KOGNISI LINGKUNGAN SEBAGAI KEARIFAN untuk Pencapaian Perencanaan dan Perancangan Area Publik Pindo TUTUKO
Pendahuluan Urbanisasi menghasilkan beberapa keuntungan, karena secara umum merupakan proses pergeseran aktivitas penduduk dari sektor tradisional dan non produktif (non perkotaan) ke sektor modern dan produktif (perkotaan). Studi empiris menunjukkan ada hubungan korelasional positif antara tingkat urbanisasi dengan peningkatan pendapatan per kapita. Makin tinggi tingkat urbanisasi di suatu negara, maka makin tinggi pula pendapatan per kapita negara tersebut. Namun pada sisi lain, urbanisasi juga mengundang sejumlah masalah karena padatnya manusia pada ruang tertentu. Penduduk miskin pedesaan yang pindah ke perkotaan hanya berubah status menjadi penduduk miskin perkotaan tanpa ada peningkatan kesejahteraan yang berarti. Urbanisasi juga mengakibatkan memburuknya kualitas lingkungan perkotaan, karena keterbatasan jumlah dan kualitas sarana dan prasarana yang tersedia, meningkatnya kemacetan lalu lintas, polusi, pencemaran, menurunnya tingkat pelayanan sarana dan prasarana kota, serta munculnya berbagai masalah sosial.Berbicara mengenai lingkungan dinyatakan sebagai rangkaian hubungan antara beberapa elemen dan manusia yang teratur dan mempunyai pola. Lingkungan juga merupakan reflekasi atau hubungan timbal balik antara manusia dengan elemen fisik dunia. Pemikiran tentang lingkungan, secara ekologis lebih merupakan suatu hubungan yang saling terkait antar sistem organisme. Lingkungan adalah wadah dari sistem organisme tersebut. Berkaitan dengan ruang, maka ruang (space) merupakan pengembangan dan pengalaman tiga dimensi atas lingkungan sekitarnya. Pengaturan ruang merupakan hal yang lebih mendasar dalam perancangan lingkungan daripada bentukan fisik seperti ukuran, material, dan bentuk. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada aspek fisik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap bentukan sense yang terjadi pada lingkungan secara tiga dimensional, kecuali yang diubah adalah pola tatanannya. Selanjutnya dalam pencapaian perencanaan dan perancangan area publik terdapat berbagai macam rentetan pengambilan keputusan dari alternatif pilihan lingkungan yang dijadikan objek rancang. Semua lingkungan binaan yang direncanakan dan dirancang manusia mempunyai kesamaan, yaitu dirancang sebagai perwujudan dari pengambilan keputusan tentang pilihan alternatif pemecahan masalah ruang. Dengan demikian, pengertian lingkungan menjadi lebih luas bila dilihat dari segala sesuatu yang ada dan terbangun di dalamnya. Pada kenyataannya kegiatan manusia mempunyai dampak terpenting pada lingkungan binaan tergantung pada keputusan yang diambil oleh manusia dan atau kelompoknya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.
Area Publik Area publik dapat didefinisikan sebagai ruang publik (public space) atau suatu tempat publik, adalah suatu tempat di mana seseorang berhak untuk datang tanpa membayar untuk masuk atau
pembayaran – pembayaran yang lain. Jika kondisinya demikian, maka suatu area publik bebas dipergunakan oleh semua orang tanpa kecuali. Karena dipergunakan oleh banyak orang dengan latar belakang yang berbeda – beda, pada akhirnya ruang publik mestinya
mampu mewadahi keinginan dari berbagai macam keinginan tersebut. Salah satu pemecahan masalahnya yang paling umum adalah dengan melihat kembali budaya. Kenyataan ini yang menjadikan perbedaan lingkungan yang dihasilkan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbicara mengenai ruang, maka setiap aturan atau peraturan sosial (institusi) berusaha secara tegas mengatur penggunaan ruang, seperti undang – undang hak milik, teritori secara politis atau teritori usaha atau industri, menunjukkan fakta sosial tentang pentingnya pemilikan atau penguasaan ruang, Bentuk struktur ruang sangat tergantung pada sifat sosio – cultural dan ekonomi – politik masyarakat. Artinya, segala lapisan masyarakat mempunyai perbedaan yang cukup besar mengenai konsep ruang, seperti perbedaan konsepsi ruang antar masyarakat Melayu, China, dan Jawa. Perbedaan konsepsi ruang tiap masyarakat ini dapat dipengaruhi dan mempengaruhi pemahaman dan penerapan kaidah – kaidah penataan ruang suatu area publik. Dalam perencanaan dan perancangan area publik di kota dapat diamati dari segi bentuk, waktu, serta susunannya yang melibatkan banyak dan prinsip arsitektural yang universal, tetapi perlu diterapkan secara kontekstual. Beberapa konsepsi tentang pemahaman area publik di kota dapat disimpulkan sebagai berikut: §
Konsepsi pertama adalah pemahaman bahwa area publik perkotaan adalah ruang yang bersifat fisik dengan dimensinya yang sosial dan mental (psikis). Bentuk area publik kota adalah sebuah geometri ruang tersebut.
§
Konsepsi kedua adalah pemahaman terhadap area publik perkotaan yang terdiri dari dua tingkat, yaitu dari atas dan dari bawah. Dari atas berarti memahami perspektif ekonomi – politik, di mana system – system dan kekuatan diselenggarakan untuk menciptakan lingkungan – lingkungan pembangunan. Dari bawah, berarti memahami perspektif kehidupan sehari – hari.
§
Konsepsi ketiga adalah bahwa pemahaman terhadap area publik perkotaan, dalam segala dimensinya, paling dimungkinkan melalui perhatian pada proses perkembangannya. Melalui proses perkembangan tersebutlah kita dapat menghubungkan dunia artefak dengan dunia orang.
Persepsi Lingkungan Menurut Rapoport (1977), persepsi terhadap lingkungan adalah sesuatu yang penting, sebab hal itu merupakan upaya memperkenalkan sesuatu yang dinamis secara kultural maupun personal, serta memodifikasi anggapan tentang kondisi lingkungan. Salah satu yang bias diterima adalah anggapan bahwa lingkungan yang merupakan ekosistem mungkin berbeda bagi perencana dan bahwa perbedaan yang dirasakan manusia mungkin berbeda dengan kenytaaan yang ada pada lingkungan. Jadi salah satu pendekatan untuk memahami suatu wilayah dan kriteria yang digunakan untuk desain bisa berbeda. Dalam hal ini konsep tanggap lingkungan membantu untuk menghubungkan semua fakta yang ada. Selanjutnya Rapoport (1977) mengatakan ada beberapa usaha untuk menghubungkan antara manusia dan lingkungannya harus melibatkan tiga aspek untuk mengenal, merasakan, dan kemudian melaksanakannya, antara lain: •
Kognitif, yaitu aspek yang melibatkan pemahaman, pengetahuan, dan fikiran sehat, serta proses dasar bagi individu utk mengeti tentang lingkungannya.
•
Afektif, yaitu aspek yang melibatkan perasaan dan emosi, motivasi, keinginan, dan penilaian tentang lingkungan.
•
Konatif, yaitu aspek yang melibatkan tindakan, pekerjaan, dan usaha keras, sedemikian rupa sehingga dalam menanggapi pengetahuan dan pemahanan akan memiliki efek terhadap lingkungan.
Konsep Umum tentang Image Menurut Rapoport (1977), secara umurn image adalah gambaran internal seseorang atau representasi mental individu terhadap kenyataan eksternal yang diketahui dan dipahaminya melalui beberapa pengalaman, baik langsung maupun tidak. Dalam konteks urban, image dipergunakan sebagai dasar untuk mebuat konsep dan rancangan, walaupun memiliki hasil persepsi yang berbeda bagi setiap orang. Image dapat dipakai untuk menggambarkan kondisi kualitas dan kuantitas kota dan lingkungannya, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang. Sebagai sebuah memori yang dominan dalam perencanaan kota, maka image juga dapat dlgambarkan sebagai titik hubung antara manusia dan lingkungannya, sehingga dapat merepresentasikan kesan tentang ruang (space). Dengan demikian, secara umum image menunjukkan: •
Struktur atau bagan yang teratur dan beberapa gagasan yang ideal. • Ide dan pemahaman tentang apa dan bagairnana dunia ini.
Pengembangan Konsep Image Skema yang dibuat berdasarkan ingatan dan pengalaman masa lalu dan bukan apa yang ada sekarang dapat dipakai sebagai alat untuk menilai dan menceritakan sebuah perjalan sejarah yang dapat pula dipakai untuk memprediksi kondisi di masa yang akan datang. Image sangat terkait dengan perubahan secara individu dan merupakan gabungan dari beberapa hal khusus yang tidak beraturan. Namun, dalam kenyataarmya image dapat dipakai untuk menunjukkan identitas dan jati diri sekelompok masyarakat yang dalam waktu yang bersamaan dapat dipakai untuk membantu meneruskan dan mengembangkan image tertentu. Image dibentuk dari beberapa fakta dan nilai sesuai dengan tingkatan subyektifitas yang ada. Terdapat sepuluh dimensi image, yaitu: • Image spasial; merupakan gambaran lokasi dimana manusia berada. Image temporal; mernpakan image yang terjadi secara berbeda dari waktu ke waktu (non tradisional). • Image terhubung, mernpakan garnbaran individu dalam suatu sistem budaya tertentu. • Image personal; merupakan gambaran yang sangat individual, walau masih melibatkan unsur sosial dan budaya. • Image nilai, merupakan nilai dari image sesuai dengan skala tingkatan pemahamannya. • Image afeksi, merupakan image yang dipengaruhi oleh tingkat emosi manusia. • Image dengan tingkatan kesadaran (keyakinan). • Image dengan tingkatan kepentingan (ungensitas). • Image dengan tingkatan kenyatan (realistis). • Image dengan tingkatan kegunaan (publik-privat).
•
Sedangkan image non-spasial dibagi menjadl image nilai serta image faktual dan pengetahuan. Mengorganisir suatu lingkungan perkotaan akan dipengaruhi oleh image ideal masyarakatnya sesuai dengan keinginan mereka terkait dengan kemungkinan, kesempatan, dan surnber daya
yang dipunyainya, sehingga memungkinkan terjadinya variasi hasil. Dalam hal ini, faktor budaya akan memberikan kesadaran mereka dalarn menentukan: • • •
Prioritas subyektif. Struktur/pola keterkaitan. Jaringan dan hubungan antar kelompok.
Ketiga hal tersebut berhubungan langsung dengan kesepuluh dimensi image yang telah disebutkan di atas, yaitu dalam hal: • •
Ideal dan preferensi sebagai pengaruh tingkatan nilai. Pengetahuan faktual dan hubungan antar kelompok.
Kesamaan struktur, properti, dan komponen.
Image Perkotaan Image adalah modalitas yang spesifik dan seringkali diluar kesadaran, mencakup informasi stimulus yang kongkrit maupun abstrak, stimulus kongkrit yang melibatkan proses pararel sedangkan stimulus abstrak diproses secara berurutan. Image adalah bersifat skematis dan sehingga dibentuk dengan menggabungkan banyak unsur yang terpisah. Image perkotaan bukan hanya visual pada semua indra dalam pembentukannya, image dipengaruhi oleh factor – factor non pengalaman, yang meningkat pentingnya seiring dengan peningkatan skala dan menurut usia, pendidikan, skill, variable – variable sosio kultural, nilai – nilai simbolis dan asosiasi individu – individu dan kelompok – kelompok dan variasi – variasi dalam pola aktifitasnya dan tingkat ruang perilaku, sehingga jika suatu jalan diklasifikasikari sebagai suatu ruang untuk duduk, makan dan berbicara, peta mental perkotaarinya, dan penlaku akan sangat berbeda dibandingkan dengan jika dikategonsasikan secara berbeda jika hanya sebagai suatu ruang untuk dilalui. Definisi tentang suatu tempat di kota tergantung pada kategorisasi kognitif dan kriteria kesamaan dan ketidaksamaan, tergantung pada kelaziman, mode perjalanan dan sifat lalu lintas, irama temporal, waktu dan urutan pergerakan. Tingkat ruang perilaku manusia juga mempengaruhi pengalaman mereka, karena tempat – tempat yang dipakai jauh Iebih diketahui daripada tempat – tempat yang tidak dipakai dan pengetahuan juga dipengaruhi oleh kesukaan.
Kognisi Lingkungan Fungsi proses kognitif adalah untuk mengurangi informasi dan untuk membuat suatu lingkungan yang kacau balau menjadi bisa diprediksi, teratur, dan bisa dikelola. Maka kategorisasi kognitif adalah serupa dengan aturan – aturan kultural yang membantu mempermudah kehidupan dengan menjadikan perilaku kebiasaan (budaya sebagai kebiasaan). Dalam cara yang sama seperti orang – orang tahu bagaimana cara menggunakan lingkungan secara efektif. Proses kognitif ini jelas merupakan cara untuk mengurangi informasi melalui suatu struktur pada lingkungan. Lingkungan yang dikenal dan representasi kognitifnya adalah suatu lingkungan yang disederhanakan. Dengan mengadakan rutinitas, yang menggunakan hanya bagian dari lingkungan yang ada dan bahkan menghindari pengetahuan tentang bagian – bagian darinya, informasi terkurangi dan tebih sedikit keputusan sadar dan lebih sedikit pemantauan sadar yang periu. Proses penyusunan skema skema kognitif sosial, temporal, atau spasial tampaknya melibatkan keputusan – keputusan tentang apakah segala sesuatu sama atau berbeda. Pembeda – bedaan
diantara unsure – unsure, dan keputusan apakah unsure – unsure itu sama atau berbeda, bisa dilakukan melalui kategorisasi identitas atau kategorisasi ekuivalensi. Kategori yang disebut terakhir ini bisa dilakukan melalui tiga kelas/golongan luas kategori – kategori ekuivalens – afektif, fungsional atau formal atau dalam formulasi lain, dengan memakai lima mode utama (Rapoport,1977): Persepsi/indra. Atas dasar warna, bentuk, ukuran atau posisi, dalam hal ini, apa yang disebut perbedaan-perbedaan yang bisa dilihat.
•
•
Fungsional. Atas dasar kegunaan atau fungsi, unsur-unsur apa yang bisa melakukan atau apa yang bisa dilakukan terhadap unsur-unsur itu. • •
Afektif. Dalam artian evaluasi, emosi yang dibangkitkan atau preferensi.
Nominal. Dengan melampirkan nama-nama yang siap pakai dibuat dari bahasa itu. •
Fiat ekuivalence Definisi semena-mena/bebas tentang ekuivalensi Skema – Skema Kognitif
Karakteristik utama skema – skema kognitif adalah skema itu mencakup area – area dan tempat – tempat yang tidak pernah dialami tetapi diketahui secara tidak langsung. Skema – skema kognitif adalah didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan dan pada nama – nama dan kategori – kategori yang mencerminkan gaya – gaya kognitif. Faktor – faktor fisik dan non fisik tentang sifat lingkungan, isyarat dalam semua modalitas indrawi, arti, nilai – nilai, kultur, simbolisme, preferensi, dan juga aktifitas – aktifitas, cara perjalanan dan hubungan sosial sehingga orang bisa menemukan skema – skema. Peta Mental Peta mental adalah suatu rangkaian transformasi – transformasi psikologis, dimana melalui transformasi itulah orang – orang memperoleh, mengkodekan, menyimpan, mengingat dan mengartikan kode informasi tentang lingkungan spatial mereka, unsur – unsurnya, lokasi relatifnya, jarak – jarak dan arah – arahnya dan struktur keseluruhannya, bisa juga disebut peta kognitif. Peta – peta mental terdiri dari 2 jenis unsur: Peta – peta yang dikenal oleh orang luar dan oleh sebagian besar penduduk kecuali mungkin penduduk yang paling sengsara dan tidak berpindah – pindah.
•
•
Elemen lokal yang dipakai penduduk area tertentu, yang memiliki asosiasi dan nilai – nilai khusus untuk kelompok – kelompok yang lebih kecil atau individu – individu tertentu tergantung pada variabel – variabel tertentu yang tercakup.
Mempelajari umumnya cenderung menstabilkan perilaku spasial dengan membangun kebiasan. Kebiasaan mempengaruhi perilaku dan peta – peta mental karena pengetahuan spasial dikodekan dalam peta – peta sebagai akibat dari perilaku. Harapan yang didasarkan pada pengetahuan sebelumnya mempengaruhi perilaku awal sehingga keinginan untuk menggunakan sesuatu muncul terlebih dahulu, kemudian pengetahuan tentang lokasi spasialnya, kemampuan untuk menemukannya dan kemudian tindakan. Tindakan demikian menjadi lebih atau kurang bersifat kebiasaan, dan selanjutnya, mempengaruhi peta – peta mental.
Orientasi Orientasi terdiri dari tiga permasalahan: pertama dimanakah sesorang itu, bagaimana mengetahui dengan apa ia pergi, bagaimana dia tahu kalau telah tiba. Orientasi adalah suatu masalah dari elemen – elemen fisik dan aturan – aturan sosio kultur.
Metoda utama dari orientasi yang dapat diterapkan: • • • •
Tanda dan pengungkapan Pola lokasi Pola kebiasaan Penanda (landmark)
Definisi Subyektif Tempat Dalam konteks kota tempat adalah hal yang menentukan. Jika lokasi menunjukan “di sini” dan atau “di sana” maka tempat lebih menitikberatkan pada identitas. Definisi mengenai tempat penting untuk memahami morfologi kota, pemilihan bagian analisis ataupun desain serta skema formasi kognitif. Beberapa bagian yang berperan dalam definisi subyektif mengenai tempat adalah: • • • • • • • • • • • •
Tingkat kerumitan Watak dan tekstur kota Skala dan ukuran, ketinggian dan kepadatan bangunan Warna, bahan detail Penduduk-bahasa, tingkah laku, perubahan sosial Tanda-tanda Tahapan kegiatan Kegunaan Tingkat kebisingan. Bentukan alami Bau Pemeliharaan dan kebersihan
Dalam pendefenisian terdapat beberapa konflik tersirat antara defenisi perencana dengan yang Iainnya sebagaimana yang terlihat di berbagai kota bahkan pada beberapa orang dalam wilayah yang sama. Jarak Subyektif – Waktu dan Tempat Peta kognitif terkait dengan keterhubungan dan jarak. Jarak antar tempat berpengaruh besar terhadap kegunaan. Secara tidak langsung jarak subyektif berbeda terhadap obyektif. Morfologi Subyektif Kota Morfologi subyektif kota sedikit mempengaruhi secara spesifik dari desain fisik. Untuk sebuah desain satu keinginan untuk mengetahui bagaimana struktur kognisi berangkat dari karakter kultur sosial dan model kognitif, gaya berpergian, tingkat perilaku ruang serta seluruh variabel – variabel lain yang serupa dengan bentuk kota. Pemahan kultural sangat signifikan terhadap elemen – elemen dalam menjelaskan morfologi kota. Morfologi subyektif kota adalah hasil dari kognisi, dari pemahaman dan pemaknaan terhadap lingkungan melalui pemilihan langsung dan tidak langsung informasi mengenai hal tersebut. Dengan pendekatan varabel indera, tampak berbeda penggunaan serta hambatan morfologi subyektif kota dengan yang obyektif. Dengan demikian morfologis subyektif maupun obyektif dapat dibangun bersamaan. Sebagai contoh, lokasi bangunan tinggi yang terdapat di kota – kota mernperhatikan ekonomi, estetika, presepsi, simbolik dan aspek lainnya.
Kasus Alun-alun Kota Malang Akhir – akhir ini perubahan sangat jelas terlihat pada fisik alun – alun kota Malang, yang berbentuk kotak. Alun – alun kota Malang, yang berlokasi di seputaran jalan Merdeka, saat ini terlihat berbeda dari sebelumnya. Perubahan fisik pada obyek ini, secara garis besar dapat dilihat dengan hal – hal sebagai berikut: •
Adanya pembuatan pot – pot pada hampir semua pohon beringin dan tanaman pembatas alun – alun dengan bahan perkerasan (beton diplester), •
•
Pemagaran sekeliling alun – alun dengan pagar.
Adanya jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki yang menghubungkan sisi utara alun – alun ke alun – alun itu sendiri.
Perubahan yang tentunya tidak terlepas dengan kebijakan Pemerintah Kota Malang agar alun – alun ini tetap eksis sebagai ruang terbuka kota. Alun – alun sebagai setting fisik yang merupakan stimuli bagi pelaku – pelaku untuk menanggapinya sejalan dengan tingkat kepentingannya, mengingat secara fisik setting alun – alun ini berubah. Salah satunya adalah kalau dulu banyak rumputnya sekarang banyak perkerasannya, dan tentunya perbedaan bahan penutup lantai ini menimbulkan stimuli yang ditanggapi berbeda pula dalam perilaku yang diperlihatkan oleh pelaku – pelaku. Seiring dengan kemajuan jaman, maka terjadi pula perubahan kebutuhan akan area publik sesuai dengan jamannya. Demikian pula yang terjadi pada kasus di alun – alun kota Malang, terdapat perbedaan koginisi lingkungan yang terjadi pada masa lalu dengan masa sekarang. Hal inilah yang menyebabkan berbagai macam perubahan yang terjadi demi pencapaian perencanaan dan perancangan yang diinginkan.
Foto alun-alun kota Malang jaman dulu dan sekarang
Oleh karena itu kota sebagai tempat bermukim dan beraktivitas penduduk, pada dasarnya bersifat dinamis. Karena kedinamisan itu, maka dalam perkembangan kota selalu dan terus mengalami perubahan baik dari segi fisik maupun dari segi tata ruang kota. Perkembangan dan perubahan itu terjadi seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Semakin tinggi angka pertumbuhan penduduk dengan pola hidup yang berbeda sesuai dengan kondisi, fungsi, serta kemampuan sosial masing – masing, akan berpengaruh terhadap wajah serta perkembangan
fisik kota. Oleh sebab itu dalam perencanaan dan perancangan sebuah area publik dalam kota hendaknya di perhatikan beberapa hal berikut ini:
• • •
Arsitektur kota. Berkaitan dengan bidang perancangan kota. Ekologi kota. Penting untuk pemahaman kota di masa depan. Sejarah kota. Penting untuk memahami latar belakang kota.
Setiap bentuk perancangan hari ini selalu bertumpu pada rantai sejarah masa silam, untuk penggunaan di waktu mendatang. Kota Malang sebagai salah satu kota dengan pengaruh kolonial Belanda, dalam perencanaannya sesuai dengan hal – hal di atas.
Paradoks Pembangunan Kota Sukses pembangunan perkotaan di dunia barat yang relatif tanpa menimbulkan konflik sosial, telah mengilhami kalangan perencana di Negara – negera yang sedang berkembang seperti Indonesia untuk meniru pola tersebut. Namun hasilnya ternyata hanyalah sebuah paradoks pembangunan perkotaan. Industrialiasi di Indonesia yang menghasilkan proses urbanisasi dan tumbuhnya sektor modern di perkotaan sebagai faktor penarik (pull – factors), tidak mampu menyediakan kesempatan kerja yang seimbang dengan ledakan tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian/pedesaan. Yang terjadi disini adalah urbanisasi karena faktor pendorong (push – factors), yaitu kejenuhan produktivitas di sektor pertanian/pedesaan. Kegiatan ekonomi modern yang terkonsentrasi di perkotaan, seolah – olah menjanjikan lapangan kerja baru. Tetapi dalam kenyataannya hal itu tidak terjadi, sehingga urbanisasi tersebut bukan merupakan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian/pedesaan ke sektor industri/perkotaan yang menyertai transformasi struktur ekonomi, tetapi urbanisasi prematur yang menghasilkan sektor informal dalam jumlah yang sangat besar. Damanhuri (1996) memaparkan faktor – faktor yang menimbulkan masalah tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut: •
Tingkat pendidikan masyarakat tidak memadai untuk merespon tuntutan dunia industri dan sektor modern lainnya.
•
Pemerintah tidak bebas memilih teknologi produksi yang cocok dengan tuntutan dan kondisi pekerja, karena terdapat gejala monopoli teknologi oleh kalangan pengusaha multinasional.
•
Para pekerja yang berasal dari sektor pertanian atau pedesaan, masih mewarisi sikap mental dan budaya agraris serta masih sulit mengikuti budaya industri modern yang serba rasional dan efisien.
•
Proses monotesasi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, belum sepenuhnya berjalan. Terlebih lagi bila dilihat kaitannya dengan kegiatan masyarakat terhadap dunia perbankan yang masih jauh dari harapan.
•
Terjadinya kekacauan norma sebagai akibat tatanan hukum yang belum terbangun, apalagi bila berbicara tentang makna penegakan hukum.
Jadi proses terjadinya dualisme pembangunan perkotaan di Indonesia. Di satu pihak, semua pengendali kekuasaan praktis berada di sektor formal atau modern atau perkotaan, dan semua elite terkait secara struktural dengan eksistensi dan perkembangan sektor – sektor tersebut. Pada sisi lain, menurut Damanhuri (1996) kelangsungan pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan akan terancam jika mengabaikan keberadaan sektor informal yang menymbangkan rata – rata 45% pada struktur employment perkotaan di Indonesia. Untuk Jakarta, Bandung, Surabaya dan Semarang, angka tersebut bahkan mencapai 50% sampai 60%. Selain itu, sekitar 60% sampai dengan 70% penduduk perkotaan tergantung pada sektor informal.
Hal inilah yang antara lain memunculkan keberadaan pedagang kaki lima di kota – kota. Alokasi dana pembangunan perkotaan (baik melalui APBN maupun APBD), alokasi tata ruang, dan berbagai fasilitas perkotaan, juga menampakkan ketimpangan yang sangat kentara. Sebagian besar bisa mencapai 70% - tertuju untuk kelompok berpendapatan menengah ke atas yang dalam struktur penduduk perkotaan jumlahnya tidak lebih dari 30%. Berangkat dari sejumlah paradoks itulah, maka perlu diupayakan perubahan visi dengan memasukkan sektor informal dan usaha kecil ke dalam kelompok sasaran yang sama pentingnya, atau bahkan yang terpenting diantara kelompok produktif ekonomi lainnya dalam pendekatan pembangunan perkotaan secara makro dan mikro.
Pendekatan Makro Dalam pendekatan makro, masalah perkotaan ditinjau dalam konteks ruang nasional. Salah satu cirinya adalah kecenderungan aktivitas ekonomi perkotaan yang makin mengelompok di beberapa kota metropolitan, terutama di Pulau Jawa. Masalah lain, kota – kota kecil di sekitar metropolitan belum mandiri. Penduduk kota – kota kecil (yang menjadi hinterland metropolis) tersebut masih tergantung pada kota induk dalam hal lapangan kerja dan penggunaan fasilitas kota. Akibatnya, beban kota inti menjadi makin berat karena selain harus melayani masyarakatnya, juga harus melayani penduduk kota – kota di sekitarnya. Termasuk dalam masalah makro ini adalah kesenjangan pertumbuhan antara perkotaan dengan pedesaan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan makro tersebut, strategi pembangunan perkotaan sebagaimana digambarkan sebelumnya, akan meliputi hal – hal sebagai berikut: •
•
Pengelolaan pembangunaan perkotaan secara nasional melalui pembentukan sistem perkotan yang hirarkis. Disini kota dibedakan berdasarkan peranan dan fungsi pelayanannya.
Mencegah pembekakkan wilayah kota dengan membangun kota – kota yang berfungsi sebagai magnet tandingan.
•
Meningkatkan fungsi dan peran kota – kota menengah khususnya di daerah – daerah di luar Pulau Jawa.
•
Diperlukan juga peningkatan fungsi dan peran kota – kota kecil yang berada di sekitar kota – kota besar. •
Mendorong terciptanya keterkaitan aktivitas ekonomi yang efektif, saling menunjang, dan saling menguntungkan antara perkotaan dan pedesaan.
Pendekatan Mikro Dalam pendekatan mikro, kota dipandang sebagai satu kesatuan lingkungan permukiman beserta aktivitasnya. Masalah mikro berkait erat dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan di satu pihak serta keterbatasan kesempatan kerja dan fasilitas pelayanan kota dipihak lain. Akibatnya, muncul kemiskinan di perkotaan dengan berbagai dampaknya. Termasuk dalam hal ini antara lain peningkatan angka kriminalitas kota, kurang efisiensinya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perkotaan termasuk kemacetan lalu lintas, masalah air, sampah dan banjir, berkembangnya permukiman kumuh, pencemaran industri serta benturan – benturan pemanfaatan lahan. Semua ini pada akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan di perkotaan.
Untuk mengatasi masalah mikro tersebut, Kartasasmita (1996) mengajukan tiga strategi pembangunan perkotaan, yaitu: •
Meningkatkan pengelolaan pembangunan perkotaan yang bisa menunjang produktivitas perekonomian kota dengan melibatkan pihak swasta dan masyrakat. Peranan pemerintah dalam pembangunan prasarana dan sarana perlu lebih difokuskan pada pemberian berbagai kemudahan. Dengan pola ini sektor swasta dan masyarakat akan menjadi pelaku utama dalam penyediaan fasilitas pelayanan perkotaan.
•
Memantapkan fungsi dan peranan kelembagaan serta meningkatkan kemampuan keuangan kota. Sasarannya, bisa mengkoordinir dan melaksanakan berbagai program pembangunan perkotaan secara terintegrasi, efisien, dan efektif. Termasuk agar mampu mengatasi berbagai masalah sosial yang menjadi ciri khas perkotaan.
•
Mengatur penggunaan ruang kota agar lebih efisien dan tidak menimbulkan dampak negatif penting pada lingkungan.
Manajemen pembangunan kota yang baik paling tidak memiliki empat indikasi pokok yaitu: •
Adanya perencanaan pembangunan kota yang bersifat operasional sehingga realistis dan dapat diimplementasikan.
•
Mampu menggerakkan, memfungsikan, memobilisir seluruh komponen pembangunan kota sehingga bekerjasama dan sama – sama bekerja untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan kota yang ditetapkan.
•
Semua pihak apakah Pemkot, Swasta, Masyarakat, profesional (intelektual) dan media massa mampu menyelenggarakan dan melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab pembangunannya secara optimal.
•
Memiliki kemampuan pengendalian untuk secara terus menerus menjaga kemungkinan terjadinya penyimpangan dari arah dan kebijakan umum pembangunan kota yang telah digariskan.
Kesimpulan •
Persepsi terhadap lingkungan adalah sesuatu yang penting, sebab hal itu merupakan upaya kearifan dalam memperkenalkan sesuatu yang dinamis secara kultural maupun personal, serta memodifikasi anggapan tentang kondisi lingkungan.
•
Perlu dilakukan penelusuran tentang apa – apa saja yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan area publik dengan kognisi lingkungan yang meliputi Image, Skema Cognitive Map, peta mental (Behavioral Map), Orientasi, definisi subyektif tempat, jarak subyektif waktu dan tempat, dan morfologi subyektif. Hal ini dilakukan untuk mencari data yang hilang, tetapi masih ada pada pikiran masyarakat tentang keluarga dan lingkungannya.
•
Penataan ruang publik pada dasarnya merupakan lingkungan fisik suatu wilayah yang mempunyai hubungan fungsional antara berbagai unsur pembentuk. Tercakup di dalamnya sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia bersama berbagai kegiatannya. Landasan konsepsi tata ruang adalah wawasan spasial yang pada penerapannya menyangkut pula aspek – aspek non spasial.
Dengan proses kognitif dapat menambah informasi dan untuk membuat suatu Iingkungan yang kacau balau menjadi bisa diprediksi, teratur, dan bisa dikelola. Dengan kognitif yang serupa dengan aturan – aturan kultural, membantu mempermudah kehidupan dengan
•
menjadikan perilaku kebiasaan (budaya sebagai kebiasaan), seperti orang – orang tahu bagaimana cara menggunakan lingkungan secara efektif. •
Struktur tata ruang fisik kota ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang saling berinteraksi, seperti kekuatan pasar serta proses sosial politik dan budaya.
•
Dalam upaya penataan ruang publik perkotaan, ada sejumlah masalah karena sejak awal terjadi konflik – konflik dan penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan kaidah penggunaan ruang yang baik. Di kawasan perkotaan terdapat pemanfatan ruang yang tidak teratur dan kondisi lalu lintas yang makin hari makin memburuk. Harga tanah terus meningkat mengakibatkan pembangunan perasaraana terhambat.
•
•
Perlu diupayakan perubahan visi dengan memasukkan sektor informal dan usaha kecil ke dalam kelompok sasaran yang sama pentingnya, atau bahkan yang terpenting diantara kelompok produktif ekonomi lainnya dalam pendekatan pembangunan perkotaan secara makro dan mikro.