JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 16-24
KONSELING MENINGKATKAN HARGA DIRI DAN KEMAMPUAN MENERIMA PENYAKIT PADA KLIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 Dyah Widodo, Kissa Bahari, Farida Halis DK. Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77C Malang email:
[email protected]
Abstract: Diabetes Mellitus (DM) one of non-communicable disease become one of desesase that is increase morbidity and mortality on many development contries. Client with DM often not acceptance to their condition and low self esteem. The purpose of this study to analyzes effect of counseling to self esteem and acceptance of desease on client with DM type 2. Design of study quasy exsperiment, with one group pre test and post test design. Population of study client with DM type 2 at Puskesmas Rampal Celaket and Clinic Bromo Malang. Sampling technique use purposive sampling, sample size 23 respondent. Data analyzes use descriptive statistic and t paired test with alpha 0,05. Result of this study the counseling effect to self esteem on client with DM type 2 (Pv 0,00 < alpha 0,05) and the counseling effect to acceptance of desease on client with DM type 2 (Pv 0,00 < alpha 0,05). Recommendation of this study is the counseling to applied for client with DM type 2 so can acceptance of their condition and have high self esteem when interpersonal relationship. Keywords: counseling, self esteem, acceptance of desease, diabetes mellitus type2 Abstrak: Diabetes melitus sebagai salah satu non-communicable disease mulai menonjol sebagai salah satu sebab morbiditas dan mortalitas di negara sedang berkembang. Klien DM sering belum dapat menerima kondisi penyakit sepenuhnya bahkan mengalami harga diri rendah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh konseling terhadap harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya pada klien diabetes mellitus tipe 2. Desain penelitiannya quasy eksperimen, yaitu one group pre test and post test design. Populasinya seluruh klien diabetes mellitus tipe 2 yang periksa di Puskesmas Rampal Celaket dan di Klinik Bromo Kota Malang. Teknik pengambilan sampel purposive sampling, besar sampel 23 orang responden. Pengolahan data menggunakan analisis statistik deskriptif dan uji t paired test dengan alpha 0,05. Hasil penelitian disimpulkan ada pengaruh konseling terhadap harga diri klien Diabetes Mellitus tipe 2 (Pv 0,00 < alpha 0,05) dan ada pengaruh konseling terhadap kemampuan menerima penyakitnya pada klien Diabetes Mellitus tipe 2 (Pv 0,00 < alpha 0,05). Disarankan perlu diterapkannya konseling untuk klien Diabetes Mellitus tipe 2 agar klien dapat menerima penyakit dan memiliki harga diri yang tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain. Kata kunci: konseling, harga diri, penerimaan penyakit, diabetes mellitus tipe2
PENDAHULUAN
Penyakit yang tidak menular tapi menahun, seperti diabetes mellitus, hipertensi, kegemukan dan penyakit jantung yang merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas di masyarakat barat, sekarang merupakan masalah juga di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut mencoba menghubungkan hal-hal tersebut
Diabetes melitus dan penyakit lain yang dikenal sebagai non-communicable disease mulai menonjol sebagai salah satu sebab morbiditas dan mortalitas di negara-negara sedang berkembang. Penyakit-penyakit tersebut akan menimbulkan suatu beban bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian negara pada saat sekarang dan di kemudian hari, baik secara langsung maupun tidak langsung. 16
ISSN 2301–4024
16
Widodo, Konseling harga diri dan kemampuan menerima penyakit DM
dengan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan dengan faktor sosio ekonomis serta demografi masyarakat. Berdasarkan Riskesdas (2007) diketahui bahwa prevalensi Diabetes mellitus ditahun 1985 1,7 meningkat menjadi 5,7 di tahun 2007. Berdasar usia, pada umur 40–59 tahun menduduki peringkat tertinggi, disusul pada umur 60–79 tahun peringkat kedua dan 20–39 tahun pada peringkat ketiga. Kondisi ini hampir sama antara negara berkembang dan negara maju. Data dari Riskesdas (2007) diketahui bahwa jumlah total penderita diabetes melitus adalah 5,7% dari total penduduk Indonesia, dimana Diabetes melitus yang terdiagnosis secara jelas (Diagnosed DM) hanya 1,5%, sementara itu yang belum terdiagnosis (undiagnosed DM) sebanyak 4,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi penyakit Diabetes melitus seperti fenomena gunung es, dimana kondisi yang tergambarkan secara jelas sesungguhnya hanyalah bagian permukaannya saja. Berdasarkan data dari IDF, Montreal, pada tahun 2009 jumlah penduduk yang menderita Diabetes melitus untuk usia 20–79 tahun pada tahun 2010, India menempati urutan teratas dengan 50,8 million. Sementara itu Indonesia adalah 7,0 million. Dengan jumlah tersebut Indonesia menempati peringkat ke sembilan dunia dibawah India, China, USA, Rusia, Brazil, Jerman, Pakistan dan Jepang. Namun prediksi di tahun 2030 Indonesia naik di peringkat ke enam dibawah Brazil dengan angka 12,0 milion, dengan jumlah penderita yang diprediksikan menjadi 87,0 million. Peningkatan angka penderita diabetes melitus ini melonjak tajam ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak terutama bidang kesehatan. Etiopatologi terjadinya diabetes melitus diperkirakan karena suatu sebab yang multifaktorial, antara lain: keturunan, virus yang yang menimbulkan kerusakan sel beta pankreas, pola makan, kegemukan, pola aktifitas, dan lingkungan. Salah satu contoh hasil Riskesdas 2007 diketahui bahwa aspek kegemukan memiliki kontribusi terhadap diabetes melitus, dimana hubungan IMT dengan diabetes melitus hanya 4,4% pada orang dengan IMT normal, namun pada orang obesitas menjadi 9,1%. ISSN 2301–4024
Diabetes melitus dikenal sebagai penyakit gangguan metabolisme maupun kelainan vaskuler yang dapat menimbulkan komplikasi yang sangat komplek pada sistem tubuh. Diabetes melitus sering disebut sebagai The Great Imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Soeparman, 1987). Menyimak kondisi yang dialami klien DM, tidak jarang klen tidak dapat menerima kondisi penyakit sepenuhnya padahal klien harus hidup dengan kondisi DM sepanjang hidupnya. Banyak klien masih dalam kondisi denial atau anger dan belum acceptance, bahkan ada yang mengalami harga diri rendah karena penyakitnya. Harga diri adalah penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya (Suliswati dkk, 2005). Menurut Stuart dan Sundeen (1998) harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga. Melihat dampak yang ditimbulkan akibat DM maka sangat penting upaya untuk membuat klien DM menerima penyakitnya dan membuat harga diri yang tinggi pada klien yang salah satunya melalui upaya konseling. Menurut pendapat Shertzer dan Stone (1999) dalam Nursalim & Suradi (2002) bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses dimana seorang konselor terlibat di dalam suatu hubungan dengan sejumlah konseli pada waktu yang sama yang bertujuan untuk membantu konseli dalam memecahkan suatu masalah. Konseling kelompok sebagai suatu proses interpersonal yang dinamis dengan memusatkan kepada kesadaran pikiran dan perilaku, serta berdasarkan fungsifungsi terapi yang bersifat memberi kebebasan, berorientasi terhadap kenyataan, katarsis, saling mempercayai, memelihara, dan mendukung. Fungsi terapi diwujudkan dalam kelompok kecil melalui pertukaran masalah-masalah pribadi 17
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 16-24
dengan anggota lain dan konselor (Gazda dalam Nursalim & Suradi, 2002). Konseling kelompok merupakan terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu konseli mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok umumnya ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-fungsi secara optimal. Pada umumnya konseling diselenggarakan untuk jangka pendek dan jangka menengah. Menyimak uraian diatas maka penting dilakukan penelitian tentang pengaruh konseling terhadap harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya pada klien diabetes mellitus tipe2. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh konseling terhadap harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya pada klien diabetes mellitus tipe 2 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan quasy eksperimen, yaitu one group pre test and post test design. Di dalam desain ini observasi dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum eksperimen (O1) disebut pre-test, dan observasi sesudah eksperimen (O2) disebut post-test. Perbedaan antara O1 dan O2 diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen (Arikunto, 2002). Populasi penelitian ini adalah seluruh klien DM tipe 2 yang periksa di Puskesmas Rampal Celaket Kota Malang dan Klinik Bromo (Anggota Persadia). Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagian populasi dengan kriteria inklusi: 1) menderita DM tipe 2) mempunyai masalah psikososial harga diri rendah dan/atau belum mencapai taraf acceptance (menerima penyakitnya), 3) usia dewasa, 4) tinggal di Malang Raya. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Besar sampel yang diambil sesuai kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 23 orang klien kelompok perlakuan Tempat penelitian di Puskesmas Rampal Celaket Kota Malang, rumah responden dan Klinik Bromo Kota Malang. Penelitian di laksanakan pada bulan Agustus-Desember 2014. 18
Variabel penelitian pada penelitian ini meliputi: variabel bebas dan terikat. variabel bebasnya adalah konseling, yaitu aktivitas membantu klien untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri dan bertindak secara efektif dalam hubungannya dengan pernyataan mereka sendiri, dalam suasana kondusif untuk mengembangkan ketrampilan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan memecahkan masalah kesehatan yang terkait dengan penyakit DM tipe 2 yang dideritanya. Variabel terikatnya adalah Harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya. Harga diri adalah penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya yang disesuaikan dengan kondisi penyakit DM tipe 2 yang dideritanya. Kemampuan menerima penyakitnya adalah kondisi yang menunjukkan taraf adaptif dari kondisi kehilangan akibat penyakit DM tipe 2 yang dideritanya Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Adapun langkah-langkahnya yaitu 1) mengurus ethical approval penelitian, 2) mengajukan ijin penelitian, 3) menentukan responden sesuai kriteria inklusi, 4) peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden, 5) peneliti meminta persetujuan responden dengan memberikan lembar informasi penelitian dan informed consent kepada calon responden, 6) mengukur harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya pada (pre test), 7) memberikan perlakuan pada kelompok eksperimen berupa konseling sesuai SOP (setiap kegiatan selama 60– 90 menit, dilaksanakan 1x per minggu). Topik yang dibahas dalam pertemuan ke-1 : Perkenalan, penjelasan proses konseling kelompok sesi 1 hingga ke-5, harapan konseli dalam konseling kelompok, Pertemuan ke-2 : Mengenal penyakit DM tipe 2 (kondisi penyakit, perawatan, pengobatan, pencegahan komplikasi). Pertemuan ke-3 : Konsep penerimaan dan upaya penerimaan penyakit. Pertemuan ke-4 : Harga diri dan upaya peningkatan harga diri. Pertemuan ke-5 : Evaluasi kemampuan klien menerima penyakit dan harga diri, perpisahan, pesan dan kesan konseli setelah dilakukan konseling kelompok. 8) mengukur harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya (post ISSN 2301–4024
Widodo, Konseling harga diri dan kemampuan menerima penyakit DM
test), 9) melakukan analisis data: statistik deskriptif dan inferensial, 10) menarik kesimpulan hasil penelitian. Pengolahan data hasil penelitian ini sebagai berikut: data harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya, untuk pernyataan positif pemberian skor, selalu=4, sering=3, kadang=2, tidak pernah=1. Pernyataan negatif diberikan skor: selalu=1, sering=2, kadang=3, tidak pernah=4. Analisis harga diri dilakukan secara deskriptif, data diprosentase dan disimpulkan. apabila Skor 50%: harga diri rendah, Skor > 50% : harga diri tinggi. Analisis kemampuan menerima penyakitnya secara deskriptif dikategorikan menjadi: apabila nilai 40% = tidak menerima, 55–40%= kurang menerima, 56–75%= cukup menerima, 76–100% = menerima dengan baik Analisis inferensial untuk menganalisa pengaruh konseling terhadap harga diri dan kemampuan menerima penyakitnya menggunakan uji beda t-paired test dengan alpha 0,05. HASIL PENELITIAN Berdasarkan karakteristik responden berdasarkan umur didapatkan bahwa sebagian besar umur responden antara 40–50 tahun sebanyak 11 orang (47,8%). Umur terendah 44 tahun dan tertinggi 78 tahun dan rata-rata umur responden 54,6 tahun. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 14 orang (60.9%). Berdasarkan jenis jenjang pendidikan responden, dibagi sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 yaitu jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar pendidikan responden adalah tamat SMU/SMK sebanyak 8 orang (34.8%). Status perkawinan responden didapatkan bahwa sebagian besar responden berstatus kawin sebanyak 22 orang (95.7%). Sedangkan berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan responden adalah sebagai wiraswasta dan tidak bekerja dimana masingmasing sebanyak 11 orang (47.8%).
ISSN 2301–4024
Tabel 1. Distribusi pendidikan responden Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU/SMK Tamat Perguruan Tinggi Total
F 3 5 8 7 23
% 13.0 21.7 34.8 30.5 100
Tabel 2 Distribusi lama menderita penyakit Lama Sakit 1- 2 tahun 3-5 tahun 6-10 tahun >10 tahun Total
F 12 6 3 2 23
% 52,2 26.1 13.0 8.7 100
Tabel 3. Distribusi keluhan terkait penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Responden Keluhan Mata Kabur Luka Tidak Sembuh-sembuh Gangguan hubungan suami istri Total
F 14 4 5 23
% 61 17 22 100
Tabel 4. Distribusi harga diri responden sebelum dan sesudah konseling Harga Diri Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah Total
Sebelum Konseling F % 19 82,6 4 17,4 23 100
Sesudah Konseling F % 23 100 23 100
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden lama menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 adalah 1–2 tahun sebanyak 12 orang (52,2%). Adapun lama menderita penyakit Diabetes Mellitus minimum 1 tahun dan maximum 15 tahun. Keluhan terkait penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 yang disajikan pada Tabel 3 adalah keluhan yang dirasakan oleh responden dimana seorang responden dapat menyampaikan lebih dari satu keluhan. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengeluh pandangan mata kabur karena menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu sebanyak 15 orang (65,22%), dan yang
19
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 16-24
Tabel 5. Distribusi penerimaan responden terhadap penyakitnya sebelum dan sesudah konseling Kemampuan Menerima Penyakitnya Menerima dengan Baik Cukup Menerima Kurang Menerima Tidak Menerima Total
Sebelum Konseling F % 1 4,3 10 43,5 10 43,5 2 8,7 23 100
mengalami gangguan hubungan suami istri adalah yang menikah dan jenis kelaminnya laki-laki (26,1%). Untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap harga diri pada klien diabetes mellitus ini digunakan skor mentah atau skala data interval, menggunakan uji t paired test dengan alpha 0,05. Uji dilakukan untuk melihat perbedaan antara harga diri antara pre dan post test intervensi konseling (Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden baik sebelum maupun sesudah intervensi berupa konseling memiliki harga diri yang tinggi, dimana pada sebelum intervensi didapatkan 19 orang (82,6%) dan sesudah intervensi 23 orang (100%) memiliki harga diri tinggi meskipun menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Harga diri tinggi didapatkan apabila skor lebih dari 50%, responden memang banyak yang tergolong dalam harga diri tinggi namun belum mencapai skor optimal, dimana yang diambil menjadi responden adalah yang memiliki skor kurang dari 75%. Setelah pemberian intervensi berupa konseling responden yang memiliki harga diri rendah semuanya menjadi harga dirinya tinggi, seluruh responden memiliki harga diri tinggi sesudah intervensi konseling. Hasil Uji statistik t paired test menunjukkan bahwa nilai p adalah 0,00 < alpha 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh konseling terhadap harga diri responden klien Diabetes Mellitus tipe 2 atau hipotesis penelitian diterima. Berdasarkan kemampuan menerima penyakitnya hasil penelitian menunjukkan (Tabel 5) bahwa sebagian besar responden sebelum intervensi berupa konseling sebagian besar memiliki kemampuan yang cukup dan kurang menerima penyakitnya yaitu masing-masing 10
20
Sesudah Konseling F % 23 100 23 100
orang (43,5%) dan sesudah intervensi 23 orang (100%) memiliki kemampuan menerima penyakitnya dengan baik meskipun menderita penyakit Diabetes mellitus tipe 2. Responden tidak menerima, kurang menerima dan cukup menerima penyakitnya sebelum intervensi konseling keseluruhan menjadi menerima penyakitnya. Hasil Uji statistik t paired test menunjukkan bahwa nilai p adalah 0,00 < alpha 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh konseling terhadap kemampuan menerima penyakitnya pada klien Diabetes Mellitus tipe 2 atau hipotesis penelitian diterima. PEMBAHASAN Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula di dalam darah/hiperglikemi (hyperglycemia) yang dihasilkan dari gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association (ADA), 2005 dalam Smeltzer & Bare, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009). Sedangkan LeMone & Burke (2008) mengatakan bahwa definisi DM merupakan penyakit kronik umumnya pada orang dewasa yang memerlukan pengawasan medis dan pendidikan tentang perawatan diri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar umur responden antara 40–50 tahun sebanyak 11 orang (47,8%). Umur terendah 44 tahun dan tertinggi 78 tahun dan rata-rata umur responden 54,6 tahun. Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan salah satu klasifikasi penyakit DM (LeMone & Burke, 2008; Ignatavicius & Workman, 2006 & Maulana, 2008) dari 90–95% dari kasus yang terdiagnosa yang disebut non-insulin-dependent diabetes melliISSN 2301–4024
Widodo, Konseling harga diri dan kemampuan menerima penyakit DM
tus (NIDDM). Manifestasi klinis yang muncul pada pasien DM diantara beberapa tipe sama yaitu muncul tanda khas antara lain: poliuri, polidipsi, poliphagi dan penurunan berat badan. Pada DM tipe 2 munculnya manifestasi klinis terjadi secara perlahan, yang paling khusus muncul adalah poliuria dan polidipsi, gejala poliphagia tidak selalu tampak. Manifestasi klinis yang lain penglihatan kabur, fatigue, paresthesia dan infeksi kaki (LeMone & Burke, 2008; Sustrani, 2006). Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien DM akibat kerusakan dari pembuluh darah yang mengakibatkan penyakit makrovaskuler coronary artery disease (CAD), penyakit serebrovaskuler, hipertensi, penyakit vaskuler perifer dan infeksi, penyakit mikrovaskuler (retinopati dan nefropati) dan neuropati (disfungsi sensori motor dan autonom). Komplikasi jangka panjang muncul pada DM tipe 1 maupun tipe 2 tidak muncul pada 5 sampai 10 tahun pertama setelah didiagnosa DM. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden mengeluh pandangan mata kabur karena menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu sebanyak 14 orang (61%), gangguan hubungan suami istri pada responden laki-laki 5 orang (22%) dan luka tidak kunjung sembuh 4 orang (17%). Untuk keluhan pandangan mata kabur kemungkinan besar karena faktor usia yang rata-rata sudah memasuki masa lanjut usia, sedangkan untuk faktor penyakit DM nampaknya tidak terlalu berpengaruh karena lama menderita penyakit pada responden pada umumnya baru 1– 8 tahun saja dan hanya 1 orang responden yang menderita 14 tahun. Sebagaimana kita ketahui bahwa komplikasi penyakit DM pada mata (retinopati diabetikum) memerlukan proses yang lama. Sebaiknya klien DM perlu dijaga kesehatannya agar tidak mengalami stres, karena ketoasidosis terjadi pada saat pasien mengalami stres fisik atau emosional yang mengakibatkan penurunan insulin (LeMone & Burke, 2008; Sustrani, 2006). Hasil penelitian yang disajikan pada tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden baik sebelum maupun sesudah intervensi berupa
ISSN 2301–4024
konseling memiliki harga diri yang tinggi, dimana pada sebelum intervensi didapatkan 19 orang (82,6%) dan sesudah intervensi 23 orang (100%) memiliki harga diri tinggi meskipun menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya secara mayoritas responden relatif tidak mengalami masalah psikologis. Namun demikian, oleh karena skor harga diri yang didapat pada responden disaat sebelum intervensi masih tidak maksimal sehingga dikhawatirkan akan mengalami penurunan jika tidak mendapat konseling secara intensif. Intervensi konseling sebagai suatu proses interpersonal yang dinamis dengan memusatkan kepada kesadaran pikiran dan perilaku, serta berdasarkan fungsi-fungsi terapi yang bersifat memberi kebebasan, berorientasi terhadap kenyataan, katarsis, saling mempercayai, memelihara, dan mendukung. Fungsi terapi diwujudkan dalam kelompok kecil melalui pertukaran masalah-masalah pribadi dengan anggota lain dan konselor (Gazda dalam Nursalim & Suradi, 2002). Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu konseli mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok umumnya ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-fungsi secara optimal. Pada umumnya konseling diselenggarakan untuk jangka pendek dan jangka menengah. Ada enam intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dalam konseling kelompok, yaitu perspektif, informatif, menghadapi, katartik, katalis, dan dukungan. Tipe intervensi yang dipilih tergantung pada kebutuhan pasien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi konseling sangat bermanfaat bagi responden terutama dalam meningkatkan harga diri. Kondisi ini ditunjang oleh latar belakang pendidikan responden yang relatif tinggi dimana mayoritas responden adalah lulusan dari SMU/ SMK (34,8%) dan Perguruan Tinggi (30,5%). Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah lakunya dengan ideal
21
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 16-24
dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yaitu dicintai, dihormati dan dihargai. Individu akan merasa dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima oleh lingkungannya. Pada masa dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan dengan pensiun, berpisah dengan anak, kehilangan pasangan serta ketidakmampuan fisik karena penuaan (Suliswati, 2005). Coopersmith (1967) dalam Sudrajat (2009) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melaluii suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini diriinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku didalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat diidentifikasi melalui proses berfikir, emosi, nilai, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Dari beberapa definisi harga diri diatas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Beberapa definisi harga diri diatas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang halhal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Responden penelitian menunjukkan harga diri yang tinggi setelah intervensi. Harga diri tinggi adalah perasaaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan dan kegagalan tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga (Stuart dan Sundeen, 1991; dalam Walgito, 1993), sehingga dapat dikatakan bahwa responden memiliki ciriciri seperti yang dikemukakan oleh Coopersmith
22
(1967); dalam Sudrajat (2009) yaitu: a) menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain; b) dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik; c) menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bial sesuatu berjalan diluar rencana; d) berhasil atau berprestasi dibidang akademik, aktif dan dapat mengekspresikan dirinya dengan baik; e) tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya; f) memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis; g) lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum intervensi berupa konseling sebagian besar memiliki kemampuan yang cukup dan kurang menerima penyakitnya yaitu masing-masing 10 orang (43,5%) dan sesudah intervensi 23 orang (100%) memiliki kemampuan menerima penyakitnya dengan baik meskipun menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Ketika responden belum dapat menerima dengan baik kondisinya yang menderita DM, maka responden belum dapat menyesuaikan secara baik dengan penyakitnya yang notabene akan disandangnya seumur hidup. Padahal kestabilan gula darah perlu dijaga terus menerus agar sistem tubuh dapat berfungsi dengan baik dan tidak timbul komplikasi yang berat. Coopersmith dalam Walgito (1993) menyatakan bahwa penerimaan dicerminkan dalam perhatian keluarga, tanggap kebutuhan dan keinginan, serta adanya kasih sayang dan kehangatan. Lebih lanjut menerima dengan ikhlas adalah faktor kritis dalam membantu mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam memberi kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha menuju kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar produktif (Gordon, 1996). Sikap tidak menerima/sikap menolak pada beberapa perilaku (Hurlock, 1995) ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: 1) tidak
ISSN 2301–4024
Widodo, Konseling harga diri dan kemampuan menerima penyakit DM
memperhatikan keluarga; 2) mengabaikan dan tidak banyak memiliki waktu untuk keluarga; 3) menghukum secara verbal dan non verbal; 4) tidak berbicara secara baik; 5) tidak menghendaki kehadiran orang lain; 6) gagal dalam memberikan dukungan; 7) banyak memberikan pengawasan; 8) mengabaikan kebutuhan; 9) membandingbandingkan dengan orang lain. Adanya pengaruh konseling terhadap kemampuan menerima penyakitnya pada klien Diabetes Mellitus tipe 2 menunjukkan bahwa konseling memang bermanfaat untuk membuat responden DM menerima sepenuhnya penyakit yang dideritanya. Hal ini ditunjang oleh latar belakang pekerjaan yang sebagian beras adalah wiraswasta dan tidak bekerja dimana prosentase masing-masing 47.8%. Penerimaan terhadap penyakit ini sangat bermanfaat untuk membuat responden kooperatif terhadap penanganan penyakit DM yang meliputi lima komponen dalam penatalaksanaan DM: diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan) dan pendidikan (Smeltzer & Bare, 2008 & Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009) dan di Indonesia pengelolaan dan pengendalian DM berdasarkan Konsensus Perkeni yang telah direvisi tahun 2002 yaitu terdapat 4 pilar utama pengelolaan DM, antara lain: 1) perencanaan makan; 2) latihan jasmani; 3) pengelolaan farmakologis DM berupa : obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin; 4) penyuluhan (Soegondo, Soewondo & Subekti 2009). Tujuan pengelolaan DM adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa dalam darah untuk mengurangi terjadinya penyulit menahun seperti penyakit serebrovaskuler, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, penyulit pada mata, ginjal dan saraf (Smeltzer & Bare, 2008, & Soegondo & Subekti, 2007). PENUTUP Kesimpulan penelitian ini adalah 1) ada pengaruh konseling terhadap harga diri responden klien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan nilai p adalah 0,00 < alpha 0,05, 2) ada pengaruh konseling terhadap kemampuan menerima penyakitnya pada
ISSN 2301–4024
klien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan nilai p adalah 0,00 < alpha 0,05. Saran untuk institusi pelayanan kesehatan yaitu 1) konseling untuk klien Diabetes Mellitus tipe 2 perlu diterapkan agar klien lebih dapat menerima penyakit yang dideritanya sepanjang sepanjang kehidupannya dan klien dapat memiliki harga diri yang tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain. 2) model konseling untuk klien Diabetes Mellitus tipe 2 yang diterapkan pada penelitian ini masih perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan, namun tetap memperhatikan konsep teori tentang konseling yang ada. Saran untuk klien Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu diharapkan klien aktif dalam memonitor kondisi kesehatannya dan segera untuk melakukan konsultasi/konseling kepada petugas kesehatan agar tidak berlanjut menjadi masalah psikososial khususnya yang mengganggu harga diri dan penerimaan terhadap penyakitnya. DAFTAR PUSTAKA Gordon, A. 1961. Personality. New York: Holt Rinehart and Winston Hurlock. 1998. Psikologi Perkembangan Edisi V. Jakarta: EGC. LeMone & Burke. 2008. Medical Surgical Nursing Critical Thinking in Client Care (4th edition). New Jersey: Pretice Hall Health Maulana M. 2009. Mengenal Diabetes Mellitus Panduan Praktis Menangani Penyakit Kencing Manis. Jogjakarta: Katahati Nursalim, M & Suradi. 2002. Layanan Bimbingan Konseling. Surabaya: Unesa University Press Smeltzer S. C. & Bare. B. G. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC Soegondo S, Subekti I. 2007.Konsensus Pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni. Soegondo, S., Soewondo, P., dan Subekti, I. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Stuart & Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. alih bahasa. Akhir Yani. Jakarta:EGC. Sudrajat. 2009. Pembelajaran Tuntas. http: // akhmadsudrajat.wordpress.com /2009/II/02/ pembelajaran-tuntas-mastery-learning-dalam KTSP (diakses 20 Mei 2012 pukul 15.00 WIB)
23
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 16-24
Suliswati, Payapo, T. A., Mahurawa, J., Sianturi, Y., & Sumijatun. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Sustrani.L.S Alam dan I. Hadibroto. 2004. Diabetes, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
24
Riskesdas.2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Walgito, B. 2004.Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
ISSN 2301–4024