Newsletter
Interfidei
Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia
EDITORIAL
Daftar Isi
Editorial ........................................ 1 Fokus ................................................ 2 Profil................................................... 8 Kronik ............................................. 13 Refleksi........................................... 38 Agenda............................................. 40 Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Otto Adi Yulianto Tim Redaksi Otto Adi Yulianto Elga Sarapung Sekretariat Margareta E. Widyaningrum Dokumentasi Wening Fikriyati Keuangan Eko Putro Mardianto Fita Andriani Diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei Jl. Banteng Utama 59 Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia Phone: 0274-880149 Fax.: 0274-887864 E-mail
[email protected] Facebook Institut DIAN/Interfidei Twitter @dian_interfidei Website http://www.interfidei.or.id
MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: KEKUATAN DAN PELUANG BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA
K
omunitas Ekonomi ASEAN, atau lebih dikenal dengan sebutan Masyarakat Eko no mi ASEAN (MEA) yang me rupakan salah satu dari tiga pilar Komunitas ASEAN, telah digulir kan akhir tahun ini. Dua pilar lain nya, yakni Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN, tentu saja sangat berkaitan erat dengan MEA. Indo nesia, mau atau tidak mau, siapa tau tidak siap, harus menerima dan ha rus siap menjadi bagian dari realitas ini. Karena, pada dasarnya tujuan dari MEA adalah mulia, yakni demi meningkatkan stabilitas perekono mian di kawasan ASEAN. Di tengah kelemahan, keku rangan dan tantangan yang diha dapi, seperti sebagian sudah di bahas dalam Newsletter Interfidei edisi pertama tahun ini, kita harus tetap optimis karena Indonesia punya kekuatan dan peluang yang besar, bahkan paling besar di antara negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Kekuatan dan peluang yang jelas-jelas dimiliki Indonesia ada lah kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, sumber daya manusia yang juga melimpah dan
Newsletter Interfidei No. 2/XXIV Juli - Desember 2015
ENTERING THE 2015 ASEAN ECONOMIC COMMUNITY: STRENGTHS AND OPPORTUNITIES FOR RELIGIOUS DIVERSITY IN SOUTHEAST ASIA
T
he ASEAN Economic Com munity, better known in Indo nesia as Masyarakat Eko nomi ASEAN (MEA) makes up one of the three pillars of the ASEAN Community that was rolled out at the end of this year. The two other pillars, namely the ASEAN Security Community and the ASEAN SocioCultural Community, are of course closely associated with the MEA. Whether Indonesia is ready and willing or not, it must accept this new found reality and be fully pre pared to be a part of it. MEA pur pose’s is indeed a noble one, i.e. to in crease economic stability in the ASEAN region. In the depths of the weaknesses, shortcomings and challenges faced, such as those previously discussed in the first edition of Interfidei’s Newsletter, we must remain opti mistic. Indonesia is fortunate in that it possesses great strength and opportunity, possibly some of the greatest compared to its Southeast Asian neighbors. These strengths and opportu nities come in the form of Indone sia’s abundant rich natural resourc es, abundant human resources and
Edisi Juli-Desember 2015
1
Interfidei newsletter
Editorial kemajemukan masyarakat, budaya dan agama. Jum lah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta den gan pangsa pasar ASEAN sekitar 625 juta orang, jelas menjadikan Indonesia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki pasar ASEAN, bahkan pasar global. Selain itu, kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Indonesia yang relative stabil, meskipun tetap harus menjadi catatan akan realitas masih ban yaknya kasus intoleransi dan kekerasan atas nama ag ama sepanjang tahun 2015 (lihat misalnya Laporan Tahunan dari The Wahid Institute - http://www.wa hidinstitute.org/wi-id/laporan-dan-publikasi/lapo ran-tahunan-kebebasan-beragama-dan-berkeyak inan.html) yang dapat memperkuat stabilitas keaman an di wilayah Asia Tenggara, dimana ia merupakan salah satu syarat agar stabilitas ekonomi meningkat. Dalam konteks ini, Indonesia juga berpeluang men jadi model bagi toleransi dan perdamaian antar umat beragama di tengah semakin meningkatnya radika lisme dan kekerasan atas nama agama di berbagai belahan di dunia.
its cultural, religious and social diversity. With a total population of over 250 million and a market share of over 625 million people, it is clear that Indonesia pos sesses a wider opportunity to enter into the ASEAN or even the global market. Additionally, socio-reli gious life in Indonesia is relatively stable, although it must be acknowledged that there remained many cas es of intolerance and violence carried out in the name of religion during 2015 (see for example the Wahid Institute’s Annual Report - http://www.wahidinsti tute.org/wi-id/laporan-dan-publikasi/laporan-tahu nan-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan.html), that can strengthen the security and stability of the Southeast Asian region, one the requirements for in creased economic stability in the region.In this con text, Indonesia also has the opportunity to become a model for inter-religious tolerance and peace in the midst of increasing radicalism and violence in the name of religion, as seen in many parts of the world. The question remains, how can these strengths and opportunities be best managed and utilized so that the MEA can be realized and its benefits felt by the people of Indonesia as well as the people of ASEAN more broadly? This second edition of our Newsletter for this year attempts to peel back the layers on this issue, with a focus piece by Dedi Dinarto. We will also provide a snapshot profile of PELITA, a small interfaith youth community from Cirebon. Meanwhile the chronicals will present the various activities of Interfidei across the July-December period 2015.
Pertanyaannya,bagaimana kekuatan dan peluang tersebut dikelola dan dimanfaatkan semaksimal mung kin sehingga MEA dapat terwujud dan manfaatnya dirasakan oleh rakyat Indonesia khususnya dan rakyat di negara-negara ASEAN umumnya? Newsletter Edisi Kedua tahun 2005 ini coba mengupas soal ini, khususnya dalam rubrik Fokus dengan menampilkan artikel dari Dedi Dinarto. Rubrik Profil menampilkan PELITA, sebuah komunitas pemuda antariman di Cirebon. Rubrik Kronik menyajikan beragam kegiatan Interfidei sepanjang Juli-Desember 2015.
Happy reading!
Selamat membaca! Judul
: Pluralisme dalam Perspektif Agama-Agama dan Keyakinan
Jumlah hlm. : ix + 166 halaman Bahasa
: Indonesia
Penulis
: Riaz Muzaffar, dkk.
Editor
: Elga Sarapung & Wiwin Siti Aminah R
Penerbit
: Interfidei
Tahun terbit
: 2015
Cetakan ke-
:1
ISBN
: 978-602-71775-1-2
“Buku saku ini memuat uraian singkat mengenai bagaimana agama-agama memandang keberagaman (diversity) dan pluralisme, apa landasan teologis dan praksisnya, bagaimana landasan tersebut dimaknai dan diimplementasikan dalam konteks kekinian.”
2
Edisi Juli-Desember 2015
Interfidei newsletter
Focus
ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY (ASCC) DAN DIALOG ANTAR-AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY (ASCC) AND INTER-RELIGIOUS DIALOGUE: A CRITICAL REVIEW
Oleh : Dedi Dinarto1
By : Dedi Dinarto1
Pengantar
B
Introduction
T
erakhirnya tahun 2015 menja di titik awal bagi integrasi masyarakat ASEAN yang me nekankan aspek ‘people-centered’ se bagai fokus baru di kawasan. Beberapa dokumen ASEAN telah memasukkan istilah ini dengan tujuan agar pro gram-program yang diimplementasikan tidak hanya berorientasi pada pemba ngunan negara, akan tetapi juga melibat kan masyarakat dalam proses integrasi. Merespon hal tersebut, ASCC dibentuk guna memberi celah partisipasi dan manfaat bagi masyarakat, berkelanjutan, kuat, dan di namis. Namun, hingga saat ini, terminologi ‘komuni tas’ ini tidak diletakkan senyatanya untuk mengatasi permasalahan sosial. Di sisi yang lain, ASCC hanya merupakan pelengkap untuk meningkatkan sentimen dan mobilisasi tenaga kerja di kawasan. Maka dari itu, perlu ada kajian untuk melihat sejauh mana ASCC be nar-benar merangkul konteks ‘komunitas’.
he end of 2015 was the starting point for the integration of an ASEAN community that empha sizes a ‘people-centered’ approach as the new focus in the region. A number of ASEAN documents have utilized this term in order to implement programs that not only focus on the develop ment of a country, but also involve the community in this integration process. In response to these issues, the ASCC was formed to provide a space for par ticipation and its consequential bene fits for society, sustainability, strength and dynamism. However, up until now, the terminology of ‘communi ty’ has not been properly applied to overcome social problems. The ASCC is only an additional method to enhance community sentiment for the mobilization of manpower in the region, it is not a solution in itself. As such, research is required to see how well the ASCC can truly embrace the terminology of ‘community’.
Berhubungan dengan isu sosial, artikel ini akan mengangkat pentingnya dialog antar-agama dalam menciptakan masyarakat ASEAN yang harmonis dan rukun. Kondisi nyata menggambarkan bahwa konflik antar-agama kerap terjadi di Asia Tenggara. Misalnya, konflik antara umat Islam dan Kristen di Indonesia, umat Buddha dan Islam Patani di Thailand, umat Buddha dan Islam Rohingya di Myanmar, umat Islam Mindanao dan Kristen Katolik di Filipina, dan sebagainya. Untuk itu, keberadaan ini tidak se ha rusnya dipandang hanya sebagai keberagaman semata, akan tetapi perlu untuk disusun dalam kon teks pluralistik yang mengakomodasi eksistensi dari seluruh agama.
In relation social issues, this article will focus on the importance of inter-religious dialogue to create a harmonious society and a harmonious ASEAN. Real world conditions demonstrate that inter-religious conflicts frequently occur in Southeast Asia. For example, the conflict between Muslims and Christians in Indonesia, Buddhists and Pattani Muslims in Thailand, Buddhists and Rohingya Muslims in Myanmar, Mindanao Muslims and Catholic Christians in the Philippines, and so on. The presence of such conflicts should not only be understood as the effects of diversity alone, but also needs to be arranged or analyzed in a pluralistic context that accommodates the existence of all religions.
Kendati demikian, pembahasan ini perlu untuk digiring pada beberapa pertanyaan lanjutan, yakni se jauhmana ASCC telah menjamin toleransi antar-aga ma, dan bagaimana seharusnya masyarakat berperan dalam memperkuat agenda dialog antar-agama?
Nevertheless, a discussion is necessary for dis covering some follow-up questions, namely how well has the ASCC been able to guarantee inter-religious tolerance, and what role the community should play in strengthening the inter-religious dialogue agenda?
1
Asisten Peneliti pada ASEAN Study Centre (ASC), Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Assistant Researcher at the ASEAN Study Centre (ASC), Faculty of So cial and Political Sciences, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
1
Edisi Juli-Desember 2015
3
Interfidei newsletter
Fokus Membaca Relevansi ASCC
Understanding the Relevance of the ASCC
Pembentukan ASEAN Socio-Cultural Commu nity (ASCC) diinisiasi sebagai upaya untuk men cip takan suasana bagi setiap orang, agar merasa sebagai bagian dari masyarakat ASEAN, dan mencari jalan keluar atas permasalahan sosial yang cukup kompleks di kawasan. Turunan dari dua tujuan ini telah dijabarkan di dalam Cetak Biru ASCC 2025 secara detail guna menciptakan masyarakat ASEAN yang inklusif, berkelanjutan, kuat, dan dinamis. ASCC juga secara spesifik menaruh perhatian pada isu toleransi, pemahaman, dan penghormatan sebagai bentuk penyesuaian terhadap multikulturalisme dalam salah satu tolak ukur strategis, yakni ‘Menuju ASEAN yang Adaptif dan Terbuka’. Dengan kata lain, ASCC berupaya untuk menjamin adanya keharmonisan dalam masyarakat ASEAN.
The ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) was initiated as part of attempts to create an inclusive culture for all people such that all people could feel part of the ASEAN community and to find a way out of the fairly complex social problems existent within the region. By-products or results from these two goals have been outlined in detail in the ASCC 2025 Blueprint, in an attempt to create an ASEAN community that is inclusive, sustainable, strong and dynamic. The ASCC is specifically concerned with issues of tolerance, understanding, and respect as part of its promotion of multiculturalism and one of its strategic benchmarks, namely ‘Towards an Adaptive and Open ASEAN’. Put simply, the ASCC seeks to ensure harmony within the ASEAN community.
Di dalam Cetak Biru ASCC 2025, salah satu isu yang dianggap penting guna menciptakan masyarakat ASEAN yang terbuka dan adaptif adalah isu antaragama. Isu ini dianggap penting guna mendorong adanya budaya toleransi, pemahaman, penghormatan terhadap agama, dan dialog antar-agama. Menurut David Burrell, dialog antar-agama adalah sebuah upaya menciptakan jalan baru untuk memahami diri sendiri dan orang lain sehingga dapat menciptakan jalur persahabatan dan apresiasi antar umat beragama (Burrell, 2004:196). Sebagai salah satu ikhtiar un tuk saling bertukar pengetahuan dan pemahaman antara agama yang satu dengan yang lainnya, dialog antar-agama kerap diselenggarakan dengan melibat kan berbagai tokoh agama guna menghindari mis interpretasi. Dengan kata lain, upaya pluralistik ini diadakan untuk mereduksi konflik antar agama. Pa da titik ini, ASCC telah menjamin adanya peluang untuk memperkuat isu antar agama sebagai salah satu penyokong terciptanya keharmonisan di ASEAN. Dalam segi implementasi, poin mengenai isu antaragama telah diupayakan jauh sebelum dipublikasinya Cetak Biru ASCC oleh Indonesia. Wujud komitmen Indonesia untuk melaksanakan poin dalam ASCC tersebut adalah dengan menjadi tuan rumah pertama penyelenggara Bali Interfaith Dialogue di bawah Asia-Europe Meeting (ASEM). Tidak hanya itu, pasca penyelenggaraan, Indonesia menetapkan ini siatif untuk membangun International Center for Religious and Cultural Cooperation (The Jogja Center). Di sisi yang lain, Filipina juga menunjukkan komitmennya dengan menjadi tuan rumah ketujuh untuk forum internasional yang sama. Kelebihan dari
4
Edisi Juli-Desember 2015
In the ASCC 2025 Blueprint, one of the key issues identified in the creation of an ASEAN community that is open and adaptive ASEAN is inter-religious issues. The handling of these issues is considered important in order to encourage a culture of tolerance, understanding and respect towards religion and interreligious dialogue. According to David Burrell, interreligious dialogue is a means to create a new way to understand ourselves and others so as to create a path of friendship and appreciation among religions (Burrell, 2004:196). As part of an initiative to share knowledge and understanding among religions, interreligious dialogue is often conducted with religious leaders in order to avoid misinterpretation. In other words, a pluralistic approach is taken in order to reduce any conflict between religions. At this point, the ASCC has, at the very least, guaranteed an opportunity for the strengthening of inter-religious issues as one of the proponents in the creation of harmony in the ASEAN region. In terms of the implementation, issues of interreligious matters have been pursued long before their publication in the ASCC Blueprint, one behalf of Indonesia. One way Indonesia has shown its commitment to implement the points made in the ASCC Blueprint is to become the first host organizer of the Bali Interfaith Dialogue, underneath the AsiaEurope Meeting (ASEM). Not only that, after the implementation of the Bali Dialogue, Indonesia established an initiative to build the International Center for Religious and Cultural Cooperation (The Jogja Center). The Philippines is also demonstrating its commitment by becoming the seventh host for the same international forum. One of the advantages from
Interfidei newsletter
Focus
penyelenggaraan di Manila adalah adanya rancangan pra-acara yang melibatkan tokoh agama berusia muda untuk berdiskusi dan berdialog. Melalui dua penyelenggaraan ini, Manila lebih menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat secara komprehensif dalam isu dialog antar-agama, sedangkan Indonesia hanya diwakili oleh representasi negara.
the Manila hosted event was the pre-event involving young religious leaders engaging in discussion and dialogue. Through their implementation of these two events, Manila has showed a greater inclination to comprehensively involving the public in issues of inter-religious dialogue, while Indonesia has only ever been represented by state representatives.
Namun, dalam konteks ini, persoalan isu antaragama masih berada dalam penanganan pemerintah. Pengadaan fora dialog antar-agama cenderung ber kesan eksklusif dan tidak melibatkan kelompokkelompok lain yang tergolong ‘radikal’. Padahal, di sisi yang lain, isu sosial semacam ini juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai komunitas ASEAN. Masyarakat sebagai elemen terdekat yang me lingkupi hubungan antar-agama dapat diman fa atkan sebagai jalur untuk tidak hanya sekadar mem bangun, namun juga memperkuat agenda dialog antar-agama. Di tingkat yang berbeda, hal ini juga dapat mendorong pemaknaan terhadap terminologi ‘komunitas’ dalam ASCC 2025.
In the current context inter-religious issues remain in the hands of the government. Procurement of inter-religious dialogue tends to be exclusive and does not involve other groups that are categorized as ‘radical’. However these kind of social issues are also the responsibility of the people, as members of the ASEAN community. Society, as the closest element that encompasses and experiences interfaith relationships, can be utilized as a pathway to not only build, but also strengthen the agenda of interreligious dialogue. It may also encourage a greater meaning to the term ‘community’ in the 2025 ASCC Blueprint.
Mematahkan Paradigma ‘Elite-Driven’
In the theory of cultural hegemony, Antonio Gramsci explains that in the structure of society there are two groups, divided according to level, i.e. the elite and the masses. Gramsci established this concept of a modern society, in which the elite are located on the top while the masses are located at the bottom, is full of high class domination over the lower class. He says, this is like a hegemony. According to him, such a system should be combated by looking at the potential of the masses as organic intellectuals. By doing so, the configuration of the relationship between the elite and the masses can be changed through the deconstruction of social order.
Dalam teori hegemoni kultural, Antonio Gram sci menjelaskan bahwa dalam sebuah struktur ma syarakat, terdapat dua golongan yang dibagi se suai tingkatannya, yakni elite dan massa. Gramsci membangun konsep masyarakat modern, dimana elit ditempatkan pada bagian atas sementara massa pada bagian bawah, yang sarat dengan dominasi kelas atas terhadap kelas bawah. Ia mengatakan hal itu sebagai hegemoni. Namun, menurutnya, tatanan semacam ini seharusnya dapat dilawan dengan melihat pada potensi massa sebagai intelektual organik. Dengan begitu, konfigurasi hubungan antara elit dan massa dapat diubah melalui dekonstruksi tatanan tersebut. Demikian pula, dalam beragam diskursus, integrasi ASEAN cenderung dipandang sebagai sebuah proses penyatuan negara-negara yang berbasis pada intervensi elit. Dirunut dari visi dan misinya, rancangan integrasi ASEAN yang meletakkan kerjasama ekonomi sebagai tujuan utama harus diikuti oleh situasi politik yang stabil di tingkat nasional maupun regional. Dengan begitu, kontrol politik dan dominasi pemerintah adalah konsekuensi logis, dimana pemerintahan yang otoriter mulai berkuasa pasca Perang Dingin. Namun, implementasi agenda Komunitas ASEAN 2015 di kawasan, dan relevansi mengenai domi nasi pemerintah mulai dipertanyakan ketika krisis ekonomi melanda wilayah Asia Tenggara. Di
Breaking the ‘Elite-Driven’ Paradigm
Similarly, in various discourses, ASEAN inte gration tends to be seen as a process of unification of states based on elite intervention. Stemming from its vision and mission, the projected ASEAN integration places economic cooperation as the main objective, to be followed by stable political regimes at the national and regional levels. In doing so, political control and government domination is a logical consequence, such as that seen post Cold War when authoritarian governments came to power. However, the implementation of the ASEAN Community’s 2015 agenda, and the relevance of government domination has already been questioned after the economic crisis that hit the Southeast Asian region. At the same time, the expansion of
Edisi Juli-Desember 2015
5
Interfidei newsletter
Fokus saat yang sama, perluasan jaringan masyarakat dalam bentuk kerjasama antar lembaga swadaya masyarakat (LSM), aktivis, dan stakeholders lainnya mulai intensif dikerjakan oleh masyarakat. Beberapa LSM yang aktif dalam isu antar-agama, antara lain Asia Pacific Interfaith Network yang menaruh perhatian pada isu antar-agama di kawasan ASEAN, Asian Resource Foundation yang mendirikan kantor di wilayah Myanmar dan Thailand, dan International Center for Law and Religion Studies yang bekerja sama secara intensif dengan Human Rights Working Group (HRWG) dan Coalition of Indonesian NGOs for International Human Rights Advocacy di Asia Tenggara. Paling tidak, hal ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran kelas di tingkat massa terhadap kegagalan pemerintah negara ASEAN dalam menangani persoalan antar-agama. Maka dari itu, momentum ini patut dilihat sebagai modal untuk menginisiasi dekonstruksi tatanan pemerintahan yang cenderung solid dan kaku.
social networks in the form of cooperation between non-governmental organizations (NGOs), activists, and other stakeholders has begun to be realized by communities. A number of NGOs are active on interreligious issues, including the Asia Pacific Interfaith Network that pays close attention to inter-religious issues in the ASEAN region, the Asian Resource Foundation that has established offices in the territory of Myanmar and Thailand, and the International Center for Law and Religion Studies that works closely with the Human Rights Working Group (HRWG) and the Coalition of Indonesian NGOs for International Human Rights Advocacy in South-East Asia. At the very least, this shows how the masses are becoming aware of the failures of the ASEAN governments in addressing inter-religious issues. In this context, the momentum observed should be seen as an asset or a tool to initiate the deconstruction of a solid and rigid system of government.
Pentingnya Kebebasan Berpendapat
The Importance of Freedom of Opinion
Dalam tataran linguistik, untuk membangun sebuah wacana yang berkaitan dengan isu-isu sosial, tidak terkecuali isu antar-agama, maka setiap individu atau kelompok perlu berdialog guna membaca ulang titik singgung di antara perbedaan yang ada. Upaya dialektis ini cenderung dikemas dalam bentuk dis kusi guna mencapai inter-subjektivitas (kesepakatan antara subjek-subjek terhadap nilai tertentu). Namun, ji ka berbincang soal kebebasan berpendapat di ASEAN, maka sesungguhnya kebebasan berpenda pat merupakan persoalan krusial untuk dibahas.
From a linguistic level, to build a discourse related to social issues, including inter-religious issues, every individual or group needs to engage in dialogue in order to reinterpret the signs of the existing diversity. This dialectical effort tends to come in the form of discussion, for the achievement of inter-subjectivity (agreement between subjects regarding certain values). Indeed freedom of speech in ASEAN is a crucial issue to be discussed.
Untuk mendorong adanya dialog antar-agama yang intensif di wilayah Asia Tenggara adalah tan tangan besar bagi masyarakat di negara-negara semidemokratis atau monarki, seperti Malaysia, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Kam boja, dan Vietnam. Kekuasaan mutlak yang dipegang oleh pemerintah cenderung membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga kesadaran intelektual yang muncul pun tidak dapat berkembang menjadi suatu political force yang memadai. Tanpa adanya political force, maka pewacanaan mengenai pentingnya dialog antar-agama guna mencegah terjadinya konflik di tingkat nasional akan sangat sulit diadvokasikan. Namun, di sisi yang lain, sebagai salah satu negara yang telah menaruh perhatian besar pada isu antar-agama, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi promotor penguatan dialog antar-agama di tingkat regional. Diwakili oleh AM Fachir, sebagai Wakil Menteri
6
Edisi Juli-Desember 2015
Encouraging the presence of intensive interreligious dialogue in the Southeast Asian region is a major challenge for societies in these semi-democratic or monarchial countries, such as Malaysia, Myanmar, Laos, Thailand, Singapore, Brunei Darussalam, Cambodia, and Vietnam. The absolute power held by the government tends to limit the space for the public, so that the emerging intellectual consciousness of the people is not able to develop into a sufficient political force. Without this political force, the discourse on the importance of inter-religious dialogue for the prevention of conflict is very hard to advocate at the national level. Conversely however, as one of the countries that has paid great attention to inter-religious issues, Indonesia has the potential to become a promoter of strengthening inter-religious dialogue at the regional level. Represented by AM Fachir, Indonesian Deputy Minister of Foreign Affairs, it is argued that inter-religious dialogue should be intensified
Interfidei newsletter
Focus
Luar Negeri Indonesia, ia berpendapat bahwa dialog antar-agama perlu diintensifkan untuk menghindarkan munculnya berbagai konflik yang bersinggungan erat dengan agama. Tidak hanya itu, munculnya LSM yang bergerak di bidang antar-agama, seperti Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) menjadi bukti kuatnya komitmen untuk mencari solusi atas permasalahan isu agama di Indonesia. Meskipun demikian, hal ini tidak secara keseluruhan meniadakan konflik antar-agama di Indonesia. Pada titik ini, perlu adanya kesadaran untuk memanfaatkan jaringan-jaringan antar-agama yang telah terbentuk sebagai titik awal. Keterlibatan dalam fora semacam ini dapat memberi kontribusi ide kepada masyarakat di negara semi-demokratis atau absolut mengenai kebebasan berpendapat. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi mengandalkan pemerintah untuk belajar memahami ide-ide mengenai kebebasan dan toleransi yang relevan dengan tujuan menciptakan keharmonisan di tingkat negara dan regional. Di saat yang bersamaan, LSM dan aktivis dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas jaringan kerjasama. Kesimpulan Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ASCC telah memberikan fondasi bagi pengupayaan toleransi antar-agama di dalam Cetak Biru ASCC 2025. Namun, hal ini masih berada dalam kendali pemerintah, dimana tidak ada penjaminan secara mutlak atas solusi terhadap permasalahan antar-agama yang ada. Di sisi yang lain, masyarakat perlu untuk membangun kesadaran agar tidak terjebak dalam kondisi ‘elite-driven’ dengan cara membentuk dan atau memanfaatkan jaringan antaragama yang telah bekerja. Dengan begitu, penguatan masyarakat untuk mendorong upaya dialog antaragama di kawasan dapat tercapai. *** Judul Jumlah hlm. Bahasa Penulis Editor Penerbit Tahun terbit Cetakan ke- ISBN Harga
in order to avoid the emergence of conflicts closely linked to religion. Not only that, the emergence of NGOs working in the inter-religious field, such as the Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) is proof of the strong commitment to finding solutions to religious problems in Indonesia. Although these are positive steps in the right direction, the issue of inter-religious conflict in Indonesia remains. At this point, we need to be aware that our starting point should be to utilize inter-religious networks that already exist. Involvement in areas such as these can contribute ideas to society in a semi or absolute democratic state regarding freedom of speech. In other words, people no longer need rely on the government to learn and understand ideas of freedom and tolerance, ideas that are highly relevant to the goal of creating harmony at the national and regional level. At the same time, NGOs and activists can take advantage of these conditions to expand their collaboration networks. Conclusion Therefore, it can be concluded that the ASCC has provided a foundation for the insistence on inter religious tolerance in the form of the ASCC 2025 Blueprint. However, the issue is still under the control of government, where there is no absolute guarantee of finding a solution to existing inter-religions problems. Rather the community needs to build awareness so as not to get stuck in an ‘elite -driven’ culture by establishing and or taking advantage of inter-religious networks that have already proved fruitful. By doing so, the strengthening of societies to encourage inter-religious dialogue efforts in the region, can be achieved. *** : Soal-Soal Teologis dalam Pertemuan antar Agama : xi + 92 halaman : Indonesia : Th. Sumartana : Elga J. Sarapung : Interfidei : 2015 : 1 : 979-8726-47-2 : Rp35.000
Buku ini tidak hanya penting sebagai catatan sejarah dari apa yang terjadi tahun 60an dan sebelumnya paska perang dunia kedua, tetapi juga ada lesson learnt yang perlu diambil oleh semua yang terpanggil untuk meneliti, mempelajari, dan membangun hubungan sosial yang harmonis antar pemeluk agama-agama pada umumnya dan terlebih lagi hubungan Kristen-Islam di Indonesia dan di negara mana pun mereka berada.
Edisi Juli-Desember 2015
7
Interfidei newsletter
Profil
PEMUDA LINTAS IMAN (PELITA), CIREBON
INTERFAITH YOUTH (PELITA), CIREBON
PELITA adalah organisasi kepemudaan, yang anggotanya terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Dirumuskan di GKI Rahmani, Cirebon, pada 17 Oktober 2011 bersama dengan para Tokoh Agama dan Penghayat, Pemuda Lintas Iman (PELITA) Cirebon, lahir. Kami mempunyai mimpi besar untuk menjalin hubungan lebih luas dan hangat, saling memahami dan bahu- membahu dalam membangun bangsa, terutama di Cirebon. Kami selalu melakukan kegiatan bersama-sama tanpa memandang agama dan keyakinan. Dengan ini, kami berharap akan terbangun toleransi dan kebersamaan.
PELITA is a youth organization comprising of members from various religions and beliefs. With the help key religious figures and Penghayat, The Interfaith Youth (PELITA) Cirebon was born on the 17th of October 2011 in the Indonesian Christian Church (GKI) Rahmani, Cirebon. Our dream is to establish broader and warmer relationships, create a sense of mutual understanding and to work together to help develop this nation, particularly in Cirebon. Our activities are always undertaken together regardless of one’s religion or belief. It is through this approach that we hope to build tolerance and unity.
Hari Sumpah Pemuda: Titik Pijakan Awal
Youth Pledge Day: The Starting Point
Inisiasi bermula saat kami menerima pesan singkat dari KH. Marzuki Wahid. Redaksi dari pesan tersebut berisi ajakan, sekaligus tawaran untuk mengadakan kegiatan peringatan Hari Sumpah Pemuda ‘Lintas Iman’. Pasalnya, organisasi kepemudaan yang ber basis lintas iman di Wilayah III Cirebon belum per nah ada, dan gerakan-gerakan pemuda yang meng usung toleransi dan perdamaian masih terasa sunyisenyap. Alhasil, proses urun-rembug berjalan lancar. Pemilihan tanggal 28 Oktober 2011 menjadi titik awal deklarasi PELITA. Tak semudah membalikkan telapak tangan, saat proses awal mula merumuskan gagasan tersebut. Pertemuan pertama, hanya perwakilan pemuda Islam yang hadir, sehingga disepakati membuat pertemuan yang kedua di tempat yang sama, yakni di GKI (Gereja Kristen Indonesia) Rahmani Kota Cirebon tanggal 18 Oktober 2011. 22 nama tercatat dalam pertemuan yang kedua, terdiri dari pemuda lintas agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan secara aklamasi terpilihnya Devida sebagai ketua Umum PELITA, YB. Sugianto sebagai wakil ketua, Bendahara dipegang oleh Maria dan Muhammad Rifqi menjadi Sekertaris. Selama berproses, atas nama keberagaman, PELITA terlahir. Demi kesadaran toleransi dan perdamaian, PELITA mengabdi untuk bangsa. Perbedaan adalah Rahmat Tuhan, bukanlah penghalang, apalagi menjadi lawan. Kerukunan antarumat beragama dan keyakinan menjadi kesa daran yang senantiasa mengalir di saraf nadi kami: pemuda-pemudi ibu pertiwi. Saling berbagi rasa, tiada prasangka dan curiga, di bawah matahari yang sama, Indonesia tercinta.
The PELITA initiation began after we received a short message from KH. Marzuki Wahid. The message contained an invitation and an offer to create an ‘interfaith’ tribute for National Youth Pledge Day. The initiative was based on the provision that there had yet to be an interfaith youth organization in the third district of Cirebon and because youth movements promoting tolerance and peace remained voiceless. As a result of this absence, the community discussion process in the establishment of PELITA ran smoothly. The 2011, October 28 election marked the deceleration of PELITA. It was not easy to formulate the aforementioned concept of an interfaith tribute to Youth Pledge Day. At the first meeting, only Muslim youth representatives attended. As such we decided to keep the location for the second meeting the same, namely at the GKI Rahmani Church Cirebon. 22 names of interfaith youth were recorded at the second meeting from various religious groups, including Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism.
8
Edisi Juli-Desember 2015
The meeting resulted in the unanimous selection of Devida as the chairman of PELITA, YB Sugianto as vice chairman, Maria as treasurer and Muhammad Rifqi as secretary. The creation of PELITA was born in the name of diversity. PELITA is dedicated to serving the nation in order to achieve tolerance and peace. Diversity is part of God’s grace, not a hindrance nor something to be opposed. The realization of harmony of religion and belief constantly flows through our veins, the veins of the nation’s youth. Under the same sun, in our beloved Indonesia, we exchange our ideas and feelings without prejudice or suspicion.
Interfidei newsletter Agama diciptakan Tuhan semata-mata karena cinta. Manusia mesti menyemai kasih-sayang, mena nam persatuan dan merawat kerukunan. Agama untuk kemanusiaan, bukan untuk nyala api permusuhan. Begitulah semangat PELITA. Seperti cahaya, PELITA hadir demi menyinari kegelapan. Kegelapan yang timbul dari sikap fanatik dan tindak kekerasan.
Profile Religion was created by God purely out of love. Humans have to grow love, sow unity and protect diversity. Religion is for humanity, not for igniting the flames of hostility. This is the spirit of PELITA. Like a light, PELITA brightens the darkness, a darkness that springs from bigotry and violence.
Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, PELITA dideklarasikan. Ini sebuah keniscayaan sejarah, bahwa kemudian tonggak penerus bangsa ada di tangan pemuda. Cita-cita PELITA hari ini, esok dan nanti adalah demi keutuhan bangsa. Ragam perbedaan ras, suku dan agama semakin mengukuhkan pertalian-erat dan menandaskan bahwa kita semua adalah saudara.
PELITA was formed coinciding with National Youth Pledge Day. As a historical inevitability, the nation’s successors are the youth. As such, the purpose of PELITA today, tomorrow and in the future is national integrity and unity. The diversity of race, ethnicity and religion further strengthens our strong human bonds and stresses that we are all brothers and sisters in humanity.
VISI
VISION
Gerakan pemuda independen untuk membangun toleransi dan perdamaian
To be an independent youth movement for the development of tolerance and peace
MISI
MISION
1. Menggali dan melestarikan khazanah spiritual serta kearifan lokal yang mendukung toleransi antar umat beragama dan berkeyakinan; 2. Mensosialisasikan nilai-nilai toleransi dan keberagaman melalui berbagai media; 3. Mempererat persaudaraaan antar umat beragama dan berkeyakinan. Falsafah Logo PELITA1
1. To explore and preserve the spiritual treasures and local wisdoms which support the tolerance of religion and belief; 2. To spread the values of tolerance and diversity through various media outlets; 3. To strengthen the sense of brotherhood between followers of different religions and beliefs. The Philosophy behind the PELITA Logo1
Logo Utama adalah sebuah obor (Pelita) 1. Dibuat oleh Mursid setiadi dari GKP Cirebon dan Mas Winta dari Penghayat.
1 Created by Mursid Setiadi from GKP Cirebon and Mas Winta from Penghayat.
Edisi Juli-Desember 2015
9
Interfidei newsletter
Profil
yang sedang menyala, memancarkan sinarnya diselimuti oleh bendera merah-putih. Ujungnya diikat oleh Pin yang bergambar gapura khas Cirebon.
The main logo is that of a burning torch whose light is enclosed by a red and white flag. The base of this flag is tied together with a pin containing a picture of the unique Cirebon gateway.
Arti lambang :
Meaning of the symbols:
OBOR/PELITA yang menyala
Burning torch/light (In Indonesian this translates as PELITA)
Sebuah obor/pelita yang sedang menyala, terbagi atas tiga makna lambang 1.1 Api yang menyala Melambangkan semangat, jiwa yang menyala untuk melaksanakan visi dan misi organisasi. Api kecil yang memancarkan cahaya sehingga pada akhirnya mampu menerangi lingkungan sekitarnya, yaitu sebuah komunitas kecil yang visi dan misinya ingin menyatukan sebuah tatanan hidup terutama di kalangan anak muda, sesama anak bangsa yang dapat hidup rukun, aman dan damai tanpa memandang dari mana dia berasal, dan kepercayaan atau agama yang dianutnya sesuai dengan semangat sumpah pemuda 1928. Api yang menyala digambarkan oleh sebuah ornamen khas batik Cirebonan (mega mendung) beserta warna dasarnya, yakni biru, hal ini menunjukkan identitas dari “PELITA” yang berasal dari wilayah Cirebon. Lingkaran berwarna kuning adalah sebuah harapan kemakmuran bagi lingkungan disekitarnya.
10
Edisi Juli-Desember 2015
The burning torch/light is symbolic for three reasons: 1.1 The burning flame This symbolizes the spirit, the souls that burn for the realisation of the vision and mission of the organization. It is a small flame that emits a light, encompassing its surroundings. This flame represents the small community with its vision and mission to unite peaceful guidelines among youth and fellow children of the nation so they can live in a state of harmony, security and peace regardless of where they came from, and to unite their beliefs and religions to be in line with the spirit of the 1928 Youth Pledge. This flame is illustrated by the typical Cierbonian batik ornament (mega mendung) and its basic blue colour, indicating “PELITA’s” Cierbonian roots. The yellow circle around it symbolises the hope for prosperity in Cirebon and its surrounds.
Interfidei newsletter
Profile
1.2 Wadah atau dasar dari api
1.2 The tip of the torch or flame holder
Sebuah tatakan berwarna merah melambangkan, sebuah api semangat sesuai visi dan misi, harus didasari dengan sebuah keberanian, serta didasari oleh jiwa Pancasila yang dilambangkan oleh lima garis putih dibawah wadah api.
The red tip of torch or flame holder symbolizes the bravery required to light a flame in accordance with the vision and mission of the organization, as well as its grounding in the spirit of Pancasila, as indicated by the five white lines just below the flame holder.
1.3 Pegangan Pelita/Obor berwarna hitam.
1.3 The black base of the torch
Adalah sebuah gambar mata pena yang melam bangkan ilmu pengetahuan dan kerja keras. Menyata kan bahwa “PELITA” selalu mengedepankan pikiran dalam melaksanakan visi dan misinya lalu dilanjut kan dengan bekerja.
The black base of the torch symbolizes knowledge and hard work. It suggests that “PELITA” will always put forward thoughts and ideas first in upholding its vision and mission, and then proceed with the task of implementing these ideas.
1.4 Tulisan “PEMUDA LINTAS IMAN”
1.4 The words “PEMUDA LINTAS IMAN” or “INTERFAITH YOUTH”
Di dalam lingkaran warna kuning adalah nama organisasi, yang disingkat “PELITA”. “PELITA” bermakna sebuah alat penerang. Buah karya orga nisasi dapat bermanfaat untuk banyak orang. Ben dera Merah Putih melingkar diikat pin bergambar gapura khas Cirebon. Bendera merah putih yang
In the middle of the yellow circle is the name of the organization, which can be abbreviated as “PELITA”. “PELITA” often means oil lamp or light. The work done by the organization may be beneficial to a great number of people. The red and white (Indonesian)
Edisi Juli-Desember 2015
11
Interfidei newsletter
Profil melingkupi lambang utama, berarti PELITA berdiri dan mendasari diri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia serta falsafah hidup Pancasila dalam melaksanakan visi dan misinya. GAPURA melambangkan keterbukaan dan persahabatan. 1.5 Tulisan “CIREBON” Tulisan “CIREBON” berwarna biru adalah tem pat di mana organisasi ini dilahirkan. Warna biru me lambangkan bahwa Cirebon merupakan kota pantai. PENGORGANISASIAN Untuk mewujudkan visi dan misi-nya, PELITA membentuk basis kerja berdasarkan kebutuhan ma syarakat dewasa ini: Pertama, poros Civil-Society Program dan kegiatan di poros ini memfokuskan diri pada wilayah akar rumput di masyarakat. Fokus poros ini mencakup relasi agama dengan masyarakat dan relasi masyarakat dengan masyarakat. Tujuannya untuk merekatkan jalinan persatuan di antara masingmasing pemeluk agama dan keyakinan. Untuk po ros ini, tugas diemban oleh dua departemen, yaitu Departemen Bulanan dan Departemen SosialKemasyarakatan Kedua, Poros Political Society Program dan kegiatan di poros ini memfokuskan diri pada wilayah kebijakan publik dan regulasi hu kum di Indonesia. Poros ini fokus pada relasi antara negara-masyarakat-agama, dengan kinerja men ca kup dokumentasi dan advokasi dalam konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Departemen Parelegal dan Departemen Riset-Kajian Ilmiah meru pakan dua bidang yang bertanggungjawab untuk isuisu toleransi dan perdamaian secara kolektif. ***
12
Edisi Juli-Desember 2015
flag is tied together with a pin containing an image of the special Cirebon gateway. The red and white flag that encompasses the main emblem represents the fact that PELITA is based in the United Republic of Indonesia as well as the fact that it is based on the philosophy of Pancasila in the implementation of its vision and mission. The open gateway (GAPURA) symbolizes openness and friendship. 1.5 The words “CIREBON” The blue word “CIREBON” is used as it is the birth place of the organization. The blue symbolizes the fact that Cirebon is a city of beaches. THE SYSTEM: To realize its vision and mission, PELITA bases its work on the following needs of society today: Firstly, the Civil-Society sphere Programs and activities in this sphere focus on the grass roots level of society and include the relationship between religion and society, as well as people to people relationships. The aim is to glue a fabric of unity among adherents and their respective religions and beliefs. For this sphere, the tasks are to be performed by two departments in the Monthly Department and the Community-Social Department. Secondly, the Political Society sphere The programs and activities in this sphere focus on the public policy level and Indonesian legal regulations. The focus is on the relationship between the state, society and religion, with responsibilities including documentation and advocacy in the context of Freedom of Religion and Belief. The Paralegal Department and the Department of Scientific Re search and Study are the two sectors responsible for issues of tolerance and collective peace. ***
Interfidei newsletter
Chronicle TRAINING SESSION ON JOURNALISTIC WRITING “RELIGIOUS PLURALISM AND ISSUES OF FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF IN INDONESIA”
PELATIHAN MENULIS JURNALISTIK “PLURALISME AGAMA DAN PERSOALAN KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA”
T
I
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, maka pada 9-11 Agustus 2015, Institut DIAN/Interfidei membuat pelatihan menulis jurnalistik di Makassar. Kegiatan ini diikuti oleh 20 orang alumni kegiatan 2 tahap tersebut. Pelatihan ini dianggap penting karena masih banyak persoalan terkait isu pluralisme agama dimana kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi masalah yang menonjol.
As part of thefollow up on these activities, the 9-11th of August 2015, Institute DIAN/Interfidei create a journalistic writing training session in Makassar. The session was attended by 20 alumni from the previous workshops. The training is considered important as a number of issues remain relating to religious pluralism whereby freedom of religion and belief continues to bea prominent issue.
ahun 2014 dan 2015, Institut DIAN/Interfidei bersama-sama dengan OASE INTIM Makassar dan LAPAR Makassar mengadakan 2 tahap loka karya dalam rangka peningkatan kapasitas jaringan antariman di Sulawesi Selatan. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, di antaranya peserta diajak untuk mengunjungi salah satu media cetak di Makassar, yaitu Tribun Makassar. Kunjungan ini dilakukan sebagai upaya untuk membangun jaringan dengan media sekaligus mendorong para peserta untuk menulis pengalaman mereka dalam mengelola perbedaan dengan refleksi kritis yang baik dan tajam agar dapat dipublikasikan secara luas.
n the year 2014 and 2015, Institute DIAN/Interfidei with OASE INTIM Makassar and LAPAR Makassar hosted a 2 staged workshop to improve the capacity of interfaith networks in South Sulawesi. As part of these aforementioned workshops, participants were invited to visit one of the local media outlets in Makassar, namely Tribun Makassar. The visit was conducted as part of the effort to develop links with the media as well as to encourage the participants to write about their experiences in managing diversity. Using quality and sharp critical reflection, the hope was that the participants’ writings would later be widely publicized.
Edisi Juli-Desember 2015
13
Interfidei newsletter
Kronik Hari pertama pelatihan diisi oleh A.S. Kambie dari Tribun Makassar yang membawakan materi tentang apa dan bagaimana peran media dalam persoalanpersoalan pluralisme agama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hari kedua, Redaktur Harian Fajar, M. Basri, memberikan materi mengenai teknik menulis di media massa. Pada sesi ini peserta dilatih untuk menuliskan berita terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Makassar. Hari ketiga, peserta diajak berkunjung ke kantor Harian Tribun Makassar dan Fajar. Metode pelatihan ini diharapkan dapat menjembatani peserta untuk membangun jaringan dengan media yang ada di Makassar. (ME)
The first day was filled by A.S. Kambie from Tribun Makassar who brought material on how and what the role of the media is on issues of religious pluralism and freedom of religion and belief in Indonesia. On the second day, editor of Harian Fajar (daily newspaper), M. Basri, provided material concerning writing techniques used by the mass media. During this session, participants practiced how to write news stories relating to issues of freedom of religion and beliefs that occurred in Makassar. On the third day, the participants were invited to visit the office of Harian Tribun Makassar and Harian Fajar. It is hoped this training method will encourage the participants to build stronger links with the media in Makassar. (ME)
SEMINAR GURU-GURU AGAMA SMA/K SE-KABUPATEN GUNUNG KIDUL
SEMINAR FOR HIGH SCHOOL TEACHERS OF RELIGION IN GUNUNG KIDUL REGENCY
P
ada Rabu, 19 Agustus 2015 Institut DIAN/ Interfidei bekerjasama dengan Kementerian Agama Kabupaten Gunung Kidul mengadakan Seminar Guru-Guru Agama SMA/K Se-Kabupaten Gunung Kidul dengan tema “Memahami Pendidikan Pluralisme di Tengah Kemajemukan Bangsa”. Ke giatan ini dimulai dengan seminar yang menghadirkan tiga pembicara antara lain Drs. Nur Abadi, MA (Kepala
14
Edisi Juli-Desember 2015
O
n Wednesday, the 19th of August 2015, Institute DIAN/Interfidei collaborated with the GunungKidul Regency Ministry of Religious Affairs to hold a seminar for local high school teachers of religion with the theme, “Understanding Pluralistic Education in a Pluralistic Nation”. The event began with a seminar attended by three guest speakers including Dr. NurAbadi, MA (Head of Ministry
Interfidei newsletter
Chronicle
Kementerian Agama Kabupaten Gunung Kidul), Nur Khalik Ridwan (Intelektual muda NU), dan Elga Sarapung (Direktur Institut DIAN/Interfidei).
of Religious Affairs Gunung Kidul Regency), Nur Khalik Ridwan (NU young Intellectual), and Elga Sarapung (Director of Institute DIAN/Interfidei).
Dalam seminar pagi itu Nur Abadi menjelaskan kondisi masyarakat Gunung Kidul yang beragam. Keberagaman tersebut jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan konflik. Maka dari itu menurut Nur Abadi guru-guru harus bisa mengajarkan toleransi kepada anak didiknya di sekolah.
During the morning seminar, Nur Abadi discussed the conditions in Gunung Kidul’s diverse society. This diversity, if not well managed, can lead to conflict. Accordingly, Nur Abadi concludes that teachers must teach their students tolerance.
Selanjutnya Elga Sarapung memberikan penje lasan tentang pluralisme dan tantangan yang dihadapi di masyarakat terkait kemajemukan agama, budaya, suku, dan etnis. Elga berharap guru-guru agama mampu menyikapi tantangan yang ada dengan mengembangkan metode belajar yang kreatif. Sementara itu, Nur Khalik Ridwan menyoroti bagaimana pendidikan agama juga seharusnya berorientasi pada persoalan kemasyarakatan. Nur Khalik juga berpendapat perlunya pendidikan agama dengan tema-tema yang menjembatani antara hubungan agama dan Pancasila. Menurut Nur Khalik, kedua hal tersebut, saat ini justru berjalan terpisah bahkan kadang bertentangan. Nur Khalik mencontohkan sebuah sekolah di Jawa Tengah yang tidak mau melaksanakan
Following the morning session, Elga Sarapung provided an explanation of pluralism and the challenges faced by society in relation to the diversity of religion, culture, race, and ethnicity. Elga hopes teachers of religion are able address these challenges by developing creative learning methods. Meanwhile, Nur Khalik Ridwan highlighted how religious education should be oriented towards social problems. NurKhalik also argued for the need for a religious education inclusive of themes that bridge the relationship between religion and Pancasila. According to Nur Khalik, these two spheres of religion and Pancasila currently run separately to one another and sometimes contradict one another. Nur Khalik provides the example of a school in Central Java that did not want to perform the Independence
Edisi Juli-Desember 2015
15
Interfidei newsletter
Kronik upacara bendera saat hari kemerdekaan dengan alasan yang bersumber dari agama.
Day flag ceremony, providing an excuse derived from religious understandings.
Kegiatan seminar ini dilanjutkan dengan diskusi kelompok bersama fasilitator. Dalam diskusi tersebut ada beberapa hal penting yang dirumuskan oleh guru-guru, antara lain: perlu mengembangkan pendidikan agama yang berorientasi pada nilai-nilai humanisme dengan mencakup pada aspek afektif dan psikomotorik siswa. Selain itu hasil diskusi kelompok juga memunculkan gagasan pentingnya menjalin jejaring guru-guru agama lintas iman untuk meningkatkan interaksi antar guru yang berbeda keyakinan. (WF)
The seminar was followed by a group discussion between participants and facilitators. Throughout this discussion a number of important points were formulated by the teachers including the need to develop a religious education orientated towards humanistic values by including the affective and psychomotor aspects of the students. The results of the group discussion also helped to uncover the new idea of establishing a network of interfaith religious teachers in order to improve interaction between teachers of different beliefs. (WF)
KONFERENSI PIMPINAN AGAMA-AGAMA DI PAPUA
RELIGIOUS LEADERS CONFERENCE AND STRATEGIC MEETING IN PAPUA
T
anggal 6-9 September 2015, Institut DIAN/Inter fidei bekerjasama dengan Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama-Agama di Papua (FKPPA), ILALANG PAPUA dan Pemerintah Daerah Kota Jayapura menyelenggarakan Konferensi Pimpinan Agama-agama di Tanah Papua. Konferensi tersebut melibatkan para peserta yang pernah mengikuti Kon ferensi Pimpinan Agama-Agama dari 8 Kabupaten/ Kota yang berada di Provinsi Papua tahun 2014, di tambah dengan 1 (satu) Kabupaten baru, yaitu Nabire. Selain merupakan tindak lanjut dari Konferensi tahun 2014, Konferensi kali ini juga sebagai penguatan kepada peserta terkait dengan hasil Perencanaan
16
Edisi Juli-Desember 2015
F
rom the 6th-9th of September 2015, Institute DIAN/Interfidei, in cooperation with the Papua Religious Leaders Joint Forum (FKPPA),ILALANG PAPUA and Jayapura City Government, organized a Religious Leadership Conference in Papua. The conference involved participants who previously attended the Religious Leadership Conference in 2014 from 8 Regencies/Cities in the province of Papua, plus one new district, namely Nabire. Besides acting as a follow up to the 2014 Conference, this year’s Conference also intended to provide reinforcement to the participants involved with the Strategic Planning conducted togetherin 2014.The question we must
Interfidei newsletter Strategis yang dilakukan bersama tahun 2014. Apakah kegiatan yang diusulkan waktu itu sudah dilakukan? Bagaimana perkembangannya?. Selain itu, dalam Konferensi ini peserta diperkaya dengan beberapa materi, yaitu : Keynote Speech dari Kementerian Agama Republik Indonesia, khusus tentang “Tantangan dan Peluang Rancangan UU Perlindungan Umat Beragama”, yang disampaikan oleh Prof. Machasin; “Keprihatinan dan Usaha Agama-Agama untuk Mencapai Papua Tanah Damai” dengan melihat secara khusus beberapa persoalan: “HIV/AIDS” oleh Dr. Gunawan, “Lingkungan dan sumber daya alam” oleh Ida Bagus Suta Kertya, “Tantangan, ancaman dan tindakan menghadapi masuknya gerakan radikalisme agama di Tanah Pa pua” oleh Toni Wanggay dan “Pendidikan sebagai fondasi kuat bagi Masyarakat” oleh Uskup Leo Laba Ladjar. Sesi lain terkait dengan “Menuju Papua Tanah Damai dengan Membangun Masyarakat Indonesia Majemuk Tanpa Kekerasan”, yang di dalamnya juga membahas tentang perubahan demografi masyarakat di Tanah Papua serta “Makna Kehadiran AgamaAgama di Tanah Papua”, yang diisi oleh Sidney Jones, Theo van den Broek dan Neles Kebadabi Tebay. Yang diharapkan dari kegiatan ini adalah peserta menjadi aktor-aktor yang mampu melaksanakan panggilan agama-agama untuk kemanusiaan dan perdamaian demi terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai. (ES)
Chronicle now ask is, have the activities proposed in 2014 been implemented? What is their progress? In addition, the participants from the conference wereprovided with various materials including the Keynote Speech from the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, specifically on “The Challenges and Opportunities for the Draft Religious Protection Bill”, which was presented by Prof. Machasin. Participants also received information on “Concerns and Religions Efforts to Achieve a Peaceful Papua” by looking specifically at some of the issues including “HIV/AIDS” presented by Dr. Gunawan, “The Environment and Natural Resources” presented by Ida Bagus Suta Kertya, “Challenges, threats and actions in facing the influx of radical religious movements in Papua” presented by Toni Wanggay and “Education as a strong foundation for the People”presented by Bishop Leo Laba Ladjar. A separate session was focused on the topic, “TowardsPapua, a Land of Peace, by Building a Pluralistic Indonesian Society Free of Violence”. The session also looked at the changing demographics of Papuan society as well as the “Significance of the Appearance of Different Religions in Papua”, which comprised of contributions by Sidney Jones, Theo van den Broek and Neles Kebadabi Tebay. From these activities, it is hoped that the parti cipants will become actors capable of implementing the religious call for humanity and peace, in order to realize the goal of a peaceful Papua. (ES)
Edisi Juli-Desember 2015
17
Interfidei newsletter
Kronik
CAPACITY BUILDING WORKSHOP STAGE 2 INTERFAITH NETWORK GORONTALO & KOTAMOBAGU
LOKAKARYA PENGEMBANGAN KAPASITAS TAHAP 2 JARINGAN ANTARIMAN DI GORONTALO & KOTAMOBAGU
S
F
Kegiatan tersebut diselenggarakan berkat kerja sama antara Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta dengan FIS-Universitas Negeri Gorontalo, Univer sitas Dumoga Kotamobagu, Sinode GMIBM, Kota mobagu. Lokakarya ini melibatkan berbagai stake holder berpengaruh di Kotamobagu dan di Gorontalo, antara lain dari kalangan FKUB yang diwakili lang sung oleh ketua, perwakilan Kementerian Agama dari agama Kristen, Aliansi Masyarakat Adat
This workshop on capacity building was orga nized in collaboration between the Institute DIAN/ Interfidei Yogyakarta with the Faculty of Social Sciences at Gorontalo State University, University Dumoga Kotamobagu and the Clergy of GMIBM (a local Christian Church), Kotamobagu. The workshop involved various influential stakeholders from Kota mobagu and Gorontalo, including the chairman of the Forum for Interreligious Harmony (FKUB), a
etelah pada bulan Mei lalu diadakan lokakarya pengembangan kapasitas jaringan antariman ta hap I di Gorontalo, pada tanggal 14-20 September 2015 diselenggarakan lokakarya tahap 2 di lokasi yang berbeda, yaitu di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Lokakarya diadakan selama 7 hari, lebih singkat dari lokakarya tahap I, yaitu 10 hari. Karena telah terjalin komunikasi intensif selama 10 hari di Gorontalo, maka para peserta tidak lagi punya halangan untuk menjalin komunikasi yang lebih intens dan tetap fokus pada materi.
18
Edisi Juli-Desember 2015
ollowing last May’s stage 1 workshop on interfaith network capacity building in Gorontalo, Interfidei hosted the second stage between the 14th and 20th of September 2015 in a different location, namely in Kotamobagu, North Sulawesi. The workshop ran for a total of 7 days, shorter than that of stage 1 which lasted for 10 days. Since intensive communication had already been established during the 10 day period in Gorontalo, the participants no longer faced the hindrance of needing to establish more intense communication links and could thus focus on the material.
Interfidei newsletter Bolaangmongondow dan dari Universitas Negeri Gorontalo. Peserta berasal dari berbagai komunitas, antara lain pemuda gereja GMIBM, Mahasiswa Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), Himpunan Mahasiswa islam (HMI), IAIN Gorontalo dan Universitas Negeri Gorontalo. Lokakarya kali ini lebih menekankan pada pendalaman dan penajaman materi yang sudah diperoleh sebelumnya, diantaranya materi Analisis Jaringan dan Stakeholder, HAM, investigasi dan advokasi. Diskusi yang cair dengan dipandu oleh pemateri yang mampu mengarahkan diskusi tak lagi di wilayah permukaan, namun sudah mengarah pada aplikasi nyata sesuai dengan konteks Gorontalo dan Kotamobagu. Dari lokakarya tahap 2 ini diharapkan peserta memiliki kemampuan kritis-konstruktif dalam mengimplementasikan pengetahuan yang sudah di peroleh. Lebih jauh diharapkan kelompok pemuda berbasis antariman yang sudah ada di Gorontalo dan Kotamobagu (sebagai hasil dari lokakarya ta hap 1) mampu menjadi penggerak, inisiator dan orga nizer dalam melakukan berbagai aktivitas untuk mengantisipasi, mencegah, menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan terkait dengan isu
Chronicle Christian representative from the Ministry of Reli gious Affairs, as well as representatives from the Indi genous Peoples Alliance of Bolaangmongondow and the State University of Gorontalo. Participants were from a number of different communities, including from the GMIBM Church youth, the University of Dumoga Kotamobagu student group (UDK), the Islamic Students Association (HMI), the State Islamic Institute (IAIN) Gorontalo and the State University of Gorontalo. The focus of this workshop was on deepening the understanding of material previously provided to the participants in stage 1. Such material included information on network and stakeholder analysis, human rights, investigation and advocacy. A fluid discussion was lead by the speaker who was able to lead the discussion beyond simply scratching the surface, to real world applications of the material in the context of Gorontalo and Kotamobagu. It is hoped that from this second stage participants will have developed a critical and constructive ability in the implementation of knowledge provided. It is also strongly hoped that interfaith youth groups already in Gorontalo and Kotamobagu (established during stage 1 of the workshop) will be capable of becoming the driving force, initiators and organizers in conducting
Edisi Juli-Desember 2015
19
Interfidei newsletter
Kronik pluralisme agama, termasuk di dalamnya soal kebe basan beragama dan berkeyakinan, isu kekerasan atas nama agama, juga aktivitas yang mengedepankan kepedulian agama-agama terhadap persoalan-perso alan sosial-kemasyarakatan dan kebangsaan. Pemateri pertama adalah Francis Wahono, yang berbicara tentang dasar-dasar pembentukan jaringan dan analisis sosial. Dasar falsafah dan pengalaman empiris yang kuat membuat materi yang disampaikan terasa lebih nyata. Kemudian diintegrasikan dengan materi dari Muhammad Isnur, staf LBH Jakarta, yang juga memiliki pengalaman banyak di bidang advokasi, mengorganisir massa dan pemberian dasar materi mengenai HAM. Terbukti para peserta mampu mengkontekstualisasikannya ke dalam dua kasus riel, yaitu kasus Ahmadiyah untuk kelompok Gorontalo, dan kasus pembangunan gereja untuk kelompok Kotamobagu. Keduanya didorong untuk membuat peta permasalahan, sebab akibat, manajemen kon flik dan akhirnya mampu membuat “solusi” bagi per masalahan bersama tersebut. (MF)
various activities to anticipate, prevent, confront and overcome the various problems associated with the issue of religious pluralism, including the matter of freedom of religion and belief, the issue of violence in the name of religion, as well as activities that promote religious awareness on social, civic and national issues. The first speaker was Francis Wahono who spoke more to the basics of networking and social analysis. Basic philosophical reasoning and strong empirical evidence made this material feel more relevant in a real world context. Next was Muhammad Isnur, a staff member from the Foundation of Legal Aid (LBH) Jakarta, who also possessed experience in the field of advocacy, organizing the masses and the provision of basic material on human rights. The participants proved to be capable of contextualizing two real world cases in the Ahmadiyah case for the Gorontalo group, and the case of the construction of a Church for the Kotamobagu group. Both groups were encouraged to create a problem map, find the cause and effect, engage with conflict management and finally have the ability to find a “solution” to the specific problem. (MF)
DIALOG ANTARIMAN KE-3
THE 3RD INTERFAITH DIALOGUE
“AGAMA, NEGARA DAN MEDIA DALAM DIALOG: PERSPEKTIF INDONESIABELANDA”
“RELIGION, STATE, AND MEDIA IN DIALOGUE: INDONESIA-NETHERLANDS PERSPECTIVE”
P
ada 26 September 2016 Interfidei menghadiri Dialog Lintas Agama bertajuk “Religion, State, and Media in Dialogue: Indonesia-Netherlands Perspective’. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, ini merupakan kerjasama antara Kedutaan Indonesia di Belanda dengan Konsorsium Belanda-Indonesia untuk Relasi Muslim-Kristen dan didukung oleh Kementerian Luar Negeri, Kemen terian Agama, dan Initiative of Change. Dalam sambutannya, Duta Besar Esti Andayani menyampaikan bahwa kegiatan Dialog Lintas Agama tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman publik Belanda mengenai Islam di Indonesia yang moderat, memperkuat status Indonesia se bagai negara yang mengedepankan dia log, meningkatkan hubungan antar pihak, serta memperkuat citra Indonesia sebagai salah satu negara pelopor dialog antariman.
20
Edisi Juli-Desember 2015
O
n the 26th of September 2015 Interfidei attended an Interfaith Dialogue event entitled “Religion, State, and Media in Dialogue: Indonesia-Netherlands Perspective”. These dialogue activities were under taken in Den Haag, the Netherlands, as part of a colla boration effort between the Indonesian Embassy in the Netherlands and the Netherlands-Indonesian Consor tium for Muslim-Christian Relations. The event was also supported by the Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Religious Affairs, and the Initiative of Change. In her welcoming speech, Ambassador Esti An dayani conveyed a message about the purpose of these Interfaith Dialogue activities. Ambassador Esti Andayani explained that these activities were intend ed to increase public understanding in the Netherlands about moderate Islam in Indonesia, to strengthen the status of Indonesia as a country that emphasizes dia logue, to improve relations between different parties,
Interfidei newsletter Kegiatan DLA dan Dialog Media diisi de ngan pertemuan, diskusi dan dialog dengan ka lang an akademisi, to koh agama, media dan kalangan masyarakat ma dani lainnya. Dalam dialog tersebut dipandu oleh Jan Passchier se ba gai moderator dan menghadirkan enam na rasumber antara lain; Bahrul Hayat (Perwa kilan dari Kemente ri an Agama), Manuela Kalsky (Internet Network Nieuwwij!), Yosep Adi Prasetyo (Dewan Pers Indonesia), Endy Bayuni (Jakarta Post), Augustinus Ulahyanan (KWI) dan Miranda Klaver (VU University). Dalam dialog tersebut disampaikan beberapa hal terkait dengan pentingnya peran media dalam mendorong dialog antaragama. Sayangnya beberapa media justru lebih banyak menampilkan kekerasan dan konflik daripada upaya positif yang dibangun untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Endy Bayuni dalam kesempatan tersebut juga menambahkan kurangnya perspektif dan kualitas jurnalistik pada diri wartawan membuat media justru menjadi pihak yang memicu kebencian. Selain peran media arus utama, peran penggunaan media oleh masyarakat juga dianggap penting. Manuela Kalsky dalam pemaparannya memberikan contoh bagaimana masyarakat bisa membuat media sendiri seperti website, video, dan artikel, sebagai upaya membangun dialog dan mengurangi prasangka pada orang yang berbeda agama. (WF)
Chronicle and to strengthen the image of Indonesia as one of the pioneers in terfaith dialogue. DLA activities and the Dialogue on Media consisted of meetings, discussions and dia logue sessions with academics, religious lead ers, the media and other civil society actors. The dialogue was guided by Jan Passchier as moderator and was attended by six guest speakers, including; Bahr Hayat (Representative for the Ministry of Religious Affairs), Manuela Kalsky (Internet Network Nieuwwij) , Yosep Adi Prasetyo (Indonesian Press Council), Endy Bayuni (Jakarta Post), Augustinus Ulahyanan (The Indonesian Bishops Conference-KWI) and Miranda Klaver (VU University). Within this dialogue event, a number of issues emerged in relation to the importance of the media’s role in encouraging interfaith dialogue. Unfortunately some media outlets are more inclined to present to the public cases of violence and conflict rather than looking at the positive efforts being created in order to realize the goal of interreligious harmony. Endy Bayuni also took this opportunity to add that the lack of perspective and the quality of journalism on behalf of journalists themselves results in the media becoming a mechanism to incite hatred. In addition to the role of mainstream media, the role of society and their use of the media were also considered to be important. Manuela Kalsky in her presentation provided an example of how people can create their own media channels such as websites, videos, and articles, as part of the effort to develop dialogue and reduce prejudices between people of different religions. (WF)
Edisi Juli-Desember 2015
21
Interfidei newsletter
Kronik KONFERENSI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI ASIA TENGGARA
T
anggal 29 September – 1 Oktober 2015, the International Commission of Jurists (ICJ), the Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), dan Boat People SOS (BPSOS), menyelenggarakan Konferensi di Bangkok. Tujuan yang mau dicapai adalah: 1) membangun pemahaman bersama di antara para pengampu yang ada di wilayah Asia Tenggara, tentang mandat yang diberikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB); 2) Menyiapkan sebuah pijakan bersama bagi kelompok aga ma yang ber beda di Asia Tenggara dan para pembela KBB untuk mendiskusikan demi mencapai pemahaman bersama ten tang perbedaan dan berbagi hal yang selama ini menjadi h a mb a t a n , yang dihadapi di wilayah Asia Tenggara, termasuk mengindentifikasi dan meng eksplorasi isu-isu kunci yang penting; 3) Mengidentifikasi strategi-strategi advokasi dan praktek-praktek yang paling baik yang terjadi dalam rangka menghadapi tantangan KBB dan proses mitigasi penganiayaan terhadap agama, dan menguatkan kerjasama di antara berbagai pengampu, demi mempromosikan KBB di Asia Tenggara. Konferensi ini dihadiri oleh Pelapor Khusus PBB, Dr. Heiner Bielefeldt. Dari Indonesia, hadir dari beberapa perwakilan lembaga, umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk Institut DIAN/Interfidei. Sayang bahwa dari pemerintah Indonesia akhirnya batal hadir sekalipun sudah diberikan kesempatan untuk presentasi, dikarenakan peristiwa “Mina”. (ES)
22
Edisi Juli-Desember 2015
CONFERENCE ON FREEDOM OF RELIGION AND BELIEFIN SOUTHEAST ASIA
F
romSeptember 29th to October 1st2015, the Inter national Commission of Jurists (ICJ), the Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), and Boat People SOS (BPSOS) hosted the Conference on Freedom of Religion and Belief in Southeast Asia. This conference was held in Bangkok, Thailand. The aims of this gathering were: (1) To build understanding among stakeholders in the region concerning the mandate of the UN Special Rapporteur on freedom of religion and belief; (2) To provide a platform for various South east Asian reli gious groups and advocates of religious freedom to dis cuss and bett er understand distinct and shared obs tacles shared across the re gion, including ident if ic at ion and exploration of key emerging issues; and (3) To identify advocacy strategies and best practices that work in overcoming the challenges of religious freedom or mitigating religious persecution and to strengthen the cooperation among multi-stakeholders in promoting freedom of religion and belief in Southeast Asia. This conference was attended by special UN Rapporteur of Freedom of Religion and Belief, Dr. Heiner Bielefeldt. From Indonesia, a number of repre sentatives from different institutions attended, mainly from Non Government Organizations (NGOs), including Institute DIAN/Interfidei. Unfortunately re presentatives from the Indonesian government pulled out of the event, even though they had already been provided the space to present based on the events of “Mina” accident. (ES)
Interfidei newsletter LOKAKARYA GURU AGAMA DAN PKN SE-SULAWESI TENGAH “MERANCANG RPP – KURIKULUM 2006 PENDIDIKAN PLURALISME DI SULAWESI TENGAH”
P
ada 1 – 3 Oktober 2015, Institut DIAN/Interfidei, bekerjasama dengan Institut Mosintuwu, Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID), dan Yayasan Al-Khairaat, Palu, telah berhasil menyelenggarakan Lokakarya guru-guru lintas agama dan guru PKN se-Sulawesi Tengah di Hotel Golden, Palu. Lokakarya kali ini merupakan lanjutan dari beberapa lokakarya sebelumnya dan mengambil tema “Merancang RPP-Kurikulum 2006 Pendidikan Pluralisme di Sulawesi Tengah”.
Kegiatan ini diikuti oleh 31 orang guru (guru agama dan guru PKN) yang pernah mengikuti lokakarya di Palu (dua tahap) dan Poso (satu ta hap). Lokakarya ini difokuskan pada praktek mem buat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan praktek di dalam kelas berdasarkan RPP yang telah dibuat. Lokakarya kali ini di maksudkan agar para guru dapat mendalami pe mahaman mereka mengenai apa dan bagaimana materi pendidikan pluralisme yang dibutuhkan oleh siswa yang beragam dari sisi etnis dan agama dan bagaimana menyajikan materi tersebut agar dapat dipahami dan diamalkan oleh siswa. Selain itu, lokakarya kali ini juga salah satunya bertujuan untuk melakukan pre-monitoring dan evaluasi atas kegiatan sebelumnya.
Chronicle WORKSHOP FOR TEACHERS OF RELIGION AND CIVIC EDUCATION ACROSS CENTRAL SULAWESI “FORMULATING THE 2006 LESSON PLAN-CURRICULUM FOR A PLURALISTIC EDUCATION IN CENTRAL SULAWESI”
F
rom the 1st-3rd of October 2015, Institute DIAN/ Interfidei, in collaboration with the Mosintuwu Institute, the Donggala Indonesian Protestant Church (GPID), and the Al-Khairaat Foundation, Palu, successfully organized a workshop for interfaith and civic education teachers from across Central Sulawesi. The workshop was held in the Golden Hotel, Palu. As a continuation on previous workshops by Interfidei, this workshop took the theme of “Formulating
the 2006 Lesson Plan-Curriculum for a Pluralistic Education in Central Sulawesi”. The event was attended by 31 teachers (of both religion and civic education) who had previously attended the workshops in Palu (two stages) and Poso (one stage). The workshop focused on the practical development of a lesson plan and the use of this lesson plan in the classroom. The purpose of the workshop was to deepen the teachers’ understanding on what a pluralistic education is, how do they understand the meaning and relevancy of the theological basic of each topic, what kind and how is the methodology they need to use and how it is needed by students of diverse ethnic and religious backgrounds. Teachers were also taught how best to present their newly developed material so that their students can better understand it and practice it in their everyday lives. In addition, this workshop also aimed to conduct premonitoring and evaluation of previous programs.
Edisi Juli-Desember 2015
23
Interfidei newsletter
Kronik Ada dua narasumber yang membantu mendalami materi yaitu Dr. Lukman S. Tahir (Sekjen Al-Khairaat Palu) dan Dr. Tertius Lantigimo (Ketua STT Bala Keselamatan di Palu). Untuk memperlancar semua proses, termasuk proses monev, lokakarya ini dipandu dan didampingi oleh 5 fasilitator yakni Elga Sarapung, Anis Farikhatin, Sartana, Munsoji, Romo Fx. Sugiyana dan Wiwin Siti Aminah. Selama tiga hari, akhirnya para guru berhasil membuat 3 RPP, berdasarkan 3 kelompok agama yang ada yakni Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Setelah itu mereka juga mempraktekkannya dalam bentuk simulasi. Ke depan diharapkan RPP ini dapat diterbitkan sebagai pegangan bagi para guru untuk melaksanakan tugas belajar mengajar di sekolah masing-masing. (WR)
SEMINAR DAN LOKAKARYA AGAMA-AGAMA KE-31 PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
Two guest speakers helped the participants to understand the material more deeply, namely Dr. Lukman S. Tahir (General Secretary of Al-Khairaat, Palu) and Dr. Tertius Lantigimo (Chairman of the Jakarta Theological Seminary Bala Keselamatan in Palu). To ensure all processes ran smoothly, including the monitoring and evaluation processes, the workshop was guided by 5 facilitators, namely Elga Sarapung, Anis Farikhatin, Sartana, Munsoji, Romo Fx. Sugiyana and Wiwin Siti Aminah. At the end of the three day period, the teachers succeeded in developing three lesson plans, based on the three religious groups present, namely Islam, Christian Protestant and Catholic. Following the development of the lesson plans, the teachers were asked to implement the plan in a simulation. It is hoped the lesson plans will be published as a complimentguidance for teachers in their respective schools. (WR)
THE 31st SEMINAR AND WORKSHOP ON RELIGION (SAA) COMMUNION OF CHURHCES IN INDONESIA (PGI)
P
F
Tema SAA ke 31 kali ini adalah “Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) dan Problem Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan”. Seminar dan Lokakarya AgamaAgama ini bertujuan untuk 1) Menyiapkan kertas posisi PGI mengenai rencana UU PUB yang akan menjadi masukan bagi Sidang MPL-PGI tahun 2016; 2) Mengembangkan kesadaran gereja-gereja mengenai persoalan-persoalan krusial rencana UU PUB visà-vis isu “Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”; 3)
The theme of this 31st SAA religious seminar was “Draft Bill on the Protection of Religious Adherents (PUB) and Issues of Freedom of Religion and
ersekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengadakan Seminar dan Lokakarya AgamaAgama yang ke 31 pada tanggal 19-23 Oktober 2015 di Lawang, Malang, Jawa Timur. Peserta yang hadir dalam acara tersebut sekitar 80 orang yang merupakan utusan gereja-gereja di bawah PGI dari seluruh Indonesia. Pada kesempatan kali ini juga PGI mengundang lembaga-lembaga lain seperti Lembaga Keumatan (NU, Muhammadiyah, KWI, MATAKIN, PHDI dan WALUBI dan Kepercayaan), ANBTI, STT, Setara Institute, ELSAM, Ma’arif Institute, Wahid Institute, CRCS-UGM, Paramadina dan DIAN/Interfidei untuk hadir dan memberikan kontribusi serta berbagi pengalaman terkait dengan tema Seminar dan Lokakarya ini.
24
Edisi Juli-Desember 2015
rom the 19th-23rd of October 2015 the Communion of Churches in Indonesia (PGI) hosted its 31st Seminar and Workshop on Religion (SAA) in Lawang, Malang, East Jawa. Approximately 80 participants from PGI churches all across Indonesia attended the event. On this occasion, the PGI also invited a number of other organizations to the event including numerous religious institutions (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, the Indonesian Bishops Conference (KWI), Indonesia Confucianism High Assembly (MATAKIN), Indonesian Hinduism Society (PHDI), Indonesian Buddhists Association (WALUBI) and local belief groups). The PGI also invited other organizations including the National Alliance of Unity in Diversity (ANBTI), Jakarta Theological Seminary (STT), Setara Institute, Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM), Ma’arif Institute, Wahid Institute, University of Gadjah Mada’s Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Paramadina, as well as DIAN/Interfidei to attend the event and contribute by sharing their experiences in the context of the SAA theme.
Interfidei newsletter Memperkuat jejaring advokasi antar-iman yang sudah ada dan memberi kontribusi substantif melalui kertas posisi PGI. Persoalan RUU PUB diharapkan menjadi solusi dan regulasi perlindungan umat beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang sedang marak dengan kasus intoleransi, diskriminasi, kekerasan atas nama agama dan pembiaran dari penegak hukum atas kasus-kasus tersebut. Turut hadir dalam acara tersebut, berbagai tokoh lintas agama yang menjadi pembicara selama sesi diskusi panel dengan tema-tema terkait dengan RUU PUB, di antaranya AA Yewangoe, Martin L. Sinaga, A. Sunarko OFM, Pdt. Gomar Gultom, Jo Priastana, Ws. Hanompramana, Syamsul Ma’arif, Lian Gogali, Dewi Kanti, Zainal Abidin Bagir, dan Ulil Abshar Abdalla. SAA kali ini juga mempunyai concern terhadap isu perlindungan agama lokal dan kelompok minoritas agama yang ada di Indonesia. Hasil dari SAA ini adalah Lembar Naskah Aka demik dari PGI yang nantinya akan menjadi masukan bagi Kemenag dalam merancang RUU PUB tahun 2016 nanti. Tidak hanya membahas mengenai ma sukan akademik, SAA juga membuat pernyataan terbuka untuk kasus Aceh Singkil yang terjadi hampir bersamaan dengan terselenggaranya SAA ini dimulai. Kasus pembakaran gereja di Aceh Singkil merupakan salah satu kasus pembiaran secara hukum oleh aparat penegak hokum. Peserta SAA merespon kasus ini
Chronicle Belief”. The purpose of this seminar and workshop was threefold, 1) To prepare PGI’s contribution on the Draft Bill on the Protection of Religious Adherents (UU PUB) that will later be discussed at the gathering of PGI leaders in 2016; 2) To develop awareness in the Church about crucial issues pertaining to the plan of the PUB Bill vis-à-visissues of “Freedom of Religion and Belief”; 3) To strengthen the already existent interfaith advocacy networks and provide a substantial contribution to the work of PGI. The PUB Bill is expected to solve the issue of regulation of freedom of religion and belief in Indonesia which is currently plagued by cases of intolerance, discrimination, violence in the name of religion and complacency of behalf of law enforcement. Also present at the SAA seminar and workshop were various interfaith leaders who attended as speakers during the panel discussion sessions. These discussion sessions all had themes relating to the PUB Bill. Speakers included AA Yewangoe, Martin L. Sinaga, A. Sunarko OFM, Pastor Gomar Gultom, Jo Priastana, Ws. Hanompramana, Syamsul Maarif, Lian Gogali, Dewi Kanti, Zainal Abidin Bagir, and Ulil Abshar Abdalla. The 31st edition of the SAA seminar and workshop on religion was also concerned with the issue of protecting local religion and religious minorities groups in Indonesia.
Edisi Juli-Desember 2015
25
Interfidei newsletter
Kronik dengan membuat surat terbuka kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus Aceh Singkil dengan pernyataan: 1. Mengutuk kekerasan mengatasnamakan SARA yang mencederai kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dan mencederai kehidupan kebhinekaan 2. Memberikan somasi kepada pemerintah setempat yang melakukan pembiaran terhadap pelaku kekerasan setempat 3. Menuntut penegakan hukum terhadap pelakupelaku pembakaran 4. Menuntut dihapusnya berbagai kebijakan yang inkonstitusional yang merugikan kebebasan kehi dupan beragama dan rumah ibadah di berbagai daerah 5. Mendesak Pemerintah untuk membangun kembali Gereja-Gereja di Aceh Singkil yang dihancurkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. (RT)
KONFERENSI PEMUDA NUSANTARA UNTUK PERDAMAIAN INDONESIA
The result from this year’s SAA was an academic paper on behalf of the PGI that will be used by the Ministry of Religious Affairs in designing the PUB Bill later in 2016. However it was not just academic contribution that emerged, this seminar and workshop on religion also saw the creation of an open statement regarding the Church burning incident in Aceh Singkil. This particular case is an example of an omission and oversight on behalf of law enforcement. Participants of the seminar responded to this case by creating an open letter to the government demanding they resolve the case in Aceh Singkil by doing the following: 1. Condemn violence that is carried out in the name of ethnicity, religion, race or social groupings (SARA) that damages the freedom of religion guaranteed by the constitution and damages diversity 2. Provide subpoenas to the governments that allow for the impunity of local perpetrators 3. Demand the perpetrators be brought to justice 4. Demand the removal of unconstitutional policies that harm the freedom of religion and places of worships in all regions 5. Urge the government to rebuild the destroyed churches in Aceh Singkil as quickly as possible. (RT)
ARCHIPELAGIC YOUTH CONFERENCE FOR INDONESIAN PEACE
L
F
Salah satu rangkaian acara konferensi ini adalah seminar perdamaian dengan tema “Pemuda, Konflik Sosial, dan Perdamaian” dengan narasumber Pendeta
One conference event was a peace seminar with the theme “Youth, Social Conflict, and Peace,” with guest speaker Pastor Paulus Widjaja (Dean of
embaga Perdamaian Lintas Golongan dan Agama (LPLAG) mengadakan Konferensi Pemuda Nusantara untuk Perdamaian Indonesia: sebuah Refleksi atas Hari Sumpah Pemuda dan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia” di Balaikota Surakarta pada tanggal 26-28 Oktober 2015, yang didukung oleh Pemerintah Kota Surakarta, PC NU Surakarta, PP Al-Muayyad Windan dan Vihara Dhamma Sundara Surakarta. Acara ini menghadirkan sekitar 100 pemuda dari seluruh Indonesia sebagai perwakilan pemuda Indonesia untuk mendekalarasikan Sumpah Pemuda, membangun jejaring pemuda Nusantara dan menjalani serangkaian acara seminar dengan berbagai tema yang menjadi tantangan dan peluang untuk pemuda Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang.
26
Edisi Juli-Desember 2015
rom the 26th-28th of October 2015, the Institute for Interreligious and Intergroup Peace (LPLAG) hosted the “Archipelagic Youth Conference for Indonesian Peace: a Reflection on Youth Pledge Day and 70 Years of Indonesian Independence” in Surakarta City Hall. The conference was supported by the Government of Surakarta, the Nahdlatul Ulama Surakarta branch, the Al-Muayyad Windan Islamic Boarding School and the Dhamma Sundara Buddhist Temple Surakarta. The event brought together around 100 young people from across Indonesia as youth representatives for the Youth Pledge declaration to establish an Indonesian youth network and to undergo a series of seminars with various themes relating to the challenges and opportunities for Indonesian youth in the present and in the future.
Interfidei newsletter Paulus Widjaja (Dekan Fakultas Teologi UKDW) dan Elga Sarapung (Direktur DIAN/Interfidei Yogya karta). Pada sesi seminar ini dihadiri oleh sekitar 40 pemuda dari berbagai institusi. Pendeta Paulus mengawali presentasi dengan menampilkan beberapa contoh konflik intoleransi di Indonesia dan mengatakan bahwa tidak pernah ada seseorang beretnis Jawa membenci seseorang lain yang beretnis Madura hanya karena dia beretnis Madura. Dengan analogi yang sama, tidak pernah ada pula seorang Muslim membenci seorang Kristiani hanya karena dia seorang Kristiani, begitu pun sebaliknya. Berbagai konflik sosial yang tetap terjadi dianggap Pendeta Paulus sebagai sebuah konstruksi sosial kekerasan, yakni sebuah keadaan yang diatur oleh pihak tertentu agar antara lingkungan sosial dianggap saling bermusuhan. Hal ini kemudian memunculkan spirit penyingkiran yang terdiri dari empat bentuk; dominasi yang memberikan kekuasan kepada kaum mayoritas, eliminasi yang melakukan penghancuran kepada kaum minoritas, asimilasi yang memaksa kaum minoritas melebar dengan kaum mayoritas, dan distansi yang membuat jarak antara kaum mayoritas dengan minoritas. Solusi yang diajukan pendeta Paulus adalah melakukan intervensi untuk mencapai integrasi masyarakat dengan benar. Masyarakat yang masih berada dalam tahap pengingkaran (mengingkari adanya kelompok lain) harus di-intervensi dengan melakukan penyadaran, masyarakat yang masih
Chronicle the Faculty of Theology at Duta Wacana Christian University) and Elga Sarapung (Director of DIAN/ Interfidei Yogyakarta). This session was attended by approximately 40 young people from various institutions. Pastor Paulus began the presentation by showing some examples of intolerant conflict in Indonesia and expressed his opinion that there had never been an ethnic Javanese who hated an ethnic Madura, simply because he was an ethnic Madura. Using the same analogy, he stated that there had never been a Muslim who hated a Christian simply because he was Christian, or vice-versa. The various social conflicts that persist to this day are considered by Pastor Paulus to be violent social constructions. These constructions are managed by certain parties who use them to create a mutually hostile social environment. What results is a spirit of exclusion, comprised of its four different forms: 1) domination by the majority; 2) elimination of those who threaten the minorities; 3) the forced assimilation of the minorities into the majority; and 4) the distance which creates a gap between the majority and the minority. Pastor Paulus’ proposed solution is to intervene in order to achieve proper societal integration. For Pastor Paulus, people who are still in the denial stage (denying the existence of other groups) must receive intervention through the spreading of awareness, people who are still in the self-defense stage (assuming their group is better than other groups) must receive intervention through the
Edisi Juli-Desember 2015
27
Kronik berada di tahap pertahanan diri (menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok lain) harus diintervensi dengan menggunakan dialog, masyarakat yang berada di tahap minimisasi (menganggap semua kelompok mempunyai nilai yang sama) harus diintervensi dengan pembelajaran penempatan sikap sesuai budaya tersebut. Sementara itu Elga Sarapung menekankan pentingnya mengelola keberagaman untuk masa depan Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki banyak sekali keberagaman dari segi etnis, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga apabila mampu mengelola perbedaan dengan baik, maka ia akan menjadi sesuatu yang konstruktif demi terciptanya perdamaian. Namun, apabila Indonesia tidak mampu mengelolanya, maka perbedaan akan menjadi sesuatu yang destruktif. Solusi yang ditawarkan adalah belajar menerima bahwa perbedaan adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang sudah seharusnya (sunatullah) sehingga tidak perlu diributkan lagi perihal mana yang lebih baik ataupun yang lebih benar. Penyelesaian sebuah konflik sosial di Indonesia sampai saat ini masih bersifat top-down dan hanya terjadi pada bagian elitenya saja, sehingga persoalan dasarnya tidak tersentuh sama sekali untuk diselesaikan. Di sinilah peran pemuda menjadi penting untuk menjadi kelompok yang aktif dalam menyelesaikan permasalahan dari akarnya. Sebutan ‘pemuda adalah masa depan bangsa’ memang benar, namun bukan berarti pemuda diam saja melihat persoalan bangsa di masa kini. Pada hari ketiga peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk melakukan kunjungan ke Vihara Dhamma Sundara, PP Al-Muayyad Windan dan ke Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) yang ada di Surakarta untuk mengetahui dinamika dan perkembangan keberagaman di Surakarta dan merefleksikan hasil kunjungan sebagai masukan pemikiran untuk membangun kedamaian di Indonesia. Konferensi ini menghasilkan deklarasi pemuda Nusantara untuk perdamaian yang isinya; 1) Mewujudkan perdamaian dan keadilan; 2) Menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi; 3) Menolak segala bentuk kerusakan alam dan lingkungan; 4) Berperan aktif dalam peningkatan kesejahteraan dan pengembangan budaya serta karya kemanusiaan; 5) menjaga dan mempertahankan kesatuan bangsa. Diharapkan acara ini akan tetap dilaksanakan dan berlangsung setiap tahun di kota-kota lain di Indonesia. (RT&MIH)
28
Edisi Juli-Desember 2015
Interfidei newsletter means of dialogue, and people in the minimization stage (assuming all groups have the same value) must receive intervention by learning how to place their attitudes in a suitable cultural context. Meanwhile Elga Sarapung emphasized the importance of managing diversity for the future of Indonesia. Managing diversity is crucial to Indonesia as the country is highly ethnically, linguistically, religiously and culturally diverse. If Indonesia is able to manage differences well, diversity then becomes a constructive trait for the creation of peace. However, if Indonesia cannot manage its differences well, then diversity becomes destructive. The solution offered by Elga is to learn to accept difference as something natural or given, something that should absolutely be (sunatullah). Doing so will mean there is no longer the need to fuss over which group (religion) is better or more correct. Other thing explained by Elga was about the approach to social conflict resolution in Indonesia remains top-down, occurring only at the elite level. As such the core issue remains essentially untouched. This is where the role of the youth, as an active group who seeks to solve the problem from its roots, is important.The phrase ‘the future of the nation lies with the youth’ is true, but that does not mean the youth can just sit around and passively observe the problems facing the nation today, they must act. That’s why, the role of youth must be started right now for the sake of the better future of the live of all people, the nation. On the third day, participants were divided into three groups and visited the Dhamma Sundara Buddhist Temple, the Al-Muayyad Windan Islamic Boarding School and the Christian Church Muria Indonesia (GKMI) in Surakarta in order to better understand the dynamics and development of diversity in Surakarta. Participants were expected to reflect on the results of their visit to provide their input and opinions on the peace building process in Indonesia. This conference succeeded in formulating the Archipelagic Youth Declaration for Peace. Its contents are as follows; 1) Achieve peace and justice; 2) Reject all forms of violence and discrimination; 3) Reject any form of environmental destruction; 4) Play an active role in promoting prosperity, cultural development and humanitarian efforts; 5) Guard and maintain the unity of the nation. It is hoped this event will take place in other cities across Indonesia in the coming years. (RT&MIH)
Interfidei newsletter PENGEMBANGAN KAPASITAS ALUMNI KEGIATAN MITRA M21
Chronicle CAPACITY BUILDING FOR THE ALUMNI OF M21 PARTNER PROGRAMS
T
F
Pelatihan yang dilaksanakan selama 4 hari ini bertujuan untuk menciptakan aktor-aktor penggerak gerakan pluralisme berbasis antariman di wilayah masing-masing. Kegiatan ini secara khusus juga menciptakan ruang dan kesempatan bagi alumni kegiatan Mission 21 untuk bertemu, berkenalan, belajar dan berinteraksi bersama.
The 4 day training session aimed to create actors who would help drive the interfaith-based pluralism movement in their respective territories. The event also specifically created the space and opportunity for the alumni of Mission 21’s programs to meet, get to know one another, learn and interact with each other.
anggal 28 – 31 Oktober 2015, Institut DIAN/ Interfidei bekerjasama dengan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin dan Mission21 mengadakan kegiatan pengembangan kapasitas bagi alumni kegiatan mitra Mission 21. Kegiatan ini diikuti oleh 18 peserta yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kabupaten Kandangan, Kabupaten Kotabaru, Bandung, Jakarta..
Pada pelatihan tersebut, peserta mendapatkan materi tentang dampak perubahan demografi dalam dinamika perkembangan agama dan hak-hak dan problem kewargaaan - kewarganegaraan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hadir sebagai pembicara dalam sesi ini adalah Dr. Setia Budhi, Dosen FISIP Universitas Mulawarman
rom the 28th to the 31st of October 2015, Institute DIAN/Interfidei collaborated with the Institute of Islamic and Societal Studies (LK3) Banjarmasin and Mission 21 (M21) to hold a capacity building training event for the alumni of Mission 21 partner programs. The event was attended by 18 participants from Banjarmasin, Kandangan Regency, Kotabaru Regency, Bandung, Jakarta.
During the aforementioned training, participants obtained material about the impact of demographic change on the development of religion and citizenship rights, as well as issues of citizenship in the context of freedom of religion and belief in Indonesia. Two guest speakers attended in this session, Dr. Setia Budhi, lecturer of Social and Political Sciences from the University of Mulawarman Banjarmasin, and Dr.
Edisi Juli-Desember 2015
29
Kronik
Interfidei newsletter
Banjarmasin dan Dr. Arie Sujito, Dosen FISIP Uni versitas Gajah Mada Yogyakarta.
Arie Sujito, lecturer of Social and Political Sciences from the University of Gajah Mada Yogyakarta.
Hadir pula Poengky Indarti, Direktur IMPARSIAL Jakarta yang memfasilitasi peserta dengan materi Hak Asasi Manusia untuk KBB, Investigasi dan Advokasi. Untuk mengaplikasikan materi ini di la pangan, peserta dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok Ahlulbait Indonesia, Vihara, dan Gereja Protestan.
The training session was also attended by the Director of IMPARSIAL Jakarta, who provided the participants with material on Human Rights, Investigation and Advocacy. To apply this material in the field, participants were broken up into three groups and visited Ahlulbait Indonesia (an Islamic institution), a Buddhist Temple, and a Protestant Church.
Pada hari terakhir, peserta mendapat kesempatan untuk belajar menulis jurnalistik dan membangun jaringan dengan media, bersama dengan Budi Kurniawan (Pimred Tabloid URBANA) dan Yusran Pare (Pimred Banjarmasin Post). Peserta diajak untuk mengunjungi salah satu media yang ada di Banjarmasin, yaitu Banjarmasin Post. Peserta belajar mengenai teknik penulisan di media dengan harapan ke depannya peserta mampu menuliskan isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di media. Pelatihan ini ditutup dengan mengundang beberapa tokoh agama yang ada di Banjarmasin, jaringan antariman setempat, bersama-sama menyaksikan beberapa persembahan kreatif yang disiapkan oleh peserta, seperti musik-lagu, puisi, drama. (ME)
At the end of the training session, the participants got opportunity to learn about building network with media and “journalistic writings on FoRB”, together with Kurniawan (Pimred Tabloid URBANA) dan Yusran Pare (Pimred Banjarmasin Post). The participants were invited to visit one of the media outlets in Banjarmasin, namely the Banjarmasin Post. They learnt about writing techniques, with the hope that participants would later use these techniques to comment on issues of Freedom of Religion and Belief within the media. This session was closed by inviting a number of religious figures, currently in Banjarmasin, to collectively witness the creativity performances of the participants, including drama, songs and poems. (ME)
30
Edisi Juli-Desember 2015
Interfidei newsletter
Chronicle
FESTIVAL SEKOLAH PEREMPUAN
WOMEN’S SCHOOL FESTIVAL
D
I
Ada 8 (delapan) kurikulum yang digunakan oleh Sekolah Perempuan ini yaitu: 1) Toleransi dan Perdamaian, 2) Gender, 3) Perempuan dan Budaya, 4) Keterampilan Berbicara dan Bernalar, 5) Perempuan dan Politik, 6) Hak Layanan Masyarakat, 7) Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Hak Sipil Politik, 8) Manajemen Ekonomi Komunitas. Sekolah ini melaksanakan banyak kegiatan, khususnya bagi ibu/ perempuan desa yang tersebar di Kabupaten Poso.
This Women’s School utilizes 8 (eight) curri culum topics, namely: 1) Tolerance and Peace, 2) Gen der, 3) Women and Culture, 4) Speaking and Reasoning Skills, 5) Women and Politics, 6) Public Service Rights, 7) Economic, Social, Cultural and Civil Political Rights, 8) Community Economic Management. The school carries out a number of activities, with a focus on the mothers and women living in villages across the Poso district.
Dengan kata lain, Sekolah Perempuan ini menja di “ruang alternatif warga”, yang diharapkan secara sis te matis dapat mengakomodir kebutuhan untuk
In other words, the Women’s School has become an “alternative space for citizens” which is expected to systematically recognize the need to establish a society
i Tentena, Kabupaten Poso, ada Institut Mosintuwu, yang pendiriannya diprakarsai oleh Sdr. Lian Gogali, sahabat Interfidei sejak lama. Salah satu program yang dijalankan Institut ini adalah “Sekolah Perempuan”. Meskipun bukan sekolah formal, namun Sekolah Perempuan menggunakan kurikulum dan modul yang dibuat oleh perwakilan masyarakat, khususnya perempuan dari desa-desa dimana sekolah akan dibangun bersama dengan akademisi, budayawan, aktivis perdamaian, tokoh agama, praktisi ekonomi dan pegiat sosial.
n Tentena, Poso Regency, stands the MOSINTUWU Institute, whose establishment was initiated by long time friend of Interfidei, Ms Lian Gogali. The “Women’s School” is one of the many programs run by this institute. Although not a formal school, the Women’s School uses curriculums and modules developed by community representatives, especially women from the villages where the schools will later be built with the help of academics, cultural leaders, peace activists, religious leaders, economic practitioners and social activists.
Edisi Juli-Desember 2015
31
Kronik
Interfidei newsletter
membangun masyarakat pasca konflik, dengan tujuan bukan saja damai dalam arti tidak berkonflik, tetapi juga menghargai pluralitas dan hidup bersama di dalam dinamika perbedaan, di mana kekayaan sumber daya alam menjadi wilayah bersama untuk diperjuangkan dan dimiliki demi kepentingan bersama.
post-conflict. The aim is not just peace, in the sense that peace is the absence of conflict, but also to appreciate plurality and live together within the dynamic of difference, whereby the wealth of natural resource becomes a common area for which we must fight for and maintain for the sake of the common interest.
Program Sekolah Perempuan telah memberikan penguatan dan pemberdayaan kepada perempuan untuk bisa menyampaikan suara dan aspirasi mereka, pertama-tama dalam rumah tangga mereka, yaitu mem perjuangkan posisi setara dengan laki-laki atau suami mereka dan menghentikan kekerasan dalam rumah tangga. Hal berikut, anggota Sekolah
The Women’s School program has empowered women to voice their opinions and aspirations, starting with their everyday experiences in the household, to fight for equal positioning with men or their husbands and to stop domestic violence. Consequently, members of the Women’s School have become a symbol for the struggle for social equality
Perempuan menjadi simbol sosial perjuangan kese taraan di desa-desa. Yang menggembirakan adalah, di lingkungan masyarakat desa, anggota Sekolah Perempuan mendapatkan apresiasi dari pemerintah dengan melibatkan mereka dalam rapat-rapat desa sehingga mendapat peluang untuk memberikan suara dan menyampaikan aspirasi mereka.
in the villages. Encouragingly, in rural communities, members of the Women’s School are being recognized by the government who involve them in village meetings so they get the chance to vote and express their aspirations.
Pada 5-7 November 2015, Sekolah Perempuan menyelenggarakan Festival dengan beberapa agenda kegiatan: diskusi tentang Undang-Undang Desa ber sama narasumber, baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi dan Kabupaten), juga dengan LSM; workshop, kegiatan olah-raga, rekreasi dan ditutup dengan acara puncak yaitu Wisuda terhadap 350 orang perempuan, peserta Sekolah Perempuan, dari 40 desa angkatan tahun 2015. Interfidei dilibatkan dalam workshop tentang “Hidup Damai dalam Perbedaan di Tengah Keberagaman”. (ES)
32
Edisi Juli-Desember 2015
From the 5th-7th of November 2015, the Women’s School organized a Festival with a number of activities including a discussion session on the Village Laws with speakers from both Central and Regional Governments (Provincial and District level), as well as NGOs. Other activities included workshops, sporting and recreation activities. The Festival was brought to a close with the main event, namely the graduation ceremony for the 350 female participants from the 2015 cohort of the Women’s School, who originated in 40 different villages. Interfidei was involved with the workshop on “Living Peacefully with Differences in the Middle of Diversity”.(ES)
Interfidei newsletter PENDETA GEREJA PROTESTANT MALUKU (GPM) BERKUNJUNG KE INTERFIDEI
Chronicle PASTORS FROM MALUKU PROTESTANT CHURCH (GPM) VISIT INTERFIDEI
P
O
Acara menonton film dilanjutkan dengan sharing pengalaman Interfidei oleh Elga Sarapung, FKGA (Forum Komunikasi Guru Agama) oleh Ibu Anis Farikhatin, dan Alumni Sekolah Lintas Iman 6, Andi Muda, untuk berbagi pengalaman, informasi, bagaimana membongkar prasangka dan sentimen negatif dan sharing kehidupan beragama yang dilalui, baik bersama Interfidei maupun pengalaman mereka secara personal.
The film was followed by a sharing session, during which Elga Sarapung shared some of Interfidei’s experiences, Anis Farikhatin-on behalf of the Communication Forum of Religious Teachers (FKGA), discussed the experience of her and FKGA, and Andi Muda, an alumni of the Interfaith School Program (SLI), shared his experience with the program. They all shared their experiences and information, for example on how to break down prejudices and negative sentiments were also discussed along with religious life experiences, whether it be in the context of Interfidei or in their personal lives.
ada tanggal 11 November 2015 Interfidei mendapatkan kunjungan dari Pendeta-Pendeta dari Gereja Protestan Maluku yang bertugas di Tanimbar Selatan, Maluku yang ingin menggali pengalaman dialog dan belajar tentang pluralisme kepada Interfidei. Kunjungan tersebut dihadiri oleh kurang lebih 30 orang pendeta laki-laki dan perempuan. Pada kunjungan dan dialog tersebut, para Pendeta diajak untuk menonton film tentang profil dan sepenggal perjalanan dan apa yang sudah Interfidei lakukan selama dua puluh tahun terakhir ini.
Dalam sesi sharing, para Pendeta menyampaikan tantangan yang mereka hadapi tentang fakta perjumpaan antaragama, perbedaan pemahaman dalam umat dan menyampaikan maksud dan tujuan membangun jaringan dan kerjasama dengan Interfidei
n November 11th 2015 Interfidei was fortunate enough to be visited by a group of pastors from the Maluku Protestant Church, especially from South Tanimbar district. The pastors came to Interfidei to discover about Interfidei’s experience with dialogue and pluralism. Approximately 30 pastors joined the delegation, both male and female. During the visit and resulting dialogue, the pastors were invited to watch a short film about Interfidei’s 20 years, its roots and the programs undertaken by Interfidei in the past twenty years.
During the sharing session, the pastors conveyed some of the challenges they face when engaging
Edisi Juli-Desember 2015
33
Interfidei newsletter
Kronik ke depan. Ibu Elga Sarapung merefleksikan tentang siapa kita sebenarnya dan apa yang akan kita lakukan untuk agama kita dan inisiatif kita untuk bertoleransi. Selain itu, Ibu Elga juga memberikan tanggapan yang positif atas kunjungan ini dan menyambut baik peluang untuk berjejaring dan bekerjasama antara GPM dan Interfidei di masa yang akan datang. (RT)
in interreligious encounters and highlighted the difficulties with the existence of such a diverse array of religious understandings within the Protestant community. The pastors also expressed their aims and intentions for developing connections and collaborating with Interfidei in the future. Elga Sarapung reflected on who we are as humans, what we can do for our religion, and also on how we can create initiatives for tolerance. Additionally, Elga-on behalf of Interfidei expressed her happiness for the visit and welcomed the opportunity for networking and cooperation between GPM and Interfidei in future. (RT)
DISKUSI: IDENTITAS, INGATAN BERSAMA DAN PERFORMANCE DALAM DIALOG ANTARAGAMA
DISCUSSION: IDENTITY, COLLECTIVE MEMORY AND PERFORMANCE IN INTERRELIGIOUS DIALOGUE
D
T
Di awal diskusi, Izak menjelaskan dialog sebagai relasi antaragama yang terjadi dalam ruang fisik maupun imajinasi. Sayangnya, studi tentang dialog banyak menempatkan hubungan interfaith dalam relasi teks-pembaca atau meja-peserta diskusi. Dialog lebih banyak terjadi melalui percakapan formal antar para elite agama.
The discussion began with Izak explaining dialogue as interreligious relations that occur in a physical space but also in an imaginative space. Unfor tunately in the study of dialogue, many place interfaith relationships in limited contexts, by viewing texts as only relevant in relation to the reader, or in the case of discussions, the table is only relevant in relation to the participants. Dialogue more frequently occurs via formal conversation between religious elites.
iskusi Bulanan edisi November mengangkat tema “Identitas, Ingatan Bersama dan Perfor mance dalam Dialog Antaragama”. Diskusi yang dilaksanakan di Interfidei pada 20 November 2015 tersebut menghadirkan Izak Y.M. Lattu, dosen Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, sebagai pembicara.
Dalam dialog antariman, lanjut Izak, perlu di bangun imajinasi identitas bersama. Imajinasi identitas bersama dapat menciptakan ruang bersama (civic sphere) yang tidak terjangkau oleh dialog formal. Dalam banyak masyarakat, kerangka imajinasi lintas agama dibangun di atas ingatan bersama (collective memory) masyakarat. Izak mencontohkan bagaimana ingatan tentang simbol salib dipandang dengan penuh kecurigaan dan kebencian hingga saat ini di kalangan orang Arab. Sikap tersebut merupakan akibat ingatan terhadap penggunaan simbol terebut dalam perang salib di masa lalu. Di sisi lain, ingatan bersama juga bisa dijadikan sumber membangun perdamaian misalnya dengan menggali sejarah kehidupan masya rakat yang harmonis di masa lalu sebagai pijakan dalam membangun kerukunan.
34
Edisi Juli-Desember 2015
he November edition of Interfidei’s monthly discus2sion was guided by the theme “Identity, Collective Memory and Performance in Interreligious Dialogue”. The discussion was held at Interfidei on the 20th of November 2015, attended by guest speaker, Izak Y.M. Lattu, Masters Lecturer of Sociology of Religion at Satya Wacana Christian University.
In interfaith dialogue, Izak continued, there is a need to build a collective imagined identity. This collective imagined identity can create a shared space or civic sphere that can be reached through informal dialogue. In many societies, the framework of interreligious imagination is built upon the collective memory of society. Izak provided the example of how up until recently, the symbol of the cross was viewed with complete suspicion and hatred among the Arab people. This attitude is a result of the collective memory concerning the past use of the symbol (the cross) in crusades. From another perspective, collective memory can also be a source for peace building. For example by exploring the history of harmonious societies, we may find a foundation for building harmony.
Interfidei newsletter
Chronicle
Dialog juga terajut dalam identitas jamak (multiple identity) yang saling mentautkan kelompok beragama dalam masyakarat. Oleh karena itu menurut Izak, performance diperlukan untuk mengangkat perbedaan dan persamaan dalam realitas relasi antaragama. Performance mengikat kelompok yang tidak bertemu secara fisik dalam imaginasi lintas agama. Izak mencontohkan beberapa bentuk performance seperti tarian dan lagu sebagai media membangun relasi antaragama. Pendekatan ini, menurut Izak, lebih cair dan mudah diterima di masyarakat akar rumput. (WF)
Dialogue is also interwoven with the concept of multiple identities, something that affects all religious groups in society. According to Izak, performance is thus required to highlight the differences and similarities in the reality of interreligious relations. Performance links groups that do not meet physically by allowing them to meet via interreligious imagination. Izak pointed out some types of performance such as dances and songs which act as a medium to develop interfaith relations. This approach, according to Izak, is more fluid and more easily accepted by society at the grassroots level. (WF)
DISKUSI “ATAS NAMA AGAMA? SEBUAH TINJAUAN ATAS KEKERASAN DI ACEH SINGKIL DAN TOLIKARA”
DISCUSSION: “IN THE NAME OF RELIGION? AN INSIGHT INTO THE VIOLENCE IN ACEH SINGKIL AND TOLIKARA”
P
ada diskusi hari Jumat, 11 Desember 2015 dengan tema ““Atas Nama Agama? Sebuah Tinjauan Atas Kekerasan di Aceh Singkil dan Tolikara”, Elga Sarapung mengingatkan pentingnya mengelola perbedaan. Dalam kesempatan tersebut, Direktur Institut DIAN/Interfidei ini memaparkan dua kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Aceh Singkil dan Tolikara.
D
uring a discussion held on Friday the 11th of December, 2015, with the theme “In the Name of Religion: An Insight into the Violence in Aceh Singkil and Tolikara”, Elga Sarapung reminded us of the importance of managing diversity. During the discussion, the Director of Institute DIAN/Interfidei, outlined two cases of violence in the name of religion that occurred in Aceh Singkil and Tolikara.
Edisi Juli-Desember 2015
35
Kronik “Di hampir semua peristiwa konflik, akar masalah belum pernah ditelusuri benar. Akar masalahnya apa? Semua bilang faktor ekonomi, orang jadi miskin tidak berpendidikan dan gampang diprovokasi. Tapi mengapa? Apakah ada faktor lain? Bagaimana dengan faktor agama dan beragama? Misalnya, bagaimana mereka memahami ajaran-ajaran agama dan keyakinan mereka/ Bagaimana mereka mengekspresikan pemahaman tersebut melalui sikap mereka? Mengapa mereka menggunakan kekerasan untuk mencapai “damai” yang mereka maksudkan? “Damai” seperti apa yang mereka maksudkan?” tutur Elga. Selain menghadirkan Elga Sarapung, diskusi di Ruang 201 Fisipol UGM dan terselenggara atas kerjasama Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada dan Institut DIAN/ Interfidei tersebut juga menghadirkan Samsu Rizal Panggabean sebagai pembicara. Selaku akademisi yang memiliki perhatian khusus pada resolusi konflik dan perdamaian, Rizal menyoroti proses rekonsiliasi pada kasus-kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia. Dalam sesinya, Rizal menganggap selama ini rekonsiliasi belum dibangun dengan baik. Dosen Hu bungan Internasional UGM itu menambahkan, kita seharusnya mulai melihat masalah bersama dengan menanganinya dengan bersama-sama pula. “Tempat ibadah itu adalah masalah bersama. Jangan diselesaikan secara sepihak. Masalah rekonsiliasi dan toleransi adalah masalah bersama. Menutup dan membakar gereja itu namanya penyelesaiannya secara sepihak,” ungkap Rizal. “Kritik kita yang pertama bagi agama dilihat dari sudut toleransi, apakah agama-agama masih giat suarakan toleransi atau apakah terus tekankan sisi eksklusif dengan menganggap yang berbeda itu sebagai lawan atau musuh. Umat beragama siap hidup berdampingan tidak? Mereka mau menganggap yang tidak sama dengan mereka setara atau lebih rendah tidak? Mereka mau bergaul atau tidak? Jadi tidak hanya bagaimana kita melihat perbedaan, kesetaraan, tapi juga adanya interaksi. Dalam konteks sosial, tolak ukur toleransi adalah engangement, berinteraksi,” pungkas Rizal. (WF)
36
Edisi Juli-Desember 2015
Interfidei newsletter “In almost all incidents of conflict, the roots of the problem are yet to be accurately traced. What is the root of the problem? They all say economic factors, with poor and uneducated people being easily provoked, also political factors. Fine! But why? Are there also other factors? What about religious factor? For example, how do people understand the teaching of their own religion/belief, how do their express the understanding they have through their attitudes? Why do they use violence to gain what they call “peace”? What kind of peace do they mean? - asked Elga. Besides the attendance of ElgaSarapung, the discussion in Room 201 in the Faculty of Political and Social Sciences UGM, held in collaboration between the Institute of International Studies (IIS) UniversitasGadjahMada and Institute DIAN/Inter fidei, also saw the attendance of Samsu Rizal Panggabean as a guest speaker. As an academic with a special interest in peace and conflict resolution, Rizal shed some light on the reconciliation process in cases of violence in the name of religion in Indonesia. During this session, Rizal deemed the recon ciliation process to date as not well established. The lecturer of International Relations at UGM added that we have to start viewing the issue as a collective problem and thus begin handling it together. “Places of worship are a collective problem. They should not be solved unilaterally. Reconciliation and tolerance are collective problems. The shutting down and burning of churches is a unilateral, one-sided solution,” expressed Rizal. “Our first criticism of religion comes from the standpoint of tolerance, are religions still active in promoting tolerance or do they continue to emphasize the exclusivist point of view by viewing the religious other as rivals or enemies. Are religious communities prepared to live side by side? Do they want to consider those different from themselves as equals or lesser? Do they want to interact with one another or not? Thus it is not just how we look at difference and equality but also our level of interaction with the religious other. In the social context, the benchmark of tolerance is our engagement, our interaction,” concluded Rizal. (WF)
Interfidei newsletter
Chronicle ENCOUNTER AND DIALOG WITH THE COMMUNION OF CHURCHES IN INDONESIA, REGION DIY
PERJUMPAAN-DIALOG BERSAMA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA INDONESIA WILAYAH DIY (PGIW-DIY)
D
I
Dalam perjumpaan dan dialog yang terjadi pa da tanggal 4 Desember 2015 di kantor PGIW-DIY di Rumah Sakit Bethesda tersebut, dihadiri oleh sekretaris PGIW-DIY, Bapak Lubis serta beberapa anggota pengurus, dan 4 (empat) orang dari Inter fidei. Selain membicarakan tentang perubahan demo grafi masyarakat DIY, juga secara khusus tentang peta gereja-gereja di DIY, juga persoalan-persoalan Kebebasan Ber agama dan Ber keyakinan di Yogyakarta: apa sa ja dan bagai mana PGIW me nyikapi persoal an ter sebut dan apa yang bisa dikerjakan bersa ma dengan Inter fidei.
In the encounter and dialogue that occurred on December 4, 2015 in the office PGIW-DIY at the Bethesda Hospital, was attended by the secretary of PGIW-DIY, Mr. Lubis as well as some members of the board, and four (4) people from Interfidei. The issues we raised were about the changing demographics of society in Yogyakarta, also specifically the “map” of churches in the province, as well as issues of Freedom of Religion and Belief in Yog yakarta: what and how PGIW addressing these issues and what can be done together with Interfidei.
alam beberapa tahun terakhir, Interfidei giat me laksanakan silahturahmi, berjumpa dan ber dialog, termasuk dengan lembaga-lembaga ke agamaan, di tingkat propinsi dan kabupaten se-DIY. Misalnya dengan Majelis Ulama Indonesia-DIY, Ke menterian Agama. Kali ini dengan Persekutuan Gere ja-Gereja Indonesia Wilayah DIY (PGIW-DIY).
PGIW sangat memberi perha tian kepada isuisu toleransi dan intoleransi agama dan keyakinan di DIY. Hal itu tampak da lam aktivitas yang dilaksanakan oleh PGIW, baik dalam bentuk pertemuan maupun seminar, perkemahan di kalangan pe muda, juga selalu aktif bersama dengan FKUB Provinsi dalam berbagai kegiatan bersama agamaagama. Kedua lembaga sepakat untuk membangun jaringan dan bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan yang bisa mengantisipasi berbagai hal yang sifatnya destruktif, atas nama intoleransi di DIY. (ES)
n recent years, Interfidei started to implement some encounters and dialogues, with religious institutions, at the National, provincial and district levels as DIY. For example, by the Indonesian Ulema Council DIY, Ministry of Religious Affairs. This time the Indonesian Communion of Churches in Indonesia, Region DIY.
PGIW giv ing a very good attention to the issues of toleran ce and into lerance of reli gion and belief in DIY. It appears in the activities implemented by PGIW, either in the form of meet ings and seminars, youth camp, simultaneously active with the Provincial FKUB in various activities. Both institutions agreed to build networks and cooperate in activities that can anticipate things that are destructive, in the name of intolerance in DIY. (ES)
Edisi Juli-Desember 2015
37
Interfidei newsletter
Refleksi
REFLEKSI
REFLECTION
Elga J. SARAPUNG
Elga J. SARAPUNG
I
I
Pertanyaannya adalah, apa indikator “sejahtera” yang ingin dicapai melalui MEA mencakup kebutuhan perubahan hidup berbangsa dan bernegara, secara utuh? Apakah hanya sebatas “ekonomi” dan memperkuat “ekonomi pasar”, ataukah juga budayamentalitas-karakter-integritas warga dan tentu para elit di pemerintahan (eksekutif, yudikatif, legislatf), partai politik, kepolisian dan TNI akan turut berubah dan mampu menciptakan kehidupan sejahtera lahir dan batin bagi setiap warga negara? Walahualam! Mungkin saja, ada yang akan mengatakan...”wah, jangan terlalu ideal...! Tentu “yang ideal” itu perlu dimimpikan, supaya ada target capaian yang benarbenar bisa menjawab kebutuhan masyarakat, kebutuhan bangsa ini secara utuh, tidak hanya kelompok tertentu, juga tidak hanya satu faktor, yaitu ekonomi.
The question is, what is the “welfare” indicator to be achieved through the launching of AEC to cater the needs for change in the national and state life, as a whole? Is it limited to “economic” sector whose aim is to strengthen “market economy,” or is it also aimed to foster the culture-mentality-character-integrity of the people, as well as the elite which includes those in the government (executive, judicial, and legislative), political party, police and The Indonesian National Armed Forces? Will these elements also embrace changes and be able to create prosperous life physically and mentally for each and every citizen of Indonesia? Only God knows! Perhaps, one would say…”Wow, it’s a far-fetched dream…! Don’t be too idealistic! Of course, the “ideal” must be envisioned, so that the outcome targets can really meet the people’s demands, the needs of the entire citizens, not only to satisfy a particular group of people, nor limited to one factor only, namely economy.
ndonesia sedang sedang bersemangat untuk membuk tikan bahwa benar, tidak akan kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mensukseskan MEA, apalagi –dengan penuh kesadaran-pemerintah selalu mencanangkan berbagai kehebatan Indonesia, kapan dan di mana pun juga, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan lain-lain. Diharapkan bisa membawa Indonesia pada tingkat keberhasilan, bukan saja mensukseskan apa yang diharapkan oleh MEA (lihat terbitan pertama NL tahun 2015 - website Interfidei: http://www.interfidei. or.id), tetapi juga membawa perubahan bagi Indo nesia, terutama perekonomian yang diprediksi akan memberi dampak hidup sejahtera bagi masyarakat. Tentu ini membanggakan dan patut diapresiasi.
Ada beberapa pertanyaan penting lain di sini: Pertama, apakah MEA mampu memberi manfaat keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia yang faktanya hidup di dalam perbedaan? Selain jurang antara yang miskin dan kaya, juga jurang diskriminasi hak-hak antara yang disebut “mayoritas-minoritas”, terutama dalam soal “keagamaan”? Kedua, apakah Pemerintah Indonesia (dari desa sampai pusat) beserta seluruh rakyat Indonesia sudah memiliki daya
38
Edisi Juli-Desember 2015
ndonesia is enthusiastically trying to prove that it will compete with other ASEAN neighboring countries to realize ASEAN Economic Commu nity, now that the government has given the green light by launching Indonesian great resources in vari ous international occasions, showing Indonesian rich natural resources, human resources, etc. It is expected that ASEAN Economic Community will not only ex pedite Indonesia in achieving success, in addition to making AEC an ultimate success (see first edition of NL of 2015 – Interfidei website: http://www.intefidei. or.id), but also will bring about changes for Indonesia, especially in terms of economic development which will impact on people’s prosperity. This achievement is worth appreciation.
There are some other important questions: First, will AEC be able to give benefits of social justice to every citizen of Indonesia, considering that they live in diversity on a day-to-day basis? Besides the economic disparity between the rich and the poor, the gap between the so-called “majority” and “minority” groups, in terms of religious discrimination, is getting
Interfidei newsletter
Reflection
antisipatif yang kuat, tepat, arif dan bijak, menghadapi efek negatif dari MEA terhadap kemajemukan agama di masyarakat? Ketiga, bagaimana dengan fenomena kapitalisasi agama dan keyakinan yang sedang berkembang di Indonesia saat ini? Bagaimana dengan pola-pola komersialisasi agama dan keyakinan yang sedang menjadi trend di Indonesia saat ini, di mana “uang-agama-pariwisata-media-bisnis” sudah sedang membangun lingkaran kepentingan yang kuat, yang boleh saja kecepatan pengaruhnya akan melebihi kecepatan perselingkuhan antara “uang-politikkekuasaan-agama”? Keempat. Bagaimana dengan semangat kekerasan dan eksklusivitas agama yang “dieksport-import-kan” dari dan ke belahan dunia lain, yang sangat mudah berpengaruh dan tumbuh subur dalam pribadi-pribadi warga Indonesia, yang menyebabkan terjadi perpecahan, kecurigaan dan rasa tidak nyaman, gelisah di antara sesama warga negara, beda agama, beda aliran keagamaan? Apakah program-program dalam rangka MEA bisa membangun jembatan perbedaan dan kesenjangan hak hidup beragama dan berkeyakinan yang berbeda di Indonesia? (ES)
wider. Second, do the government of Indonesia (from the central to regional level) and the Indonesian people have strong, accurate, wise, and judicious anticipatory power to safeguard themselves from the negative effect of AEC towards the religious pluralism in Indonesia? Third, what about the phenomena of religious capitalism growing in Indonesia recently? What about the pattern of commercialization of religions and beliefs which is becoming a new trend in Indonesia today, where the circle of “money-religiontourism-media-business” is building a strong network of interests whose speed of influence is faster than the speed of affair between “money-politics-powerreligion”? Fourth, what about the spirit of violence and religious exclusivism being “imported and exported” trans-nationally from one end of the world to another, which easily influences and thrives in the hearts of the Indonesian citizens and which triggers disintegration, prejudice, and agitation and restlessness among the fellow citizens embracing different religions and different religious denominations? Will AEC be able to build bridges connecting those differences and gaps to earn the rights for the people to live peacefully among different believers? (ES)
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Board Members : Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Executive Board : Elga Sarapung (Director), Margareta Endah Widyaningrum (Secretariate), Eko Putro Mardianto (Finance) Departemen
: Elga Sarapung (Education, Networking, Documentation), Fita Andriani (HRD), Otto A. Yulianto (Institution, Publication, Research), Wening Fikriyati (Website & Social Media), Mohammad Furqon (Library)
Address
: Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru, Yogyakarta, 55581, Indonesia, Ph. 0274-880149, Fax. 0274-887864, E-mail:
[email protected]; Website: http://www.interfidei.or.id; Facebook: Institut DIAN/Interfidei; Twitter: @dian_interfidei
No. Rek.
: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No. 0039234672 Demi pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik Anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
Edisi Juli-Desember 2015
39
Agenda
Interfidei newsletter
Agenda Januari-Juni 2016 1. Refleksi Awal Tahun “Dinamika dan Tan tangan Kemajemukan di Yogyakarta 2015 – 2016”, Aula Kementerian Agama DIY, 11 Januari 2016, kerjasama dengan FKUB D. I. Yogyakarta dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta 2. Rapat Pengurus Yayasan Interfidei, Yogyakarta, 13–14 Januari 2016 3. Monitoring dan evaluasi kegiatan Capacity Building di Makassar, 18–23 Januari 2016 4. Capacity Building Mahasiswa Teologi Antar agama di Papua (Tahap I) “Menghargai dan Mengelola Perbedaan dalam Kemajemukan Agama di Masyarakat di Papua”, 25 Januari – 3 Februari 2016 5. Diskusi Tentang Terorisme, Februari 2016 6. Monitoring dan evaluasi kegiatan di Jayapura, Papua, Februari/Maret 2016 7. Strategic Planning Papua di Nabire, Papua, Maret 2016 8. Lokakarya Guru-Guru Agama di Kupang, Juni atau Agustus 2016 9. Lokakarya Guru-Guru Agama/PKn di Gunung Kidul, Yogyakarta, Juni 2016 10. Penelitian di Yogyakarta, Mei 2016 11. Kegiatan dalam rangka HUT ke-25 tahun Institut DIAN/Interfidei, Mei 2016 12. Launching film 25 tahun Interfidei
Agenda January-June 2016 1. Year Commencing Reflection “Dynamics and Challenges for Pluralism in Yogyakarta 2015-2016”, Ministry of Religion Hall DIY, 11 January 2016, in collaboration with FKUB DIY and the Alliance of Independent Journalists (AJI) Yogyakarta 2. Interfidei Board Meeting, 13–14 January 2016 3. Monitoring and Evaluation of Capacity Building Program in Makassar, 18–23 January 2016 4. Interfaith Theological Students Capacity Building in Papua, Stage I “Appreciating and Managing Difference in a Religiously Diverse Papuan Society”, 25 January – 3 February 2016 5. Discussion on Terrorism, February 2016 6. Monitoring and Evaluation of the activity in Papua, February/March 2016 7. Strategic Planning Papua in Nabire-Papua, March 2016 8. Workshop for Teachers of Religions in Ku pang, June/August 2016 9. Workshop for Teachers of Religions / Civic Education in Gunung Kidul, Yogyakarta, June 2016 10. Research in Yogyakarta, May 2016 11. Activities as part of DIAN/Interfidei’s 25th Birthday Celebrations, May 2016 12. Launching film of Interfidei’s 25 years
Publikasi: 1. Buku Saku: Pluralisme dalam Perspektif Agama-agama dan Keyakinan 2. Buku Saku: Dialog Antariman: Jembatani Perbedaan, Selesaikan Masalah 3. Buku: Perjalanan 20 Tahun Institut DIAN/ Interfidei 4. Buku: I Come from a Pancasila Family: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia PostReformasi Era (Disertasi Suhadi-terjemahan Indonesia) 5. Newsletter edisi Juli – Desember 2015 6. Buku: Kepedulian dan Keberpihakan Lintas Iman untuk Kaum Difabel
Publications: 1. Pocket Book: Pluralism from the Perspective of Different Religions and Beliefs 2. Pocket Book: Interfaith Dialogue: Bridging Differences, Resolving Problems 3. Book: The 20 Year Journey of DIAN/ Interfidei. 4. Book: I Come from a Pancasila Family: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia PostReformasi Era (Dissertation by Suhadi) 5. Newsletter July – December edition 2015 6. Book: Interfaith Caring and Preference for Persons with Disabilities
40
Edisi Juli-Desember 2015