GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Geografis dan Karakteristik Sumber-Sumber Agraria
Kecamatan Palolo merupakan salah satu dari 18 kecamatan di wilayah
-
Kabupaten Donggala yang berada pada dataran tinggi sekitar 500 700 m dpl. Desa-desa yang ada dalarn wilayah ini berudara sejuk serta memiliki tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Berpatokan dari ibukota kecamatan yaitu desa Makmur, kecamatan ini memilikijarak tempuh 45 km dari pusat kota Palu melalui jalan Trans Palu Palolo yang menghubungkan kota Palu dengan Kabupaten Poso. Memiliki luas wilayah 339,ll km2, dan terletak pada arah SelatanTenggara dari kota Palu. Desa-desa yang ada dalam kecamatan Palolo ini sebagian besar berada di daerah pegunungan yang membujur dari arah barat saat mulai pendakian Kawasan Hutan lindung yang dikenal dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sampai berbatasan dengan Kabupaten Poso sepanjang 2 78 km. Batas-batas administrasi Kecamatan Palolo adalah Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Parigi di sebelah Utara, Kecamatan Parigi dan Kabupaten Poso di sebelah Timur, Kecamatan Kulawi di sebelah Selatan. Dan Kecamatan Sigi Biromaru. di sebelah Barat Sintuwu dan Berdikari, dua dari 21 desa di Kecamatan Palolo, memiliki kondisi geografis rata-rata seperti tersebut di atas. Keunikan dua desa ini, Sintuwu berbatasan langsung dengan areal kawasan hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dan Berdikari berbatasan dengan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung seperti yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan Kabupaten Donggala (Lihat peta pada Lampiran 1, 2, dan 3). Berdasarkan tinjauan letak geografis, desa Sintuwu berbatasan di sebelah Utara dengan S. Gumbasa, sebelah Selatan dengan TNLL, sebelah Timur dengan Desa Saleh Makmur, dan sebelah Barat dengan TNLL (Peta pada
Lampiran 4). Sementara desa Berdikari berbatasan di sebelah Utara dengan desa Rejeki, sebelah Selatan dengan desa Tanah Harapan, sebelah Timur dengan Kecamatan Parigi (ke arah HPT dan HL), dan sebelah Barat dengan desa Harapan Desa-desa ini terdiri dari sejumlah dusun dengan nama-nama yang merupakan nama aliran sungai, kekhasan alam, latar sejarah, jembatan, dan gunung. Desa Berdikari memberi nama yang berbeda di setiap dusunnya mengacu pada sejarah ataupun keunikan yang dimiliki dusun tersebut. Seperti dusun 1, disebut Berdikati karena merupakan areal pemukiman mula-mula dan telah mendapat sebutan seperti itu sejak tahun 1967; dusun 2 disebut dengan Air Panas, karena memiliki sumber air panas; dan dusun 3 dengan Topangana ataupun Pangana yang berarti buah pinang (bahasa Kulawi) karena dari saat pertama kali dua orang Kulawi menginjakkan kaki ke bagian wilayah ini mereka beristirahat didekat jembatan sambil memakan buah pinang. Keunikan tersendiri bagi letak geografis Desa Berdikari, karena di tengah desa terletak Desa Bahagia yang merupakan salah satu desa transmigrasi yang berasal dari Jawa. Sedangkan wilayah Desa Sintuwu, wilayah yang dilewati sungai Tobe disebut bagian Tobe, pemukiman yang dilewati sungai Kana disebut bagian Kana, wilayah yang dilewati sungai Katopi disebut bagian Katopi, masyarakat di dekat jembatan Kura-Kura disebut bagian Kura-Kura, dibawah kaki gunung Pewatu disebut bagian Pewatu. Nama-nama sungai memiliki arti tersendiri sesuai bahasa Kaili Taa. Tobe artinya menebang kayu; Kana artinya tidak tidur iy
satu malam; dan Katopi berarti orang yang hanya menutupi badannya sampai pundak dengan kain (seperfi sarung). Berdasarkan karakteristik pemanfaatan sumber-sumber agraria dalam ha1 ini tanah dan hutan, kedua desa menunjukkan adanya perbedaan antara satu dan lain suku. Sementara itu campur tangan pemerintah lewat pemberian hak
pengusahaan hutan (HPH) kepada para pengusaha serta distribusi tanah kepada para pegawai pemerintah cukup memberi pengaruh negatif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat juga dari aspek kelestarian sumber-sumber agraria itu sendiri. Karakteristik tata guna lahan di kedua lokasi penelitian ini secara umum dapat dilihat pada Lampiran 6. Lampiran tersebut menunjukkan bahwa selain areal datar, juga pada areal hutan TNLL dan HPT berisi berbagai jenis tanaman masyarakat baik tahunan maupun musiman dan pemukiman penduduk. Kondisi ini menjadi indkasi bahwa kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian cukup besar. Sedangkan secara rinci untuk penggunaan tanah (land use) berdasarkan jenis komoditi dari tiap desa penelitian dapat dilihat pada peta
di Lampiran 7 dan 8. Penggunaan tanah untuk kebutuhan penanaman mencakup areal datar yang berbaur dengan pemukiman dan hutan yang berada di pinggiran kedua desa penelitian. Untuk data luas wilayah masing-masing desa menurut penggunaannya tidak dapat diuraikan. Hal ini disebabkan data luas wilayah yang bersumber dari monografie desa terlihat tidak sesuai dengan luas wilayah berdasarkan penggunaan yang sebenamya.
Sejarah Migrasi Kelompok Sosial dan Pembentukan Desa Baru Kedua desa ini memiliki sejarah yang hampir sama, karena merupakan desa hasil bentukan akibat arus migrasi masuk secara spontan dari desa tetangga, kecamatan yang berdekatan ataupun dari luar propinsi. Selain itu secara periodik menunjukkan fenomena yang sama dalam ha1 ini tentang tahun pertama kali desa dibuka. Sorotan pada arus migrasi lebih tepat untuk melihat sejarah kedua desa ini, karena para migran membawa muatan tersendiri dalam sejarah pembentukan desa.
Desa Sintuwu Pembentukan desa berawal dari pemindahan secara paksa beberapa penduduk suku Kaili Taa yang bermukim di gunung sekitar Desa Bakubakulu dan Desa Bunga oleh pihak pemerintah Kecamatan Sigi Biromaru tahun 1961. Alasan pengusiran, lebih tepat disebut demikian, karena praktek ladang berpindah telah mengakibatkan gunung yang ditempati penduduk tersebut berubah menjadi lahan gundul dan kritis. Mereka diusir pihak pemerintah kecamatan dengan bantuan aparat keamanan dari instansi Komando Resort Militer (Korem) setempat. Penduduk pertama lima keluarga dari Desa Bakubakulu dan satu keluarga dari Desa Bunga masuk awal tahun 1961 ke lokasi baru yang ditunjuk pihak pemerintahan Desa Bakubakulu. Mereka ditempatkan pada topografi tanah agak rata di pinggiran gunung dan pada sisi lainnya berdekatan dengan sungai Gumbasa. Lokasi baru ini relatif dekat dengan desa asal mereka. Pemukiman berupa pondok dibangun di pinggiran sungai. Desa baru ini mereka namai "Pobungga", artinya kepiting (bahasa Kaili Taa). Kemudian gelombang kedua datang empat bulan kemudian setelah kedatangan gelombang pertama pada tahun yang sama. Tahun 1963 merupakan puncak perpindahan penduduk dari kedua desa ini akibat pembakaran satu rumah penduduk yang berada di gunung sekitar Desa Bakubakulu dan Bunga oleh aparat pemerintah. Pada arus masuk gelombang kedua terdapat beberapa warga Desa Bobo (desa tetangga Bakubakulu dan Bunga) yang berbahasa Kaili Ija. Tahun 1968 datang satu keluarga Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1969 seorang opsir Gereja Bala Keselamatan dari Kecamatan Kulawi, dengan misi keagamaannya memasuki desa baru ini
dan mendapatkan tanah yang kemudian dikerjakan oleh keponakannya sendiri pada tahun 1975. Perkembangan penduduk di tahun 1970-an mulai menunjukkan tingkat kenaikan cukup pesat. Alasan 'mengikuti' orang terdahulu adalah yang terbanyak. Percampuran suku mulai marak di akhir tahun 1970-an, dengan mulai banyaknya suku Bugis dan suku Kulawi yang memasuki Sintuwu. Mereka disebut sebagai penduduk pendatang. Suku Kaili Taa sendiri mengklaim kelompok sosial mereka sebagai penduduk asli. Selain itu terdapat empat keluarga pendatang yang merupakan ex transmigran asal Jawa Barat (etnis Sunda) ke Desa Malonas Kecamatan Sabang Kabupaten Donggala yang berpindah ke Sintuwu pertengahan tahun 1970-an. Suku Kaili lain, yaitu Tara sebanyak Desa Lasuwani Kecamatan Palu Timur (berdekatan dengan lapangan udara Mutiara Palu) memasuki desa Pobungga yang telah berganti nama (pada tahun 1977) menjadi Sintuwu (bahasa Kaili Taa yang artinya "pertemuan"). Mereka ditempatkan di daerah pinggiran hutan sebelah Utara desa pada tahun 1981. Alasan kepindahan karena lahan pertanian di desa asal, terbanyak persawahan, mulai mengalami kekurangan air. Tahun-tahun berikutnya, arus migrasi masuk berbagai suku dengan berbagai alasan menghantar mereka ke lokasi baru. Alasan-alasan tersebut antara lain, seperti diungkap migran asal Sulawesi Selatan (sebagian besar adalah suku Bugis, dari Kecamatan Bone, Sopeng, Barn) karena merantau untuk memperbaiki nasib atau (yang terbesar) mengikuti saudara yang lebih dahulu datang. Mereka awalnya berprofesi sebagai pedagang, petani sawah, ataupun pekerja informal lainnya. Mobilitas penduduk ini umumnya bergerak dari desa asal kemudian ke kota Palu dan akhimya ke Desa Sintuwu. Suku Kulawi umumnya berasal dari Desa Onu, Towulu, dan Lonebasa Kecamatan Kulawi, rata-rata berpindah karena ekspansi pencarian rotan ke
hutan sampai akhimya menembus hutan di pinggiran Desa Sintuwu. Perlu diketahui letak kedua kecamatan ini hanya dibatasi oleh hutan yang sekarang dikenal dengan TNLL. Setelah itu mereka satu per satu memasuki desa ini dengan alasan mengikuti pendahulu. Pesta kawin ataupun peringatan hari kematian menjadi ajang yang mempertemukan mereka, dan dari situlah para tamu diajak ataupun tertarik untuk berdomisili di desa ini. Suku-suku lain, baik dari sub-sub suku Kaili seperti Kaili Ledo umumnya berasal dari Biromaru; Kaili Ija berasal dari Desa Bobo Kecamatan Palolo dan Desa Bora Kecamatan Biromaru, Kaili Rai berasal dari Tawaeli dan pantai Timur
di Kecamatan Tomini, dan Kaili Unde dari Desa Surumana Kecamatan Banawa. Mereka umumnya datang secara sendiri-sendiri. Mereka datang karena melalui ikatan perkawinan dengan suku Kaili yang telah berdomisili lebih dulu, diajak saudara untuk menggarap kebun yang berada di desa ini, ataupun alasan lainnya.Suku-suku lainnya yang ada ditempat ini suku Toraja (tiga keluarga), etnis Bali (satu keluarga yang berdomisili tahun 1997 karena tugas sebagai aparat pemerintahan), dan etnis Cina (tiga keluarga dimana satu keluarga masuk tahun 1978 dari Desa Bobo). Desa Berdikari Pembentukan desa bermula dari ketertarikan seorang wakil kepala Desa Ampera yang berasal dari Desa Kantewu Kecamatan Kulawi untuk membuka pemukiman pada areal kosong bersebelahan dengan desa yang turut dipimpinnya awal tahun 1960. Ketertarikanakan padang yang luas dan subur ini, membuat bapak tersebut mengajak 3 keluarga saudara-saudaranya yang ratarata memiliki 6 -10 anak dari desa asal ke padang yang belum dibuka dan berpenghuni tersebut. Terdapat 1 keluarga diantaranya memiliki istri dari Desa Bobo Kecamatan Sigi Biromaru (yang terrnasuk suku Kaili Ija). Daerah baru tersebut akhirnya diberi nama Desa Karawa Malou, yang artinya dalam bahasa
Kaili adalah padang yang luas. Mereka menempati daerah pinggiran sungai Meno dengan membuat rumah yang terbuat dari bambu, kayu bulat, dan beratapkan daun rumbia. Arus migrasi masuk pun mulai terjadi dari suku ini sejak berdomisilinya ketiga rumah tangga di desa tersebut. Mereka umumnya berasal dari Desa Kantewu, Siwengi, Onu, Lonebasa, Towulu di Kecamatan Kulawi. Tahun 1967 sejalan dengan terbentuknya pemerintahan desa dengan dipilihnya perintis pertama desa ini, yaitu Rou Lologau menjadi Kepala Desa yang baru (19671979), maka Desa Karawa Maluo berganti nama menjadi Desa Berdikari, yang diartikan saat itu oleh pendirinya :karena merupakan pendatang (tmnsmigmsi
spontan) yang mampu mengurus din mereka sendiri tanpa diberi bantuan pemerintah. Pada tahun 1965, merupakan awal keterlibatan penduduk desa baru tersebut hingga saat penelitian berlangsung dengan masuknya para kaum transmigran dari Jawa yang ditempatkan pemerintah saat itu. Merasa sebagai pendatang pertama dan perintis dibukanya Desa Karawa Maluo ini, Rou Lologau memberi izin 85 keluarga transmigran ini menempati wilayah di pinggiran sungai Meno yang masih merupakan wilayah Desa Karawa Maluo saat itu. Tahun 1972, karena sering mengalami banjir akibat meluapnya sungai Meno, akhimya mereka ditempatkan di areal yang relatif aman dan masih termasuk dalam wilayah desa Berdikari. Areal hunian mereka yang telah membentuk perkampungan kecil ini akhimya diberi nama Berdikari II dimana pengaturan desa masih dipegang oleh kepala Desa Berdikari. Tahun 1977 mereka lepas dari desa induknya, dan berdiri menjadi desa sendiri dengan berganti nama menjadi Desa Bahagia hingga saat ini. Tahun 1973 merupakan awal masuknya satu rumah tangga pendatang dari Kabupaten Pinrang Propinsi Sulawesi Selatan (suku Bugis). Dengan alasan
merantau akhirnya menghantar keluarga ini ke Desa Berdikari. Langkah ini mulai diikuti beberapa keluarga yang memang banyak telah berkelana di sekitar kota Palu dan Kecamatan Palolo karena berdagang. Akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an merupakan puncak kedatangan suku ini yang umumnya berasal dari Kabupaten Sinjai, Pinrang, Sopeng, Bone, dan Barm. Mereka sampai saat ini banyak bermukim di pinggiran jalan Trans Palu Palolo sekitar jembatan Meno. Pelebaran wilayah pemukiman mulai dilakukan oleh penduduk "asli" ini (suku Kulawi) ke areal yang bersebelahan dengan Desa Bahagia yang masih merupakan wilayah desa ini di awal tahun 1980-an di saat tekanan penduduk mulai terjadi dibagian pemukiman di bagian Barat. Areal pemukiman baru ini juga dirintis oleh Rou Lologau yang akhimya turut berdomisili. Pemukiman baru tersebut diberi nama Air Panas karena ditemukannya suatu sumber mata air panas. Namun sistem pemerintahan tetap berpusat di Desa Berdikari. Oleh karenanya bagian Air Panas disebut sebagai dusun 2 Desa Berdikari, atau beberapa responden menyebutnya sebagai "adiknya Berdikari". Pertengahan tahun 1980-an di bagian Barat dusun Air Panas, terdapat pendatang baru berjumlah dua keluarga dari Kabupaten Palopo Sulawesi Selatan serta satu keluarga suku Kulawi membuka areal pemukiman baru yang masih ditutupi pohon dan semak belukar. Areal bani ini disebut dengan Pangana ataupun Topangana yang merupakan wilayah Dusun 3 Desa Berdikari. Namun sebelumnya pada tahun 1970-an, telah ada beberapa keluarga asal Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan tepatnya dari Desa Makali yang telah berdomisili di wilayah tersebut. Mereka umumnya adalah petani penggarap pekerja tanah pegawai Korem yang masih memiliki hubungan pertalian darah. Alasan karena dipanggil menggarap sawah dan kebun milik keluarga yang berada di Pangana, baik tanah Korem maupun tanah KBN, menjadi alasan utama berrnunculannya
para pendatang dari Tana Toraja. Sedangkan saling mengajak, menjadi alasan utama para pendatang berikutnya dari suku Bugis. Suku-suku kecil lain yang berdomisili di desa ini seperti Jawa, Manado, Mori - Poso, Kaili, umumnya masuk setelah desa ini telah terbuka (open village). lkatan perkawinan dengan penduduk terdahulu, ataupun karena penempatan tugas sebagai aparat pemerintahan, menjadi alasan utama domisili. Akhir tahun 1990-an merupakan puncak masuknya suku Kaili Daa di wilayah Pangana. Mereka umumnya berdatangan dari desa tetangga Berdikari, yaitu Desa Kamarora. Bukit Korah yang masih merupakan areal Hutan Produksi Terbatas, menjadi sasaran empuk suku ini berekspansi dan membuat pemukiman baru. Penduduk Kamarora didominasi oleh suku Kaili Daa (berasal dari daerah pegunungan di Palu Barat), suku Kulawi (terbanyak dari Desa Morui, Lawe, dan Towulu), merupakan penduduk hasil perpindahan tempat tinggal (ressetlement) atas kebijakan pemerintah tahun 1979, dengan alasan yang sama seperti dialami suku Kaili Taa di Desa Sintuwu. Dengan alasan keterbatasan lahan untuk bertani dan bahkan tidak memiliki areal untuk dijadikan pemukiman (karena posisi desa ini telah tejepit di antara hutan lindung TNLL pada bagian Selatan, dan bagian Utara dengan sungai Motow yang bermuara ke sungai Gumbasa), akhirnya mereka diizinkan pihak pemerintahan desa, dalam ha1 ini lewat kebijakan Kepala Desa Berdikari, untuk menggunakan hutan yang masih merupakan hutan negara dengan diberi hak pakai. Saat ini, penduduk di atas Bukit Korah telah mencapai 100 keluarga bahkan mungkin lebih. Mereka mulai membangun rumah beratapkan seng, dan mulai berencana membangun gereja sebagai sarana peribadatan mayoritas pendatang tersebut. Namun secara nrtin, pada saat-saat tertentu, mereka masih sering mengunjungi desa asal mereka. Penduduk yang berasal dari Desa Kamarora, menjadi arus migran masuk terakhir sampai saat penelitian berlangsung yang datang secara
berkelompok. Sedangkan yang datang secara pribadi ataupun keluarga masih berlangsung, dengan alasan menghabiskan hari tua setelah berhenti sebagai pegawai negeri ataupun karena ikatan perkawinan dengan penduduk desa ini. Mobilitas penduduk keluar (rnigrasi keluar) sangat kecil. Pada Larnpiran 9 dapat dilihat sejarah masing-masing kelornpok sosial di kedua lokasi penelitian.
Kondisi Demografis
Tingkat kepadatan penduduk dikedua lokasi penelitian mulai terjadi sejak akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan beberapa responden tentang sejarah kedatangan yang telah menjadi rnigran sernasa hidup (life-time migmn), ditarnbah gejala saat ini yang menunjukkan bahwa besamya migrasi rnasuk tidak sebanding dengan rnigrasi keluar. Saat ini arus rnigrasi masuk terus bertambah dengan datangnya saudara ataupun kenalan yang sengaja didatangkan ataupun diajak berdornisili di kedua desa ini. Walaupun demikian, distribusi penduduk terlihat sedikit rnerata akibat penarnbahan areal pernukirnan yang baru. Di sisi lain faktor produksi dalam ha1 ini tanah, rnenunjukkan gejala penyempitan khususnya areal lahan pertanian yang datar. Tekanan terhadap tanah akibat jurnlah penduduk mengakibatkan terjadinya ekspansi ke arah hutan dan gejala ini terus berlangsung dan sangatlah eksklusif karena gejala ini hanya banyak terjadi pada kelornpok sosial tertentu. Akhimya akibat rnobilitas penduduk yang cepat dan tinggi ini, kemungkinan pada masa datang akan lebih rnerniliki fenornena yang rnenarik, hasilnya adalah kesejahteraan atau sebaliknya.
Tabel 2 .
Jumlah penduduk berdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari. tahun 2000- 2001.
1 Sintuwu
I
SUKU
1 Kaili Taa Bugis Kaili Tara Kulawi Lain-Lain (Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili Unde, Kaili Rai, Toraja, Cina,Sunda,Bali) Jumlah Jumlah Penduduk Keseluruhan*)
I
% 34,45
328 1205 Jiwa
Laki-Laki : 61 1 Jiwa Perempuan : 594
I
I
I
KK 113 95 60 30 30
Berdikari Kulawi
(105 KK) II (120 KK)
Bugis Toraja, Poso, Manado, Kaili Daa Bugis Toraja Manado Jawa, Kaili, Bali Jumlah
21 21 72 36 6 6 444
Laki-Laki : 963 Jiwa Perempuan : 819 I Jiwa Sumber Data : *) Pencatatan setiap dusun berdasarkan hasil wa\ ancara Mei Juli 2001. *")encatatan berdasarkan hasil wawancal dengan tiap kepala dusun dan sekretaris desa April Juli 2001. Jumlah Keseluruhan Penduduk")
1782 JlWA
-
-
I
Komposisi penduduk berdasarkan Tabel 2 menunjukkan adanya dua suku mayoritas di kedua desa, dalam ha1 ini suku Kulawi dan Bugis. Suku Kaili terlihat tidak mendominasi di Desa Berdikari, walaupun sebenarnya suku ini ada dan memiliki jumlah cukup besar yaitu sekitar 5 0 kk yang sekarang menempati areal di Bukit Korah. Mereka belum didaftarkan, karena masih dianggap sebagai penduduk yang tergolong dalam jenis migrasi sirkuler. Mereka masih memiliki rumah di Desa Kamarora, dan hanya menginap ditempat tujuan sebagai lokasi mencari nafkah tetapi secara rutin kembali ketempat asal. Bagi pemerintahan
Desa Berdikari, gerak penduduk ini hanya bersifat jangka pendek, berulang dan menurut siklus. Karena pada dasamya mereka hanya diberi hak mengolah dimana sewaktu-waktu hak tersebut dapat dicabut. Suku Kaili Taa tampaknya hanya memiliki gerak ke arah Utara, mendekati hutan TNLL, atau lebih tepatnya di Desa Sintuwu. Hal ini memang didukung oleh sejarah kedatangan mula-mula, dan saat inipun jika masih ada warga baru yang masuk dari suku tersebut itu karena didukung dengan unsur ikatan kekerabatan cukup tinggi yang memberi peluang untuk menjadi warga tetap di desa tersebut. Saat ini komposisi penduduk berdasarkan pendidikan hanyalah didapatkan data dari Desa Sintuwu (Tabel 3). Tabel 3. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Sintuwu, tahun 2000. Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Laki-Laki Perempuan 105 Tidak Sekolah 229 124 Tamat SD 230 188 418 34 46 Tamat SLTP 80 40 Tamat SLTA 23 63 Tamat PT 409 381 Jumlah 790 Sumber Data :Monografie desa tahun 2000.
Data monografi desa tahun 2000, menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah total penduduk (40-70 %) desa adalah petani. Namun ada perbedaan cukup mencolok dalam pengkategorian petani sawah di Desa Sintuwu. Dimana petani sawah (pemilik) tercatat hanyalah 29 petani (data monografie desa tahun 2000) dari jumlah keseluruhan petani 550 jiwa ditahun 199811999 dari total penduduk berdasarkan jenis pekerjaan yang berjumlah 570 jiwa atau sekitar 96 % penduduk yang terjun sebagai petani' atau menempati 47% dari total jumlah
penduduk ditahun 2000.
Data hasil survey tim A 3 Proyek Stability of Rain Forest Margin (STORMA) Jerman-Indonesia,
2001,
Jumlah petani di Desa Berdikari tercatat sebanyak 1107 jiwa (62 %) dari jumlah keseluruhan penduduk yang berjumlah 1782 jiwa, atau tercatat 94 % dari total penduduk yang bekerja sebanyak 1172 jiwa. Sedangkan petani penggarap berjumlah 379 jiwa (monografie desa 2000), dan berdasarkan hasil wawancara jumlah penggarap terbesar berada di dusun 3. Untuk jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut di Desa Sintuwu berdasarkan data monografi desa tahun 2000, tercatat 783 jiwa beragama Islam, 415 jiwa bergama Kristen, dan 7 jiwa Kristen Katolik. Kemudian terdapat lima tempat beribadatan, masing-masing 3 buah mesjid dan 2 buah gereja. Sedangkan di Desa Berdikari tercatat penduduk beragama Islam sebanyak 310 jiwa dan Kristen 1477 jiwa, dengan sarana peribadatan 3 buah mesjid (1 buah di dusun 1, serta 2 buah di dusun 3) dan 6 buah gereja yang tersebar cukup merata di setiap dusun.
Karakteristik Kelompok Sosial Secara umum, interaksi kelompok sosial di kedua lokasi penelitian yang di atur oleh hukum adat, hanyalah pada kehidupan sehari-hari dalam tata krama pergaulan. Di dalamnya terdapat sangsi yang harus dipenuhi bila memang terbukti melanggar hukum adat tersebut. Hal spesifik, hukum adat yang ada pada satu suku hanya diberlakukan pada suku itu sendiri. Sebagai contoh, suku Kulawi di kedua lokasi penelitian. Lampiran 10 mungkin dapat lebih memperjelas sejauhmana diberlakukannya hukum adat tersebut. Lebih jauh tata krama pergaulan tersebut menyangkut perkawinan dan perceraian, pencurian, melarikan anak gadis, dan interaksi lainnya di luar pengaturan terhadap pemanfaatan sumber-sumber agraria yang ada.
Dalam konteks jaringan
sosial, individu-individu rumah tangga
mengembangkan dan memelihara hubungan sosial yang berbasis kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan serta perpaduan antar unsur-unsur tersebut. Hubungan sosial yang dikembangkan tersebut lebih merupakan sarana akses untuk memperoleh sumber daya sosial-ekonomi. Dengan mengembangkan jaringan sosial tersebut, sumber daya ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Uraian berikut akan lebih mengulas sejauhmana karakteristik masingmasing kelompok sosial, lebih difokuskan pada suku-suku mayoritas, yang secara ekslusif mengatur kehidupan rumah tangga sendiri dan berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat lainnya sebagai suatu komunitas. Tinjauan dilakukan pada dua kurun waktu yaitu saat berada di desa lama dan desa baru saat ini masing-masing secara normatif dan empiris.
Sistem Kekerabatan Secara umum hubungan kekerabatan yang berkembang dalam masyarakat kedua lokasi penelitian lebih didasarkan pada faktor keturunan dan perkawinan. Hubungan ini telah berkembang sejak dari desa asal mereka yang homogen dari segi suku. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan pola kehidupan bersama (terlebih antar kelompok sosial mereka), memelihara dan menguatkan secara intensif jaringan kekerabatan demi kelangsungan hidup masing-masing. Rumah Tangga dan Adat lstiadat Siklus Kehidupan
Masing-masing suku didua lokasi penelitian, membawa kebiasaan atau adat-istiadat dari desa asal mereka, dan secara umum menunjukkan fenomena yang sama dalam hubungan kekerabatan. Namun secara ekslusif ada hal-ha1 lainnya yang membedakan, seperti dalam pembatasan jodoh.
Keluarga inti (nuclear family) yang berdiri sendiri, dimana sebagai satuan ekonomi dan produksi yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah serta anak tiri ataupun anak angkat yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tampaknya tidak menunjukkan bahwa dalam satu rumah tersebut disetiap suku yang ada hanya terdiri dari keluarga inti tersebut. Biasanya dalam satu rumah tangga (household) terdiri dari beberapa keluarga inti, yang terdiri dari ibu dan bapak serta anak-anak yang belum berkeluarga ditambah anak-anak yang berkeluarga, yang merupakan kesatuan ekonomi ~ m a tangga. h Gejala poligami terjadi pada pada suami yang memiliki lebih dari seorang istri (poligini). Istri-istri ini tidak ditempatkan dalam satu rumah. Dijumpai suami yang memiliki istri 2-3 orang yang dibuatkan rumah tersendiri dan mendapat jaminan hidup serta fasilitas seperti kebun yang siap diolah. Hal ini banyak teQadi pada suami yang berasal dari golongan cukup mampu, dan gejala ini tampak nyata dalam kehidupan beberapa keluarga berasal dari suku Bugis dan suku Kaili Ledo. Dengan kata lain bahwa, masih banyak terdapat keluarga-keluarga lainnya dari suku Kulawi, Toraja Cina, Mori, Jawa dan lainnya masih kuat memegang paham monogami. Adat ultrolokal, yang memberi kebebasan kepada tiap pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami ataupun istri, menampakan gejala nyata bagi umumnya pasangan telah menikah. Keharusan menetap dipusat kediaman salah satu keluarga, biasanya terjadi hanya pada kondisi tertentu dimana terdapat satu pihak keluarga yang lebih kuat dalam ekonomi ataupun faktor hubungan. Seperti yang terjadi umumnya pada suku Toraja, Kulawi, dan Kaili. Menyangkut masalah siapa yang menjadi tulang punggung dalam memberi konsumsi bagi rumah tangga ini, tergantung pengaturan didalamnya. Banyak terdapat kasus, dimana anak-anak telah kawin masih
mengolah kebun orang tuanya, maka masalah konsumsi ditanggung bersama oleh setiap kepala keluarga. Namun terdapat juga dalam satu rumah tangga, seperti suku Kulawi umumnya, bila anak yang telah kawin telah mampu secara ekonomi mengums kebutuhan sehari-hari, seperti makan, kesehatan minimal pendidikan anak, biasanya membuat tungku masak terpisah dari orang tua. Mereka akan diijinkan berdiri sendiri, dalam arti keluar dari rumah orang tua bila benar-benar telah mampu mengembangkan ekonominya. Hal cukup ekslusif terjadi dalam keluarga dari suku Bugis. Menurut adat istiadat mereka, seperti adat masyarakat Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan, bagi anak yang baru menikah diijinkan untuk tinggal di mmah orang tua selama tiga bulan. Pembatasan jodoh diterapkan masing-masing suku yang merupakan adat istiadat dari daerah asal. Suku Bugis, Kulawi, Toraja, dan Kaili Tara biasanya memberi pembatasan dari segi persamaan agama. Tentang dari suku mana pasangannya menjadi nomor kedua setelah agama. Adat perkawinan diluar batas suatu kelompok keluarga (exogami) biasanya dipegang oleh suku Kaili, Kulawi, Toraja, serta sebagian dari Bugis. Tapi bagi suku Bugis dari Kabupaten Bone umumnya pada generasi pertama memiliki pasangan suami ataupun istri yang masih memiliki ikatan saudara dekat (endogami) seperi sepupu satu kali. Bahkan sampai saat ini masih ada yang mengharapkan anaknya kawin dengan keluarga dekat. Suku yang sangat eksklusif tentang masalah pemilihan jodoh adalah suku Kaili Taa. Suku ini tidak memberi pembatasan jodoh pada anak-anak mereka, terserah apakah kawin dengan berlainan agama dan memeluk agama apa saja, dan dari suku apa saja, namun diharapkan untuk mencari pasangan yang memiliki pertalian keluarga cukup jauh.
Pesta Perkawinan dan Peringatan Hari Kematian Perayaan perkawinan disesuaikan dengan kondisi ekonomi dari keluarga yang menyelenggarakan. Jika keluarga terutama dari pihak laki-laki memiliki tingkat ekonomi yang cukup baik, penyelenggaraan dilangsungkan berdasarkan adat perkawinan dari suku mereka, yang tentu saja ha1 ini telah berlangsung sejak mereka berada di desa lama mereka. Suku Bugis Umumnya perayaan pesta perkawinan sering menggunakan adat mereka. Kemeriahan pesta sangat tampak dari hiasan berwama-wami baik dari pakaian adat pengantin maupun dari dekorasi tempat pesta. Panganan yang disediakan tergantung kemampuan dan telah disesuaikan dengan jumlah undangan. Sumber dana umumnya berasal dari pihak laki-laki (umumnya) dan ada juga yang disediakan dari pihak perempuan. Penyelenggaraanpesta perkawinan berlangsung dua kali dalam satu hari. Pertama di rumah pihak keluarga laki-laki, selang beberapa jam kemudian dilanjutkan dirumah pihak keluarga perempuan. Dana pesta yang dikeluarkan biasanya bersumber dari tabungan keluarga berupa temak sapi, dan uang tunai yang telah dkumpulkan sebelumnya dari hasil panen ataupun dari hasil pekerjaan diluar bidang pertanian, seperti warung kelontong, mobil yang ditaksikan, serta sumber-sumber usaha lainnya. Uang ini kebanyakan ditabung lewat bank kecamatan yang ada, namun terdapat juga beberapa keluarga yang masih menyimpan uang didalam rumah. Undangan tidak terbatas di dalam desa, tapi juga kerabat sesama suku di luar desa. Perayaan peringatan hari kematian anggota keluarga rata-rata suku ini diselenggarakan pada hari ketujuh, keempatpuluh, dan seratus hari. Namun pembacaan doa aktif diadakan setiap malam sampai 40 malam dan merupakan perayaan yang teramai, dimana seluruh keluarga jauh terkumpul pada hari
tersebut. Untuk sajian tergantung kemampuan penyelenggara. Mereka tidak memaksakan diri memotong sapi ataupun kambing. Tapi karena rata-rata warga Bugis yang ada dikedua desa ini tergolong cukup mapan, maka tak dapat dihindari bila pemotongan sapi banyak dilakukan. Seperti pada pesta perkawinan, undangan perayaan 40 hari ini juga disebarkan kepada sesama suku di luar desa. Suku Kaili Taa Suku Kaili Taa umumnya, dalam membiayai penyelenggaraan pesta perkawinan dan peringatan hari kematian memiliki kebiasaan cukup unik. Pemborosan sangat tampak dalam penyelenggaraan hajatan. Mereka hanya memiliki tabungan dalam bentuk temak sapi (dalam jumlah kecil) dan tanah yang akan dijual. Tabungan dalam bentuk uang tunai tidak pemah dipikirkan. Hasil panen yang sebenamya dapat dijadikan tabungan hanya digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari dan berfoya-foya, seperti membeli minuman keras ataupun digunakan berjalan-jalan ke desa tetangga. Karakter menjual tanah muncul saat mereka berada di desa baru, karena pada dasarnya di desa lama mereka mengembangkan pertanian tidak menetap (peladang berpindah). Namun secara struktural, karakter berpesta telah ada sejak di desa lama. Hari ketujuh dan keempatpuluh peringatan kematian seseorang anggota keluarga dirayakan dengan sangat meriah dengan mengundang banyak kerabat dekat ataupun jauh, dalam dan luar desa. Mereka akan berusaha memotong sapi pada saat ini. Bahkan perayaan ini yang paling mendapat perhatian serius bagi mereka dibanding pesta perkawinan. Dahulu, pada awal tahun 1960-an masih diterapkan adat istiadat bahwa jenasah belum bisa dikuburkan jika belum ada sapi yang akan dibanting (disembelih). Hal ini dibawa dari tempat asal mereka yaitu Desa Bakubakulu. Sekarang sapi bisa dibanting pada saat perayaan hari
setiap harinya. Jumlah partisipan dapat mencapai 50-100 orang per hari, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan alokasi kerja yang berbeda. Angka maksimum biasanya terjadi pada hari pertama. Selain itu biaya pesta didapatkan dari hasil gotong royong di antara keluarga mereka. Hal ini banyak terjadi pada tahun awal 1980 sampai pertengahan 1990. Khususnya suku Kulawi di Berdikari, pola menabung mulai diterapkan lewat bank pemerintah. Pola ini dipengaruhi kenaikan harga kakao yang cukup tinggi. Kondisi ini didukung pula oleh lancamya transportasi dimana setiap menit tersedia angkutan umum dan dekatnya dengan bank kecamatan. Namun memasuki akhir tahun 1990, karakter menjual tanah mulai berkurang. Suku ini mulai mempererat ikatan kekerabatan antar suku mereka untuk menghindari penjualan tanah jika akan diselenggarakan pesta dalam bentuk apapun. Di Desa Berdikari, mereka mulai mendirikan kelompok kerja (bapalus) dimana uang hasil kerja akan masuk dalam kas kelompok yang
nantinya digunakan untuk membantu anggota yang akan merayakan hajatan. Terdapat tiga kelompok di dusun 2 yang semuanya dibentuk oleh kaum wanita, yaitu 1) PKW (Perhimpunan Kaum Tani) dimana anggotanya termasuk dalam jemaat gereja Bala Keselamatan terdiri dari 50 orang, 2) Kelompok PKK yang terdiri dari tiga kelompok dimana 11 orang per kelompok, 3) Kelompok Tani Aster terdiri dari 42 anggota yang dibentuk 199811999. Sistem Pewarisan
Tanah merupakan salah satu sumber utama harta yang diturunkan (warisan). Seperti diketahui, bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan lahan berkaitan pula dengan sistem pewarisan dalam keluarga. Namun efek dari pewarisan tersebut mengakibatkan terpecahnya kepemilikan sumber daya dalam jumlah yang kecil. Tanah hasil pembagian tersebut ada yang mengganggap
sebagai sirnbol status sosial, tanah pusaka (heirloom land) narnun juga sebagai rnata dagangan (commodity). Pola pewarisan berkembang dengan baik pada beberapa suku. Untuk yang rnenerapkan sistern pewarisan ini biasanya tergantung dari jurnlah pernilikan harta yang dirniliki untuk diwariskan, bahkan terdapat suku yang seolah-olah mernaksakan diri menyediakan harta untuk diwariskan kepada anakanaknya kelak. Narnun terdapat juga suku yang tidak rnenerapkan pola ini dirnana anak harus berusaha sendiri untuk kehidupannya kelak. Pola pewarisan bagi beberapa suku, telah berkernbang sejak berada di desa lama. Sebagai contoh dari suku Bugis. Suku lainnya, tidak berkernbang di desa asal karena faktor sistern rnata pencaharian sebagai petani peladang berpindah. Kaili Taa
Tidak terlalu kuat dalam pola pewarisan. Dapat dirnaklumi karena secara norrnatif dan ernpiris pola ini tidak dikernbangkan di desa yang lama. Tidak kuatnya pola tersebut (karena hanya dijalankan oleh beberapa keluarga dan itupun hanya karena faktor rneniru dari suku lain) akhirnya berdarnpak pada tidak adanya penghargaan terhadap nilai tanah sebagai sesuatu yang sakral. Penjualan tanah menandai perilaku tersebut. Bila terdapat tanah yang akan diwariskan, dan urnurnnya berukuran kecil akibat kernatian rnendadak perniliknya (orang tua), tanah tidak akan dibagi tapi digilirkan dengan sistem rnusirn tanam ataupun per jumlah kali tanarnlpanen kepada anak-anak. Juga terdapat kasus, anak tertua (seorang perernpuan) rnenjadi ahli waris yang sah. Laki-laki dan perernpuan sama dalarn menerirna warisan. Bilapun ada yang berusaha rnengakurnulasi tanah, ha1 ini hanya tampak pada satu dua keluarga saja. Menjadi gejala ekslusif karena karakter ini terbentuk akibat perkawinan carnpuran dengan suku lain seperti Cina, Kulawi, ataupun Bugis.
Suku Kulawi Terkenal kuat dengan sistem pewarisan di kedua lokasi penelitian. Suku ini memprioritaskan bentuk warisan seperti tanah dalam bentuk kebun, sawah, ataupun pekarangan. Karakter ini sebenamya telah dikembangkan sejak di desa ala, namun banyak berlaku pada petani menetap. Sangat disayangkan, petani ini berada dalam jumlah yang kecil. Diutamakan terlebih dahulu dibagi pada anak yang telah menikah. Kemudian setelah kedua orang tua sudah tidak mampu mengolah karena usumya umur, harta mulai dibagikan sama rata baik kepada anak laki-laki maupun perempuan. Jika orang tua meninggal secara tiba-tiba, biasanya ada yang telah menyediakan surat warisan pembagian harta bagi anak-anaknya dan disaksikan oleh orang-orang tertentu yang dianggap bisa menjadi wakil nanti dalam pengaturan pembagian. Hubungan kekerabatan yang terjalin kuat dengan pemimpin desa, mempermudah kelompok sosial ini ke akses sumber daya alam. Mereka seakanakan mendapat kesempatan mengakurnulasi tanah untuk diwariskan. Prinsip mereka tidak mau melihat anak-anaknya tedantar dan menderita kelak. Hal ini akhimya berpengaruh pada etos kerja, pola menabung, dan ekspansi pemilikan lahan yang cukup tinggi. Selain itu intensifikasi lahan dilakukan untuk menambah hasil panen maksimal yang nantinya berguna untuk kebutuhan sehari-hari ataupun pengeluaran tak terduga maupun yang direncanakan. Suku Buais Suku ini di desa yang baru tidak terlalu kuat dalam pola pewarisan, walaupun di desa asal pola ini telah ada secara normatif dan secara empiris telah berjalan. Hal ini dapat dimaklumi, karena pusat perhatian pada mata pencaharian tidak hanya tergantung pada pertanian, namunjuga di luar pertanian (off-farming)
dalam ha1 ini pekerjaan berdagang. Lemahnya pola pewarisan juga sangat ditentukan dengan karakter mereka yang senang merantau. Di desa yang baru, jika terdapat harta yang akan diwariskan, biasanya berbentuk tanah, rumah dan kendaraan. Pembagian warisan tergantung dari banyaknya harta yang dimiliki. Jika memiliki banyak tanah maka bukan hanya anak-anak yang diberi, kakak-adik bahkan keponakan tak luput dari pembagian tersebut. Tapi khususnya terhadap anak, selain membagikan tanah juga mendirikan
rumah
ditambah modal usaha.
Bagi beberapa
keluarga
kesejahteraan anak dan keluarganya menjadi ha1 terpenting dan menjadi skala prioritas. Keluarga ini akan siap naik haji bila anak-anaknya telah mampu secara ekonomi. Namun juga terdapat keluarga yang sebaliknya. Bila terdapat keluarga yang tidak memiliki harta untuk diwariskan, biasanya akan melepas anak yang telah menikah tanpa memberikan apa-apa dan berharap anak-anak ini sendiri yang haws berusaha untuk hidup keluarganya. Beberapa keluarga yang baru dan sementara merangkak juga memiliki keinginan untuk mengakumulasi tanah dan menambah modal usaha yang hasilnya nanti untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Hal ini membuat etos kerja dan pola menabung sangat tinggi. Keluarga muda yang datang pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, dengan modal awal berupa "tangan sepuluh" (tanpa apa-apa) mulai menunjukkan kemajuan ekonomi. Sebagai pendatang, awal kedatangan dimulai dengan menggarap lahan milik penduduk "asli" yang telah lebih dahulu. Ataupun bila dari suku ini ada keluarga yang telah mapan karena telah lama memasuki desa ini, maka tak segan mereka dibantu dengan memberi bagian tanahnya atau memprioritaskan sesama suku menggarap atau menjadi tenaga kerja harian dilahan mereka. Pembagian warisan tergantung pengaturan masing-masing keluarga. Ada yang memprioritaskan pada anak laki-laki sebagai ahli waris utama dan
anak ini mendapat hak untuk mendistribusikan sisa harta warisan kepada kakak beradik baik perempuan maupun laki-laki. Terdapat juga yang memberi warisan sama rata kepada anak baik laki-laki maupun perempuan. Namun gejala yang sangat tampak bahwa pembagian warisan ini akan dibagi terlebih dahulu kepada anak-anak yang telah menikah. Bila terdapat dalam keluarga tersebut, istri mendapat warisan dari pihak orang tuanya, maka istri berhak memperoleh kembali harta warisan pemberian orang tuanya bila terjadi perceraian. Sebaliknya, jika suami memiliki harta warisan dari orang tuanya, maka jika terjadi perceraian harta warisan akan menjadi milik anak dan suami akan meninggalkan rumah tanpa membawa harta dalam bentuk apapun. lstri akan mendapat bagian dari harta yang didapat dimasa-masa perkawinan mereka.
Kesatuan Hidup Setempat Solidaritas
Tingkat solidaritas masyarakat di kedua desa ini saat ini cenderung memperlihatkan grafik penurunan. Penurunan ini terlihat dari aktifitas kerja bakti membangun sarana dan prasarana umum seperti perbaikanjalan dan saluran air diluar kegiatan membangun sarana peribadatan seperti mesjid dan gereja. Selain itu juga tampak pada kegiatan pemerintahan, seperti tidak hadir dalam undangan rapat desa untuk membahas program-program desa, kecamatan dan terkadang dari beberapa instansi pemerintah. Walaupun sebenamya mesjid dan gereja telah menjadi alat untuk menyampaikan keinginan pemerintah dengan diumumkannya setiap kegiatan pemerintahan dalam ibadah-ibadah.
Faktor
ekonomi dalam ha1 ini mulai mengejar surplus hasil pertanian dalam kerangka komersialisasi menjadi faktor berpengaruh menurunnya tingkat solidaritas tersebut.
Tingkat solidaritas yang tinggi hanya terlihat dari gerak masyarakat terhadap kegiatan yang lebih menyentuh uluran tangan, seperti kematian. Ini hanya berlaku pada kejadian didalam desa itu sendiri. Tidak peduli dari suku mana, kenal atau tidak, saudara ataupun tidak, di dusun lain dan jauh dari jangkauan tempat tinggal, semuanya tak menyurutkan keinginan turut memperlihatkan duka citanya. "Kemanisan hati" menjadi ungkapan memberi bantuan material secara spontan di kedua desa ini, walaupun sebenamya ha1 ini menjadi bentuk investasi in-material yang dipertukarkan (resiprositas). Untuk acara-acara pada pesta perkawinan, biasanya membatasi gerak dalam mengungkapkan istilah "kemanisan hati" ini. Hal ini disebabkan karena umumnya yang terlibat memberikan bantuan baik moril maupun materil hanya para keluarga dan kerabat dekat saja dengan catatan "yang diundang". Gejala ini telah dimaklumi seluruh anggota masyarakat. Biasanya yang memberikan bantuan berupa tenaga adalah para undangan yang diundang secara adat. Pola Pemukiman
Walaupun sebenarnya secara ikatan moral mereka saling berbaur dengan saling membantu pada ajang-ajang sosial tertentu, namun mereka memberikan nilai berbeda dalam pola pemukiman. Masing-masing suku menempati areal pemukiman secara berkelompok dikedua desa penelitian +.
tersebut. Peta pada Lampiran 11 dan 12 mungkin mampu memperlihatkan betapa ekslusifnya ha1 tersebut, Keeksklusifan ini ditunjang dengan sejarah migrasi dan keinginan berkelompok yang kuat. Pada kasus ini tidak berlaku apa yang dikategorikan dengan komunitas sosial. Secara struktural, mereka lebih terikat oleh ikatan geneologis yang kuat dalam suatu wilayah yang secara nyata berada dalam suatu batasan teritorial sebagai desa. Perasaan senasib karena berasal dari daerah yang sama, menjadi faktor utama munculnya pengelompokan pemukiman tersebut. Di sini interaksi
sosial di antara suku mereka sendiri menjadi semakin kental, karena jaringan sosial bersifat horisontal lebih banyak terbentuk di antara mereka sebagai kerabat dekat sekaligus tetangga.
Kelembagaan Masyarakat Di kedua lokasi penelitian, keberadaan kelembagaan masyarakat yang secara umum berlaku menunjukkan gejala yang sama baik dalam jenis maupun keaktifan. LKMDILMD yang sekarang mulai berganti dengan BPD tidak berjalan sebagaimana fungsi dan tugas yang telah dijabarkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, walaupun pengurus telah terbentuk. Begitu juga KUD, hanya terdapat di tingkat kecamatan. Kegiatan dalam PKK (Dharma Wanita) tingkat desa tidak berjalan lancar seperti dasa wisma, arisan, simpan pinjam, kecuali Posyandu. Namun keaktifan dalam kegiatan Posyandu tidak dilakukan oleh anggota PKK tapi dilakukan secara terjadwal setiap bulannya oleh penanggung jawab Polindes yaitu seorang bidan desa yang ditempatkan ditiap desa penelitian yang ada. Sedangkan Polindes sendiri menunjukkan keaktifan dalam penyelenggaran kesehatan bagi masyarakat. Kegiatan Karang Taruna hanya berjalan di Desa Berdikari sejak tahun 1980-an. Karang Taruna "Hirarki" ini tampak aktif dalam kegiatan oleh raga terutama cabang sepak bola yang sering melakukan pertandingan ke luar desa. Lembaga kemasyarakatan lainnya seperti Kelompok Remaja Islam belum terbentuk. Lembaga kegotong royongan seperti membuat rumah, juga di bidang pertanian (bapalus), membangun dan memperbaiki fasilitas umum masih berlangsung di kedua lokasi penelitian yang ada. Sementara kelompok tani hanya bergiat sebatas pembentukan anggota tanpa realisasi lapangan.
Kelompok P3A belum terbentuk, sehingga tidak jarang terjadi konflik walaupun hanya sebatas bersitegang bagi para pengguna air untuk persawahan. Kelembagaan agraria pada kedua lokasi penelitian banyak yang telah berlangsung dengan baik sejak beberapa tahun yang silam. Perubahan terjadi hanya dari segi besarnya upah. Kelembagaan agraria yang telah lama diakui dan telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama terutama dalam penguasaan
.
dan pengusahaan sumber agraria, serta hubungan kerja dalam pertanian. Kelembagaan dalam penguasaan sumber agraria, adalah bapajak (sewamenyewa), sakap. Hubungan kerja pertanian sangat menonjol pada sistem bapetak (ceblokan) dan bapalus (gotong royong).
PKK
LKMD / BPD
Aktif
Tidak Aktif/ Belum
Polides
O
Posyandu
n
0
Kelornpok ~ e m a i aIslam
Gambar 2.
Kelernbagaan avara
P3A
Kelompok Tani
Kebemdaan kelembagaan masyarakat
Rangkuman Letak geografis lokasi penelitian yang dihuni oleh berbagai macam suku tersebut berada di daerah margin hutan turut mempangaruhi pola kehidupan mereka. Mereka pada kenyataannya sangat bergantung pada kehidupan pertanian yang telah disediakan oleh lingkungan terdekat mereka. Hubungan
saling ketergantungan (interdependency) terhadap hutan terlihat cukup tinggi. Dari sejarah migrasi yang ada, kedua desa penelitian tersebut pada saat yang hampir bersamaan didiami awal tahun 1960-an oleh suku-suku yang berbeda. Sumber daya alam ternyata memiliki keterbatasan dalam penyediaan ruang. Seiring dengan pertambahan penduduk cukup tinggi yang lebih diakibatkan arus migrasi masuk, menyebabkan tanah-tanah di daerah datar mulai dipenuhi pemukiman penduduk. Ekspansi akhirnya mulai dilakukan ke arah hutan yang tidak bisa dimiliki secara pribadi oleh rnasyarakat. Pembukaan lahan pertanian, menjadi prioritas beberapa suku di areal hutan tersebut. Persaingan sumber agraria mulai terjadi. Kebutuhan akan dana seremonial dan pola pewarisan dari suku tertentu menjadi alasan utama terjadinya penjualan tanah dan ekspansi ke arah hutan (lihat kebiasaan seremonial mereka sejak di desa awal pada Bab selanjutnya). Ketimpangan terhadap sumber agraria mulai terjadi akibat terdapat dua karakter antagonis, menjual tanah yang dilakukan suku Kaili Taa dan Kulawi serta membeli yang dilakukan suku Bugis. Suku Kaili Taa dan Kulawi memiliki karakter boros dari segi ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan budaya. Pada kenyataannya, suku-suku tersebut melakukan suatu investasi, yaitu investasi inmaterial dari kelompok suku penjual dan investasi material yang dilakukan suku pembeli. Suku Bugis memiliki kecenderungan mengumpulkan harta dalam bentuk tanah karena memiliki tujuan hidup yang pasti selain terdapat gejala perkawinan poligami dimana pasangan dalam perkawinan lebih dari satu istri (poligini) harus diberikan fasilitas tanah dan rumah. Mereka memiliki kecenderungan membeli areal di daerah datar dan tidak merambah hutan karena ketakutan suatu saat tanah di areal hutan tersebut akan dicabut kepemilikannya oleh negara sebagai 'penguasa tunggal hutan'. Sebagai pedagang dan memiliki jiwa merantau, suku
Bugis lebih berpikiran rasional dan penuh perhitungan dalam tindakan ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini telah terstruktur sejak berada di daerah asal. Tekanan demografis dengan tingginya man and land ratio pada areal datar dan faktor ekonomi berkaitan dengan pemenuhan pangan dan komersialisasi pertanian, menjadi faktor pendorong utama terjadinya perambahan hutan oleh sebagian besar suku Kaili Taa dan Kulawi. Faktor berpengaruh adalah faktor sosial dan struktural. Faktor ini terdapat pada kegiatan berpesta untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sosial yang telah ada sejak dahulu, dan ini muncul setelah terjadi penawaran terhadap tanah akibat tekanan penduduk oleh arus migrasi masuk.
Secara struktural kegiatan pesta telah terbentuk dengan melihat
kebiasaan mereka berpesta sejak masih berada di lokasi lama (lihat penjelasan pada Bab selanjutnya dalam Ekologi Budaya). Ego-etnis mulai terlihat dengan terjadi pengelompokan ekslusif tiap kelompok sosial dalam pola pemukiman. Hal demikian juga terlihat dari tidak terjadinya perbauran adat istiadat (custom diffution) ataupun setidaknya penciptaan adat istiadat baru untuk mengakomodir dan menjadikan adat baru sebagai alat pemersatu budaya akibat keheterogenan suku. Masing-masing menjalankan adat istiadat dari desa lama. Namun demikian, masih terdapat faktor yang mempersatukan mereka yaitu pada kegiatan sosial di saat terdapat warga dari suku manapun dalam desa yang terkena musibah. Homogentas sosial berlangsung pada tahap ini dengan munculnya perasaan senasib walaupun sebenamya terselip unsur resiprositas.