eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (1) 185-194 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
KOMPETISI MILITER DI ASIA TENGGARA MENJELANG ASEAN SECURITY COMMUNITY (ASC) 2015 Aisya Hilmi1 Nim. 1002045174 Abstract ASEAN establish ASC (ASEAN security community) that aims to reduce conflicts and strengthen regional cooperation delivered. However, in the region of Southeast Asia happened several threats such as terrorism, human trafficking, and military competition. in the era of globalization began to pass sophisticated military competition that resulted in a security dilemma in the region of Southeast Asia. The competition is intended to maintain the military capability of the territorial integrity and national security. In addition to creating a safe area with a prevention strategy, which requires a great military power. But it makes other countries look to be a security threat to the country for regional security, then further encourage countries to further increase its military strength in terms of quantity and quality which can lead to an arms race in the region and will become a new regional threat. Keywords: ASEAN, security dilemma, military competition. Pendahuluan Kawasan Asia Tengggara secara geografis berada dalam kawasan yang sangat strategis. Karena Asia Tenggara menduduki “posisi silang” di antara dua benua dan dua samudera yang menjadikan titik pusat perhubungan dan lalu lintas dari barat ke timur dan utara ke selatan. Di sebelah barat, Indonesia berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan Samudera Pasifik, sebelah utara berbatasan dengan Benua Asia dan sebelah selatan berbatasan dengan Benua Australia. Ditambah dengan kekayaan alamnya yang sangat dibutuhkan oleh seluruh dunia membuat Asia Tenggara menjadikan sangat penting secara ekonomi, politik dan militer. Sejak terbentuknya komunitas ASEAN ini bermaksud untuk meningkatkan kerjasama antar negara dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi serta lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbasis pada 3 pilar, yaitu: komunitas keamanan ASEAN (ASEAN security community), komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN economic community), komunitas sosial budaya ASEAN (ASEAN socio-cultural community). Diantara ketiga pilar tersebut penelitian ini lebih fokuskan pada komunitas keamanan ASEAN (ASEAN security community).
1
Mahasiswa Program S1 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:185-194
Stabilitas keamanan regional merupakan suatu kondisi di mana sebuah kawasan bebas dari ancaman dan bahaya, baik dari dalam atau luar kawasan. Keamanan kawasan sangat penting sebagai elemen pembentuk keamanan internasional maupun konflik internasional, hal ini karena kawasan tersebut saling berhubungan dengan negaranegara atau aktor lain di luar kawasan sehingga interaksi tersebut dapat menimbulkan potensi konflik. Oleh sebab itu, keamanan regional merupakan hal pertama yang perlu diupayakan demi terciptanya stabilitas internasional. Dalam konteks stabilitas keamanan regional, sejumlah isu keamanan terdapat dalam negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), baik isu keamanan tradisional (military security) dan isu keamanan non tradisional (non-military security). Isu keamanan tradisional mencakup sengketa wilayah perbatasan, perlombaan persenjataan, dan proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, Isu keamanan non tradisional seperti terorisme, penegakan HAM & demokrasi, narkotika, piracy, human trafficking, money laundering, illegal logging, hingga bencana alam. Membangun kepercayaan dan meningkatkan kerjasama antarnegara dalam kawasan dalam mengatasi masalah-masalah ini terus dilaksanakan. Namun permasalahan ini menyebabkan setiap negara berupaya untuk melakukan peningkatan kekuatan militer yang dipandangnya dapat digunakan untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Peningkatan senjata-senjata tersebut digunakan untuk kemampuan suatu negara yang menentukan arah perlombaan senjata dan sampai seberapa jauh peningkatan kemampuan pertahanan suatu negara mampu meningkatkan ketahanan nasionalnya. Peningkatan persenjataan bersifat menyerang atau peningkatan kekuatan militer akan menjadi masalah jika disalah persepsikan sebagai bentuk ancaman bagi keamanan di kawasan. Terjadinya peningkatan persenjataan negara-negara anggota ASEAN dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan mempertemukannya dengan pemasok senjata yang melihat kawasan Asia Tenggara sebagai pasar untuk menjual produkproduk mereka. Peningkatan anggaran untuk militer masing-masing negara anggota ASEAN jika tetap dalam kerangka kerjasama regional, tentu akan memiliki pengaruh yang positif bagi pertahanan dan keamanan kawasan. Namun jika masing-masing negara anggota ASEAN meningkatkan militer secara sendiri-sendiri tanpa melakukan konsultasi di antara sesama negara anggota, hal tersebut akan membuat negara lain merasa terancam sehingga ikut melakukan peningkatan anggaran militernya, akan memicu terjadinya perlombaan senjata dan terjadinya security dilemma. Hal ini tentu akan mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional pada masa-masa mendatang. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Keamanan Nasional Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional yang tak dapat dipisahkan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan dengan upaya mempertahankan keamanan nasional. Makna keamanan (security) bukan sekedar kondisi “aman tenteram” tetapi keselamatan atau kelangsungan hidup bangsa dan negara.
186
Kompetisi Militer di Asia Tenggara Menjelang ASC 2015 (Aisya Hilmi)
Barry Buzan mendefinisikan lima sektor utama yang dicakup dalam pengertian keamanan, yaitu The Military Security, The Political Security, The Economic Security, Societal Security dan Enviromental Security. Masing-masing sektor tidak berdiri sendiri melainkan memiliki ikatan satu sama lain. Keamanan harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap warga baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan menempatkan kewajiban negara untuk mengatur dan mengelolanya. Bagaimanapun juga kebijakan keamanan harus tetap dibuat oleh sebuah negara di mana kebijakan keamanan dapat digolongkan sebagai kesadaran atau rasa aman dalam tingkat individu dan sistem. Keamanan Regional Complex Regional Security Complex menurut Buzzan adalah suatu teori keamanan regional yang memungkinkan suatu negara menganalisa dan menjelaskan perkembangan negara-negara yang berada di satu kawasan.Regional Security Complex muncul sebagai suatu konsep baru untuk struktur keamanan internasional sebagai dimensi yang menghubungkan pola kehidupan antar negara di kehidupan internasional pada saat sebelum perang dingin, saat terjadi perang dingin dan pasca perang dingin.Regional Security Complex memberikan pandangan yang berbeda serta beragam namun memiliki pengaruh yang cukup teoritis. Regional Security Complex ada untuk mendukung pemetaan dalam menganalisis keamanan dalam tingkat kawasan sebab tingkat kawasan adalah tempat bertemunya interaksi keamanan secara global maupun nasional dan tempat dimana aktifitas negara lebih banyak terjadi. Regional Security Complex ditentukan oleh dua pola hubungan yaitu amity dan enmity (permusuhan dan persahabatan). Pola ini terjadi akibat adanya interaksi dari struktur anarki dan menjadi bagian dari balance of power, namun di sisi lain bisa terjadi akibat dari tekanan geografis. Amity dan enmity ada dalam bentuk subglobal, maksudnya adalah dilihat dari keadaan geografisnya, sistem keamanan regional menimbulkan ketergantungan satu sama lain. Biasanya hubungan amity dan enmity ada karena munculnya ketakutan dari apa yang dilakukan oleh negara tetangganya serta kuatnya interaksi keamanan di sektor militer, politik, sosial dan lingkungan regional itu sendiri. Perlombaan Senjata Perlombaan senjata adalah usaha kompetitif terus menerus (secara militer) yang dilakukan oleh dua atau lebih negara yang masing-masing memiliki kapabilitas untuk membuat senjata lebih banyak dan lebih kuat daripada yang lain. Menurut Buzan, perlombaan senjata menjelaskan bahwa adanya tekanan-tekanan yang memaksa negara untuk mempunyai kekuatan persenjataan dan merubah secara kuantitas dan kualitas yang mereka inginkan. Menurut Colin Gray mencatat empat kondisi dasar untuk menunjukkan adanya perlombaan senjata: (1) Harus ada dua atau lebih negara yang bertikai; (2) Negara yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata dengan perhatian terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau sebagai penangkal terhadap peserta lomba senjata; (3) Mereka harus berkompetisi
187
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:185-194
dalam kuantitas (SDM, senjata) dan/atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin); (4) Harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas dan/atau peningkatan dalam kualitas. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplanatif. Jenis data adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data adalah studi literatur. Teknik analisa data adalah teknik kualitatif. Hasil Penelitian Kompetisi militer di Asia Tenggara menjelang ASEAN security community (ASC) 2015 dapat dijelaskan dengan konsep keamanan nasional, konsep keamanan regionaldan konsep perlombaan senjata. Berdasarkan konsep keamanan nasional maka kebijakan pemerintah setiap negara anggota ASEAN dalam menangani berbagai macam masalah mengenai keamanan nasional masing-masing. Konsep keamanan regionalmenjelaskan tentang tindakan pemerintah menciptakan comprehensive security agar berjalan koperatif bertujuan membangun kerjasama yang semakin erat di antar kawasan ASEAN. Konsep perlombaan senjata akan menjelaskan apakah peningkatan kapabilitas militer yang dilakukan negara-negara anggota ASEAN dapat dikatakan sebagai perlombaan senjata atau tidak. Dan jika kawasan ASEAN bersepakat untuk saling maintenance senjata dan modernization senjata saja, agar tidak terjadi penumpukan senjata yang mengakibatkan konflik atau perang terbuka di kawasan. Persaingan Untuk mengetahui dinamika persenjataan negara-negara Asia Tenggara dapat dilihat melalui tiga indikator utama terdiri atas : 1. Pengeluaran anggaran belanja militer/pertahanan, 2. Pengembangan kekuatan personel angkatan bersenjata, 3. Dinamika kepemilikan/akuisisi dan penggelaran senjata. 1. Persaingan anggaran belanja militer/pertahanan Anggaran militer merupakan ekpresi paling gamblang dari upaya satu bangsa untuk membayar keamanan. Belanja militer adalah komitmen atau organisasi sumber dana untuk tujuan-tujuan mengamankan dan meningkatkan keamanan negara dari ancaman militer, apakah fisik, internal maupun internal. Dalam menelaah kekuatan angkatan bersenjata yang akan dilihat bukan sematamata angkatan bersenjata aktif, tetpi juga komponen-komponen pendukung kekuatan angkatan bersenjata (pasukan cadangan dan pasukan para- militer), komposisi/perimbangan kekuatan angkatan bersenjata per angkatan, distribusi dan proporsinya dengan jumlah penduduk dan luas wilayah. 2. Persaingan akusisi persenjataan 1. Jumlah Personel Militer aktif Jika dicermati, dimensi postur pertahanan, kekuatan dan kemampuan militer masing-masing negara di Asia Tenggara, khususnya dari aspek jumlah personel militer aktif Angkatan darat, angkatan laut, dan angkutan udara, terlihat sangat bervariasi. Dalam tabel 4.2 peneliti mebandingkan jumlah personel militer aktif masing-masing negara di Asia Tenggara.
188
Kompetisi Militer di Asia Tenggara Menjelang ASC 2015 (Aisya Hilmi)
Vietnam merupakan negara dengan jumlah personel militer aktif terbanyak di kawasan Asia Tenggara yaitu 455.000 personel, menyusul Myanmar dengan 406 personel. Sementara selisih jumlah personel militer aktif antara Thailand dan Indonesia terlihat relatif tipis. Thailand kini memliki jumlah personel militer aktif sebanyak 305.860 dan Indonesia sebesar 302.000 personel. Adapun Brunei Darussalam adalah negara di Asia Tenggara yang paling minim jumlah personel aktifnya yaitu di angka 7.000. 2. Angkatan Darat Selain jumlah personel militer aktif, variasi kekuatan dan kemampuan militer juga dimiliki oleh angkatan darat. Dari tabel 4.3 berikut ini memperlihatkan jumlah kekuatan militer yang dimiliki oleh angkatan darat masing-masing negara di Asia Tenggara. Terlihat bahwa Vietnam adalah negara dengan jumlah persenjataan AVC terbanyak, yakni 1.780 unit, disusul Singapura sebesar 1.574. Dari tabel di atas Singapura tampak sebagai negara yang memiliki persenjataan di hampir semua variasi. Indonesia bahkan berada di bawah Malaysia, Filipina dan Thailand. Khusus dalam hal artileri, kemampuan militer TNI AD masih di bawah rata-rata Vietnam (3.040) dan Thailand (2.473). 3. Angkatan Laut Kekuatan militer juga bisa dilihat dari kekuatan Angkatan Laut. Hanya empat negara di Asia Tenggara yang memiliki kapal selam. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam terlihat berimbang karena masing-masing mempunyai dua unit. Sementara, Singapura berada di urutan teratas dalm jumlah kapal selam yaitu sebanyak empat unit. Indonesia memiliki tiga puluh unit, menyusul Thailand dengan dua puluh unit, kemudian Malaysia dan Singapura berimbang di angkat dua belas unit. Thailand unggul dalam jumlah patrol and coastal combatants, yaitu 90 unit, disusul oleh Filipina (62 unit), Myanmar (50 unit) dan Indonesia (41 unit). Indonesia pun harus mengakui Malaysia dalam hal jumlah peralatan amfibi terbanyak di Asia Tenggara yaitu 115 unit. 4. Angkatan Udara Dalam hal jumlah persenjataan udara, Vietnam adalah yang terbanyak 219 unit, disusul oleh Thailand 165 unit, Myanmar 125 unit dan Singapura. Sementara, Indonesia 96 unit berada sedikit di atas Malaysia 125 unit berada sedikit di atas Malaysia yang memiliki 74 unit pesawat tempur. Akan tetapi, Filipina unggul dalam hal jumah helikopter 106 unit, menyusul kemudian adalah Vietnam 87 unit, dan Myanmar 66 unit. Indonesia 38 unit setara dengan Malaysia 37 unit, tetapi berada di bawah jumlah kekuatan helikopter Singapura 64 unit dan Thailand 47 unit. Peringkat yang mengalami peningkatan persenjataan di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, Kamboja yang mengalami peningkatan yang signifikan. Sedangkan negara seperti Vietnam, Philipina, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Laos tidak mengalami peningkatan yang terlalu signifikan.
189
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:185-194
Untuk mengetahui apakah benar yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN merupakan perlombaan senjata dapat ditinjau melalui empat kondisi dasar oleh Colin Gray yang menunjukkan adanya perlombaan senjata. Pertama, harus ada dua atau lebih negara yang bertikai. Dalam hal ini terdapat beberapa negara anggota yang terlibat dalam konflik, beberapa di antara konflik Thailand-Kamboja atas kuil Preah Vihear, Thailand-Laos mengenai perbatasan wilayah, MalaysiaFilipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia-Singapura tentang kepemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca), Indonesia-Malaysia tentang Sipadan dan Ligitan serta perbatasan maritim di Ambalat.Walaupun sebagian merupakan konflik historis dan saat ini masing-masing negara menjalani masa damai. Negara anggota secara terbuka tidak berlawanan satu sama lain, bahkan saling bekerjasama dalam ASEAN. Kedua, negara yang terlibat perlombaan senjata harus menyusun kekuatan bersenjata dengan perhatian terhadap efektifitas angkatan bersenjata dalam menghadapi, bertempur atau sebagai penangkal terhadap peserta lomba senjata. Dalam konteks ini negara-negara anggota ASEAN memiliki fokus terhadap sistem pertahanan (defense) seperti pesawat pengintai dan pesawat tanpa awak untuk menjaga keamanan udara, kapal patroli yang dilengkapi dengan senjata ringan dan sistem radar. Hal tersebut menjadi sangat penting mengingat kondisi geografis negara-negara ASEAN yang pada umumnya memiliki wilayah laut. Ketiga, mereka harus berkompetisi dalam kuantitas (SDM, senjata) atau kualitas (SDM, senjata, organisasi, doktrin). Dalam hal ini masing-masing negara jelas terlihat meningkatkan kuantitas dan kualitas baik dalam SDM (jumlah personil) dan persenjataan. Peningkatan kuantitas jelas dapat dilihat seiring berjalannya waktu. Namun peningkatan kuantitas dan kualitas militer yang terjadi tidak mengandung adanya kompetisi di antara negara. Peningkatan tersebut ditujukan untuk keperluan menjaga keamanan baik itu keamanan ekonomi, keamanan lingkungan dan keamanan masyarakat. Keempat, harus ada peningkatan cepat dalam kuantitas danpeningkatan dalam kualitas. Hanya beberapa negara yang memenuhi kondisi tersebut. Di antaranya Indonesia, Thailand dan Vietnam. Berdasarkan empat kondisi di atas, peningkatan kapabilitas militer yang dilakukan oleh negara-negara angota ASEAN dapat dikatakan sebagai perlombaan senjata. Perlombaan senjata tentu memiliki tujuan politik (peningkatan persenjataan disesuaikan untuk menyeimbangkan atau menandingi kekuatan negara lain). Namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan belanja militer yang cepat oleh dua atau lebih negara bertetangga dilakukan untuk persaingan dalam waktu singkat untuk memperbaiki atau mempertahankan kekuatan relatif dan pengaruhnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah kompetisi militer di antara negara anggota ASEAN tersebut sebelumnya dikonsultasikan di dalam ARF. Konsultasi tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan yang dapat mengganggu stabilitas hubungan antar negara.
190
Kompetisi Militer di Asia Tenggara Menjelang ASC 2015 (Aisya Hilmi)
Menurut teori dinamika persenjataan dari Barry Buzan dan Eric Herring, interaksi akan terjadi jika suatu negara meningkatkan kemampuan pertahanan dan persenjataannya. Menurut Buzan, dinamika berupa pembangunan persenjataan juga disebut sebagai rangsangan kepada suatu negara, bahwa persaingaan militer antar negara di mana usaha meningkatkan kemampuan pertahanan salah satu pihak akan menimbulkan ancaman baru bagi pihak lain. Buzan memaparkan juga bahwa peningkatan kemampuan sistem persenjataan suatu negara tidak selamanya berlangsung dalam satu proses kompetisi yang ketat dan tidak selalu dimaksudkan untuk mencapi kemenangan. Tetapi, misalnya bisa saja ditujukan menjadi simbol superioritas suatu negara. Buzan menjelaskan bahwa dinamika persenjataan dapat dijelaskan melalui tiga model: The action-reaction model, domestic structure model dan technological imperative model. Dari ketiga model menurut Barry Buzan penulis fokus menganalisis dengan menggunakan the action reaction model dengan penjelasan sebagai berikut: Model aksi reaksi dipahami sebagai tindakan suatu negara yang meningkatkan kekuatan militernya dan meningkatkan level ancaman sehingga negara lain melihatnya sebagai ancaman dan bereaksi serupa. Selanjutnya hal ini akan menciptakan suatu kondisi dilema keamanan pada suatu negara, dan pada akhirnya akan meningkatkan perlombaan senjata di kawasan.Model aksi reaksi dalam kawasan Asia Tenggara dapat dilihat pada beberapa fenomena. Ketika Indonesia, Singapura dan Thailand dilengkapi dengan pesawat tempur F-16, Malaysia melengkapi armada angkatan udaranya dengan multi-role Tornado, F/A18s, MIG 29 jetfighters, dan SU-30 bomber fighter. Ketika Singapura memiliki Scorpene Submarine, hal ini menjadi dorongan bagi Malaysia untuk melengkapi armada angkatan lautnya dengan kapabilitas yang sama yaitu memperoleh French-made Scorpene Submarine. Tahun 2011 Myanmar memperoleh MIG 29 jetfighters, dan hal ini merupakan perkembangan yang mengejutkan, pesawat tempur jenis ini digunakan untuk menangkal pesawat tempur F-16 milik Thailand. Didalam model ini, Model aksi reaksi ini kemudian lebih mengarah kepada arms race antar negara besar. Tujuan dari model ini lebih mengarah kepada reaksi yang ditanggapai oleh negara terhadap aksi pembangunan senjata (arms build-up) negara lain. Oleh sebab itu sebagian besar instrumen militer digunakan untuk tujuan yang bersifat offensive maupun defensive. Terdapat tiga variabel di dalam proses aksi-reaksi yaitu: Magnitude (kedua belah pihak negara memiliki jumlah peralatan militer yang hampir sama). Timming (respon salah satu negara atas peningkatan militer yang hampir sama) Awareness (tingkatkan dimana masing-masing pihak menyadari akan dampak yang mereka perbuat terhadap satu sama lain). Tingkat kesadaran sangat diperlukan dalam meningkatkan atau menurunkan sistem militer, namun seringkali tingkatan kesadaran dalam hal meningkatkan atau menurunkan sistem militer tingkatan kesadaran dalam hal meningkatkan atau menurunkan sistem militer hanya mengacu kepada ancaman dari pihak luar, sehingga
191
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:185-194
ancaman yang diciptakan oleh diri sendiri kadang terabaikan. Persepsi yang tidak seimbang inilah yang kemudian dijadikan sebagai elemen kunci didalam security dilemma. Jika sebuah negara sangat peka dengan perilaku antar negara dengan mengharapkan sebuah keseimbangan dan mencegah reaksi yang berlebihan. Dengan penjelasan tiga indikator action-reaction modeldi seperti diatas yaitu magnitude, timming dan awareness, penelitian penulis menganalisis menggunakan indikator timming dengan kategori maintenance persenjataan dan modernization persenjataan agar menghindari penumpukan pembelian senjata yang berlebihan dan menghindarkan persepsi ancaman di kawasan ASEAN agar tidak terjadinya konflik atau perang terbuka. Dengan menggunakan analisis indikator timming, ASEAN security community 2015 berjalan dengan baik tanpa adanya konflik atau perang terbuka serta dapat mewujudkan ASEAN security community yang bersifatcomprehensive security di kawasan yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah keamanan secara kooperatif yang bertujuan membangun kerjasama antar negara kawasan ASEAN dan terciptanya rasa percaya di antar negara ASEAN, baik yang berasal dari dalam maupun luar kawasanyang sesuai dengan prinsip-prinsip security regime dan security community sebagai berikut. Prinsip security regime: 1. Terdapat kesepakatan bersama terhadap norma-norma, prinsip-prinsip dan aturan main yang harus dihormati bersama di antara negara-negara yang membentuk rejim keamanan di kawasan. 2. Pengembangan kapabilitas militer masih diperbolehkan namun tetap dalam kerangka penghormatan terhadap nilai-nilai pencegahan konflik terbuka yang telah disepakati bersama. 3. Memfasilitasi proses perdamaian negativ atau bersifat sementara. 4. Pencegahan perang yang bersifat sementara. Prinsip security community: 1. Tidak boleh terjadi lagi perang atau perencanaan perang untuk jangka waktu yang lama. 2. Memfasilitasi perdamaian yang bersifat positif atau jangka panjang. 3. Negara-negara yang sepakat membentuk komunitas keamanan harus dapat menyelesaikan perselisihan diantara mereka dengan cara-cara damai. 4. Pembentukan identitas bersama. Kesimpulan Penelitian ini berusaha untuk mengambil kesimpulan kompetisi militer di Asia Tenggara menjelang ASEAN security community 2015. Pada prinsipnya kekuatan militer menjadi salah satu karakteristik yang tidak akan pernah hilang di politik global dan regional. Beberapa negara khususnya di Asia Tenggara akan selalu mempertimbangkan faktor kekuatan militer karena dapat menjadi sarana atau alat untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional, terutama mempertahankan kedaulatan negara. Karena terjadinya kompetisi di kawasan ASEAN mengakibatkan dilema keamanan/ security dilemma. Dengan berkembangnya teknologi, memodernisasinya persenjataan tidak dapat dihindari akan terjadinya security dilemma.
192
Kompetisi Militer di Asia Tenggara Menjelang ASC 2015 (Aisya Hilmi)
Untuk menghindarinya dibutuhkan transparansi dan kepercayaan. Langkah ASEAN untuk mewujudkan ASEAN security community merupakan upaya untuk menciptakan comprehensive security di kawasan. Langkah ini diambil karena dinilai lebih komprehensif dalam menjawab tantangan-tantangan yang muncul dengan dasar nilainilai dan kepentingan yang sama untuk mengatasi masalah keamanan secara koperatif yang bertujuan membangun kerjasama antar negara dengan menata aturan dan mekanisme untuk menghadapi tantangan-tantangan keamanan, baik yang berasal dari dalam maupun luar kawasan. Namun dengan terbentuknya ASEAN security community tidak menjamin akan keamanan nasional setiap negara anggota, dikarenakan ASEAN security community sendiri tidak memiliki peraturan yang kuat untuk memberikan hukuman kepada negara-negara yang meningkatkan persenjataan. ASEAN security community hanya bersifat non binding seperti ARF dan ASEAN. Dengan menggunakan teori arms dynamic negara-negaraASEAN perlu untuk maintenance dan modernization persenjataan militernya masing-masing agar tidak terjadinya penumpukan persenjataan yang mengakibatkan terjadinya konflik atau perang terbuka. Saran Sebelum menuju komunitas ASEAN 2015, sebaiknya setiap pemerintah negara harus memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan konflik secara internal terlebih dahulu dengan membangun kepercayaan terhadap masing-masing negara ASEAN. Apabila terdapat konflik antar dua negara, sebisa mungkin diselesaikan melalui penyelesaian bilateral. Jika tidak bisa, ASEAN harus mampu menjadi penengah antara negara yang berselisih. Sebisa mungkin kasus perselisihan tidak sampai ke The International Court of Justice, cukup diselesaikan dalam lingkup ASEAN saja. Daftar Pustaka Acharya, Amitav. 1994. An arms race in post-cold war southeast asia? Prospect for control. Singapura: ISEAS.. Andi , Widjajanto. 2010. Dinamika persenjataan di Asia Tenggara, GATRA Andre, H. Pareira. 1999. Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti. Bambang, Cipto. 2006. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika dan Masa di Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Buzan, Barry. 1987. An Introduction to strategic studies: Military technology and International relations. London: Macmillan. __________, and Herring. 1998. The Arms Dynamic in World Politics. London: Macmilan Press. Bitzinger, A. Richard. (2005).”COME THE REVOLUTION” Naval War College Review.
193
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:185-194
Gray S, Collin, 1972. The Arms Race Phenomenon, World Politics, Vol.24. Jervis, Robert. 1978. Cooperation under security dilemma. New York. World Politics. Mochtar, Masoed. 1994. Ilmu hubungan internasional: disiplin dan metodologi. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan. Moh, Mahfud, MD. Sistem pertahanan-keamanan dalam perspektif Indonesia baru, terdapat dalam http://www.habibiecenter.or.id/download/makalah_keynote_HTC.pdf Moh. Raga, Saputra Pohan. 2009. “Dinamika peresenjataan di Asia Timur anatar China dan Jepang”. Tidak dipublikasikan. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Nasrullah, Mirza and M, Sadiw. 2008. Agreement: Impacts on deterrence stability in South Asia. London: South Asian Strategic Stability Institute. Prasetyo, 1993. ASEAN-PRC Political and Security Cooperation: Asian Survey 33. Rudy, T. May. 2001. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem International Pasca Perang Dingin. Bandung: Refika. SIPRI Military Expenditure Database, terdapat di http://milexdata.sipri.org.
194