BAB II KONDISI SUMBER DAYA AIR DAN TANTANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2.1. ISU STRATEGIS NASIONAL
S
ecara umum isu strategis pada tingkat Nasional yang berkaitan dengan Kondisi infrastruktur pekerjaan umum saat ini menunjukkan tingkat yang beragam. Infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) belum optimal dalam mendukung
pencapaian kinerja pembangunan bidang pekerjaan umum secara keseluruhan. Beberapa poin penting dari Issue-issue Strategis Nasional sebagai berikut : 1.
Ketahanan Pangan Kinerja layanan jaringan irigasi yang ada dalam mendukung pemenuhan produksi pangan. Seluas 7,3 juta ha jaringan sawah beririgasi yang sudah terbangun seluruhnya berfungsi. Namun demikian, masih ada kerusakan jaringan irigasi, tercatat mencapai lebih kurang 18%, yang banyak terjadi di daerah irigasi yang potensial menyumbang pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Menurunnya fungsi jaringan irigasi disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan karena umur konstruksi, bencana alam dan kurang optimalnya kegiatan operasi dan pemeliharaan di samping rendahnya keterlibatan petani dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan jaringan irigasi. Selain itu, kondisi debit sungai yang airnya digunakan untuk kebutuhan irigasi sangat fluktuatif antara musim hujan dan musim kemarau.
2.
Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) Perubahan iklim dan kenaikan frekwensi, maupun intensitas kejadian cuaca ekstrem. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis, seperti perubahan pola presipitasi, perubahan pola angin dan perubahan ekosistem pantai.
3.
Pertumbuhan Jumlah Penduduk dan Pemukiman dan Akses Air Baku Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Keandalan penyediaan air
1
baku juga berkurang akibat menurunnya fungsi dan kapasitas tampungan air (seperti Waduk Gajahmungkur, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Mrica). Kondisi ini juga diperparah oleh kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah. Akses terhadap air baku untuk rumah tangga dan industri yang masih rendah memicu eksplorasi air tanah yang berlebihan (misalnya di Jakarta Utara) sehingga menyebabkan land subsidence dan intrusi air laut. 4.
Millennium Development Goals 2015 (MDG’s) Sesuai dengan target penyediaan air minum tahun 2015, cakupan layanan air perpipaan di perkotaan adalah 72 % sedang di pedesaan 68,5 %. Kondisi layanan air secara keseluruhan belum mencapai target.
5.
Ketersediaan Energi Kebutuhan Energi mengalami peningkatan setiap tahunnya, tetapi pembangkit listrik tenaga air masih terbatas karena sumber daya air yang tersedia belum dapat dimanfaatkan.
6.
Bencana Alam dan Daya Rusak Air Dalam hal potensi daya rusak air, terjadi perluasan dampak kerusakan akibat banjir dan kekeringan (seperti banjir di wilayah Jabodetabek, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berada di wilayah sungai Bengawan Solo, dan kekeringan di NTB dan NTT). Selain itu juga terdapat fenomena meluasnya kerusakan pantai akibat abrasi yang mengancam keberadaan permukiman dan pusat-pusat perekonomian di sekitarnya.
2.2. ISU-ISU LOKAL Sementara beberapa Issue-issue Lokal yang mengemuka adalah sebagai berikut : 1.
Kerusakan Hutan dan Alih fungsi lahan, terutama di kawasan hulu, yang merupakan kawasan konservasi dan kawasan resapan air telah memberikan dampak yang buruk terhadap daya dukung lingkungan dan menyebabkan meningkatnya luas lahan kritis 688.276 Ha dan sangat kritis 131.266 Ha. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya erosi lahan dan limpasan permukaan serta menurunnya aliran dasar pada musim kemarau.
2.
Kondisi kinerja infrastruktur irigasi dari luasan Fungsional 126.000 ha, dengan Intensitas Produksi (IP) = 1,25 dan output rata-rata per hektar adalah 2,5 ton beras
2
maka produksi beras yang dihasilkan adalah ±350.000 ton/tahun. Jumlah penduduk NTT saat ini 5 Juta, ini berarti kebutuhan masyarakat menjadi 600.000 ton/tahun, dengan demikian dibutuhkan 195.000 fungsional irigasi, atau setara dengan tambahan pengembagan areal irigasi baru 50.000 ha, dan diversifikasi pangan lokal untuk mengatasi pertumbuhan penduduk. 3.
Banjir yang menggenangi daerah persawahan dan pemukiman terjadi pada ruas ruas sungai (P. Timor) dengan luas genangan bervariasi 500 Ha sampai 2.500 Ha. Selain itu tanah longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, gelombang pasang/tsunami
4.
Kekurangan pemenuhan kebutuhan air baku untuk irigasi dan air minum serta kekeringan dapat dikurangi dengan membangun dan optimalisasi situ-situ alam, embung-embung dan pengembangan air tanah baik di perkotaaan maupun di desa. Kekeringan terjadi pada beberapa daearah yang mengakibatkan gagal panen dan Rawan pangan.
5.
Kerusakan dan alih fungsi hutan bakau mengakibatkan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai.
6.
Meningkatnya permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya air di daerah perbatasan atau Lintas Negara.
2.3. PERMASALAHAN UMUM KINERJA INFRASTRUKTUR SDA NTT
P
rovinsi Nusa Tenggara Timur dengan potensi dan kendala yang ada, turut berkiprah
dalam
mendukung
akan
pelaksanaan
pengembangan
dan
pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) yang dilaksanakan oleh Balai Wilayah
Sungai Nusa Tenggara II, yang dimana sebagai ujung tombak Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kewenangannya di daerah. Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai luas wilayah 47.349,9 Km2 dan luas wilayah perairan kurang lebih 200.000 Km2 di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yang terdiri atas 1.192 pulau besar dan kecil diantaranya terdapat 3 pulau besar. Pulau yang dihuni sebanyak 24 buah. Wilayah daratan yang didiami oleh penduduk sebanyak ± 4.877.800 juta jiwa (2012) dibagi atas 2 Wilayah Sungai (WS) Lintas Negara, 1 Startegis Nasional dan 2 Wilayah Sungai Lintas
3
Kabupaten/Kota, meliputi 1.272 DAS terdapat 465 Sungai besar dan 4.588 sungai kecil namun hanya 222 sungai yang beraliran sepanjang tahun. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas 1.192 pulau, luas wilayah daratan 47.349,9 km2 atau 2,49 % luas Indonesia dan luas wilayah perairan lebih kurang 200.000 km2 di luar perairan Zone Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI). Jumlah penduduk mencapai ± 4,8 juta jiwa, dimana 70 % (diantaranya petani dengan pendapatan perkapita Rp.5,23 juta sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan perkapita nasional yaitu Rp. 17,5 juta dan tercatat penduduk miskin sebesar 23,31 % > 14,14 % Nasional. Kondisi topografi bervariasi mulai dari agak berombak (datar) sampai dengan berbukit-bukit dan bergunung dimana untuk dataran banjir berada pada kemiringan lereng 0-30 % sehingga mempengaruhi pola kehidupan penduduk umumnya untuk pemukiman berada pada daerah pegunungan dengan sistim mata pencaharian bercocok tanam ladang berpindah-pindah. Musim hujan di NTT umumnya terjadi sejak bulan Desember- Maret dengan intensitas tinggi pada bulan Januari (>200 mm), hujan rata-rata tahunan 1200 mm, Curah Hujan potensial Aliran Permukaan 29,30 % sehingga terdapat 16,67 milyar m3 atau equivalen 528,6 m3/det, selain
itu
terdapat
base
flow
andalan
pada
sejumlah
sungai
sebesar
84,47
m3/det, yang merupakan sumber air bagi konstribusi untuk kebutuhan air baku dan air irigasi penduduk NTT disatu sisi namun di sisi lain juga menimbulkan bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, atau dengan kata lain terdapat neraca air yang sangat pincang/fluktuasi yang dialami pada 2 musim di NTT disebabkan oleh curah hujan dalam jangka waktu pendek namun dalam intesitas tinggi. Fenomena ini terus berlangsung dan meningkat secara perlahan setiap tahun yang berakibatkan kerusakan Sarana dan Prasarana di Bidang Pekerjaan Umum (sarana irigasi, jalan jembatan, dan fasilitas umum) serta kerugian harta benda maupun jiwa manusia disatu pihak dan dilain pihak kegagalan panen dan akses air bagi kebutuhan dasar manusia menjadi barang yang langka dan mahal. Dengan demikian akan sangat mempengaruhi perkembangan dan kegiatan perekonomian masyarakat dan memberikan impilikasi kepada percepatan pembangunan yang akan bergerak lambat karena diperlukan suntikan dana penanggulangan banjir dan dampak ikutan berupa longsoran yang seharusnya untuk keperluan biaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Secara umum persoalan Infrastruktur Sumber Daya Air yang berkaitan dengan Issue-issue Strategis Nasional dan Issue Lokal Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat digambarkan sebagai berikut :
4
2.3.1. INFRASTRUKTUR IRIGASI Luas lahan pertanian potensial mencapai 33,80 % atau 1,6 juta ha sedangkan lahan kering potensial sebesar 28,50 % atau 1,350 juta ha, dan lahan basah potensial sebesar 5,30 % atau setara dengan 0,250 juta ha, namun baru bisa mengairi secara fungsional seluas 126.168 ha berupa irigasi sederhana atau belum teknis meliputi 1.515 Daerah Irigasi dengan prasarana yang ada hasil produksi beras baru mencapai 350.000 ton pertahun atau 70 % dari kebutuhan sebesar 500.000 ton pertahun sehingga masih harus memasukkan beras dari luar Nusa tenggara Timur sebesar 150.000 ton pertahun, atau setara pengembangan areal irigasi seluas 50.000 ha. Permasalahan dan tantangan yang selama ini dihadapi infrastruktur irigasi di Nusa Tenggara Timur saat ini adalah sebagai berikut : 1.
Kondisi jaringan irigasi belum lengkap dan belum teknis/permanen, Hal ini akibat
keterbatasan
banyaknya
daerah
biaya irigasi
dan yang
membutuhkan penanganan sehingga prioritas Saluran Induk D.I. Lembor
dimasa
lampau
adalah
pembangunan bendung dan saluran induk saluran induk/sekunder yang juga
belum teknis, kecuali beberapa daerah irigasi yang mendapat bantuan luar negeri. 2.
Saluran Induk D.I. Waemantar I
Kondisi ini mengakibatkan Kinerja jaringan Irigasi (K<1) artinya ketersediaan air lebih kecil dari kebutuhan, Efiseiensi Irigasi (EI) masih sangat rendah (EI<0.5) atau dengan kata lain masih banyak air yang hilang dan terbuang dan Intesitas Produksi (IP < 1.5) masih rendah.
3.
Letak jaringan irigasi utama adalah berada pada lereng yang labil dan mudah longsor ataupun pada bantaran sungai , sehingga pada musim hujan sering terjadi kerusakan pad bangunan irigasi
5
4.
Sekitar 55% prasarana irigasi yang telah dibangun dalam kurun waktu 10 tahun yang lalu terutama di daerah-daerah penghasil beras regional mengalami penurunan fungsi karena kerusakan yang ada akibat umur bangunan dan minimnya biaya operasi dan pemeliharaannya serta Kondisi Bendung/bangunan penangkap air yang rusak akibat debit banjir yang berlebihan karena degradasi Daerah Aliran Sungai.
5.
Merosotnya kemampuan pelayanan jaringan irigasi akibat OP kurang memadai (40– 50%) dari aokasi biaya Angka Kebutuhan Nyata OP (AKNOP).
6.
Kecenderungan peningkatan kebutuhan air yang tidak diikuti dengan kemampuan penyediaannya air dan Belum optimalnya pemanfaatan air irigasi ditingkat tersier seperti; ketaatan terhadap pola tanam, managemen air, OP tersier, kewajiban dan saksi belum ditegakkan.
7.
Belum optimalnya kapasitas lembaga pengelola irigasi di tingkat Pusat, Propinsi dan Daerah.
8.
One River, One Management and One Plan belum diperhatikan sebagaimana mestinya dalam kerangka out put perencanaan pengembagan irigasi yang lebih optimal.
9.
Dari sisi ketersediaan air kita memerlukan masih banyak bangunan-bangunan konservasi dan tampungan seperti waduk dan embung-embung untuk mendukung ketersediaan air.
Untuk mengurangi defisit dan memenuhi, beberapa langkah yang akan ditempuh antara lain : 1.
Mempertahankan layanan jaringan irigasi agar tetap optimal melalui Operasi dan Pemeliharaan Irigasi yang mantap.
2.
Mengupayakan Rehabilitasi untuk Optimalisasi dan mengembalikan fungsi jaringan irigasi fungsional pada lahan fungsional seluas 126.000 ha.
3.
Memantapkan Pengelolaan prasarana guna memantapkan dukungan terhadap produksi pangan, dengan melakukan alokasi air untuk berbagai kebutuhan secara efisien dan optimal, Penyediaan air irigasi yang cukup guna peningkatan produksi, menyediakan fasilitas pendukung kawasan agropolitan dan agrobisnis, serta meningkatkan upaya pengamanan kawasan produksi pertanian terhadap bahaya banjir dan kekeringan, disamping itu berupaya untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di wilayah lumbung padi regional antara lain Kawasan D.I. Lembor, D.I. Waemantar, D.I. Wae Dingin, D.I. Mbay,
6
D.I. Mautenda di Pulau Flores. Kawasan D.I. Bena dan D.I. Benanain di Pulau Timor, serta Kawasan D.I. Kambaniru, dan D.I. Waekelosawah di Pulau Sumba. 4.
Meningkatkan Kinerja Kelembagaan P3A dengan membentuk 2.500 kelompok P3A dan meningkatkan pemberdayaan 600 kelompok P3A yang sudah terbentuk, disamping itu berupaya mengembangkan kelembagaan pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah Sungai, baik jumlah maupun mutunya.
5.
Melakukan pengendalian konversi Lahan Beririgasi, dengan tujuan mempertahankan luas areal fungsional.
6.
Membangun dan mengembangkan daerah irigasi (D.I.) yang mempunyai potensi dan harapan masa mendatang antara lain : D.I. Malaka/Benanain (15.000 ha), D.I. Aroki (4.000 ha), D.I. Oesao/Naibonat (5.000 ha), D.I. Bena (5000 Ha), D.I. Lembor (10.600 ha), D.I. Wae Dingin (7.500 ha), D.I. Wae Musur (2.700 ha), D.I. Gising (1.500 ha), D.I. Buntal (1.000 ha), D.I. Wae Cancar dan D.I. Wae Rii (1.500 ha), D.I. Mbay (6.000 ha), D.I. Lengkosambi (2.500 ha), D.I. Kuruboko (1.750 ha), D.I. Zeu (1.000 ha), D.I. Dondo/Kota Baru (1.000 ha), D.I. Wae Muda/Wae Teba/Wae Wadan (1.350), D.I. KambaniruKadumbul-Melolo (12.000 ha), D.I. Kodi (3.500 ha), D.I. Prambuuni Cs (1.000 ha).
2.3.2. Pengembangan Irigasi Rawa Terdapat 4 Lokasi rawa potensial, yang dapat dikembangkan NTT, yaitu ; Kawasan Rawa Mbay di kabupaten Nagekeo, Kawasan Rawa Mautenda di kabupaten Ende, Kawasan Rawa Babau-Nunkurus, di kabupaten Kupang dan Kawasan Rawa Bena, di kabupaten TTS. Sampai dengan saat ini kawasan rawa potensial ini belum dikembangkan.
2.3.3. Pengembangan Tambak Daerah pesisir pantai mempunyai luas potensi irigasi tambak yang dapat dikembangkan seluas 35.445 ha pada 7 kabupaten dari 855 ha yang telah dikelola disebabkan karena masih membutuhkan Prasarana berupa : Saluran air tawar, situ air tawar, pompa air, percetakan tambak dan jalan usaha tani. Pengembangan tambak dapat dilakukan pada beberapa lokasi potensial yaitu :
Kawasan tambak Reo
Kawasan tambak Komodo
Kawasan tambak Sambirampas
7
Kawasan tambak Mbay
Kawasan tambak Maurole
Kawasan tambak Kupang
Kawasan tambak Pulau Rote
Kawasan tambak Bena
Kawasan tambak Mena
Kawasan tambak Benanain
Semua kawasan tambak ini dikelola dengan cara-cara tradisional, dan belum ada dukungan secara teknis dari infrastruktur Sumber Daya Air, ini tentunya membutuhkan perhatian dari pemerintah.
PETA LOKASI PENGEMBANGAN TAMBAK NTT
Kaw. Tambak Sambi Rampas
Kaw. Tambak Maurole
Kaw. Tambak Kamodo
Kaw. Tambak Mena Kaw. Tambak Reo Kaw. Tambak Mbay
Kaw. Tambak Teluk Kupang Kaw. Tambak Benanain
Kaw. Tambak Bena
Kaw. Tambak Rote
2.3.4. Kekeringan dan Pendayagunaan Air Tanah Dalam UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjabarkan bahwa Air Tanah (groundwater basin) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrologis, tempat semua
8
kejadian hidrologis seperti proses pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung. Hal ini merupakan suatu proses/siklus hidrologi yang terbentuk dari air hujan yang meresap ke dalam tanah (recharge) kemudian tersimpan sebagai Akifer dalam suatu Cekungan Air Tanah (CAT), menuju ke daerah yang disebut discharge area. Provinsi NTT yang beriklim semi arid dengan curah hujan yang rendah dengan durasi yang pendek 3-4 bulan, dengan Intensitas tinggi dan kondisi vegetasi beragam pula, maka DAS kritis cukup besar serta berdampak pada Aliran Permukaan semakin meningkat, sehingga sumber air tetap sepanjang tahun berada dalam jumlah debit yang kecil. Fenomena ini menyebabkan pemanfaatan sumber air tanah yang dipompa dan permukaan tanah pada kedalaman ± 50-100 m’ menjai alternatif untuk menjawab masalah tersebut pada potensi Lahan Kering seluas ± 1,35 juta ha Dampak kekeringan di masyarakat pedesaan langsung kelihatan, seperti kekurangan pangan, berhentinya aktifitas pertanian, kelaparan dan penyakit busung lapar, bahkan sampai menelan korban, besarnya kerugian tidak dapat ditaksir secara pasti, tetapi dapat terlihat dan ditaksir dari gagal panen, potensi pertanian yang tidak dapat berlangsung seperti sediakala. Potensi lahan kering yang subur tetapi rawan kekeringan sering terjadi setiap tahun yang berdampak pada kekurangan/rawan pangan dan krisis air bersih yang akhirnya membutuhkan sumber air bawah tanah sebagai pendukung dari keterbatasan sumber air permukaan dan mata air dilakukan pengembangan Exploitasi Air Tanah dengan program pendayagunaan Air Tanah untuk lahan seluas 74.423 ha dan penyediaan air baku dengan 7.443 titik sumur bor.
Explorasi Air Tanah dan Pemanfaatannya
9
Dalam upaya mengatasi kekeringan beberapa telah dikembangkan diantaranya Explorasi Air Tanah yang akan dimanfaatkan untuk Jaringan Irigasi Irigasi Air Tanah, pertanian lahan kering/perkebunan rakyat, dan air minum masyarakat pedesaan, Sehingga dampak yang diharapkan adalah : 1.
Mengatasi kekurangan air baku bagi masyarakat, ternak dan lahan pertanian yang selama ini menjadi masalah bagi masyarakat.
2.
Pola tanam yang selama ini hanya mengharapkan tadah hujan sudah dapat ditingkatkan.
3.
Meningkatkan Pendapatan dan taraf hidup masyarakat pada desa-desa / lokasi kegiatan.
2.4.
PENGENDALIAN
BANJIR,
LAHAR
GUNUNG
BERAPI
DAN
PENGAMAN PANTAI 2.4.1 PENGENDALIAN BANJIR Sungai kritis dan rawan banjir meliputi 94 sungai di NTT yang tidak diimbangi dengan prasarana pengendalian banjir yang memadai bahkan terkesan bersifat emergensi dan darurat dan belum memenuhi standar penanganan untuk penanggulangan debit banjir (Q 10) untuk kawasan perkotaan dan Q5 bagi pedesaan. Dari 94 sungai kritis yang rawan banjir dengan perkiraan luas genangan mencapai 55.974 ha yang terdiri atas 8 sungai perlu perhatian serius dengan luas genangan 26.929 ha, perhatian khusus 21 buah dengan luas genangan 19.045 ha, dan perhatian 65 sungai dengan luas genangan 10.000 ha, sedangkan secara intensitas banjir yang sering terjadi meliputi 23 sungai dengan luas genangan 41.584 ha. Kondisi kekritisan sungai pada umumnya disebabkan oleh kapasitas penampang alur sungai yang mengecil, karena degradasi di hulu sungai dan agradasi dihilir sungai dengan kemiringan dasar sungai yang landai serta bermeander. Kapasitas sungai tak mampuh memikul beban pada saat banjir, yang mengakibatkan luapan pada areal pertanian, irigasi, serta pemukiman penduduk. Rincian sungai kritis sebagai berikut :
10
Peta Prakiraan Rawan Banjir NTT 2007 S. Anakoli/ Kec. Maukaro 500 Ha
S. Wae Pesi/Kec. Reo/ 700 ha
S. Aesesa/Kec. Aesesa 2.500 Ha
S. Lohayong/Kec. Larantuka 240 Ha
S. Loworea/ Kec. Wewaria 825 Ha S. Dondo/ Kec. Kota Baru 400 Ha
S. Nebe/ Kec. Talibura 520 Ha
S. Waemese/ Kec. Nggorong 1.500 Ha S. Talao/Kec. Tasifeto Barat/ 755 Ha S. Waejamal/Kec. Lembor 2.100 Ha S. Wae Peot/Kec. Mborong 1.640 Ha
S. Polapare/Kec. Wanokaka 140 Ha
S. Kaliwajo/Kec. Paga 400 ha S. Wolowona/Kec. Ndona 714 Ha
S. Ponu/Kec. Manufui 450 Ha
S. Noel Besi/Kec. Amfoang Utara 1.750 Ha S. Termanu/Kec. Fatuleu 1.500 Ha
S. Benenain/ Kec. Malaka Barat 15.000 Ha
S. Nunkurus/ Kec. Kupang Timur/3.000 Ha
S. Kambaniru/Kec. Pandawai 1.500 Ha S. Baing /Kec. Pahunga Lodu 2.000 Ha.
S. Muke Kec. Panite 450 Ha
S. Noelmina/ Kec. Amanuban Barat/3.000 Ha
94 Buah Sungai Rawan Banjir di NTT Perhatian Serius 8 Buah 26.929 Ha Perhatian Khusus 21 Buah 19.045 Ha Perlu Perhatuian 65 Buah 10.000 Ha
Sumber : Balai WS-NT II & Subdin SDA Irigasi -Dinas Kimpraswil NTT
Pada WS Noelmina 5 buah sungai dengan prakiraan luas genangan 9.700 ha terdiri dari Sungai Nunkurus/Kecamatan Kupang Timur (3.000 Ha), Sungai Noel Besi/Kecamatan Amfoang Utara (1.750 Ha), Sungai Termanu/Kecamatan Fatuleu (1.500 Ha), Sungai Muke/ Kecamatan Panite (450 Ha), Sungai Noelmina/Kecamatan Amanuban Barat (3.000 Ha), WS Benanain 3 buah sungai dengan prakiraan luas genangan 16.205 ha yaitu ;
Sungai
Ponu/Kecamatan Manufui (450 Ha), Sungai Talao/Kecamatan Tasifeto Barat (755 Ha), Sungai Benenain/Kecamatan Malaka Barat (15.000 Ha). Pada WS Flores 12 buah sungai dengan prakiraan genangan adalah 12.039 ha, Sungai Waemese/Kecamatan Nggorong (1.500 Ha), Sungai Waejamal/Kecamatan Lembor (2.100) Ha, Sungai Wae Pesi/Kecamatan Reo (700 ha), Sungai Wae Peot/Kecamatan Mborong (1.640 Ha), Sungai Aesesa/Kecamatan Aesesa (2.500) Ha, Sungai Anakoli/Kecamatan Wolowae (500) Ha, Sungai Loworea/Kecamatan Wewaria (825) Ha, Sungai Wolowona/Kecamatan Ndona (714) Ha, Sungai Dondo/Kecamatan Maurole (400) Ha, Sungai Kaliwajo/Kecamatan Paga (400) ha, Sungai Nebe/Kecamatan Talibura (520) Ha, Sungai Lohayong/Kecamatan Larantuka (240) Ha. WS Pulau sumba 3 buah sungai dengan luas genangan 3.640 ha yaitu, Sungai Polapare/Kecamatan Wanokaka (140 ha), Sungai Baing/Kecamatan Pahunga Lodu (2.000 ha) dan Sungai Kambaniru/Kecamatan Payeti (1.500 ha).
11
Banjir pada sungai-sungai di atas dapat berupa banjir limpasan, banjir genangan
dan
akan
ada
kemungkinan terjadi banjir Bandang (debris flow) yang membawa batuan, air bercampur tanah dengan energi yang
sangat
besar
dan
dapat
menghancurkan apa saja yang di jumpainya. Mengingat banjir merupakan fenomena alam maka pencegahan bencana tidak mungkin dapat diselesaikan secara mutlak sebagai akibat dari kondisi alam dan finansial/pendanaan suatu wilayah. Upaya pengendalian banjir dapat dilakukan dalam dua kelompok yaitu : Pertama : Upaya dalam bentuk fisik (structural measures) dengan teknologi seperti : Tanggul sepanjang sungai dengan fungsi utama adalah menghalangi air melimpas kekanan dan ke kiri daerah sekitar, Bendungan atau waduk dengan fungsi utama adalah menahan dan menampung debit banjir, Sudetan/pelurusan sungai dengan fungsi utama mempercepat aliran air kebagian hilir, sehingga tinggi genangan dapat direduksi dan Sumur resapan, dengan fungsi utama untuk mengurangi limpasan permukaan air hujan dan meningkatkan resapan air ke dalam lapisan tanah. Kedua : upaya non fisik (non structural measures), seperti prakiraan banjir dan peringatan dini (early warning system), penanggulangan banjir (flood fighting), pengolahan dataran banjir (flood plain management), penetapan sempadan sungai, memberikan penyuluhan pada masyarakat yang membudidayakan dataran banjir. Secara umum program jangka panjang adalah penanganan terhadap 94 buah sungai rawan banjir, dengan prakiraan luas genangan mencapai 55.974 ha, yang terdiri dari sungai yang memerlukan perhatian serius adalah 8 buah dengan luas genangan 26.929 ha, Perhatian
12
Khusus 21 buah sungai dengan luas genangan 19.045 ha, dan Perhatian 65 buah sungai dengan luas genangan 10.000 ha. Prioritas tertinggi penanganan dilakukan pada Sungai yang memiliki intensitas banjir sering terjadi pada 23 buah sungai dengan prakiraan luas areal genangan 41.804 ha. Tabel 2.1. Tabel Sungai Kritis NTT No. 1
WILAYAH SUNGAI
LOKASI
LUAS GENANGAN
Nama Sungai
Kecamatan/Kabupaten
(Ha)
2
3
4
KET 5
I
WS. NOELMINA
9.700.
1
Sungai Nunkurus
Kupang Timur/Kupang
3.000.
2
Sungai Noelbesi
Amfoang Utara/TTS
1.750.
3
Sungai Termanu
Fatuleu/Kupang
1.500.
4
Sungai Muke
Panite/Kupang
5
Sungai Noelmina
Amanuban Barat/Kupang
II
WS. BENANAIN
1
Sungai Ponu
Manufui/TTU
450.
2
Sungai Talao
Tasifeto Barat/Belu
755.
3
Sungai Benanain
Malaka Barat/Malaka
III
WS. FLORES
1
Sungai Wae Mese
Nggorang/Manggarai Barat
2
Sungai Wae Jamal
Lembor/Manggarai Barat
3
Sungai Wae Pesi
Reo/Manggarai
4
Sungai Wae Peot
Mborong/Manggarai Timur
1.640.
5
Sungai Aesesa
Aesesa/Nagekeo
2.500.
6
Sungai Anakoli
Wolowae/Nagekeo
500.
7
Sungai Loworea
Wewaria/Ende
825.
8
Sungai Wolowona
Ndona/Ende
714.
9
Sungai Dondo
Kota Baru/Ende
400.
10
Sungai Kaliwajo
Paga/Sikka
400.
11
Sungai Nebe
Talibura/Sikka
520.
12
Sungai Lohayong
Larantuka/Flores Timur
240.
IV
WS. PULAU SUMBA
450. 3.000. 16.205.
15.000. 12.039. 15.000. 2.100. 700.
3.640.
13
1
Sungai Polapare
Wanokaka/Sumba Barat
2
Sungai Baing
Pahungalodu/Sumba Timur
2.000.
3
Sungai Kambaniru
Payeti/Sumba Timur
1.500
TOTAL I, II, III, IV
140.
41.804.
2.4.2. Pengamanan Pantai Sumber daya pesisir pantai merupakan anugerah alam yang sangat berharga, membutuhkan penanganan, baik untuk kepentingan saat ini maupun untuk yang akan datang. Dalam rangka pemanfaatan daerah pantai inilah diperlukan suatu pengelolaan yang berkesinambungan, terarah dan terpadu. Kawasan Pantai Kritis meliputi 8 daerah perkotaan/penduduk padat dengan total panjang 70.500 m, umumnya meliputi daerah perdagangan dan pusat perekonomian serta 4 kawasan pengembangan tambak yang belum tersentuh penanganan secara serius. Pada beberapa wilayah pusat kabupaten (Kota Kupang, Maumere, Kalabahi-Mali, Ende, Larantuka, Sikka) terdapat kawasan pantai yang telah mengalami abrasi karena perilaku manusia dalam wujud pengambilan karang untuk pembuatan kapur dan penangkapan ikan dengan cara bom sehingga ada sejumlah aset parawisata berupa terumbu karang menjadi rusak dan punah. Abrasi yang terjadi telah mencapai tingkat kritis bahkan sebagian lahan, rumah penduduk dan jalan serta jembatan terhanyut terbawa gelombang. Kerusakan pantai atau penurunan sumber daya pantai sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, diantaranya penambangan pasir/batu karang, penebangan hutan bakau, penutupan daerah pantai, pembuatan tambak dengan menghabiskan area hutan bakau pembangunan konstruksi yang tidak akrab lingkungan pemompaan air tanah yang berkelebihan, pembangunan permukiman yang terlalu dekat dengan pantai dan pengembangan daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi yang tersedia. Pantai yang sangat berpotensi di kembangkan untuk berbagai kebutuhan adalah sebagai berikut : 1.
Pantai Kupang terletak di Kota Kupang Bagian barat Pulau Timor. Pantai tersebut merupakan pusat aktifitas penduduk kota sepanjang 28 km, sebagian pantai terutama dimanfaatkan sebagai pelabuhan perikanan tradisional dan aktivitas perdagangan kebutuhan sehari-hari penduduk kota Kupang, maupun sebagai tempat pariwisata.
2.
Pantai Lasiana di Kabupaten Kupang Bagian Utara barat Pulau Timor.
14
3.
Pantai Mali Kalabahi dan Kokar di Kabupaten Alor Pulau Alor.
4.
Pantai Larantuka (Pantai Besar-Waibalun) di kabupaten Flores Timur
5.
Pantai Maumere di Kabupaten Sikka Bagian Utara Pulau Plores.
6.
Pantai Bola, Geliting, Kangae, Paga di Kabupaten Sikka bagian Selatan Pulau Flores.
7.
Pantai Ende di Kabupaten Ende bagian Utara dan Selatan pulau Flores.
8.
Pantai Waingapu di Kabupaten Sumba Timur pada Bagian Utara dan Selatan Pulau Sumba.
9.
Pantai Waikelo di Kabupaten Sumba Barat Daya pada Bagian Utara Pulau Sumba.
10.
Pantai Mbay di Kabupaten Nagekeo pada Bagian Utara Pulau Flores.
11.
Pantai Komodo di Kabupaten Manggarai Barat pada Bagian Utara Pulau Flores.
12.
Pantai Reo di Kabupaten Manggarai pada Bagian Selatan Pulau Flores.
Secara umum permasalahan yang terjadi pada pantai-pantai kritis adalah : terjadinya erosi dan abrasi pada sebagian garis pantai, sehingga mengakibatkan semakin sempitnya daerah aktivitas nelayan dan penduduk sepanjang pantai, hilangnya lahan permukiman, pertanian, pertambakan, serta terganggunya prasarana lainnya. Tabel 2.2. Tabel Pantai Kritis NTT PANJANG PANTAI No.
NAMA PANTAI (Kabupaten/Kota)
1
2
1
Pantai Kupang-Kota Kupang
2
POTENSIAL (meter)
FUNGSIONAL (meter)
3
4
PENANGANAN (meter) 5
28.000.
6.350.
1.754.
Pantai Alor-Alor
5.000.
2.100
1.488.
3
Pantai Larantuka-Flores Timur
5.450.
5.450.
200.
4
Pantai Maumere-Sikka
4.800.
4.800.
3.272.
5
Pantai Bola, Geliting, Kangae-Sikka
7.500.
7.500.
-
6
Pantai Paga-Sikka
6.000.
6.000.
1.323.
7
Pantai Ende-Ende
16.500.
2.700.
745.
8
Pantai Mbay-Nagekeo
2.500.
2.500.
260.
9
Pantai Komodo-Manggarai Barat
1.600.
1.600.
1.160.
10
Pantai Reo-Manggarai
2.500.
2.500.
-
11
Pantai Waingapu-Sumba Timur Waikelo-
15
Sumba Barat Daya TOTAL
12.000.
2.700.
1.310.
91.850.
44.200.
11.512.
Rencana Umum Kegiatan Penanganan Pantai meliputi : 1.
Kegiatan prakonstruksi antara lain : Survey dan inventarisasi kerusakan sarana dan prasarana pantai dan Studi detail disain bangunan pengaman pantai.
2.
Kegiatan Konstruksi antara lain : Perbaikan kerusakan berbagai sarana dan prasarana seperti tembok laut, Krib, Jety dan sebagainya. Peningkatan bangunan pengaman pantai baik kwalitas maupun kwantitas, yang meliputi : bangunan Tembok laut, jety, krib dan sebagainya. Pengembangan pembangunan sarana dan prasarana perlindungan pantai yang meliputi pembangunan : Tembok laut atau revetment, Krib, Jety, Breack water, Pengerukan dasar pelabuhan, Pengerukan muara sungai, Penimbunan pantai bagi keperluhan pembangunan bangunan pendukung pelabuhan, dan bangunan pantai lainnya.
3.
Kegiatan Pasca konstruksi antara lain : Sosialisasi operasional dan pemeliharaan rutin penggunaan sarana pengaman pantai oleh masyarakat pemanfaat. Sosialisasi penanganan permasalahan yang terjadi selama masa pemeliharaan rutin bersama organisasi nelayan.
2.5. PENGELOLAAN DAN KONSERVASI WADUK, EMBUNG SERTA BANGUNAN PENAMPUNG AIR LAINNYA Memperhatikan kondisi musim kemarau yang cukup panjang 8-9 bulan dan musim hujan 3-4 bulan menyebabkan ketersediaan mata air yang sangat kurang padahal pada musim hujan terdapat aliran permukaan sebesar 16,67 miliar m3 sehingga manajemen pengelolaan SDA dilakukan melalui sistim bangunan tampungan air hujan dan sistim resapan berupa embung kecil 5.500 buah bagi pemenuhan air bersih masyarakat pedesaan dan embung irigasi 75 buah untuk pemenuhan sejumlah lahan irigasi tadah hujan, waduk 29 buah untuk pemenuhan multi fungsi.
16
Saat ini telah ada waduk Tilong (19 juta m3), dan dalam rancangan adalah membangun Waduk Kolhua (6 Juta m3), Waduk Raknamo (14 Juta m3) dan Waduk Jawatiwa (50 Juta m3). Disamping itu beberapa waduk potensial yang akan dorong utk dikembangkan melalui identifikasi dan desain adalah Waduk Temef (47 Juta m3), Waduk Napunggete (7,88 Juta m3) 63,76 Ha untuk Pertanian. Embung Irigasi dimanfaatkan untuk menyediakan air baku bagi lahan irigasi. Jumlah kebutuhan Total adalah 75 buah Embung Irigasi. Saat ini telah dibangun 30 buah Embung Irigasi dengan tampungan yang bervariasi antara (100.000 s/d 2 juta m3). Sedangkan Embung Kecil yang dimanfaatkan bagi air baku perdesaan, kebun dan ternak, saat ini telah dibangun 910 buah dari kebutuhan 5.500 buah Embung Kecil dengan kapasitas antara 25.000 s/d 100.000. Beberapa permasalahan yang masih mengemuka saat ini adalah perlu upaya lebih untuk mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat guna pengelolaan dan pemanfaatan air embung, disamping itu perlu ditingkatkan koordinasi lintas sektor dengan pertanian dan peternakan untuk percepatan pencapaian out come dari embung.
2.6. OPERASI DAN PEMELIHARAAN SDA Guna Mempertahankan layanan prasrana SDA agar tetap optimal, maka perlu diupayakan Operasi dan Pemeliharaan sebagai berikut : 1.
Operasi Meliputi buka tutup pintu air di bendungan/waduk sesuai dengan standar manual OP bendungan/waduk/dam, pembukaan pintu air pada bangunan-bangunan di jaringan primer dan sekunder, pengukuran debit air di bendungan/waduk/dam maupun disaluran primer dan sekunder, mengisi blanko-blanko operasi dan mengoperasikan mesin pompa air (genset), pengadaan bahan bakar minyak (BBM), memantau rembesan pada bendungan/waduk/dam serta mengadakan peralatan penunjang operasional dilapangan maupun membayar honor petugas OP.
2.
Pemeliharaan terdiri dari : a) Pemeliharaan Rutin, meliputi pembersihan dan pembabatan rumput di sekitar bendungan/waduk/dam serta saluran primer dan sekunder, pemberian pelumas pintu-pintu air pada bendungan/waduk/dam, pintu air di bangunan bagi/sadap
17
pada jaringan primer dan sekunder serta memperbaiki kerusakan ringan bangunan, mesin (genset), dan saluran yang ada, mengadakan peralatan penunjang operasional untuk pemeliharaan rutin lapangan bagi petugas dan lainnya. b) Pemeliharaan Berkala, Mengadakan survey dan identifikasi lapangan maupun desain guna memperbaiki kerusakan sedang pada bangunan dan saluran primer dan sekunder yang ada, mesin (genset), pengecetan pintu-pintu air pada bendungan/waduk/dam, pintu air dibangunan bagi/sadap dijaringan primer dan sekunder, membersihkan sedimen pada bangunan bagi/sadap maupun saluran primer dan sekunder, sosialisasi Rencana Tindak Darurat (RTD) serta mengadakan peralatan opersional bagi petugas lapangan serta fasilitas penunjang maupun material untuk pemeliharaan berkala. c)
Perbaikan
Darurat
Mengadakan
survey,
identifiasi
dan
desain
guna
penanganan/perbaikan darurat pada bangunan bendungan/waduk/dam dan saluran primer dan sekunder yang ada, saluran primer dan sekunder yang diakibatkan oleh becana alam serta, mesin (genset) yang mengalami kerusakan berat, agar dapat segera berfungsi kembali, melaksanakan rencana tindak darurat (RTD) maupun megadakan peralatan berat untuk OP bendungan/waduk/dam dan lainnya.
18