i
KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING REMAJA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DI SMA
RESTU DWI PRIHATINA
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT Restu Dwi Prihatina. Self Concept, Emotional Intelligence, Stress Level, and Coping Strategies of Youth on Various Learning Model in Senior High School. Supervised by Melly Latifah and Irni Rahmayani Johan. The aim of this study was to analyze of self concept, emotional intelligence, stress level, and coping strategies of youth on various learning model in senior high school. The method used in this study was cross sectional study. This study involved 86 participants who been chosen purposively with some criterions, such as all the participants should be eleventh grade student from acceleration class, RSBI class, and regular class. The primary data was collected by questionnaires and secondary data was collected from school archived. Self concept was classified as internal and external self concepts. Emotional intelligence divided into five dimensions, such self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skills. Stress in this study being viewed as physical and psychological symptoms. Coping strategies was classified as problem focused coping and emotion focused coping. In this study, descriptive, correlation, and mean differences analysis were used. The result found that there was positive correlation between self concept, emotional intelligence, problem focused coping, and emotion focused coping. There was negative correlation between self concept and stress level. Emotional intelligence and stress level was negatively correlated. There was a real difference emotional intelligence between three groups of participants and the regular class had the best score. Keywords: self concept, emotional intelligence, stress, coping strategy, learning models
ABSTRAK Restu Dwi Prihatina. Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Dibimbing oleh Melly Latifah dan Irni Rahmayani Johan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional study. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 86 orang yang dipilih secara purposive dengan kriteria merupakan kelas XI IPA kelas akselerasi, RSBI dan reguler. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui kuesioner dan data sekunder yang berasal dari pihak sekolah. Konsep diri dikelompokkan menjadi dimensi internal dan eksternal. Kecerdasan emosional terbagi menjadi lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial. Stres terdiri atas gejala stres fisik dan psikologis. Strategi koping terbagi menjadi strategi terfokus masalah dan strategi terfokus emosi. Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif, uji hubungan, dan uji beda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri, kecerdasan emosional, strategi terfokus masalah, dan strategi terfokus emosi. Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Kecerdasan emosional juga memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional pada ketiga kelompok contoh dan kelas reguler memiliki skor paling tinggi di antara ketiga kelompok. Kata kunci: konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, strategi koping, model pembelajaran
i
RINGKASAN RESTU DWI PRIHATINA. Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan IRNI RAHMAYANI JOHAN. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Secara khusus, penelitan ini bertujuan untuk (1) menganalisis perbedaan antara karakteristik remaja, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran; (2) menganalisis hubungan antara karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja; (3) menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional remaja; (4) menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping remaja. Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian ini juga difokuskan bertempat di SMA Negeri di Kota Bogor. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki perbedaan model pembelajaran dan dianggap memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian. Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA dari kelas akselerasi dan kelas RSBI serta kelas reguler yang berasal dari dua SMA Negeri di Kota Bogor. Kelas akselerasi, RSBI, dan reguler tersebut dipilih secara purposive untuk menjadi kerangka contoh dalam penelitian. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara purposive dari kerangka contoh di kedua sekolah. Jumlah keseluruhan contoh adalah 86 orang yang terdiri atas 26 orang siswa kelas akselerasi, 30 orang siswa kelas RSBI, dan 30 orang siswa kelas reguler. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas (1) karakteristik contoh meliputi jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran, (2) karakteristik keluarga meliputi usia, pendidikan, dan pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, serta besar keluarga, (3) konsep diri contoh, (4) kecerdasan emosional contoh, dan (5) stres yang dialami contoh, serta (6) strategi koping contoh. Data sekunder yang digunakan adalah data karakteristik sekolah yang diperoleh dari sekolah yang bersangkutan. Pengumpulan data karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping dilakukan dengan menggunakan teknik self report melalui alat bantu berupa kuesioner. Konsep diri diukur menggunakan kuesioner berbentuk skala yang mengacu pada alat skala konsep diri yaitu Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang disusun oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001). Kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan berdasarkan teori Goleman (2007). Tingkat stres diukur dengan melihat gejala stres contoh dengan menggunakan kuesioner yang disusun oleh H.Ebel (1983) dan dikembangkan oleh Latifah (2009). Strategi koping diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan berdasarkan teori Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000). Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, scoring,
ii
entry, cleaning, dan analisis data. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan inferensia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman dan Pearson, serta uji beda (one way Anova). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan (62,8%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki (37,2%). Lebih dari separuh contoh (67,4%) termasuk remaja awal (13-16 tahun) dan sisanya (32,6%) adalah remaja akhir (17-18 tahun). Terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga kelompok (p<0,01) dengan rata-rata usia contoh pada kelas akselerasi adalah 15,27; RSBI 16,50; dan reguler 16,47. Selain itu, lebih dari separuh contoh merupakan anak sulung (52,3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dari ketiga kelompok contoh termasuk ke dalam usia dewasa madya (41-60 tahun). Hampir seluruh ayah contoh (94,0%) dan lebih dari tiga per empat ibu contoh (86,0%) termasuk dewasa madya. Tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh dalam hal usia ayah (p>0,05). Akan tetapi, terdapat perbedaan yang nyata pada usia ibu di antara ketiga kelompok (p<0,05) pada kelas akselerasi (44,19), RSBI (45,43), dan reguler (41,83). Lebih dari separuh ayah contoh (57,2%) dan hampir separuh ibu contoh (41,9%) berpendidikan hingga S1/S2/S3. Terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh dalam hal pendidikan ayah (p<0,05) dan pendidikan ibu (p<0,01). Hal ini terkait dengan data yang diperoleh bahwa hampir separuh ibu contoh kelas RSBI (43,3%) dan separuh ibu contoh kelas reguler (50,0%) berpendidikan hingga SMA/sederajat. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa hampir separuh ayah contoh bekerja di sektor swasta (40,7%). Sebanyak lebih dari separuh ibu contoh tidak bekerja (60,5%). Sebanyak hampir separuh pendapatan keluarga contoh berada pada rentang ≥ Rp 5.000.001,00. Terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh (p<0,01) dengan rata-rata pendapatan keluarga contoh kelas akselerasi dan RSBI di atas Rp 5.000.001,00; sedangkan kelas reguler di atas Rp 3.000.001,00. Sebesar lebih dari separuh keluarga contoh tergolong ke dalam keluarga sedang (61,6%), yaitu berjumlah antara lima hingga tujuh orang anggota. Tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh (p>0,05) dalam hal besar keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan contoh memiliki konsep diri yang positif dan kelas reguler memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan RSBI. Dimensi yang memiliki persentase paling besar dengan kategori sedang adalah subdimensi identitas diri etik moral dan kepuasan diri etik moral. Dimensi yang memiliki persentase pada kategori negatif adalah subdimensi tingkah laku diri sosial. Walaupun terdapat perbedaan yang cukup menonjol di antara persentase tiap dimensi, akan tetapi secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga konsep diri contoh (p>0,05). Keseluruhan contoh memiliki kecerdasan emosional yang termasuk dalam kategori sedang. Akan tetapi, separuh contoh kelas reguler memiliki skor kecerdasan emosional yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi. Dimensi dengan persentase terbesar pada kategori tinggi adalah dimensi kesadaran diri. Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran (p<0,05) dengan skor kecerdasan emosional kelas reguler sebesar 80,14; kelas RSBI sebesar 79,66; dan kelas akselerasi sebesar 76,48.
iii
Gejala stres yang dirasakan oleh keseluruhan contoh tergolong rendah dan jenis gejala stres yang lebih banyak dirasakan oleh contoh adalah gejala stres psikologis. Dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam hal tingkat stres contoh meskipun memiliki model pembelajaran yang berbeda (p>0,05). Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada strategi koping yang dilakukan oleh contoh (p>0,05). Sebagian besar contoh dalam penelitian ini memiliki strategi koping yang tergolong sedang yang artinya strategi koping yang dilakukan sudah cukup baik dan contoh diduga mampu mencegah emosi negatif yang dapat menguasai dirinya serta melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Jenis strategi koping yang lebih banyak digunakan oleh contoh adalah emotion focused coping. Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri maka semakin baik pula kecerdasan emosional contoh. Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres (p<0,01). Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin rendah tingkat stres contoh. Konsep diri juga memiliki hubungan yang positif dengan problem focused coping (p<0,01) dan emotion focused coping (p<0,05) yang artinya semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula strategi koping contoh, baik dalam hal penyelesaian masalah maupun pengelolaan emosi. Penelitian ini juga menunjukkan terdapatnya hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan gejala stres psikologis (p<0,05) dan hubungan yang positif dengan problem focused coping dan emotion focused coping (p<0,01). Hal ini berarti semakin baik kecerdasan emosional contoh maka dapat menurunkan tingkat stres dan meningkatkan strategi koping yang dilakukan. Akan tetapi, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat stres (reaksi fisik dan psikologis) dengan problem focused coping maupun emotion focused coping. Keterbatasan penelitian ini adalah dalam hal penarikan contoh. Pemilihan kelas pada kedua sekolah yang menjadi lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Hal ini dilakukan atas dasar perizinan dengan pihak sekolah yang bersangkutan. Selain itu, kelas XI IPA akselerasi yang merupakan satu-satunya kelas di sekolah menyebabkan peneliti hanya dapat menggunakan kelas tersebut sebagai contoh meskipun jumlah siswa di kelas tersebut secara keseluruhan adalah 26 orang. Hal ini juga menyebabkan tidak dapat dilakukan teknik simple random sampling untuk penarikan contoh di kelas akselerasi.
i
KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING REMAJA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DI SMA
RESTU DWI PRIHATINA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi bahwa Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
Restu Dwi Prihatina NIM I24070021
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
Judul
: Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA
Nama
: Restu Dwi Prihatina
NIM
: I24070021
Disetujui, Dosen Pembimbing
Ir.Melly Latifah, M.Si Pembimbing I
Irni Rahmayani Johan, SP., MM Pembimbing II
Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr.Ir.Hartoyo, M.Sc
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur juga penulis haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi motivator kehidupan bagi penulis. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang begitu besar kepada: 1. Ir. Melly Latifah, M.Si sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta masukan yang positif kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, dan juga memberikan nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan sehingga penulis memiliki semangat untuk terus maju. 2. Irni Rahmayani Johan SP, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan begitu banyak masukan, bimbingan, dan perbaikan yang positif sehingga dapat menyempurnakan penyelesaian skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta saran sehingga penulis lebih termotivasi dalam menjalankan studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4. Megawati Simanjuntak, SP, M.Si sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan semangat dan masukan demi penyempurnaan skripsi ini. 5. Dr.Ir.Dwi Hastuti, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan, perbaikan, dukungan, dan semangat yang luar biasa kepada penulis. 6. Orang tua yang tiada henti mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ayahanda tercinta Ade Santika, SP dan Ibunda Rohayati, S.Pd yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berprestasi. Kakak tersayang Adisty Pradita atas dukungan serta semangat yang tak henti mengalir. 7. Kepala Sekolah, Ibu Sri Hartini, Ibu Deceu, Ibu Elvita, Ibu Aam, Ibu Lin Marliani, Pak Tata, beserta pihak Kesiswaan SMA Negeri 3 Bogor dan SMA Negeri 8 Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. Pihak SMA Negeri 10 Bogor yang telah memberikan izin untuk melaksanakan uji coba kuesioner dan juga seluruh siswa-siswi yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner.
ii
8. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis menempuh studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. 9. Galih Indro Tanoyo dan keluarga atas doa, dukungan, dan perhatian yang begitu besar kepada penulis. 10. Teman-teman satu bimbingan, Nadia Nandana Lestari, Dinda Ayu Novariandhini, dan Herti Herniati atas kerjasama, perhatian, dukungan, dan semangat dalam menjalani setiap tahap penyelesaian skripsi ini bersama-sama dalam suka maupun duka. 11. Nadia Naomi, Cefti Lia Permatasari, Anita Saufika, Ruri Setianti, Restystika Dianeswari, Husfani A.Putri, Dini Aprilia, dan Agus Surachman atas persahabatan yang unik, perhatian, serta dukungan kepada penulis. 12. Elmanora, Mustika Dewanggi, dan teman-teman IKK 44 yang selalu memberikan warna setiap kali penulis menjajakan kaki di bangku kuliah dan atas kekompakan yang tiada henti. 13. Miss Medina Rachmawati, Miss Shelly Septiana, Miss Dwi Anindita, Miss Lia Widyanti, Ibu Rika, Pak Endang, Pak Deki, Miss Lia Nurjanah, dan Miss Anggy Nurmalasari atas dukungan, saran, dan berbagi pengalaman yang menyenangkan mengenai Labschool. 14. Ibrahim Febrizky dan Nanda Marifani Sani atas pundak yang selalu siap menampung air mata dan tangan lembut yang selalu menyambut saat berbagi suka maupun duka. 15. Kepada semua pihak yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ....................................................................................................v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………...vi PENDAHULUAN ...................................................................................................1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................. 4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8 Kegunaan Penelitian ............................................................................................ 8 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................9 Remaja ................................................................................................................. 9 Karakteristik Contoh ........................................................................................... 9 Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 10 Model Pembelajaran .......................................................................................... 11 Konsep Diri ....................................................................................................... 13 Kecerdasan Emosional ...................................................................................... 16 Stres ................................................................................................................... 19 Strategi Koping.................................................................................................. 20 KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................................23 METODE PENELITIAN .......................................................................................26 Disain, Tempat, dan Waktu ............................................................................... 26 Cara Pemilihan Contoh ..................................................................................... 26 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................................... 27 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................... 28 Definisi operasional ........................................................................................... 31 HASIL ....................................................................................................................33 Keadaan Umum Lokasi Penelitian .................................................................... 33 Karakteristik Contoh ......................................................................................... 35 Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 37 Konsep Diri ....................................................................................................... 42 Kecerdasan Emosional ...................................................................................... 43 Tingkat Stres ...................................................................................................... 46 Strategi Koping.................................................................................................. 46
iv
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga dengan Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Contoh ................................................................................................................ 48 Hubungan antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Stres dan Strategi Koping Contoh ..................................................................... 50 PEMBAHASAN.................................................................................................... 55 SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 64 Simpulan ............................................................................................................ 64 Saran .................................................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 67 LAMPIRAN .......................................................................................................... 70
v
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1 Jenis dan cara pengumpulan data……………………………………….. 28 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin……………………………… 35 3 Sebaran contoh berdasarkan usia………………………………….......... 36 4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran…………………………... 37 5 Sebaran usia orang tua contoh…………………………………………... 37 6 Sebaran pendidikan orang tua contoh…………………………………… 38 7 Sebaran pekerjaan orang tua contoh…………………………………….. 40 8 Sebaran pendapatan orang tua contoh…………………………………... 41 9 Sebaran besar keluarga contoh………………………………………….. 41 10 Sebaran konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran…........... 42 11 Sebaran kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran.……………………………………………………………. 45 12 Sebaran tingkat stres contoh pada berbagai model pembelajaran………………………………………………….……......... 46 13 Sebaran strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran……………………………………………………….......... 48 14 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan strategi koping yang digunakan……………………………………………………………….. 48 15 Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh........................................................................................................ 49 16 Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh........ 51 17 Hubungan antara konsep diri dengan tingkat stres contoh........................ 51 18 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus masalah contoh… 52 19 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus emosi contoh…... 53 20 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres contoh…... 53 21 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus masalah contoh.......................................................................................... 54 22 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus emosi contoh…………………………………………………………………… 54
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Kerangka pemikiran……………………………………….…………
25
2 Cara pemilihan contoh………….……………………………………
27
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri contoh………………………………………………. 2 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.. 3 Hasil uji korelasi antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh………………………………………... 4 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus masalah………….
71 72 73 74
5 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus emosi …………...
75
6 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik …………………………..
76
7 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikologis …………………….
77
8 Sebaran konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran………...
78
9 Sebaran kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran…………………………………………………………......
80
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur berdasarkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya dan hal ini juga merupakan kunci dalam mereformasi bangsa menjadi lebih baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari Human Development Index (HDI), Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara (Megawangi, Latifah, & Dina 2008). Sumber daya manusia dipengaruhi oleh kualitas sistem pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Melalui pendidikan yang holistik, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang holistik dan memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia tersebut juga perlu ditunjang oleh sistem pendidikan yang baik. Menurut Cury (2007), tugas pendidikan yang terpenting adalah mengubah manusia menjadi pemimpin bagi pikiran dan emosi dirinya sendiri. Megawangi, Latifah, dan Dina (2008) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia memiliki sistem yang mengacu pada sistem yang dipakai oleh Amerika Serikat. Sistem ini menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau diperuntukkan bagi mereka yang memiliki hasil akademik yang baik dengan ukuran IQ yang tinggi. Kenyataan ini dapat dilihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan hanya pada dimensi akademik siswa saja dan seringkali diukur dengan kemampuan logika matematika serta kemampuan abstraksi, seperti kemampuan bahasa, menghafal, atau ukuran IQ. Banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya terdapat potensi lain yang perlu dikembangkan seperti yang terdapat dalam teori Howard Gardner (1983) diacu dalam Armstrong (2002), yaitu mengenai kecerdasan majemuk. Kecerdasan seorang anak dengan anak lainnya berbeda-beda. Anak yang cenderung cerdas dalam satu bidang belum tentu cerdas pula di bidang lainnya. Begitupun dengan anak yang kurang cerdas dalam satu bidang, ia pasti memiliki kecerdasan tertentu di bidang lain. Setiap anak pasti memiliki keunikan. Mereka memiliki kekhasan dalam diri mereka masing-masing. Kecerdasan yang mereka miliki dipengaruhi bukan hanya oleh gen yang diturunkan oleh orang tua mereka,
2
melainkan juga dipengaruhi oleh suatu proses belajar dari lingkungan di sekitarnya serta stimulus-stimulus yang dapat meningkatkan kemampuannya. Anak yang cerdas sesungguhnya bukan saja dilihat dari aspek kognitif, melainkan juga kecerdasan emosionalnya, cara ia mengelola emosi saat menghadapi stres, serta kecerdasan lain di samping aspek kognitif. Goleman (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan masa depan anak. Kecerdasan intelektual dan emosi merupakan bagian yang integratif jiwa dan raga karena kecerdasan intelektual seseorang juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya. Misalnya saja hasil tes IQ yang juga ditentukan oleh beberapa kecerdasan emosi, seperti ketekunan dan motivasi. Emosi manusia berasal dari perasaan dalam lubuk hati, naluri yang tersembunyi, sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan mempengaruhi kecerdasan emosional untuk menyediakan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam mengenai diri sendiri dan orang lain. Menurut Goleman (2007), seorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu mengelola emosi serta dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan kekerasan. Selain itu, ia juga mampu berpikir positif dalam memecahkan suatu masalah. Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua akan mempengaruhi kecerdasan seorang anak (Goleman 2007). Hal ini disebabkan keluarga adalah tempat pertama dan utama seorang anak dalam mempelajari emosi dan akan mempengaruhi cara anak mengontrol emosinya kelak. Perkembangan intelektual anak akan sangat berkaitan dengan keadaan emosionalnya. Keberhasilan seorang anak di sekolah dipengaruhi oleh perasaan terhadap diri dan kemampuannya. Seorang anak yang memiliki gangguan emosi dan sosial akan berpengaruh pada prestasi belajar dan akan membuat anak membutuhkan banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan. Kecerdasan seorang anak juga akan dipengaruhi oleh konsep diri yang ia miliki. Cara ia mengelola perasaannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia mengenal konsep dirinya sendiri. Konsep diri itu pun akan terbentuk melalui perkembangan kecerdasan dan pengaruh dari lingkungan di sekitarnya.
3
Menurut Hurlock (1993), konsep diri seorang anak dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, antara lain peran orang tua, lingkungan sosial, serta proses belajar. Konsep diri merupakan suatu hasil belajar. Konsep diri seseorang mulai berkembang melalui proses belajar dan dapat didekati sejak lahir. Proses belajar ini terjadi setiap hari tanpa disadari. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pada masa remaja ini, seseorang mempertanyakan tentang pandangan orang lain terhadap dirinya sendiri dan pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri. Pembentukan konsep diri juga dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman positif atau menyenangkan maupun pengalaman negatif atau menyedihkan. Lingkungan di sekitar memiliki porsi untuk mempengaruhi konsep diri seseorang. Konsep diri seorang individu bergantung pula pada tempat individu tersebut berada. Hurlock (1993) mengatakan bahwa konsep diri seseorang berkembang secara hierarkis dan hal yang pertama terbentuk adalah melalui hasil belajar di rumah serta pengalaman interaksinya dengan anggota keluarga lainnya yang disebut dengan konsep diri primer. Interaksi yang terjadi antara anak dengan lingkungannya, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan di luar keduanya tidak terlepas dari suatu masalah. Masalah-masalah dalam diri anak tersebut dapat menyebabkan terjadinya stres. Masalah di sekolah misalnya dapat berupa ketertinggalan dalam belajar, masalah dalam hubungan sosial dengan temanteman, rendahnya prestasi akademik, rendahnya rasa percaya diri, dan lain sebagainya. Stres pada anak dapat juga dipengaruhi oleh kondisi anak di luar sekolah, misalnya keadaan keluarga di rumah atau lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, stres pada anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Keduanya berperan dan berinteraksi dalam proses penilaian hingga terjadinya stres. Menurut Arianti (2002) diacu dalam Astuti (2007), tingkat stres seseorang dipengaruhi juga oleh sumber stres, sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, sumber koping, dan juga persepsi individu terhadap stres. Stres yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan emosi yang menyakitkan seperti kecemasan atau depresi. Cara seseorang memandang dan mengatasi stres yang ia hadapi akan mempengaruhi proses penyesuaian diri yang ia lakukan dalam kehidupannya.
4
Perumusan Masalah Permasalahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya mengenai kemerosotan ekonomi atau kemiskinan. Ada hal lain yang juga menjadi tantangan besar yang perlu dihadapi, yaitu masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu hal yang mempengaruhi masalah ini adalah kualitas sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu aspek penentu keberhasilan suatu bangsa. Melalui pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan serta belajar bagaimana mengembangkan dirinya. Pendidikan juga mengajarkan nilai-nilai baik dan buruk sehingga memberikan pengertian pada individu mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pendidikan identik dengan fokus pada aspek kognitif seorang individu. Padahal, pendidikan itu sendiri mencakup berbagai aspek di luar aspek kognitif. Banyak aspek lain yang dipelajari dan berkembang melalui suatu proses pendidikan yang diterapkan. Saat ini masih banyak orang yang berpikir bahwa kecerdasan kognitif merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kesuksesan seseorang. Pandangan akan hal ini juga banyak diterapkan dalam berbagai proses pembelajaran di sekolah. Pengajar lebih menekankan pada daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat anak tanpa mempertimbangkan perkembangan emosi siswa yang mengikutinya. Anak hanya diberikan materi untuk kemudian dihafal
dalam
waktu
tertentu
dan
tidak
diberikan
kesempatan
untuk
mengembangkan hal lain di luar aspek kognitif. Saat aspek kognitif tersebut diperoleh anak dengan hasil yang tidak sesuai dengan standar, anak dinilai kurang cerdas. Hal tersebut tidak didukung oleh perkembangan kecerdasan anak yang lain yang mungkin dapat jauh lebih berkembang dibandingkan sekedar satu jenis kecerdasan saja, yaitu kecerdasan kognitifnya. Menurut Long (1978) perkembangan mental dan kognitif anak dalam rentang usia 13-19 tahun relatif lebih matang dibandingkan dengan peringkat sekolahnya terdahulu. Mereka telah memiliki asas pendidikan dan merupakan proses perluasan konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perkembangan yang mereka alami pun akan semakin banyak dan lebih rumit dari sebelumnya
5
dan mereka perlu menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut sebelum menuju perkembangan selanjutnya. Menurut Megawangi, Latifah, dan Farahdina (2008), pada kenyataannya energi yang dimiliki mayoritas siswa Indonesia sudah habis setelah melewati jenjang pendidikan SD sehingga mereka tidak siap untuk mengikuti pelajaran pada jenjang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh metode yang digunakan tidaklah sesuai dengan teori perkembangan anak. Akibatnya, terciptalah generasigenerasi yang tidak percaya diri dan menciptakan sumber daya manusia Indonesia berada pada urutan terbawah, tidak mampu bekerja, tidak terampil, serta tidak berkarakter. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh tujuan pendidikan di Indonesia yang lebih mengacu pada pembentukan anak yang pandai secara kognitif. Pendekatan belajar yang lebih berorientasi pada aspek kognitif akan dapat mengubah pandangan siswa yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai yang tinggi. Berbagai hal mereka lakukan dengan cara yang tidak jujur untuk mengejar nilai. Melalui kenyataan ini, dapat dilihat bahwa siswa belum bisa mengontrol kecerdasan emosi mereka dengan baik. Mereka hanya terfokus pada bagaimana pencapaian sebuah prestasi akademik atau dari aspek kognitif saja. Ketidakseimbangan ini pun mengarah pada kesadaran siswa terhadap konsep diri yang mereka miliki. Saat siswa memiliki konsep diri yang baik, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak jujur, justru mereka akan berusaha mencapai keseimbangan antara kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional yang mereka miliki untuk meraih sebuah keberhasilan. Sekolah merupakan salah satu sarana seorang anak belajar, bukan hanya dalam hal mendapat ilmu melainkan juga melatih emosi dan ketrampilan sosialnya. Berbagai kurikulum dan metode pembelajaran pun mulai diterapkan di sekolah. Dimulai dengan adanya kelas nasional (reguler) atau yang merupakan kelas yang tergolong umum, baik dalam hal program maupun lingkungan sekitarnya. Kini semakin banyak inovasi lain di bidang pendidikan. Misalnya saja dengan adanya berbagai kurikulum atau program tertentu yang berbeda dengan kelas reguler, seperti kelas akselerasi dan kelas RSBI. Kelas akselerasi diciptakan dengan tujuan mempercepat proses belajar siswa sehingga siswa lebih cepat lulus
6
dibandingkan dengan anak seusianya. Kelas ini juga merupakan kelas dengan siswa-siswi unggulan sehingga dipersiapkan langsung untuk memperoleh materi dengan sistem yang berbeda. Selain itu, ada pula program kelas RSBI. Kelas ini menggunakan kurikulum yang melakukan inovasi di bidang pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran. Kelas ini juga menyediakan fasilitas yang jauh lebih lengkap, sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan perkembangan teknologi, serta mulai menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (bilingual) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar. Tujuannya adalah agar dapat menciptakan lulusan yang memiliki daya sains yang tinggi. Munculnya inovasi dalam bidang pendidikan ini ternyata tidak serta merta memberikan keuntungan bagi berbagai pihak. Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan umum yang terjadi dalam penyelenggaraan kelas akselerasi. Program akselerasi sebenarnya terdiri atas tiga layanan, yaitu enrichment, extention, dan acceleration, namun pelaksanaan di kebanyakan sekolah lebih identik dengan layanan acceleration (percepatan) saja. Menurut Kurniawan (2010), pembentukan kelas akselerasi menyebabkan pihak sekolah memerlukan konsultan yang profesional dan terpercaya, serta pengajar yang memiliki ketrampilan khusus untuk mengajar di kelas akselerasi. Selain itu, pihak sekolah membutuhkan dana yang cukup untuk menutupi pembiayan di awal tahun. Kurniawan (2010) juga menyatakan bahwa jadwal yang padat pada siswa kelas akselerasi menyebabkan mereka kehilangan masa bermainnya dan secara tidak sengaja kelas ini pun menjadi kelas yang eksklusif. Hal ini diakibatkan oleh pelayanan dan perlakuan yang istimewa dari pihak sekolah. Di lingkungan sekolah, siswa kelas akselerasi lebih tertutup dan kurang aktif sehingga cenderung memiliki resiko yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak (Kamdi 2004 diacu dalam Kurniawan 2010). Sementara itu, munculnya kelas akselerasi juga menjadi gengsi tersendiri bagi sebagian masyarakat, misalnya dalam hal perekrutan siswa. Tidak sedikit orang tua yang cenderung memaksakan anaknya agar dapat masuk ke kelas akselerasi. Menurut Darmaningtyas (2004) diacu dalam Kurniawan (2010), kelas akselerasi memiliki beberapa kelemahan, di antaranya kelas tersebut hanya mengukur kecerdasan kognitif dan ditetapkan berdasarkan IQ, serta menimbulkan
7
kecemburuan bagi kelas reguler. Kurikulum yang diterapkan di kelas akselerasi pun sama dengan kelas reguler padahal dengan IQ yang tinggi, siswa kelas akselerasi seharusnya mendapatkan kurikulum yang lebih luas dan mendalam. Aktivitas yang dialami juga menjadi salah satu pemicu stres siswa. Dalam waktu yang singkat di sekolah dan berbagai tugas yang diberikan akan menjadi tekanan bagi siswa itu sendiri. Siswa yang dapat beradaptasi dengan baik akan mampu menyelesaikan masalahnya, sedangkan siswa yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan belajarnya, ia akan mengalami stres yang berkepanjangan. Seseorang seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup serius ketika berhadapan dengan penyebab stres yang cukup serius pula. Mereka akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis. Akibatnya, saat mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang kompleks, hasil yang diperoleh tidak akan menjadi optimal dan bahkan cenderung memburuk. Stres yang dirasakan juga bergantung pada besarnya gambaran individu tentang dirinya (konsep diri) serta cara mengelola perasaan atau emosi yang dirasakan. Pengaruh faktor-faktor tersebut juga merupakan tugas orang tua, guru, pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian terhadap dampak dari adanya kelas unggulan seperti akselerasi dan kelas RSBI juga perbedaannya dengan kelas reguler. Ini dilakukan agar dapat tercipta suasana yang mendukung proses belajar yang dapat membentuk konsep diri yang positif dalam diri siswa, meningkatkan kecerdasan emosional, menurunkan tingkat stres akibat tekanan kognitif atau lingkungannya, dan menjelaskan strategi koping yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas belajar. Sesuai dengan pemaparan diatas, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran. 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.
8
3. Bagaimana hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Tujuan Khusus 1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh. 3. Menganalisis hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh. 4. Menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak terkait. Bagi orang tua dan pendidik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk tidak hanya memperhatikan kecerdasan kognitif anak tetapi juga lebih memperhatikan perkembangan emosi anak. Hal ini disebabkan perkembangan emosi merupakan pendukung pembentukan konsep diri anak. Bagi Departemen Pendidikan Nasional dan juga para pendidik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengembangkan aspek kognitif dan emosi dalam upaya pembentukan konsep diri anak melalui model pembelajaran yang lebih proporsional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keilmuan perkembangan dan pendidikan anak dan juga dapat menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.
9
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport (1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki falsafah hidup tertentu. Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti dari
tugas
perkembangan
seseorang
dalam
periode
remaja
adalah
memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara temanteman sekelas. Karakteristik Remaja Jenis Kelamin Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya
10
daripada laki-laki. Perempuan juga ternyata lebih peka dan memiliki empati yang tinggi, sedangkan laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mengatasi stres. Usia Santrock (2003) membagi usia remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Bertambahnya usia anak membuat anak memiliki ruang lingkup yang semakin luas terjangkau. Pada masa remaja juga lah pengaruh teman sebaya dan lingkungan di luar diri anak semakin kuat, sedangkan pengaruh lingkungan keluarga semakin berkurang. Urutan Kelahiran Urutan anak ketika dilahirkan terdiri atas anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adikadiknya. Orang tua juga menjadi lebih mengekang atau menetapkan batas-batas tingkah laku anak. Hal tersebut tidak jarang membuat anak sulung cenderung mengalami stres bila tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan. Menurut Harlock (1980) diacu dalam Yulianti (2010), kedudukan seseorang dalam keluarga akan sangat mempengaruhinya menghadapi masyarakat dan dunia. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberikan cap yang tidak dapat dihapuskan dari gaya hidup seseorang. Karakteristik Keluarga Usia Orangtua Berdasarkan Papalia dan Olds (2009), usia ibu dibagi menjadi tiga kategori, yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), usia dapat mempengaruhi cara memperlakukan dan mendidik anak. Perlakuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya haruslah disesuaikan dengan kematangan anak agar anak lebih siap menerima hal apa saja yang ingin
11
ditanamkan oleh orang tua. Dengan begitu, hal tersebut akan tetap tersimpan dan menjadi bagian kepribadian anak untuk kemudian membentuk konsep dirinya. Tingkat Pendidikan Orangtua Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001), pola komunikasi antar keluarga secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh tingkat pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang, dan juga persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2002). Pekerjaan Orangtua Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya. Pendapatan Orangtua Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai hasil dari pekerjaan yang dilakukan (Sumarwan 2002). Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan memiliki kegiatan keluarga yang kurang terorganisasi dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi (Hurlock 1980). Besar Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dalam keadaan saling ketergantungan. Model Pembelajaran Berbagai upaya telah dilakukan dalam dunia pendidikan sebagai proses untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Munculnya inovasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi pelaksana pendidikan itu sendiri. Salah satu bentuk inovasi dalam dunia pendidikan adalah munculnya model-model pembelajaran dengan berbagai program unggulan. Model-model ini dirancang dan
12
disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa yang memasuki kelas tersebut. Beberapa program yang telah diselenggarakan oleh sekolah, yaitu dengan adanya program kelas unggulan, seperti kelas Akselerasi dan membentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kelas Akselerasi Program akselerasi merupakan proses percepatan belajar yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998. Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi adalah Pressy. Pada tahun 1949, Pressy mengemukakan bahwa akselerasi adalah suatu kemajuan dalam bidang pendidikan dengan laju yang lebih cepat daripada yang berlaku pada umumnya. Semiawan (2000) diacu dalam Gunarsa (2006) mengatakan bahwa terdapat dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua akselerasi sebagai suatu kurikulum atau disebut sebagai program akselerasi. Dengan kata lain, akselerasi juga dikatakan sebagai suatu proses memulai tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari yang biasanya. Program ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa di setiap jenjang sekolah. Program ini dilakukan dengan mempercepat waktu sekolah melalui pengurangan waktu selama satu tahun dari biasanya. Menurut Southern dan Jones (1991) dalam Gunarsa (2006), terdapat dua kriteria untuk melakukan kemajuan dalam bidang pendidikan, yaitu prestasi yang telah ada dan kemampuan untuk maju dengan lebih cepat daripada norma yang telah ada. Terdapat dugaan juga bahwa seorang siswa yang superior akan mampu melaju dengan lebih cepat dibandingkan teman sebayanya dalam menjalani program pengajaran yang standar. Para ahli juga menyatakan bahwa akselerasi melaju dengan lebih cepat dari segi akademis yang mencakup penawaran kurikulum standar kepada siswa yang berusia lebih muda dan berbakat sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan sesuai dengan bakat dan potensi siswa. Departemen Pendidikan (2002) merumuskan akselerasi sebagai pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
13
Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf Internasional. Tujuan diadakannya RSBI ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional. Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global. Seorang siswa lebih berani mencoba hal-hal baru sehingga akan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di dunia Internasional. Salah satu standar RSBI adalah pendidik atau guru yang mengajar harus telah melalui jenjang pendidikan S2 atau S3 dengan kemampuan berbahasa Inggris yang aktif, secara lisan maupun tulisan. Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 yang terdiri atas tiga pasal, yaitu menurut Pasal 152 Ayat 1 yang berisi satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan yang menjadi taraf Internasional melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan khusus sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang diatur oleh menteri. Selain itu juga diatur dalam Pasal 152 Ayat 2, yaitu Pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten kota atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf Internasional dengan persyaratan harus memenuhi standar Nasional Pendidikan (SNP) sejak sekolah/madrasah berdiri dan juga pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah berdiri. Konsep Diri Menurut Hurlock 1993, konsep diri diartikan sebagai gambaran seorang individu tentang dirinya secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis. Citra fisik ini terbentuk pertama kali dan berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, serta kesesuaian dengan jenis kelaminnya juga pentingnya beberapa bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri anak di mata orang lain. Citra psikologis terbentuk melalui pikiran, perasaan, dan emosi. Citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi
14
penyesuaian terhadap kehidupan, misalnya keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, berbagai aspirasi, dan kemampuannya. Seiring dengan bertambahnya usia seorang anak, konsep diri fisik dan psikologis ini cenderung semakin menyatu dan pada akhirnya seorang anak akan menganggap diri mereka sebagai individu tunggal. Dimensi Konsep Diri Konsep diri bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, setiap anak akan menerima sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan cara untuk menilai dan memandang diri seorang anak itu jika diberikan oleh orang-orang yang penting dalam hidup anak, seperti orang tua, guru, dan juga teman sebaya. Dengan kata lain, konsep diri seseorang terbentuk dari umpan balik individu lainnya. Bila orang-orang di sekitar anak menyenangi mereka, maka akan terbentuk pula konsep diri positif dalam diri anak. Konsep diri juga memiliki dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi internal, antara lain: 1.
Pengetahuan tentang diri sendiri (identitas diri), dimensi ini merupakan suatu faktor dasar yang akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial tertentu. Setiap individu juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial lain yang akan menambah julukan dirinya dan memberikan sejumlah informasi lain yang akan masuk dalam potret mental orang tersebut.
2.
Harapan terhadap diri sendiri (tingkah laku) Diri ideal setiap individu tidaklah sama. Harapan dan tujuan seseorang akan membangkitkan kekuatan yang mendorongnya menuju masa depan dan memandu kegiatan seumur hidupnya.
3.
Evaluasi diri (kepuasan diri) Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut dengan self esteem, yang akan menentukan seberapa jauh seseorang akan menyukainya. Semakin jauh perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang
15
tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga diri yang rendah dan sebaliknya. Hal yang termasuk ke dalam dimensi eksternal konsep diri, antara lain diri fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri, dan juga gerak motoriknya; diri etik moral, persepsi seseorang tentang dirinya sendiri yang ditinjau dari standar pertimbangan etik moral; diri personal, perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari fisik dan hubungannya dengan orang lain, juga sejauh mana individu merasa sebagai seorang pribadi; diri keluarga, perasaan dan harga diri seseorang sebagai bagian dari anggota keluarga, teman-teman sebaya, juga sejauh mana dirinya merasa sebagai anggota kelompok tersebut; serta diri sosial, penilaian seseorang tentang dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain dalam suatu lingkungan yang lebih luas. Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsep diri seorang anak, antara lain peran orang tua, peran faktor sosial, dan faktor belajar. Keluarga, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara merupakan orang pertama yang menanggapi perilaku anak sehingga akan terbentuk konsep diri anak. Semua bentuk sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menciptakan penilaian positif dalam diri anak. Lain halnya dengan cemoohan dan juga hardikan akan menyebabkan penilaian negatif dalam diri anak. Jika seseorang diterima, dihormati, dan disenangi oleh orang lain karena keadaan dirinya, maka mereka akan menghormati dan menyenangi diri mereka sendiri. Sebaliknya, saat seseorang seringkali diremehkan, disalahkan, dan ditolak, maka ia tidak akan menyenangi diri mereka sendiri. Suatu kajian menyatakan bahwa kondisi keluarga akan lebih berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak dibandingkan kondisi sosialnya. Kondisi keluarga yang kurang baik akan menciptakan konsep diri yang rendah pada anak. Kondisi keluarga yang kurang baik ini misalnya tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu, orang tua yang menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah dan anak, serta kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap anak mereka. Selain itu, tuntutan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi rendahnya konsep diri anak tersebut.
16
Konsep diri tinggi akan terbentuk dalam diri anak jika terdapat kondisi keluarga yang penuh dengan integritas dan tenggang rasa. Dengan begitu, anak akan memandang orang tua sebagai seorang figur yang berhasil dan dapat dipercaya. Anak juga akan merasa mendapatkan dukungan yang besar dari kedua orang tuanya saat menghadapi suatu masalah sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tegas dan efektif dalam memecahkan masalah, rendahnya kecemasan dalam diri mereka, lebih positif serta realistis dalam memandang diri dan lingkungannya. Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosi Menurut Santrock (2007), emosi adalah perasaan yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting olehnya. Emosi dapat dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa lalu. Menurut Salovey dan Mayer dalam Hariwijaya (2005), kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan orang lain serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti keluarga, sekolah, lingkungan bermain, dan lain sebagainya, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosional. Goleman (2007) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam keadaan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan emosional remaja juga akan mengarahkan remaja untuk membangun potensi dirinya. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima dimensi utama, yaitu: Mengenali emosi diri Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri, memiliki tolak ukur
17
realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran emosi menurut Goleman (2007) juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif namun tetap realistis. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Mengelola emosi Menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Menurut Gottman dan DeClaire (2007), pengelolaan emosi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menanggapi emosi dan pulih dari keadaan stres. Mengelola emosi juga merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan, amarah, dan kesedihan melalui kemampuan untuk menyadari sesuatu yang ada di balik sebuah perasaan. Memotivasi diri sendiri Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut seseorang menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri. Kemampuan memotivasi diri memiliki ciri-ciri seperti memiliki banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi ketika menghadapi masalah yang sulit, serta memiliki keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi suatu hal yang mudah diselesaikan (Goleman 2007). Shapiro (1998) menyatakan bahwa orang yang termotivasi memiliki keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan. Selain itu, motivasi diri juga dapat membuat seseorang bekerja keras untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan sehingga tercapai keberhasilan dan kepuasan diri.
18
Mengenali emosi orang lain (empati) Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki kemampuan empati akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan dapat lebih mendengarkan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal akan lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Seorang ahli psikologi juga menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seni membina hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman 2007). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Seseorang dapat berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orangorang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2007). Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Keluarga adalah tempat pertama seseorang dalam mempelajari emosi, menentukan kehidupan emosi, dan juga pembentukan kepribadian seseorang. Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional lebih utama dibandingkan kecerdasan kognitif. Apabila seseorang mengalami gangguan emosi, hal tersebut akan menyebabkan kesulitan untuk berpikir jernih, mengingat, terganggunya konsentrasi belajar, dan kapasitas intelektualnya. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai prestasi yang baik pula, lebih original, lebih ulet, juga lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi. Anak ini juga akan mempunyai penyesuaian sosial yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.
19
Stres Stres merupakan gejala penyakit yang berkaitan dengan kemajuan yang pesat dan perubahan yang menuntut seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan dengan kecepatan yang sama pesatnya. Usaha, kesulitan, kesusahan, dan kegagalan dalam mengikuti kemajuan dan perubahan dapat menimbulkan berbagai keluhan. Menurut McElroy dan Townsend (1985), stres merupakan proses yang terjadi saat seseorang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang jarang dialaminya. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut disebut stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa yang dialami disebut dengan respons stres. Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988) membagi sumber stres ke dalam dua tipe berdasarkan sifatnya, yaitu sumber stres bersifat fisik dan sumber stres yang bersifat psikososial. Sumber stres fisik merupakan stres biologis yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan emosi. Berbeda dengan stres psikososial, yaitu stres yang didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres. Stres psikologis ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain, krisis, frustasi, konflik, dan tekanan. Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007) faktor-faktor yang berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor-faktor tersebut, yaitu: 1. Faktor Internal (individual), seperti rasa percaya diri, motivasi, keyakinan individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan beradaptasi. 2. Faktor Eksternal (lingkungan) a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peran dan tanggung jawab yang berlebihan, rutinitas, dan juga tuntutan pekerjaan. b. Faktor non pekerjaan, seperti keluarga, teman, keuangan, hobi, kegiatan sosial, kondisi fisik, lingkungan fisik, dan lain-lain. c. Perubahan dalam kehidupan, seperti kematian, menikah, dan mengubah kebiasaan.
20
Reaksi terhadap stres Reaksi terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu reaksi fisik dan reaksi psikologis. Reaksi fisik berupa bagian tubuh yang bereaksi terhadap stresor dengan memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang dihayati. Jika ancaman yang muncul dapat diatasi dengan segera, respon darurat tersebut akan menghilang dan keadaan fisik individu akan kembali normal. Namun, jika kondisi stres terus menerus terjadi, maka akan muncul respon internal yang lain pada saat individu berusaha untuk beradaptasi dengan stresor kronis. Respon individu secara fisik ini ditandai dengan respon melawan atau melarikan diri karena kondisi ini memerlukan energi atau aksi segera. Akan tetapi, ternyata respon ini sangat tidak adaptif dalam menghadapi banyak sumber stres dalam kehidupan yang cukup modern. Menurut Dienstbier (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), stres intermiten (pemaparan kadangkadang dengan periode pemulihan) dapat memberikan manfaat dalam bentuk kekuatan fisiologis dan akan menyebabkan toleransi stres selanjutnya. Kondisi
stres
dapat
menghasilkan reaksi
emosional
mulai
dari
kegembiraan sampai dengan emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan berpindah-pindah di antara emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan individu dalam menyelesaikannya. Hal ini terkait dengan reaksi psikologis terhadap stres. Emosi-emosi yang dihasilkan antara lain kecemasan, kemarahan, apati, dan gangguan kognitif. Strategi Koping Emosi dan juga berbagai reaksi yang ditimbulkannya (fisik dan psikologis) akan menimbulkan ketidaknyamanan dan hal ini akan memotivasi individu yang mengalami stres untuk melakukan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Koping atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan stres. Upaya koping biasanya dilakukan dengan mengenali dan menyadari sumber-sumber stres atau stresor. Tujuannya adalah agar sikap-sikap negatif seperti memberontak terhadap keadaan, apatis, dan mudah marah dapat dihindari karena sikap-sikap tersebut akan menimbulkan masalah baru (Handayani 2000).
21
Koping itu sendiri memiliki dua bentuk utama. Individu dapat lebih fokus pada masalah atau situasi spesifik yang terjadi sambil mencoba menemukan cara untuk mengubah atau menghindarinya di kemudian hari. Hal ini disebut dengan strategi terfokus masalah. Individu juga dapat berfokus untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi sendiri tidak dapat diubah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), proses yang kedua ini dinamakan strategi terfokus emosi. Kedua jenis koping ini mencakup beberapa hal, seperti perencanaan dan pengorganisasian waktu, pengembangan rasa humor, pencarian lingkungan yang memberikan kenyamanan, dan juga pengembangan tingkah laku positif. Strategi Terfokus Masalah (Problem-focused Coping) Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), strategi yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah misalnya dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif yang berkaitan dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu di antaranya, dan kemudian mengimplementasikan alternatif yang telah dipilih. Strategi terfokus masalah juga dapat diarahkan ke dalam orang yang dapat mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungan. Contoh dari strategi ini antara lain mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif, dan mempelajari kecakapan baru. Kecakapan individu dalam menerapkan strategi ini tergantung dari pengalaman dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri. Menurut Nezu, Nezu, dan Peri (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), terapi yang mengajarkan orang depresi untuk menggunakan strategi terfokus masalah akan lebih efektif dalam membantu mengatasi depresinya dan dapat beradaptasi secara lebih adaptif terhadap stresor. Menurut Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998), strategi berfokus masalah terdiri atas empat dimensi, yaitu perilaku aktif mengatasi stres, perencanaan, penekanan kegiatan lain, dan pengendalian perilaku dalam mengatasi stres. Strategi Terfokus Emosi (Emotion-focused Coping) Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat
22
menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Strategi ini juga digunakan pada saat terdapat masalah yang tidak dapat dikendalikan. Menurut Moos (1988) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), sebagian peneliti membagi cara mengatasi emosi negatif menjadi dua, yaitu strategi perilaku dan strategi kognitif. Strategi perilaku dilakukan dengan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran dari sumber masalah, menggunakan alkohol atau obat, menyalurkan kemarahan, atau mencari dukungan emosional dari teman. Strategi kognitif dilakukan dengan cara menyingkirkan sementara pikiran tentang masalah yang dihadapi dan menurunkan ancaman dengan mengubah makna situasi. Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998) mengklasifikasikan strategi terfokus emosi ke dalam lima dimensi, yaitu mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri, penyangkalan (denial), penerimaan, dan berpaling pada agama. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian mengenai konsep diri yang dikemukakan Hadley (2008) dalam Rahmaisya (2010) menyatakan bahwa konsep diri remaja bersifat dinamis, kausal, dan rumit. Suatu masalah dan kesulitan dapat menurunkan konsep diri dan konsep diri yang rendah pun dapat menimbulkan suatu masalah. Dalam hal kecerdasan emosional, penelitian Saputri (2010) menyatakan bahwa gaya pengasuhan orang tua berhubungan negatif dengan kecerdasan emosional. Hal ini berarti orang tua yang cenderung menerapkan gaya pengasuhan mengabaikan akan membuat anak memiliki motivasi dan kecerdasan emosional yang kurang baik. Selain itu, kepribadian seseorang juga berpengaruh signifikan terhadap tingkat stres yang dirasakan (Muharrifah 2009). Schneider (1964) dalam Helmi (2002) menyatakan bahwa bentuk penyesuaian diri seorang individu terhadap hal yang dialami akan berbeda pada setiap tahapan perkembangannya. Karakteristik individu juga berhubungan dengan perkembangan kognitif, emosional, dan psikososial yang dapat mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental seseorang.
KERANGKA PEMIKIRAN Kecerdasan seorang manusia terbagi ke dalam tujuh macam, yaitu kecerdasan spasial, musikal, linguistik, logika-matematik, kinestetik-jasmani atau fisik, intrapersonal, dan interpersonal. Setiap anak memiliki ciri khas dan potensi kecerdasan yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini bukan hanya bergantung pada sifat bawaan seorang anak, melainkan dari suatu proses belajar. Hal lain yang membedakan kecerdasan anak yang satu dengan yang lain adalah dukungan dari lingkungannya. Lingkungan keluarga menjadi salah satu pendukung dalam perkembangan kecerdasan seorang anak. Saat menginjak usia remaja, anak cenderung ingin menemukan jati diri mereka. Rasa ingin tahu yang jauh lebih tinggi membuat anak memiliki perkembangan yang lebih pesat dengan dukungan perkembangan sebelumnya. Konsep diri mulai terbentuk sebagai hasil belajar dari lingkungan yang ia interpretasikan ke dalam dirinya. Seorang anak akan belajar dari pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh, baik di rumah maupun sekolah. Lingkungan keluarga dan sekolah akan memberikan gambaran tentang diri anak, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Di dalam lingkungan inilah kemampuan anak dalam membina hubungan dan beradaptasi akan teruji. Pada kenyataannya, seorang anak dikatakan cerdas jika memiliki hasil belajar yang tinggi dalam aspek kognitif. Padahal anak yang cenderung kurang cerdas dalam aspek kognitif, anak tersebut memiliki kecerdasan dalam aspek lainnya. Keberhasilan seorang anak bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitifnya, melainkan kecerdasan emosional anak tersebut. Akan tetapi, pengertian mengenai hal ini sangat sulit untuk diterima oleh para orang tua atau guru di sekolah. Orang tua cenderung menuntut anak untuk memiliki prestasi yang tinggi hanya dalam bidang akademik. Tuntutan dan tekanan yang seringkali anak terima akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologisnya. Keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat membuat anak merasa stres bahkan merasa dirinya tidak berharga. Seorang anak yang memiliki kemampuan beradaptasi yang baik dengan masalahnya akan terhindar dari stres yang berkepanjangan. Berbeda dengan anak yang memiliki penghargaan yang rendah terhadap dirinya dan kurang mampu
24
mengelola emosi, mereka cenderung stres bahkan depresi menghadapi masalahnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Penelitian ini ingin melihat keterkaitan antara stres anak dalam model pembelajaran yang berbeda. Tingkat stres ini dipengaruhi juga oleh seberapa besar penghargaan anak terhadap dirinya, mengelola perasaan atau emosinya, serta beradaptasi dengan aktivitas dan lingkungannya. Kerangka pemikiran yang menunjukkan hubungan antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA disajikan pada Gambar 1.
25
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik Remaja Jenis kelamin Usia Urutan anak Karakteristik Keluarga Usia Orang tua Pendidikan Pekerjaan ayah/ibu Pendapatan Besar keluarga Karakteristik Sekolah Model Pembelajaran (lingkungan sekolah, metode, dan kurikulum)
Konsep Diri Dimensi internal (identitas diri, tingkah laku, dan kepuasan diri) Dimensi eksternal (diri fisik, etik moral, diri personal, diri keluarga, dan diri sosial)
Kecerdasan Emosional Anak Kesadaran emosi diri Pengelolaan emosi diri Kemampuan memotivasi diri Kemampuan empati Ketrampilan sosial
Stres Anak Reaksi Fisik Reaksi Psikologis
Strategi koping Problem Focused Coping Emotion Focused Coping
25
Gambar 1 Hubungan antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping pada berbagai model pembelajaran
METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Pemilihan tempat dengan berbagai model pembelajaran yang digunakan (akselerasi, RSBI, dan reguler) dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Pemilihan kelas akselerasi didasarkan pada pertimbangan bahwa SMA Negeri 3 Bogor merupakan SMA Negeri yang pertama kali mencanangkan program kelas Akselerasi di Kota Bogor. Dalam menentukan kelas RSBI didasarkan pada pertimbangan bahwa kelas RSBI SMA Negeri 3 Bogor memiliki jenis lingkungan yang sama dengan kelas akselerasi yang juga diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, untuk menentukan kelas reguler pada SMA Negeri 8 Bogor dipilih berdasarkan perbedaan karakteristik sekolah dengan SMA Negeri 3 Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan April hingga Mei 2011. Cara Pemilihan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 8 Bogor yang tergolong ke dalam kategori remaja. Jumlah contoh yang diambil adalah 26 contoh yang merupakan siswa akselerasi, 30 contoh siswa kelas RSBI, dan 30 contoh yang merupakan siswa reguler pada kelas XI IPA. Pemilihan kelas XI ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelas tersebut telah memiliki pengalaman dalam hal program yang diterapkan di sekolah yang bersangkutan dan tidak disibukkan dengan persiapan Ujian Nasional. Total contoh adalah 86 contoh. Pengambilan contoh tersebut terdiri atas siswa yang termasuk ke dalam kelas akselerasi, kelas RSBI, dan kelas reguler. Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan ketiga kelas contoh berdasarkan program pembelajaran yang berbeda dalam hal konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.
27
Kota Bogor
SMA Negeri 3 Bogor
Purposive
SMA Negeri 8 Bogor Purposive
Akselerasi (1 kelas)
RSBI (6 kelas)
Reguler (5 kelas)
Purposive
Kelas XI IPA (1 kelas=26 siswa)
Kelas XI IPA (1 kelas=32 siswa)
Kelas XI IPA (1 Pkelas=39 siswa)
Purposive
n=30
n=30
Purposive
n=26
Gambar 2 Kerangka contoh penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari contoh dan dikumpulkan dengan alat bantu berupa kuesioner. Data primer terdiri atas (1) Karakteristik contoh meliputi jenis kelamin, usia, dan urutan anak, (2) Karakteristik keluarga meliputi usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga, (3) Konsep diri contoh, (4) Kecerdasan emosional contoh, (5) Stres yang dialami contoh, serta (6) Strategi koping contoh dalam menghadapi stres yang meliputi problem focused coping dan emotion focused coping. Data sekunder yang digunakan adalah data yang diperoleh dari sekolah yang bersangkutan, yaitu mengenai karakteristik sekolah.
28
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis data Primer
Peubah Karakteristik contoh Usia Jenis kelamin Urutan kelahiran Karakteristik keluarga Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besar Keluarga Konsep diri contoh Dimensi internal Dimensi eksternal Kecerdasan emosional contoh Kesadaran emosi diri Pengelolaan emosi diri Kemampuan memotivasi diri Kemampuan empati Seni membina hubungan
Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Sekunder
Tingkat stres contoh Reaksi fisik Reaksi psikologis Strategi koping Problem Focused Coping Emotion Focused Coping Karakteristik sekolah Model Pembelajaran (lingkungan, metode belajar, dan kurikulum)
Alat dan cara pengukuran
Skala data
kuesioner
Rasio Nominal Ordinal
kuesioner
kuesioner
Ordinal Ordinal
kuesioner
Rasio Ordinal Nominal Rasio Ordinal
Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
kuesioner
Ordinal Ordinal
kuesioner
Ordinal Ordinal
Data sekolah
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning, dan analisis data. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan program SPSS 16.0 for windows dan Microsoft Excel 2007. Kontrol kualitas data dilakukan dengan uji kuesioner, uji realibilitas, dan uji validitas untuk alat ukur konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping dengan metode Cronbach’s Alpha.
29
Pada kuesioner terdapat data mengenai karakteristik contoh, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh. Pengolahan data yang dilakukan pada variabel karakteristik contoh terdiri atas jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran. Jenis kelamin dibedakan menjadi (1) laki-laki, (2) perempuan. Usia contoh secara keseluruhan tergolong ke dalam remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (1718 tahun), sedangkan urutan kelahiran diklasifikasi menjadi (1) anak sulung, (2) anak tengah, dan (3) anak bungsu. Karakteristik keluarga terdiri atas usia orang tua, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. Hurlock (1980) membagi usia menjadi tiga kategori yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (> 60 tahun). Tingkat pendidikan orang tua diukur berdasarkan pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti orang tua contoh, yaitu (0) tidak tamat SD, (1) SD/sederajat (2) SMP/sederajat (3) SMA/sederajat (4) D1, D2, dan D3 (5) S1, S2, dan S3 (6) lainnya yang tidak terdaftar dalam kuesioner. Jenis pekerjaan orang tua merupakan pekerjaan utama yang dilakukan orang tua untuk menghidupi keluarga, yaitu (1) tidak bekerja (2) petani (3) buruh tani, (4) wiraswasta (5) swasta (6) PNS/ABRI (7) pensiun (8) dokter (9) supir. Data pendapatan orang tua diperoleh dari pendapatan total keluarga, dikelompokkan menjadi (1) kurang dari sama dengan dari Rp 1.000.000,00; (2) antara Rp 1.000.001,00 sampai dengan Rp 2.000.000,00; (3) antara Rp 2.000.001,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00; (4) antara Rp 3.000.001,00 sampai dengan Rp 4.000.000,00; (5) antara Rp 4.000.001,00 sampai dengan Rp 5.000.000,00; dan (6) lebih dari sama dengan Rp 5.000.001,00. Data besar keluarga dikelompokkan berdasarkan data Hurlock (1980) yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Data konsep diri diukur menggunakan kuesioner berbentuk skala yang mengacu pada alat skala konsep diri yaitu Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang disusun oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001) mengenai konsep diri remaja yang terdiri dari 15 dimensi, yaitu: identitas diri fisik, tingkah laku fisik, kepuasan diri fisik, identitas diri etik moral, tingkah laku etik moral, kepuasan etik moral, identitas diri personal, tingkah laku diri personal, kepuasan
30
diri personal, identitas diri keluarga, tingkah laku diri keluarga, kepuasan diri keluarga, identitas diri sosial, tingkah laku diri sosial, dan kepuasan diri sosial. Setiap dimensi yang diukur terdapat dua sifat item yaitu pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan pernyataan bersifat negatif (unfavorable). Data konsep diri secara keseluruhan berjumlah 100 item pertanyaan dan kemudian dipilih 50 pertanyaan yang terdiri atas pertanyaan positif dan negatif. Pembagian skor terbagi menjadi empat, yaitu 1 untuk sangat tidak sesuai, 2 untuk tidak sesuai, 3 untuk sesuai, dan 4 untuk sangat sesuai. Setelah diberi skor, masingmasing jawaban dikategorikan ke dalam kategori positif dan negatif sesuai dengan skor yang dicapai. Data kecerdasan emosional terdiri atas 35 item pertanyaan yang telah dikembangkan oleh peneliti berdasarkan indikator kecerdasan emosional dalam teori Goleman (2007). Pembagian skor dalam data ini terbagi menjadi 1 untuk sangat tidak sesuai, 2 untuk tidak sesuai, 3 untuk sesuai, dan 4 untuk sangat sesuai. Setelah diberi skor, masing-masing jawaban dikategorikan menjadi rendah (< 60%), sedang (60%-80%), dan tinggi (> 80%). Data gejala stres diukur menggunakan kuesioner yang disusun oleh H. Ebel (1983) dan dikembangkan oleh Latifah (2009) yang terdiri atas 57 item pertanyaan dan kemudian dipilih 30 item pertanyaan dengan pembagian skor 1 untuk tidak pernah, 2 untuk jarang, 3 untuk sering, dan 4 untuk sering sekali. Setelah diberi skor, masing-masing jawaban dikategorikan menjadi rendah (< 60%), sedang (60%-80%), dan tinggi (> 80%). Data strategi koping terdiri atas 30 item pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000). Pembagian skor dalam data ini terbagi menjadi 1 untuk sangat tidak membantu, 2 untuk tidak membantu, 3 untuk membantu, dan 4 untuk sangat membantu. Setelah diberi skor, data tersebut kemudian dibagi ke dalam dua jenis, yaitu emotional focused coping dan problem focused coping. Kemudian dari masing-masing jenis koping tersebut, dikategorikan lagi secara lebih spesifik jenis koping yang lebih dominan dengan kategori rendah (< 60%), sedang (60%80%), dan tinggi (> 80%).
31
Uji reliabilitas menunjukkan nilai Cronbach alpha untuk konsep diri 0,856, kecerdasan emosional sebesar 0,835, gejala stres sebesar 0,837, dan strategi koping sebesar 0,778. Data dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif mencakup rata-rata, nilai maksimum dan minimum yang digunakan untuk semua data kuantitatif. Sistem skoring dilakukan dengan menjumlahkan dan mengkategorikan dengan menggunakan teknik skoring secara normatif. Analisis inferensia yang dilakukan adalah korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan antar variabel pada data ordinal dan rasio. Selain itu, menggunakan Uji Regresi Linier Berganda untuk mengetahui pengaruh antar variabel serta Uji one way Anova untuk mengetahui perbedaan tiap variabel pada berbagai model pembelajaran. Analisis hubungan antar variabel secara statistik deskriptif akan digunakan tabulasi silang. Uji Deskriptif pada seluruh variabel yang diamati digunakan untuk melihat sebaran contoh menurut variabel yang diteliti. Analisis secara inferensia akan menggunakan: 1. Uji Korelasi Spearman dan Pearson rs = 1-∑d2i Uji ini digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik contoh, n (n-1)
karakteristik keluarga contoh, karakteristik sekolah, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan juga strategi koping yang dilakukan. Uji korelasi Spearman untuk data yang berskala ordinal, dan Pearson untuk skala data interval dan rasio. 2. Uji Variansi satu arah (Anova) digunakan untuk melihat perbedaan antara setiap data yang berskala rasio pada contoh yang merupakan siswa akselerasi, RSBI, dan reguler. Definisi operasional Karakteristik remaja adalah ciri khas yang dimiliki oleh remaja yang diteliti, meliputi jenis kelamin, usia, dan urutan anak dalam keluarga. Contoh adalah siswa yang berusia 13-18 tahun yang berada di kelas Reguler, Akselerasi, dan RSBI. Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan besar keluarga.
32
Besar keluarga adalah jumlah orang yang memiliki hubungan keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak serta hidup dari sumberdaya yang sama. Pendidikan orang tua adalah pendidikan tertinggi yang dilewati oleh orang tua contoh. Pendapatan keluarga pekerjaan utama yang dilakukan oleh keluarga contoh yang memberikan penghasilan paling besar. Model Pembelajaran suatu cara yang dapat menunjang proses belajar di sekolah yang terdiri atas lingkungan belajar, metode pembelajaran, dan kurikulum yang digunakan. Program Akselerasi suatu program percepatan proses belajar dengan pengurangan waktu satu tahun dari biasanya yang diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Program Kelas RSBI suatu program yang dilaksanakan di sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas global atau Internasional serta menciptakan lulusan yang memiliki daya sains yang tinggi melalui inovasi di bidang pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran dan menyediakan fasilitas yang lengkap, sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan perkembangan teknologi. Konsep diri internal pandangan seseorang tentang dirinya yang dipersepsi berdasarkan dunia batin seseorang yang terdiri atas identitas diri, tingkah laku, dan kepuasan diri. Konsep diri eksternal pandangan seseorang tentang dirinya yang dipersepsi berdasarkan peran, aktivitas, dan nilai yang dianut oleh seseorang dan terdiri atas diri fisik, etik moral, diri personal, diri keluarga, dan diri sosial. Kecerdasan emosional adalah kemampuan contoh dalam mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Stres suatu kondisi atau perasaan seseorang saat dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Strategi koping suatu program pengurangan stres kognitif yang terdiri atas problem focused coping dan emotion focused coping.
HASIL Keadaan Umum Lokasi Penelitian Profil SMA Negeri 3 Bogor SMA Negeri 3 Bogor yang terletak di Jalan Pakuan No.4 Bogor, resmi berdiri pada tanggal 1 Juli 1981. Awalnya sekolah ini bernama SMA Baranangsiang yang didirikan oleh Bapak Ali Sadikin. Gedung di Jalan Pakuan ini pernah dipergunakan oleh SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 4 hingga akhirnya ditetapkan bahwa SMAN 3 Bogor lah yang berhak menempati lokasi tersebut. SMAN 3 Bogor memiliki 25 kelas dan siswa lebih dari 1000 orang serta telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu sekolah favorit di Bogor. Salah satu prestasi yang terukir adalah selalu terjadi peningkatan jumlah siswa yang diterima di PTN baik melalui jalur SPMB maupun jalur USMI (Ujian Saringan Masuk). Dalam menunjang seluruh aktivitas akademik dan non-akademik, SMAN 3 Bogor dibina oleh 59 guru tetap, 6 guru tidak tetap, 8 orang bagian tata usaha, dan 9 orang pembantu umum. Kelas Akselerasi SMA Negeri 3 Bogor Mulai tahun ajaran 2002/2003 SMAN 3 Bogor diberi kepercayaan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk membuka kelas Akselerasi yaitu kelas percepatan yang membuat siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA dalam waktu hanya 2 tahun saja. Layanan pembelajaran yang menyamaratakan kemampuan siswa ternyata bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu perubahan dalam hal strategi pelayanan pembelajaran dengan memberikan pelayanan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengelompokkan siswa dalam kelas akselerasi. Tujuan dari adanya program kelas akselerasi ini antara lain, memberikan layanan kepada anak berbakat untuk mewujudkan bakat dan kemampuannya secara optimal, memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan pendidikan lebih awal (2 tahun), mengembangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual secara komprehensif
dan optimal sesuai dengan potensi
siswa, serta
34
mengembangkan kreativitas siswa secara optimal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan hidup di masyarakat secara mandiri. Kelas RSBI SMA Negeri 3 Bogor Era Globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, Pemerintah melakukan berbagai inovasi di bidang pendidikan. Salah satunya dengan mendirikan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan Indonesia namun dengan taraf Internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing Internasional. SMAN 3 Bogor sebagai penyelenggara pendidikan berkeyakinan bahwa paradigma baru pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan dengan proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan (kreatif, inovatif, dan experimentatif), serta dapat menumbuhkembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Dengan demikian penyelenggaraan kelas RSBI di SMAN 3 Bogor dapat memfasilitasi peserta didik agar mempunyai daya saing Internasional, menghasilkan lulusan yang berkelas Nasional dan Internasional serta meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Program pendidikan yang akan dilaksanakan oleh kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) antara lain, lama peserta didik belajar adalah 3 tahun untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris dengan menggunakan kurikulum nasional dan Internasional, menggunakan bahasa pengantar bilingual (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), menggunakan teknologi komunikasi Informasi (ICT), dan menerapkan model pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa menjadi kreatif, inovatif, dinamis, dan mandiri. Fasilitas belajar yang diberikan, yaitu ruang kelas yang memenuhi standar Internasional, pembelajaran berbasis ICT, Laboratorium IPA dan Bahasa. Selain itu juga tersedia akses internet dan ruang multimedia.
35
Profil SMA Negeri 8 Bogor SMAN 8 Kota Bogor didirikan pada tanggal 5 Oktober 1994. Awalnya sekolah ini berdiri dengan nama SMAN 1 Kedunghalang yang diresmikan oleh kepala kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat. Pada awalnya, SMAN 1 Kedunghalang belum mempunyai gedung sendiri sehingga harus menyatu dengan SMAN 6 Kota Bogor. Sekolah ini dikepalai pertama kali oleh bapak Drs. Yusupandi dengan guru sebanyak 25 orang dan murid berjumlah 200 orang. Pada tahun 1994 SMAN 1 Kedunghalang ini berganti nama menjadi SMAN 8 Kota Bogor yang digunakan sampai dengan sekarang. Sekolah yang beralamat di Jalan BTN Ciparigi No. 60, Desa Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara ini memiliki visi menjadi sekolah yang nyaman dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan teknologi berlandaskan iman dan taqwa. Selain itu, SMAN 8 juga memiliki beberapa misi, antara lain, meningkatkan prestasi akademik lulusan, membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, meningkatkan prestasi ekstra kurikuler, menumbuhkan minat baca, meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, serta meningkatkan wawasan berbasis teknologi bagi pendidik dan peserta didik. Karakteristik Contoh Jenis Kelamin Jumlah contoh pada penelitian ini adalah sebanyak 86 orang yang berasal dari tiga kelompok kelas yang berbeda, yaitu 26 contoh dari kelas akselerasi, 30 contoh dari kelas RSBI, dan 30 contoh dari kelas reguler. Lebih dari separuh contoh dari masing-masing kelas tersebut terdiri atas contoh yang berjenis kelamin perempuan, yaitu persentase masing-masing kelas sebesar 61,5 persen di kelas akselerasi, 60 persen di kelas RSBI, dan 66,7 persen di kelas reguler (Tabel 2). Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Contoh Laki-laki Perempuan Total
Akselerasi n % 10 38,5 16 61,5 26 100,0
n 12 18 30
RSBI % 40,0 60,0 100,0
Reguler n % 10 33,3 20 66,7 30 100,0
n 32 54 86
Total % 37,2 62,8 100,0
36
Usia Usia contoh secara keseluruhan tergolong ke dalam remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata usia ketiga jenis contoh adalah 16 tahun. Seluruh contoh pada kelas akselerasi termasuk dalam kategori remaja awal, yaitu berada pada kisaran usia 13 sampai 16 tahun. Lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI (53,3%) dan kelas reguler (53,3%) termasuk ke dalam kategori remaja awal. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal usia (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia Kelompok Usia Contoh (Tahun) Remaja awal (13-16) Remaja akhir (17-18) Total Mean±SD (tahun) p-value
Akselerasi n % 26 100,0 0 0,0 26 100,0 15,27±0,533
RSBI n % 16 53,3 14 46,7 30 100,0 16,50±0,572 0,000
Reguler n % 16 53,3 14 46,7 30 100,0 16,47±0,507
Total n % 58 67,4 28 32,6 86 100,0 16,12±0,773
Urutan Kelahiran Urutan kelahiran diklasifikasi menjadi anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata urutan kelahiran ketiga kelompok contoh adalah anak sulung. Ketiga kelompok contoh memiliki persentase paling besar pada urutan anak sulung. Lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (61,5%) merupakan anak sulung. Pada kelas RSBI, hampir separuh contoh juga merupakan anak sulung (46,7%), dan separuh contoh pada kelas reguler (50,0%) pun merupakan anak sulung. Orang tua cenderung memberikan tuntutan dan menetapkan standar yang tinggi bagi anak sulung. Hal tersebut dapat membuat anak meraih keberhasilan dan memiliki pekerjaan yang lebih baik dibandingkan saudara kandungnya. Akan tetapi, tekanan untuk menjadi berhasil tersebut dapat menjadi alasan mengapa anak sulung seringkali memiliki rasa bersalah, lebih cemas, dan kesulitan menghadapi situasi yang menimbulkan stres (Santrock 2003).
37
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran Kelompok Urutan Kelahiran Contoh Anak sulung Anak tengah Anak bungsu Total Mean±SD (tahun)
Akselerasi n % 16 61,5 4 15,4 6 23,1 26 100,0 1,62±0,852
RSBI n % 14 46,7 8 26,7 8 26,7 30 100,0 1.80±0,847
Reguler n % 15 50,0 7 23,3 8 26,7 30 100,0 1,77±0,858
Total n % 45 52,3 19 22,1 22 25,6 86 100,0 1,73±0,846
Karakteristik Keluarga Usia Orang tua Berdasarkan Hurlock (1980), usia dibagi menjadi tiga kategori yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (> 60 tahun). Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata usia ayah dan ibu ketiga jenis contoh berada pada kategori dewasa madya (41-60 tahun). Hampir seluruh ayah contoh di kelas akselerasi (96,1%), kelas RSBI (92.8%), dan kelas reguler (93,3%) berada pada kategori dewasa madya atau kisaran 41 sampai dengan 60 tahun. Begitupun untuk usia ibu contoh pada kelas akselerasi dan RSBI. Tabel 5 Sebaran contoh menurut usia orang tua contoh Kelompok Usia Orangtua (Tahun) Ayah Dewasa muda (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa lanjut (>60) Total Mean±SD (tahun) p-value Ibu Dewasa muda (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa lanjut (>60) Total Mean±SD (tahun) p-value
Akselerasi n
%
RSBI* n
%
Reguler n
%
Total n
%
1 3,8 25 96,1 0 0,0 26 100,0 47,77±5,078
0 0,0 26 92,8 2 7,14 28 100,0 50,21±6,332 0,900
2 6,7 28 93,3 0 0,0 30 100,0 47,09±8,962
3 3,7 79 94,0 2 2,3 84 100,0 48,21±5,248
2 7,6 24 92,3 0 0,0 26 100,0 44,19±3,666
2 6,6 28 93,3 0 0,0 30 100,0 45,43±4,248 0,001
8 26,6 22 73,3 0 0,0 30 100,0 41,83±2,925
12 14,0 74 86,0 0 0,0 86 100,0 43,80±3,922
Keterangan: * sebanyak dua orang ayah dari kelas SBI telah meninggal dunia
38
Hampir seluruh ibu contoh berada pada kategori dewasa madya, yaitu kelas akselerasi sebesar 92,3 persen dan kelas RSBI sebesar 93,3 persen. Pada kelas reguler, hampir tiga per empat (73,3%) ibu contoh berada pada kategori dewasa madya dan sisanya termasuk ke dalam kategori dewasa muda, yaitu sebesar 6,8 persen berada pada kisaran usia 18 sampai dengan 40 tahun. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam usia ayah contoh (p>0,05), namun terdapat perbedaan dalam hal usia ibu contoh (p<0,05) dari ketiga kelompok kelas tersebut. Pendidikan Orang tua Tingkat pendidikan orang tua diukur berdasarkan pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti orang tua contoh, yaitu tidak tamat SD; SD/sederajat; SMP/sederajat; SMA/sederajat; D1, D2, dan D3; serta S1, S2, dan S3. Tabel 6 menunjukkan bahwa data menyebar dengan rata-rata pendidikan ayah pada ketiga kelompok contoh adalah lulusan S1/S2/S3, sedangkan pendidikan ibu pada ketiga kelompok contoh adalah SMA/sederajat. Tabel 6 Sebaran contoh menurut pendidikan orang tua contoh Kelompok Pendidikan Orangtua Ayah Tidak Tamat SD SD SMP SMA/sederajat D1/D2/D3 S1/S2/S3 Total Mean±SD (tahun) p-value Ibu Tidak Tamat SD SD SMP SMA/sederajat D1/D2/D3 S1/S2/S3 Total Mean±SD (tahun) p-value
Akselerasi n %
n
RSBI* %
n
Reguler %
Total n
%
0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 11,5 4 15,4 73,1 19 26 100,0 4,62±0,697
0 0,0 0 0,0 1 3,6 6 21,4 2 7,1 67,8 19 28 100,0 4,39±0,956 0,001
0 0,0 2 6,7 2 6,7 50,0 15 1 3,3 10 33,3 30 100,0 3,50±1,225
0 0,0 2 2,3 3 3,5 24 28,6 7 8,4 57,2 48 84 100,0 4,14±1,099
0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 11,5 5 19,2 69,2 18 26 100,0 4,58±0,703
0 0,0 2 6,7 0 0,0 13 43.3 2 6,7 43,3 13 30 100,0 3,80±1,215 0,000
0 0,0 3 10,0 7 23,3 50,0 15 0 0,0 5 16,7 30 100,0 2,90±1,155
0 0,0 5 5,8 7 8,1 31 36,0 7 8,1 41,9 36 86 100,0 3,72±1,252
39
Lebih dari separuh ayah contoh pada kelas akselerasi (73,1%) dan kelas RSBI (67,8%) menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3. Pada kelas reguler, separuh ayah contoh menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Lebih dari separuh ibu contoh pada kelas akselerasi menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3, yaitu sebesar 69,2 persen. Pada kelas RSBI, sebesar 43,3 persen ibu contoh menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3 dan 43,3 persen lainnya menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Separuh ibu contoh pada kelas reguler (50,0%) telah menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Hasil uji beda one way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ayah (p<0,05) dan pendidikan ibu (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Pekerjaan Orang tua Jenis pekerjaan orang tua merupakan pekerjaan utama yang dilakukan orang tua untuk menghidupi keluarga, yaitu tidak bekerja, petani, buruh tani, wiraswasta, swasta , PNS/ABRI, pensiunan, dokter, supir, dan pekerjaan lainnya. Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata pekerjaan ayah pada ketiga jenis contoh adalah pegawai swasta, sedangkan pekerjaan ibu pada ketiga jenis contoh adalah ibu rumah tangga. Hampir separuh ayah contoh pada ketiga jenis kelas ini bekerja di perusahaan swasta, yaitu kelas akselerasi sebesar 46,2 persen, kelas RSBI sebesar 36,7 persen, dan kelas reguler sebesar 40,0 persen. Pada kelas akselerasi, ibu contoh memiliki pekerjaan yang cukup beragam. Sebesar 30,8 persen ibu contoh pada kelas akselerasi tidak bekerja. Lebih dari separuh ibu contoh pada kelas RSBI tidak bekerja (56,7%). Pada kelas reguler, hampir seluruh ibu contoh tidak bekerja (90%). Menurut Gunarsa S & Gunarsa Y (2004),
orangtua
yang
menempuh
pendidikan
tinggi
cenderung
lebih
mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Dapat dilihat juga bahwa sebagian besar contoh dengan orang tua yang berlatar belakang pendidikan tinggi berada pada kelas akselerasi dan RSBI, dimana kelas tersebut merupakan salah satu bentuk kelas yang berbeda dengan kelas biasanya dan mengutamakan kemajuan teknologi.
40
Tabel 7 Sebaran contoh menurut pekerjaan orang tua contoh Kelompok Pekerjaan Orangtua Ayah Tidak bekerja Wiraswasta PNS Swasta ABRI Buruh Pensiunan Dokter Sopir Total Mean±SD (tahun) Ibu Tidak bekerja Wiraswasta PNS Swasta ABRI Buruh Pensiunan Dokter Sopir Total Mean±SD (tahun)
Akselerasi n %
RSBI n
%
Reguler n %
Total n
%
0 0,0 1 3,8 11 42,3 46,2 12 0 0,0 0 0,0 1 3,8 1 3,8 0 0,0 26 100,0 3,88±1,275
3 10,0 6 20,0 7 23,3 36,7 11 2 6,7 0 0,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 30 100,0 3,23±1,331
0 0,0 3 10,0 9 30,0 40,0 12 3 10,0 2 6,7 0 0,0 0 0,0 1 3,3 30 100,0 3,83±1,177
3 3,5 10 11,6 27 31,4 40,7 35 5 5,8 2 2,3 2 2,3 1 1,2 1 1,2 86 100,0 3,60±1,268
30,8 8 3 11,5 7 26,9 7 26,9 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 3,8 0 0 26 100,0 2,92±1,671
56,7 17 2 6,7 8 26,7 2 6,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 3,3 0 0 30 100,0 2,00±1,414
90,0 27 1 3,3 2 6,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 30 100,0 1,17±0,531
60,5 52 6 7,0 17 19,8 9 10,5 0 0,0 0 0,0 1 1,2 1 1,2 0 0,0 86 100,0 1,93±1,396
Pendapatan keluarga Pendapatan biasanya bukan hanya diukur dari pemasukan yang diterima oleh kepala keluarga saja, melainkan dari seluruh anggota dalam keluarga tersebut. Pendapatan orang tua diperoleh dari pendapatan total keluarga, dikelompokkan menjadi kurang dari sama dengan dari Rp1.000.000,00; antara Rp1.000.001,00 sampai dengan Rp2.000.000,00; antara Rp2.000.001,00 sampai dengan Rp3.000.000,00; antara Rp3.000.001,00 sampai dengan Rp4.000.000,00; antara Rp4.000.001,00 sampai dengan Rp5.000.000,00; dan lebih dari sama dengan Rp5.000.001,00. Tabel 8 menunjukkan bahwa data menyebar dengan ratarata pendapatan keluarga ketiga contoh berada pada rentang Rp.4.000.001,00 sampai dengan Rp5.000.000,00. Sebanyak lebih dari separuh keluarga contoh pada kelas akselerasi (69,2%) dan kelas RSBI (60,0%) memiliki pendapatan
41
dengan kisaran lebih dari atau sama dengan Rp 5.000.000,00 Sedangkan pada kelas reguler, sepertiga keluarga contoh (33,3%) memiliki pendapatan pada kisaran antara Rp 3.000.001 sampai dengan Rp 4.000.000. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam pendapatan keluarga contoh (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Tabel 8 Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga contoh Kelompok Pendapatan Orangtua (per bulan) ≤ 1.000.000 1.000.001-2.000.000 2.000.001-3.000.000 3.000.001-4.000.000 4.000.001-5.000.000 ≥5.000.001 Total Mean±SD (tahun) p-value
Akselerasi n % 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 3,8 7 26,9 18 69,2 26 100,0 5,65±0,562
RSBI n % 0 0,0 2 6,7 2 6,7 3 10,0 5 16,7 18 60,0 30 100,0 5,17±1,262 0,000
Reguler n % 1 3,3 7 23,3 3 10,0 10 33,3 3 10,0 6 20,0 30 100,0 3,83±1,510
Total n % 1 1,2 9 10,5 5 5,8 14 16,3 15 17,4 42 48,8 86 100,0 4,85±1,419
Besar Keluarga Data besar keluarga dikelompokan berdasarkan data BKKBN (1998) yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Data dalam penelitian ini menyebar dengan rata-rata besar keluarga ketiga contoh adalah dengan lima hingga tujuh anggota keluarga atau terkategori ke dalam keluarga sedang. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh pada kelas akselerasi (57,7%), kelas RSBI (73,3%), dan kelas reguler (53,3%) termasuk dalam kategori keluarga sedang, yaitu terdiri atas lima sampai tujuh orang anggota keluarga. Tabel 9 Sebaran contoh menurut besar keluarga contoh Kelompok Besar Keluarga Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (≥8 orang)
Total Mean±SD (tahun) p-value
Akselerasi n % 11 42,3 15 57,7 0 0,0 26 100,0 1,58±0,504
RSBI n % 8 26,7 22 73,3 0 0,0 30 100,0 1,73±0,450 0,236
Reguler n % 14 46,7 16 53,3 0 0,0 30 100,0 1,53±0,507
Total n % 33 38,4 53 61,6 0 0,0 86 100,0 1,62±0,489
42
Konsep Diri Konsep diri dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Masing-masing dimensi tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa subdimensi. Dimensi internal terdiri atas identitas diri, tingkah laku, dan kepuasan diri, sedangkan dimensi eksternal terdiri atas diri fisik, etik moral, diri personal, diri keluarga, dan diri sosial. Tabel 10 menjelaskan kategori contoh berdasarkan dimensi yang diukur pada masing-masing kelas. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa hampir seluruh contoh memiliki konsep diri yang positif, yaitu sebanyak 97,6 persen dan kelas reguler memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi (100%) dibandingkan kelas RSBI (96,7%) dan akselerasi (96,2). Persentase paling besar pada keseluruhan contoh berada pada subdimensi identitas diri etik moral (95,3%) dan kepuasan etik moral (95,3%) pada kategori positif. Berbeda dengan kelas akselerasi dan RSBI, ternyata pada subdimensi identitas diri etik moral, seluruh contoh pada kelas reguler memiliki konsep diri yang tergolong positif. Pada subdimensi kepuasan diri etik moral, seluruh contoh pada kelas RSBI memiliki konsep diri yang positif (Lampiran 8). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebanyak hampir tiga per empat keseluruhan contoh memiliki konsep diri negatif pada subdimensi tingkah laku diri sosial (70,9%). Persentase paling rendah dalam subdimensi ini adalah pada kelas akselerasi, yaitu sebanyak lebih dari separuh contoh yang memiliki konsep diri negatif (65,4%). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsep diri (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Tabel 10 Sebaran contoh menurut konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran Konsep Diri Positif Negatif Total Mean±SD p-value
Akselerasi n % 25 96,2 1 3,8 26 100,0 72,81±5,72
RSBI n % 29 96,7 1 3,3 30 100,0 73,78±6,50 0,827
Reguler n % 30 100,0 0 0,0 30 100,0 73,08±6,17
Total n % 84 97,6 2 2,4 86 100,0 73,24±6,10
43
Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional terbagi menjadi lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial atau seni membina hubungan. Berdasarkan hasil penelitian, pada dimensi kesadaran diri separuh contoh pada kelas akselerasi termasuk dalam kategori sedang (50,0%). Lain halnya dengan kelas RSBI dan kelas reguler, lebih dari separuh contoh (63,3% dan 63,3%) tergolong dalam kategori yang tinggi. Secara keseluruhan, lebih dari separuh contoh dapat digolongkan dalam kategori tinggi (58,1%). Dengan kata lain, ketiga kelas tersebut sudah memiliki kesadaran terhadap emosi yang dirasakan dengan sangat baik. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi (Lampiran 9). Mengelola emosi atau pengaturan diri merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dalam hal ini, lebih dari separuh contoh (65,4%) pada kelas akselerasi tergolong ke dalam kategori sedang. Lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI tergolong ke dalam kategori sedang (56,7%) dan lebih dari tiga per empat contoh pada kelas reguler termasuk dalam kategori sedang (86,7%). Secara keseluruhan, lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas tersebut digolongkan ke dalam kategori sedang (69,8%). Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa contoh dapat menangani perasaan mereka sehingga dapat terungkap dengan tepat atau selaras. Jika contoh sudah bisa mengelola emosi dengan baik, maka akan tercapai keseimbangan dalam diri contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi yang dimiliki oleh lebih dari tiga per empat contoh (76,9%) pada kelas akselerasi tergolong ke dalam kategori sedang. Sebanyak lebih dari tiga per empat motivasi contoh dalam kelas RSBI (83,3%) termasuk ke dalam kategori sedang. Begitupun dengan kelas reguler, lebih dari separuh contoh (60,0%) dalam kelas ini termasuk ke dalam kategori sedang dan hampir separuh (40,0%) contoh pada kelas reguler yang tergolong kategori tinggi. Perbedaan ini terjadi karena kelas XI akselerasi merupakan satu-satunya kelas di sekolah tersebut, sehingga persaingan hanya terjadi di antara siswa-siswi di kelas itu saja. Lain halnya dengan kelas reguler
44
yang memiliki persaingan yang jauh lebih besar dan banyak, yaitu sebanyak lima kelas XI IPA. Penelitian lain menyebutkan bahwa motivasi contoh pada kelas akselerasi didominasi oleh motivasi ekstrinsik atau yang berasal dari luar diri contoh (keluarga, teman, dll.). Berbeda dengan kelas RSBI dan reguler yang memiliki motivasi intrinsik lebih besar dibandingkan motivasi ekstrinsiknya. Kurniawan (2010) menyatakan bahwa adanya kelas akselerasi menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat dan terkadang ada orang tua yang “ngotot” untuk memasukkan anaknya ke kelas tersebut. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab motivasi contoh kelas akselerasi lebih rendah karena mereka mendapatkan dorongan lebih besar dari orang tua dibandingkan keinginan mereka sendiri untuk masuk ke kelas akselerasi. Secara keseluruhan, sebanyak lebih dari separuh motivasi dari ketiga kelompok contoh (59,3%) termasuk ke dalam kategori sedang. Pada dimensi empati, hampir separuh (54,7%) dari keseluruhan contoh pada ketiga jenis kelas memiliki empati dengan kategori sedang. Pada dimensi ini, lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (65,4%) dan kelas RSBI (56,7%) tergolong ke dalam kategori sedang. Akan tetapi, sebanyak lebih dari separuh contoh pada kelas reguler (56,7%) memiliki empati yang termasuk ke dalam kategori tinggi. Hal ini membuktikan bahwa contoh memiliki kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan bisa menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang di lingkungan yang berbeda. Menurut Besk (1998), anak-anak yang cerdas dapat menyesuaikan diri secara emosional lebih baik, lebih sedikit memiliki masalah-masalah emosional, dan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dibandingkan dengan anak-anak biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (84,6%) pada kelas akselerasi memiliki ketrampilan sosial dengan kategori sedang. Sedangkan pada kelas RSBI, lebih dari separuh contoh (56,7%) berada pada kategori sedang. Begitupun dengan kelas reguler, sebanyak 56,7 persen contoh atau lebih dari separuh contoh berada pada kategori sedang dan sisanya berada pada kategori tinggi. Dalam hal ini, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih banyak pada kategori sedang. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jadwal serta
45
jumlah kelas akselerasi yang merupakan satu-satunya di sekolah. Hal tersebut dapat mendorong ketrampilan sosial yang berbeda dengan kelas lain yang memiliki kesamaan jadwal serta lebih banyak berinteraksi dengan siswa di kelas lain yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar lebih dari separuh dari keseluruhan contoh (65,1%) memiliki ketrampilan sosial dalam kategori sedang atau cukup baik. Penelitian ini juga ternyata sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Hasil ini senada dengan teori yang ada sebelumnya yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan kognitif yang baik belum tentu diimbangi dengan kecerdasan emosional yang baik pula. Kelas akselerasi dan RSBI memang didominasi oleh anak-anak dengan IQ di atas rata-rata dan mengikuti persyaratan lain seperti tes masuk sebelum mereka diterima di kelas tersebut. Dengan begitu, contoh pada kelas akselerasi dan RSBI pun dapat dikatakan memiliki kecerdasan di atas rata-rata atau di atas kelas reguler biasanya. Pada dimensi ketrampilan sosial terlihat bahwa bukan hanya contoh yang cerdas secara kognitif saja yang memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi sosial yang baik karena tidak menutup kemungkinan bahwa contoh yang memiliki kecerdasan di bawahnya pun memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang sama baiknya. Hal ini didukung dengan hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional (p<0.05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran contoh menurut kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran Kecerdasan Emosional Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value
Akselerasi n % 0 0,0 19 73,1 7 26,9 26 100,0 76,48±4,71
RSBI Reguler % n % 0 0,0 0 0,0 17 56,7 15 50,0 13 43,3 15 50,0 30 100,0 30 100,0 79,66±6,12 80,14±5,09 0.028 n
Total % 0 0,0 51 59,3 35 40,7 86 100,0 78,87±5,54 n
46
Tingkat Stres Pada kenyataannya, bukan hanya orang dewasa saja yang bisa mengalami stres, melainkan remaja di sekolah pun dapat merasakannya. Stres yang dialami remaja bisa disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan setiap hari, hubungan dengan teman sepermainan, atau karena adanya masalah belajar serta hasil belajar di sekolah. Gejala stres yang dialami oleh seseorang juga bisa berupa stres fisik dan stres psikologis. Tabel 12 menunjukkan perbedaan tingkat stres yang dialami oleh remaja pada tiga jenis kelas yang berbeda. Dalam penelitian ini hampir seluruh contoh (94,2%) pada ketiga kelas tersebut mengalami gejala stres fisik yang tergolong rendah. Pada kelas akselerasi, sebanyak hampir seluruh contoh (96,2%) menunjukkan gejala stres fisik rendah. Begitu juga dengan kelas RSBI dan reguler, sebanyak hampir seluruh contoh menunjukkan gejala stres fisik yang rendah. Dengan kata lain, contoh dalam ketiga jenis kelas tersebut hampir tidak pernah mengalami gejala stres fisik dalam aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Tabel 12 Sebaran contoh menurut tingkat stres contoh pada berbagai model pembelajaran Dimensi Tingkat Stres Stres Fisik Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Stres Psikologis Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Tingkat Stres Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value
Akselerasi n %
n
RSBI %
Reguler n %
Total n
%
25 96,2 1 3,8 0 0,0 26 100,0 45,00±7,90
29 96,7 27 90,0 1 3,3 3 10,0 0 0,0 0 0,0 30 100,0 30 100,0 43,33±8,69 40,91±9,63 0,227
81 94,2 5 5,8 0 0,0 86 100,0 42,99±8,86
20 76,9 6 23,1 0 0,0 26 100,0 53,75±9,04
20 66,7 22 73,3 10 33,3 8 26,7 0 0,0 0 0,0 30 100,0 30 100,0 54,46±9,75 51,08±9,59 0.223
62 72,1 24 27,9 0 0.0 86 100,0 53,07±9,49
23 88,5 3 11,5 0 0,0 26 100,0 1,12±0,326
24 80,0 29 96,7 6 20,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 30 100,0 30 100,0 1,20±0,407 1,03±0,183 0,356
76 88,4 10 11,6 0 0,0 86 100,0 1,12±0.322
47
Sebanyak lebih dari tiga per empat contoh di kelas akselerasi (76,9%) dan lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI (66,7%) mengalami gejala stres psikologis dalam kategori rendah. Begitu juga dengan kelas reguler, sebanyak hampir tiga per empat contoh (73,3%) termasuk dalam kategori rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan jenis aktivitas yang dimiliki serta alokasi waktu masingmasing contoh pada ketiga jenis kelas. Namun, lebih dari tiga per empat dari ketiga kelompok contoh
tersebut mengalami gejala stres psikologis yang
tergolong rendah (88,4%). Secara umum, ketiga kelompok contoh lebih banyak merasakan gejala stres psikologis dibandingkan stres fisik, yaitu sebesar 27,9 persen pada kategori sedang. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gejala stres (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler.
Strategi Koping Masalah yang dialami ataupun emosi yang dirasakan oleh seseorang akan menyebabkan perasaan ketidaknyamanan terhadap diri dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut ternyata memicu seseorang untuk berusaha menghilangkan rasa tidak nyaman yang dialami melalui berbagai strategi, baik itu terkait dengan masalah yang dihadapi ataupun penyesuaian diri terhadap masalah yang sedang dihadapi saat itu. Strategi koping atau cara beradaptasi terhadap masalah yang dilakukan seseorang terbagi menjadi dua, yaitu strategi koping yang terfokus pada masalah dan yang terfokus pada emosi. Pada penelitian ini, hampir tiga per empat contoh pada kelas akselerasi (73,1%) dan kelas RSBI (66,7%) menggunakan strategi koping terfokus masalah pada kategori sedang. Begitupun dengan kelas reguler, lebih dari tiga per empat contoh (80,0%) menggunakan strategi koping terfokus masalah pada kategori sedang. Pada strategi koping terfokus emosi, lebih dari separuh contoh (65,4%) pada kelas akselerasi berada pada kategori sedang. Begitu juga dengan kelas RSBI dan reguler, lebih dari separuh contoh pada kedua kelas ini pun berada pada kategori sedang. Secara keseluruhan, ketiga kelompok contoh lebih banyak menggunakan strategi terfokus emosi (emotion focused coping) dengan persentase sebesar 39,5 persen pada kategori tinggi.
48
Tabel 13 Sebaran contoh menurut strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran Dimensi Strategi Koping Problem Focused Coping Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value Emotion Focused Coping Rendah Sedang Tinggi Total Mean±SD p-value
Akselerasi n %
n
RSBI %
Reguler n %
n
Total %
1 3,8 19 73,1 6 23,1 26 100,0 74,29±9,41
0 0,0 0 0,0 20 66,7 24 80,0 10 33,3 6 20,0 30 100,0 30 100,0 78,27±6,27 74,77±6,88 0,136
1 1,2 63 73,3 22 25,6 86 100,0 75,85±7,67
0 0,0 17 65,4 9 34,6 26 100,0 77,43±6,89
0 0,0 0 0,0 16 53,3 19 63,3 14 46,7 11 36,7 30 100,0 30 100,0 79,61±6,91 77,88±7,77 0,097
0 0,0 52 60,5 34 39,5 86 100,0 78,35±7,20
Tabel 14 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (57,7%) dan RSBI (56,7%) serta separuh contoh pada kelas reguler (50%) menggunakan strategi koping terfokus emosi (emotion focused coping). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan strategi koping (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan strategi koping yang digunakan Jenis Strategi Koping Problem focused coping Emotion focused coping Kombinasi antara problem focused coping dan emotion focused coping Total
Akselerasi n % 8 30,8 15 57,7
n 11 17
% 36,7 56,7
Reguler n % 8 26,7 15 50
3
2
6,6
7
26
11,5 100,0
RSBI
30
100,0
30
23,3 100,0
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga dengan Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Contoh Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pendidikan ibu dengan kecerdasan emosional contoh (r=-0,308**). Hal ini berarti sebesar 30,8 persen data keduanya berhubungan, semakin tinggi pendidikan ibu maka dapat menurunkan kecerdasan emosional contoh. Hal ini diduga terjadi karena pendidikan yang tinggi belum tentu menentukan kualitas pengasuhan seorang ibu terhadap anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi juga
49
cenderung bekerja di luar rumah sehingga akan mempengaruhi gaya pengasuhan yang diberikan ibu terhadap anak. Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan emosi yang positif, akan memiliki kecerdasan emosional yang baik pula. Penerapan emosi yang positif yang diberikan oleh pengasuh akan berdampak pada perkembangan kecerdasan emosi anak kelak. Pendidikan yang tinggi juga cenderung mendorong ibu untuk bekerja di luar rumah. Hal ini menyebabkan waktu yang tercurah untuk anak akan semakin berkurang sehingga menyebabkan semakin berkurang pula kelekatan secara emosi antara ibu dan anak. Kenyataan ini akan berdampak pada kecerdasan emosional yang dimiliki oleh anak tersebut. Dalam penelitian ini terdapat hubungan yang negatif antara pekerjaan ibu dengan kecerdasan emosional contoh dengan nilai koefisien korelasi sebesar (r=-0,243*) yang berarti ibu yang bekerja akan menurunkan kecerdasan emosional contoh. Tabel 15 Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh Variabel Karakteristik Contoh Usia Urutan Kelahiran Karakteristik Keluarga Usia Ayah Usia Ibu Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ibu Pendapatan Keluarga Besar Keluarga
Konsep Diri
Kecerdasan Emosional
Tingkat Stres
Strategi Koping
0,078 -0,122
0,048 -0,058
-0,106 -0,047
-0,023 0,000
-0,163 -0,033 0,029 -0,161 -0,123 -0,002 0,102 0,027
-0,077 0,022 -0,024 -0,308** -0,019 -0,243* -0,020 0,091
0,188 0,049 0,106 0,176 0,194 0,036 0,247* 0,018
0,043 0,000 0,075 -0,075 0,010 -0,131 0,213* 0,283**
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendapatan keluarga dengan tingkat stres (r=0,247*). Hal ini berarti sebesar 24,7 persen data keduanya berhubungan, semakin besar pendapatan suatu keluarga maka semakin tinggi pula stres yang dirasakan contoh. Pendapatan cenderung berkorelasi dengan pengeluaran individu, semakin besar pendapatan maka akan sebanding dengan uang yang dikeluarkan karena kebutuhan yang semakin bertambah. Hal ini menyebabkan tingkat stres yang semakin meningkat karena banyaknya aktivitas yang dilakukan di sekolah diduga membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Selain itu, hal ini
50
diduga terjadi karena stres yang dirasakan contoh sebagian besar bukanlah yang berkaitan dengan hal ekonomi, melainkan berkaitan dengan aktivitas sekolah. Tingkat stres yang semakin tinggi akan mendorong individu untuk melakukan suatu penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari agar tetap dapat melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Hal ini menyebabkan semakin besar pendapatan keluarga juga akan membuat strategi koping yang dilakukan semakin tinggi (r=0,213*). Hasil penelitian menyatakan bahwa sebesar 21,3 persen data keduanya berhubungan. Selain itu, dalam penelitian juga ditemukan bahwa besar keluarga berkorelasi positif dengan strategi koping. Semakin banyak anggota keluarga contoh maka semakin tinggi pula kemampuan contoh dalam melakukan penyesuaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi, baik itu melalui problem focused coping maupun emotion focused coping. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,283** yang berarti sebesar 28,3 persen data keduanya berhubungan. Semakin besar suatu keluarga maka semakin tinggi pula kemampuan contoh dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi atau kemampuan contoh untuk beradaptasi terhadap masalah yang dihadapi akan semakin baik. Menurut
Billing
dan
Moos
(1984),
seseorang
yang
cenderung
menggunakan strategi terfokus masalah dalam menangani situasi stres menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah baik selama dan setelah situasi stres. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Dengan hasil ini, diduga bahwa jumlah anggota keluarga ternyata cukup penting karena dapat mengurangi beban stres atau masalah yang sedang dihadapi contoh. Hubungan antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Stres dan Strategi Koping Contoh Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap variabel dalam penelitian ini tidak semuanya memiliki hubungan yang positif, ada beberapa di antaranya yang memiliki hubungan negatif. Penelitian juga memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,640**. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 64,0 persen data
51
keduanya berhubungan yang berarti terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional. Semakin baik konsep diri maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional contoh. Tabel 16 Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh Variabel Konsep Diri Positif Negatif Total Koefisien korelasi (r)
Kecerdasan Emosional Rendah n 0 0 0
% 0,0 0,0 0,0
Sedang n 49 2 51
Tinggi
% n 57,0 35 2,3 0 59,3 35 0,640**
% 40,7 0,0 40,7
Total n 84 2 86
% 97,7 2,3 100,0
Skor rata-rata contoh yang memiliki kecerdasan emosional yang tergolong tinggi juga ternyata memiliki konsep diri yang positif dengan persentase sebesar 40,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri contoh maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam mengelola emosi (Tabel 16). Pada penelitian ini, konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres contoh yang diperkuat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,382**. Hal ini berarti sebesar 38,2 persen data keduanya berhubungan. Dengan nilai ini dapat diartikan semakin baik konsep diri seseorang, semakin rendah gejala stres yang ia rasakan. Hal ini diduga stres yang disebabkan oleh tingginya aktivitas contoh di sekolah ternyata dapat diperkecil karena konsep diri yang positif yang telah terbentuk di dalam diri contoh. Tabel 17 Hubungan antara konsep diri dengan tingkat stres contoh Variabel Konsep Diri Positif Negatif Total Koefisien korelasi (r)
Tingkat stres Rendah n 76 0 76
% 88,4 0,0 88,4
Sedang n 8 2 10
Tinggi
% n 9,3 0 2,3 0 11,6 0 0,382**
% 0,0 0,0 0,0
Total n 84 2 86
% 97,7 2,3 100,0
Skor rata-rata contoh yang memiliki konsep diri yang positif ternyata memiliki tingkat stres dengan kategori rendah, yaitu sebesar 88,4 persen. Dalam penelitian ini pun tidak ditemukan contoh yang memiliki konsep diri yang negatif dan juga tingkat stres yang tergolong tinggi (Tabel 17).
52
Penelitian ini juga memperlihatkan nilai koefisien korelasi antara konsep diri dengan strategi koping terfokus masalah adalah sebesar 0,334**. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 33,4 persen data keduanya berhubungan yang berarti terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan strategi koping terfokus masalah contoh. Begitupun dengan strategi koping terfokus emosi. Terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan strategi koping terfokus emosi dengan koefisien korelasi sebesar 0,265*. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar 26,5 persen data keduanya berhubungan. Semakin baik konsep diri seseorang maka semakin baik pula strategi koping yang dilakukan saat menghadapi masalah, baik strategi koping terfokus masalah maupun terfokus emosi. Tabel 18 menunjukkan besar skor rata-rata contoh yang memiliki konsep diri yang positif ternyata memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, yaitu 24,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang memiliki konsep diri yang baik akan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik pula. Tabel 18 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus masalah contoh Strategi terfokus masalah (problem focused coping)
Variabel Konsep Diri Positif Negatif Total Koefisien korelasi (r)
Rendah n 1 0 1
% 1,2 0,0 1,2
Sedang n 62 1 63
Tinggi
% n 72,1 21 1,2 1 73,3 22 0,334**
% 24,4 1,2 25,6
Total n 84 2 86
% 97,7 2,3 100,0
Skor rata-rata contoh yang memiliki konsep diri yang positif ternyata memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengelola emosi saat menghadapi masalahnya, yaitu sebesar 38,4 persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh White (1974) dalam Sussman dan Steinmentz (1988), yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi strategi koping adalah konsep diri (Tabel 20).
53
Tabel 19 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus emosi contoh Strategi terfokus emosi (emotion focused coping)
Variabel Konsep Diri Positif Negatif Total Koefisien korelasi (r)
Rendah n 0 0 0
% 0,0 0,0 0,0
Sedang n 51 1 52
Tinggi
% n 59,3 33 1,2 1 60,5 34 0,265**
% 38,4 1,2 39,5
Total n 84 2 86
% 97,7 2,3 100,0
Kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan tingkat stres yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,249*. Hal ini berarti 24,9 persen keduanya saling berhubungan negatif sehingga semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan contoh. Kemampuan contoh dalam mengendalikan emosi ternyata berhubungan dengan bagaimana contoh menghadapi dan menanggapi stres yang dialami sehingga sebanyak apapun masalah yang hadapi, ternyata dapat dikendalikan oleh kemampuannya dalam mengelola emosi. Contoh yang memiliki skor rata-rata kecerdasan emosional tinggi ternyata mengalami gejala stres yang tergolong rendah (38,4%). Dengan kata lain, contoh yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan dapat lebih baik pula mengelola perasaan serta pikirannya sehingga akan lebih terhindar dari stres. Tabel 20 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres contoh Variabel Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total Koefisien korelasi (r)
Tingkat stres Rendah n 0 43 33 76
% 0,0 50,0 38,4 88,4
Sedang n 0 8 2 10
Tinggi
% n 0,0 0 9,3 0 2,3 0 11,6 0 -0,249**
% 0,0 0,0 0,0 0,0
Total n 0 51 35 86
% 0,0 59,3 40,7 100,0
Tingkat stres yang rendah dan terbentuknya kecerdasan emosional contoh ternyata juga berhubungan dengan cara contoh menyelesaikan masalahnya (strategi koping). Kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan strategi koping terfokus masalah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,403**. Ini berarti sebesar 40,3 persen keduanya saling berhubungan positif (Tabel 21).
54
Tabel 21 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus masalah contoh Strategi terfokus masalah (problem focused coping)
Variabel Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total Koefisien korelasi (r)
Rendah n 0 1 0 1
% 0,0 1,2 0,0 1,2
Sedang n 0 42 21 63
Tinggi
% n 0,0 0 48,8 8 24,4 14 73,3 22 0,403**
% 0,0 9,3 16,3 25,6
Total n 0 51 35 86
% 0,0 59,3 40,7 100,0
Tabel 22 menunjukkan bahwa ecerdasan emosional juga memiliki hubungan yang positif dengan strategi koping terfokus emosi dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,474**. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar 47,4 persen keduanya saling berhubungan. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula kemampuan contoh dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi serta mengelola emosi sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap masalahnya. Hal ini berarti contoh yang cerdas secara emosi memiliki strategi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan stres yang berkepanjangan. Namun, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat stres dan strategi koping contoh. Tabel 22 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus emosi contoh Strategi terfokus emosi (emotion focused coping)
Variabel Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total Koefisien korelasi (r)
Rendah n 0 0 0 0
% 0,0 0,0 0,0 0,0
Sedang n 0 38 14 52
Tinggi
% n 0,0 0 44,2 13 16,3 21 60,5 34 0,474**
% 0,0 15,1 24,4 39,5
Total n 0 51 35 86
% 0,0 59,3 40,7 100,0
55
PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran. Penelitian ini dilakukan pada siswa remaja kelas XI pada kelas akselerasi, kelas RSBI, dan juga kelas reguler. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa remaja merupakan generasi penerus bangsa yang kelak diharapkan akan memiliki sumber daya manusia yang mampu berdaya saing dengan negara-negara lain. Peningkatan sumber daya manusia Indonesia dapat dibangun melalui jenis pendidikan yang diberikan. Saat ini pendidikan di Indonesia banyak diwarnai oleh berbagai metode baru, misalnya dengan adanya kelas akselerasi (percepatan) dan juga kelas bertaraf Internasional (RSBI). Kedua kelas ini diciptakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemajuan di bidang pendidikan. Kelas akselerasi merupakan pemberian layanan pendidikan sesuai
potensi
siswa
berbakat
dengan
memberikan
kesempatan
untuk
menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya (Departemen Pendidikan 2002). Sekolah Bertaraf RSBI (SBI) bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional melalui penggunaan dua bahasa serta ditunjang oleh teknologi yang canggih seperti komputer, internet, dan fasilitas lain yang mendukung. Dalam pelaksanaannya, kelas akselerasi pun menggunakan beberapa syarat masuk, salah satunya adalah tes IQ sehingga sudah dapat dipastikan bahwa siswa-siswi yang masuk ke dalam kelas ini adalah mereka yang memiliki kecerdasan kognitif yang cukup tinggi. Goleman (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi seseorang. Seseorang yang cerdas secara kognitif belum tentu cerdas secara emosi atau sebaliknya. Kecerdasan kognitif bukan satu-satunya penentu keberhasilan seseorang, melainkan kecerdasan emosi yang dimilikilah yang akan menentukan keberhasilan tersebut. Menurut Edwards (1992) diacu dalam Santos (2009), ibu merupakan orang yang sangat penting yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan kognitif anak remaja. Selain kecerdasan emosional, usia siswa SMA
56
yang tergolong ke dalam masa remaja ini juga akan melewati proses pembentukan konsep diri mereka. Saat masa remaja, mereka akan dihadapkan pada berbagai pilihan dan lingkungan yang berbeda dan hal tersebut akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku mereka. Pada masa ini juga masalah mulai timbul, baik itu yang berasal dari keluarga maupun hal yang berkaitan dengan sekolah. Melalui kegiatan yang cukup padat di sekolah, akan dilihat pula hal yang mereka alami saat memiliki masalah serta cara yang mereka lakukan untuk menghadapi masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas akselerasi, kelas RSBI, dan juga kelas reguler. Seluruh siswa kelas XI akselerasi tergolong ke dalam usia remaja awal (13-16 tahun), berbeda dengan kelas RSBI dan reguler yang di dalamnya terdapat siswa dengan usia remaja akhir (17-18 tahun). Kebanyakan siswa dari tiap kelas berjenis kelamin perempuan dan merupakan anak sulung. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adik-adiknya. Oleh karena itu, orang tua cenderung lebih khawatir terhadap anak sulung dibandingkan pada adik-adiknya dan menetapkan batas-batas tingkah laku anak. Dilihat dari usia orang tua, usia ayah dan ibu contoh dari ketiga kelas sebagian besar berada pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Terdapat perbedaan pada kelas akselerasi dan RSBI dengan kelas reguler dalam hal pendidikan orang tua. Sebagian besar ayah pada kelas akselerasi dan RSBI menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3 sedangkan ayah contoh pada kelas reguler lebih banyak menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Begitupun dengan pendidikan ibu, sebagian besar ibu contoh pada kelas akselerasi menempuh pendidikan hingga jenjang S1/S2/S3. Namun, ibu contoh pada kelas RSBI rata-rata menempuh pendidikan hingga jenjang S1/S2/S3 dan juga SMA/sederajat, dan separuh ibu contoh pada kelas reguler menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya. Pekerjaan orang tua contoh pada ketiga kelas sebagian besar adalah
57
pegawai swasta dan ibu merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga contoh pada kelas akselerasi dan RSBI sebagian besar berkisar lebih dari sama dengan Rp 5.000.000,00 sedangkan kelas reguler berkisar antara Rp 3.000.001,004.000.000,00. Keluarga contoh dari ketiga kelas termasuk ke dalam kelompok keluarga sedang yang terdiri atas lima hingga tujuh orang anggota keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa ketiga kelompok contoh memiliki konsep diri yang positif dan kelas reguler memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan RSBI. Dimensi yang memiliki persentase paling besar dengan kategori positif adalah subdimensi identitas diri etik moral dan kepuasan diri etik moral. Kepuasan diri terkait dengan penghargaan seseorang terhadap dirinya. Semakin jauh perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga diri yang rendah. Sebaliknya, semakin sedikit perbedaan gambaran diri dengan gambaran seseorang tentang bagaimana seharusnya akan menciptakan harga diri yang tinggi (Calhoun 1990). Dimensi yang berada pada kategori negatif adalah subdimensi tingkah laku diri sosial. Contoh pada kelas akselerasi memiliki persentase paling rendah di antara kedua kelompok contoh lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah kelas dengan model yang sama di sekolah tersebut. Kelas akselerasi berjumlah satu kelas pada setiap angkatan sehingga memungkinkan kurangnya interaksi dengan model kelas serupa, sedangkan kelas RSBI dan reguler memiliki lebih banyak kelas dengan model yang sama. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam hal interaksi contoh dengan lingkungannya. Selain itu, contoh pada kelas akselerasi yang memiliki usia yang lebih muda bisa menjadi pemicu lemahnya rasa percaya diri contoh untuk bergaul dengan kelas dengan model pembelajaran yang berbeda. Doll dan Lyon (1998) diacu dalam Caldarella, Christensen, Kramer, dan Kronmiller (2009) menyatakan bahwa menunjukkan rasa empati, kemauan untuk berbagi, dan bekerja sama merupakan hal yang penting dalam menjalin suatu hubungan pertemanan dan menciptakan hubungan yang positif. Terdapat beberapa alasan peranan konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, antara lain konsep diri dapat mempertahankan keselarasan batin, sikap,
58
dan pandangan individu terhadap dirinya yang akan sangat mempengaruhi individu dalam menafsirkan pengalamannya serta dapat menentukan pengharapan individu (Pudjigjoyanti 1988 diacu dalam Harlock 1991). Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam hal konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran. Penelitian juga menunjukkan bahwa keseluruhan contoh memiliki kecerdasan emosional yang termasuk dalam kategori sedang. Akan tetapi, separuh contoh kelas reguler memiliki skor kecerdasan emosional yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi. Dalam penelitan juga diperoleh hasil bahwa kelas reguler memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan kelas RSBI. Dimensi yang memiliki persentase terbesar pada kategori tinggi adalah dimensi kesadaran diri. Hal ini berarti contoh dapat mengenali perasaan yang dirasakan saat perasaan itu timbul. Menurut Cherniss (2006) diacu dalam Joseph, Berry, dan Deshpande (2009), kecerdasan emosional seseorang akan berdampak pada hasil dari pekerjaan yang dilakukan seseorang, keefektifan dalam sebuah kepemimpinan, dan juga kepuasan dalam bermacammacam pekerjaan. Gottman dan DeClaire (2007) menyatakan bahwa kesadaran emosi merupakan kemampuan seseorang mengenali atau merasakan emosi yang timbul, mengidentifikasi perasaan-perasaan yang ada, dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain. Kesadaran diri ini memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Penelitian ini menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran. Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007), faktor-faktor yang berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor internal misalnya rasa percaya diri, motivasi, keyakinan individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan beradaptasi. Sedangkan faktor eksternal seperti hal yang berhubungan dengan pekerjaan, non pekerjaan, serta perubahan dalam kehidupan. Dalam hal ini faktor
59
eksternal yang dirasakan oleh contoh diduga berhubungan dengan aktivitas sekolah seperti tugas ataupun kegiatan lain di sekolah. Gejala stres yang dirasakan oleh keseluruhan contoh tergolong rendah dan jenis gejala stres yang lebih banyak dirasakan oleh contoh adalah gejala psikologis. Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam hal tingkat stres contoh pada model pembelajaran yang berbeda. Kelas akselerasi dan RSBI yang memiliki aktivitas yang lebih padat dibandingkan kelas reguler ternyata memiliki tingkat stres yang tergolong rendah. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan orang tua dan juga pendapatan orang tua. Sebagian besar orang tua contoh di kedua kelas tersebut memiliki pendidikan yang cukup tinggi yang disertai juga dengan pendapatan di atas rata-rata. Dengan begitu, kebutuhan akan fasilitas belajar pun akan dengan mudah terpenuhi (internet, peralatan sekolah, dll.). Pendidikan orang tua yang tinggi juga diduga menyebabkan semakin tinggi pula standar orang tua terhadap anak, salah satunya dalam hal pendidikan. Kurniawan (2010) menyatakan bahwa adanya kelas akselerasi menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat dan terkadang ada orang tua yang “ngotot” untuk memasukkan anaknya ke kelas tersebut. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab motivasi contoh kelas akselerasi lebih rendah karena mereka mendapatkan dorongan lebih besar dari orang tua dibandingkan keinginan mereka sendiri untuk masuk ke kelas akselerasi. Perbedaan aktivitas di antara kelas yang umum dan kelas eksklusif juga diduga mempengaruhi stres yang dirasakan contoh. Menurut Kenny dan Rice (1995) diacu dalam Brougham, Zail, Mendoza, dan Miller (2009), hubungan dalam keluarga seperti dukungan sosial dan adanya kesempatan untuk memberikan pendapat menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat stres seseorang. Menurut Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988), gejala stres didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu dan stres ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan berpindah-pindah di antara emosi-emosi
tersebut
tergantung
pada
keberhasilan
individu
dalam
60
menyelesaikannya. Emosi yang dirasakan seperti kecemasan, kemarahan, apati, dan gangguan kognitif. Koping atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan stres. Dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata dari strategi koping yang dilakukan oleh contoh. Keseluruhan contoh dalam penelitian ini memiliki strategi koping yang tergolong sedang yang artinya strategi koping yang dilakukan sudah cukup baik dan diduga mampu menangani permasalahan yang dihadapi contoh. Jenis strategi koping yang lebih banyak digunakan oleh contoh adalah emotion focused coping, yaitu strategi yang digunakan untuk mencegah emosi negatif yang dapat menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya (Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem 2000). Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional contoh. Hasil ini juga diduga bahwa contoh yang memiliki konsep diri yang tinggi akan mampu mengenali dan mengelola emosi diri, memiliki motivasi dan empati yang baik, serta mampu membina hubungan yang baik pula dengan teman-temannya. Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres (fisik dan psikologis). Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin rendah tingkat stres contoh. Hal ini mencerminkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh seseorang ternyata dapat menekan stres yang dirasakan individu. Saat individu memiliki konsep diri yang baik maka akan lebih mudah mengendalikan perasaan dan emosi yang dirasakan, baik dalam bentuk reaksi fisik maupun psikologis. Dalam penelitian ini ditemukan hubungan yang positif antara konsep diri dengan strategi koping terfokus masalah dan terfokus emosi. Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula strategi koping contoh dalam menyelesaikan masalah atau mengelola emosi yang dirasakan saat menghadapi masalah. Saat individu memiliki konsep diri yang baik maka ia juga akan memiliki cara yang baik dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
61
Dengan begitu, stres dirasakan tidak akan berkepanjangan dan tidak mengganggu aktivitas belajar di sekolah. Penelitian ini juga menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan reaksi psikologis tingkat stres dan hubungan yang positif dengan strategi koping terfokus masalah dan emosi. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah tingkat stres psikologis contoh. Dengan hasil ini, dapat dikatakan bahwa saat individu memiliki kemampuan untuk mengenali emosi dirinya, mengelola emosinya dengan baik, memiliki motivasi dan empati, serta dapat beradaptasi dengan lingkungan maka stres yang dirasakan akan dapat ditekan sehingga tidak akan berkepanjangan. Salah satu dimensi lain dari kecerdasan emosional adalah stres tolerance, yaitu kemampuan untuk menghadapi kejadian dan situasi yang penuh tekanan serta menanganinya secara aktif dan positif tanpa harus terjatuh. Selain itu individu juga akan mampu mengatasi stres tersebut melalui hal yang lebih positif yang berhubungan dengan keadaan psikologisnya. Parker dan Endler (1996) diacu dalam Astuti (2007) menyatakan bahwa salah satu cara yang dilakukan dalam mengatasi masalah adalah dengan mengendalikan emosi-emosi yang tidak menyenangkan daripada menghadapi sumber stres secara langsung. Stres juga dapat dikonstruksikan dalam sesuatu yang positif yang dapat mengarahkan individu secara instrinsik untuk tetap aktif dan melakukan penerimaan terhadap masalah yang sedang dihadapi. Menurut Fabella (1993) diacu dalam Astuti (2007), terdapat jenis stres yang merugikan karena stres ini terjadi saat tubuh dan pikiran tidak mampu beradaptasi dengan sumber stres dan kondisi ini akan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan. Konsep diri yang positif ternyata dapat menekan stres yang dialami oleh individu. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang baik dan positif serta mampu mengelola perasaannya dengan baik, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam macam orang maka individu akan lebih mampu menerima setiap permasalahan yang dirasakan. Menurut Erikson (1950) diacu dalam Megawangi (2007), dalam mencari identitas dirinya, seorang remaja perlu memiliki konsep diri yang positif sehingga dapat
62
meningkatkan kepercayaan diri remaja tersebut. Hal ini disebabkan kepercayaan diri yang rendah berhubungan erat dengan beberapa masalah remaja, misalnya stres, depresi, kenakalan remaja, bunuh diri, dan lain sebagainya. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional, semakin tinggi pula strategi koping yang dilakukan, baik strategi terfokus masalah maupun strategi terfokus emosi. Menurut Santrock (2003), remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan meledak-ledak, melainkan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengritik orang yang menjadi penyebab amarahnya tersebut. Mereka akan menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya melalui cara-cara yang dapat lebih diterima. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat stres dengan strategi koping yang dilakukan contoh. Dengan kata lain, bagaimanapun tingkat stres siswa tidak akan menentukan jens strategi koping yang dilakukan. Hal ini berkaitan juga dengan tingkat stres contoh yang tergolong rendah. Keseluruhan contoh hampir tidak pernah merasakan stres sehingga tidak menuntut mereka untuk beradaptasi dengan masalah yang dihadapi. Selain itu, diduga adanya perbedaan jenis kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing contoh dapat mempengaruhi contoh dalam menerima masalah yang dialami. Menurut Schneiders (1964) diacu dalam Yulianti (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi strategi koping seseorang adalah perkembangan dan kematangan, bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan dan kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi. Hal ini dapat mempengaruhi cara individu tersebut dalam melakukan penyesuaian diri. Saat remaja, seorang individu cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya, misalnya perasaan bersalah karena marah. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah dalam hal penarikan contoh. Pemilihan kelas pada kedua sekolah yang menjadi lokasi penelitian dilakukan secara
63
purposive. Hal ini dilakukan atas dasar perizinan dengan pihak sekolah yang bersangkutan. Selain itu, kelas XI IPA akselerasi yang merupakan satu-satunya kelas di sekolah menyebabkan peneliti hanya dapat menggunakan kelas tersebut sebagai contoh meskipun jumlah siswa di kelas tersebut secara keseluruhan adalah 26 orang. Hal ini juga menyebabkan tidak dapat dilakukan teknik simple random sampling untuk penarikan contoh di kelas akselerasi. Keterbatasan lainnya adalah waktu yang disediakan oleh pihak sekolah dalam satu hari untuk mengisi kuesioner adalah ± 30 menit untuk beberapa kuesioner. Hal ini membuat contoh terlihat terburu-buru dan kurang fokus dalam mengisi kuesioner.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga kelompok contoh memiliki konsep diri yang positif. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara konsep diri contoh pada kelas akselerasi, RSBI, maupun reguler. Terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional contoh pada kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler. Kecerdasan emosional ketiga kelompok contoh berada pada kategori sedang dan kelas reguler memiliki skor kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan kelas RSBI. Tingkat stres contoh secara keseluruhan berada pada kategori rendah dan jenis gejala stres yang banyak dirasakan oleh contoh adalah gejala psikologis. Penelitian ini juga tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata di antara ketiga contoh pada berbagai model pembelajaran, baik itu dalam hal tingkat stres maupun strategi koping yang digunakan. Keseluruhan contoh dalam penelitian ini memiliki strategi koping yang tergolong sedang dan jenis strategi koping yang banyak digunakan oleh contoh adalah emotion focused coping. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional dan strategi koping. Konsep diri ini juga memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional dan strategi koping, tetapi menurunkan tingkat stres contoh. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan hubungan yang positif dengan strategi koping. Dengan kata lain, semakin tinggi kecerdasan emosional maka akan semakin menurunkan tingkat stres dan meningkatkan strategi koping yang dilakukan oleh contoh, baik strategi koping terfokus masalah maupun terfokus emosi. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara tingkat stres dengan strategi koping. Saran 1.
Sebesar 80% kesuksesan individu dipengaruhi oleh kecerdasan emosional yang dimiliki dan 20% sisanya adalah oleh kecerdasan kognitif. Dalam penelitian ini terlihat bahwa konsep diri dan kecerdasan emosional
65
berhubungan positif terhadap tingkat stres siswa. Dalam hal ini pihak sekolah perlu berperan aktif membantu siswa memperbaiki konsep diri sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional yang dimiliki dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan konsep diri dan kecerdasan emosional siswa sehingga dapat memperkecil stres yang dirasakan. Kegiatan yang dilakukan misalnya berkaitan dengan peningkatan minat dan bakat, seperti kegiatan ekstrakurikuler di luar jam sekolah. Selain itu juga melakukan pertukaran informasi atau interaksi yang lebih dekat antara anak dengan orang tua atau teman sebaya sehingga diperoleh gambaran diri siswa tersebut. Hal ini bertujuan agar siswa memiliki gambaran dirinya, baik secara fisik psikologis, maupun sosial. 2.
Pendidikan ibu berkorelasi negatif dengan kecerdasan emosional anak. Melihat
kenyataan
ini,
ibu
yang
berpendidikan
tinggi
sebaiknya
memperhatikan gaya pengasuhan yang diberikan pada anak, terutama pengasuhan emosi. Pola asuh emosi yang diberikan orang tua akan berpengaruh pada kecerdasan emosional seorang anak. Jika seorang anak diasuh dengan emosi yang positif, anak tersebut juga akan memiliki kecerdasan emosional yang baik. Orang tua yang memberikan teladan, memberikan rasa aman dan percaya pada anak, meningkatkan kelekatan dan keharmonisan, memberikan penghargaan positif, memberikan dukungan emosi dan mengekspresikannya dengan tepat akan membantu meningkatkan kecerdasan emosi anak. 3.
Untuk menghasilkan analisis yang lebih baik maka penelitian selanjutnya sebaiknya memberikan keleluasaan bagi contoh untuk menjelaskan strategi koping seperti apa yang seringkali digunakan saat berada dalam keadaan stres, terutama yang berkaitan dengan aktivitas sekolah. Hal ini juga bisa menjadi masukan bagi pihak sekolah dan orang tua siswa bagaimana seharusnya membantu siswa saat mengalami stres, baik secara fisik maupun psikologis.
4.
Penelitian selanjutnya sebaiknya meneliti tentang gaya pengasuhan orang tua yang diberikan pada contoh kelas akselerasi atau RSBI yang cenderung memiliki ibu dengan pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat membantu
66
menguji hubungan antara pendidikan ibu, pengasuhan yang diberikan, dan variabel lain terkait dengan contoh sehingga hubungan di antara ketiganya akan terlihat lebih jelas. 5.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat dan bersifat mendalam, sebaiknya teknik pengambilan data tidak hanya melalui penyebaran kuesioner, tetapi juga melakukan indepth interview. Hal ini bertujuan agar contoh lebih terbuka dalam mengemukakan perasaannya, terutama yang berkaitan dengan stres siswa.
6.
Penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan secara purposive, sebaiknya penelitian selanjutnya melakukan penarikan contoh secara acak sederhana agar dapat mewakili populasi siswa di sekolah yang bersangkutan. Selain itu, sebaiknya contoh diberikan waktu yang lebih banyak untuk mengisi kuesioner sehingga memiliki keleluasaan dalam menjawab.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi A, Sholeh M. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Armstrong T. (2002). Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda berdasarkan Teori Multiple Intelligence. T.hermaya, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Seven Kinds of Smart: Identifying and Developing Your Multiple Intelligences. Astuti DF. 2007. Tingkat Stres dan Coping Stress Strategy pada Prajurit Zeni di Pusat Pendidikan Zeni KODIKLAT TNI AD, Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem. 2000. Pengantar Psikologi. Edisi ke-11, Jilid kedua. Jakarta (ID): Interaksara. Brougham R, Zail C, Mendoza C, and Miller J. 2009. Stress, Sex Differences, and Coping Strategies Among College Students. Journal of Curr Psychol, Vol.28:85-97. Burns R. 1982. Self Concept Development and Education. London (GB): Holt, Rinehart, and Winston Ltd. Caldarella P, Christensen L, Kramer T, and Kronmiller K. 2009. Promoting Social and Emotional Learning in Second Grade Students: A Study of the Strong Start Curriculum. Journal of Childhood Educ J, Vol.37:51-56. Calhoun J, Acocella J. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang (ID): IKIP Semarang Press. Cury A. 2007. Brilliant Parents Fascinating Teachers. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Elitasari T. 1996. Hubungan antara Konsep Diri, Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Anak-anak Panti Asuhan dan Perbedaannya dari Anakanak yang diasuh dalam keluarga [tesis]. Depok (ID): Program Pascasarjana, Program Studi Psikologi, Universitas Indonesia. Etty M. 2002. Mengelola Emosi: Tips praktis meraih kebahagiaan. Jakarta (ID): Grasindo. Fitts WH. 1971. The Self Concept&Actalization (Studies on the Self Concept&Rehabilitation). Library of Congress Catalog Card Number. Grand Mo. RD-2419-G. Goleman D. 1995. Emotional Intelligence. USA (US): Bantam Books. _________. 1999. Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Prestasi. Widodo AT, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Working with EI. _________. 2007. Kecerdasan Emosional, Mengapa Emotional Intelligence Lebih Penting dari Intelligence Quotient. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
68
Gunarsa SD. 2001. Menyikapi Periode Kritis pada Anak dan Dampaknya pada Profil Kepribadian. Di dalam: Munandar U, editor. Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta (ID): UI Press. _________&Gunarsa Y. 2004. Psikologi Praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Depok (ID): Universitas Indonesia. _________. 2006. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta (ID): Gunung Mulia. Helmi AF. 2002. Beberapa teori psikologi lingkungan. [terhubung berkala] http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. [19 Oktober 2011] Hurlock E. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta (ID): Erlangga. ________. 1993. Perkembangan Anak. M Tjandrasa, penerjemah. Ed ke-6. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. Joseph J, berry K, and Deshpande S. 2009. Impact of Emotional Intelligence and Other Factors on Perception of Ethical Behavior of Peers. Journal of Bussiness Ethics, Vol.89:539-546. Kurniawan. 2010. Evaluasi Program Akselerasi: Kelas siswa cerdas istimewaberbakat istimewa (CI-BI) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Latifah M. 2008. Instrumen Pengukuran Gejala Stres. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Learner R, Steinberg L. 1952. Adolesence Psychology. USA (US):: John Wiley and Sons, Inc. Long A. 1978. Psikologi Pendidikan. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia. Lynn A. 2002. The Emotional Intelligence Activity Book. USA (US): Amacom. Manz C. 2007. Emotional Dicipline: 5 Langkah menata emosi untuk merasa lebih baik setiap hari. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Megawangi R. 2007. Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat Membangun Bangsa. Jakarta (ID): Indonesia Heritage Foundation. _____________, Latifah M, Dina WF. 2008. Pendidikan Holistik. Jakarta (ID): Indonesia Heritage Foundation. Muharrifah A. 2009. Interaksi antara Remaja, Ayah, dan Sekolah serta Hubungannya dengan Tingkat Stres dalam Menghadapi Ujian Nasional [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Olds SW, & Feldman Rd. 2008. Human Development Tenth Edition. New York (US): McGraw Hill Companies, Inc.
69
__________________. 2009. Human Development: Perkembangan Manusia Edisi ke-10. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Philip R. 1990. The Adolesence: Development, relationship, and culture. USA US): University of Maine. Rahmaisya R. 2011. Pengaruh Persepsi Gaya Pengasuhan Otangtua dan KOnsep Diri terhadap terhadap Motivasi Berprestasi Atlet Muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Rochaety E, Rahayuningsih P, Yanti P. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Sadiman dkk. 2006. Media Pendidikan: Pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Safaria T, Saputra N. 2009. Manajemen Emosi: Sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup anda. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Santos C. 2009. The Relationship of Third and Fourth Grade Teacher Practices in Cognitive, Emotional, and Social Development and Their Students Academic Self-Concept, Emotional, and Social Skills. Journal of Northeast Business & Economics Association 35th Annual Conference. Santrock J. 2003. Adolesence: Perkembangan remaja. Jakarta (ID): Erlangga. _________. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta (ID): Kencana. Saputri LE. 2010. Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua dan Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Bullying Remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sarwono S. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta (ID): Grafindo. Shapiro LE. 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Suryabrata S. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Sussman MB, Steinmetz SK. 1988. Handbook of Marriage and the Family. New York (US): Lenum Press. Yulianti C. 2010. Pengaruh Dukungan Keluarga, Dukungan Pelatih, dan Strategi Koping terhadap Prestasi Atlet Muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
71
Lampiran 1 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri contoh Konsep Diri (Identitas Diri)
Data Karakteristik Karakteristik Contoh Usia Urutan kelahiran Karakteristik Keluarga Usia Ayah Usia Ibu Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ibu Pendapatan Keluarga Besar Keluarga
Konsep Diri (Tingkah laku)
Konsep Diri (Kepuasan Diri)
Diri Fisik
Etik Moral
Diri Personal
Diri Keluarga
Diri Sosial
Diri Fisik
Etik Moral
Diri Personal
Diri Keluarga
Diri Sosial
Diri Fisik
Etik Moral
Diri Personal
Diri Keluarga
Diri Sosial
0.055
0.130
0.012
0.043
0.097
0.060
0.095
0.043
-0.018
-0.030
-0.036
0.088
0.119
0.114
-0.005
-0,029
0,048
-0,073
-0,097
0,026
-0,129
-0,008
-0,128
0,103
-0,136
-0,144
-0,195
-0,180
-0,126
-0,020
-0.146 0.022
-0.011 -0.097
-0.138 0.012
-0,157 0.026
-0.037 0.056
-0.037 -0.157
-0.230* -0.163
-0.161 -0.154
-0.112 -0.021
0.057 0.029
-0.063
0.052
-0.023 -0.053
0.041 0.055
-0.126 0.047
-0.114 0.191
0.081
0.024
0.093
0.129
0.055
0.061
0.015
0.016
-0.123
0.020
0.119
0.012
0.044
-0.077
-0.027
-0.271*
-0.153
-0.016
0.038
-0.059
-0.183
-0.158
-0.143
-0.129
0.036
-0.059
-0.037
-0.245*
0.092
-0,007
-0,145
-0,126
-0,115
-0,100
0,000
-0,057
-0,157
0,027
0,159
-0,131
-0,037
-0,095
-0,099
-0,093
-0,048
0,028
0,228*
0,024
-0,035
-0,082
0,105
-0,268*
0,151
0,056
0,050
0,084
-0,143
0,091
-0.017
0.165
0.009
0.094
0.142
0.069
-0.074
0.030
0.125
0.123
0.056
0.019
-0.050
0.063
0.132
-0.055
0.014
-0.008
0.010
0.074
-0.126
0.048
0.007
0.107
0.002
0.010
0.162
0.087
0.090
0.076
Keterangan: *) signifikan pada < 0,05 ; **) signifikan pada < 0,01
0.069 0,082
72
Lampiran 2 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh Kecerdasan Emosional Variabel
Kesadaran Diri
Karakteristik Contoh 0.064 Usia Urutan -0,037 kelahiran Karakteristik Keluarga -0.146 Usia Ayah -0.102 Usia Ibu Pendidikan -0.085 Ayah Pendidikan -0.102 Ibu Pekerjaan -0,077 Ayah -0,136 Pekerjaan Ibu Pendapatan 0.003 keluarga
Besar keluarga
0.189
Tingkat Stres
Strategi Koping
Pengaturan Diri
Motivasi
Empati
Ketrampilan sosial
Total Kecerdasan Emosi
-0.014
0.132
0.027
-0.011
0.048
-0.030
-0.123
-0.106
0.027
-0.083
-0.023
-0,008
-0,160
-0,085
-0,018
-0,058
-0,046
-0,025
-0,047
0,024
-0,060
0,000
0.003 0.068
-0.134 -0.146
-0.038 -0.018
0.015 0.008
-0.077 0.022
0.106 -0.046
0.178 0.087
0.188 0.049
0.013 0.043
0.080 -0.033
0.043 0.000
0.078
-0.086
-0.144
0.073
-0.024
0.197
0.069
0.106
0.053
0.107
0.075
-0.049
-0.396*
-0.277**
-0.294**
-0.308**
0.173
0.166
0.176
-0.051
-0.053
-0.075
-0,081
0,058
0,034
-0,022
-0,019
0,032
0,235*
0,194
-0,091
0,133
0,010
-0,042
-0,308**
-0,156
-0,138
-0,243*
0,105
0,016
0,036
-0,092
-0,108
-0,131
0.099
-0.118
0.032
0.030
-0.020
0.153
0.275*
0.247*
0.177
0.210
0.213*
0.093
0.113
0.067
0.000
0.091
0.087
-0.016
0.018
0.220*
0.231*
0.283**
Keterangan: *) signifikan pada < 0,05 ; **) signifikan pada < 0,01
Fisik
Psikologis
Total Tingkat Stres
Problem Focused Coping
Emotion Focused Coping
Total Strategi Koping
73
Lampiran 3 Hasil uji korelasi antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh Variabel Variabel
Konsep Diri
Konsep Diri 1 Kecerdasan 0,640** Emosional Keterangan: * signifikan pada p<0,05 Stres Fisik -0,245* ** signifikan pada p<0,01 Stres Psikologis -0,363** Tingkat Stres -0,371** Problem Focused 0,334** Coping Emotion Focused 0,265* Coping
Kecerdasan Emosional
Strategi Koping
Stres Tingkat Stres
Problem focused coping
Fisik
Psikologis
-0,164 -0,234* -0,232*
1 0,370** 0,669**
1 0,938**
1
0,403**
-0,002
-0,079
-0,064
1
0,474**
0,034
0,116
0,106
0,440**
Emotion focused coping
1
K Keterangan: *) signifikan pada < 0,05 ; **) signifikan pada < 0,01
1
74
Lampiran 4 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus masalah (problem focused coping) No. 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
Pernyataan
A
Akselerasi B C
RSBI D
A
B
C
3,8 19,2 26,9 3,3 26,7 30,0 50,0 Belajar dengan lebih giat 3,8 11,5 34,6 0,0 13,3 26,7 50,0 Pergi jalan-jalan 3,8 7,7 34,6 0,0 16,7 26,7 53,8 Berkumpul dengan keluarga 3,8 3,8 34,6 0,0 0,0 43,3 57,7 Mengobrol dengan teman-teman di sekolah 11,5 26,9 23,1 3,3 10,0 38,5 60,0 Berkunjung ke rumah saudara atau teman Menceritakan permasalahan pada keluarga 3,8 23,1 34,6 6,7 6,7 26,7 38,5 atau teman dekat 3,8 0,0 34,6 0,0 3,3 16,7 61,5 Tidur atau istirahat Melampiaskan melalui hobi (berenang, membaca komik, menari, menyanyi, 0,0 2,8 42,3 0,0 0,0 30,0 53,8 mendengarkan music, menonton TV, olahraga, dll.) Merokok dan mengkonsumsi kafein (kopi) 0,0 3,8 3,8 16,7 6,7 92,3 70,0 dan sejenisnya Berdiskusi dengan pengajar saat mengalami 3,8 15,4 34,6 0,0 23,3 46,2 56,7 kesulitan Membaca dari media mengenai cara 3,8 30,8 15,4 6,7 30,0 50,0 50,0 menyelesaikan masalah yang dihadapi 3,8 23,1 34,6 0,0 16,7 38,5 53,3 Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau les 3,8 30,8 23,1 3,3 16,7 42,3 53,3 Mengikuti aktivitas sosial bersama teman Meminta bantuan teman dalam 3,8 26,9 15,4 6,7 10,0 53,8 53,3 mengerjakan tugas Meluangkan waktu dan tenaga untuk 0,0 3,8 19,2 0,0 13,3 76,9 63,3 pekerjaan yang ditekuni Keterangan: A= Sama sekali tidak membantu; B= Sedikit membantu; C= Membantu; D= Sangat membantu
Reguler B C
D
A
D
40,0 60,0 56,7 56,7 26,7
6,7 3,3 0,0 3,3 3,3
13,3 16,7 10,0 6,7 33,3
40,0 50,0 60,0 56,7 53,3
40,0 30,0 30,0 33,3 10,0
60,0
0,0
16,7
43,3
40,0
80,0
0,0
10,0
26,7
63,3
70,0
0,0
6,7
36,7
56,7
6,7
83,3
6,7
6,7
3,3
20,0
0,0
20,0
53,3
26,7
13,3
0,0
36,7
40,0
23,3
30,0 26,7
3,3 0,0
10,0 16,7
40,0 73,3
46,7 10,0
30,0
0,0
16,7
73,3
10,0
23,3
0,0
23,3
63,3
13,3
75
Lampiran 5 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus emosi (emotion focused coping) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15
Pernyataan
A
Akselerasi B C
RSBI D
A
B
C
Berdoa pada Tuhan 0,0 7,7 7,7 0,0 0,0 13,3 84,6 Yakin bahwa semua permasalahan pasti ada 0,0 3,8 38,5 0,0 3,3 30,0 57,7 solusinya Menyendiri 19,2 36,7 33,3 26,7 26,9 26,9 26,9 Beribadah dengan lebih khusyu 0,0 7,7 34,6 0,0 0,0 43,3 57,7 Mengeluarkan masalah dengan marah3,8 11,5 26,7 26,7 42,3 42,3 43,3 marah Meluapkan kemarahan dengan menangis 30,8 23,1 7,7 20,0 20,0 38,5 43,3 Mempercayai bahwa keluarga dan sahabat 3,8 11,5 34,6 0,0 13,3 40,0 50,0 dapat membantu menyelesaikan masalah Mencoba menikmati hari-hari di sekolah 0,0 3,8 34,6 0,0 16,7 61,5 46,7 Merasa yakin bahwa semua masalah yang 3,8 7,7 26,9 3,3 3,3 43,3 61,5 terjadi adalah demi kebaikan masa depan Mengatakan dalam hati bahwa saya memiliki banyak hal yang patut untuk 0,0 7,7 42,3 0,0 0,0 40,0 50,0 disyukuri Percaya pada tuhan sepenuhnya melalui doa 0,0 7,7 30,8 0,0 0,0 30,0 61,5 Mencoba untuk tidak saling menyalahkan, 3,8 0,0 23,1 10,0 6,7 73,1 53,3 baik dengan keluarga maupun teman Berusaha untuk tidak menyerah pada 0,0 11,5 30,8 3,3 6,7 57,7 53,3 keadaan Berpikir positif bahwa setelah masalah ini 0,0 7,7 26,9 0,0 6,7 43,3 65,4 saya akan jauh lebih matang Berusaha mengambil hikmah dari masalah 0,0 7,7 42,3 0,0 0,0 43,3 50,0 yang dialami Keterangan: A= Sama sekali tidak membantu; B= Sedikit membantu; C= Membantu; D= Sangat membantu
D
A
Reguler B C
86,7
0,0
0,0
3,3
96,7
66,7
0,0
6,7
33,3
60,0
3,3 56,7
36,7 0,0
26,7 0,0
20,0 23,3
16,7 76,7
3,3
53,3
36,7
10,0
0,0
16,7
16,7
56,7
23,3
3,3
46,7
0,0
3,3
50,0
46,7
36,7
0,0
30,0
53,3
16,7
50,0
0,0
16,7
43,3
40,0
60,0
0,0
0,0
46,7
53,3
70,0
0,0
0,0
20,0
80,0
30,0
3,3
16,7
60,0
20,0
36,7
0,0
10,0
70,0
20,0
50,0
0,0
6,7
56,7
36,7
56,7
0,0
3,3
56,7
40,0
D
76
Lampiran 6 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik No. 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10
Pernyataan Sakit kepala Diare Maag Mual dan muntah Meningkatnya tekanan darah Tangan gemetar Alergi Kulit berubah warna, gatal, panas, tidak rata (kulit bergelombang), kering, pecah, membengkang. Jantung atau dada terasa sesak. Bernafas dengan cepat karena kegelisahan dan panik Keterangan: A: Tidak pernah B: Jarang C: Sering D: Sangat sering
A
Akselerasi B C
RSBI D
A
B
C
D
A
Reguler B C
D
7,7 53,8 26,9 42,3 53,8 34,6 46,2
53,8 42,3 38,5 38,5 34,6 42,3 38,5
38,5 3,8 30,8 15,4 7,7 23,1 15,4
0,0 0,0 3,8 3,8 3,8 0,0 0,0
6,7 53,3 43,3 50,0 46,7 36,7 53,3
60,0 46,7 16,7 46,7 43,3 56,7 36,7
33,3 0,0 33,3 3,3 10,0 6,7 3,3
0,0 0,0 6,7 0,0 0,0 0,0 6,7
10,0 73,3 43,3 73,3 50,0 53,3 66,7
56,7 26,7 33,3 20,0 30,0 40,0 20,0
20,0 0,0 23,3 3,3 20,0 6,7 13,3
13,3 0,0 0,0 3,3 0,0 0,0 0,0
76,9
23,1
0,0
0,0
70,0
23,3
3,3
3,3
63,3
26,7
10,0
0,0
34,6
42,3
23,1
0,0
53,3
33,3
10,0
3,3
60,0
23,3
16,7
0,0
34,6
38,5
23,1
3,8
26,7
53,3
10,0
10,0
46,7
33,3
10,0
10,0
77
Lampiran 7 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikologis No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pernyataan
Merasa tidak tenang atau cemas Mengalami susah tidur atau tidak dapat tidur nyenyak Tidak mau berkumpul dengan orang lain Malas untuk belajar Berbicara sendiri Merasa putus asa sehingga ingin mengakhiri hidup Capek dalam berpikir Merasa tidak sabaran dan cepat marah Sering melamun Merasa tidak yakin tentang masa depan Mengalami mimpi buruk Merasa sedih sekali dan ingin menangis Merasa lebih mudah tersinggung Merasa tertekan karena peraturan di sekolah Merasa sulit berkonsentrasi Merasa banyak beban yang menumpuk Lepas kontrol/temperamen Tidak bersemangat dan bosan Merasa malu/minder di hadapan teman Bernafas dengan cepat karena kegelisahan dan panik
A 0,0
Akselerasi B C 46,2 50,0
RSBI A 6,7
Reguler B C 40,0 53,3
D 3,8
A 0,0
B 40,0
C 50,0
D 10,0
D 0,0
26,9
53,8
19,2
0,0
16,7
36,7
33,3
13,3
13,3
56,7
23,3
6,7
30,8 11,5 30,8
57,7 30,8 23,1
11,5 42,3 38,5
0,0 15,4 7,7
53,3 0,0 40,0
40,0 36,7 33,3
6,7 53,3 13,3
0,0 10,0 13,3
66,7 3,3 46,7
16,7 46,7 16,7
16,7 46,7 33,3
0,0 3,3 3,3
69,2
26,9
3,8
0,0
86,7
13,3
0,0
0,0
93,3
6,7
0,0
0,0
15,4 3,8 11,5 38,5 26,9 15,4 19,2
42,3 42,3 61,5 34,6 61,5 50,0 57,7
38,5 46,2 11,5 23,1 11,5 26,9 19,2
3,8 7,7 15,4 3,8 0,0 7,7 3,8
6,7 3,3 20,0 26,7 16,7 10,0 13,3
63,3 40,0 40,0 50,0 66,7 50,0 56,7
26,7 46,7 26,7 23,3 16,7 33,3 30,0
3,3 10,0 13,3 0,0 0,0 6,7 0,0
13,3 3,3 16,7 50,0 20,0 20,0 26,7
50,0 50,0 40,0 40,0 76,7 40,0 43,3
33,3 36,7 40,0 10,0 3,3 33,3 20,0
3,3 10,0 3,3 0,0 0,0 6,7 10,0
61,5
23,1
15,4
0,0
43,3
46,7
6,7
3,3
46,7
36,7
10,0
6,7
3,8 3,8 30,8 3,8 26,9
42,3 34,6 50,0 61,5 50,0
50,0 46,2 15,4 26,9 15,4
3,8 15,4 3,8 7,7 7,7
6,7 10,0 40,0 6,7 30,0
43,3 26,7 33,3 46,7 46,7
40,0 50,0 20,0 40,0 16,7
10,0 13,3 6,7 6,7 6,7
13,3 10,0 56,7 13,3 36,7
36,7 20,0 36,7 53,3 30,0
43,3 53,3 6,7 30,0 26,7
6,7 16,7 0,0 3,3 6,7
23,1
50,0
26,9
0,0
30,0
43,3
23,3
3,3
46,7
43,3
10,0
0,0
78
Lampiran 8 Sebaran konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran Akselerasi Dimensi Konsep Diri n % Identitas diri fisik (xa) Positif 14 53,8 Negatif 12 46,2 Total 26 100,0 p-value Identitas diri etik moral (xb) Positif 24 92,3 Negatif 2 7,7 Total 26 100,0 p-value Identitas diri personal (xc) Positif 22 84,6 Negatif 4 15,4 Total 26 100,0 p-value Identitas diri keluarga (xd) Positif 26 100,0 Negatif 0 0,0 Total 26 100,0 p-value Identitas diri sosial (xe) Positif 24 92,3 Negatif 2 7,7 Total 26 100,0 p-value Tingkah laku diri fisik (ya) Positif 16 61,5 Negatif 10 38,5 Total 26 100,0 p-value Tingkah laku etik moral (yb) Positif 17 65,4 Negatif 9 34,6 Total 26 100,0 p-value Tingkah laku diri personal (yc) Positif 21 80,8 Negatif 5 19,2 Total 26 100,0 p-value Tingkah laku diri keluarga (yd) Positif 22 84,6 Negatif 4 15,4 Total 26 100,0 p-value Tingkah laku diri sosial (ye) Positif 9 34,6 Negatif 17 65,4 Total 26 100,0 p-value Kepuasan diri fisik (za) Positif 22 84,6
n
RSBI %
n
Reguler %
n
Total %
25 5 30 0,084
83,3 16,7 100,0
25 5 30
83,3 16,7 100,0
64 22 86
74,4 25,6 100,0
28 2 30 0,536
93,3 6,7 100,0
30 0 30
100,0 0,0 100.0
82 4 86
95,3 4,7 100.0
20 10 30 0,488
66,7 33,3 100,0
27 3 30
90,0 10,0 100,0
69 17 86
80,2 19,8 100,0
27 3 30 0,212
90,0 10,0 100,0
27 3 30
90,0 10,0 100,0
80 6 86
93,0 7,0 100,0
22 8 30 0,102
90,0 10,0 100,0
29 1 30
96,7 3,3 100,0
80 6 86
93,0 7,0 100,0
22 8 30 0,372
73,3 26,7 100,0
19 11 30
63,3 36,7 100,0
57 29 86
66,3 33,7 100,0
20 10 30 0,477
66,7 33,3 100,0
27 3 30
90,0 10,0 100,0
64 22 86
74,4 25,6 100,0
22 8 30 0,763
73,3 26,7 100,0
24 6 30
80,0 20,0 100,0
67 19 86
22,1 77,9 100,0
27 3 30 0,041
90,0 10,0 100,0
30 0 30
100,0 0,0 100,0
79 7 86
91,9 8,1 100,0
9 21 30 0,553
30,0 70,0 100,0
7 23 30
23,3 76,7 100,0
25 61 86
29,1 70,9 100,0
25
83,3
25
83,3
72
83,7
79
Lampiran 8 (lanjutan) Negatif 4 Total 26 p-value Kepuasan etik moral (zb) Positif 23 Negatif 3 Total 26 p-value Kepuasan diri personal (zc) Positif 21 Negatif 5 Total 26 p-value Kepuasan diri keluarga (zd) Positif 23 Negatif 3 Total 26 p-value Kepuasan diri sosial (ze) Positif 23 Negatif 3 Total 26 p-value
15,4 100,0
5 30 0,546
16,7 100,0
5 30
16,7 100,0
14 86
16,3 100,0
88,5 11,5 100,0
30 0 30 0,211
100,0 0,0 100,0
29 1 30
96,7 3,3 100,0
82 4 86
95,3 4,7 100,0
80,8 19,2 100,0
25 5 30 0,956
83,3 16,7 100,0
24 6 30
80,0 20,0 100,0
70 16 86
81,4 19,6 100,0
88,5 11,5 100,0
22 8 30 0,655
73,3 26,7 100,0
29 1 30
96,7 3,3 100,0
74 12 86
86,0 14,0 100,0
88,5 11,5 100,0
25 5 30 0,823
83,3 16,7 100,0
26 4 30
86,7 13,3 100,0
74 12 86
86,0 14,0 100,0
80
Lampiran 9 Sebaran kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran Dimensi Kecerdasan Emosional Kesadaran Diri Rendah Sedang Tinggi Total p-value Pengaturan Diri Rendah Sedang Tinggi Total p-value Motivasi Rendah Sedang Tinggi Total p-value Empati Rendah Sedang Tinggi Total Ketrampilan Sosial Rendah Sedang Tinggi Total p-value
Akselerasi n %
n
RSBI %
Reguler n %
n
Total %
1 13 12 26
3,8 50,0 46,2 100,0
1 10 19 30
3,3 0 33,3 11 63,3 19 100,0 30 0,195
0,0 36,7 63,3 100,0
2 34 50 86
2,3 39,5 58,1 100,0
0 17 9 26
0,0 65,4 34,6 100,0
0 17 13 30
0,0 56,7 43,3 100,0
0 26 4 30 0,426
0,0 86,7 13,3 100,0
0 60 26 86
0,0 69,8 30,2 100,0
4 20 2 26
15,4 76,9 7,7 100,0
1 25 4 30
3,3 83,3 13,3 100,0
0 18 12 30 0,001
0,0 60,0 40,0 100,0
5 63 18 86
5,8 73,3 20,9 100,0
0 17 9 26
0,0 65,4 34,6 100,0
0 17 13 30
0,0 56,7 43,3 100,0
0 13 17 30
0,0 43,3 56,7 100,0
0 47 39 86
0,0 54,7 45,3 100,0
0 22 4 26
0,0 84,6 15,4 100,0
0 17 13 30
0,0 56,7 43,3 100,0
0 17 13 30 0,060
0,0 56,7 43,3 100,0
0 56 30 86
0,0 65,1 34,9 100,0
81
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober tahun 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang juga merupakan buah cinta dari pasangan Ade Santika, SP dan Rohayati, S.Pd. Penulis juga memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Adisty Pradita. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia dan minor Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) sebagai staf Divisi Komunikasi dan Informasi pada tahun 20092010 dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai staf Divisi Public Relation pada tahun 2008-2010. Penulis juga pernah mengikuti UKM Gentra Kaheman pada tahun 2008 dan juga Koran Kampus IPB pada tahun 2008-2011 sebagai Reporter. Selain itu penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan seperti menjadi staf Divisi Dekorasi Indonesian Ecology Expo, bendahara acara Be Good in Journalistic, menjadi Koordinator Acara Family and Consumer Day, menjadi sekretaris Masa Perkenalan Fakultas, menjadi staf divisi acara dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen, menjadi Master of Ceremony dalam acara Penglepasan Sarjana Fakultas Ekologi Manusia, serta berbagai kegiatan lain yang dilaksanakan HIMAIKO. Selain itu, penulis juga pernah bergabung menjadi Asisten Praktikum Dasardasar Komunikasi pada tahun 2010-2011 dan menjadi Asisten Guru di Labschool Pendidikan Karakter IPB-ISFA pada tahun 2011.