Abi Ardianda berhasil menyuguhkan seni menulis cerpen yang saya jamin membuat Anda bolak-balik membaca sepenggal cerita dengan perasaan yang bercampur-aduk: kagum, merinding, termenung, dan tersentak kaget. Pada awalnya, kita akan digiring ke dalam permainan kalimat-kalimat yang membuat kita penasaran dan berdebar-debar, kemudian kita akan selalu terpana setengah mati atas apa yang sebenarnya diceritakan. Aryojati Ardipandanto Staf Ahli Bidang Politik Setjen DPR RI, penulis AKTIFKAN RASA SYUKUR, PT Elex Media Komputindo, 2011, pengusaha, seniman Wow, aku menikmati diksi yang mengalir dalam setiap cerita. Menyukai tutur penulis dalam cerpen berjudul Merah, sungguh jauh dari kesan porno. Gaya bahasanya simple namun terkadang meninggalkan senyum di akhir kisah. Nina Deka Manager Nulisbuku.com Ketika seorang pria merasuki tubuh wanita dan kemudian bercerita, lahirlah kumpulan karya lebih dari biasa. Butuh kemampuan khusus mengartikan setiap kata. Tantang diri kalian memahami isi kepala seorang Abi Ardianda dengan membaca Selaput Dara Berbicara. Harninda Syahfitri Admin, back office Nulisbuku.com
Cerita pendek Abi Ardianda menurut pembacaan saya amat menjanjikan. Ia menulis dengan sangat 'mapan' baik dalam berbahasa, dan juga dalam menawarkan cerita-cerita yang jauh dari trend pop yang latah dan klise. Inilah mungkin yang diperlu tumbuhkembangkan; fiksi-fiksi dengan penulis remaja yang mencerdaskan, menggetarkan dan jauh dari kecengengan. Membaca cerpen Abi, bagai meneguk segelas air putih kala dahaga, ia benarbenar melepaskan 'kehausan' kita pada cerita-cerita yang mendebarkan, dan menggetarkan. Dodi Prananda Pemenang I Lomba Menulis Cerpen Remaja Kategori B PT Rohto Laboratories Indonesia 2010, Penulis buku 'Musim Mengenang Ibu' Setiap kali membaca tulisan abi, saya selalu melongo. Melongo karena 2 hal. Pertama, rangkaian diksi yang tak terduga. Kok bisa ngerangkai kalimat itu, dimana dia nemuin kalimat-kalimat cantik tapi lugas itu? Hahahaha. Kedua, adalah ending yang juga tak terduga. Awalnya mungkin kita tidak akan mengerti jalan ceritanya, tapi begitu sampai di akhir cerita kita akan sama-sama bergumam "ooooohh...gitu toh ceritanya". Keep up the good work ! Naluri Bella Wati Producer OZ Radio, jurnalis Ceritanya menarik, alurnya asik,mengalir,dan pemilihan katanya juga puitis. Bikin penasaran dan pengen tau apa sih sebenarnya yang terjadi di cerpen 2
ini. Bacaan ringan yang enak buat nemenin minum teh sore hari. Valleria Verawati Penulis buku Rahasia, Nggak Usah Ja’im, Deh, dan Bukan Cupid, Gramedia Pustaka Utama Message flagged
Saya terpesona dan terhanyut oleh cara Abi bertutur. Cerita pendek ini tidak hanya membuat pembaca emosi, tetapi juga merasakan empati yang dalam kepada setiap tokohnya. Andhika Rahmadian Purnama Aktivis di klub sastra Rumah Pena, Tangerang Amazing! Abi melibatkan pembaca langsung ke dalam ceritanya. Unik dan menariknya, kita tak pernah dapat meyangka apa yang akan terjadi selanjutnya pada si tokoh. Elegan. Tubagus Arif Rachman Fauzy Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia Selaput Dara Berbicara akan membawamu ke dunia yang berbeda. Kita akan ikut merasakan perjuangan dia yang belum nampak namun berhati mulia. Rosi A Libella Permana
3
Mahasiswi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia Abi tau betul gimana bermain dengan kata-kata. Tulisannya dalam buku ini, suka bikin surprise. Lincah, cerdik, kadang masih terasa lugas, itu yang saya tangkap dalam bukunya. Dia pandai memancing interpretasi orang yg berbeda-beda, bikin pembaca penasaran dengan isi halaman berikutnya, alurnya enak, meski sulit ketebak ceritanya. Stephanie Aryanti Ex-editor of Aneka Yess, Keren Beken dan penulis lepas Perempuan punya cerita yang nggak habis dibahas. Good job, my lovely Abi. Vany Mitahapsari Ardan Radio Training Worker Congratulations! I've enjoy every words u writing down. Its was brilliant work. Keep it up! Ayoy, 6ixthsense Malaysian artist, musician, composer, lyricist & producer
4
Cerita di balik SELAPUT DARA BERBICARA Selaput Dara Berbicara lahir dari hasil penyerbukan realitas dengan hasil cengengesan bareng temen-temen saya di kedai kopi. Ketika kami dihadapkan pada kebuntuan yang berbau alasan feminis hingga akhirnya kami hanya mampu menertawakan hidup, saat itulah sesungguhnya kami sedang bersedih. Saya sering heran, apa yang membuat perempuan-perempuan bersuami masih rajin masturbasi dan kenapa beberapa golongan tertentu mengesahkan bahwa pencetusan kata cerai hanya boleh dilakukan oleh lelaki. Itukah keadilan? Well, mungkin fakta itu cuma sedikit bagian dari sekian banyak suara perempuan yang tidak terekspos. Perempuan cenderung lebih nyaman mendiskusikan hal-hal intim dengan sesama perempuan lagi, yang mungkin dirasa akan lebih memahami masalah mereka. Buku inilah jembatan untuk menghubungkan kita dengan laju pikiran mereka. Kisah di dalamnya sedikit banyak menangkap, kemudian mengungkap suara-suara perempuan yang mereka samarkan waktu cekikikan bareng perempuan lainnya.
5
Buku ini merupakan bundelan dua puluh suara perempuan. Dilema remaja antara kewajiban mempertahankan keperawanan serta dorongan untuk pembuktian cinta kekasihnya, kesetiaan seorang penderita kanker rahim pada suaminya, curahan hati penari striptease di belahan Eropa bagian barat hingga catatan usang seorang perempuan dari era tahun 1940 terangkum di sini. ...kalau kalian menganggap kami hanya berkemampuan mengeluh dan mendesah, kalian salah...
6
1 Pulang Tidak biasanya kau terlambat malam ini, Sayang. Salahku, seharusnya dari awal aku sudah bisa mengira. Nyaris tak ada yang berbeda dengan malammalam lainnya. Sup canneli dengan irisan daging babi yang tertuang dalam mangkuk berdiameter empat belas senti itu menamainya menu pembuka. Biasanya kau hanya akan melahap setengah, kau bilang dada ayam berbalurkan sambal balado itu membuat seleramu tergugah. Itu juga yang kau katakan pada bebek goreng yang kupotong dua. Selalu kau hanya menghabiskan sepotong, kau tak mau kebingungan di mana tempat untuk puding stroberi dengan kucuran sirup itu akan kau simpan sebagai makanan penutup. Sungguh, bau mereka membuat gemuruh peritaltik dalam perutku, menimbulkan bising usus lima sampai dua puluh kali dalam satu menit. Tapi aku mencoba untuk bertahan. Tetap diam di kursi sebelah kursimu yang
7
berada di mulut meja. Tak'kan kubiarkan bagian cekung maupun cembung sendok makan itu basah sebelum kau yang memulainya, Sayang. Tapi... kenapa kali ini kau terlambat lama sekali? Salahku, seharusnya dari awal aku sudah bisa mengira. Kucoba tuk alihkan pikiran agar liur tak sampai mengucur. Sambil menopang dagu, kubayangkan dirimu pulang dengan tas kerja yang berwarna cokelat. Aku tahu, kau akan segera melepasnya di kursi tamu, sambil mendorong sepatu pentofelmu ke kolongnya dengan sebelah ujung jempolmu. Kau atur wajahmu yang lentur, agar
aku
terbentur
senyummu
hingga
kulewatkan
perbuatan jempolmu itu. Tapi ketahuilah, rindu slalu memaafkanmu, Sayang. Lekuk tubuh setelah jasmu luruh akan langsung aku peluk. Bau keringat berkutat dengan sisa parfummu yang melekat. Bagiku, itulah aroma yang membuatku
kembali
bertenaga.
Belaian
tangan
besarmulah yang membuatku kembali bermakna. Selalu kunanti saat kau merangkul pinggangku dan menggesekan hidungmu di. hidungku. Waktu kau bisikkan rayuan, tahukah kau deru napasmu kuhirup dalam-dalam? Kumis tipismu kadang membuat pipiku 8
geli, tapi tak apa selama kau berkenan membuat jarak dari ruang tamu sampai ke meja makan menjadi seujung kuku saja, Sayang. Setelah kau duduk di tempatmu, aku akan melipat tangan dan menyaksikanmu antusias bercerita. Kadang kau
tersedak
hanya
gara-gara
menertawai
bosmu
yang habis kau kerjai. Bundar matamu kian berbinar kala kau berujar tentang segala hal yang kedengarannya seperti kabar baik. Aku
cukup
senang
dengan
hanya
melihat
pmandangan itu, Sayang. Karena bagiku, bagian terindah dari semuanya ialah ketika kau menelan makanan yang hampir seharian kumasak sendirian. Jakunmu yang turun naik serta senyum kepuasan yang menyertainya telah memberiku nilai sebagai perempuan. Sekarang kau sudah sampai di mana, Sayang? Semua makanan sudah matang, mengapa kau tak kunjung datang? Salahku, seharusnya dari awal aku sudah bisa mengira. Kudengar halilintar berteriak gusar. Miliaran jarum lunak ditaburnya kemudian. Menusuk segala, termasuk ranting yang berusaha patuh membungkuk. Namun mereka pecah dan menjadikan tanah basah. Aku 9
bangkit dan berdiri, menyingkap tirai yang menyekap jendela seperti perisai. Goresan petir perak ibarat langit sedang menyeringai. Tiupan angin yang menerobos masuk membuatku seperti berada dalam lorong-lorong serinai. Cepat-cepat menyentuh
bagian
kuhampiri dinding
meja
mangkuk
makan sup
dan
dengan
punggung tangan. Gawat, benar dugaanku, supnya mulai dingin. Kau tak'kan menyukainya, Sayang. Kutahu meski tak pernah kau berterus terang. Haruskah aku menaruhnya sekian puluh detik dalam microwave? Tapi bagaimana bila ketika itu kau tiba-tiba datang? Aku juga harus mempertimbangkan akankah kadar garam meningkat bila sup ini kembali kuhangatkan. Bagaimana, ini? Salahku, seharusnya dari awal aku sudah bisa mengira. Aku mondar mandir ke sana ke mari. Ketukan sandalku membuat bunyi di atas lantai kayu jati. Bila jempolku diciptakan Tuhan dari biskuit bayi, sudah habis kugigiti. Father clock yang berdenting sebelas kali membuatku berhenti. Seratus delapan puluh menit menimbang…
10