KOMPETENSI GURU PASCASERTIFIKASI (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember) Erma Fatmawati (Madrasah Ibtidaiyah Negeri Jember, Email:
[email protected])
Abstract: The teacher recognition as a professional is evidenced by an educator certificate. In addition to improving the teacher welfare, the teacher certification program is actually intended to improve the process quality and results of the national education. The data in this study are obtained through a survey of documents/databases, in-depth interviews, and direct observation. This study comes to the four principal conclusions; first, the general competence of MIN Sumbersari teachers and MIMA Condro teachers are pretty good. Secondly, the competence of MIN Sumbersari and MIMA Condro teacher's personality are generally good. Third, the professional competence of MIN Sumbersari and MIMA Condro teachers needs to be improved further. Keywords: Teacher certification, teacher competence and madrassa.
Pendahuluan Undang-undang No. 14 tahun 2005 menjadi dasar kuat bahwa guru merupakan sebuah profesi sebagaimana profesi-profesi yang lain. Konsekuensinya, tidak semua orang bisa menjadi guru; dan tidak semua guru bisa disebut profesional. Pencapaian kewajibankewajiban guru mutlak diusahakan agar guru bisa memperoleh haknya dari profesi yang diembannya. Undang-undang tersebut secara hukum menjari garansi status sosial dan masa depan guru. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui jalur
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, meningkatkan kesejahteraan guru, dan meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sebagaimana profesi-profesi lainnya, sertifikasi merupakan sebuah bentuk pernyataan eksistensi individu di dalam kolegialitas profesional yang diakui oleh masyarakat. Sertifikasi akan melahirkan pengakuan bahwa pemegang lisensi memiliki kecakapan atau keahlian tertentu dan dapat memberikan layanan kepada masyarakat. Para siswa yang mengikuti proses pendidikan dari para guru yang profesional diharapkan dapat memperoleh prestasi yang baik.1 Sertifikasi merupakan gagasan yang baik ditinjau dari sudut pandang birokrasi. Sertifikasi merupakan cara untuk memonitor kinerja guru dengan pendekatan-pendekatan manajemen birokratis. Melalui sertifikasi maka seseorang diakui kewenangannya dalam menjalankan sebuah tugas pekerjaan tertentu dan dengan demikian orang itu harus menjadi otonom dalam tugas dan pekerjaannya.2 Guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik berhak memperoleh tunjangan profesi dengan beberapa syarat, antara lain: memenuhi beban mengajar minimal dan memiliki Nomor Registrasi Guru. Tunjangan profesi untuk guru PNS adalah sebesar gaji pokok, sedangkan untuk guru non-PNS, sebelum ditetapkannya inpassing guru non-PNS, adalah sebesar Rp. 1,5 juta. Tunjangan profesi sebanyak itu tentu sangat “menggiurkan” bagi para guru. Guru PNS bisa dikatakan menerima dua kali lipat dari gaji yang biasa diterima, sedangkan bagi guru non-PNS bisa sepuluh kali lipat dari upah per bulannya.
Payong, Marselus R. 2011, Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya, Jakarta: Indeks. 87. 2 Surakhmad, Winarno, 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 245. 1
|2
Erma Fatmawati Data ini menunjukkan bahwa betapa berat beban finansial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk peningkatkan kualitas pendidikan nasional. Alangkah sia-sianya ikhtiar pemerintah manakala kinerja guru yang telah disertifikasi tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan kinerja guru sebelum disertifikasi. Kajian Baedhowi3 juga menunjukkan motivasi guru untuk segera ikut sertifikasi bukanlah untuk meningkatkan profesionalisme atau kompetensi mereka, tetapi terkesan semata-mata untuk mendapatkan tambahan penghasilan melalui tunjangan profesi. Jika guru sudah mendapatkan sertifikasi, namun kemampuan dan kinerja pelayanan pendidikan kita masih sama sebelum mendapatkan lulus sertifikasi guru, maka mutu pendidikan di negara ini tidak akan jauh berbeda dengan yang pernah dilahirkan guru saat ini. Hukum alam akan menyatakan bahwa “kita tidak akan mampu melahirkan generasi muda yang baru dan berkualitas unggul seperti yang diinginkan, bila kinerja saat ini masih seperti saat melahirkan generasi yang ada saat ini”.4 Sebagaimana sekolah/madrasah pada umumnya, sejumlah guru di MIN Sumbersari dan MIMA Condro Kabupaten Jember sudah disertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi. Ada beberapa petimbangan dipilihnya dua MI di atas dalam penelitian ini. Pertama, MIN Sumbersari merupakan MI yang cukup berprestasi secara akademik dan nonakademik di lingkungan Kantor Kementerian agama Kabupaten Jember. Kedua, lokasi MIN Sumbersari dan MIMA Condro berada di kota sehingga memungkinkan gurunya untuk mengakes informasi dan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kompetensinya. Ketiga, mewakili status madrasah negeri dan swasta. Ini penting mengingat guru madrasah negeri yang hampir semuanya berstatus PNS seharusnya lebih kompeten dibanding dengan guru non-PNS, sebab intensitas pembinaan dari pemerintah dan tingkat Baedhowi, 2009 .“Tantangan Profesionalisme Guru pada Era Sertifikasi,” Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar UNS, tanggal 12 November .83 4 (Sudarma, 2013: 217). 3
3 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember kesejahteraan mereka yang jauh lebih baik dibanding guru swasta non-PNS. Kajian ini mencoba untuk mengungkap bagaimana kompetensi paedagogik guru pascasertifikasi pada MIN Sumbersari dan MIMA Condro di Kabupaten Jember? Bagaimana kompetensi kepribadian guru pascasertifikasi pada MIN Sumbersari dan MIMA Condro di Kabupaten Jember? Bagaimana kompetensi profesional guru pascasertifikasi pada MIN Sumbersari dan MIMA Condro di Kabupaten Jember? Sertifikasi Guru Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik, demikian pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 14/2005. Menurut Payong5 sertifikasi merupakan sebuah bentuk jaminan mutu (quality assurance) kepada pengguna obyek tersebut, dalam hal ini murid dan masyarakat, sehingga mereka tidak dirugikan. Sementara itu, menurut NCES, sertifikasi merupakan prosedur untuk menentukan apakah seseorang layak diberi izin dan kewenangan untuk mengajar. Sertifikasi memiliki beberapa tujuan dan manfaat tertentu. Melalui sertifikasi setidak-tidaknya terdapat jaminan dan kepastian tentang status profesionalisme guru dan juga menunjukkan bahwa pemegang sertifikat memiliki kemampuan tertentu dalam memberikan layanan profesional kepada masyarakat.6 Tujuan sertifikasi guru adalah sebagai berikut: 1) untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional; 2) untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan; dan 3) untuk meningkatkan profesionalisme guru. Selain tujuan itu, sertifikasi guru juga memiliki manfaat sebagai berikut: 1) melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat Payong, Marselus R. 2011, Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya, Jakarta: Indeks. 68. 6 Mulyasa, 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya. 35. 5
|4
Erma Fatmawati merusak citra guru; 2) melindungi masyarakat dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak professional; 3) memberikan tunjangan profesi kepada guru pemegang sertifikat pendidik. Jalur Sertifikasi Guru Sertifikasi guru dapat diperoleh melalui beberapa jalur yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Sejak program sertifikasi guru diluncurkan pada tahun 2007, paling tidak ada empat jalur sertifikasi guru. Portofolio Portofolio secara sederhana dapat diartikan sebagai dokumen atau bukti-bukti fisik yang memperlihatkan prestasi dan kemampuan serta pengalaman guru dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru. Unsur-unsur portofolio telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjadi alat ukur bagi empat kompetensi guru profesional: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Selain itu, portofolio juga menjadi wahana bagi guru untuk memperlihatkan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung, serta sebagai informasi yang dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan kelayakan kompetensi seorang guru dibandingkan dengan standar yang ditetapkan7 Skor portofolio yang harus dikumpulkan guru minimal mencapai 850 dari skor maksimal 1500. Jika skor minimal yang harus dicapai guru untuk lulus portofolio adalah 850, maka hal itu berarti bahwa guru cukup memenuhi 57% dari skor taksiran. Artinya, nilai guru “hanya” 57. Nilai sekecil itu pun sulit dicapai oleh guru. Padahal, para guru umumnya mematok Skor Ketuntasan Minimal (SKM) 60-70 pada mata pelajaran yang diampunya. Dengan membandingkan skor minimal yang harus dicapai oleh guru agar lulus portofolio dengan skor minimal yang harus diraih oleh siswa
Marselus R. 2011, Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya, Jakarta: Indeks. 95.
7Payong,
5 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember agar lulus mata pelajaran, maka skor minimal guru lebih rendah daripada skor siswa. Fenomena ini sekaligus menunjukkan betapa rendahnya kompetensi guru kita sehingga pemerintah tidak mau mematok skor kelulusan portofolio lebih tinggi dari 57. Untuk sebuah standar nasional, skor itu masih diragukan untuk dapat dijadikan acuan dalam mengejar ketertinggalan daya saing bangsa Indonesia di antara negara-negara lain. Namun, hal itu dapat dijadikan langkah awal menuju bangsa yang berkualitas. Sayangnya, langkah awal dengan standar yang relatif rendah itu masih diciderai dengan ketidakjujuran guru dalam pengajuan portofolionya. Banyak dokumen yang diajukan ternyata diragukan orisinilitasnya atau diduga kuat hasil manipulasi. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam rambu-rambu PLPG, penyelenggara PLPG adalah LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan yang telah ditetapkan pemerintah. PLPG dilaksanakan selama sekurang-kurangnya 9 hari dengan bobot jam pertemuan (JP) 90 jam. Dengan alokasi 30 JP teori, dan 60 JP praktik (satu jam setara dengan 50 menit). Pelaksanaan PLPG dilakukan di LPTK dengan mempertimbangkan kelayakan untuk pembelajaran. Peserta PLPG dibagi ke dalam rombongan belajar yang diusahakan sama dalam bidang keahlian dengan jumlah maksimal 30 peserta / rombongan belajar dan satu kelompok peer teaching/peer concelling/peer supervising maksimal 10 peserta.8 Pelaksanaan PLPG dimulai dengan pre test secara tertulis (1 JP) untuk mengukur kompetensi paedagogis dan profesional awal peserta. Dilanjutkan dengan pembelajaran yang mencakup penyampaian materi secara teoritis (30 JP) dan implementasi teori ke dalam praktek (60 JP). Pada akhir PLPG dilakukan uji kompetensi yang mencakup ujian tulis dan ujian praktek. Instruktur untuk PLPG
8
Ibid. 101
|6
Erma Fatmawati adalah para asesor yang memiliki nomor induk asesor (NIA) sesuai dengan bidang keahlian yang dilatih9. Selain ujian tulis dan praktik, penilaian lain juga ditujukan kepada pembiasaan kompetensi kepribadian dan sosial. Penilaian terhadap kompetensi ini dilakukan baik oleh asesor selama pembelajaran teori atau praktik maupun oleh teman sejawat peserta PLPG. Adapun butir-butir penilaian yang terkait dengan kompetensi ini adalah: kedisiplinan, penampilan, kesantunan dalam berperilaku, kemampuan bekerja sama, kemampuan berkomunikasi, komitmen, keteladanan, semangat, empati dan tanggungjawab.10 Sertifikasi jalur PLPG mendorong guru untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan kemampuan aktual mengenai kebijakan dan/atau keterampilan profesionalnya. Melalui PLPG, pengembangan potensi individu dan pengetahuan sosial akan tersosialisasikan secara massal dan merata. Sertifikasi guru melalui PLPG akan jauh lebih permanen dibandingkan dengan pendekatan administrasi (portofolio) yang kadang manipulatif.11 Pendidikan Profesi Guru (PPG) Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S1 Kependidian dan S1/D-IV Non-Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru yang profesional serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar guru profesional dan dengan demikian dapat memperoleh sertifikat pendidik pada Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Mengingat input untuk PPG meliputi lulusan-lulusan S1 Kependidian dan S1/D-IV Non-Kependidikan maka kurikulum yang diterapkan dibuat secara berbeda-beda, di mana lulusan S1 Kependidikan lebih berorientasi pada pemantapan dan pengemasan Ibid. 101-102 Ibid. 102-106 11 (Sudarma, 2013: 108) 9
10
7 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject-specific pedagogy) dan program pengalaman lapangan (PPL) kependidikan. Sementara itu, lulusan S1/D-IV Non-Kependidikan memiliki struktur kurikulum yang mencakup: kajian tentang teori pendidikan dan pembelajaran, kajian tentang peserta didik, pengemasan bidang studi yang mendidik, pembentukan kompetensi kepribadian pendidik, dan PPL kependidikan. Sertifikasi dan Kompetensi Guru Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukan suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat.12 Dalam konteks pendidikan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengartikan kompetensi sebagai berikut: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Dari pengertian di atas tampak bahwa kompetensi guru mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuai yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi merujuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan. Performance merupakan perilaku nyata
12
Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 26.
|8
Erma Fatmawati dalam arti tidak hanya yang tampak, tetapi juga meliputi perihal yang tidak tampak.13 Menurut Mulyasa14 kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah (holistik) membentuk kompetensi dasar guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme. Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru harus memiliki empat kompetensi. Pertama, kompetensi paedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kedua, kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan keperibadian yang mantap, bearkhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Ketiga, kompetensi professional, yaitu kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Keempat, kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Menurut Mulyasa15, standarisasi kompetensi merupakan proses pencapaian tingkat minimal kompetensi standar yang dipersyaratkan oleh suatu profesi. Pelayanan pendidikan yang menggobal menuntut standar profesi yang memenuhi persyaratan nasional dan internasional. Standar kompetensi dalam program sertifikasi lebih menekankan pada pemberian kompetensi minimal yang dipersyarakat untuk melakukan unjuk kerja yang efektif di tempat tugas. Tempat tugas program ini adalah tugas kependidikan. Standarisasi ini penting terutama dalam konteks globalisasi. Guru dalam era globalisasi memiliki tugas dan fungsi yang lebih Uno, Hamzah B. 2011, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara: 61 14 Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 26-27. 15 Mulyasa, E. 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya. 32 13
9 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember kompleks sehingga perlu memiliki kompetensi dan profesionalisme yang standar. Kompetensi guru lebih bersifat personal dan kompleks serta merupakan satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dimiliki seorang guru yang terkait dengan profesinya yang dapat direpresentasikan dalam amalan dan kinerja guru dalam mengelola pembelajaran di sekolah. Kompetensi ini yang digunakan sebagai indikator dalam mengukur profesionilitas guru dalam suatu jenjang dan jenis pendidikan. Kompetensi Pedagogik Guru Sertifikasi Dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Jika disederhakan, kompetensi pedagogik meliputi empat hal: pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan pengembangaran kurikulum dan PTK. 1. Pemahaman terhadap Peserta Didik Masing-masing peserta didik di dalam satu rombongan belajar pasti berbeda-beda secara intelektual, fisik, psikologis, dan sosial. Sebagai ilustrasi ada seorang peserta didik yang memiliki prestasi belajar sangat cemerlang tetapi dia sangat tidak disenangi oleh teman-temanya karena dia besifat tertutup dan individualis, dan sulit diajak kerja sama. Dari gambaran tersebut maka dapat dibandingkan antara kemampuan intelektual dan kemampuan sosial peserta didik tersebut cukup signifikan, sehingga peserta didik tersebut memerlukan treatmen atau perlakuan khusus agar potensinya dapat berkembang optimal. Paling tidak ada dua hal yang harus dipahami guru dari peserta didiknya, yaitu tingkat kecerdasan dan kondisi fisik.
| 10
Erma Fatmawati Tingkat Kecerdasan Guru MIN Sumbersari memahami bahwa tingkat kecerdasan peserta didik mereka beragam. Indah Iswati, misalnya, mengatakan bahwa secara umum, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan “cukup baik” sangat sedikit. Setiap kelas, paling ada 4-5 peserta didik atau sekitar 10-20 persen. Itu pun bukan cerdas dalam arti umum yang biasa kita pakai, tetapi cerdas dalam arti relatif cepat dalam memahami apa yang disampaikan oleh guru. Sisanya, kurang dari cukup sehingga butuh kerja keras untuk mengajari mereka.16 Sebagaimana kebanyakan sekolah atau madrasah, MIN Sumbersari dan MIMA Condro belum memiliki standar baku di dalam mengukur tingkat kecerdasan peserta didiknya. Selama ini, tingkat kecerdasan peserta didik lebih didasarkan pada perkiraan guru dengan melihat kemampuan peserta didik di dalam mencerna apa yang disampaikan oleh guru. Kami (MIN Sumbersari) tidak memiliki standar untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Memang pernah dilakukan tes IQ. Itu pun karena ada yang datang ke sini untuk menawarkan tes IQ gratisan. Jika ada yang menebus sertifikatnya, dikenai biaya Rp. 15.000,Ternyata tidak ada yang mengambil (sertifikat) karena kendala uang. Hasil tes IQ itu menunjukkan bahwa hanya sangat sedikit yang IQnya di atas 100, sisanya di bawah itu17. Kondisi Fisik Seorang guru dituntut memahami kondidi fisik peserta didiknya. Menurut Mulyasa18, kondisi fisik antara lain berkaitan dengan penglihatan, pendengaran, kemampuan bicara, kemampuan berjalan, dan sebagainya. Terhadap peserta didik yang memiliki kelainan fisik diperlukan sikap dan layanan yang berbeda dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka. Misalnya guru 16Wawancara,
11 Nopember 2013). Wawancara, 2013) 18 Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 94. 17
11 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember harus bersikap lebih sabar dan “telaten”, tetapi dilakukan secara wajar sehingga tidak menimbulkan kesan negatif. Perbedaan layanan, jika mereka bercampur dengan anak yang normal, antara lain dalam jenis media pendidikan yang digunakan, serta pengaturan posisi duduk mereka. Secara fisik, peserta didik di MIN Sumbersari cukup baik. Semua guru mengatakan bahwa tidak ada peserta didik yang cacat, sakit-sakitan, dan semacamnya. Moch. Subandi, guru olahraga MIN Sumbersari, mengatakan bahwa secara umum peserta didiknya sehat dan baik secara fisik. Kalau pun sakit, itu adalah sakit yang wajar. Sebagai guru olahraga, saya memberi perhatian terhadap kesehatan anak-anak. Saya mewanti-wanti agar sepulang sekolah langsung makan dan tidur. Jangan langsung bermain. Saya juga selalu mengingatkan agar sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Alhamdulillah, selama ini, anak-anak kami sehat-sehat semuanya.19 Poniman, guru MIMA Condro, mengemukakan hal yang sama. Menurutnya, peserta didik di MIMA Condro secara umum dapat dikatakan sehat semua. Tidak ada kendala dari kesehatan mereka. Keluhan sakit yang beberapa kali dijumpai pada saat kegiatan belajar di dalam kelas adalah “sakit perut”. Ada dua kemungkinan pada peserta didik yang sakit perut ini. Pertama, dia benar-benar sakit perut akibat salah makan. Kedua, dia pura-pura sakit perut agar diizinkan untuk ke kamar mandi.20 Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran a. Perencanaan Pembelajaran Perencanaan pembelajaran paling tidak mencakup tiga hal yaitu: identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi, dan penyusunan program pembelajaran. Kebutuhan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kondisi yang
19
Subandi ,Wawancara, 21 Oktober 2013). Wawancara, 30 Nopember 2013.
20Poniman,
| 12
Erma Fatmawati sebenarnya, atau sesuatu yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan. Guru harus mengenali, menyatakan, dan merumuskan kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia, dan hambatan yang mungkin dihadapi dalam kegiatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar. Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro telah menyusun RPP sesuai dengan Permendiknas 43/3007 di atas. Di dalam menyusun RPP, guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro telah memperhatikan prinsip-prinsip: memperhatikan perbedaan individu peserta didik, mendorong partisipasi aktif peserta didik, mengembangkan budaya membaca dan menulis, memberikan umpan balik dan tindak lanjut, serta keterkaitan dan keterpaduan. RPP guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro telah memuat komponen-komponen yang harus ada di dalam RPP, yaitu: identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. b. Pelaksanaan Pembelajaran Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Tugas guru, dengan demikian, adalah mengondisikan lingkungan agar mendukung terjadinya perubahan perilaku dan pembentukan kompetensi peserta didik. Umumnya, pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal, yaitu: pre test, proses, dan post test.21 Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro jarang memulai kegiatan belajar dengan pre test. Hampir semua guru langsung masuk kepada kegiatan inti. Meskipun guru telah memiliki RPP, dia tidak menjadikan RPP itu sebagai acuan di dalam kegiatan pengajaran.
21
Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 103.
13 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember Bahkan guru tidak membawa RPP ke dalam kelas. RPP yang telah disusun dengan “susah payah” tetap berada di dalam lemari di ruang guru. RPP cenderung sebatas untuk memenuhi kewajiban administratif, terutama pada saat disupervisi oleh pengawas. Selanjutnya, yang juga penting di dalam pembelajaran itu adalah metode. Metode pembelajaran tidak cukup hanya disebutkan di dalam RPP. Yang terpenting adalah bagaimana menerapkan metode yang disebutkan di dalam RPP itu pada kegiatan pembelajaran. Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode pembelajaran, karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran. Dari pengamatan peneliti, metode pembelajaran yang digunakan oleh guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro. Metodemetode yang lain jarang diterapkan. Meski demikian, guru MIN Sumbersari sudah menerapkan matery learning (belajar tuntas). Demikian pengakuan Dra. Hindanah, M.Pd.I., Kepala MIN Sumbersari. Saya dan guru-guru yang lain juga menerapkan mastery learning, di mana guru mengulangi materi yang sama pada hari yang sama atau pada pertemuan berikutnya sampai siswa memahami materi tersebut.22 Selain metode, media pembelajaran juga berkontribusi penting dalam pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan sumber ke peserta didik yang bertujuan merangsang mereka untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain dapat digunakan untuk mengantarkan pembelajaran secara utuh, media dapat juga dimanfaatkan untuk menyampaikan bagian tertentu dari kegiatan pembelajaran, memberikan penguatan maupun motivasi. Media yang digunakan guru dapat berupa media verbal, simbol,
22
Hindanah , Wawancara, 2013)
| 14
Erma Fatmawati visual, rekaman, video, film, televisi, pameran wisata, demonstrasi, observasi dan sebagainya.23 Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro praktis tidak menggunakan media pembelajaran selain papan tulis. Ini yang menyebabkan kegiatan belajar kurang atraktif, untuk tidak mengatakan membosankan. Globe dan anatomi manusia dibiarkan berdebu di atas lemari madrasah. Demikian halnya dengan gambargambar lain yang masih terbungkus rapi di dalam plastik. Madrasah juga memiliki laptop dan LCD projector. Sayangnya, semua itu hampir tidak pernah dimanfaatkan untuk kegiatan belajar. Evaluasi dan Penilaian Pembelajaran Evaluasi pembelajaran adalah proses untuk menentukan kemajuan pembelajaran dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan untuk memperoleh umpan balik (feed back) bagi penyempurnaan pembelajaran tersebut. Sedangkan penilaian adalah proses mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik dan buruk, pandai atau bodoh, dan sebagainya.24 Penilaian berfungsi sebagai berikut: a. Alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu pada rumusan-rumusan tujuan pembelajaran sebagai penjabaran dari kompetensi mata pelajaran. b. Umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan pembelajaran, kegiatan atau pengalaman belajar peserta didik, strategi pembelajaran yang digunakan guru, media pembelajaran, dll. c. Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar peserta didik kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukaUno, Hamzah B. 2011, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. 114. 24 Sudijono, Anas, 2011Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. 2-5. 23
15 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember kan kemampuan dan kecakapan belajar peserta didik dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran dalam bentuk nilainilai prestasi yang dicapainya. Sebagaimana madrasah pada umumnya, menurut Dra. Hindanah, M.Pd.I., Kepala MIN Sumbersari, penilaian hasil belajar yang dilakukan guru MIN Sumbersari didasarkan pada tiga unsur penting, yaitu: nilai ulangan harian, nilai ujian tengah semester (UTS), dan nilai ujian akhir semester (UAS). Tetapi, ada juga unsur tambahan, yaitu: akhlak siswa dan unsur “kasihan” dari guru. Unsur kasihan terutama kepada siswa yang tekun, akhlaknya baik, tidak neko-neko, tapi dia lamban dalam belajarnya.25 Alumni Pascasarjana STAIN Jember ini juga menjelaskan bahwa ulangan harian harus dilakukan oleh guru guna mengevaluasi tingkat ketuntasan belajar setiap kompetensi dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Dari hasil evaluasi itu, guru segera melakukan remedial teaching pada peserta didik yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Saya dan guru-guru yang lain selalu melakukan remedial teaching. Bahkan, siswa meminta sendiri untuk diremedi ketika mengetahui nilainya kurang dari KKM. Dimyati dan Mudjono26 menjelaskan, bahwa pengajaran remedial berfungsi untuk mendiagnosa apa yang dilakukan guru selama berlangsungnya pembelajaran dan agar peserta didik dapat segera mengatasi hambatan yang dialami selama mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, langkah awal dalam memberikan remedial teaching, guru perlu mengidentifikasi perbedaan karakter hasil belajar siswa terutama pada tingkat dan jenis kekurangan. Pasalnya, setiap peserta didik mempunyai pengalaman yang berbeda, persepsi belajar yang berbeda, kelebihan dan kekurangan yang berbeda, dan bakat-minat yang berbeda pula. Hal serupa juga diterapkan di MIMA Condro. Sirojuddin, Kepala MIMA Condro, mengatakan bahwa penilaian hasil belajar 25 26
Hindaniyah, Wawancara, 2013. Dimyati & Mudjiono, 2002. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta
| 16
Erma Fatmawati peserta didik diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing guru. Guru memiliki otoritas untuk mengevaluasi dan menilai prestasi belajar peserta didik. Nilai akhir yang diberikan oleh guru merupakan nilai komulatif dari nilai ulangan harian atau tugas, nilai UTS (mid semester) dan nilai UAS. Akan tetapi, sebagai lembaga pendidikan Islam, kami mengingatkan kepada guru bahwa ada aspek lain yang harus dipertimbangkan di dalam evaluasi hasil belajar, yaitu akhlakul karimah. “Tidak ada artinya nilai ujian yang baik tanpa dibarengi dengan akhlak yang baik. Orang tua menyekolahkan anaknya ke madrasah, tujuan utamanya adalah agar anaknya paham agama dan berakhlakul karimah. Soal membaca, menulis, dan ilmu lainnya bisa dipelajari kapan saja. Akan tetapi, soal agama dan akhlak harus ditanamkan sejak dini. Makanya, menurut saya, akhlak siswa harus diperhatikan di dalam evaluasi dan penilaian prestasi belajar siswa.”27. Penilaian hasil belajar yang diterapkan di MIN Sumbersari dan MIMA Condro menggunakan penilaian acuan norma, penilaian acuan patokan, dan penilaian acuan etik. Digunakannya penilaian acuan etik ini karena pendidikan Islam lebih mengedepankan sikap dan perilaku (akhlak) daripada pengetahuan. Pemahaman terhadap agama Islam tidak hanya diukur sejauh mana penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang bersifat kognitif dan pengetahuan tentang ajaran atau ritus-ritus agama, tetapi juga seberapa dalam pemahaman itu tertanam di dalam sanubarinya dan seberapa jauh terwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Perwujudan nyata itu akan melahirkan akhlakul karimah. Menurut Kepala MIMA Condro, hal ini sesuai dengan misi diutusnya Nabi Muhammad saw. yaitu, untuk menyempurnakan akhlak manusia, innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq.28 Kompetensi Kepribadian Guru Sertifikasi Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kemampuan kepribadian yang mantap, bearkhlak mulia, arif, dan berwibawa serta 27 28
Sirojuddin , Wawancara 2013 Sirojuddin, Wawancara, 2013
17 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember menjadi teladan peserta didik. Kompetensi ini sangat penting mengingat kepribadian guru memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru juga berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kepribadian yang memadai. 1. Berakhlak Mulia dan Menjadi Teladan Peserta Didik Guru dituntut menjadi suri teladan bagi peserta didiknya. Jangan sampai, guru yang menuntut peserta didiknya untuk berakhlak mulia, namun akhlak pribadinya dalam keseharian masih harus dipertanyakan. Guru harus layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik yang dalam melaksanakan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” Observasi yang dilakukan di MIN Sumbersari dan MIMA Condro menunjukkan bahwa secara lahiriyah guru di kedua madrasah tersebut dapat dikatakan telah berakhlak mulia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah indikator, seperti: busana, sikap, cara berbicara, dan sebagainya. Baik guru laki-laki maupun guru perempuan samasama berpakaian sebagaimana tuntunan syariat Islam. Semua guru perempuan mengenakan kerudung dan tidak ada yang mengenakan pakaian “ketat” ataupun semi transparan. Demikian juga sikap mereka baik di dalam maupun di luar kelas. Tidak pernah dijumpai guru yang menunjuk dengan menggunakan tangan kiri, sebab Islam melarang menggunakan tangan kiri kecuali pada hal-hal tertentu. Juga tidak dijumpai guru yang ongkangongkang di atas kursi. Hanya sesekali mereka “tertawa nyaring” pada saat berada di ruang guru pada jam istirahat. Mereka bercanda sekedar untuk melepas penat. Karena shalat dhuhur dilaksanakan di madrasah secara bersama-sama antara guru, karyawan, dan peserta didik kelas IV – VI, maka guru selalu mengawali untuk bersiap-siap shalat dhuhur sebelum menyuruh peserta didiknya untuk shalat dhuhur berjamaah.
| 18
Erma Fatmawati Guru bukan hanya memberikan mauizah hasanah (tuntunan yang baik) tapi juga uswah hasanah (teladan yang baik). Guru menyadari bahwa dalam semua jenjang pendidikan, uswah hasanah lebih penting daripada mauizah hasanah. Alfiah, guru MIN Sumbersari, mengatakan: Telah menjadi tekad bagi semua guru di sini bahwa sebelum kita menyuruh atau menasehati anak-anak (peserta didik, pen.) untuk berkahlak mulia, kita terlebih dahulu harus berakhlak mulia sehingga patut menjadi contoh bagi mereka. Kami memegang prinsip lisan al-hal afshahu min lisan al-maqal, perbuatan jauh lebih baik daripada perkataan.29 Itu semua dilakukan dalam rangka pembentukan karakter positif pada diri peserta didik, yang menjadi tujuan pendidikan nasional.30 Lutfiatul Choiriyah guru MIMA Condro, menegaskan: Karakter tidak bisa diwariskan. Karakter tidak bisa dibeli. Karakter tidak bisa ditukar. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Proses pembentukan karakter seseorang dilakukan oleh keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat dan media massa. Dari semua itu, lembaga pendidikan dipandang sebagai media yang bisa memberi andil besar dalam membentuk karakter, karena di situlah seseorang ditempa secara sistemik dalam rentang waktu tertentu. Apalagi lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Ekspektasi masyarakat dalam pembentukan karakter peserta didik jauh lebih besar dibanding dengan sekolah umum.31
Alfiah , Wawancara, 11 Nopember 2013) Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 31 Lutfiatul Choiriyah , Wawancara, 29 Nopember 2013 29 30
19 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro menyadari bahwa ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap guru madrasah dan guru sekolah. Semua guru madrasah dianggap menguasai atau ‘alim dalam ilmu agama, dan akhlak guru madrasah harus lebih baik dibanding akhlak sekolah umum. Padahal, latar belakang pendidikan guru madrasah beragam: ada yang berlatar belakang pendidikan agama dan ada pula yang berlatar belakang pendidikan umum/eksakta. Kendati demikian, persepsi semacam itu merupakan “kebanggaan” dan sekaligus “tantangan” bagi guru madrasah. Menjadi kebanggaan karena telah terbentuk image positif di kalangan masyarakat mengenai guru madrasah, sedangkan tantangannya adalah karena guru madrasah harus benar-benar lebih baik dalam hal sikap dan perilakunya, baik di dalam maupun di luar lingkungan madrasah. Kepala MIMA Condro menjelaskan: Nilai plus yang dimiliki madrasah adalah keagamaan dan akhlakul karimah. Guru wajib menjunjung tinggi dan mempertahankan nilai plus tersebut. Menurut saya, caranya sederhana: guru mempraktikannya. Artinya, guru madrasah menjadi contoh bagi murid di sekolah dan menjadi contoh bagi tetangga dan warga di tempat tinggalnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa akhlak mulia menjadi perhatian guru-guru madrasah. Akhlak mulia sesungguhnya adalah karakter yang Islami, karakter yang didasarkan pada ayat-ayat AlQur’an dan sunnah Rasulullah saw. Akhlak mulia yang ada pada diri guru diharapkan diteladani oleh semua peserta didik, sehingga lulusan madrasah memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, kecakapan skill, dan keluhuran budi pekerti. Semua itu menjadi harapan orang tua, guru, masyarakat, dan tentu saja pemerintah. 2. Pribadi yang Disiplin dan Berwibawa Tingkat disiplin guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro secara umum cukup baik. Guru datang ke sekolah sebelum kegiatan belajar jam pertama dimulai. Khusus guru MIN Sumbersari yang se-
| 20
Erma Fatmawati bagian besar Pegawai Negeri Sipil, tingkat disiplin guru semakin meningkat dengan adanya absen elektronik (finger print). Dengan absen elektronik itu, waktu datang dan pulangnya guru dapat diketahui secara pasti, dan relatif tidak bisa dimanipulasi. Guru yang datang terlambat dapat diketahui secara pasti dan sekaligus tidak dapat mengelak. Pada jam pelajaran ke-I, peserta didik masuk ke dalam kelas masing-masing dengan berbaris rapi. Guru berdiri di depan pintu untuk menyambut peserta didik yang mencium tangannya kemudian masuk ke dalam kelas. Keberadaan guru di depan pintu kelas merupakan salah satu wujud sambutan hangat dari guru kepada peserta didiknya. Guru seakan mengatakan “selamat datang” kepada “tamu kecilnya” yang akan memulai menuntut ilmu sejak pagi hingga siang hari. Kedisiplinan guru juga terlihat dari pakaian yang dikenakan. Guru mengenakan pakaian sesuai jadwal yang disepakati bersama. Bagi peserta didik tingkat dasar, seragam guru memiliki arti penting dalam rangka memberi contoh kepada peserta didik agar disiplin mengenakan seragam madrasah sesuai dengan harinya. Kedisiplinan guru ini pada gilirannya akan meningkatkan wibawa mereka, terutama di hadapan peserta didik. Kepala MIMA Condro, H. Siradjuddin Siraj, membedakan antara guru berwibada dengan ditakuti. Guru yang berwibawa adalah guru yang menghargai profesinya sebagai guru, serta berbicara, bersikap, dan berperilaku sebagaimana layaknya seorang guru. Guru berwibawa lebih mengedapankan “teladan dan kearifan” daripada “perkataan dan keangkuhan. Ini menjadikan peserta didik merasa nyaman bersamanya, mendengarkan apa yang disapaikannya, dan sungkan untuk menjahilinya. Sedangkan guru yang ditakuti adalah guru yang membuat peserta didik diam dan tidak “nakal” lantaran takut dihukum. Peserta didik tidak akan merasa nyaman bersama guru tersebut, dan apa yang disampai-
21 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember kannya hanya diterima telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiri.32 Dia melanjutkan: Hal pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa kita harus menghargai diri sendiri dan orang lain. Apabila kita sudah menghargai kedua hal tersebut niscaya kewibawaan itu akan datang dengan sendirinya. Dalam konteks relasi guru dan peserta didik, kewibawaan menurut saya adalah di mana peserta didik menaruh empati dan memberikan nilai plus kepada kita. Peserta didik melihat kita bukan dengan rasa takut, melainkan karena benar-benar senang dan kagum terhadap sosok kita yang tak di buat-buat.33
3. Etos Kerja Tinggi dan Menjunjung Kode Etik Guru a. Etos Kerja Guru Menurut Toto Tasmara34, etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Seorang guru harus mempunyai etos kerja yang tinggi sebagai pendidik agar terwujud kinerja yang berkualitas. Pekerjaan guru sudah disejajarkan dengan jenis pekerjaan lain yang sudah terlebih dahulu dianggap sebagai pekerjaan profesional. Oleh karena itu, para guru perlu memiliki etos kerja profesional yang merupakan seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral.
Sirojuddin, Wawancara, 30 Nopember 2013. Wawancara, 30 Nopember 2013. 34 Tasmara, Toto, 2000. Membudayakan Etos Kerja, Jakarta: Gema Insani 32
33Sirojuddin,
| 22
Erma Fatmawati Tidak berlebihan kalau dinyatakan bahwa peningkatan etos kerja guru juga akan menyebabkan tingginya kinerja guru, begitu pula sebaliknya apabila etos kerja guru menurun maka kinerja guru juga akan menurun. Etos kerja guru sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri karena etos kerja guru merupakan sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi yang mampu mempengaruhi kinerja dari diri pribadi itu sendiri. Tidak mudah mengukur etos kerja guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro. Jika ukurannya adalah aktivitas guru dalam kegiatan belajar mengajar, maka etos kerja guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro dapat dikatakan baik, dalam arti mereka telah melaksanakan kewajiban “mengajar”. Akan tetapi, jika ukurannya adalah tugas profesinya yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, maka etos kerja mereka beragam. Ini diakui oleh kepala MIN Sumbersari. Dia mengatakan: Tanggung jawab guru, khususnya dalam kegiatan mengajar, ya ada yang baik ada yang biasa-biasa saja. Yang dimaksud “baik” adalah guru yang bersungguh-sungguh dan berusaha keras agar muridnya bisa memahami pelajaran, sedangkan yang “biasa-biasa saja” adalah guru yang sekedar menunaikan kewajiban. Dia yang penting mengajar.35 Hal serupa juga dijumpai di MIMA Condro. Etos kerja guru di sana dapat dikatakan berada pada level standar. Belum terlihat upaya-upaya guru untuk terus melakukan sesuatu secara lebih baik dari hari kemarin. Juga belum terlihat menjadikan dirinya lebih baik dibanding dengan guru-guru lainnya. Sejatinya, di dalam etos kerja terdapat spirit kompetisi dalam arti positif. Islam mendorong agar umat Muslim berkompetisi untuk kebaikan (fastabiq al-khairat).
35
Hindaniyah, Wawancara, 7 Desember 2013.
23 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember Yang mengherankan adalah kesamaan etos kerja antara guru yang telah disertifikasi dengan yang belum disertifikasi. Tidak ada peningkatan etos kerja antara sebelum dan sesudah disertifikasi. Kepala MIMA Condro mengatakan: Jujur saya katakan bahwa belum ada perbedaan antara (guru) yang sertifikasi dengan yang belum sertifikasi. Sepulang dari PLPG, mereka mengajar seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Saya yakin, pasti ada tambahan pengetahuan dan wawasan pada mereka yang telah disertifikasi. Akan tetapi, bertambahnya pengetahuan dan wawasan belum terlihat dalam kegiatan belajar mengajar.36 Sertifikasi guru sejatinya diharapkan meningkatkan profesionalisme guru, termasuk etos kerja mereka. Jika sejauh ini belum ada perbedaan signifikan antara guru yang sudah disertifikasi dengan yang belum disertifikasi, maka ini merupakan tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Khusus etos kerja guru madrasah, Kemenag harus mengambil langkah-langkah tertentu agar etos kerja guru sertifikasi semakin baik. Kesejahteraan mereka telah dipenuhi oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya bila pemerintah menagih etos kerja mereka. b. Kode Etik Guru Kode etik guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Kode etik itu merupaka pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga negara. Sikap dan perilaku itu berupa akumulasi nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan sehari-hari di dalam dan luar sekolah. 36Sirojuddin,
Wawancara, 30 Nopember 2013
| 24
Erma Fatmawati Dalam Kongres PGRI XIII pada Novemer 1973, telah dirumuskan Kode Etik Guru yang kemudian disempurnakan pada Kongres PGRI XVI tahun 1989 di Jakarta. Berikut ini rumusan Kode Etik Guru Indonesia: 1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila; 2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional; 3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan; 4) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar; 5) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan; 6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya; 7) Guru memelihara hubungan profesi, semangat kekeluargaan, dan kesetia kawanan sosial; 8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian; 9) Guru melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.37 Baik guru MIN Sumbersari maupun MIMA Condro tidak ada yang hafal Kode Etik Guru Indonesia. Kode etik guru memang tidak untuk dihafal, melainkan menjadi pedoman sikap dan perilaku guru di sekolah dan di masyarakat. Indah Iswati, guru MIN Sumbersari, mengatakan: Kalau saya tidak hafal. Tetapi saya merasa telah bersikap dan bertindak sebagaimana seharusnya guru bersikap dan bertindak.38 37
Mulyasa, E. 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya. 46-47
25 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember Marsudi, guru MIMA Condro, mengatakan: Menurut saya, secara substansial, kode etik guru memuat nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai kerangka untuk bersikap dan berperilaku sebagai seorang guru.39 Secara umum, sembilan kode etik guru di atas memang telah menjadi pedoman sikap dan perilaku guru. Namun, ada item kode etik yang belum diterapkan secara optimal, yaitu: kode etik ke-6 (Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya). Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro kurang melakukan upaya peningkatan mutu dan martabat profesinya, seperti mengikuti seminar, workshop, diklat, dan sebagainya. Meski demikian, ada sebagian kecil guru yang melanjutkan studi ke jenjang Strata 2 (S2). Namun, selepas dari S2, praktis tidak aktivitas-aktivitas lain untuk meningkatkan mutu dan martabat profesinya. C. KOMPETENSI PROFESIONAL Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Artinya, guru harus menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, melakukan pengembangan profesi secara berkelanjutan, dan mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi. 1. Menguasai dan Mengembangan Materi Pelajaran Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan (journey), yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalananan mental, emosional, 38 39
Iswati, Wawancara, 11 Nopember 2013 Marsudi , Wawancara, 14 Oktober 2013
| 26
Erma Fatmawati kreativitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan rute yang harus dilewati, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancaran perjalanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan murid. Semua itu dilakukan berdasarkan kerjasama yang baik dengan murid, tetapi guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek perjalanan. Guru memiliki sejumlah hak dan tanggungjawab dalam setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakannya.40 Istilah perjalanan merupakan suatu proses pembelajaran, baik dalam kelas maupun di luar kelas yang mencakup seluruh kehidupan. Analogi dari perjalanan itu sendiri merupakan pengembangan setiap aspek yang terlibat dalam proses pembelajaran. Setiap perjalanan tentu mempunyai tujuan, kecuali orang yang berjalan secara kebetulan. Keinginan, kebutuhan dan bahkan naluri manusia menuntut adanya suatu tujuan. Suatu rencana dibuat, perjalanan dilaksanakan dan dari waktu ke waktu terdapatlah saat berhenti untuk melihat ke belakang serta mengukur sifat, arti dan efektivitas perjalanan sampai tempat berhenti tadi.41 Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut. Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai. Tugas guru adalah menetapkan apa yang telah dimiliki oleh murid sehubungan dengan latar belakang dan kemampuannya, serta kompetensi apa yang mereka perlukan untuk dipelajari dalam mencapai tujuan. Untuk merumuskan tujuan, guru perlu melihat dan memahami seluruh aspek perjalanan. Sebagai contoh, kualitas hidup seseorang
Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 29 41 Mulyasa, E. 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya. 29 40
27 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember sangat bergantung pada kemampuan membaca dan menyatakan pikiran-pikirannya secara jelas. Kedua, guru harus melihat keterlibatan murid dalam pembejalaran, dan yang paling penting bahwa murid melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara fisik, tapi mereka harus terlibat secara psikis. Dengan kalimat lain, murid harus dibimbing untuk mendapatkan pengalaman dan membentuk kompetensi yang akan mengantar mereka mencapai tujuan. Dalam setiap hal murid harus belajar, dan karenanya mereka harus memiliki pengalaman dan kompetensi yang dapat menimbulkan kegiatan belajar. Ketiga, guru harus memakai kegiatan belajar. Hal ini mungkin merupakan tugas yang paling sulit tetapi penting karena guru harus memberikan kehidupan dan arti terhadap kegiatan belajar. Bisa jadi pembelajaran direncanakan dengan baik, dilaksanakan cara tuntas dan rinci, tetapi kurang relevan, kurang hidup, kurang bermakna, kurang menantang rasa ingin tahu, dan kurang imajinatif. Keempat, guru harus melaksanakan penilaian. Dalam hal ini diharapkan guru dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana keadaan murid dalam pembelajaran? bagaimana murid membentuk kompetensi? bagaimana murid mencapai tujuan? jika berhasil, mengapa, dan jika tidak berhasil mengapa? apa yang bisa dilakukan di masa mendatang agar pembelajaran menjadi suatu perjalanan yang lebih baik? apakah murid dilibatkan dalam menilai kemajuan dan keberhasilan, sehingga mereka dapat mengarahkan dirinya sendiri (self-directing)? Seluruh aspek pertanyaan tersebut merupakan kegiatan penilaian yang harus dilakukan guru terhadap kegiatan pembelajaran, yang hasilnya sangat bermanfaat terutama untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. 2. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah serangkaian aktivitas reflektif yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan seseorang. PKB mendukung pemenuhan kebutuhan seseorang dan meningkatkan praktik profesional mereka. PKB juga bermakna cara se-
| 28
Erma Fatmawati tiap anggota asosiasi profesi memelihara, memperbaiki, dan memperluas pengetahuan dan keterampilan mereka dan mengembangkan kualitas diri yang diperlukan dalam kehidupan profesional mereka. PKB mencakup gagasan bahwa individu selalu bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan profesional mereka di luar apa yang mereka dapatkan dalam pelatihan dasar yang mereka terima ketika pertama kali melakukan pekerjaan tersebut. PKB ini penting karena berkaitan dengan: a) optimalisasi pelayanan terhadap klien dalam hal ini peserta didik; b) bukti dari profesionalisme; c) prasyarat pekerjaan; d) meningkatkan keterampilan kerja guru secara individual; e) memperluas pengalaman guru untuk keperluan perkembangan karir atau promosi;f) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman profesional guru secara individual; g) meningkatkan pendidikan pribadi atau pendidikan umum individu guru; h) membuat guru merasa dihargai; i) meningkatkan rasa puas terhadap pekerjaan; j) meningkatkan pandangan positif mengenai pekerjaan; k) memungkinkan guru mengantisipasi dan bersiap untuk menghadapi perubahan; dan l) mengklarifikasi keseluruhan kebijakan sekolah/madrasah atau kementerian. Uraian di atas menegaskan bahwa guru harus terus-menerus mengembangkan serta mengikuti atau membaca informasi yang baru, dan mengembangkan ide-ide yang kreatif.42 Hal ini dimaksudkan agar eksistensi guru tidak ketinggalan zaman. Dengan selalu memperhatikan setiap perubahan informasi, guru memperoleh bekal baru yang dapat menjadi semangat dan motivasi untuk menciptakan situasi proses belajar mengajar yang lebih menyenangkan bagi peserta didik. Sayangnya, guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro belum melakukan pengembangan diri untuk meningkatkan kompetensi guru. Menurut Kepala MIN Sumbersari, hal ini bisa jadi karena guru
42
Sahertian, Piet A. 2000, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Reneka Cipta. 3
29 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember MI merasa cukup dengan pengetahuan, wawasan, dan skill yang mereka miliki. Mungkin karena guru sudah merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki. Untuk jenjang SD, mungkin dirasa tidak ada tantangan sebagaimana mengajar di jenjang SMA atau PT.43 Sesuangguhnya banyak cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan kompetensinya, antara lain melalui diklat, seminar, lokakarya, simposium, Training of Trainer (TOT), pelaksanaan tugas sehari-hari, latihan pengembangan berpikir inovatif, dan Karya Tulis Ilmiah (KTI). Semua ini, sekali lagi, tidak lain dalam rangka mempertahankan fungsi dan peranan guru, yang salah satu fungsinya guru sebagai pelaku perubahan (agent of change). Mana mungkin guru akan melakukan perubahan, bila dirinya tidak dibekali dengan pengetahuan yang diperoleh dari upaya dan langkahlangkah pengembangan diri sesuai dengan standar kompetensi yang telah dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jember, Drs. H. Machfudz, M.Pd.I., menjelaskan bahwa pihaknya mendorong agar guru yang sudah disertifikasi meningkatkan kompetensinya secara terus-menerus melalui Diklat, seminar, membeli laptop, buku, studi ke strata lebih tinggi dan seterusnya. Peningkatakan kompetensi ini dilakukan secara mandiri oleh guru, sebab Diklat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama terbatas pada beberapa orang saja. Padahal di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jember terdapat lebih dari 2.000 guru yang telah disertifikasi sejak tahun 2007 sampai dengan 2013. Tunjangan profesi guru yang diterima oleh guru seharusnya diimbangi dengan dengan peningkatan kompetensi dan kinerja. Sebagian tunjangan itu seharusnya dialokasikan misalnya untuk membeli buku, mengikuti seminar/diklat, membeli lapotop, dan sebagainya. Kami di Kantor Kementerian Agama hanya bisa mendorong, namun tidak bisa mewajibkan kepada guru. Sebab, tidak ada dasar hukum 43
Wawancara, 7 Desember 2013)
| 30
Erma Fatmawati yang mengatur bahwa guru harus mengalokasikan sekian persen dari tunjangan profesinya untuk pengemabangan dirinya.44 Pengawas RA/MI Kecamatan Kaliwates, Drs. Moh. Slamet, menjelaskan bahwa pihaknya telah merancang untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan peningkatan kompetensi guru melalui Kelompok Kerja Madrasah (KKM). Guru madrasah, khususnya guru non-PNS, jarang sekali mengikuti Diklat kecuali diutus oleh Kemenag. Sementara kuota Diklat yang disediakan Kemenag terbatas dan lebih diprioritaskan kepada guru PNS. Di sisi lain, guru pada umumnya tidak mau mengeluarkan dana untuk mengikuti pelatihan. Ini masalah umum pada diri guru di mana saja. Untuk itu, kami telah memprogram kegiatan pengembangan profesi guru melalui KKM dan belajar bersama dengan teman sejawat dengan didampingi oleh pengawas dan pakar di bidangnya. Hal ini untuk menekan biaya, namun tanpa mengurangi substansi peningkatan profesi guru.45 Telihat bahwa guru madrasah masih perlu “dipaksa” untuk meningkatkan kompetensinya. Padahal, peningkatan kompetensi itu merupakan kewajiban yang melekat pada diri guru. Tanpa didorong apalagi dipaksa oleh siapa pun, guru memang harus selalu meningkatkan kompetensinya. Guru seyogyanya memiliki kesadaran instrinsik untuk selalu meng-up grade kompetensi diriya. Hal ini mengindikasikan bahwa tunjangan profesi guru praktis hanya digunakan untuk keperluan konsumsi, properti, pendidikan anak, dan sebagainya. 3. Mendayagunakan Teknologi Infomasi dan Komunikasi Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut perubahan cara dan strategi guru dalam mengajar. Guru tidak mungkin menjadi satu-satunya sumber belajar yang mampu menuangkan segala ilmu pengetahuan dan informasi bagi anak didik. Guru hendaknya membimbing peserta didik untuk menemukan data 44 45
Machfudz , Wawancara, 3 Desember 2013 Slamet, Wawancara, 5 Desember 2013
31 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember dan informasi sendiri serta mengolah dan mengembangkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan mengubah peran guru sebagai pusat informasi (teacher centered) menjadi berperan sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang memberikan kondisi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan. Pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan di MIN Sumbersari dan MIMA Condro dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok “tua”, yang lahir dari rahim pendidikan di mana masih belum dikenal komputer, internet, dan sebagainya. Kelompok ini cenderung fatalistis karena tidak mau kerja keras untuk mempelajari dan kemudian menggunakan komputer/internet. Teknologi informasi dan komunikasi yang dimakai terbatas pada telepon seluler. Mereka belum memanfaatkan komputer/internet untuk meningkatkan profesinya dan mendukung kegiatan belajar mengajar. Kepala MIN Sumbersari menjelaskan: Terus terang, guru-guru di sini masih belum bisa dikatakan melek komputer dan internet, kecuali yang muda-muda. Kalau yang muda-muda sudah mahir mengoperasikan laptop dan menggunakan internet. Semua guru memiliki lapotop, namun dipakai oleh anak-anaknya. Jika perlu menggunakan komputer, mereka menyuruh anak-anaknya atau operator madrasah. Kelompok kedua adalah kelompok muda, yang tumbuh dan berkembang di era komputer. Mereka dapat dikatakan mahir menggunakan komputer dan internet. Mereka sudah mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pendidikan, khususnya mengkases informasi yang berkaitan dengan bahan ajar. Poniman, guru MIMA Condro, mengatakan: Saya sering searching di internet tentang materi pendukung mata pelajaran yang saya ajarakan kepada siswa. Kita bisa mengakses apa saja di internet secara mudah, murah, dan cepat. Yang tidak kalah pentingnya, saat ini siswa MI sudah
| 32
Erma Fatmawati familiar dan mahir menggunakan internet. Jika guru tidak mendayagunakan internet, maka bukan tidak mungkin guru ketinggalan informasi dibanding siswanya.46 Teknologi komputer mendorong proses pembelajaran ke arah “individual learning”, di mana posisi guru bergeser dari instruktur tradisional ke arah mentor. Pembelajaran individu mendorong peserta didik ke arah belajar aktif, kreatif dan interaktif. Dengan demikian maka perolehan pengetahuan peserta didik tidak lagi bersumber dari transfer ilmu oleh guru, melainkan melalui kegiatan membangun ilmu oleh peserta didik sendiri. Keunggulan penggunaan komputer dalam pembelajaran didukung karena kemampuan komputer untuk menyajikan informasi dalam bentuk multimedia (teks, gambar, audio, video, animasi, simulasi); komputer dapat diprogram untuk melakukan perhitungan, memeriksa hasil tes, dan memberikan umpan balik. Demikian halnya dengan pendayagunaan multimedia. Peserta didik yang terlibat dalam proses belajar melalui program multimedia bisa mempelajari ilmu yang ada di dalamnya sesuai dengan minat, bakat, kesukaan, keperluan, pengetahuan dan emosinya. Kemampuan multimedia memberi pengajaran secara individu (melalui sistem tutor) bukan berarti tidak ada pengajaran secara khusus dari guru, melainkan peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar mandiri tanpa harus selalu didampingi guru. Pengajaran langsung dari guru tetap dilestarikan, dan program ini bisa lebih memudahkan pengajaran. Simpulan Uraian pada bab-bab sebelumnya mengantarkan kepada tiga kesimpulan utama. Pertama, kompetensi pedagogik guru sertifikasi MIN Sumbersari dan MIMA Condro secara umum cukup baik. Guru memahami tingkat kecerdasan dan kondisi fisik peserta didik. Tingkat kecerdasan peserta didik diketahui bukan didasarkan pada
46
Poniman, Wawancara, 30 Nopember 2013
33 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember hasil tes IQ, melainkan didasarkan pada interkasi guru dengan peserta didik di dalam maupun di luar kelas. Pemahaman terhadap kecerdasan dan kondisi fisik peserta didik menjadi informasi penting bagi guru di dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro telah direncakanan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Sayangnya, kegiatan belajar mengajar jarang mengacu kepada RPP. Pemicu utamanya adalah karena guru sudah “merasa” menguasai materi pelajaran sebagai konsekuensi dari lamanya menjadi “guru kelas” atau “guru mata pelajaran” yang sama. Padahal, RPP harus selalu dijadikan acuan guru dalam kegiatan belajar mengajar, baik bagi mereka yang baru maupun sudah lama mengampu mata pelajaran tersebut. Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro sudah mengimplemen-tasikan matery learning (belajar tuntas). Namun begitu, secara umum mereka cenderung berkutat pada metode ceramah, tanya jawab, dan metode belajar kelompok. Media pembelajaran yang digunakan masih konvensional, yaitu papan tulis dan kawan-kawannya, sehingga kegiatan belajar kurang atraktif. Padahal, madrasah memiliki sejumlah media pembelajaran, seperti: laptop, LCD Projector, multimedia, alat peraga, dan sebagainya, yang belum didaya-gunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya, evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh guru di MIN Sumbersari dan MIMA Condro terdiri dari tiga aspek, yaitu: ulangan harian, ujian tengah semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Ketiganya dipadukan dengan evaluasi sikap dan perilaku keseharian peserta didik untuk memberi penilaian akhir yang berupa Rapor yang diserahkan kepada peserta dan/atau wali murid. Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro memahami KTSP dengan baik. Mereka juga terlibat aktif dalam pengembangan KTSP secara kolektif. Penyusunan dan pengembangan KTSP di MIN Sumbersari dan MIMA Condro mengacu kepada pedoman yang diterbitkan oleh BNSP, dengan disupervisi oleh Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) di lingkungan Kantor Kementerian
| 34
Erma Fatmawati Agama Kabupaten Jember yang bertugas pada masing-masing kecamatan. Kalau guru proaktif dalam pengembangan KTSP, mereka cenderung “menelantarkan” penelitian tindakan kelas (PTK). Penelantaran ini bisa karena malas meneliti atau memang belum bisa meneliti dengan baik. Baik Kepala MIN Sumbersari dan MIMA Condro sama-sama menyadari bahwa guru-guru mereka praktis tidak melakukan penelitian. Padahal, mereka memahami signifikansi PTK di dalam peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar guru. Kedua, kompetensi kepribadian guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro secara umum baik. Mereka merupakan pribadi yang berakhlak mulia dan patut diteladani, baik dari segi pakaian, tutur kata, sikap, maupun perilakunya. Mereka juga disiplin dan berwibawa di hadapan peserta didik, di dalam maupun di luar kelas. Etos kerja guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro ada yang baik dan ada pula yang “biasa-biasa saja.” Etos kerja guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro belum terlihat peningkatan singnifikan antara sebelum dan sesuah sertifikasi. Belum terlihat upaya guru untuk sungguh-sungguh melakukan sesuatu secara lebih baik dari hari kemarin. Juga belum terlihat upaya menjadikan dirinya lebih baik (baca: berprestasi) dibanding dengan guru-guru lainnya, bukan hanya di antara guru-guru di satu madrasah tapi juga guruguru di Kabupaten Jember. Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro pada prinsipnya menjunjung tinggi kode etik sebagai guru, walaupun mereka tidak hafal 9 (sembilan) item kode etik tersebut. Dari semua kode etik itu, guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro kurang melakukan upaya peningkatan mutu dan martabat profesinya, seperti mengikuti seminar, workshop, diklat, dan sebagainya. Guru cenderung puas terhadap pengetahuan yang dimilikinya saat ini. Ketiga, kompetensi profesional guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro perlu ditingkatkan lebih lanjut. Pada satu sisi, guruguru memang memahami dan mengembangkan materi pelajaran dengan baik. Ini sangat wajar mengingat mereka sudah cukup lama
35 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember menjadi guru MI dengan mengajar mata pelajaran yang sama. Akan tetapi, pada sisi lain, guru kurang melakukan pengembangan profesi secara berkelanjutan serta belum mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal. Rekomendasi Dari hasil penelitian di atas, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan di sini. Pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh sertifikasi guru dengan peningkatan kompetensi guru MI setelah disertifikasi, sehingga dapat dibandingkan antara hasil penelitian kualitatif deskriptif dengan penelitian kuantitatif. Kedua, Kementerian Agama perlu segera mengevaluasi program sertifikasi guru yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007, untuk memastikan apakah program tersebut sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, yaitu: untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional; untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan; untuk meningkatkan martabat guru; dan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Sejauh ini, yang tampak dari program sertifikasi guru adalah meningkatnya kesejahteraan guru, sedangkan tujuan sesungguhnya belum terlihat. Ketiga, untuk kompetensi pedagogik, kepala madrasah dan pengawas perlu mensupervisi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Kepala madrasah dan Kementerian Agama juga perlu mendorong dan menfasilitasi pelatihan tentang strategi pembelajaran dan penelitian tindakan kelas (PTK). Untuk kompetensi kepribadian, kepala madrasah dan pengawas perlu meningkatkan kontrol terhadap etos kerja guru, khususnya dalam upaya peningkatan mutu dan martabat profesinya. Untuk kompetensi sosial, guru dan kepala madrasah seyogiyanya menjalin komunikasi aktif dengan orang tua/wali siswa dan masyarakat. Untuk kompetesi profesional, kepala madrasah dan Kantor Kementerian Agama mendorong dan menfasilitasi guru untuk
| 36
Erma Fatmawati melakukan pengembangan profesi secara berkelanjutan dan mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal dalam kegiatan belajar mengajar. Keempat, guru sertifikasi harus meningkatkan kompetensinya. Hal ini bukan semata-mata sebagai kewajiban institusional atau administratif, melaikan merupakan sebuah keharusan sebagai seorang profesional di bidang pendidikan. Tanpa didorong, difasilitasi, atau bahkan dipaksa oleh madrasah, pengawas, dan/atau Kantor Kementerian Agama, sudah menjadi “fitrah” guru untuk selalu meningkatkan kompetensinya. Daftar Pustaka _______, 2007.Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, _______, 2013, Pengambangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Remaja Rosdakarya, Baedhowi, 2009 .“Tantangan Profesionalisme Guru pada Era Sertifikasi,” Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar UNS, tanggal 12 November Dimyati & Mudjiono, 2002, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, Mulyasa, E. 2013, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, Nata, Abuddin, 2011. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press Payong, Marselus R. 2011, Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya, Jakarta: Indeks Raharja, Setya, Badrun Kartowagiran, Ishartiwi, Sugi Wening, Kenerja Guru Profesional (Guru yang Sertifikasi dan Sudah Mendapat Tunjangan Profesi) Sleman Yogyakarta, Yogyakarta: Pusat Kajian
37 | Volume 6. No. 01. Maret 2014
Rahayu, Sri Sudah Lulus di Kabupaten Pendidikan
Kompetensi Guru Pascasertifikasi (Studi Evaluasi terhadap Guru MIN Sumbersari dan MIMA Condro Jember Dasar dan Menengah Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, 2008 Sahertian, Piet A. 2000, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Reneka Cipta, Sudibyo, Bambang & Hamid Awaludin, 2005, Pandapat Akhir Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, Disampaikan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Sudijono, Anas, 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, Surakhmad, Winarno, 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Tasmara, Toto, 2000. Membudayakan Etos Kerja, Jakarta: Gema Insani, Uno, Hamzah B. 2011, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
| 38