perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA ( STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI )
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Upik Heru Susilo NIM. E0007234
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Upik Heru Susilo NIM
: E0007234
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA (STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan Hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 11 Juli 2011 yang membuat pernyataan
Upik Heru Susilo NIM. E0007234
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
UPIK HERU SUSILO. E0007234. 2011. KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA (STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus posisi sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi dan konsep hukum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Jenis bahan hukum meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Bahan hukum dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan atau studi dokumen, kemudian dianalisis secara induktif. Bahwa PT. Puri Intirasa merupakan pihak yang tidak beritikad baik karena tidak mampu membuktikan dalil-dalil gugatannya dan pihak Rusmin Soepadhi merupakan pihak yang beritikad baik karena mampu membuktikan dalil-dalil bantahannya. Berdasarkan kriteria merek terkenal yang disebutkan dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kahakiman Republik Indonesia Nomor : M. 03-Hc.02.01 Tahun 1991tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal Atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain,merek “ Waroeng Podjok “ bukan merupakan merek terkenal.Konsep hukum sistem perlindungan merek yang digunakan dalam menyelesaikan perkara merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi adalah sistem konstitutif (first to file). Hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang dijadikan pedoman Majelis Hakim Pengadilan Niaga yakni ketentuan-ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 68, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Kata kunci : Konsep Hukum, Perlindungan Hukum Merek.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
UPIK HERU SUSILO. E0007234. 2011. KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA (STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. This study aims to determine cases of trademark disputes between PT. Puri Intirasa with Rusmin Soepadhi and legal concepts are used of the Commercial Court judges in resolving trademark disputes between PT. Puri Intirasa with Rusmin Soepadhi. This research is normative research. Types of legal material includes primary legal materials and secondary legal materials and legal materials tertiary or auxiliary. Legal materials are collected by library research or study document, and then analyzed inductively. PT. Puri Intirasa is a party that is not acting in good faith because it is unable to prove its claims and Rusmin Soepadhi is a party acting in good faith because it is able to prove the arguments of rebuttal. Based on criteria known brands mentioned in Article 1 of Decree of the Minister of Judiciary of Republic of Indonesia Number: M. 03- Hc.02.01 Year 1991 about Rejection of Application for Registration Famous Brand or Famous Brand Other People's Property or Owned Other Agency, "Waroeng Podjok" is not a famous brands. The concept of trademark law protection system are used in solving the case of PT. Puri Intirasa with Rusmin Soepadhi is a constitutive system (first to file). This can be seen from the legal considerations guiding the judges of the Commercial Court that the provisions of Article 4, Article 5, Article 6, Section 68, Article 69 of Law No. 15 of 2001 about Brands.
Keywords : Legal Protection of Marks, Constitutive System
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto dan Persembahan
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ”. ( Q.S. Ar Ra’ad : 11 )
“ Sesungguhnya setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan ”. ( Q.S. Alam Nasyrah : 6 )
Karya kecil ini Ku persembahan untuk: 1. ALLAH S.W.T, Rabb semesta Alam. 2. Ayah dan Ibu tercinta atas kasih sayang, bimbingan, nasehat, serta doa yang selalu menyertai langkahku. 3. Kakak tercinta yang selalu memberi motivasi. 4. Saudara serta Sahabat-sahabatku.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan berkat, rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA (STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI). Dalam penulisan hukum (skripsi) ini, penulis berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai problematika hukum dalam sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi dan konsep hukum yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi. Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segenap ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;
3.
Bapak Hari Purwadi, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian;
4.
Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H. , selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini;
6.
Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini;
7.
Bapak Pranoto, S.H., M.H., Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum. dan Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.Hum., selaku Penguji dalam ujian penulisan hukum (skripsi) yang telah bersedia menguji Penulis.
8.
Bapak Soehartono, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
9.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
10. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 11. Kedua orang tua tercinta, ayah dan ibu yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, baik materiil maupun spirituil; 12. Kakakku tercinta yang selalu memberikan doa dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini; 13. Seseorang yang istimewa di hati penulis yang selalu ada dan memberikan motivasi buat penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 14. Sahabatk-sahabatku yang selalu memberikan doa dan semangat; 15. Keluarga besar BEM FH UNS terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis; 16. Seluruh
teman-teman
Fakultas
Hukum
angkatan
2007
atas
kebersamaannya menemani penulis menimba ilmu di FH UNS; 17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan hukum (skripsi) ini; commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan memerlukan. Surakarta, 9 Juli 2011
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………......... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………...........................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI …………………............……...........
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
ABSTRAK…………………………………………………………………..........
v
ABSTRACT………………………………………………………………...........
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................…………………………......
vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..........
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….........
x
DAFTAR BAGAN…………………………………………………………........
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN…………………………………………….............
1
A. Latar Belakang ...............……...........………………......................
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………...................
6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………...................
6
D. Manfaat Penelitian ………………………………………..............
7
E. Metode Penelitian ………………………………………..............
8
F. Sistematika Penulisan Hukum …………………………................
11
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………........... 13 A. Kerangka Teori…………………………………………................ 1. Tinjauan tentang Hukum ……………………........................
13 13
a. Pengertian Hukum …….......................................................
13
b. Fungsi dan Tujuan Hukum ……………….........................
13
2. Tinjauan tentang Sistem Perlindungan Hukum .....................
14
a. Pengertian Sistem ........………………………...................
14
b. Pengertian Perlindungan Hukum .......................................
18
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Tinjauan tentang Merek ............................................................
22
a. Pengertian Merek ........………………………...................
22
b. Sejarah Pengaturan Hukum Merek di Indonesia ...........
36
c. Macam-Macam Merek .......................................................
44
d. Prosedur Pendaftaran Merek .............................................
44
4. Tinjauan tentang tentang Penyelesaian Sengketa Merek ..
51
a. Pengertian Sengketa Merek ...............................................
51
b. Penyelesaian Sengketa Merek ...........................................
53
B. Kerangka Pemikiran........................................................................
55
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….......
57
A. Hasil Penelitian ..............................................................................
57
1. Kasus Posisi Sengketa Merek Nomor 22 / Merek / 2008 / PN.Niaga. Jkt. Pst antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi .....................................................................................
57
2. Konsep Hukum Sistem Perlindungan Merek yang Digunakan dalam Menyelesaikan Sengketa Merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi ...........................................................
59
B. Pembahasan ....................................................................................
74
1. Kasus Posisi Sengketa Merek Nomor 22 / Merek / 2008 / PN.Niaga. Jkt. Pst antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi .....................................................................................
74
2. Konsep Hukum Sistem Perlindungan Merek yang Digunakan dalam Menyelesaikan Sengketa Merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi ...........................................................
76
BAB IV PENUTUP……………………………………………………….....
84
A. Simpulan …….....………………………………………............ commit to user B. Saran ………………………………………………....................
84
xii
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
Gambar 1. Kerangka Pemikiran…………………………………………….....
commit to user xiii
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak kekayaan intelektual atau yang selanjutnya disingkat HKI merupakan kekayaan pribadi yang dapat dimilki dan diperlukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya. Pada umumnya, HKI berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial. Kekayaan intelektual juga dapat diperjualbelikan. Di samping itu, HKI juga dapat disewakan selama kurun waktu tertentu dimana pihak penyewa membayar sejumlah uang kepada pihak yang menyewakan hak tersebut untuk menggunakan kekayaan intelektual tersebut. HKI menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas diduplikasi dan direproduksi secara ilegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang dikenal memilki keragaman hayati yang tinggi, bahkan tergolong paling tinggi di dunia. Bukan itu saja, negeri kita juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa didasari, banyak aset dan kekayaan intelektual lokal itu telah didaftar di luar negeri sebagai milik orang asing. Kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intlektual ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi Indonesia (Kompas, 30 Maret 2000, hal 4). Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO (World Trade Organization) telah memiliki serangkaian undang-undang yang berkaitan dengan HKI. Substansinya secara serius telah diadaptasikan dengan standar-standar perlindungan internasional. Perlindungan HKI bukan lagi merupakan kebutuhan domestik suatu negara, tetapi telah menjadi tuntutan secara universal dalam upaya commit todan userdinamis. Keputusan yang sangat membangun pasar dunia yang harmonis 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tepat, tetapi dalam segi implementasinya kita perlu mengkhawatirkannya, melihat supremasi hukum yang belum dapat ditegakkan di negara kita. Implementasi HKI menjadi suatu tuntutan yang esensial karena tanpa pengakuan dan penerapannya yang konsekuen atas HKI maka Indonesia dengan rekor pembajakan dan pemalsuannya selama ini menempati urutan keempat terburuk di dunia sebagai pelaku utama dari negara yang menjalankan bentukbentuk baru halangan perdagangan (trade barrier) dalam skema pasar ekonomi transnasional. Apalagi perekonomian global semakin mengalami percepatan luar biasa dengan teknologi digital dan jaringan komunikasi internet, yang secara dramatis telah menumbangkan paradigma lama mobilitas kapital yang masih tersekat fisik-geografis. Karenanya, perangkat yuridis setiap wilayah hukum yang berdaulat, sistem perekonomian di tiap negara, dan keseragaman budaya tiap bangsa, bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam mengonsep bentuk regulasi bagi tiap hak dan kewajiban yang melekat pada setiap arus dan mobilitas intellectual capital. Tak pelak lagi, sosialisasi, penerapan, dan pelaksanaan HKI yang konsisten menjadi kebutuhan kita semua. Merek sudah mulai dikenal sejak masa Neolitikum. Gambar bison yang ditera dalam dinding gua, dapat dikatakan sebagai awal mula penggunaan tandatanda sebagai dasar pengertian dan pengidentifikasian sesuatu objek materi budaya. Banyak pendapat yang mengemukakan, untuk menelusuri pengertian merek, berkaitan erat dengan perkataan “ brand “ yakni “ nama “ atau “ tanda “ yang ditorehkan dalam suatu barang tertentu. Cara pentorehannya dibuat dengan besi yang dipanaskan. Jadi merupakan cetakan stempel besi yang ditorehkan kepada suatu barang setelah besi stempel dipanaskan lebih dulu. Berdasarkan persamaan dengan khasanah bahasa Anglo Saxon yang diambil dari kata kerja “ to burn “ (membakar). Sehubungan dengan itu, tanda yang diterakan sebagai nama merek suatu barang yang berkembang pada masa modern sekarang, merupakan warisan yang diturunkan secara langsung dari praktek “ brand “ masa lalu. commit to user 2
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Thomas D. Drescher, pemakaian tanda sebagai identitas, diperkirakan berlangsung sejak 4000 tahun sebelum Masehi, dan berkembang luas pada masa Imperium Romawi. Pada masa yang silam terdapat berbagai ragam tanda yang diterakan sebagai pengenal identitas. Ada tanda yang ditorehkan kepada tubuh perorangan. Misalnya seorang budak diberi tanda tera oleh majikan sebagat identitas pemilikan terhadap budak. Atau seseorang membuat tanda pada dirinya atau barangnya. Hal yang seperti ini disebut “ tanda perorangan “ (personal mark). Misalnya di Mesir, para pekerja pemotong batu (pemecah batu) membuat tanda pada batu yang dikerjakan sebagai bukti pembayaran upah mereka. Di kerajaan Babylonia, dikenal tanda perorangan berupa “ seal “ atau “ the mark of personal seal “. Dapat diartikan meterai atau segel yang berfungsi sebagai tanda tangan. Ada yang diterakan pada cincin atau logam. Di Babylonia juga dijumpai tanda seal berbentuk silinder. Dalam sejarah Islam pun dikenal ” personal seal “. Cap Nabi Muhammad yang diterakan pada cincin berfungsi sebagai tanda tangan yang sah. Di bidang perdagangan, saudagar-saudagar Harappa di lembah India sudah mengenal merek. Sekitar 2500 sebelum Masehi, Harappa merupakan suatu pusat peradaban yang tinggi dan sekaligus pusat perdagangan. Para pedagang memberi tanda perorangan terhadap barang sebagai tanda identitas perorangan atas barang maupun sebagai petunjuk asal daerah suatu barang. Hal yang seperti ini berlanjut sampai hancurnya Imperium Romawi. Sekitar abad kedua Masehi, perkembangan pemakaian merek barang dagangan dan hasil produksi, sudah mulai mengarah pada pemakaian simbol yang dapat memberi good will tertentu kepadanya. Bangkitnya perdagangan pada abad ke-12 berbarengan dengan pertumbuhan kota dan urbanisasi serta kemenangan para tuan tanah memperoleh otonomi feodal. Pada perkotaan urban, tumbuh organisasi atau syarikat perdagangan dan pengrajin (craftsmen), yang dikenal dengan nama gilda. Dalam organisasi tersebut, setiap kepala kerajinan diberi kesempatan untuk memilih tanda personal, user record) yang ditetapkan. Untuk dan didaftarkan pada pendaftarancommit gilda to (guild 3
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengawasi pelanggaran aturan gilda, baik yang menyangkut persaiangan, pemalsuan merek, standar dan kualitas barang, diangkat seorang ” warden “ atau “ searchers “ yang bertindak sebagai pejabat resmi gilda. Keberadaan merek perdagangan pada abad pertengahan, erat sekali hubungannya dengan susunan dan sistem sosial ekonomi masa itu. Terdapat persamaan dengan merek abad modern tapi persamaan itu dalam batas-batas tertentu. Persamaannya yaitu merek pada masa gilda boleh diasosiasikan dengan merek kolektif pada masa sekarang, yakni merek yang dipakai untuk dan atas nama berbagai perusahaan secara bersama-sama. Dalam hal ini, merek dimiliki oleh sebuah asosiasi perusahaan secara bersama dan asosiasi bertindak mengawasi para anggota pemakainya. Perkembangan merek perdagangan selanjutnya memasuki era baru sekitar abad sembilan belas. Pada masa itu, terjadi pergeseran kekuatan. Tumbuh kelas pedagang sebagai kekuatan baru mengganti posisi tuan tanah yang bercorak feodalisme. Muncul juga beberapa sentra urbanisasi dan penumpukan modal, yang melahirkan Revolusi Industri yang dipelopori Inggris sekitar tahun 1950 (M. Yahya Harahap, 1996: 24-29). Secara legal formal, Indonesia mengenal istilah HKI pada era 90-an awal dengan lahirnya tiga undang-undang, yaitu Undang-Undang Merek, UndangUndang Paten, dan Undang-Undang Hak Cipta. Meskipun masih terlalu asing, ketiga nama tersebut sudah banyak sekali dipakai. Tidak tahu melalui jalur mana menggunakan ketiga istilah tersebut, yang penting adalah setiap barang yang kita miliki, kita beri tanda merek atau hak cipta. (Adrian Sutedi, 2009: 9-11). Dalam hal merek, Undang-Undang Merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan, yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang menganut sistem pendaftaran dengan rezim deklaratif (first to use). Pada tahun 1992 terjadi pembaharuan hukum merek di Indonesia, untuk mengantisipasi arus globalisasi, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mencabut dan mengganti Undang-Undang commit Nomor to 21user Tahun 1961 tentang Merek Dagang 4
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Merek Perniagaan. Mulai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 sampai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 sistem pendaftaran merek yang digunakan berubah menjadi rezim konstitutif (first to file). Pada tahun 1997 terjadi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yaitu dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 7 Mei 1997. Penyempurnaan ini dilakukan terutama untuk menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights) yang merupakan bagian dari Persetujuan
Pembentukan
Organisasi
Perdagangan
Dunia
(Agreement
Establishing World Trade Organization) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Perubahan terakhir mengenai undangundang merek terjadi pada tahun 2001 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu , merek adalah aset ekonomi bagi pemiliknya, baik perorangan maupun perusahaan (badan hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek tehadapnya terkait hak-hak perorangan atau badan hukum. Perlindungan atas merek atau hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Untuk jangka waktu tertentu dia menggunakan sendiri merek tersebut ataupun memberi izin kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama , atau badan hukum untuk menggunakannya. Sedangkan, perlindugan terhadap merek terdaftar yaitu adanya kepastian hukum atas Merek Terdaftar, baik untuk digunakan, diperpanjang, dialihkan, dan dihapuskan sebagai alat bukti bila terjadi to user sengketa pelanggaran atas Merek commit Terdaftar. 5
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul: “ KONSEP HUKUM SISTEM PERLINDUNGAN MEREK DI INDONESIA (STUDI KASUS SENGKETA MEREK ANTARA PT. PURI INTIRASA DENGAN RUSMIN SOEPADHI). ”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kasus posisi sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi ? 2. Konsep hukum sistem perlindungan merek apakah yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk menganalisis sejauh mana perlindungan yang diberikan terhadap merek dalam peraturan perundang-undangan merek di Indonesia. b. Untuk mengetahui sistem pendaftaran merek yang digunakan dalam perundang-undangan merek di Indonesia. c. Untuk mengetahui Hakim
Pemeriksa
pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Perkara
dalam
kasus
sengketa
merek
Nomor
22/Merek/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan pihak-pihaknya yaitu PT.Puri Intirasa dan Rusmin Soepadhi. commit to user 6
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tujuan Subjektif a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek, khususnya Hukum Perdata. b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk
memberikan
sumbangan
pengetahuan
dan
pikiran
dalam
mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya terutama berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. c. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh Penulis selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun bekal sebagai praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah commit to user yang penulis teliti. 7
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Menurut Peter Mahmud, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan guna menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskrepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005: 35). Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2007:10). 2. Sifat Penelitian Berdasarkan uraian mengenai jenis penelitian di atas maka tipe kajian penelitian ini menggunakan jenis penelitian preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud, 2005: 22). 3. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap (Peter Mahmud, 2005: 93-94). 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian Jenis bahan hukum yangcommit digunakan dalam penelitian ini berupa data seto user 8
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim
(Peter
Mahmud, 2005: 141). Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu : a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang sebelumnya ketentuan-ketentuan mengenai merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan. b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun `1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. c. Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek. d. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek. e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek. f. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman. g. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas commit to user 9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman. h. Keputusan Menteri Kahakiman Republik Indonesia Nomor : M. 03Hc.02.01 Tahun 1991tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek Yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain. i. Putusan No.22/Merek/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst. tentang sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2005: 141). c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahan hukum tersier atau penunjang yaitu bahan dari internet dan bahan-bahan lain yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal yang sifatnya penting. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan atau studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan mengkaji sumber data yang telah disebutkan di atas dalam hubungannya dengan masalahmasalah yang diteliti dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan. 6. Teknik Analsis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah dengan metode silogisme. Menurut Peter Mahmud commit to Aristoteles user Marzuki yang mengutip pendapat menyatakan penggunaan 10
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi, pengertian silogisme menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa di dalam silogisme penalaran yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum dan premis minornya adalah fakta hukum, dari kedua hal tersebut kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 47). Silogisme
yang
penulis
gunakan
adalah
silogisme
dengan
menggunakan pendekatan deduktif. Berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme. Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus. Adapun premis mayor atau pernyataan yang sifatnya umum dalam penlitian hukum ini adalah aturan hukum yang berupa peraturan perundangundangan dan premis minor atau pernyataan yang sifatnya khusus adalah konsep hukum dan penyelesaian yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi. Selanjutnya, dari kedua hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai problematika hukum dalam sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi dan konsep hukum yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi sudah sesuai atau belum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, penulis berharap dapat memberikan penjelasan yang menyeluruh dari permasalahan yang diteliti, yaitu penyelesaian dan konsep hukum yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi. commit to user 11
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penelitian Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan sistem penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari empat bab, dimana tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut :
BAB I
:
Pendahuluan Pada bab ini penulis memberikan gambaran awal tentang penelitian meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat
penelitan,
metode
penelitian
dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II
:
Tinjauan Pustaka Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tinjauan tentang Hukum, Sistem Hukum, Merek, dan Penyelesaian Sengketa Merek. Pada kerangka pemikiran berisi mengenai konsep pemikiran penulis tentang perlindugan yang diberikan peraturan perundang-undangan terhadap suatu merek.
BAB III
:
Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam bab ini, penulis memaparkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kasus posisi dan konsep hukum sistem perlindungan merek yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek Nomor 22/Merek/2008/ PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi commit to user 12
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
:
Penutup Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hukum a. Pengertian Hukum Menurut Kamus Bahasa Indonesia, “ hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara) ”. Definisi hukum menurut Utrecht adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (Utrecht, 1957: 9). Sedangkan, menurut Sudikno Mertokusumo, hukum merupakan suatu sistem berarti hukum itu merupakan tatanan, merupakan kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 122). b. Fungsi dan Tujuan Hukum 1) Fungsi Hukum Secara garis besar fungsi hukum dapat diklasifikasikan dalam empat tahap, yaitu (Muchsin, 2006: 12-14) : a) Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini memungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan
petujuk
tentang bagaimana berperilaku dalam
masyarakat. b) Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain mempunyai daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Daya mengikat dan bila perlu memaksa ini adalah watak hukum yang menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan dan menghukum yang bersalah. commit to user 14
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya mengikat dan memaksa dari hukum juga dapat dimanfaatkan dan didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. d) Fungsi kritis dari hukum, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya. 2) Tujuan Hukum Berkaitan dengan tujuan hukum dikenal tiga teori, yaitu (Muchsin, 2006: 13-14) : a) Teori Etis Teori ini diperkenalkam oleh Aristoteles. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya atau haknya. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua yaitu keadilan distributif dan keadilan komulatif. b) Teori Utilitas Teori ini diperkenalkan oleh Jeremy Bentham. Teori ini mengajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat
kesempatan
untuk
mewujudkan
kebahagiaan
yang
terbanyak. c) Teori Gabungan Teori ini diperkenalkan oleh Gustav Radbruch. Teori ini terdiri dari tiga unsur, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam prakteknya, penerapan teori ini harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama selalu untuk mencapai keadilan, kemudian kemanfaatan, dan yang terakhir barulah kepastian hukum (http://id.shvoong.com/social-sciences/politicalscience/2093165commit to user 15
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
teorigabungan-verenigingtheori/#ixzz1TNvzh0wI
diakses
pada
tanggal 28 Juli 2011 Pukul 17.40).
2. Tinjauan tentang Sistem Perlindungan Hukum a. Pengertian Sistem Pengertian sistem menurut Wikipedia Indonesia adalah sistem berasal dari bahasa Latin yaitu systema dan bahasa Yunani yaitu sustema yang artinya satu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi dimana suatu model matemetika seringkali bisa dibuat. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, sistem itu mempunyai dua pengertian. Yang pertama sebagai jenis satuan yang mempunyai tatanan tertentu (adanya struktur) yang terdiri dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metoda, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu (Satjipto Rahardjo, 2000: 48). Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen, yaitu : 1) Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat berupa benda fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem tersebut. 2) Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya. 3) Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya. 4) Lingkungan, tempat dimana sistem berada. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem diakses pada tanggal 22 Februari 2011 Pukul 18.45 WIB). Sistem hukum merupakan suatu keteraturan dari suatu tatanan yang tersusun atas bagian-bagian berupa himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu commit to user 16
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat dimana bagian-bagian tersebut saling bekerja sama untuk mencapai tujuan. Sistem hukum dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Sistem Hukum Eropa Kontinental Sistem hukum ini berkembang di negara-negara Eropa yang sering disebut dengan “ Civil Law “. Prinsip utama yang menjadi dasar dari sistem ini adalah “ hukum “ memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Sumber hukum bagi sistem hukum ini adalah “ undang-undang “ yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif. Selain itu juga diakui “ peraturan-peraturan “ yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang (peraturan-peraturan hukum administrasi negara) dan “ kebiasaankebiasaan “ yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan sumbersumber
hukum
itu
maka
sistem
hukum
Eropa
Kontinental
penggolongannya ada dua, yaitu penggolongan ke dalam bidang “ hukum publik “ dan “ hukum privat “. Termasuk dalam hukum publik adalah : a) Hukum Tata Negara b) Hukum Administrasi Negara c) Hukum Pidana Sedangkan yang termasuk dalam hukum privat adalah : a) Hukum Sipil b) Hukum Dagang 2) Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika) Sistem hukum Anglo Saxon mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai “ Common Law “ dan sistem “ Unwritten Law “ (tidak tertulis). Sumber-sumber hukum dalam sistem to user Anglo Saxon adalah commit putusan-putusan hakim/pengadilan (Judicial 17
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum. Di samping putusan hakim, maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui, walaupun banyak landasan bagi terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusanputusan dalam pengadilan. Selain itu, dalam sistem hukum Anglo Saxon adanya “ peranan “ yang diberikan kepada seorang hakim berbeda dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pedoman bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis. Sistem hukum Anglo Saxon menganut suatu doktrin yang dikenal dengan nama “ the doctrine of precedent/ State Decisis “ yang pada hakekatnya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden). Melihat kenyataan bahwa banyak prinsip hukum yang timbul dan berkembang dari putusan-putusan hakim untuk suatu perkara atau kasus yang dihadapi, maka sistem hukum Anglo Saxon secara berlebihan sering disebut sebagai Case Law. Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Saxon itu mengenal pula pembagian hukum publik dan hukum privat tetapi dengan pengertian yang berbeda. Kalau di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, “ hukum privat “ lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu, maka bagi sistem hukum Anglo Saxon pengertian commit to userkaidah-kaidah hukum tentang hak hukum privat lebih ditujukan kepada 18
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
milik (law of property),hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract), dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan (R. Abdoel Djamali, 1993: 66-70). Menurut Lewrence M. Friedman, suatu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga bagian atau komponen, yaitu : 1) Komponen Struktural Struktural adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Contohnya adalah lembaga pembuat undangundang, pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. 2) Komponen Substansi Substansi adalah suatu hasil yang nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berbentuk hukum in concreto atau kaidah hukum individual, maupun hukum in abstracto atau kaidah hukum umum. Contoh kaidah hukum individual seperti pengadilan menghukum terpidana, polisi memanggil saksi guna keperluan proses verbal. Sedangkan kaidah hukum umum, yaitu ketentuan aturan hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian. 3) Komponen Budaya Hukum Budaya Hukum adalah sikap-sikap warga masyarakat beserta nilai-nilai
yang
dianutnya
(http://images.herlindahpetir.multiply.
multiplycontent.com/attachment/0/StLjxQoKCs0AACURg3Q1/BAB %20IV%20Sistem%20dan%20Klasifikasi%20Hukum.pdf?nmid=289 548393 diakses tanggal 22 Februari 2011 Pukul 19.00 WIB).
b. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan adalah tempat to user berlindung, hal (perbuatancommit dan sebagainya) memperlindungi. Menurut 19
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan pengertian tersebut, perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dengan perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis agar dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan dua macam, yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, maka perlindungan hukum yang preventif bertujuan mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. “ Dengan pengertian yang demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh Peradilan Umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum yang represif ” (Philipus M. Hadjon, 1987: 2-3). commit to user 20
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perlindungan hukum yang represif biasanya merupakan perlindungan hukum yang paling efektif bagi rakyat untuk memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya dari pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi diantara mereka. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogyanya memberi warna dan corak serta isi negara hukum berdasarkan Pancasila (Philipus M. Hadjon, 1987:26). Berdasarkan teori perlindungan hukum yang disampaikan oleh Philipius M. Hadjon dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa adalah mengunakan perlindungan hukum yang represif dengan melalui Peradilan Umum, sehingga dapat tercapainya pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum berdasarkan Pancasila. Konsep perlindungan hukum terhadap hak atas merek merupakan suatu sistem atau cara yang dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang hak atas merek dengan perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan merek, baik yang bersifat preventif maupun represif
agar
dapat
memberikan
keadilan,
ketertiban,
kepastian,
kemanfaatan, dan kedamaian bagi pemegang hak atas merek. Di Indonesia, konsep perlindungan hukum terhadap hak atas merek diatur dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut disebutkan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan commit to user digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Berdasarkan bunyi 21
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pasal tersebut, fungsi merek yang utama adalah membedakan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian, merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa yang bersangkutan dengan produsennya. Dari sisi produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitasnya, kemudian pemakaiannya. Dari segi pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Dari sisi konsumen, merek digunakan untuk melakukan pilihan barang yang akan dibeli. Bahkan, terkadang penggunaan merek tertentu bagi konsumen akan menimbulkan image/citra tertentu. Tidak dapat dibayangkan jika suatu produk tidak memiliki merek, tentu produk bersangkutan tidak dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas suatu produk, seringkali dapat diketahui dari mereknya. Bahkan tidak mustahil, merek yang terkenal karena mutu dan harganya, kemudian ditiru, dipalsukan, atau dibajak oleh produsen lain. Mengingat demikian pentingnya arti dan peranan merek dalam dunia industri dan perdagangan, maka seharusnya hak merek yang dimiliki seseorang dilindungi secara yuridis dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada pemakaian merek secara tidak sah atau melanggar hukum. Dalam hal ini, perlindungan hukum berfungsi untuk memproteksi suatu hak merek dari perbuatan yang mengarah pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Konsep perlindugan hukum terhadap hak merek tersebut mengacu pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive). Hak khusus tersebut bersifat monopoli, artinya hak itu hanya dapat dilaksanakan oleh pemilik merek. Tanpa ada izin dari pemilik merek, orang lain tidak boleh mempergunakan hak khusus tersebut. Jika ada orang lain yang mempergunakan hak khusus tadi tanpa adanya izin dari pemilik hak merek, maka telah terjadi pelanggaran yang dapat dikenai sanksi tertentu. Dengan commit to user dan tidak dapat diganggu gugat. demikian, hak khusus tadi sifatnya mutlak 22
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hak yang sifatnya monopoli tersebut hanya dapat diterobos dengan izin dari pemilik merek. Dalam praktik, izin tersebut dikenal dengan istilah perjanjian lisensi merek (merk licencing agreement). Hal tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yaitu sebagai berikut : “ Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. “ Hak khusus yang terdapat dalam merek tersebut pada asasnya sama dengan hak yang melekat pada HKI lainnya. Oleh karenanya, hak khusus pada merek merupakan hak kebendaan yang bersifat tidak berwujud (intangible). Karena sepadan dengan hak kebendaan lainnya, hak atas merek secara ekonomis memiliki nilai yang tinggi. Apalagi jika suatu merek telah menjadi merek terkenal, maka hak yang melekat padanya tidak ternilai harganya (Gerda Netty Octavia Butarbutar, 2006: 6-9).
3. Tinjauan tentang Merek a. Pengertian Merek Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dijelaskan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sedangkan menurut Prof. Tim Lindsey, merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran. (Prof. Tim Lindsey, 2005: 131). Willian P. Kratzke dalam tulisannya yang berjudul “ Normative Economic of Trademark Law “ memberikan pengertian merek sebagai berikut : commit to user 23
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Trademarks are words, names, symbols or devices that identify the user's goods (or services) and distinguish them from others goods (or services) “ (Willian P. Kratzke, 1991: 6 ). Merek sebagai salah satu rumpun HKI memiliki unsur-unsur diantaranya yaitu : 1) gambar Pengertian gambar termasuk semua hasil karya. Bisa berupa lukisan (drawing), gambar teknik (mechanical drawing) baik yang dihasilkan tangan atau alat elektronik. Boleh berupa lukisan alam, gambar, kayu, burung, daun, segala macam jenis buah-buahan, gedung, gelas, cangkir, dan sebagainya. Pokoknya setiap gambar yang dapat dilukis atau digambar, dapat dijadikan merek. Dengan kata lain, segala jenis flora, fauna, barang perkakas, dan barang perhiasan yang dapat dilukis atau digambar, menurut hukum dapat dijadikan merek. Akan tetapi perlu diingat. Apabila gambar hendak dijadikan sebagai merek, harus diperpegangi dua asas pokok. Kedua asas ini terutama menjadi patokan terhadap gambar merek yang terdiri dari lukisan di luar objek hayati, nabati, dan benda-benda peralatan hasil produksi manusia. Tetapi berupa gambar diagram (sket atau bagan), diagonal (gambar sudut menyudut), diameter (garis tengah), dial (piringan atau lempengan lingkaran atau sirkel). Terhadap segala jenis gembar diagram, diagonal, diameter, dial dan sirkel, berlaku asas : a) Tidak boleh terlampau “ rumit “ Suatu lukisan diagram atau diagonal yang terlampau
rumit,
harus ditolak menjadi merek. Misalnya lukisan diagonal dengan ratusan siku-siku, tidak memberi pancaran yang mudah menyentuh pandangan umum atau makna dan kekhususan gambar. Suatu lukisan siku-siku yang saling bertindih atau saling sudut menyudut dalam jumlah yang terlampau banyak membingungkan orang yang melihat. commitpower) to useryang melekat pada gambar seperti Daya identitasnya (identity 24
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu menjadi tidak jelas. Sangat sulit untuk mengidentifikasinya. Akibat kerumitan yang dipancarkannya, kekuatan gambar (drawing power) yang melekat padanya menjadi lemah. Akibatnya, gambar lukisan yang terlampau rumit, dengan sendirinya kehilangan daya pembeda (distinctive power). Padahal, secara universal telah diterima oleh masyarakat internasional, merek yang memiliki keabsahan identitas hanya merek yang memilki kekuatan daya pembeda. b) Tidak boleh terlampau “ sederhana “ Suatu merek yang terdiri dari lukisan diagonal atau diameter yang terlampau sederhana, tidak dapat dijadikan merek. Misalkan gambar lukisan yang terdiri dari sket garis lurus saja atau lingkaran saja atau gambar titik saja. Lukisan gambar yang seperti itu, tidak mewujudkan identitas yang bersifat khusus. Misalnya garis lurus semata. Tidak memiliki individualitas. Tidak mampu melambang-kan suatu lencana sebagai logo yang memiliki kekuatan daya pembeda. Berdasarkan asas yang dikemukakan, gambar, lukisan, atau sket yang bersifat geometris, diagonal, diagram, atau sirkel yang dapat diterima menjadi merekm harus memiliki karakter sederhana. Tidak pula terlampau rumit. Pokoknya dapat melambangkan
“
kekhususan “ tertentu dalam bentuk lencana atau logo, dan secara visual langsung memancarkan identitas yang memiliki daya kekuatan pembeda.
2) nama Nama sebagai merek meliputi segala jenis benda budaya, barang ekonomi, makhluk hidup atau benda mati. Meliputi juga nama perorangan, keluarga, dan badan hukum. Juga nama yang diambil dari geografi seperti gunung, kota, daerah, sungai atau nama tempat. a) Nama Keluarga (family name) Nama keluarga atau “ surename “ sering dipergunakan sebagai commit to user unsur merek. Di Inggris, setiap orang mesti dibolehkan berdagang 25
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan “ nama sendiri “. Hal itu merupakan hal yang muncul dan melekat secara alami pada setiap orang. Misalnya nama dagang dan merek DUNHILL yang berasal dari nama pendirinya ALFRED DUNHILL. Namun demikian, dia harus jujur. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah tidak boleh mengambil kesempatan mempergunakan reputasi orang lain. Agar nama perorangan atau keluarga maupun badan hukum dapat dijadikan merek, harus benar-benar terbukti memilki daya pembeda. Nama tersebut memilki “ distinctive power “ dari merek orang lain apabila nama itu dilekatkan menjadi merek yang diambil dari nama perorangan, keluarga, atau badan hukum. Patokannya nama itu sangat khusus menjadi identitas orang, keluarga, atau badan hukum yang bersangkutan. Misalnya nama keluarga
“ BAKRI “ dan
keluarga “ KALLA “. Nama kedua keluarga tersebut sama-sama memiliki identitas yang sangat spesifik dan antara keduanya tidak kabur tapi jelas memiliki “ distinctive
power “ bagi setiap orang
yang melihat dan mendengarnya. b) Tidak Mengandung Banyak Pengertian Suatu nama yang mempunyai berbagai ragam pengertian, bertentangan dengan asas “ tidak boleh terlampau rumit “. Hal tersebut dikarenakan apabila nama perorangan, keluarga, dan badan hukum mengandung arti banyak, dengan sendirinya pembedanya menjadi lemah dan pudar. Lain halnya dengan yang banyak mengandung arti. Dia tidak mampu memberikan identitas khusus. Nama itu menjadi kabur dan tidak memiliki individualitas. c) Nama yang Sangat Umum Nama yang sangat umum dipakai masyarakat, tidak boleh dijadikan merek. Apabila ada permohonan pendaftaran merek dan ternyata yang diajukan nama perorangan atau keluarga yang sangat commit to merek user harus menolak pendaftarannya. luas dipakai masyarakat, kantor 26
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini dikarenakan nama yang luas digemari masyarakat, sangat potensial mengaburkan identitas khusus seseorang dan akan membingungkan masyarakat. d) Nama Orang Terkenal Larangan pemakaian nama orang terkenal secara tegas diatur dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang berbunyi : “ Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. “ Untuk menentukan patokan nama terkenal, dapat dilihat dari beberapa faktor : (1) faktor kepribadian Dalam hal ini, bukan hanya terkenal sebagai politikus atau negerawan, ekonom tersohor, ilmuwan berprestasi tinggi, budayawan, seniman, pendidik, filosof, aktor, aktris, agamawan, dan sebagainya. Tapi juga meliputi nama terkenal karena kekejaman, kejahatan, teroris, kejahatan perang, koruptor, dan lain-lainnya. (2) faktor jangkauan ketenaran Jangkauan ketenaran mulai dari lingkungan lokal, nasional, regional, dan internasional. (3) faktor waktu Menjangkau masa yang lalu mulai dari sejak lahirnya peradaban manusia sampai sekarang (4) sifat ketenaran Ketenaran ini maksudnya ialah dikenal dan diketahui masyarakat luas dan mengandung sifat yang relatif abadi. Dikenal commit to user dan dikenang terus menerus. Dengan menyebut namanya saja, 27
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang langsung terkenang pada perilaku hidupnya. Pemakaian nama orang terkenal yang dilarang untuk dijadikan merek, meliputi tindakan : (a) mempergunakan secara lengkap dan utuh nama tersebut. (b) peniruan secara tidak langsung sehingga menyerupai atau hampir menyerupai. (c) mempergunakan foto orang terkenal. e) Nama Jenis (generic name) Merek yang mengandung nama jenis ialah kata-kata atau tulisan maupun gambar yang dijadikan merek sama dengan jenis barang atau jasa yang bersangkutan. Misalnya merek ICEPAK untuk melindungi pemakaian ulang es non toksik sebagai pengganti pendingin makanan dan minuman, yang merupakan nama jenis barang ICE-PACK yang dilekatkan agar menjadi merek. f) Nama Perusahaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyebut nama perusahaan dengan istilah “ badan hukum “ dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b yang berbunyi : “ Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: b. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. “ Pengertian badan hukum dalam pasal tersebut ditafsirkan dalam arti luas meliputi segala nama usaha dan mencakup juga nama bisnis, korporasi, kompani, pengecer, dan nama franchisis. g) Nama Lain yang Dilarang Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, disebutkan beberapa nama yang tidak boleh dijadikan merek dagang atau jasa di antaranya yaitu nama atau commit to user singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem Negara 28
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau lembaga nasional maupun internasional. Patokan larangannya berupa : (1) merupakan peniruan Arti “ merupakan peniruan “ sama dengan duplikasi, reproduksi atau fotocopy. Ditiru secara lengkap, meliputi segala unsur yang ada. Termasuk desain, kata-kata, dan warna. Sama persis dengan aslinya. (2) menyerupai Kata “ menyerupai “ diartikan hampir sama (similarity) atau sangat bersamaan (very similarity). Bisa juga “ mirip “ sama dengan mencontoh bagian besar unsur-unsur yang terdapat dari nama asli.
3) kata Unsur merek yang lain menurut Pasal 1 angka (1) adalah “ kata “ atau “ word “. Jangkauan penggunaan kata menjadi merek meliputi segal bentuk perkataan : a) perkataan asing, nasional, dan daerah b) bisa kata sifat, kata kerja, dan kata benda c) boleh diambil dari istilah bidang tertentu, seperti istilah politik, budaya, agama, pendidikan, kesehatan, teknik, olahraga dan sebagainya. Selain itu, ada beberapa patokan bagi merek yang terdiri dari kata atau perkataan diantaranya yaitu : a) Harus memiliki daya pembeda Daya pembeda atau “ distinctive power “ merupakan syarat mutlak yang melekat pada setiap merek tanpa mempersoalkan unsur yang dipergunakan. Tanpa memiliki daya pembeda, merek tidak sah, karena dianggap tidak mempunyai indikasi identitas khusus. Bentuk dan susunan kata-katanya boleh satu kata, dua kata atau commitharus to user beberapa kata. Yang penting bersifat eksklusif yang berkekuatan 29
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daya pembeda dari merek orang lain. b) Cukup sederhana Maksud dari sederhana yaitu jangan rumit tapi jangan terlampau sederhana. Kerumitan atau terlampau sederhana menyebabkan daya pembeda yang melekat pada merek menjadi lemah dan kabur. Untuk menghindari kerumitan biasanya cukup menggunakan satu perkataan. Contohnya KODAK untuk merek kamera, SHARP untuk merek jenis barang elektronik, HONDA untuk merek otomotif. Namun demikian, banyak merek yang terdiri dari dua kata tapi tetap sederhana. GOOD YEAR untuk melindungi ban mobil, GUDANG GARAM untuk melindungi jenis rokok kretek. c) Susunan huruf dianggap perkataan Dalam praktik, susunan beberapa huruf dapat dibenarkan menjadi merek. Boleh susunan huruf menurut abjad. Dapat pula tidak menurut susunan abjad. Contohnya IBM untuk merek jasa komputer, CNN untuk televisi, ABC untuk melindungi beberapa jenis bumbu masakan dan batere senter, dan lain sebagainya. d) Kata-kata keterangan barang atau jasa Kata-kata yang mengandung keterangan jenis barang atau jasa, tidak boleh dipergunakan menjadi merek. Hal tersebut dikarenakan setiap merek dagang atau jasa yang semata-mata hanya terdiri dari kata-kata keterangan jenis barang atau jasa, dianggap sangat lemah daya pembedanya. Kata-kata yang seperti itu sangat bersifat umum. Tidak mampu memberi indikasi identitas khusus baik mengenai sumber dan kualitas yang dimiliki barang atau jasa yang bersangkutan. Jangkauan kata-kata yang dianggap bersifat keterangan barang meliputi berbagai aspek, antara lain : (1) Keterangan jenis barang atau jasa Larangan mempergunakan merek yang bersifat generik, tidak terbatas pada nama jenis tapi meliputi penggunaan gambar commit atau lukisan yang samato user jenisnya dengan barang atau jasa. 30
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Larangan itu berlaku juga terhadap unsur kata atau perkataan. Suatu tanda yang dijadikan merek yang terdiri dari unsur kata atau perkataan yang hanya berisi tulisan nama jenis barang, tidak sah dipergunakan sebagai merek, atas alasan tanda merek yang digunakan hanya berisi keterangan nama jenis. Misalnya jenis barang yang diperdagangkan bubuk kopi. Tidak boleh dipakai tanda sebagai merek yang akan melindunginya dengan perkataan yang berisi tulisan BUBUK KOPI. (2) Keterangan sifat barang atau jasa Kata atau perkataan berupa tulisan yang berisi penjelasan sifat barang atau jasa, tidak dapat dianggap sebagai merek. Misanya merek parfum yang terdiri dari tulisan perkataan HARUM dan WANGI. Setiap kata sifat yang berhubungan langsung secara melekat (inherent) dengan jenis barang atau jasa, tidak dapat dibenarkan menjadi merek terhadap barang atau jasa yang bersangkutan. Kecuali tulisan perkataan sifat tersebut hanya berupa tambahan, guna memberi pengertian tambahan (secondary meaning) untuk membedakannya dengan sifat produksi jenis yang sama oleh produsen yang sama. Misalnya merek ABC melindungi jenis kecap rasa asin dan manis. Untuk memudahkan pedagang dan konsumen membedakan antara keduanya, di atas susunan huruf ABC dituliskan keterangan sifat atau rasanya dengan perkataan “ kecap asin “ atau “ kecap manis “. (3) Keterangan waktu dan tempat pembuatan Tulisan
yang
berisi
keterangan
waktu
dan
tempat
pembuatan barang tidak dapat dipakai menjadi merek. Larangan tersebut berlaku apabila keterangan itu berdiri sendiri, bukan sebagai keterangan tambahan terhadap merek pokok. Merek yang berupa keterangan waktu atau tempat yang commit toterlampau user berdiri sendiri dianggap umum. Tidak mempunyai 31
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
identitas eksklusif yang mengindividualsir sumber dan kualitas. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan berbagai barang yang sejenis itu diproduksi dalam waktu yang sama atau di tempat yang sama sehingga mengakibatkan daya pembeda yang melekat pada merek sangat kabur dan lemah. (4) Keterangan jumlah dan ukuran Perkataan yang berisi keterangan jumlah barang yang terdapat pada suatu kemasan, tidak dapat dipakai menjadi merek yang berdiri sendiri. Perkataan tersebut hanya dapat digunakan sebagai keterangan tambahan untuk memperjelas isi yang terdapat di dalamnya. Keterangan ukuran barang juga tidak sah menjadi merek apabila
berdiri
sendiri.
Namun,
tidak
dilarang
untuk
mencantumkannya sebagai keterangan tambahan terhadap merek pokok. Misalnya rokok DJARUM SUPER. Pada kemasan rokok tersebut selain lambang merek berupa perkataan DJARUM SUPER, terdapat tulisan angka 12 atau 16 sebagai penjelasan jumlah isi yang terdapat dalam bungkus. (5) Keterangan bentuk dan berat barang Merek yang berbentuk perkataan yang berisi tulisan bentuk atau berat barang, tidak boleh menjadi merek pokok yang berdiri sendiri. Tidak boleh dicantumkan sebagai keterangan tambahan terhadap
merek
pokok.
Oleh
karena
itu
harus
ditolak
pendaftarannya oleh Kantor Merek. (6) Keterangan fungsi barang atau jasa Perkataan berupa tulisan penjelasan mengenai fungsi atau tujuan barang atau jasa, tidak dapat dipergunakasn menjadi merek yang berdiri sendiri. Contohnya jenis barang penghapus tulisan dengan merek KIRIKO dengan tulisan yang menjelaskan fungsinya “ Correction Pen “. Kata-kata “ Correction Pen “ yang commit to user dijadikan merek yang mandiri atas jenis barang tersebut dianggap 32
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak memadai, karena kata-kata itu tidak lain daripada keterangan fungsi. Merek yang seperti itu tidak memiliki kekhususan identitas yang mampu memancarkan daya pembeda. Setiap jenis barang seperti itu, siapapun produsennya memang berfungsi sebagai penghapus tulisan. e) Perkataan sugestif Perkataan yang mengandung pengertian sugestif, lazim disebut merek sugestif atau sugestive mark. Perkataan sugestif dapat berdiri sendiri sebagai merek karena mampu melahirkan daya pembeda yang kuat pada pancaran individualnya. Misalnya SALAD dianggap sebagai merek sugestif jenis hair conditioner yang tidak mengandung ekstrak buah dan sayuran, sehingga tidak dianggap nama atau perkataan generik maupun keterangan sifat, bentuk, ukuran, berat, atau fungsi. Contoh lainnya yaitu MORNING FRESH untuk merek pengharum dan penyegar udara ruangan, dianggap mengandung perkataan sugestif meskipun agak mirip dengan deskripsi keterangan sifat dan fungsi jenis barang. Dalam hal ini, perkataan fresh yang dikombinasi dengan perkataan morning dianggap lebih cenderung mengandung sugesti bahwa dengan memakai barang tersebut, udara dalam ruangan akan menjadi sesegar udara pagi. f) Perkataan yang mengandung fantasi Sudut pandang fungsi merek berperan sebagai jaminan atas mutu suatu barang, mendorong orang untuk menerima perkataan yang mengandung fantasi (funcifull) menjadi merek, yang lazim disebut merek fantasi atau funcifull mark. Misalnya merek RALPH LAUREN atau POLLO dengan gambar logo penunggang kuda, memancarkan fantasi untuk jenis barang pakaian olahraga. Dalam hal ini, merek tersebut memberi daya fantasi bagi masyarakat tentang kegunaan dan kualitas serta kenyamanan. Oleh karena itu, merek yang tergolong mengandung fantasi tidak sama dengan deskripsi generik dan tidak commit to user sama juga dengan keterangan sifat, ukuran dan fungsi pemakaian 33
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
barang serta bukan keterangan kualitas. Hanya menimbulkan khayal tentang kualitas yang dimiliki barang tersebut.
4) angka-angka Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek membenarkan angka-angka menjadi tanda merek barang atau jasa. Namun, Sudargo Gautama berpendapat bahwa pada prinsipnya merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak dapat dijadikan merek tetapi secara kasusistik dapat dibenarkan apabila angka-angka itu sudah umum diterima (sudah diketahui masyarakat pada umumnya). Realitanya jarang ditemukan merek yang murni dari angka-angka. Misalnya di Indonesia yaitu rokok DJISAMSOE yang memakai angka 234 tidak bersifat mandiri. Angka-angka itu ditempatkan dalam logo setengah lingkaran. Hendaknya jika merek mengandung unsur angkaangka, sebaiknya dikombinasi dengan unsur lain untuk memperkuat karakter identitas dan daya pembeda yang dimilikinya.
5) susunan warna Susunan warna yang dapat dijadikan merek minimal mesti berkombinasi dengan unsur gambar atau lukisan geometri, sirkel, diagonal. Paling tidak susunan warna harus melekat pada gambar persegi panjang, pada siku-siku, atau pada bundaran. Tanpa bahan yang seperti itu, merek yang terdiri dari susunan warna tidak mungkin diwujudkan. Misalnya merek mobil BMW. Terdiri dari susunan warna putih dan biru dan lahannya menggunakan unsur lingkaran (sirkel). Contoh lainnya merek mobil keluarga Mitsubishi. Terdiri dari warna merah yang dilekatkan pada lahan tiga bintang atau lukisan ketupat.
6) kombinasi dari unsur-unsur tersebut Sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor commit to user 15 Tahun 2001, ada beberapa unsur yang dapat digunakan sebagai tanda 34
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mencipta suatu merek barang atau jasa yang terdiri dari gambar, nama, kata, huruf-huruf,angka-angka, dan susunan warna. Salah satu unsur tersebut dapat dikombinasi dengan unsur lain atau dapat mengkombinasikan seluruh unsur tersebut. Dalam kenyataan, dijumpai merek yang berbentuk kombinasi dari berbagai unsur. Bahkan pada umumnya hampir semua merek merupakan kombinasi dari dua, tiga atau seluruh unsur. Minimal merupakan kombinasi antara gambar dengan perkataan. Misalnya mobil merek BMW (M. Yahya Harahap, 1996: 182-221). Agar suatu merek dapat diterima sebagai merek atau cap dagang, merek harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur yaitu : a) Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. b) Yang tidak memiliki daya pembeda sebagai merek. Misalnya jika hanya berupa singkatan dan huruf-huruf atau angka-angka, dianggap kurang memiliki daya pembeda termasuk indikasi geografis yang sudah dikenal. c) Yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran. Contohnya kata “ Kopi “ atau
“
Gambar Kopi “ untuk produk kopi. d) Telah menjadi milik umum. Contohnya dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yaitu tengkorak di atas dua tulang yang bersilang yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Oleh karena itu, tidak dapat digunakan sebagai merek. Selain itu, meskipun suatu merek tidak memiliki unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, namun apabila merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih commit to user dahulu, maka permintaan pendaftarannya akan ditolak oleh Direktorat 35
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jendral berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang berbunyi : Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis ; b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ; c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal. Di samping itu, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa : Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak ; b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang ; c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya maksudnya adalah adanya kesan yang sama, antara lain : a) baik mengenai bentuk b) cara penempatan atau c) kombinasi antara unsur d) persamaan bunyi ucapan dalam merek-merek yang bersangkutan Kriteria-kriteria di atas harus dihubungkan sesuai dengan keadaannya apakah merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan, penyesatan merek kepada khalayak ramai jika dipakai pada barang atau jasa sejenis (Erma Wahyuni, 2003 : 146-148). commit to user 36
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sejarah Pengaturan Hukum Merek di Indonesia Perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan hak kekayaan intelektual pada tahun 1844. Selanjutnya pemerintah Belanda mengundangkan Undang-Undang Merek pada tahun 1885 dan untuk pertama kalinya didaftar merek no.1 oleh Hulpbureua Voor den Industrieelen Eigendom pada tanggal 10 Januari 1894 di Batavia. Indonesia pada waktu itu masih bernama Netherlands EastIndies. Berdasarkan Reglement Industrieelen Eigendom 1912 Stbl. 1912545jo 1913-214, yang melakukan pendaftaran merek di Indonesia adalah Hulpbureua Voor den Industrieelen Eigendom di bawah
Depatment of
Justitie yang waktu itu hanya khusus menangani pendaftaran merek. Kemudian berdasarkan Stbl. 1924 No.576 ayat 2, ruang lingkup tugas Department of Justitie meliputi pula bidang milik perindustrian. Pada zaman pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual masih tetap berlaku. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan tentang hak kekayaan intelektual khususnya merek tetep berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, Stbl. 1924 No.576 masih tetap berlaku. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, perlindungan secara tidak langsung diatur dalam Pasal 33. Namun, karena Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Merek nasional, maka Undang-Undang Merek peninggalan Belanda masih menjadi acuan dalam pendaftaran merek di Indonesia sampai tahun 1961. Pada tahun 1961, perlunya diadakan undang-undang tentang merek perusahaan dan merek perdagangan untuk melindungi khalayak ramai dari tiruan barang-barang yang memakai suatu merek yang telah dikenalnya commit to user sebagai merek barang-barang yang bermutu baik, sehingga pemerintah 37
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengundangkan Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Undang-undang ini mengatur hak khusus untuk memakai suatu merek dan pendafaran merek. Hak khusus untuk memakai suatu merek dalam undang-undang ini didasarkan atas pemakaian pertama dari merek itu. Sebagai pemakai pertama suatu merek dianggap orang yang mendaftarkan merek itu untuk pertama kalinya kecuali dibuktikan bahwa orang lain yang menjadi pemakai pertama sesungguhnya dari merek itu. Dengan demikian dalam suatu perselisihan tentang hak atas suatu merek, maka yang berhak atas merek itu adalah orang yang membuktikan telah memakai merek itu untuk pertama kalinya. Jika tidak ada bukti tentang pemakaian pertama merek itu, maka orang yang untuk pertama kalinya mendaftarkan merek itu dianggap sebagai yang berhak atas merek itu. Anggapan ini tidak berlaku lagi apabila setelah 6 bulan merek itu didaftarkan, orang tersebut tidak mengeluarkan barang yang didaftarkan dengan merek itu. Setelah mengalami beberapa lama kevakuman, dikeluarkan peraturan pelaksana Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan antara lain : 1) Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
Nomor
M.02.HC.01.01 Tahun 1987 tanggal 15 Juli 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang Mempunyai Persamaan. 2) Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
Nomor
M.03.HC.02.01 Tahun 1991 tanggal 2 Mei 1991 tentang Penolakan Pendaftaran Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain. Ditinjau dari hirarki perundang-undangan, Keputusan Menteri yang dibentuk sebagai peraturan pelaksana Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan karena peraturan pelaksana tersebut seharusnya berbentuk Peraturan Pemerintah. Kemudian seiring dengan perkembangan keadaan dunia usaha, perlindungan merek mengalami beberapa masalah. Maka mulai tahun 1986 commit to user diadakan pengkajian ulang dan penyusunan rancangan undang-undang di 38
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bidang Merek Perniagaan dan Merek Perusahaan yang dilakukan oleh tim kerja yang dibentuk oleh presiden. Hasil tim kerja ini adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek pada tanggal 28 Agustus 1992. Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek dibentuk berdasarkan : 1) Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 2) Ketetapan MPR No.2/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selain
peraturan
pelaksana
dari
Undang-Undang
Nomor
19
Tahun1992 tentang Merek, peraturan pelaksana Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan juga masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek. Di samping itu, terdapat juga peraturan perundangan yang baru, antara lain : 1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek. 4) Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
Nomor
M.02.HC.01.01 Tahun 1987 tanggal 15 Juli 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang Mempunyai Persamaan. 5) Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
Nomor
M.03.HC.02.01 Tahun 1991 tanggal 2 Mei 1991 tentang Penolakan Pendaftaran Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain. 6) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 12 M02.HC.01.10 Tahun 1991 tanggal 13 September 1991 tentang Penetapan Biaya Merek. commit to user 39
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tanggal 15 April 1994, Pemerintah Indonesia menandatangani Final Act Embodiying The Result Of Uruguay Round Of Multilateral Trade Nogotiations, yang mencakup Agreement On Trade Related Aspect Ot Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs). Tiga tahun kemudian pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia merivisi Undang-Undang Merek untuk menyesuaikan
dengan
Persetujuan
TRIPs.
Dalam
mempersiapkan
penyempurnaan Undang-Undang Merek, pemerintah menggunakan tiga sumber utama sebagai dasar pertimbangan, yaitu : 1) Kebutuhan untuk melakukan penyesuaian terhadap Persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang dari Hak Atas Kekayaan Intelektual atau Agreement On Trade Related Aspect Ot Intellectual Property Rights (TRIPs). Persetujuan TRIPs yang mulai dirundingkan sejak tahun 1986 dan ditandatangani di Marakesh Maroko pada bulan April 1994. Dengan memperhatikan tingkat perundingan pada waktu itu, hanya proses penyusunan undang-undang merek saja yang pada garis besarnya menggunakan persetujuan TRIPs yang pada saat yang sama sudah hampir selesai dirundingkan sebagai salah satu acuan. 2) Karena persetujuan TRIPs menuntut kesesuaian pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional terhadap ketentuan dalam
beberapa
konvensi
internasional
mengenai
HKI,
maka
penyempurnaan peraturan perundang-undangan juga diarahkan sesuai dengan konvensi-konvensi tadi. Adapun konvensi untuk merek adalah Konvensi Paris. 3) Pengamatan terhadap berbagai persoalan dan pengalaman selama pengadministrasian undang-undang merek. Selain beberapa persoalan yang bersumber pada ketentuan undang-undang itu sendiri, pemerintah juga selalu mengikuti adanya masalah baru yang berkembang selama pelaksanaan dan memerlukan pemecahan. Tanggapan fraksi-fraksi di DPR terhadap usul perubahan tersebut pada dasarnya sependapat dengan rancangan perubahan undang-undang commit to userpendekatan dan gaya bahasa yang tersebut, meskipun disampaikan dengan 40
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbeda dan telah mengemukakan saran, pertanyaan, serta pemikiran mengenai perlu adanya kesesuaian materi muatan rancangan undang-undang tersebut dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam berbagai persetujuan internasional
di
bidang hak
kekayaan
intelektual,
terutama hasil
Perundingan Putaran Uruguay dan Persetujuan TRIPs. Di samping itu, fraksi-fraksi juga mengharapkan agar undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual dapat menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum sehingga tercipta suatu keadaan yang kondusif untuk merangsang peningkatan
investasi,
kreativitas,
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan nasional, dan juga mengantisipasi tuntutan pembangunan nasional dan perkembangan global. Pada akhirnya tanggal 7 Mei 1997 diundangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek. Pembentukan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek berdasarkan : 1) Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 2) Ketetapan MPR No.II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
yang
menegaskan
bahwa
perkembangan
dunia
yang
mengandung peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sesuai dengan arahan GBHN tersebut maka segala perkembangan, perubahan, dan
kecenderungan
global
lainnya
yang
diperkirakan
akan
mempengaruhi stabilitas nasional serta pencapaian tujuan nasional perlu diikuti dengan seksama, sehingga dapat diambil langkah-langkah mengantisipasinya. Salah satu perkembangan yang menonjol yang memperoleh perhatian seksama dalam masa 10 (sepuluh) tahun terakhir dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial. ekonomi, budaya, maupun di bidang-bidang kehidupan lainnya. Di commitkarena to user bidang perdagangan, terutama perkembangan teknologi informasi 41
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor ini meningkat secara pesat bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan tersebut, maka menjadi hal yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang memadai. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektulitas manusia. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek, sebagian besar masih mengacu kepada peraturan pelaksana UndangUndang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Merek yang baru. Di samping itu, ada juga peraturan perundang-undangan yang baru : 1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen
Kehakiman. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman. 6) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Indonesia RI Nomor M.23-PR.09.03 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Personalia Komisi Banding Merek. commit to user 42
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian Pemerintah Indonesia mengadakan revisi kembali UndangUndang Merek karena salah satu bagian dari Konvensi WTO tersebut adalah Agreement On Trade Related Aspect Ot Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs), yang antara lain menyatakan bahwa semua negara peserta harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan nasional HKI sesuai dengan konvensi internasional di bidang masing-masing (Article 65 paragraph 1 dan 2). Batas waktu yang ditentukan untuk negara-negara berkembang tanggal 31 Desember 1999. Pemerintah perlu mengakomodasi aspek-aspek
lain
dalam
Persetujuan
TRIPs
yang
belum
sempat
terakomodasi pada perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek. Di samping itu, untuk menampung kebutuhan baru dalam masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan karya intelektual termasuk di dalamnya yang berhubungan dengan kepentingan khalayak. Pemerintah juga memperhitungkan tingkat kemampuan teknologi bangsa Indonesia yang mewarnai karya-karya intelektual dalam kaitannya dengan persaingan dunia usaha yang harus dilakukan secara sehat dan jujur dengan tidak pula melupakan kondisi geografis Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam. Dengan alasan pertimbangan tersebut, pemerintah menyampaikan RUU tentang Merek kepada DPR melalui Surat Presiden Republik Indonesia
Nomor
R.44/PU/XII/1999
tanggal
13
Desember
1999.
Selanjutnya pembahasan RUU dilaksanakan dengan Keterangan Pemerintah di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 14 Februari 2000, setelah itu dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR pada tanggal 20 Februari 2000, dan Jawaban Pemerintah terhadap pandangan fraksifraksi dalam Pandangan Umum diberikan pada tanggal 13 Maret 2000. Selanjutnya pembahasan intensif dilakukan pada pembicaraan tingkat III DPR melalui Komisi II pada tanggal 22 Februari 2000. Dengan disetujuinya RUU Merek menjadi menjadi Undang-Undang commit2toJuli user2001, maka selanjutnya undangMerek oleh DPR pada tanggal 43
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang itu disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek pada tanggal 1 Agustus 2001. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dibentuk berdasarkan : 1) Pasal 33 dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 2) Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sebagian besar masih mengacu kepada peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun1992 tentang Merek sepanjang aturannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Di samping itu, ada juga peraturan perundang-undangan yang baru, antara lain (Gerda Netty Octavia Butarbutar, 2006: 39-47) : 1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen
Kehakiman. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Komisi Banding Merek. 6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding Merek. commit to user 44
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Salinan Keputusan menteri kehakiman dan hak asasi manusia RI Nomor M.51.PR.09.03 Tahun 2003 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penambahan Personalia Komisi Banding Merek.
c. Macam-Macam Merek Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek terdiri dari beberapa macam diantaranya yaitu : 1) Merek Dagang, adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh sesorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya. 2) Merek
Jasa,
adalah
merek
yang
digunakan
pada
jasa
yang
diperdagangkan oleh sesorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenisnya. 3) Merek Kolektif, adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh berbagai orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
d. Prosedur Pendaftaran Merek Pada pinsipnya, pendaftaran merek merupakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh pemegang merek untuk memperoleh hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan. Untuk merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan. Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang commit to user berkaitan dengan penggunaan merek dapat diajukan oleh pemilik merek 45
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdaftar terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis kepada Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga ini hanya dapat diajukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Pihak yang haknya dirugikan, berdasarkan bukti yang cukup dapat minta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang : 1) Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut. 2) Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, definisi pendaftaran merek tidak dijelaskan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi pendaftaran adalah proses, cara, perbuatan mendaftar (mendaftarkan). Jadi, pendaftaran merek adalah proses registrasi yang dilakukan oleh pendaftar merek ke Dirjen HaKI agar merek yang didaftarkan mendapatkan perlindugan hukum sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan hingga era Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Indonesia telah menerapkan dua macam sistem pendaftaran merek, yaitu : 1) Sistem deklaratif Sistem
deklaratif
yaitu
sistem
pendaftaran
yang
hanya
menimbulkan dugaan adanya hak sebagai pemakai pertama pada merek bersangkutan. Sistem pendaftaran ini dianut dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan (http://repository.unikom.ac.id/repo/sector/perpus/view/jbptunikomp-gdlirpanpirma-21168.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011 Pukul 19.15). commit to user 46
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Sistem konstitutif Sistem
konstitutif
yaitu
sistem
pendaftaran
yang
akan
menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek, pendaftar pertama adalah pemilik merek. Pihak ketiga tidak dapat menggugat sekalipun beritikad baik. Sistem pendaftaran ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, dan kemudian diterapkan juga dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (http://zuyyin.wordpress.com/2007/ 06/16/hakatas-kekayaan-intelektual-2/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011 Pukul 19.15). Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa merek tidak dapat didaftarkan apabila permohonan pendaftaran merek diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Di samping itu, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa merek juga tidak dapat didaftar apabila : 1) Merek tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 2) Merek tersebut tidak memiliki daya pembeda; 3) Merek tersebut telah menjadi milik umum; atau 4) Merek merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: 1) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; 2) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; commit to user 47
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal. Tata cara permohonan pendaftaran merek diatur dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal HKI dengan mencantumkan: a) tanggal, bulan, dan tahun. b) nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon. c) nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa. d) warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna. e) nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. 2) Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya. 3) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. 4) Pemohon dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. Apabila permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. Jika permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Apabila
diajukan
melalui
kuasanya,
surat
kuasa
untuk
itu
ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Kuasa yang berwenang mengenai merek adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. 5) Permohonan untuk 2 (dua) kelas barang atau lebih dan/atau jasa dapat diajukan dalam satu Permohonan. Permohonan harus menyebutkan commit user dalam kelas yang dimohonkan jenis barang dan/atau jasa yangto termasuk 48
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendaftarannya. Kelas barang atau jasa diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek. 6) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia wajib diajukan melalui Kuasanya di Indonesia. Pemohon wajib menyatakan dan memilih tempat tinggal Kuasa sebagai domisili hukumnya di Indonesia. 7) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization. Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas wajib dilengkapi dengan bukti tentang penerimaan permohonan pendaftaran Merek yang pertama kali yang menimbulkan Hak Prioritas tersebut. Bukti Hak Prioritas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apabila tidak dipenuhi dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya hak mengajukan permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas,
permohonan
tersebut
tetap
diproses,
namun
tanpa
menggunakan Hak Prioritas. 8) Direktorat Jenderal HKI melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran Merek berdasarkan ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Apabila terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan, Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. Apabila kekurangan tersebut menyangkut persyaratan merek dengan Hak Prioritas, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) commit to user bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan 49
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan menggunakan Hak Prioritas. Apabila kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu, Direktorat Jenderal HKI memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali dan segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal HKI tidak dapat ditarik kembali. 9) Jika seluruh persyaratan administratif telah dipenuhi, permohonan diberikan tanggal penerimaan dan dicatat oleh Direktorat Jenderal HKI. 10) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan,
Direktorat
Jenderal
HKI
melakukan
pemeriksaan
substantif terhadap Permohonan berdasarkan ketentuan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan diselesaikan dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan. 11) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Direktorat Jenderal yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dan diberhentikan sebagai pejabat fungsional oleh Menteri berdasarkan syarat dan kualifikasi tertentu. 12) Apabila permohonan dapat disetujui untuk didaftar, atas persetujuan Direktur Jenderal, permohonan tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 13) Apabila permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, atas persetujuan Direktur Jenderal, hal tersebut diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya. 14) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan permohonan, maka pemohon
atau
kuasanya
dapat
menyampaikan
keberatan
atau
tanggapannya dengan menyebutkan alasan. Apabila pemohon atau kuasanya tidak menyampaikan keberatan atau tanggapan, maka Direktorat
Jenderal
menetapkan
keputusan
tentang
penolakan
Permohonan tersebut. Namun, apabila Pemohon atau Kuasanya menyampaikan keberatan atau tanggapan, pemeriksa melaporkan commit user dan atas persetujuan Direktur bahwa tanggapan tersebut dapattoditerima 50
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jenderal, permohonan itu diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 15) Dalam hal Pemohon atau Kuasanya menyampaikan keberatan atau tanggapan dan Pemeriksa melaporkan bahwa tanggapan tersebut tidak dapat diterima, atas persetujuan Direktur Jenderal, ditetapkan keputusan tentang penolakan Permohonan tersebut. 16) Keputusan penolakan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasan. 17) Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal HKI tidak dapat ditarik kembali. 18) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal disetujuinya
Permohonan
untuk
didaftar,
Direktorat
Jenderal
mengumumkan Permohonan tersebut dalam Berita Resmi Merek. 19) Pengumuman berlangsung selama 3 (tiga) bulan dan dilakukan dengan : a) menempatkannya dalam Berita Resmi Merek yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal HKI; dan/atau b) menempatkannya pada sarana khusus yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat yang disediakan oleh Direktorat Jenderal HKI. 20) Pengumuman dilakukan dengan mencantumkan: a) nama dan alamat lengkap Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa. b) kelas dan jenis barang dan/atau jasa bagi Merek yang dimohonkan pendaftarannya. c) tanggal penerimaan d) nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas e) contoh Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa commit to userke dalam bahasa Indonesia, huruf Indonesia, disertai terjemahannya 51
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Latin atau angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin.
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa Merek a. Pengertian Sengketa Merek Sengketa merek adalah perbedaan pendapat, perselisihan, atau konflik antara dua pihak/lebih dimana objek yang disengketakan yaitu merek, meliputi : 1) Sengketa administratif Sengketa administratif adalah sengketa yang terjadi antara pihak yang mengajukan HKI (pemohon) dengan pemerintah (Dirjen HKI), yang berkaitan dengan penolakan permohonan yang dilakukan oleh Dirjen HKI akibat tidak dipenuhinya beberapa persyaratan sebagaimana telah ditetapkan dalam aturan normatif, atau sengketa antara Pemegang HKI dan Dirjen HKI dengan Pihak Ketiga, yang berkaitan dengan gugatan pembatalan HKI karena diduga adanya kesalahan keputusan administratif yang telah dikeluarkan oleh Dirjen HKI. Penyelesaian sengketa administratif untuk merek melalui komisi banding merek. Tata cara penyelesaian sengketa administratif untuk merek diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1995. Selain melalui komisi banding merek, sengketa merek juga dapat diselesaikan melalui Pengadilan Niaga. (Adi Sulistiyono, 2004: 49-50). 2) Sengketa perdata Sengketa perdata adalah sengketa yang timbul karena adanya perbedaan penafsiran terhadap isi perjanjian atau salah satu pihak wanprestasi atas perjanjian (perjanjian lisensi) yang sebelumnya telah mereka sepakati. Untuk jenis sengketa perdata, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui lembaga peradilan (pengadilan negeri, pengadilan niaga), arbitrase atau jalur non-litigasi. Penggunaan salah satu lembaga penyelesaian sengketa tersebut commit to user perjanjian yang dibuat oleh para ditentukan berdasarkan isi atau klausul 52
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pihak, ketika pertam kali membuat perjanjian. Perlu diperhatikan, apabila dalam perjanjian yang dibuat para pihak memuat klausul arbitrase atau dibuat perjanjian arbitrase, maka lembaga peradilan tidak lagi berwenang menangani sengketa tersebut, karena hal tersebut secara tegas telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Adi Sulistiyono, 2004: 58-59). 3) Sengketa pidana Sengketa pidana adalah sengketa yang melibatkan negara melawan pelaku tindak pidana HKI yang mana berdasarkan aturan normatif, wajib diselesaikan melalui jalur lembaga peradilan umum. Dalam sistem hukum di Indonesia, semua pelanggaran di bidang HKI termasuk merek, dikategorikan sebagai suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, da Pasal 94 digolongkan sebagai delik aduan (Adi Sulistiyono, 2004: 68-69).
b. Penyelesaian Sengketa Merek Penyelesaian sengketa merek adalah langkah yang ditempuh oleh para pihak yang bersangkutan untuk mencari jalan keluar permasalahan merek yang melibatkan mereka agar dapat terselesaikan. Macam-macam sarana penyelesaian sengketa merek diantaranya : 1) Penyelesaian Sengketa Merek melalui Pengadilan Penyelesaian sengketa merek melalui pengadilan maksudnya upaya yang dilakukan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya mengenai merek melalui lembaga peradilan. Institusi yang berwenang menyelesaikan perkara merek ialah Pengadilan Niaga. 2) Penyelesaian Sengketa Merek melalui Arbitrase Penyelesaian Sengketa Merek melalui Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa yang pokok sengketanya merek di luar commit topada userperjanjian arbitrase yang dibuat peradilan umum yang didasarkan 53
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 3) Penyelesaian Sengketa Merek melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa Penyelesaian Sengketa Merek melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu upaya yang dilakukan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan pertikaiannya mengenai merek menggunakan pranata selain melalui Pengadilan Niaga dan arbitrase. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dapat ditempuh dengan : (1) Negosiasi Negosiasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui perundingan secara langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan. Prinsip yang digunakan dari model penyelesaian sengketa ini adalah win-win solution. Menurut Fisher dan Ury, negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang berbeda. Sedangkan menurut Gary Godpaster, proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, mengandung seni dan penuh rahasia, untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap menguntungkan para pihak. (Adi Sulistiyono, 2004: 81). (2) Mediasi Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral (mediator) membantu pihak-pihak yang bersengketa guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak. Pada prinsipnya, model ini merupakan perluasan negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa (Adi Sulistiyono, 2004: 81). Berdasarkan Pasal 1 angka (6) PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi commit to user di Pengadilan, mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa melalui 54
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka (5) Peraturan BI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan
sukarela
terhadap
sebagian
ataupun
seluruh
permasalahan yang disengketakan. (3) Minitrial HKI Menurut Robert Smith, minitiral HKI merupakan sebuah bentuk
canggih
penyelesaian
melalui
konferensi,
yang
mengkombinasikan elemen negosiasi, mediasi, dan adjudikasi. Penyelesaian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu pertukaran informasi antara dua pihak yang bersengketa dan negosiasi antara dua pihak. (4) Somasi HKI Somasi HKI merupakan teguran atau peringatan yang dibuat, ditampilkan media massa oleh pemegang HKI yang ditujukan kepada pelanggar HKI agar menghentikan perbuatannya dan/atau meminta maaf pada pemegang HKI tanpa atau dengan ancaman akan melakukan tuntutan pada lembaga yang berwenang (Adi Sulistiyono, 2004: 93).
commit to user 55
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Sistem Perlindungan Merek
Undang-Undang No.61 Tahun 1967
Undang-Undang No.19 Tahun 1992
Undang-Undang No.14 Tahun 1997
Deklaratif
Undang-Undang No.15 Tahun 2001
Konstitutif
DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Sengketa
Rusmin Soepadhi
PT. Puri Intirasa
Pengadilan Niaga
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan Kerangka Pemikiran : Dalam sistem hukum di Indonesia, perlindungan terhadap merek diberikan kepada pemegang merek apabila pemegang merek mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam sistem pendaftaran merek di Indonesia pernah mengalami 2 sistem perlindungan merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem deklaratif pernah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 sedangkan untuk sistem konstitutif diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, dan commit2001. to user Undang-Undang Nomor 15 Tahun Sistem perlindungan merek tersebut 56
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI). Dalam perkara sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi, yang manjadi pendaftar merek pertama adalah Rusmin Soepadhi. Berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang berlaku,
pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa merek ialah Pengadilan Niaga. Dalam perkara sengketa merek tersebut, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusannya adalah UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Peneltian
1. Kasus Posisi Sengketa Merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi Menelaah Putusan Nomor 22/ Merek / 2008 / PN.Niaga. Jkt. Pst. mengenai sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi, kasus posisi sengketa tersebut sebagai berikut : PT Puri Intirasa adalah pihak yang sejak tahun 1998 telah menjalankan usaha restoran yang dikelola dengan menggunakan nama perniagaan “ Waroeng Podjok “ (dengan ejaan lama) yang beralamat di Senayan Square Complex, Retail Mall (Plaza Senayan) Lantai 3 Unit
No. #338 B, #340 G,
#342 B dan #346 B Jalan Asia Afrika, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Usaha restoran tersebut berkembang dengan baik yang dibuktikan dengan dibukanya beberapa cabang dari restoran “ Waroeng Podjok “ di beberapa lokasi diantaranya di Kemang, Plaza Semanggi, Cikini, dan Pondok Indah Mall. Di samping itu, PT. Puri Intirasa juga telah menjalankan usaha restoran dengan tertib dan teratur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Setoran Pajak oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta cq. Dinas Pendapatan Daerah sejak tahun 1999 dengan Nomor Pajak Daerah 43301011000090 atas nama PT. Puri Intirasa. Selain itu, kedudukan PT. Puri Intirasa sebagai wajib pajak telah dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Nomor 338 Tahun 1999 tentang Pengukuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran dan memberikan Nomor Pokok Pajak Daerah 43. 3. 02. 03. 10. 00050. Namun, ketaatan PT. Puri Intirasa tidak diikuti dengan pendaftaran mereknya yaitu “ Waroeng Podjok “ ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan commit to user bahwa PT. Puri Intirasa baru Intelektual. Hal tersebut dapat dibuktikan 58
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengajukan permohonan pendaftaran merek “ Waroeng Podjok “ pada tanggal 25 Mei 2005. Pada tanggal 8 Desember 2006, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq Direktorat Merek mengirimkan pemberitahuan penolakan pendaftaran merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa dengan pertimbangan karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek “ Warung Pojok “ yang sudah terdaftar di bawah nomor 519618 untuk jasa sejenis. Berdasar pada surat pemberitahuan tersebut, PT. Puri Intirasa mengetahui bahwa merek “ Warung Pojok “ merupakan milik Rusmin Soepadhi yang telah didaftarkan pada tanggal 29 Oktober 2002. Kemudian, PT. Puri Intirasa mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan alasan pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ yang dilakukan oleh Rusmin Soepadhi dilakukan dengan itikad tidak baik. PT. Puri Intirasa menyatakan bahwa itikad tidak baik dari Rusmin Soepadhi dikarenakan tindakan dari Rusmin Soepadhi yang dengan sengaja telah mendaftarkan merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ yang memiliki persamaan pada nama, konfigurasi huruf dan cara pengucapan yang sama dengan nama restoran “ Waroeng Podjok “ yang telah diciptakan, dipergunakan dan dipopulerkan terlebih dahulu oleh PT. Puri Intirasa untuk mengambil keuntungan atas reputasi dari nama restoran “ Waroeng Podjok “ milik Penggugat sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk mempromosikan nama restorannya. Namun, dalam perkara merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi, pihak PT. Puri Intirasa yang tidak beritikad baik karena merek “ Waroeng Podjok “ miliknya ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Merek cq Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga seharusnya pihak PT. Puri Intirasa menghentikan penggunaan merek “ Waroeng Podjok “ yang mempunyai persamaan dengan merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi. commit to user 59
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Konsep Hukum Sistem Perlindungan Merek yang Digunakan dalam Menyelesaikan Sengketa Merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi
Konsep hukum yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi adalah sebagai berikut : Dalam eksepsinya, Rusmin Soepadhi (Tergugat) memohon agar gugatan yang diajukan oleh PT. Puri Intirasa (Penggugat) dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima dengan alasan : a. PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak mempunyai kapasitas untuk mengajukan gugatan pembatalan merek karena PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak mempunyai kepentingan terhadap merek yang digugat dan PT. Puri Intirasa (Penggugat) harus mengajukan permohonan pendaftaran merek terdaftar terlebih dahulu. b. Permohonan pendaftaran merek “ WAROENG PODJOK “ oleh PT. Puri Intirasa (Penggugat) untuk kelas jasa 42 pada tanggal 8 Desember 2006 telah ditolak oleh Direktorat Merek (Turut Tergugat) dan sejak penolakan tersebut belum mengajukan permohonan pendaftaran lagi. Dengan demikian, gugatan PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak memenuhi syarat Pasal 68 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Sedangkan, Direktorat Merek (Turut Tergugat) dalam eksepsinya memohon agar gugatan Penggugat dinyatakan ditolak dengan alasan : a. PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak memenuhi syarat formalitas yang diatur dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek karena sesuai data yang ada pada Direktorat Merek
(Turut
Tergugat), “ Waroeng Podjok “ termasuk merek dalam kelas 43 atas nama PT. Puri Intirasa (Penggugat)yang telah ditolak definitif pada tanggal 5 November 2007 oleh Direktorat Merek (Turut Tergugat). b. Permohonan pendaftaran merek yang dijadikan PT. Puri Intirasa commit user (Penggugat) untuk memenuhi syarattoformalitas pengajuan gugatan pem60
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batalan, telah ditolak oleh Direktorat Merek. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa menolak eksepsi yang diajukan Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan Direktorat Merek (Turut Tergugat) dengan pertimbangan sebagai berikut : a. PT.Puri Intirasa sebagai Penggugat adalah perseroan terbatas yang bergerak di bidang indusri makanan dan minuman antara lain menjalankan restoran dengan menggunakan nama perniagaan “ Waroeng Podjok “ sejak 1998 dan sekarang telah membuka banyak cabang. b. PT.Puri Intirasa sebagai Penggugat bermaksud mendaftarkan merek
“
Waroeng Podjok “ yang telah digunakannya kepada Direktorat Merek sebagai Turut Tergugat tetapi permohonan pendaftaran merek PT.Puri Intirasa ditolak dengan alasan merek “ Waroeng Podjok “ milik PT.Puri Intirasa memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ atas nama Rusmin Soepadhi (Tergugat) yang telah terdaftar lebih dahulu. c. PT. Puri Intirasa yang telah menggunakan merek “ Waroeng Podjok “ yang merasa dirugikan oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan Direktorat Merek (Turut Tergugat) mengajukan gugatan pembatalan merek atas merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi. d. Berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (2) dan penjelasannya menyebutkan bahwa “ pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah Penggugat mengajukan permohonan kepada Direktorat “. Karena Pasal 68 ayat (2) hanya mensyaratkan adanya
Jenderal “
permohonan untuk mengajukan gugatan “, maka dengan telah ditolaknya permohonan pendaftaran merek oleh Direktorat Merek,
PT. Puri Intirasa
dalam mengajukan gugatan ini tidak perlu mengajukan permohonan pendaftaran baru, karena secara nyata sudah pernah mengajukan permohonan pendaftaran merek. Berdasarkan hal tersebut, maka gugatan PT. Puri Intirasa telah memenuhi ketentuan Pasal 68 ayat (2) Undangcommit to user Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 61
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam gugatannya, PT. Puri Intirasa memohon agar dinyatakan batal pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ dengan disertai alasan-alasan sebagai berikut : a. PT. Puri Intirasa adalah perseroan terbatas yang telah berdiri sejak tahun 1995 dengan maksud dan tujuan untuk menjalankan usaha di bidang industri makanan dan minuman dalam arti seluas-luasnya. b. PT. Puri Intirasa sejak tahun 1998 telah menjalankan usaha restoran yang dikelola dengan menggunakan nama perniagaan “Waroeng Podjok“ (dengan ejaan lama), dan sekarang telah dibuka banyak cabang, sangat dikenal luas dan diterima baik oleh masyarakat maupun pemerintah. c. Pada tanggal 25 Mei 2005 PT. Puri Intirasa mengajukan permohonan kepada Direktorat Merek untuk mendaftarkan Merek “ Waroeng Podjok “ dalam kelas barang/jasa 42, untuk jenis/barang jasa perdagangan/rumah makan, restoran, warung nasi, warung kopi, kedai, kafe, penyediaan makanan dan minuman keliling, tapi ternyata Direktorat Merek melalui suratnya tertanggal 8 Desember 2006 memberitahukan tentang penolakan pendaftaran Merek “ Waroeng Podjok “ dengan pertimbangan karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek “ Warung Pojok “ dan Merek “ Warung Pojok Kopi “ yang sudah terdaftar atas nama Tergugat, di bawah No. 519618 tanggal 29 Oktober 2002 dan No. 529310 tanggal 11 Februari 2003 untuk jasa sejenis. d. bahwa PT. Puri Intirasa keberatan atas terdaftarnya merek “ Warung Pojok “ dam “ Warung Pojok Kopi “ yang memiliki persamaan pada nama, konfigurasi huruf dan cara pengucapan yang sama dengan restoran
“
Waroeng Podjok “ yang telah diciptakan, digunakan dan dipopulerkan oleh PT. Puri Intirasa, karena pendaftaran merek tersebut dilandasi adanya itikad tidak baik dengan alasan Rusmin Soepadhi tidak pernah punya usaha restoran sebelum tanggal pendaftaran merek “ Warung Pojok “ (29 Oktober 2002) dan pendaftaran merek tersebut oleh Rusmin Soepadhi semata-mata untuk mengambil keuntungan atas reputasi dan nama restoran “ Waroeng commit to user 62
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Podjok “ milik PT. Puri Intirasa, serta tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk mempromosikan nama restorannya. Untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, PT. Puri Intirasa mengajukan satu orang saksi fakta bernama Teguh Budiono dan seorang saksi ahli bernama Prof. DR. H. Man Suparman, SH, MH, serta mengajukan bukti-bukti surat yaitu : a. Perjanjian Sewa Menyewa No. 265/LA.MALL/X/98 tanggal 14 Oktober 1998 berikut terjemahannya. b. Surat Penawaran Jl. Kemang Raya 12 No. 003/FW-HSE/ IV/01 tanggal 12 April 2001 berikut terjemahannya. c. Perjanjian Sewa Menyewa No. 00638/PSM-TPS/PNI/VII/ 03 tanggal 14 Juli 2003. d. Perjanjian Sewa Menyewa No. 015/SM/MK/VI/2004 tanggal 1 September 2004. e. Surat Setoran Pajak bulanan periode tahun 1999-2000. f. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah No. 338 tahun 1999 tanggal 22 Januari 2003. g. Artikel majalah Demokrasi edisi 21-27 April 1999 dan Buletin Pesiar No. 9 Tahun 1999. h. Artikel majalah Femina edisi Agustus 1999. i. Artikel majalah Selera edisi Juli 2000. j. Artikel harian Kompas terbitan tanggal 28 November 2002. k. Artikel majalah POPi edisi 63 tahun 2000. l. Surat dari Direktorat Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata No. 69/SK/DSP/DJP/IV/2006 tanggal 13 April 2006. m. Akta No. 110 tanggal 16 November 1995. n. Akta No. 10 tanggal 4 Januari 1997. o. Permintaan pendaftaran merek tanggal masuk 25 Mei 2005 No. Agenda : JOO 2005 005544. commit to user 63
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
p. Surat dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. H4-HC. 02. 01005544 tanggal 8 Juli 2006. q. Surat tertanggal 15 Januari 1999. r. Artikel harian Warta Kota tanggal 15 Maret 2000. s. Artikel harian Media Indonesia tanggal 27 Februari 2002. t. Artikel majalah Gamma edisi No. 14 tahun ke-IV tanggal 27 Mei-2 Juni 2002. Dalam jawaban gugatannya, Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan Direktorat Merek (Turut Tergugat) membantah dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh PT. Puri Intirasa (Penggugat) dengan alasan-alasan sebagai berikut : a. Bantahan Rusmin Soepadhi (Tergugat) 1) PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak punya kepentingan karena merek “ Waroeng Podjok “ bukan merek terdaftar dan bukan merek terkenal. Di samping itu, PT. Puri Intirasa (Penggugat) untuk mengajukan gugatan a quo tidak mengajukan permohonan pendaftaran lebih dahulu dan gugatannya diajukan telah melewati jangka waktu 5 tahun. 2) Secara de facto dan de jure, Rusmin Soepadhi (Tergugat) terbukti sebagai pemilik dan pendaftar pertama di Indonesia atas merek
“ Warung
Pojok “ di bawah nomor pendaftaran 519618 tanggal 29 Oktober 2002 untuk kelas jasa 42 dan merek “ Warung Pojok Kopi “ di bawah nomor pendaftaran 529310 tanggal 11 Februari 2003 untuk kelas jasa 43, masing-masing atas jasa “ perdagangan/rumah makan, restoran, warung nasi, warung kopi, kedai, cafe, penyediaan makannan dan minuman keliling “. 3) Rusmin Soepadhi (Tergugat) menyatakan bahwa kata “ POJOK “ merupakan unsur terpenting dalam merek-merek Rusmin Soepadhi (Tergugat) karena diilhami oleh pendaftaran merek “ Pojok Busana “ yang telah terdaftar sebelumnya, yaitu merek “ Pojok Busana “ pendaftaran No. 508418 tanggal 16 Mei 2002 atas perpanjangan commit to user pendaftaran nomor 274053 tanggal 22 April 1992, untuk kelas barang 25 64
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
; “ Pojok Busana “ pendaftaran No.531468 tanggal 6 Maret 2003 perpanjangan No. 303784 tanggal 22 April 1992, untuk kelas barang 42 ; merek “ Pojok Busana “ pendaftaran No. 531467 tanggal 6 Maret 2003 perpanjangan nomor 303784 tanggal 22 April 1992, untuk kelas barang 35 ; merek “ Mega Pojok Busana “ pendaftaran No. 61467 tanggal 5 Januari 2006, perpanjangan nomor 384698 tanggal 2 September 1997, untuk kelas jasa 35 ; merek “ Mega Pojok Busana “ pendaftaran No. 61468 tanggal 5 Januari 2006, perpanjangan nomor 384698 tanggal 2 September 1997, untuk kelas jasa 40 ; merek “ Mega Pojok Busana “ pendaftaran No. 61469 tanggal 5 Januari 2006, perpanjangan nomor 384698 tanggal 2 September 1997, untuk kelas jasa 42 ; merek “ Pojok Busana “ pendaftaran No. 472226 tanggal 15 April 2001, untuk kelas 16 ; dan merek “ Pojok Busana “ pendaftaran No. 472228 tanggal 15 April 2001, untuk kelas 16. 4) Permohonan Rusmin Soepadhi (Tergugat) dinyatakan memenuhi persyaratan dan prosedur oleh Direktorat Merek karena permohonan pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi telah dilakukan pemeriksaan substantif, tanggapan, dan pengumuman dalam Berita Resmi Merek dan juga tidak ada keberatan dari pihak manapun termasuk dari PT. Puri Intirasa (Penggugat). 5) Rusmin Soepadhi (Tergugat) menyatakan bahwa merek “ Waroeng Podjok “ bukan merek terkenal jadi Rusmin Soepadhi (Tergugat) tidak mengetahui dan tidak ada manfaatnya untuk keuntungan apapun untuk mendompleng, meniru, atau menjiplak merek “ Warung Podjok “. 6) Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Rusmin Soepadhi (Tergugat) sebagai pemakai dan pendaftar pertama dari merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “, mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan merek tersebut dan berhak melarang pihak lain yang menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan commit(Tergugat). to user merek milik Rusmin Soepadhi 65
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Oleh karena merek “ Warung Podjok “ mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek “ Warung Pojok “, Rusmin Soepadhi
(Tergugat)
memohon
agar
PT.
Puri
Intirasa
(Penggugat) dihukum untuk membayar kerugian materiil dan imateriil dengan sejumlah uang. b. Bantahan Direktorat Merek (Turut Tergugat) 1) Merek “ Warung Pojok “ telah terdaftar dengan No. 519618 tanggal 29 Oktober 2002 dan “ Warung Pojok Kopi “telah terdaftar dengan No. 529310 tanggal 11 Februari 2003, masing-masing atas nama Rusmin Soepadhi (Tergugat), termasuk dalam kelas 42 dan kelas 43, untuk melindungi jenis barang/ jasa : jasa perdagangan/rumah makan, restoran, warung nasi, kedai, cafe, penyediaan makanan dan minuman keliling. 2) Berdasarkan Pasal 3 Jo. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan Negara kepada pemilik merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, maka sudah menjadi kewajiban pihak manapun untuk menghormatinya. 3) Pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ yang diajukan oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) sudah melalui tahap-tahap prosedural yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yaitu pemeriksaan formalitas, pemeriksaan substantif, dan pengumuman. 4) Untuk menilai apakah pendaftaran merek didasarkan atas itikad tidak baik harus didasarkan pada ketenaran pihak lain atau menimbulkan persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menganut sistem konstitutif yang berarti bahwa pendaftar pertama yang diberikan perlindungan hukum. commit to user 66
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan alasan-alasan hukum tersebut, Rusmin Soepadhi (Tergugat) terbukti tidak melanggar ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perihal pokok gugatan PT. Puri Intirasa (Penggugat) dikaitkan dengan dalil gugatannya, bukti-bukti maupun Kesimpulan yang diajukan oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan PT. Puri Intirasa (Penggugat), maka yang harus dibuktikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam perkara ini adalah : 1. Apakah benar PT. Puri Intirasa (Penggugat) yang notabene bukan sebagai pemilik terdaftar tidak masuk sebagai pihak yang berkepentingan, tidak memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan a quo karena belum mengajukan permohonan pendaftaran dan apakah benar gugatan PT. Puri Intirasa (Penggugat) telah lewat waktu. Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menentukan bahwa gugatan pembatalan merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek, sedangkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menentukan bahwa pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum seperti diatur dalam Pasal 5 huruf a termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya “ itikad tidak baik “, dengan demikian gugatan pembatalan pendaftaran merek yang didaftarkan atas adanya itikad tidak baik sesuai Pasal 4 jo. Pasal 5 huruf a jo. Pasal 6 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dapat diajukan tanpa batas waktu. Gugatan pembatalan merek yang dilakukan oleh PT. Puri Intirasa (Penggugat) dengan alasan bahwa pendaftaran merek Tergugat tersebut dilandasi adanya itikad tidak baik, berdasarkan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) huruf b jo. Pasal 68 ayat (1) jo. Pasal 68 ayat (2) jo. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, maka gugatan PT. Puri Intirasa (Penggugat) dapat diajukan tanpa adanya batas waktu. commit to user 67
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Apakah benar merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa (Penggugat), yang belum terdaftar sebagai merek terkenal. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak memberikan definisi secara tegas dalam pasal-pasalnya tentang merek terkenal. Namun, dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b telah memberikan suatu pedoman untuk bisa mengatakan suatu merek itu adalah sebagai merek terkenal. Pedoman tersebut diantaranya : a. Pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. b. Reputasi merek terkenal yang diperoleh karena : promosi yang gencar dan besar-besaran, karena investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya. Pedoman yang dipakai dalam praktek pengadilan untuk menentukan suatu merek merupakan merek terkenal apabila merek tersebut memenuhi syarat sebagai berikut : a. Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan karena reputasi merek tersebut yang dapat diketahui dari adanya promosi yang gencar dan besar-besaran melalui iklan modern, investasi di beberapa negara di dunia, paparan lewat TV kabel, majalah-majalah internasional maupun lewat internet. b. Luasnya penggunaan merek berupa volume penjualan di berbagai negara dengan perioade penjualan yang cukup lama dan stabil. c. Luasnya pendaftaran merek berupa pendaftaran di berbagai negara serta lamanya merek yang bersangkutan telah digunakan. d. Pemilik merek terkenal tersebut telah berhasil mencegah pendaftaran suatu merek yang merek terkenal tersebut. Untuk membuktikan bahwa merek “ Waroeng Podjok “ sebagai merek terkenal, PT. Puri Intirasa (Penggugat)
mengajukan bukti-bukti surat
berupa: a. PT. Puri Intirasa (Penggugat) adalah suatu perseroan terbatas yang to userdi bidang usaha industri makanan berdiri sejak tahun 1995 commit yang bergerak 68
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan minuman dalam arti seluas-luasnya termasuk di dalamnya usaha restoran. b. Sejak tahun 1998, PT. Puri Intirasa (Penggugat) telah membuka restoran dengan merek “ Waroeng Podjok “ dan sekarang telah membuka cabang di tiga tempat yaitu Jl. Kemang Raya No.12 Kemang, Jakarta Selatan, Plaza Semanggi, Mal Pondok Indah. c. Merek “ Waroeng Podjok “ telah dikenal oleh masyarakat sebagaimana telah termuat dalam : 1) Salinan artikel Majalah Demokrasi edisi 21-27 April 1999. 2) Buletin Pesiar No.9 Tahun 1999. 3) Salinan artikel Majalah Femina, edisi Agustus 1999. 4) Salinan artikel Majalah Selera, edisi Juli 2000. 5) Artikel harian Kompas terbitan tanggal 28 November 2002. 6) Salinan artikel Majalah POPi edisi 63 tahun 2000. 7) Salinan artikel promosi dalam Harian Warta Kota tanggal 15 Maret 2000. 8) Salinan artikel promosi dalam Harian Media Indonesia tanggal 27 Februari 2002. 9) Salinan artikel promosi dalam Majalah Gamma edisi No.14 tahun keIV tanggal 27 Mei-2 Juni 2002. Di samping itu, untuk mengkuatkan dalil-dalil gugatannya, PT. Puri Intirasa (Penggugat) menghadirkan 2 orang saksi dalam pemeriksaan persidangan. Saksi PT. Puri Intirasa (Penggugat) yang pertama bernama Teguh Budiono yang menerangkan bahwa saksi sering melewati “ Waroeng Podjok “ yang terletak di Plaza Senayan yang menyajikan masakan makanan dan minuman tradisional khas Indonesia dan restoran tersebut pernah melakukan promosi dengan membagikan leaflet pada pengunjung. Sedangkan, Saksi PT. Puri Intirasa (Penggugat) yang kedua merupakan saksi ahli yang bernama Prof. DR. H. Man Suparman, S.H. , M.H. , yang menerangkan bahwa suatu merek dapat dikategorikan sebagai merek commit to user terkenal berdasarkan pedoman : 69
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Tergantung pada pengetahuan masyarakat banyak. b. Tergantung kepada reputasi merek tersebut. c. Adanya pengakuan dari pihak yang berwenang. d. Merek tersebut telah terdaftar di luar negeri dan dimungkinkan adanya sebagai merek terkenal secara lokal. Majelis Hakim Pengadilan Niaga menyatakan bahwa apabila buktibukti yang diajukan oleh PT. Puri Intirasa (Penggugat) tersebut dikaitkan dengan definisi atau kriteria tentang “ merek terkenal “, maka terdapat fakta bahwa merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) sebagai merek yang tidak terdaftar belum dapat dikatakan sebagai sebuah merek terkenal. Bukti artikel-artikel harian surat kabar atau majalah tersebut belum dapat dipakai sebagai ukuran bahwa dengan adanya artikel tersebut terdapat pengetahuan masyarakat secara luas tentang adanya merek “ Waroeng Podjok “ sebagai merek terkenal juga tidak terpenuhi. Terlepas dari alasan dan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim juga mengingatkan bahwa istilah/kata “ Waroeng Podjok “ sudah dikenal dari masa ke masa. Istilah/kata-kata yang digunakan sebagai merek yaitu “ Waroeng Podjok “ sudah dikenal masyarakat dengan adanya lagu
“
Warung Pojok “ sehingga tidak mustahil kata-kata/istilah merek tersebut diilhami dari lagu “ Warung Pojok “. Selain itu, “ Waroeng Podjok “ juga memang letaknya di pojok.
3. Apakah merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi
(Tergugat)
mempunyai
persamaan
pada
pokoknya
atau
mempunyai persamaan pada keseluruhannya dengan merek “ Waroeng Podjok “ (ejaan lama) milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) dan sebagai barang yang sejenis. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak memberikan tentang apa yang dimaksud dengan mempunyai persamaan pada pokoknya atau mempunyai persamaan pada keseluruhannya rumusan, user penjelasannya. Namun, Majelis baik dalam pasal-pasalnya commit maupuntodalam 70
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hakim Pengadilan Niaga berpendapat bahwa merek yang mempunyai persamaan pada keseluruhannya dapat diartikan sebagai sama persis baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur, atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek yang satu dan merek lainnya. Sedangkan, penjelasan Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antara unsur-unsur atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, unsurunsur yang menonjol antara merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) dan merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi (Tergugat) adalah adanya persamaan pada nama, konfigurasi huruf dan cara pengucapan yang sama. Majelis Hakim Pengadilan Niaga menyatakan bahwa merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek “ Warung Pojok “ dan “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi (Tergugat).
4. Apakah merek “ Waroeng Pojok “ daftar No. 519618 tanggal 29 Oktober 2002 dan “ Warung Pojok Kopi “ daftar No. 529310 tanggal 11 Februari 2003 didaftarkan oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) dengan itikad tidak baik. Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, disebutkan bahwa Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak “ ketenaran “ merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu, atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan commit to user konsumen. 71
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan dalil-dalil gugatannya, PT. Puri Intirasa (Penggugat) mengatakan bahwa PT. Puri Intirasa (Penggugat) telah memakai merek “ Waroeng Podjok “ (ejaan lama) lebih dulu yaitu sejak tahun 1998 dibandingkan dengan Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan PT. Puri Intirasa (Penggugat) sebagai pemilik merek “ Waroeng Podjok “ tidak terdaftar bermaksud mendaftarkan merek tersebut pada Direktorat Merek (Turut Tergugat) dengan suratnya tertanggal 25 Mei 2005 dengan nomor agenda J00-2005.005544,
tapi
permohonan
pendaftaran
PT.
Puri
Intirasa
(Penggugat) dinyatakan “ ditolak “ oleh Direktorat Merek (Turut Tergugat) dengan alasan merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek “ Warung Pojok “ dan merek “ Warung Pojok Kopi “ milik Rusmin Soepadhi (Tergugat) yang telah terdaftar lebih dahulu. Berdasarkan Sertifikat Merek No. 519618 tanggal 29 Oktober 2002 dan Sertifikat Merek No. 529310 tanggal 11 Februari 2003, Rusmin Soepadhi (Tergugat) adalah pemilik dan pendaftar pertama di Indonesia merek “ Warung Pojok “ dan merek “ Warung Pojok Kopi “, yang masingmasing untuk melindungi jasa “ perdagangan/rumah makan, restoran, warung nasi. warung kopi, kedai, cafe, penyediaan makanan dan minuman keliling “. Namun, PT. Puri Intirasa (Penggugat) menyatakan pendaftaran merek milik Rusmin Soepadhi (Tergugat) tersebut dilandasi adanya itikad tidak baik yaitu mendompleng, meniru/membonceng popularitas merek milik PT. Puri Intirasa (Penggugat) dengan tujuan hendak mengecoh para pelanggan restoran “ Waroeng Podjok “. Rusmin Soepadhi (Tergugat) membantah hal tersebut dengan alasan bahwa kata “ POJOK “ merupakan unsur terpenting terhadap merek-merek miliknya. Di samping itu, merek “ Warung Pojok “ dan merek “ Warung Pojok Kopi “ sebenarnya diilhami oleh merek terdaftar milik Tergugat
lainnya seperti : merek “ Pojok
Busana “ terdaftar sejak tahun 2002, merek “ Mega Pojok Busana “ dan merek “ Pojok Swalayan “. commit to user 72
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan Direktorat Merek (Turut Tergugat) bahwa Rusmin Soepadhi (Tergugat) adalah pemohon yang beritikad baik karena permohonan pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan merek “ Warung Pojok Kopi “ miliknya telah melalui tahapan pemerikasaan formalitas, pemeriksaan substantif dan pengumuman. Permohonan tersebut juga tidak bertentangan dengan Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kata lain, permohonan telah dilandasi dengan itikad baik sehingga Rusmin Soepadhi (Tergugat) mempunyai hak eksklusif dan sebagai pendaftar pertama diberikan perlindungan hukum. Dengan demikian apabila ada permohonan pendaftaran merek dan ternyata mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek terdaftar, maka demi kepastian hukum kepada pemilik merek terdaftar di dalam menjalankan kegiatan produksi dan perdagangan permohonan tersebut wajib ditolak. Di samping itu, keterangan saksi Teguh Budiono, “ Waroeng Podjok “ menyajikan makanan dan minuman khas Indonesia sedangkan saksi Henny Sulastri menerangkan bahwa “ Warung Pojok “diisi oleh pedagangpedagang lainnya yang juga membuka counter/stand yang menjual aneka makanan dan minuman. Berdasarkan keterangan dua saksi tersebut konsumen tidak akan mungkin mengalami kesesatan dalam memilih menu makanan antara restoran “ Waroeng Podjok “ dengan restoran “ Warung Pojok “ karena jenis makanan yang disajikan adalah jauh berbeda. Selain itu, merek “ Waroeng Podjok “ belum terdaftar dan terbukti bukan sebagai merek terkenal karena secara notoir kata “ Warung Pojok “ telah ada dan dikenal oleh masyarakat sebelum PT. Puri Intirasa (Penggugat) menggunakan merek tersebut pada tahun 1998 sehingga tidak dapat dibenarkan secara hukum apabila PT. Puri Intirasa (Penggugat) mengklaim bahwa kata “ Waroeng Podjok “ merupakan hasil karyanya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, PT. Puri Intirasa (Penggugat) tidak mampu membuktikan bahwa pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dan commitadanya to useritikad tidak baik dan bertentangan “ Warung Pojok Kopi “ dilandasi 73
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Majelis Hakim Pengadilan Niaga juga menolak seluruh tuntutan Rusmin Soepadhi (Tergugat) dalam rekonpensi dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Dalam kaitannya dengan tuntutan ganti kerugian materiil dan immateriil, serta membayar uang paksa/dwangsom, Majelis Hakim Pengadilan Niaga berpendapat bahwa PT. Puri Intirasa (Penggugat) membuka restoran “ Waroeng Podjok “ sebelum Rusmin Soepadhi (Tergugat) mendaftarkan mereknya sehingga tidak adil secara hukum apabila PT. Puri Intirasa (Penggugat) harus dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti kerugian materiil, imateriil dan uang paksa/dwansom. b. Berkaitan dengan sita jaminan, Majelis Hakim Pengadilan Niaga tidak pernah meletakkan sita jaminan dalam perkara sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi sehingga permohonan sita jaminan oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) ditolak. c. Berkaitan dengan penghentian penggunaan merek “ Waroeng
Podjok “,
dikarenakan nama “ Waroeng Podjok “ telah berubah menjadi “ Wajok Asli “ sehingga permohonan penghentian penggunaan merek oleh Rusmin Soepadhi (Tergugat) ditolak. Majelis Hakim Pengadilan Niaga juga menghukum PT. Puri Intirasa (Penggugat) membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara tersebut. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut,
Majelis
Hakim
Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan sebagai berikut : a. Menolak semua eksepsi yang diajukan Rusmin Soepadhi (Tergugat) dan Direktorat Merek (Turut Tergugat). b. Menolak gugatan PT. Puri Intirasa (Penggugat Konpensi) untuk seluruhnya. c. Menolak seluruh gugatan rekonpensi Rusmin Soepadhi (Penggugat Rekonpensi). d. Menghukum PT. Puri Intirasa (Penggugat Konpensi/Tergugat Rekonpensi) commit to user untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.611.000,00. 74
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim, konsep
hukum
sistem
perlindungan
merek
yang
diterapkan
dalam
menyelesaikan sengketa merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi adalah sistem konstitutif, karena majelis hakim berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 68, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. B. Pembahasan
1. Kasus Posisi Sengketa Merek Nomor 22 / Merek / 2008 /PN.Niaga. Jkt. Pst antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi
Pada kasus sengketa merek dengan Nomor : 22 / Merek / 2008 / PN.Niaga. Jkt. Pst melibatkan 3 pihak yaitu PT Puri Intirasa sebagai Penggugat, Rusmin Soepadhi sebagai Tergugat, dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq Direktorat Merek sebagai Turut Tergugat. Pada kasus tersebut, menurut Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq Direktorat Merek pihak PT. Puri Intirasa merupakan pihak yang tidak beritikad baik karena PT. Puri Intirasa yang mengaku sebagai pihak yang taat hukum, sadar hukum, dan menghormati hukum tapi tidak mendaftarkan mereknya pada tahun 2000 ketika mereknya sudah dikenal masyarakat. Pihak Rusmin Soepadhi merupakan pihak yang beritikad baik karena sebagai warga masyarakat yang taat dan sadar hukum mendaftarkan mereknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga berhak atas perlindungan hukum atas mereknya yaitu “ Warung Pojok “. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan Sertifikat Merek No. 519618 tanggal 29 Oktober 2002 yang merupakan bukti pendaftaran merek
“ Warung Pojok “.
Kriteria merek terkenal sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan penjelasannya. Namun, kriteria tersebut masih dianggap belum memadai sebagai pedoman bagi hakim untuk commit to user mengenai perlindungan terhadap mengambil keputusan. Peraturan pemerintah 75
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merek terkenal sampai saat ini juga belum ada. Hal ini sangat menyulitkan para hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menyelesaikan sengketa atau pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Sebagai anggota WTO, Indonesia seharusnya membentuk produk hukum yang khusus untuk melindungi merek terkenal sebagaimana yang diamanatkan WTO. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Lisa P. Ramsey dalam tulisannya yang berjudul “ Free Speech and International Obligations To Protect Trademarks “ yang berbunyi : “ TRIPS also creates obligations relating to well-known marks used by third parties in connection with the sale of dissimilar goods or services that suggest a “connection” with the mark holder and are likely to damage its interests. An example would be unauthorized use of the “ Kodak ” mark for bicycles. “ (Lisa P. Ramsey, 2010: 27). Menurut Keputusan Menteri Kahakiman Republik Indonesia Nomor : M. 03-Hc.02.01 Tahun 1991tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal Atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Berdasarkan pengertian tersebut, merek dikatakan merek terkenal apabila merek tersebut sudah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Berdasarkan pengertian tersebut, merek “ Waroeng Podjok “ milik PT. Puri Intirasa bukan merupakan merek terkenal.
2. Konsep Hukum Sistem Perlindungan Merek yang Digunakan dalam Menyelesaikan Sengketa Merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi Untuk menentukan siapa yang berhak atas merek tergantung sistem yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sistem tersebut dikenal dengan sistem commit to user deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem deklaratif adalah hak atas merek 76
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tercipta atau diperoleh karena pemakaian pertama walaupun tidak didaftarkan. Biasanya dikenal dengan istilah first to use. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem konstitutif adalah hak atas merek tercipta atau diperoleh karena pendaftaran. Perlindungan hukum merek menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 menganut sistem deklaratif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “ Hak khusus yang memakai suatu merek guna membedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau suatu badan dari orang lain atau badan lain dibeikan kepada barang siapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut di atas di Indonesia“. Dalam sistem deklaratif, pendaftaran merek bukan kewajiban hukum. Siapa saja yang memiliki merek dan menggunakannya, terserah akan mendaftarkan atau tidak merek tersebut. Bila orang yang bersangkutan tidak berminat mendaftarkan mereknya tidak apa-apa, dan bukan merupakan pelanggaran hukum, serta tidak mendapat sanksi dikarenakan hal tersebut. Yang bersangkutan tetap dapat menggunakan merek tersebut dan sebagai pemakai pertama apabila ia dapat membuktikannya, bahwa ia sebagai pemakai pertama yang berhak atas merek yang dipakainya tersebut. Namun, apabila merek tersebut didaftarkan, pemiliknya dianggap sebagai pemakai pertamanya kecuali terbukti sebaliknya. Apabila terbukti bahwa pemilik merek terdaftar bukan pemakai pertama, maka anggapan sebagai pemakai pertama menjadi tidak berlaku dan pendaftarannya dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 yang berbunyi : Jika merek yang didaftarkan menurut Pasal 7 pada keseluruhannya atau kepada pokoknya sama dengan merek orang lain yang berdasarkan Pasal 2 mempunyai hak atas merek tersebut untuk barang-barang yang sejenis, atau jika merek yang didaftarkan itu mengandung nama atau nama perniagaan orang lain, maka orang tersebut tanpa mengurangi daya-daya hukum lain yang dapat dipergunakannya, dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri di Jakarta dengan surat permohonan yang ditanda tangani pemohon sendiri atau kuasanya, agar supaya pendaftaran merek tersebut dinyatakan batal. Permohonan tersebut harus dilakukan oleh pemohon dalam waktu sembilan commit to userbulan setelah pengumuman yang dtentukan dalam Pasal 8. 77
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendaftaran merek dengan sistem deklaratif ini dipandang hanya memberikan suatu prasangka menurut hukum atau dugaan hukum bahwa orang yang mendaftarkan merek adalah si pemakai pertama. Sistem ini dalam prakteknya kurang menciptakan ketenangan bagi si pemilik merek karena pendaftaran mereknya dapat dibatalkan dengan alasan pihak lain merupakan pemakai yang pertama. Selain itu, dalam praktek, pembuktian pemakaian pertama menimbulkan persoalan sehingga sistem deklaratif ini dirasakan kurang memberikan kepastian hukum. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menganut sistem konstitutif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang berbunyi : “ Hak atas Merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dalam jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa
orang
secara
bersama-sama
atau
badan
hukum
untuk
menggunakannya “. Sistem konstitutif memberikan hak atas merek yang terdaftar kepada siapa saja yang mereknya terdaftar dalam Daftar Umum Kantor Merek, maka dialah yang berhak atas merek tersebut. Sistem ini lebih menjamin adanya kepastian hukum. Kepastian hukum berupa keuntungan bagi si pendaftar (pemilik/pemegang merek yang sah) dengan diterimanya merek dan tanda bukti pendaftaran dalam bentuk sertifikat sebagai bukti hak atas merek sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama merek yang bersangkutan. Keuntungan bagi merek yang terdaftar dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan dalam kaitannya apabila terjadi sengketa yaitu merek yang terdaftar lebih mudah pembuktiannya daripada merek yang tidak terdaftar. Bagi merek yang tidak terdaftar, si pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemilik pertama karena tidak terdapat surat-surat yang dapat diajukan sebagai alat bukti. Padahal dalam perkara perdata, commit to user 78
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemeriksaan bukti tulisan (surat/sertifikat) paling diutamakan karena peristiwa hukumnya mudah diungkapkan daripada bukti keterangan saksi-saksi. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek berupa dua bentuk perlindungan hukum yaitu : a. Perlindungan hukum yang bersifat preventif Perlindugan
preventif
merupakan
perlindungan
hukum
yang
dimaksudkan untuk mencegah kerugaian pemegang hak merek terhadap tindak pidana pemalsuan merek. Perlindungan hukum ini diberikan dengan cara mendaftarkan merek ke Dirjen HKI untuk memperoleh hak atas merek. Sistem perlindungan ini disebut dengan sistem konstitutif (first to file principle). Sistem konstitutif mulai diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Kemudian sistem ini juga dipakai dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek dan yang terakhir diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hal tersebut berbeda dengan sistem deklaratif (first to use principle). Perlindungan hukum yang diberikan dalam sistem ini dengan menggunakan atau memakai merek terlebih dahulu yang dianggap sebagai pemegang hak merek. Dengan kata lain, tidak melalui mekanisme pendaftaran ke Dirjen HKI. Sistem deklaratif (first to use principle) pernah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Peraturan normatif yang saat ini digunakan dalam perlindungan terhadap merek yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Sistem merek yang digunakan adalah sistem konstitutif (aktif) dimana pemilik merek terdaftar adalah pemegang hak merek (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Pemilik merek terdaftar sebagai pemegang merek dapat menggunakan merek itu sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Selain itu, commit haknya to user dengan cara pewarisan, hibah, hak merek juga dapat dialihkan 79
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wasiat, perjanjian, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Sistem first to file principles (konstitutif) yang dianut dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa perlindugan hukum terhadap merek diberikan sejak tanggal penerimaan (filling date) yaitu tanggal dipenuhinya semua persyaratan oleh pemohon. Apabila seluruh persyaratan dipenuhi saat pengajuan permohonan maka tanggal penerimaan sama dengan tanggal pengajuan permohonan tetapi apabila kelengkapan persyaratan baru terjadi pada tanggal lain setelah tanggal pengajuan permohonan maka tanggal lain tersebut yang ditetapkan sebagai tanggal penerimaan. Jangka waktu perlindungan terhadap merek adalah 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Namun, dengan ketentuan merek terdaftar tersebut tetap memenuhi kriteria merek terdaftar atau dengan kata lain merek tersebut tidak termasuk merek yang tidak dapat didaftar dan merek yang ditolak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. b. Perlindungan hukum yang bersifat represif Perlindungan hukum secara represif ini diberikan ketika sudah terjadi pelanggaran atas hak merek. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak atas merek terdaftar maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memberi beberapa alternatif untuk penyelesaian sengketa, yaitu melalui jalur non litigasi dan jalur litigasi. 1) Jalur Non Litigasi Berdasarkan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, para pihak pemegang hak atas merek terdaftar diberikan kesempatan untuk menyelesaikan sengketa merek melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut Pasal 1 angka commit30to user (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1999 tentang Arbitrase dan 80
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase yang memuat klausula arbitrase tersebut bisa dibuat sebelum timbul sengketa atau setelah timbul sengketa. Menurut Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, penyelesaian sengketa merek melalui jalur litigasi dapat ditempuh melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. 2) Jalur Litigasi Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi memberikan peluang untuk mengajukan sengketa agar diperiksa secara perdata atau pidana. Di samping kedua alternatif tersebut, pemilik merek terdaftar juga diberi kesempatan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek untuk mengajukan permohonan penetapan sementara. Apabila menginginkan penyelesaian secara perdata maka pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan kepada pihak lain yang dianggap telah melanggar haknya melalui suatu gugatan dengan dasar bahwa pihak lain tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis. Gugatan tersebut dapat mengajukan tuntuan supaya pihak lain tersebut dihukum dengan membayar ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut (Pasal 76 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Pengajuan commit to user Niaga yang terhadap putusannya gugatan ini didaftarkan pada Pengadilan 81
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya dapat dimohonkan kasasi (Pasal 79 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek dan/atau penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut (Pasal 85 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek). Surat Penetapan Sementara tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkan harus mendapat putusan yang menguatkan, membatalkan, atau mengubah dari hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa. Surat Penetapan Sementara ini bertujuan untuk mencegah kerugian yang lebih besar dari si pemegang hak atas merek terdaftar. Bagi para pemegang hak atas merek terdaftar yang ingin menyelesaikan kasusnya secara pidana maka dapat mengadukan pihak yang disangka melakukan perbuatan melawan hukum tersebut ke polisi atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk dilakukan penyidikan. Apabila terdapat bukti-bukti yang cukup maka kepolisian akan melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan. Dari kejaksaan berkas perkara akan bergulir ke Pengadilan untuk mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap supaya bisa dieksekusi. Pada tahap pembuatan surat dakwaan, Jaksa/Penuntut Umum dapat mendakwakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ketentuan pidana dalam Pasal 90 sampai dengan 94 dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek lebih berat dibandingakan dengan Undang-Undang Merek sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari ancaman penjara maksimum setiap klasifikasi delik antara 1 (satu) tahun sampai dengan paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau diancam membayar denda maksimum commit delik to userdari Rp. 200.000.000,00 hingga berdasarkan setiap klasifikasi 82
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rp. 1.000.000.000,00. Sanksi pidana penjara dan denda tersebut dapat diterapkan secara kumulatif atau alternatif, kecuali Pasal 94 yang bersifat alternatif. Pengaturan sanksi pidana yang lebih tinggi dari UndangUndang Merek sebelumnya diharapkan dapat sungguh-sungguh menjadi detterent effect dari tujuan pidana juga memenuhi prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle). Dalam perkara sengketa merek PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi, Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya berpedoman pada ketentuan-ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 68, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perlindungan hukum yang dianut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah sistem konstitutif. Dengan kata lain, konsep hukum sistem perlindungan merek yang digunakan dalam menyelesaikan perkara merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi adalah sistem konstitutif. Sistem ini kurang cocok diterapkan bagi masyarakat yang kesadaran hukumnya masih rendah. Sistem perlindungan merek yang cocok bagi masyarakat yang kesadaran hukumnya rendah yaitu sistem deklaratif. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar hasil putusan hakim dari perkara yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan.
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. PT. Puri Intirasa telah menjalankan usaha restoran dengan nama “ Waroeng Podjok “ sejak tahun 1998 tetapi baru mendaftarkan mereknya pada tahun 2005. Namun, pada tanggal 8 Desember 2006, permohonan pendaftaran mereknya dinyatakan ditolak Dirjen HKI karena memiliki persamaan dengan merek “ Warung Pojok ” milik Rusmin Soepadhi. Kemudian, PT. Puri Intirasa mengajukan gugatan pembatalan merek “ Warung Pojok “ dengan alasan pendaftaran merek “ Warung Pojok “ dilakukan dengan itikad tidak baik. 2. Konsep hukum sistem perlindungan merek yang digunakan dalam menyelesaikan perkara merek antara PT. Puri Intirasa dengan Rusmin Soepadhi adalah sistem konstitutif (first to file). Hal tersebut nampak dari pertimbangan hukum yang dijadikan pedoman Majelis Hakim Pengadilan Niaga adalah ketentuan-ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 68, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dimana UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif (first to file). Namun, penerapan sistem ini kurang cocok diterapkan bagi masyarakat yang kesadaran hukumnya masih lemah. Sistem perlindungan merek yang cocok bagi masyarakat yang kesadaran hukumnya rendah yaitu sistem deklaratif. Dalam hal ini, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat agar putusan dari perkara yang ditanganinya mencerminkan rasa keadilan. B. Saran 1. Hakim hendaknya memutus perkara yang ditanganinya dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat agar commit to user dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. 84
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sistem perlindungan merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 hendaknya menggunakan sistem deklaratif agar dalam penerapannya dapat berjalan efektif.
commit to user 85