Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya, 24 Nopember 2010 “INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN” ISBN No. 978-979-98808-3-3
KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KOTA DI SURABAYA
1*
2
Ardy Maulidy Navastara , Muhd. Zia Mahriyar , Cihe Aprilia Bintang
3
1*
Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya
[email protected] 2 Asisten Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya 3 Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya
Abstrak Fenomena urban sprawl sebenarnya merupakan suatu proses alami yang terjadi akibat pertumbuhan penduduk di suatu kota itu sendiri. Hal ini berarti direncanakan atau tidak, penduduk kota akan terus bertambah dan fenomena urban sprawl akan terjadi dengan sendirinya. Pentingnya hal ini untuk diperhatikan adalah karena fenomena urban sprawl dapat membawa berbagai dampak negatif bagi perkembangan suatu kota, mulai dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan perkotaan. Sehingga sejatinya diperlukan suatu konsep penataan ruang yang inovatif yang dapat diterapkan dalam proses perencanaan kota dalam mereduksi perkembangan kota yang semakin meluas. Salah satu konsep perencanaan tata ruang yang inovatif yang dapat diterapkan dalam mereduksi permasalahan urban sprawl ini adalah konsep compact city. Konsep ini telah berhasil diterapkan di beberapa kota di negara maju. Contohnya di Kota Tokyo dan Kobe di Jepang. Di kota-kota tersebut telah dibuktikan bahwa untuk satu node compact city dapat direduksi sekitar 30 persen dampak dari permasalahan urban sprawl. Konsep seperti ini seharusnya dapat diadopsi dalam proses perencanaan kota-kota di Indonesia. Makalah ini membahas bagaimana potensi penerapan konsep compact city ini di Kota Surabaya sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang telah mengalami permasalahan urban sprawl. Katakunci: compact city, urban sprawl, tata ruang
1.
Pendahuluan
Tingginya angka pertumbuhan penduduk dikawasan perkotaan merupakan suatu hal yang secara umum terjadi. Direncanakan atau tidak, pada umumnya jumlah penduduk akan terus meningkat baik dari kelahiran maupun tingkat in-migrasi ke kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan akan pemukiman, tempat bekerja, tempat berbelanja, rekreasi, serta sarana dan prasarana lainnya ikut meningkat. Pembangunan yang dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan penduduk ini jika tidak dikendalikan akan membuat perkembangan suatu kota menjadi semakin meluas sampai kedaerah sub-urbannya. Perkembangan kota yang semakin meluas dan tumbuh secara acak ini sering dikenal dengan istilah urban sprawl.
Pengendalian tingkat urban sprawl ini menjadi peran perencanaan kota yang sangat penting, mengingat fenomena urban sprawl di kawasan perkotaan telah mengakibatkan tingginya mobilisasi penduduk dengan jarak yang jauh dari kawasan sub-urban menuju ke pusat kegiatan penduduk yang seringkali terdapat pada kawasan pusat kota. Tingginya angka mobilisasi inilah yang akhirnya dapat menyebabkan semakin besarnya penggunaan energi, peningkatan jumlah emisi polutan, dan berbagai permasalahan lainnya yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka perlu diidentifikasi solusi permasalahan urban sprawl yang berbasis perencanaan tata ruang. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai fenomena urban sprawl sebagai permasalahan umum perkotaan, dan kasus studinya di Kota Surabaya. Kemudian sebagai solusi, akan direkomendasikan konsep compact 1
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya, 24 Nopember 2010 “INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN” ISBN No. 978-979-98808-3-3
city yang akan dibahas mengenai bagaimana potensi penerapannya di Kota Surabaya sebagai representasi kota yang telah mengalami fenomena urban sprawl di Negara berkembang. 2.
Fenomena Urban Sprawl Sebagai Permasalahan Umum Kawasan Perkotaan
Pertumbuhan penduduk merupakan suatu fenomena klasik dan umum terjadi pada kota-kota baik di Negara maju maupun di Negara berkembang di seluruh dunia. Begitu pula di Kota Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia setelah ibu kota Jakarta. Pertumbuhan penduduk Kota Surabaya termasuk tingkat yang tinggi di Indonesia. Pertumbuhan penduduk secara keseluruhan terlihat linier di Kota Surabaya, dimana berdasarkan RTRW Kota Surabaya 2003-2013, pada tahun 2000 penduduk kota sudah mencapai 2.444.956 jiwa. Gambaran pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya yang terus meningkat dapat dilihat pada Gambar 1. 3000000
Total Penduduk
2500000
2000000 Series1
1500000
Series2
1000000
500000
0 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun
Sumber : RTRW Surabaya 2000-2013 Gambar 1.Jumlah Tahun 1992/2000
Penduduk
Kota
Surabaya
Berdasarkan grafik tersebut, secara keseluruhan pertumbuhan penduduk bertambah secara linier. Hal ini pada umumnya terjadi pada tahap-tahap awal pertumbuhan kota. Jika dilihat secara lebih rinci pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Pertumbuhan penduduk Kota Surabaya 1971-1999 dalam persen (%) 19711980
19801990
19901999
Surabaya pusat
0.0089
-0.0129
-0.0336
Surabaya utara
0.0489
0.0062
-0.0064
Surabaya timur
0.0502
0.0423
0.0454
Surabaya selatan
0.0191
0.0194
0.0049
Surabaya barat
0.1455
0.0704
0.0516
SURABAYA 0.0333 0.0206 Sumber: RTRW Surabaya 2000-2013
0.0164
WILAYAH
Dari data yang terdapat pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa ternyata memang terjadi pertumbuhan penduduk pada periode 1971-1980. Namun, pada tahap selanjutnya penduduk di pusat kota Surabaya mengalami penurunan sebesar 0,0129%. Penurunan ini terus meningkat menjadi 0,036% pada periode berikutnya. Begitu pula dengan daerah Surabaya utara yang mengalami penurunan sebesar 0,64%. Jumlah penduduk yang meningkat adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan sub-urban, sedangkan jumlah penduduk yang mengalami penurunan adalah daerah-daerah yang berada di pusat Kota Surabaya. hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan Surabaya akan semakin menyebar. Tahap pertumbuhan seperti ini dapat terjadi karena semakin terbatasnya lahan, sedangkan permintaan akan lahan tersebut semakin meningkat. Di Kota Surabaya sendiri 90% lebih lahan sudah merupakan lingkungan terbangun dengan persentase 50% permukiman, 20% industri, 20% fasilitas umum dan hanya 10% sisanya yang merupakan kawasan belum terbangun (RTRW Surabaya, 2000). Hal tersebut mengakibatkan semakin meningkatnya harga lahan, dan penduduk mulai merubah preferensinya untuk tinggal di kawasan sub-urban. Tahap-tahap ini terjadi di banyak kota di seluruh dunia, baik di Negara maju maupun Negara berkembang. Setelah tahap mulai berpindahnya penduduk ke kawasan sub-urban ini terjadi, maka dapat dikatakan fenomena urban sprawl telah terlihat di kota tersebut. Tingkat urban sprawl secara sederhana menurut Staley (1999) dapat diindikasikan melalui “sprawl index”. Apabila nilai sprawl index suatu wilayah lebih besar daripada wilayah yang lainnya, maka hal tersebut 2
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya, 24 Nopember 2010 “INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN” ISBN No. 978-979-98808-3-3
merupakan indikasi bahwa perkembangan lahan di wilayah tersebut lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penduduknya. Kondisi Kota Surabaya sendiri pada saat ini, 90% lebih lahan yang ada sudah merupakan kawasan terbangun (Dewi, 2006), sedangkan kepadatan penduduk rata-rata tergolong dalam kategori rendah dengan jumlah 72,79 jiwa/Ha. Kepadatan penduduk yang rendah terdapat pada hampir seluruh bagian Kota Surabaya, yaitu Unit Pengembangan (UP) I, II, III, VIII, IX, X, XI, dan XII (Sadikin, 2009). Fakta empiris tersebut mengindikasikan bahwa fenomena urban sprawl telah terjadi pada hampir seluruh bagian Kota Surabaya. Ekspansi kegiatan terus terjadi dari Kota Surabaya sebagai inti menuju Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, dan Gresik sebagai wilayah pinggirannya (LPPM ITS, 2007). Dampak dari fenomena urban sprawl yang telah terjadi di Kota Surabaya dapat dilihat melalui tingginya volume transportasi dari kawasan sub-urban menuju pusat Kota Surabaya maupun sebaliknya. Pada saat ini jumlah pergerakan dari kawasan sub-urban sendiri sudah melebihi jumlah pergerakan yang terjadi di dalam Kota Surabaya (Rachmadita, 2009). Jumlah pergerakan dari daerah pinggiran yang masuk ke Kota Surabaya melalui Jalan Ahmad Yani mencapai 1.481.344 satuan mobil penumpang (smp) setiap harinya. Pergerakan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan koridor-koridor jalan dalam kota, seperti Jalan Pemuda yang hanya dilalui 79.936 smp setiap harinya (Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, 2005). Tingginya volume transportasi ini membawa berbagai dampak turunan yang buruk bagi sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan perkotaan. Salah satu contoh dampak turunannya adalah meningkatnya angka pencemaran udara. Berdasarkan Laporan Hasil Monitoring Hutan Kota Surabaya, transportasi menyumbang 5.480.000 ton per tahun emisi Karbon Monoksida (CO) atau sekitar 96% dari total emisi udara di Kota Surabaya (Rismanda, 2001). Dampak negative tersebut mengindikasikan fenomena urban sprawl telah menjadikan pembangunan Kota Surabaya menjadi tidak berkelanjutan.
3.
Konsep Compact City Sebagai Solusi Inovatif Permasalahan Pembangunan Berbasis Penataan Ruang
Ketika fenomena urban sprawl yang berdampak negative terhadap kawasan perkotaan terjadi, peran perencanaan tata ruang menjadi sangat krusial dalam mengendalikan pertumbuhan kawasan perkotaan tersebut. Kawasan yang mengalami urban sprawl seharusnya direncanakan untuk dikendalikan perluasan kawasannya, bukan dibiarkan tumbuh mengikuti kekuatan pasar (market force) seperti yang terjadi di banyak kota baik di Negara maju maupun berkembang di seluruh dunia. Salah satu contohnya, untuk saat ini, konsep inovatif yang dicetuskan sebagai solusi dari fenomena pembangunan kota acak (urban sprawl development) adalah konsep compact city (Roychansyah, 2006). compact city telah dicoba untuk diterapkan dalam konsep operasional yang sangat beragam di berbagai kota. Strategi compact city juga telah dipandang sebagai alternatif utama ide pengimplementasian pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota (Roychansyah, 2006). Bentuk kota yang kompak akan mampu mereduksi jarak tempuh perjalanan sehingga dapat menurunkan tingkat mobilisasi penduduk. Tingkat kepadatan yang tinggi dari compact city juga akan memberikan keuntungan dalam penyediaan pelayanan, transportasi umum, pengelolaan sampah, pelayanan kesehatan dan pendidikan (Jenks, 2000). Barret (1996) dalam Jenks (2000) menyatakan melalui surveynya mengenai tingkat kepadatan sebagai salah satu dimensi dari konsep compact city terhadap transportasi di Inggris, semakin tinggi tingkat kepadatan, maka akan semakin kecil jumlah pergerakan dan semakin banyak penggunaan kendaraan umum atau berjalan kaki. Berdasarkan hasil penelitiannya, didapatkan bahwa kawasankawasan yang paling padat memiliki jumlah pergerakan yang mencapai 19,05% lebih sedikit dari jumlah pergerakan keseluruhan, dengan jumlah total pergerakan pada kawasan tersebut adalah 129,2 Km per-orang perminggu. Tingkat efektivitas urban compactness yang akan diterapkan pada kota-kota di Negara berkembang seperti Surabaya, diharapkan dapat memiliki nilai yang sama, sehingga dapat mereduksi permasalahan transportasi yang terjadi akibat fenomena urban sprawl. Untuk mengetahui potensi penerapan konsep compact city di Kota Surabaya dapat dilihat dari tingkat urban compactness masing3
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya, 24 Nopember 2010 “INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN” ISBN No. 978-979-98808-3-3
masing kawasannya. Semakin tinggi tingkat urban compactness, maka akan semakin potensial kawasan menjadi suatu node compact city, dengan artian semakin banyak tingkat perjalanan yang dapat direduksinya. Tingkat urban compactness ini dapat dilihat dari 12 variabel utama yaitu: kepadatan penduduk, kepadatan terbangun, kepadatan permukiman, persentase ketesediaan fasilitas SD, persentase ketersediaan SMP, persentase ketersediaan SMA, persentase ketersediaan Puskesmas, jumlah ketersediaan dokter umum, gigi, bidan, perawat, dan tenaga medis lainnya, persentase penggunaan lahan perkantoran, persentase penggunaan lahan rekreasi atau ruang terbuka hijau, persentase in-migrasi, dan persentase pertumbuhan penduduk. Secara keseluruhan, tingkat urban compactness yang didapat di Kota Surabaya berdasarkan variabel-variabel tersebut, yang dianalisis dengan analisis cluster dan multi-dimensional scalling, dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2: Tingkat Urban Compactness di Kota Surabaya ANGGOTA CLUSTER EUCLID (ANALISIS CLUSTER) Compact
NILAI POINT URBAN COMPACTNESS (OVERLAY POINT ARC-GIS) Compact
Genteng
33
Simokerto
33
Sawahan
33
Bubutan
30
Semampir
29
Wonokromo
28
Tegalsari
27
Tambaksari
27
Gubeng
27
Sukomanunggal
27
Kenjeran
25
Krembangan
24
Pabean Cantikan
22
Sedang
Sedang
Tandes Sprawl
29 Sprawl
Lakarsantri
31
Pakal
30
Asemrowo
29
Bulak
28
ANGGOTA CLUSTER EUCLID (ANALISIS CLUSTER)
NILAI POINT URBAN COMPACTNESS (OVERLAY POINT ARC-GIS)
Sukolilo
28
Sambikerep
28
Jambangan
27
Benowo
27
Tenggilis Mejoyo
26
Gunung Anyar
26
Wonocolo
26
Gayungan
26
Rungkut
25
Karangpilang
24
Mulyorejo
23
Wiyung
22
Dukuh Pakis Sumber: Mahriyar, 2010
21
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 2, didapatkan 13 kecamatan di Kota Surabaya sudah merepresentasikan kondisi yang compact, dimana kawasan yang paling compact adalah Kecamatan Simokerto, kemudian terdapat 1 kecamatan dengan tingkat urban compactness sedang yaitu Kecamatan Tandes, dan 17 kecamatan dengan pola sprawl. Dimana kawasan yang merepresentasikan kondisi sprawl ini adalah Dukuh Pakis. Berdasarkan hasil analisis didapatkan jarak perjalanan rata-rata masyarakat di kawasan yang compact di Kota Surabaya ini adalah 37,37% lebih sedikit dari jarak perjalanan rata-rata masyarakat di kawasan yang sprawl. Hal ini menunjukkan bahwa konsep compact city sangat efektif untuk diterapkan di kota-kota di Negara berkembang, khususnya Kota Surabaya (Mahriyar, 2010). Kondisi terdapatnya 13 kecamatan dengan pola yang compact ini juga menunjukkan bahwa penerapan konsep compact city secara keseluruhan sangat potensial di Kota Surabaya. Pada 13 kecamatan ini hanya perlu ditingkatkan beberapa bagian dari variabel urban compactness, karena secara keseluruhan ratarata sudah memiliki nilai yang tinggi. Pada kawasan yang compact di Kota Surabaya direkomendasikan pengendalian kepadatan agar bernilai tetap serta peningkatan pada sisi tata guna lahan yang mixed use. Sedangkan untuk 1 kecamatan yang berpola sedang dan 17 kecamatan yang berpola sprawl, dapat diterapkan peningkatan pada tiga indikator utama compact city, yaitu intensitifikasi, mixed4
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya, 24 Nopember 2010 “INOVASI DALAM RISET DAN PRAKTEK PERENCANAAN MENUJU PENATAAN RUANG KOTA MASA DEPAN” ISBN No. 978-979-98808-3-3
use, dan peningkatan kepadatan karena penduduknya masih memungkinkan untuk ditambah. Hal yang kemudian perlu diperhatikan adalah penyebaran kepadatan yang ada untuk tujuan utama efisiensi. Sehingga, diutamakan mereka yang tinggal pada suatu kawasan, juga melakukan aktivitas-nya sebagian besar pada kawasan tersebut. Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mendukung efektivitas urban compactness di Kota Surabaya ini adalah transit oriented development, public transport priority, dan cordon-line (Mahriyar, 2010). Pada akhirnya dengan diimplementasikannya konsep compact city ini di Kota Surabaya, diharapkan permasalahan pencemaran udara, peningkatan penggunaan BBM, serta permasalahan lainnya yang timbul akibat fenomena urban sprawl, dapat terselesaikan dan pembangunan Kota Surabaya yang berkelanjutan dapat terwujud. 4.
Kesimpulan
Urban sprawl merupakan fenomena alami yang terjadi di perkotaan. Adanya dampak urban sprawl terhadap perkembangan kota dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan perkotaan mendorong menerapkan konsep compact city sebagai salah satu solusi yang inovatif dalam perencanaan tata ruang kota. Berdasarkan studi ini, konsep compact city sangat efektif untuk diterapkan pada kotakota di negara berkembang, seperti Surabaya. Hasil studi menunjukkan tiga kondisi tingkat urban compactness, yaitu compact, sedang dan sprawl. Walaupun kondisi kota Surabaya cenderung sprawl, namun tingkat urban compactness-nya sangat tinggi, sehingga sangat potensial diterapkannya konsep tersebut. Untuk mendukung efektivitas urban compactness di Kota Surabaya diperlukan strategi pengembangan yang tepat. 5.
Jenks, Mike dan Rod Burgess. 2000. Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing Countries. Spon Press, London. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyrakat (LPPM-ITS). 2007. Proposal Peneltian Fenomena Urban sprawl di Surabaya Metropolitan Area. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Mahriyar, Muhammad. 2010. Perumusan Konsep Peningkatan Efektivitas Urban Compactness di Kota Surabaya. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota- ITS, Surabaya. Rachmadita, S.O. 2009. Arahan Kebijakan Modal Shift Kendaraan Pribadi Ke Bus Kota Untuk Pekerja Ulang-Alik SidoarjoSurabaya di Kecamatan Waru. Surabaya: Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota-ITS. Rismanda, Erik. 2001. Hasil Laporan Monitoring Hutan Kota Surabaya. Program Divisi Kampanye ECOTON. Roychansyah, M, S, 2006, Paradigma Kota kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota?. INOVASI, Vol.7/XVIII/Juni 2006. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang Staley, Samuel R. 1999. The Sprawling of America: In Defence of the Dynamic City. Reason Public Policy Institute. Los Angeles, California. Sadikin, Alie. 2009. Konsep Penataan Spasial Pelayanan Pendidikan Untuk Jenjang SMP di Surabaya Berdasarkan Indikator Kota kompak. Surabaya: Thesis Program Magister Manajemen Pembangunan Kota- ITS
Referensi
Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya 2000-2013. Surabaya Dewi, Myrna. 2006. Penataan ruang berbasis ekologi: konsep roof garden dan urban farming dalam memperbaiki kualitas udara di surabaya. Planologi ITS. 5