16 BAB II
KONSEP KRITISISME DALAM PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM A. Konsep Kritisisme 1. Sejarah dan perkembangan pedagogik kritis Kegagalan berbagai pemikiran seperti positivisme, kominisme, kapitalisme, telah melahirkan alternatif pemikiran baru mengenai hakikat masyarakat, dan hakikat negara. Lahirlah pemikiran-pemikiran kritis mengenai
masalah-masalah
dari
kehidupan
manusia.1
Di
dalam
perkembangan pemikiran mengenai manusia ini, khususnya telah melahirkan pemikiran filsafat yang dikenal sebagai posmodernisme (postmodernisme). Lahirnya filsafat posmodernisme ini juga berarti munculnya pedagogik kritis, karena antara keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Namun secara umum postmodernisme dapat dirumuskan sebagai upaya kritis untuk meninjau kembali modernisme.2 Sebab lain yang berperan dalam melahirkan pedagogik kritis adalah lahirnya negara-negara baru pasca perang dunia II, pendidikan menjadi sebuah pengharapan akan kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat dalam suatu negara. Pendidikan merupakan tumpuan utama untuk mempercepat
pertumbuhan
dan
pembangunan
negara
dan
untuk
memperkecil gap dengan negara-negara maju. Salah satu program untuk mempercepat proses itu antara lain melalui program buta huruf, dari membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk pendidikan rakyat.3 Kritisisme adalah aliran yang muncul pada abad ke 18, suatu zaman baru di mana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Adalah Immmanuel Kant seorang
filosof
Jerman
mencoba
menyelesaikan
konflik
antara
rasionalisme dan empirisme tersebut. Pada mulanya ia mengikuti rasionalisme tetapi kemudian ia terpengaruh dengan empirisme, pada
1
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan,Pengantar Transformasi untuk Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2002), Hlm. 210 2 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ( Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 247 3 H.A.R. Tilaar, Op. Cit, hlm. 210
17 akhirnya ia pun mengakui kebenaran akal dan keniscayaan empirik, dan ia mengadakan sintesis dari keduanya. Walaupun semua pengetahuan bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Jadi metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.4 Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitasnya dari kehidupan dapat diterima kenyataannya. Kritiknya terhadap pengetahuan sebagai sarana mencapai kesimpulan filosofis, ditekankan oleh Kant dan diterima oleh para pengikutnya. Ada penekanan pada pikiran yang dilawankan dengan materi, yang pada akhirnya mengarah kepada penegasan bahwa hanya pikiranlah yang eksis.5 Bagi Kant, Tuhan, kebebasan, dan keabadian merupakan tiga “gagasan tentang rasio”. Rasio murni memang mendorong untuk membentuk gagasan-gagasan, namun ia tidak dengan sendirinya mampu membuktikan realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan ini memilki signifikansi praktis yaitu berkaitan dengan moral. Penggunaan rasio yang murni intelektual mengarah kepada kekeliruan, penggunaan yang benar adalah diarahkan ke tujuan moral. Penggunaan rasio ini dalam bukunya The Critique of Pure Reason, dan kemudian diperjelas dalam The Critique of Practical Reason, dia berpendapat bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni kebahagiaan yang sebanding dengan kebajikan. Dan hanya Tuhan yang bisa menjamin hal itu.6 2. Teori Sosial Kritis (Mazhab Frankfurt) Teori sosial kritis atau yang lebih dikenal sebagai mazhab Frankfurt, banyak
mempengaruhi
pedagogik
kritis
atau
sekurang-kurangnya
mempunyai kesamaan orientasi. Adapun tokoh-tokoh yang terkenal di dalam mazhab Frankfurt ini antara lain Max Horkheimer dan Theodor Wisengrund Adorno. Selanjutnya terdapat berbagai tokoh filsafat dan psikologi yang tergabung di dalam lembaga tersebut misalnya Herbert 4
Jurnal Edukasi Vol. II, No. 1, Januari 2004, hlm. 42 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat,Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 919 6 Bertrand Russel, Ibid, hlm. 926 5
18 Marcuse, Erich Fromm, dan yang sangat terkenal sampai saat ini ialah Jurgen Habermas sebagai pewaris mazhab Frankfurt.7 Karena Habermas adalah seorang filsuf Jerman terkemuka pada abad 20 dan merupakan tokoh yang sangat menonjol sebagai pewaris dari mazhab Frankfurt, ada baiknya apabila kita melihat sebentar dasar-dasar pokok dari pemikiran Habermas. Tulisan-tulisan mengenai filsafat sosial sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dan sosiologi pada masanya. Habermas menjadi seorang tokoh pengkritik sistem rasional dan tentu juga terhadap sains. Ia mengkritik mengenai proses rasionalisme yang telah melahirkan berbagai produk modernitas seperti teknologi, sains, ekonomi kapital yang keseluruhannya telah memperbudak manusia dan mengerdilkan kreativitas manusia.8 Dalam kritiknya tersebut Habermas menginginkan agar kemerdekaan dan keadilan dapat ditegakkan. Pendapat yang hampir sama dari Freire memandang pendidikan merupakan pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru.9 Sedangkan yang menarik dari teori kritis sosial mazhab Frankfurt ini yaitu mengenai pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Teori ini beranggapan bahwa apa yang disebut sebagai objektifitas ilmu-ilmu, tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan.10 Jadi ilmu pengetahuan hanya dipandang sebagai salah satu upaya dominasi dari penguasa kepada masyarakat. teori tradisional ternyata melayani kepentingan status quo yaitu untuk kelanggengan struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian objektivitas teori-teori tradisional telah menghapuskan dimensi kritis Pada perkembangan selanjutnya teori sosial kritis mengelompokkan ilmu-ilmu atas tiga kelompok11
yaitu : pertama, ilmu-ilmu empiris
analitis. Seperti ilmu-ilmu kealaman, tujuannya adalah untuk dapat mempelajari dan menguasai alam.kedua, ilmu-ilmu histories hermeneutis. Seperti limu-ilmu sejarah dan ilmu penelitian arti-arti tulisan dan dokumen 7
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosila dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformasi untuk Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm. 221 8 H.A.R. Tilaar, Ibid, hlm. 222 9 Paulo Freire, Politik Penddikan, Kebudayaan, Kekuasan dan Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 5 10 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 225 11 H.A.R. Tilaar, Ibid,
19 sejarah. Tujuannya adalah menangkap makna, kemudian mengusahakan peningkatan saling pengertian dan tujuan tindakan bersama. Dan yang ketiga, ilmu-ilmu tindakan. Seperti ekonomi, sosilogi, politik dan juga termasuk pendidikan. Tujuannya adalah untuk membantu manusia di dalam bertindak bersama. Tujuan internal dari ilmu-ilmu ini ialah pembebasan. Atau dalam pandangan Paulo Freire bahwa tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi melalui proses pembebasan.12 dari pemikiran Habermas inilah dapat kita lihat betapa filsafat kritis sosial bertitik tolak dari landasan yang sama yakni
kehidupan bersama manusia. Dalam
pemikirannya ini sebenarnya Habermas ingin mengarahkannya untuk menganalisis persyaratan-persyaratan komunikasi antar manusia yang terbuka dan terbebas dari penindasan dan pemaksaan. Sedangkan mengenai kebebasan dalam tindakan manusia ini Habermas mengemukakan adanya empat tindakan13 yaitu :
pertama, tindakan
teologis.yaitu tindakan yang didasarkan pada pengambilan keputusan. Dalam mengambil keputusan tentunya diperlukan pemahaman dan kebebasan manusia untuk mengambil keputusan dari kemungkinankemungkinan yang ada. Kedua, tindakan normatif. Yaitu tindakan yang memandang jauh ke depan, serta merupakan keputusan dari kemungkinankemungkinan yang tak lain tindakan tersebut didasarkan pada normanorma. Ketiga, tindakan drama-turgik. Tindakan ini berkenaan dengan penampilan diri seseorang di dalam kehidupan bersama. Dan yang terakhir adalah tindakan komunikatif, yaitu sebuah tindakan untuk berinteraksi dengan yang lain. Dalam tindakan ini diperlukan sebuah pemahaman atau interpretasi. Tanpa pemahaman atau interpretasi maka dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam proses interaksi. Seperti dijelaskan oleh Sunarto dalam buku Epistemologi Kiri, bahwa dalam pandangan mazhab Frankfurt teori kritis ini berurusan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk ide, melainkan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Karena itu
12 13
Paulo Freire, Op Cit, hlm. 176 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 226
20 fungsi teori kritis ini adalah emansipatoris. Teori ini mempunyai beberapa ciri14 antara lain : 1 Kritis terhadap masyarakat. mazhab Frankfurt juga mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. 2 Teori kritis berpikir secara historis dengan berpijak pada proses masyarakat yang historis. 3 Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu bentuk ideologis yang dimilki oleh struktur dasar masyarakat. itulah yang terjadi
dengan pemikiran filsafat modern. Menurut mazhab
Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus mempunyai kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi. 4 Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoretis dari rasio prkatis. Perlu dicatat bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana saja. Demikianlah uraian tentang dasar-dasar pemikiran teori kritis sosial mazhab Frankfurt yang dalam perkembangannya mempunyai dampak yang sangat besar dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, termasuk pendidikan. 3. Pengertian Konsep Kritisisme Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pendidikan kritis ini terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai pegertian dari pendidikan kritis itu sendiri. Menurut Sunarto perlu digaris bawahi bahwa teori kritis adalah sebuah
“gerakan
inteketual
yang
dilakukan
bersama-sama 15
sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah tertentu.
oleh
Teori kritis
bukanlah usaha seorang filsuf saja. Teori kritis tidak pernah mandeg. Ia mengalir dan berubah. Sejak awal teori ini berambisi untuk menjawab perkembangan sejarah aktual masa itu.
14 15
Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta : Ar-Ruzz media, 2003), hlm. 100-101 Listiyono Santoso, Ibid, hlm. 94
21 Pendidikan kritis atau berpikir kritis adalah konsep yang kaya dan bervariasi yang dikembangkan dari pemikiran orang banyak. Robert Ennis mendefinisikan : Critical thinking is reasonable reflective thinking that focused on deciding what to believe or do; berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif yang memfokuskan dalam memutuskan apa yang harus dipercayai dan apa yang harus dikerjakan.16 Dalam The Encyclopedia of Education dituliskan pula bahwa criticism is the judicious appraisal, analysis and evaluation of works created or recorded by men.17 Dan dalam kritik itu tidak selamanya negatif dan hanya mencari-cari kesalahan saja. Sedangkan dalam literatur lain dijelaskan bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh argumentasi baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi maupun tindakan seseorang atau kelompok.18 Pada dasarnya pendidikan kritis merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan19. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi merunut paham dan tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme dan dari traidis pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktur antara lain menuju masyarakat yang adil dan demokratis. Kritik mempunyai makna yang sangat beragam dan pada substansinya kritk adalah sebuah pengembangan tingkat berpikir untuk tidak mudah menerima sesuatu dan akhirnya memahami sebuah kekurangan yang harus dibenahi. Dalam perspektif pendidikan kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, tehadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Dalam hal ini tugas utama pendidikan menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta 16
D. Alan Bensley, Critical Thinking Psychology, USA ; Acid-Free Recycled Paper, 1998, sebagaimana dikutip oleh Rikza Chamami dalam, Mengeja Epistemologi Pendidikan Islam Kritis, Jurnal Edukasi, Op Cit, , hlm. 43 17 Lee C. Deighton (ed), The Encyclopedia of Education, America ; The Mac Millan Company and Free Press, tth, hlm. 303 18 Mochtar Mas’oed, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UII Press, 1997), hlm. 4 19 Mansour Fakih, dkk. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 27
22 melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial ynag lebih adil. Dengan kata lain bahwa tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Usaha untuk memanusiakan manusia tersebut tidak akan pernah tercapai manakala pendidikan yang ada masih menganggap peserta didik sebagai objek dan guru adalah subjek, atau dalam bahasa Freire disebut dengan pendidikan gaya bank. Mengenai gaya bank tersebut Freire menyusun daftar antagonismenya sebagai berikut : a. Guru mengajar, murid diajar b. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa c. Guru berpikir, murid dipikirkan d. Guru bicara, murid mendengarkan e. Guru mengatur, murid diatur f. Guru memilih dan memaksakan kehendaknya, murid menyetujui g. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. h. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran. i. Guru
mencampuradukkan
kewenangan
ilmu
pengetahuan
dan
kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan muridnya. j. Guru adalah subjek dalam proses belajar mengajar, murid adalah objek belaka.20 Konsep ini hanya akan membawa guru pada anggapan bahwa murid adalah subjek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif dan menerima apa saja yang diberikan guru. Bagi Freire, jika model pendidikan yang diterapkan seperti di atas, maka yang terjadi adalah pendidikan telah diarahkan pada proses dehumanisasi21 (menghilangkan kemampuan manusia sebagai manusia). 20
Muh dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta ; Djambatan, 2000), hlm. 48-49 Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses dominasi. Sedang pendidikan yang humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam arti yang posesif) untuk bangun dari keadaan tertindas dan terjajah. Maka jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo atau untuk merubah secara radikal (lihat 21
23 Karena sebenarnya hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran bagi manusia agar dapat mengenal realitas kehidupan ini, peka terhadap segala sesuatu yang terjadi, serta mampu melakukan dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada di sekitarnya. Dalam proses pendidikan, untuk dapat memanusiakan kembali manusia dan menghilangkan dehumanisasi hanya dapat dilalui dengan menumbuhkan kesadaran. Adapun menurut Freire mengenai kesadaran ini terbagi menjadi tiga22 kategori yaitu sebagai berkut : 1 Magic Consciousness (Kesadaran Magis) Manusia dalam tahap ini tidak bisa memahami realita dan dirinya sendiri, dia merasa bahwa semua yang terjadi adalah karena takdir dan sebagai manusia hanya bisa menjalani tanpa merasa harus dapat merubah kondisi yang dialaminya tersebut. Semua yang dia alami baik bodoh, terbelakang, tertindas dan lain-lain adalah merupakan “suratan takdir” yang tidak bisa diganggu gugat. “In magical consciousness, although men’s horizons have expanded and they respond more openly to stimuli, these responses still have a magical quality”. 23 Kesadaran ini bercirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan. Orang-orang dalam tingkat kesadaran magis juga akan berempati kepada para penindas. Mereka menunjukkan bukan hanya mengerti, tetapi juga bersimpati pada masalah-masalah yang dihadapi
penindas.
Setelah
mengetahui
penindas
mempunyai
kekuasaan yang kuat, mereka mengidentifikasi kekuasaan dengan kebaikan dan kebenaran.24
dalam Paulo Freire, “Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”), Op. Cit, hlm. 190 22 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2005), hlm. 81 23
Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, (New York ; Continuum, 1969),
hlm. 18 24 William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 66
24 2 Naival Consciousness (Kesadaran Naif) Jenis kesadaran ini sedikit di atas tingkatan magis, dalam kesadaran ini manusia sudah dapat memahami bahwa dirinya itu terbelakang, bodoh dan tertindas, dan itu adalah hal yang tak lazim bagi kemanusiaan tetapi ia belum mampu untuk membaca kondisi sosialnya,
belum
mampu
mencari
penyebab
dari
segala
keterbelakangan yang dia alami. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosialnya. 3 Critical Consciousness (Kesadaran Kritis) Ini adalah tipe kesadaran yang paling ideal diantara kesadarankesadaran yang lain. Kesadaran ini bersifat analitik dan praktis, di mana seseorang sudah mampu untuk menganalisa kondisi sosial yang terjadi mulai dari pemetaan masalah, identifikasi, serta mampu untuk menemukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia juga mampu untuk menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial. Mengenai kesadaran kritis ini Freire menjelaskannya seperti yang tertuang dalam “Education for Critical Consciousness” sebagai berikut: “The critically transitive consciousness is characterized by depth in the interpretation of problems; by the subtitution of causal prinsiples for magical explanations; by the testing of one’s “findings” and by openness to revision; by the attemp to avoid distortion when perceiving problems and to avoid preconceived notion when analizing them; by refusing to transfer responsibility; by rejecting passive positions; by soundness of argumentation; by the practice of dialogue rather than polemics; by receptivity to the new for reasons beyond mere novelty and by the good sense not to reject the old just because it is old – by accepting what is valid in both old and new”.25 Kesadaran ini ditandai dengan penafsiran yang mendalam tentang berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk melakukan distorsi ketika memahami masalah dan
25
Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, Op. Cit, hlm. 18
25 menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisa masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan karena sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kunonya karena sifat kekunoan-nya – yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru. Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas, dan dalam tiap pemahaman realitas cepat atau lambat akan diikuti dengan aksi atau tindakan. Karena menurut Freire sekali manusia menangkap adanya
tantangan,
kemudian
kemungkinan-kemungkinan
memahaminya
pemecahannya,
ia
dan akan
merumuskan bertindak.
Sedangkan sifat-sifat tindakannya itu erat kaitannya dengan sifat-sifat pemahamannya.26 4 Transformation Consciousness (Kesadaran Transformatif) Tipe ini adalah merupakan puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini ialah “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness)27 Kesadaran transformatif akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna. Karena dalam merumuskan suatu masalah, antara ide, perkataan dan perbuatan serta progressifitasnya berada dalam posisi seimbang. Individu-individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini perlu ditransformasikan. Tetapi untuk mengubah realitas secara mendasar tidak cukup dengan melakukan tambal sulam terhadap hubungan antara penindas dan tertindas, karena penyebab penindasan ini adalah sistem, yakni seperangkat norma yang menguasai penindas dan tertindas. Proses transformasi ini dimulai dengan menolak dan menyingkirkan ideologi penindas dan meningkatnya penghargaan terhadap diri sendiri dan kekuatan komunitas. Mereka berpikir secara ilmiah dan tidak merujuk pada kasus-kasus penindasan tetapi pada
26 27
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan”,(Jakarta ; Melibas, 2001), hlm. 58 Mu’arif, Op Cit, hlm. 82
26 wilayah sosio-ekonomi makro di mana kehidupan berjalan dalam konteks global.28 Inilah beberapa tingkatan kesadaran menurut Paulo Freire, mulai dari tingkatan yang paling bawah (manusia yang belum sadar dan menyerahkan semua pada takdir) sampai pada tingkat kesadaran transformatif yang tertuju pada tingkat kesadaran ideal yaitu mewujudkan manusia yang sempurna. Dari penjelasan mengenai tingkatan kesadaran dalam pandangan Freire di atas, dapat dipahami bahwa untuk dapat mewujudkan pendidikan kritis sesuai dengan yang telah dicita-citakan, maka kesadaran yang ada harus sudah sampai pada tingkat kesadaran kritis. Karena paradigma kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu menganalisis bagaimana
sistem
dan
struktur
itu
bekerja,
serta
bagaimana
mentransformasikannya. Maka tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Berikut ini adalah beberapa prinsip pedagogik kritis. Tentunya daftar ini bukanlah suatu daftar yang lengkap, namun untuk menunjukkan betapa kritisnya sikap pedagogik nengenai maslah pendidikan. Pedagogik kritis merupakan suatu revolusi di dalam teori maupun praktik pendidikan. Adapun prinsip-prinsip pedagogik kritis29 antara lain : 1. Dialog Dasar utama pedagogik kritis ialah prinsip dialog. Manusia di dalam keberadaannya selalu berdialog dengan subjek yang lain dan dengan dunianya. Tanpa dialog manusia tidak akan bisa mewujudkan dirinya. Pendidikan pembebasan hanya dapat terwujud apabila terjadi dialog dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dan terhadap dunia yang luas melalui proses penyadaran.
28
William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, Op Cit, hlm. 102-
29
H.A.R Tilaar, Op Cit, hlm. 236-242
103
27 2 Ilmu = konstruksi sosial Ilmu adalah konstruksi sosial. Oleh karena itu pendidikan sistem bank mengandung bahaya karena hanya akanmengembangkan budaya bisu. Dalam pandangan Habermas, ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga yaitu ilmu pengetahuan teknis, ilmu pengetahuan praktis dan ilmu pengetahuan emansipatori. Sekolah-sekolah terlalu menekankan kepada pengetahuan teknis, demikian juga dengan pengetahuan praktis dalam mempersiapkan anak di dalam masyarakat. sedangkan untuk pengetahuan emansipatori kurang mendapat perhatian. Padahal jenis pengetahuan emansipatori merupakan dasar dari keadilan sisoal, persamaan dan pemberdayaan. 3 Kelas sosial Di dalam kehidupan masyarakat telah lahir yang namanya kelas-kelas sosial, hal itu dapat dilihat bahwa kaum miskin tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan warga negara yang mempunyai privilege untuk hidup lebih baik dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk mmperoleh pendidikan. Namun, kenyataannya kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pendidikan belum semuanya memperhatikan kebutuhan golongan yang termarjinalkan itu. 4 Hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan Dalam suatu masyarakat yang multi budaya, kebudayaan mayoritas dapat mendominasi kebudayaan-kebudayaan sub-kebudayaan yang lain, sehingga merupakan kebudayaan yang tertindas. Dari situ terlihat bahwa ada kecenderungan kebudayaan mayoritas dipaksakan. Di sinilah peran kekuasaan yang menyelinap secara tidak kelihatan di dalam perkembangan kebudayaan. 5 Ideologi dan hegemoni Hegemoni atau sistem kekuasan tidak dapat dilepaskan dari ideologi. Demikian juga dengan pendidikan tidak dapat lepas dari hegemoni dan ideologi. Dalam hal ini pancasila sebagai ideologi negara haruslah merupakan ideologi yang terbuka. Pedagogik kritis mempertanyakan mengenai peranan ideologi dalam pengembangan kurikulum dan
28 kelakuan
peserta-didik.
Apabila
ideologi
dijadikan
sebagai
indoktrinasi, maka hasilnya pemenjaraan kreatifitas manusia /peserta didik. 6 Diskursus Pengertian diskursus menurut Foucault yaitu suatu keluarga konsep yang secara anonim berupa aturan-aturan histories, yang mengatur kehidupan
sosial-ekonomi-geografis
dan
lingkungan
linguistik.
Singkatnya diskursus mengatur mengenai apa yang dapat dikatakan, dan apa yang harus dirahasiakan, siapa yang harus bicara dengan otoritasnya, dan siapa yang harus mendengar. Diskursus-diskursus tersebut telah lahir dari kebudayaan yang domina, oleh sebab itu perlu disimak secara kritis. Dengan demikian pendidikan kritis yang menghasilkan tndakan dan pengetahuan haruslah diarahkan untuk mengeliminasi penindasan, tetapi dalam keadaan yang sama dalam mencapai keadilan dan kemerdekaan. 7 Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) Dalam kurikulum baku telah kita ditentukan mengenai berbagai agenda seperti contoh, situasi-situasi belajar, fasilitas belajar, termasuk peraturan-peraturan yang harus ditegakkan di dalam sekolah. Namun demikian, disamping program-program tersebut yang dimaksudkan untuk mencapai sesuatu hasil, terdapat juga hasil-hasil yang sebenarnya tidak diharapkan dari sekolah di dalam proses belajarnya. Sebagai
contoh,
pandangan-pandangan
gender
biasanya
menguntungkan siswa laki-laki dibandingkan dengan perempuan. 8 Reproduksi sosial Lembaga sekolah yang berkaitan dengan struktur kekuasan cenderung merupakan lembaga untuk reproduksi sosial. Metode bank yang dipraktekkan dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah memang terarah kepada proses reproduksi sosial. Matinya sikap kritis da terbungkamnya kretifitas peserta-didik, akan menjadikan lembaga sekolah sebagai lembaga transmisi produk-produk sosial budaya yang ada. pedagogik kritis sangat peka terhadap fungsi sekolah sebagai agen reproduksi sosial semata-mata. Menjadikan lembaga sekolah sebagai pusat pengembangan budaya dan pusat pengembagan hubungan
29 subyek-subyek merupakan tugas yang berta dan serius. Sekolah harus diubah menjadi arena dialog antara guru - siswa - orang tua dan – masyarakat yang memiliki lembaga sekolah tersebut. 9 Kapital budaya (cultural capital) Konsep ini lahir dari filsuf sosiolog Prancis yang terkenal, Pierre Bourideu. Ia membedakan antara cultural capital dan human capital. Di dalam kapital budaya tersoroti, misalnya mengenai teori tenaga kerja dari pendidikan dan masalah-masalah lain yang terdapat di dalam kebudayaan. Dalam hal ini, Bourdieu berbeda dengan mazhab Frankfurt. Apabila mazhab Frankfurt menekankan kepada kritik sebagai bagian yang esensial dari teori, maka Bourdieu melihat kritik sebagai konsekuensi dari suatu struktur. Inilah beberapa prinsip mengenai pendidikan kritis, dan hal inilah yang menjadikan konsep ini disebut sebagai pendidikan kritis, karena pedagogik ini menyimak secara kritis hubungan pendidikan sekolah, pendidikan, budaya, masyarakat, ekonomi dan pemerintah. Pedagogik kritis melihat masalah-masalah hubungan pendidikan tersebut melalui berpikir kritis, dengan mempergunakan logika untuk mengakses dan mengevaluasi kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Sebenarnya kritisisme adalah sebuah aliran yang muncul dari pertentangan antara rasionalisme dan empirisme kemudian berupaya untuk menyatukan dan mempertemukan keduanya sehingga tidak menjadi sebuah
pertentangan.
Adapun
aliran
kritisisme
ini
dalam
perkembangannya meliputi berbagai bidang antara lain ekonomi, sosial, politik, dan budaya serta pendidikan. Dalam pembahasan selanjutnya penulis berusaha menjabarkan tentang implikasi pendidikan kritis ini dalam proses belajar mengajar pada pendidikan. Dalam paradigma pendidikan kritis pendekatan yang dipakai adalah pendekatan andragogy,30 atau pendekatan pendidikan orang dewasa. Yaitu pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa secara substantif, walaupun secara usia peserta didik tersebut belum dewasa. Dari pengertian ini ingin menempatkan murid sebagai
30
Mansour Fakih, dkk. Op. Cit, hlm. 24
30 subjek dalam sistem pendidikan. Murid dalam pengertian ini dianggap sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mengambil manfaat pendidikan. Sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator.
Oleh
karena
itu
relasi
antara
guru-murid
bersifat
Multicommunication dan seterusnya. Selain itu paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Suatu sistem dimana guru menjadi subjek dan peserta didik menjadi objek pendidikan dalam pandangan kritis adalah bagian dari masalah dehumanisasi. Dengan kata lain bahwa paradigma pendidikan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga bercita-cita mentransformasikan relasi ‘knowledge/power’ dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan yang ‘dididik’ di dalam diri pendidikan itu sendiri.31 Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan anak didik mampu menentukan pilihan atau keputusannya secara mandiri.32 Peserta didik dengan segala bakat, minat, kreatifitas dan kebutuhannya ikut berperan serta secara aktif dalam seluruh proses pendidikan. Pendidik hanya perlu merangsang tumbuhnya daya cipta, rasa, dan karsa, imajinasi dan kreatifitas mereka (baca: peserta didik). Bukan menjejalkannya dengan materi-materi tertentu yang sudah ditetapkan. Inilah bentuk pendidikan yang kemudian menuntut pendidik untuk dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator.33 1. Fasilitator yaitu pendidik harus mampu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba mencari dan menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. 2. Dinamisator yaitu pendidik harus berusaha dan mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, berupa iklim proses belajar mengajar 31
Mansour Fakih, dkk. Ibid, hlm. 26 Sindhunata (Ed). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2000). hlm. 178 33 Hujair Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Safirian Insania Press, 2003), hlm. 242 32
31 yang tidak kaku, tetapi proses belajar mengajar yang dialogis, terbuka, bebas dan bertanggung jawab yang selalu berorientasi pada pada proses. 3. Mediator yaitu pendidik harus mampu memberi rambu-rambu atau arahan dalam belajar (student learning). 4. Motivator yaitu pendidik harus selalu memberikan dorongan atau motivasi agar peserta didiknya bersemangat untuk belajar dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dalam proses pendidikan seorang pendidik harus dapat berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator sesuai yang telah di jelaskan di atas, sehingga dapat memberdayakan peserta didik untuk mampu dan menemukan sendiri informasi yang diterimanya. Pendidik dalam proses, haruslah menjadi seorang “model” atau “uswah” dan sekaligus menjadi mentor bagi peserta didik di dalam mewujudkan nilainilai ilahiyah, moral kebebasan dan demokrasi dalam proses belajar mengajar serta dalam kehidupan di sekolah. B. Deskripsi Umum Tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Sebelum penulis membahas mengenai pendidikan agama Islam, terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian dari pendidikan. Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.34 Chabib Thoha mendefinisikan “Pendidikan sebagai suatu proses pemindahan dimilikinya
34
1
pengetahuan/ untuk
mencapai
pengembangan perkembangan
potensi-potensi
yang
secara
serta
optimal
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
32 membudayakan manusia memalui proses transformasi nilai-nilai yang utama”.35 Selanjutnya dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan dalam bab I pasal I ayat: I: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.36 Jadi dari beberapa pengertian pendidikan di atas kiranya perlu penulis ambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah sebuah usaha sadar untuk memberikan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa kepada (anak didik) orang yang belum dewasa agar anak didik tersebut dapat menjadi dewasa atau bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara biologis, psikologis, paedagogies maupun sosiologis, dan berlangsung seumur hidup. Setelah kita ketahui tentang pengertian dari pendidikan selanjutnya yang perlu kita ketahui adalah tentang pengertian dari pendidikan agama Islam. Adapun berikut ini akan penulis kemukakan pengertian pendidikan agama Islam dari beberapa tokoh pendidikan diantaranya adalah : Komite Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) mendefinisikan pendidikan agama Islam yaitu “usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).37 Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain 35
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
36
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Cet. I.
37
Zakiyah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 86
99 hlm. 3
33 dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.38 Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik secara sistematis dan pragmatis dalam menyiapkan peserta didik agar memiliki kepribadian yang mampu mengenal, meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran dasar Islam yang tertuang dalam al Qur’an dan Hadist serta menjadikannya sebagai pedoman hidup untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menciptakan kerukunan antarumat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa. 2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam 1) Dasar Yuridis/ Hukum Yaitu dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam yang berasal dari peraturan-peraturan di Indonesia yang secara langsung dan tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan agama.39 Dasar yuridis ini meliputi : a) Dasar Ideal Yaitu falsafah negara Pancasila, sila I “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yang memberi pengertian bahwa seluruh elemen bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan YME, dengan kata lain harus beragama.40 b) Dasar Konstitusional Yaitu UUD 1945 bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan : 1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap prnduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.41 c) Dasar Operasional
38
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasias Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 130 39 Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 18 40 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002), hlm. 80 41 Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945, Ibid, hlm, 80
34 Yaitu terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30 ayat 1-5 , yaitu sebagai berikut : (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan /atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan aturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota
masyarakat
yang
memahami
dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (4)
Pendidikan
keagamaan
berbentuk
pendidikan
diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.42 2) Dasar Religius Yaitu dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam pendidikan agama adalah perintah Tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya.43 Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan perintah tersebut, antara lain : ¾ Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125:
ﻲ ﻢ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ ﻬ ﺎ ِﺩﹾﻟﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﺖ ﻭ ِ ﻤ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﻴ ِﻞ ﺳِﺒ ﻉ ِﺍﻟﹶﻰ ﺩ ﹸﺍ (125 : ﻦ )ﺍﻟﻨﺤﻞ ﺴ ﺣ ﹶﺍ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (QS. An-Nahl:125).44
42
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 18 43 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit, hlm. 133 44 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 601
35 ¾ Al-Qur’an Surat Al- Imran ayat 104:
ﻋ ِﻦ ﻮ ﹶﻥ ﻬ ﻨ ﻳﻭ ﻑ ِ ﻭ ﺮ ﻌ ﻤ ﻥ ﺑِﺎﹾﻟ ﻭ ﹶ ﺮﺎ ْﺀﻣﻭﻳ ﻴ ِﺮ ﺨ ﻮ ﹶﻥ ِﺍﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻋ ﺪ ﻳ ﻣﺔﹲ ﻢ ﹸﺍ ﻨ ﹸﻜ ﻦ ِﻣ ﺘ ﹸﻜﺍﹾﻟﻭ (104 :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻥ ﺤ ﻤ ﹾﻔ ِﻠ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻚ ﻭﺍﹸﻭﹶﻟِﺌ ﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﺍﹾﻟﻤ “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. AlImran : 104).45 ¾ Al Hadist Riwayat Imam Bukhori :
ﻋِﻨّﻰ ﺍﻐﻮ ﺑ ِّﻠ :ﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻗﺎﻝ ﺒـﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮٍﻭ ﹶﺃ ﹼﻥ ﺍﻟﻨ 46
.( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎ ﺭﻯ.ﻳ ﹰﺔﻮ ﺃ ﻭﹶﻟ
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit.(HR. Imam Bukhori). 3) Dasar Psikologis Yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kewajiban masyarakat. hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup.47 Pada hakekatnya manusia dalam hidupnya di dunia senantiasa membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama.48 Karena agama
dapat
berfungsi
sebagai
standarisasi
nilai-nilai
sosial
masyarakat dan dapat memberikan inspirasi perkembangan sosial kemasyarakatan. Secara psikologis, dalam kehidupan ini setiap manusia sangat membutuhkan keberadaan agama untuk dapat dijadikan sebagai acuan, bimbingan, arahan dan pengajaran bagi setiap muslim agar dapat beribadah dan bermuamalah dalam hubungannya dengan sang Kholiq dan berhubungan dengan sesama manusia (hablum minallah wa hablum minanas). Masyarakat/ manusia akan merasa 45 46
Ibid, hlm. 133 Imam Bukhori, Shoheh Bukhori Juz III, (Bairut Libanon: Darul Kutub al Ilmiyah, 1992),
hlm. 500. 47 48
hlm. 25.
Abdul Majid dan Dian Andayani Op Cit, hlm. 133 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Malang: Usana Offset Printing, 1981),
36 tenang dan tenteram hatinya apabila mereka dapat mendekat dan mengabdi kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Nya:
ﺏ ِ ﻮ ﻦ ﺍﹾﻟﻘﹸﻠﹸّ ﻤِﺌ ﺗ ﹾﻄ ﺃﹶﻻِﺑ ِﺬ ﹾﻛﺮِﺍﷲ
ﻗﻠﻰ
ﻢ ِﺑ ِﺬ ﹾﻛﺮِﺍﷲ ﻬ ﺑﻮ ﻦ ﹸﻗ ﹸﻠّ ـِﺌﺗ ﹾﻄﻤﻭ ﺍﻨﻮﻣ ﻦ ﹶﺃ ﻳﹶﺍّﹶﻟ ِﺬ (28 : )ﺍﻟﺮﻋﺪ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS. Al Ra’ad: 28).49 3. Fungsi dan Pendekatan Pendidikan Agama Islam Kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah/ madrasah berfungsi sebagai berikut : a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah SWT, serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga. b. Penanaman nilai, yaitu memberikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup untuk mencapi kebahagiaan hidup di dunia dan akirat. c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan peserta didik terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. d. Perbaikan, yaitu
memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan-
kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. e. Pencegahan, yaitu menangkal peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya. f. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan non nyata/ gaib), sistem dan fungsionalnya. g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang
49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya,Op CIt hlm. 535
37 secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.50 Sedangkan untuk mewujudkan fungsi PAI, dan dalam rangka menerapkan
kurikulum tersebut,
maka
harus
diusahakan
adanya
51
pendekatan yang dilakukan, diantaranya adalah :
a. Pendekatan pengalaman; yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. b. Pendekatan pembiasaan; yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya. c. Pendekatan emosional; yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya. d. Pendekatan rasional; yaitu usaha memberikan peranan rasio dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama. e. Pendekatan fungsional; yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya. 4. Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam 1) Tujuan Pendidikan Agama Islam Bermacam tujuan diutarakan dalam proses pendidikan agama Islam kesemuanya itu adalah saling melengkapi dan tak ada yang perlu untuk dipertentangkan. Diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Mahmud Yunus, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa supaya menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh, dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup mandiri, mengabdi kepada Allah serta berbakti kepada bangsa, tanah air dan bahkan kepada sesama umat manusia.52 Tujuan Pendidikan agama Islam di sekolah/ madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan dan pengamalan peserta 50
Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit hlm. 134-135 Marasudin Siregar, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang, Modul Pengajaran MK MPA Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 12. 52 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983), hlm. 13 51
38 didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya, berbangsa dan bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan Pendidikan agama Islam bukanlah suatu hal yang berbentuk tetap dan statis, melainkan ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan. Tujuan pendidikan menurut para ahli adalah sebagai berikut: Dalam Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam Al Abrasyi Berpendapat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diarahkan terbentuknya kepribadian yang utama.53 Sedangkan dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1999, menyebutkan bahwa tujuan PAI yaitu agar siswa mampu memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.54 Kemudian mengenai tujuan pendidikan agama Islam ini dijelaskan lagi oleh Achmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam, menurutnya tujuan pendidikan agama Islam terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu : tujuan akhir, tujuan umum, dan tujuan khusus.55 ¾ Tujuan akhir. Pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu : 1) menjadi hamba Allah yang bertakwa, 2) mengantarkan peserta didik menjadi kholifatullah fil ard (wakil Tuhan di Bumi) yang mampu memakmurkannya
(membudayakan
alam
sekitarnya).
3)
memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. ¾ Tujuan umum ini bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur 53
M. Athiyah Al Abrasyi, Alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Johar Bahry, L.I.S, Dasardasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 11 54 Muhamimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam,, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung ; Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 78 55 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 94-103
39 karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, sehingga mampu menghadirkan sirinya sebagai pribadi yang utuh (self realization). ¾ Tujuan khusus. Tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakanperubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi, terakhir dan umum tersebut. Pengkhusussan tujuan tersebut didasarkan pada : 1). Kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, 2). Minat, bakat, dan kesanggupan peserta didik, dan 3). Tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu. Senada dengan tujuan pendidikan yang diungkapkan di atas, tujuan diberikan mata pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa pada Allah SWT, memliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah. Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran pendidikan agama Islam. Sedangkan tujuan akhir dari mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik yang berakhlak mulia. Karena seseorang bisa dikatakan memiliki iman apabila dia telah memiliki akhlak yang mulia. Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan agama Islam. Sejalan dengan tujuan ini maka semua mata pelajaran harus mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru harus memperhatikan tingkah laku setiap peserta didiknya. 2) Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Mata
pelajaran
pendidikan
agama
Islam
itu
secara
keseluruhannya dalam lingkup al-Qur’an dan al-Hadits, keimanan, akhlak, fiqh dan sejarah sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT.,
40 diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya (Hablun minallah wa hablun minannas).56 Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan agama Islam, maka ruang lingkup PAI berdasarkan kurikulum 1994 pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu Al Qur’an-Hadist, keimanan, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh (sejarah Islam) yang ditekankan pada menekankan pada perkembangan politik. Kemudian dalam kurikulum 1999 lebih dipadatkan menjadi lima unsur pokok yaitu Al Qur’an, keimanan, akhlak, fiqh dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.57 5. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Istilah metode berasal dari Bahasa Yunani “Metha” dan “Hodos”. Metha diartikan melalui atau melewati, sedangkan Hodos berarti jalan atau cara. Dari gabungan dua kata di atas, yang di maksud dengan metode yaitu jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. 58 Yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan agama Islam. Setelah kita ketahui makna dari metode, selanjutnya perlu kita ketahui pengertian dari metode mengajar. Menurut Abdullah Sigit dalam metodologi pendidikan agama seperti kutip oleh Zuhairini, dkk. dijelaskan bahwa sesungguhnya cara atau metode mengajar adalah suatu “seni” dalam hal ini adalah “seni mengajar”. Dijelaskan pula oleh Proyek Pembinaan Perguruan tinggi agama, merumuskan bahwa metode mengajar adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada murid, ia dimaksudkan agar murid dapat menangkap pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dipahami oleh anak didik dengan baik.59 Sedangkan
macam-macam
metode
yang
digunakan
dalam
menyampaikan materi PAI, para ahli pendidikan berbeda pendapat mengenai hal ini. Metode yang digunakan oleh satu orang ahli belum tentu digunakan pula oleh ahli yang lain. Tetapi pada dasarnya metode yang 56
Abdul Majid dan Dian Andayani, loc.cit., hlm. 131. Muhaimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam, Op Cit, hlm. 79 58 Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama, Op.Cit., hlm., 66. 59 Zuhairini, et al, Ibid, hlm. 66-67 57
41 digunakan ini saling melengkapi, karena tidak semua materi PAI dapat disampaikan menggunakan satu metode saja. Oleh karena itu, metode yang lain sangat mendukung dalam pencapaian hasil belajar siswa. Penggunaan metode sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan belajar siswa, oleh karenanya metode bersifat kondisional. Berikut ini adalah metode yang sering dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan. Adapun metode yang sering kita dengar dan kita baca adalah sebagai berikut: a. Metode ceramah, yaitu memberikan pengertian dan uraian suatu masalah/ materi. b. Metode diskusi, yaitu memecahkan masalah/ menyampaikan materi dengan berbagai tanggapan. c. Metode tanya jawab, yaitu proses komunikasi dua arah antara guru dan murid. d. Metode eksperimen, yaitu mengetahui proses terjadinya suatu masalah dengan uji coba. e. Metode demonstrasi, yaitu menggunakan peraga untuk memperjelas atau menunjukan sebuah masalah/ menyampaikan materi. f. Metode pemberian tugas, yaitu dengan cara memberi tugas tertentu secara bebas dan dipertanggungjawabkan. g. Metode sosiodrama, yaitu menunjukkan tingkah laku kehidupan. h. Metode karya wisata, yaitu kunjungan di luar sekolah dalam rangka tugas tertentu. i. Metode kelompok, yaitu dengan belajar bekerja sama (group work). j. Metode drill, yaitu mengukur daya serap terhadap pelajaran/ latihan berulang-ulang. k. Metode proyek, yaitu memecahkan masalah dengan langkah-langkah secara ilmiah, logis dan sistematis.60 Dari beberapa metode di atas dalam penyampaian pendidikan agama Islam secara jelas tak ada yang paling baik karena pemakaian metode tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, dan sebuah
60
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. I, hlm. 2.
42 metode bisa menjadi efektif ketika digunakan oleh seseorang tetapi belum tentu efektif ketika digunakan oleh orang lain. Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan/ materi pelajaran kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi. Oleh karena itu penerapan
metode
yang
tepat
sangat
mempengaruhi
pencapaian
keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu dalam pembahasan metode pendidikan Islam ini, perlu melihat semua aspek dari kegiatan pendidikan dan pengajaran baik dilihat dari pendidik dan anak didik. a. Pendidik dengan metodenya harus mampu membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi manusia dewasa baik dalam sikap maupun kepribadiannya, sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya nilai-nilai ajaran Islam. Demikian juga pengajar dengan metodenya harus dapat menanamkan pengertian
dan
kemampuan
memahami,
menghayati
dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik sehingga ia menjadi manusia yang dewasa dalam ilmu pengetahuan. b. Anak didik tidak hanya menjadi objek pendidikan atau pengajaran, tetapi juga menjadi subjek yang belajar, memerlukan suatu metode agar dalam proses belajarnya dapat searah dengan cita-cita pendidik atau pengajarnya.61 6. Penilaian (Evaluasi) Pembelajaran Pendidikan Agama Islam a. Pengertian Pengertian evaluasi seperti dijelaskan oleh tim WRI (Walisongo Research Institute) dalam Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran yaitu Evaluasi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris Evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut istilah, evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk mencapai kesimpulan. Evaluasi
61
H.M. Arifin, Op Cit, . hlm. 99-100
43 bukan sekedar menilai secara spontan atau insidental, melainkan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, terarah berdasarkan tujuan yang jelas.62 Evaluasi dilakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Dengan diadakannya evaluasi diharapkan dapat menemukan kelemahan-kelemahan atau kekurangankekurangan yang kemudian diperbaiki demi mencapai sebuah kesempurnaan. Dalam Islam evaluasi dikenal dengan istilah muhasabah, yaitu sebuah introspeksi atau usaha mengoreksi diri sendiri untuk dapat menemukan kesalahan-kesalahan pribadi untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan dalam rangka mewujudkan manusia bertakwa (insan kamil) seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia-didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensip dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia hasil pendidikan tidak hanya bersikap religius tetapi juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. Secara umum sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu:63 1) Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis; ini berarti bahwa
evaluasi
merupakan
kegiatan
yang
terencana
dan
berkesinambungan. 2) Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi, dalam pengajaran datanya berupa perilaku, hasil ulangan maupun tugas. 3) Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak
62
Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Materi Inservice Training KKG-MGMP, Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, (Semarang: tp, 2001) , hlm. 189 63 Ngalim Puwanto, Prinsip-Prinsip dan Tehnik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hlm. 4.
44 dicapai, tanpa merumuskan tujuan dahulu tidak mungkin menilai sejauh mana hasil belajar siswa. Dengan demikian maksud dari evaluasi pendidikan Islam adalah sebuah kegiatan sistematis dan terarah dalam rangka pengambilan keputusan yang didasarkan pada sejauhmana keberhasilan pendidikan Islam sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan Dalam dunia pendidikan evaluasi sangat diperlukan, Chabib Thoha mengungkapkan tiga alasan utama mengenai pentingnya evaluasi
dalam
pendidikan.
Pertama,
adanya
hubungan
interdependensi antara tujuan pendidikan, proses belajar mengajar, dan prosedur evaluasi.64 Tujuan pendidikan akan menjadi pedoman dan arahan dalam proses belajar mengajar yang seharusnya dilaksanakan. Pelaksanaan proses belajar mengajar juga berkepentingan akan adanya perumusan tujuan yang baik, dan prosedur evaluasi haruslah memperhatikan pelaksanaan proses belajar mengajar. b. Jenis Evaluasi Ada tiga jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam ini, yaitu : 65 1) Evaluasi sehari-hari, yaitu evaluasi yang diberikan sebelum/ sesudah PBM. 2) Evaluasi ulangan umum, yaitu kegiatan evaluasi yang dilaklukan pada akhir catur wulan. 3) Evaluasi pada akhir tahun ajaran (tingkat akhir). c. Teknik Evaluasi Secara garis besar, maka alat evaluasi yang digunakan dapat dibagi menjadi dua macam, diantaranya: 1) Tehnik tes66, yaitu suatu alat atau prosedur yang sistematis dan obyektif untuk memperoleh data-data atau keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan dengan cara yang boleh
64
Tim WRI (Walisongo Research Institute), Op Cit, hlm. 189 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, op.cit, hlm. 156-157. 66 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), cet. III, hlm. 32. 65
45 dikatakan tepat dan cepat. Ditinjau dari kegunaannya untuk mengatur siswa, maka dibedakan atas tiga macam tes: a) Tes
diagnostik:
tes
yang
digunkan
untuk
mengetahui
kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahankelemahan itu dapat dilakukan pemberian perlakuan tepat. 67 b) Tes foramtif: tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program tertentu. c) Tes sumatif: tes yang dilakukan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program/ sebuah program yang lebih besar.68 2) Tehnik non tes69 a) Skala bertingkat; skala yang menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap sesuatu hasil pertimbangan. Contoh: tidak senang, biasa, senang. b) Kuesioner; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). c) Daftar cocok; deretan pertanyaan yang biasanya singkatsingkat. d) Wawancara; tanya jawab sepihak untuk memperoleh jawaban dari responden. e) Observasi; pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. f) Riwayat hidup; gambaran tentang keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya. d. Fungsi Dan Tujuan Evaluasi Tujuan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk memperoleh data secara jelas dan akurat mengenai tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat dilakukan/diupayakan sebuah tindak lanjut dari hasil evaluasi tersebut.
67
Ibid, hlm. 33 Ibid, hlm. 36-38 69 Ibid, hlm. 26-31. 68
46 Evaluasi sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan Islam, berfungsi sebagai berikut : 70 1) Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas cara belajar dan mengajar yang telah dilakukan benar-benar tepat atau tidak. 2) Untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa guna menetapkan keputusan apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dilanjutkan. 3) Untuk mengetahui informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh siswa. 4) Sebagai bahan laporan bagi orang tua siswa tentang hasil belajar siswa. Laporan dapat berbentuk buku raport, piagam, ijazah dll. 5) Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh sebelumnya dengan pembelajaran yang dilakukan sesudah itu. Secara lebih terperinci evaluasi dalam pendidikan dapat berfungsi sebagai berikut :71 1) Bagi guru a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik b) Mengetahui Kedudukan individu dalam kelompoknya c) Mengetahui Kelemahan-kelemahan dalam proses belajar mengajar d) Mengetahui Memperbaiki proses belajar mengajar 2) Bagi peserta didik a) Mengetahui kemampuan dan hasil belajar b) Memperbaiaki cara belajar c) Menumbuhkan motivasi dalam belajar 3) Bagi sekolah a) Mengukur mutu hasil pendidikan b) Mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah c) Membeuat keputusan untuk peserta didik a) Mengadakan perbaikan kurikulum
70
Armai Arief, op.cit, hlm. 58. Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, Op Cit, hlm. 190-191 71
47 B. Konsep Kritisisme dalam Pendidikan Agama Islam Mengenai konsep kritisisme ini, walaupun hanya sebuah konsep yang dipopulerkan oleh tokoh dari Barat, tetapi secara substantif, sebenarnya sejak masa awal Islam, konsep tersebut sudah ada dan merupakan konsep yang telah digunakan oleh para tokoh Islam dari dulu sampai sekarang. Kritis (Criticize) dalam kamusnya Hasan Shadily dan John M Echolss berarti, pertama, mencela, kedua mengecam dan mengupas72 term kritis ini kemudian diperjelas lagi dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang berarti pertama, bersifat tidak lekas percaya,. Kedua, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan serta tajam dalam penganalisisan.73 Maksud dari sikap kritis ini adalah bahwa salah satu ciri suatu kajian ilmiah adalah terbuka jadi dengan sikap kritis, nantinya kebenaran akan suatu kajian ilmiah tersebut akan senantiasa terbuka untuk menerima perbaikan dan pembenahan demi kesempurnaan, demikian seterusnya. Sehingga terus berputar secara dinamis dengan orientasi progressif. Berkaitan dengan konsepsi tersebut, pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya menunjuk pada sudut khusus dari mana kaum muslimin memandang ilmu, akan tetapi menekankan pada keharusan yang mendesak untuk mencari ilmu, seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
. ﺮﻡ ﻚ ﺍﻷ ﹾﻛ ﺑﺭ ﻭ ﺮﹾﺃ ِﺇ ﹾﻗ. ﻖ ﻋ ﹶﻠ ﻦ ﺎ ﹶﻥ ِﻣﻧﺴﻖ ﺍﻹﺍ ﺧ ﹶﻠ . ﻖ ﺧ ﹶﻠ ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻯ ﺑﺭ ﺳ ِﻢ ﺮﹾﺃ ﺑِﺎ ِﺍ ﹾﻗ (5 -1: ﻢ ) ﺍﻟﻌﻠﻖ ﻌ ﹶﻠ ﻳ ﻢ ﺎ ﹶﻟﺎ ﹶﻥ ﻣﻧﺴﻢ ﺍﻹﺍ ﻋ ﱠﻠ . ﻢ ﺑِﺎﹾﻟ ﹶﻘ ﹶﻠ ِﻢ ﻋ ﱠﻠ ﻯ ﺍﱠﻟ ِﺬ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantarakan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al ‘Alaq : 1-5).74 Ayat di atas memberikan arahan kepada segenap kaum muslimin untuk senantiasa mencari ilmu dan sekaligus mengamalkannya karena kunci 72
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia : Jakarta, 1992, cet XX, hlm. 156 73 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ed 2 cet III, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hlm. 531 74 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1403
48 kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat adalah ilmu pengetahuan. Islam adalah agama yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan, Al Qur’an sendiri menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan kebutuhan fisik. Ummat Islam percaya bahwa semua makhluk adalah manifestasi dari kehendal Ilahi (Allah), karenanya kajian atas alam akan menghasilkan pengertian yang lebih baik tentang kebenaran. Pada dasarnya Islam tidak mengenal batasan dalam soal menuntut ilmu pengetahuan, tidak pula dalam memahami
fenomena
alam.
Al
Qur’an
mengandung
esensi
semua
pengetahuan; tetapi perwujudan detailnya adalah merupakan tanggung jawab manusia. Tradisi Islam menafsirkan al Qur’an dengan cara sedemikian rupa sehingga memperbolehkan apa saja yang tidak dilarang secara khusus. Islam tidak melarang kajian atas alam. Nyatanya Al Qur’an justru memerintahkan perenungan atas ciptaan Allah.75 Dalam mempelajari alam ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan wewenang manusia itu sendiri. Jadi manusia bebas untuk dapat mengolah dan memamfaatkan alam ini, tetapi dalam kebebasan itu tentunya ada batas-batas yang harus ditaati selaku umat Islam. Adapun mengenai pentingnya umat Islam untuk mencari ilmu ini, Al Ghazali mengutip sebuah pernyataan dari Abu Darda, salah seorang sahabat nabi sebagai berikut : “Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu dan atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak termasuk salah seorang dari yang tadi), maka binasalah engkau”.76 Dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Mengenai keutamaan dalam menuntut ilmu ini, dalam ajaran Agama Islam juga mengakui adanya kebebasan manusia selama masih berada dalam 75
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta ; Logos, 1994), hlm. 3 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendiidkan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998) hlm. 55 76
49 batas-batas aturan/ nilai-nilai ajaran Islam. Seperti firman Allah SWT yang tertuang dalam al Qur’an sebagai berikut :
ﻨﻪ ﻋ ﻚ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺩ ﹸﻛ ﱡﻞ ﺍﹸﻭﹶﻟِﺌ ﺍﺍﹾﻟ ﹸﻔﺆﺮ ﻭ ﺼ ﺒﺍﹾﻟﻊ ﻭ ﻤ ﺴ ِﺍ ﱠﻥ ﺍﻟﻚ ِﺑ ِﻪ ِﻋ ﹾﻠﻢ ﺲ ﹶﻟ ﻴ ﺎ ﹶﻟ ﻣﺗ ﹾﻘﻒ ﻻﻭ (36 : ﻻ )ﺍﻻﺳﺮﺍﺀﺴﹸﺌﻮ ﻣ
77
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Al Isra’ : 36) Ayat di atas menganjurkan kepada kita selaku umat Islam untuk senantiasa bertanggung jawab dalam melakukan segala sesuatu. Karena semua yang kita perbuat kelak akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi walaupun kita sebagai manusia yang mempunyai hak untuk bersikap dan berbuat bebas, tetapi kita sebagai umat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT maka sudah seharusnya bagi kita untuk menggunakan kebebasan tersebut selama tidak bertentangan dengan ajaranajaran Islam. Ajaran paling mendasar yang memandu pemikiran ilmiah Islam menyatakan bahwa Al Qur’an mengandung semua kebenaran dan ilmu pengetahuan; pertama, prinsip-prinsip semua ilmu pengetahuan tidak termasuk perinciannya ada dalam Al Qur’an, kedua, Al Qur’an dan Hadist mendefiniskan lingkungan dan nilai-nilai yang inheren dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua hal inilah yang mendasari pandangan Islam bahwa semua ilmu pengetahuan sesuai dengan Akal Universal dan akhirnya dengan Allah SWT.78 Dalam kaitannya dengan kemampuan manusia untuk memahami akal universal, Al Qur’an menganjurkan seseorang untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagai satu cara menuju keselamatan. Allah melengkapi manusia dengan akal agar kita dapat menggunakan indera dan pikiran kita untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang dunia natural maupun supernatural. Sementara indera memungkinkan seseorang memperluas pengetahuannya tentang alam dunia, akal memberinya kemampuan untuk
77 78
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Ibid, hlm. 611 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 121
50 menganalisa esensi objek-objek material, termasuk hubungannya dengan objek-objek supernatural dan kehendak Ilahi (Allah). Islam dalam konsepsi kritis sesuai kelanjutannya adalah pembacaan baru terhadap agama hanifiyah, agama Ibrahim, agama fitrah dan alam. Islam melakukan pembacaan terhadap tradisi umat terdahulu, kemudian memberikan penilaian terhadapnya dan merekonstruksi serta meralat orientasinya. Ini didasarkan bahwa setiap yang baru memiliki dasar yang lama, dan setiap dasar yang lama akan dikembangkan ke dalam yang baru. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam untuk dapat mengambil manfaat/ hikmah dari sebuah kejadian. Lebih lanjut Abu Hanifah menyatakan : Pengetahuan kita adalah ra’yu; itu adalah yang terbaik yang sejauh ini bisa kita capai. Siapa yang mampu menghasilkan pandangan lain berhak meyakini pandangannya, seperti halnya kita dengan pandangan kita sendiri…….jika aku (Abu Habifah) tidak menemukan jawaban dalam kitab Allah atau dalam hadist nabi, aku akan mencari pandangan sahabat-sahabat Nabi. Aku akan berpegang teguh dengan pandangan mereka dan takkan menyimpang kepada pandangan orang lain. Tetapi (bila) yang dipersoalkan adalah Ibrahim, al-Syabi, Imam Sirin, alHasan, ‘atha’, dan sa’id ibn Jubayr, maka mereka adalah orang-orang yang telah mengambil jalan penafsiran sendiri, dan saya juga akan melakukan hal yang sama.79 Walaupun Abu Hanifah adalah seorang fuqaha, tetapi dalam kehidupannya ia mencari nafkah dengan berdagang tekstil. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa dalam pendekatan hukum ia begitu tergantung pada hukum-hukum akal dan logika, dan pada situasi-situasi di mana jual beli berlangsung. Dia adalah orang yang banyak bergelut dengan dunia nyata dan praktis, dan karenanya mencari metode yang bisa menghasilkan ketetapan hukum yang paling sesuai dengan gaya hidup yang realistis dan praktis di satu sisi, dan di sisi lain seorang yang mampu melihat pesan-pesan Ilahi yang termanifestasi secara langsung dalam Al Qur’an atau melalui tafsiran lewat Muhammad dan hadist. Dalam al Qur’an Allah SWT menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini dianjurkan dapat menggunakan akalnya untuk mengolah dan memanfaatkan sekaligus memelihara kelestarian alam ini demi mencapai kebahagiaan dirinya. Sebagaimana dalam Al Qur’an surat al Jatsiyah ayat 13: 79
Charles Michael Stanton, Ibid, hlm. 30
51
ﺖ ٍ ﻚ ﻻﻳ ِﺍ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﺫِﻟ. ﻨﻪ ﻴﻌًﺎ ِﻣ ﺟ ِﻤ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ﻓِﻰ ﺍﻻﻭﻣ ﺕ ِ ﻤﻮﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺴﻢ ﻣ ﺮ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺨ ﺳ ﻭ (13 : )ﺍﳉﺎﺛﻴﺔ. ﻭ ﹶﻥ ﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻮ ٍﻡ ﱢﻟ ﹶﻘ Dan Dia menundukkan untukmu, apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Al Jatsiyah : 13)80 Sebagaimana yang diutarakan oleh Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang berbunyi sebagai berikut : “Nalar tidak dapat berkembang tanpa ajaran yang berdasarkan pendengaran, seperti juga ajaran yang berdasarkan pendengaran tidak dapat berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk menerima kepatuhan membuta kepada ajaran yang diberikan dan untuk secara mutlak mengesampingkan nalar adalah orang yang tidak menggunakan akalnya ; barang siapa puas hanya dengan nalar dan mengesampingkan pencerahan dari Qur’an dan Sunnah adalah korban ilusi”.81 Dalam agama Islam, Mengenai penalaran kritis ini, sejak masa Rasulullah sampai sekarang sudah menjadi sebuah konsepsi yang telah dijalankan dan dipraktekkan, hal itu dapat dilihat dari beberapa kisah, seperti pada masa setelah Rasulullah wafat, para sahabat kemudian berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari siapa yang pantas untuk menggantikan posisi rasulullah sebagai khalifah. Kemudian dari musyawarah tersebut akhirnya menyepakati bahwa yang akan menggantikan Rasulullah adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Contoh lain yaitu dalam merumuskan suatu hukum, agama Islam menggali dari Al Qur’an dan Hadist, kemudian diteruskan dengan ijma’ dan qiyas, ijma dan qiyas ini merupakan hasil ijtihad dari para Ulama/ fuqaha. Dalam ijma’ dan qiyas itulah merupakan ikhtiar dari akal /nalar kritis para ulama (fuqaha) dalam menentukan hukum, yang tentu saja nalar kritis tersebut tetap mengambil hujjah dari al Qur’an dan as sunnah. Dalam ijma’ dan qiyas itulah terkandung ajaran dialog/musyawarah untuk kemufakatan bersama. Dialog bersifat teoretis sekaligus praktis. Ia merupakan ekspresi keseimbangan kekuatan antara manusia dan budaya. 80 81
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1119 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Jakarta ; Faizan, 1994), Juz III, hlm. 15
52 Dialog bukanlah sekedar latihan intelektual, melainkan kerja sama saling menguntungkan antar pemikiran individu. Tema utamanya adalah kekuasaan dan keadilan. Kekuasaan tanpa keadilan bersifat merusak. Keadilan tanpa kekuasaan melahirkan penghinaan, ketidakberdayaan dan frustasi. Kekuasaan bersifat global, politik, ekonomi, sosial, ilmiah dan budaya. Sementara keadilan hanya bersifat global. Kekuasan adalah kekuatan, bukan kebenaran, sementara keadilan adalah kebenaran tanpa kekuatan.82 Agama Islam juga mengajarkan tentang pentingnya bermusyawarah hal ini berdasarkan firman Allah :
ﻦ ﻣ ﺎﻴﻬ ﻌﻞﹸ ِﻓ ﺠ ﺗﺍ ﹶﺃﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻗﹶﺎﹸﻟﻮ ﺧ ِﻠ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋﻞﹲ ﻓِﻲ ﹾﺍ َﻷﻲ ﺟﻶِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧ َ ﻚ ِﻟﻠﹾﻤ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺎﻟﹶﺎ ﻣﻋ ﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ ﹶﻟﺪﺱ ﹶﻘﻭﻧ ﻙ ﻤ ِﺪ ﺤ ِﺑﺒﺢﺴ ﻧﺤﻦ ﻧﻭ ﺎ َﺀﺪﻣ ﺍﻟﺴ ِﻔﻚ ﻳﻭ ﺎﻴﻬ ِﻓﺴﺪ ِ ﹾﻔﻳ 83
(30 : ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻌ ﹶﻠﻤ ﺗ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ayat di atas mempunyai kandungan bahwa sebenarnya Allah SWT hendak mengajarkan hamba-hambanya untuk bermusyawarah (berdialog) dalam urusan mereka sebelum dikembangkan atau diterjemahkan dalam aktifitas praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Iqbal, seorang sejarawan terkenal dari benua India mengatakan bahwa Islam menolak pandangan statis tentang alam semesta ini, dan sebaliknya mendukung pandangan dinamis. Dalam pandangan Iqbal bahwa menurut kosmologi Islam, mulai dari penciptaan, pengaturan bumi dan segala isinya ini bersifat progressif evolusioner. Jadi dengan pengaturan bumi yang progressif evolusioner inilah manusia dituntut untuk dapat menggunakan akal/nalar kritisnya untuk senantiasa merenungi dan mempelajari segala ciptaan Allah dan untuk 82 Hassan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global, Revolusi Islam untuk Globalisasi, Pluralisme dan Egaliterisme Antar Peradaban, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2003), hlm. 71 83 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan terjemahnya, hlm. 11
53 menjaga dan memelihara alam ini demi kebahagiaan hidup makhluk seluruh dunia. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, disaat kebekuan masih menjangkiti kehidupan umat Islam, ia dengan berani menuntut hak ijtihad dan menggunakan pendapat independensinya dalam menyatakan kembali prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah. Dengan kritikannya inilah, Ibnu Taimiyah merupakan representasi kritikus Islam di jamannya. Hal yang sama juga menjadi fokus perhatian dari Muhammad Arkoun, ia menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaruan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan Karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Muslim kontemporer. Oleh karena itu, Arkoun mencoba menghasilkan karya-karya yang dimanfaatkannya dengan tujuan untuk melakukan penggabungan hasil berbagai ilmu pengetahuan barat mutakhir dengan pemikiran Islam guna membebaskan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan yang mencirikannya sampai kini, dan melahirkan suatu pemikiran islami yang menjawab tantangan yang dihadapi manusia muslim di dunia modern. 84 Arkoun adalah seorang pengkritik tradisi ortodoks, dan tradisi objektivisme serta positivisme yang tidak hanya merasuki ilmu pengetahuan barat, tetapi juga orientalisme barat. Menurutnya bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong kategori, symbol-simbol, dan signifikansi yang sama. Islam
ortodoks
didomonasi
oleh
logosentrisme,
sebuah
varian
dekonstruksionalisme dari pemikiran Anglo-Saxon mengenai skripturalisme.85 Kritiknya dengan menggunakan berbagai hasil pemikiran barat mutakhir inilah yang dianggapnya sebagai jalan yang tepat untuk melampaui kekakuan pemikiran Islam. tujuan akhir dari proses pembukaan kembali pemikiran islami yang ingin diwujudkannya adalah emansipasi manusia Islam dari berbagai perbudakan yang dibuatnya sendiri dan yang tidak terbatas pada bidang intelektual belaka. 84 Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,(Jakarta : INIS, 1994), hlm. 6 85 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op Cit, hlm. 202
54 Arkoun mencoba memberikan kritikannya tentang ijtihat. Dalam pandangannya, ijtihad yang dibatasi pada bidang teologi-yuridis perlu dilampaui menjadi “kritik nalar islami”. Lebih jauh dengan rumusannya tersebut, Arkoun menjelaskan bahwa dengan mengusulkan “kritik nalar islami”, ia berusaha melampaui kedua pendirian yang bertolak belakang dan saling menolak dari islamologi yang hanya memperhatikan hal yang “positif” dan penganut agama Islam yang mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung dan tanpa kritik.86 Sebagai contoh konkret dari kritik nalar islami yang dimaksudkan, adalah pendapatnya yang paling controversial yaitu ketika ia mengatakan bahwa dalam khasanah tafsir Islam dengan segala macam mazhab serta alirannya, sesungguhnya al Qur’an hanya merupakan “alat” untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya al Qur’an itu sendiri.87 Secara lebih rinci Arkoun memberikan penjelasan tentang nalar sebagai berikut : “Iman adalah suatu kepercayaan benar, pasti ; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya bernalar. Kekafiran adalah suatu kepercayaan tipuan, tidak mengandung kepastian; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya khayali (al-mutakhayyilah). Dapat terjadi bahwa daya khayali sesuai dengan kepercayaan yang benar; namun daya bernalar tidak mungkin sesuai dengan kepercayaan tipuan”.88 Jadi, nalar ditakdirkan untuk benar; jika nalar menerapkan secara kaidah deduksi logis dan kaidah konstruksi pernyataan-pernyataan, tidak mungkin khilaf. Itu berarti bahwa nalar tidak akan mulai dari dirinya sendiri penyusunan kebenaran yang telah ada dalam dirinya; sebaliknya, seluruh kegiatannya mengulangi secara sejati, menjelaskan, mengeksplisitkan, mengklasifikasi di dalam suatu rumusan yang runtut segala sesuatu yang telah diujarkan dengan cara yang sekaligus sederhana dan tak terbatas, oleh bahasa iman, artinya oleh tuturan Allah yang tak tergoyahkan. Menurut Harun Nasution, iman erat kaitannya dengan akal dan wahyu. Iman yang di dasarkan pada wahyu disebut Tasydiq yaitu menerima sebagai benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut makrifah, 86
Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 35 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op. Cit, hlm. 199 88 Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 88 87
55 yaitu mengetahui benar aya yang diyakini. Apa yang hendak dikatakan Harun adalah, Tasydiq lebih berdasarkan pada pemberitaan, sedangkan makrifah lebih pada pengetahuan yang mendalam.89 Sedangkan menurut Ibn Rusyd, Tujuan utama kehidupan intelektual Ibn Rusyd adalah menggabungkan antara filsafat dan agama. Dia menganut pandangan bahwa akal dan wahyu adalah sumber pengetahuan dan sepenuhnya meyakini bahwa filsafat menawarkan cara terbaik untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan dalam teologi Islam.90 Selanjutnya Abd al- Lathif, seorang syaikh terkenal abad ke-13 memberikan cara-cara mengembangkan kebiasaan belajar secara kritis, didasarkan atas teori belajar yang kokoh : “Bila engkau membaca sebuah buku, berusaha keraslah untuk menghafal dan menguasai maknanya. Bayangkanlah bahwa buku tersebut telah hilang dan engkau dapat mengungkapkan (isi buku tersebut) tanpa terpengaruh oleh kehilangannya. Begitu engkau dengan semangat mempelajari sebuah buku, mencoba memahami isinya, janganlah mempelajari buku yang lain dengan menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk buku yang pertama saja. Jangan mempelajari dua bidang studi sekaligus; tetapi tumpahkanlah perhatianmu pada satu bidang selama satui atau dua tahun, atau sesuai dengan kebutuhan. Lalu, setelah engkau mencapai tujuanmu di bidang tersebut, barulah lanjutkan dengan bidang studi lain. Jangan mengharap bahwa engkau dapat bersenang-senang dengan santai; sebaliknya engkau harus selalu mengasahnya dengan ulangan dan sering mengingatnya; dan jika engkau adalah seorang pemula, dengan membaca bersuara, belajar dan diskusi sesama teman. Jika engkau seorang ilmuwan berpengalaman, dengan mengajar dan menulis buku. Jiika engkau mengajarkan satu disiplin ilmu atau berdebat di bidang tersebut, janganlah mencampur adukkannya dengan disiplin ilmu yang lain, sebab setiap disiplin ilmu lengkap dengan sendirinya dan bisa berjalan tanpa yang lain. Bila engkau mencari bantuan ke dalam disiplin ilmu lain, itu menunjukkan ketidakmampuanmu untuk menghabiskan isi satu disiplin. Ini persis seperti seorang yang menggunakan satu bahasa untuk bahasa yang lain yang ia ketahui (secara tidak sempurna), atau karena tidak mengetahui sebagian dari bahasan pertama”.91 Seorang perlu membaca sejarah, mempelajari kisah dan pengalaman bangsa-bangsa. Dengan demikian seolah-olah dalam usianya yang singkat, ia
89
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis,Op Cit, hlm. 285 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 115 91 Charles Michael Stanton, Ibid,, hlm. 62 90
56 hidup bersama orang-orang dari masa lalu, mengenal mereka dan mengetahui hal-hal yang baik dan buruk tentang mereka. Selanjutnya yang patut dipahami pula dalam penanaman nalar kritis adalah dengan sebuah landasan dan pemikiran murni dalam rangka pembenahan keilmuan. Dalam sebuah konsepsi pendidikan kritis nampaknya harus memiliki karakter yang terdiri dari dua hal : 1 Mempunyai trend kritis yang membumi. Artinya jiwa dan perilaku kritis tidak hanya berhenti menjadi discourse yang mentah tanpa arti. Tetapi pendidikan kritis menjadi sebuah gerakan terpadu untuk membenahi mutu pendidikan secara komprehensif. Kritis ini bisa saja disebut dengan kritishumanis. 2 Proses evaluasi (muhasabah) secara cepat ditangkap. Maksudnya manakala ada masalah dalam proses pendidikan, seketika itu pula perubahan dilakukan. Selanjutnya hal ini dinamakan dengan kritisreflektif.92 Dari beberapa uraian dan penjelasan dengan disertai pandangan para tokoh Islam di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa konsep kritisisme telah mereka alami sejak dari dahulu. Hal itu terbukti dengan beberapa hasil pemikiran dan kritikan yang telah tertuang di atas. Dalam hal ini konsepsi kritis yang dimaksud adalah sebuah konsepsi pemikiran yang berusaha untuk membebaskan cakrawala berpikir secara aktif dan dinamis. Kemudian mengenai keharusan bersikap kritis baik dalam pikiran maupun tindakan ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 11, sebagai berikut :
(11: ﻢ ) ﺍﻟﺮﻋﺪ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﺎ ِﺑﹶﺎﺍ ﻣﺮﻭ ﻴﻐ ﻳ ﻰﺣﺘ ﻮ ٍﻡ ﺎ ِﺑ ﹶﻘ ﻣﻴﺮﻐ ِﺍ ﱠﻥ ﺍﷲ ﻻ ﻳ “Sesunggunya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.93 Ayat tersebut memberikan anjuran kepada kita selaku umat Islam untuk selalu berusaha dan senantiasa bersikap kritis terhadap segala keadaan yang ada demi mencapai keinginan atau apa yang telah dicit-citakan. Dan
92 93
Jurnal Edukasi, Op Cit, hlm. 46 Departemen Agama, Op Cit, hlm. 530
57 tidak hanya diam dan berpangku tangan, karena Allah tidak menyukai hambanya yang hanya pasrah dan berpangku tangan tanpa adanya usaha. Jadi konsep kritisisme dalam perspektif Islam adalah sebuah usaha untuk mengajak dan membebaskan cakrawala berpikir manusia secara dinamis dengan tetap memegang teguh ajaran Islam yang tertuang dalam al Qur’an dan Hadist.