ANALISIS KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER (MULTIPLE INTELLIGENCES) DAN PENERPANNYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbuyah dan Keguruan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: Panji Aziz NIM: 106011000147
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LEMBAR PENGESAHAN ANALISIS KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER (MULTIPLE INTELLIGENCES) DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: Panji Aziz NIM: 106011000147 Di Bawah Bimbingan:
Siti Khadijah, MA NIP: 19770627 199703 2 004
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH Skripsi berjudul ―ANALISIS KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD
GARDNER
(MULTIPLE
INTELLIGENCES)
DAN
PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‖ diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 20 Juni 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 23 Juni 2011 Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Tanggal
Tanda Tangan
Bahrissalim, M.Ag. NIP. 19680307 199803 1 002
…………
………………………
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag. NIP. 19670328 200003 1 001
…………
………………………
Penguji I Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA NIP. 19470114 196510 1 001
…………
………………………
Penguji II Drs. Abdul Haris, M.Ag NIP. 19660901 199503 1 001
…………
………………………
Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. NIP. 19571005 198703 1 003 ii
LEMBAR PERNYATAAN
بسم اهلل الرحمن الر حيم Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Panji Aziz
NIM
: 106011000147
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2011
Panji Aziz
iii
ABSTRAK Nama : Panji Aziz, 106011000147, “Analisis Konsep Kecerdasan Perspektif Howard Gardner (Multiple Intelligences) dan Penerapannya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” Selama ini pendidikan di Indonesia menilai kecerdasan manusia terlalu sempit, khususnya pada pendidikan formal, manusia hanya dianggap hanya memiliki satu kecerdasan yang dapat diukur dengan nilai, angka maupun bilangan yang disebut dengan kecerdasan logika-matematika, sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur kecerdasan tersebut adalah tes IQ. Menurut Thomas R. Hoer, sekalipun tes tersebut dapat diandalkan dan dapat memberikan skor, namun sebenarnya apa yang dilakukan hanya menekankan pada kecerdasan linguistik dan matematis-logis (akademis). Padahal keberhasilan di dunia nyata saat ini mencakup lebih dari sekedar kecakapan linguistik dan matematis-logis. Bahkan May Lwin dkk, suatu kajian yang dilakukan untuk mengenal para professional yang berhasil justru menunjukkan bahwa sepertiga di antara mereka memiliki IQ rendah. Dengan demikian, ada kecerdasan lain yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap keberhasilan seseorang. Penilitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa konsep kecedasan mejemuk menurut Howard Gardner untuk mencari cara pengembangan kecerdasan majemuk tersebut pada metode pembelajaran PAI. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan mengambil latar pemikiran Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi. Analisa data dilakukan dengan mencari dan member makna terhadap data-data yang berhasil dikumpulkan, dari makna tersebut kemudian ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) setiap individu pada dasarnya memiliki kecerdasan yang dapat dikembangkan. Minimal ada delapan dari yang harus dimiliki manusia, yaitu linguistik, matematis-logis, ruang-spasial, kinestetik-badani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. (2) Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan penerapan metode tersebut, yaitu yang pertama karakteristik siswa dan pelajaran, agar nantinya keseluruhan metode-metode yang ditawarkan untuk membantu pengembangan kecerdasan majemuk anak bisa digunakan pada seluruh pelajaran PAI. Dengan penekanan utama pada kecerdasan tertentu yang disesuaikan dengan anak didik. Kemudian tahap perencanaan metode untuk mengembangkan kecerdasan majemuk yang harus dipersiapkan oleh guru PAI yaitu pemahaman konsep kecerdasan mejemuk itu sendiri, ketersediaan dan ketepatan waktu, ketersediaan dan kemampuan memanfaatkan sumber belajar, serta kemampuan menerapkan metode yang dipilih. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan khususnya pada para praktisi pendidikan Islam untuk dapat menciptakan pola pembelajaran yang lebih mengakomodir beragam kecerdasan yang dimiliki seluruh anak didiknya di seluruh lembaga maupun institusi pendidikan, khususnya pendidikan Islam. iv
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الر حيم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia, rahmat dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan dan salam senantiasa terlimpah dan tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dan terwujud tanpa adanya keterlibatan dan peran serta berbagai pihak yang ikut serta memberikan sumbangsihnya kepada penulis, baik itu arahan, pemikiran maupun motivasi yang sangat bermanfaat bagi terealisasinya karya ilmiah penulis ini. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi penulis dengan segala kerendahan hati pada kesempatan yang berharga ini mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Bahrissalim, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Siti Khadijah, MA selaku pembimbing skripsi penulis yang selalu bersedia meluangkan waktunya kapanpun dan dimanapun untuk memberikan arahan, bimbingan dan motivasinya bagi penulis, agar terwujudnya skripsi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA selaku penguji I pada sidang munaqasah penulis, yang telah memberikan secuil ilmunya tapi begitu banyak manfaatnya dan begitu sangat membekas bagi penulis. Terima kasih pak, pertemuan sesaat di rumah bapak subuh itu benar-benar memberikan banyak hal yang bermanfaat, yang akan selalu saya ingat dan menjadi motivasi bagi kehidupan saya. v
6. Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag selaku penguji II pada sidang munaqasah penulis, yang telah memberikan banyak nasehat dan arahan bagi terciptanya wawasan keilmuan yang baik dan bermanfaat. 7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan serta bimbingannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu dan amal yang telah bapak dan ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Amin. 8. Teristimewa untuk Ayahandaku Suwito dan Ibundaku Umi Zulaikha tercinta yang tak pernah letih melimpahkan kasih sayangnya, do’anya, dan usahanya untuk membesarkan serta mendidik penulis baik Jiwa maupun Raga dengan keikhlasan dan penuh kesabaran. Terima kasih, engkau pasti kan selalu ada di hatiku, aku akan selalu berjuang untuk kebahagiaanmu. 9. Adik-adikku tersayang Muhammad Zidny Alam dan Muhammad Fahmi Husain yang selalu memberikan motivasi dan menghibur penulis dalam keadaan suka maupun duka. 10. Para keluarga besarku semua yang ada di Tangerang, Yogyakarta, Madiun, Jepara, Jambi, dan Yaman, berkat do’a kalian semua penulis mendapatkan kemudahan bagi terealisasinya skripsi ini, terima kasih kepada kalian semua. 11. Para sahabat terbaikku di PAI, M. Nur Hidayat dan Junaidi yang selalu memberikan buah pemikirannya dan berjuang jatuh bangun bersama meraih cita-cita bersama selama di kampus kita tercinta. 12. Para sahabat terbaikku di FKMA, Irfan Fahmi, Abdus Salam, Fahrurrazi (Booy), dan Ahmad Hadadi yang selalu menjadi tempat berbagi dalam suka maupun duka. Dan tak lupa adik-adikku di FKMA, semangat terus untuk mempertahankan eksistensi keilmuan kalian…!!! 13. Para temanku di HMI Komisariat Tarbiyah, tempat sharing, bertukar pikiran dan wawasan seta keilmuan. Semoga terus maju dan jayalah HMI. ―YAKUSA‖ 14. Para teman seperjuanganku di kelas D PAI angkatan 2006, terima kasih untuk persahabatan yang telah kita jalin selama kurang lebih 4 tahun lamanya. Semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin. vi
15. Teman-teman seperjuanganku sewaktu sidang munaqasah, Adam, Deden dan Syarif. Kini kita telah sampai pada apa yang telah kita perjuangkan matimatian. Ini adalah awal dari sebuah perjuangan yang lebih besar, yaitu kehidupan. Sukses selalu buat kalian semua… Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat atau belum disebutkan satu persatu, sehingga penulisan ini bisa terealisasikan. Semoga sumbangsih yang telah kalian berikan bagi kehidupanku dan terealisasinya skripsi ini menjadi amal shaleh yang akan selalu mengalir menjadi pahala dan memberikan manfaat bagi kehidupan kita semua. Amin.
Ciputat, 26 Juni 2011 Penulis
Panji Aziz NIM: 106011000147
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………….. ii LEMBAR PERNYATAAN ………………………….............................
iii
ABSTRAK ……………………………………………………………...... iv KATA PENGANTAR ……………………………………......................
v
DAFTAR ISI ……………………………………………………….......… viii DAFTAR TABEL …………………………………………………….…... xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ……………….. 6 C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 6 D. Kegunaan Penelitian …………………….…………… 7 E. Metodologi Penelitian …………………………..……. 7 1. Jenis Penelitian …………………………………… 7 2. Pendekatan Penelitian ……………………………. 8 3. Metode Pengumpulan Data ……………………… 8 4. Teknik Analisa Data ……………………………... 9 F. Definisi Operasional …………………………………. 9
BAB II
KONSEP KECERDASAN DAN PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM A. Kecerdasan ……………………………….…………… 12 1. Pengertian Kecerdasan ……………………………. 12 2. Teori-Teori Kecerdasan …………………………… 15 viii
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ……………... 26 1. Pengertian Pembelajaran …………………………… 26 2. Pengertian Pendidikan Agama Islam ……………….
30
3. Dasar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ……..
33
4. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam …….
34
5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam …………..
38
6. Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 38 7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ………………………….. BAB III
39
KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER A. Biografi Howard Gardner Dan Karya-Karyanya ……. 48 1. Biografi Howard Gardner …………………………
48
2. Karya-Karya Howard Gardner ……………………
57
B. Latar Belakang Munculnya Teori Kecerdasan Majemuk……………………………………………… 73 1. Ide Mengenai Kecerdasan Majemuk …………….. 74 2. Pandangan Awal Mengenai Kecerdasan ………… 82 3. Landasan Biologis Mengenai Kecerdasan ………. 91 C. Macam-Macam Kecerdasan Perspektif Howard Gardner………………………………………………... 94 1. Kecerdasan Linguistik/Verbal ……………………… 95 2. Kecerdasan Logis-Matematis ……………………… 99 3. Kecerdasan Visual-Spasial ………………………… 102 4. Kecerdasan Kinestetis-Jasmani ……………………. 105 5. Kecerdasan Musikal ……………………………….. 108 6. Kecerdasan Interpersonal ………………………….. 110 7. Kecerdasan Intrapersonal ………………………….. 112 8. Kecerdasan Naturalis ………………………………. 114
ix
BAB IV
PENERAPAN KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER DAN PENERPANNYA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Mengenal Multiple intelligences Siswa ………………… 117 B. Mempersiapkan Pengajaran PAI ……………………….. 120 C. Strategi Pengajaran PAI Berbasis Multiple Intelligences… 124 D. Menentukan Evaluasi …………………………………… 126 E. Penerapan Multiple Intelligences dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ……………………………… 128
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………… 152 B. Saran ………………………………………………….. 154
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 156
x
DAFTAR TABEL 4.1 Skema Kemungkinan Kegiatan Untuk Topik Mawaris ……………… 121 4.2 Operasi hitung jaritmatika ……………………………………………. 135 4.3 Jual Beli ………………………………………………………………. 146
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kecerdasan merupakan salah satu anugrah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Dan dengan kecerdasan Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhlukNya yang mempunyai bentuk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain. Allah SWT menegasakan di dalam surat At-Tin ayat 4:
―Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya‖. (Q.S. At-Tin: 4).1 Selama ini pendidikan di Indonesia menilai kecerdasan manusia terlalu sempit, manusia hanya dianggap hanya memiliki satu kecerdasan yang dapat diukur yang disebut kecerdasan logika-matematika, sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur kecerdasan tersebut adalah tes IQ. 1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2005), h. 478.
1
2
Menurut Thomas R. Hoer, sekalipun tes tersebut dapat diandalkan dan dapat memberikan skor yang sama atau hampir sama sepanjang tahun, namun sebenarnya hanya mengukur kecerdasan secara sempit karena hanya menekankan pada kecerdasan linguistik dan matematis-logis (akademis). Selanjutnya ia mengatakan, walaupun tes standar yang terfokus pada kecerdasan akademis tersebut dapat memperkirakan keberhasilan seseorang di dunia nyata, karena keberhasilan di dunia nyata saat ini mencakup lebih dari sekedar kecakapan linguistik dan matematis-logis.2 Bahkan May Lwin dkk, suatu kajian mengenal para professional yang berhasil justru menunjukkan bahwa sepertiga di antara mereka memiliki IQ rendah.3 Dengan demikian, ada kecerdasan lain yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap keberhasilan seseorang. Hal ini mendorong para ahli psikologi untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akhirnya menemukan dua kecerdasan lain di samping kecerdasan intelektual, yaitu kecerdasan emosional (EQ) yang diungkapkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ pada tahun 19954 dan kecerdasan spiritual (SQ) yang diungkapkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence pada tahun 2000.5 Praktek-praktek pembelajaran di Indonesia yang masih mengandalkan pada cara-cara yang lama yang menganggap anak hanya perlu melaksanakan kewajiban yang telah digarisbawahkan oleh guru dan orang tua harus diubah. Pembelajaran satu arah berorientasi pada keinginan guru dan kurikulum, dan
2
Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligence, (Bandung: Kaifa, 2007), h. 9-10. May Lwin dkk, How to Multiply Your Child’s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan, (Yogyakarta: Indeks, 2008), h. ix. 4 Steven J. Stein dan Howard E. Book, EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004), h. 17. 5 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual, terj. Rahmani Astuti, dkk., (Bandung: Mizan, 2007), hlm. iv. 3
3
cenderung sangat mengutamakan prestasi akademik saja perlu dikaji ulang, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.6 Kecenderungan pembelajaran yang selalu menekankan pada prestasi akademik ini akan menghasilkan generasi muda yang kurang berinisiatif seperti menunggu instruksi, takut salah, malu mendahului yang lain, hanya ikut-ikutan, salah tetapi masih berani bicara (tidak bertanggung jawab), mudah bingung karena kurang memiliki percaya diri, serta tidak peka terhadap lingkungannya. Di samping itu generasi yang demikian akan memiliki sifatsifat yang tidak sabar, ingin cepat behasil walaupun melalui jalan pintas, kurang menghargai proses, mudah marah sehingga banyak menimbulkan kerusuhan dan tawuran.7 Pendekatan di dalam pembelajaran yang sangat mementingkan aspekaspek akademik cenderung memberikan tekanan pada perkembangan intelligensi saja, karena hanya terbatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah dipersempit menjadi sekedar memiliki kecerdasan kognitif atau yang sering disebut IQ. Saat ini, kemajuan studi kecerdasan dan perkembangan-perkembangan ilmiah yang terkait dengan hal tersebut, serta model-model praktis rekayasa mengenai kecerdasan banyak dijadikan rujukan bagi perkembangan kecerdasan, khususnya di dunia pendidikan. Sambutan dunia pendidikan terhadap teori-teori baru kecerdasan sangat tinggi, bahkan sejalan dengan perhatian yang semakin dalam terhadap otak, George Bush (mantan Presiden Amerika serikat) telah menjadikan tahun 1990-2000 sebagai tahun otak,8 karena secara pragmatis gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh otak-otak cerdas merupakan kekayaan, bahkan Gary Hamel (2000) sebagaimana dikutip Agus Efendi dalam bukunya, bahwa hanya gagasan nonlinearlah yang akan menciptakan kekayaan-kekayaan baru. Oleh karena itu abad ini sering
6
C. Asri Budiningsih, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h.
111. 7
C. Asri Budiningsih, Belajar Dan Pembelajaran…, h. 112. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 20. 8
4
dikatakan sebagai abad otak (brain era). Sebuah era yang sangat menuntut penghargaan terhadap inovasi dan kreativitas.9 Trend dunia pendidikan abad 21 menuntut pola pembelajaran yang lebih memberdayakan berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki peserta didiknya. Prinsip-prinsip pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO, sebagaimana dikutip E. Mulyasa, bahwa pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to life together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar seumur hidup (life long learning)10 menuntut pola pembelajaran yang mampu mengembangkan berbagai kecerdasan peserta didik. Howard Gardner hadir dengan memperkenalkan penelitiannya yang berkaitan dengan multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Teorinya menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia. Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spektrum kecerdasan, tetapi setiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.11 Setiap kecerdasan tampak memiliki urutan perkembangan sendiri, tumbuh dan menjelma pada waktu yang berbeda dalam suatu kehidupan. Setiap orang memiliki kecenderungan pada bidangnya masing-masing. Penemuan Howard Gardner ini akan membuat sebuah sistem pendidikan menjadi terbuka sesuai dengan polanya masing-masing. Howard Gardner memberikan definisi tentang kecerdasan sebagai: 1. Kecakapan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.
9
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ..., h. 20. 10 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Rosda Karya, 2002), h. 5. 11 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 95.
5
2. Kecakapan untuk mengembangkan masalah untuk dipecahkan. 3. Kecakapan untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat di dalam kehidupan.12 Negeri Republik Indonesia yang telah merdeka selama 60 tahun lebih masih terbilang terbelakang dalam bidang pendidikan meskipun terdapat banyak lembaga pendidikan di dalamnya. Hal ini dikarenakan kurangnya penghargaan lembaga pendidikan maupun pendidik terhadap kecerdasankecerdasan yang dimiliki oleh anak didiknya. Setiap lembaga pendidikan hanya mengutamakan kecerdasan lingual dan logika-matematis saja. Dalam pendidikan, guru menginginkan siswanya berhasil. Seorang guru ketika memilih karir menjadi pendidik dan sebagai pendidik akan merasa puas jika dapat membuat perubahan dalam kehidupan generasi muda saat ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya para guru tidak hanya menggunakan satu metode dalam pengajaran, guru dapat menggunakan berbagai macam variasi model yang berlainan disesuaikan dengan intelligensi peserta didik, sebab para peserta didik mempunyai intelligensi yang berbeda dan siswa akan lebih mudah belajar bila materi disajikan dengan cara yang sesuai dengan intelligensi mereka yang menonjol.13 Sebagai pendidik semestinya sadar bahwa: 1. Pendidik percaya bahwa semua anak bisa belajar. 2. Pendidik percaya bahwa sekolah tidak lebih baik daripada kualitas para pengajarnya. 3. Pendidik percaya bahwa peran kepala sekolah adalah untuk membantu setiap orang di dalam sekolah untuk belajar.14 Teori Howard Gardner tentang multiple intelligences tersebut sangat bermanfaat jika diterapkan dalam memberikan pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah, sehingga guru tidak monoton dengan satu metode saja dalam mengajar, tetapi dapat lebih variatif dalam mengajar dengan menggunakan 12 13
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan…, h. 96. Sunarto dan Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rineka Cipta: 2002), h.
14
Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligence…, h. 4
4.
6
berbagai macam metode karena adanya kesadaran guru tentang multiple intelligences yang dimiliki oleh anak didiknya. Dari pemaparan di atas penulis merasa pentingnya pengetahuan tentang multiple intelligences (kecerdasan dari sudut pandang Howard Gardner) kepada para pendidik untuk mengetahui bagaimana kondisi kecerdasan peserta didiknya, sehingga mereka bisa memberikan metode pengajaran yang bervariasi dalam pengajaran pada materi pendidikan agama Islam pada khususnya dan seluruh pembelajaran pada umumnya, maka penulis ingin melakukan
penelitian
yang
berjudul:
“ANALISIS
KONSEP
KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER (MULTIPLE INTELLIGENCES)
DAN
PENERAPANNYA
DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dari pemaparan latar belakang masalah diatas, maka perlulah penulis membatasi masalah-masalah yang akan diangkat. Permasalahan dibatasi dalam hal: a. Konsep kecerdasan perspektif Howard Gardner. b. Penerapan konsep kecerdasan perspektif Howard Gardner dalam pembelajaran pendidikan agama Islam. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah di atas, maka agar penulisan ini terarah sesuai dengan apa yang ingin dibahas oleh penulis, penulis perlu merumuskan masalah ini sebagai berikut: a. Bagaimanakah konsep kecerdasan perspektif Howard Gardner? b. Bagaimana penerapan konsep tersebut dalam pembelajaran PAI?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitan ini, sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan yang dikaji adalah:
7
1. Mendeskripsikan konsep kecerdasan majemuk menurut Howard Gardner. Melalui deskripsi ini, diharapkan para pembaca memahami dengan jelas mengenai konsep kecerdasan majemuk menurut Howard Gardner, sebagai pengetahuan awal untuk mengembangkan kecerdasan tersebut pada metode pembelajaran PAI. 2. Mencari cara mengembangkan metode pembelajaran PAI dengan menggunakan konsep kecerdasan perspektif Howard Gardner. Sehingga kecerdasan majemuk peserta didik bisa berkembang secara baik dan sesuai dengan perkembangan mereka.
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis-akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi upaya pengembangan kecerdasan majemuk peserta didik melalui metode pembelajaran PAI. 2. Secara praktis-empiris, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru dan calon guru PAI agar senantiasa menggunakan metode-metode
pembelajaran
PAI
yang
mampu
mengembangkan
kecerdasan majemuk peserta didik dan sesuai dengan perkembangan mereka yang bersifat humanis dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam di institusi-institusi pendidikan formal maupun nonformal dalam kehidupan sosial masyarakat.
E. Metodologi 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif15
yang
dapat
dikategorikan sebagai penelitian pustaka (library research), yaitu jenis 15
Penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode
8
penelitian yang dilakukan melalui penelaahan tehadap buku-buku dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.16 2. Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologis. Maksudnya, bahwa dalam uraian skripsi ini, khususnya pada bagian analisis, penulis banyak menggunakan teori-teori psikologi. Adapun teori psikologi yang berkaitan dengan uraian dan analisis data dalam skripsi ini adalah psikologi perkembangan. 3. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari, memilih, menyajikan, dan menganalisis data-data dari literatur atau sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti,17 baik dari buku-buku, majalah, maupun internet. Terkait dengan hal tersebut, ada dua sumber yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber-sumber tersebut adalah: a. Sumber primer, yaitu sumber yang berhubungan langsung dengan subyek yang sedang diteliti. Adapun sumber primer penelitian ini adalah: 1) Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.18 2) Multiple Intellignces: The Theory in Practice.19
ilmiah. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6. 16 Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis, dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis Penelitian Lapangan dan Perpustakaan, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2007), h. 193. 17 Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 55. 18 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, (New York: Basic Books, 1983). 19 Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice, (New York: Basic Books, 1993).
9
b. Sumber sekunder yaitu karya orang lain yang berkenaan dengan pemikiran tokoh tersebut dan sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun sumber sekundernya antara lain: 1) Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner.20 2) Multiple Intelligences for Islamic Teaching: Panduan Melejitkan Kecerdasan Majemuk Anak Melalui Pengajaran Islam.21 3) 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces.22 4) Buku Kerja Multiple Intelligences.23 5) How to Multiply Your Child’s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan.24 6) Revolusi Kecerdasan Abad 21.25 7) 50 Pemikir Pendidikan Paling Berpengaruh Dalam Dunia Pendidikan.26 8) Dan Lain sebagainya. 4. Analisis Data Untuk menganalisis data, penulis menggunakan analisis deskriptifanalitik (analisis deskriptif). Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menetukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
20
Paul Suparno, Teori Kecerdasan Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius, 2008). 21 Ariany Syurfah, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, (Bandung: Sygma Publishing, 2007). 22 Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Mnemukan dan Menignkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). 23 Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligence…. 24 May Lwin dkk, How to Multiply Your Child’s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan…. 25 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI,EI,SQ,AQ, dan Successful Intelligences atas IQ…. 26 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, terj. Farid Assifa, (Yogyakarta; IRCiSoD, 2006).
10
masyarakat27 atau dengan kata lain deskriptif berarti menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia guna memahami bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain.28 Sedangkan analitik atau analisis adalah jalan atau cara yang dipakai untuk
mendapatkan
ilmu
pengetahuan
ilmiahdengan
mengadakan
pemerincian terhadap objek yang diteliti dengan jalan memilih-milih antarasuatu pengertian dengan pengertian yang lain sekedar untuk memperoleh kejelasan mengenai objek tersebut.29 Dalam hal ini penulis ingin mendeskripsikan pandangan Howard Gardner mengenai kecerdasan majemuk yang dimiliki manusia untuk kemudian dianalisis lebih jauh guna mencari metode pembelajaran PAI yang dapat digunakan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk peserta didik yang bersifat humanis.
F. Definisi Operasional Agar dalam penulisan ini tidak terjadi kerancuan makna atau salah persepsi, maka dipandang perlu dalam penulisan ini dicantumkan definisi dari permasalahan yang diangkat. 1. Analisis: Jalan atau cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian objek yang diteliti dengan jalan memilih-milih antara suatu pengertian dengan pengertian yang lain, dan kemudian dikaji untuk memperoleh kejelasan mengenai objek tersebut. 2. Konsep: Ide atau pendapat yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret.
27
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 25. 28 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 72. 29 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1996), h. 48.
11
3. Kecerdasan: Kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan dan dapat menghasilkan produk atau jasa yang berguna dalam berbagai aspek kehidupan. Dan pada hal ini kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan yang diangkat oleh Howard Gardner, dan fokus saya hanya kepada 8 kecerdasan saja. 4. Perspektif: Sudut Pandang. 5. Howard Gardner: Seorang pemikir pendidikan yang mempelopori teori multiple intelligemces. 6. Penerapan: Memiliki arti menerapkan, yang dalam skripsi ini memiliki makna lebih kepada maksud mengembangkan konsep dari teori multiple intelligence pada metode pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI). 7. Pembelajaran: Suatu proses individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. 8. Pendidikan Agama Islam: Pendidikan agama Islam yang dimaksudkan disini adalah proses belajar mengajar yang berlangsung pada madrasah, dan mengambil objek konsep lebih kepada madrasah ibtida’iyah. Skripsi ini berisikan penyelidikan atau penganalisaan ide serta pendapat Howard Gardner tentang kecerdasan dan bagaimana mengembangkan konsep tersebut pada penerapannya dalam metode pembelajaran pendidikan agama Islam. Pada pembuatan skripsi ini, penulis ingin mencoba menemukan atau membuat teori tentang kecerdasan perspektif Howard Gardner dengan menggunakan pedoman buku-buku panduan tentang penerapan kecerdasan perspektif Howard Gardner dalam pembelajaran secara umum, kemudian penulis mencoba untuk membuat teori bagaiman cara menerapakan konsep tersebut dalam pembelajaran pendidikan Islam.
BAB II KECERDASAN DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Kecerdasan 1. Pengertian Kecerdasan Kecerdasan (intelligence) merupakan salah satu dari beberapa gejala kejiwaan yang sulit dipahami. Padahal sudah tidak diragukan lagi, bagaimana peranannya dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran masalah keceradasan Merupakan salah satu masalah pokok, karena itu tidak mengherankan kalau masalah itu banyak dikupas orang, baik secara khusus maupun sambil lalu dalam pertautan dengan pengupasan yang lain. Kecerdasan didefinisikan bermacam-macam. Para ahli, termasuk para psikolog, tidak semua ahli sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan. Karena, memang tidak mudah mendefinisikan kecerdasan. Bukan saja karena definisi kecerdasan itu berkembang, sejalan dengan berkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-sains yang berkaitan dengan otak manusia, seperti neurology atau neurobiology atau neurosains, dan penekanannya. Tetapi juga karena
penekanan
definisi
kecerdasan
tersebut sudah barang tentu akan sangat bergantung, pertama, pada pandangan
dunia, filsafat
mendasarinya;
kedua,
manusia,
dan
filsafat
ilmu yang
bergantung pada teori kecerdasan itu sendiri.
12
13
Sebagai contoh, teori kecerdasan IQ sudah barang tentu akan berbeda dengan teori EQ dan SQ dalam mendefinisikan kecerdasan.30 Menurut Spearman (yang terkenal dengan teori Spearman), ada dua faktor pada kecerdasan, yaitu faktor umum dan faktor khusus. Faktor umum mendasari hampir semua perbuatan individu, sedang faktor khusus berfungsi dalam kegiatan-kegiatan tertentu yang khas.31 C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.32 Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran inteligensi yang hidup antara tahun 1857–1911, bersama Theodore Simon mendefinisikan inteligensi terdiri dari tiga komponen yaitu: a. Kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan. b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan. c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Pada tahun 1916 Lewis Madison Terman mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak. Sedangkan H.H. Goddard pada tahun 1946 mendefinisikankecerdasan sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalahmasalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-
30
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Succesful Intelligence atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 79-80. 31 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 93. 32 Akhmad Sudrajat, http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com2008/01/12/iq-eqdan-sq-dari-kecerdasan-tunggal-ke-kecerdasan-majemuk. Diakses tanggal 14 Juni 2011.
14
masalah yang datang.33 David Weshler, mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif.34 Donald Sterner memberikan definisi tentang kecerdasan yaitu kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang sudah ada untuk memecahkan masalah-masalah baru; tingkat kecerdasan diukur dengan kecepatan memecahkan masalah.35 Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.36 Lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.37 Howard Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai "kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih.‖ Dengan kata lain,
33
Syaifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 5. 34 Syaifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi…, h. 7. 35 Harry Alder, Boost Your Intelligense, (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 15 36 http://info.balitacerdas.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=13 diakses tanggal 13 Maret 2011 37 http://info.balitacerdas.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=13, diakses tanggal 13 Juni 2011.
15
kecerdasan dapat bervariasi menurut konteksnya.38
2. Teori-Teori Kecerdasan a. Teori Faktor Kecerdasan (Factor Theories Of Intelligence) 1) Teori Dwi-Faktor (Two-Factor Theory). Teori ini dikemukakan oleh Charles Spearman, seorang ahli statistik bangsa Inggris, sebagai hasil analisis statistik terhadap item-item dalam test kecerdasan. Spearman menyatakan bahwa kecerdasan tiap orang terdiri dari kemampuan umum (general ability) yang bekerjasama dengan kemampuan-kemampuan khusus (special abilities). Faktor kecerdasan umum, yang dilambangkan dengan huruf g dan faktor khusus dilambangkan dengan huruf s faktor g tu berfungsi pada tiap tingkah laku mental individu atau kemampuan umum, sedangkan faktor s hanya berfungsi pada tingkah laku mental individu
yang khusus
atau kemampuan-kemampuan
yang
diperlihatkan secara khusus. Seperti keterampilan dalam bidang musik atau atletik pada kelancaran berbahasa atau bidang-bidang lainnya. 2) Teori
Multifaktor
(multifactor-theories).
Berbeda
dengan
pendapat Spearman, beberapa teoritis kecerdasan menyimpulkan bahwa kecerdasan itu memiliki komponen-komponen (multiple). Bahwa tugas intelektual yang berbeda itu selalu berhubungan dengan yang lain, mereka sependapat dengan Spearman. Hanya saja, menurut mereka, itu lebih dari sekedar fakta. Ada satu kelompok tes yang menunjukkan hubungan yang lebih tinggi satu sama lain daripada tes yang lainnya. Misalnya tes-tes memori cenderung menunjukkan hubungan yang lebih tinggi diantara testes tersebut daripada dengan tes-tes yang lainnya. Mereka yang berpandangan demikian berbeda pendapat dengan Spearman. 38
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21ST Century, (Bandung: Nuansa, 2006), h. 58.
16
Mereka mengusulkan apa yang dikenal dengan multifactor theories, yang salah satu tokohnya yang paling berpengaruh adalah
L.L.
Thurstone.
Melalui
tes-tesnya
Thurstone
mengidentifikasikan faktor-faktor yang disebutnya dengan PMA (Primary Mental Abilities). 3) Teori Hirarki (Hirarchical Theory). Menurut teori tes kecerdasan ini, kita tidak tahu mana diantara teori diatas yang paling bisa menduga kecerdasan. Sebab, masing-masing teori memiliki kebenaran. Namun kita juga bisa mengidentifikasi beberapa faktor kemampuan yang relatif independen satu dari lainnya. Tetapi ketika melakukannya, kita selalu menemukan korelasi yang signifikan di antara faktor-faktor, yang menunjukkan bahwa semua ini menunjukkan bahwa semua ini menunjukkan beberapa bentuk faktor kecerdasan umum. Konsekuensinya, diusulkan agar elemen-elemen g faktor dan multifaktor itu dikombinasikan saja untuk membentuk hierarchical theory. Dengan begitu kecerdasan itu digambarkan sebagai sebuah piramida. Di puncaknya adalah g (general) Intelligence (kecerdasan umum), yang menunjukkan semua aktivitas intelektual; di bawah piramida adalah beberapa faktor kemampuan khusus yang moderat seperti di dalam PMA Thurstone.39
b. Teori Kecerdasan Berorientasi-Proses (Process-Oriented Theories Of Intelligence) Menurut kesimpulan Morgan dkk (1986), perhatian teori ini terfokus pada bagian-bagian komponen kecerdasan dan berusaha menjelaskan bagaimana masing-masing bagian komponen kecerdasan tersebut berjalan bersama-sama, meski hal ini tidak dimaksudkan oleh mereka sebagai sekedar untuk memahami kecerdasan. Kelompok 39
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 88-89.
17
teoritisi kecerdasan ini menggunakan kosakata yang berbeda dengan kelompok yang teoritisi faktor. Ketimbang menggunakan istilah kecerdasan, mereka lebih suka menggunakan istilah kognisi (cognition) dan proses kognitif (cognitive process). Demikian juga, kelompok teori kecerdasan berorientasi-proses ini memperhatikan bagaimana orang memecahkan masalah dan memberikan jawaban-jawaban daripada memperhatikan berapa banyak jawaban benar yang diberikan oleh orang tersebut.40 Mereka lebih memperhatikan perkembangan proses intelektual. Artinya,
bagaimana
proses-proses
tersebut
berubah
sebagai
kematangan individual. Diantara tokoh utama yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Piaget (1970). Piaget-lah yang menguraikan perkembangan teori kognitif dengan sangat mendetail dan komprehensif
sehingga
pendekatannya disebut dengan
epitemologi genetik (genetic epitemology). Dikatakan epistemologi genetik karena fokusnya pada asal-usul dan perkembangan (kata asalusul tersebut tidak merujuk kepada gen dan hereditas). Menurut biolog, filosof dan psikolog Swiss ini, kecerdasan merupakan proses adaptif
yang
melibatkan
interplay
(pengaruh-mempengaruhi)
kematangan biologis (asimilasi dan akomodasi) dan melibatkan dengan lingkungan; asimilasi artinya memodifikasi lingkungan seseorang sehingga sejalan dengan cara berpikir dan bertindaknya yang sudah dikembangkannya; dan akomodasi artinya memodifikasi seseorang sehingga sesuai dengan karakteristik lingkungan yang ada.41 Kita disebut berpikir formal-operasional ketika kita berpikir dengan menggunakan konsep-konsep abstrak pada objek-objek atau tindakan-tindakan 40
kongrit
secara
bersama-sama.
Ketika
anak
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 89. 41 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 90.
18
menjawab "untuk mencegah agar orang tidak mencuri" atas apa pertanyaan "apa tujuan hukuman",berarti anak itu sedang berpikir formal-operasional pada tingkat yang masih sederhana. Berpikir hipotetik dan abstrak akan membuat deduksi dan induksi lebih canggih. Deduksi adalah penalaran yang dimulai dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang khusus. Sedangkan induksi adalah sebaliknya, yakni cara berpikir yang memulai dari hal-hal yang spesifik atau dari contoh-contoh dan menerapkannya dalam hal-hal umum dan abstrak yang disebut dengan generalisasi. Kedua proses berpikir seperti ini dapat kita saksikan pada orang-orang dewasa ketika mereka sedang berpikir, misalnya tentang alam, sains, dan bahkan masalah masalah sosial. Berpikir logis intrapersonal, kemampuan berpikir seperti ini adalah kemampuan berpikir yang melibatkan penilaian atas hubungan formal diantara proposisi-proposisi. Ini pula salah satu sebab mengapa fase perkembangan intelektual ini disebut dengan operasi formal. Berpikir reflektif, yakni cara berpikir yang mengevaluasi dan menguji penalaran kita sendiri, cara berpikir yang mengizinkan seseorang untuk mengkritisi cara berpikir formal-operasionalnya sendiri, atau untuk mengevaluasi proses, gagasan, atau pemecahan masalah dari perspektif orang lain serta menemukan kesalahankesalahan atau titik lemah dalam pemikiran-pemikirannya. Cara berpikir reflektif, menurut kelompok teori kecerdasan berorientasiproses, adalah cara berpikir yang akan dapat membuat orang dewasa menjadi dewasa, menjadi orang yang memiliki kekuatan dalam bereksperimen dan menjadi pemecah masalah.42
c. Kecerdasan Intelektual (IQ) Seorang psikolog Prancis, Alfred Binet, mengembangkan tes IQ 42
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 91-92.
19
pertama. Orang yang mendapat angka di bawah 50 berarti dia bodoh. Jika skornya 90-110 berarti kecerdasannya normal seperti yang dimiliki oleh 48% penduduk seluruh dunia. Sedangkan orang yang mempunyai IQ di atas 140 termasuk jenis manusia genius.43 Pada mulanya, Alfred Binet diminta untuk mengembangkan sebuah alat yang dapat mengenali anak-anak dengan mental terbelakang dan membutuhkan bantuan ekstra. Saat itulah tes kecerdasan pertama di dunia terlahir.44 Sebenarnya tes IQ hanya memperlihatkan kemampuan orang melakukan
olah
otak, demikian
komentar
kritikus. Walaupun
demikian bagi banyak orang, tes tersebut menjadi batu sandungan untuk maju ke langkah berikutnya. Hasil perolehan nilai tes IQ dapat menentukan sekolah yang boleh dimasuki oleh seseorang, juga para pelamar pekerjaan gagal karena salah menjawab karena jawaban yang salah diidentikkan dengan kekurang kecerdasan seseorang.45 Selama ini kita hanya diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama dan utama kecerdasan kita. Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita pun dikatakan
memiliki kualitas kecerdasan
intelektual yang tinggi, dan kemudian kita dipuji-puji sebagai orang ―pintar‖ dan bahkan ―brilian‖. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ kita, semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian kita dicap sebagai orang bodoh. Cerdas-tidaknya otak kita, sepertinya hanya ditentukan melalui tes kecerdasan yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Ini mengantar kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut "cara berpikir IQ": "bahwa orang itu entah cerdas atau tidak terlahir secara demikian; bahwa tak ada banyak hal yang dapat anda lakukan
43
http://warkop.net/?p=19 (APAKAH TES IQ MENENTUKAN KECERDASAN) diakses tanggal 17 Maret 2011. 44 Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligences, (Bandung: Kaifa, 2007), h. 8 45 http://warkop.net/?p=19 (APAKAH TES IQ MENENTUKAN KECERDASAN) diakses tanggal 17 Maret 2011.
20
untuk mengubahnya; dan bahwa tes-tes itu dapat menunjukkan apakah anda termasuk orang cerdas atau bukan".Kekhasan cara berpikir IQ terutama terletak pada pemikiran rasional dan
logis.
IQ memang menjadi fakultas rasional dari manusia. Hal itu misalnya, Nampak dari cara berpikir IQ yang cenderung linier, dan merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis, seperti 2+2=4. Cara berpikir di luar kaidah ini dipandang sebagai tidak baku dan bahkan sering kali dianggap salah.46 Di berbagai sekolah dan perguruan tinggi, mahasiswa yang ber-IQ tinggi biasanya menduduki rangking tinggi dan sekaligus memperoleh prestasi akademis. Demikian pula dalam dunia kerja; mereka akan segera memperoleh pekerjaan yang menjanjikan selepas dari perguruan tinggi. Apalagi, banyak perusahaan besar telah lama melakukan semacam "nota kesepakatan" dengan perguruan tinggi bergengsi dalam rangka perekruta lulusan-lulusan terbaik untuk bergabung ke dalam perusahaan. Mata rantai itulah yang kemudian memperkuat persepsi dan citra di kalangan masyarakat luas bahwa orang yang ber-IQ tinggi akan mempunyai masa depan yang lebih cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal itu merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: Ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup; sebaliknya, ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depanya.
d. Kecerdasan Emosional (EQ) Istilah kecerdasan emosional baru dikenal secara luas pertengahan 90-an dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman, Emotional Intelligence. Sebenarnya Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosional ini lebih dari 10 tahun. Ia menunggu waktu sekian lama 46
2011.
http://theonzero.blogspot.com/2008/03/iq-eq-dan-sq.html diakses tanggal 17 Maret
21
untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang kuat. Sehingga saat Goleman mempublikasikan penelitiannya, Emotional Intelligence mendapat sambutan positif baik dari akademisi maupun praktisi.47 Daniel Goleman, dalam karyanya, Working With Emotional Intelligence. Dia mendefinisikan kecerdasan emosional dengan "kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain."Sedangkan dalam Emotional Intelligence secara tidak langsung Goleman juga menunjukkan definisi kecerdasan emosional. Ia menulis sebagai berikut,"…kecerdasan emosional, kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati, berempati dan berdoa.48 Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi, tetapi bila kecerdasan emosional rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosional, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya lebih
rendah
tetapi
unggul
dalam
keterampilan
kecerdasan
49
emosional.
Keterampilan kecerdasan emosional bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Semakin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosional. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang yang 47
Agus Nggermanto, Quantum Quotient, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 98. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 173. 49 Agus Nggermanto, Quantum Quotient…, h. 98. 48
22
pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosional, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum, yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi orang juga memerlukan kecerdasan emosional untuk
memanfaatkan potensi bakat mereka
secara penuh. Penyebab tercapainya potensi maksimum
adalah
50
karena ketidaksetabilan emosi.
Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai
kesuksesan
di
sekolah, tempat
kerja, dan dalam
berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 1) Mengenali Emosi Diri Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan. 2) Mengelola Emosi Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil 50
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 69.
23
dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri. 3) Mengenali Emosi Orang Lain Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. 4) Membina Hubungan Dengan Orang Lain Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan
sosial
yang
mendukung
keberhasilan
dalam
pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya
karena
tidak
dimilikinya
keterampilan-
keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali
dianggap
angkuh,
mengganggu
atau
tidak
berperasaan.51 Dalam bahasa agama EQ adalah kepiawaian menjalin hubungan terhadap manusia yang biasa disebut ―hablun min alnaas‖. Pusat dari EQ adalah "qalbu". Hati mengaktifkan nilainilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati 51
Zainun Mu'tadin dalam http://psikologi.ums.ac.id/modules.php?name=News&file =article&sid=6 diakses tanggal 14 Maret 2011.
24
merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.52 Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak, sangat dianjurkan oleh lslam. Hati yang bersih dan tidak tercemar-lah yang dapat memancarkan EQ dengan baik. Diantara hal yang merusak hati dan memperlemah daya kerjanya adalah dosa. EQ berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Apabila petunjuk agama dijadikan panduan kehidupan, maka akan berdampak positif terhadap kecerdasan emosional. Begitu pula sebaliknya, jika petunjuk agama tidak dijadikan panduan kehidupan, maka akan berdampak negatif terhadap kecerdasan emosional.
e. Kecerdasan Spritual (SQ) Menurut Danar Zohar kecerdasan spiritual adalah "kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan, ego, atau jiwa sadar. Intinya kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru".53 Menurut Ary Ginanjar Agustian di dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhidi, serta berprinsip "hanya karena Allah".54 SQ berbeda dengan IQ dan EQ. IQ adalah jenis kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika dan strategis. Sementara EQ adalah jenis kecerdasan yang memberi kita rasa
52
Husnaini. A. dalam http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM %20ISLAM/keseimbangan%20IQ.pdf diakses tanggal 17 Juni 2011. 53 Agus Nggermanto, Quantum Quotient…, h. 117. 54 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), h. 57.
25
empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. Adapun SQ adalah jenis kecerdasan yang memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ adalah kecerdasan yang mampu memberikan kita kemampuan membedakan, rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dengan dibarengi dengan pemahaman dan cinta. SQ juga adalah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya; kemampuan yang digunakan untuk bergulat dengan ikhwal baik dan jahat, untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud – untuk bermimpi, bercita-cita dan mengangkat diri kita dari kerendahan.55 Perlu ditegaskan bahwa secara harfiah SQ menumbuhkan otak manusiawi kita. SQ adalah kecerdasan yang mampu "menyalakan" kita. Dengan SQ, kita akan menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberikan kita potensi untuk "menyala" lagi, untuk tumbuh dan berubah serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi. Dengan SQ pula, kita bisa menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif, untuk berhadapan dengan masalah eksistensial –yaitu saat secara pribadi kita merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah
masa
lalu
akibat
penyakit dan kesedihan. SQ-lah yang menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah eksistensial. SQ akan membuat kita mampu mengatasinya; member kita suatu rasa yang ―mendalam‖ menyangkut perjuangan hidup pedoman kita di saat kita berada di ‖ujung‖. SQ adalah hati nurani kita, yang mampu membuat kita menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membantu kita menjalani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam; menghadapi masalah baik dan jahat, hidup dan mati, serta asal-usul sejati dari 55
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 207.
26
penderitaan dan keputusasaan manusia.56 Dr. Marsha Sinetar menafsirkan SQ sebagai pemikiran yang terilhami. SQ adalah cahaya ciuman kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. SQ membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi. SQ melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti mewujudkan hal yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta.57 Dari sudut psikologi memberi tahu kita bahwa ruang spiritual pun memiliki arti kecerdasan. Logika sederhananya: diantara kita bisa saja ada
yang
tidak
cerdas
secara
spiritual,
dengan
ekspresi
keberagamaannya yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang sering kali berakibat pada kobaran konflik atas nama agama. Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spiritual sejauh orang itu mengalir dengan penuh kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan bahkan pluralis dalam beragama di tengah pluralitas agama.
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pembelajaran Hidup merupakan pelatihan dalam pembelajaran. Dari ratusan peristiwa yang terjadi dalam satu hari, tiap-tiap peristiwa dapat mengembangkan kemampuan kita untuk lebih mengenal diri kita sendiri dan juga dunia. Sering kita percaya bahwa hanya peristiwa-peristiwa tertentu yang dapat dikatakan sebagai situasi belajar yang sejati, sedangkan yang lain hanya bagian dari kehidupan sehari-hari, yang tidak layak diperhatikan apalagi disebut-sebut. Namun, sebagian orang 56
Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 209. 57 http://theonzero.blogspot.com/2008/03/iq-eq-dan-sq.html diakses tanggal 17 Maret 2011.
27
memandang setiap kejadian sebagai kesempatan belajar. Mereka mencari makna dalam segala macam pengalaman dan tidak pernah terseret dalam rutinitas yang membosankan.58 Prof. DR. H. Mohammad Surya memberikan definisi tentang pembelajaran yaitu, suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.59 Beberapa prinsip yang menjadi landasan pengertian tersebut di atas adalah: a. Pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku. Prinsip ini mengandung makna bahwa ciri utama proses pembelajaran itu ialah adanya perubahan perilaku dalam diri individu. Artinya seseorang yang telah mengalami pembelajaran akan berubah perilakunya. Tetapi tidak semua perubahan perilaku sebagai hasil dari pembelajaran. b. Hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan perilaku secara keseluruhan. Prinsip ini mengandung makna bahwa perubahan perilaku sebagai hasil pembelajaran adalah meliputi semua aspek perilaku bukan hanya satu atau dua aspek perilaku saja, kognitif, afektif atau motorik. Misalnya seorang siswa disebut telah mengalami pembelajaran dalam musik, maka siswa tersebut berubah dalam hal pemahamannya tentang musik, alat-alat musik, memiliki kemampuan dalam memainkan alat-alat musik dengan baik, dan sebagainya. Pembelajaran yang hanya menghasilkan perubahan satu atau dua aspek perilaku saja, disebut sebagai pembelajaran sebahagian (partial learning) dan bukan pembelajaran lengkap (complete learning). c. Pembelajaran merupakan suatu proses, prinsip ini mengandung makna 58
Bob Samples, Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain Untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda,(Bandung: Kaifa, 2002), h. 112. 59 Mohammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, (Bandung: Bani Quraisy, 2004), h. 7.
28
bahwa
pembelajaran
itu
merupakan
suatu
aktivitas
yang
berkesinambungan. Di dalam aktivita itu terjadi adanya tahapantahapan aktivitas yang sistematis dan terarah. Jadi, pembelajaran bukan sebagai suatu benda atau keadaan yang statis, melainkan suatu rangkaian aktivitas-aktivitas yang dinamis dan saling berkaitan. Pembelajaran tidak dapat dilepaskan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Jadi, selama proses pembelajaran itu berlangsung, individu akan senantiasa berada dalam berbagai aktivitas yang tidak terlepas dari lingkungannya. Dengan demikian, suatu pembelajaran yang efektif adalah apabila pelajar-pelajar melakukan perilaku secara aktif. d. Proses pembelajaran terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong dan ada sesuatu tujuan yang akan dicapai. Prinsip ini mengandung makna bahwa aktivitas pembelajaran itu terjadi karena adanya kebutuhan yang harus dipuaskan, dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Atas dasar prinsip ini, maka pembelajaran akan terjadi apabila individu merasakan adanya kebutuhan yang mendorong dan ada sesuatu yang perlu dicapai untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Belajar tidak akan efektif tanpa adanya dorongan dan tujuan. e. Pembelajaran merupakan bentuk pengalaman. Pengalaman pada dasarnya adalah kehidupan melalui situasi yang nyata dengan tujuan tertentu. Pembelajaran merupakan bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga banyak memberikan pengalaman dari situasi nyata. Perubahan perilaku yang diperoleh dari pembelajaran, pada dasarnya merupakan pengalaman. Hal ini berarti bahwa selama individu dalam proses pembelajaran hendaknya tercipta suatu situasi kehidupan yang menyenangkan sehingga memberikan pengalaman yang berarti.
29
Pada masa lalu pembelajaran hanya dimaksudkan sebagai sekedar penyampaian ilmu pengetahuan, pembelajaran tidak terkait dengan belajar, termasuk tujuannya sebab jika guru telah menyampaikan ilmu pengetahuan maka tercapailah maksud dan tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran tidak ada kaitannya dengan belajar itu sendiri, pembelajaran lebih terkonsentrasikan pada kegiatan guru daripada kegiatan siswa. Sedangkan pada masa sekarang, pembelajaran dikaitkan dengan belajar, maka dalam rangka merancang aktivitas belajar, siswa harus dijadikan
titik
tolak
dalam
merancang
pembelajaran.
Hakekat
pembelajaran secara umum adalah pembelajaran dilukiskan sebagai upaya orang yang tujuannya adalah membantu orang belajar. Hakekat pembelajaran secara umum adalah pembelajaran dilukiskan sebagai upaya orang yang tujuannya adalah membantu orang belajar. Jadi yang dimaksud dengan pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu di mana terdapat unsur manusiawi, material fasilitas, prosedur dan perlengkapan yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran serta untuk memperoleh perubahan prilaku sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dangan lingkungannya agar tercipta suasana dan kondisi belajar yang kondusif bagi siswa sehingga siswa bergairah dan aktif belajar dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal.60 Sedangkan Munif Chatib memberikan definisi pembelajaran adalah sebagai proses transfer ilmu dua arah, antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Ada dua pihak yang harus bekerja sama apabila proses pembelajaran ingin berhasil. Apabila kerja sama ini tidak berjalan mulus, proses belajar yang dijalankan gagal. Maksud gagal dalam hal ini adalah indikator hasil belajar yang sudah diterapkan dalam silabus tidak berhasil diraih siswa. Pola kerja sama yang harus diketahui oleh guru adalah proses pembelajaran yang bersifat dua arah pada hakikatnya adalah dua proses 60
Mohammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran…, h. 8-9.
30
yang berbeda: a. Proses Pertama, guru mengajar atau memberikan presentasi. b. Proses Kedua, siswa belajar atau siswa beraktivitas. Proses transfer pengetahuan dalam pembelajaran akan berhasil apabila waktu terlama difokuskan pada kondisi siswa beraktivitas, bukan pada kondisi guru mengajar. Bagi guru yang sudah berpengalaman menggunakan strategi multiple intelligences, waktu guru menyampaikan presentasinya hanya 30%, sedangkan 70% digunakan untuk siswa beraktivitas. Keberhasilan pembelajaran juga lebih cepat terwujud apabila proses transfer dilakukan dengan suasana menyenangkan.61
2. Pengertian Pendidikan Agama Islam Untuk menunjukkan istilah pendidikan, manusia mempergunakan term istilah tertentu. Dalam bahasa Inggris, penunjukkan tersebut dengan menggunakan istilah education. Dalam bahasa Arab, pengertian kata pendidikan, sering digunakan pada beberapa istilah, antara lain, at-ta'lim, at-tarbiyah, dan at-ta'dib. Namun demikian, ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjuk pada pengertian pendidikan. a. Kata at-ta'lim yaitu kata pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. b. Kata at-tarbiyah yaitu kata yang mempunyai arti mengasuh, mendidik dan memelihara. c. Kata at-ta'dib yaitu kata yang dapat diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata at-ta'dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi yang berakhlak mulia. Abdul Munir Mulkan, mengartikan pendidikan agama Islam sebagai suatu kegiatan insaniah, memberi atau menciptakan peluang untuk teraktualnya akal potensial menjadi akal aktual, atau diperolehnya 61
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences Di Indonesia, (Bandung: Kaifa, 2009), h. 135.
31
pengetahuan yang baru.62 A. Zaki Badawi melihat bahwa pendidikan agama Islam adalah organisasi masyarakat yang memberi pengaruh aktivitasnya bagi keluarga dan lembaga sekolah, dalam upaya mengembangkan potensi anak didik, baik dari aspek jasmani, akal, maupun akhlak. Dengan demikian, memungkinkan anak didik dapat hidup sesuai dengan perkembangan lingkungan di mana dia berada.63 Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaebany mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan. Usaha melakukan perubahan ini harus dilandasi oleh nilai-nilai islami, yakni Qur'an dan Sunnah Nabi.64 Di dalam UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan banwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.65 Di dalam GBPP pendidikan agama Islam di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
62
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 93. 63 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam…, h. 93. 64 Sama'un Bakry, Menggagas Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Qurasy, 2005), h. 10. 65 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 75.
32
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.66 Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran,
dan
latihan
dengan
memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.67 Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu berikut ini: a. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai. b. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Agama Islam. c. Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang melaukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap para peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. d. Kegiatan (pembelajaran) pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial.68 Jadi dapat diambil suatu pengertian pembelajaran dan pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu di mana terdapat unsur manusiawi, material, fasilitas, prosedur dan perlengkapan 66
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam…, h. 76. Depag RI/Dirjen Kelembagaan Agama Islam, GBPP PAI (Jakarta: 2008), h. 22. 68 Depag RI/Dirjen Kelembagaan Agama Islam, GBPP PAI…, h. 25. 67
33
yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran serta untuk memperoleh perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya agar tercipta suasana dan kondisi belajar yang kondusif bagi siswa sehingga siswa bergairah dan aktif belajar dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak didik yang sesuai dengan ajaran Islam.
3. Dasar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Setiap usaha, kegaitan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat Oleh karena itu pendidikan agama Islam sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua perumusan tujuan pendidikan agama Islam itu dihubungkan Landasan itu terdiri dari alQur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah al-mursal, istihsan, qiyas dan sebagainya.69 a. Al-Qur’an Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad bagi seluruh umat manusia. Al-Qur'an merupakan petunjuk lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.70 Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu'amalah. Di dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca surat Lukman ayat 12-19. Cerita itu menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan.71
69
Zakiyah Derajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 19. Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam.., h. 95. 71 Zakiyah Derajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam.., h. 20. 70
34
b. Hadits (Sunnah) Secara sederhana, Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan pernyataan (taqrir).
Yang dimaksud
dengan
perkataan
Nabi
Muhammad SAW adalah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (syari'at), akhlak, aqidah, pendidikan dan sebagainya. Perbuatan Nabi Muhammad SAW, merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari'at yang belum jelas cara pelaksanaannya. Sedangkan taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau dikatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.72 c. Ijtihad Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari'ah Islam dalam hal-hal menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari'at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh alQur'an dan Sunnah. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah yang diolah akal yang sehat dari para ahli pendidikan agama Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.73
4. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Tujuan pendidikan agama Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya di dalamnya mengandung nilai-nilai tertentu sesuai dengan pandangan 72
Fathur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma'arif, 1974), h. 20-
73
Zakiyah Derajat, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 21.
24.
35
dasar masing-masing yang harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non-fisik. Tujuan dalam proses kependidikan Islam adalah idealitas yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikan Islam berdasarkan ajaran Islam. Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, tujuan umum pendidikan agama Islam adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau mempersiapkan peserta didik ke jalan yang mengacu pada tujuan akhir manusia. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepadaNya.74 Sedangkan Zakiyah Derajat dan kawan-kawan berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan tertentu. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dangan seluruh aspek kehidupannya.75 Dilihat dari ilmu pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermedier (sementara atau antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir. Tujuan
insidental
merupakan
peristiwa
tertentu
yang
tidak
direncanakan, akan tetapi dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi, dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu anak didik timbul kemampuannya untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus diyakini kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian
74
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur.an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 133. 75 Zakiyah Derajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 29.
36
dari tujuan antara untuk mencapai tujuan akhir pendidikan.76 Nur Uhbiyati membagi tujuan pendidikan agama Islam menjadi empat yaitu: a. Tujuan Umum Tujuan umum dari pendidikan agama Islam ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum pendidikan agama Islam harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional Negara tempat dimana pendidikan agama Islam itu dilaksanakan, dan harus dikaitkan dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan. b. Tujuan Akhir Pendidikan Islam berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan akhir pendidikan Islam yaitu mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT, inilah merupakan ujung dan akhir dari proses hidup. c. Tujuan Sementara Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara membentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik. d. Tujuan Operasional Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan tercapai tujuan tertentu.77 Secara umum tujuan pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan 76
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 38-39. Nur Ubhiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 64-68. 77
37
keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.78 Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu: a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam. b. Dimensi pemahaman dan penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran Islam. c. Dimensi penghayatan atau pengamalan batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam. d. Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran agama Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilainilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertkwa
kepada
Allah
SWT
serta
mengaktualisasikan
dan
merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.79 Rumusan tujuan pendidikan agama Islam ini mengandung pengertian bahwa proses pendidikan agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah mulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ke tahap afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan bergerak untuk mengamalkan dan mentaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik) yang 78 79
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam…, h. 78. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam…, h. 78.
38
telah diinternalisasikan dalam dirinnya. Dengan demikian akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.80 Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk meningkatkan keimanan, penghayatan, pemahaman peserta didik sehingga menjadi manusia yang berahklak mulia, bertakwa kepada Allah dan dapat berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Al-Qur’an dan Hadits b. Aqidah c. Akhlak d. Fiqih e. Tarikh dan kebudayaan Islam 81 Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
6. Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Cakupan materi pada setiap aspek dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang terpadu melalui pendekatan: a. Keimanan, yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah SWT sebagai sumber kehidupan. b. Pengamalan, mengkondisikan peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan akhlak mulia dalam kehidupan 80
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam…, h. 79. Departemen Agama RI/Dirjen Pendidikan Islam, Standart Isi dan Standart Kelulusan Pendidikan Agama Islam Untuk SMP, (Jakarta, 2008), h. 4. 81
39
sehari-hari. c. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits serta dicontohkon oleh para ulama. d. Rasional, usaha meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran Aqidah dan Akhlaq dengan pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai-nilai yang ditanamkan mudah dipahami dengan baik. e. Emosional, upaya menggugah emosi perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati aqidah dan akhlak mulia sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik. f. Fungsional, menyajikan materi PAI yang memberikan manfaat nyata bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas. g. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan guru serta komponen Madrasah lainnya sebagai teladan; sebagai cerminan dari seorang individu dari yang memiliki keimanan dan akhlak mulia.82
7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni: a. Faktor internal, (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa. b. Faktor eksternal, (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa 82
h. 17.
Departemen Agama RI/Dirjen Pendidikan Islam, Standart Isi PAI, (Jakarta, 2008),
40
untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran. Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan memperngaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif eksentrik (faktor eksternal) umpamanya,
biasanya
cenderung
mengambil
pendekatan
belajar
sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut di ataslah, muncul siswa-siswa yang highachievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan professional
diharapkan
mampu
mengantisipasi
kemungkinan-
kemungkinan munculnya kelompok-kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.83 a. Faktor Internal Siswa Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek yaitu aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat ruhaniah), diantaranya: 1) Aspek Fisiologis Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendisendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika diserta pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya
pun
kurang
atau
tidak
berbekas.
Untuk
mempertahankan jasmani agar tetap bugar, siswa sangat 83
145.
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 144-
41
dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan untuk memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tepat dan berkesinambungan.84 Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga, selaku guru yang professional seyogyanyalah bekerjasama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan penlihatan siswa-siswa tertentu ialah dengan menempatkan mereka di deretan bangku terdepan secara bijaksana.85 2) Aspek Psikologis Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah tingkat kecerdasan, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa. a) Kecerdasan Siswa Kecerdasan pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, kecerdasan bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh yang lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan kecerdasan manusia lebih menonjol daripada peran 84 85
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 145. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 146.
42
organ tubuh yang lainnya, lantaran otak merupakan "menara pengontrol" hampir seluruh aktivitas manusia.86 b) Sikap Siswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi keahliannya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan kepada para siswa akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka.87 c) Bakat Siswa Secara Umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas 86 87
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 147. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 149.
43
masing-masing. Jadi, secara global bakat mirip dengan inteligensi.88 d) Minat Siswa Secara sederhana minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber, minat tidak termasuk istilah popular di dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada
faktor-faktor
internal
lainnya,
seperti
pemusatan
perhatian, keingintahuan dan kebutuhan. Namun terlepas dari masalah popular atau tidak, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang studi tertentu. Guru dalam kaitan ini seyogyanya berusaha membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara yang kurang lebih sama dengan kiat membangun sikap positif seperti terurai di muka.89 e) Motivasi Siswa Pengertian
dasar
motivasi
ialah
keadaan
internal
organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah. Dalam
perkembangan
selanjutnya,
motivasi
dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal
dari
dalam
diri
siswa
sendiri
yang
dapat
mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk 88 89
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 150. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 151.
44
kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan. Adapun motivasi ektrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru, dan seterusnya ektrinsik
merupakan yang
dapat
contoh-contoh menolong
konkret
siswa
untuk
motivasi belajar.
Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses mempelajari materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.90
b. Faktor Eksternal Selain faktor internal yang berpengaruh dalam proses belajar siswa, terdapat pula faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses belajar yaitu: 1) Lingkungan Sosial Pendapat yang tak dapat disangkal adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk homo socius. Semacam makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama satu sama lainnya. Hidup dalam kebersamaan dan saling membutuhkan akan melahirkan interaksi sosial. Saling memberi dan saling menerima merupakan kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan sosial. Dalam lingkungan sosial siswa tidak bisa terlepas dari lingkungan keluarga, dan lingkungan keluarga merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa. Ada beberapa hal yang mempengaruhi siswa di lingkungan keluarga, yaitu: 90
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar…, h. 152.
45
a) Cara Orang Tua Mendidik Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap
belajar
anaknya.
Orang
tua
yang
kurang
memperhatikan pendidikan anaknya, mungkin anak sendiri sebetulnya pandai, tetapi karena cara belajarnya tidak teratur akibat kurang dapat perhatian dari orang tua akhirnya kesukaran-kesukaran
memupuk
sehingga
mengalami
ketinggalan dalam belajarnya dan akhirnya anak malas belajar. b) Relasi Antar Anggota Keluarga Relasi antaranggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau anggota keluarga yang lain. Wujud relasi itu misalnya, kasih sayang, perhatian atau kebencian, acuh tak acuh, sikap seperti ini akan mempengaruhi belajar anak. c) Suasana Rumah Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadiankejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar. Suasana rumah yang gaduh dan semrawut tidak akan memberi ketenangan kepada anak yang belajar. d) Keadaan Ekonomi Keluarga Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya juga membutuhkan fasilitas belajar. Fasilitas belajar hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. e) Pengertian Orang Tua Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas dirumah. Kadang-kadang anak mengalami kurang semangat, orang tua wajib member pengertian dan mendorongnya, dan
46
membantu sebisa mungkin kesulitan anak. f) Latar Belakang Budaya Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak belajar.91 Lingkungan sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan mampu memberikan suri tauladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.92 Lingkungan masyarakat merupakan salah satu lingkungan sosial siswa, yang dimaksud dengan Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial atau sosialkultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan anak.93 Dalam
kehidupan
bermasyarakat,
siswa
melakukan
interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat yang lainnya. Kondisi masyarakat di lingkungan yang begitu beragam, juga menghasilkan keragaman sikap maupun perilaku pula yang tercipta pada diri siswa.
2) Lingkungan Non-Sosial Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non-sosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa. 91
Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 62-66. 92 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 137. 93 Syamsu Yusuf LN., Psikologi Belajar Agama, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 42.
47
Pembangunan gedung sekolah yang tak jauh dari hiruk pikuk lalu lintas menimbulkan kegaduhan suasana kelas. Pabrik-pabrik yang didirikan di sekitar sekolah dapat menimbulkan kebisingan di dalam kelas. Bagaimana anak didik bisa berkonsentrasi dengan baik bila berbagai gangguan itu selalu terjadi di sekitar anak didik. Jangankan berbagai gangguan dari berbagai hal di luar sekolah, ada seseorang yang hilir mudik di sekitar anak yang sedang belajar, anak tersebut tidak mampu berkonsentrasi dengan baik.94
c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning) Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu.95
94 95
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan…, h. 145. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan…, h. 155.
BAB III KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER A. Biografi Howard Gardner Dan Karya-Karyanya 1. Biografi Howard Gardner Howard Gardner adalah seseorang ahli psikologi perkembangan dan professor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University Amerika Serikat. Howard Gardner dilahirkan di Scranton, Pennsylvania, pada tahun 1943.96 Gardner dan keluarganya tinggal di wilayah pertambangan batubara di timur laut Pennsylvania, amerika Serikat. Kedua orang tuanya, Ralph dan Hilde Gardner, termasuk pengungsi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi Jerman dan kemudian menetap di Amerika Serikat pada tanggal 9 November 1938.97 Orang tuanya kehilangan anak pertama mereka yang saat itu berumur delapan tahun akibat kecelakaan kereta luncur.98 Anak tersebut adalah Eric, kakak Gardner yang saat itu meninggal menjelang kelahiran Gardner. Kejadian tersebut tidak pernah
96
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 158. 97 Ellen Winner, ―The History of Howard Gardner―, dalam http://www. howardgardner.com/bio/lerner_winner.html, diakses tanggal 14 maret 2011. 98 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, terj. Farid Assifa, (Yogyakarta; IRCiSoD, 2006), h. 483.
48
49
diceritakan orang tuanya selama masa kanak-kanak Gardner. Tampaknya kecelakaan yang menewaskan Eric telah menimbulkan trauma bagi orang tua Gardner. Hal ini tampak dari sikap yang ditunjukkan orang tuanya terhadap Gardner kecil. Gardner selalu dilarang melakukan aktivitas yang dapat membahayakan fisiknya, seperti bersepeda dan olahraga berat lainnya, sehingga kegemarannya pada musik, menulis, dan membacalah yang kemudian dikembangkan. Bahkan musik menjadi hal yang paling penting dalam hidupnya. Walaupun semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya tidak pernah diceritakan kepada Gardner kecil, namun Gardner sendiri yang akhirnya menemukan bahwa mereka adalah keturunan Yahudi yang dikejar-kejar Nazi.99 Menurut dia, kejadian-kejadian tersebut tetap berpengaruh besar terhadap perkembangan dan pemikirannya. Kejadian tersebut bahkan telah menjadikannya dewasa dan memahami bahwa sebagai anak sulung yang masih hidup dalam keluarga besar, ia dituntut berbuat banyak di Negara baru (Amerika Serikat). Dia juga bahwa para pemikir keturunan Yahudi dari Jerman dan Austria seperti Einstein, Freud, Marx, dan Mahler, hidup dan telah belajar serta bersaing dengan pemikirpemikir lainnya di pusat-pusat intelektual Eropa, sementara dia sendiri terkungkung di lembah Pennsylvania yang tidak menarik. Akibatnya, ia mengalami kebuntuan intelektual serta depresi ekonomi.100 Keinginan
yang
kuat
untuk
maju
dan
berkembang
serta
kegandrungannya terhadap musik menyebabkan dia menolak keinginan orang tuanya untuk
menyekolahkannya
di
Philips
Academy di
Massachusetts, dia bahkan pergi sekolah ke Wyoming Seminary di Kingston. Di sekolah tersebut dia banyak mendapatkan dukungan dan
99
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 158. 100 Joy A.Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 483.
50
perhatian dari guru-gurunya sampai akhirnya dia sukses menyelesaikan studinya.101 Setelah menyelesaikan studinya di sekolah tersebut, pada tahun 1961 dia melanjutkan studinya ke Harvard University, tempat dimana ia mengabdikan dirinya sekarang. Di universitas tersebut dia mempelajari sejarah sebagai persiapan karier di bidang hukum, khususnya pengacara. Selain itu, dia juga banyak belajar tentang sosiologi dan psikologi. Di universitas itu juga dia bertemu dengan orang-orang yang banyak memberinya inspirasi untuk membuat penelitian khusus tentang hukum alam manusia, mereka adalah pakar psikoanalisis102 Eric Erikson (orang yang telah memperkuat ambisinya untuk menjadi akademikus),103 sosiolog David Riesman, dan Psikologi kognisi Jeromer Bruner.104 Pada tahun 1965 dia berhasil memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan ilmu pengetahuan sosial. Dari sini dia bekerja bersama Jerome Bruner dalam MACOS Project. Dalam perjalanan kariernya di proyek tersebut, dia banyak membaca karya-karya Claude Levi-Strauss105 dan Jean Piaget,106 bahkan bangkitnya minat Gardner untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai ―perkembangan‖ juga terinspirasi dari karya Jean Piaget mengenai tahap perkembangan kognisi manusia. Menurut Piaget, contoh bentuk tertinggi kognisi manusia adalah kognisi yang dimiliki oleh para ilmuwan. Oleh karena itu, dia memandang bahwa anak itu dilahirkan sebagai ―bakal ilmuwan‖. Namun menurut Gardner,
101
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 158. 102 Psikoanalisis merupakan suatu sistem psikologi yang diarahkan pada pemahaman penyembuhan, dan pencegahan penyakit-penyakit mental. Liat J.P. Chaplin, Kamus lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 394. 103 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 484. 104 Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 158. 105 Claude Levi Strauss merupakan salah seorang ahli Antroplogi Struktural, seorang keturunan Yahudi berkebangsaan Prancis yang lahir di Belgia pada tahun 1908. 106 Jean Piaget adalah salah seorang psikolog dalam bidang kognitif dan moral. Dia lahir di Neuchatel, Swiss pada tanggal 9 Agustus 1896. Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 159.
51
konsep jean Piaget tentang perkembangan kognisi manusia terutama konsepsi anak sebagai ‖bakal ilmuwan‖ tidak lagi memadai untuk zaman sekarang.107 Bagi Gardner, ilmuwan tidaklah bisa dijadikan sebagai contoh bentuk tertinggi kognisi manusia. Kesadaran ini muncul manakala dia menyadari ketertarikannya pada pendidikan musik dan bidang seni lainnya. Bagi dia, sebagaimana dikutip olej Joy A. Palmer, bahwa orang-orang yang ahli dalam bidang-bidang lain, seperti pelukis, penulis, musikus, penari, dan seniman lainnya juga memiliki kemampuan kognitif yang tinggi. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan ―berkembang‖ perlu memperhatikan hal-hal tersebut. Dengan demikian, perlu adanya pengembangan dan penelitian lebih lanjut berkenaan dengan perkembangan kognisi.108 Kemudian, pada tahun 1996, ia melanjutkan program doktornya di Harvard University dan selesai pada tahun 1971. Selama di Harvard University dia dilatih menjadi seorang psikolog perkembangan kemudian menjadi seorang neurolog.109 Berdasarkan hasil penggodokan dari berbagai institusi tempat dia menuntut ilmu, terutama di Universitas Harvard, akhirnya dia menjadi seorang ahli dalam bidang psikologi, neurologi, bahkan pendidikan. Setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang, akhirnya saat ini dia telah menjadi seorang professor yang khusus mendalami kognisi dan pendidikan di Departemen Pendidikan Harvard University, professor psikologi di Harvard University, professor Neurologi di sekolah Kedokteran Universitas Boston, dan ketua tim (direktur) senior Proyek Zero.110
107
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 159. 108 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 484. 109 Neurolog adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang ahli dalam ilmu pengetahuan mengenai struktur dan fungsi sistem syaraf. Lihat J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi…, h. 484. 110 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 484.
52
Proyek
Zero
adalah
pusat
penelitian
dan
pendidikan
yang
mengembangkan cara belajar, berpikir, dan kreativitas dalam mempelajari suatu bidang individu dan institusi.111 Sementara itu, dalam literatur lain disebutkan juga bahwa Proyek Zero adalah kelompok penelitian yang bertujuan memperkuat pendidikan seni. Proyek ini didirikan Nelson Goodman. Proyek itu pula, sejak pendidikannya di Graduate School sampai sekarang, telah menjadi pusat kegiatan intelektual Gardner, tempat berkembangnya ide-ide sekaligus komunitas intelektualnya. Pada awalnya, di proyek tersebut Gardner membimbing para peneliti muda tentang penelitian kognisi dalam bidang seni, kemudian berkembang dari menganalisa kognisi dalam bidang seni menuju penelitian tentang proses belajar, pemikiran dan kreativitas pada berbagai disiplin ilmu, kelompok usia, serta lingkungan pendidikan.112 Dalam dua dekade yang lalu, Proyek Zero dia bersama rekan-rekannya telah banyak melakukan percobaan-percobaan dengan menggunakan alat tes, pelatihan pendidikan, dan penggunaan multiple intelligences untuk mencapai rencana-rencana, pengajaran, dan penaksiran pribadi. Bahkan dia juga sudah mengadakan dua penelitian mengenai kognisi dan pemakaian simbol-simbol. Penelitian pertama dilakukan terhadap anakanak normal dan anak-anak berbakat, sedangkan penelitian kedua dilakukan terhadap orang dewasa yang mengalami gegar otak. Penelitian tersebut dilakukan untuk menyatukan kedua hasil penelitian tersebut sehingga diperoleh suatu teori baru.113 Bahkan di proyek itulah dia menemukan teori Multiple Intelligences. Multiple Intelligences adalah istilah yang digunakan oleh Howard Gardner untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki banyak kecerdasan. Teori ini kemudian dikembangkan dan diperkenalkan 111
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 17. 112 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 484. 113 Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 159.
53
pada tahun 1983 dalam bukunya yang berjudul Frame of Mind, yang telah diterjemahkan ke dalam dua belas bahasa. Selanjutnya pada tahun 1993 dia mempublikasikan bukunya yang berjudul Multiple Intelligences: The Theory in Practice,sebagai penyempurnaan atas buku yang terbit sebelumnya, setelah banyak melakukan penelitian tentang implikasi sekaligus aplikasi teori kecerdasan majemuk di dunia pendidikan di Amerika Serikat. Teori tersebut disempurnakan lagi dengan terbitnya buku Multiple Intelligences Reframed pada tahun 2000.114 Bahkan wacana mengenai Multiple Intelligences diperluas kembali di dalam bukunya Multiple Intelligences: New Horizons yang terbit pada tahun 2007.115 Sementara itu, pada tahun 1994, dia bersama teman sejawatnya sesama ahli psikologi, Mihaly Csikszentmihalyi dan William Damon, merancang Good Work Project, yaitu suatu proyek yang bertujuan untuk meneliti bagaimana individu-individu yang menonjol di setiap profesi dapat menghasilkan karya yang patut dicontoh sesuai standar profesi masingmasing,
dan
memberikan
sumbangan
besar
bagi
kesejahteraan
masyarakat.116 Oleh karena itu, dalam proyek ini dipelajari tentang pemimpinpemimpin terkemuka dalam beberapa profesi, seperti kewartawanan, hukum, sains, kedokteran, teater, dan pilantropi.117 Terlepas dari itu semua, dalam perjalanannya kariernya, Gardner bertemu dan menikah dengan Ellen Winner, seorang ahli psikologi perkembangan yang mengajar di Kampus Boston. Dari pernikahan tersebut, dia dikaruniai empat orang anak, yaitu Kerith (1969), Jay (1971), Andrew (1976), dan Benyamin (1985) serta seorang cucu. Selain sibuk dengan berbagai kegiatan di Proyek Zero, dia juga mencurahkan seluruh 114
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 159. 115 Anonim, ―Multiple Intelligences: New Horizons‖, dalam http://www. howardgardner.com/bio/bio.html, diakses tanggal 14 Maret 2011. 116 Joy A. Palmer (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 490. 117 Anonim, ―Good Work Project‖, dalam http://www.howardgardner.com/bio/bio .html, diakses tanggal 14 Maret 2011.
54
perhatiannya pada keluarga, karena keinginan besarnya adalah keluarga dan pekerjaannya. Oleh karena dia seorang pakar yang banyak melakukan penelitian dan menyayangi bidang seni, maka di Univesitas Harvard dia dipercaya untuk memberikan banyak mata kuliah, antara lain: mengenai intelegensi, kreativitas, kepemimpinan, tanggung jawab professional, kegiatan ilmiah antar disiplin ilmu, manajemen kerja yang baik, dan seni.118 Seperti telah dijelaaskan bahwa Gardner adalah seorang yang aktif dalam bidang penelitian sekaligus ahli dalam bidang musik dan psikologi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dia banyak menyandang atau menduduki berbagai jabatan. Adapun jabatan-jabatan yang pernah disandang dan dipegang oleh Gardner antara lain: a. Guru piano (1958-1969) b. Guru SD di Newton MA (1969); c. Peneliti klinis di kedokteran Universitas Veteran Boston (1975-1978); d. Psikolog peneliti di kedokteran Universitas Veteran Boston (19781991); e. Konsultan psikologi di Universitas Veteran Boston (1991-1993); f. Peneliti Proyek Zero Harvard (1972-2000); g. Professor ilmu kognisi dan pendidikan di Harvard Graduate School of Education (1986-sekarang); h. Asisten professor penelitian dalam bidang Neurologi di kedokteran Boston University (9187-sekarang); i. Ketua tim (direktur) Proyek Zero di Harvard Graduate School of Education (1995-sekarang); j. Asisten professor dalam bidang psikologi di Harvard University (1991sekarang); dan,
118
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 159.
55
k. Ketua dan anggota Yayasan Spencer ―The Spencer foundation‖ (2001sekarang).119 Dari beberapa jabatan yang disandang Gardner sejak tahun 1958 sampai sekarang, mengindikasikan bahwa dia adalah orang yang aktif, penting, dan berpengaruh di dunia psikologi. Besarnya pengaruh dan banyaknya penelitian yang dia lakukan di bidang psikologi akhirnya menghantarkan dia menjadi orang terkenal di dunia pendidikan, terutama sejak dikembangkannya teori kecerdasan majemuk. Sebagai seorang psikolog dan ahli pendidikan yang cukup berpengaruh di dunia, terutama di Amerika Serikat, serta banyak melakukan penelitian ataupun kegiatan-kegiatan lainnya yang didukung oleh semangat untuk terus berkembang, dia banyak mendapatkan penghargaan. Adapun penghargaan-penghargaan tersebut antara lain: a. Claude Bernard Science Journalism Award, pada tahun 1975; b. MacArthur Prize Fellowship, pada tahun 1981-1986; c. William James Award dari American Psychological Association, pada tahun 1987; d. Penghargaan pendidikan dari Louisville Garwemeyer Award, pada 1990. e. Doctor Honoris Causa dalam bidang pendidikan dari Cury College, pada tahun 1992; f. Penghargaan tertinggi dari pemerintah setempat, Pensylvannia, pada tahun 1994; g. Medali penghargaan dalam bidang pendidikan dari Teachers College, Columbia University, pada tahun 1994; h. Doctor Honoris Causa dalam bidang kemanusiaan dari Moravian College, PA, pada tahun 1996; i. Doctor Honoris Causa dalam bidang filsafat dari Tel Aviv University, pada bulan Mei 1998; 119
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 169.
56
j. Penghargaan Samuel T. Orton dari ―The International Society of Dyslexia,‖ pada bulan Nopember tahun 1999; k. Penghargaan medali emas dari American Academy of Achievment, Washington D. C., pada bulan Juni tahun 1999; l. Doctor Honoris Causa dalam bidang sains dari McGill University, pada tahun Juni tahun 1999; m. Doctor Honoris Causa dalam bidang sains dari Connecticut College, pada bulan Mei 1999; n. Doctor Honoris Causa dalam bidang musik dari New England Conservatory of Music, pada tahun 1993, Cleveland Instuet of Music, OH pada tahun 1996, Ithaca College pada bulan Mei Tahun 1999. o. Doctor Honoris Causa dalam bidang kesusteraan dari Indiana University, IN (1995), Salem State College, MA (1996), Macalaster College (Mei, 1997), Long Island University (Mei, 1997) Princeton University (Juni, 1998), Massachusetts School of Professional Psychology (Juni, 2000), University of Hathford (Mei, 2000); p. Penghargaan dari John S. Guggenheim Memorial Foundation, pada tahun 2000-2001; q. Doctor Honoris Causa dalam bidang literatur dari National University of Ireland, Italy dan Israel pada bulan Mei 2001; dan, r. Doctor Honoris Causa dalam bidang hukum dari University of Toronto pada bulan Juni 2001.120 Bahkan pada tahun 2004, dia digelar sebagai Professor Honorary di East China Normal University di Shanghai pada tahun 2005 dia terpilih oleh polis (kebijakan) luar negeri dan ―Prospect‖ sebagai salah satu dari seratus kalangan intelektual yang paling berpengaruh di dunia.121 Banyaknya penghargaan yang diperoleh Gardner dalam berbagai bidang, baik dari pemerintah atau Universitas-Universitas di Amerika 120
Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 162-163. 121 Anonim, ―Biografi Howard Gardner‖, dalam http://www.howardgardner.com/ bio/bio.html, diakses tanggal 14 Maret 2011.
57
Serikat dan Negara-negara Barat lainnya menunjukkan bahwa pada dasarnya negara-negara maju memiliki perhatian dan memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap penemuan dan pengembangan baru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, semangat untuk menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum di Barat membawa mereka ke masa kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Karya-Karya Howard Gardner Seperti yang telah dijelaskan bahwa Gardner adalah seseorang psikolog perkembangan. Hal ini dapat dipahami karena latar belakang pendidikan Gardner dan pelatihan-pelatihan yang diperolehnya, selalu berkisar pada psikologi, bahkan dia banyak terpengaruh oleh psikolog kognisi Jerome Bruner dan Jean Piaget. Oleh karena itu, karya-karya yang dihasilkannya pun adalah karya-karya dalam bidang psikologi, seperti Classic in Psychology,122 Classic in Child psychology,123 Developmental Psychology: An Introduction.124 Namun demikian, selain bidang psikologi, Gardner juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiolog David Riesman dan antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss. Sehingga pemikirannya dalam bidang psikologi pun banyak yang bernuansa sosiolog-antropologis, yang selanjutnya berpengaruh pada pendidikan. Hal ini nanti akan nampak dalam beberapa karyanya yang lain, baik berupa buku maupun paper.
122
Buku yang berjudul Classic in Psychology ini ditulis dan diedit bersama J. Gardner dan diterbitkan oleh Arno Press di New York pada 1973. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 165. 123 Buku yang berjudul Classic in Child Psychology ini ditulis dan diedit bersama J. Gardner dan diterbitkan oleh Arno Press di New York pada 1975. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 165. 124 Buku yang berjudul Development Psychology: An Introduction. Edisi Internasional, diterbitkan oleh Little Brown, di Boston, pada tahun 1978. Sedangkan edisi keduanya terbit pada tahun 1982. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 165.
58
Berdasarkannya pemaparan di atas, maka karya-karya Howard Gardner dalam bidang psikologi dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu karya psikologi yang bernuansa sosiologis-antroplogis dan karya psikologi yang bernuansa pendidikan. Adapun sosiologi itu sendiri, menurut Mayor Polak sebagaimana dikutip oleh Ary H. Gunawan, adalah suatu ilmu peengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis.125 Sedangkan antropologi adalah ilmu yang kajiannya sangat luas dan mendalam mengenai system kekerabatan. Kajian kedua disiplin ilmu ini, terutama antropologi banyak berkenaan dengan keunikan-keunikan atau budaya suatu individu atau masyarakat, seperti seni. Adapun karya-karya Howard Gardner dalam bidang psikologi dengan nuansa sosiologi-antropologis antara lain: a. Karya yang berupa buku 1) To Open Minds: Chinese Clues to The Dilema of Contemporary Education.126 Dalam buku ini Gardner menggambarkan tentang bagaimana pendidikan tradisional di Amerika saat dia masih kecil, tahun-tahun penelitiannya tentang kreatifitas di Universitas Harvard dan apa yang dia lihat tentang bagaimana ruang kelasruang kelas orang-orang China modern didesain untuk sebuah program kreatif
yang menggambarkan tentang pendekatan
tradisional dan progresif yang terbaik.127
125
Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 3. 126 Buku yang berjudul To Open Minds: Chinese to The Dilemma of Contemporary Education. Diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1989. Basic Books Paperback dengan pengenalan baru tahun 1991. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 127 Anonim, ―To Open Minds,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail. cfm?pub_id=61, diakses tanggal 2 April 2011.
59
2) Art Education and Human Development.128 Dalam buku ini Gardner
menggambarkan
tentang
perspekrif-perspektif
perkembangan dalam seni, yang meliputi penemuan-penemuan empirik dari penelitian Proyek Zero. Dia memadukan penemuanpenemuan tersebut dengan hasil observasi dari budaya-budaya yang lain dengan memberikan pengertian yang mendalam tentang praktik pendidikan yang efektif untuk mengusulkan pendekatan berpeluang pada pendidikan seni.129 3) Creating Minds: An Anatomy of Creatifity Seen Through The Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and, Gandhi.130 Dalam buku ini Gardner memberikan suatu pandangan singkat tentang tujuh figur yang masing-masing telah menemukan kembali bidang-bidang kemanusiaan dengan usaha yang begitu keras. Memahami bermacam-macam prestasi mereka tidak hanya membuka hakikat kreatifitas tetapi juga membentangkan era modern. Waktu yang telah membentuk mereka dan merekalah yang telah membantu untuk member definisi.131 4) Extraordinary Minds: Potraits of Exceptional Individuals and an examination of Our Extraordinariness.132 Dalam buku ini Gardner mengungkapkan tentang sebuah misteri yang luar biasa, yaitu persamaan kehidupan antara individu-individu luar biasa yang 128
Buku yang berjudul Art Education and Human Development ini diterbitkan oleh The Getty Center for Education in The Arts di Los Angeles pada tahun 1990. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 129 Anonim, ―Art Education and Human Development,‖ dalam http://www. pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=105, diakses tanggal 2 April 2011. 130 Buku yang berjudul Creating Minds: An Anatomy of Creativity Seen Through the Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and Gandhi ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1993. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 131 Anonim, ―Creating Minds: An Anatomy of Creatifity Seen Through The Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and, Gandhi,‖ dalam http://www. pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=26, diakses tanggal 2 April 2011. 132 Buku yang berjudul Extraordinary Minds: Potraits of Exceptional Individuals and an examination of Our Extraordinariness ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1997. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164.
60
berbeda. Orang-orang tersebut antara lain Woolf, Gandhi, Mozart, dan Freud. Dalam sintesisnya dia menyatakan bahwa kita semua memiliki kemampuan dan kekuatan-kekuatan mentah (belum dapat pengaruh dari luar) yang belum membedakan keluarbiasaan tersebut. Namun, ada tiga karakteristik yang membedakannya, yaitu kemampuan untuk menganalisa peristiwa-peristiwa dalam kehidupan
mereka
sendiri,
kepandaian
khusus
untuk
mengidentifikasikan serta memanfaatkan kekuatan mereka sendiri, dan perlengkapan yang diperlukan untuk mengembalikan kepastian hidup ke arah kesuksesan masa depan.133 5) Leading Minds:An Anatomy of Leadership.134 Dalam buku ini Gardner menggambarkan tentang penerapan lensa kognitif dalam kemimpinan. Menurut Gardner, pemimpin-pemimpin yang efektif mampu menciptakan riwayat baru dan bergumul sukses dengan riwayat yang sudah mendiami pikiran-pikiran para pengikut mereka. Gardner menentukan kerangka originalitas yang tinggi dalam spektrum para pemimpin secara luas, yang bergerak dari politik, bisnis, dan pemimpin-pemimpin dalam bidang seni, sains, dan profesi lainnya.135 6) Good Work: When Excellence and Ethcis Meet.136 Dalam buku ini Gardner dan rekan-rekannya menggambarkan tentang pekerjaan mereka dipandang dari sudut peristiwa baru-baru ini dan laporan
133
Anonim, ―Extraordinary Minds: Potraits of Exceptional Individuals and an examination of Our Extraordinariness,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ ebookstore/detail.cfm?pub_id=28, diakses tanggal 2 April 2011. 134 Buku yang berjudul Leading Minds:An Anatomy of Leadership ini ditulis oleh Howard Gardner bersama dengan E. Laskin dan diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1995. Basic Books Paperback dengan pengenalan baru tahun 1996. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 135 Anonim, ―Leading Minds: An Anatomy of Leadership,‖ dalam http:// www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=27, diakses tanggal 2 April 2011. 136 Buku yang berjudul Good Work: When Excellence and Ethcis Meet ini ditulis oleh Howard Gardner bersama M. Csikszentmihalyi dan W. Damon. Diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 2001. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 163.
61
tentang keberlangsungan studi strategis
yang mengizinkan
masyarakat untuk menegakkan standar-standar moral dan etika dalam suatu waktu ketika kekuatan pasar memiliki kekuatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.137 7) Responsibility at Work. Buku ini menggambarkan tentang informasi-informasi yang dikumpulkan dari wawancara yang mendalam dengan lebih dari 1.200 orang dari Sembilan profesi yang berbeda, yaitu jurnalistik, ilmu genetika, pendidikan tinggi, filantropi, hukum, kedokteran, bisnis, dan pendidikan di bawah Universitas. Buku tersebut mengungkapkan bagaimana motivasi, budaya, dan norma-norma professional dapat saling berhubungan untuk menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat baik secara pribadi, social, maupun ekonomi. Adapun kunci dari bagus dan bermanfaatnya suatu pekerjaan adalah bertanggung jawab.138 8) Howard Gardner Under Fire. Buku ini berisi tiga belas kritikan terhadap pendapat Gardner mengenai isu-isu yang spesifik. Dia mengungkapkan alasan-alasan mereka dengan jelas dan kemudian menjawabnya dengan argumen-argumen yang meyakinkan dan tajam. Buku ini dimulai dengan autobiografi yang panjang dan mencakup bibliografi lengkap Howard Gardner yang ditulis dari tahun 1965 sampai 2006.139 9) Changing Minds: The Arts and Science of Changing Our Own and Other People’s Minds. Dalam buku ini Gardner menggambarkan tentang
fenomena-fenomena
perubahan
pikiran-pikiran.
Sebagaimana dalam buku-bukunya yang lain tentang intelligensi, 137
Anonim, ―Good Work: When Excellence and Ethics Meet,‖ dalam http:// www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=127, diakses tanggal 2 April 2011. 138 Buku yang berjudul Responsibility at Work ini ditulis oleh Howard Gardner bersama rekannya William Damon, Mihaly Csikszenthmihalyi, dan Jeanne Nakamura dalam penelitian proyek Good Work. Lihat Jossey Bass, ―Responsibility at Work, ― dalam http://www.howardgardner.com/books/books/.html. Lihat juga dalam http:// www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=396, diakses tanggal 2 April 2011. 139 Jeffrey Schaler, ―Howard Gardner Under Fire,‖ dalam http://www.howard gardner.com/books/books/.html, diakses tanggal tanggal 2 April 2011.
62
kreativitas, dan kepemimpinan, buku ini juga menunjukkan ketidaksetujuan Gardner terhadap pemikiran-pemikiran tradisional. Dia menggambarkan beberapa dekade dari penelitian kognitif untuk menunjukkan bahwa perubahan pikiran itu tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses secara berangsur-angsur. Dia mengidentifikasi
tujuh
penopang
yang
membantu
atau
menghalangi perubahan pikiran dan menyediakan kerangkakerangka asli yang menunjukkan bagaimana individu-individu bisa meluruskan penopang-penopang tersebut untuk membaawa pada perubahan perspektif dan tingkah laku yang signifikan.140 10) Making Good: How Young People Cope wiyh Moral Dilemmas at Work. Dalam buku ini Gardner dan rekan-rekannya menjelaskan tentang pilihan-pilihan para pekerja muda yang tergolong dalam tiga profesi yang dinamis -jurnalis, sains, dan acting- dan melihat bagaimana orang-orang baru tersebut mengatasi dilema-dilema moral, baik karena adanya tuntutan, tidak adanya dukungan, maupun karena kehidupan professional. Para penulis juga menemukan adanya perbenturan antara para professional muda dengan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam bidang mereka,
khususnya
pekerja-pekerja
yang
lebih
tua
yang
menimbulkan kembali adanya sistem model dan mentor. Selain itu, mereka juga mengungkapkan tentang bagaimana pekerja-pekerja muda itu memandang bidang mereka masing-masing, ambisi dasar mereka, dan sebagainya. Studi ini ternyata mengandung pelajaran yang sama bagi karyawan dan majikan muda, sama baiknya dengan kemauan untuk memahami pergeseran karakter moral dan social dalam dunia pekerjaan.141 140
Anonim, ―Changing Minds: The Arts and Science of Changing Our Own and Other People’s Minds,― dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm? pub_id=155, diakses tanggal 2 April 2011. 141 Buku yang berjudul Making Good: How Young People Cope wiyh Moral Dilemmas at Work ini ditulis oleh Howard Gardner bersama Wendy Fischman, Becca Solomon, dan Deborah Greenspan. Lihat Howard Gardner, dkk., ―Making Good: How
63
b. Karya yang berupa paper 1) The Project on Good Work: A Description. Dalam paper ini disebutkan bahwa sejak tahun 1995, tiga tim penyelidik di bawah pimpinan Howard Gardner dari Harvard University, Mihaly Csikszentmihalyi dari Claremoont Graduate University, dan William Dammon dari Stanford University telah melakukan penelitian tentang kepemimpinan yang professional dalam bermacam-macam bidang pekerjaan yang bagus. ―Pekerjaan yang bagus‖ digunakan dalam dua pengertian: (1) pekerjaan yang dianggap memiliki kualitas yang tinggi; (2) pekerjaan yang memiliki tanggung jawab sosial. Melalui penelitian secara intensif, wawancara langsung secara face to face, penelitian ini menyelidiki beberapa bidang, antara lain jurnalistik, ilmu genetika, bisnis, music jazz, teater, filantropi, dan pendidikan tinggi. Pilot mempelajari tentang penggunaan obat-obatan dan secara cepat memunculkan hukum sibermetik dengan rencana-rencana untuk menyelidiki bidang-bidang tersebut secara lebih intensif ke depan.142 2) The Ethical Responsibilities of Profesionals. Dalam paper ini disebutkan bahwa sains itu secara moral bersifat netral. Dia menggambarkan
usaha-usaha
manusia
untuk
menyediakan
jawaban-jawaban yang dapat dipercaya atas pertanyaan-pertanyaan yang menarik bagi kita: siapakah kita? Apa yang dilakukan oleh dunia? Tapi, apa yang terjadi ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab? Kadang-kadang jawaban yang sederhana tapi bisa memuaskan rasa penasaran manusia –sebuah tujuan yang penting dan valid. Tetapi di waktu yang lain mendorong ke arah
Young People Cope wiyh Moral Dilemmas at Work,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu /ebookstore/detail.cfm?pub_id=397, diakses tanggal 2 April 2011. 142 Howard Gardner, dkk., ―The Project on Good Work: A Description, ― dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=90, diakses tanggal 2 April 2011.
64
aksi yang kongkret. Saat ini kita mengalami suatu kebuntuan. Di satu sisi, sains dan inovasi berjalan dengan cepat dalam menaklukan sesuatu yang baru. Di sisi lain, pengekanganpengekangan tradisional melawan eksperimen-eksperimen yang sembarangan tampak lemah. Harus menyerah pada nasib atau ada cara untuk mengikuti sains dan pendidikan, dan lebih luas lagi, kehidupan para professional- dengan cara yang bertanggung jawab? Memasukkan tanggung jawab etika seorang professional. Paper ini beragrumen bahwa perjanjian baru harus dibentuk antara para professional dan masyarakat. Masyarakat menjadikannya mungkin
bagi
para
ilmuwan-ilmuwan
professional
untuk
meneruskan pekerjaan mereka dengan membiayainya. Hasilnya, para ilmuwan harus menambah tugas mereka: mereka harus melepaskan satu klaim kebenaran yang mereka sendiri tidak bertanggung jawab untuk mengaplikasikannya, dan menjalankan usaha-usaha yang bagus untuk membuat suatu kebenaran yang membuahkan ilmu-ilmu yang diaplikasikan secara bijaksana. Menurut Gardner tanggung jawab etika itu harus ada pada para professional.143 3) Good
Work
in
Complex
World:
A
Cross
Cultural
Comparison.dalam paper ini disebutkan bahwa pada tahun 1996, terjadi kolaborasi secara tidak formal antara Proyek Zero di Harvard University Graduate School of Education dan Royal Danish School of Educational Studies. Dinamakan ―Good Work,‖ proyek yang mempelajari tentang kreatifitas tanggung jawab sosial dan kepemimpinan. Kolaborasi ini memunculkan bermacammacam pengetahuan yang menarik dan sekarang diteliti secara lebih luas dan mendalam melalui kolaborasi secara formal antara institusi ini dengan institusi-institusi lain dalam proyek Good 143
Anonim, ―The Ethical Responsibilities of Profesionals,‖ dalam http:// www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=91, diakses tanggal 2 April 2011.
65
Work: Harvard, Standford, dan Claremon Graduate University. Dalam paper ini hanya diungkapkan tentang refleksi terhadap nilainilai dalam perbandingan anatrbudaya dan bagaiman mereka harus memahami secara lebih dalam tentang Good Work ketika mereka membandingkan antara Denmark, Latvia, dan Amerika.144 4) Getting Kids, Parents, dan Coaches on The Same Page. Dalam paper ini disebutkan bahwa arena olahraga bisa dipandang sebagai dunia kecil komunitas mereka: ketika generas-generasi muda berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka sendiri, mereka mengembangkan harga diri, kebebasan dan rasa keunggulan. Ketika secara objektif, anal-anak, orang tua-orang tua, dan para pelatih berada pada posisi yang sejajar, olahraga muda-mudi memberikan pengalaman fisik yang positif sama baiknya seperti kesempatan untuk praktik tingkah laku yang berpengaruh baik terhadap kelompok mereka. Siswa-siswa belajar tentang kejujuran, kerjasama, dan manajemen kegagalan. Dalam situasi yang baik, kepercayaan diri para pemuda diperoleh dari olahraga-olahraga yang mendorong perkembangan yang positif. Tetapi apa yang terjadi ketika hubungan para pemuda keluar dari kekompakan? Apa kesulitan-kesulitan yang timbul ketika harapan dari para stakeholder –dalam kasus ini anak-anak, orang tua, dan para pelatih- tidak sejajar? Asal mulanya proyek Good Work menyelidiki tentang hambatan dan tekanan yang ada pada arena olahraga para pemuda. Artikel ini mengungkapkan tentang penemuan-penemuan dari penelitian ini.145 5) Assesing Interdiciplinary Work at the Frontier: An Empirical Exploitation of ―Symptoms of quality.‖ Dalam paper ini 144
Howard Gardner dan Hans Henrik Knoop, ―Good Work in Complex World: A Cross Cultural Comparison,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail .cfm?pub_id=96, diakses tanggal 2 April 2011. 145 Howard Gardner dan Becca Solomon, ―Getting Kids, Parents, dan Coaches on The Same Page,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=104, diakses tanggal 2 April 2011.
66
diungkapkan tentang bagaimana menegaskan kualitas pekerjaan interdisipliner. Ketika Kriteria dari disiplin individual tidak mencukupi? Pembebanan merupakan salah satu aspek pemahaman yang terpenting dalam penelitian interdisipliner. Membangun studi empirik tentang pekerjaan interdisipliner oleh lembaga-lembaga yang patut dicontoh (eperti MIT Media Lab, Santa Fe Institute, Center for Bioethics di U. Pen) yang menggambarkan tantangan bersama dan mengusulkan tiga kriteria epistemic bagi pekerjaan interdisipliner yang bisa dievaluasi, yaitu konsisten, keseimbangan, dan efektif.146 6) The Collective Enterprise of Law: Three Types of Communities. Dalam paper ini disebutkan bahwa ada tiga tipe komunitas yang dimunculkan oleh good Work dalam studi mengenai hukum, yaitu komunitas yang bagus bagi pengacara tetapi tidak diperlukan oleh masyarakat secara luas, komunitas yang tidak bagus bagi pengacara tetapi mencari jalan bagi kepentingan masyarakat, dan komunitas bagus bagi pengacara dan masyarakat yang lebi luas. Sementara itu, muncul juga hukum-hukum sibernetik, hukum criminal, fusi, dan pendapatan, dan praktik-praktik kota kecil. Mereka melakukan penemuan-penemuan yang jelas antara bidang hukum, di satu sisi, dan tipe-tipe komunitas di sisi lain. Di paper ini mereka menguji apa dampak komunitas-komunitas tersebut bagi para pengacara, dan apa dampak para pengacara bagi berbagai macam komunitas tersebut.147 7) Can There Be Societal Trustees in American Today?. Dalam paper ini disebutkan bahwa setengah abad yang lalu, ide perwakilan
146
Howard Gardner dan Veronica Boix Mansilla, ―Assesing Interdiciplinary Work at the Frontier: An Empirical Exploitation of ―Symptoms of quality‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=153, diakses tanggal 2 April 2011. 147 Howard Gardner dan Paula Marshall, ―The Collective Enterprise of Law: Three Types of communities,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub _id=175, diakses tanggal 2 April 2011.
67
orang-orang Amerika merupakan salah satu hal yang cukup familiar. Waktu itu, satu nama dari beberapa individu yang terkenal dan secara luas dihormati, tapi diklaim sebagai orang yang tidak
berkepentingan,
dalam
artian
bahwa
mereka
tidak
diidentifikasikan secara kuat oleh satu partai atau kelompok yang berkepentingan. Ketika negara Amerika dihadapkan pada problemproblem, kaum elit dan warganegara biasa memandang ke arah individu-individu tersebut untuk bimbingan –karena itu mereka dimasukkan pada lelaki yang bijaksana? Gardner mendiskusikan kemunduran dalam hubungan perwakilan tersebut. Gardner heran apakah zaman sekarang ini setara dengan perwakilan masa lampau atau apakah konsep perwakilan suatu waktu barangkali datang dan pergi.148 8) The Empiral Basis of Good Work: Methodological Consideration. Dalam paper ini digambarkan tentang metode-metode yang digunakan
untuk
menganalisis
data-data
wawancara
yang
dikumpulkan oleh Proyek Good Work tentang studi jurnalis, yang menetapkan catatan-catatan penelitian dan analisis metode yang digunakan, dibuat secara detail sekali dan menjelaskan tentang dasar pemikiran untuk melaksanakan langkah-langkah analisis. Paper ini juga menyajikan makna tata cara perkenalan para kolega dan peneliti-peneliti baru dalam fenomena-fenomena pekerjaan yang bagus yang dipelajari dalam proyek ini. Contoh-contoh yang digambarkan dari jurnalis dalam rangka membuat diskusi yang konkret. Mengenai teknik secara detail dimasukkan sebagai catatan-catatan tambahan yang terpisah.149
148
Anonim, ―Can There Be Societal Trustees in American Today,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=175, diakses tanggal 2 April 2011. 149 Howard Gardner, dkk., ―The Empiral Basis of Good Work: Methodological Consideration,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=92, diakses tanggal 2 April 2011.
68
Sementara itu, pemikiran-pemikiran Gardner yang bercorak psikologi dengan nuansa pendidikan mencakup karya-karyanya yang berkenaan dengan Multiple Intelligences, karena, seperti yang diungkapkan oleh Joy A. Palmer, pada dasarnya Gardner tidak pernah berniat terlihat dalam dunia pendidikan. Namun, terbitnya teori Multiple Intelligences justru mengantarkan dia menjadi terkenal dalam percaturan teori dan praktik dunia pendidikan, terutama di Amerika Serikat.150 Oleh karena teori ini yang telah menyebabkan terkenalnya Gardner dalam dunia pendidikan sekaligus banyak dipraktikan di sekolah-sekolah, maka karya Gardner yang berkenaan dengan Multiple Intelligences ini dan karya-karya lain yang berhubungan dengan pendidikan di sekolah, dimasukkan dalam karya psikologi yang bercorak pendidikan. Adapun karya-karya tersebut antara lain: a. Karya yang berupa buku 1) Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.151 Dalam buku ini Gardner mendeskripsikan tentang latar belakang timbulnya teori kecerdasan majemuk, pengertian dan macammacam
kecerdasan
majemuk,
serta
kemampuan dianggap sebagai kecerdasan.
kriteria-kriteria
suatu
152
2) Multiple Intelligences: The Theory in Practice.153 Buku ini menyatukan antara karya Gardner dengan rekan-rekannya di Proyek Zero yang telah dipublikasikan sebelumnya dan karya asli untuk memberikan gambaran tentang keterkaitan logis yang kita pelajari mengenai aplikasi pendidikan dari teori Multiple 150
Joy A. Palmer, (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 482-483. 151 Buku yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1983 dan Basic Books Paperback tahun 1985. Edisi ulang tahun yang kesepuluh dengan pengenalan baru diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1993. Lihat Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia…, h. 164. 152 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 17-21. 153 Buku yang berjudul Multiple Intelligences: The Theory in Practice ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1993. Lihat Ladislaus Naisaban, Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164.
69
Intelligences dari berbagai proyek di sekolah dan riset formal dalam dekade terakhir.154 3) Intelligences Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century.155 Dalam buku ini Howard Gardner mendeskripsikan tentang bagaimana teori Multiple Intelligences disusun dan direvisi sejak diperkenalkan tahun 1983. Dia juga memperkenalkan kemungkinan tiga kecerdasan baru dan berargumen bahwa konsep kecerdasan itu harus diperluas. Dalam buku tersebut dia juga merespon kritikan-kritikan terhadap teori yang telah diangkat oleh nya sebelumnya, serta menawarkan bimbingan penggunaan teori tersebut dalam pendidikan di sekolah dan museum-museum serta mempertimbangkan hubungan antara Multiple Intelligences dengan dunia kerja ke depan.156 4) The Disciplined Mind: Beyond Facts and Standardized Tests, The K-12 Education that Every Child Deserves.157 Dalam buku ini Gardner mengangankan sebuah sistem pendidikan yang akan membantu menerbitkan generasi-generasi muda yang mampu menantang masa depan, dengan tetap memelihara tujuan tradisional
pendidikan
humanis.
Dia
berargumen
bahwa
kekontrasan yang berbasis fakta, model tes standard yang menggenggam para pengambil kebijakan dan masyarakat, dan pendidikan K-12 harus mempertinggi pemahaman yang mendalam tentang tiga prinsip, yaitu kebenaran, keindahan, dan kebaikan. 154
Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, h. Cover Belakang. 155 Buku yang berjudul Intelligences Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada tahun 1993. Lihat Ladislaus Naisaban, Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 156 Howard Gardner, ―Intelligences Reframed: Multiple Intelligences for the 21 st Century‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=56, diakses tanggal 2 April 2011. 157 Buku yang berjudul The Disciplined Mind: Beyond Facts and Standardized Tests, The K-12 Education that Every Child Deserves ini diterbitkan oleh Penguin Putnam di New York pada tahun 2000. Lihat Ladislaus Naisaban, Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164.
70
Gardner mengungkapkan tentang bagaiman mengajarkan siswasiswa tiga subjek-teori evolusi, musik Mozart, dan pelajaran yang dapat diambil dari suatu bencana-akan mengilhami sifat-sifat dasar dari kebenaran, keindahan, dan moralitas.158 5) The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach.159 Dalam buku ini Gardner mengungkapkan jawaban-jawabannya mengenai pertanyaan tentang mengapa anakanak tidak bisa menguasai apa yang harus mereka pelajari di sekolah. Dalam buku tersebut dia mengungkapkan antara sains kognitif
dengan
agenda
pendidikan.
Dia
memperlihatkan
bagaimana ketidakcocokan pikiran-pikiran kita dengan pola pengajaran natural. Dia juga menjelaskan tentang materi, praktik, dan lembaga pendidikan serta membuat suatu solusi untuk mengkonstruksi pendidikan-pendidikan kita.160 6) Multiple Intelligences: New Horizons. Dalam buku Gardner menjelaskan tentang perkembangan teori Multiple Intellligences sejak
lahirnya
Frames
of
Minds
sampai
laporan-laporan
berkembang saat ini mengenai aplikasi teori tersebut dari berbagai tempat. Buku ini merupakan revisi dari buku-buku sebelumnya yang mengutamakan materi-materi baru tentang aplikasi MI di dunia global, tempat-tempat kerja, penaksiran tentang praktek MI dalam iklim pendidikan konservatif, fakta-fakta baru tentang fungsi otak, dan sebagainya.161 158
Howard Gardner, ―The Discipline Mind: Beyond Facts and Standardized Tests, The K 12 Education that Every Child Deserves,‖ dalam http://www.pz. harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=118, diakses tanggal 2 April 2011. 159 Buku yang berjudul The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach ini diterbitkan oleh Basic Books di New York pada Tahun 1991. Lihat Ladislaus Naisaban, Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya…, h. 164. 160 Howard Gardner, ―The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=25, diakses tanggal 2 April 2011. 161 Howard Gradner, ―Multiple Intelligences: New Horizons,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=211, diakses tanggal 2 April 2011.
71
b. Karya yang berupa paper Karya Gardner yang bercorak pendidikan dapat dilihat dari salah satu papernya yang berjudul Contemplation and Implication for Good Work in Teaching. Dalam paper ini disebutkan bahwa mengajar, sebagaimana profesi lainnya, juga memperoleh upah atau bayaran tersendiri. Melakukan pekerjaan ini selain memperoleh kegembiraan, juga akan melatih pertumbuhan pikiran, mempunyai kesempatan untuk mengikuti perkembangan generasi muda, dan peluang untuk berkreatifitas dan berinspirasi. Namun demikian, seperti kebanyakan profesi lainnya, profesi ini juga cepat mengalami perubahan, mengikuti kecepatan perubahan dunia. Dunia pendidikan akan mengalami serangkaian tekanandan tantangan, yang meliputi keterbatasan waktu dan tuntutan persaingan dari
profesi-profesi
yang
berbeda.
Tantangan-tantangan
ini
ditunjukkan antara lain, kapan para guru dan administrator memiliki kesempatan untuk mencapai perspektif, ―mengisi ulang baterai mereka,‖ dan membangkitkan ide-ide baru dan solusi-solusi kreatif? Apa
yang
akan
dilakukan
untuk
mencegah
hilangnya
dan
berpindahnya orang-orang yang berbakat ke profesi lain yang memiliki upah yang lebih besar? Good Work dan Contemplation Mind merupakan bagian dari studi yang lebih luas tentang bagaimana para professional yang sukses dalam beberapa bidang –mencakup jurnalistik, genetika, pendidikan tinggi, dan sebagainya- membawa pada kualitas yang tinggi, pekerjaan kreatif, meskipun dengan berbagai tekanan dan tantangan. Paper ini menguji peran permainan praktis yang diyakini dan direfleksikan,
72
memungkinkan para guru untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, bermanfaat, dengan studi yang lebih mudah dari para jurnalis.162 Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa Gardner merupakan sosok pribadi yang memiliki semangat dan kemauan yang besar untuk maju, gandrung akan ilmu pengetahuan dan mau bekerja keras untuk terus menemukan sesuatu yang baru serta menentang pendapatpendapat tradisional yang dianggapnya tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman. Kemauan untuk maju tampak dari kesadarannya sebagai anak tertua yang masih hidup yang tinggal di Negara asing, Amerika Serikat, untuk melakukan sesuatu yang bisa merubah kehidupan keluarganya agar menjadi lebih baik, tidak mau terkungkung lebih lama
di
daerahyang
tidak
bisa
meberikan
peluang
untuk
mengembangkan intelektualnya yang akhirnya menghantarkan dia untuk berhijrah ke kota-kota besar guna menuntut ilmu. Sementara itu, kegandrungannya terhadap ilmu pengetahuan dapat dilihat dari minat yang begitu besar untuk mempelajari tentang berbagai pemikiran orang-orang besar dalam berbagai bidang sperti David Riesman dalam bidang sosiologi, Claude Levi Strauss dalam bidang antroplogi, Jerome Bruner dan Jean Piaget dalam Psikologi, bahkan dia memanfaatkan peluang yang baik untuk bekerja bersama Jerome Bruner dalam Major Project. Kegandrungannya untuk memahami pemikiran tokoh-tokoh besar tersbut akhirnya memberi pengaruh yang cukup signifikan bagi corak pemikirannya yang tampak pada karya-karyanya. Selain itu, minat yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan juga tampak dari perjalanan intelektualnya sejak pertama kali mengenyam pendidikan formal sampai menghantarkan dia menjadi orang sukses, khususnya dalam bidang psikologi.
162
Howard Gardner, dkk., ―Contemplation and Implication for Good Work in Tecahing,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=95, diakses tanggal 2 April 2011.
73
Sedangkan kemauan untuk bekerja keras guna menemukan sesuatu yang baru terlihat dari semangatnya dalam melakukan berbagai penelitian, baik di Proyek Zero maupun Good Work yang telah menghasilkan banyak karya dan penghargaan. Sementara itu, keberanian untuk menentang pendapat-pendapat tradisional yang dianggapnya tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman salah satunya dapat dilihat dari karya-karyanya mengenai teori Multiple Intelligences, karena teori ini lahir sebagai bentuk tentangan terhadap pendapat tradisional yang cenderung memuja-muja IQ sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan seseorang dan anggapan bahwa kecerdasan itu tidak bisa dikembangkan (bersifat statis). Semangat-semangat itulah kiranya yang patut dijadikan teladan bagi generasi-generasi muslim, sehingga perkembangan keilmuan dan penelitian-penelitian ilmiah dalam masyarakat muslim akan terus berkembang dinamis seiring tuntutan dan perkembangan zaman. Hal ini tentu saja harus didukung dari peran serta pemerintah sebagai salah satu motor penggerak kemajuan peradaban suatu bangsa.
B. Latar Belakang Munculnya Teori Kecerdasan Majemuk Menurut Agus Efendi, ketika menghantarkan edisi ke-10 dari Frames of Minds(1983), Gardner menegaskan bahwa sembari menulis Frames of Minds, ia memandang karya tersebut sebagai kontribusinya terhadap disiplin psikologi perkembangan yang digelutinya. Dengan karya tersebut, Gardner hendak memperluas konsepsi kecerdasan, dari hanya menyangkut the result of paper and pencil test, menjadi pengertian yang lebih luas yang menyangkut pengetahuan tentang
otak manusia dan kepekaannya terhadap ragam
budayanya (sensitivity to the diversity of human cultures).163 Namun demikian, terbitnya buku tersebut,menurut Joy A. Palmer, justru menempatkan dia dalam percaturan teori dan praktik pendidikan di Amerika 163
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligences atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 163-137.
74
Serikat serta membuatnya terkenal di seluruh dunia.164 Oleh karena mendapat sambutan dari dunia pendidikan, maka dalam karya selanjutnya mengenai kecerdasan majemuk, seperti Multiple Intelligences: The Theory in Practice, Multiple Intelligences: New Horison, dan sebagainya, menurut Agus Efendi, Gardner banyak memasukkan wacana-wacana pendidikan kontemporer. Dengan demikian, karya-karya sesudah Frames of Minds, lebih dijadikannya sebagai penyerta dan penyempurnaan bagi karya tersebut.165 Terlepas dari itu semua, dalam bukunya Frames of Minds, Gardner menjelaskan empat hal terkait dengan latar belakang munculnya teori kecerdasan majemuk, yaitu The Idea of Multiple Intelligences (Ide mengenai kecerdasan majemuk),166 Intelligences: Earlier Views (pandangan awal mengenai kecerdasan),167 Biological Foundation of Intelligences (fondasi biologis kecerdasan),168 dan The Definition of Intelligence (definisi kecerdasan).169 1. Ide Mengenai Kecerdasan Majemuk Mengawali penjelasan tentang ide mengenai kecerdasan majemuk, Gardner memberikan ilustrasi sebagai berikut: ―A Young Girl spends an hour whit an examiner. She is asked a number of questions that probe her store of information (who discovered America? What does the stomach do?), her arithmetic skills (at eight cent each, how much will three candy bars cost?), her ability to remember a series of numbers (5,1,7,4,2,3,8), her capacity to grasp the similarity between two elements (elbow and knee, mountain and lake). She may also be asked to carry out certain other tasks-for example, solving a maze or arranging a group of pictures in such a way that they relate a complete story. Some time afterward, the
164
Joy A. Palmer, (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 482-483. 165 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 137. 166 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences, (New York: Basic Books, 1983), h.3. 167 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 12 168 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 31 169 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 59
75
examiner scores the responses and comes up with a single number-the girl’s intelligence quotient, or IQ.‖170 Berdasarkan ilustrasi tersebut dipahami bahwa kecerdasan seringkali hanya dihargai dan dinilai dengan tes IQ melalui ujian tertulis atau lisan yang menekankan pada kemampuan menghafal, mengingat, dan menceritakan suatu peristiwa, menghitung, atau memecahkan suatu tekateki yang mengarah pada kemampuan linguistik dan matematis logis. Bahkan, kecerdasan tersebut hanya dihargai dengan skor-skor yang merupakan hasil penjumlahan dari seluruh jawaban yang dianggap mampu dijawab dengan benar oleh seseorang. Dengan demikian, belum ada anggapan bahwa kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki manusia itu juga kecerdasan. Penilaian tersebut, menurut Gardner, akan memberikan pengaruh yang cukup besar bagi masa depan seseorang, mempengaruhi penilaian guru terhadapnya dan menentukan sifat elijibilitas untuk hak-hak istimewanya. Namun menurut Gardner, penilaian tersebut tidak semuanya salah, dalam artian bahwa skor yang diperoleh melalui tes intelligensi tersebut mampu memprediksi keberhasilan seseorang di sekolah. Namun demikian, hasil tes tersebut tidak bisa meramalkan kesuksesan hidup seseorang di kemudian hari.171 Peristiwa-peristiwa seperti itu, tulis Gardner, terjadi ribuan kali setiap harinya di seluruh dunia walaupun dengan berbagai versi yang disesuaikan 170
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 3. Adapun terjemahan bebasnya adalah seorang perempuan muda menghabiskan waktu satu jam bersama seorang penguji. Dia ditanya sejumlah pertanyaan yang menyelidiki informasi yang dipahaminyadalam bidang sejarah (siapa yang menemukan Amerika? Apa yang dikerjakan oleh perut?), kemampuan aritmatikanya (jika satu batang permen seharga delapan sen, berapa harga tiga batang permen?), kemampuannya untuk mengingat rangkaian nomor-nomor (5,1,7,4,2,3,8), kemampuannya untuk memahami kesamaan antara dua elemen (siku dan lutut, gunung dan danau). Dia juga mungkin diminta untuk mengerjakan tugas-tugas yang lain-seperti memecahkan sebuah jaringan jalan yang ruwet atau menyusun sekelompok gambar-gambar sedemikian rupa sehingga gambar-gambar tersebut menjadi sebuah cerita yang sempurna. Kadang-kadang setelah itu, penguji memberikan skor terhadap jawaban-jawaban tadi dan sampai pada satu angka-kecerdasan intelligensi atau IQ perempuan tersebut. 171 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 3.
76
dengan usia dan setting budayanya. Kebanyakan tes tersebut dilakukan dengan menggunakan kertas dan pensil daripada dilakukan secara langsung bersama seorang penguji.172 Oleh karena itu, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, banyak peneliti kecerdasan yang tidak puas dengan keadaan seperti itu. Bagi mereka, pasti ada banyak kecerdasan daripada sekedar jawaban pendek terhadap pertanyaan singkat –jawaban yang menduga keberhasilan akademis. Namun, cara ini justru terus diulang secara universal untuk menduga masa depan seseorang, bahkan hingga saat ini.173 Dengan demikian, tidak ada penghargaan yang memadai untuk kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki manusia bahkan sekedar untuk menganggap kemampuan-kemampuan tersebut
sebagai
kecerdasan.
Sehingga orang-orang yang memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa dalam bidang lain, seperti para navigator, atlet, dan ahli komputer, tidak dianggap sebagai orang-orang yang cerdas karena lemahnya kemampuan mereka dalam bidang linguistik dan matematis-logis. Selanjutnya, menurut Gardner, sebuah refleksi menyatakan bahwa setiap individu akan mencapai level kemampuan yang tinggi dalam sebuah bidang tertentu. Oleh karena itu, sudah seharusnya kecerdasan memiliki definisi istilah yang lebih layak, karena jelas bahwa metode penaksiran kecerdasan melalui tes-tes IQ tidak cukup baik untuk menghargai potensipotensi atau prestasi-prestasi seseorang. Dengan demikian, problemnya terletak pada teknologi pengujiannya, sehingga perlu adanya perluasan dan reformulasi pandangan mengenai kecrdasan manusia sampai ditemukan cara yang lebih tepat untuk menaksir kecerdasan tersebut dan cara yang lebih efektif untuk mendidiknya.174 Bahkan, banyak orang yang terlibat dalam dunia pendidikan memiliki kesimpulan yang sama bahwa ada program-program baru yang menarik 172
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 3. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 138. 174 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 4. 173
77
yang mencoba untuk mengembangkan kecerdasan manusia untuk seluruh budaya dan melatih individu-individu tentang kemampuan-kemampuan umum, seperti ―Pembelajaran Antisipatori,‖ untuk membantu individuindividu merealisasikan potensi-potensi mereka. Banyak eksperimen telah dilakukan, berkisar dari metode pelatihan biola Suzuki sampai pada metode memperkenalkan program-program komputer yang fundamental LOGO, untuk mencari prestasi-prestasi unggul dari anak-anak muda. Bahkan, beberapa eksperimen tersebut sudah sukses didemonstrasikan ketika eksperimen yang lain masih pada fase percobaan. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk mengatakan bahwa kesuksesan itu sama baiknya dengan kegagalan yang terjadi pada ketiadaan kerangka berpikir yang cukup mengenai kecerdasan.175 Selanjutnya, menurut Gardner, kehadiran teori kecerdasan majemuk ini adalah untuk menetang pandangan-pandangan klasik mengenai kecerdasan yang secara eksplisit atau implisit telah menyihir manusia melalui
psikologi
dan
teks-teks
pendidikan.
Kemudian
untuk
mempermudah identifikasi sisi-sisi baru dari teori ini, Gardner mencoba menunjukkan beberapa fakta mengenai pandangan-pandangan tradisional tentang kecerdasan. Menurut Gardner, lebih dari dua ribu tahun, minimal sejak bangkitnya negara-kota Yunani, terdapat serangkaian ide yang mendominasi diskusidiskusi mengenai kondisi manusia dalam suatu peradaban. Ide-ide ini menekankan pada eksistensi dan pentingnya kekuatan mental, yaitu kemampuan manusia yang kemudian diungkapkan dengan berbagai tema, seperti
rasionalitas,
inteligensi,
atau
penyebaran
pikiran.
Dalam
pencariannya mengenai esensi manusia, Gardner melakukan penelitian terhadap kemampuan-kemampuan khusus dari beberapa tokoh, seperti Plato, ahli-ahli kitab terpelajar di biara, atau ilmuwan di laboratorium. Menurut Gardner, mereka semua adalah orang-orang yang mampu menggunakan kekuatan-kekuatan mental mereka dalam dunia nyata. 175
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 5.
78
Socrates mengatakan, ―kenali dirimu,‖ dan Aristoteles mengatakan ―seluruh manusia secara alamiah memiliki hasrat untuk mengetahui,‖ sementara itu Descartes mengatakan ―Aku berpikir: oleh karena itu, aku ada.‖ Semua pendapat tersebut, menurut Gardner, memberikan inskripsi yang membingkai seluruh peradaban.176 Kemudian pada abad kegelapan, antara abad klasik dan renaissance, persoalan kecerdasan ini jarang ditentang. Mengenai awal abad pertengahan ini, St. Augustine sebagaimana dikutip Howard Gardner menegaskan bahwa: ―The prime author and mover of the universe is intelligence. Therefore, the final cause of the universe must be the good of the intelligence and that is truth…. Of all human pursuit of wisdom is the most perfect, the most sublime, the most useful, and the most agreeable. The most perfect, be cause in so far as a man gives himself up to the pursuit of wisdom, to that extent the enjoy already some portion of true happiness.‖177 Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa kecerdasan memiliki posisi yang sangat fundamental dalam peradaban umat manusia. Oleh karena itu, kecerdasan harus dijunjung tinggi dan harus mampu membawa manusia pada hakikat kebenaran dan kearifan. Karena dua hal yang mendasari kecerdasan itulah yang menyebabkan kecerdasan memiliki kedudukan yang tinggi dalam suatu peradaban. Kemudian pada puncak abad pertengahan, Dante sebagaimana dikutip oleh Howard Gardner mengajukan pandangannya tentang ―fungsi yang tepat
bagi
ras
manusia,
akibat
dari
semua
itu
adalah
untuk
mengaktualisasikan seluruh kapasitas kecerdasan secara kontinyu,
176
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 5-
6. 177
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 6. Terjemahan bebasnya adalah pengarang dan penggerak utama alam semesta itu adalah kecerdasan. Oleh karena itu, sebab akhir alam semesta haruslah baiknya kecerdasan dan itu merupakan suatu kebenaran…. Seluruh manusia itu mencari, mencari kearifan adalah yang paling sempurna, paling luhur, paling berguna, dan paling dapat disepakati. Paling sempurna, karena sejauh ini seperti seorang lelaki memberikan dirinya sendiri sesuai dengan pencarian kearifan, sampai pada tahap tersebut dia sudah menikmati sebagian kebahagiaan yang sejati.
79
terutama dalam spekulasi dan aksi.‖ Kemudian mengenai awal abad renaissance,
abad
sebelum
zaman
Descartes,
Francis
Bacon
mendeskripsikan sebuah kapal laut Inggris di Atlantik Baru yang berlayar sampai pulau hayalan yang pimpinannya adalah seorang penegak sekaligus pengabdi besar dalam penelitian keilmuan, tulis Gardner. Namun demikian, menurut Gardner, penghargaan terhadap pengetahuan bukanlah satu-satunya tema yang membawa kesadaran bagi dunia Barat. Tetapi kebijakan, keyakinan, dan keberanian juga memiliki andil yang sangat besar bagi kemajuan perdaban pada abad tersebut.178 Terkait dengan kecerdasan, seperti yang dikutip oleh Agus Efendi, Gardner mengungkapkan bahwa ada dua pandangan yang berbeda mengenai kecerdasan. Pertama, kaum Hedgehog yang meyakini bahwa kecerdasan itu adalah sebuah potongan, tunggal, dan statis. Bagi mereka setiap manusia dilahirkan dengan sejumlah kecerdasan tertentu yang disebut dengan IQ. Kedua, kaum foxes yang mengagungkan sejumlah fungsi berbeda atau bagian-bagian mental. Bagi mereka kecerdasan itu bersifat dinamis dan biasa berkembang. Selain itu, Gardner juga menyebutkan bahwa para pemikir abad pertengahan memiliki trivium yang mencakup tata bahasa, logika, dan retorika, serta memiliki quadrivium yeng mencakup matematika, geometri, astronomi, dan musik.179 Sementara itu, dalam ilmu psikologi sendiri, menurut Gardner, telah banyak diusulkan mengenai aturan-aturan tentang kemampuan mental manusia. Franz Joseph Gall menominasikan 37 fakultas atau kekuatan pikiran manusia; J.P. Guilford menyokong 120 vektor pikiran manusia.180 Sedangkan perdebatan mengenai studi daerah otak juga masih sering terjadi, dalam hal ini ada dua kelompok, yaitu kelompok localizer yang percaya bahwa porsi berbeda dari sistem saraf itu menengahi kapasitas
178
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h.
139. 179
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 139. 180 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 7.
80
inteletual yang berbeda; sementara itu, kelompok holist menganggap bahwa fungsi utama intelektual yang merupakan kekayaan otak itu bersifat keseluruhan. Dalam bidang tes kecerdasan, perdebatan juga terjadi antara orang-orang yang mengikuti Charles Spearmen yang meyakini faktor umum intelektual dan orang-orang yang mengikuti L. L Thurstone yang meyakini keragaman kemampuan mental. Kemudian dalam bidang perkembangan anak juga terjadi perdebatan antara mereka yang mempostulatkan struktur umum pikiran (seperti Jean Piaget) dan mereka yang percaya akan serangkaian luas dan relativitas kemampuan mental manusia (lingkungan belajar sekolah). Bahkan, gema perdebatan dalam disiplin-disiplin ilmu yang lain juga sama-sama terdengar nyaring.181 Jadi, menurut Gardner, perdebatan tentang pembagian kecerdasan ke dalam bagian-bagian masih terus berlangsung dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda penyelesaian. Bahkan Gardner sendiri menyangsikan bahwa topic-topik seperti kehendak bebas atau konflik antara keyakinan dan alasan akan ditetapkan untuk kepuasan seseorang. Tetapi dalam kasus yang lain, masih ada harapan untuk terus berkembang maju, tulis Gardner.182 Seiring perkembangan zaman, hingga saat ini, sudah ada usaha untuk menjelaskan tentang struktur kemampuan intelektual manusia. Terobosan ilmiah mengenai persoalan ini tidaklah tunggal, namun sudah ada banyak bukti dari berbagai sumber yang bisa dijadikan rujukan dan telah dikumpulkan dengan kekuatan yang lebih besar dalam beberapa decade yang lalu, bahkan bukti-bukti tersebut tampaknya sudah diakui oleh orangorang yang terkait dalam penelitian tentang kognisi manusia. Tetapi, di antara bukti-bukti yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut jarang terjadi konvergensi, karena secara tidak langsung dan sistematis, biasanya bukti-bukti tersebut lebih terfokus pada bidang tertentu dan diuji hanya
181
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 7-
182
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 8.
8.
81
dalam satu disiplin keilmuan saja serta tidak dipublikasikan di wilayah publik yang lebih luas, ungkap Gardner.183 Oleh karena itu, dalam kesimpulannya menurut Agus Efendi, Gardner menunjukkan adanya bukti persuatif mengenai eksistensi atau adanya kompetensi intelektual manusia yang otonom secara relatif, yang selanjutnya disebut dengan ―kecerdasan manusia.‖ Inilah yang disebut oleh Gardner dengan Frames of Minds (seperti judul buku teori kecerdasan majemuk). Sifat pasti dan keluasan masing-masing ―kerangka‖ inteletual, sejauh ini belum ada ketetapan yang memuaskan serta belum ada kepastian mengenai jumlah kecerdasan itu sendiri. Namun, diyakini bahwa minimal ada bebrapa jenis kecerdasan yang relatif independen satu sama lain dan bisa dibentuk serta dikombinasikan dalam sebuah kergaman caracara adaptif oleh individu-individu atau budaya-budaya yang tampaknya akan terus meningkat dan sulit untuk disangkal.184 Kemudian,
menurut
Gardner,
upaya-upaya
sebelumnya
untuk
mendirikan kecerdasan-kecerdasan secara independen tidak begitu meyakinkan, terutama karena upaya-upaya tersebut hanya bersandar pada satu atau paling banyak dua bukti. Terpisahnya ―pikiran‖ atau ―kemampuan‖ diusulkan sebagai fakta semata-mata hanya berdasarkan atas analisis logis, disiplin pendidikan sejarah, hasil tes intelligensi, atau semata-mata atas dasar pengertian yang mendalam yang diperoleh dari studi tentang otak. Upaya-upaya kecil ini jarang menghasilkan daftar kompetensi yang sama. Dengan demikian, jika dibuat untuk mengklaim kecerdasan majemuk tampaknya kurang bisa dipertahankan.185 Oleh karena itu, prosedur yang diungkapkan oleh Gardner dalam rumusan mengenai kecerdasan majemuk ini akan sangat berbeda. Dia meninjau bukti-bukti mengenai teori ini dari berbagai sumber yang luas dan tidak saling berkaitan: studi tentang anak-anak yang cerdas, orang183
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 8. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 139-140. 185 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 9. 184
82
orang berbakat, pasien-pasien yang mengalami kerusakan otak, idiots savants, anak-anak normal, orang-orang dewasa normal, dan orangorangyang berasal dari berbagai macam budaya. Melalui bukti-bukti dari berbagai sumber tersebut, dia yakin bahwa keberadaan suatu kecerdasan bisa ditemukan pada populasi-populasi tertentu yang secara relative terisolasi, mengalami perkembangan yang sangat pesat pada individuindividu atau budaya-budaya tertentu, didukung oleh bukti-bukti psikometri, ahli-ahli penelitian eksperimental, dan ahliahli dalam disiplin ilmu-ilmu khusus. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa ketiadaan beberapa atau semua indeks tersebut, tentunya akan mengeleminasi suatu kandidat kecedasan.186 Dengan demikian, bagi Gardner, suatu kemampuan baru dianggap sebagai kecerdasan jika memenuhi semua indeks di atas.
2. Pandangan Awal Mengenai Kcerdasan Dalam menjelaskan pandangan awal mengenai kecerdasan ini, Gardner mengungkapkan tentang empat hal, yaitu ilmu psikologi yang sebenarnya, pandangan Jean Piaget, pendekatan pemrosesan informasi, dan pendekatan sistem simbol. a. Ilmu psikologi yang sebenarnya Menurut Gardner, upaya untuk menjadikan psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan sebenarnya dimulai sejak pertengahan terakhir abad XIX, oleh beberapa orang sarjana seperti Wilhelm Wundt dari Jerman dan William James dari Amerika. Karena sejarah psikologi pra-keilmuan lebih dipengaruhi oleh filsafat daripada kedokteran dan karena para ahli psikologi awal memiliki hasrat yang sangat besar untuk mendefinisikan disiplin keilmuan mereka secara terpisah ke dalam dua bagian yaitu fisisologi dan neurologi, maka terjadi hubungan yang relatif sedikit antara para ahli psikologi pendidikan yang baru dengan para ahli yang melakukan eksperimen – eksperimen tentang otak manusia. Akibatnya, kategori-kategori 186
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 9.
83
argumen yang menarik bagi para ahli psikologi terbukti jauh kaitannya dengan pendidikan. Bahkan Gardner menambahkan, daripada berpikir tentang terma-terma mengenai isi mental sebagai fakta (seperti bahasa, musik, atau bermacam-macam bentuk persepsi visual lainnya), para ahli psikologi justru mencari hukum-hukum tentang kemampuan mental, seperti memori, persepsi, perhatian, asosiasi, dan belajar; kemampuan-kemampuan ini merupakan sebuah gagasan tentang pengoperasian isi mental itu sendiri secara ekuivalen. Kegiatankegiatan seperti itu bahkan terus dilakukan hingga saat ini.187 Sementara itu, untuk mengukur kekuatan intelektual seseorang Frenchman Alfred Binet, mengusulkan agar menggunakan tes kecerdasan. Tes ini dilakukan untuk menempatkan anak-anak yang memiliki kecerdasan (IQ) yang rendah pada suatu level yang lain, sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Namun demikian, menurut Gardner, penggunaan tes IQ untuk mengukur kecerdasan seseorang ternyata masih banyak menimbulkan perdebatan. Mereka memandang bahwa tes IQ ini hanya mampu mengukur keberhasilan seseorang di sekolah, namun hanya sedikit sekali memprediksi keberhasilan seseorang dalam kontek kehidupan yang lebih luas.188 b. Pandangan Jean Piaget Menurut Joy A.Palmer, Jean Piaget merupakan salah seorang ahli psikologi kognitif yang memberi pengaruh cukup besar bagi Gardner. Karena eksperimen Gardner mengenai kognisi manusia dipicu oleh karya Jean Piaget mengenai kognisi manusia, terutama konsepsi anak sebagai ―bakal ilmuwan.‖189 Berkenaan dengan tes IQ, Jean Piaget sebagaimana dikutip oleh Howard Gardner, memberikan kritikan bahwa tes IQ yang dilakukan
187 188
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 14. Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h.
15-16. 189
Joy A.Palmer, (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern…, h. 484.
84
untuk mengukur kecerdasan seseorang pada dasarnya hanya mampu memprediksi keberhasilan seseorang di sekolah dan teori tentang bagaimana pikiran bekerja. Dalam hal ini, menurut Jean Piaget, tidak ada pandangan mengenai proses tentang bagaimana seseorang menyelesaikan suatu masalah, namun hanya sebatas apakah seseorang mampu menjawab soal dengan benar. Oleh karena itu, tes IQ hanya memiliki peranan yang sangat kecil dalam menaksir kesuksesan seseorang di dunia nyata. Selanjutnya dia mengatakan bahwa tes IQ tampaknya hanya mewakili suatu pendekatan untuk memprediksi kemampuan intelektual manusia.190 Setelah memberikan kritikannya mengenai tes IQ, Jean Piaget kemudian mengembangkan suatu pandangan yang berbeda mengenai kognisi manusia. Dalam pandangan Piaget sebagaimana diungkapkan oleh Howard Gardner, saemua studi tentang pikiran manusia harus dimulai dari usulan seseorang yang mencoba untuk membuat pengertian tentang dunia. Suatu individu secara kontinyu membangun suatu
hipotesis
dan
dengan
cara
demikian
mencoba
untuk
menghasilkan suatu pengetahuan: dia mencoba untuk memikirkan tentang objek material alam di dunia, bagaimana mereka berinteraksi satu sam lain, motivasi-motivasi dan tingkah laku mereka.191 Selanjutnya, menurut Gardner, Piaget menjelaskan bahwa bayi membuat pengertian tentang dunia melalui pikiran refleksnya, persepsi panca indranya, dan gerakan-gerakan fisiknya. Setelah satu atau dua tahun, bayi tiba pada fase ―praktis‖ atau ―sensori-motorik.‖192 Tahap ini menurut Piaget, sebagaimana dikutip oleh Sri Esti Wuryani, menunjukkan pada konsep permanensi objek, yaitu kemampuan untuk menghadirkan objek. Permanensi objek ini diperlukan sebelum anak dapat menyelesaikan masalah atau sebelum mereka berpikir dengan 190
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 18. Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 18. 192 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 18-19. 191
85
apa yang dikeluarkan dari dalam otak mereka, dan menggunakan simbol-simbol mental atau kesan-kesan.193 Kemudian, pada usia 2-7 tahun, anak berada pada tahap praoperasional,
yaitu
perkembangan
kemampuan
menggunakan
simbol-simbol untuk menggambarkan objek yang ada di sekitarnya. Pada tahap ini anak-anak cenderung suka meniru tingkah laku orang lain
sesudah
menunjukkan
beberapa bahwa
waktu
mereka
setelah
menyaksikannya.
mempunyai
cara-cara
Ini
simbolik
bagaimana mengingat tingkah laku orang lain yang dianggap sebagai model. Namun demikian, pada tahap ini cara berpikir anak masih cenderung egosentris dan berpusat.194 Sementara itu pada usia 7-11 tahun, perkembangan kognitif anak berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, anak sudah mampu berpikir logis. Anak juga mulai menunjukkan kemampuan untuk
memperhitungkan
apa
yang
akan
dilakukan,
mampu
memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan dapat menghubungkan dimensi ini satu sama lain. Selain itu, pada tahap ini sifat egosentris anak mulai berkurang. Sedangkan pada usia 11 tahun ke atas, anak mulai berada pada tahap operasional formal. Pada masa ini anak mulai mampu berpikir abstrak serta dapat menganalisis masalah secara ilmiah dan menyelesaikannya.195 Menurut
Gardner,
teori
ini
memiliki
kekuatan
sekaligus
kelemahan. Dilihat dari kelebihannya, Piaget mengajukan problemproblem yang sangat penting terhadap anak-anak dan mengemukakan bukti-buktinya daalm setiap tingkatan kognisi mereka, struktur organisasi pokok yang bisa dibedakan melalui jarak yang jauh antar operasi-operasi mental. Misalnya, menurut Piaget, anak-anak yang berada pada tahap operasional konkret memiliki kemampuan untuk 193
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2006), h.
194
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan…, h. 75. Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan…, h. 73.
74. 195
86
melaksanakan seluruh tugas-tugasnya melalui unsur jumlah, hubungan sebab-akibat, kuantitas, volume, dan sebagainya, karena unsur-unsur tersebut memiliki struktur mental inti yang sama. Dengan cara yang sama, anak adolesensi yang berada pada tahap operasional formal memperlihatkan suatu struktur operasional secara keseluruhan supaya bisa memberikan alasan yang logis tentang semua rangkaian masalah yang diajukan kepadanya. Disadari atau tidak, Piaget telah memberikan gambaran yang sangat brilian tentang pertumbuhan intelektual manusia yang dinilai sangat tinggi oleh ilmuwan-ilmuwan asing dan tradsi-tradisi filsafat. Namun demikian, teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, menurut Howard Gardner, juga memiliki kelemahan, antara lain: ketika Piaget mewarnai sebuah gambar yang mengagumkan tentang perkembangan, ternyata hanya sebatas pada perkembangan Piaget secara relatif dianggap kurang penting dalam konteks non-Barat dan orang-orang
yang
tidak
terpelajar.
Bagi
Gardner,
pola-pola
perkembangan kognitif Piaget mungkin sangata baik bagi orang-orang normal yang hidup di negara-negara industry (Amerika, umpamanya), namun defisiensinya juga menjadi penting.196 Hal
senada
Wadsworth,
juga
diungkapkan
sebagaimana
dikutip
oleh oleh
Wadsworth, Paul
menurut
Suparno,
teori
perkembangan kognitif bukanlah sesuatu yang sudah mantap dan tetap, teori tersebut belum komplet. Pemikiran Piaget tentang mengapa dan bagaimana perkembangan terjadi memang jelas, tetapi bagaimana mekanisme-mekanisme itu masuk dalam proses perkembangan tidak semuanya jelas. Bahkan menurut Paul Suparno, Chapman beranggapan bahwa urutan langkah-langkah perkembangan kognitif itu sangat dipengaruhi
oleh
perbedaan
kultur
dan
social.
Kecepatan
perkembangan kognitif akan berbeda karena adanya perbedaan kultur. 196
20-22.
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h.
87
Misalnya, dalam kultur yang primitif dan bukan industri, batasanbatasan sosial yang ketat cenderung memperlambat pemikiran formal seseorang. Dalam masyarakat seperti ini, penilaian perkembangan pemikiran seseorang berdasarkan kognisi kurang tepat. Oleh karena itu, diperlukan penghargaan kepada bentuk-bentuk nonoperatif pengetahuan. Selain itu juga, diperlukan pendekatan perkembangan yang lebih sosiopsikologis.197 c. Pendekatan Pengolahan Informasi Jika tes inteligensi dijadikan sebagai mode empat puluh tahun yang lalu dan teori Piaget berkembang dua puluh tahun yang lalu, bentuk studi baru yang sering disebut dengan ―Psikologi Pengolahan Informasi‖ atau ―Sains Kognitif‖ justru baru mulai berkembang. Para ahli psikologi pengolahan informasi menggunakan beberapa metode yang ditemukan oleh ahli psikologi eksperimental lebih dari satu abad yang lalu dalam rangka menyelidiki tugas-tugas semacam ini, sebagaimana metode yang dimanfaatkan oleh Piaget dan para ahli psikologi kognitif lainnya. Pengolahan informasi dimulai sejak informasi diterima oleh mata atau telinga dan hanya menyimpulkan ketika satu jawaban dikeluarkan oleh mulut atau tangan. Daripada menggambarkan dua atau tiga langkah dasar yang ditemukan pada usia-usia yang berbeda, para ahli psikologi pengolahan informasi lebih suka menggambarkan secara mendetil semua langkah-langkah terbaik yang digunakan oleh anak dalam menerima informasi. Faktanya, tujuan akhir psikologi pengolahan informasi adalah untuk menggambarkan secara lebih mendalam dan teliti langkah-langkah perbuatan individu yang bisa disimulasikan pada sebuah komputer.198 Berkenaan dengan teori pengolahan informasi ini, Sri Esti Wuryani menyatakan bahwa ketika suatu informasi itu diperoleh dari luar akan 197
Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 128-129. 198 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 22.
88
masuk ke ingatan jangka pendek (short term memory) melalui sensory registers (pusat-pusat penampungan kesan-kesan sensoris). Informasi yang masuk di ingatan jangka pendek ini akan hilang jika manusia berhenti berpikir tentang sesuatu. Oleh karena itu, perlu adanya pengulangan-pengulangan agar informasi yang diperoleh tidak cepat hilang. Selain masuk pada ingatan jangka pendek, informasi juga bisa masuk pada ingatan jangka panjang (long term memory). Informasi yang masuk pada ingatan jangka panjang ini akan lebih lama tersimpan dalam ingatan dan bisa dikeluarkan kembali jika sewaktu-waktu diperlukan. Namun demikian, untuk mengeluarkan kembali informasi yang masuk dalam ingatan jangka panjang ini perlu dilakukan elaborasi, organisasi, atau penyamaan konteks.199 Sebagaimana teori kognitif Piaget, psikologi pengolahan informasi juga tidak terlepas dari berbagai kritikan. Kritikan tersebut antara lain: apakah dalam pengolahan informasi tersebut ada pusat pelaksana atau tidak? Apakah ada kemampuan umum dalam pemecahan masalah atau hanya kemampuan-kemampuan khusus untuk bidang-bidang tertentu? Unsur apa yang berubah karena perkembangan –jumlah dan ukuran daerah penyimpanan, jenis-jenis strategi yang ada, atau efisiensi operasinya? Para ahli psikologi pengolahan informasi bisa menjawab, ―kritikan ini benar untuk masa sekarang akan tetapi kebenarannya akan hilang jika data-datanya bertambah. Ketika seseorang menggantikan rangkaian simulasi komputer, maka dia akan menetapkan simulasi mana yang lebih lekat meniru pemikiran dan tingkah laku manusia.‖ Namun demikian, menurut Howard Gardner terlalu mudah untuk membuat simulasi-simulasi yang bisa mendukung argumen lawan atau untuk membalas sangkalan yang nyata. Kecuali jika seseorang bisa memimpikan tes tetap antara satu pendekatan pengolahan informasi dengan yang lainnya, satu dihadapkan oleh kemungkinan adanya
199
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan…, h. 153-157.
89
diagram arus informasi yang meyakinkan bagi para peneliti yang berbakat.200 d. Pendekatan Sistem Simbol Mengenai pendekatan sistem symbol ini, dalam latar belakang pemikirannya, Gardner mengungkapkan tentang dua buah pergeseran paradigm dalam bidang filsafat. Pada awalnya, perhatian filsafat zaman klasik terhadap objek dunia fisik digantikan dengan pikiran yang objeknya sering dihubungkan dengan Hume, Kant, dan para pemikir pencerah lainnya. Namun kemudian pada abad XX, paradigma berpikir lebih ditekankan pada wahan yang bersifat simbolik. Jadi, menurut Gardner, mayoritas karya-karya kontemporer dalam bidang filsafat didominasi oleh pemahaman tentang bahasa, matematika, seni visual, gerak-isyarat, dan symbol-simbol manusia lainnya. Dari ini, menurut Gardner, bisa ditinjau adanya kecenderungan yang sama dalam karya-karya bidang psikologi. Bisa dilihat adanya pergeseran paradigma dari tingkah laku eksternal kepada aktivitas dan produk pemikiran manusia, khususnya, kepada berbagai macam wahana simbolik tentang manusia. Bahkan David Feldman, David Olson, Gavriel Salomon, dan Gardner sendiri memilih untuk meletakkan sistem simbol manusia sebagai fokus perhatian utama. Menurut mereka, pendekatan kognisi manusia dan pengolahan informasi pun melibatkan berbagai macam sistem simbol. Contohnya, pengoperasian salah satu sistem simbol seperti bahasa, melibatkan kemampuan dan proses yang sama dengan sistem-sistem yang sama asalnya, seperti musik, gerak-isyarat, matematika, atau gambargambar. Demikian pula halnya dengan memperoleh informasi melalui satu media (baca: film) itu sama dengan informasi yang diperoleh melalui media yang lain (baca: buku).201
200 201
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 24. Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 25.
90
Selanjutnya menurut Gardner, dalam penelitiannya dan kolegakolega di Proyek Zero Harvard, mereka mencoba untuk menemukan struktur yang baik tentang fakta-fakta perkembangan sistem simbol. Mereka mencoba untuk menegaskan proses umum yang mungkin terpisah dari bermacam-macam sistem simbol. Kemudian dalam penelitian pelengkap di Pusat Kedokteran Administrasi Veteran Boston, mereka mengajukan pertanyaan yang berlawanan. Melalui cara apakah bermacam-macam kemampuan simbolik manusia dalam kondisi khusus kerusakan otak mengalami kegagalan? Berdasarkan informasi yang diperoleh dari perspektif psikologin perkembangan dan neuropsikologi, mereka berusaha untuk tiba pada gagasan yang memuaskan tentang struktur dan organisasi fungsi simbolik manusia. Akhirnya mereka menemukan berbagai jenis dasar tentang sistem simbol, yaitu kelompok-kelompok sistem simbol yang tetap bersatu atau terpecah-pecah dan tatacara merepresntasikan sistem syaraf manusia.202 Menurut Gardner sendiri, isu yang paling penting mengenai sistem simbol ini adalah definisi dan penggambaran yang saling terpisah. Dalam
terminologi
pertimbangan
logika,
salah
satunya
bisa
mengakibatkan diskriminasi di antara sistem-sistem simbol yang khusus. Dalam hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Nelson Goodman dan para filosof lainnya. Selain tiu, bisa juga mengambil pandangan sejarah dan budaya, seperti memberikan daftar tentang sistem simbol yang terpisah-pisah atau bidang-bidang yang dipilih dalam budaya untuk mengeksploitasi tujuan pendidikan. Terakhir, ada satu hal yang bisa diambil dari pendekatan yang dilakukan oleh para ahli neuropsikologi yang melihat pada kemampuan-kemampuan simbolik yang gagal menyatu pada orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Untuk satu hal, dekatnya fisik pada sistem syaraf tidak 202
28-29.
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h.
91
bisa menggambarkan mekanisme sistem syaraf yang serupa. Menurut Gardner, perbedaan fungsi yang tinggi pada sistem syaraf boleh jadi pada daerah-daerah yang berdekatan pada korteks.203 Untuk memahami fungsi sistem simbol, Gardner dan kolegakoleganya melakukan penelitian dan memperoleh informasi dari datadata perkembangan, penemuan-penemuan psikometrik, deskripsi tentang populasi-populasi khusus seperti idiot savant dan orang-orang genius. Semua usaha dilakukan untuk mendeskripsikan secara optimal semua bagian-bagian kognisi dan simbolisasinya.204
3. Landasan Biologis Mengenai Kecerdasan Agus Efendi mengungkapkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk biologis. Oleh karena itu, memahami apapun tentang aspek-aspek manusia, termasuk pembahasan tentang kecerdasan manusia, tidak mungkin menghindari pembahasan tentang manusia sebagai makhluk biologis.205 Dalam hal ini, Gardner mengatakan: ―A comprehensive science of life must account for the nature, as well as the variety, of human intellectual competences. In view of the spectacular progress of recent decades in such areas as biochemistry, genetics, and neurophysiology, there is every reason to believe that the biological science will eventually be able to offer a cogent account of these intellectual phenomena. Indeed, it is high time that our understanding of human intellect be informed by the findings that have accrued in the biological sciences since the time of Franz Joseph Gall. And yet, because psychologists and biologists inhabit different environments, the task of marshaling biology to explain human intelligence has barely begun.‖206 203
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 29. Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 30. 205 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 94-95. 206 Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 31. Terjemahan bebasnya adalah sains hidup yang komprehensif harus memperhitungkan sifat dasar – juga ragam – kompetensi intelektual manusia. Terlebih dalam pandangan spektakuler beberapa dekade terakhir ini, seperti pandangan dalam bidang biokimia, genetika, dan neurofisiologi. Ada alasan untuk percaya bahwa ilmu biologi secepatnya akan mampu memberikan laporan-laporan yang meyakinkan tentang fenomena intelektual. Oleh karena itu, pemahaman terhadap intelektual manusia sekarang ini benarbenar mendapatkan dukungan ilmiah yang luar biasa, meski syarat-syarat saintifik 204
92
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa penemuan-penemuan serta pemikiran-pemikiran mengenai manusia sebagai makhluk biologis, terutama penelitian tentang neurosains, dari masa ke masa memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi penelitian dan pembahasan mengenai kecerdasan manusia. Seperti yang telah dipaparkan bahwa pada mulanya teori yang dominan mengenai kecerdasan manusia adalah teori IQ, yang meyakini bahwa kecerdasan manusia itu bersifat bawaan dan tidak bisa diubah dan dikembangkan. Oleh karena itu, menurut Agus Efendi, jika membahas tentang kecerdasan manusia, maka ada dua isu yang akan muncul. Isu yang pertama adalah isu tentang fleksibilitas perkembangan kecerdasan manusia. Ketegangannya berpusat pada sejauh mana potensi intelektual ataua kecerdasan seseorang atau kelompok bisa diintervensi dan juga berkaitan dengan sejauh mana intervensi tersebut dipandang paling efektif dan tepat waktu. Isu yang kedua adalah menyangkut sejauh mana identitas atau sifat dasar kemampuan intelektual manusia bisa berkembang. Mengenai
kedua
isu
tersebut,
sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya dan sebgaimana diungkapkan juga oleh Agus Efendi, ada dua pandangan yang berkembang. Pandangan pertama adalah pandangan kaum the hedgehog yang meyakini bahwa manusia benar-benar memiliki kecerdasan umum, mekanisme pemrosesan atau pengolahan informasi yang bersifat serba tujun (all-purpose). Sedangkan pandangan kedua adalah pandangan kaum the fox yang meyakini bahwa manusia itu seperti binatang lainnya, memiliki kecenderungan untuk melakukan operasi intelektual yang dapat dispesifikasikan dengan cara tertentu. Secara biologis, menurut Agus Efendi, isu lain mengenai identitas kecerdasan manusia adalah menyangkut fungsi khusus sel dan fungsi masing-masing
biologis telah dilakukan sejak Franz Joseph Gall. Dan karena para ahli psikologi dan biologi tinggal dalam lingkungan yang berbeda, maka tugas biologi untuk menjelaskan tentang kecerdasan manusia pun semakin menarik.
93
belahan otak.207 Hal ini dapat dipahami karena menurut Gardner, sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong, masing-masing potensi kecerdasan manusia itu berada pada belahan otak tertentu yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini diperoleh dari penelitian Gardner mengenai orang-orang yang mengalami cedera otak,208 sebagaimana akan dibahas pada pembahasan tentang kriteria-kriteria kecerdasan manusia menurut Howard Gardner. Selanjutnya, landasan biologis mengenai kecerdasan manusia, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, juga dapat dipelajari dari temuan-temuan genetis, terutama hasil penelitian tentang komposisi DNA (desoxyribonucleic acid/asam desoksiribonykleik), RNA (ribonucleic acid/asam ribenukleik), dan interaksi istimewanya. Penelitian ini menyatakan bahwa kecerdasan manusia itu dapat diwarisi oleh keturunanketurunan manusia (heretabilitas) atas dasar genetika. Ada dua pendapat mengenai pewarisan kecerdasan berdasarkan genetika. Pendapat pertama mengatakan bahwa heretabilitas kecerdasan itu bisa sampai delapan puluh persen, dalam hal ini kecerdasan bisa diukur melalui tes IQ. Dengan kata lain, delapan puluh persen dari keragaman skor kecerdasan itu bisa dijelaskan melalui latar belakang genetika. Sementara itu, pendapat kedua menegaskan bahwa pewarisan genetik kecerdasan itu tidak lebih dari tiga puluh persen atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan genetika. Para ilmuwan yang lain juga pada umumnya menaksir sekitar tiga puluh sampai lima puluh persen.209 Mengenai hubungan antara genetika dan kecerdasan manusia, dalam bukunya Frames of Minds, Gardner mengungkapkan bahwa: ―Our genetic heritage is so variegated that one can postulate all kinds of abilities and skills (as well as maladies and infirmities) that have 207
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 95. 208 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences, terj. Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004), h. 5 209 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 95-96.
94
not yet emerged, or that we have not yet come it know about. Given genetic engineering, countless other possibilities arise as well. An individual with a clever imagination might well be able to anticipate some of these possibilities. However, it is a far more prudent research strategy to sample widely among human being of diverse stock and to determine wich competences they have in fact achieved. Studies of remote and isolated groups –the prize for the geneticist- prove extremely valuable for psychologists as well. The broader the sampling if human intelligences will be comprehensive and accurate.‖210 Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa perlu adanya penelitian yang lebih luas dan mendalam serta memerlukan sampel yang lebih banyak untuk memahami hubungan antara genetik dengan kecerdasan manusia. Banyaknya sampel yang digunakan untuk menetukan ada atau tidaknya hubungan antara genetik dengan kecerdasan akan sangat menentukan keakuratan data
yang diperoleh dan mempengaruhi
kesimpulan akhir yang akan dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian mengenai persoalan tersebut harus terus dilakukan.
C. Macam-Macam Kecerdasan Majemuk Teori
kecerdasan
majemuk,
sebagaimana
telah
dijelaskan
pada
pembahasan di atas, memandang bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki banyak kecerdasan dan memiliki banyak kecerdasan dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan tersebut sampai batas maksimal bila berada pada lingkungan yang mendukung.
210
Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences…, h. 36. Terjemahan bebasnya adalah warisan genetik kita sangat bervariasi, bahwa seseorang bisa mempostulatkan semua jenis kemampuan dan keterampilan (sama seperti penyakit dan kelemahan) yang belum muncul, atau bahwa kita belum tahu seluk-beluknya. Rekayasa genetik yang ada belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan muncul. Seseorang dengan imajinasi yang cerdas boleh jadi mampu mengantisipasi beberapa kemungkinan tersebut. Bagaimanapun, upaya mencontohkan manusia secara luas dari berbagai jenis dan upaya menentukan kompetensi-kompetensi yang mana yang telah mereka capai, masih jauh dari strategi penelitian yang lebih hatihati. Studi mengenai kelompok jauh dan terisolasi –pujian bagi para ahli genetikamembuktikan nilai yang sangat tinggi bagi para psikolog. Semakin banyak sampel manusianya, maka akan semakin besar pula daftar rentang kecerdasan manusia sehingga akan lebih komprehensif dan akurat.
95
Minimal ada sembilan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia menurut teori kecerdasan majemuk dan semuanya memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Adapun Sembilan kecerdasan tersebut: 1. Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence) Menurut teori kecerdasan majmeuk, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Armstrong, kecerdasan linguistik atau word smart adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, menurut Thomas Armstrong, memperlihatkan bahwa kecerdasan linguistik ini mencakup sedikitnya dua pertiga bagian dari interaksi belajar-mengajar yang mencakup kegiatan membaca dan menulis. Dalam dua kegiatan tersebut (membaca dan menulis), terdapat cakupan luas kemampuan linguistik karena termasuk di dalamnya mengeja, kosakata, dan tata bahasa. Selain itu, kecerdasan linguistik juga berkaitan dengan kemampuan berbicara. Dalam hal ini, kecerdasan linguistik tampak pada para orator, pelawak, selebriti radio, atau politisi yang
sering
menggunakan
kata-kata
untuk
memanipulasi
dan
mempengaruhi.211 Berbeda dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, menurut Julia Jasmine, kecerdasan ini merupakan kecerdasan yang paling unik dan memiliki kaitan yang paling erat dengan kehidupan setiap orang. Hal ini dapat dipahami karena setiap orang yang mampu bertutur dan berkata-kata pada dasarnya bisa dikatakan memiliki kecerdasan tersebut dalam beberapa level. Namun demikian, orang yang memiliki kecerdasan linguistik ini sebenarnya tidak hanya sebatas mampu bertutur dan berkatakata serta mampu mengkhidmati kata-kata dirancang –reka dalam cara yang lain dan berbeda dari biasanya.212 Berkaitan dengan hal ini, Paul Suparno menjelaskan bahwa orang yang kecerdasan linguistiknya tidak tinggi tetap bisa belajar dan mengguanakan bahasa, namun hasilnya akan 211
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 9. 212 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences, (Bandung: Nuansa, 2007), h. 16-18.
96
kurang lancar, tidak seperti orang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.213 Tidak jauh berbeda dengan Julia Jasmine, dalam bukunya 7 kinds of Smart, Thomas Armstrong mengungkapkan bahwa kecerdasan linguistik itu lebih rumit dari sekedar kemampuan mengucapkan kembali serangkaian jawaban, seperti beo, dalam tes standar. Kecerdasan ini menurut Thomas Armstrong mencakup kemampuan dalam bidang fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatika.214 Oleh Karena kecerdasan ini berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, fonetis, misalnya bahasa Indonesia,215 bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa komponen inti dari kecerdasan linguistik adalah kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna, fungsi, kata dan kalimat, serta bahasa. Terlepas dari persoalan di atas, dilihat dari sudut neurologis, kecerdasan linguistik terdapat di daerah spesifik dari otak, yaitu terletak pada lobus temporal kiri dan lobus bagian depan, khusunya di daerah Broca dan Wernicke.216 Daerah itulah menurut Gardner yang bertanggung
213
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 28. Dalam bidang fonologi, orang memiliki kecerdasan linguistik ini mempunyai kepekaan yang sangat tajam terhadap bunyi. Mereka sering menggunakan permaianan kata-kata, rima, tongue twister, alisterasi (persamaan bunyi pada awal kata dari dua deret kata atau lebih dalam suatu kalimat atau dengan kata lain sajak berderet), onomatope (pemberian nama berdasarkan/ilham bunyi), dan tiruan bunyi-bunyian seperti bel yang memukau. Kemampuan ini biasanya terdapat dalam novel ataupun cerita-cerita lucu. Sementara itu, dalam bidang sintaksis, orang yang memiliki kecerdasan linguistik ini memiliki kemahiran dalam memanipulasi struktur atau susunan kalimat. Seseorang yang mampu merangkai anak kalimat menjadi kalimat satu paragraph yang menciptakan dampak mengagumkan. Dalam bidang semantik, orang yang memiliki kecerdasan linguistic ini akan memperlihatkan kemampuan pemahaman yang mendalam tentang makna suatu kata atau kalimat. Sedangkan dalam bidang pragmatika, orang yang memiliki kecerdasan linguistik ini mampu menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis. Bahasa yang digunakan biasanya dibengkokkan atau digunakan untuk menignkatkan, atau sekurang-kurangnya mengubah kehidupan dengan suatu cara yang dapat dirasakan. Lihat Thomas Armstrong, 7 Kind Of Smart: Menemukan Dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences, terj. Hermaya, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 20-21. 215 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 10. 216 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 12. 214
97
jawab untuk menghasilkan kalimat yang benar secara tata bahasa. Berdasarkan penelitiannya terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak, Gardner mengungkapkan bahwa orang yang memiliki kerusakan otak pada daerah Broca ini tetap dapat memahami kata-kata dan kalimat dengan cukup baik, namun mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat kecuali dalam bentuk yang paling sederhana. Sementara itu pada waktu yang sama, kemampuan atau proses pemikiran lain sama sekali tidak berpengaruh.217 Sementara itu, dilihat dari sudut perkembangannya, kecerdasan ini mulai meledak sejak masa kanak-kanak dan dapat bertahan hingga usia lanjut.218 Berkenaan dengan hal ini, Gardner mencontohkan kemampuan T. S. Elliot. Sejak usia sepuluh tahun, T. S. Elliot sudah mampu menciptakan majalah yang diberi judul Fireside dan dia sendiri menjadi distributor tunggal. Dalam waktu tiga hari dalam liburan musim dingin, dia menciptakan delapan nomor lengkap. Masing-masing nomor berisi puisi, cerita petualangan, kolom gossip, dan humor.219 Sementara itu, di lain pihak Thomas Armstrong menyebutkan bahwa seseorang yang berusia empat puluh tahun, atau bahkan lebih, masih bisa menjadi novelis yang sukses.220 Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan linguistik mengalami masa perkembangan yang sangat panjang. Adapun contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan ini antara lain para jurnalis, penulis, penyair sufistik, maupun orator.221 Contohnya, cerpenis sekaligus noelis Asma Nadia, Sutan Takdir Ali Syahbana, Marah Rusli, Habiburahman El-Syirazi, penyair sufistik Jalaluddin Rumi, Emha Ainun Najib, Taufik Ismail, orator mantan Presiden Republik Indonesia
217
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice…, h. 42. Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 12. 219 Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice…, h. 42. 220 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 8. 221 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 142. 218
98
Soekarno. Mereka semua adalah orang-orang yang mampu mempengaruhi orang lain. Sementara itu, ditinjau dari sudut asal-usul evolusinernya, keberadaan kecerdasan linguistik ini menurut Thomas Armstrong dapat dilihat dari tulisan-tulisan pada prasasti-prasasti yang diperkirakan ditulis tiga puluh ribu tahun yang lalu. Namun, kecerdasan linguistik yang terkait dengan komunikasi lisan memiliki peranan yang sangat signifikan bagi manusia sebelum memiliki kemampuan menulis dan percetakan. Selain itu, kemampuan kera dalam menamai benda-benda juga menunjukkan bahwa kecerdasan linguistik juga dimiliki oleh spesies-spesies lain selain manusia. Terkait dengan anak-anak di sekolah, Thomas Armstrong menyatakan bahwa anak-anak yang berbakat dalam kemampuan linguistik mempunyai keterampilan pendengaran yang sangat berkembang dan sangat menikmati ketika bermain-main dengan bunyi bahasa. Mereka sering berpikir dalam kata-kata, asyik membaca atau sibuk menulis puisi atau cerita. Dimanapun mereka berada, anak yang memiliki kecerdasan linguistik ini biasanya sukar menulis kreatif, mengarang kisah khayal atau menuturkan lelucon dan cerita, sangat hafal nama, tempat, tanggal, atau hal-hal kecil, menikmati membaca buku, mengeja kata-kata dengan tepat dan mudah, menyukai pantun lucu dan permainan kata, suka mengisi teka-teki silang atau melakukan permainan seperti scrabble atau anagram, sangat menikmati ketika mendengarkan kata-kata lisan, mempunyai kosakata yang luas untuk anak seusianya, serta unggul dalam pelajaran sekolah yang melibatkan membaca maupun menulis. Ada beberapa hal ysng perlu diperhatikan dalam kecerdasan ini, menurut Gardner sebagaimana dikutip Thomas Armstrong adalah bahwa ada banyak cara untuk mengungkapkan kecerdasan ini dalam kehidupan anak. Bisa jadi anak sangat menikmati menulis puisi, namun tidak pandai mengungkapkannya di depan kelas atau anak sangat pandai bercerita
99
namun
kesulitan
ketika
membaca.222
Oleh
karena
itu,
dalam
mengembangkan kecerdasan linguistik pada anak haruslah selalu memperhatikan arah kecenderungan anak saat memperlihatkan kecerdasan linguistik mereka.
2. Kecerdasan Matematis-Logis (Logical-Mathematical Intelligence) Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan matematis-logis ini, dalam bukunya Multiple Intelligences: The Theory in Practice, Gardner mengemukakan sebuah anekdot sebagai berikut: ―In 1983 Barbara McClintock won the Nobel Prize in Medicine or physiology for her work in microbiology. Her intellectual powers of deducation and observation illustrate one form of logicalmathematical intelligence that is often labeled ―scientific thinking.‖ One incident is particularly illuminating. While a researcher at Cornell in the 1902s McClintock was faced one day with a problem: while theory predicated 50 percent pollen sterility in corn, her research assistant (in the ―field‖) was finding plants that were only 25 to 30 percent sterile. Disturbed by this decrepancy, McClintock left the cornfield and returned to her office where she sat for hal an hour, thinking: Suddenly I jumped up and ran back to the (corn) field. At the top the field (the others were still at the bottom) I shouted ―Eureka, I have it! I know what the 30% sterility is!‖…They asked me to prove it. I sat down with a paper bag and a pencil and I started from scratch, wich I had not done at all in my laboratory. It had all been done so fast; the answer came and I ran. Now I worked it out step by step—it was an intricate series of steps—and I came out with [the same result]. [They] looked at the material and it was exactly as I’d said it was; it worked out exactly as I had diagrammed it. Now, why did I know, without having done it on paper? Why was I so sure? (Keller, 1983, p. 104).‖223 222
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 25-26. 223 Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice…, h. 19-20. Di tahun 1983 Barbara McClintock memenangkan Hadiah Nobel di bidang kedokteran dan fisiologis atas hasil karyanya dalam mikrobiologi. Kekuatan intelektualnya untuk melakukan deduksi dan pengamatan menggambarkan salah satu dari kecerdasan logikamathematika yang sering diberi label ―pemikiran ilmiah.‖ Sebuah insiden amat memberikan gambaran. Sewaktu menjadi peneliti di Cornell di tahun 1920-an suatu hari McClintock dihadapkan pada masalah: walaupun teori memperkirakan 50 persen sterilitas serbuk sari pada jagung, asisten risetnya (di lapangan) menemukan bahwa hanya 25 sampai 50 persen tanaman yang steril. Merasa terganggu oleh penyimpangan ini, McClintock meniggalkan lading jagung dan kembali ke kantornya, duduk di sana selama
100
Dari anekdot tersebut, menurut Howard Gardner, ada dua fakta penting mengenai kecerdasan logika-matematika. Pertama, dalam diri orang berbakat, proses penyelesaian masalah sering berlangsung amat cepat. Kedua, penyelesaian masalah dapat disusun sebelum penyelesaian itu diutarakan.224 Kedua fakta tersebut dapat diketahui dari kemampuan McClintock dalam menjawab persoalan mengenai sterilitas serbuk sari pada jagung dan penyelesaain masalah yang dia susun sebelum dilaksanakannya dalam penelitian di laboratorium. Berdasarkan anekdot tersebut,
apa
sebenarnya
yang
dimaksudkan
dengan
kecerdasan
matematis-logis? Menurut Gardner, sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno, kecerdasan matematis-logis, yang oleh Thomas Armstrong dinamakan number smart atau logic smart, adalah kemampuan yang berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti yang dimiliki oleh matematikus, saintis, programmer, dan logikus. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi, dan perhitungan.225 Dengan kata lain, menurut Agus Efendi, kemampuan dalam memahami hubungan-hubungan humanikal.226 Orang yang memiliki kecerdasan matematis-logis ini, menurut Paul Suparno, sangat mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi dalam pemikiran serta cara mereka bekerja. Dalam menghadapi banyak
setengah jam, berpikir: Tiba-tiba saya melompat dan berlari lagi ke lading (jagung). Saat berada di atas ladang (sementara yang lain masih di bawah) saya berteriak ―Eureka, aku tahu! Aku tahu apa arti sterilitas 30%!‖… Mereka meminta saya untuk membuktikannya. Saya duduk memegang kertas dan pensil dan saya mulai mencoret-coret, yang belum saya lakukan dalam laboratorium. Semuanya terjadi dengan demikian cepat; jawaban muncul dan saya berlari. Sekarang saya melakukannya langkah demi langkah—itu adalah sederetan langkah rumit—dan saya memperoleh [hasil yang sama]. [Mereka] memperhatikan tulisan itu dan itu tepat seperti yang saya katakana; tepat sama dengan yang saya buat diagramnya. Sekarang, mengapa saya mengetahui, tanpa pernah mencoretkannya di kertas? Mengapa saya merasa demikian pasti? (Keller, 1983, p. 104). 224 Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice…, h. 41. 225 Paul Suparno, Teori Intelligenssi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 29. 226 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 143.
101
persoalan, orang yang memiliki kecerdasan ini akan mencoba untuk mengelompokkannya sehingga mudah dilihat mana yang pokok dan yang tidak, mana yang berkaitan antara satu dan yang lain, serta mana yang merupakan persoalan lepas. Mereka juga dengan mudah membuat abstraksi dari suatu persoalan yang luas dan bermacam-macam sehingga dapat melihat inti persoalan yang dihadapi dengan jelas. Selain itu, mereka juga suka dengan simbolisasi, termasuk simbolisasi matematis dan bahasabahasa komputer. Pola pemikiran orang seperti ini, menurut Paul Suparno, biasanya induktif dan deduktif. Jalan pikirannya bernalar dan dengan mudah mengembangkan pola sebab akibat.227 Selanjutnya menurut Paul Suparno, orang yang kuat dalam kecerdasan matematis-logis secara menonjol dapat melakukan tugas memikirkan sistem-sistem abstrak, seperti matematika dan filsafat. Mereka mudah belajar berhitung, kalkulus, dan bermain dengan angka. Mereka juga cocok untuk menjelaskan kenyataan fisis seperti yang terjadi dalam sains. Dengan kekuatan pada pemikiran induktif, mereka dengan mudah melihat dan mengumpulkan gejala fisis, kemudian merangkumnya dalam suatu kesimpulan ilmiah serta menemukan suatu teori ataupun hukum. Selain itu, mereka juga dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan negosiasi dengan baik, seperti jual beli, berdagang, membuat strategi memecahkan persoalan, merunut harta benda, dan sebagainya.228 Orang yang kuat kecerdasan logis-matematis secara menonjol dapat memikirkan sistem-sistem yang abstrak, seperti matematika dan filsafat. Orang yang mempunyai kecerdasan ini, mudah belajar berhitung, bermain dengan angka. Bahkan, ia dengan senang menggeluti simbol angka dalam buku matematika daripada kalimat panjang-panjang. Pemikiran orang seperti ini adalah ilmiah, berurutan. Silogismenya kuat sehingga mudah dimengerti dan mudah mempelajari persoalan analitis.229
227
Paul Suparno, Teori Intelligenssi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 29. Paul Suparno, Teori Intelligenssi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 30. 229 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 29-30. 228
102
Dari penjelasan di atas, sebagaimana diungkapkan juga oleh Thomas Armstrong, dapat dipahami bahwa komponen inti kecerdasan matematislogis adalah kepekaan pada pola-pola logis atau numeris dan kapasitas mencernanya, serta kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang. Sedangkan sistem simbol yang digunakan adalah bahasa-bahasa komputer.230
3. Kecerdasan Spasial/Ruang-Visual (Visual/Spacial Intelligence) Dalam menjelaskan tentang kecerdasan spasial atau picture smart, Thomas Armstrong membuat ilustrasi sebagai berikut: Ilmuwan Amerika Luis Agassiz adalah orang yang menghargai detail. Pada suatu hari, ia menemui seorang asisten baru dan menyuruh orang tersebut untuk mengerjakan studi terhadap specimen ikan yang aneh. Setelah menyampaikan petunjuknya, Agassiz keluar dari laboratorium yang disangka oleh si asisten hanya untuk beberapa menit. Setelah setengah jam melakukan pengamatan, mahasiswa tersebut merasa bahwa ia telah menemukan segala sesuatu yang perlu diketahui tentang ikan tersebut. Tetapi Agassiz belum juga kembali. Beberapa jam berlalu, dan selama itu mahasiswa tersebut merasa bosan, frustasi, dan marah karena merasa didiamkan saja. Untuk menghabiskan waktu, ia menghitung sisik ikan, sirip, dan mulai membuat gambar ikan tersebut. Ia menemukan hal-hal yang dilewatkannya dalam peninjauan awal, termasuk kenyataan bahwa ikan itu tidak mempunyai pelupuk mata. Pada akhirnya sang guru kembali, hingga asisten muda itu merasa lega. Tetapi Agassiz tidak puas dengan apa yang telah ditemukan oleh ilmuwan muda tersebut dan menyuruhnya mengamati ikan tersebut selama dua hari lagi. Beberapa tahun kemudian, orang itu –yang pada saat itu telah menjadi pakar dalam bidangnya– mengenang hari itu sebagai hari pelatihan paling bermakna yang pernah diperolehnya.231 Ilustrasi tersebut, menurut Thomas Armstrong, menekankan pada pentingnya kekuatan persepsi yang terfokus untuk mengungkapkan apa yang ada –meskipun seolah tersembunyi bagi pengamat sambil lalu– pada segala sesuatu yang tampak. Keadaan ini sangat erat kaitannya dengan
230
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 10. 231 Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 37.
103
kecerdasan spasial karena menyangkut kecerdasan dalam melihat. 232 Jadi apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan spasial? Kecerdasan spasial, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan imajiimaji, serta kemampuan dalam mentransformasikan dunia visual spasial, termasuk kemampuan menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, berpikir tiga dimensi, serta menciptakan ulang dunia visual.233 Oleh karena itu, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong, inti dari kecerdasan ini adalah kepekaan mempersepsi (merasakan) dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasikan persepsi awal seseorang.234 Selanjutnya, menurut Agus Efendi, Gardner menegaskan bahwa kecerdasan
spasial
mencakup
sejumlah
kapasitas
yang
kurang
berhubungan; kemampuan mengenali contoh-contoh dari unsur yang sama; kemampuan mentransformasikan atau mengenali transformasi dari satu elemen ke elemen yang lain; kemampuan untuk menyulap pencitraan mental, kemudian mentransformasikan pencitraan tersebut; kemampuan memproduksi kesukaan grafis dari informasi spasial; dan seterusnya.235 Walaupun mencakup sejumlah kapasitas yang kurang berhubung, namun kecerdasan spasial ini penting utnuk mengorientasikan seseorang dalam lokal-lokal yang beragam, mulai dari lingkup yang sempit seperti kamar sampai yang besar seperti para navigator saat berada di samudera. Dengan begitu, menurut Agus Efendi, Gardner memaksudkan bahwa
232
Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 38. 233 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ …, h. 145. 234 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 10 235 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 145-146
104
kecerdasan spasial adalah kecerdasan yang dapat digunakan untuk mengenali objek dan pemandangan di lingkungan aslinya.236 Terkait dengan kecerdasan spasial, menurut Gardner sebagaimana diungkapkan kembali oleh Agus Efendi, penelitian-penelitian mengenai kecerdasan ini mayoritas dilakukan terhadap orang-orang dewasa, sementara penelitian terhadap anak-anak masih relatif sedikit dan terbatas. Hal ini dikarenakan pengujian keterampilan spasial terhadap anak-anak cenderung lebih sulit dilakukan, perkembangan mereka pun secara intuitif kurang dalam kecerdasan spasial. Bahkan berdasarkan hasil penelitian mayoritas anak-anak kurang tertarik pada kecerdasan spasial.237 Namun demikian, penelitian mengenai kecerdasan spasial terhadap anak-anak masih ada, seperti yang dilakukan oleh Jean Piaget. Bagi Piaget, sebgaimana diungkapkan oleh Agus effendi, perkembangan kecerdasan spasial atau visual anak merupakan bagian dari potert perkembangan intelektual anak. Menurut Piaget, ruang pemahaman sensorik dan motorik terjadi pada anak-anak. Pada akhir fase sensorikmotorik, anak-anak remaja menjadi mampu melakukan pencitraan mental. Mereka dapat membayangkan sebuah lukisan meengenai suatu kejadian. Namun pencitraan ini sesuai dengan jenis tindakan yang terinternalisasi dan peniruan yang ditangguhkan.238 Dengan demikian, ditinjau dari sudut perkembangan, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Armstrong, pola pikir topologis dalam kecerdasan spasial mulai berkembangan pada masa kanak-kanak dan memungkinkan mereka untuk menguasai paradigma Euclidean pada usia
236
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 146. 237 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 146. 238 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 146.
105
sekitar 9-10 tahun dan kepekaan artistik ini akan terus bertahan hingga tua.239
4. Kecerdasan Kinestetis-Badani (Bodily-Kinesthetic Intelligence) Mengenai kecerdasan kinestetik badani ini, dalam bukunya Multiple Intelligences, Gardner mengemukakan sebuah ilustrasi sebagai berikut: ―Fifteen-year-old Babe ruth played third base. During one game his team’s pitcher was doing very poorly and babe loudly critized him from third base. Brother Mathias, the coach, called out, ―Ruth, if you know so much about it, YOU pitch!‖ Babe was surprised and embrassed because he never pitched before, but brother Babe Mathias insisted. Ruth said later that at the very moment he took the pitcher’a mound, he KNEW he was supposed to be a pitcher and that it was ―natural‖ for him to strike people out. Indeed, he went on to become a great major league pitcher (and, of course, attained legendary status as a hitter) (Connor, 1982).‖240 Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa orang yang memiliki kecerdasan kinestetik-badani mampu memahami sesuatu yang berkaitan dengan gerakan badan sebelum dia memperoleh latihan secara formal, atau bisa memahami dan melakukan gerakan dengan tepat hanya dengan latihan yang relatif singkat. Kecerdasan
kinestetik-badani
(tubuh),
menurut
Tony
Buzan
sebagaiman dikutip oleh Agus Efendi merupakan kemampuan untuk memahami, mencintai dan memelihara tubuh, dan membuatnya berfungsi seefisian mungkin bagi orang yang bersangkutan. Dengan kata lain,
239
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 12. 240 Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in The Practice…, h. 18. Terjemahan bebasnya adalah Babe Ruth yang berumur lima belas tahun berada di base ketiga. Selama permainan petugas pelempar (pitcher) timnya bermain amat buruk dan Babe dengan suara keras melontarkan kritik kepadanya dari tempat aman ketiga. Kak Mathias, sang pelatih , berteriak, ―Ruth, kalau kamu memang menguasainya, KAMU jadi pelempar!‖ Babe terkejut dan malu karena dia belum pernah melempar bola sebelumnya, tetapi kak Mathias mendesak, Ruth berkata kemudian bahwa pada saat dia berdiri di tempat pelempar, yang agak ditinggikan, dia MENGETAHUI dia seharusnya menjadi pelempar dan tugas itu ―alami‖ baginya untuk mengalahkan lawan. Memang benar, dia menjadi seorang pelempar liga utama yang terkemuka (dan, tentu saja, memperoleh status legendaris sebagai pemukul bola atau hitter) (Connor, 1982).
106
kecerdasan tubuh adalah kecerdasan atletik dalam mengontrol tubuh seseorang dengan sangat cermat. Oleh karena itu, menurut Agus Efendi, Buzan menegaskan bahwa jika memiliki kecerdasan tubuh yang tinggi maka seseorang akan memahami hubungan antara otak dan tubuh, mensana in corpora sano, pikiran yang sehat terdapat dalam badan yang sehat dan sebaliknya, badan yang sehat berada dalam pikiran yang sehat.241 Hal senada juga diungkapkan oleh Thomas Armstrong dalam bukunya 7 Kinds of Smart. Menurut Armstrong, pada zaman kuno, tubuh dan pikiran dianggap sebagai satu kesatuan. Orang Yunani menghargai seni olahraga sebagai sarana yang penting untuk memupuk kekuatan pikiran. Bahkan, seorang filosuf Prancis Rene Descartes mengatakan ―Saya berpikir, karena itulah saya ada.‖ Melalui ungkapan tersebut menurut Thomas Armstrong, Descartes ingin mengungkapkan bahwa tidak ada pemisahan antara tubuh dan pikiran.242 Dengan demikian kondisi tubuh akan mempengaruhi pikiran dan sebaliknya kondisi pikiran akan mempengaruhi tubuh. Jika tubuh sakit, maka pikiran akan merasa sakit pula, demikian pula jika pikiran sakit, maka tubuh juga akan merasakan hal yang sama. Oleh karena tiu, menurut Agus Efendi, benar apa yang diungkapkan dalam pepatah Arab, ―Kesehatan adalah mahkota bagi orang-orang yang sehat. Ia tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang sakit.‖ Bahkan sebuha riwayat dalam Islam mengatakan: ―inna badanika haqqan (sesungguhnya tubuhmu memiliki hak).‖ Atas dasar itu pula, menurut Agus Efendi, Islam memiliki ajaran halal dan haram mengenai jenis-jenis makanan dan minuman.243
241
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 152. 242 Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 68-69. 243 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 153.
107
Sementara itu, Howard Gardner sebagaiman dikutip oleh Paul Suparno, memakai kecerdasan kinestetik-badani sebagai kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. Dalam hal ini termasuk keterampilan koordinasi dan fleksibilitas tubuh.244 Berkenaan dengan hal ini, May Lwin, dkk. Menyatakan bahwa kemampuan ini pada umumnya dirujuk sebagai keterampilan psikomotor yang menggabungkan inter-prestasi mental dengan tanggapan fisik. Kemampuan ini juga merujuk pada kemampuan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian tubuh seseorang dengan otak supaya berfungsi secara sinkron untuk mencapai tujuan fisik.245 Selanjutnya, orang yang memiliki kecerdasan ini menurut Paul Suparno, akan dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka. Apa yang mereka pikirkan dan rasakan, akan dengan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh atau ekspresi tubuh. Selain itu, mereka juga dengan mudah dapat memainkan mimik, drama, dan peran.246 Berbagai keterampilan fisik yang ditangani dan dimanipulasi oleh orangorang yang memiliki kecerdasan ini, menurut Adi W. Gunawan biasanya diiringi oleh keterampilan dalam koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan,
kelenturan,
dan
kecepatan.247
Melalui
keterampilan-
keterampilan tersebut, Menurut Takdirotun Musfiroh, maka gerakangerakan yang mereka perlihatkan akan terlihat seimbang, luwes, dan cekatan.248 Berkenaan dengan kecerdasan kinestetik-badani pada anak-anak, menurut Thomas Armstrong, anak-anak yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani yang sangat berkembang sering tidak bisa diam saat 244
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 34. May Lwin, dkk., How to Multiply Your Child’s Intelligence: Cara Mengembangkan Berbagai komponen Keceradasan, (Yogyakarta: Indeks, 2008), h. 168170. 246 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 35. 247 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 240. 248 Takdirotun Musyfiroh, Cerdas Melalui Bermain: Cara Mengasah Multiple Intelligences Anak Sejak Usia Dini, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 51-52. 245
108
duduk makan, dan biasanya selalu minta izin keluar untuk bermain. Mereka memproses pengetahuan melalui sensasi tubuh. Anak yang memiliki kecerdasan ini ada yang dikaruniai kemampuan atlet atau keterampilan seorang penari, aktor, atau pandai berpantomim. Sedangkan yang lain dikaruniai koordinasi motorik yang sempurna dan unggul dalam mengetik, menggambar, memperbaiki, menjahit, kerajinan tangan, dan kegiatan serupa. Anak-anak dengan kecerdasan ini, menurut Thomas Armstrong bisa berkomunikasi dengan sangat efektif melalui gerakan dan bentuk-bentuk bahasa tubuh yang lain. Oleh karena itu, mereka butuh kesempatan untuk belajar dengan bergerak atau memperagakan sesuatu.249
5. Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence) Sebagai ilustrasi mengenai kecerdasan musik ini, dalam bukunya Multiple Intelligences, Gardner mengungkapkan sebuah kisah nyata sebagai berikut: Ketika berusia tiga tahun, Yehudi Menuhin dibawa masuk secara sembunyi-sembunyi ke dalam pertunjukkan konser San Fransisco Orchestra oleh orangtuanya. Suatu biola Louis Persinger demikian mempesona anak muda ini sehingga bersikeras meminta biola sebagai hadiah ulang tahunnya dan meminta Louis Persinger sebagai gurunya. Dia memperoleh keduanya. Saat dia berusia sepuluh tahun, Menuhin sudah menjadi pemain biola internasional. (Menuhin, 1977).250 Kecerdasan musik, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno, adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.251 Selain itu, menurut Ady W. Gunawan, kecerdasan musik juga meliputi kemampuan untuk mengamati, membedakan, mengarang, dan membentuk bentuk-bentuk musik, kepekaan terhadap ritme, melodi, dan timbre dari musik yang
249
Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Menignkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 29. 250 Terjemahan artikel pada http://www.howardgardner.com/bio/lerner_winner.html, diakses tanggal 14 maret 2011 251 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplkasinya Di Sekolah…, h. 36.
109
didengar.252 Oleh Karena itu, sistem simbol yang digunakan untuk menyandikan kecerdasan ini adalah sistem notasi musik dan kode morse.253 Kecerdasan ini, menurut May Lwin, dkk. merupakan kecerdasan pertama yang harus dikembangkan dari sudut pandang neurologis. Bahkan dikatakan bahwa dari semua bentuk kecerdasan, musik dan irama pada otak memiliki pengaruh yang terbesar terhadap kesadaran seseorang. Kekuatan musik, irama, suara, dan getaran mampu menggeser pikiran, member ilham pengabdian relijius, meningkatkan kebanggan nasional, dan mengungkapkan kasih atau rasa kehilangan dan duka yang dalam untuk orang lain.254 Berkenaan dengan hal ini, Danah Zohar dan Ian Marshall sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, menulis bahwa penelitian Wright juga menunjukkan tabuhan ritmis dalam berbagai ritus spiritual dapat mengaktifkan lobus temporal berikut area limbic yang berkaitan dengannya. Bahkan menurut mereka, peningkatan SQ pun menuntut improvisasi musik.255 Hal ini dapat dipahami karena daerah temporal, khususnya temporal kanan, berdasarkan penelitian Thomas Armstrong dan para koleganya terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak, merupakan
wilayah
primerkecerdasan
musik
ditinjau
dari
sudut
neurologis.256 Bahkan saat dilakukan survei di tujuh belas Negara terhadap kemampuan anak didik dalam bidang sains, usia, empat belas tahun, ditemukan bahwa anak dari Belanda, Jepang, dan Hongaria mempunyai prestasi tertinggi di dunia. Saat diteliti lebih mendalam ternyata ketiga 252
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning…, h. 235. 253 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 11. 254 May Lwin, dkk., How to Multiply Your Child’s Intelligence: Cara Mengembangkan Berbagai komponen Keceradasan…, h. 137. 255 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ…, h. 148. 256 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 13.
110
Negara ini memasukkan unsure seni dan musik secara intensif ke dalam kurikulum mereka. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Dr. Mark Tramko, ahli saraf dari Havard Medical school, yang membuktikan adanya tumpang tindih pada sela otak yang memproses musik, bahasa, logikamatematik, dan abstract-reasoning.257
6. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence) Mengawali penjelasan mengenai kecerdasan interpersonal ini, dalam bukunya Multiple Intelligences Gardner mengungkapkan sebuah cerita nyata yang telah diangkat menjadi sebuah film. Film ini menceritakan tentang keberhasilan Annie sulivian dalam mendidik seorang anak buta yang liar dan sulit diatur. Dengan sedikit pelatihan-pelatihan yang formal dalam pendidikan khusus, Annie Sullivan memulai tugas yang luar biasa, yaitu mengajar Helen Keller, seorang anak usia tujuh tahun yang buta dan tuli. Usaha Annie Sullivan dalam membangun komunikasi menjadi sangat sulit dan rumit, karena dia tidak berjuang dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, namun ia juga perjuangan emosional menghadapi sang anak dengan dunia sang anak itu sendiri maupun dunia di sekitarnya. Pada suatu ketika, saat pertama kali makan bersama dengan sang anak, suatu pemandangan tercipta dalam suasana itu yang mencerminkan betapa liarnya seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan yang sepantasnya dari lingkungan keluarganya. Gardner mengungkapkan bahwa kemudian Anne Sullivan secara sensitif memberikan tanggapan pada tingkah laku Helen. Dia menuliskan surat ke rumah yang isinya adalah masalah terbesar yang harus dia hadapi adalah cara mendisiplinkan dan mengendalikan Helen tanpa mematahkan semangat anak tersebut. Pada awal mulanya Annie harus begitu hati-hati dan perlahan-lahan melangkah maju agar dapat dekat dan merebut cinta Helen. Suatu keajaiban pertama terjadi dua minggu kemudian, jauh 257
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning…, h. 236.
111
sebelum insiden di rumah pompa terjadi. Annie membawa Helen ke pondok kecil dekat rumah keluarga, tempat mereka dapat tinggal berdua. Setelah tujuh hari bersama-sama, kepribadian Helen tiba-tiba mengalami perubahan besar dan terapi yang dilakukan oleh Annie pun berhasil. sejak saat itu, Helen mengalami kemajuan yang luar biasa. Kunci dari semua perubahan itu menurut Gardner adalah pemahaman Annie Sullivan terhadap kondisi pribadi Hellen Keller. Cerita ini menggambarkan kemampuan dari Annie dalam memahami pribadi Helen tidak bergantung pada bahasa, namun bergantung pada kecerdasan interpersonal yang dimiliki Annie. Kecerdasan interpersonal menurut Gardner, sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan tempramen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara, serta isyarat orang lain.258 Selain kemampuan memahami dann memperkirakan perasaan, tempramen, suasana hati, dan keinginan orang lain, kecerdasan interpersonal ini menurut May Lwin, dkk. juga menyangkut kemampuan untuk memberikan tanggapan secara layak terhadap kondisi orang lain.259 Melalui kecerdasan ini pula, menurut Adi W. Gunawan, seseorang mampu mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood, perilaku, motivasi, dan perhatian orang lain.260 Inilah kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang ekstrovet, menurut Julia Jasmine.261 Jadi secara umum kecerdasan interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan berbagai orang. Kecerdasan ini menurut Paul Suparno banyak dimiliki
258
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 39. May Lwin, dkk., How to Multiply Your Child’s Intelligence: Cara Mengembangkan Berbagai komponen Keceradasan…, h. 197. 260 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning…, h. 237. 261 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences…, h. 27. 259
112
oleh para komunikator, fasilitator, dan mobilisator (penggerak massa atau gerakan).262
7. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence) Dalam penjelasannya mengenai kecerdasan intrapersonal, Gardner mengungkapkan sebuah karangan singkat berjudul ―A Sketch of the Past.‖ Karangan ini menceritakan tentang diskusia Virgini Woolf mengenai ―keberadaan kapas mentah‖. Menurut Gardner, Woolf membandingkan ―kapas mentah‖ dengan tiga memori spesifik dan berkesan mendalam dari masa kanak-kanaknya; perkelahiannya dengan saudara prianya, melihat bunga tertentu di taman, dan mendengar orang yang pernah menjadi tamu bunuh diri. Kisah tersebut menceritakan tentang kesadaran seseorang akan kemampuan dirinya setelah mengalami suatu peristiwa luar biasa yang menimbulkan keterkejutan dan ketakutan. Namun, kesadaran akan kemampuan yang dimilikinya itu akhirnya menjadikan Woolf sebagai orang yang memiliki kepercayaan diri, tidak takut menghadapi tantangan bahkan mampu mengembangkan kemampuannya dengan maksimal. Kecerdasan intrapersonal sendiri menurut Paul Suparno adalah kemampuan yang berkaitan dengan pngetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri tersebut. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kemampuan berefleksi dan berkeseimbangan diri, memiliki kesadaran tinggi akan gagasangagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi, sadar akan tujuan hidupnya, bisa mengatur perasaan serta emosi dirinya sendiri.263 Orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi dalam bidang ini adalah orang yang mengetahui kelebihan dan kelemahan diri serta mampu menjadi dirinya sendiri yang sejati. Kemampuan ini, menurut Thomas
262 263
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 39. Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 41.
113
Armstrong, merupakan komponen inti kecerdasan intrapersonal, yang selanjutnya disandikan dengan simbol diri seperti karya seni.264 Diri sejati menurut James Masterson sebagaimana dikutip oleh Thomas Arsmtrong, mempunyai sejumlah komponen, anatara lain: a. Kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam denga gairah, semangat, dan spontanitas. b. Kemampuan bersikap tegas. c. Pengakuan terhadap harga diri. d. Kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri. e. Mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat dalam pekerjaan maupun relasi. f. Kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat. g. Kemampuan untuk menyendiri. Bahkan Msterson menunjukkan bahwa diri sejati mampu bertahan menghadapi ruang dan waktu.265 Dengan kemampuan itulah, orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi sanggup menghadapi segala kemungkinan yang akan dihadapinya. Karena dari berbagai kemungkina itu pula dia belajar dan semakin mampu mengenali kemampuan dan kekuatan dirinya sendiri. Selain itu, dia juga selalu memiliki keinginan utnuk hidup mandiri dan yakin dengan pendapat diri yang kuat tentang hal-hal yang kontroversi. Dia memiliki rasa percaya diri yang sangat besar dan yakin bahwa dia mampu menghadapi segala tantangan dengan kekuatan dirinya sendiri. Kecerdasan ini, menurut Julia Jasmine biasanya dimiliki oleh orang-orang.introvert266
264
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences…, h. 11. 265 Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Menignkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 118-119. 266 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences…, h. 27-28.
114
8. Kecerdasan Naturalis/Lingkungan (Naturalist Intelligence) Kecerdasan naturalis, menurut Gardner sebagaiman dikutip oleh Paul Suparno, adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna denganbaik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam serta menggunakan kemampuan tersebut secara produktif dalam bertani, berburu, dan mengembangkan pengetahuan alam lainnya. Dalam pembicaraannya
dengan
Durie,
menurut
Paul
Suparno,
Gardner
menjelaskan bahwa kecerdasan naturalis atau lingkungan adalah kemampuan manusiawi untuk mengenal tanaman, binatang, dan bagianbagian lain dari lingkungan alam seperti awan atau batu-batuan.267 Menurut Howard Gardner, sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong, kecerdasan naturalis ini tidak hanya biasa berkembang pada orang-orang yang dekat pada flora dan fauna saja, namun orang yang jauh dari flora dan fauna, seperti orang-orang yang hidup di kota, juga bisa mengembangkan kecerdasan naturalisnya, karena kecerdasan naturalis itu tidak sekedar kemampuan untuk memahami flora dan fauna saja tetapi bisa berupa kemampuan untuk membedakan jenis benda-benda yang di kota, seperti jenis sampul CD, sepatu karet, atau mobil.268 Berkenaan dengan hal ini, Adi W. Gunawan mengatakan bahwa saat ini kecerdasan naturalis bukan hanya sebatas mengenali alam, namun
juga mampu
membedakan, menggolongkan, dan membuat kategori terhadap apa yang dijumpai di alam maupun di lingkungan, termasuk kemampuan untuk membedakan benda buatan manusia, seperti mobil, sepatu, pesawat, dan perhiasan.269 Orang yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi, menurut Paul Suparno, mampu hidup di luar rumah, dapat berteman dan berhubungan
267
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 42. Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Menignkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligeces…, h. 215. 269 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning…, h. 241. 268
115
baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan klasifikasi tanaman dan binatang. Orang ini biasanya memiliki kemampuan untuk mengenal sifat dan tingkah laku binatang, mencintai lingkungan, dan tidak suka merusak lingkungan hidup.270 Sementara itu, berkenaan dengan dunia anak-anak, dalam bukunya Setiap Anak Cerdas Thomas Armstrong mengatakan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi lebih suka berada atau berjalan-jalan di alam terbuka, ke kebun binatang atau museum sejarah, akrab dengan hewan peliharaan, menunjukkan kepekaan terhadap bentukbentuk alam(misalnya, gunung, awan, sepatu kanvas, sampul CD, model mobil), suka berkebun atau berada di dekat kebun, menghabiskan waktu dekat
akuarium,
tetarium,
atau
sistem
kehidupan
alam
lain,
memperlihatkan kesadaran ekologi (misalnya, melalui daur ulang dan pelayanan masyarakat), yakin bahwa binatang juga punya hak sendiri, suka mencatat fenomena alam yang melibatkan hewan, tanaman, dan halhal sejenis, membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lain untuk siperlihatkan kepada anggota keluarga yang lain, atau memperlihatkan pemahaman yang mendalam di sekolah dalam topic-topik yang melibatkan sistem kehidupan.271 Selain itu, anak-anak yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi, juga suka mendengarkan bunyi-bunyian diluar atau mengumpulkan bebatuan. Dan anak-anak seperti ini berbakat utnuk menjadi dokter hewan, penjaga hutan, pakar ekologi, atau petani.
270
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 42. Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 36-37. 271
BAB IV PENERAPAN KONSEP KECERDASAN PERSPEKTIF HOWARD GARDNER DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Kualitas proses belajar terbaik pada diri siswa dan proses mengajar terbaik diri seorang guru apabila guru mengembangkan, memodifikasi dan menyesuaikan kurikulum dengan kecenderungan siswa. Tetapi pada umumnya, batasan kurikulum pemerintah perlu diikuti. Buku-buku pdoman standar pembelajaran seringkali hanya menjadi panduan kurikulum atau acuan yang kaku bagi guru, guru menerima dan merealisasikan secara mentah-mentah tanpa harus mengembangkannya kembali. Bagaimana pun, setiap guru memiliki kesempatan untuk bekerjasama memutuskan cara terbaik demi mencapai tujuan dan target dalam pembelajaran. Dalam merencanakan kegiatan pembelajaran maupun mengembangkan atau memutuskan tema pada suatu materi pembelajaran, guru dapat menciptakan pengalaman-pengalaman pada proses pembelajaran siswa dan menggunakan metode-metode yang dapat menghantarkan kepada tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dengan kerangka konsep kecerdasan perspektif Howard Gardner (multiple intelligences), guru dapat merencanakan rangkaian pengalaman dan kegiatan yang memungkinkan semua anak menggunakan kecerdasan terkuat mereka dalam belajar.272 Pembelajaran dengan teori multiple intelligences perlu dipersiapkan sebaikbaiknya. Guru perlu merancang sebelumnya bagaimana pembelajaran akan
272
Thomas R. Hoerr, Buku Kerja Multiple Intelegences, (Bandung, Kaifa, 2007), h. 52.
116
117
dijalankan serta apa yang harus dilakukan guru dan siswa dalam pembelajaran tersebut. Beberapa langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
A. Mengenal Multiple Intelligences Siswa Agar dapat membantu siswa belajar dengan teori multiple intelligences, pertama-tama guru harus mengetahui multiple intelligences seperti apa yang paling dimiliki oleh siswa. Maka, sebelum mulai merencanakan pengajaran dengan multiple intelligences, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengenal multiple intelligences siswa, antara lain melalui tes, mengamati kegiatan siswa di kelas, mengamati kegiatan siswa di luar kelas, dan mengetahui dan memahami data-data siswa.273 1. Dengan Tes Sebelum mulai dengan pelajaran, guru dapat membuat tes sederhana kepada siswa untuk menjajaki kecerdasan mereka. Tes itu dapat berupa daftar pertanyaan yang harus dibaca oleh siswa dan mereka harus memberikan tanda "X" di depan pertanyaan yang sesuai dengan sifat, ciri, dan keadaan nyata mereka dengan beberapa ciri atau indikator-indikator. Berdasarkan hal tersebut, guru mencoba merangkum kecerdasan yang menonjol pada siswa. Beberapa contoh indikator itu dapat dilihat pada daftar berikut ini: a. Kecerdasan Linguistik-Verbal 1) Menulis lebih baik dari rata-rata kelas. 2) Mudah bercerita dan membuat lelucon. 3) Punya ingatan akan nama, tempat dan hari yang kuat. 4) Suka membaca buku. 5) Menulis dengan ejaan yang benar dan teliti. 6) Suka mendengarkan kata-kata yang diucapkan. 7) Memiliki kemampuan kosa-kata yang baik. 8) Mampu berkomunikasi dengan kata-kata teratur. 273
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2004), h. 79.
118
b. Kecerdasan Logis-Matematis 1) Suka menanyakan tentang bagaimana suatu benda bekerja. 2) Suka berpikir dengan logika yang jelas. 3) Mampu menghitung dengan cepat. 4) Menyukai kelas matematika dan IPA. 5) Menyukai permainan matematis dalam komputer. 6) Suka mengatur berbagai hal dengan teratur, kategoris dan hierarkis. 7) Berpikir lebih abstrak dan konseptual. 8) Punya kepekaan dengan sebab-akibat dalam suatu persoalan. c. Kecerdasan Visual-Spasial 1) Mampu memberikan presentasi secara jelas suatu gambar visual. 2) Membaca peta, grafik dan diagram lebih mudah daripada membaca teks. 3) Menyukai kegiatan-kegiatan seni. 4) Menggambar lebih baik daripada rata-rata kelas. 5) Suka melihat film, slide dan presentasi visual yang lain. 6) Bila membaca lebih menyukai gambar daripada teks. d. Kecerdasan Kinestetis-Jasmani 1) Menonjol dalam salah satu bidang olahraga. 2) Selalu ingin bergerak bila duduk terlalu lama di satu tempat. 3) Mudah menirukan gerak dan gaya seseorang. 4) Punya cara mengekspresikan diri secara dramatik. 5) Senang menari. 6) Menyukai bekerja dengan tanah untuk membuat bangunan. e. Kecerdasan Musikal 1) Mampu mengingat melodi musik dengan baik. 2) Punya suara yang bagus dalam menyanyi. 3) Mampu memainkan alat musik. 4) Bernyanyi dengan baik. 5) Punya cara ritmik dalam bicara dan bergerak. 6) Peka terhadap suara di sekitarnya.
119
7) Mampu menciptakan lagu. f. Kecerdasan Interpersonal 1) Menyukai sosialisasi dengan teman. 2) Kelihatan dapat menjadi pemimpin yang alami. 3) Suka memberikan nasihat pada teman yang dalam kesulitan Termasuk dalam klub, komite atau organisasi. 4) Mempunyai lebih dari dua teman dekat. 5) Mudah empati kepada orang lain. 6) Suka berteman dan kerjasama. g. Kecerdasan Intrapersonal 1) Memiliki kemauan yang kuat dan percaya diri. 2) Memiliki
rasa
yang
realistik
tentang
kemampuan
dan
kelemahannya. 3) Selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik meski tidak ditunggui. 4) Punya kepekaan akan arah dirinya. 5) Cenderung bekerja sendiri darpada dengan orang lain. 6) Dapat belajar dari kesuksesan dan kegagalannya. 7) Punya rasa percaya diri yang tinggi. 8) Punya daya refleksi yang tinggi. h. Kecerdasan Naturalis 1) Punya kemampuan klasifikasi. 2) Menyukai flora dan fauna serta alam semesta. 3) Suka berjalan-jalan di alam bebas menikmati alam. 4) Suka belajar biologi. 5) Menyukai kelestarian alam.274
2. Mengamati Kegiatan Siswa Di Kelas Dengan observasi sederhana tentang apa yang dibuat siswa di kelas, guru dapat mendeteksi kecerdasan siswa. Guru dapat mengamati siswa selama di kelas, apa yang mereka buat dalam belajar dan mengerjakan 274
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 80-82.
120
tugas di kelas, apa yang mereka sukai dan tidak mereka sukai dalam mendalami suatu pelajaran yang sedang dihadapi, apa yang mereka ungkapkan dalam menjawab dan menanggapi uraian guru.275
3. Mengamati Kegiatan Siswa Di Luar Kelas Guru dapat mengobservasi siswa pada waktu luang, ketika siswa bebas untuk berbuat sesuatu. Pada waktu luang biasanya siswa lebih bebas mengungkapkan kemampuan dan ketidakmampuan. Misalnya, orang yang memilki kecerdasan interpersonal akan dengan cepat dan mudah bergerombol ngobrol atau bermain bersama teman-temannya. Anak yang mempunyai kecerdasan kinestetis-jasmani yang dominan biasanya akan langsung ke lapangan untuk bermain bola, berakting atau menari. Dengan mengamati tingkah laku selama waktu bebas itu guru bisa mendapatkan masukan kira-kira kecerdasan mana yang menonjol pada siswa. Semua masukan ini akan disatukan dengan tes tertulis untuk lebih meyakinkan kecerdasan siswa.276
4. Mengetahui dan Memahami Data-Data Siswa Untuk membantu meneliti kecerdasan siswa, guru dapat juga mengumpulkan semua dokumen yang pernah dibuat siswa. Dokuman itu dapat berupa semua hasil karya siswa, seperti hasil tulisan, hasil kliping dari surat kabar, maupun hasil karya seni mereka. Tentu saja dokumen yang paling penting adalah rapor nilai siswa, nilai apa saja yang menonjol dan nilai apa yang kurang. Dari nilai-nilai yang sangat bagus, kiranya dapat diketahui kecerdasan apa yang kuat dalam diri siswa itu.277
B. Mempersiapkan Pengajaran PAI Sebelum mulai mengajar, guru PAI perlu mempersiapkan lebih dahulu melakukan persiapan, jika tidak melakukan persiapan bagaimana ia akan 275
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 84. Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 85. 277 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 86. 276
121
mengajar dengan teori multiple intelligences. Dalam persiapan itu guru akan meneliti kemungkinan-kemungkinan bentuk multiple intelligences yang dapat digunakan untuk mengajar suatu topik dalam bidang yang ingin diajarkan. Setelah melihat kemungkinan-kemungkinannya, ia menyusunnya dalam urutan yang nanti dapat langsung digunakan dalam mengajar. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan mengajar, yaitu: 1. Berfokus Pada Topik Tertentu Sangat baik bila guru memfokuskan diri pada topik-topik tertentu dalam bidang yang mau diajarkan.278 Misalnya, dalam pelajaran Fiqh: topik Mawaris, dalam pelajaran Akhlak: topik iman kepada kitab-kitab Allah. Pemfokusan ini sangat penting, agar guru PAI nantinya tidak bingung dalam persiapan. Pendekatan multiple intelligences memang sangat cocok dengan model pembelajaran yang berfokus pada topik, bukan pada keseluruhan bab atau mata pelajaran. Dengan adanya fokus, topik dapat didekati dengan berbagai kecerdasan yang kesemuanya mengarah kepada topik tersebut. Maka, pelajaran menjadi sungguh-sungguh mendalam. 2. Menganalisa Pendekatan Multiple Intelligences yang Baik Dengan Materi Ajar yang Akan Diberikan Selanjutnya, guru PAI perlu bertanya bagaimana semua kecerdasan itu dapat digunakan atau diterapkan dalam topik yang bersangkutan. Misalnya untuk topik Mawaris, pertanyaan itu antara lain sebagai berikut: Logis-Matematis: Bagaimana dapat memasukkan suatu bilangan, perhitungan, logika, klasifikasi dan keterampilan berpikir kritis dalam topik Mawaris? Dan bagaimana cara pembagian Mawaris? Linguistik-Verbal: bagaimana kata-kata dan bahasa akan digunakan dalam topik Mawaris? Dan bagaimana siswa mendefinisikan Mawaris? Di sini siswa diminta untuk merumuskan dengan kalimat mereka sendiri.
278
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 87.
122
Visual-Spasial: bagaimana guru PAI dapat menggunakan bantuan visual, seni dalam topik Mawars? Bagaimana secara visual ditunjukkan bagaimana proses pembagian harta dalam Mawaris? Musikal: bagaimana membawa masuk musik dan melodi dalam topik Mawaris? Kinestetik-Jasmani: bagaimana memasukkan seluruh tubuh atau menggunakan pengalaman-pengalama manual? Bagaimana siswa dapat memperaktekkan pembagian harta dalam Mawaris? Interpersonal:
bagaimana
mengaktifkan
siswa
dalam
sharing
kelompok? Apakah harus bekerjasama dalam menyelesaikan persoalan pembagian harta Waris dalam topik Mawaris? Intrapersonal: bagaimana menggerakkan perasaan pribadi, ingatan, atau memberikan siswa suatu pilihan pribadi? Bagaimana guru memberikan waktu kepada siswa untuk berefleksi sendiri tentang materi tersebut? Tanyakan apa kegunaan belajar topik Mawaris untuk kehidupan siswa? Naturalis: bagaimana Mawaris ini berkaitan dengan alam lingkungan sekitar? Apakah ada kaitannya antara Mawaris dengan lingkungan alam sekitarnya? 3. Membuat Skema Untuk Mendapatkan Gambaran dalam Menentukan Metode yang Dapat Digunakan Langkah selanjutnya, guru membuat skema yang berisi segala kemungkinan kegiatan yang sesuai dengan topik itu dalam bentuk multiple intelligences. Skema Kemungkinan Kegiatan Untuk Topik Mawaris Topik
Kecerdasan
Kegiatan yang mungkin
Alat/Fasilitas
123
Mengklasifikasikan Logis-
yang memperoleh
matematis
waris dan mengerjakan
Papan/kertas
soal Linguistikverbal
M
Merumuskan dengan katakata sendiri mengenai
Kertas
Mawaris
Visual-
Melihat proses pembagian
spasial
harta waris
Papan/kertas
A W A
Musikal
Membuat lagu untuk pembagian Waris
R I S
Kinestetisjasmani
memperaktekkan proses pembagian harta Waris
Interpersonal
Kerja kelompok di kelas
Intrapersonal
Membuat refleksi pribadi
Naturalis
Papan/kertas
Kertas
Apa kaitannya Mawaris dengan lingkungan Tabel 4.1
4. Memilih dan Menyusun dalam Rencana Pembelajaran Setelah semua kemungkinan ditulis, lalu dipilih beberapa kegiatan yang memang akan dibuat dalam pelajaran sesungguhnya. Dipilih kegiatan yang memang sungguh akan dikerjakan, yang ada sarananya dan dapat dibuat. Setelah itu, semuanya diurutkan dalam satu rencana pelajaran.
124
Dengan demikian, guru mempunyai rencana pembelajaran kongret yang dapat dilakukan. Pengajaran satu materi tidak perlu harus menggunakan semua kecerdasan secara serentak. Pilihlah kecerdasan yang sesuai dengan konteks pembelajaran itu sendiri. Jadi dalam satu materi bisa hanya lima atau enam kecerdasan saja yang bisa digunakan. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada beberapa materi yang memungkinkan guru untuk memaksimalkan penggunaan kecerdasan siswa.
C. Strategi Pengajaran PAI berbasis Multiple Intelligences Ada beberapa strategi yang perlu diperhatikan dalam pengajaran pendidikan agama Islam dengan menggunakan teori multiple intelligences. Secara umum strategi yang dapat digunakan pada pengajaran PAI itu adalah sebagai berikut: Kecerdasan linguistik-verbal dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita, menuliskan kembali yang dipelajari, dengan brainstorming, membuat jurnal tentang materi yang dipelajari, atau menerbitkan majalah dinding. Dengan kata lain, setelah mempelajari topik tertentu siswa perlu diberikan kesempatan mengungkapkan pemikirannya dengan menuliskan kembali lewat kata-kata mereka sendiri. Misalnya, bila topiknya tentang Sedekah. Setelah siswa mempelajari tentang sedekah, siswa diberi kesempatan untuk menuliskan pengertian sedekah dengan kata-kata mereka sendiri dan atau mengungkapkan hikmah dan manfaat dari sedekah. Kecerdasan logis-matematis dapat diwujudkan dalam bentuk menghitung, membuat kategorisasi atau penggolongan, membuat pikiran ilmiah dengan proses ilmiah, membuat analogi dan sebagainya. Misalnya dalam mempelajari tajwid tentang nun mati, siswa dapat diminta untuk mengelompokkan hukum bacaan yang berbeda dari hukum bacaan nun mati tersebut. Setelah selesai mengelompokkan hukum bacaan dari nun mati, maka siswa diminta untuk menghitung dan menulis huruf-huruf hijaiyah apa saja yang ada di masing-
125
masing hukum nun mati tersebut. Dan selanjutnya diminta membuat tabel untuk klasifikasi hukum-hukum tersebut. Kecerdasan visual-spasial dapat diungkapkan dengan visualisasi materi, dengan membuat sketsa, gambar, simbol grafik, mengadakan tour kelas dan sebagainya. Misalnya, tentang akhlak kepada kedua orang tua, guru dapat menunjukkan film tentang bagaimana orang yang menghormati orang tua dan orang yang durhaka kepada orang tua. Kecerdasan kinestetis-jasmani dapat diungkapkan dengan bentuk ekspresi gerak badan. Bentuk-bentuk seperti mendramatisir, membuat teater dan sebagainya. Misalnya tentang jual beli, siswa dapat memberikan contoh drama bagaimana cara-cara dan macam-macam jual beli. Kecerdasan musikal dapat diungkapkan dengan memberikan kesempatan dan tugas kepada siswa untuk menyanyi, membuat lagu, atau mengungkapkan materi dalam bentuk suara. Misalnya dalam topik iman kepada Rasul-Rasul Allah, dapat dibuat lagu agar siswa tersebut mudah untuk menghafal namanama Rasul-Rasul Allah. Kecerdasan interpersonal dapat diekspresikan dalam bentuk kegiatan sharing, diskusi kelompok, kerjasama membuat proyek atau membuat permainan bersama maupun membuat simulasi bersama. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap siswa dalam kelompok bisa aktif dan bekerjasama, sehingga kerjasama tidak dikuasai oleh satu siswa dan lainnya pasif. Kecerdasan intrapersonal dapat dikembangkan dengan memberikan waktu sendiri kepada siswa untuk merefleksikan dan berpikir sejenak. Beberapa soal yang diberikan perlu persoalan terbuka di mana siswa secara mandiri dapat mengungkapkan gagasannya. Guru sendiri perlu belajar untuk menyajikan materi dengan memasukkan perasaan, humor dan juga keseriusannya. Dengan kata lain sikap guru pribadi perlu juga ditunjukkan untuk membantu siswa yang intrapersonal. Pada akhir pelajaran, baik bila siswa diminta untuk merefleksikan kegunaan pelajaran ini bagi hidup mereka.
126
Kecerdasan naturalis dapat diungkapkan dengan mengajak siswa untuk melihat apakah topik yang dipelajari ada kaitannya dengan lingkungan hidup mereka, dengan alam tempat mereka hidup. Misalnya topik akhlak kepada lingkungan, siswa dapat diajak melihat berbagai tanaman di sekitar lingkungan sekolah, bagaimana cara memperlakukan tanaman di sekitar lingkungan sekolah agar tanaman tersebut bisa kelihatan bagus, indah dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Seperti untuk mengurangi polusi udara, untuk bertuduh di siang hari jika matahari terik dan untuk memperindah lingkungan sekolah.
D. Menentukan Evaluasi Salah satu unsur yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah evaluasi. Jelas evaluasi perlu disesuaikan dengan tujuan dan cara mengajar seorang guru. Bila dalam pembelajaran guru menggunakan multiple intelligences, maka evaluasinya pun perlu disesuaikan dengan kemampuan multiple intelligences. Evaluasi yang hanya memungkinkan salah satu kecerdasan, misalnya logis-matematis, kurang dapat mengukur seluruh kemampuan siswa.279 Secara umum evaluasi perlu lebih luas dan menyeluruh, bahkan perlu memasukkan unsur lingkungan dan situasi nyata untuk dapat mengukur seluruh kemampuan siswa. Maka, berbagai bentuk evaluasi tertulis, lisan, dalam bentuk proyek, tugas bersama, refleksi pribadi, bentuk prestasi yang dapat ditampilkan di depan umum, dalam kearifan proses pembelajaran, pemantauan guru selama pembelajaran dan sebagainya. Sedapat mungkin semua jenis kecerdasan tersebut dapat terukur dalam evaluasi. Alat evaluasi ada yang berbentuk tes dan ada yang berbentuk non-tes. Alat evaluasi berbentuk tes adalah semua alat evaluasi yang hasilnya dapat dikategorikan menjadi benar dan salah. Misalnya, alat evaluasi untuk mengungkapkan aspek kognitif dan psikomotorik. Alat evaluasi non-tes
279
Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 93.
127
hasilnya tidak dikategorikan benar-salah, dan umumnya dipakai untuk mengungkapkan aspek afektif.280 Beberapa bentuk evaluasi dalam pembelajaran PAI yang sesuai dengan multiple intelligences adalah sebagai berikut: 1. Portofolio, evaluasi melalui portofolio adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan serta perkembangan wawasan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa yang bersumber dari catatan dan dokumen pengalaman belajarnya.281 Laporan yang termasuk di dalam portofolio adalah laporan tertulis, hasil diskusi kelompok, hasil refleksi pribadi, tugas, gambar, laporan komputer, slide, atau video, bila pernah dibuat. Tugas-tugas informal yang pernah dikerjakan siswa, seperti catatan, permainan, kerja kelompok kecil. 2. Penilaian Selama Proses Belajar, guru perlu selalu memantau dan memberikan penilaian singkat kepada setiap siswa selama proses belajar: selama diskusi, selama mereka bermain bersama sesuai materi dan selama mereka aktif berpartisipasi dalam pembelajaran.282 3. Soal Tertulis, soal tertulis yang diberikan kepada siswa perlu juga dirumuskan sesuai dengan beragam kecerdasan yang ada. Maka, perlu ada persoalan logika, musikal, ruang, gerak, refleksi pribadi dan juga bahasa tertulis.283 Misalnya tes tentang Mawaris dapat berbentuk seperti berikut ini: a. Sebutkan kewajiban ahli waris sebelum membagi warisan. b. Seorang meninggal, ahli warisnya, suami, satu orang anak perempuan dan bapak. Harta warisannya Rp.10.000.000. Hitunglah harta warisan yang diperoleh oleh mereka. c. Jelaskan dengan kata-katamu sendiri, mengapa harta warisan yang didapat laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. 280
Sutrisno, Revolusi Pendidikan Di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), h. 152. Sutrisno, Revolusi Pendidikan Di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), h. 154. 282 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 94. 283 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 94. 281
128
d. Anak perempuan jika sendirian dan tidak ada anak laki-laki, berapa bagiankah yang diperoleh dari harta warisan. e. Seorang meninggal, ahli warisnya, istri, satu orang anak perempuan dan bapak. Harta warisannya Rp.15.000.000. Hitunglah harta warisan yang diperoleh oleh bapak. f. Diskusikanlah bersama teman-temanmu tentang hikmah dari waris.
E. Penerapan Multiple Intelligences Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Kecerdasan Perspektif Howard Gardner yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, telah memberikan kita penjelasan bahwa kecerdasan majemuk itu ada pada setiap individu dan perlu dikembangkan secara maksimal sehingga anak yang dalam beberapa kecerdasan kurang menonjol dapat dibantu dan dibimbing untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan-kecerdasan tersebut.284 Hal ini menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno, karena kecerdasan itu bukanlah kemampuan yang sudah mati sejak lahir dan tetap sepanjang hidup. Namun kecerdasan itu senantiasa berkembang sesuai dengan upaya yang yang dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan tersebut dan dalam hal ini melalui pendidikan.285 Dengan demikian, kecerdasan itu pada dasarnya bisa dilatih agar bisa berkembang maksimal. Berkenaan dengan hal tersebut, banyak upaya yang dapat dilakukan untuk membantu pengembangan kecerdasan majemuk siswa, baik di rumah maupun disekolah dan sekaligus membantu para guru untuk mengenali dan mengembangkan kecerdasan mereka sendiri. Namun demikian, dalam konteks ini, pengembangan kecerdasan majemuk dilakukan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, berbagai metode tersebut diterapkan dalam proses pembelajaran formal. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa pada prinsipnya ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk 284
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 152. 285 Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 65.
129
siswa pada metode pembelajaran, yaitu pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran melalui kegiatan delapan kali tatap muka (pertemuan) atau dengan satu kali tatap muka (pertemuan) dengan menerapkan seluruh metode pengembangan kecerdasan majemuk. 1. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran melalui kegiatan delapan kali pertemuan. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran menggunakan sistem ini dilakukan dengan cara mempersiapkan kegiatan pembelajaran secara rinci dan penekanan pada kecerdasan yang berbeda dalam setiap kali pertemuan. Dalam hal ini sebenarnya metode yang digunakan dalam satu kali proses pembelajaran juga haru bervariasi. Hal ini dapat dipahami karena dari berbagai macam metode yang diterapkan dalam satu kali pertemuan teresbut hanya diarahkan pada pengembangan salah satu kecerdasan, sementara kecerdasan-kecerdasan yang lain dikembangkan pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Pengembangan kecerdasan majemuk melalui kegiatan ini sebenarnya sudah diusulkan serta diterapkan oleh Thomas Armstrong, seperti yang diungkapkan dalam bukunya Sekolah Para Juara dengan bentuk rencana pelajaran kecerdasan majemuk delapan hari. Dalam buku tersebut, Thomas Armstrong mengemukakan tentang rancangan kegiatan pembelajaran mengenai satu topik atau indikator tertentu yang telah dipilih. Rencana pembelajaran tersebut disusun atau dibentuk jika 35 sampai 40 menit dari jadwal pelajaran harian dialokasikan untuk satu indikator tersebut.286 Sama halnya dengan pembelajaran umum seperti yang telah dijelaskan di atas, pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI juga dilakukan dengan cara mempersiapkan pembelajaran PAI secara rinci dan adanya penekanan pada salah satu kecerdasan dalam setiap kali pertemuan. Oleh karena itu, pengembangan delapan macam kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI dilakukan secara bergiliran
286
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara…, h. 89-90.
130
selama
delapan
kali
pertemuan.
Penggunaan
cara
ini
dalam
mengembangkan dapat dilakukan dengan dua model, yaitu: a. Delapan kali pertemuan untuk mencapai satu indikator Dalam model yang pertama ini, satu indikator pembelajaran PAI dicapai dengan menggunakan berbagai variasi metode yang mengarah pada pengembangan delapan kecerdasan. Dengan demikian, siswa mampu
menguasai
satu
indikator
pembelajaran
PAI
dengan
menggunakan delapan macam kecerdasan melalui delapan kali pertemuan. Namun, satu kali pertemuan hanya mengembangkan satu macam kecerdasan. Oleh karena itu, indikator yang sama akan dicapai secara berulang-ulang dalam delapan kali pertemuan, sehingga cenderung kurang efisien jika diterapkan di sekolah-sekolah yang harus menyelesaikan banyak indikator dalam waktu terbatas. b. Delapan kali pertemuan untuk mencapai delapan indikator Sama halnya denga cara yang pertama (delapan kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator), penggunaan cara ini dalam pengembangan kecerdasan majemuk siswa juga dilakukan dengan model satu kali pertemuan hanya menekankan pada pengembangan salah satu kecerdasan untuk mencapai satu indikator pada setiap pertemuannya. Dengan demikian, metode-metode yang digunakan dalam setiap pertemuan selalu mengarah pada pengembangan satu kecerdasan. Penggunaan model ini dalam proses pembelajran PAI pada tataran anak usia sekolah dasar cukup relatif sulti diterapkan, karena akan sulit mengembangkan satu macam kecerdasan lainnya. Selain itu, juga akan menimbulkan diskriminasi terhadap siswa
yang dalam suatu
pertemuan tidak terakomodir kecerdasannya yang paling menonjol, padahal menurut Paul Suparno, siswa akan mampu belajar dan memahami materi dengan baik apabila penyampaiannya sesuai dengan
131
kecerdasannya yang paling menonjol.287 Dalam model ini, siswa terpaksa mencapai satu indikator hanya dengan menggunakan nsatu kecerdasan tertentu yang terkadang tidak sesuai dengan kecerdasan mereka yang paling menonjol. 2. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI melalui satu kali pertemuan atau tatap muka. Adapun penggunaan cara kedua dalam pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi metode yang menekankan pada pengembangan beberapa kecerdasan. Dengan demikian, dalam satu kali pertemuan akan dikembangkan beberapa macam kecerdasan, minimal empat kecerdasan. Dengan cara ini, ada dua model yang bisa digunakan, yaitu: a. Satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator Dalam model yang pertama ini, proses pembelajaran PAI dilakukan dengan berbagai variasi metode yang menekankan beberapa macam kecerdasan, namun hanya untuk mencapai satu macam indikator. Dengan demikian, satu indikator dicapai dalam satu kali pertemuan dengan pengembangan dan pendekatan beberapa macam kecerdasan. Oleh karena itu, lebih memungkinkan bagi siswa untuk memahami
satu
indikator
pembelajaran
PAI
sesuai
dengan
kecerdasannya yang menonjol serta mengembangkan, melatih, dan memanfaatkan beberapa kecerdasannya yang lain. b. Satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai beberapa indikator Penggunaan model yang kedua ini dalam mengembangkan kecerdasan majemuk siswa pada metode pemebelajaran PAI dilakukan denga cara menetapkan beberapa indikator pemeblajaran yang akan dicapai dalam satu kali pertemuan. Untuk mencapai beberapa indikator tersebut, digunakan berbagai variasi metode yang menekankan beberapa macam kecerdasan. Oleh karena itu, selain mengakomodasi dan mengembangkan berbagai kecerdasan siswa dalam memahami 287
Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah…, h. 14.
132
indikator yang telah ditetapkan, cara ini juga relatif efisien karena beberapa indikator pembelajaran bisa dicapai sekaligus dalam sekali pertemuan. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI ini, penulis menggunakan materi-materi pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (selanjutnya dibaca MI). Materi-materi tersebut mencakup aspek Aqidah, Akhlak, Al-Qur’an Hadits, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam menjelaskan pengembangan kecerdasan majemuk untuk anak, karena anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah adalah dasar
dari sebuah proses bagi
terbentuknya kecerdasan bagi siswa untuk tahap selanjutnya. Cara untuk mengembangkan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran dari masing-masing rumpun materi pelajaran tersebut, penulis akan menggunakan dua macam cara yang masing-masing dengan dua
model,
sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya,
yaitu
pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI melalui kegiatan delapan hari atau delapan kali pertemuan (delapan kali pertemuan digunakan untuk mencapai satau indikator dan satu kali pertemuan digunakan mencapai satu indikator, sehingga delapan kali pertemuan bisa mencapai delapan indikator) dan pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI melalui satu kali pertemuan atau tatap muka (satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator dan satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai beberapa indikator). Perlu diperhatikan bahwa metode-metode yang diterapkan pada pembahasan berikut tidak hanya terbatas pada metode pembelajaran PAI, tetapi juga memadukan metode-metode lain yang diterapkan dalam pengembangan secara umum. Hal ini dilakukan untuk memperkaya metode-metode dalam rangka membantu perkembangan kecerdasan majemuk anak, sehingga metode-metode yang diterapkan tidak terlalu sempit dan kaku. Memadukan metode-metode pembelajaran PAI dengan
133
metode-metode lain yang diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk secara umum, menurut hemat penulis tidak akan merubah esensi dari penelitian ini, bahkan justru menunjukkan sikap keterbukaan terhadap pengembangan metode pembelajaran PAI itu sendiri. Adapun contoh pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI untuk anak, dapat dilihat pada contoh berikut: a. Pengembangan kecerdasan majemuk melalui kegiatan delapan hari atau delapan kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator pada metode pembelajaran Aqidah-Akhlak. Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Aqidah Akhlak
Materi
: Iman Kepada Nabi dan Rasul
Indikator
: Siswa dapat menyebutkan nama 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui
Pertemuan I (Kecerdasan Linguistik) Metode
: Talk In Front of Friends (TIFoF)288
Alat
: Buku Kisah 25 Nabi dan Rasul, lembaran bertuliskan nama-nama 25 Nabi dan Rasul
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa diminta membuat kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang atau lebih, kemudian menyiapkan Buku Kisah 25 Nabi dan Rasul dan selembar kertas yang bertuliskan namanama 25 Nabi dan Rasul. 2) Siswa pada masing-masing kelompok diminta untuk menunjuk satu orang temannya untuk memilih ketua bagi kelompoknya. Dan ketua pada masing-masing kelompok berfungsi untuk memimpin kegiatan kelompoknya sesuai intruksi yang diberikan guru.
288
Istilah pada metode ini adalah hasil ide kreasi dari penulis.
134
3) Siswa pada masing-masing kelompok melafalkan nama-nama 25 Nabi dan Rasul dipimpin oleh ketua kelompoknya masingmasing tiga kali berulang. Kemudian setiap siswa diminta untuk memilih salah satu nama Nabi atau Rasul. 4) Setelah semua siswa pada masing-masing kelompok memilih salah satu nama Nabi pilihannya, siswa diminta untuk membaca kisah dari nama Nabi yang telah dipilihnya dengan menggunakan buku kisah 25 Nabi dan Rasul. Kemudian menyampaikannya di hadapan teman kelompoknya masingmasing secara bergiliran.
Pertemeuan II (Kecerdasan Matematis-Logis) Metode
: Klasifikasi
Alat
: Pensil gambar, Karton/kertas gambar, dan penggaris
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Setiap kelompok memperoleh satu spidol, satu karton, dan satu penggaris. 2) Setiap kelompok diminta untuk mengklasifikasi nama-nama Nabi dan Rasul dengan ketentuan: a) Kelompok I: mengklasifikasikan nama-nama para Nabi dan Rasul berdasarkan huruf pertama nama-nama tersebut. b) Kelompok II: mengklasifikasikan nama-nama Nabi dan Rasul berdasarkan ururtan diutusnya. c) Kelompok III: mengklasifikasikan nama-nama Nabi dan Rasul berdasarkan jumlah huruf paling banyak dari nama 25 nabi dan Rasul. 3) Setiap kelompok membacakan hasil pekerjaan kelompoknya masing-masing.
135
Pertemuan III (Kecerdasan Ruang-Visual) Metode
: Mind Mapping289
Alat
: Buku gambar dan pulpen warna-warni
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa diminta membuat mind mapping (peta pikiran) tentang 25 Nabi dan Rasul dengan ketentuan: a) Bentuk mind mapping bebas, sesuai kreativitas masingmasing. b) Tidak boleh mencantumkan nama lengkap 25 Nabi dan Rasul, namun hanya sebatas inisial yang bisa dipahami. c) Dalam mind mapping juga harus harus tercantum mu’jizat para Nabi dan Rasul. d) Mind mapping dibuat berwarna-warni sesuai keinginan masing-masing siswa. 2) Siswa diminta untuk menampilkan dan menjelaskan mind mapping yang telah dibuatnya di depan kelas. 3) Sebagai penghargaan terhadap karya para siswanya, guru dapat memajang gambar dari hasil di dalam kelas.
Pertemuan IV (Kecerdasan Kinestetik-Badani) Metode
: Operasi Sepuluh Jari
Alat
: Sepuluh jari tangan dan daftar 25 Nabi dan Rasul
Kegiatan pembelajaran: 1) Guru membagikan daftar nama-nama 25 Nabi dan Rasul kepada siswa. 2) Guru dan siswa bersama-sama membaca nama-nama 25 Nabi dan Rasul. 3) Siswa diminta berpasangan. 289
Ariany Syrufah, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, (Bandung: Sygma Publishing, 2007), h. 43.
136
4) Setiap
pasangan
diminta
untuk
menguji
pemahaman
pasangannya mengenai nama-nama 25 Nabi dan Rasul dengan menggunakan jari. Adapun ketentuannya sebagai berikut: (a) Tangan kanan menunjukkan bilangan satuan dan tangan kiri menunjukkan bilangan puluhan. (b) Operasi bilangannya dapat dilihat pada tabel berikut: Bilangan
Operasi Hitung
1
Telunjuk kanan
2
Jari tengah kanan
3
Jari manis kanan
4
Kelingking kanan
5
Jempol kanan
6
Jempol dan telunjuk kanan
7
8
9
Jempol, telunjuk, dan jari tengah kanan Jempol, telunjuk, jari tengah, dan jari manis kanan Jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking kanan
10
Telunjuk kiri
11
Telunjuk kiri dan telunjuk kanan
12
13
14
Telunjuk kiri, telunjuk, dan jari tengah kanan Telunjuk kiri, telunjuk, jari tengah, dan jari manis kanan Telunjuk kiri, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking kanan
15
Telunjuk kiri dan jemppol kanan
16
Telunjuk kiri, jempol, dan telunjuk
137
kanan 17
18
19
Telunjuk kiri, jempol, telunjuk, dan jari tengah kanan Telunjuk kiri, jempol, telunjuk, jari tengah, dan jari manis kanan Telunjuk kiri, jempol, telunjuk, jari tengah, dan jari manis Telunjuk kiri, jempol, telunjuk, jari
20
tengah, jari manis, dan kelingking kanan
21
22
23
Telunjuk, jari tengah kiri, dan telunjuk kanan Telunjuk, jari tengah kiri, telunjuk dan jari tengah kanan Telunjuk, jari tengah kiri, telunjuk, jari tengah, dan jari manis kanan Telunjuk, jari tengah kiri, telunjuk,
24
jari tengah, jari manis, dan kelingking kanan
25
Telunjuk, jari tengah kiri, dan jempol kanan
Tabel 4.2 Operasi hitung jaritmatika (c) Yang menjadi pedoman adalah jari yang dibuka 5) Siswa pertama membuka jari secara berurutan seperti pada tabel di atas dan siswa kedua menyebutkan nama-nama 25 Nabi dan Rasul secara berurutan dan sesuai dengan operasi sepuluh jari yang dilakukan siswa pertama. 6) Lakukan kegiatan nomor 5 secara bergantian. 7) Siswa pertama diminta untuk melakukan operasi sepuluh jari secara acak dan siswa kedua menyebutkan nama Nabi dan
138
Rasul sesuai dengan operasi sepuluh jari yang dilakukan siswa pertama. 8) Lakukan kegiatan nomor 7 secara bergantian.
Pertemuan V (Kecerdasan Musikal) Metode
: Membuat Syair dan Menyanyikannya
Alat
: Buku tulis dan pena, alat-alat musik jika dibutuhkan
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. 2) Setiap kelompok diminta membuat beberapa bait syair yang intinya menjelaskan tentang nama-nama 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui. 3) Setiap kelompok diminta menampilkan syair yang telah dibuat dengan irama bebas sesuai dengan kesepakatan kelompoknya di depan kelas. 4) Kelompok yang mampu menampilkan kreasi paling baik diberi hadiah.
Pertemuan VI (Kecerdasan Interpersonal) Metode
: Leadership Approach290
Alat
: Daftar nama-nama 25 Nabi dan Rasul
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin. 2) Guru membagikan daftar nama-nama 25 Nabi dan Rasul kepada masing-masing pimpinan kelompok. 3) Pemimpin kelompok memandu kelompoknya masing-masing untuk menghafal nama-nama 25 Nabi dan Rasul. Kreasi
290
Istilah pada metode ini adalah hasil ide kreasi dari penulis.
139
kelompok ditentukan oleh pimpinan kelompok dan anggota kelompok wajib mematuhi pemimpin kelompok. 4) Masing-masing kelompok dengan dipandu oleh pemimpin kelompok menampilkan kreasi dan hafalan dari kelompoknya masing-masing.
Pertemuan VII (Kecerdasan Intrapersonal) Metode
: Ayo Kita Menghafal291
Alat
: Daftar nama-nama 25 Nabi dan Rasul
Kegiatan Pembelajaran: 1) Guru membagikan daftar nama-nama 25 Nabi dan Rasul kepada setiap siswa. 2) Masing-masing siswa diminta menghafal nama-nama Nabi dan Rasul tanpa bantuan teman. 3) Setiap siswa menampilkan hafalan nama-nama Nabi dan Rasul di depan teman-temannya secara bergantian. 4) Siswa yang bagus dan lancar hafalannya mendapat hadiah.
Pertemuan VIII (Kecerdasan Naturalis) Metode
: Pohonku Sayang
Alat
: Pohon mainan atau sungguhan yang memiliki 25 daun, kertas asturo warna-warni yang bertuliskan nama-nama 25 Nabi dan Rasul, double tip, dan gunting
Kegiatan Pembelajaran: 1) Pada pertemuan sebelumnya siswa diminta membawa alat yang dibuthkan untuk pembelajaran pada pertemuan tersebut. 2) Siswa diminta menggunting kertas asturo warna-warni dengan bentuk sesuai keinginan masing-masing dan di atasnya ditulis nama-nama 25 Nabi dan Rasul, kemudian ditempel di daun291
Istilah pada metode ini adalah hasil ide kreasi dari penulis.
140
daun pohonnya masing-masing. Satu daun satu nama Nabi dan Rasul yang disusun menurut kreasi masing-masing siswa. 3) Setiap
siswa
secara
mempresentasikan
hasil
bergantian karyanya
maju
ke
depan
(menjelaskan
alasan
pemilihan pohon tersebut sebagai pohon kesayangannya, menyebutkan nama-nama para Nabi dan Rasul dengan menunjukkan daun-daun pohonnya, kemudian menjelaskan alasan pemilihan daun tersebut untuk meletakkan nama-nama Nabi dan Rasul). 4) Lakukan kegiatan nomor 3 sampai semua siswa mendapatkan giliran.
b. Pengembangan kecerdasan majemuk melalui kegiatan sembilan hari atau sembilan kali pertemuan dengan model satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator pada metode pembelajaran Al-Qur’an-Hadits
Pertemuan I (Kecerdasan Linguistik) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Surat Al-Kafirun
Indikator
: Siswa dapat melafalkan surat Al-Kafirun dengan baik dan benar
Metode
: Dengarkan, kemudian tirukan!
Alat
: Rekaman bacaan surat Al-Kafirun, tape recorder, kertas karton yang bertuliskan surat Al-Kafirun
Kegiatan Pembelajaran: 1) Guru mendengarkan rekaman bacaan surat Al-Kafirun.
141
2) Guru bertanya, ―Rekaman bacaan surat apa yang kalian dengar tadi?‖ Jika siswa tidak bisa menjawab, maka guru menjelaskan bahwa siswa baru saja mendengarkan bacaan surat Al-Kafirun. 3) Guru menempelkan karton yang bertuliskan surat Al-Kafirun di depan kelas dan menjelaskan bahwa tulisan itulah yang tadi dilafalkan dari rekaman kaset. 4) Guru memperdagangkan rekaman bacaan surat Al-Kafirun sambil menunjukkan bagian ayat yang sedang dibaca pada kertas karton, sedangkan siswa mendengarkan dan melihatnya secara seksama. 5) Guru meminta siswa untuk mengikuti bacaan surat Al-Kafirun. Setiap satu ayat selesai dibaca dari rekaman, maka rekaman dimatikan dan guru membacakan satu ayat surat Al-Kafirun yang tadi diperdengarkan sambil menunjuk pada tulisan. 6) Siswa mengikuti bacaan ayat tersebbut. 7) Lakukan sampai seluruh ayat bisa dibaca dengan baik dan benar. 8) Siswa diminta melafalkan surat Al-Kafirun secara serentak. 9) Salah seorang siswa diminta untuk membacakan ayat-ayat surat Al-Kafirun satu per satu sambil menunjuakkan tulisan yang sedang dibaca sementara siswa yang lain menirukan siswa tersebut.
Pertemuan II (Kecerdasan Matematis-Logis) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Surat Al-Ma’un
Indikator
: Siswa dapat menjelaskan pokok kandungan surat Al-Ma’un
142
Metode
: Analisis Hikmah292
Alat
:Lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan terjemahan ayat dari surat Al-Ma’un
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. 2) Guru
membagikan
lembaran
kertas
yang
bertuliskan
terjemahan surat Al-Ma’un kepada setiap kelompok. 3) Siswa diminta membaca terjemahan surat Al-Ma’un. 4) Siswa diminta menyebutkan lima hal yang dilarang oleh Allah dalam surat tersebut dan menjelaskan alasan mengapa lima hal tersebut dilarang. 5) Siswa
diminta
menjelaskan
alasan
pelarangan
tersebut
dikaitkan dengan realitas yang ada di lingkunga sekitarnya. 6) Setiap kelompok secara bergantian mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
Pertemuan III (Kecerdasan Ruang-Spasial) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Surat Al-Takatsur
Indikator
: Siswa dapat menulis surat Al-Taktsur dengan baik dan benar
Metode
: Menulis Kaligrafi
Alat
: Karton, spidol berwarna, pensil, dan penghapus
Kegiatan Pembelajaran: 1) Guru menuliskan surat Al-Takatsur di papan tulis.
292
Ariany Syrufah, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, (Bandung: Sygma Publishing, 2007), h. 41.
143
2) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari delapan siswa. 3) Setiap kelompok diminta menulis surat Al-Takatsur. 4) Setiap siswa dalam kelompok menulis satu ayat surat AlTaktsur. 5) Siswa bebas menggunakan seni kaligrafi yang mereka sukai dan membuat variasi-variasi untuk menigkatkan keindahan tulisannya. 6) Hasil kaligrafi siswa disusun dan ditempel di dinding kelas sesuai dengan kelompok masing-masing. 7) Kelompok yang paling benar, kompak, dan bagus seni kaligrafinya berhak mendapatkan hadiah.
Pertemuan IV (Kecerdasan Kinestetik-Badani) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Surat Al-Kafirun
Indikator
: Siswa dapat melafalkan surat Al-Kafirun dengan baik dan benar
Metode
: Dengarkan, kemudian tirukan!
Alat
: Rekaman bacaan surat Al-Kafirun, tape recorder, kertas karton yang bertuliskan surat Al-Kafirunz
Kegiatan Pembelajaran: 1) Sebelum pertemuan di kelas, guru mengadakan kerja sama dengan anak-anak yatim untuk mengadakan demonstrasi rahasia. Guru meminta bebrapa anak yatim berakting, ada yang menangis di suatu tempat, ada yang berpakaian lusuh serta tampak kelaparan, dan sebagainya.
144
2) Siswa diajak ke tempat yang telah ditentukan dan diminta membawa barang-barang apa saja yang bisa dimanfaatkan. 3) Siswa diberitahukan bahwa tempat tersbut merupakan anakanak yatim. 4) Siswa diminta berkeliling secara berkelompok untuk melihat kondisi tempat tersebut dan melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan terhadap anak-anak yatim. 5) Setelah berkeliling, siswa dikumpulkan kembali dan diminta menceritakan apa yang telah mereka lihat dan apa yang bisa dan telah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim tersebut. 6) Setelah siswa menceritakan pengalaman mereka, maka guru menjelaskan hal-hal yang terkait dengan kasih-sayang terhadap anak-anak yatim. 7) Anak-anak yatim diminta berkumpul bersama-sama para siswa. 8) Guru meminta siswa untuk membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak yatim yang sebelumnya sudah dipersiapkan guru dan bersenda gurau bersama.
Pertemuan V (Kecerdasan Musikal) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Surat Al-Qadar
Indikator
: Siswa dapat menghafal surat Al-Qadar dan terjemahannya
Metode
: Rekam dan Dengarkanlah!!
Alat
: Tape recorder dan kaset, surat Al-Qadar dan terjemahannya
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. 2) Setiap kelompok diminta merekam surat Al-Qadar dan terjemahannya dengan ketentuan:
145
(a) Menggunakan irama salah satu gaya baca murattal atau irama gaya baca masing-masing. (b) Terjemahan dilakukan per ayat (setiap merekam satu ayat, harus langsung diterjemahkan) 3) Hasil rekaman kelompok I diputar dan dinilai serta dikomentari oleh kelompok yang lain. 4) Lakukan kegiatan no.3 untuk semua kelompok secara bergilir. 5) Setiap siswa diminta menulis secara pribadi komentar mereka terhadap hasil rekaman setiap kelompok dan memilih kelompok mana yang hasil rekamannya paling bagus. 6) Berdasarkan hasil pendapat siswa dan penilaian guru, kelompok yang dinilai paling bagus hasil rekamannya berhak memperoleh hadiah.
Pertemuan VI (Kecerdasan Interpersonal) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Hadits tentang shalat berjamaah
Indikator
: Siswa dapat mempraktikan kandungan hadits tentang shalat berjama’ah
Metode
: Role Play293
Alat
: Perlengkapan shalat
Kegiatan Pembelajaran: 1) Guru menjelaskan hadits tentang shalat berjama’ah. 2) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. 3) Masing-masing
kelompok
diminta
mempraktikan
serta
memberikan penilaian pada masing-masing kelompok.
293
Ariany Syrufah, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, (Bandung: Sygma Publishing, 2007), h. xi.
146
4) Seluruh kelompok disatukan kembali dan guru mempraktikan tata-cara shalat berjama’ah yang benar, kemudian diikuti siswa sebagai makmum. 5) Guru memberikan penjelasan kembali sambil mempraktikan shalat berjamaah yang benar. 6) Guru mengumumkan kelompok yang paling bagus dalam mempraktikan shalat berjamaah . Pertemuan VII (Kecerdasan Intrapersonal) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Hadits tentang taqwa
Indikator
: Siswa dapat menjelaskan kandungan hadits tentang taqwa
Metode
: Brainstorming294
Alat
:Lembaran tentang penjelasan kandungan hadits tentang taqwa
Kegiatan Pembelajaran: 1) Guru menjelaskan kandungan hadits tentang taqwa. 2) Guru membagikan lembaran yang berisi penjelasan kandungan hadits tentang taqwa. 3) Siswa diminta membaca lembaran yang telah dibagikan. 4) Siswa diminta menulis kembali penjelasan kandungan hadits tentang taqwa sesuai dengan kemampuan mereka, tanpa melihat catatan/lembaran. 5) Siswa diminta untuk menilai sendiri berapa persen kemampuan mereka dalam mengingat materi dengan cara memadukan hasil tulisan mereka dengan lembaran yang telah dibagikan guru. 294
Ariany Syrufah, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, (Bandung: Sygma Publishing, 2007), h. xi.
147
Pertemuan VIII (Kecerdasan Naturalis) Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Al-Qur’an-Hadits
Materi
: Hadits tentang ciri-ciri orang munafik
Indikator
: Siswa dapat menyebutkan cirri-ciri orang munafik
Metode
: Simulasi Deskripsi Topik
Alat
: Alam sekitar (daun, rumput, air, dan tanah)
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibawa ke alam terbuka yang memungkinkan mereka mencari benda-benda yang bisa dibuat perbandingan. 2) Siswa dibagi menjadi empat kelompok. 3) Kelompok I bertugas mencari empat buah daun yang berbeda karakternya (daun hijau bersih, daun hijau bercampur bintikbintik hitam, daun berwarna kuning, daun kering). 4) Kelompok II bertugas mencari empat rumput yang berbeda karakternya (rumput hijau, rumput kotor, rumput kuning, rumput, kering). 5) Kelompok III bertugas mencari empat macam warna air (air putih bersih, air keruh, air hitam, air kuning kemerah-merahan). 6) Kelompok
IV
bertugas
mencari
empat
macam
tanah
(tanah/pasir putih, tanah kuning, tanah hitam, tanah merah/liat). 7) Guru menjelaskan bahwa orang munafik itu mempunyai tiga cirri, yaitu jika berkata dia bohong, jika berjanji dia ingkari, dan jika dipercaya dia khianat 8) Kemudian siswa pada setiap kelompok memberikan tanda pada tiga dari empat elemen yang telah dipersiapkan sebagai tanda sifat buruk (munafik), dan pilih satu dari empat elemen tersebut
148
sebagai tanda sifat yang baik yang tidak tercampur dengan sifat buruk (munafik).
c. Pengembangan kecerdasan majemuk melalui satu kali pertemuan atau tatap muka dengan model satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai satu indikator atau indikator pada metode pembelajaran Fiqih Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Fiqih
Materi
: Jual beli
Indikator
: Siswa dapat membedakan jual beli yang diperbolehkan dan dilarang
Metode
: Demonstrasi, identifikasi, tabel, diskusi, mengapa seperti itu? Cooperative Script
Alat
: Barang-barang yang boleh dan tidak boleh diperjualbelikan, karton, dan spidol
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi empat kelompok, dua kelompok pertama mendemostrasikan jual beli yang diperbolehkan dan dua kelompok lainnya mendemonstrasikan jual beli yang dilarang. 2) Guru membagi naskah yang harus didemostrasikan oleh masing-masing kelompok. Masing-masing kelompok harus merahasiakan apa yang didemonstrasikan dari kelompok lain. 3) Masing-masing kelompok diminta membuat tabel untuk mempermudah identifikasi dan pemaknaan demonstrasi yang ditampilkan. Adapun contoh tabelnya sebagai berikut:
149
No
Jual Beli yang Diperbolehkan
Jual Beli Alasan No
yang
Alasan
Dilarang
Tabel 4.3 Jual Beli 4) Perwakilan kelompok pertama maju mendemonstrasikan naskah I, sedangkan kelompok lain mencari makna di balik demonstrasi yang ditampilkan. Lakukan kegiatan nomor 4 untuk kelompok-kelompok yang lain sampai semua kelompok memperoleh kesempatan mendemonstrasikan naskahnya. 5) Masing-masing kelompok berdiskusi mencari alasan mengapa demonstrasi yang ditampilkan termasuk jual beli yang diperbolehkan ataupun jual beli yang dilarang. 6) Hasil diskusi dimasukkan ke tabel dan perwakilan masingmasing kelompok bergiliran mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya seperti seorang presenter. 7) Kelompok yang memperoleh hasil terbaik berhak mendapat hadiah. Adapun kecerdasan yang dikembangkan pada kegiatan pembelajaran tersbut antara lain kecerdasan kinestetik-badani (ketika menggunakan metode demonstrasi), matematis-logis (ketika menggunakan metode identifikasi dan membuat tabel), naturalis (ketika mrmanfaatkan barang-barang yang boleh dan tidak boleh diperjual-belikan), linguistik (ketika menggunakan metode diskusi dan cooperative script), dan interpersonal
150
(ketika
menggunakan
metode
diskusi
dan
demonstrasi
kelompok).
d. Pengembangan kecerdasan majemuk melalui satu kali pertemuan atau tatap muka dengan model satu kali pertemuan digunakan untuk mencapai beberapa indikator pada metode pembelajaran SKI.
Unit Sekolah
: Madrasah Ibtidaiyah
Mata Pelajaran
: Sejarah Kebudayaan Islam
Materi
: Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Indikator
: Siswa dapat menjelaskan riwayat hidup khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Metode
: Pengajaran sinergis, the power of two, topical review
Alat
: Bacaan mengenai riwayat hidup dan kepribadian khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq yang diketik dan ditempel pada berbagai benda, baik kain, lempengan kayu, karton, batu, dan sebagainya
Kegiatan Pembelajaran: 1) Siswa dibagi menjadi dua kelompok dengan jumlah yang seimbang. 2) Kelompok
pertama
dipindahkan
ke
kelas
lain
yang
memungkinkan mereka untuk tidak mendengar dan melihat kegiatan kelompok kedua. Kelompok tersebut diminta untuk membaca riwayat hidup dan kepribadian khalifah pada bendabenda yang telah dibagikan. 3) Pada waktu yang sama, guru menyampaikan materi yang sama pada kelompok kedua dengan metode ceramah.
151
4) Siswa kemudian dikumpulkan kembali dalam satu kelas, dan kelompok
pertama
diminta
berpasangan
dengan
siswa
kelompok kedua. 5) Masing-masing pasangan diminta untuk saling menceritakan pengetahuan yang telah mereka peroleh dari cara belajar yang berbeda tersebut. 6) Setiap pasangan diminta menulis kembali apa yang telah mereka pelajari pada selembar kertas secara berurutan, yang terdiri dari tahun kelahiran, perjalanan singkat hidupnya, dan kepribadiannya. Melalui kegiatan pembelajaran tersebut ada beberapa kecerdasan yang berkembang, yaitu kecerdasan linguistik (ketika menerapkan metode ceramah, membaca, dan menulis kembali), matematis-logis (ketika siswa diminta menulis kembali
secara
berurutan
apa
yang
telah
dipelajari),
interpersonal (ketika menerpakan metode the power of two), ruang-spasial (ketika menggunakan benda-benda tertentu untuk mengingat sesuatu), dan naturalis (ketika memanfaatkan bendabenda alam). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengembangan
kecerdasan
majemuk
pada
metode
pembelajaran PAI dapat dilakukan dengan berbagai model pembelajaran. Model-model tersebut masih sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi model-model lain yang lebih variatif, karena pada dasarnya pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI sangat tergantung pada kreatifitas guru. Semakin kreatif seorang guru, maka akan semakin terbuka peluang untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang baru dan lebih konstruktif.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Teori kecerdasan majemuk merupakan suatu teori yang digagas oleh Howard Gardner untuk mengungkapkan banyaknya (kemajemukan) kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu. Kecerdasan, menurut Gardner, adalah kemampuan untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu. Ada sembilan kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner, akan minimal ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu: a) Kecerdasan Linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral maupun tertulis. b) Kecerdasan Matematis-Logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan, perhitungan, pengklasifikasian, serta pola pemikiran logis dan ilmiah. c) Kecerdasan ruang-spasial adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-spasial/visual secara tepat. d) Kecerdasan musikal (irama musik) adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. 152
153
e) Kecerdasan kinestetik-badani adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan. f) Kecerdasan Interpersonal (antar pribadi) adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intense, motivasi, watak, dan tempramen orang lain. g) Kecerdasan Intrapersonal (self person/diri sendiri) adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengenalan diri itu sendiri. h) Kecerdasan naturalis (alam/lingkungan) adalah kemampuan untuk mengerti alam lingkungan dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensional lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif. Kedelapan kecerdasan tersebut perlu dikembangkan secara maksimal sejak usia dini, minimal sejak usia sekolah dasar agar bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Hal ini karena pada usia tersebut, manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat dan apa-apa yang dipelajari di masa tersebut sering kali menjadi pijakan dasar bagi masa-masa selanjtunya. Dalam hal ini pendidikan melalui metode pembelajarannya merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI), yang merupakan bagian dari pendidikan, melalui metode pembelajarannya bertanggung jawab mengembangkan kecerdasan majemuk siswa minimal sejak usia sekolah dasar. 2. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru PAI dalam tahap perencanaan dan penentuan metode untuk mengembangkan seluruh aspek kecedasan anak, diantaranya yaitu pemahaman konsep mengenai kecerdasan majemuk, ketersediaan waktu dan kemampuan memanfaatkan sumber belajar, serta kemampuan metode yang dipilih. Ditinjau dari karakteristik pelajaran PAI, seluruh metode pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk pada suatu rumpun
pelajaran
PAI,
pada
dasarnya
bisa
digunakan
untuk
154
mengembangkan aspek-aspek kecerdasan pada rumpun pelajaran PAI lainnya, walaupun tetap ditemukan beberapa penekanan khusus pada masing-masing rumpun pelajaran tersebut. Namun ketika menyentuh karaketristik
siswa,
biasanya
akan
ditemukan
perbedaan
dalam
perencanaan dan penerapan metode-metode untuk mengembangkan kecerdasan majemuk siswa. Sedangkan pada tahap pelaksanaannya, yang perlu diperhatikan oleh guru adalah kemampuan menerapkan teknik pembelajaran anak, karena teknik penerapan metode untuk mengembangkan satu jenis kecerdasan akan berbeda pada tingkatan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu, teknik penerapan metode untuk membantu perkembangan kecerdasan majemuk anak pada perkembangan dasar dan lanjut berbeda dalam penerapannya. Walaupun memiliki nama dan dasar metode yang sama.
B. Saran Sebelum mengakhiri penyusunan skripsi ini, ada beberapa saran yang ingin penyusun sampaikan, antara lain: 1. Penelitian mengenai kecerdasan majemuk masih merupakan hal yang masih dikatakan baru dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, baik mengenai konsepnya maupun aplikasinya di lapangan. Hal ini perlu dilakukan selain karena aplikasi teori kecerdasan majemuk dalam dunia pendidikan itu bermacam-macam sesuai dengan pemahaman masing-masing individu. Hal ini juga dikarenakan di Indonesia teori ini masih relatif jarang diterapkan. 2. Pengembangan kecerdasan majemuk pada metode pembelajaran PAI hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan agar seluruh kecerdasan majemuk siswa mampu berkembang secara maksimal dan bermanfaat bagi siswa tersebut di masa yang akan datang. Selain itu penerapan teori ini juga perlu dilakukan agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, humanis, dan siswa dapat belajar dengan baik, dan siswa mampu belajar dengan baik apabila
155
pelajaran yang disampaikan diterapkan dengan metode yang mampu menunjang pengembangan kecedasan mereka masing-masing yang paling dominan. 3. Perhatian penuh perlu dilakukan oleh seluruh lembaga-lembaga maupun institusi-institusi pendidikan dalam negeri ini khususnya mengenai penerapan konsep kecerdasan yang digagas oleh Howard Gardner ini. Agar seluruh lembaga-lembaga maupun institusi-institusi pendidikan mampu memanusiakan manusia selayaknya, bukan merobotkan manusia yang akhirnya memiliki dampak yang buruk bagi kelangsungan pengembangan potensi yang dimiliki pada setiap individu-indvidu di negeri ini.
156
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur.an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005 Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001. Alder, Harry. Boost Your Intelligense, Jakarta: Erlangga, 2001. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Anonim, ―Multiple Intelligences: New Horizons‖, dalam http://www. howardgardner.com/bio/bio.html, diakses tanggal 14 Maret 2011. Anonim, ―Good Work Project‖, dalam http://www.howardgardner.com/bio /bio.html, diakses tanggal 14 Maret 2011. Anonim, ―Biografi Howard Gardner‖, dalam http://www.howardgardner.com/ bio/bio.html, diakses tanggal 14 Maret 2011. Anonim, ―To Open Minds,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/ detail.cfm?pub_id=61, diakses tanggal 2 April 2011. Anonim, ―Art Education and Human Development,‖ http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=105, tanggal 2 April 2011.
dalam diakses
Anonim, ―Creating Minds: An Anatomy of Creatifity Seen Through The Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and, Gandhi,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=26, diakses tanggal 2 April 2011. Anonim, ―Extraordinary Minds: Potraits of Exceptional Individuals and an examination of Our Extraordinariness,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=28, diakses tanggal 2 April 2011.
157
Anonim, ―Leading Minds: An Anatomy of Leadership,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=27, diakses tanggal 2 April 2011. Anonim, ―Good Work: When Excellence and Ethics Meet,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=127, diakses tanggal 2 April 2011. Anonim, ―The Ethical Responsibilities of Profesionals,‖ http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=91, tanggal 2 April 2011.
dalam diakses
Anonim, ―Changing Minds: The Arts and Science of Changing Our Own and Other People’s Minds, ― dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/ detail.cfm?pub_id=155, diakses tanggal 2 April 2011. Anonim, ―Can There Be Societal Trustees in American Today,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=175, diakses tanggal 2 April 2011. Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Armstrong, Thomas. 7 Kind Of Smart: Menemukan Dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences, terj. Hermaya, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002. _________________, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligences, terj. Yudhi Murtanto, Bandung: Kaifa, 2004. _________________, Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Azwar, Syaifuddin. Pengantar Psikologi Inteligensi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Budiningsih, C. Asri. Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
158
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Bakry, Sama'un. Menggagas Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Qurasy, 2005. Bass, Jossey. ―Responsibility at Work,― http://www.pz.harvard.edu/ebookstore /detail.cfm?pub_id=396 diakses 2 April 2011. Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2006. Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences Di Indonesia, Bandung: Kaifa, 2009. Departemen Agama RI. Al-Qur'an Dan Terjemahannya, Bandung: CV. Diponegoro, 2005. Departemen Agama RI/Dirjen Pendidikan Islam, Standart Isi PAI, Jakarta, 2008. Departemen Agama RI/Dirjen Pendidikan Islam, Standart Isi dan Standart Kelulusan Pendidikan Agama Islam Untuk SMP, Jakarta, 2008. Derajat, Zakiyah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2006. Efendi, Agus, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence Atas IQ, Bandung: Alfabeta, 2005. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Rosda Karya, 2002. Furchan, Arief dan Agus Maimun. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Gardner, Howard. Multiple Intelligences: The Theory in Practice, New York: Basic Books, 1993. ______________, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, New York: Basic Books, 1983.
159
Gardner, Howard, ―Intelligences Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub _id=56, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard, ―The Discipline Mind: Beyond Facts and Standardized Tests, The K 12 Education that Every Child Deserves,‖ dalam http://www.pz. harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=118, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard, ―The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm? pub_id=25, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard, ―Multiple Intelligences: New Horizons,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=211, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard dan Becca Solomon, ―Getting Kids, Parents, dan Coaches on The Same Page,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail .cfm?pub_id=104, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard dan Hans Henrik Knoop, ―Good Work in Complex World: A Cross Cultural Comparison,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu /ebookstore/detail.cfm?pub_id=96, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard dan Paula Marshall, ―The Collective Enterprise of Law: Three Types of communities,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore /detail.cfm?pub_id=175, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard dan Veronica Boix Mansilla, ―Assesing Interdiciplinary Work at the Frontier: An Empirical Exploitation of ―Symptoms of quality‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=153, diakses tanggal 2 April 2011. Gardner, Howard, dkk., ―Making Good: How Young People Cope wiyh Moral Dilemmas at Work‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail .cfm?pub_id=397, diakses tanggal 2 April 2011. ___________________, ―The Project on Good Work: A Description, ― dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub_id=90, diakses tanggal 2 April 2011.
160
___________________, ―The Empiral Basis of Good Work: Methodological Consideration,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm? pub_id=92, diakses tanggal 2 April 2011. ___________________, ―Contemplation and Implication for Good Work in Teaching,‖ dalam http://www.pz.harvard.edu/ebookstore/detail.cfm?pub _id=95, diakses tanggal 2 April 2011. Gunawan, Ary H., Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Gunawan, Adi W., Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006 Hoer, Thomas R., Buku Kerja Multiple Intelligence, Bandung: Kaifa, 2007. Husnaini. Ahmad. dalam http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20 HUKUM%20ISLAM/keseimbangan%20IQ.pdf diakses tanggal 17 Juni 2011. http://info.balitacerdas.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=13 diakses tanggal 13 Maret 2011. http://theonzero.blogspot.com/2008/03/iq-eq-dan-sq.html Maret 2011.
diakses
tanggal
17
http://warkop.net/?p=19,(APAKAH TES IQ MENENTUKAN KECERDASAN), diakses tanggal 17 Maret 2011. Jasmine, Julia. Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences, Bandung: Nuansa, 2007. LN., Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Lwin, May, dkk, How to Multiply Your Child’s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan, Yogyakarta: Indeks, 2008. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
161
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis, dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis Penelitian Lapangan dan Perpustakaan, Ciputat: Gaung Persada Press, 2007. Muhadjir, Noeng, Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002. Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: Cintra Media, 1996. ________, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. ________, Pengembangan Kurikulum Pendidikan AgamA Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Musyfiroh, Takdirotun, Cerdas Melalui Bermain: Cara Mengasah Multiple Intelligences Anak Sejak Usia Dini, Jakarta: Grasindo, 2008. Mu'tadin, Zainun. dalam http://psikologi.ums.ac.id/modules.php?name=New s&file=article&sid=6 diakses tanggal 14 Maret 2011 Naisaban, Ladislaus. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya, Jakarta: Grasindo, 2004. Nggermanto, Agus. Quantum Quotient, Bandung: Nuansa, 2005. Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Palmer, Joy A., (ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, terj. Farid Assifa, Yogyakarta; IRCiSoD, 2006 Rahman, Fathur. Iktisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma'arif, 1974. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21ST Century, Bandung: Nuansa, 2006. ____________, dkk, Super Accelerated Learning, Bandung: Jabal, 2007. Samples, Bob. Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain Untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda, Bandung: Kaifa, 2002. Schmidt, Laurel. Jalan Pintas Menjadi 7 Kali Lebih Cerdas, Bandung: Kaifa, 2002.
162
Schaler, Jeffrey, ―Howard Gardner Under Fire,‖ dalam http://www.howard gardner.com/books/books/.html, diakses tanggal tanggal 2 April 2011. Silberman, Melvin L., Active Learning, Bandung: Penerbit Nuansa, 2004. Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Stein, Steven J. dan Howard E. Book, EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, Bandung: Kaifa, 2004. Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo persada, 1996. Sudrajat, Akhmad. http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com2008/01/12/iq-eqdan-sq-dari-kecerdasan-tunggal-ke-kecerdasan-majemuk. Diakses tanggal 14 Juni 2011 Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 _______________________, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Sunarto dan Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Suparno, Paul, Teori Intelligensi Ganda Dan Aplikasinya Di Sekolah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004. ____________, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogyakarta: Kanisius, 2007. Surya, Mohammad, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Bani Quraisy, 2004. Sutrisno, Revolusi Pendidikan Di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005. Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
163
_____________, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Syurfah, Ariany, Multiple Intelligences For Islamic Teaching, Bandung: Sygma Publishing, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Uhbiyati, Nur dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997 Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Usman, Basyiruddin, Metodelogi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Winner, Ellen. ―The History of Howard Gardner―, dalam http://www.howard gardner.com/books/books/.html, diakses tanggal 14 maret 2011. Zohar, Danah dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual, terj. Rahmani Astuti, dkk, Bandung: Mizan, 2007.