AIYU SHIROTABIOTA INDONESIA
Biotechnology Consulting & Trading Komp. Sapta Taruna PU, Blok B1 No. 13 Bandung, West Java - Indonesia Tel/Fax : (022) 87522548
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph Dengan Bio locs
AIYUSHIROTA
www.aiyushirota.com
1
Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotroph Dengan Bioflocs
Konsep Dasar 1. Penerapan “ heterothrophic shrimp culture “
Penggunaan probiotik heterotrop yang terdiri atas: ‐ bakteri organothroph : Bacillus spp. , Lactobacillus spp. ‐ bakteri chemoautothroph : Thiobacillus spp. , Rhodobacter spp. ‐ autothroph : plankton dari genera diatomae dan chlorella
2. Penerapan “ minimal water exchange system “
Penggantian air yang minimal, terutama di 60 hari pertama masa budidaya, penggantian air hanya untuk mengganti penyusutan air karena penguapan, rembesan di bulan pertama budidaya dan dari susut air akibat pembuangan lumpur regular. Volume penggantian air maksimal 5% per hari.
Konsekuensi dari sedikit ganti air dengan penggunaan probiotik tiap harinya adalah dominasi pembentukan “floc” bakteri, berupa partikel yang melayang dalam badan air, yang menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air dan secara tak langsung membatasi ruang dan pertumbuhan plankton dan bakteri fotosintesis.
Floc = Flok = Flock = Bioflocs = Bioflock
Merupakan istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment ). Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Flock Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton.
2
Bioflocs Bioremediasi Bioaugmentation
Bioflocs
: Penggunaan organisme biologi seperti tanaman atau mikroorganisme untuk menghilangkan bahan tertentu yang bersifat polutan. : Teknik yang digunakan dalam Bioremediasi untuk meningkatkan kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan polutan. Seperti kloning bakteri, rekayasa genetik, biofloc (activated sludge),dll. : Pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah.
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk bioflocs. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs. Prinsip kerja yang sama yang melibatkan PHA sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan bahan organik dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de soya dan klekap di tambak. Mekanisme dan tahapan proses pembentukan bioflocs sangatlah rumit dan masih merupakan misteri hingga saat ini. Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton. Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya: Zooglea ramigera Escherichia intermedia Paracolobacterium aerogenoids Bacillus subtilis Bacillus cereus Flavobacterium Pseudomonas alcaligenes Sphaerotillus natans Tetrad dan Tricoda
3
•
Bacillus subtilis & cereus dalam bioflocs :
•
Zooglea ramigera dalam bioflocs :
•
Algae, ragi dan jamur dalam bioflocs :
4
•
Tetrad dan tricoda dalam bioflocs :
•
Protozoa dan Zooplankton dalam bioflocs :
5
•
Pseudomonas, Paracolobacterium aerogenoids dan Sphaerotillus natans dalam bioflocs :
•
Escherichia intermedia dalam bioflocs :
6
Dari analisis kimia kuantitatif proksimat, rumus molekul bioflocs identik dengan rumus empirik sel bakteri ; C5H7NO2 :
UNSUR
KADAR (% )
KARBON ( C )
47,00
HIDROGEN ( H )
6,00
OKSIGEN ( O )
32,40
NITROGEN ( N )
8,5
RUMUS EMPIRIK
C5H7NO2
Secara umum, bahan organik dalam air ( COD/BOD ) dioksidasi secara aerob oleh bakteri pembentuk bioflocs menjadi gas CO2 dan H2O serta residu berupa massa sludge ( flocs ) sesuai dengan nilai konversi dari senyawa organik tersebut :
SENYAWA ORGANIK
% KONVERSI MENJADI BIOFLOCS
KARBOHIDRAT
65‐85
ALKOHOL
52‐66
PROTEIN
32‐68
LEMAK
10‐60
KASEIN
50‐53
GLUKOSA
49‐59
SUKROSA
58‐68
Pembentukan Dan Pemeliharaan Bioflocs Prinsip dasar : Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs ( flocs forming bacteria ) yang mensintesis biopolimer poli hidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflocs. Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan.
Bioflocs yang terbentuk lebih jauh berfungsi bagi pemurnian (purifikasi) air di kolam, dengan fungsi sebagai pengoksidasi bahan organik lebih lanjut, melangsungkan nitrifikasi, dan pembatas pertumbuhan plankton. Bahan organik yang digunakan berupa pakan udang dengan proporsi C:N:P = 100:10:1 Sumber karbon tambahan dari kalsium karbonat (kaptan) Sumber Nitrogen tambahan dari pupuk ZA ( Ammonium sulfat )
Pembentukan bioflocs skala kecil ( Bioflocs booster ): Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan secara in door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber. Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan konsentrasi 1% , berikut 1% nutrien bakteri yang berupa campuran buffer pH, osmoregulator berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan sel dan precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara intensif enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi berlangsung (nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari isolat lokal atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti diketahui mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri pembentuk bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, diusahakan pH bertahan antara 6,0 ‐7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya, bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran partikel bioflocs yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran sekitar 100 µm.
Pembentukan bioflocks skala besar: Pada pengolahan limbah cair industri biasanya dosis awal penambahan Bioflock booster sekitar 200 ppm setiap hari selama 1‐2 minggu berturut turut, selanjutnya ketika COD/BOD sudah turun, seiring penambahan massa sludge/”bioflocs” terjadi ( mencapai volume SSV 200 ke atas, penambahan Bioflock booster dilakukan 1x seminggu saja dengan dosis 100 ppm. Pada budidaya udang (shrimp aquaculture) penambahan Bioflock booster dapat dilakukan plate 3‐5 ppm per hari sejak pertama masuk air hingga menjelang panen. Atau dapat menerapkan dosis lebih besar di 30 hari pertama budidaya dan selanjutnya dengan dosis normal 3‐5 ppm pasca 30 hari pertama untuk mempercepat pembentukan bioflocs. Pada pengolahan limbah industri yang sedikit menggunakan bahan organik, seperti limbah tekstil, logam, pabrik gas ammonia, pabrik pupuk kimia, ditambahkan sumber karbon tambahan berupa molase, tepung kanji/tapioka, gula pasir, urea dan TSP untuk pemupukan bakteri nitrifikasi. Untuk Industri yang berbasis pengolahan bahan organik tentu tidak diperlukan, semisal pabrik gula, pabrik tapioka, pengolahan ikan, bahan makanan dll. Untuk industri akuakultur, budidaya udang khususnya, sebenarnya tidak memerlukan tambahan sumber karbon dari bahan organik lain, karena pakan udang sendiri sudah mengandung 58‐60 % karbon (C) yang mempunyai nilai konversi tinggi menjadi bioflocs dari bahan karbohidrat, protein dan lemak yang terkandung di dalamnya. Kecuali jika dikehendaki di masa awal budidaya, dimana jumlah karbon masih relatif rendah di kolam.
7
8
•
Perkembangan bioflocs tahap inisialisasi awal pembentukan :
•
Perkembangan bioflocs tahap pembentukan dominan /stabilisasi awal :
•
Perkembangan bioflocs tahap dominan/stabil :
9
Kondisi yang mendukung pembentukan Bioflocs: 1. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator) Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan mengendap relatif kecil. 2. Karbon dioksida (CO2) Karbon dioksida menjadi salah satu kunci terpenting bagi pembentukan dan pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen seperti bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus, photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia ( Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk pembentukan selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari bahan organic semisal karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga Zooglea, Flavobacterium, tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs lainnya. Bahkan Bacillus sendiri, sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik dan menghasilkan gas karbon dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan karbondioksida dalam pernafasan anaerobnya ketika melangsungkan reaksi denitrifikasi. Aerasi memberikan konstribusi gas karbon dioksida yang relatif kecil, dan tidak menjangkau lapisan sedimen anaerob di dasar kolam. CaCO3 menjadi sumber gas karbon dioksida yang sangat efektif, karena kelarutannya yang sangat kecil (20 ppm) dengan ukuran partikel sedang ( 80‐100 mesh ) memberikan kontribusi gas karbon dioksida secara slow release. CaCO3 / kaptan diperlukan pada penguraian anaerob sebesar minimal 1000 ppm (seperti pembuatan pupuk kompos misalnya) dan 2000 ppm untuk kultur bakteri gram negative non pathogen seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter. Untuk melangsungkan proses Nitrifikasi, setiap pengoksidasian 1 mg/L ammonium/ammonia ( ion NH4+/ gas NH3 ) memerlukan 8,64 mg/L HCO3‐ atau sama dengan 14,16 ppm CaCO3. Adanya kristal garam amorphous Kalsium karbonat pada struktur nitrosomonas nitrobacter pada tekstur Bioflocs memberi bukti pentingnya pemberian kalsium karbonat untuk melangsungkan nitrifikasi :
10 Pemberian/treatment 10‐20 ppm CaCO3/kaptan per 1‐2 hari sekali diperlukan untuk mendukung proses Nitrifikasi. Penebaran CaCO3/kaptan sebaiknya pada daerah arus mati, dimana ada daerah penumpukan lumpur, CaCO3/kaptan akan cepat diuraikan menjadi HCO3‐ dan selanjutnya CO2 selama berlangsungnya fermentasi anaerob di dalam sedimen tersebut. Nitrifikasi pada sistem bioflocs berlangsung lebih intentif ratusan kalinya dibanding dengan nitrifikasi pada sistem plankton. Karena sifatnya yang peka akan cahaya, bakteri nitrosomonas dan nitrobacter yang pada persyaratan pengemasan standar internasionalnya saja harus mengunakan pewarna karamel (karbon dari pembakaran gula) dan wadah berwarna gelap, terdapat sedikit saja pada sistem plankton dengan penetrasi cahaya matahari yang intens.
Sementara pada sistem bioflocs, nitrosomonas dan nitrobacter melindungkan dirinya dalam struktur bioflocs, untuk melindungi dirinya dari cahaya matahari. 3. N/P Rasio Distribusi plankton dan terutama bad plankton seperti blue green algae dan dinoflagellata ditentukan sekali oleh proporsi nisbah nitrogen terhadap posfor, pada lingkungan eutrophic dengan perbandingan total ppm N dibagi total ppm P di bawah 10 (N/P rasio < 10 ) didominasi dengan pertumbuhan BGA atau Red tide. Studi intensif tentang hubungan N/P rasio pada jurnal hidrologi dan oceanografi intensif dilakukan, fenomena Red Tide dan “hujan salju laut” / snow sea yang berhubungan dengan jatuhnya nilai total Nitrogen di laut diiringi dengan turunnya nisbah N/P rasio menjadi kajian hidrolog dunia. Pada nisbah N/P yang rendah, berarti konsentrasi Nitrogen relatif rendah dengan konsentrasi posfor relatif tinggi, diatomae, chlorella dan bakteri pertumbuhannya terbatas karena tidak dapat memperoleh tambahan asupan Nitrogen lainnya. Sementara Blue green algae dan beberapa spesies Dinoflagelllata dapat mengabsorpsi langsung Nitrogen dari udara, sehingga pertumbuhannya tidak terbatasi. Pada nisbah N/P yang tinggi, berarti kelimpahan konsentrasi Nitrogen tinggi dalam air, sementara posfor menjadi faktor pembatas karena konsentrasinya relatif rendah, Blue green algae, dinoflagellata, chlorella dan diatomae pertumbuhannya terbatas. Sementara bakteri, terutama genera Bacillus yang mempunyai kemampuan untuk melarutkan posfat langsung dari tanah atau batuan dapat memenuhi kebutuhannya akan posfor, sehingga pertumbuhannya tidak terbatasi. Pada umumnya : Pada N/P rasio dibawah 10 populasi BGA dan Dinoflagellata dominan Pada N/P rasio 10‐20 populasi chlorella,diatomae,BGA,Dinoflagellata & bakteri berimbang Pada N/P rasio di atas 20 populasi bakteri dominan 4. Manipulasi N/P rasio : Dari keterangan di atas dapat disimpulkan untuk strategi pembentukan flocs bakteri yang lebih cepat dan stabil, lebih baik jika mensetting kondisi air kolam pada nisbah N/P rasio yang tinggi, lebih baik di atas 20. Untuk menaikkan konsentrasi nitrogen dapat menggunakan pupuk ammonium (NH4+) berupa pupuk ZA / (NH4)2SO4 sekitar 1 ppm per hari sejak pertama masuk air (persiapan) hingga 30 hari DOC, atau hingga bioflocs terbentuk sempurna.
11
Untuk daerah perairan subur (laut) dengan tekstur tanah liat, tembok atau terpal pemakaian ZA lanjutan setelah bioflocs terbentuk tidak diperlukan, untuk mengurangi beban oksidasi nitrogen ( Nitrifikasi ). ZA digunakan lagi jika sistem bioflocs terganggu dengan pertumbuhan Blue green algae yang massif. Untuk daerah perairan miskin hara (samudera) dengan tekstur tanah pasir, tembok atau terpal, pemakaian ZA lanjutan setelah bioflocs terbentuk tetap bisa dilakukan untuk mempertahankan kestabilan bioflocs. Untuk menurunkan konsentrasi posfor dapat menggunakan aplikasi pengapuran untuk pengikatan sementara available posfor dalam air, baik dengan CaCO3 atau Ca(OH)2 untuk mengikat posfor bentuk terlarut menjadi bentuk tidak larut dalam air. Atau aplikasi zat pengikat posfor lainnya seperti clyptonite (zeolite) atau lanthanium klorida yang diikat dalam zeolit/bentonit yang akan mengikat abadi posfor dalam bentuk tidak dapat larut (Lanthanium‐posfat). Amaran : Sangat tidak disarankan untuk menggunakan pupuk urea/CO(NH2)2 karena justru akan dikonsumsi langsung oleh Blue green algae. Ureum/urine sebagai pupuk hanya bisa dikonsumsi oleh chlorella, diatomae atau tanaman tingkat tinggi jika sudah terhidrolisis menjadi Ammonium karbonat / (NH4)2CO3 :
Enzim urease CO(NH2)2 + H2O ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐Æ (NH4)2CO3 Sementara Blue green algae dapat langsung mengkonsumsi urea dalam bentuk senyawa ureumnya / CO(NH2)2. Sehingga manipulasi peningkatan N/P rasio malah dapat menyebabkan blooming Blue green algae. Pupuk Nitrat dapat digunakan sebagai pengganti pupuk ammonium. Namun, pupuk ammonium tetap disarankan sebagai agen untuk memanipulasi N/P rasio karena mempunyai kelebihan lain, yakni kemampuannya untuk membatasi pertumbuhan Blue green algae. Keberadaan ion ammonium dalam air dapat menghambat enzim hydrogenase BGA, hingga kehilangan kemampuan mengambil Nitrogen langsung dari udara, disamping itu ion ammonium juga menyebabkan Lysis pada Blue green algae jika diterapkan pada dosis tinggi ( 5 ppm pupuk ZA selama 3‐5 lima hari beturut turut ) hingga menyebabkan kematiannya. Jurnal dan penelitian yang mendukung penerapan ammonium / pupuk ZA untuk pengendalian Blue green algae diantaranya :
a. J.K.P. Rowell, and W.D.P. Stewart. 1978. Effects of 5‐hydroxylysine on acetylene reduction and NH4+ assimilation in the cyanobacterium Anabaena cylindrical. Biochem. Biophys. Res. Commun. 83 : 688 ‐ 696 b. Ohmori,M. & Hattori,A. 1974. Effect of Ammonium on Nitrogen fixation by the blue green algae Anabaena cylindrical. Plant & cell Physiology. 15: 131‐142 c. Barkoh,A. D.G. Smith and J.W. Schlecte. 2003. An effective minimum concentration of un‐ionized ammonia nitrogen for controlling Prymnesium parvum. North American Journal of Aquaculture 65: 220‐225
12
d. Barkoh, A., D.G. Smith, J.W. Schlechte and J.M. Paret. 2004. Ammonia tolerance by sunshine bass fry: Implication for use of ammonium sulfate to control Prymnesium parvum. North American Journal of Aquaculture 66:305‐311. e. Grover, J.P., J.W. Baker, B.W. Brooks, R.M. Errara, D.L. Roelke and R.L. Kiesling. 2007.Laboratory tests of ammonium and barley straw as agents to suppress abundance of the harmful alga Prymnesium parvum and its toxicity to fish. Water Research 41:2503‐2512 f. Kurten, G.L., A. Barkoh, L.T. Fries, and D.C. Begley. 2007. Combined nitrogen and phosphorus fertilization for controlling the toxic alga Prymnesium parvum. North American Journal of Aquaculture 69:214‐222. 5. Indikator Keberhasilan Pembentukan Bioflocs Bioflocs terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 ( antara 7,2 – 7,8) dengan kenaikan pH pagi dengan pH sore yang kecil (rentang pH antara 0,02–0,2 ). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis ion NH4+, ion NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari. 6. Trouble Shooting • Flocs di kolam berbusa; Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri berfilamen yang menempel pada Bioflocs :
13
Tebar 10 ppm Kalsium peroksida, ikuti dengan menahan pergantian air selama 5‐6 hari sambil dilakukan penambahan 20 ppm CaCO3/kaptan per harinya, jika pada hari ke 6 busa masih ada, tebar 10 ppm Kalsium Peroksida lagi, pada hari ke 7 air mulai dimasukkan ke dalam kembali, dan ketinggian air dipulihkan ke ketinggian semula. • Bioflocs terlalu pekat :
Lakukan pengenceran secara over flow, pipa pengeluaran dipotong sama rata dengan ketinggian air di dalam kolam. Biarkan air yang masuk menyebabkan air tumpah keluar lewat pipa pembuangan yang telah dipotong sama rat dengan ketinggian air di dalam kolam.
•
Bioflocs ketebalannya berkurang ( normal 10‐20 cm sechi disk ) dan warna air mengarah ke hijau :
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA 5 ppm setiap harinya untuk menekan pertumbuhan blue green algae. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
•
Bioflocs ketebalannya berkurang ( normal 10‐20 cm sechi disk ) dan warna air mengarah ke coklat merah :
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5‐6 hari, aplikasikan CaCO3 / kaptan 20 ppm setiap harinya dan 1‐2 x treatment dengan Kalsium peroksida. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.
•
Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5‐6 hari treatment:
Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap kolam tersebut, hindari pengenceran/sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin harian saja.
14
7. Pembuatan Bioflocs sintetik/instan : Di Amerika mulai dikembangkan proses pembuatan Bacterial flocs instan dengan menggunakan campuran: a. Koagulan Ferro ( FeSO4 ) yang direaksikan dengan PHA seperti polihidroksi glikonoat atau butirat sebagai bahan pengkoagulasi dan polimerisasi. b. NiSO4 dan CuSO4
Prinsip kerjanya adalah, campuran dimasukkan dengan konsentrasi tertentu pada kolam pengolahan limbah industri yang sudah ditumbuhkan plankton dan seeding bakteri di dalamnya. NiSO4 dan CuSO4 segera bereaksi mengkoagulasikan enzim pernafasan plankton dan bakteri, plankton dan bakteri kemudian kehilangan kemampuan untuk bernafas dan mati. Sel mati plankton dan bakteri kemudian terkoagulasi oleh Fe2+ membentuk gumpalan koloid dan “diharap” Poli hidroksi alkanoat (PHA) mampu menjalinnya menjadi ikatan polimer seperti pada sistem Bioflocs yang ada secara alami. Pada kenyataannya, gumpalan koloid tersebut cepat sekali jatuh dan mengendap, berbeda dengan Bioflocs sesungguhnya. Implikasi peracunan oleh logam berat untuk peruntukan akuakultur harus diwaspadai. Tes kualitatif terhadap bahan pembentuk Bioflocs instan sangat mudah dilakukan : ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Tempatkan 100 ml aquadest dalam gelas kimia kecil Masukkan 1 gram bahan pembentuk bioflocs instan Aduk homogen Masukkan 1 gram NaOH ke dalam larutan Aduk homogen Biarkan mengendap
Hasil : ‐ Terbentuk endapan hidroksida besi berwarna coklat di dasar gelas kimia ‐ Cairan jernih di atas endapan coklat berwarna kebiru biruan ungu dari warna Cu2+ dan Ni2+ dan bertambah biru jika dialirkan gas ammonia ke dalammnya. Tes lapangan : ‐ Tempatkan 100 ml biakan bakteri (Rhodobacter/Bacillus/Lactobacillus dll) atau plankton dengan kepekatan yang cukup signifikan. ‐ Tambahkan 1 gram bahan pembentuk bioflocs instan ‐ Aduk homogen ‐ Taruh wadah pada jarak 30 cm dari lampu pijar 100 watt
Hasil : ‐ Terjadi pemisahan fasa, endapan jatuh ke bawah dan terbentuk selaput jarosite/ pyrite terflotasi di atas permukaan cairan dan memberikan penampakan air jernih. Pemerintah AS hanya memberikan izin bahan pembentuk bioflocs instan hanya untuk aplikasi industri dan melarang penggunaannya untuk pengolahan limbah domestik rumah tangga, rumah sakit, restoran dan akuakultur.