Konsep Harta dan Kepemilikan
A. Pendahuluan Harta termasuk kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya.
B. Pengertian Harta Harta dalam bahasa Arab diistilahkan dengan maal. Al Maal berasal dari kata maala yang berarti condong atau berpaling dari satu arah ke arah yang lain. Ia diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan hati manusia dan mereka pelihara.1 Jadi kalau sesuatu dapat menyenangkan hati manusia, tetapi tidak mereka pelihara bukan termauk harta, seperti burung yang lepas di udara atau ikan yang berada dalam laut. Secara terminologi ada dua pengertian al maal yang dikemukakan ulama fiqh, yaitu: 1. Pengertian harta yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah:
1
Ahamad Warson Munawwir, Kamus al Munawwir, ( Surabaya: Putaka Progressif, 1997), hal.1372
ما يميل اليً طبع االوسان و يمكه ادخاري ألى وقت الحاجت او كان يمكه حيازتً واحرازي و 2 ًيىتفع ب “segala sesuatu yang diminati manusia dan dapat dihadirkan pada waktu yang diperlukan atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan.” Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa harta itu mengandung dua unsur; yaitu: a. Sesuatu yang mungkin untuk disimpan. Oleh sebab itu segala esuatu yang tidak mungkin dapat di simpan pada suatu tempat, bukan termasuk harta, seperti kesehatan, kemuliaan dan udara ( kecuali yang telah dapat dikuasai yang telah berada dalam tabung oksigen ) b. Menurut kebiasaan, sesuatu itu dapat diambil manfaatnya. Oleh sebab itu mayat, sampah atau sebutir beras tidak dikatakan harta. 2. Menurut Jumhur fuqaha, harta adalah: 3 كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه ”harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusaknya,” Defenisi itu sejalan denga defenisi yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tidak termasuk harta kecuali sesuatu yang mempunyai nilai, dapat dijual dan orang yang meran orang yang merusaknya dapat dituntut mengganti kerugian walaupun sedikit. Menurut defenisi ini harta itu bukan berupa materi saja, tetapi hanya manfaat sesuatu dapat dikategorikan sebagai harta. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah. Menurutnya harta hanya sesuatu yang berbentuk materi, ia tidak mengelompokkan hanya manfaat dari sesuatu sebagai harta. Ulama Hanafiyah mengkategorikan manfaat kepada milik Perbedaan ini akan terlihat pada orang yang mengendarai mobil orang lain tanpa izin pemiliknya. Menurut jumhur ulama orang itu dapat dituntut ganti rugi karena telah mengambil menfaat barang orang lain, sedangka menurut Hanafiyah tuntutan itu tidak dapat dilakukan karena manfaat itu bukan harta. Sungguhpun demikian, manfaat termasuk ke dalam milik, bukan ke dalam harta, karena milik lebih umum dari harta. Harta merupakan bahagian dari milik. Milik 2 3
Ibnu Abidin, Raddul Mukhtar ala ad Dural Mukhtar, (Jilid IV, hal. 3
Wahab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), juz 4, hlm.8. 2 Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al„aqad fi al-syari‟ah al-Islamiyah, (Mesir; Dar al- Fikr al-Arabi, 1962), hlm. 15.
segala sesuatu yang boleh berthasharruf dengannya, dan tidak dicampuri oleh hak orang lain Namun pendapat Hanafiyah di atas ditentang oleh ulama Hanafiyah mutaakhkhirin, seperti Musthafa Ahmad Azzarqa’, yang lebig cendrung mengunakan defenisi harta yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Menurutnya persoalan harta terkait dengan persoalan situasi dan kondisi serta kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Kadangkala manfaat suatu harta lebih banyak menghasilkan penambahan harta dibanding wujud benda itu sendiri. Seperti merentalkan mobil dalam beberapa waktu akan lebih hasilnya dari pada menjualnya secara tunai. Atas dasar itu Azzarqa’ mendefenisiskan harta itu dengan: 4 المال كل عين ذات قيمة مادية بين الناس “harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi dikalangan masyarakat.” Di samping istilah maal, maksud yang seiring dengan harta dalam Alquran juga menggunakan istilah خيرseperti yang terdapat dalam surat al Baqarah ayat 183 yang berbunyi: 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Kemudian dengan istilah فضلseperti yang terdapat dalam surat al Jumu’ah ayat yang berbunyi:
10.”
apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” c. Kedudukan Fungsi Harta Harta menurut Hukum Islam termasuk salah kebutuhan yang dharuri, disamping agama, jiwa, akal dan keturunan. Berdasarkan hal itu Allah memberikan hak 4
Musthafa Ahmad Azzarqa’, al Madkhal ila fiqh al ‘Am, (Beirut: Dar al Fikr, 1946), Jilid II, hal 118
kepada pemiliknya untuk mempertahankannya dari segala upaya yang dilakukan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Berhubungan dengan pemeliharaan dan penghormatan syara’ terhadap harta ini, Allah mengharamkan pencurian dan memberi sanksi potong tangan bagi pelakunya. Seperti yang dalam terdapat dalam firman Allah surat al Maidah ayat 38 yang berbunyi: n 38. “laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Hukuman bagi pencuri trhadp pelaku pencurian yang ditentukan Allah dalam ayat teersebutrsebut adalah sebagai bentuk pemeliharaan dan penghormatan syara’ atas hak milik seseorang terhadap hartanya Walaupun manusia bebas menggunakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun penggunaannya tidak terlepas dari mendekatkan diri kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi, tidak boleh hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda: ) ان فً المال حق سوى الزكاة ( رواه الترمذي ”bahwa pada setiap harta hak ada (orang lain ) selain zakat.” Ketika memanfaatkannya manusia tidak dibolehkan berlaku sewenangwenang dalam menggunakan hartanya itu. Kebebasan seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya adalah sebatas yang direstui oleh syara’. Oleh sebab itu di samping unt di samping untuk kemaslahatan diri pribadi, pemilik harta juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain. Hak orang lain yang terdapat pada harta seseorang inilah yang disebut hak masyarakat yang berfungsi sosial. Di samping fungsi di atas,5 harta juga berfungsi sebagai
untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk beribadah diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam
5
pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah dan hibah. Untuk meningkatkan (ketakwaan) kepada Allah, sebab kekafirkemiskinan cenderung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Selanjutnya harta berfungsi untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah: Surat An-Nisa: 9
“dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Nabi SAW : ليس بخير كم مه ترك الذويا آلخرتً وآلخرة لذوياة حتى يصيبا جميعا فإن الذويا بالغ الى اآلخرة ) ( رواي البحاري “Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.” d. Konsep kepemilikan ( al milkiyah ) - pengertian Secara bahasa milkiyah berasal dari kata ملكا- ملك – ٌملكberarti pemilikan atau penguasaan terhadap sesuatu. Sedangkan secara terminologi berarti: 6 اختصاص بالشٌئ ٌمنع و ٌمكن صاحبه من التصرف فٌه ابتداء إال المانع شرعى “keistemewaan seseorang terhadap sesuatu (benda) yang memungkinkan pemiliknya untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan keinginannya selama tidak ada larangan syara’.”
6
Muhammad Abu Zahrah, op.cit. hal. 16
Menurut pengertian tersebut benda yang dimiliki oleh seseorang berada di bawah penguasaanya sepenuhnya. Ia bebas bertindak apapun terhadap yang dimilkinya itu, selama tindakannya itu tidak dilarang oleh syara’. Seperti seseorang punya kebebasan melakukan tindakan hukum terhadap mobil yang dimilikinya, seperti menjual, menyewakan, mewakafkan atau menghibahkannya kepada orang lain. Tetapi ia dilarang dengan sengaja menabrakkannya ke rumah orang lain. Keistimewaan yang diberikan syara’kepada pemilik harta ada dua macam: pertama, keistemewaan untuk menghalangi orang lain untuk memanfaatkan miliknya tanpa seizinnya. Dengan demikian pemilik hak milkiyah punya hak walayah terhadap pemiliknya. Kedua, keistimewaan untuk bertasharruf, bahwa hanya pemilik harta itu yang dapat mentasharrufkan harta tersebut. Halangan syara’ yang membatasi kebebasan pemilik dalam bertindak hukum (bertasharruf) ada dua macam; yaitu:7 a. Halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak cakap secara hukum, seperti karena masih kecil (mumayyiz), karena safih (cacat mental), atau karena pailit (taflis). b. Halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain, seperti yang berlaku pada harta syirkah, atau melindungi kepentingan umum. -
Sebab-sebab kepemilikan Ulama menyatakan bahwa ada 4 cara pemilikan harta yang disyari’atkan oleh Islam; yaitu: a. Ihrazul mubahat, penguasaan terhadp harta yang mubah atau harta tak bertuan. Seperti seseorang yang mengumpulkan batu atau pasir disungai untuk dimilikinya yang belum ada pemiliknya baik perorangan atau badan hukum. Menurut ketentuan fikih, penguasaan harta tak bertuan ini merupakan cara pemilikan pertama, berbeda dengan cara-cara yang lain. b. Melalui Aqad (transaksi) yaitu kesepakatan yang dilakukan antara seseorang dengan orang lain atau badan badan hukum tertentu, yang dimaksudkan untuk pemindahmilikan. Seperti akad jual beli dan hibah.
7
Mustafa Ahmad Azzarqa’, op.cit. hal. 288