www.elsam.or.id
KONDISI HAM MEMASUKI TAHUN POLITIK
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
www.elsam.or.id
daftar isi editorial
04
HAM di Tahun Politik Dalam keriuhan tahun politik ini, tidak menutup kemungkinan isu hak asasi manusia (HAM) tiba-tiba sangat diperhatikan oleh kekuatan politik yang berlaga dan menjadi salah satu jargon yang gencar disuarakan. Atau sebaliknya, bisa pula terpinggirkan bila tidak memberi keuntungan signifikan bagi perolehan suara, apalagi bila malah merugikan. Pemajuan HAM merupakan agenda yang wajib diusung serta menjadi tanggung jawab negara, siapapun yang memegang kuasa.
laporan utama Bp. Gino mantan pemimpin Pemuda Rakyat Boyolali sebagai salah satu saksi hidup penghilangan paksa tahun 1965-1966
(foto: Razif)
Kolom daerah
20-21 Ekspansi Perkebunan Sawit di Bumi Kalimantan Selain berkontribusi pada kerusakan dan berkurangnya luas hutan, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan juga telah menimbulkan kerugian sosial dan lingkungan hidup yang berat yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat adat, penghuni hutan dan hutan hujan tropis. Masyarakat adat yang tinggal di hutan dan di sekitar hutan yang bergantung kepada hutan dan barang serta pelayanan dari sumberdaya alam telah secara semena-mena disingkirkan dari wilayahnya. Akibatnya konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia merupakan dua hal yang menyertai kesuksesan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
resensi
22-23
Menelusur Peta Penghilangan Paksa Sumbangan terpenting dari buku ini adalah suguhan datadata yang cukup kaya dan jarang terpublikasi. Buku ini memberikan semacam peta penghilangan paksa, yang memuluskan kita memahami konteks kepentingan dalam berbagai kurun peristiwa penghilangan paksa, seperti yang diulas di temuan awal buku ini, yakni membuka jalan bagi modernisasi Indonesia di bawah kepemimpinan Orde Baru, memuluskan penanaman modal asing dan mengukuhkan otoritarianisme dan di era reformasi adalah ekspansi modal dan bisnis militer. Di tengah karut marut politik yang semakin menjauh dari tanggungjawab penyelesaian pelanggaran HAM, juga gejala merebaknya kembali simbol-simbol kediktatoran Orba dengan ungkapan-ungkapan rindu pada Orde Baru, kehadiran buku ini menjadi penting.
profil elsam
24
5 - 14 Konflik Agraria dan Negara Kaum Pemodal Konflik lahan merupakan masalah yang pelik. Untuk sebagian, persoalan ini disebabkan oleh regulasi-regulasi di bidang agraria yang membuka ruang bagi terjadinya konflik dan kekerasan agraria, banyak kekerasan agraria yang terjadi antara warga/petani dengan pasukan keamanan swasta atau pamswakarsa dari perusahaan.
Menyoroti Kinerja Legislasi DPR dalam Perlindungan HAM Sedikitnya 69 RUU telah ditetapkan oleh DPR sebagai prioritas legislasi yang akan dibahas selama tahun 2012. Namun dalam praktiknya, seperti tahun-tahun sebelumnya, secara kuantitas, capaian legislasi DPR, jauh dari yang direncanakan dalam Prolegnas. DPR hanya mampu menyelesaikan pembahasan 30 RUU dari 69 RUU yang direncanakan. Kurang dari separo.
Mengurai Kusutnya Agenda Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Yang terpenting dari agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat adalah mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di kemudian hari, sehingga tidak ada korban-korban pelanggaran HAM baru di masyarakat, karena adanya efek jera dari para pelaku dan institusi yang melakukan pelanggaran HAM.
Kelemahan Penegakan Hukum Lestarikan Penyiksaan Selama 2012, kejahatan penyiksaan, hukuman yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat (selanjutnya disebut penyiksaan) kerap terjadi, dan institusi Kepolisian merupakan pihak yang paling banyak melakukan penyiksaan. Polisi biasanya melakukan tindakan, baik saat interogasi dan penangkapan, termasuk, saat memaksa tangkapannya untuk mengakui suatu tindak pidana yang tidak dilakukan.
nasional
15-17
Melihat Komnas HAM Periode Lalu, Berharap Kinerja ke Depan Jika melihat pada periode yang lalu, terdapat pekerjaan rumah Komnas HAM yang belum selesai. Misalnya, kasus penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, eskalasi kekerasan yang masih terus terjadi dalam berbagai bidang (misal sengketa lahan, penyiksaan, dan kekerasan berbasiskan agama), persoalan konflik di Papua, serta relasi institusional Komnas HAM dengan lembaga negara lainnya, serta persiapan ratifikasi beberapa instrumen HAM.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
dari redaksi JEMBATAN BACEM
www.elsam.or.id
Redaksional Penanggung Jawab: Indriaswati Dyah Saptaningrum Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto Redaktur Pelaksana: Widiyanto Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman Redaktur: Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien,Mohamad Zaki Hussein Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jembatan Bacem terletak di perbatasan Solo dan Sukoharjo. Di bawahnya mengalir sungai Bengawan Solo. Film Dokumenter ini bertutur tentang tiga orang saksi penghilangan paksa dan dua orang survivor yang lolos dari upaya penghilangan paksa di atas Jembatan Bacem pada tahun 1965 dan 1966. Jembatan Bacem, bagi korban dan keluarga korban penghilangan paksa peristiwa 65 adalah pusara. Di tempat ini mereka berziarah, menabur bunga dan berdoa untuk teman, saudara, sanak keluarga dan orang-orang hilang yang mereka cintai.
Penerbitan didukung oleh:
Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail:
[email protected],
[email protected]
Produksi Elsam dan Pakorba Solo Oktober 2012 Di dukung oleh Uni Eropa
Website: www.elsam.or.id. Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected] ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
03
editorial HAM di Tahun Politik
T
ahun 2013 ini akan menjadi tahun sibuk bagi aktivitas politik. Pelbagai agenda dan persiapan menjelang pemilihan umum (Pemilu) anggota legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dipastikan akan mendominasi kehidupan keseharian kita. Para politisi dan aktivis politik dipastikan akan melakukan pelbagai cara guna menangguk suara. Bagi pihak yang hendak mempertahankan kekuasaan, demi pencitraan kinerja, sebuah keberhasilan kecil bisa mereka gelembungkan sehingga publik melihatnya sebagai capaian besar. Sementara bagi pihak yang berupaya merebut kekuasaan, mereka akan melontarkan pelbagai jargon populis demi sekadar menjatuhkan lawan, karena bisa jadi jargon tersebut juga tidak bisa direalisasikan seandainya mereka yang memegang kendali kekuasaan negara. Dalam keriuhan tahun politik ini, tidak menutup kemungkinan isu hak asasi manusia (HAM) tiba-tiba sangat diperhatikan oleh kekuatan politik yang berlaga dan menjadi salah satu jargon yang gencar disuarakan. Atau sebaliknya, bisa pula terpinggirkan bila tidak memberi keuntungan signifikan bagi perolehan suara, apalagi bila malah merugikan. Padahal HAM jelas termaktub dalam Konstitusi, dan pemajuan HAM merupakan agenda yang wajib diusung serta menjadi tanggung jawab negara, siapapun yang memegang kuasa. Dalam pelbagai kemungkinan tersebut, bagaimana kiranya prospek HAM sepanjang tahun politik ini? Akankah pemajuan HAM menjadi agenda prioritas, atau sebaliknya malah terpinggirkan? Sebagaimana layaknya proyeksi, kita dapat memulainya dengan analisis situasi-kondisi HAM di tahun 2012 sebagai situasi awal. Dari situ, kita kemudian beranjak pada kecenderungan umum yang mungkin dan biasanya terjadi selama tahun politik serta hubungannya dengan HAM. Analisis ini yang selanjutnya menjadi dasar untuk memprediksi prospek atau kecenderungan situasi-kondisi HAM sepanjang tahun 2013: apakah akan mengalami perbaikan, kemandegan (stagnasi), atau malah kemunduran. Dalam laporan situasi HAM tahunannya, ELSAM menilai bahwa secara umum situasi HAM di Indonesia selama tahun 2012 tetap buruk dan tidak beranjak menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. HAM masih diabaikan, dengan bukti bahwa kekerasan meningkat. Peningkatan kekerasan dan pengabaian HAM tersebut terjadi akibat: (1) negara absen justru di saat dibutuhkan, (2) bukannya melindungi, negara justru mencurigai dan/atau melakukan kekerasan terhadap warganya, dan (3) ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
04
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
negara (masih) tidak mampu menghadirkan keadilan, terutama karena institusi penegakan hukum masih belum berfungsi efektif bagi pemajuan HAM-khususnya dalam menghukum para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, selain juga dalam memberi keadilan bagi korban. Institusi yang sangat menentukan (makin) baik atau buruknya situasi-kondisi HAM adalah negara, selain kontrol dari masyarakat sipil (civil society). Benar bahwa pemajuan HAM sangat ditentukan oleh adanya kemauan dan kemampuan negara untuk hadir, melindungi, dan menghadirkan keadilan serta kesejahteraan bagi warganya. Demi menumbuhkan harapan ini, di akhir laporan HAM yang dirilis pada awal tahun 2013 tersebut, ELSAM menyampaikan sejumlah rekomendasi bagi pelbagai institusi negara untuk memperbaiki situasi. Bila rekomendasi tersebut diperhatikan dan dijalankan, situasi-kondisi HAM niscaya akan mengalami kemajuan yang bermakna. Misalnya, Presiden menindaklanjuti rekomendasi DPR atas kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998. Juga, mendorong penyelesaian ribuan konflik tanah dan melaksanakan reforma agraria. Demikian pula dengan Kejaksaan Agung yang segera menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kepolisian konsisten menjalankan Peraturan Kapolri mengenai implementasi HAM dalam tugas-tugas Polri. Mahkamah Agung mampu menghadirkan keadilan lewat putusan hakim yang imparsial dan mempunyai perspektif HAM terhadap para pelaku tindak kekerasan dan pelanggar HAM. Sementara lembaga legislatif menginternalisasi norma-norma HAM sebagai pendasaran utama dalam penyusunan legislasi dan menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja Pemerintah. Persoalan klasiknya, mungkinkah hal-halyang sepintas sedehana dan sudah seharusnyaini dapat terjadi di saat negara sedang mengalami krisis representasi, terlebih lagi dalam hingar bingar tahun politik yang terlihat sekadar sebagai ritual rutin lima tahunan?
Redaksi
laporan utama Konflik Agraria dan Negara Kaum Pemodal Oleh Mohamad Zaki Hussein (Staf Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)
K
onflik agraria semakin hari, semakin meningkat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria1 mencatat bahwa pada tahun 2010, setidaknya terdapat 106 konflik agraria di Indonesia dengan luas lahan sengketa sebesar 535.197 hektar. Pada tahun 2011, jumlah konflik agraria meningkat menjadi 163 konflik, meski luas lahan yang disengketakan sedikit lebih kecil, yaitu 472.048,44 hektar. Sementara pada tahun 2012, jumlah konflik agraria meningkat lagi menjadi 198 konflik dengan luas lahan yang semakin besar, yaitu 963.411,2 hektar. Selama kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2004 sampai sekarang, sudah terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dengan luas lahan sengketa sebesar 2.399.314,49 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan kekerasan yang memakan korban. Berbagai konflik di tahun 2010 telah memakan korban 3 orang petani tewas, 4 orang tertembak, 8 orang luka-luka dan sekitar 80 petani dipenjarakan. Sementara konflik-konflik yang terjadi pada 2011, telah memakan korban 22 petani/warga tewas. Adapun konflik-konflik yang terjadi di tahun 2012 memakan korban 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan 3 orang tewas. Secara kumulatif, berbagai konflik agraria yang terjadi selama 2004-2012 telah memakan korban 941 orang ditahan, 396 luka-luka, 63 orang luka serius akibat peluru aparat, dan 44 orang meninggal. Penyelesaian konflik lahan tampak tidak memuaskan. Misalnya, dalam kasus bentrokan warga dengan aparat keamanan di areal perkebunan PT. BSMI dan PT. LIP, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, pada November 2011. Bentrokan ini mengakibatkan korban satu orang tewas ditembak, 6 orang mengalami luka tembak, 1 korban mengalami luka bakar berat dan 1 orang lagi terluka karena pecahan kaca. Polisi yang
melakukan penembakan, AKP Wetman Hutagaol, memang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Lampung. Dia dengan Aipda Dian Purnama, yang melepaskan dua kali tembakan saat itu, juga terkena sanksi disiplin. Tetapi kasus lahannya sendiri masih menggantung sampai sekarang. Di tingkatan yang lebih makro, negara tampak mengambil beberapa tindakan. Di antaranya pembentukan tim terpadu yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepolisian dan instansi terkait pada 2012. Namun tidak jelas apa capaiannya, sehingga tindakan seperti ini lebih terlihat sebagai lips service saja. Pada Juni 2012, Presiden SBY juga sempat mengganti Ketua BPN Joyo Winoto dengan Hendarman Supandji. Sebagian kalangan menghubungkan pergantian ini dengan kinerja Joyo yang buruk dalam melakukan reformasi agraria. Tetapi, sebagian kalangan menganggap pergantian ini lebih terkait dengan kasus korupsi Hambalang, meski Pemerintah membantah hal itu. Yang jelas, pergantian ini tidak memiliki efek yang berarti pada persoalan konflik lahan.
Para pendemo berorasi menolak pengesahan RUU pengadaan tanah. Menurut mereka RUU pengadaan tanah akan mengundang semakin tingginya konflik pertanahan di indonesia karena obyek pangadaan tanah sangat rentan konflik dan sarat dengan kepentingan pengusaha. sumber:(Hasan Alhabshy/detikcom)
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
05
Konflik lahan merupakan masalah yang pelik. Untuk sebagian, persoalan ini disebabkan oleh regulasi-regulasi di bidang agraria yang membuka ruang bagi terjadinya konflik dan kekerasan agraria. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan2, misalnya, sekalipun Pasal 21 dan Pasal 47 yang bersifat represif sudah dibatalkan melalui judicial review, tetapi masih ada Pasal 20 yang membolehkan pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan dengan "melibatkan bantuan masyarakat di sekitarnya." Ketentuan ini membuka ruang bagi digunakannya pasukan pengamanan swasta untuk menghadapi masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Dan memang banyak kekerasan agraria yang terjadi adalah antara warga/petani dengan pasukan keamanan swasta atau pamswakarsa dari perusahaan. Kendati demikian, regulasi bukanlah faktor yang menentukan. Dengan menggunakan lagi contoh UU Perkebunan, sekalipun mengandung unsur-unsur negatif, UU itu sebenarnya juga sudah mengakui beberapa prinsip HAM. Di antaranya pengakuan atas tanah hak ulayat masyarakat adat, dimana pelaku usaha perkebunan "wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah" jika tanah yang diperlukan "merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada." (Pasal 9 ayat (2)); pengakuan terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 25 dan 26), serta pengakuan implisit terhadap hak-hak yang bisa terkena dampak dari produk perkebunan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia serta lingkungan hidup (Pasal 31 dan 32). Namun, unsur-unsur positif ini tidak dipatuhi dan tidak mampu menahan terjadinya konflik-konflik dan kekerasan agraria. Regulasi adalah sebuah produk politik. Karenanya, regulasi yang membuka ruang bagi konflik dan kekerasan; regulasi yang isinya ambigu; tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan sebuah regulasi, semua itu merupakan ekspresi dari situasi kekuasaan politik dan kontestasi politik yang ada. Dalam hal ini, kontestasi antara petani/warga/gerakan sosial dengan para pemodal sektor agraria yang kepentingannya direpresentasikan dan dikelola oleh negara. Karena ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
06
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
kekuatan petani/warga/gerakan sosial masih lemah, maka mereka hanya bisa memenangkan konsesi-konsesi yang sangat terbatas. Sementara itu, para pemodal yang jauh lebih kuat, karena mempunyai modal dan memegang kekuasaan politik3, memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk mengartikulasikan kepentingannya, bahkan jika harus melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang pro-petani/warga. Jadi, penyebab lebih pokok dari konflikkonflik agraria ini adalah karena negara Indonesia dikuasai kaum pemodal. Watak negara yang seperti ini terlihat jelas dari kebijakan pembangunan ekonominya. Pada Mei 2011, Pemerintah mengeluarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-20254 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011. MP3EI dibuat untuk semakin memacu investasi. Dalam MP3EI, dunia usaha dianggap "mempunyai peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi” melalui investasinya, sementara Pemerintah bertugas menciptakan kondisi yang kondusif bagi dunia usaha untuk berinvestasi serta ”membangun berbagai macam industri dan infrastruktur yang diperlukan.” Jadi, menurut MP3EI, tugas Pemerintah adalah memberikan insentif kepada dunia usaha agar mereka mau berinvestasi. Tentu Pemerintah mengklaim bahwa investasi ini ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Logikanya, investasi akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kemudian bisa diredistribusi kepada masyarakat melalui program-program kesejahteraan. Te t a p i , k a l a u k i t a l i h a t p r o g r a m kesejahteraan yang hendak didorong MP3EI, kita bisa melihat kepalsuan klaim itu. Subsidi, misalnya, akan diubah dari subsidi barang menjadi subsidi langsung ke orang miskin. Selain persoalan kriteria miskin dan sifatnya yang tidak berkelanjutan, subsidi orang akan mengubah "barang publik" menjadi komoditi yang hanya bisa dibeli dengan harga pasar. Yang diuntungkan oleh kebijakan ini tentu adalah para pemodal besar, karena mereka akhirnya bisa beroperasi di pasar yang tidak diproteksi, sementara akses masyarakat atas "barang publik" akan berkurang karena harganya menjadi mahal. Kemudian, perlindungan sosial
laporan utama
Sepanjang masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak tahun 2004, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sebanyak 618 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia. Konflik ini telah menewaskan 44 orang, dengan cakupan areal sengketa 2.399.314,49 hektar dan melibatkan 731.342 keluarga. (dok:http://www.kpa.or.id)
yang didorong MP3EI adalah perlindungan sosial yang berbentuk asuransi dan mewajibkan masyarakat membayar iuran. Pajak yang didorong oleh MP3EI juga adalah pajak konsumen, dan bukan pajak atas keuntungan perusahaan. Bagaimana dengan argumen bahwa peningkatan investasi akan menciptakan lapangan kerja? Hal itu memang benar, tapi adanya lapangan kerja bukan jaminan bagi kesejahteraan. Yang juga penting adalah bagaimana perlindungan negara terhadap pekerja ketika mereka bekerja. MP3EI menyatakan, regulasi ketenagakerjaan akan "diperbaiki" untuk mendukung dunia usaha. Dan apa yang dimaksud dengan ”diperbaiki demi dunia usaha” dapat dilihat dalam RUU tentang Revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, yang diajukan Pemerintah tidak lama setelah MP3EI dikeluarkan, tetapi ditolak DPR. Di antara poin revisi itu adalah THR dihilangkan, sifatnya hanya bantuan dan bukan kewajiban pengusaha; pembahasan upah minimum diubah menjadi dua tahun sekali, padahal upah harus selalu menyesuaikan diri dengan inflasi; cuti panjang dihilangkan, dan untuk PHK, pengusaha tidak perlu melalui proses perizinan.5 Ini lebih buruk dari UUK No. 13 Tahun 2003, yang juga sudah buruk. Kembali ke soal konflik agraria, MP3EI sendiri menekankan investasi pada sektor Sumber Daya Alam (SDA), karena memposisikan Indonesia
sebagai "basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumberdaya mineral serta pusat mobilitas logistik global." Begitu pula, dari enam koridor ekonomi dalam MP3EI, hanya dua koridor yang memiliki sektor non-SDA, yaitu Jawa dengan industri dan jasa serta Bali-Nusa Tenggara dengan pariwisata. Sisanya diperuntukkan khusus bagi hasil bumi, pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertambangan, migas, dan energi. Selain itu, MP3EI juga menekankan pembangunan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi dan mendorong konektivitas antar-wilayah. Ini berarti, ke depannya, konflik agraria akan semakin menghebat. Dan akan terus demikian selama kekuasaan politik masih dipegang oleh kaum pemodal.
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
Lihat 'Laporan Akhir Tahun 2010 Konsorsium Pembaruan Agraria: "Tidak Ada Komitmen Politik Pemerintah Untuk Pelaksanaan Reforma Agraria"', diunduh dari http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2011/11/LaporanAkhir-Tahun-2010_KPA.pdf; 'Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2011: "Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat"', diunduh dari http://www.kpa.or.id/wpcontent/uploads/2011/12/Laporan-Akhir-Tahun-KPA-Tahun2011_Release-27-Desember-2011.pdf; 'Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria: "Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria"', diunduh dari http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2012/12/LaporanAkhir-Tahun-KPA-2012_28-Desember-2012.pdf. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan bisa diunduh di http://ditjenbun.deptan.go.id/images/stories/PDF/uu182004.pdf. Ada setidaknya dua mekanisme bagaimana pemodal bisa memegang kekuasaan politik. Pertama, melalui mekanisme struktural, dimana sebuah negara yang kebijakan pembangunannya bergantung pada investasi para pemodal akan membuat negara itu memiliki kepentingan untuk membuat kondisi yang favourable bagi pemodal. Di sini, pemodal tidak perlu hadir langsung dalam berbagai lembaga negara, seperti parlemen, atau melobi para politisi. Kekuasaannya mewujud dalam bentuk ketergantungan negara atas modal mereka. Kedua, melalui mekanisme yang bersifat instrumental, seperti lobi, menggunakan sogokan, masuk ke lembaga-lembaga negara secara langsung dengan menjadi politisi, dan sebagainya. D o k u m e n M P 3 E I 2 0 11 - 2 0 2 5 b i s a d i u n d u h d i http://www.depkeu.go.id/ind/others/bakohumas/bakohumask emenko/MP3EI_revisi-complete_%2820mei11%29.pdf. "Isi Revisi UU Ketenagakerjaan, Sangat Keras Buat Pekerja," Suara Pembaruan, 16 Desember 2011. Diunduh dari http://www.suarapembaruan.com/home/isi-revisi-uuketenagakerjaan-sangat-keras-buat-pekerja/14959.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
07
laporan utama Mengurai Kusutnya Agenda Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Oleh Ari Yurino (Staf Bidang Informasi dan Dokumentasi ELSAM)
S
udah 15 tahun Orde Reformasi berjalan di Indonesia. Pada awalnya, harapan tinggi akan perbaikan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan mendapatkan keadilan, khususnya bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu agenda terpenting. Dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat memenuhi rasa keadilan yang selama ini dirampas dari kehidupan mereka, dapat memperbaiki kehidupan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dengan memberikan hak pemulihan dan reparasi.1 Yang lebih terpenting dari agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat adalah mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di kemudian hari, sehingga tidak ada korban-korban pelanggaran HAM baru di masyarakat, karena adanya efek jera dari para pelaku dan institusi yang melakukan pelanggaran HAM. Namun seiring dengan waktu, sepertinya harapan akan keadilan dan perbaikan kehidupan tersebut tidak kunjung datang. Dari tahun ke tahun, sepertinya tidak ada perubahan yang berarti, yang dihasilkan oleh Pemerintah RI mengenai upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hingga akhir tahun 2012, berbagai berkas laporan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, sebagai institusi negara yang bertugas melakukan penyidikan. Namun hingga saat ini, berkas-berkas penyelidikan tersebut seakan-akan seperti menjadi tumpukan arsip saja di meja Kejaksaan Agung, tanpa pernah ditindaklanjuti. Laporan penyelidikan Komnas HAM yang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung antara lain: peristiwa Trisakti Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999); peristiwa Mei 1998; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; peristiwa Talangsari 1989; peristiwa 1965; dan, peristiwa penembakan misterius. Dari sekian banyak berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM yang telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, sebenarnya berkas penyelidikan kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi pada tahun 1997-1998 memiliki peluang yang besar untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Pada tahun 2009, DPR telah mengeluarkan empat rekomendasi kepada Presiden/pemerintah sehubungan dengan upaya penuntasan kasus tersebut.2 Namun telah lebih dari empat tahun, Pemerintah baru sebatas memiliki niat untuk menjalankan rekomendasi terakhir, yaitu meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
08
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
bagi Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa, seperti yang tercantum dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014. Namun sepertinya, rencana tersebut baru sebatas niat saja, karena hingga akhir tahun 2012 pemerintah tidak juga meratifikasi konvensi tersebut. Ada banyak faktor yang menjadi kendala dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Mantan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, menyebutkan kurangnya dukungan Pemerintah dan DPR terhadap kegiatan Komnas HAM menjadi salah faktor yang terpenting yang menghambat agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.3 Sementara, bagi Ketua Komnas HAM saat ini, Otto Nur Abdullah, kemandegan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga disebabkan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memungkinkan terjadinya 'pingpong politik' dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM.4 'Pingpong politik' yang dimaksud oleh Ketua Komnas HAM tersebut dapat terlihat dalam pengembalian berkas penyelidikan Komnas oleh Kejaksaan Agung untuk peristiwa 1965 dan penembakan misterius (Petrus) di akhir tahun 2012. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung masih tetap pada keyakinannya agar Komnas HAM melengkapi berkas penyelidikannya walaupun Komnas HAM telah beberapa kali menyerahkan kembali berkas tersebut ke Kejaksaan Agung.
USUT PELANGGARAN HAM. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi demo. Mereka mendesak agar pemerintah menegakkan akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu dengan mendorong secara aktif proses hukum yang terhambat di Kejaksaan Agung . (FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma/ama)
laporan laporan utama utama Berbagai faktor yang menghambat tersebut menjelaskan mengapa upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini selalu saja tidak membuahkan hasil. Presiden pernah berinisiatif untuk membentuk Tim Kecil di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam),5 yang ditugaskan untuk mencari format terbaik bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, pada November 2011. Namun jika melihat komposisi keanggotaannya, mandat tim ini tidak hanya mencari format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu saja. Komposisi tim ini sepertinya juga dimandatkan untuk mencari format penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam yang pada tahun 2012 semakin meningkat intensitasnya. Namun hingga akhir tahun 2012, tim kecil ini tidak mendapatkan hasil apapun. Menko Polhukam, Djoko Suyanto, berasalan lambatnya kerja tim ini merupakan konsekuensi dari beratnya kasus-kasus yang harus diselesaikan, mengingat panjangnya rentang waktu, jamaknya kategori kejadian, kriteria korban, dan bentuk penyelesaian yang bermartabat.6 Inisiatif yang lain juga pernah datang dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, Dr. Albert Hasibuan, yang menyusun rekomendasi untuk Presiden agar dapat menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Untuk merealisasikan rekomendasi tersebut, Wantimpres melakukan sejumlah pertemuan dengan tokoh ahli hukum dan perwakilan organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi korban, untuk memperoleh masukan tentang konsep penyelesaian. Format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang telah disusun oleh Wantimpres tersebut kemudian telah diserahkan kepada Presiden, namun hingga akhir tahun 2012, Presiden tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan menindaklanjuti usulan konsep dari Wantimpres tersebut. Berbagai kemandegan ini menunjukkan memang komitmen Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat lemah. Tidak aneh, berbagai berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu serta inisiatif-inisiatif yang muncul tidak pernah ada tindak lanjutnya dari Pemerintah. Harapan Kecil di Tengah Kemandegan Di tengah lemahnya komitmen Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, ternyata ada beberapa inisiatif dari beberapa institusi pemerintah yang masih dapat memberikan harapan-harapan kecil kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Di tahun 2012, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah membuka peluang bagi korban untuk mengajukan permohonan bagi bantuan medis maupun psikososial. Hingga November 2012, LPSK telah memberikan perlindungan dan pemulihan medis maupun psikologis bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu.7
Inisiatif pemberian bantuan medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM masa lalu ini ternyata juga menemui berbagai hambatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, LPSK hanya dapat memberikan bantuan setelah adanya keterangan dari Komnas HAM.8 Kendala dalam proses birokratisasi ini yang menyebabkan beberapa korban pelanggaran HAM merasa frustasi untuk mengakses bantuan dari LPSK tersebut.9 Kendala ini juga menyebabkan banyaknya permohonan bantuan dari korban pelanggaran HAM yang tidak dapat ditindaklanjuti oleh LPSK. 10 Walaupun berbagai hambatan dalam pemberian bantuan oleh LPSK ini kerapkali terjadi, namun inisiatif ini patut diapresiasi karena merupakan terobosan yang penting dalam membantu kehidupan para korban pelanggaran HAM. Terobosan penting lainnya juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu. Dalam rangkaian acara peringatan hari hak-hak korban pelanggaran HAM atas kebenaran dan keadilan, Maret 2012, Walikota Palu secara resmi menyatakan bahwa yang terjadi di masa lalu (1965-1966) adalah sebuah kesalahan, dan secara resmi menyatakan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam acara tersebut, Walikota menjanjikan program pengobatan gratis bagi korban melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), serta bermaksud memberikan peluang kerja kepada anak-anak korban melalui program padat karya yang masuk ke setiap kelurahan. Walikota Palu juga berjanji akan memberikan beasiswa kepada anak dan cucu korban. Selain itu, pihak Walikota mengakui ada 13 titik tempat kerja paksa korban peristiwa 1965-1966 dan menyetujui tempat-tempat tersebut dijadikan obyek wisata sejarah serta budaya. Walikota Palu bermaksud membantu penggalian kuburan massal korban yang dihilangkan secara paksa, sepanjang lokasinya teridentifikasi berada di wilayah kota Palu.11 Namun janji-janji Walikota Palu tersebut hingga akhir tahun 2012 belum terealisasi. Pada 27 Desember 2012, Walikota Palu telah menerima dan menyetujui konsep program Reparasi Mendesak yang ditawarkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Palu. Dalam reparasi mendesak tersebut, Pemerintah Kota Palu akan menyiapkan anggaran dalam APBD Perubahan tahun 2013, untuk memberikan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, bantuan usaha, serta jaminan hari tua bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di Palu. Rencananya program ini akan direalisasikan pada Agustus 2013.12 Proyeksi di Tahun Politik Walaupun harapan-harapan kecil muncul dari lembaga atau institusi negara, namun hal tersebut belum cukup untuk memaksa Pemerintah secara keseluruhan agar mau menuntaskan kasus-kasus ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
09
pelanggaran HAM masa lalu. Agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu akan semakin berat hingga tahun 2014, mengingat mulai tahun 2013 hingga tahun 2014 merupakan tahuntahun politik bagi partai politik dan elit politik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu). Seperti pada masa-masa sebelumnya, menjelang Pemilu, kasus-kasus pelanggaran HAM memiliki kecenderungan akan digunakan sebagai komoditas politik oleh elit-elit politik untuk menjegal lawan politiknya. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu akan menjadi alat tawar-menawar politik di antara elit politik di Indonesia, daripada sebagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian demi memajukan situasi HAM dan memberi keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa selama ini negara, di setiap periode pemerintahan hingga saat ini, melakukan pembiaran atau tidak memiliki inistiatif yang sungguh-sungguh untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu melalui mekanisme Pengadilan HAM adhoc akan sulit terjadi terbelenggu kepentingan politik. Sebagaimana disampaikan oleh mantan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, proses politik di DPR dan proses pengeluaran Keppres biasanya sarat dengan muatan politik, yang pada akhirnya semakin mempersulit pembentukan Pengadilan HAM adhoc.13 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR dari F-PKS, yang menilai keengganan Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dikarenakan tidak adanya kemauan semua pihak (termasuk DPR) untuk menyelesaikan kasus HAM. Hal ini dikarenakan semau pihak sudah disandera oleh kepentingan politik, yang menyebabkan gerak anggota DPR tidak leluasa serta khawatir akan menyebabkan blunder, gejolak politik dan mengancam kelompok tertentu.14 Selama ini memang pengungkapan kasuskasus pelanggaran HAM masa lalu selalu saja dianggap akan menimbulkan gejolak atau kegaduhan politik. Lihat saja bagaimana laporan penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa 1965-1966 dianggap sebagai upaya untuk membuat gaduh oleh beberapa pejabat pemerintah sehingga tidak perlu diungkap.15 Upaya lembaga Arsip Nasional RI (ANRI) baru-baru ini untuk membuka arsip dokumen peristiwa 1965 pun dihadang oleh DPR karena khawatir akan menimbulkan kegaduhan baru.16 Gejolak politik yang dimaksud tentu saja mengacu kepada pertarungan antara elit-elit dan partai-partai politik yang akan berlaga di Pemilu 2014 nantinya. Hal ini mengingat sebagian dari mereka yang diduga sebagai pelaku pelanggar HAM masa lalu juga masih memiliki posisi strategis dan jaringan yang kuat di pelbagai institusi pemerintah, militer maupun partai politik. Dengan posisi tersebut, mereka mempunyai kemampuan untuk ikut mempengaruhi ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
10
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
kebijakan dan perpolitikan di Indonesia, termasuk yang berhubungan dengan agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam situasi seperti ini, kemandegan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu tampaknya terjadi bukan sekedar karena instrumen kebijakan untuk penyelesaiannya yang tidak memadai, namun lebih ditentukan oleh ketiadaan kemauan politik dari para pembuat kebijakan itu sendiri.17 Memperluas Upaya Pengungkapan Kebenaran Walaupun penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di tahun politik ini sangat berat, namun upaya untuk mengungkapkan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu tetap harus dilakukan. Hal ini tentu saja akan sangat bermanfaat bagi upaya untuk membuka kesadaran baru untuk masyarakat, khususnya bagi generasi muda, mengenai apa yang terjadi di Indonesia pada masa lalu. Saat ini informasi mengenai peristiwaperistiwa pelanggaran HAM masa lalu sudah banyak tersebar di masyarakat, baik melalui buku, film maupun hasil investigasi dari media massa. Keterbukaan informasi mengenai peristiwaperistiwa pelanggaran HAM masa lalu tersebut harus dimaknai bukan hanya untuk membuka pengetahuan sejarah yang selama ini ditutupi-tutupi oleh pemerintah, namun juga upaya untuk mengajak masyarakat agar bersama-sama mendesak pemerintah mengungkapkan dan mengakui secara resmi apa yang telah terjadi di masa lalu. Hal ini menjadi penting, karena masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu bukan saja masalah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu saja, namun hal ini juga harus menjadi permasalahan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, yang selama ini menjadi korban penutupan sejarah dari masa Orde Baru. Sasaran utama dari upaya ini seharusnya lebih ditujukan kepada generasi muda dan para pengajar di sekolah, sehingga upaya pengungkapan kebenaran ini dapat berjalan terus menerus. Institusi pendidikan menjadi salah satu sasaran yang paling penting karena institusi pendidikan merupakan lembaga yang paling dekat dengan generasi muda. Untuk itu, lembaga-lembaga yang selama ini mengadvokasi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu harus mulai merangkul para pengajar dan generasi muda untuk memperluas kampanye pengungkapan kebenaran tersebut. Selain itu, yang juga penting adalah membenahi organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM masa lalu. Walaupun selama ini telah terbentuk berbagai organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus, namun hingga saat ini dirasakan organisasiorganisasi tersebut belumlah dapat bekerja secara maksimal untuk merekrut dan memberikan pemahaman yang menyeluruh melalui berbagai pendidikan organisasi kepada korban-korban
laporan utama pelanggaran HAM lainnya di Indonesia, yang seharusnya menjadi anggota organisasi tersebut. Jika kita melihat bagaimana organisasiorganisasi buruh dan tani dalam melakukan aktivitasnya dalam mengkampanyekan kasuskasusnya ke masyarakat, maka bisa dibilang organisasi korban masih tertinggal jauh. Organisasiorganisasi buruh dan tani yang dimotori oleh anggota dari buruh dan tani, mampu menjalankan organisasinya dan memberikan pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan selama ini. Sebagai contoh, organisasi buruh mampu untuk memaksa pemerintah untuk bernegosiasi mengenai kenaikan Upah Minimum. Pembenahan di organisasi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu menjadi upaya memperkuat korban dan keluarga korban melalui organisasi tersebut, baik secara politik maupun ekonomi. Dengan perluasan kampanye pengungkapan kebenaran ke generasi muda serta pembenahan organisasi korban tersebut, diharapkan kekuatan untuk mendesak pemerintah agar memiliki kemauan politik dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat terwujud. Hal ini juga dapat mencegah perilaku elit politik yang selama ini hanya menjadikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sebagai komoditas politik belaka. Kekuatan yang besar untuk mendesak pemerintah akan memunculkan posisi tawar politik yang lebih besar bagi kepentingan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12. 13.
Keterangan 14. 15. 1.
2.
3.
Hukum internasional mengatur korban pelanggaran HAM yang berat serta pelanggaran serius terhadap hukum humaniter harus mendapatkan pemulihan, yang terdiri atas: akses atas keadilan yang setara dan efektif; reparasi yang memadai, efektif atas kerugian yang diderita; dan, akses atas informasi yang relevan berkaitan dengan pelanggaran dan mekanisme reparasi. Lihat, Ari Yurino, Aloysia Vira Herawati, “Reparasi: Hak yang harus dipenuhi,” http://hukumpidanadankeadilantransisi.blogspot.com/2011/11 /reparasi.html (akses 11 Februari 2013) Rekomendasi DPR tersebut, yakni: 1) merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM adhoc; 2) merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang; 3) merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; dan, 4) merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan bagi Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa. Parameter yang terlihat dari kurangnya dukungan pemerintah dan DPR terhadap kegiatan Komnas HAM, yakni: anggaran; politik; tidak dibentuknya Pengadilan HAM; dan, tindak lanjut laporan Komnas HAM. Lihat., “Saat Pemerintah dan DPR Tak Dukung Komnas HAM,” VivaNews, 30 Agustus 2012, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347524-saatpemerintah-dan-dpr-tak-dukung-komnas-ham (akses 11 Februari 2013)
16.
17.
Lihat., “2013, Indonesia Punya 7 PR Bidang HAM,” TEMPO, 13 Desember 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/ 12/13/078447862/2013-Indonesia-Punya-7-PR-Bidang-HAM (akses 11 Februari 2013) Tim ini beranggotakan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Mabes TNI, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Wakil Kemenko Polkam, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Pekerjaan Umum. Lihat., Tim ELSAM, Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia tahun 2012: Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia (Jakarta: ELSAM, 2013), hlm. 6 Lihat Siaran Pers LPSK, “Komnas HAM: LPSK Telah Jalankan Rekomendasi PBB,” 20 November 2012, http://www.lpsk.go.id /page/50ab1db8a6d1c (akses 11 Februari 2013) Lihat., Pasal 35 ayat 2 huruf b dan huruf c, Peraturan Pemerintah (PP) No 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Lihat., “LPSK: Syarat Administrasi Jadi Kendala Korban HAM,” Aktual, 31 Mei 2012, http://www.aktual.co/hukum/174450lpsksyarat-administrasi-jadi-kendala-korban-ham (akses 11 Februari 2013) LPSK telah menerima 211 permohonan perlindungan dari korban pelanggaran HAM tahun 1965-1966, namun banyak dari permohonan tersebut yang berkasnya tidak lengkap, seperti belum adanya surat rekomendasi dari Komnas HAM serta tidak adanya kelengkapan administrasi berupa KTP, kartu keluarga dan dokumen lainnya. Lihat., Siaran Pers LPSK, “LPSK Lakukan Pemeriksaan Medis dan Psikologis Korban Pelanggaran HAM Berat,” 6 November 2012, http://www.lpsk.go.id/page/50a1a26aa3309 (akses 11 Februari 2013) Lihat., Nurlaela AK. Lamasitudju, “Ketika Walikota Meminta Maaf Kepada Korban,” dalam Buletin Asasi Edisi Maret-April 2012 (Jakarta: ELSAM, 2012) Wawancara dengan Nurlaela AK. Lamasitudju, 7 Januari 2013 dalam Tim ELSAM, Op Cit, hlm. 7 Lihat., “Penuntasan Kejahatan HAM Terbelenggu Kepentingan Politik,” RimaNews, 30 Juli 2012, http://www.rimanews.com /read/20120730/70976/penuntasan-kejahatan-hamterbelenggu-kepentingan-politik (akses 11 Februari 2013) Ibid Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR, menyatakan sebaiknya semua pihak tidak lagi membuka sejarah kelam pelanggaran HAM berat karena akan membuka peristiwa-peristiwa lainnya dan menimbulkan reaksi yang tidak enak. Lihat., “Priyo: Jangan Berkutat pada Peristiwa HAM Masa Lalu,” KOMPAS, 24 Juli 2012 http://nasional.kompas.com/read/2012/07/ 24/17483637/Priyo.Jangan.Berkutat.pada.Peristiwa.HAM.Ma sa.Lalu (akses 11 Februari 2013), sementara Djoko Suyanto, Menkopolhukam, menyatakan peristiwa 1965 justru bermanfaat. Lihat., “Menko Polhukam: Presiden tidak bisa serta merta minta maaf, tanpa melihat kejadian sebenarnya peristiwa PKI 1965,” Arrahmah, 2 Oktober 2012, http://www.arrahmah.com/read /2012/10/02/23653-menkopolhukam-presiden-tidak-bisa-serta-merta-minta-maaftanpa-melihat-kejadian-sebenarnya-peristiwa-pki1965.html#.URisKIdGdWE (akses 11 Februari 2013) Lihat., “DPR Khawatir Pembukaan Arsip G30S/PKI Timbulkan Kegaduhan,” detik.com, 29 Januari 2013, http://news.detik.com/read/2013/01/29/134125/2155176/10/d pr-khawatir-pembukaan-arsip-g30s-pki-timbulkankegaduhan?9911012 (akses 11 Februari 2013) Lihat., Tim ELSAM, Op Cit., hlm. 11
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
11
laporan utama Menyoroti kinerja legislasi DPR dalam perlindungan HAM Oleh Wahyudi Djafar (Peneliti Divisi Hukum dan Kebijakan ELSAM)
S
edikitnya 69 RUU telah ditetapkan oleh DPR sebagai prioritas legislasi yang akan dibahas selama tahun 2012. Namun dalam praktiknya, seperti tahun-tahun sebelumnya, secara kuantitas, capaian legislasi DPR, jauh dari yang direncanakan dalam Prolegnas. DPR hanya mampu menyelesaikan pembahasan 30 RUU dari 69 RUU yang direncanakan. Kurang dari separo. Dari 30 RUU yang disahkan, hanya 10 RUU yang termasuk dalam daftar prioritas legislasi tahun 2012. Artinya, dari target 69 RUU dalam program legislasi tahun 2012, DPR dan Presiden sekadar mampu menyelesaikan 10 RUU prioritas. Hitung-hitungan tersebut memperlihatkan selama tahun legislasi 2012, DPR dan Presiden hanya mampu menyelesaikan 14,5% dari 69 target legislasi tahun 2012. Situasi ini menggambarkan belum adanya perubahan kinerja legislasi DPR dari tahun ke tahun. Capaian legislasi DPR tahun 2012
(Komnas HAM), dan seleksi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tentu tidak cukup waktu satu-dua hari untuk merampungkan satu proses seleksi pejabat publik, sehingga kemudian banyak menyita waktu DPR yang seharusnya bisa digunakan dalam pembahasan legislasi. Oleh karena itu apakah tidak lebih baik jika pemusatan kewenangan seleksi pejabat publik yang ada di DPR sebaiknya dibagi-bagi ke lembaga yang lain? DPD misalnya. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya performa legislasi DPR ialah kebiasan DPR untuk membahas banyak RUU dalam satu waktu pada satu alat kelengkapan, yang memperlihatkan tiadanya prioritas dari DPR sendiri. Kebiasaan ini berakibat pada buruknya kualitas legislasi serta rendahnya kuantitas pencapaian legislasi, karena dalam satu waktu seorang anggota DPR dalam suatu komisi atau alat kelengkapan lainnya, dipaksa untuk membahas banyak RUU sekaligus. Jika DPR fokus dalam pembahasan setiap RUU, dengan konstitusi dan hak asasi manusia sebagai parameternya tentu tidak akan banyak undang-undang yang berujung dengan pengujian dan pembatalan di Mahkamah Konstitusi. Lebih jauh, meski dari sisi kuantitas tidak tercapai, apabila ada fokus dalam pembahasan tentu dari sisi kualitas akan lebih terjaga. Tidak seperti sekarang, bukan hanya buruk dari segi kuantitas pencapaian tetapi juga buruk kualitasnya, terbukti dengan banyaknya RUU yang baru disahkan langsung diajukan pengujian ke MK. Kecenderungan terus meningkatnya jumlah UU yang diajukan pengujiannya ke MK bisa dilihat dari statistik perkara yang diterima MK, ada kenaikan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Sebagai perbandingan, tahun 2010 panitera MK menerima 81 permohonan pengujian undang-undang, tahun 2011 naik meski tidak signifikan dengan 86 permohonan, dan tahun 2012 melonjak menjadi 117 permohonan pengujian undang-undang.
Dari diagram di atas memperlihatkan sebanyak 12 RUU bertema pembentukan daerah otonom baru disahkan di tahun 2012, yang artinya sebanyak 40% dari total capaian legislasi. UU bertema tersebut masih mendominasi capaian legislasi DPR selama periode 2012. Ini seperti tahun-tahun sebelumnya. Di peringkat kedua sebanyak 10 RUU atau 33% merupakan prioritas legislasi DPR untuk tahun 2012. Selanjutnya di posisi ketiga, 5 RUU pengesahan perjanjian internasional disahkan di tahun 2012, dan Trend permohonan pengujian undang-undang terakhir 3 RUU yang berkaitan dengan APBN. Salah satu faktor utama yang 'mengganggu' performa fungsi legislasi DPR ialah banyaknya keterlibatan DPR di dalam proses seleksi pejabat publik. Dalam tahun 2012 saja misalnya, DPR setidaknya harus melakukan seleksi (uji kepatutan dan uji kelayakan) bagi tujuh pimpinan lembaga negara yang lain. Mulai dari seleksi hakim agung, seleksi komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seleksi pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), seleksi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), seleksi anggota Komisi Nasional HAM
Sumber: Data Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2012. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
12
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
laporan utama Tidak hanya trend penerimaan perkara pengujian undang-undang yang terus mengalami kenaikan, dari sisi jumlah materi UU (frasa, ayat dan pasal) yang dibatalkan kekuatan mengikatnya juga terus mengalami kenaikan. Jika di tahun 2010 terdapat 17 materi UU yang dibatalkan, tahun 2011 naik menjadi 21, dan melonjak di tahun 2012 menjadi 30. Di tahun 2012, dari 30 RUU yang disahkan oleh DPR, 5 diantaranya (UU APBNP 2012, UU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU Pendidikan Tinggi, UU Sistem Peradilan Anak, dan UU Perkoperasian) sudah dilakukan pengujian di MK, serta 2 yang lain akan segera didaftarkan pengujian oleh kelompok masyarakat sipil, yakni UU Penanganan Konflik Sosial dan UU Pangan. Jadi dari 10 RUU prioritas yang disahkan selama tahun 2012, separuh diantaranya diajukan pengujian ke MK. Situasi ini bisa memperlihatkan banyak hal, termasuk makin buruknya kualitas legislasi DPR dan ketidakpercayaan masyarakat kepada DPR, sehingga seluruh perdebatan harus diakhiri di meja pengadilan. Kompabilitas legislasi dan hak asasi Tahun 2012 memang diramaikan dengan pembahasan sejumlah RUU yang materinya kontroversial, karena cenderung membatasi kebebasan sipil dan tidak sejalan dengan keharusan perlindungan hak asasi manusia. Dalam bidang keamanan misalnya, meneruskan pengesahan RUU Intelijen Negara pada 2011, tahun 2012 dilanjutkan dengan pembahasan RUU Penanganan Konflik Sosial dan RUU Keamanan Nasional. Pembahasan dua RUU tersebut cukup menyedot perhatian publik dikarenakan materinya yang berpotensi mengancam kebebasan sipil. Meski menuai kecaman, DPR dan Pemerintah akhirnya mengesahkan RUU Penanganan Konflik Sosial pada April 2012, menjadi UU No. 7 Tahun 2012. Sedangkan RUU Keamanan Nasional pembahasannya dilanjutkan pada tahun 2013. Tidak hanya dua RUU tersebut, perhatian publik juga terserap pada pembahasan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang materinya mengancam kebebasan berserikat. Antusiasme DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Ormas menimbulkan kesan besarnya hasrat mereka untuk melakukan pembatasan terhadap kegiatan organisasi-organisasi non-pemerintah. Pembatasan ini terlihat mulai dari definisi organisasi kemasyarakatan, ruang lingkup yang sangat luas, mekanisme registrasi, larangan kegiatan tanpa adanya batasan yang tegas dan terlalu fleksibel, sehingga mudah disalahgunakan, serta ancaman pembubaran. Ancaman terhadap hak asasi tidak hanya datang dari lahirnya sejumlah kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, tetapi juga muncul dari kebijakan yang menghambat pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Polemik mengemuka dengan disahkannya RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi menjadi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta pengesahan RUU
Pangan menjadi UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pembentukan wadah tunggal koperasi melalui Dewan Koperasi Indonesia, yang diatur dalam UU Perkoperasiaan juga ditentang sejumlah pihak, karena dianggap membatasi ruang gerak bagi organisasi koperasi. Dari 30 RUU yang disahkan selama 2012, hanya segelintir diantaranya yang materinya sejalan dengan upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, itu pun merupakan RUU pengesahan perjanjian internasional. Tiga perjanjian internasional yang disahkan ke dalam hukum nasional dalam kerangka penguatan perlindungan hak asasi manusia, yaitu: (1) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya); (2) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata);1 (3) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak).2 Kebijakan lain yang dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia adalah UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Meskipun muncul sejumlah pengajuan permohonan pengujian terhadap undang-undang ini, namun secara umum undang-undang ini bisa dikatakan telah menjamin hak asasi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. Sedangkan permasalahan yang mengemuka hingga dibawa ke persidangan Mahkamah Konstitusi lebih terkait dengan verifikasi partai politik, parliamentary treshold, dan pembagian wilayah daerah pemilihan. Mengukur tingkat kepertautan Hak asasi manusia tentu harus menjadi sandaran dalam setiap pembentukan kebijakan negara, termasuk pada tingkat legislasi, sebab tujuan pembuatan kebijakan negara yang utama adalah dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan di dalam tujuan negara. Oleh karena itu setiap rancangan undang-undang maupun undangundang pastilah memiliki keterkaitan dengan hak asasi manusia. Kadar keterkaitannya yang kemudian berbedabeda antara satu dengan yang lain, ada undang-undang secara langsung berpengaruh dalam upaya perlindungan dan pemenuhan HAM, ada pula undangundang yang tidak secara langsung berpengaruh dengan upaya perlindungan HAM, meski HAM tetap harus menjadi basis pembentukannya. Berdasar pada substansi sebuah kebijakan, level pertautan (engagement)3 antara kebijakan dengan hak asasi manusia, setidaknya dapat dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu pertautan sangat langsung (close ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
13
engagement), pertautan langsung (direct engagement), dan pertautan tidak langsung (non-direct engagement). Pertautan sangat langsung maksudnya ialah ketika suatu undang-undang disahkah maka dia akan langsung berpengaruh pada gerak-langkah perlindungan dan penikmatan hak asasi manusia, bisa mendorong tetapi dapat juga menghambat. Pertautan langsung adalah jika suatu undang-undang disahkan, maka ia akan berguna dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia, serta tidak secara langsung menghambat akses penikmatan hak asasi. Sedangkan pertautan tidak langsung apabila suatu undang-undang yang disahkan tidak secara langsung akan berpengaruh pada perlindungan dan penikmatan hak asasi manusia. Menggunakan pendekatan level pertautan tersebut, keseluruhan produk legislasi DPR selama periode 2012 bisa kita pilah menjadi tiga kriteria yang menjelaskan tingkat kedekatan antara produk legislasi sebagai kebijakan, dengan tujuan perlindungan dan pemenuhan HAM, yaitu: close engagement, direct engagement, dan non-direct engagement. Berdasarkan kriteria tersebut dan pembacaan atas substansi legislasi yang ada, maka tujuh UU yang disahkan pada 2012 masuk dalam kategori close engagement;4 enam UU termasuk direct engagement;5 dan 17 undang-undang masuk pada kategori non-direct engagement.6 Hasil pembacaan atas seluruh materi muatan produk legislasi yang diselesaikan selama 2012 memperlihatkan bahwa Presiden dan DPR sebagai pelaksana fungsi legislasi lebih banyak menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang tidak secara langsung berkaitan dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Sedangkan rencana pembentukan kebijakan yang meterinya memiliki peranan besar dalam upaya pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, justru nampak kurang menjadi prioritas pembahasan, sehingga secara kuantitas hasilnya pun minimalis. Parahnya, dari yang minimalis tersebut masih terdapat beberapa UU yang substansinya justru tidak sejalan dengan upaya perlindungan HAM atau potensial menjadi penghambat dalam upaya negara memenuhi hak asasi manusia warganya. Temuan tersebut diperkuat dengan tidak dibahasnya atau tidak selesainya pembahasan sejumlah RUU yang diharapkan publik, karena kehadirannya akan memberikan angin segar bagi perlindungan HAM, seperti RUU KUHAP, RUU Kesetaraan Gender, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, serta RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Selain itu rencana ratifikasi sejumlah perjanjian internasional yang bertalian erat dengan jaminan perlindungan HAM, seperti konvensi anti-penghilangan paksa, protokol opsional konvensi menentang penyiksaan, serta Statuta Roma 1998, nasibnya juga terkatung-katung, tidak ada progres berarti. Kondisi ini memperlihatkan belum berubahnya trend legislasi DPR dari tahun ke tahun yang masih menitikberatkan pada percepatan pembahasan RUU ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
14
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
yang memiliki nilai politik tinggi, menguntungkan kepentingan partai-partai di DPR, dan secara substansial mudah dibahas. Hipotesis ini salah satunya bisa dilihat dari tingginya angka legislasi pembentukan daerah otonom baru, meski di dalamnya dibalut dengan isu pelayanan publik dan demokratisasi, namun sejatinya sangat berkait dengan bagi-bagi kekuasaan partai-partai politik yang berkuasa.7 Kebijakan ini tentunya sangat tidak sejalan dengan banyaknya kritik keras terhadap tingginya angka pemekaran wilayah, yang hasilnya sebagian besar tidak berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan warga. Belum dijadikannya perlindungan dan pemenuhan HAM yang merupakan mandat konstitusi, sebagai prioritas legislasi juga bisa dilihat dari dampak suatu materi legislasi, apakah memperkuat atau melemahkan perlindungan hak asasi manusia? Dilihat dari dampak substantifnya, yang merupakan imbas dari penormaan suatu undang-undang dalam kompabilitasnya dengan hak asasi manusia, produk legislasi DPR setidaknya dapat dipilah ke dalam tiga kriteria, yaitu: (1) strengthening (memperkuat), bagi legislasi yang memperkuat perlindungan hak asasi; (2) weakening (melemahkan), bagi legislasi yang memperlemah hak asasi; dan (3) implementing (melaksanakan), bagi legislasi yang fungsinya melaksanakan hak asasi, tidak memperkuat atau memperlemah perlindungan hak asasi manusia, termasuk dalam kategori ini ialah legislasi yang masuk kriteria non-direct engagement (tidak memiliki keterpautan langsung). Bersandar pada dampak yang ditimbulkan oleh suatu produk legislasi, selama periode legislasi 2012, terlihat tiga UU yang materinya berdampak pada penguatan upaya pemajuan dan perlindungan HAM, demikian juga terdapat tiga UU yang materinya sebaliknya, memperlemah upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Sedangkan 24 undang-undang sisanya, meski tidak memperlemah perlindungan hak asasi manusia, namun materinya juga tidak ditujukan dalam rangka penguatan upaya pemajuan dan perlindungan HAM.8 Minimnya capaian UU yang materinya ditujukan untuk meningkatkan dan memperkuat upaya pemajuan dan perlindungan HAM lagi-lagi memperlihatkan bahwa HAM belum menjadi fokus dan perhatian utama DPR dalam penciptaan kebijakan legislasi. Bisa dikatakan, inisiatif DPR rendah untuk melakukan pembahasan dan pembentukan undang-undang yang berimplikasi positif bagi penguatan HAM. Masih adanya UU yang kontraproduktif dengan upaya pemajuan dan perlindungan HAM juga menunjukan kepada kita tentang belum baiknya internalisasi norma-norma HAM oleh DPR pada setiap pembahasan materi legislasi. Mengapa demikian? Selama ini selain dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan tentang HAM, serta tidak digunakannya HAM sebagai parameter utama dalam setiap pembahasan legislasi, tingginya politik transaksional di
nasional DPR juga sangat berpengaruh terhadap banyaknya undang-undang yang materinya berseberangan dengan upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Negosiasi kepentingan seringkali masih menjadi pijakan utama DPR ketika akan merumuskan dan menyutujui suatu materi legislasi, sehingga rumusan yang jelas bertabrakan dengan konstitusi dan hak asasi bisa tetap dipaksakan untuk disahkan. Proyeksi tahun 2013 Pada paripurna penutupan masa sidang Desember 2012, DPR telah menetapkan prioritas legislasi untuk tahun 2013. Tercatat 70 RUU menjadi prioritas legislasi DPR tahun 2013, mayoritas diantaranya ialah RUU yang sebelumnya sudah diprioritaskan pada tahun 2012, namun gagal dibahas atau atau luncuran tahun 2012 (sudah dibahas namun belum disahkan). Terhadap susunan prioritas legislasi ini beberapa RUU patut diapresiasi dan didorong pembahasannya, antara lain: RUU Perubahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dalam kerangka penguatan Komnas HAM dan perlindungan pembela HAM; RUU Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban; RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri; RUU Perlindungan PRT; RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat; serta RUU Pertanahan. Sebaliknya, patut juga disayangkan karena DPR memprioritaskan kembali pembahasan sejumlah RUU yang ditolak oleh mayoritas masyarakat sipil, karena materinya bertentangan dengan hak asasi, yakni RUU Organisasi Kemasyrakatan dan RUU Keamanan Nasional. Selain itu, DPR juga tetap memprioritaskan pembahasan beberapa RUU yang sebetulnya belum mendesak untuk dibahas, serta materinya potensial bertabrakan dengan hak asasi manusia, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Komponen Cadangan; serta RUU Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Terorisme. Proyeksi tahun 2013, dalam pelaksanaan fungsi legislasi perhatian DPR diprediksi tidak akan lebih baik daripada tahun 2012. Hal ini disebabkan tahun 2013 sudah sangat dekat dengan tahun Pemilu atau tahun politik 2014, sehingga konsentrasi mayoritas anggota DPR akan banyak tersedot pada persiapan pelaksanaan pemilihan umum. Dengan situasi demikian, dari sisi capaian kuantitas legislasi juga sulit untuk lebih baik dari periode tahun 2012. Selain itu dalam konteks materi legislasinya (kualitas legislasi) juga sangat rawan terjadi negosiasi kepentingan demi keuntungan politik dalam rangka persiapan Pemilu 2014. Pembahasan sejumlah RUU yang materinya cenderung membatasi hak asasi dan bernuansa represif juga nampak akan tetap mendominasi proses legislasi 2013. RUU Ormas dan RUU Kamnas akan menjadi prioritas DPR dan Pemerintah untuk segera disahkan, dan kemudian ditindaklanjuti dengan pembahasan sejumlah RUU represif lainnya. Sementara terhadap
RUU yang meterinya memiliki kontribusi tinggi dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi, berkaca pada tahun sebelumnya, masih menjadi tanda tanya besar, apakah DPR akan membahasnya atau meninggalkannya kembali? Oleh karena itu dibutuhkan dorongan kuat untuk mengubah performa legislasi DPR, khususnya terkait dengan fokus dan strategi pembahasan, serta agar DPR mendahulukan pembahasan RUU yang memiliki peran penting dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Keterangan
1
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
Protokol opsional ini diadopsi pada 25 May 2000 dan mengikat mulai 18 Januari 2002. 120 negara sudah menandatanganinya dan 162 negara meratifikasinya. Indonesia menandatanganinya pada 21 September 2001 dan meratifikasinya pada 24 September 2012. Selengkapnya lihat di http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src= TREATY&mtdsg_no=IV-11-b&chapter=4&lang=en. Protokol opsional ini diadopsi pada 25 May 2000 dan mengikat mulai 18 Januari 2002. 120 negara sudah menandatanganinya dan 162 negara meratifikasinya. Indonesia menandatanganinya pada 21 September 2001 dan meratifikasinya pada 24 September 2012. Selengkapnya lihat di http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src= TREATY&mtdsg_no=IV-11-c&chapter=4&lang=en. Teori pertautan (theories of engagement) salah satunya dikemukakan oleh Habermas (1981) ketika menjelasan hubungan pertautan antara gerakan sosial dengan kewarganegaraan. Teori ini kemudian juga digunakan oleh Ellison (2000) saat memperlihatkan hubungan keterkaitan antara pemahaman sosiologis gerakan sosial dan pemahaman sosiologis kewarganegaraan. Lihat J. Habermas, 'New social movements', Telos, 49, 337, 1981. Lihat pula N. Ellison, 'Proactive and defensive engagement: social citizenship in a changing public sphere', Sociological Research Online, 5, (3), 2000, dapat diakses di http://www.socresonline.org.uk/5/3/ellison.html. Juga lihat: Angharad E. Beckett, Citizenship and Vulnerability: Disability and Issues of Social and Political Engagement, (New York: Palgrave Macmillan, 2006). Termasuk dalam kategori ini adalah UU PKS, UU Pemilu, UU Pendidikan Tinggi, UU Pangan, Pengesahan konvensi perlindungan buruh migran dan keluarganya, serta dua protokol opsional tentang hak-hak anak. Termasuk dalam kategori ini adalah UU Sistem Peradilan Anak, UU Perkoperasian, UU Lembaga Keuangan Mikro, Pengesahan konvensi terorisme ASEAN, dan dua UU pengesahan APBN. Termasuk dalam kategori ini ialah sejumlah UU tentang pembentukan daerah otonom baru, UU Veteran, UU Industri Pertahanan, UU Keistimewaan Yogyakarta, dan pengesahan mutal legal assistance in criminal matters. Lihat Wahyudi Djafar, dkk, HAM dalam Pusaran Politik Transaksional, (Jakarta: ELSAM, 2011), hal. 40. Memperkuat pemajuan dan perlindungan HAM: 3 undangundang pengesahan instrumen internasional HAM; Memperlemah: UU Penanganan Konflik Sosial, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Pangan.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
15
laporan utama Kelemahan Penegakan Hukum Lestarikan Penyiksaan Oleh Andi Muttaqien (Staf Divisi Advokasi Hukum ELSAM)
D
i penghujung 2012, tepatnya tanggal 30 Desember, kita dikejutkan oleh kabar tewasnya seseorang bernama Hendra Kusumah (51), warga Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, usai d iperiksa di Markas Polsek Kalideres. Hendra diinterogasi Polsek Kalideres setelah berselisih dengan tetangganya. Menurut saksi yang saat itu berada di Markas Polsek, ketika diinterogasi, Hendra terjatuh, kemudian saksi melihat Hendra mengalami luka di kepala dan bibir.1 Polisi pemeriksa Hendra kemudian ditahan dan diproses oleh Propam dan Unit Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat. Kasus penyiksaan lain terjadi dua hari sebelumnya, pada 28 Desember 2012, di Kabupaten Poso. Sebanyak 14 warga Desa Kalora dan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir awalnya ditangkap Brimob karena dituduh teroris. Mereka diinterogasi Polisi sembari dianiaya, kaki dan tangannya pun diikat, bahkan diantaranya ada yang sampai pingsan di Mapolres Poso.2 Selama 2012, kejahatan penyiksaan, hukuman yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat (selanjutnya disebut penyiksaan) kerap terjadi, dan institusi Kepolisian merupakan pihak yang paling banyak melakukan penyiksaan. Polisi biasanya melakukan tindakan, baik saat interogasi dan penangkapan, termasuk, saat memaksa tangkapannya untuk mengakui suatu tindak pidana yang tidak dilakukan. ELSAM mencatat setidaknya terjadi 83 tindak kejahatan penyiksaan dengan korban mencapai 180 orang laki-laki dan 11 orang perempuan pada tahun 2012. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan catatan ELSAM pada 2011, yakni 19 kasus.3 Dari 83 kasus tersebut, korban penyiksaan yang tewas berjumlah 24 orang, dan selebihnya mengalami penganiayaan dan perbuatan yang tidak manusiawi baik di tempat penahanan Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, maupun di Rumah Tahanan. Diagram 1. Fluktuasi Kasus Penyiksaan
Diagram 2. Pelaku penyiksaan
Penggunaan kekerasan oleh Kepolisian saat interogasi masih dilakukan, bahkan mengalami peningkatan tajam jika dibandingkan tahun lalu yang hanya tercatat 11 kasus. Evaluasi dan pengawasan internal di masing-masing institusi, khususnya Kepolisian, tampak tidak berjalan maksimal. Munculnya Peraturan Kapolri (Perkap) No. 9 tahun 2009 mengenai Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Tugas Polri tak kunjung memberikan dampak positif terhadap perubahan kultur untuk menjunjung tinggi HAM dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai institusi yang memiliki kewenangan memaksa dalam penegakan hukum, tak jarang Kepolisian melakukan penyimpangan dengan melanggar prosedur tetap (protap)-nya. Seperti, ketika melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana, cara-cara kekerasan selalu dikedepankan. Tatkala nyata-nyata salah tangkap, aparat Kepolisian yang melakukannya tak mendapat hukuman setimpal. Bahkan menganggapnya sebagai hal yang wajar, dan ditutup kasusnya dengan memberikan ganti rugi atau permohonan maaf. Di Banjarmasin, pada 1 Agustus 2012, oknum Polda Kalsel menangkap Supian alias Epeh dan dipaksa mengakui bahwa orang yang ditangkap sebelum dirinya di tempat lain adalah kawannya. Supian tentu saja menolak. Dia lalu dibawa ke kawasan Masjid Raya Sabilal Muthadin, kemudian dipukuli oleh aparat Kepolisian berinisial LO dengan pistol. Setelah itu Supian dibawa ke Polda Kalsel, namun karena tak cukup bukti, dirinya diperbolehkan pulang. Akibat pemukulan tersebut, Supian mendapat delapan jahitan di bagian kening dan hanya memperoleh ganti rugi dari polisi sebesar Rp. 250 ribu.4 Lemahnya Penegakan Hukum, Lestarikan Penyiksaan
Pada tahun 2012, secara rata-rata tiap bulannya terjadi enam kasus penyiksaan. Sebanyak 54 kasus penyiksaan terjadi dan dilakukan oleh Kepolisian, dengan rincian 8 kasus di tingkat Polda, 22 kasus di tingkat Polres, 21 kasus di tingkat Polsek, serta 1 kasus dilakukan oleh Densus 88. Kemudian, sebanyak 11 kasus terjadi di Rumah Tahanan Negara, 9 kasus terjadi di Lembaga Pemasyarakatan, 1 kasus terjadi di Rumah Detensi Imigrasi, serta 1 kasus dilakukan oleh oknum TNI. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
16
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
Dalam kasus penyiksaan, tak banyak kasus yang berujung pada proses penegakan hukum terhadap pelaku. Kebanyakan dari kasus penyiksaan yang dilakukan Kepolisian justru diselesaikan dengan musyawarah atau jalan damai, seperti dialami Jumhani alias Ujum di Balaraja, Provinsi Banten. Pada Juni 2012, Jumhani ditangkap dan dipaksa mengaku “mencopet” oleh oknum Polres Serang. Saat ditangkap dan di dalam
monitoring sidang mobil, Jumhani mengalami pemukulan, bahkan disetrum. Jumhani ditahan selama 9 hari dan dilepaskan setelahnya. Uang Rp.1,3 juta dan telepon genggam miliknya tak dikembalikan polisi. Paska kejadian, Jumhani ternyata tidak mau menuntut, tidak ingin menceritakan lagi hal yang dialaminya selama di tahanan. Dia bahkan menyatakan bahwa kasusnya selesai secara kekeluargaan.5 Pada 2012, setidaknya ada dua kasus penyiksaan yang proses hukumnya berlanjut sampai persidangan pidana, yakni tewasnya tahanan bernama Erik Alamsyah di Bukittinggi dan tewasnya 2 tahanan, yakni Faisal dan Budri, di tahanan Polsek Sijunjung, kedua kasus tersebut berada di Sumatera Barat. Erik Alamsyah adalah tahanan (pencurian) Polsekta Bukittinggi yang meninggal di tahanan pada 30 Maret 2012. Dalam kasus penganiayaan terhadap Erik ini, enam orang anggota Polsekta Bukittinggi dijadikan Tersangka. Komnas HAM dalam Laporan Pemantauan atas kasus Erik menyatakan bahwa Erik meninggal akibat penyiksaan yang terjadi di Polsekta Bukittinggi. Hukuman terhadap para pelaku masih jauh dari harapan, karena keenam pelaku penyiksaan Erik dihukum bersalah karena “turut serta melakukan penganiayaan” melakukan penganiayaan pada 22 Oktober 2012. Empat orang dihukum dengan hukuman 10 bulan penjara, dua lainnya dihukum dengan hukuman 1 tahun penjara. Masingmasing hukuman ini dua bulan lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Hukuman tersebut sangat ringan, dan tidak akan memberikan efek jera terhadap para terdakwa yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwasanya para terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Erik Alamsyah, namun penganiayaan tersebut bukan sebab yang mengakibatkan kematian Erik. Persidangan diwarnai pencabutan keterangan berita acara pemeriksaan oleh saksi kunci bernama Nasution Setiawan, teman Erik Alamsyah, yang turut diperiksa polisi saat terjadinya penganiayaan terhadap almarhum Erik. Ketika dihadirkan sebagai saksi, Nasution menempati mobil tahanan bersamaan dengan para terdakwa, bahkan ditempatkan di dalam ruang tahanan yang sama. Atas perlakuan ini, Komnas HAM menyatakan, diduga ada intimidasi yang diterima saksi Nasution Setiawan karena perlakuan tersebut.6 Hal ini juga akibat kelalaian LPSK dalam melindungi saksi, sehingga berakibat pada lemah, bahkan gagalnya proses penegakan hukum yang efektif. Hakim perkara Erik tampak mewajarkan penganiayaan yang dilakukan para terdakwa yang saat itu menjalankan aktivitasnya. Karena dalam pertimbangan “hal meringankan”, hakim menyatakan bahwa tindakan para terdakwa adalah dalam rangka mengungkap kasus pencurian sepeda motor yang sedang marak di Bukittinggi. Perspektif hakim dalam melihat kejahatan penyiksaan dan mewajarkannya adalah masalah tersendiri yang perlu diselesaikan. Pendidikan dan informasi tentang larangan tindak penyiksaan perlu disosialisasikan kepada segenap aparat penegak hukum agar bisa memperoleh perspektif utuh tentang penyiksaan.7 Sementara kasus tewasnya dua tahanan Polsek Sijunjung, Faisal dan Budri, terjadi pada 28 Desember 2011, namun persidangan dimulai pada 13 November 2012. Dalam peristiwa tersebut, sembilan anggota Polisi
diperiksa Propam Polda Sumatera Barat pada 5 Januari 2012.8 Dari sembilan polisi tersebut, hanya empat polisi yang diajukan ke persidangan pidana di Pengadilan Negeri (PN) Muaro, Kabupaten Sijunjung. Sisanya? Persidangan terhadap empat terdakwa dilaksanakan di PN Muaro, dan dibagi dalam 2 berkas (tiap berkas 2 terdakwa). Sidang ini diputus pada Selasa, 29 Januari 2013, dan memvonis Al Indra 3 Tahun penjara, subsider 3 bulan kurungan dan denda Rp. 10 juta9 dan menghukum Irzal dengan 2 tahun penjara subsider 3 bulan. 1 0 Sedangkan di berkas lainnya, Hakim menyatakan Syamsul Bahri dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, dan Randi Agusta jatuhi pidana 2 tahun penjara11 Jika dibandingkan dengan vonis dan penanganan perkara tewasnya Erik Alamsyah di Bukittinggi, vonis ini tergolong lebih baik, meski putusan tersebut tentu masih jauh dari rasa keadilan bagi korban. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari “skenario” dalam proses hukum terhadap para Terdakwa, seperti penerapan pasal dalam dakwaan yang tidak tepat. Dalam berkas terdakwa Syamsul Bahri dan Randi Agusta, Jaksa tidak menggunakan Pasal 80 UU Perlindungan Anak. Korban Budri M. Zen tidak digolongkan sebagai anak-anak (di bawah 18 tahun), padahal mengacu surat domisili yang dikeluarkan Wali Nagari Pulasan, usia Budri M. Zen adalah 17 tahun. Sementara pada berkas Al Indra dan Irzal, Jaksa telah menggunakan Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini merupakan langkah maju yang dibuat Kejaksaan Negeri Sijunjung, karena menguatkan jaksa dalam menuntut, sehingga kemungkinan penghukuman terhadap pelaku semakin besar. Serius atau tidaknya proses penegakan hukum terhadap para pelaku penyiksaan bisa jadi berpengaruh pada keberlanjutan tindakan penyiksaan oleh aparat. Dalam tubuh TNI misalnya, penghukuman terhadap para anggota TNI pelaku penyiksaan Siprianus Charles Mali oleh Pengadilan Militer III-15 Kupang di tahun 2011, yang beberapa diantaranya disertai dengan pemecatan, langsung atau tidak langsung telah memberi preseden baik bagi prajurit TNI.12 Adanya penghukuman yang cepat dan tegas terhadap prajurit yang melakukan tindakan penyiksaan setidaknya bisa menjadi rambu-rambu peringatan bagi prajurit TNI lainnya untuk tidak mempraktikkan cara-cara penyiksaan dalam situasi apapun. Efek ini paling tidak bisa dilihat dari statistik penyiksaan yang dilakukan oleh aparat TNImeski masih terjadi, dari yang semula 5 kasus di tahun 2011, menurun menjadi satu kasus di tahun 2012. Sedangkan untuk kasus-kasus penyiksaan yang pelakunya diduga dilakukan oleh Polisi, jarang sekali didengar adanya suatu proses hukum yang cepat dan tegas, dalam rangka memberikan efek jera bagi para pelakunya maupun aparat kepolisian lainnya. Misalnya di Sumatera Barat, dari sekian banyaknya dugaan telah terjadinya tindakan penyiksaan oleh aparat kepolisian, baru pada kasus kematian Erik Alamsah di Polsekta Bukittinggi, serta kakak-adik Faisal-Budri di Polsek Sijunjung, yang kasusnya dibawa ke pengadilan. Itu pun setelah ada tekanan kuat dari masyarakat dan media massa, serta rekomendasi pemantauan yang dilakukan oleh Komnas HAM, tentang adanya dugaan tindakan penyiksaan atas meninggalnya sejumlah tahanan tersebut. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
17
laporan utama Mendorong Pemerintah Memutus Keberlanjutan Penyiksaan
Keterangan 1
Maraknya kejahatan penyiksaan di Indonesia setidaknya terdapat beberapa sebab. Pada tingkat kebijakan, ketiadaan aturan di KUHP serta KUHAP yang secara khusus mengatur larangan serta ancaman hukuman terhadap tindakan penyiksaan juga menjadi faktor tersendiri bagi terus berlanjutnya praktik ini. Karena, dengan hanya mengesahkan Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan, Penghukuman Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat ke dalam hukum nasional tanpa adanya ancaman hukuman, serta aturan ketat yang bisa jadi pedoman bagi aparat penegak hukum dalam melakukan tugas-tugasnya, justru tak akan memberi efektivitas pencegahan. KUHAP, yang selama ini menjadi rujukan utama bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan suatu proses peradilan pidana, tidak secara spesifik mengatur larangan penyiksaan dalam penggalian keterangan dan pencarian alat bukti lainnya. Selain itu KUHAP juga tidak mengatur ketentuan bahwa bukti dan keterangan yang diperoleh dengan cara-cara penyiksaan akan menggugurkan proses pidana yang tengah berlangsung.13 Selama kejahatan penyiksaan masih dilekatkan pada delik penganiayaan dalam KUHP, maka penghukuman bagi para pelaku tak kunjung optimal. Delik penganiayaan yang ada di KUHP saat ini tidak mampu melingkupi keseluruhan ragam dan jenis penyiksaan, sehingga seringkali para pelaku penyiksaan lolos dari penghukuman.14 Selain itu keengganan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment -OPCAT, juga menjadi masalah tersendiri yang melanggengkan praktikpraktik penyiksaan. Ratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment CAT tanpa OPCAT tentu takkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencegahan praktik penyiksaan di Indonesia. Seharusnya tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi instrumen ini, mengingat UUD 1945 telah menjamin setiap warga negara untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan, penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, sebagai hak asasi manusia yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Melihat berbagai catatan tersebut di atas, kecenderungan di tahun 2013 pun tidak akan banyak mengalami perubahan, tanpa upaya komprehensif dari Pemerintah untuk segera mengisi kekosongankekosongan aturan hukum di atas. Jika situasi ini terus dibiarkan, akan semakin banyak rakyat kecil yang berhadapan dengan hukum menjadi korban dari aparat penegak hukum dengan dalih penegakan hukum. Setiap tahun, hampir seluruh korban penyiksaan aparat adalah mereka yang rentan ketika berhadapan dengan hukum, salah satunya akibat ketidakmampuan mengakses pengacara (penasihat hukum).
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
18
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
14.
Kronologis Tewasnya Hendra Usai Diperiksa di Polsek Kalideres, Minggu, 30 Desember 2012, http://jakarta.okezone.com/read/ 2012/12/30/500/739141/kronologis-tewasnya-hendra-usai-diperiksadi-polsek-kalideres Keempat belas warga ditangkap pasca penyerangan kelompok sipil bersenjata yang menewaskan empat anggota Brimobda Sulteng. Selengkapnya, lihat: http://m.jpnn.com/news.php?id=152132 Komnas HAM mencatat, selama 2012, terdapat 39 berkas laporan yang masuk ke lembaga ini sehubungan dengan kasus penyiksaan dalam proses pemeriksaan. Lihat Catatan Akhir Tahun 2012: Saatnya Merajut Toleransi dan Kohesi Sosial!, Siaran Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 11 Desember 2012. Lihat http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/ Radar%20Kota/33333, diakses 10 Januai 2013. Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2012, "Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia”, ELSAM, 2013, hal. 19. Surat Komnas HAM No: 1.938/K/PMT/X/2012, tertanggal 1 Oktober 2012, perihal: Penyampaian pendapat Komnas HAM berkenaan dengan Persidangan Penganiayaan oleh Anggota Kepolisian yang ditujukan kepada Ketua PN Bukittinggi. Pasal 10 ayat (1) Konvensi Anti Penyiksaan menyatakan bahwa “setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum, Sipil atau Militer, aparat kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara.” 2 Bocah Tewas di Polres, 9 Polisi Diperiksa, 5 Januari 2012 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/277658-2-bocah-tewas-dipolres--9-polisi-diperiksa Karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat (2) jo Pasal 55 ayat 1ke-1 KUHP dan Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak. Karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Karena terbukti bersalah berdasarkan Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Penyiksaan terhadap Charles Mali terjadi pada 13 Maret 2011 dan para pelakunya dihukum setelah diputus bersalah oleh Pengadilan Militer III-15 Kupang pada 19 Juli 2011. Pihak TNI menyatakan permohonan maaf kepada korban dan warga masyarakat dan melakukan langkahlangkah untuk penyelidikan kasus ini, serta memberikan santunan untuk pemakaman korban. Majelis hakim menghukum Sertu Agus Ariyadi 11 bulan 20 hari, Serda I Made Dwi Arimbawa divonis 9 bulan 20 hari, Praka Usman Katmir divonis 9 bulan penjara, Praka Lalo Ijaswadi divonis 10 bulan 20 hari, Pratu Komang Suwiriten divonis 8 bulan 20 hari, Pratu Bambang Ariwibowo Lofa divonis 8 bulan 20 hari, Prada Hendra Suryadinata divonis 9 bulan 20 hari, serta Prada Frengkino Roylamos Goncalues divonis 9 bulan penjara. Sedangkan Prada Eusthatekus Dena Dopo divonis 12 bulan penjara dengan hukuman tambahan dipecat dari dinas kemiliteran, karena sebelumnya terlibat kasus pidana, dan pernah menjalani hukuman 5 bulan penjara. Majelis hakim juga menyatakan sesuai hasil pemeriksaan dan berdasarkan fakta persidangan, para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti bersama-sama dengan sengaja melakukan tindakan penganiayaan yang menewaskan Charles Mali. Selengkapnya lihat Laporan HAM Elsam, Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM, Jakarta: Elsam, 2011. Lihat juga Putusan Pengadilan Militer III-15 Kupang No. PUT/ 23-K/PM III-15/AD/VI/2011, dapat diakses di http://dilmilkupang.go.id/direktori_putusan/Putusan%20Kupang.pdf. Meskipun pada praktiknya ada terdakwa yang kemudian dibebaskan oleh pengadilan karena saksi-saksi dan alat bukti serta terdakwa disiksa oleh penyidiki selama proses pemeriksaan perkara. Putusan pengadilan ini seharusnya bisa menjadi jurisprudensi bagi munculnya aturan mengenai gugurnya proses pidana bilamana penggalian keterangan dan alat bukti dilakukan dengan menggunakan cara-cara penyiksaan. Lihat perkara Rijan Als Ijan Bin M. Sata vs. Negara Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung No. 600K/PID/2009, dapat diakses di http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ addea6fbdbf383adfcceede0e83b01ed. Menurut Pasal 1 konvensi anti-penyiksaan, penyiksaan didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengatahuan pejabat publik.
nasional Melihat Komnas HAM Periode Lalu, Berharap Kinerja ke Depan Oleh Ikhana Indah Barnasaputri (Staf Advokasi Hukum-ELSAM)
T
ahun 2012 merupakan tahun akhir masa tugas bagi para Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012. Seharusnya pada akhir Agustus 2012, masa tugas Komisioner berakhir, tetapi karena proses seleksi Komisioner baru belum selesai, maka dilakukan perpanjangan masa tugas hingga terpilihnya komisioner periode 2012-2017. Pada 22 Oktober 2012, DPR akhirnya memilih 13 komisioner baru Komnas HAM untuk periode 20122017. Jika mereview kinerja Komisioner periode 20072012, banyak hal yang telah dilakukan. Ada yang dapat dianggap sebagai sebuah keberhasilan, tetapi Komnas HAM juga tidak lepas dari kritikan. Komnas HAM periode 2007-2012 telah menyelesaikan penyelidikan tiga kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.1 Pertama, adalah Kasus Talangsari 1989 yang pada tahun 2008 telah selesai penyelidikannya dan diserahkan kepada Jaksa Agung dengan rekomendasi adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dan pembentukan Pengadilan HAM adhoc. Jaksa Agung menyatakan masih meneliti hasil penyelidikan Komnas HAM ini. Kedua, adalah kasus 1965 di mana hasil penyelidikannya telah selesai pada Juli 2012- menjelang masa tugas Komisioner berakhir. Rekomendasi Komnas HAM adalah adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat serta pembentukan pengadilan HAM adhoc atau penyelesaian melalui KKR. Respon atas hasil penyelidikan tersebut adalah Presiden meminta Jaksa Agung mempelajari hasil penyeledikan tersebut dan melakukan konsultasi dengan lembaga negara sperti DPR, DPD, MPR dan MA. Kejaksaan Agung pada November 2012 mengembalikan berkas penyelidikan dengan alasan kurang lengkap. Ketiga, adalah penyelidikan kasus Penembakan Misterius selesai pada Juli 2012. Seperti penyelidikan lainnya, Komnas HAM merekomendasikan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dan pembentukan Pengadilan HAM adhoc. Pihak Kejaksaan Agung pun kembali mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM dengan alasan kurang lengkap. Kasus lain yang menonjol dalam periode Komnas HAM 2007-1012 adalah kasus kekerasan berbasis agama dan munculnya kelompok-kelompok fundamental marak terjadi. Sebagai gambaran, Setara Institute mencatat sepanjang tahun 2007-2009 terdapat 600 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 843 tindakan.2 Pelanggaran tersebut juga meliputi pendirian rumah ibadah, penyesatan keyakinan/aliran keagamaan/pengrusakan rumah ibadah, dan peraturan perundang-undangankebijakan yang diskriminatif. Merespon hal tersebut, beberapa kali Komnas HAM memberikan reaksinya, seperti menerima pengaduan memberikan pernyataan sikap, serta mengeluarkan rekomendasi.3 Dalam hal instrumen HAM Internasional, tercatat Indonesia akhirnya meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas pada 2011 dan Konvensi Pekerja Migran dan Keluarganya di tahun 2012. Selain
dua konvensi tersebut, hingga hari ini Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar Pemerintah segera meratikasi Statuta ROMA serta OPCAT. Komnas HAM memiliki mandat yang terbatas, sama halnya dengan lembaga negara lainnya. Untuk mendukung kerja-kerjanya, Komnas HAM mengadakan Mou dengan Pemerintah, institusi negara, organisasi dan pengadilan. Hubungan yang baik bisa dilihat dalam hubungan antara Komnas HAM dengan lembaga pemasyarakatan dalam bentuk memberikan akses untuk melakukan monitoring dan investigasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Komnas HAM juga seringkali dimintai pendapatnya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, misalnya terkait dengan UU Pangan.4 Dan untuk pelanggaran HAM masa lalu, KOMNAS HAM memiliki kerjasama dengan pihak LPSK, dalam hal upaya pemberian restitusi oleh LPSK mensyaratkan adanya surat pernyataan sebagai korban yang dikeluarkan oleh Komnas HAM. Kerjasama antar lembaga tersebut kadang berjalan dengan baik, tetapi kadang tidak berjalan dengan baik, seperti yang dialami oleh korban pelanggaran HAM masa lalu yang ingin memperoleh restitusi dari LPSK, tetapi terhambat dengan lamanya surat keterangan sebagai korban yang dikeluarkan Komnas HAM. Untuk isu-isu pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas, Komnas HAM memberikan pelatihan hak asasi manusia bagi kelompok pegiat LGBT. Akan tetapi pelatihan tersebut sempat diserang oleh kelompok anarkis. Di tengah sejumlah capaian tersebut, Komnas HAM juga tidak lepas dari kritikan masyarakat. Kritikan antara lain banyaknya rekomendasi Komnas HAM yang tidak dilaksanakan oleh institusi/lembaga negara yang diberi atau penerima rekomendasi.5 Hal ini utamanya disebabkan karena mandat Komnas HAM masih dinilai terbatas, di mana tidak dapat memaksa pihak penerima rekomendasi untuk melaksanakannya. Barangkali juga disebabkan adanya pemotongan anggaran sebesar 10% pada tahun 2011, yang berdampak tidak maksimalnya kinerja pemantauan dan investigasi.6 Kritikan lainnya adalah pernyataan kontroversial seorang Komisioner di media, terutama dalam isu kebebasan beragama.7 Kini, Komisioner Komnas HAM periode 20122017 telah terpilih yang baru. 13 Komisioner tersebut memiliki latar belakang yang sangat beragam, yaitu dari aktivis, pegawai negeri sipil, jurnalis, advokat, pengurus organisasi keagamaan, dan dosen. Hanya satu orang Komisioner sebelumnya yang terpilih kembali, meski dengan suara paling sedikit. Latar belakang yang beragam tersebut, diharapkan dapat memberikan pandangan yang luas dalam menghadapi persoalan hak asasi manusia ke depan.8 Tentunya dengan asumsi bahwa mereka semua telah memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai nilai-nilai hak asasi manusia. Karena belajar dari pengalaman di periode sebelumnya, yaitu ada pernyataan atau pendapat yang berbeda para ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
19
Komisioner dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia di media, karena adanya ketidaksamaan dalam memahami nilai-nilai hak asasi manusia. Jika melihat pada periode yang lalu, terdapat pekerjaan rumah Komnas HAM yang belum selesai. Misalnya, kasus penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, eskalasi kekerasan yang masih terus terjadi dalam berbagai bidang (misal sengketa lahan, penyiksaan, dan kekerasan berbasiskan agama), persoalan konflik di Papua, serta relasi institusional Komnas HAM dengan lembaga negara lainnya, serta persiapan ratifikasi beberapa instrumen HAM. Belum lagi soal mandat Komnas HAM yang terbatas, pekerjaan rumah ini akan menjadi tanggung jawab dari komisioner Komnas HAM yang baru. Ke depan, Komnas HAM akan menghadapi tantangan yang besar, karena pada tahun 2014, merupakan tahun pemilihan umum, dan secara politik, fokus dari DPR dan Presiden akan mengarah ke persiapan pemilu. Ini artinya secara tidak langsung akan berpengaruh pada proses pemenuhan hak asasi manusia. Harapan kepada Komnas HAM kepengurusan terbaru ini terganggu dengan usulan perubahan tata tertib berupa pergantian kepemimpinan tiap tahunnya. Pada kepengurusan sebelumnya, pergantian kepemimpinan hanya berlangsung dua kali selama satu periode atau lima tahun. Usulan perubahan tersebut menimbulkan kontroversi, tidak hanya di tingkat masyarakat tetapi juga di internal Komnas HAM. Sembilan dari 13 orang komisioner menyetujui usulan ini. Mereka mayoritas dibanding empat komisioner lainnya yang menolak dengan alasan akan menggangu kinerja Komnas HAM. Polarisasi komisioner ini menimbulkan protes dan aksi mogok yang dilakukan para staf.9 Atas peristiwa ini, Komnas HAM telah memperoleh perhatian di tingkat regional, seperti dari ANNI-Forum Asia yang berbasis di Bangkok telah mengeluarkan pernyataan sikapnya. 10 Usulan perubahan periodisasi kepemimpinan Komnas HAM menjadi satu tahun dinilai sangat tidak masuk akal dan merupakan salah satu upaya pelemahan kinerja Komnas HAM ke depan dan sarat dengan kepentingan. Usulan tersebut menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada Komnas HAM menurun dan telah mengganggu kinerja Komnas HAM. Hingga tulisan ini dibuat, konflik internal masih berjalan. Dan baru pada tanggal 6 Maret 2013, Komisioner Komnas menyelenggarakan sidang Paripurna untuk membahas mengenai tata tertib dan melakukan proses pemilihan Ketua Baru. Sidang Paripurna tersebut diikuti oleh 9 orang dari 13 Komisioner, sedangkan 4 komisioner lainnya menolak untuk ikut sidang dan menyatakan menolak untuk memilih dan dipilih. Dalam sidang tersebut telah menetapkan 2 hal, yaitu mengenai kepemimpinan dan yang kedua adalah perubahan tata tertib. Hasilnya adalah Siti Nurlaila sebagai Ketua dan Mohammad Imdadun serta Dianto Bacriadi sebagai wakil, dan anggota menyetujui adanya perubahan tata tertib tersebut yang isinya antara lain mengenai fasilitas. Keputusan Paripurna ini memperoleh reaksi dari dari beberapa elemen, termasuk masyarakat sipil yang menilai terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal. Sehingga masyarakat sipil dan mereka yang memiliki perhatian akan Komnas HAM mendesak agar keputusan tersebut dibatalkan dan DPR harus segera memanggil Komnas HAM untuk mempertanyakan pelaksanaan rekomendasinya.11 Jika melihat ke belakang dan yang akan datang, maka pertanyaan bagi Komnas HAM adalah apakah yang menjadi motivasi utama para komisioner ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
20
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
tersebut? Apakah akan tetap bekerja untuk hak asasi manusia atau kepentingan yang lainnya? Lalu jika diawal masa kerja sudah ada konflik internal, bagaimana kinerjanya kedepan? Mari kita tunggu dan pantau kinerja Komnas HAM ke depan.
Keterangan
1
Lihat Laporan Situasi HAM di Indonesia tahun 2012. Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia, ELSAM, 2013 2. Lihat Negara Harus Bersikap, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009, Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute, 2010. Dapat diunduh di http://www.setarainstitute.org/sites/setara-institute.org/files/laporan/20072009_beragama-id.pdf 3. http://preview.detik.com/detiknews/read/2011/10/15/ 230542/1744927/10/komnas-ham-minta-presiden-tegakkankebebasan-beribadah dan http://news.detik.com/read/ 2011/02/07/102208/1561318/10/ 4. Dalam diskusi tentang RUU Pangan, Komnas HAM meminta agar diskusi dihentikan karena RUU tersebut dinilai tidak berperspektif HAM. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, silakan lihat dalam http://www.komnasham.go.id/siaranpers/1500-siaran-perskomnas-ham-hentikan-pembahasanruu-pangan-yang-takberperspektif-ham " 5. http://regional.kompas.com/read/2011/12/15/19281641/ Penjelasan.Komnas.Ham.Soal.Kasus.Mesuji dan juga laporan Tim Pencari Fakta dimana ELSAM bergabung didalamnya. Dan juga bisa dilihat dalam kasus Bima,Komnas HAM Desak Kapolri Jalankan Rekomendasi, KOMPAS 3 Januari 2012 6. Catatan terhadap kinerja Komnas HAM ini dapat dilihat pada Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM “Mendorong Pemajuan Hak Asasi Manusia dan Penguatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”, 2012. Lihat juga Laporan Kinerja Komnas HAM dalam Laporan “Weakening Performance and Persistent Culture of Impunity dalam 2012”, ANNI Report on Performance and Establishment of National Human Rights Institution in Asia. ELSAM menjadi bagian dalam proses penulisan kedua Laporan tersebut. 7. Saharuddin Daming Anggota Komnas HAM: Membubarkan Ahmadiyah bukan Pelanggaran HAM, bisa dilihat di ttp://majalah.hidayatullah.com/?p=1173 8. Seperti yang telah disampaikan dalam Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia 2012 “Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia”; ELSAM ; 2013 9. Lihat di http://news.liputan6.com/read/486083/pergantianpimpinan-komnas-ham-tiap-tahun-diprotes dan http://news.detik.com/read/2013/02/09/085537/2165471/10/inidampak-negatif-dari-rotasi-komisioner-komnas-ham-tiap-tahun 10. ANNI- The Asian NGO Network on National Human Rights Institutions merupakan gabungan dari 28 NGO di wilayah Asia untuk memantau kinerja Komnas HAM di masing-masing negaranya. Sekretariat ANNI berada di Forum Asia-Bangkok. Anggota ANNI dari Indonesia adalah ELSAM, KONTRAS, IMPARSIAL, dan HRWG. Pernyataan sikap tersebut dapat diunduh di http://www.forum-asia.org/?p=15828 11. Informasi ini dapat dilihat di http://nasional.kompas.com/ read/2013/03/06/1628571/Komisioner.Komnas.HAM.Tolak.P erubahan.Tatib dan http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/07/1/136538/Cikal-BakalKegagalan-Komnas-HAM-Mulai-Nampak
daerah Ekspansi Perkebunan Sawit di Bumi Kalimantan Oleh Wahyu Wagiman (Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan ELSAM) Lelang Hutan Kalimantan
Maraknya Konflik Agraria
D
Dampak paling buruk yang diakibatkan perkebunan kelapa sawit adalah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, mencatat sejak tahun 2008 hingga 2011 terjadi sekitar 280 konflik antara masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dengan perusahaan perkebunan yang merebut lahan-lahan milik masyarakat adat.6 Konflik tersebut terjadi hampir di semua Kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Selatan, terdapat 31 titik konflik agraria yang berhubungan dengan sektor perkebunan. Lokasi konflik sebanyak itu tersebar di 11 kabupaten yang menjadi sentra perkebunan.7 Sementara di Kalimantan Tengah, Walhi Kalteng menangani 30 kasus konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2011.8 Persoalan konflik agaria yang terjadi di Kalimantan ini merupakan dampak yang tak terhindarkan dari kebijakan Pemerintah yang membuka lebar-lebar pintu bagi investasi. Parahnya, Pemerintah tidak pernah memberikan perlindungan terhadap akses dan hak kelola warga atas tanah. Padahal hal ini merupakan satu bagian penting dalam pengelolaan konflik yang dapat diprediksikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya investasi dan penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar.
alam sepuluh tahun terakhir ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat tajam. Berbagai langkah dilakukan perusahaan perkebunan untuk memperluas jaringan usaha dan lahannya. Demikian juga dengan Pemerintah yang memfasilitasi berbagai kemudahan untuk merangsang pertumbuhan investasi di bidang perkebunan kelapa sawit.1 Sumatera dan Kalimantan merupakan dua wilayah yang dijadikan tujuan utama ekspansi. Sampai dengan tahun 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera merupakan yang terbesar yaitu sebesar 5.892.707 ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional.2 Sedang Kalimantan mencapai 1.549.275 ha (19,80%). Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terbesar di Kalimantan, dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 791.667 ha. Kemudian disusul oleh Kalimantan Barat seluas 532.034 ha. Meluasnya wilayah perkebunan kelapa sawit ini ternyata berbanding lurus dengan menurunnya luas hutan di Kalimantan. Luas hutan Kalimantan menurun dari 39,9 juta hektare menjadi 25,5 juta.3 Penurunan luas di Kalimantan ini disebabkan karena mulai tahun 1990 hingga 2010, nyaris seluruh perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan memakan lahan hutan. Hasil penelitian terhadap industri kelapa sawit di Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal Nature: Climate Change. menyebutkan 47 persen perkembangan perkebunan kelapa sawit, selama dua dekade, dari tahun 1990 hingga 2010, di Kalimantan mengorbankan hutan.4 Hutan Kalimantan seolah dilelang untuk kepentingan sesaat pengusaha dan penguasa yang haus akan uang dan kekuasaan. Selain berkontribusi pada kerusakan dan berkurangnya luas hutan, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan juga telah menimbulkan kerugian sosial dan lingkungan hidup yang berat yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat adat, penghuni hutan dan hutan hujan tropis. Masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang menggantungkan kehidupannya pada hutan dan hasil hutan telah secara semena-mena disingkirkan dari wilayahnya. 5 Akibatnya, konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia merupakan dua hal yang menyertai kesuksesan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
Demo masyarakat menolak perampasan tanah oleh perusahaan sawit. sumber: http://edipetebang.blogspot.com
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
21
Perusahaan Perkebunan Merampas Hak-hak Penutup Atas Tanah Masyarakat Dalam kaitan ini, pelanggaran hak asasi manusia Pera m pa s a n l aha n d an pe m b a ta s an a k s e s terjadi sebagai akibat tidak dilakukannya prevensi m a s y a ra k a t ad a t t er h ad a p hu t an meru p akan terhadap dampak negatif dari pembangunan pelanggaran hak asasi manusia yang biasa terjadi perkebunan kelapa sawit. Situasi ini diperparah dan dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa dengan tidak adanya mekanisme penindakan dan sawit di Kalimantan. Kriminalisasi merupakan jalan penghukuman terhadap aparat keamanan yang terakhir yang digunakan perusahaan perkebunan terlibat, terutama yang membantu perusahaanuntuk mered am per lawanan yang dilakuk an perkebunan dalam konflik-konflik agraria. Demikian juga dengan berkurangnya luas hutan dan masyarakat. Dengan berbekal izin prinsip atau izin usaha rusaknya hutan Kalimantan yang gagal dicegah dan perkebunan, secara semena-mena perusahaan diperbaiki oleh Pemerintah telah mengakibatkan perkebunan merampas dan menggusur tanah dan m emburuknya kualitas lingkungan hidup di tanam tumbuh milik masyarakat. Di Kampung Silat Kalimantan. Untuk itu, menyiapkan mekanisme Hulu, Desa Bantan Sari, Kecamatan Marau, pengaduan dan penyelesaian konflik yang terarah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, PT Bangun Nu s a Mandi r i (BNM) y ang mer u pak a n an a k dan terpadu yang menyentuh substansi dasar dalam perusahaan PT. Sinar Mas Grup, melakukan upaya penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya penggusuran dan perusakan wilayah adat Silat Hulu alam di Kalimantan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan Pemerintah. Penegakan hukum terhadap seluas 350 ha. A r e a l y a n g d i g u s u r a d a l a h a r e a l setiap aparat yang berpihak kepada Perusahaan dan perladangan, kebun karet, kebun buah-buahan dan menghentikan setiap perizinan yang berkontribusi dua buah kuburan. Padahal areal perladangan, pada kurang dan rusaknya hutan Kalimantan kebun karet, kebun buah-buahan memiliki kaitan merupakan hal penting lainnya yang harus dilakukan yang erat dalam kehidupan manusia baik secara Pemerintah. sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Terlebih lagi kuburan. Bagi masyarakat adat, kuburan (terutama bahan-bahan ritualnya) termasuk Keterangan dalam tradisi adat kematian yang merupakan tradisi yang bernilai tinggi. Keberadaan dan perlindungan terhadap lokasi kuburan ini dianggap sebagai bagian 1 Wahyu Wagiman, Privilese Perusahaan Perkebunan dan dari penghormatan terakhir terhadap roh para Dampaknya Terhadap Hak Asasi Manusia, Jurnal Sawit Watch 2012 leluhur. Di lokasi perkuburan ini biasanya tumbuh http://www.datacon.co.id/Sawit-2011ProfilIndustri.html 2. d , a a pohon-pohon besar, karena b gi masy rakat a at 9 3. Green Peace mencatat penurunan ini diakibatkan oleh tanah perkuburan sangat dijaga dan dihormati. banyaknya HPH [Hak Penguasaan Hutan] dan Perkebunan Di Desa Biru Maju Kecamatan Telawang, Kelapa Sawit, http://www.bisnis.com/articles/hutanKabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, kalimantan-walhi-catat-sangat-kritis PT. Buana Artha Sejahtera (PT. BAS), yang juga 4. http://raisaziznewspaper.wordpress.com/2012/10/14/90merupakan Sinar Mas Group, masuk ke tanah warga perkebunan-kelapa-sawit-di-kalimantan-mengorbankanhutan/ Desa Biru Maju dan mengklaim seluruh tanah yang sudah digarap warga Biru Maju. Dasar klaim PT. BAS 5. Pembangunan Perkebunan Sawit di Perbatasan IndonesiaMalaysia : Diskriminasi Rasial Terhadap Masyarakat Adat, Tim tersebut disandarkan pada Surat Ijin Prinsip Advokasi Sawit Perbatasan, 2009 (dukungan Prinsip) dari Bupati Kotawaringin Timur, 6. http://amankalimantantengah.blogspot.com/2012/09/67tertanggal 21 Februari 2004. konflik-agraria-sepanjang-2011.html Selanjutnya dengan melibatkan aparat 7. 31 Titik Konflik Agraria Anca m Kisruhkan Kalsel, keamanan, Kepolisian maupun TNI, PT. BAS http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/10/355857/12 7/101/31-Titik-Konflik-Agraria-Ancam-Kisruhkan-Kalsel mengusir paksa warga Desa Biru Maju, meratakan semua tanaman milik mereka dengan bulldozer dan 8. Siaran Pers Walhi Kalteng, 29 January 2012 merusak semua tanda batas, termasuk patok-patok 9. Pledooi Andi-Japin di Pengadilan Negeri Ketapang, 8 Februari 2011 batas tanah hingga semuanya pun rata dengan Andi, Japin, Syahrani, Aleng, ameng dan Andi Vitalis 10. tanah. Kalimantan Barat, serta Purnomo dan Mulyani Handoyo Dua kasus di atas merupakan gambaran Kalimantan Tengah dan banyak lagi yang lainnya yang pernah umum dari buruknya pembangunan perkebunan merasakan penjara sebagai akibat dari perjuangan melawan perusahaan perkebunan. Data diambil dari PILNET. kelapa sawit di Kalimantan. Belum lagi kekerasan dan kriminalisasi yang mengantarkan masyarakat K a l i ma n t a n ke p e n j a r a s e b a gai a k i bat dar i perlawanan terhadap perusahaan perkebunan.10
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
22
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2013
resensi Menelusur Peta Penghilangan Paksa Oleh Lilik Hs (Staf pada Perkumpulan Praxis)
Judul Buku
: Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia Tim Penulis : Anak Agung Gde Putra, Ari Yurino, E. Rini Pratsnawati, Muhammad Arman, Mohamad Zaki Hussein, Razif, Nashrun Marzuki, Nasrun, Otto Adi Yulianto, Paijo, Roro Sawita, Th. J. Erlijna, Wahyudi Djafar, Zainal Abidin Penyunting : M. Fauzi Ilustrasi : Arip Hidayat Kolasi : xvi, 467 halaman Impresum:Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2012 ISBN : 978-979-8981-43-2 Penerbit : ELSAM, 2012
M
embuka 2013, Jenderal Efrain Rios Montt, 86 tahun, terduduk kelu di kursi terdakwa. Mantan Jenderal Angkatan Darat Guatemala itu diadili atas tuduhan pembunuhan massal saat berkuasa pada 1982 - 1983. Investigasi Komisi Pencari Kebenaran Guatemala mencatat tak kurang dari 200 ribu penduduk sipil terbunuh. Untuk pertama kalinya, kasus genosida disidangkan di negeri itu. Di Argentina, pada akhir 2012 digelar sebuah pengadilan besar-besaran terhadap pelaku kejahatan HAM selama periode kediktatoran militer tahun 1976 1983. Dalam jangka setahun mereka telah mengadili 400 penjahat HAM, termasuk pucuk pimpinannya, Jenderal Jorge Videla yang diganjar hukuman seumur hidup. Sayangnya, pengadilan atas pelanggaran HAM masa lalu itu terjadi nun jauh di Amerika Tengah dan Amerika Latin. Di Indonesia, alih-alih mengadili penjahat kemanusiaan, keberanian mengakui adanya pelanggaran HAM saja masih jauh panggang dari api. Negeri ini masih terjerembab dalam reputasi jeblok dalam impunitas pelanggaran HAM. Buku terbitan ELSAM setebal 467 halaman ini menelusur rantai praktik penghilangan paksa yang
berlangsung semasa rezim otoriter Orde Baru. Jika selama ini kita lebih banyak disuguhi angka-angka jumlah korban yang ditahan, dibunuh dan dihilangkan, buku ini menyajikan kepingan peta penghilangan paksa yang tersusun runtut, padat dan terperinci. Pada bab Pendahuluan disebutkan bahwa berbagai laporan baik yang dihasilkan oleh lembagalembaga negara maupun yang disusun oleh masyarakat sipil menyebut beragam kasus/peristiwa pelanggaran paksa sebagai kasus individual yang terpisah. Laporan-laporan tersebut menjelaskan tentang siapa pelaku, korban, motif, dan juga tujuan penggunaan cara-cara penghilangan paksa. Ini memunculkan berbagai pertanyaan penting misalnya mengapa penggunaan metode penghilangan paksa terus dilanggengkan? Apa motif atau tujuan praktik praktik penghilangan paksa? Bagaimana mereka melakukan kejahatan tersebut? (hal. 3). Terbagi dalam 12 kisah, buku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Terentang dari kurun dan konteks peristiwa yang berbeda, mulai dari peristiwa 1965, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Papua, Timor Leste hingga penghilangan aktivis 1997/1998. Penangkapan Harjosarono Sebagian besar narasi peristiwa 1965 berkutat pada latar konflik politik di tingkat elit atau berhenti pada jejak tragis dan perjuangan para penyintas. Tak banyak mengungkap aktivitas politik hingga level terbawahyang menjadi dasar eksekusi mereka. Di Boyolali, Jawa Tengah, sasaran utama penghilangan paksa adalah pamong desa, yakni para lurah, juru tulis, kepala dusun, yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pimpinan ormas kiri. Harjosarono adalah lurah yang disegani masyarakat. Ia yang tergabung dalam PPDI, giat menggerakkan pembangunan di wilayahnya. Kharisma sebagai pemimpin desa itu lantas menyeretnya sebagai target pertama penangkapan. Harjosarono dibunuh, dan mayatnya digeletakkan di
tengah jalan. Sebuah upaya teror dengan pesan yang lugas bahwa “pemimpin kalian pun dengan mudah kami habisi, apalagi rakyatnya.” Kisah Harjosarono adalah sepotong mozaik yang menjelaskan bagaimana peristiwa pembantaian 1965 menjadi fondasi dibabatnya masa depan bangsa ini. Penangkapan, pembunuhan dan penghilangan paksa terhadap pamong desa di Boyolali Utara menandai berakhirnya partisipasi masyarakat desa yang terorganisir dalam merumuskan arah modernisasi desanya (hal. 43). Tokoh - tokoh pemimpin rakyat yang bekerja keras membangun daerah dilenyapkan. Kemudian tentaratentara mengisi posisi lurah, bupati hingga menjadi guru-guru pengganti, tanpa kemampuan dan visi. Yang terjadi kemudian adalah terputusnya peletak dasar penanaman karakter bangsa. Dengan dalih memanfaatkan tenaga kerja produktif tapol, praktik kerja paksa berlangsung di berbagai wilayah. Di distrik Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan yang merupakan basis kuat Barisan Tani Indonesia (BTI), kerja paksa mulai terjadi pada 1969. Para tapol dipaksa membangun berbagai fasilitas umum seperti pembangunan jalan, irigasi, bendungan hingga perumahan Kodim. Di Boyolali, kerja paska terjadi mulai 1965 1970an. Tenaga mereka dikerahkan membangun saluran air minum, jembatan, bendungan, kantor Koramil dan tempat ibadah. Mereka bekerja tanpa fasilitas sandang dan pangan, yang umumnya keluarga yang kemudian mensuplai kebutuhan ini. Buku ini menyertakan peta kerja paksa, lengkap beserta luas bendungan, jembatan dan jalan raya yang dibangun dari lelehan keringat dan darah para tapol.
kuburan korban. Ngaben tanpa tubuh ini adalah respons sekaligus protes masyarakat atas pembiaran negara. Ketika masyarakat terus-menerus dibekap ketakutan dan trauma ngaben adalah salah satu upaya mempertebal mental mereka kembali. Penyeragaman ideologi Pancasila menjadi latar peristiwa pembantaian di Talangsari, Lampung pada 7 Februari 1989. Data Komnas HAM menyebut 130 orang meninggal, dan sejumlah besar lainnya dianiaya dan mengalami pengusiran paksa. Data Kontras menyebut masih ada 88 orang yang masih hilang. Peristiwa itu tak kunjung menemukan kejelasan. Pemerintah berkelit bahwa kasus telah ditutup. Hingga kini, warga mengalami diskriminasi, mulai dari isolasi hingga tak adanya fasilitas listrik. Peta Penghilangan Paksa
Sumbangan terpenting dari buku ini adalah suguhan data-data yang cukup kaya dan jarang terpublikasi. Buku ini memberikan semacam peta penghilangan paksa, yang memuluskan kita memahami konteks kepentingan dalam berbagai kurun peristiwa penghilangan paksa, seperti yang diulas di temuan awal buku ini, yakni membuka jalan bagi modernisasi Indonesia di bawah kepemimpinan Orde Baru, memuluskan penanaman modal asing dan mengukuhkan otoritarianisme dan di era reformasi adalah ekspansi modal dan bisnis militer. Di tengah karut marut politik yang semakin menjauh dari tanggungjawab penyelesaian pelanggaran HAM, juga gejala merebaknya kembali simbol-simbol kediktatoran Orba dengan ungkapanungkapan rindu pada Orde Baru, kehadiran buku ini menjadi penting. Jejak hitam penghilangan paksa ini juga menyuguhkan bukti bagaimana secara sistematis Ngaben Tanpa Tubuh rantai militer membelit sekujur negeri. Mengharap Kisah Made hadir dalam bab Ngaben Tanpa Tubuh: rezim yang juga militeristik ini sudi menuntaskan Tragedi 1965 dan Pariwisata Bali. Ia diburu-buru oleh gurita kasus ini? Alangkah sulitnya. laskar tameng (ormas bentukan tentara), kemudian rumah keluarga besarnya dibakar ketika laskar gagal menemukannya. Tergambar jelas bagaimana perangkat desa, diberikan otoritas oleh militer untuk mencatat nama anggota dan simpatisan PKI (hal. 211). Penghilangan paksa di Bali ini bergerak liar karena data yang amburadul. Nama-nama pun melebar hingga ke simpatisan. Landasannya pun tak melulu masalah ideologis, namun melebar masalah keseharian seperti masalah tanah, sengketa antar banjar hingga utang-piutang. Masyarakat dilarang melakukan penggalian untuk mencari jasad korban. Alhasil upacara ngaben, yang baru diijinkan pada 1971, hanya dilakukan dengan secuil tanah yang diambil di seputar lokasi