berikut sering digunakan untuk membuka pembicaraan.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 57 Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
❏ Oktavianus (9)
Darah nan baru satampuak pinang, ‘darah yang baru setampuk pinang’ umua nan baru sataun jaguang. ’umur yang baru setahun jagung’ Kok salah kami tolong ditunjuki, ’kalau salah kami tolong ditunjuki’ kok tagamang tolong dipapah. ’kalau tergamang, tolong dipapah’ Kami ketek mudo matah, ’kami masih muda’ aka singkek pangalaman jauh sakali. ‘pengalaman masih sedikit’ (DL-K.13, 2004)
Ungkapan darah nan baru satampuak pinang, umua nan baru sataun jaguang ‘darah baru setampuk pinang, umur baru setahun jagung’ tidak hanya mengandung makna pada tataran semantis tetapi lebih dari itu, ungkapan tersebut mencerminkan baso-basi penuturnya yang tidak menonjolkan diri sama sekali. Ungkapan darah nan baru satampuak pinang ‘darah baru setampuk pinang’ mengandung pengertian bahwa darahnya masih setetes kecil dan belum berpengalaman karena masih muda. Kemudaan dan belum berpengalaman juga disimbolkan dengan ungkapan umua baru sataun jaguang ‘umur baru setahun jagung’. Setahun jagung memiliki rentang waktu lebih kurang tiga bulan. Penggunaan leksikon pinang, jaguang dan pengalaman penuturnya tentang pinang dan jaguang memberikan gambaran lingkungan pertanian yang ada di Minangkabau. Pinang dan jaguang merupakan dua komoditas penting di Minangkabau. Pinang, sebagai contoh, tidak hanya memiliki fungsi ekonomis, tetapi juga digunakan dalam aktivitas budaya dengan beragam makna simbolik. Ungkapan ini juga ditopang oleh ungkapan dengan makna yang hampir sama seperti berikut. (10)
Mandi di ilia-ilia, manyauak di bawahbawah, ‘mandi di hilir-hilir, menyauk (air) di bawah-bawah’ lawik sati rantau batuah, capek kaki kok talangkahan, ‘lautan sakti rantau bertuah, cepat kaki kalau terlangkahkan’ ringan tangan kok tajangkauan. ‘ringan tangan kalau terjangkaukan’ (DL-K.13, 2004)
Ungkapan di atas mengisyaratkan kepada seseorang atau individu dalam masyarakat untuk menahan diri dan tidak terlalu cepat mengambil tindakan. Bertindak yang terlalu cepat dan tidak dipikirkan secara matang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Perilaku seperti ini digambarkan pula oleh ungkapan berikut.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
(11)
Capek cotok, bangkak paruah terlalu cepat mengambil berakibat buruk’ (DL-L.50, 2004)
keputusan,
Ungkapan di atas masih merupakan ungkapan yang mengandung nilai-nilai yang dapat dipedomani terutama sekali dalam rangka mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam masyarakat Minangkabau, pelanggaran terhadap tatanan sosiokultural seperti sikap arif, raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, basobasi ‘basa-basi menjadikan orang-orang yang bersikap dan berperilaku demikian terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Di Flores Timur, Kewoko ‘nenek moyang’ menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran adat (Vatter, 1984: 94-95). Di Minangkabau, orang yang tidak memiliki raso jo pareso dan baso-basi juga mendapat sangsi sosial yang dicemooh dengan ungkapan berikut. (12)
Indak tau atah takunyah ‘tidak tahu di antah terkunyah’ Indak tau di ampek ‘tidak tahu di yang empat’ (DL-K.13, 2004)
Untuk konsep sopan santun sebagaimana dikemukakan di atas, bahasa Inggris memiliki istilah politeness. Konsep ini juga diidentikkan dengan indirectenss. Di samping itu, bahasa Inggris memiliki istilah request dan polite request. Ungkapan berikut digunakan untuk menyatakan kesopanan dalam bahasa Inggris. (13)
Would you mind opening the window? Perhaps you would like to help me with this luggage (Hornby 1975: 197)
Menarik membandingkan ungkapan (9) dalam bahasa Minangkabau dengan ungkapan (13) dalam bahasa Inggris. Nilai kesopanan pada ungkapan (9) dinyatakan dengan merendahkan diri di pihak penutur yaitu dengan mendeskripsikan kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Nilai kesopanan pada ungkapan (13) ditunjukkan dengan memberikan penghormatan dan keuntungan kepada lawan tutur melalui penggunaan would you mind dan perhaps you’d like. Dengan demikian, kesantunan dalam berbahasa diwujudkan dengan menempatkan kerugian di pihak penutur dan keuntungan di pihak lawan tutur. Dalam hal bersopan santun, ada kecenderungan orang Amerika suka dipuji, sedangkan orang Perancis kurang suka dipuji karena hal itu dianggap mencampuri urusan pribadi (privacy). Kramsch (1998: 7) memberikan contoh sebagai berikut.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 58 ❏ Oktavianus (13a)
Amerika A: I like your sweater! B: Oh, thank you!
(13b)
Perancis A: I like your sweater! B: Oh, really ? It’s already quite old!
Kedua ujaran di atas mencerminkan perbedaan persepsi dan keyakinan antara dua budaya tentang hal puji-memuji. Bercermin kepada contoh di atas, rata-rata orang Minangkabau juga kurang suka dipuji. Hal itu paling tidak dapat pula dicermati dari dialog berikut. (13c)
Minangkabau A: Onde lah sudah se rumah ibuk. Bilo pulo awak ka dapek co iko! B: Antahlah. Jo pitih bautang
Pada ungkapan di atas, A memuji rumah temannya yang sudah siap, sedangkan B memberikan respons bahwa rumah itu disiapkan dengan uang yang dihutang walaupun sebenarnya rumah itu dibangun dengan uangnya sendiri. Di Minangkabau sendiri ada istilah manyuruakan kuku (Oktavianus 2002, 2003). Artinya, ada kecenderungan tidak suka menonjolkan diri. Walaupun orang Perancis dan orang Minang samasama tidak suka dipuji, tetapi implikasinya tetap tidak sama. Orang Perancis tidak suka dipuji karena pujian dianggap mencampuri urusan pribadi seseorang. Orang Minang tidak suka dipuji karena orang yang suka dipuji dicitranegatifkan. Namun, orang Inggris yang suka menerima pujian tidak pula berarti mereka dicitranegatifkan. Senang dipuji mengandung pesan bahwa segala sesuatu pencapaian mereka ingin mendapat pengakuan dari pihak lain. 2.3 Kewaspadaan Seseorang juga tidak dapat terlalu berbuat baik kepada orang lain karena hal itu bisa berakibat buruk. Seseorang bisa menjadi tersinggung karena merasa terlalu dibantu oleh pihak lain padahal dia sendiri merasa mampu untuk berbuat terhadap dirinya. Fenomena seperti itu dapat dicermati pada ungkapan berikut. (14)
Malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio, babuek baiak pado-padoi, babuek buruak sakali jaan ‘melebihi ancak-ancak, mengurangi sia-sia, berbuat baik pada-padai, berbuat buruk sekali jangan’ (DL-K.13, 2004)
Melebihi dan mengurangi sesuatu, baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak, hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya karena hal ini bisa berakibat buruk. Dalam kehidupan sehari-hari, perbuatan baik yang tidak pada tempatnya bisa memberikan kesan negatif. Salah penafsiran adalah hal yang lazim terjadi dalam suatu interaksi. Ini disebabkan antara lain oleh perbedaan cara berpikir penutur setiap bahasa (Wierzbicka 1992: 3). Melakukan suatu pekerjaan yang tidak baik adalah sesuatu pekerjaan yang sudah barang tentu memang harus dihindari. Dengan demikian, kehati-hatian dalam bertutur dan bertindak adalah sesuatu hal yang diperlukan. Orang yang hati-hati adalah orang yang mempertimbangkan segala sesuatu secara matang. Melalui cara seperti inilah ia membentuk pencitraan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Filosofi yang terkandung dalam ungkapan berikut lahir dari sikap hati-hati, rasa solidaritas dan motivasi berusaha. (15)
Bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, anak kamanakan sanang santoso ‘bumi senang padi berlimpah, padi masak jagung mengumpil ternak berkembang biak, anak kemenakan senang sentosa’ (DL-K.13, 2004)
Ungkapan-ungkapan pada ujaran di atas merupakan lambang kemakmuran dan kesentosaan dalam kehidupan bermasyarakat dalam budaya Minangkabau. Dari ujaran itu, padi yang berlimpah atau tumbuh subur, jagung yang mengumpil dan ternak yang berkembang biak dapat menciptakan bumi yang damai dan penuh kerukunan. Kondisi seperti ini membentuk masyarakat yang sentosa dan nyaman dalam kehidupannya. Kesentosaan dan kenyamanan tercermin dari bentuk lingual padi, jagung, dan kesuburan tanah tempat tumbuh padi dan jagung itu. Ketiganya adalah lambang kemakmuran. Fenomena yang hampir sama ternyata juga ditemukan dalam budaya masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam budaya masyarakat ini, beras, ikan, dan tanah tempat tumbuhnya padi adalah simbol kesetiaan, kerukunan, kesuburan, dan keteguhan dalam perkawinan (Hiddin dalam Purwo 1999). Selanjutnya, kewaspadaan identik dengan kehati-hatian. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi sikap hati-hati dapat menguntungkan kedua belah pihak. Penutur dapat menjaga harga dirinya, sedangkan mitra tutur tidak merasa dipermalukan. Ini tampaknya juga sejalan dengan teori Face Threatening Act (FTA) yang diistilahkan dengan Teori Menjaga Perasaan (Wijana 2004) sehingga muka partisipan dalam pertuturan terselamatkan. Dengan kata lain, harga diri (self-esteem) partisipan tetap terjaga. Fenomena seperti itu dapat dicermati pada ujaran berikut.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
❏ Oktavianus (16)
A B
Iyo lah rumik awak maagak-agaki anak urang ko ‘sulit kita menghadapinya’ Ndak baa rasonyo do. Masuki juolah. Tapi ati-ati. Bak maelo abuak dalam tapuang ‘tidak apa-apa rasanya. Nasihati jugalah. Tetapi hati-hati. Bak menghela rambut dalam tepung’ (DL-K.13, 2004)
Ungkapan yang menyatakan kehati-hatian pada ujaran di atas adalah bak maelo abuak dalam tapuang ‘bak menghela rambut dalam tepung’. Ungkapan ini biasanya memiliki tambahan di belakangnya yaitu abuak ndak putuih tapuang ndak taserak ‘rambut tidak putus dan tepung tidak tumpah’. Makna yang terkandung pada ungkapan seperti ini biasanya diterapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang bila tidak cermat bisa berakhir dengan kefatalan. Pada pertuturan di atas, A mengeluhkan persoalan yang dihadapi C. B menyarankan kepada A untuk menyelesaikan persoalan itu dengan hati-hati ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung tidak tumpah. Pekerjaan ini agak sulit untuk dilakukan karena rambut begitu halus dan mudah putus sehingga orang harus berhati-hati. Rambut yang putus dan tepung yang tumpah dikiaskan kepada dampak yang timbul dari ketidakhati-hatian itu. Sebagai contoh, dalam suatu keluarga, karena sesuatu dan lain hal, suami bisa menjadi tersinggung dan meninggalkan istrinya. Tidak jarang istri yang ditinggalkan menjadi menderita. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam bertindak dan berkata menjadi penting. Kehati-hatian juga berkolokasi dengan kewaspadaan. Keduanya saling melengkapi. Orang yang hati-hati dalam bertindak biasanya memiliki kewaspadaan demikian pula sebaliknya. Seperti halnya kehati-hatian, kewaspadaan juga membentuk pencitraan diri seseorang. Kewaspadaan digambarkan melalui ungkapan berikut. (17)
Maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun luluh, ‘Memintas sebelum hanyut, melantai sebelum lulus (ke dalam kandang), Ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih, ‘Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis’ Sio-sio utang tumbuah, bakato siang caliak-caliak, Sia-sia hutang tumbuh, berkata siang hari lihat-lihat (orang datang) Bakato malam danga-dangaan. Berkata malam hari didengar-dengarkan (orang lewat) (DL-K.13, 2004)
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 59 Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya Ujaran di atas secara keseluruhan mengandung filosofi yang mengisyaratkan kewaspadaan yang seharusnya dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat. Sikap waspada selain membangun citra diri seseorang dalam suatu masyarakat juga dapat membangun integrasi sosial antara satu individu dengan individu lainnya sehingga terhindar dari berbagai bentuk pertentangan yang berakibat negatif. Ungkapan maminteh sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’ merupakan ungkapan yang dapat diprediksi bersumber dari aktivitas menyeberangi sungai di berbagai wilayah di Minangkabau untuk berbagai keperluan. Maminteh sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’ secara literal mewaspadai dan mempersiapkan sesuatu untuk mengatasi supaya jangan jatuh ke sungai dan hanyut. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun jembatan atau menyediakan aneka sarana penyeberangan. Ungkapan itu mengandung makna kias yang mengisyaratkan agar orang berhati-hati dalam berbagai aspek kehidupan agar tidak terjerumus. Hanyut menjadi lambang kias bagi setiap kajadian negatif yang dialami seseorang. Dengan demikian, hanyut berkonotasi dengan kerugian dalam berbisnis, kegagalan dalam menghadapi ujian, dan kecelakaan dalam berkendaraan. Ungkapan malantai sabalun luluh ‘melantai sebelum terjerembab ke dalam kandang’ merupakan ungkapan yang bersumber dari konstruksi rumah orang Minangkabau. Pada umumnya rumah tempat tinggal orang Minangkabau pada masa dahulu dan sebagiannya pada masa sekarang terbuat dari kayu. Rumah itu berlantai kayu yang ketinggian lantai dari tanah kira-kira satu meter. Di bawah lantai itu terdapat ruangan yang disebut kandang. Kandang ini biasanya didiami oleh ayam dan itik. Karena lantai rumah berjarak kira-kira satu meter dari tanah, untuk menaiki rumah harus pakai jenjang. Karena berbagai faktor lantai rumah bisa menjadi lapuk atau ada bagian yang sama sekali belum dilantai sehingga penghuni rumah atau orang yang berada di lantai yang sudah lapuk atau di bagian yang belum berlantai terjerembab ke dalam kandang. Dari sinilah lahirnya ungkapan malantai sabalun luluh ‘melantai sebelum lulus’. Ungkapan ini memiliki makna kias yang sama dengan maminteh sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’. Luluh ‘terjerambab masuk kandang’ menjadi lambang kias untuk setiap peristiwa negatif yang dialami seseorang. Luluh yang dalam bahasa Minangkabau standar diucapkan luluih berkonotasi dengan kerugian dalam berbisnis, kegagalan dalam berusaha, dan berbagai bentuk penderitaan atau kerugian yang dialami.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 60 ❏ Oktavianus Selanjutnya, ungkapan ingek sabalun kanai ‘ingat sebelum kena’ merupakan ungkapan yang berisi peringatan agar waspada dalam berbagai hal. Melalui teknik parafrase yang dikemukakan oleh Wierzbicka (1996) kanai ‘kena’ secara leksikon dapat diartikan tertimpa atau menderita sesuatu kerugian dan kesusahan akibat suatu perbuatan. Jadi, ungkapan ingek sabalun kanai ‘ingat sebelum kena’ dapat diberlakukan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Ungkapan ini sejalan dengan kulimek sabalun abih ‘berhemat sebelum habis’. Ungkapan ini memberikan isyarat agar orang tidak boros sehingga dia tidak mengalami kesusahan pada hari-hari berikutnya. Ungkapan ini diperkuat pula oleh ungkapan sio-sio utang tumbuah ‘sia-sia hutang tumbuh’. Artinya, orang yang tidak ingat sebelum kena dan tidak hemat sebelum segala sesuatunya habis akan berhutang. Berhutang pada konteks ini memiliki makna kias yang menunjukkan kesusahan dan penderitaan. Kesusahan dan penderitaan yang disebabkan oleh kecerobohan dan keborosan dapat menurunkan citra orang bersangkutan di mata orang lain. Ungkapan bakato siang caliak-caliak, ‘berkata siang lihat-lihat’ adalah ungkapan yang merupakan bagian dari peringatan bagi kewaspadaan dalam berbicara. Ungkapan ini juga merupakan refleksi budaya Minangkabau. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa jika membicarakan sesuatu atau seseorang di siang hari, yang berbicara harus melihat kiri-kanan dan muka belakang jika persoalan yang dibicarakan menyangkut seseorang. Ini dilakukan agar orang yang menjadi sasaran pembicaraan tidak merasa dipermalukan. Ungkapan bakato malam danga-dangaan ‘berkata malam dengar-dengarkan’ mengandung pengertian yang hampir sama dengan ungkapan di atas, tetapi konteks pertuturannya tidak sama. Ungkapan ini lahir dari kondisi Minangkabau yang belum memiliki penerangan yang memadai dan kondisi pemukiman di lereng-lereng bukit dan di perkampungan. Jika membicarakan sesuatu di malam hari, apalagi jika membicarakan seseorang, orang harus mewaspadai kalau ada orang yang menguping di balik dinding. Hal ini penting diwaspadai karena beberapa alasan. Pertama, kewaspadaan pada konteks ini dilakukan untuk menjaga harga diri kedua belah pihak. Kedua, kewaspadaan ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan apa yang dibicarakan terutama jika hal itu menyangkut hal-hal yang dianggap rahasia dan sensitif. Yang menarik untuk dicermati adalah fakta bahwa untuk menyamarkan isi pembicaraan pada saat berbicara di siang dan malam hari, bertutur berkias menjadi pilihan. Penggunaan pronomina yang mengarah ke orang-orang tertentu biasanya dihindari. Berikut ini adalah penggalan pertuturan dalam perundingan menjelang pernikahan. LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya (18)
...karano kumbang di sinan, bungo di kami. Nan kumbang jo bungo amuah sasuai... ’karena kumbang di sana, bungo di kami kumbang dan bunga tampaknya bisa serasi’ (DL-LA, 2004)
Jika ungkapan di atas didengar oleh orang lain secara diam-diam, ia kesulitan mengidentifikasi isi pembicaraan. Seandainya orang lain berhasil mengidentifikasi topik pembicaraan, ia tetap saja tidak bisa mengetahui dengan tepat makna simbolik kumbang dan bunga. Penyamaran substansi pembicaraan dilakukan agar segala sesuatu yang dibicarakan tidak dicelakai oleh pihak lain yang merasa tidak senang. Dalam hal perkawinan, sebagai contoh, orang yang merasa tidak senang bisa mengguna-gunai pasangan yang menikah. Di Minangkabau, ada istilah kabaji ‘kebaji’ yaitu sejenis guna-guna yang bisa merusak perkawinan dan pasangan suami istri bercerai satu sama lain. Untuk menghindari hal yang demikian, perundingan dilakukan dengan hati-hati. Pada umumnya pembicaraan menggunakan bahasa kias sehingga orang lain sulit mengidentifikasi isi pembicaraan. Makna-makna yang diungkapkan tersembunyi di balik lambang kias. Seperti halnya bahasa Minangkabau, konsep kewaspadaan juga ditemukan dalam bahasa Inggris. Berikut adalah beberapa contoh. (19) (20) (21)
Make hay while the sun shines ’pergunakan kesempatan sebaik-baiknya’ Haste makes waste ’terburu-buru mendatangkan kerugian’ A stitch in time saves nine ’pencegahan lebih baik daripada pengobatan’
Ungkapan (19) hampir setara dengan ungkapan sadio payung sabalun ujan ’sedia payung sebelum hujan’ dan ungkapan lainnya ingek sabalun kanai dan kulimek sabalun abih ’ingat sebelum kena dan berhemat sebelum segala sesuatunya habis. Dari ungkapan di atas, make hay ’mengumpulkan jerami’ lebih baik dilakukan ketika matahari masih bersinar (sun shines). Jadi, ada pesan kewaspadaan di dalam ungkapan itu. Ungkapan (20) hampir setara dengan ungkapan capek cotok bangkak paruah ’perbuatan tanpa pertimbangan mendatangkan kerugian’. Ungkapan ini juga membawa pesan kewaspadaan dalam berperilaku dan bertindak. Ungkapan (21) hampir setara pula dengan ungkapan sasa daulu pandapatan, sasa kudian tak baguno ’sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna’ dalam bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 61 Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
❏ Oktavianus Yang menarik dicermati dari ungkapan di atas adalah masing-masingnya tidak hanya memiliki keparalelan makna, tetapi juga keparalelan konstruksi sintaksis. Hal itu dapat dicermati pada contoh berikut. (22) (23) (24)
BING BM BING BM BING BM
Make hay while the sun shines Sadio payuang sabalun ujan Haste makes waste Capek cotok bangkak paruah A stitch in time saves nine Sasa daulu pandapatan, sasa kudian tak baguno
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa konsep kewaspadaan dan kehati-hatian dalam bahasa Minangkabau dan bahasa Inggris samasama dikemas dengan menggunakan ungkapan. 2.4 Adaptasi Seperti halnya etnis lainnya, orang Minangkabau memiliki mobilitas yang tinggi. Ini dimungkinkan terjadi karena orang Minangkabau pada dasarnya mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, kebanyakan orang Minangkabau berhasil dalam menjalankan usahanya baik di Minangkabau maupun di luar daerahnya. Ungkapan berikut mencerminkan daya adaptasi orang Minangkabau. (25)
Di ma bumi dipijak di situ langik dijujuang Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ Di ma rantiang dipatah di situ aia disauak ’Di mana ranting dipatah, di situ air disauk’ Di kandang kambiang mambebek ’Di kandang kambing mengembek’ Di kandang jawi malanguah ’Di kandang sapi melenguh’ Lawik sati, rantau batuah ’Lautan sakti, rantau bertuah’ (DL-LA, 2004)
Ungkapan di ma bumi dipijak di situ langik dijujuang ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ dan di ma rantiang dipatah di situ aia disauak ‘di mana ranting dipatah di situ air disauk’ menggambarkan daya adaptasi orang Minangkabau. Kedua bagian ungkapan di atas menyatakan bahwa jika seseorang meninggalkan daerahnya atau berada pada lingkungan yang berbeda dari tempat asalnya, ia tidak membawa langit dan tidak pula membawa air dari tempat asalnya. Kedua bagian ungkapan ini mengandung makna simbolik yang menyatakan bahwa orang Minangkabau dapat beradaptasi dengan berbagai aspek sosial budaya masyarakat di luar kulturnya sehingga tidak terjadi perbenturan budaya. Daya adaptasi juga tercermin dari ungkapan di kandang kambiang mambebek ‘di LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
kandang kambing mengembek’ dan di kandang jawi melenguh ‘di kandang sapi melenguh’. Kedua bagian ungkapan ini menyatakan bahwa jika berada pada lingkungan yang berbeda dari tempat asalnya, seseorang hendaknya menyesuaikan diri dengan adat-istiadat dan aturan yang berlaku di daerah itu. Mambebek ‘mengembek’ di kandang kambing dan malanguah ‘melenguh’ di kandang sapi menjadi simbol untuk hal yang demikian. Ungkapan-ungkapan yang telah dikemukakan di atas ditimpali pula oleh ungkapan lawik sati, rantau batuah ‘laut sakti, rantau bertuah’ yang merupakan penegasan terhadap ungkapan tersebut. Jika seseorang tidak bisa beradaptasi, ia akan menghadapi kesulitan dan resiko karena setiap daerah memiliki kesaktian dan tuahnya sendiri-sendiri. Kesaktian dan tuah yang dimiliki terletak pada adat-istiadat, aturan, dan norma yang berlaku dalam masyarakat itu. Dengan demikian, daya adaptasi yang dimiliki oleh suatu etnis sekaligus merupakan apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan yang tumbuh dan berkembang pada etnis lain yang pada akhirnya melanggengkan kebhinekatunggalikaan dalam kehidupan suatu bangsa. Oleh sebab itu, apresiasi terhadap pluralisme juga tercermin dari ungkapanungkapan Minangkabau. Fakta bahwa nilai-nilai adaptasi tumbuh dan berkembang pada masyarakat Minangkabau dapat dilihat dari perilaku merantau mereka. Orang Minangkabau yang pergi merantau tidak mendirikan perkampungan baru dan diberi identitas Minangkabau. Oleh sebab itu, orang tidak mengenal istilah kampung Minangkabau. Yang sering ditemukan hanya nama-nama restoran seperti Bundo Kanduang (Bali), Pincuran Tujuah (Jakarta), Danau Di Ateh (Lampung), dan Singgalang (Jakarta), Palito Alam (Yogyakarta). Ini dimaksudkan sebagai penjaga identitas. Pembauran di dalamnya tetap ada di mana para pengelola dan pekerja diambilkan dari penduduk daerah setempat dan tidak dibawa dari daerah asal. Di samping itu, di setiap daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri, orang Minangkabau membentuk ikataikatan tetapi mereka tetap tinggal dan hidup membaur dengan penduduk setempat. Sebagai contoh, di Bali ada IKMS (Ikatan Keluarga Minang Saiyo), Baringin di Yogyakarta dan Sapayuang di Makassar. Ikatanikatan semacam ini difokuskan kepada kegiatankegiatan sosial untuk membangun solidaritas antarsesama perantau yang ada di luar Minangkabau. Dalam bahasa Inggris, konsep adaptasi juga dinyatakan dengan ungkapan. Berikut adalah ungkapan yang mengandung nilai adaptasi dalam bahasa Inggris. (26)
Do in Rome what Romans do
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara
Halaman 62 ❏ Oktavianus Ungkapan dalam bahasa Inggris kelihatan lebih sederhana konstruksi sintaksisnya. Namun, makna yang terkandung di dalamnya hampir sama dengan ungkapan (26). Sepanjang pengamatan, ungkapan Minangkabau tampaknya lebih bervariasi dibandingkan dengan bahasa Inggris. Yang menarik di sini kedua bahasa itu masih tetap mengungkapkan maksud yang sama dengan bentuk yang hampir setara pula.
3. SIMPULAN
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya Hymes, D. 1964. Language in Culture and Society. A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper International Edition. Hornby, A.S. 1983. A Guide to Patterns and Usage in English. Oxford: Oxford University Press. Kramsch, C. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Bahasa Minangkabau dan bahasa Inggris adalah dua bahasa yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh secara geografis. Namun, kedua bahasa ini memperlihatkan kesamaan dalam menyatakan suatu konsep dan norma yang menjadi pedoman dalam kehidupan penuturnya. Persepsi, keyakinan dan sikap berkaitan dengan kearifan/kehati-hatian, sopan santun, kewaspadaan, dan adaptasi samasama diekspresikan dengan ungkapan. Oleh sebab itu, filosofi kehidupan kedua suku bangsa ini sebagiannya tersimpan di balik ungkapan yang mereka gunakan.
Navis, A.A, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau Jakarta: Grafiti Press.
DAFTAR PUSTAKA
Purwo, B.K. 1999. Sastra Lisan: Pemahaman dan Interpretasi. Jakarta: Mega Media Abadi.
Anwar, K. 1990. “Kajian Bahasa yang Berorientasi Budaya.” Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap di Bidang Linguistik pada Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Bonvillian, N. 1977. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Messages. New Jersey: Prentice-Hall.
Oktavianus, 2002. “Tindak Tutur dalam Bahasa Minangkabau: Sebuah Kajian dari Aspek Sosial Budaya”. Penelitian dengan Dana Rutin Universitas Andalas. Oktavianus, 2003. “Kiasan dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau”. Linguistika 10: 131 - 146.
Stevenson, D.K. 1989. American Life and Institution. Stuttgart: Earnst Klett Schulbuchverlage GmbH u. Co.KG. Usman, A. Kadir, 2002. Kamus Bahasa Minangkabau – Indonesia. Padang: Ang-grek Media. Vatter, E. 1984. Ata Kiwan. Ende: Nusa Indah
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. First published, Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture and Cognition. Oxford: Oxford University Press.
Fanany I. dan Rebecca F. 2003. Wisdom of the Malay Proverbs. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and Universal. Oxford: Oxford University Press.
Foley, W. A. 1997. Antrophological Linguistics: An Introduction. Blackwell. Hakimy, I. 1997. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Bandung: Remaja Rosda Karya.
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Wijana, I Dewa Putu, 2004. “Teori Kesantunan dan Humor”. Makalah pada Seminar Nasional Semantik III di Universitas Sebelas Maret. Wijana, I Dewa Putu. 1996. “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia.” Prisma, Tahun XXV,1.
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara