CABANG DKI JAKARTA
PKB I
1-2 Oktober 2004
Hot Topics in Pediatrics
PKB II
12-13 Januari 2005
Pediatrics Update 2005
PKB III
26-27 Juli 2006
Nutrition Growth Development
PKB IV
20-21 Agustus 2007
Menghadapi Kedaruratan Pediatrik di Poliklinik
PKB V
10-11 Agustus 2008
Manajemen Penyakit Pediatri di Poliklinik
PKB VI
4-5 Oktober 2009
Frequently Asked Questions in Pediatrics
PKB VII
23-24 Mei 2010
Common Problems in Daily Pediatric Practice
PKB VIII
8-9 Mei 2011
State of the art: Common Problem in Hospitalized Children
PKB IX
18-19 Maret 2012
Pediatric Practices
PKB X
17-18 Februari 2013
Best Practice in Pediatrics
PKB XI
13 - 14 April 2014
Practical Management in Pediatrics
Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health Care
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN IDAI CABANG DKI JAKARTA
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health Care
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA 2015
CABANG DKI JAKARTA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XII IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA
Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health Care
Penyunting: Mulyadi M. Djer Rini Sekartini Rismala Dewi Harijadi
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA 2015
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan oleh: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta Tahun 2015
ISBN 978-602-70285-2-4
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
Bismillahirohmanirohim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dokter anak, sebagai salah satu profesi di bidang kedokteran selain memiliki tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan anak baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, salah satu tugasnya adalah senantiasa meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu kesehatan anak. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan ilmu terkini dan dapat diaplikasikan dalam pelayanan kesehatan. Hal ini tercermin dalam salah satu kegiatan pengurus IDAI Jaya dalam bidang ilmiah yang mencakup kegiatan siang klinik, temu pakar, dan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Salah satu tujuan diadakannya PKB adalah menjaga kompetensi anggotanya dalam pelayanan kesehatan anak. Pada PKB kali ini selain materi tentang ilmu kesehatan anak yang kerap kali ditemukan dalam praktek sehari-hari, kami mengangkat topik khusus yang melibatkan dua pakar yang membicarakan topik yang bersifat kontroversi. Kali ini kami melibatkan rekan dari kedokteran rehabilitasi medik dan kedokteran fisik serta satu topik lain melibatkan dokter spesialis kesehatan kulit dan kelamin. Sesi workshop mengambil beberapa topik praktis sehari-hari, dan ada yang berbeda bahwa kali ini kami mengundang pakar komunikasi dari John Robert Powers yang mengadakan workshop dengan topik transformation and breakthrough counseling dan interpersonal skills yang diharapkan dapat digunakan dalam menunjang pelayanan kesehatan anak terutama dalam kaitannya dengan komunikasi. Pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada seluruh pembicara, moderator, dan fasilitator yang berperan aktif dalam memberikan ilmu dan pengalamannya selama PKB berlangsung. Tak lupa ucapan terimakasih kami haturkan kepada seluruh mitra IDAI DKI Jakarta atas peran serta dan kontribusi dalam acara ini. Kegiatan ini tidak lepas dari peran serta seluruh panitia PKB XII IDAI cabang DKI Jakarta yang dipimpin oleh DR. Dr Hanifah Oswari, Sp.A(K) atas kesediaan dan kerjasamanya hingga kegiatan ini berlangsung dengan baik dan lancar. Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pastinya ada kekurangan baik dalam persiapan maupun penyelenggaraannya, untuk itu kami mengharapkan kritik Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
iii
dan saran yang bersifat membangun agar kegiatan ini dapat memenuhi harapan dan keinginan seluruh anggota IDAI khususnya cabang DKI Jakarta dan pihakpihak lain yang terkait. Selamat mengikuti PKB ini, semoga ilmu yang kita dapat dapat berguna dalam menunjang kesehatan dan kesejahteraan anak-anak di Indonesia. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Rini Sekartini
iv
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB XII IDAI Cabang DKI Jakarta 2015
Dokter spesialis anak dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalitas dalam bekerja. IDAI Cabang DKI Jakarta sebagai organisasi profesi berusaha untuk meningkatkan profesionalitas dokter spesialis anak dengan menyelengarakan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB ke-XII). Saat ini, PKB ke-XII menitikberatkan pada update masalah praktis yang dihadapi dokter anak sehari-hari. Masalah praktis yang hampir selalu timbul di praktek dibicarakan kali ini. Selain dengan cara biasa juga dibicarakan dengan cara sedikit berbeda, yaitu adanya forum pro-kontra. Forum ini tidak dimaksudkan untuk mencari perbedaan, tetapi untuk memberi perspektif berbeda untuk dokter anak dalam menghadapi kasus yang dihadapi. Kasus tidak hanya dilihat secara hitam putih, tetapi juga melihat masih banyak daerah abu-abu yang perlu dikenali dan diambil manfaatnya untuk kepentingan pasien. Yang juga berbeda dengan PKB IDAI Cabang DKI Jakarta sebelumnya, PKB kali ini tidak hanya melakukan pendidikan berkelanjutan mengenai keilmuan, tetapi juga menyentuh soft skill yang juga berperan penting untuk dokter anak menghadapi pasien atau orangtuanya. Soft skill ini sering kali dilupakan, padahal keahlian soft skill mungkin sekali menentukan kesuksesan seorang dokter. Untuk itulah, dalam PKB ke-XII ini kami hadirkan topik seni berkomunikasi untuk dokter anak yaitu transformation and breakthrough conselling dan interpersonal skills. Dua workshop merupakan sebagian dari soft skill yang dirancang, agar kemampuan soft skill dokter anak dapat ditingkatkan secara merata. Harapan kami, baik peningkatan keilmuan maupun soft skill ini akan memberi efek dalam peningkatan kemampuan dokter anak untuk menangani pasien sehari-hari sehingga patient satisfaction meningkat. Selamat ber-PKB DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) Ketua Panitia
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
v
vi
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Kata Pengantar Tim Penyunting
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan waktu kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyuntingan buku PKB IDAI Jaya yang ke XII ini. Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada IDAI Jaya yang sudah memberikan amanah kepada kami untuk menyunting buku ini. PKB IDAI Jaya yang ke XII ini mengangkat topik: Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health Care, berisi evidence terkini yang berhubungan dengan keilmuan di bidang ilmu kesehatan anak yang dapat diaplikasikan teman sejawat anggota IDAI Jaya ataupun dokter umum dalam tata laksana pasien. Makalah yang dimuat pada buku ini ditulis oleh para ahli di bidangnya masing-masing, baik yang berasal dari lingkungan FKUI-RSCM maupun dari kalangan anggota IDAI Jaya sendiri. Isi dari makalah sama sekali menjadi tanggung jawab penulis, kami hanya melakukan penyuntingan sesuai dengan format yang berlaku di kalangan IDAI Jaya. Kepada semua penulis kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan karena telah meluangkan waktunya untuk menyelesaikan makalahnya tepat waktu. Kami merasa mungkin masih terdapat kesalahan baik yang kami sengaja ataupun yang tidak kami sengaja pada buku ini. Untuk itu kami memohon untuk dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya. Kepada semua pihak yang terlibat dalam PKB IDAI Jaya yang ke XII ini atas nama tim penyunting kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Tim Penyunting, Mulyadi M. Djer Rini Sekartini RismalaDewi Harijadi
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
vii
Susunan Panitia
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII IDAI Cabang DKI Jakarta
Penanggung Jawab DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) Ketua DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) Wakil Ketua Dr. Hendratno Halim, Sp.A(K) Sekretaris Dr. Reni Wigati, Sp.A Bendahara Dr. Retno Widyaningsih, Sp.A(K) Seksi Ilmiah DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K) DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K) Dr. Harijadi, Sp.A Seksi Acara Dr. Nita Ratna Dewanti, Sp.A Dr. Triana Darmayanti, Sp.A Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A Seksi Pameran dan Perlengkapan Dr. Tjatur K. Sagoro, Sp.A Dr. Firmansyah Chatab, Sp.A Seksi Konsumsi Dr. Trully Kusumawardhani, Sp.A
viii
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Daftar Penulis
Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K) Unit Kerja Gastrohepatologi IDAI Cabang DKI Jakarta DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K) Unit Kerja Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI Cabang DKI Jakarta DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K) Unit Kerja Neurologi IDAI Cabang DKI Jakarta Dr. Luh K. Wahyuni, Sp.KFR(K) Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo FKUI-RSCM Dr. Nafrialdi, PhD, Sp.PD, Sp.FK Departemen Farmakologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo FKUI-RSCM DR. Dr. Najib Advani, Sp.A(K), M.Med.Paed Unit Kerja Kardiologi IDAI Cabang DKI Jakarta Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K) Unit Kerja Respirologi IDAI Cabang DKI Jakarta DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K) Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI Cabang DKI Jakarta
ix
DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K) Unit Kerja Hematologi-Onkologi IDAI Cabang DKI Jakarta Dr. Triana Agustin, SpKK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo FKUI-RSCM DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) Unit Kerja Alergi Imunologi IDAI Cabang DKI Jakarta
x
Daftar Isi
Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta.................................... iii Kata Sambutan Ketua Panitia PKB XII IDAI Cabang DKI Jakarta ......... v Kata Pengantar Tim Penyunting............................................................. vii Susunan Panitia.................................................................................... viii Daftar Penulis......................................................................................... ix
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan............................. 1 Hardiono Pusponegoro Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing....8 Najib Advani Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis.......................................... 15 Rismala Dewi Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak................................................................................... 21 Nastiti Kaswandani Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi........................................................ 32 Luh Karunia Wahyuni Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?................................. 40 Teny Tjitra Sari Substitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi............................................... 45 Aryono Hendarto
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
xi
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung.............................................. 54 Agus Firmansyah Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik................................................ 63 Zakiudin Munasir Perawatan Kulit Sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik........................ 67 Triana Agustin Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak ..................................................................................................... 74 Nafrialdi
xii
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan Hardiono Pusponegoro Tujuan:
1. Memahami pengertian first unprovoked seizure 2. Memahami apa yang harus dilakukan jika menemukan first unprovoked seizure 3. Memahami Risiko yang dihadapi pasien dengan first unprovoked seizure 4. Memahami tata laksana first unprovoked seizure.
Pendahuluan Suatu klasifikasi baru tentang definisi epilepsi telah disetujui oleh International League Against Epilepsy (ILAE).1Salah satu bahasan dalam klasifikasi tersebut adalah first unprovoked seizure (FUS) atau bangkitan kejang spontan pertama kali. Dahulu, FUS tidak merupakan epilepsi.Dalam klasifikasi baru, FUSdapat digolongkan dalam epilepsi, bila risiko berulangnya bangkitan kejang melebihi 60%. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi baru mengenai FUS dan apa yang harus dilakukan bila menemukan kasus FUS.
Definisi Epilepsi Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak lebih dari 24 jam.2Pada tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi baru,3 dan pada tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu: bahwa epilepsy adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu bangkitan kejang spontan (FUS) disertai kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi.1
1
Hardiono Pusponegoro
First unprovoked seizure (FUS) Adalah satu bangkitan kejang atau beberapa bangkitan kejang dalam 24 jam yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus.4 Dalam klasifikasi baru, FUS dapat dianggap sebagai epilepsi bila risiko berulangnya kejang lebih dari 60%.1 Adanya klasifikasi baru ini memberi dampak terhadap epidemiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan FUS.
Sindrom epilepsi Suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi kriteria klinis dan elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom epilepsi dapat didiagnosis pada saat anak baru satu kali mengalami bangkitan kejang, misalnya Benign Rolandic Epilepsy.1
Resolved, remission, cure Apakah diagnosis epilepsi melekat selama hidup?Referensi medis sering menggunakan istilah remission, tetapi istilah ini kurang dimengerti awam, dan tidak menggambarkan hilangnya penyakit. Istilah cure menggambarkan bahwa risiko kejang kembali tidak lebih besar dibandingkan populasi yang tidak mengalami kejang. Risiko yang sangat rendah ini tidak pernah tercapai pada epilepsi. Istilah yang dianjurkan adalah resolved, yang berarti seseorang tidak mengidap epilepsi lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa epilepsi akan muncul kembali.1 Epilepsi dianggap sebagai resolved apabila bebas serangan selama 10 tahun, dengan minimal 5 tahun tanpa obat atau bila seseorang telah melewati masa sindrom epilepsi yang tergantung umur.1
Apa yang harus dilakukan bila menemui kasus FUS Tentukan apakah FUS benar merupakan bangkitan kejang Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis.Anamnesis harus terfokus pada kejadian yang mendahului kejang, deskripsi kejang termasuk bentuk kejang, lama kejang, sianosis, penurunan kesadaran, inkontinensia, lama masa pasca-iktal, kelainan neurologis, dan riwayat kejang dalam keluarga. Ditanyakan pula riwayat kehamilan, kelahiran, dan perkembangan.Keadaan seperti tic, bengong, sinkop, distonia, psychogenic non-epileptic seizures dan berbagai gangguan perilaku sering salah diagnosis sebagai kejang. Lidah tergigit, inkontinensia urin, dan bingung pasca-iktal dapat juga ditemukan pada serangan non-epileptik.5Pemeriksaan fisis dan neurologis termasuk pemeriksaan kulit harus dilakukan dengan teliti.6
2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
Tentukan jenis bangkitan Menentukan apakah bangkitan kejang merupakan kejang umum tonik klonik atau kejang parsial sangat penting. Bangkitan kejang parsial sering mengakibatkan ditemukannya kelainan neurologis, kelainan EEG dan kelainan pencitraan yang lebih besar, sehingga risiko berulangnya kejang juga lebih besar.
Tentukan apakah termasuk sindrom tertentu Bangkitan kejang tertentu disertai gambaran EEG yang khas dapat digunakan untuk menentukan apakah FUS merupakan suatu sindrom epilepsi tertentu. Contoh paling klasik adalah Benign Rolandic Epilepsy, yang merupakan kejang parsial atau parsial menjadi umum, biasaya terjadi malam hari saat anak tidur, disertai gelombang epileptogenik pada daerah Rolandik.
Siapa yang dapat menegakkan diagnosis epilepsi? Scottish Intercollegiate Guidelines Network menganjurkan agar diagnosis epilepsi pada anak ditegakkan oleh ahli saraf anak atau dokter anak dengan pengalaman khusus dalam epilepsi (peringkat bukti ilmiah 2,3; rekomendasi D).7 Hal yang sama juga dianjurkan dala guideline dari National Institute for Health and Care Excellence.8Di Indonesia, hal ini tentunya tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan tenaga dan peralatan, sehingga diagnosis dapat ditegakkan oleh dokter anak atau dokter saraf. Risiko salah diagnosis harus betul-betul diperhitungkan.
Penatalaksanaan setelah kejang Apakah perlu EEG Manfaat pemeriksaan EEG dalam menentukan apakah kejang akan berulang kembali menjadi perdebatan panjang. Penelitian prospektif selama 2 tahun dilakukan terhadap 347 anak dengan FUS. Sebanyak 71% anak dengan EEG epileptik mengalami berulangnya kejang dalam 2 tahun.9 Penelitian lain menunjukkan bahwa berulangnya kejang pada kasus FUS terjadi pada 16,7% anak dengan EEG memperlihatkan gelombang paku-ombak umum, dan 61,9% di antara anak dengan gelombang epileptik fokal (p<0,0001).10 Paradigma tidak diperlukan EEG pada kejang pertama harus diubah.11 EEG dapat membantu menetapkan apakah FUS merupakan sindrom tertentu, apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial atau umum. EEG abnormal, terutama adanya gelombang paku-ombak, merupakan prediktor yang konsisten dalam menentukan kemungkinan kejang kembali.11
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
3
Hardiono Pusponegoro
Apakah perlu pencitraan Kelainan pada magnetic resonance imaging (MRI) ditemukan pada sekitar 10% anak yang mengalami FUS.12 Penelitian MRI prospektif terhadap 218 di antara 411 anak dengan FUS menunjukkan bahwa 45 anak (21%) menunjukkan MRI abnormal berupa ensefalomalasia, disgenesis serebral dan sklerosis temporal mesial.13 Penelitian pada 150 anak memperlihatkan bahwa kelainan MRI merupakan faktor prediksi berulangnya kejang.14 MRI umumnya dilakukan bila terdapat perlambatan pada EEG, fokalisasi pada EEG, atau anak menunjukkan kelainan neurologis.15
Risiko yang dihadapi pasien dengan FUS Risiko kejang kembali dan menjadi epilepsi Secara umum, bila seorang anak mengalami kejang spontan pertama kali, risiko berulangnya kejang adalah 45% (22% dalam 6 bulan, 29% dalam 12 bulan, 37% dalam 24 bulan, 43% dalam 60 bulan, dan 46% dalam 120 bulan).16 Penelitian prospektif terhadap 63 anak dengan FUS menunjukkan bahwa risiko berulangnya kejang adalah 59% (IK 95% 47-71), 76% (IK 95% 65-87), 85% (IK 95% 76-94), dan 87% (IK 95% 78-96) dalam 6, 12, 18, dan 24 bulan. Bila anak telah mengalami gangguan otak sebelumnya, risiko berulangnya kejang meningkat, dalam 12 dan 24 bulan adalah 79% (IK 95% 68-90) dan 89% (IK 95% 80-98). Adanya global developmental delay, disabilitas intelektual, dan paresis Todd meningkatkan risiko berulangnya kejang secara bermakna.17Kejang lebih sering berulang pada anak yang mengalami kejang parsial (69%) dibandingkan kejang umum (31%), p<0,0001.10
Risiko gangguan kognitif Suatu penelitian kohort selama 15 tahun terhadap 153 anak dengan FUS dan 105 anak dengan epilepsi memperlihatkan bahwa kemampuan kognitif anak dengan kejang satu kali tidak berbeda bermakna dengan saudara sekandung yang tidak mengalami kejang.18Anak yang sudah mengalami epilepsi menunjukkan prestasi akademis yang lebih buruk dibanding anak dengan FUS. Sebanyak 28% anak yang mengalami satu kali kejang dan 40% anak yang mengalami epilepsi memerlukan pendidikan khusus (p=0,05). Makin sering bangkitan epilepsi, makin buruk prestasi akademis.18
Perhatian khusus pada kejang lama Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau kejang yang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang selama lebih dari 30 menit.19Suatu penelitian kohort yang melibatkan 188 anak dengan epilepsi, 39 di antaranya mengalami status epileptikus termasuk 19 merupakan 4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
status epileptikus pada FUS. Lama pemantauan adalah 27 (SB 5) tahun.Tidak ada perbedaan dalam hal akademis, kesulitan belajar, jumlah obat anti epilepsi yang digunakan, remission rate, dan kejadian epilepsi intraktabel. Status epileptikus pada FUS tidak mempengaruhi luaran intelektual dan prognosis kejang.15,19 Namun, bila seorang anak mengalami FUS sebagai kejang lama atau status epileptikus, berulangnya kejang juga dapat merupakan kejang lama atau status epileptikus.15
Apakah diperlukan pengobatan rumat pada anak yang mengalami FUS Faktor risiko kejang kembali atau menjadi epilepsi Pengobatan rumat setelah FUS atau menunggu sampai kejang berulang kembali merupakan perdebatan yang nyaris tiada henti.Pada orang dewasa, pemberian obat anti-epilepsi mengurangi risiko berulangnya kejang dalam 2 tahun pertama, tetapi tidak dalam jangka panjang.Pasien harus diberitahu risiko efek samping obat sebesar 7-31% yang biasanya ringan dan reversibel. Rekomendasi pemberian obat harus secara individual.20 Penelitian di Inggris yang meliputi 1443 pasien dari seluruh dunia melaporkan bahwa tiga faktor risiko epilepsi yang terpenting adalah jumlah bangkitan kejang saat diagnosis, EEG abnormal, dan pemeriksaan neurologis abnormal.Satu faktor risiko digolongkan risiko medium, dan 2 faktor risiko atau lebih digolongkan risiko tinggi. Bila tidak diberi pengobatan, kemungkinan mengalami epilepsi kronik pada kelompok risiko medium dalam 1,3 dan 5 tahun adalah 0,35, 0,50, 0,56 sedangkan pada kelompok risiko tinggi angka tersebut adalah 0,59, 0,67 dan 0,73.21Faktor risiko yang sama juga digunakan oleh peneliti lain.15,22 Batas risiko berulangnya kejang kembali sebesar 0,60 digunakan sebagai patokan dalam menentukan apakah pengobatan rumat harus diberikan pada anak yang mengalami FUS.1 Penelitian di Belanda terhadap 156 anak menunjukkan bahwa rekurensi kejang pada FUS adalah 54%. Bila ditemukan EEG abnormal, risiko tersebut meningkat sampai 71%, sedangkan kelainan neurologis atau retardasi mental meningkatkan risiko menjadi 74%.23 UKK neurologi belum menentukan kasus FUS mana yang memerlukan pengobatan.Adanya kelainan neurologis atau retardasi mental, adanya EEG epileptik dan kejang lama atau status epileptikus merupakan hal yang mendukung pemberian pengobatan pada FUS.
Keberhasilan pengobatan rumat pada FUS Penelitian acak buta ganda terhadap 1874 pasien dengan FUS yang tidak mendapat pengobatan atau pengobatan dengan karbamazepin atau valproat Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
5
Hardiono Pusponegoro
menunjukkan bahwa pemberian obat menurunkan risiko berulangnya kejang tetapi tidak ada efek terhadap remisi jangka panjang.24 Suatu penelitian acak buta ganda dilakukan terhadap 31 anak. Pada grup yang mendapat karbamazepin ditemukan 2 di antara 14 anak (14%) mengalami berulangnya kejang dibandingkan dengan 9 di antara 17 anak (53%) yang tidak mendapat pengobatan.25 Penelitian acak buta ganda lain terhadap 228 orang termasuk 33 remaja membandingkan pengobatan dengan valproat atau tanpa pengobatan. Lima (4%) pada kelompok yang mendapat valproat dan 63 (56%) pada kelompok yang tidak mendapat pengobatan mengalami berulangnya kejang.26
Kesimpulan First unprovoked seizure dapat didiagnosis sebagai epilepsi apabila risiko berulangnya kejang dalam 10 tahun berikutnya lebih dari 60%.Faktor risiko yang penting adalah kelainan neurologis atau EEG yang menunjukkan gelombang epileptik. Pengobatan rumat pada FUS harus dinilai secara individual, dapat dimulai pada kasus FUS disertai kelainan neurologis atau retardasi mental, adanya EEG epileptik dan kejang lama atau status epileptikus.
Daftar rujukan 1. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, et al. ILAE official report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55:475-82. 2. Hauser WA, Annegers JF, Kurland LT. Prevalence of epilepsy in rochester, minnesota: 1940-1980. Epilepsia. 1991;32:429-45. 3. Fisher RS, Boas WVE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, Engel J. Epileptic seizures and epilepsy: Definitions proposed by the international league against epilepsy (ILAE) and the international bureau for epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46:470-2. 4. Hauser WA, Beghi E. First seizure definitions and worldwide incidence and mortality. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:8-12. 5. Verrotti A, d’Alonzo R, Laino D. Diagnosis of epilepsy after a first unprovoked seizure: The different aspects of a single problem. Mol Cell Epilepsy. 2014;e165. 6. Sharieff GQ, Hendry PL. Afebrile pediatric seizures. Emerg Med Clin North Am. 2011;29:95-108. 7. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management of epilepsies in children and young adult. In: Quality Improvement Scotland. United Kingdom: Scottish Intercollegiate Guidelines Network; 2005. 8. National Institute for Health and Care Excellence. The epilepsies. The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care. Clinical guideline 20. London: NICE; 2004. 9. Stroink H, Brouwer OF, Arts WF, Geerts AT, Peters AC, van Donselaar CA. The first unprovoked, untreated seizure in childhood: A hospital based study of the accuracy of the diagnosis, rate of recurrence, and long term outcome after 6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
24.
25. 26.
recurrence. Dutch study of epilepsy in childhood. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1998;64:595-600. Mizorogi S, Kanemura H, Sano F, Sugita K, Aihara M. Risk factors for seizure recurrence in children after first unprovoked seizure. Pediatr Int. 2015;epub ahead of print. Panayiotopoulos CP. Significance of the EEG after the first afebrile seizure. Arch Dis Child. 1998;78:575-6. Wiebe S, Téllez-Zenteno JF, Shapiro M. An evidence-based approach to the first seizure. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:50-7. Shinnar S, O’Dell C, Mitnick R, Berg AT, Moshe SL. Neuroimaging abnormalities in children with an apparent first unprovoked seizure. Epilepsy Res. 2001;43:261-9. Arthur TM, deGrauw TJ, Johnson CS, Perkins SM, Kalnin A, Austin JK, Dunn DW. Seizure recurrence risk following a first seizure in neurologically normal children. Epilepsia. 2008;49:1950-4. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure- part ii. Iran J Child Neurol. 2013;7:1-5. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure- part i. Iran J Child Neurol. 2013;7:1-5. Ramos-Lizana J, Aguirre-Rodríguez J, Aguilera-López P, Cassinello-García E. Recurrence risk after a first remote symptomatic unprovoked seizure in childhood: A prospective study. Dev Med Child Neurol. 2009;51:68-73. Sogawa Y, Masur D, O’Dell C, Moshe SL, Shinnar S. Cognitive outcomes in children who present with a first unprovoked seizure. Epilepsia. 2010;51:2432-9. Camfield P, Camfield C. Unprovoked status epilepticus: The prognosis for otherwise normal children with focal epilepsy. Pediatrics. 2012;130:e501-6. Krumholz A, Wiebe S, Gronseth GS, Gloss DS, Sanchez AM, Kair AA, Liferidge AT. Evidence-based guideline: Management of an unprovoked first seizure in adults. Neurology. 2015;84:1705-13. Kim LG, Johnson TL, Marson AG, Chadwick DW, MRC MESS Study group. Prediction of risk of seizure recurrence after a single seizure and early epilepsy: Further results from the mess trial. Lancet Neurol. 2006;5:317-22. Marson AG. When to start antiepileptic drug treatment and with what evidence? Epilepsia. 2008;49 Suppl 9:3-6. Stroink H, Brouwer OF, Arts WF, Geerts AT, Peters AC, van Donselaar CA. The first unprovoked, untreated seizure in childhood: A hospital based study of the accuracy of the diagnosis, rate of recurrence, and long term outcome after recurrence. Dutch study of epilepsy in childhood. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1998;64:595-600. Marson A, Jacoby A, Johnson A, Kim L, Gamble C, Chadwick D, Medical Research Council MESS Study Group. Immediate versus deferred antiepileptic drug treatment for early epilepsy and single seizures: A randomised controlled trial. Lancet. 2005;365:2007-13. Camfield P, Camfield C, Dooley J, Smith E, Garner B. A randomized study of carbamazepine versus no medication after a first unprovoked seizure in childhood. Neurology. 1989;39:851-2. Chandra B. First seizure in adults: To treat or not to treat. Clin Neurol Neurosurg. 1992;94 Suppl:S61-3.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
7
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing Najib Advani Tujuan
1. Mengetahui berbagai modalitas diagnostik terkini kardiologi anak 2. Memahami berbagai keterbatasan modalitas diagnostik kardiologi anak 3. Mengetahui indikasi dan timing pemeriksaan penunjang kardiologi anak
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang diperlukan untuk pasien dengan kelainan jantung. Pemeriksaan penunjang sering berjenjang dari yang paling mudah dan murah sampai ke pemeriksaan tingkat yang lebih tinggi. Dengan tersedianya berbagai pemeriksaan penunjang selayaknya tidak menyingkirkan peran anamnesis dan pemeriksaan fisis karena akan menjadi dasar awal diagnosis serta pemeriksaan mana yang perlu dilakukan. Seandainya terjadi kekeliruan pada pemeriksaan penunjang, dengan dasar diagnosis awal dari anamnesis dan pemeriksaan fisis kita dapat melakukan evaluasi ulang. Pada umumnya para dokter umum maupun dokter anak, kalau mencurigai adanya kelainan jantung langsung merujuk ke kardiolog anak dan pemeriksaan penunjang selanjutnya tergantung pada dokter yang dirujuk. Meskipun demikian beberapa modalitas diagnostik sederhana sebenarnya dapat dilakukan oleh dokter misalnya EKG maupun foto Rontgen toraks. Untuk pemeriksaan tahap selanjutnya mungkin ada baiknya juga diketahui oleh para dokter agar dapat memahami tujuan pemeriksaan dan apa yang dapat diharapkan dari pemeriksaan tersebut. Hal ini juga akan memudahkan untuk komunikasi dengan pasien sekiranya pasien yang dirujuk tersebut dikembalikan ke dokter yang merujuk untuk pemantauan rutin. Selayaknya juga para dokter anak mengetahui perkembangan dan kecenderungan terkini pada modalitas diagnostik kardiologi anak. Pemeriksaan penunjang kardiologi terus berkembang, dari awalnya hanyadengan foto Rontgen toraks dan EKG kemudian kateterisasi/angiografi dan sekarang CT scan (computerized tomograhpy scan), MRI(magnetic resonance 8
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
imaging) bahkan pemeriksaan radionuklir. Sampai sekitar 50 tahun yang lalu, klinikus hanya dapat membayangkan sajaanatomi dan kerja jantung. Di jaman itu hanya stetoskop dengan EKG dan foto Rontgen toraks yang menuntun ke arah diagnosis sehingga ketrampilan klinis merupakan ‘jantung’ dari profesi. Pemeriksaan penunjang yang ideal untuk mendeteksi kelainan jantung anak adalah yang dapat menggambarkan seluruh aspek anatomi jantung, termasuk pembuluh darah ekstrakardiak, dapat mengevaluasi parameter fisiologik seperti aliran darah, perbedaaan tekanan pada katup jantung dan pembuluh darah, serta fungsi ventrikel. Selain itu juga harus efisien dari segi biaya, portabel, non-invasif dengan risiko serta ketidak nyamanan minimal dan tanpa radiasi ionisasi. Saat ini belum ada modalitas pemeriksaan kardiologi yang ideal seperti ini. Karena itu kita harus memilih sesuai dengan tujuan dan indikasi pemeriksaan. Berikut akan dibicarakan berbagai pemeriksaan penunjang kardiologi anak.
Foto Rontgen toraks Sebelum ditemukan ekokardiografi dan Doppler, foto Rontgen toraks merupakan bagian utama dalam evaluasi kardiologi. Pemeriksaan ini juga tetap bermanfaat terutama jika fasilitas ekokardiografi tidak ada. Foto rontgen toraks juga dapat memberi informasi tambahan yang tidak dapat dilakukan oleh ekokardiografi misalnya tentang parenkim paru, saluran napas dan struktur vaskular yang berhubungan dengan jantung serta tulang tulang rongga dada. Untuk ini biasanya diperlukan pandangan anteroposterior dan lateral. Meskipun demikian foto Rontgen toraks mempunyai kelemahan yaitu hanya memberi gambaran tidak langsung tentang kelainan jantung yang bersifat volume overload misalnya defek septum atrium, defek septum ventrikel dan duktus arteriosus persisten yang akan memberikan gambaran kardiomegali. Foto Rontgen toraks kurang informatif untuk lesi yang pressure overload yang umumnya tidak memberi gambaran pembesaran ruang jantung misalnya stenosis pulmonal. Perubahan pada vaskularisasi paru akibat kelainan jantung misalnya vaskularisasi paru yang meningkat pada pirau kiri ke kanan (defek septum atrium, defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten) atau berkurang misalnya pada stenosis pulmonal yang berat. Beberapa siluet pada foto Rontgen toraksanteroposterior dapat membantu menegakkan diagnosis misalnya jantung berbentuk sepatu pada tetralogi Fallot atau atresia trikuspid; berbentuk telur pada transposisi arteri besar; gambaran manusia salju pada total anomalous pulmonary venous return tipe suprakardiak. Tepi kanan jantung dibatasi oleh atrium kanan yang jika membesar akan tampak sebagai pembesaran jantung ke arah kanan. Pembesaran ventrikel kiri (misalnya pada defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten, koarktasio aorta) akan tampak sebagai apeks yang landai sedangkan pembesaran ventrikel Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
9
Najib Advani
kanan (misalnya pada defek septum atrium, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot) sebagai apeks yang terangkat.
EKG Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan yang sederhana dan mudah dikerjakan serta banyak manfaatnya dalam diagnosis dan tata laksana penyakit jantung pada anak. Kelainan yang tersering dijumpai adalah hipertrofi dan gangguan konduksi ventrikel. EKG dapat membantu diagnosis klinis dengan menunjukkan adanya hipertrofi ruang jantung. Pada defek septum ventrikel misalnya akan tampak hipertrofi ventrikel kiri sedangkan pada defek septum atrium dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kanan. Pada gangguan irama, peran EKG tidak tertandingi oleh pemeriksaan lain yang non-invasif. EKG juga bermanfaat untuk melihat gangguan elektrolit misalnya hipokalemia (depresi segmen ST), hiperkalemia (gelombangTtinggi, blok AV),hipokalsemia (pemanjangan interval QTc), hiperkalsemia (pemendekan interval QTc)
Ekokardiografi trans-torakal (trans- thoracal echocardiography, TTE) TTE yang biasanya disebut sebagai ekokardiografi saja, merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dan penting sebelum diputuskan untuk pemeriksaan pencitraan lebih lanjut. Umumnya mayoritas diagnosis dapat ditegakkan cukup dengan TTE. Pemeriksaan ini tidak hanya non-invasif, portabel, tanpa radiasi dan relatif mudah didapat dan biaya yang relatif tidak terlalu mahal serta juga dapat memberi informasi yang rinci tentang morfologi dan fungsi jantung. Berbeda dengan foto Rontgen toraks yang hanya melihat lesise cara tidak langsung dan gambar yang statis, pemeriksaan ekokardiografi dapat melihat anatomi dan kelainan jantung secara langsung dan bergerak. Sangat cocok untuk pemeriksaan struktur intrakardiak yang kecil dan mobile, daun katup, septum, jet (aliran) dan endokarditis infektif yang mungkin kurang baik terdeteksi oleh MRI. Pada mayoritas pasien, TTE dapat memberi gambaran evaluasi anatomi jantung (misalnya orientasi serta koneksi veno-atrial, antrioventrikular dan ventrikulo arterial), morfologi struktur jantung, fungsi ventrikel dan katup, adanya pirau dan fungsi hemodinamik (misalnya derajat regurgitasi, evaluasi pirau dan kecepatan pada lokasi obstruksi). TTE sangat bermanfaat terutama pada bayi dan anak karena selain noninvasif juga memberikan gambaran yang jelas. Meskipun demikian, pada anak besar terdapat keterbatasan yaitu jendela akustik yang terbatas yang menghalangi penetrasi ke jantung, terutama pada mereka yang berbadan besar atau terdapat kelainan paru. TTE juga tidak memiliki opsi kontras jaringan seperti pada MRI 10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
dan memiliki keterbatasan wilayah pemeriksaan serta kurangnya resolusi spatial. Teknik pengukuran Doppler pada TTE mempunyai kelebihan dibanding pada MRI yaitu dapat mengukur jet regurgitan pada bidang yang sempit misalnya pada katup trikuspid atau pulmonal sehingga dapat mengukur perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dengan atrium kanan pada fase sistolik dan antara arteri pulmonalis dan ventrikel kanan pada fase diastolik. Pengukuran pada bidang yang sempit ini sulit dilakukan dengan MRI. TTE mempunyai kelemahan dalam mendeteksi arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya serta aorta bagian distal dan arteri koroner distal. Pada kasus penyakit Kawasaki yang ditangani oleh ekokardiografer yang berpengalaman, TTE dapat memberikan gambaran aneurisma koroner yang baik, meskipun demikian, arteri koroner yang distal serta cabang cabangnya kadang sulit tampak sehingga dapat dibantu dengan kateterisasi jantung (angiografi) atau CT scan dan MRI. Dapat juga dilakukan ekokardiografi intravaskular yang invasif untuk menilai stenosis dan aneurisma koroner dengan akurat. Belakangan ini berkembang ekokardiografi dengan teknik Doppler jaringan (tissue Doppler) yang dikatakan lebih sensitif dari ekokardiografi biasa dalam mendeteksi fungsi jantung.
Ekokardiografi trans-esofageal (trans-esophageal echocardiography, TEE) Kadang pemeriksaan ekokardiografi (TTE) tidak dapat memberi gambaran yang memuaskan misalnya pada anak yang gemuk serta anatomi yang sulit misalnya defek septum atrium pada anak besar atau untuk menilai operasi perbaikan katup jantung. Pada kasus-kasus seperti ini, pemeriksaan ekokardiografi transesofageal sangat bermanfaat.TEE dilakukan dengan memasukkan transduser ke dalam esofagus sehingga bersifat semi-invasif. TEE juga mengatasi keterbatasan TTE seperti jendela akustik yang tidak baik, kualitas gambar yang suboptimal, interferensi paru dan sekaligus dapat memperlihatkan struktur jantung posterior. Mengingat TEE bersifat semi-invasif, dapat menimbulkan beberapa komplikasi misalnya trauma saluran napas, orofaring, esofagus, gaster dan aritmia.
Magnetic resonance imaging (MRI) MRI jantung (cardiac MRI) dapat memberi pencitraan yang diperlukan untuk evaluasi struktural dan fungsional tanpa mengalami hambatan karena ukuran tubuh maupun jendela akustik yang buruk. Sayangnya alat ini mahal sehingga keberadaannya relatif tidak banyak. Dalam beberapa hal juga dapat menggantikan peran pemeriksaan invasif seperti angiografi. MRI mempunyai kelebihan seperti dapat memperlihatkan kontras yang tinggi antara darah dan jaringan sekitarnya serta dapat mengukur fungsi ventrikel dan katup.MRI dianggap sebagai baku emas untuk pengukuran volume ventrikel Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
11
Najib Advani
kiri dan kanan. Tidak seperti pengukuran Doppler yang hanya dapat mengukur kecepatan aliran yang dari dan ke transduser saja, MRI dapat juga mengukur aliran pada berbagai bidang. MRI juga bebas dari radiasi sehingga unggul dari CT scan sedangkan salah satu kelemahannya adalah tidak dapat digunakan pada pasien dengan alat pacu jantung dan aritmia yang dapat mengurangi kualitas gambar MRI. Kelemahan MRI yang lain adalah membutuhkan waktu paparanyang lama (berkisar 45-60 menit) untuk mengurangi artifak akibat gerakan sehingga merupakan hambatan pada pasien anak dan perlu sedasi atau anastesi yang lama juga. Beberapa kelainan kongenital yang tidak tervisualisasi dengan baik pada ekokardiografi (TTE) namun tampak jelas pada MRI: 1. Sisi kanan jantung 2. Cabang cabang arteri pulmonalis dan vena pulmonalis 3. Koarktasio aorta 4. Vascular ring dan anomali arteri pulmonal kiri 5. Kelainan kompleks intrakardiak 6. Identifikasi dan kuantifikasi kolateral Beberapa kelainan kongenital yang tidak tervisualisasi dengan baik pada angiografi namun dapat diatasi dengan MRI: 1. Struktur yang tumpang tindih 2. Arteri distal dari atresia 3. Kelainan kompleks misalnya anomali arteri pulmonalis kanan 4. Kesulitan akses vaskular
Computerized tomography (CT) CT memberikan resolusi spatial yang sangat baik serta akses yang tak terbatas dalam waktu pemeriksaan yang lebih singkat dibanding MRI. CT merupakan pemeriksaan alternatif terhadap MRI pada pasien dengan pace maker maupun implantable cardioverter-defibrillator. Kelemahan utama dari CT adalah tingkat radiasi ionisasi yang dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker. Kadar radiasi CT saat ini dikatakan sedikit kebih tinggi dari kateterisasi jantung. Meskipun demikian alat CT generasi yang lebih baru mempunyai tingkat radiasi yang makin rendah. Kelemahan lain CT dibanding MRI adalah kontras jaringan yang kurang serta kurangnya kemampuan untuk evaluasi fungsi kardiovaskular.
Kateterisasi jantung Merupakan modalitas pertama yang memungkinkan pencitraan jantung dan pembuluh darah ekstrakardiak dengan angiografi.Sejak tahun 1950 kateterisasi 12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
jantung sudah digunakan untuk mengetahui fisiologi penyakit jantung bawaan. Mulai tahun 1960 hingga 70-an dengan perkembangan bedah jantung dibutuhkan informasi anatomik yang lebih akurat yang dapat diberikan oleh kateterisasi (angiografi). Pada tahun 80-an, ekokardiografi mulai dikenal. Pada tahun 90-an ekokardiografi trans-esofageal, MRI dan selanjutnya CT scan mulai digunakan. Berbagai pemeriksaan ini telah mengurangi peran kateterisasi sebagai modalitas diagnostik. Hal ini disebabkan karena kateterisasi jantung mahal, invasif, tidak portabel dan memiliki efek radiasi yang nyata. Keunggulan kateterisasi jantung adalah dapat memberikan data yang lengkap tentang anatomi dan fisiologi jantung. Saat ini penggunaan kateterisasi jantung sudah bergeser dari diagnostik ke arah terapeutik misalnya penutupan defek dengan alat pada duktus arteriosus persisten, defek septum atrium, defek septum ventrikel serta septostomi dan valvuloplasti balon.
Pilihan modalitas pemeriksaan berdasarkan usia Usia pasien berperan terhadap pilihan pemeriksaan penunjang 1. Untuk bayi dan anak di bawah usia 8 tahun ekokardiografi umumnya dapat memberi gambaran yang akurat untuk menegakkan diagnosis. Sedasi mungkin dibutuhkan. Penggunaan MRI atau CT jarang dan selektif.MRI dapat memberi informasi tentang ukuran ventrikel,fungsi dan vaskular ekstrakardiak. Jika vaskular ekstra kardiak adalah hal utama yang dicari, maka CT dapat digunakan dengan mempertimbangkan paparan radiasi ionisasi 2. Untuk remaja dan dewasa, ekokardiografi tetap merupakan modalitas primer. MRI berperan pada evaluasi vaskular ekstrakardiak, volume dan fungsi ventrikel serta aliran darah. MRI lebih disukai dari CT scan atau kateterisasi jantung. CT scan digunakan pada pasien dengan kontraindikasi MRI misalnya dengan pacu jantung atau evaluasi arteri koroner.
Simpulan Setelah melakukan pemeriksaan klinis, EKG dan foto Rontgen toraks, ekokardiografi trans-torakal merupakan pemeriksaan utama dalam mendeteksi penyakit jantung pada anak. Pemeriksaan selanjutnya bergantung pada kasus dan apa yang dicari oleh klinisi. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan non-invasif yang penting dan bebas radiasi ionisasi. MRI dapat memberikan gambaran karakteristik jaringan, mempunyai akses pemeriksaan yang luas serta relatif akurat untuk fungsi biventrikular serta aliran darah. Computerized tomography (CT) lebih unggul pada kasus yang membutuhkan resolusi spatial yang tinggi dan penderita dengan alat pacu jantung meski dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
13
Najib Advani
kekurangan adanya radiasi ionisasi. Ekokardiografi sangat bersifat operator dependent dan membutuhkan jam terbang yang memadai.Peran kateterisasi jantung untuk tujuan diagnostik sudah makin berkurang dan makin berkembang ke arah tindakan terapeutik.
Daftar pustaka 1. Greenberg SB. Magnetic resonance imaging. Dalam: Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F, penyunting. Essential pediatric cardiology.Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill; 2004.h.351-7. 2. Cook SC, Raman SV. Adolescents and adults with congenital heart diseases. Dalam: Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, Feltes TF, penyunting.Moss and Adams’ heart disease in infants, children and adolescents. Edisi ke-7. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins;2008.h.1407-26. 3. Koskenvuo JW, Karra H, Lehtinen J, Niemi P, Parkka J, KnuutiJ, et al. Cardiac MRI: accuracy of simultaneous measurement ofleft and right ventricular parameters using three differentsequences. Clin Physiol Funct Imaging. 2007;27:385–93. 4. Maceira AM, Prasad SK, Khan M, Pennell DJ. Referenceright ventricular systolic and diastolic function normalizedto age, gender and body surface area from steady-state freeprecession cardiovascular magnetic resonance. Eur Heart J.2006;27:2879–88. 5. Kilner PJ, Gatehouse PD, Firmin DN. Flow measurement by magnetic resonance: a unique asset worth optimising. J Cardiovasc Magn Reson. 2007;9:723-8. 6. Cook SC, Raman SV. Multidetector computed tomography in the adolescent and young adult with congenital heart disease. J Cardiovasc Comput Tomogr. 2008;2:36-49. 7. Park, MK. Pediatric cardiology for practitioners.Edisike-6. Philadelphia: Elsevier Saunders;2014. h.41-116. 8. Prakash A, Powell AJ, Geva T. Multimodality noninvasive imaging for assessment of congenital heart disease. Circ Cardiovasc Imaging. 2010;3:112-25. 9. Mertens L, Ganame J, Eyskens B. What is new in pediatric cardiac imaging? Eur J Pediatr. 2008;167:1-8.
14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis Rismala Dewi Tujuan:
1. Mengetahui respons fisiologis anak sakit kritis terhadap keseimbangan cairan 2. Mampu menentukan jumlah dan jenis cairan yang tepat serta respons terapi cairan pada anak sakit kritis
Latar belakang Tata laksana cairan mempunyai dampak yang cukup besar terhadap lama, berat, dan luaran klinis pada anak sakit kritis. Pasien anak dengan sakit kritis seringkali disertai dengan gangguan keseimbangan cairan dalam bentuk hipovolemia dan/ atau dehidrasi dengan variasi derajat beratnya. Berbagai penelitian mengenai pemilihan cairan yang tepat dan penatalaksanaannya didasarkan pada penelitian orang dewasa dan anak sehat, sedangkan cairan dan elektrolit merupakan kebutuhan yang mendasar pada anak dengan sakit kritis. Memahami fisiologi dan efek kondisi akut anak sakit kritis sangat penting terhadap pemilihan cairan dan respons terhadap terapi. Berbagai pedoman untuk cairan resusitasi, cairan pengganti dan cairan rumatan saat ini cukup banyak tersedia untuk bayi dan anak, dan beberapa anak mungkin memerlukan tata laksana cairan yang khusus seperti penyakit jantung, ketoasidosis, luka bakar, sepsis.1,2
Fisiologi Imaturitas secara fisik dan ukuran yang relatif kecil pada anak dibandingkan dewasa menyebabkan perbedaan struktural dan fungsional sistim kardiovaskular dan juga sistim keseimbangan cairan dalam tubuh. Hal ini akan berpengaruh terhadap respons tubuh anak terhadap hipovolemia dan dehidrasi, penilaian klinis serta strategi yang akan digunakan untuk mengembalikan sirkulasi dan keseimbangan cairan. Perfusi organ tergantung pada sejumlah faktor termasuk curah jantung, yang merupakan fungsi dari denyut jantung dan isi sekuncup. Denyut jantung dan isi sekuncup pada orang dewasa bervariasi dan dikontrol ketat untuk memastikan perfusi cukup. 15
Rismala Dewi
Berbeda pada bayi dan anak, komponen aktomiosin dan mitokondria lebih sedikit sehingga miokardium tidak dapat meningkatkan isi sekuncup, tetapi tergantung pada peningkatan denyut jantung untuk meningkatkan curah jantung.3,4 Distribusi cairan tubuh intraselular dan ekstraselular bervariasi sesuai usia, walaupun setelah usia 6 bulan mulai menetap dan hampir sama dengan dewasa. Cairan tubuh total terdiri dari sepertiga cairan ekstraselular (interstisial dan intravaskular) dan dua pertiga cairan intraselular. Perbedaan distribusi cairan tubuh dan cairan tubuh total ini menyebabkan bayi lebih rentan terhadap terjadinya dehidrasi. Selain itu volume darah yang bersirkulasi lebih tinggi pada bayi (70-80 mL/kgBB dibandingkan dewasa (60-70 mL/kgBB). Imaturitas ginjal pada bayi dan anak dapat menjadi penyebab terbatasnya kapasitas ginjal merespons hipovolemia dan dehidrasi.1 Adanya penyakit akut dan kegawatan pada anak dapat meningkatkan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen, glukosa jaringan, dan membuang sisa hasil metabolisme tubuh. Pada keadaan renjatan maka pasokannya berkurang sehingga mekanisme kompensasi anak adalah dengan meningkatkan denyut jantung, hal ini terjadi bila volume intravaskular berkurang hingga 30% atau sekitar 20 mL/kgBB. Kegawatan lain seperti syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) menyebabkan terjadinya konservasi cairan dan tingginya ekskresi natrium sehingga terjadi hiponatremi dan kelebihan cairan. Beberapa keadaan lain seperti infeksi dan diare dapat terlihat adanya peningkatan sekresi antidiuretic hormone (ADH) sehingga memengaruhi kadar natrium darah. Hal tersebut di atas harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan cairan dan penatalaksanaannya.3,5
Inflamasi sistemik dan peningkatan permeabilitas kapiler Pada anak dengan sakit kritis biasanya disertai dengan systemic inflammatory response syndrome (SIRS), yang ditandai dengan sindrom klinis demam, takikardia, takipnea, leukositosis atau leukopenia. SIRS dapat terjadi tanpa adanya infeksi, terutama setelah operasi besar atau trauma. Konsekuensi penting dari SIRS adalah perubahan pada permeabilitas endotel, yang memiliki implikasi penting untuk terapi cairan yang diberikan di ruang rawat intensif anak.4,6
Dampak peningkatan cairan interstisial Pemberian cairan resusitasi agresif yang bertujuan ekspansi volume intravaskular, dapat memperbaiki oksigenasi dan memberikan luaran yang baik pada anak yang mengalami renjatan, tetapi perlu diperhatikan juga dampak negatifnya terhadap cairan interstisial. Cairan interstitial berlebihan mengurangi efektivitas pertukaran gas di tingkat alveolar dan jaringan. Efisiensi difusi oksigen berkaitan 16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis
erat dengan ketebalan membran alveolar-arterial. Edema interstisial dapat mengganggu transpor oksigen ke mitokondria akibat hambatan difusi oksigen di membran alveolar dan terganggunya ekstraksi oksigen serta karbondioksida di jaringan.4,7-9
Tata laksana cairan Tata laksana cairan pada anak dengan sakit kritis kritis dapat dilihat secara konseptual melalui tiga fase, dibedakan menurut status klinis pasien. Selama fase “resusitasi”, tujuannya adalah pemulihan volume intravaskular yang efektif, perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Akumulasi cairan dan keseimbangan cairan positif menjadi target akhir. Selama fase pemeliharaan, tujuannya adalah menjaga homeostasis intravaskular sehingga mengurangi akumulasi cairan yang berlebihan dan mencegah pemberian cairan yang tidak perlu. Selama fase pemulihan, pengeluaran cairan secara pasif dan/atau aktif akan berjalan sesuai dengan fase pemulihan organ.2
Gambar 1. Paradigma balans cairan2
Terdapat dua aspek yang penting dalam pemberian cairan pada anak dengan sakit kritis yaitu target terhadap volume cairan intravaskular atau volume cairan eksraselular atau keduanya. Sehingga tujuan pemberian cairan adalah untuk mengatasi keadaan hipovolemia, mengganti kehilangan cairan pada anak yang dehidrasi dan menyediakan rumatan untuk kebutuhan seharihari. Jenis cairan, volume dan cara pemberian harus dipertimbangkan sesuai dengan kondisi kegawatan yang terjadi.1,10 Hipovolemia berhubungan dengan tingginya mortalitas pada anak sehingga pemberian cairan agresif sangat diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi kembali normal. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk resusitasi cairan karena tidak bertahan lama didalam intravaskular. Data dari Cochrane Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
17
Rismala Dewi
memperlihatkan cairan isotonik kristaloid dan koloid sangat baik sebagai cairan resusitasi. Rekomendasi volume yang dipakai adalah 20 mL/kgBB selama 6-10 menit (<30 menit) untuk mendapatkan perfusi yang adekuat. Pemberian cairan dapat diulangi hingga 60-100 mL/kgBB bila perfusi masih kurang terutama pada pasien dengan sepsis. Akses pemberian cairan dianjurkan melalui jalur intravena, jalur intraoseous atau bolus dengan mempergunakan spuit 20 atau 50 ml.2,11,12 Pemberian cairan pada keadaan dehidrasi bertujuan untuk mengganti kehilangan cairan di ekstraselular akibat diare, muntah atau kehilangan cairan melalui ginjal. Cairan yang diperlukan adalah cairan kristaloid yang bersifat isoosmotik. Penggantian cairan melalui oral lebih dianjurkan dibandingkan intravena untuk menghindari terjadinya gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa yang biasa terjadi pada pemberian intravena, kecuali sudah terlihat tanda-tanda hipovolemia.3,13 Setelah hipovolemia dan dehidrasi diatasi maka pemberian cairan rumatan dengan osmolalitas yang sama dengan cairan ekstraselular sangat penting untuk menjaga volume intravaskular dan eksraselular, ditandai dengan keluaran urin 1-2 mL/kgBB. Kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat mengikuti formula 4-2-1. (tabel 1)3 Tabel 1. Kebutuhan cairan rumatan3
Sehari
Berat badan < 10 kg 100 mL/kgBB
Setiap jam
4 mL/kgBB
G 1000 mL + 50 mL/kgBB setiap kg > 10 kg 40 mL/jam + 2 mL/kgBB setiap kg > 10 kg
> 20 kg 1500 mL + 20 mL/kgBB setiap kg > 20 kg 60 mLjam + 1mL/kgBB setiap kg > 20 kg
Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan cairan rumatan ini diambil berdasarkan data pada anak sehat sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi anak sakit gawat dengan mempertimbangkan adanya sekresi ADH dan imbalans elektrolit. Kelebihan cairan dapat membahayakan terutama pada pasien dengan cedera kepala, edema otak atau distres respirasi. Cairan hipotonik tidak lagi dianjurkan dan volume rumatan harus dikurangi sepertiganya. Terapi yang dianut saat ini adalah cairan yang bersifat isotonik seperti normal salin yang lebih tepat untuk terapi cairan rumatan.12,14
Pemilihan cairan Sampai saat ini pemilihan cairan untuk resusitasi masih banyak diperdebatkan mengenai cairan mana yang lebih baik. Masing-masing cairan mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu diperhatikan seperti lama bertahan di 18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis
intravaskular, sealing effect, efek terhadap faktor koagulasi, gangguan metabolik dan inflamasi. Komponen cairan kristaloid termasuk ion anorganik seperti natrium, klorida, kalium, magnesium, dan kalsium, serta zat-zat organik kecil seperti glukosa atau laktat. Cairan kristaloid seperti Ringer laktat dan normal salin dapat dipakai sebagai cairan resusitasi untuk mengisi volume intravaskular hanya saja cairan ini cepat terdistribusi ke ruang ekstraselular sehingga memerlukan jumlah yang besar. Berbeda pada keadaan dehidrasi hal ini sangat menguntungkan untuk mengisi kehilangan cairan ekstraselular. Yang perlu diperhatikan saat memberikan cairan Ringer laktat adalah pada pasien yang mengalami asidosis laktat karena akan menambah keadaan asidosis pada pasien ini akibat asidosis dilusional serta dapat ditemukan peningkatan konsumsi oksigen. Salah satu efek pemberian dengan normal salin adalah asidosis hiperkloremik.8,15 Cairan koloid terdiri dari larutan homogen, molekul nonkristalin besar atau partikel ultramikroskopis yang tersebar di seluruh zat lain (medium dispersi). Cairan koloid di antaranya, albumin, fraksi protein plasma, plasma beku segar, atau semi sintetis (dekstran kanji hidroksi etil, gelatin dan albumin). Pemberian koloid dekstran akan menambah cairan intravaskular melebihi jumlah yang diberikan karena cairan intraselular akan ikut masuk kedalam intravaskular. Dekstran mempunyai efek samping diuresis osmotik, gagal ginjal, dan gangguan sistem retikuloendotelial. Kanji hidroksi etil merupakan amilopektin dari biji jagung yang menyerupai glikogen dapat berupa hetastarch, hexastarch, pentastarch atau tetrastarch. Kanji hidroksi etil ini mempunyai efek dilusi seperti koloid pada umumnya sehingga dapat mengganggu sistem koagulasi serta dapat menimbulkan reaksi anafilaksis dan meningkatkan kadar serum amilase. Pemberian gelatin dapat menimbulkan bekuan apabila diberikan bersama-sama transfusi karena mengandung kalsium sehingga pemberiannya harus dipisahkan. Efek samping yang kurang disukai adalah reaksi alergi meskipun efek terhadap koagulasi lebih ringan dibandingkan koloid lain.15,16 Saat ini berkembang cairan kristaloid dan koloid “balans” yaitu cairan yang mempunyai komposisi elektrolit, osmolalitas yang hampir sama dengan plasma, dan dapat mencapai keseimbangan asam basa fisiologis dengan bikarbonat dan metabolit anion serta risiko kelebihan cairan yang minimal.6
Simpulan Tata laksana cairan intravena bervariasi sesuai penyakitnya pada anak yang sakit kritis. Status cairan (hipovolemia, dehidrasi), kadar glukosa, dan kadar elektrolit harus rutin dipantau secara berkala pada anak-anak yang sakit kritis selama terapi cairan intravena untuk mencapai efek optimal tanpa membahayakan. Penilaian, tata laksana dan pemilihan cairan yang cepat dan tepat merupakan tantangan bagi klinisi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menurunkan mortalitas. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
19
Rismala Dewi
Daftar pustaka 1. Sainath Raman S, Peters MJ. Fluid management in the critically ill child. Pediatr Nephrol. 2014;29:23–34. 2. Ashraf M, Farooq A, Malik R, Ahmad T, Bashir S, Shah S. Fluid therapy in children: a review. WebmedCentral Paediatrics. 2010;1(10):WMC00868. 3. Crellin D. Fluid management for children presenting to the emergency department: Guidelines for clinical practice. AENJ. 2008;11:5-12. 4. Bontant T, Matrot B, Abdoul H, Aizenfisz S, Naudin J, Jones P, dkk. Assessing fluid balance in critically ill pediatric patients. Eur J Pediatr. 2015;174:133–7. 5. Lynch RE, Wood EG. Fluid and electrolyte issues in pediatric critical care illness. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman J, penyunting. Pediatric Critical Care. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2011. h. 944-62. 6. Kiguli S, Akech SO, George M, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, dkk. Concerns about intravenous fluids given to critically ill children. BMJ. 2014;348:15. 7. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipaul A, Jefferson LS, Lftis LL. Fluid overload is associated with impaired oxygenation and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit Care Med. 2012;13:253-8. 8. Bartels K, Thiele RH, Gan TJ. Rational fluid management in today’s ICU practice. Crit Care. 2013;17:S1-6. 9. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO. Mortality after fluid bolus in african children with severe infection. NEJM. 2011;364:2483-95. 10. Schneider AG, Baldwin I, Freitag E, Glassford N, Bellomo R. Estimation of fluid status changes in critically ill patients: fluid balance chart or electronic bed weight?. J Crit Care. 2012;27:745.e7–12. 11. Perel P, Roberts I, Pearson M. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in critically ill patients. Cochrane database of systematic reviews 2007, Issue 4. Art. No.: CD000567. DOI: 10.1002/14651858.CD 12. Saba TG, Fairbairn J, Houghton F, Laforte F, Foster BJ. A randomized controlled trial of isotonic versus hypotonic maintenance intravenous fluids in hospitalized children. BMC Pediatr. 2011;11:82-91. 13. Reinhart K, Perner A, Sprung CL, Jaeschke R, Schortgen F, Groeneveld J. Consensus statement of the ESICM task force on colloid volume therapy in critically ill patients. Intensive Care Med. 2012;38:368-83. 14. Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declère AD. Effects of fluid resuscitation with colloids vs crystalloids on mortality in critically ill patients presenting with hypovolemic shock; The CRISTAL randomized trial. JAMA. 2013;310:1809-17. 15. McDermid RC, Raghunathan K, Romanovsky A, Shaw AD, Bagshaw AM. Controversies in fluid therapy: type, dose and toxicity. World J Crit Care Med. 2014;3:24-33. 16. Carcillo JA. Intravenous fluid choices in critically ill children. Curr Opin Crit Care. 2014;20:396–401. 20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak Nastiti Kaswandani Tujuan:
1. Memahami prinsip dasar dan jenis terapi inhalasi 2. Memahami indikasi, pemilihan alat, jenis obat dan dosis obat terapi terapi inhalasi 3. Memahami kekeliruan yang sering terjadi pada penggunaan terapi inhalasi
Kasus respirologi anak merupakan salah satu kasus tersering yang dijumpai pada praktik klinis. Kemajuan pengobatan menghadirkan modalitas terapi yang mempunyai efikasi tinggi dan efek samping yang minimal. Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat secara topikal yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan pemberian obat secara oral atau sistemik. Terapi inhalasi memiliki beberapa keunggulan di antaranya efek pada target organ mencapai maksimal, efek samping sistemik minimal, awitan kerja obat lebih cepat, efektivitas pengobatan lebih baik, kenyamanan dalam pemberian, serta tidak menimbulkan rasa sakit. Namun demikian, implementasi dari pemilihan terapi inhalasi juga memerlukan pengetahuan karena alat terapi inhalasi mempunyai prinsip dasar dan cara kerja yang berbeda-beda, obat yang berbeda-beda serta perhatian khusus pada pasien anak yang juga berbeda di tiap kelompok usianya.1 Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol (partikel inhalan) melalui hirupan langsung ke saluran napas. Terapi inhalasi secara garis-besar terdiri dari 3 jenis pemberian yaitu nebulizer, alat hirupan dosis terukur (metered dose inhaler=MDI) dan alat hirupan bubuk kering (dry powder inhaler=DPI).2 Beragamnya alat inhalasi yang beredar dipasaran menuntut peningkatan pengetahuan baik untuk dokter dan tenaga medis lainnya, oleh karena banyak tenaga medis belum memahami teknik dan manfaat terapi inhalasi pada anak. Beberapa permasalahan yang sering ditemukan antara lain teknik pengunaan yang salah, pemilihan alat yang tidak tepat, kurang atau tidak adanya pengertian mengenai bagaimana dan kapan harus alat digunakan dan sebagainya.3 Keberhasilan penggunaan pada anak memerlukan pengetahuan mengenai perbedaan anak dan dewasa dalam hal anatomi sistem 21
Nastiti Kaswandani
respiratori, fisiologi, sistem koordinasi dan teknik inhalasi yang optimal sehingga penggunaan terapi inhalasi dapat mencapai hasil yang optimal. Di Indonesia, dari ketiga jenis terapi inhalasi, nebulizer masih merupakan jenis terapi inhalasi yang paling sering digunakan. Meskipun saat ini banyak bukti yang menunjukkan kelebihan pemberian MDI dengan spacer pada anak, namun keterbatasan akses terhadap penyediaan spacer menjadi kendala. Makalah ini akan membahas prinsip dasar terapi inhalasi dan kekeliruan yang sering terjadi dalam praktek sehari-hari dengan batasan terutama pada alat terapi jenis nebulizer.
Prinsip dasar terapi inhalasi Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol (partikel inhalan) melalui hirupan langsung ke saluran napas. Obat yang digunakan adalah dalam bentuk aerosol yaitu suspensi partikel zat padat atau cair dalam gas. Ketepatan pemberian secara aerosol tergantung pada beberapa variabel diantaranya karakteristik fisik, ukuran dan jumlah aerosol serta anatomi, geometri saluran respiratori dan pola respiratori. Karakteristik fisik aerosol yang terpenting adalah mass median aerodynamic diameter (MMAD). Aerosol terapeutik mempunyai MMAD berkisar antara 0,5-5 µ dan tergantung tempat deposisi yang dituju (Tabel 1).4 Faktor yang mempengaruhi deposisi obat mencapai berbagai tempat di saluran respiratori bergantung pada sedimentasi, inertial impaction, difusi (gerak Brown) inertial.
Tabel 1. Tempat Deposisi Aerosol Sesuai dengan Ukuran Aerosol4 Ukuran (MMAD u)
Tempat Deposisi
< 0,5 0,5 – 2 2–5 5 – 100 > 100
Stabil (tidak ada deposisi) Alveoli Bronki dan bronkioli Mulut, hidung dan saluran respiratori atas Disaring oleh saluran respiratori atas
Alat inhalasi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah aerosol yang dihasilkan, ukuran partikel tertentu dan distribusi partikel. Deposisi aerosol juga dipengaruhi oleh interface yang digunakan seperti masker wajah, mouthpiece atau endotracheal tube. Alat inhalasi tertentu juga memerlukan prosedur manuver tertentu agar dapat bekerja optimal, jika prosedur ini tidak dilakukan dengan benar akan mempengaruhi partikel yang terdeposisi. Karakteristik partikel aerosol yang dihasilkan oleh berbagai alat terapi inhalasi disajikan dalam tabel 2. 22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Tabel 2. Karakteristik sistem aerosol5 Tehnik pembentukan aerosol Ukuran partikel Deposisi obat Deposisi orofaring Dosis obat Kontaminasi
MDI Propelan 1-10u 5-10% bermakna Kecil Tidak
DPI Aliran udara ekspirasi pasien 1-10u 9-30% bervariasi kecil Tidak
Nebuliser Prinsip bernoulli/kristal piezoelektrik Bervariasi 2-10% tidak bermakna Dosis besar dapat diberikan Mungkin
Jenis terapi inhalasi 1. Nebuliser
Nebuliser merupakan alat inhalasi yang berfungsi mengubah cairan (solution) menjadi aerosol. Alat yang dipakai dapat berupa aliran udara bertekanan tinggi yang dihasilkan oleh kompresor (jet nebulizer) atau getaran (vibrasi) dari kristal piezoelektrik (ultrasonic nebulizer). Saat ini ada beberapa jenis nebulizer baru seperti Mesh nebulizer, dosimetric nebulizer, breath-actuated nebulizer namun penggunaannya di Indonesia masih belum banyak. Cara kerja nebuliser terskema pada gambar.
Pada alat ini obat dalam bentuk cairan akan dimasukkan ke dalam labu nebulisasi. Jumlah cairan yang harus diisikan ke dalam labu tersebut disebut fill volume. Tiap alat mempunyai fill volume yang bervariasi tergantung kecepatan alat tersebut menghasilkan aeorosol, namun umumnya jet nebulizer mempunyai fill volume antara 4-6 ml. Fill volume ini berkorelasi dengan waktu nebulisasi, dimana waktu optimal nebulisasi umumnya dicapai antara 6-10 menit. Dikenal juga istilah dead volume yaitu volume yang tersisa dalam labu nebulisasi dan sudah tidak dapat diubah lagi menjadi aerosol, pada jet nebulizer
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
23
Nastiti Kaswandani
umumnya dead volume adalah 1 ml. Pengisian cairan obat yang kurang dari fill volume ataupun mendekati dead volume akan membuat respon klinis terhadap terapi inhalasi tidak optimal.8 2. Metered dose inhaler (MDI) MDI merupakan alat yang mengubah obat dalam bentuk suspensi menjadi aerosol. Penggunaan alat ini memiliki keterbatasan jika digunakan pada bayi dan anak, karena anak dan bayi umumnya belum mampu melakukan koordinasi dengan baik saat menggunakan alat ini. Selain itu semprotan obat dengan alat ini memiliki kecepatan tinggi karena adanya propelan, sehingga obat akan banyak mengalami impaksi di orofaring. Skema cara kerja MDI disajikan pada gambar 2. Oleh karena itu penggunaan MDI pada anak seharusnya dilengkapi dengan spacer. Berbagai penelitian mendapatkan efektifitas yang sama antara penggunaan nebuliser dan MDI dengan spacer. Hal ini menyebabkan penggunaan nebuliser di negara maju sudah banyak ditinggalkan dan digantikan perannya oleh MDI dengan spacer.9
3. Dry Powder Inhaler (DPI) DPI adalah alat terapi inhalasi yang mengubah bentuk obat bubuk kering menjadi aerosol. Terdapat berbagai bentuk DPI yang tersedia, namun secara prinsip dibagi menjadi DPI yang antara alat dan obat menjadi satu dan DPI yang antara alat dan obatnya terpisah. Sediaan DPI untuk anak umumnya adalah yang alat dan obatnya menjadi satu, bentuk sediaan yang banyak tersedia adalah turbuhaler dan diskhaler. 24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Penggunaan DPI mensyaratkan pasien yang sudah mampu menggunakan mouthpiece dan dapat melakukan inspirasi yang kuat dan dalam (>30 L/mnt). Hal ini umumnya dapat dilakukan oleh anak yang sudah cukup besar yaitu > 8 tahun.
Indikasi dan pemilihan terapi inhalasi Beberapa indikasi terapi inhalasi yang sering digunakan yaitu: 1. Penyakit inflamasi saluran napas Asma merupakan indikasi utama terapi inhalasi. Pada asma terapi inhalasi dapat diberikan sebagai salah satu cara pemberian obat baik untuk mengatasi serangan maupun untuk penanganan jangka panjang. Beberapa indikasi lainnya adalah obstruksi akut akibat inflamasi di saluran napas seperti bronkiolitis dan sindrom croup. 2. Penyakit infeksi pernapasan Beberapa sediaan obat antibiotik dan antiviral tersedia untuk diberikan secara inhalasi. Pemberian antibiotik dalam bentuk aerosol terutama terindikasi untuk infeksi pada penyakit kronik paru seperti cystic fibrosis atau bronkiektasis yaitu suatu kondisi yang memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri persisten. Terdapat inhalasi gentamicin dan tobramicin untuk kuman Pseudomonas aeruginosa dan pentamidin untuk kuman Pneumocystis carinii. Antiviral yang tersedia dalam bentuk aerosol adalah ribavirin untuk Respiratory syncytial virus dan zanamivir untuk virus influenzae. Amphotericin B tersedia untuk infeksi Candida albicans. 3. Membantu bersihan saluran napas (airway clearance)13-15 Bersihan saluran napas merupakan mekanisme penting dalam pertahanan sistem pernapasan. Bersihan saluran napas diperlukan untuk menjaga agar saluran napas tetap terhindar dari benda asing atau mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit pada sistem pernapasan. Terdapat 2 hal yang berperan penting dalam bersihan saluran napas yaitu bersihan mukosiliar dan refleks batuk. Bersihan mukosiliar terutama berperan pada saluran napas kecil/perifer untuk membawa kuman, benda asing atau debrisdebris yang terhirup selama proses bernapas ke arah proksimal saluran napas untuk dikeluarkan. Apabila jumlah kuman, benda asing atau debris tersebut cukup banyak maka diperlukan refleks batuk untuk membantu mengeluarkannya. Pada keadaan tertentu terdapat gangguan pada sistem bersihan saluran napas misalnya pada cystic fibrosis, bronkiektasis, penyakit neuromuskular ataupun kondisi hiperreaktivitas bronkus. Pada kondisi tersebut terapi inhalasi dapat membantu bersihan saluran napas.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
25
Nastiti Kaswandani
Pemilihan jenis dan dosis obat terapi inhalasi Pemilihan alat terapi inhalasi yang tepat sangat menentukan efektifas pemberian obat. Seringkali terapi inhalasi telah diberikan sesuai indikasi namun karena pemilihan alat dan cara penggunaan alat kurang tepat membuat efektifitas klinisnya tidak optimal.10 Terdapat beberapa jenis alat terapi inhalasi yang pemilihannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kompetensi dan keterampilan penggunaan alat : setiap alat inhalasi mempunyai cara penggunaan yang spesifik sehingga untuk penggunaannya diperlukan keterampilan tertentu. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh faktor usia, intelegensi dan kondisi saluran napas. Misalnya pada anak usia dibawah 8 tahun alat inhalasi yang dapat dipakai adalah nebuliser ataupun MDI dengan spacer, sedangkan DPI tidak dapat dipakai. Pada asma serangan sedang berat sebaiknya alat inhalasi yang dipakai adalah MDI dengan spacer atau nebuliser. 2. Jenis obat yang digunakan : bila kita ingin mencampur beberapa jenis obat atau memberikan obat dengan dosis besar sebaiknya menggunakan nebuliser. Namun ada beberapa jenis obat yang tidak dapat diberikan dengan nebuliser ultrasonik seperti steroid ataupun obat yang berbahan protein. Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat yang langsung menuju target organ, sehingga dapat dikategorikan sebagai pemberian obat secara topikal. Berbeda dengan pemberian obat secara sistemik dimana obat yang diberikan akan melalui berbagai proses sebelum mencapai target organ diantaranya proses absorpsi, metabolisme lintas pertama dan hemodilusi, hal ini tidak dialami oleh obat topikal. Sehingga jika dibandingkan pemberian obat secara sistemik yang perlu mempertimbangkan penghitungan dosis sesuai berat badan agar obat dalam indeks terapeutik dapat mencapai target organ, pemberian obat secara topikal tidak perlu demikian. Dosis obat topikal termasuk obat inhalasi telah dirancang berada dalam kisaran dosis terapeutik yang tidak perlu disesuaikan dengan perhitungan per kilogram berat badan. Hal yang perlu diperhatikan pada terapi inhalasi bukan pada perbedaan dosis yang diberikan berdasar berat badan (dosis yang diberikan sama) namun pada efektifitas terapi inhalasi yang diberikan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.1 Oleh karena itu terapi inhalasi seringkali disebut sebagai terapi yang tidak bersifat dose dependent namun response dependent. Pada pemberian terapi inhalasi yang perlu diperhatikan adalah respon klinisnya, yaitu jika respon klinis belum optimal maka pemberiannya dapat di ulang dan jika sudah tidak ada keluhan dapat dihentikan.11 Jenis obat yang dapat diberikan dalam bentuk inhalasi lebih terbatas dibandingkan dengan obat yang diberikan secara sistemik. Jenis obat yang 26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
diberikan secara inhalasi harus disesuaikan dengan indikasinya agar respon klinis yang diharapkan akan optimal. Beberapa jenis obat yang sering diberikan secara inhalasi adalah sebagai berikut: 1. Bronkodilator12 Obat inhalasi yang memiliki efek bronkodilator adalah golongan beta 2 agonis dan golongan antikolinergik, obat ini umumnya diberikan sebagai tata laksana utama asma sebagai obat pereda (reliever) gejala atau pereda serangan. Namun beberapa penelitian in vitro mendapatkan efek lain untuk beta 2 agonis yaitu perannya untuk meningkatkan gerakan cilia sehingga dapat membantu bersihan saluran napas. Selain itu efek bronkodilatasinya akan meningkatkan aliran udara ekspirasi (expiratory flow) yang diperlukan untuk refleks batuk yang optimal. 2. Antiinflamasi Steroid hirupan sudah lama dikenal sebagai terapi utama sebagai tata laksana jangka panjang asma. Obat ini diberikan sebagai obat pengendali (controller) pada asma. 3. Vasokonstriktor13 Pada kondisi edema berat laring seperti pada laringitis atau sindrom croup. Inhalasi epinefrin atau adrenalin dapat diberikan untuk menurunkan permeabilitas vaskular sehingga akan mengurangi edema. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah: 1. Racemic epinefrin 2,25% (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin) diberikan sebanyak 0,5 ml dan dilarutkan dalam 3 ml larutan normal salin. 2. L-epinefrin 1:1000 dengan dosis 0,5 ml/kg dengan dosis maksimal sebanyak 5 ml. 4. Zat Mukoaktif (mucoactive agent)14 Tujuan utama pemberian zat mukoaktif adalah untuk mempermudah pengeluaran mukus dan mengurangi sekresi mukus yang berlebihan sehingga akan memperbaiki bersihan saluran napas. Beberapa obat jenis ini tersedia dalam bentuk inhalasi, yang paling sederhana adalah normal salin (isotonic saline). Inhalasi dengan normal salin akan melembabkan jalan napas dan mengencerkan mukus karena meningkatkan konsentrasi air pada lapisan sol mukus. Kombinasi normal salin dan beta 2 agonis dapat meningkatkan bersihan jalan napas. Salin hipertonik terbukti dapat membantu merangsang pengeluaran sputum sehingga selain digunakan untuk mendapatkan spesimen diagnostik, inhalasi dengan salin hipertonik pada kasus bronkiolitis dapat memperpendek masa rawat di RS. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
27
Nastiti Kaswandani
5. Antimikroorganisme Beberapa jenis antimikroorganisme (antibakteri, antivirus dan antijamur) tersedia dalam bentuk inhalasi. Namun penggunaannya masih terbatas dan harganya cukup mahal, sehingga terutama hanya diberikan pada kondisi khusus.
Kekeliruan pada terapi inhalasi Kekeliruan indikasi Indikasi terapi inhalasi (nebuliser) utamanya adalah pada serangan asma, namun beberapa kondisi di atas seperti pada laryngitis akut, kondisi hiperreaktivitas bronkus atau gangguan klirens mukosilier nebulisasi juga merupakan modalitas terapi yang cukup penting. Pada praktik klinis sehari-hari, indikasi nebulisasi sangat longgar, bahkan cenderung over-use. Kasus yang sering menjadi sumber nebulizer-abused adalah kasus infeksi respiratorik akut bagian atas seperti selesma, rhinitis, faringitis, atau IRA atas lainnya yang menunjukkan gejala batuk/pilek. Selain indikasi yang kurang tepat, pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer tidak perlu dilakukan dalam paket-paket terapi inhalasi, misalnya pasien diharuskan menjalani nebulisasi selama 5 hari berturut-turut. Pemberian obat inhalasi melalui nebulizer harus disesuaikan dengan alur tata laksana penyakitnya, misalnya untuk mengatasi serangan akut asma, maka jumlah pemberian nebulisasi tidak direncanakan dalam bentuk paket selama 5 hari tetapi seharusnya ditetapkan berdasarkan respons yang diberikan. Jika pemberian satu kali saja sudah memberikan respons yang baik maka tak perlu ada lanjutan nebulisasi dalam bentuk paket.
Kekeliruan memilih alat inhalasi dan interface Sebagai langkah awal penting menentukan alat terapi inhalasi yang mana yang dipilih antara nebuliser, MDI dengan spacer atau DPI. Untuk anak besar di atas usia 8 tahun DPI bisa merupakan pilihan, sedangkan di bawah usia tersebut pilihannya adalah nebulizer atau MDI dengan spacer. Seringkali pasien mendapat resep MDI tanpa spacer atau DPI padahal pasien belum baik koordinasinya sehingga terapi inhalasi menjadi kurang efektif. Alamoudi dkk mendapatkan kekeliruan saat menggunakan MDI yaitu tidak melakukan inspirasi perlahan dan dalam sebanyak 46,4%, sedangkan kekeliruan tidak menahan napas selama 10 detik sebanyak 52,2%. Kekeliruan yang sering terjadi adalah memberikan DPI untuk anak yang kurang dari 8 tahun. Kekeliruan yang sering terjadi pada penggunaan DPI turbuhaler adalah tidak mempersiapkan dosis dengan cara memutar bagian bawah obat sebanyak 23,1% dan tidak menahan napas 10 hitungan sebanyak 21,1%.15
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Pemilihan interface (bagian alat inhalasi yang langsung berhubungan ke pasien) pada nebuliser atau spacer juga memegang peranan penting. Pada anak usia > 5 tahun atau anak yang kooperatif penggunaan mouthpiece lebih diutamakan untuk mengurangi proses impaksi di hidung. Jika menggunakan masker wajah harus diupayakan masker wajah cukup ketat dan tidak kebesaran agar tidak banyak obat yang terbuang. Upayakan juga anak dalam kondisi nyaman dan jika memungkinkan tidak menangis. Anggapan bahwa nebulisasi sebaiknya dilakukan pada saat anak menangis adalah keliru. Pada masker wajah yang kebesaran deposisi di saluran napas hanya 0,1% sedangkan pada anak yang menangis deposisi di saluran napas hanya kurang lebih 1%.16
Kekeliruan dalam pemberian obat Pemilihan jenis obat yang diberikan untuk nebulisasi harus berpedoman pada panduan berdasarkan penyakit yang dihadapi. Dari observasi didapatkan bahwa dalam praktik klinis di Indonesia, praktik pemberian obat inhalasi yang tersering adalah berupa campuran obat inhalasi aktif dari 3 golongan yaitu golongan bronkodilator (b2 agonis kerja cepat), gologan steroid dan golongan mukolitik. Bronkodilator dapat diberikan pada serangan asma atau untuk memperbaiki mukosilier, namun peran mukolitik tidak memiliki bukti efikasi yang cukup. Steroid inhalasi untuk mengatasi serangan akut juga tidak direkomendasikan oleh banyak pedoman tata laksana asma. Untuk memiliki efek anti-inflamasi pada serangan akut, steroid inhalasi yang diberikan harus dosis tinggi. dosis yang tinggi yaitu 800-2000 mikrogram budesonide (setara dengan 2-4 ampul).17 Selain itu, masih sering didapatkan pemberian nebulizer hanya dengan larutan garam normal dengan tujuan untuk memberikan pengenceran terhadap mucus yang kental. Pengenceran mucus sebaiknya juga disertai upaya membantu evakuasi mucus dengan memberikan golongan b2-agonis. Pemberian zat mukoaktif ini juga perlu berhati-hati jika diberikan pada pasien dengan refleks batuk yang kurang/tidak optimal seperti pada anak usia < 6 bulan ataupun pada anak dengan kelainan neuromuskular. Umumnya pada kondisi demikian pemberian terapi inhalasi dapat dilakukan bersamaan dengan fisioterapi dada. Seperti telah diterangkan sebelumnya, setiap alat nebulizer mempunyai fillvolume yang menjamin nebulizer akan bekerja secara efektif. Tujuan penambahan salin normal bukan bertujuan mengencerkan tetapi mencukupkan fill-volume yang disyaratkan. Jika campuran zat aktif misalnya b2 agonis dan antikolinergik sudah mencukupi fill-volume maka tidak lagi diperlukan penambahan salin normal. Kekeliruan dalam menambahkan modalitas terapi lain. Selain mendapat nebulisasi, pasien sering menerima tindakan lain seperti suction, chest physical therapy, diatermi dan terapi fisik lain yang dilakukan dokter rehabilitasi medis. Secara umum, otomatisasi menyertakan tindakan-tindakan tersebut di setiap pasien yang memerlukan nebulisasi adalah tidak pada tempatnya. Sebagai Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
29
Nastiti Kaswandani
contoh tindakan fisioterapi dada diindikasikan pada kondisi atelectasis paru, namun tidak perlu dilakukan pada setiap kasus serangan asma akut atau pneumonia. Pembahasan tentang modalitas terapi dari URM akan dibahas lebih menyeluruh di makalah selanjutnya.
Kesimpulan Pemilihan alat terapi inhalasi harus memperhatikan diagnosis penyakit, usia pasien dan factor yang mempengaruhi. Banyak kekeliruan yang terjadi pada praktik pemberian terapi inhalasi, terdiri dari indikasi, pemilihan jenis terapi inhalasi, obat, dan penambahan modalitas lain seperti fisioterapi dada.
Daftar pustaka 1. Amirav I, Newhouse MT. Aerosol therapy in infants and toddlers: past, present and future. Expert Rev Resp Med. 2008;2:597-605. 2. Devadason SG, Everard ML, Le Souef PN. Aerosol therapy and delivery system. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St Louis: Mosby; 2008:235-40. 3. Pedersen S, Dubusb JC, Cromptonc G. The ADMIT series – Issues in Inhalation Therapy. Inhaler selection in children with asthma. Prim Care Respi J. 2010;19:20916. 4. Maheswari U. Aerosol therapy. Pulm Crit Care Bull. 2001;7:3. 5. Khilnani GC, Banga A. Aerosol therapy. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008;50:20919. 6. Laube BL, Janssens HM, de Jongh FHC, Devadason SG, Dhand R, Diot P, dkk. What the pulmonary specialist should know about the new inhalation therapies. Eur Respir J. 2011;37:1308-31. 7. Lavorini F. The challenge of delivering therapeutic aerosols to asthma patients. ISRN Allergy. 2013;2013:1-17. 8. Hess DR. Nebulizers: principles and performance. Respir care. 2000;45:609-22. 9. Smith C, Goldman RD. Nebulizers versus pressurized metered-dose inhalers in preschool children with wheezing. Canadian Fam Phys. 2012;58:528-30. 10. Lannefors L. Inhalation therapy: practical considerations for nebulization therapy. Physical Therapy Reviews. 2006;11:21–7. 11. Hess DR, Myers TR, Rau JL. A guide to aerosol delivery devices. New York: American Association Respiratory Care. 2007. H.1-38. 12. Muchão FP, Filho LVRFdS. Advanced in inhalation therapy in pediatric. Jornal de Pediatria. 2010;86(5):367-76. 13. Johnson D. Croup. Clinical evidence. 2009;3:321. 14. Balsamo R, Lanata L, Egan CG. Mucoactive drugs. Eur Respir Rev. 2010;19:127-33. 15. Alamoudi OS. Pitfalls of inhalation technique in chronic asthmatic. Effect of education program and correlation with peak expiratory flow. Saudi Med J. 2003;24:1205-9.
30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
16. Dhuper S, Chandra A, Ahmed A, Bista S, Moghekar A, Verma R, dkk. Efficacy and cost comparisons of bronchodilator administration between metered dose inhaler with disposable spacers and nebulizers for acute asthma treatment. J Emerg Med. 2011;40:247-55. 17. Nuhoglu Y, Bahceciler NN, Barlan IB, Basaran MM. The effectiveness of high dose inhaled budesonode therapy in the treatment, of acute asthma exacerbation in children. Ann Allergy Asthma Immunol. 2001;86:318-22.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
31
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi Luh Karunia Wahyuni Tujuan:
1. Memahami tujuan terapi inhalasi dengan nebulizer 2. Memahami jenis, prinsip kerja, kelebihan dan kekurangan masing-masing alat nebulizer 3. Memahami perlunya tindakan lain pasca-nebulisasi pada kasuskasus yang memerlukan pembersihan jalan napas, perbaikan biomekanik pernapasan, peningkatan kapasitas fungsional respirasi
Pendahuluan Aplikasi pemberian obat melalui inhalasi pada prinsipnya adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol ke dalam saluran pernapasan dalam jangka waktu 5-15 menit. Secara umum, ada 3 jenis alat yang digunakan yakni metered dose inhalers (MDIs), dry powder inhaler (DPIs) dan nebulizer. Pada makalah ini pembahasan akan difokuskan pada aplikasi pemberian obat dengan nebulizer. Kata nebulizer berasal dari bahasa latin nebula, pertama kali digunakan pada tahun 1872 dan didefinisikan pada tahun 1874 sebagai an instrument for corverting liquid drug into a wet mist. Aplikasi secara langsung pada sistem respirasi cukup efektif pada tata laksana berbagai penyakit yang melibatkan fungsi respirasi, memungkinkan tingginya konsentrasi obat yang dapat diarbsorpsi dengan onset kerja yang lebih cepat dan efek samping yang minimal dibandingkan dengan penggunaan obat tersebut secara sistemik. Di samping itu, efektifitas deposit obat intra- bronkhial lebih terjamin, dapat digunakan pada kasus eksaserbasi akut serta dapat dilakukan dengan cara yang sederhana sehingga memudahkan penggunaannya oleh pasien atau pelaku rawat atau orangtua. Seperti diketahui, paparan udara yang dingin dan kering terhadap jalan napas dapat mengganggu keseimbangan lapisan cairan dan merusak struktural jalan napas yang bersifat jangka pendek atau menetap. Pada tahap selanjutnya akan meningkatkan produksi dan mengentalkan mukus, mengurangi motilitas silia, dan meningkatkan iritabililitas jalan napas. Oleh karena itulah, untuk tujuan humidifikasi dilakukan penambahan air pada pemberian terapi inhalasi 32
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
yang tujuannya mempertahankan suhu dan kelembaban fisiologis menyerupai udara normal yang biasa kita hirup. Pada proses pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer, obat akan diuapkan dan suhu akan disamakan dengan suhu ruangan (22OC) dengan 50% relative humidity (RH) atau kelembaban absolut 10 mg/L (Gambar 1).
Gambar 1. Suhu dan humidifikasi yang normal pada jalan napas
Efektivitas terapi inhalasi dengan nebulizer Penggunaan dan efektivitas terapi inhalasi dengan nebulizer bergantung pada beberapa faktor di antaranya karakteristik obat inhalasi (ukuran, bentuk, densitas, tahanan permukaan partikel obat), anatomi saluran respirasi, teknik inhalasi pasien serta alat nebulizer. Ukuran partikel yang dihasilkan oleh alat nebulizer tergantung pada kandungan obat dan kecepatan aliran. Makin meningkat kecepatan aliran, makin kecil ukuran partikel. Partikel berukuran >10 µm dan >15 µm akan terdeposisi di hidung dan orofaring. Partikel berukuran 5-10 µm akan terdeposisi di jalan napas antara mulut dan saluran napas bawah. Sedangkan partikel berukuran 1-5 µm akan terdeposisi di saluran napas bawah. Ukuran partikel ini adalah yang paling cocok untuk obat-obatan aerosol.
Alat nebulizer Alat nebulizer merupakan alat untuk merubah cairan obat menjadi bentuk kabut uap (aerosol) sehingga dapat diinhalasi ke dalam saluran napas dan paru-paru. Secara umum terdapat tiga jenis nebulizer yaitu jet nebulizer, ultrasonic nebulizer, vibrating mesh technology (VMT)
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
33
Luh Karunia Wahyuni
Jet nebulizer Menggunakan kompressor untuk memompa udara dengan tekanan yang tinggi, sebagian besar obat akan diubah menjadi partikel berukuran 1-5 µm. Nebulizer jenis ini merupakan jenis nebulizer yang paling banyak digunakan di rumah sakit, terutama untuk pasien yang tidak dapat menggunakan inhaler. Nebulizer jenis ini memiliki operational cost yang paling rendah, namun menghasilkan suara yang berisik saat digunakan.Cara kerja alat ini adalah mengalirkan udara bertekanan tinggi melalui lubang kecilum7 j. Udara akan dipompa melalui lubang yang sempit. Setelah keluar dari lubang, tekanan menjadi rendah dan kecepatan menjadi tinggi. Proses ini menyebabkan terbentuknya aerosol. Aerosol akan menabrak baffle. Partikel besar akan tertahan dan kembali ke reservoir sementara partikel kecil akan tetap berada dalam udara dan mengalir keluar dari nebulizer (Gambar 2).
Gambar 2. Jet nebulizer dan bagian-bagiannya Keterangan Gambar Jet nebulizer 1. Mouthpiece 2. Power switch (on/off) 3. Air tubing connector 4. Pump filter (filter and filter cover) 5. Jet air nebulizer (nebulizer medication cup) 6. Air tubing 7. AC power cord 8. Nebulizer clip 9. Compressor
Ultrasonic nebulizer Cara kerja nebulizer ini adalah vibrasi kristal piezoelektrik pada frekuensi tinggi, yang akan mengubah energi listrik menjadi gelombang suara. Gelombang suara akan menciptakan gelombang pada cairan obat yang berkontak langsung dengan transduser sehingga cairan obat akan membentuk droplet. Frekuensi vibrasi 34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
akan mempengaruhi besar partikel yang terbentuk. Semakin tinggi frekuensi, semakin kecil partikel yg terbentuk. Frekuensi 1,35-1,5 MHz menghasilkan ukuran partikel 1-10 μm (rerata 3 μm). Ultrasonic nebulizer menghasilkan output (0,5–7 ml/mnt) dan densitas aerosol yg lebih besar dari jet nebuliser. Ultrasonic nebulizer akan meningkatkan suhu 15 oC dalam 15 menit, yang selanjutnya akan meningkatkan konsentrasi obat dan denaturasi protein (Gambar 3).
Gambar 3. Ultrasonic nebulizer dan bagian-bagiannya
Vibrating mesh technology (VMT) Pada tahun 2005 diciptakan ultrasonic vibrating mesh technology nebulizer. Nebulizer jenis ini menggunakan mesh atau plate yang memiliki lubang-lubang kecil (sekitar 4000 lubang). Kristal pizoelektrik bergetar pada frekuensi tinggi ketika terdapat aliran listrik. Vibrasi diteruskan ke vibrating horn yang berkontak dengan cairan obat. Vibrasi memaksa cairan melewati lubang di plate sehingga terbentuk aerosol. Penggunaan nebulizer jenis ini lebih efisien karena waktu terapi yang lebih pendek (Gambar 4).
Gambar 4. Mesh nebulizer dan bagian-bagiannya
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
35
Luh Karunia Wahyuni
Tabel 1.Tipe alat nebulizer, keuntungan dan kerugiannya Jenis nebulizer Jet Nebulizer
Keuntungan • Tidak membutuhkan kerjasama dengan pasien • Efektif digunakan saat tidal breathing • Dapat diberikan dosis obat besar • Memungkinkan pemberian beberapa obat secara bersamaan • Dapat digunakan bersamaan dengan pemberian oksigen
Ultrasonic Nebulizer • Tidak membutuhkan koordinasi dengan pasien • Memungkinkan pemberian obat dalam dosis besar • Dead volume pada nebulizer lebih sedikit • Tidak berisik • Waktu penggunaan lebih singkat dibandingkna dengan jet nebulizer • Jumlah obat yang hilang saat ekshalasi lebih sedikit Mesh Nebulizer • Tidak membutuhkan koordinasi pasien • Efektif digunakan saat tidal breathing • Dapat diberikan dosis obat besar • Dead volume pada nebulizer lebih sedikit • Tidak berisik • Waktu penggunaan lebih singkat dibandingkna dengan jet nebulizer • Jumlah obat yang hilang saat ekshalasi lebih sedikit • Tidak membutuhkan sumber listrik (menggunakan baterai) • Portable • Dose reproducibility lebih besar
Kerugian • Mahal • Alat tidak portable • Membutuhkan sumber gas bertekanan • Waktu penggunaan lama • Memungkinkan adanya kontaminasi • Membutuhkan persiapan alat sebelum pemakaian • Tidak semua obat tersedia dalam bentuk solution‘ • Mahal • Memungkinkan adanya kontaminasi • Dapat terjadi degradasi obat • Tidak dapat mengubah obat dalam bentuk suspensi dengan baik • Membutuhkan persiapan alat yang lebih banyak sebelum pemakaian • Dapat menyebabkan iritasi jalan napas
• Mahal • Memungkinkan adanya kontaminasi • Membutuhkan persiapan alat sebelum pemakaian • Tidak semua obat tersedia dalam bentuk solution
Pada saat nebulisasi perlu dilakukan pemantauan terhadap tanda vital, saturasi oksigen dan auskultasi suara paru. Pengukuran saturasi oksigen menggunakan pulse oxymeter diperlukan untuk melihat efektivitas terapi inhalasi. Tabel 1 mencantumkan kelebihan dan kekurangan tiap-tiap jenis alat nebulizer.
Tata laksana rehabilitasi medik paru pada anak Terapi nebulisasi tidak selalu merupakan terapi yang berdiri sendiri. Terapi ini perlu dikombinasi dengan terapi lainnya bila tujuannya untuk meningkatkan 36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
proses pembersihan jalan napas, memperbaiki biomekanik pernapasan, mempertahankan atau meningkatkan kapasitas fungsional respirasi. Misalnya pada pemberian nebulisasi obat mukolitik yang berdampak meningkatkan sekresi mukosa saluran pernapasan, mendegradasi mukoprotein sehingga mukus menjadi lebih encer, serta gerak mukosiliari dan mobilisasi sekret lebih mudah maka tindakan nebulisasi harus dilanjutkan dengan tindakan lain agar proses pembersihan jalan napas menjadi optimal. Penting diketahui bahwa tindakan rehabilitasi medik paru pada anak merupakan suatu rangkaian proses tindakan yang meliputi airway clearence technique (yakni drainase postural, perkusi, vibrasi, huffing dan latihan batuk efektif atau suction); latihan perbaikan biomekanik pernapasan (yakni perbaikan kontrol postur, latihan pernapasan, relaksasi otot pernapasan dengan modalitas fisik terapi panas atau tehnik manipulasi tertentu, latihan batuk efektif) serta tehnik perbaikan kapasitas fungsional paru melalui terapi latihan yang pada prinsipnya bertujuan mengembalikan kapasitas fungsionsl fisik agar mampu melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari dan bermain secara optimal. Seperti pada contoh kasus berikut ini, pada anak dengan refleks batuk yang tidak adekuat atau pada pasien yang tidak dapat batuk dengan baik maka pengeluaran sekret akan sulit sehingga penumpukan sekret pada jalan napas justru akan berbahaya karena dapat mengobstruksi jalan napas. Pada kondisi ini anak memerlukan bantuan drainase postural untuk mempermudah pengeluaran sekret tersebut. Drainage postural bertujuan membantu mengeluarkan sputum dengan memanfaatkan gaya gravitasi dengan cara memposisikan tubuh pada posisi tertentu. Masing-masing posisi akan mengalirkan dahak dari lobus paru yang berbeda. Sputum akan dapat lebih mudah dibatukkan atau dikeluarkan lewat mulut. yy
Lobus paru bawah (Gambar 5).
Gambar 5. Teknik drainase postural pada lobus paru bawah Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
37
Luh Karunia Wahyuni
yy
Lobus paru atas (Gambar 6).
Gambar 6. Teknik drainase postural pada lobus paru atas
Di bidang layanan rehabilitasi medik, terapi nebulisasi juga diberikan pada pasien dengan disabilitas, karena penggunaan nebulizer dapat menghantarkan obat secara pasif pada saat pasien bernapas. Namun, yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi inhalasi pada pasien dengan disabilitas adalah pada proses persiapan, dan pemantauan keadaan umum sebelum dilakukan terapi, saat dilakukan terapi dan setelah terapi, serta perlu dipertimbangkan tindakan sesudahnya.
Simpulan Terapi inhalasi dengan nebulizer merupakan aplikasi secara langsung pemberian obat dalam bentuk aerosol kedalam saluran pernapasan. Perlu dipahami dengan baik jenis, cara kerja, kelebihan dan kekurangan masing-masing alat nebulizer sehingga pengobatan dengan cara ini dapat berhasil optimal. Pada kondisi tertentu terapi ini harus dibarengi dengan terapi fisik lain agar tercapainya tujuan pembersihan jalan napas, perbaikan biomekanik pernapasan serta peningkatan kapasitas fungsional respirasi.
Daftar pustaka 1. Hess DR. Humidity and aerosol therapy. Dalam: Hess DR, Mac Intyre NR, Mishoe SC, penyunting. Respiratory care principles and practice. Edisi ke-2. Jones and Bartlett Learning; 2012. h. 303-36. 2. Ritter et.al. Textbook of clinical pharmacology and therapeutics.Edisi ke-5. 2008. h. 223 3. Wahyuni L dkk. Terapi inhalasi. Layanan Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi. PB PERDOSRI; 2013. h. 262-3. 4. Wahyuni L. Dkk. Layanan Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi, Airway Clearence Technique. PB PERDOSRI; 2013. h. 254-61. 38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
5. Pahwa Rakesh, et al. Nebulizer therapy: A platform for pulmonary drug delivery. Pelagia research library; 2012. 6. Boe, et al. European Respiratory Society Guidelines on the use of nebulizers Guidelines prepared by a European Respiratory Society Task Force on the use of nebulizers. European Respiratory Journal. 2001;18: 228–42.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
39
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan? Teny Tjitra Sari Tujuan:
1. Mengetahui indikasi pemberian premedikasi transfusi darah 2. Mengetahui obat yang digunakan untuk premedikasi transfusi darah
Pada beberapa keadaan, pemberian transfusi darah sering diperlukan dalam perawatan pasien kita sehari-hari. Salah satu hal yang mengganggu pemberian transfusi darah adalah reaksi transfusi. Reaksi transfusi yang paling sering ditemukan adalah febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNHTR) dan reaksi alergi. Insidens FNTHR akibat transfusi sel darah merah mencapai 0.1 – 7 % dan akibat transfusi trombosit mencapai 0,2%.1 Reaksi alergi terjadi pada 0.03 – 0.61% transfusi sel darah merah, 0,3 – 6% transfusi trombosit dan 1-3% transfusi plasma.2Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM tahun 2012 didapatkan angka kejadian urtikaria (14/23) dan FNTHR (6/23).Reaksi alergi akibat transfusi lebih sering ditemukan pada transfusi trombosit dibanding sel darah merah.3
Febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNTHR) Febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNTHR) didefinisikans sebagai (1) suhu meningkat > 1 0C yang berhubungan dengan transfusi, (2) tidak dapat dihubungkan dengan etiologi lain dan (2) dapat berupa gejala menggigil, rigor, merasa dingin atau tidak nyaman.1Terdapat 2 mekanisme terjadinya FNTHR yang dihubungkan dengan leukosit. Mekanisme pertama adalah adanya akumulasi leukocyte-derived cytokines (interleukin IL-1β, IL-6, IL-8) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) di supernatan yang lebih sering terjadi pada penyimpanan suhu ruangan. Hal ini lebih sering terjadi pada transfusi trombosit. Oleh karena itu, mekanisme pertama tidak dapat diatasi dengan pemberian produk leukoreduksi.1,4Mekanisme kedua melibatkan antibodi leukosit dan sering berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Terjadi 40
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?
kompleks antigen-antibodi leukosit resipien dan donor yang berakibat pelepasan endotoksin sehingga terjadi demam. Pemberian produk darah leukoreduksi tidak menghilangkan kejadianFNTHR pada pemberian transfusi sel darah merah (kurang lebih 0,2%) dan transfusi trombosit (1%), sehingga dipikirkan adanya mekanisme lain yang berperan.1
Reaksi alergi akibat transfusi Reaksi alergi akibat transfusi ditegakkan bila timbul urtikaria, pruritus, mengi atau angioedem saat pemberian hingga 3 jam pasca transfusi.5 Mekanisme terjadinya reaksi alergi akibat transfusi masih sedikit diketahui. Reaksi alergi biasanya berupa reaksi hipersensitifitas tipe I yang dimediasi IgE. Sel TH2 mensekresi IL-4 dan IL-13, yang mestimulasi sel B untuk mengubah produksi IgM menjadi IgE. IgE akan berikatan dengan sel mast dan basofil melalui reseptor Fc IgE. Bila ada alergen berikatan dengan sel yang terikat IgE, sel mast akan teraktivasi dan melepaskan anafilaktosin berupa mediator seperti histamin, heparin, leukotrien, platelet-activating factor, sitokin dan kemokin. Mediator akan mengakibatkan masuknya sel dan cairan ke jaringan sehingga terjadi reaksi alergi di kulit, traktus respiratorius, kardiovaskular dan gastrointestinal.2,6 Mekanisme lainnya adalah transfer pasif antibodi IgE, aktivasi sel mast oleh anafilatoksin komplemen dan adanya transfusi produk darah yang tinggi kadar histamin.6
Premedikasi Tindakan untuk mencegah timbulnya reaksi transfusi disebut premedikasi. Di Amerika Serikat, tindakan premedikasi berkisar 50-80%.6 Hingga saat ini, tindakan premedikasi masih sering terjadi kontroversi. Wang dkk (2002) meneliti pemberian asetaminofen 650 mg ditambah difenhidramin 25 mg pada pasien onkologi dewasa dan memperlihatkan tidak ada perbedaan jumlah FNTHR pada pasien yang diberikan premedikasi (15,2%) dibanding plasebo (15,4%).7 Sanders dkk (2005) juga menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian reaksi transfusi setelah pemberian premedikasi. Kejadian FNTHR tidak berbeda pada kelompok yang diberikan premedikasi asetaminofen (0,95%) dibanding plasebo (0,53%). Reaksi alergi akibat transfusi juga tidak berbeda pada kelompok premedikasi difenhidramin (0,9%) dibanding plasebo (0,56%).8 Review oleh Geiger dkk (2007) dan Tobian dkk (2007) memperlihatkan premedikasi rutin tidaklah efektif.4,6Walau demikian, pemberian premedikasi untuk populasi tertentu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.4Hanya penelitian Ezidegwu dkk (2004) yang memperlihatkan adanya pengaruh besar pemberian asetaminofen sebagai premedikasi. Angka kejadian FNTHR hanya sebesar 0,09%.9 Walau banyak penelitian yang memperlihatkan premedikasi tidak efektif mencegah reaksi transfusi, namun hal ini harus hatiIkatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
41
Teny Tjitra Sari
hati dicermati karena adanya bias yang besar pada penelitian-penelitian tersebut. Pada daerah yang sulit mendapatkan produk darah leukoreduksi, premedikasi tetap dapat memberikan manfaat mencegah reaksi transfusi.10
Pencegahan FNTHR Secara umum, pencegahan FNTHR hanya diperlukan bila pasien telah mengalami 2 atau lebih episode reaksi febris akibat transfusi. Kejadian FNTHR dapat dicegah dengan memberikan komponen darah rendah leukosit. Filter leukoreduksi saat pemrosesan di Bank Darah dapat mengurangi leukosit hingga mencapai kurang dari 106 /uL. Alternatif lain, komponen darah dipersiapkan dengan cara metode aferesis. Tindakan reduksi leukosit menggunakan filter bedside dapat efektif mengurangi kejadian FNTHR akibat aloimunisasi leukosit, tetapi tidak dapat mencegah FNTHR akibat akumulasi sitokin saat penyimpanan.5 Paglino dkk memperlihatkan pengaruh penggunaan produk darah leukoreduksi terhadap timbulnya reaksi transfusi. Kejadian FNTHR akibat transfusi sel darah merah menurun dari 0,34% menjadi 0,18%. Sedangkan kejadian FNTHR akibat transfusi trombosit menurun dari 2,18% menjadi 0,15%.11 Bila tindakan leukoreduksi tidak dapat dilakukan, maka dapat diberikan premedikasi untuk mencegah FNTHR. 10 Premedikasi untuk mencegah FNTHR adalah asetaminofen dengan dosis 10-15 mg/kg, oral.6 Bila pasien tetap mengalami FNHTR walaupun sudah menggunakan premedikasi dan komponen darah leukoreduksi, dapat dicoba pemberian komponen darah cuci. Tindakan pencucian untuk menghilangkan sisa plasma dan leukosit dilakukan menggunakan 1 unit darah merah dengan 1-2 liter salin normal.5
Pencegahan reaksi alergi akibat transfusi Pagliano dkk memperlihatkan tidak ada peran produk darah leukoreduksi terhadap kejadian reaksi alergi akibat transfusi pada pemberian transfusi sel darah merah dan trombosit (p>0,05).11Pada umunya, pasien yang tidak mempunyai riwayat alergi, tidak dianjurkan memberikan premedikasi. Sebaliknya, premedikasi pada pasien yang mempunyai riwayat alergi masih terus diperdebatkan. Sebagian besar ahli tetap tidak menganjurkan premedikasi disebabkan lebih banyak kerugian dibanding keuntungannya. Obat yang diberikan untuk premedikasi reaksi alergi akibat transfusi adalah antihistamin H1 reseptor yaitu difenhidramin. Salah satu kerugiannya adalah kemampuan difenhidramin menembus sawar darah-otak sehingga menimbulkan sedasi, mengantuk, mulut kering, dan retensi urin.6 42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?
Wong-Sefidan dkk. merekomendasikan pemberian premedikasi pada pasien dengan riwayat alergi berdasarkan risiko. Risiko rendah bila didapatkan kurang dari 1 reaksi alergi ringan (tanda dan gejala mukokutan yang hilang dengan terapi). Risiko tinggi bila pernah terjadi reaksi alergi ringan multipel, atau reaksi alergi sedang – berat. Untuk risiko rendah, pasien diberikan antihistamin setirizin oral 30 menit sebelumnya. Pasien risiko tinggi diberikan antihistamin oral yang dapat disertai ranitidin dan bila perlu disertai dengan kortikosteroid.12Eder merekomendasikan jenis premedikasi diberikan berdasarkan riwayat reaksi alergi sebelumnya (Tabel 1.) Tabel 1. Premedikasi yang diberikan berdasarkan riwayat reaksi alergi5 Riwayat reaksi alergi Ringan (gatal, urtika) Sedang hingga berat (urtika, hipotensi, rash dan edem generalisata, gangguan respirasi atau gastrointestinal)
Berat* (syok anafilaksis)
Premedikasi Difenhidramin, oral atau IV dosis 1 – 1,5 mg/kg (maksimal 50 mg) minimal 30 menit sebelum transfusi. Difenhidramin Dapat ditambah kortikosteroid pada 6-12 jam sebelum transfusi, dapat berupa : - Metilprednison 1 mg/kg IV - Hidrokortision 1 mg/kg IV - Prednison 1 mg/kg oral Regimen agresif dengan antihistamin dan kortikosteroid sejak 12 jam sebelum transfusi dan dilanjutkan setelah transfusi
* bila perlu, transfusi darah dihindari
Tindakan untuk mengurangi sisa plasma tetap dilakukan untuk mencegah reaksi alergi akibat transfusi seperti pencucian dengan salin normal. Bila pasien mempunyai riwayat syok anafilaksis, transfusi darah dihindari sedapat mungkin, Bila memungkinkan, dapat diberikan transfusi darah autologus, komponen darah cuci atau jenis IgA-deficient donors.5
Kesimpulan Premedikasi terhadap FNTHR hanya diberikan bila pasien telah mengalami 2 atau lebih episode FNTHR. Premedikasi terhadap reaksi alergi hanya diberikan bila pasien mempunyai riwayat reaksi alergi. Premedikasi hanya diberikan bila produk darah leukoreduksi tidak dapat diperoleh. Obat yang digunakan untuk premedikasi mencegah FNTHR adalah asetaminofen. Obat yang digunakan untuk premedikasi mencegah reaksi alergi akibat transfusi adalah difenhidramin dan kortikosteroid
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
43
Teny Tjitra Sari
Daftar pustaka 1. Josephson CD. Febrile non-hemolytic transfusion reactions. Dalam: Hillyer CD, Shaz BH, Zimring JC, Abshire TC. Transfusion medicine and hemostasis: clinical and laboratory aspects. Edisi ke-1. London: Elsevier Inc; 2009. h. 309-10. 2. Shaz BH. Allergic, anaphylactoid and anaphylactic reactions. Dalam: Hillyer CD, Shaz BH, Zimring JC, Abshire TC. Transfusion medicine and hemostasis: clinical and laboratory aspects. Edisi ke-1. London: Elsevier Inc; 2009. h. 311-5. 3. Fairuza F, Sjakti HA. Characteristic of transfusion reaction in children receiving blood transfusion in Cipto Mangunkusumo Hospital. Paediatr Indones. 2012;52:108. 4. Geiger TL, Howard SC. Acetaminophen and diphenhydramine premedication for allergic and febrile non-hemolytic transfusion reaction: good prophylaxis or bad practice?. Transfus Med Rev. 2007;21:1-12. 5. Eder AF. Transfusion reactions. Dalam: Hillyer CD, Strauss RG, Luban NLC, penyunting. Handbook of pediatric transfusion medicine. San Diego: Elsevier Academic Press; 2004. h. 301-15. 6. Tobian AAR, Kings KE, Ness PM. Transfusion premedications: a growing practice not based on evidence. Transfusion. 2007;47:1089-96. 7. Wang SE, Lara PN Jr, Lee-Ow A, Acetaminophen and diphenhydramine as premedication for platelet transfusion: A prospective randomized double-blind placebo-controlled trial. Am J Hematol. 2002;70:191-4. 8. Sanders RP, Maddirala SD, Geiger TL, Pounds S, Sandlund JT, Ribeiro RC, dkk. Premedication with acetaminophen or diphenhydramine for transfusion with leucoreduced blood products in children. British J Hematol. 2005;130:781-7. 9. Ezidiegwu CN, Lauenstein KJ, Rosales LG. Febrile nonhemolytic transfusion reaction: Management by premedication and cost implicating in adult patients. Arch Patol Lab Med. 2004:128:991-5. 10. Duran J, Siddique S, Cleary M. Effects of leukoreduction and premedication with acetaminophen and diphenhydramine in minimizing febrile nonhemolytic transfusion reaction and allergic transfusion reactions during and after blood product administration: a literature review with recommendation. J Pediatr Oncol Nurs. 2014 May 2;31:223-9. 11. Paglino JC, Pomper G, Fisch GS, Champion MH, Snyder EL. Reduction of febrile but not allergic reactions to RBCs and platelets after conversion to universal prestorage leukoreduction. Transfusion. 2004;44:16-24. 12. Wong-Sefidan I, Ale-Ali A, De-Moor P, Martinez S, Currin P, Lane T, Roeland E. Implementing inpatient, evidence-based, antihistamin-transfusion premedication guidelines at a single academic US hospital. J. Community Support Oncol. 2014:12:56-64.
44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Substitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi Aryono Hendarto Tujuan: 1. 2. 3. 4.
Memahami pengertian alergi susu sapi Memahami patofisiologi alergi susu sapi Memahami tanda atau gejala alergi susu sapi Memahami tata laksana alergi susu sapi
Definisi Alergi susu sapi merupakan suatu reaksi tubuh yang diperantarai oleh sistem imunologis terhadap satu atau lebih protein susu sapi. Protein susu yang paling sering memicu reaksi alergi adalah b-laktoglobulin kesein atau whey dengan berat molekul 18.600 dalton. Alergi susu sapi merupakan jenis alergi makanan yang paling sering terjadi pada anak usia 1-3 tahun.1-3
Patofisiologi Alergi susu sapi terjadi karena adanya respon imunologis terhadap protein susu sapi yang dikenali sebagai antigen oleh sel imun tubuh. Biasanya, alergi susu sapi berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh imonoglobulen E (IgE). Namun demikian, alergi susu sapi juga dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidakdiperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya.1,2Sebesar 54% alergi susu sapi di mediasi oleh IgE, dan 46% tidak dimediasi oleh IgE.3 Reaksi yang diperantarai oleh IgE terjadi dalam beberapa menit atau dalam satu jam setelah konsumsi susu sapi (reaksi cepat). Gejala alergi yang terkait dengan reaksi IgE termasuk urtikaria, diare, ekzema, rinitis, dan anafilaksis. Sementara itu, gejala terkait dengan dengan non-reaksi IgE (reaksi lambat) seperti muntah, konstipasi, hemosiderosis, malabsorbsi, atrofi vilus, proktokolitis eosinofilik, enterokolitis, dan eosinofilik esofagitis dapat terjadi setelah satu jam konsumsi susu sapi.2,3 Penting untuk membedakan alergi susu sapi dengan intoleransi laktosa. Berbeda dengan alergi susu sapi yang disebabkan oleh respon imunologis, intoleransi lakotosa sebabkan oleh reaksi non-alergi karena kekurangan enzim 45
Aryono Hendarto
laktase. Enzim ini dibutuhkan untuk mencerna laktosa yang merupakan gugus gula utama pada susu.2,3
Epidemiologi Insiden alergi protein susu sapi pada bayi berkisar antara 2 sampai 3 persen pada negara berkembang. Gejala sugestif alergi protein susu sapi ditemukan pada sekitar 5 sampai 15 persen bayi. Reaksi alergi terhadap susu sapi dilaporkan terjadi pada sekitar 0.5% bayi yang diberikan air susu ibu (ASI). Sebagian besar bayi dengan alergi protein susu sapi mengalami gejala sebelum usia 1 bulan, bahkan sering terjadi dalam 1 minggu setelah pemberian formula protein susu sapi.4,5
Gejala dan Tanda Mayoritas bayi memiliki dua atau lebih gejala dari dua atau lebih sistem organ. Sekitar 50- 60 % mengalami gejala pada kulit, 50- 60 % mengalami gejala gastrointestinal, dan sekitar 20-30 % mengalami gejala respirasi. Gejala dapat muncul dalam 1 jam setelah pemberian susu (reaksi cepat) atau setelah 1 jam pemberian susu (reaksi lambat).4,5 Tabel 1. Gejala dan tanda terkait alergi susu sapi3 Gejala dan Tanda Terkait Alergi Susu Sapi Gejala saluran cerna Disfagia, dispepsia Kolik, nyeri abdomen Muntah, regurgitasi, mual Anoreksia, menolak makan, cepat kenyang Diare Konstipasi Gagal tumbuh Kehilangan darah samar, anemia defisiensi besi Impaksi makanan Gejala saluran napas Hidung berair Batuk Kronik Mengi atau stridor Kesulitan bernapas Gejala kulit Urtikaria Ekzema atopi Angioderma Gejala Umum Anafilaksis Gejala seperti syock dengan asidosis metabolik berat, diare, dan muntah
46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
Diagnosis Manifestasi klinis alergi susu sapi sangat bervariasi jenis dan derajat keparahannya sehingga membuat diagnosis alergi susu sapi sulit dilakukan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mendapatkan informasi detail mengenai usia, onset, gejala, dan riwayat penyakit. Pemeriksaan lainnya yang relevan untuk mendiagnosis alergi susu sapi antara lain deteksi IgE spesifik susu (melalui uji cukit kulit/skin prick test atau pemeriksaan serum), uji eliminasi diet, dan uji provokasi. Pemeriksaan tersebut akan membantu dalam mendiagnosis alergi susu sapi pada sebagian besar kasus.2 Secara umum uji cukit kulit dan serum IgE bersifat sensitif namun tidak spesifik dalam mendiagnosis alergi makanan yang dimediasi oleh IgE.6 Kedua uji ini hanya bersifat indikatif untuk alergi protein susu sapi. Uji eliminasi diet dengan metode buta ganda/double blindkontrol dan uji provokasi merupakan standar baku emas dalam mendiagnosis alergi susu sapi.5,7Perkembangan uji diagnostik menggunakan teknologi epitop dan gelombang mikro berpotensi untuk meningkatkan akurasi diagnostik alergi susu sapi di kemudian hari dengan determinasi IgE spesifik yang melawan komponen alergen sepesifik protein susu sapi.5
Prognosis Alergi susu sapi memiliki prognosis yang baik dengan angka remisi berkisar 45- 50% dalam 1 tahun, 60-75% dalam 2 tahun, dan 85- 90% dalam 3 tahun. Reaksi alergi terhadap makanan lain dapat berkembang pada 50% pasien dan alergi terhadap zat inhalan dapat terjadi pada 50- 80% pasien sebelum pubertas.4,5
Tata laksana Alergi protein susu sapi membutuhkan tata laksana yang tepat dan komperhensif. Penanganan harus dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindarai potensi gagal tumbuh yang dapat terjadi akibat asupan nutrisi yang tidak memadai pada bayi. Imunoterapi dan subtitusi nutrisi merupakan dua pilar penting dalam penanganan alergi protein susu sapi.
Imunoterapi Modalitas penanganan terkini pada alergi susu sapi adalah imunoterapi oral termasuk pemberian alergen susu sapi secara oral dengan tujuan desensitasi dan berpotensi merangsang toleransi permanen protein susu sapi pada pasien. Kombinasi imunoterapi oral dan eliminasi diet dapat meningkatkan angka toleransi penuh terhadap susu sapi dibandingkan terapi eliminasi diet saja. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
47
Aryono Hendarto
Imunoterapi oral dapat meningkatkan ambang batas reaksi terhadap protein susu sapi, namun keamanan dan efikasi jangka panjangnya masih dipertanyakan. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh imunoterapi termasuk gejala lokal, spasme laring ringan, asma ringan, dan reaksi alergi lainnya. Terapi anti IgE dengan omalizumab dapat meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi oral dan dan memberikan manfaat dalam monoterapi.5,8
Nutrisi yy
Pada Bayi dengan ASI eksklusif Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif yang terdiagnosis mengalami alergi susu sapi, ASI dapat tetap dilanjukan dengan eliminasi susu sapi dan produk susu sapi lainnya dalam menu diet ibu hingga bayi berusia 9-12 bulan atau setidaknya 6 bulan.1,7Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali.Apabila gejala tidak timbul kembali setelah uji provokasi, berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali setelah uji provokasi, maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan uji provokasi dilakukan kembali setelah 6 bulan.1
yy
Pada Bayi dengan susu formula standar Terapi dasar pada alergi susu sapi adalah menghindari pemberian susu sapi. Pada bayi dengan alergi susu sapi yang mendapatkan susu formula standar, baik secara ekslusif maupun sebagai tambahan ASI, ada beberapa alternatif pilihan subtitusi nutrien yang dapat diberikan, antara lain: –– Formula asam amino (AAF)9 –– Formula terhidolisis parsial (pHF)10 –– Formula terhidrolisis ekstensif (eHF), baik kasein ataupun whey11 –– Formula hidrolisis protein beras12 –– Fomula berbasis protein ayam13 –– Formula kedelai14 –– Susu mammalia lainnya15
Formula terhidrolisat Formula terhidrolisat merupakan salah satu pilihan subtitusi nutrien pada bayi dengan alergi susu sapi. Formula terhidrolisat dapat dibagi menjadi formula terhidrolisat parsial dan formula terhidrolisat ekstensif. Selain itu, beberapa jenis formula hidrolisat lainnya seperti formula hidrolisat dengan dasar protein beras dan ayam telah ditelitisebagai subtitusi nutrien pada alergi susu sapi. Sejauh ini, formula terhidrolisat ekstensif (eHF) merupakan subtitusi nutrien yang paling direkomendasikan pada bayi dengan alergi susu sapi derajat ringan dan sedang dibawah usia 6 bulan.5,7,16 Fomula terhidrolisat sempurna 48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
dapat ditoleransi dengan baik pada bayi dengan alergi susu sapi karena berat molekulnya yang rendah (< 3000 dalton).17Namun demikian, formula terhidrolisat sempurna tidak terbukti mencegah alergi dibandingkan pemberian ASI eksklusif.18Walaupun sebagian besar bayi akan mentoleransi semua protein hidrolisat, hal-hal berikut harus dipertimbangkan ketika memilih eHF untuk pasien: yy Sumber protein. Formula hidrolisat dapat berdasar protein whey atau kasein dari susu sapi atau dapat berasal dari soya. Formula terhidrolisat ekstensif baik yang berasal dari whey maupun kasein memiliki efektivitas yang sama sebagai subtitusi nutrien pada bayi dengan alergi susu sapi.2,11 yy Ukuran peptida. Ukuran peptida yang lebih besar dikaitkan dengan alergenisitas yang lebih besar. Oleh karena itu, hidrolisat dengan ukuran peptida di bawah 1000 dalton lebih dipilih untuk mengurangi kemungkinan alergi. yy Rasa. Protein hidrolisat memiliki rasa yang pahit. Perbedaan rasa terkait dengan sumber protein dasar, derajat hidrolisasi, dan ada-tidaknya kandungan laktosa. Rasa dapat mempengaruhi pemilihan formula terutama pada bayi yang lebih besar.2 Formula terhidrolisat parsial tidak direkomendasikan pada kasus alergi susu sapi karena memiliki sifat alergenik dan antigenik derajat tinggi karena berat molekulnya yang lebih besar (3000-10.000 dalton).5 Namun demikian, formula terhidrolisat sebagian dapat digunakan sebagai alternatif tata laksana diet pada gejala fungsional saluran cerna biasa.10 Selain pada kasus alergi susu sapi, pada bayi berisiko tinggi, ketika ASI tidak memungkinkan untuk diberikan, formula terhidrolisat terbukti aman dan bermanfaat diberikan pada bayi usia 4 hingga 6 bulan.19 Jenis formula hidrolisat lainnya seperti formula hidrolisat protein beras (HRPF) dan protein ayam belum terlalu popular dan masih sedikit penelitian yang dilakukan dengan menggunakan formula ini. Sebuah penelitian di Spanyol menunjukkan bahwa pada bayi dengan alergi susu sapi yang dimediasi oleh IgE, pemberian formula HRPF ditoleransi dengan baik oleh lebih dari 90% bayi dengan alergi susu sapi sehingga dapat dijadikan formula alternatif.12 Sementara itu, formula bebasis protein ayam dalam sebuh penelitian di Thailand terbukti memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan formula terhidrolisis ekstensif dalam manajemen alergi susu sapi pada bayi.13
Formula asam amino Formula asam amino (AAF) merupakan salah satu alternatif subtitusi nutrien pada bayi dengan alergi susu sapi. Asam amino pada AAF tersedia untuk anak di atas 1 tahun dan bermanfaat ketika bayi dengan alergi susu sapi yang memenuhi kriteria untuk diberikan AAF membutuhkan tambahan energi, kalsium, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
49
Aryono Hendarto
besi.2 Formula asam amino cocok sebagai terapi lini pertama pada alergi susu sapi, namun karena harganya yang mahal formula ini lebih diutamakan pada kasus-kasus berikut: yy Alergi makanan multipel yy Alergi susu sapi berat yy Gejala alergi atau ekzema atopi berat ketika diberikan ASI eksklusif yy Onset berat dari alergi susu sapi yang tidak dimediasi IgE seperti esinofilik esofagitis yy Alergi susu sapi dengan gagal tumbuh2,5,7,16 yy Reaksi intoleransi atau penolakan terhadap eHF atau tidak memperlihatkan perbaikan gejala setelah pemberian eHF.5,7 Sebuahreview sistematik menyimpulkan bahwa bayi dengan alergi susu sapi pada kelompok khusus (seperti sindrom gastroenterokolitis-proktitis yang disebabkan oleh makanan dengan gejala gagal tumbuh, ekzema atopi, atau gejala lain selama pemberian ASI ekslusif) secara umum lebih baik diberikan formula asam amino dibandingkan dengan formula terhidrolisat ekstensif yang berpotensi menimbulkan intoleransi. Pada keadaan tersebut, gejala yang tetap terjadi dengan pemberian formula terhidrolisat ekstensif berkurang dengan pemberian formula asam amino dan kejar tumbuh dapat terlihat.9
Formula protein kedelai Formula protein kedelai secara nutrisi adekuat sebagai subtitusi walaupun tidak memberikan manfaat nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan formula susu sapi. Protein kedelai memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah dibandingkan protein susu sapi dan memilki jumlah asam amino esensial metionin dan karnitin yang lebih rendah. Oleh karena itu, formula protein kedelai harus ditambahkan beberapa komposisi lain untuk memastikan jumlah kandungan protein pada formula kedelai lebih besar dari formula susu sapi (2.25 g/ 100 kkal dibanding 1.8 g/100 kkal). Suplementasi metionin dan karnitin juga direkomendasikan.2,14 Fitoestrogen secara natural terdapat pada pada bahan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki aktivitas estrogenik lemah. Fitoestrogen utama pada kedelai adalah isoflavon yang terdapat pada protein kedelai dengan komposisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan ASI. Dosis tinggi fitoestrogen pada penelitian hewanmenujukkan efek samping pada perkembangan organ reproduksi dan fertilitas. Tidak ada bukti yang jelas efek serupa terjadi pada manusia karena data yang terbatas, namun demikian sebagai pencegahan, formula kedelai tidak direkomendasikan sebagai subtitusi nutrien pada bayi dibawah 6 bulan.2,14 Protein kedelai juga berpotensi alergenik seperti protein susu sapidan tidak direkomendasikan pada anak dengan usia kurang dari 6 bulan karena memiliki risiko terjadinya alergi terhadap protein kedelai.5Beberapa protein kedelai dapat 50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
berikatan dengan antibodi, terutama IgE. Kompleks protein utama yang dapat berikatan dengan antibodi adalah kompleks 7S dengan berat molekul 150-200 ribu dalton dan kompleks 11S dengan berat molekul 300-400 ribu Dalton.20 Formula kedelai dapat dipertimbangkan sebagai subtitusi nutrien pada alergi susu sapi pada bayi usia lebih dari 6 bulan dengan alasan ekonomi karena harganya yang lebih murah. Namun demikian, uji toleransi terhadap protein kedelai harus dilakukan terlebih dahulu dengan uji provokasi.14Formula kedelai dapat diberikan pada bayi yang berusia lebih dari 6 bulan dengan reaksi alergi makanan tipe cepat dan pada bayi yang mengalami gejala saluran cerna atau dermatitis atopi yang tidak mengalami gagal tumbuh.16
Susu Mamalia Lainnya Susu alternatif sebagai subtitusi susu sapi seperti susu kambing dan domba tidak dapat diberikan pada bayi dengan alergi susu sapi karena bersifat alergenik dan memiliki reaktivitas silang derajat tinggi dengan protein susu sapi. Susu kuda dan keledai dapat digunakan pada kasus tertentu setelah modifikasi dengan tepat sehingga cocok untuk bayi manusia.5,15 Namun demikian, jenis susu ini belum tersedia di Indonesia.1
Kesimpulan Manajemen nutrisi sangat penting dalam tatalaksana bayi dengan alergi susu sapi. Berikut adalah ringkasan tatalaksana alergi susu sapi pada bayi. yy Untuk bayi dengan ASI ekslusif Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah meneruskan pemberian ASI dan eliminasi susu sapidan produk turunannya pada makanan ibu sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. yy
Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah subtitusi susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu dilakukan penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI). Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya, maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu mamalia selain susu sapi tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan reaksi silang.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
51
Aryono Hendarto
Daftar pustaka 1. Indonesia IDA. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h.1-10 2. Luyt D, Ball H, Makwana N, et al. BSACI guideline for the diagnosis and management of cow’s milk allergy. Clin Exp Allergy. 2014;44:642-72. 3. Vandenplas Y, De Greef E, Devreker T. Treatment of Cow’s Milk Protein Allergy. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2014;17:1-5. 4. Host A. Frequency of cow’s milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:33-7. 5. Host A, Halken S. Cow’s milk allergy: where have we come from and where are we going? Endocr Metab Immune Disord Drug Targets. 2014;14:2-8. 6. Soares-Weiser K, Takwoingi Y, Panesar SS, et al. The diagnosis of food allergy: a systematic review and meta-analysis. Allergy. 2014;69:76-86. 7. De Greef E, Hauser B, Devreker T, Veereman-Wauters G, Vandenplas Y. Diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in infants. World J Pediatr. 2012;8:1924. 8. Brozek JL, Terracciano L, Hsu J, et al. Oral immunotherapy for IgE-mediated cow’s milk allergy: a systematic review and meta-analysis. Clin Exp Allergy. 2012;42:363-74. 9. Hill DJ, Murch SH, Rafferty K, Wallis P, Green CJ. The efficacy of amino acid-based formulas in relieving the symptoms of cow’s milk allergy: a systematic review. Clin Exp Allergy. 2007;37:808-22. 10. Vandenplas Y, Cruchet S, Faure C, et al. When should we use partially hydrolysed formulae for frequent gastrointestinal symptoms and allergy prevention? Acta Paediatr. 2014;103:689-95. 11. Vandenplas Y, Steenhout P, Planoudis Y, Grathwohl D, Althera Study G. Treating cow’s milk protein allergy: a double-blind randomized trial comparing two extensively hydrolysed formulas with probiotics. Acta Paediatr. 2013;102:990-8. 12. Reche M, Pascual C, Fiandor A, et al. The effect of a partially hydrolysed formula based on rice protein in the treatment of infants with cow’s milk protein allergy. Pediatr Allergy Immunol. 2010;21:577-85. 13. Jirapinyo P, Densupsoontorn N, Kangwanpornsiri C, Wongarn R. Chickenbased formula is better tolerated than extensively hydrolyzed casein formula for the management of cow milk protein allergy in infants. Asia Pac J Clin Nutr. 2012;21:209-14. 14. Nutrition ECo, Agostoni C, Axelsson I, et al. Soy protein infant formulae and follow-on formulae: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:352-61. 15. Muraro MA, Giampietro PG, Galli E. Soy formulas and nonbovine milk. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:97-101. 16. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, et al. Guidelines for the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. Med J Aust. 2008;188:109-12. 17. Niggemann B, von Berg A, Bollrath C, et al. Safety and efficacy of a new extensively hydrolyzed formula for infants with cow’s milk protein allergy. Pediatr Allergy Immunol. 2008;19:348-54. 52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
18. Osborn DA, Sinn J. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of allergy and food intolerance in infants. Cochrane Database Syst Rev. 2006:CD003664. 19. Vandenplas Y, Bhatia J, Shamir R, et al. Hydrolyzed formulas for allergy prevention. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2014;58:549-52. 20. Rozenfeld P, Docena GH, Anon MC, Fossati CA. Detection and identification of a soy protein component that cross-reacts with caseins from cow’s milk. Clinical and experimental immunology. 2002;130:49-58.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
53
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung Agus Firmansyah Tujuan
1. Mampu memahami mekanisme kerja obat penekan asam lambung. 2. Mampu memahami penyakit saluran cerna atas yang memerlukan terapi obat penekan asam lambung. 3. Mampu memilih obat yang tepat dalam menatalaksana penyakit acid related disease pada anak. 4. Mengenal efek samping obat penekan asam lambung.
Patogenesis beberapa penyakit saluran cerna pada anakberkaitan dengan asam lambung (acid-related disorders = ARD) dan memerlukan terapi obat penekan asam lambung (OPAL), antara lain dispepsia fungsional, gastritis, ulkus peptikum, dan penyakit refluks gastroesofagus (PRGE).1,2 Dulu hanya dikenal antasida untuk menetralkan asam lambung, tetapi kemudian ditemukan OPAL, yaitu golongan H2RA (histamin2 receptor antagonist) dan PPI (proton pump inhibitor).2 PPI merupakan terapi pilihan ARDpada pasien dewasa sejak diperkenalkan pada tahun 1988.3 Memang terdapat beberapa keunggulan PPI dibanding obat lama seperti antasida dan H2RA.Makalah ini akan menjelaskan strategi pemilihan OPAL untuk penyakit saluran cerna bagian atas pada anak. Sebelumnya akan dibahas secara ringkas mengenai patomekanisme terjadinya penyakit dan mekanisme kerja OPAL. Penyakitacid-related disorders(ARD) Gastritis atau ulkus peptikum terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor sitoprotektif dan faktor sitotoksik dalam saluran cerna bagian atas. Faktor sitoprotektif antara lain lapisan mukus, sekresi bikarbonat lokal dan aliran darah mukosa. Sedangkan faktor sitotoksik adalah asam lambung, pepsin, empedu, obat (kortikosteroid dan non-steroid anti inflammatory drugs = NSAID) dan infeksi Helicobacter pylori.1,4 Secara skematisketidakseimbangan tersebut terlihat pada Gambar 1. Pada PRGE terjadi esofagitis karena mukosa esofagus, yang secara histologis tidak tahan asam/pepsin), terpapar oleh isi lambung karena refluks.3,5 54
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Gambar 1. Ketidakseimbangan antara faktor sitoprotektif dan sitotoksik pada saluran cerna bagian atas
Diagnosis klinis Sekumpulan gejala klinis saluran cerna bagian atas dikenal sebagai dispepsia, yang dapat disebabkan oleh kelainan organik dan fungsional.Dispepsia adalah sindrom non-spesifik terkait saluran cerna bagian atas, yang berlangsung intermiten atau kontinyu.Pada Tabel 1 tertera gejala klinis dispepsia. Bila ditemukan 2 gejala mayor, atau 1 gejala mayor plus2 gejala minor atau 4 gejala minor diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari penyebabnya.1Bila anak mengeluh gejala dispepsia tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan, anak tersebut dapat didiagnosis sebagai dispepsia fungsional, yang merupakan salah satu sub-kelompok yang tergolong dalam recurrent abdominal pain (RAP).6Kelainan fungsional sakit perut berulang menurut kriteria Roma III tertera pada Tabel 2.Kelainan ini perlu dipikirkan karena sakit perut berulang pada anak sebagian besar (90%) penyebabnya fungsional. Tabel 1. Gejala dispepsia pada kelainan saluran cerna atas1 Kriteria mayor • Nyeri epigastrium • Muntah berulang Kriteria minor • Gejala yang berkaitan dengan makan (anoreksia/penurunan berat badan) • Nyeri yang membangunkan anak di waktu malam • Rasa panas di lambung (heartburn) • Regurgitasi • Mual kronik • Kembung/begah/sendawa berlebihan • Mudah kenyang • Nyeri perut di pusat (umbilicus) • Riwayat keluarga ulkus peptikum/dispepsia/IBS (irritable bowel syndrome)
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
55
Agus Firmansyah
Tabel 2. Sakit perut fungsional pada anak menurut kriteria Roma III6 Kelainan fungsional Dispepsia fungsional Irritabel bowel syndrome Migren perut Functional abdominal pain
Manifestasi klinik Gejala sakit perut terasa pada daerah perut bagian atas (di atas umbilikus) Sakit perut berkaitan dengan pola defekasi (diare atau konstipasi) Sakit perut hebat sampai beberapa jam, terdapat interval bebas serangan, riwayat migren pada keluarga Bila tidak dapat digolongkan pada salah satu diagnosis di atas
Bila ditemukan seorang anak dengan keluhan dispepsia dan pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan epigastrium, secara klinis dapat ditegakkan diagnosis kerja gastritis dan dapat diberikan OPAL. Diagnosis PRGE dapat dibuat secara klinis dengan menggunakan sistem skoring,7,8dan dapat diberi terapi awal dengan OPAL.9-12Terapi awal diberikan selama 2 minggu, bila merespons dilanjutkan selama 8-12 minggu. Skoring untuk mendeteksi PRGE berisi kuesioner yang menanyakan gejala yang biasa terjadi pada PRGE (Tabel 3).Infeksi Helicobacter pyloriperlu dipertimbangkan bila terapi OPAL pada anak dengan dispepsia fungsional dan gastritis tidak memberikan respons pengobatan yang baik. Pada infeksi Helicobacter pylori diberikan triple therapy (amoksilin, klaritromisin dan omeprazol).13,14 Tabel 3. Gejala klinis pada PRGE7 • • • • • • • • • • •
Rasa panas/terbakar di ulu hati atau sekitar dada Perut merasa kembung atau begah Perut terasa penuh setelah makan Rasa tidak enak setelah makan Nyeri di ulu hati dan dada setelah makan Rasa tidak enak di tenggorokan Merasa kekenyangan atau begah saat sedang makan Terasa ada yang mengganjal saat menelan Merasa ada cairan rasa pahit atau asam naik ke tenggorokan Sering bersendawa Merasa nyeri di ulu hati atau sekitar dada saat membungkukkan badan
Mekanisme kerja obat penekan asam lambung (OPAL) Sekresi asam lambung oleh sel parietal distimulasi oleh 3 secretagogues, yaitu histamin melalui jaras paraendokrin, asetilkolin melalui jaras neuroendokrin dan gastrin melalui jaras endokrin, Masing-masing mempunyai cara penglepasan tersendiri untuk mencapai organ targetnya.Asetilkolin dilepaskan pada ujung nervus vagus dekat sel perietal.Gastrin disekresi oleh sel G yang berada di mukosa antrum dan duodenum selanjutnya dibawa sirkulasi darah ke sel parietal. Histamin dilepaskan oleh sel mast yang berada di lamina propria ke dalam cairan ekstraselular dan kemudian berdifusi ke sel parietal.Jaras terakhir sekresi asam 56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
dalam sel parietal adalah pompa proton (H+/K+ATPase).1,13,14 H2RA menekan sekresi asam lambung hanya dengan berkompetisi menduduki reseptor histamin; tidak mempengaruhi jaras endokrin (gastrin) dan jaras neuroendokrin (stimulasi vagus).Karena itu H2RA tidak menekan produksi asam lambung secara lengkap. Sedangkan PPI menghambat rangkaian akhir sekresi asam lambung dengan menghambat produksi proton sehingga lebih konsisten mengontrol pH lambung.1,13,14 Skema mekanisme kerja H2RA dan PPI dalam mengontrol asam lambung terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme kerja H2RA dan PPI dalam mengontrol produksi asam lambung
Sediaan, dosis dan cara pemakaian Obat dan dosis H2RA dan PPI terlihat pada Tabel 4.15,16Ranitidin merupakan obat golongan H2RA yang paling sering digunakan, tersedia dalam bentuk tablet (150 mg) dan sirup (75 mg/5 ml). Dokter anak sering pula menggunakan ranitidin dalam bentuk puyer,sehingga pemberian pada anak mudah dilakukan. Sedangkan omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung sekitar 170 granul enteric-coated berdiameter 1-2 mm (acid protected), Karena tidak boleh dibuat puyer dan dikunyah, sehingga pemberian pada anak tidak mudah. Kapsul gelatin tetap utuh selama melewati esofagus dan larut dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
57
Agus Firmansyah
suasana asam lambung untuk melepaskan granul yang mengandung prodrug omeprazol.Lapisan polimer granul larut hanya pada pH > 6, sehingga granul larut dalam suasana alkali di duodenum.Prodrug omeprazol dengan cepat dan hampir lengkap diserap dengan kadar puncak plasma terjadi 1-3 jam setelah ditelan. Sebanyak 85 persen akan berikatan dengan protein dan dengan cepat terdistribusi dalam plasma.17 Kapsul berisi omeprazol tidak boleh digigit dan dikunyah karena tidak tahan asam.Bila dikunyah terasa pahit dan anak menolak minum obat berikutnya. Sedangkan anak berusia < 8 tahun kadang tidak dapat menelan kapsul. Oleh karena itu, beberapa ahli memberikan terapi omeprazol dengan berbagai cara (Tabel 5).18-20PPI tidak dianjurkan pada bayi; pada anak > 1 tahun hanya omeprazol dan lansoprazol yang dianjurkan karena keamanan jangka panjang rabeprazol, pantoprazol dan esomeprazol belum banyak dibuktikan.15,16,21Farma kokinetik dan efek terapi kelima PPI sebenarnya hampir sama.22Pada beberapa tahun terakhir ini terjadi abuse dalam penggunaan PPI terutama pada bayi.23,24
Tabel 4. Obat golongan H2RA dan PPI15,16 Golongan H2RA Simetidin Famotidin Ranitidin PPI Omeprazol Lansoprazol
Dosis 20-40 mg/kg/hari sampai maksimum 400 mg diberikan 2 kali sehari 1,0-1,2 mg/kg/hari sampai maksimum 20 mg diberikan 2 kali sehari 2-4 mg/kg/hari sampai maksimum 150 mg diberikan 2 kali sehari 1 mg/kg/hari dosis tunggal atau dibagi 2 dosis 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal atau dibagi 2 dosis
Tabel 5. Metoda pemberian omeprazol pada anak Metode Larutan bikarbonat18 Yogurt19 Jus buah20
Cara pemberian Larutan bikarbonat dibuat dengan melarutkan ½ sendok teh soda kue ke dalam 240 ml air hangat. Masukkan granul dan aduk sampai larut Campurkan granul dengan 1 sendok teh yogurt Campurkan granul ke dalam jus apel, anggur, jeruk atau tomat dan berikan per oral. Granul tidak boleh dikunyah.
H2RA versus PPI Karjoo dan Kane22membandingkan terapi omeprazol dan ranitidin pada 32 anak dengan PRGE usia 6-36 bulan selama 8 minggu; pasien yang diberi omeprazol memperlihatkan kesembuhan yang lebih baik secara endoskopi dan gejala klinis. Gunasekaran dan Hassal23 dan Strauss dkk24 memberikan terapi omeprazole pada anak dengan PRGE yang tidak sembuh dengan terapi ranitidin dan prokinetik; hasil terapi menunjukkan kesembuhan.
58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Penelitian di atas menunjukan bahwa PPI hanya dipakai bila H2RA tidak berhasil.Ranitidin memang dapat menyembuhkan ARD ringan-sedang.1,2529 Tidak ada perbedaan penyembuhan antara terapi ranitidin dan omeprazol pada ARD sedang.29
Step up versus step down Pada tatalaksana ARD dikenal istilah step up dan step down. Pada carastep up, terapi awal menggunakan H2RA; bila tidak merespons baik digunakan PPI. Pada carastep down, terapi awal menggunakan PPI; pada rumatan digunakan H2RA. Pada pasien dewasa cara step up lebih sering digunakan karena menguntungkan dari segi ekonomi,3tetapi pada anak hal tersebut tidak terbukti.5 Banyak ahli lebih menyukai cara step up,24-28 karena gastritis dan PRGE yang ringan-sedang dapat disembuhkan dengan ranitidin tanpa menggunakan omeprazol.1,29-31Dalam mengontrol keasaman lambung pada malam hari ranitidin lebih baik dibandingkan omeprazol.32Pengalaman penulis selama 3 bulan terakhir (Januari-Maret 2015) menggunakan cara step up, dari 348 anak diagnosis klinis gastritis atau PRGE, sebanyak 309 kasus (89 %) cukup diobati dengan ranitidin; sisanya yang tidak sembuh dengan ranitidin disembuhkan dengan omerazol. Penggunaan omeprazol sebaiknya digunakan pada PRGE berat saja, seperti untuk kasus esofagitis erosif, striktur peptik, Barrett’s esophagus, PRGE dengan komplikasi pada saluran napas, dan kasus dengan masalah neurologis.28,33-36
Efek samping Efek sanping simetidin adalah diare, ruam kulit, mialgia, gangguan kesadaran, neutropenia, ginekomasti, dan gangguan fungsi hati. Sedangkan efeksamping ranitidin adalah sakit kepala, diare, malaise, insomnia, sedasi, atralgia dan gangguan fungsi hati. Efek samping famotidin meliputi sakit kepala, konstipasi, diare dan lemas.15,16 Efek samping omeprazol adalah sakit kepala, diare, mual, ruam, defisiensi vitamin B12dan konstipasi. Sedangkan efek samping lansoprazol adalah sakit kepala, mual, konstipasi, diare, proteinuria, hipotensi, dan peningkatan transaminase.15,16 Karena OPAL menekan produksi asam lambung, yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh non-imunologis, maka mudah terjadi infeksi dalam penggunaan jangka panjang.26
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
59
Agus Firmansyah
Strategi pemilihan obat penekan asam lambung (OPAL) Setelah mengkaji beberapa aspek tentang H2RA dan PPI maka strategi pemilihan opal untuk penyakit ARD pada anak tertera pada Gambar 3. Strategi tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: 1. Lebih mudah menggunakan ranitidin dari pada omeprazol pada anak yang tidak bisa menelan kapsul. 2. Banyak ahli yang memilih cara awal pengobatan dengan cara step up (ranitidin → omeprazole) dari pada step down, karena gastritis dan GERD ringan-sedang masih dapat diobati dengan ranitidin. 3. Dalam mengontrol keasaman lambung pada malam hari ternyata ranitidin lebih baik dibanding omeprazol. 4. Ranitidin lebih murah dibanding omeprazol.
Tersangka Gastritis/PRGE Berat
Ringan-Sedang
H2RA
Sembuh
PPI
Tidak sembuh
Sembuh
Rujuk Tidak sembuh
Gambar 3. Algoritma tata laksana ARD pada anak
Simpulan OPAL diperlukan untuk mengobati gastritis, ulkus peptikum, dan PRGE pada anak.Diantara H2RA yang sering digunakan adalah ranitidin, sedangkan PPI adalah omeprazol dan lanzoprazol.PPI lain (rabeprazol, pantoprazol dan esomeprazol) tidak dianjurkan penggunaannya pada anak karena faktor safety belum banyak diuji.Tidak direkomendasi pemakaian PPI pada bayi.Pada tatalaksana gastritis dan PRGE pada anak dipilih carastep up, sebagai terapi awal diberikan ranitidin, bila tidak merespons baru diberikan omeprazol/lansoprazol. 60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Daftar pustaka 1. Chelimsky G, Czinn S. Peptic ulcers disease in children. Ped Rev. 2001;22:349-55. 2. Cezard JP. Managing gastro-esophageal reflux disease in children. Digestion. 2004;69:3-8. 3. Tytgat GNJ. Review article: treatment of mild and severe cases of GERD. Aliment Pharmacol Ther. 2002;16:71-8. 4. Mezoff AG, Balisteri WF. Peptic ulcer disease in children. Pediatr Rev. 1995;16:25765. 5. Suwandhi E, Ton MN, Schwarz SM. Gastroesophageal reflux in infancy and childhood. Pediatr Annals. 2006;35:259-66. 6. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guirales E, Hyams JS, Staiano A, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders: Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37. 7. Kusano M, Shimoyama Y, Sugimoto S. Development and evaluation of FSSG: frequency scale for the symptoms of GERD. J Gastroenterol. 2004:39:888-91. 8. Vakil N. The initial diagnosis of GERD. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2013;27:365-71. 9. Capell MS. Clinical presentation, diagnosis and management of gastroesophageal reflux disease. Med Clin North Am. 2005;89:243-91. 10. Gold BD, Freston JW. Gastroesophageal reflux in children. Pathogenesis, prevalence, diagnosis and role of proton pump inhibitors in treatment. Pediatr Drugs. 2002;4:673-5. 11. Boyle JT. Gastroesophageal reflux disease in 2006. The imperfect diagnosis. Pediatr Radiol. 2006:36:192-5. 12. Braganza SF. Gastroesophageal reflux. Pediatr Rev. 2006;26:304-5. 13. Rajindrajith S, Devanarayana NM, De Silva HJ. Helicobacter pylori infection in children. Saudi J Gastroenterol. 2009;15:86-94. 14. Gold BD, Coletti RB, Abbott M. Helicobacter pylori infection in children: Recommendation for diagnosis and treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;31:490-7. 15. Barocelli E, Ballabeni V. Histamine in the control of gastric acid secretion: a topic review. Pharmacol Res. 2003;47:299-304. 16. Schubert ML, Peura DA. Control of gastric acid secretion in health and disease. Gastroenterology.2008;134:1842-60. 17. Patel AS, Pohl JF, Easley DJ. Proton pump inhibitor and pediatricsa. Pediatr Rev. 2003;24:12-5. 18. Zimmerman A, Walters JK, Katona B. Alternative methods of proton pump inhibitor administration. Consult Pharm. 1977;9:990-5. 19. Hassal E, Israel : D, Sheperd R. Omeprazol for treatment of chronic erosive esophagitis in children: a multicenter study of efficacy, safety, tolerability, and dose requirements. J Pediatr. 2000;137:800-7.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
61
Agus Firmansyah
20. Woods DJ, McClintock AD. Omeprazole administration (letter). Ann Pharmacother. 1993;27:651. 21. Indrio F, Riezzo G, Raimondi F. Regurgitation in healthy and non-healthy infants. Italian J Pediatr. 2009;35:9. 22. Karjoo M, Kane R. Omeprazol treatment of children with peptic esophagitis refractory to ranitidine therapy. Arch Pediatr Adolesc Med. 1995;149:267 23. Gunasekaran TS, Hassall EG. Efficacy and safety of omeprazole for severe gastroesophageal reflux in children. J Pediatr. 1993;123:148-54. 24. Strauss RS, Calenda KA, Dayal Y. Histological esophagitis: clinical and histological response to omeprazole in children. Dig Dis Sci. 1999;44:134-9. 25. Michael S. Gastroesophageal reflux. Pediatr Rev 2007;28:101 26. Varannes SB, Coron E, Galmiche JP. Short and long term PPI treatment for GERD, do we need more potent anti-secretory drugs? Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2010;24:905-21. 27. Diaz DM, Win ter HS, Colletti RB. Knowledge, attitudes and practice styles of North American pediatricians regarding gastroesophageal mreflux disease. JPediatr Gastroenterol Nutr. 2007;45:56-64. 28. Ferreira CT, Carvalho ED, Sdepanian VL. J Pediatr. 2014;90:105-18. 29. Blumer JL, Rothstein FC, Kaplan BS. Pharmacokinetic determination of ranitidine pharmacodynamics in pediatric uklcer disease., J Pediatr. 1985:107:301-6. 30. Mallet E, Mourterde O, Dubois F. Use of ranitidine in young infants with gastroesophageal reflux. Eur J Clin Pharmacol. 1989;36:541-2. 31. Socha J, Rondio H, Chaba-Chelinska D. Ranitidine treatment of peptic and related diseases in children. Dalam: Misiewicz JJ. Wormsley KG, penyunting. The clinical use of ranitidine. London: Medicine Publications Fondation; 1982. h.305-9. 32. Levy J. Gastroesophageal reflux and other causes of abdominal pain. Pediatr Annals. 2001;30:42-7. 33. Wilmont A, Murphy MS. Gastroesophageal reflux. Curr Pediatr. 2004:14:586-92. 34. Tighe MP, Afzal NA, Bevan A. Current pharmacological management of gastroesophageal reflux in children. An evidence-based systematic review. Pediatr Drugs. 2009;11:185-202. 35. Tytgat GNJ. Review article: treatment of mild and severe cases of GERD. Aliment Pharmacol Ther. 2002;16:73-8. 36. Gunasekaran TS, Hassall EG. Efficacy and safety of omeprazole for severe gastroesophageal reflux in children. J Pediatr. 1993;123:148-54.
62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik Zakiudin Munasir Tujuan:
1. Memahami prevalens alergi makanan 2. Memahami prevalens dermatitis atopik 3. Memahami hubungan alergi makanan sebagai pencetus dermatitis atopik Abstrak Alergi makanan adalah reaksi imunologis yang merugikan terhadap makanan. Makanan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda dari tipe I reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coomb. Alergi makanan merupakan salah satu isu penting pada anak karena makanandibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Prevalensi alergi makanan dalam dekade terakhir tampaknya meningkat. Ada heterogenitas ditandai prevalens alergi makanan karena perbedaan desain penelitian atau perbedaan antara populasi. Spektrum alergi makanan dalam dekade terakhir relatif tidak berubah, meskipun alergi makanan individu dapat bervariasi oleh budaya dan populasi. Susu sapi, telur, kedelai, gandum, kacang pohon, kacang, ikan dan kerang adalah alergen utama dalam masa anak . Yang paling sering merupakan manifestasi alergi makanan pada anak adalah dermatitis atopik. Deteksi dini alergi makanan sangat penting untuk mencegah diet yang tidak perlu dan mencegah manifestasi klinis alergi makanan.
Alergi makanan adalah reaksi klinis yang merugikan imunologis terhadap makanan. Makanan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda dari tipe I reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coomb.1 Alergi makanan merupakan salah satu isu penting pada anak-anak karena makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketika anak-anak memiliki alergi makanan, penyakit itu sendiri dan tidak perlu menghindari diet dapat mempengaruhi proses pertumbuhan mereka, dan hal itu dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka di masa depan. Prevalens alergi makanan dalam dekade terakhir tampaknya meningkat. Ada heterogenitas ditandai prevalens alergi makanan karena perbedaan desain penelitian atau perbedaan antara populasi. Spektrum alergi makanan dalam dekade terakhir relatif tidak berubah, meskipun alergi makanan individu dapat bervariasi sesuai budaya dan populasi. Susu sapi, telur, kedelai, gandum, kacang pohon, kacang, ikan dan kerang adalah alergen utama pada masa anak.2-4 63
Zakiudin Munasir
Prevalens alergi makanan Prevalensi alergi makanan bervariasi antar studi, terutama karena metodologi tentang bagaimana cara mendiagnosis alergi makanan. Studi yang menggunakan kuosioner memiliki prevalens lebih tinggi dbandingkan dengan penelitian alergi makanan yang menggunakan uji tusuk kulit (SPT) terhadap makanan tertentu, atau pemeriksaan kadar imunoglobulin E spesifik dan pemeriksaan eliminasi dan provokasi.2-4 Hasil meta-analisis terhadap prevalensi alergi makanan menunjukkan bahwa prevalensi alergi makanan yang dilaporkan sangat tinggi dibandingkan dengan secara objektif. Prevalens yang dilaporkan, alergi makanan secara kuosioner bervariasi dari 1,2% sampai 17%, untuk susu sapi, 0,2% sampai 7% untuk telur, 0% sampai 2% untuk kacang dan ikan, 0% sampai 10% untuk kerang, v dan 3% sampai 35% untuk makanan lain. Namun, prevalens yang dikonfirmasi, alergi makanan bervariasi hanya dari hampir 0% untuk ikan dan kerang, 0% sampai 3% untuk susu, 0% sampai 1,7% untuk telur, dan 1% menjadi 10,8% untuk makanan.2 Alergi makanan dapat mempengaruhi kulit (urtikaria, angioedema, dermatitis atopik), saluran pencernaan (mulut sindrom alergi, muntah, alergi eosinophilic esophagitis, diare, proctocolitis), dan saluran pernapasan (hidung tersumbat, rhinorrhea, bersin, gatal pada hidung dan tenggorokan, mengi). Anafilaksis adalah manifestasi parah alergi makanan dan itu semakin lazim, terutama untuk kacang alergi.1,4 Prevalens alergi makanan pada individu dengan dermatitis atopik moderat dan parah dilaporkan sekitar 30% sampai 40%, dan pasien ini memiliki alergi makanan yang diperani oleh IgE yang signifikan5 atau riwayat yang pasti dari reaksi langsung terhadap makanan.6 Indonesia tidak memiliki data tentang prevalensi nasional alergi makanan. Namun, dalam poliklinik Alergi-Imunologi Rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, kami menemukan bahwa dari 42 pasien dermatitis atopik pada tahun 2012, sebagian besar dari mereka sensitif terhadap putih telur (31%), susu sapi (23,8%), ayam (23,8%), kuning telur (21,4%), kacang-kacangan (21,4%), dan gandum (21,4%).7 Berbeda dengan yang ditemukan pada klinik kami pada tahun 2011, sebagian besar pasien dermatitis atopik sensitif terhadap jagung, diikuti oleh putih telur, tuna, ayam, susu sapi, dan kacang tanah.8 Sementara itu, kami juga menemukan 3% dari pasien diare kami adalah alergi susu sapi.9
Dermatitis atopik Dermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kronik kulit yang sering muncul pada masa awal anak.10 Penyakit ini sering dihubungkan dengan adanya riwayat penyakit alergi pernapasan pada keluarga maupun penderita DA itu sendiri, dan 64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan, karir serta interaksi sosial penderita.11 Hal yang menarik, penyakit DA dilaporkan mengalami peningkatan prevalensi akhir-akhir ini.12 Tata laksana DA berdasarkan mekanisme yang mendasari penyakit kulit itu sendiri.10
Alergen makanan sebagai pencetus dermatitis atopik Suatu penelitian kontrol menunjukkan bahwa alergen makanan dapat menginduksi ruam kulit pada anak yang menderita DA.13 Berdasarkan uji buta ganda (doubleblind), uji food challenge dengan plasebo, sekitar 40% bayi dan anak usia muda dengan DA ringan-berat memiliki alergi makanan. Alergi makanan pada pasien DA menginduksi dermatitis eksematosa dan berperan memperparah penyakit kulit pada beberapa pasien,14 sedangkan pada pasien yang lain menimbulkan reaksi urtikaria, urtikaria kontak, ataupun gejala kompleks kutaneus lainnya. Menghilangkan alergen makanan dari diet pasien dapat memperbaiki gejala secara klinis, tetapi dibutuhkan pemahaman yang benar karena sebagian besar alergen (telur, susu, gandum, kedelai dan kacang) terdapat pada banyak makanan dan hal ini sulit dihindari.15 Bayi dan anak usia muda yang menderita alergi makanan umumnya memiliki hasil tes kulit dan serum IgE-nya positif terhadap beberapa makanan. Uji food challenge yang hasilnya positif disertai dengan peningkatan kadar histamin plasma dan aktivasi eosinofil. Yang paling penting adalah sel T spesifik alergen makanan telah diklon dari lesi kulit pasien DA dan menunjukkan bahwa makanan dapat menyebabkan inflamasi pada kulit.16 Pada tikus percobaan yang menderita DA, sensitisasi makanan melalui mulut menyebabkan terjadinya lesi kulit ekszematosa saat dilakukan ulangan food challenge.17 Pada pasien yang hasil tes kulitnya positif terhadap alergen spesifik tidak selalu mengindikasikan adanya sensitivitas secara klinis. Oleh karena itu, klinis pada alergi makanan harus dibuktikan melalui food challenge atau melakukan eliminasi makanan secara hati-hati.10
Simpulan Dermatitis atopik merupakan salah satu manifestasi penyakit alergi yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Patogenesis penting adalah gangguan barier kulit. Alergen makanan dapat merupakan pencetus terjadinya atau kekambuhan dermatitis. Banyak penelitian membuktikan bahwa sensitisasi alergen makanan dapat terjadi melalui kulit yang mengalami gangguan barier.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
65
Zakiudin Munasir
Daftar pustaka 1. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin North Am. 2006;90:97–127. 2. Rona RJ, Keil T, Summers C, Gislason D, Zuidmeer L, Sodergren E, Sigurdardottir ST, Lindner T, Goldhahn K, Dahlstrom J, McBride D, Madsen C. The prevalence of food allergy: a meta-analysis. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:638–46. 3. Chafen JJ, Newberry SJ, Riedl MA, Bravata DM, Maglione M, Suttorp MJ, Sundaram V, Paige NM, Towfigh A, Hulley BJ, Shekelle PG. Diagnosing and managing common food allergies: a systematic review. JAMA. 2010;303:1848–56. 4. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy: review, classification and diagnosis. Allergol Int. 2009;58:457–66. 5. Eigenmann PA, Sicherer SH, Borkowski TA, Cohen BA, Sampson HA. Prevalence of IgE-mediated food allergy among children with atopic dermatitis. Pediatrics. 1998;101:E8. 6. Thompson MM, Tofte SJ, Simpson EL, Hanifin JM. Patterns of care and referral in children with atopic dermatitis and concern for food allergy. Dermatol Ther. 2006;19:91–6. 7. Munasir Z, Muktiarti D, Kurniati N. The skin prick test and specific IgE examination in patients with food allergy symptoms in Pediatric Allergy Immunology Clinic. Jakarta: Cipto Mangunkusumo Hospital; 2012. Unpublished. 8. Sidabutar S, Munasir Z, Pulungan AB, Hendarto A, Tumbelaka AR, Firman K. Sensitisasi alergen makanan dan hirupan pada anak dermatitis atopik setelah mencapai usia 2 tahun. Sari Pediatri. 2011;13:147–51. 9. Marzuki NS, Akib AA, Boediman I. Cow’s milk allergy in patients with diarrhea. Paediatr Indones. 2004;44:239–42. 10. Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam Pediatric allergy principles and practice 2003. h 561-73. 11. Finlay AY. Quality of life in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 2001; 45:S64-6. 12. Schultz-Larsen F, Hanifin JM. Epidemiology of atopic dermatitis. Immunol Allergy Clin North Am. 2002; 22:1-24. 13. Sampson HA. Food allergy part I. Immunopathogenesis and clinical disorders. J Allergy Clin Immunol. 1999;103: 717-28. 14. Guillet G, Guillet MH. Natural history of sensitizations in atopic dermatitis. A 3 years follow up in 250 children: food allergy and high risk of respiratory symptoms. Arch Dermatol. 1992; 128: 187-92. 15. Lever R, MacDonald C, Waugh P. Randomised controlled trial of advice on an egg exclusion diet in young children with atopic eczema and sensitivity to eggs. Pediatr Allergy Immunol. 1998;9: 13-9. 16. Van Reijsen FC, Felius A, Wauters EA. T cell reactivity for peanut-derived epitop in the skin of a young infant with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 1998;101:207-9. 17. Li XM, Kleiner G, Huang CK. Murine model of atopic dermatitis associated with food hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2001; 107: 693-702.
66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit Sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik Triana Agustin Tujuan:
1. Memahami faktor risiko dermatitis atopik 2. Memahami anatomi dan fisiologi epidermis 3. Memahami tata laksana dan pencegahan dermatitis atopik
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi pada kulit, kronik residif, yang sering mengenai 10-12% anak-anak.1 Patogenesis DA merupakan interaksi antara faktor genetik, yaitu gen yang terlibat pada fungsi sawar kulit dan respons imunologis dengan lingkungan.1-4 Disfungsi sawar kulit merupakan faktor utama pada DA. Kerusakan sawar kulit secara klinis memberikan gambaran berupa kulit kering baik pada lesi maupun non-lesi DA dan terdapat peningkatan trans epidermal water loss (TEWL).5,6 Kerusakan sawar kulit mempermudah penetrasi alergen, antigen, bahan kimia dan mikroba ke kulit yang mengakibatkan respons inflamasi.2-7 Bias dan Taieb, pada tahun 1990 pertama kali menduga kerusakan sawar kulit merupakan kondisi awal terjadinya DA. Terdapat dua kategori DA, yaitu non-atopic dermatitis dan true atopic dermatitis yang disertai dengan peningkatan IgE, berhubungan dengan terjadinya alergi makanan, asma dan rhinitis alergi. Pada 80% pasien dengan kategori non-atopik dapat terjadi sensitisasi terhadap alergen makanan, lingkungan maupun garukan yang menghasilkan autoantigen menginduksi menjadi true atopic dermatitis.1,7,8 Sisanya sebesar 20% akan menetap sebagai non-atopik tanpa terjadi peningkatan Ig E. Hal ini yang mendukung bukan mekanisme imunologis pada awal terjadinya DA tetapi disebabkan oleh kerusakan sawar kulit. Berdasarkan kerusakan sawar kulit pada DA terdapat 2 hipotesis. Hipotesis pertama defek primer yang terjadi merupakan defek imunologis dan kerusakan sawar kulit terjadi sekunder akibat respons inflamasi terhadap iritan dan alergen (inside-outside). Hipotesis kedua (outside-inside) defek primer adalah defek sawar kulit dan aspek imunologis merupakan epifenomena.1,7 Penelitian yang menginduksi terjadinya kerusakan sawar dengan pemberian surfaktan (sodium lauryl sulphate) menyebabkan penglepasan dan produksi sitokin proinflamasi. Hal ini menandakan adanya 67
Triana Agustin
kerusakan barier menyebabkan inflamasi dan kekambuhan dermatitis yang mendukung hipotesis bahwa kerusakan sawar kulit merupakan faktor penting pada perkembangan DA.1 Penurunan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi terhadap alergen dan dapat menyebabkan perkembangan terjadinya alergi makanan dan pernapasan. Sensitisasi epikutan lebih tinggi dibandingkan dengan sensitisasi sistemik dan saluran pernapasan.4,8
Sawar epidermis Sawar epidermis terletak pada lapisan terdalam SK. Struktur integritas SK dipertahankan oleh desmosom yang dikenal sebagai korneodesmosom. 9,10 Terdapat Keseimbangan enzim protease dan inhibitor protease yang dapat merusak korneodesmosom yang mengikat korneosit, sehingga korneosit dapat berpindah ke permukaan kulit pada proses diferensiasi epidermis untuk mempertahankan ketebalan kulit secara konstan. Perubahan protease dan protease inhibitor gene dapat ditemukan pada pasien DA, yang turut berperan pada kerusakan sawar kulit.3,10 Lipid permukaan kulit merupakan gabungan dari lipid kelenjar sebasea dan lipid epidermis. Komponen utama lipid dari kelenjar sebasea adalah asam lemak bebas, trigliserida, skualen, wax ester dan kolesterol. Lipid epidermis terbentuk pada proses kornifikasi. Lipid pada stratum korneum terdiri atas kolesterol, asam lemak bebas dan seramid, berasal dari badan lamelar yang akan mengekskresikan lipid ke dalam stratum korneum.6,10 Seramid terdiri atas 12 subkelas. Sintesis lipid dan diferensiasi epidermis bergantung pada enzim, pH dan kalsium gradien.2 Badan lamelar banyak mengandung phospholipid, sphingolipid, sterol, asam lemak dan beberapa enzim termasuk enzim hydrolase, misalnya b-glucocerebrosidase, acidic sphyngomyelinase, secretory phospholipase A2 dan neutral lipase.10 Sekresi lipid tersebut tersimpan dalam anyaman ruang interselular di stratum korneum. Susunan ini menyerupai batu bata dan semen (bricks and mortar), dengan korneosit sebagai batu bata (bricks) dan lipid interselular sebagai semen (mortar).7,10 Meskipun lipid ini hanya mewakili sekitar 10% dari berat kering stratum korneum, lokasi dan komposisinya sangat penting sebagai fungsi sawar kulit.11
Sawar kulit pada DA DA berhubungan dengan penurunan fungsi sawar kulit yang disebabkan karena defek gen fillagrin, penurunan kadar seramid, peningkatan enzim proteolitik endogen dan terdapat peningkatan TEWL.4
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Mutasi gen yang mengkode protein struktural stratum korneum filagrin merupakan faktor utama pada DA. Pasien dengan mutasi gen filaggrin sering mengalami DA onset dini, derajat berat, tingkat sensitisasi yang tinggi terhadap alergen dan terjadinya asma bronkiale.4,12 Filaggrin berperan pada integritas kulit, menjaga hidrasi dan retensi air stratum korneum.2,7,12 Penurunan kadar filaggrin dapat mengakibatkan hidrasi kulit memburuk dan kenaikan pH SK. Perubahan pH tersebut juga dapat mempengaruhi aktivitas berbagai enzim yang berperan pada sintesis seramid.2 Filaggrin berasal dari prekursor profilaggrin yang kaya akan histidine dan membentuk sampul keratin. Di dalam SK, filaggrin diubah menjadi asam amino bebas yang kemudian dikatabolisme menjadi sejumlah molekul higroskopik, yaitu urea, pyrrolidone carboxylic acid (PCA), urolaic acid, glutamic acid, alanine, asam laktat dan asam amino lain yang dikenal sebagai natural moisturizing factor (NMF).2,6,9,12 Natural moisturizing factor (NMF) merupakan komponen penting untuk mempertahankan air dalam korneosit, mempertahankan hidrasi, barrier homeostasis, deskuamasi dan meningkatkan integritas, plastisitas SK serta mencegah terjadinya celah antar sel korneosit.6,10. Penurunan jumlah seramid juga didapatkan pada pasien DA. Didapatkan penurunan kadar seramid subkelas 1-3.2 Hal ini disebabkan karena terdapat peningkatan aktivitas sphingomyelin deacylase dan penurunan produksi seramid di keratinosit karena terdapat gangguan maturasi dan sekresi granul lamelar.1,12 Beberapa faktor lingkungan berhubungan dengan DA termasuk sabun, detergen, mandi air panas, pajanan tungau debu rumah dan alergen makanan. Detergen digunakan secara luas sebagai pembersih dapat melarutkan lapisan lemak permukaan kulit yang dapat pula merusak lipid natural kulit.1,6 Penggunaan sabun dan detergen merupakan penyebab tersering dermatitis kontak iritan yang dapat memicu kekambuhan DA.1 Pemakaian sabun dan detergen menyebabkan peningkatan pH kulit yang dapat meningkatkan aktivitas enzim proteolitik endogen yang dapat memperburuk kerusakan sawar kulit. Kerusakan sawar epidermis juga dapat disebabkan oleh enzim protesae eksogen dari tungau debu rumah dan Staphylococcus aureus. Hal tersebut diperburuk lagi karena pada pasien DA terdapat kekurangan enzim protease inhibitor endogen.4,8,9 Perubahan sawar kulit tersebut meningkatkan masuknya alergen ke kulit dan kolonisasi mikroba.4,8
Tata laksana dan pencegahan Penghindaran faktor pencetus, memperbaiki sawar kulit, perawatan kulit optimal, mengatasi inflamasi dan edukasi merupakan manajemen utama DA.12 Terdapat beberapa panduan tata laksana DA. Panduan tata laksana DA menurut konsensus Asia Pasifik meliputi 5 pilar, yaitu edukasi pasien dan orang yang merawat pasien DA, pencegahan dan modifikasi faktor pencetus Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
69
Triana Agustin
yang berasal dari lingkungan/modifikasi gaya hidup, menghindari trauma pada kulit, meningkatkan dan menstabilkan fungsi sawar yang optimal, mengobati peradangan kulit, kontrol dan eliminasi siklus gatal-garuk.5 Pelembab merupakan bagian tata laksana penting pada DA. Penggunaan pelembab memperlihatkan perbaikan fungsi sawar kulit dengan terdapatnya penurunan TEWL dan peningkatan skin capacitance. Pada suatu penelitian pada neonatus yang mempunyai risiko tinggi terhadap DA pemberian pelembab yang dimulai minggu pertama setelah kelahiran mempunyai kemampuan mencegah terjadinya DA.2 Pemakaian pelembab yang terbaik segera setelah mandi karena setelah mandi kulit dalam keadaan bersih dan terhidrasi. Pelembab yang diberikan dapat menahan evaporasi kandungan air dalam kulit.2,8,13 Pelembab berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi oklusif, humektan, emolien dan terapeutik.14 Oklusif mempunyai kemampuan menurunkan TEWL dengan cara membentuk lapisan sawar hidrofobik pada permukaan kulit. Beberapa pelembab yang bersifat oklusif antara lain: petrolatum, minyak mineral, lanolin, derivat silikon (dimetikon, siklometikon). Petrolatum dapat masuk ke dalam lipid interselular stratum korneum sehingga membantu perbaikan sawar kulit.9 Humektan terdiri atas beberapa golongan senyawa hidroksi hidrofilik. Humektan mampu menyerap air dari dermis ke epidermis dan menarik air dari lingkungan bila kelembaban lebih dari 70% serta mempertahankan kadar air. Pada lingkungan dengan kelembaban rendah pemakaian humektan dapat meningkatkan TEWL karena terjadi absorbsi dan evaporasi air dari dermis ke lingkungan, karena hal tersebut humektan biasanya dikombinasi dengan oklusif. Beberapa kandungan pelembab yang bersifat humektan adalah gliserin, asam laktat, propilen glikol, butilen glikol, pantenol, PCA dan urea.9 Pemakaian pelembab yang mengandung urea, asam alfa hidroksi, asam hyaluronat atau seramid memperlihatkan perbaikan integritas stratum korneum.12 Krim urea dan asam laktat efektif untuk mengatasi xerosis cutis pada DA tetapi dapat menimbulkan rasa tersengat pada area inflamasi terutama pada pasien anak. Pada kondisi ini petrolatum lebih disenangi.5 Emolien mengisi celah di antara korneosit dan dapat memperbaiki tampilan kulit, menghaluskan, melembutkan, dan meningkatkan kekenyalan kulit. Kandungan pelembab yang bersifat sebagai emolien kolesterol, minyak mineral, lanolin, petrolatum, skualen, asam lemak dan minyak biji bunga matahari.9,14,15 Emolien juga dapat berupa emolien alkohol dan ester. Beberapa emolien alkohol adalah cetyl, stearyl, octyl, hexyl dodecanol dan oleyl alcohol. Emolien ester antara lanoleyl oleat, isopropyl myristate. Emolien tidak mempunyai kemampuan menurunkan TEWL, beberapa emolien dapat bersifat oklusif dan humektan.9 Pelembab terapeutik merupakan kombinasi berbagai pelembab baik oklusif untuk perbaikan sawar kulit, emolien untuk menghaluskan dan melembutkan kulit dan humektan yang mempertahankan kadar air stratum korneum.14
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Krim yang mengandung seramid dominan dapat digunakan.4 Pelembab lain adalah pelembab yang mengandung lipid fisiologis epidermis, yaitu pelembab yang mengandung seramid, kolesterol dan asam lemak bebas.Terdapat pula pelembab yang ditambahkan bahan aktif yang bersifat antiinflamasi yaitu bisabolol, shea butter, glycyrrhetinic acid, niasinamida, palmitoylethanolamide (PEA), vitis vinivera dan zinc gluconate. Penambahan antiinflamasi dalam pelembab dapat memperbaiki lesi DA dan mengurangi atau menggantikan penggunaan kortikosteroid topikal, sehingga akan menurunkan terjadinya efek samping akibat terapi kortikosteroid.4,9 Pemahaman patofisiologi DA termasuk defek filagrin dan seramid timbul konsep terapi barier dan diproduksinya pelembab baru yang target terapi memperbaiki kadar seramid dan NMF.12 Salah satu efek penting pemakaian pelembab dalam memperbaiki sawar kulit dengan menurunkan rasa gatal dan garukan, karena garukan dapat melepaskan sitokin proinflamasi yang menginduksi gatal, sehingga dapat memutuskan siklus gatal-garuk. Pelembab juga meningkatkan hidrasi dan elastisitas stratum korneum yang mencegah suseptibilitas kulit terhadap kerusakan sawar. Hindari pelembab yang mengandung pewangi dan pengawet karena bersifat iritatif yang akan memperburuk DA.2 Beberapa studi memperlihatkan bahwa terapi pelembab dapat menurunkan derajat keparahan dan kekambuhan DA, serta menurunkan pemakaian topikal kortikosteroid dan penghambat kalsineurin. Hidrasi kulit juga dapat meningkatkan penetrasi obat topikal yang digunakan saat fase akut.12 Mandi 1-2 kali sehari dapat memberikan efek mendinginkan saat fase akut, mengurangi kolonisasi bakteri, meningkatkan absorbsi obat topikal yang diaplikasikan setelah mandi.5,8,13 Mandi air hangat paling lama 5-10 menit dapat merehidrasi stratum korneum. Mandi terlalu lama dapat menyebabkan hilangnya lipid endogen kulit.5,8 Sabun dan produk pembersih sebaiknya diganti dengan produk pembersih yang bersifat non-iritan atau sabun dengan pelembab.1,5,6 Saat ini banyak produk pembersih yg mengandung emolien dan penggunaan produk ini diikuti dengan penggunaan pelembab untuk memperbaiki sawar kulit.1 Penggunaan bubble bath sebaiknya dihindari dan merupakan kontraindikasi pada DA berat.8 Pasien sering kali tidak dianjurkan untuk memakai pelembab dengan jumlah, frekuensi dan cara aplikasi yang tidak tepat. Pemakaian pelembab sebaiknya dalam waktu 2-3 menit setelah mandi sebelum terjadi evaporasi.5,8,13 Jumlah pemakaian pelembab yang adekuat 100-200 gram/minggu pada anak dan 200-300 gram/minggu pada dewasa.5,8 Pelembab digunakan 2 kali atau lebih sehari setelah mandi. Hindari pemakaian pelembab setelah pemakaian terapi topikal karena menyebabkan dilusi obat topikal.5 Tersedia beberapa bentuk sediaan pelembab yang dapat digunakan untuk DA. Pelembab tersedia dalam bentuk lotion, krim atau salap.4 Biasanya penggunaan pelembab dalam bentuk salap yang cukup tebal dan lengket Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
71
Triana Agustin
lebih efektif. Lotion banyak mengandung air dapat meningkatkan evaporasi sehingga apabila dibandingkan dengan krim dan salap kurang efektif dalam mengatasi xerosis cutis.8 Pemakaian pelembab dapat mengurangi gejala penyakit, memperbaiki sawar kulit dan mengurangi penggunaan kortikosteroid. Beberapa pelembab dapat menyebabkan iritasi karena mengandung pengawet, pewangi dan pelarut. Pelembab yang bersifat oklusif biasanya tidak nyaman, dapat menyebabkan miliaria dan folikulitis. Pada kondisi demikian perlu dipikirkan penggunaan pelembab yang kurang bersifat oklusif. 4 Pemakaian pelembab yang tidak nyaman dapat mengurangi kepatuhan pasien.8
Penghindaran faktor pencetus Sebagian besar pasien mengeluh gatal saat udara panas dan berkeringat karena terjadi vasodilatasi yang meningkat terutama pada lesi kulit inflamasi. Anak dengan DA biasanya aktif dalam olahraga misalnya renang. Air kolam renang mengandung klorin, maka sebaiknya kulit dilindungi dengan penggunaan emolien dengan jumlah tebal setelah tabir surya yang dapat melindungi kulit berkontak dengan klorin, sehingga mengurangi risiko iritasi. Segera mandi setelahnya dan menggunakan pelembab setelah mandi. Pendingin udara saat udara panas dapat mengurangi pruritus. Anak sebaiknya berdiam terlebih dahulu di ruangan dengan pendingin udara setelah aplikasi tebal emolien. Apabila berkeringat tidak dapat dihindari gunakan pelembab yang kurang oklusif. Pruritus dan miliaria dapat timbul setelah pemakaian emolien tebal pada kondisi udara panas. Kelembaban rendah juga meningkatkan terjadinya xerosis cutis dan menginduksi DA.4,8 Saliva merupakan iritan menyebabkan lesi dermatitis atopik pada wajah. Melindungi area wajah sebelum makan dapat mencegah terjadinya dermatitis. Pada anak yang lebih besar sering terjadi lip-licker dermatitis karena saliva.8 Perhatian terhadap bahan pakaian juga penting, hindari penggunaan pakaian berbahan kasar dan wool. Saat ini didisain bahan pakaian yang dapat menurunkan kolonisasi bakteri dan mencegah sensitisasi tungau debu rumah. Anak dengan DA harus menghindari penggunaan sabun, detergen, pelembut bahan, pewangi, pengawet dan bubble baths. Asap rokok harus dihindari karena dapat meningkatkan pruritus dan iritasi, serta meningkatkan terjadinya asma.8
Penutup Salah satu dasar patogenesis DA berhubungan dengan penurunan fungsi sawar kulit yang disebabkan karena defek gen fillagrin, penurunan kadar seramid, peningkatan enzim proteolitik endogen dan terdapat peningkatan TEWL. Sehingga perbaikan sawar kulit, perawatan kulit optimal dan penghindaran faktor pencetus berperan penting dalam tata laksana DA. 72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Daftar pustaka 1. Cork MJ, Danby SG, Vasilopoulos Y, Hadgraft J, Lane ME, Moustafa M, dkk. Epidermal barrier disfunction in atopic dermatitis. J Invest Derm. 2009;129:1892908. 2. Kezic S, Novak N, Jakasa I, Jungersted JM, Simon M, Brandner JM, MiddelkampHup MA, dkk. Skin barrier in atopic dermatitis. Frontiers in Bioscience 2014;19:542-56. 3. Cork MJ, Danby S, Vasilopoulos Y. Epidermal barrier dysfunction in atopic dermatitis. Dalam: Reitamo S Luger TA and Steinhoff MS, penyunting. Textbook of atopic dermatitis. Kota: Penerbit; 2008. h. 35-57 4. Leung DYM, Eichenfield LF. Boguniewicz atopic dermatitis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SJ, Paller AS, Leffell DJ, Wolf FF, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: The McGraw-Hill Company.inc; 2012. h. 165-82 5. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, Weng SCK, Gabriel TM, Villafuerte LL, dkk. Consensus guidelines for management of atopic dermatitis: An Asia-Pacific perspective. Journal of Dermatology. 2013;40:160-71. 6. Moncrief G, Cork M, Lawton S, Kokiet S, Daly C, Clark C. Use of emolient in dry-skin conditions: Consesus statement.Clin Exp. 2013;38:231-8. 7. Bieber T. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2008;358:1483-94. 8. Paller AS, Mancini AJ. Eczematous eruptions in childhood. Hurwitz clinical pediatric dermatology. Edisi ke-4. Edinburg: Elsevier Saunders; 2011. h.37-70. 9. Sirikudta W, Kulthanan K, Varothai S, Nuchkull P. Moisturizer for patients with atopic dermatitis. An overview. J Allergy Ther. 2013;4:1-6. 10. Darlenski R, Kazandjieva J, Tsankov N. Skin barrier function: Morphological basis and regulatory mechanisms. J Clin Med. 2011;4:36-45. 11. Chang MW, Orlow SJ. Neonatal, pediatric, and adolescent dermatology. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2012. h.935-54. 12. Hon KL, Leung AKC, Baeankin B. Barrier repair therapy in atopic dermatitis: An over view. Am J Clin Dermatol. 2013;14;389-99. 13. Krafchik BR, Jacob S, Bieber T, Dinoulos JGH, Simpson E. Eczematous dermatitis. Dalam: Schachner LA, Hansen RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi ke-4. China: Mosby Elsevier; 2003. h. 851-5. 14. Draelos ZD. Modern moisturizer myths, misconceptions, and truth. Cutis. 2013;91:308-14. 15. Kraft JN, Lynde CW. Moisturizer: What they are and a practical approach to product selection. Skin Therapy Lett. 2005;10;1-8.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
73
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak Nafrialdi Tujuan:
1. Memahami tujuan pembuatan puyer 2. Memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan puyer
Pasien anak merupakan kelompok yang unik karena mencakup individu mulai dari neonates sampai usia menjelang dewasa. Oleh karena itu dosis pada pasien anak sangat bervariasi tergantung dari usia atau berat badan. Sebagaimana diketahui, obat yang lazim tersedia untuk anak berbentuk sirop dengan takaran sendok. Sebagian anak membutuhkan dosis yang sulit disesuaikan dengan takaran tersebut. Adakalanya pasien anak membutuhkan obt yang hanya tersedia dalam bentuk tablet. Dalam keadaan ini, obat puyer merupakan jalan keluar yang praktis. Di sisi lain, arus globalisasi yang semakin deras beberapa tahun belakangan ini menuntut adanya standardisasi internasional dalam berbagai bidang, termasuk dalam penyediaan obat. Tuntutan ini diperkuat lagi dengan mengemukanya issue patient safety. Berbagai hal yang tidak sesuai dengan standar internasional dituntut agar ditinggalkan. Pembuatan obat puyer adalah salah satu contoh praktek medik yang tidak sesuai dengan standar good manufacturing practice (GMP). Namun, seperti yang disebutkan di atas, variasi dosis pada anak menyebabkan puyer masih merupakan cara yang tidak mungkin ditinggalkan secara total.
Kebutuhan akan obat puyer Penggunaan obat puyer sudah memiliki sejarah yang panjang. Sejak lama berbagai negara di seluruh dunia menggunakan obat puyer. Bahkan pengetahuan dan keterampilan pembuatan obat pyer diajarkan di fakultas kedokteran, fakultas farmasi, dan sekolah asisten apoteker. Oleh karenanya, apoteker, asisten apoteker, dan dokter merupakan orang yang secara resmi diberi wewenang 74
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak
membuat obat puyer.Namun dengan perkembangan zaman, pemakaian obat puyer semakin berkurang, dan bahkan di negara-negara maju sudah ditinggalkan sama sekali.1,2Di negara kitapun para pakar farmasi, farmakologi dan banyak dokter menganjurkan agar pemakaian obat puyer ditinggalkan. Pada tahun 2008, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyelenggarakan suatu symposium dengan tema: Quo Vadis obat puyer. Pertemuan ilmiah ini diharapkan menandai berakhirnya kontroversi obat puyer. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu ikut menyumbang pendapat dalam acara tersebut yang pada intisarinya menyimpulkan bahwa praktek penggunaan obat puyer sudah saatnya diakhiri. Salah satu alasan yang paling mengemuka adalah bahwa kontrol kualitas obat puyer sangat sulit dilakukan karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu, penggunaan obat puyer dianggap memberi andil besar bagi praktek polifarmasi dan pemakaian obat yang tidak rasional.1-3 Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang pemakaian obat puyer di negara berkembang masih cukup luas. Bahkan banyak dokter (terutama dokter anak) masih sulit melepaskan diri dari pemakaian obat puyer. Berbagai obat kardiovaskuler seperti kaptopril, furosemid, digoksin, dan berbagai obat lainnya umumnya tersedia dalam bentuk tablet. Untuk pasien anak dengan kelainan kardiovaskuler, puyer merupakan jalan keluar yang fleksibel dan dapat dipercaya akan memberi dosis yang lebih tepat bila dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk pecahan seperti 1/3 tablet, 2/3 tablet, 3/5 tablet, dan lain-lain. Walaupun banyak kontroversi, sebenarnya belumada larangan resmi penggunaan obat puyer oleh pemerintah atau kementrian kesehatan. Bahkan di hampir semua fakultas kedokteran di Indonesia, keterampilan meresepkan dan membuat puyer masih tetap diajarkan pada mahasiswa. Dengan beberapa alasan diatas dapat dipahami, bahwa obat puyer masih harus diberi tempat dalam pelayanan kesehatan, terutama untuk pasien anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan Menghadapi dua kontroversi ini, di satu sisi adanya tuntutan standar GMP yang tinggi dalam penyediaan obat, dan di sisi lain adanya kebutuhan akan obat puyer yang jauh dari standar GMP tersebut, maka yang harus dilakukan adalah mengupayakan agar puyer memiliki kualitas yang baik dan aman untuk digunakan. Dalam kesempatan ini akan disampaikan bebarapa hal yang perlu diperhatikan dalam peresepan obat, terutama puyer. 1. Pada prinsipnya, pemakaian obat puyer perludiminimalkan. Puyer hanya digunakan bila tidak ada sediaan obat jadi yang bisa mengakomodasi kebutuhan dosis yang unik untuk anak. Contohnya adalah seperti contoh Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
75
Nafrialdi
furosemide, kaptopril, amlodipine, dan lain-lain yang hanya tersedia dalam bentuk tablet. Sedangkan untuk obat yang tersedia dalam bentuk sirop ketepatan dosis dapat diperoleh dengan menggunakan pipet takar. 2. Gunakan jumlah bahan aktif sesedikit mungkin. Kemudahan pencampuran beberapa obat dalam puyer sangat memfasilitasi tindakan polifarmasi. Tidak jarang ditemukan puyer yang terdiri dari lebih dari lima, bahkan ada yang lebih dari sepuluh bahan aktif sekaligus, suatu hal yang sulit terrealisasi bila menggunakan obat jadi karena akan sulit membrikan pada anak. Dalam hal ini, perlu dihimbau agar para dokter memperhatikan sisi rasionalitas pemberian obat. Hanya obat dengan indikasi yang kuat saja yang boleh dimasukkan dalam puyer. 3. Jangan menyimpan sisa puyer. Puyer bersifat tidak stabil dan tidak terlindungi dari kelembaban udara. Oleh karena itu tidak ditujukan untuk pemakaian jangka panjang. Bila sakit sudah sebuh, maka sisa puyer harus dibuang. 4. Perhatikan potensi interaksi masing-masing komponen. Beberapa obat yang dicampur berpotensi menimbulkan interaksi sebelum masuk ke dalam tubuh, yang dikenal sebagai interaksi farmaseutikal.4,5Semakin banyak obat yang digabungkan, maka semakin sulit meramalkan interaksi yang akan terjadi. Obat-obat yang bersifat higroskopis atau berbentuk protein seperti enzim umumnya mudah bereaksi, sehingga tidak boleh digunakan dalam puyer. Demikian juga obat bersifat ion seperti antasida, mudah berikatan dengan obat lain dan menghambat kerja obat. Selain itu, bahan yang dikenal mudah bereaksi seperti antasida dengan kuinolon, tetrasiklindengan zat besi, dll, juga seharusnya tidak diberikan dalam bentuk puyer.Penambahan obat lain dalam sediaan obat cair merupakan tindakan berrisiko untuk terjadinya reaksi inkompatibiltas antar bahan. Oleh karena itu seyogyanya harus dihindari.4 Pihak yang setuju dengan pemakaian puyer sering mengemukakan dalih bahwa reaksi kimia biasanya terjadi dalam larutan, sedangkan dalam bentuk kering reaksi kimia umumnya tidak terjadi atau terjadi secara sangat terbatas. 5. Obat formulasi khusus. Sebagian obat dibuat dalam formulasi khusus seperti sediaan lepas lambat, salut selaput atau enteric coated, dan lain-lain. Sediaan lepas lambat bila 76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak
digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya dan akan diabsorpsi dengan cepat. Hal ini dapat meningkatkan risiko toksisitas. Sediaan enteric coated digunakan untuk obat yang mudah dirusak oleh asam lambung. Bila digerus, maka obat ini akan langsung berhadapan dengan asam lambung dan akan mengalami pengrusakan. Asam klavulanat merupakan obat yang sangat tidak stabil, dan akan kehilangan aktivitasnya bila terpajan pada udara luar. Oleh karena itu tidak boleh dimasukkan dalam puyer. 6. Jangan mencampur antibiotik dangan obat simtomatik. Antibiotik umumnya diperlukan untuk pemakaian samapai beberapa hari tertentu, sedangkan obat simtomatik hanya digunakan untuk memgurangi gejala dan boleh dihentikan bila gejala penyakit sudah reda. Perbedaan interval pemberian juga merupakan alasan agar tidak menggabungkannya. 7. Masalah higienisitas / sterilitas. Pembuatan obat yang menjamin sterilitas mutlak diperlukan untuk obat injeksi, sedangkan untuk obat oral, syarat sterilitas tidak mutlak. Namun perlu diupayakan agar pembuatan puyer dilakukan dengan cara yang higienis agar kontaminasi kuman dapat diminimalisir. Dalam kaitannya dengan pembuatan puyer, alat-alatnya harus dibersihkan secara saksama, sebaiknya dilanjutkan dengan pembersihan menggunakan alkohol sebelum proses peracikan dilakukan.Untuk mengatasi masalah ini, pembuatan puyer dengan mesin akan lebih aman dan lebih higienis. Atau setidaknya, segala cara untuk meningkatkan higienisitas perlu diupayakan.
Kesimpulan yy
yy yy yy
Puyer merupakan bentuk obat yang penggunaannya sebaiknya dikurangi atau dihindarkan karena jauh dari standar cara pembuatan obat yang baik. Namun dari sisi lain, puyer memberi solusi praktis dalam pengaturan dosis untuk anak. Usahakan penggunaan jumlah obat sesedikit mungkin. Prinsip penggunaan obat yang rasional dengan memperhatikan indikasi, kontraindikasi, potensi interaksi perlu diterapkan. Pihak penyedia obat (apotek) perlu memperhatikan aspek kebersihan/ sterilitas alat, kecermatan prosedur, dan ketelitian.
Daftar pustaka 1. https://keperawatankita.wordpress.com/2009/05/06/puyer-bermampaatkah-andabisa-menentukan/(diunduh 16 April 2015) Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
77
Nafrialdi
2. Rianto Setiabudy. Obat racikan puyer dan permasalahannya. https://groups.yahoo. com/neo/groups/Bayi-Kita/conversations/topics/25840 (diunduh 16 April 2015) 3. Pemberian Resep Puyer Adalah Bentuk Pengobatan Tak Rasional. HealthnewsWed, 14 May 2008. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail. aspx?x=healthnews&y=cybermed|0|0|5|4503(diunduh 18 April 2015) 4. Arini Setyawati. Interaksi obat. Dalam. Gan S, Setiabudy R, Nafrialdi, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2013. h. 862-75 5. BuxtonIain L. O. Pharmacokinetics and pharmacodynamics: the dynamics of drug absorption, distribution, action, and elimination. Dalam: Goodman and Gilman’s. Pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-11. New York: McGraw-Hill; 2011.
78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII