KONFLIK PERKEBUNAN KONTESTASI BISNIS DAN HAK ASASI MANUSIA1 Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.2 I Sepanjang sejarah mulai Hindia Belanda hingga sekarang konflik perkebunan tidak pernah berhenti, yang mencerminkan kepentingan bisnis dan kepentingan rakyat jelata. Awal mula konflik pada zaman Hindia Belanda juga dimulai oleh berhasilnya golongan pengusaha yang minta agar negara (Pemerintah Belanda) tidak memonopoli usaha di bidang perkebunan. Seperti diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan lewat cultuur stelsel berlimpah ruwah. Para pengusaha (swasta) kemudian diberikan kesempatan berusaha di Indonesia dengan hak atas tanah sesuai dengan yang berlaku di Belanda yaitu Het Burgerlijk Wetboek =B.W. Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi para pengusaha swasta, mengadakan perundingan dengan para raja agar mendapatkan konsesi tanah tanah yang dikuasai oleh para raja. Para pengusaha swasta tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan rakyat dalam melakukan transaksi transaksi, untuk itu mereka lebih suka berhubungan dengan golongan Timur Asing (Cina dan yang disamakan). Untuk itulah mereka (Golongan Timur Asing) diberlakukan Burgerijk Wetboek. (Toepasselijk Verklaring) artinya pernytaan berlaku. Hal ini untuk mempermudah hubungan hukum serta untuk menjamin kepastian hukum. Pelan tetapi pasti Golongan Timur Asing ini menguasai perdagangan di Indonesia. Transaksi yanag dilakukan antara Pribumi dengan Cina ini berdasarkan hukum kebiasaan, yang umumnya tidak tertulis. Perolehan tanah untuk usaha perkebunan dilakukan dengan segala cara, sehingga bukan hanya tanah milik para raja tetapi juga milik Pribumi, sehingga banyak pribumi yang kehilangan tanahnya. Hal ini disebabkan perlehan tanah milik pribumi merupakan tanah yang siap untuk dijadikan perkebunan, tidak usah membuka hutan yang memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Lambat laun hal ini menjadikan pribumi tak bertanah dan mempercepat pemiskinan Pribumi. Tanah adat itu kemudian ditundukkan penjadi tanah Barat (tunduk pada B.W). Hal demikian disadari oleh Pemerintah H.B. sehingga akhirnya mengeluarkan peraturan tentang Larangan Pengasingan Tanah (Vervremding Verbod). Pemerintah HB juga akhirnya meluncurkan Etische Politiek atau politik etis antara lain mendanai terselenggaranya pendidikan di kalangan Pribumi. Berdirilah kemudian sekolah 1
Makalah disampaikan pada diskusi dan Peluncuran Buku dengan tema “ Konflik Perkebunan : Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 28 Juni 2012 di Hotel Acacia, Jakarta. 2 Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 1
sekolah selevel sekolah dasar. Pemberian kesempatan memperoleh pendidikan itupun sangat terbatas, lebih lebih pendidikan yang lebih tinggi juga dibatasi hanya untuk mereka yang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Sekolah tinggi Hukum Rechshoge School dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga tenaga Pribumi bagi kepentingan Pengadilan. Melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949, upaya Belanda berhasil membubuh kan pasal yang ingin mengembalikan tanah perkebunan ke tangan para pengusaha. Perkebunan begitu sangat berarti bagi Belanda. Sehabis Perang Dunia II maka yang menjadi tujuan utama Belanda ialah memperoleh kembali perkebunan yang dulu telah ditinggalkannya. Apa yang disebut Aksi Polisionil juga diutamakan memperoleh tanah tanah perkebunan milik para pengusaha. Tidak segan segannya bantuan Marshall yang dimaksudkan untuk merehabailitasi kerusakan akibat invasi Jerman ke Belanda digunakan untuk membiayai merebut kembali tanah berkebunan tersebut. Pendudukaan perkebunan oleh rakyat dan aksi bumi hangus perkebunan dianggap sebagai tindakan yang heroik. Rakyatlah yang membantu para gerilyawan dengan nasi bungkusnya untuk mengusir tentara Belanda yang akan mengusasi perkebunan. II Di zaman kemerdekaan, pemodal asing mulai kembali dengan gagalnya Orde Lama menyejahaterakan rakyat. Banyak kal itu rakyat harus antri mendapatkan beras, minyak tanah dan bahan pakaian lewat koperasi desa. Kabinet jatuh bangun dan mulailah krisis ekonomi dan kembali modal asing diberi kesempatan dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal 1967. Dengan kendali pemerintahan yang otoriter ddan kekuasaan yang sentralistis selama lebih dari 30 tahun apalagi dengan adanya krisis ekonomi kembali kontestasi bisnis merambah lebih eksesif di wilayah Indonesia. Kontrak karya yang didesain untuk ekplorasi dan exploitasi kekayaan Indonesia terus dirasakan kepahitannya hingga sekarang. Persoalannya bukan semata mata masalah perkebunan tetapi telah merambah hutan dan lautan serta sumberdaya alam. Posisi negara yang terikat oleh perjanjian yang merugikan negara yang dibuat masa lalu tidak mudah untuk merevisinya. Hal ini
juga
dirasakan oleh Presiden SBY, sehingga ia berkehendak melakukan renegosiasi kontrak karya tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia bertumpu kehidupannya pada pertanian. Oleh sebab itu masalah tanah yang merupakan obyek dan sumber kehidupan menjadi sumber konflik. Problem utamanya ialah mengenai kelangkaan tanah. Hal ini membuktikan kebenaran pernyataan de Vries, bahwa suatu saat masalah kelangkaan tanah menjadi masalah utama. Terlebih lagi program landreform tidak dijalankan secara sungguh sungguh 2
karena tidanya “political will” dari pemerintah. Janji akan meredistribusi 8-11 juta ha tanah kepada rakyat juga tidak teralisasi dengan baik. Lapar tanah inilah yang harus segera dipecahkan dengan sebaik-baiknya. Padahal sektor pertanian, perkebunan telah menjadi bemper bagi krisis ekonomi masa lalu. Peningkatan perhatian terhadap produk pertanian semakin tidak jelas karena banyak produk pertanian misalnya buah-buahan telah membanjiri pasar Indonesia. Peluasan sektor pertanian lebih banyak didominasi perluasan perkebunan yang dimiliki oleh swasta sehingga banyak keluhan munculnya gugatan terhadap pelanggaran pemilikan/penguasaan tanah terhadap pihak swasta. Sudah barang tentu hal tersebut di atas sangat berhubungan dengan sumber kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini bersamaan dengan maraknya supermarket yang melayani kebutuhan kelas menengah yang konon semakin membesar jumlahnya. Di sisi lain pasar pasar tradsional semakin tergusur bersamaan dengan keluhan para petani bawang (Tegal) juga semakin nyaring, karena kalah bersaing dengan produk dari luar. Ini berarti sumber kehidupan sebagian besar para petani juga semakin terdesak. Undang undang Penanaman modal juga memberikan jangka waktu yang lama bagi pemegang haknya untuk mengelola perkebunan, sebelum akhirnya jangka waktu itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah, demikian juga ancaman hukuman bagi mereka yang dianggap melakukan tidak pidana ketika mempertahankan hak atas tanahnya dalam Undang Undang Perkebunan juga akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi jika tuduhan demikian tanpa melihat sejarah pendudukan tanah yang tidak dapat disamaratakan satu dengan yaang lain. Kontestasi demikian juga sudah dimulai ketika menyusun undang undangnya.Oleh karena undang undang dapat dianggap sebagai produk politik maka kepentingan politik juga semakin kental. Hal itu juga berhubungan dengan kontestasi di bidang pemerintahan yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah. Tanah tanah perkebunan tidak luput dari pengaruh upaya pembiayaan calon Kepala Daerah yang berwenang memberikan ijin tertentu bagi pengusahaan tambang (mineral maupun perkebunan). Semuanya merupakaan proses monetisasi, sehingga sudut sudut pengelolaan sumberdaya alam termasuk perkebunan yang memungkinkan diperolehnya uang bagi perseorangan maupun partai sangat mungkin dimasuki. Bahkan suara (vote) rakyatpun memungkinkan dibeli (money politic) untuk memenangkan kontes. Kesadaran politik dan kemiskinan, korupsi, kolusi, menjadi sebab utama ekploitasi sumberdaya yang tidak bertanggung jawab pada generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Senyatanya pemerintah memerlukan uang untuk menutup kekurangan APBN (defisit) dan tidak mempunyai modal untuk mengplorasi dan mengekplotasi sumberdaya 3
alam. Ada kesadaran dari Presiden untuk merenegosisasi kontrak kontrak karya tahun 1968 agar bagian yang diperoleh bagi negara menjadi lebih besar. Tiga perusahaan tambang tidak setuju, 11 (sebelas) setuju yang lainnya 21 (dua puluh satu) setuju sebagian.(Majalah Forum Ok-Nop). Sehusrusnya Negara aktif untuk melakakukan amanah dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam hal menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di bawahnya untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Negara seharusnya melakukan hal hal yang substantif
dengan cara menghindari dan mencegah dikeluarkaannya keputusan
keputusan serta tindakan yang menyebabkan kerugian baik bagi negara maupun rakyat yang berhubungan dengan perkebunan. Selanjutnya melakukan regulasi terhadap peraturan maupun keputusan yang merugikan pula bagi kepentingan rakyat. Lembaga lembaga semacam Sawit Watch, Lembaga Studi dan Advokasi Masyaralat seyogyanya
dapat
menghimpun organisasi semacam
untuk menjadi representasi
masyarakat di daerah perkebunan yang bertindak (legal standing) untuk membatalkan peraturan dan aktivitas yang membahayakan kepentingan masyarakat yang paling dirugikan dalam permasalahan perkebunan.
Jakarta, 28 Juni 2012
Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
4
CURRICULUM VITAE
Nama : Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH. Tempat/tgl lahir : Blitar, 11 November 1944 Alamat : Jl. Cibogo 3 Malang, 65113 Jenjang Karir : a. Pembantu Dekan I FH Universitas Brawijaya, 1979 s.d. 1983. b. Ketua Program Studi Magíster Hukum FH Universitas Brawijaya 1997. c. Guru Besar Hukum Unversitas Brawijaya, 2000. d. Rektor Universitas Islam Malang, 1998 s.d. 2002, 2002 s.d. 2006. e. Anggota Komisi Konstitusi, 2004. f.
Anggota Dewan Penyantun Sekolah Tinggi Pertanahan Jogyakarta 2007.
g. Dosen/Promotor Disertasi Doktor pada
Universitas
Brawijaya (Malang), Universitas
Airlangga (Surabaya), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Udayana (Bali), Universitas Mataram (Lombok). h. Ketua Badan Kerjasama Pusat Kajian Agraria (2008). i.
Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI 2008 – 2013
j.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2010 – 2013
Jenjang Pendidikan : a. S1 Sarjana Hukum Universitas Brawijaya, 1970. b. Penataran Hukum Tata Negara FH Unair 1978. c. Sandwich Program Leiden Belanda 1989. d. S3. Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga ( 1994)
5