SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
PENGELOLAAI{ LINGKUNGAI{ BERBASTS BUDAYA
Klliah Umum Program Pascaserjana Fakultes Geografi Univerritfls Gadjah Made Yogyakarta, 23 November 2009
SESACAI cikal-bakal kota Yogyakarta, pembangunan Kraton yang berdasarkan konsep filosofis "Ham4mayu Haltaning Bawdn6. tenyat^ memiliki visi revolusioner dan futuristik yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), jauh sebelum lahirnya Deklarasi Rio ,tahun 1992. Deklarasi Rio kini menjadi dasar strategi pembangunan berkelanjutan dengan mensyaratkan disusunnya Agenda 21, yang berisi langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh semua orang agar ikut menjaga penbangunan berkelanjutan.
Implementasi Agenda 21 untuk DiY terhlarrg dalam dokumen resrni: *Menuju Yogya Propinsi Ramah Lingkungan Hidup"- di mana kebijakan pembangunan berkelanjutan yang ditempuh adalah: (1) Perubahan dari "Atur-dan-Awasi" "Atur-Diri-Sendiri,,, (2) Pendekatan eco-sistem, (3) Perubahan paradigma pembangunan dari wawasan ekonomi ke wawasan buday4 dan (4) Pengembangan praktik
ke
eco-efisiensi. Pemaknarn Konsep & Implementasi Kata "hayu" berasal dari "rahayu", yang berarti selamat. pemaknean kata "selamat" berarti tidak terleps dari prinsip keselarasan masyarekat Jawa. Dalam wacana masa kini, konsep tersebut secara universal diartikan sebagai nilai-nilai yang menjamin keselamatan alam semesta yang lestari dan berkelanjutan dalam satu kesatuan ekosistem yang bertumpu pada keputusan generasi sekarang, yang juga ditujukan untuk kemanfaatan generasi yang kemudian. Konsep "rahayu" hanya bisa dimaknai, manakala kita melihat alam sebagai eksploitasi. Alam harus dipandang sebagai subyek, berdampingan ia sebagai subyek lainnya. Alam adalah tetengga kita, perilaku yang tetangga, akhirnya akan berdampak balik yang merugikan kita 1
KRATON YOCYAKARTA - NDONESIA
'tELt. 0274 37 4500 8. 3749a2 FAX:A274-3n54A
I
+srsebut dilakukan untuk mewujudkan visi " Hamamayu Hayuning Bawdnd' dengan misi berke"arifan lokal yang berwawasan global, yang sejak awal sudah * tersindang dalam nama Ham\ngku Bttwdnd" yang memuat trga makna' * 1'ang dengan Hamen{ku", berarti mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan *Hamangku", berarti .uiu -"i"U"iOayakan SDM dan menjunjung tinggi HAM. adil, memelihara, memberi dorongan, menj iwai dan mengayomr, yang dalam konteks masa kini berarti memberlakukan azas keadilan, mengayomi dan penegakan hukum (low enforcement). "HamAngkonf', berarti framework LetelaCanan kepemimpinan yang memiliki akuntabilir.as publik'
Alam menjanjikan dua hal pokok, yaitu nilai ekonomi surnberdaya dan r.ilai kelangsungan hidup manusia. Semer'tara itu, secara fisik manusia hidup untuk dua hal priia, yuitu t.purti* hidup rr,asa kini, serta kepastian hidup di masa yang akan datang, yakni kelangsungan hidup dan kemakmuran bagi keturunannya. Oleh sebab Itu, s-tiap kegiatan harus dilakukan dengan aman, dalam arti sumberdaya yang dikelola iidukboleh dirusakkan, dimana generasi mendatang juga harus memiliki kesempatan memperoleh manfaatnya pula-
Ibarat sebuah pohon yang berdiri tegak, akar mernikul batang, batang daun dan buah. Secara fisik pada setiap tahap akan te{adi transformasi menunjang -bentuk bar,i. Transformasi fisik itu harus Citujukan untuk menumbuhkan daiam pohon yang rimbun, teduh dengan buah yang lebat. Tercerabutnya akar sebatang pot o" ata" berdampak pada robohnya pohon, sehingga pohon tidak lagi dapat disebut sebagai pohon, melainkan hanya seonggok ka1u.
Dalam upaya melestarikan konsep filosofis itu, seluruh warga masyarakat memiliki komitmen bahwa Yogyakarta harus mampu mernakmurkan, memaj ukan dan memberi rasa keadilan bagi rakyatnya dari generasi ke generasi berikuhy6. Komitmen itu harus dikembangkan dari niiai-nilai kearifan lokal yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai keselarasan kehidupan jiwa dan Lermasyarakat hanya akan menciptakan Yogyakarta tumbuh tanpa identitas. Yang pada akhimya, kita tidak akan memetik hasil pembangunan yang berkelanj utanl.
Di lingkungan Kraton Yogyakarta banyak kita temui beragam simbol-simbol kehidupan yang ditunjukkan melalui penataan ruang, disain fisik, pewamaan, tata tanaman, uki.un dan ornamen-ornamen lainnya, termasuk hal-hal yang menyangkut tradisi, etika dan ritual yang mendukungnya.
' "Rerstru Pengelolaan Lingkuugan Hidup Prcpinsi DlY',20C2 2
Perpaduannva menggambarkan keselarasan horisontal yang filengafur hubungan antarmanusia, dan keselarasan vertikal antara insan dengan Tuhan Seru Sekalian Alam. Agenda 2l juga telah tersirat dalam berbagai simbol dan disain fisik Kraton. Seharusnya simbol-simbol itu digali, dikaji darr diuj i, untuk kemudian direvitalisasi dan dikembangkan sebagai acuan membangun masa depan yang lestari dan berkelaljutan. Terbukti memang, pada dasamya masyarakat Jawa dan masyarakat tradisional umumnya terlahA sebagai pelestari yang ulung'.
Keunikan Indonesia Menurut Bintarto (1972), lingkungan hidup manusia terdiri atas lingkungan fisikal (sungai, udara, air, rumah, dan sebagainya) lingkungan biologis (organisme hidup, antara lain hewan, turnbuh-tumbuhan, dan manusia), dan lingkungan sosial (sikap kemasyarakatan, sikap kerohanian, dan sebagainya). Dengan kata lain manusia adalah bagian dari lingkungannya itu sendiri, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Bahkan antara manusia dengan lingkungannya terjalil hubungan timbal-balik dan saling mempengaruhi. Dalam interaksi yang ter.;adi secara terus-menerus tersebut manusia mendapatkan pengalaman tentang lingkungan-nya.
Pusaka Indonesia terserak dari Sabang sampai Merauke, dari Lautan Cina hingga Samudra lndonesia. Hadir dalam keanekaraga-rnan, yang kasatmata (tangible) maupun tidak ter-raba (intangible), yang terbentuk oleh alam atau olah
budi manusia, serta interaksi antarkeduanya dari waktu ke waktu. Ketika membicarakan pusaka budaya, tidak dapat dilepaskan dari aspek pusaka alam, begitu juga sebaliknya. Pusaka Indonesia mengandung keduanya. Manifestasi ke satuan ini merupakan pusaka saujana budaya (cultural lanriscape heritage). Sedangkan masing-masing ragam yang membentuk keanekaragaman itu memiliki keunikan tersendiri, apakah yang tumbuh di lingk:ungan budaya tertentu, ataukah hasil oercampuran antarbudaya, baik di waktu lampau, saat ini dan nanti. Diyakini, Indonesia merupakan mosaik pusaka saujana budaya terbesar di dunia. Fenomena keanekaragaman dan keunikan pusaka yang dimiliki Intionesia ini menjadi perhatian terus-menerus para pelaku pelestarian yang memicu banyak pertanyaan serta pemikiran kritis. Disadari pelestarian pusaka merupakan persoalan lintas ilmu, lintas sektor, dan lintas daerah. Sementara, kenyataal yang ada sangat memprihatinkan. Persoalannya, upaya-upaya pelestarian masih merupakan arogansi sekloral dan arogansi keilmuan.
2
Laretna T. Adish :;kli,"Tahun 2255: Bermrkth Pusaka Jogja dalam Bahaya?", Seminar Sehari: 'Refelrsi Kritis Akhir Tahun Pengelolaan Linghngan Hid,tp di Yognkarta", Dewan Kebudayaan DfY Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Yogyakarl4 11 Desember 2004. -t
&
Green Politics Berbasis Desa Namun di balik itu semua, yang paling memprihatinkan adalah justru pusaka saujana budaya dan pelestariannya tidak terpedulikan. Kendaan ini memaksa para aktivis lingkungan mengkaji lagi efektivitas rezim lingkungan pada level internasiorral. Banyak yang mehhat paradigma penyeiesaian masalah lingkungan selama ini sangat antroposentris, dan melihat adanya dualisme antara lingkungan dan manusia. Green poiitics dengan dua konsep utamanya -L,eberlanjutan ekclogis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan- menjadi jalan altematif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunar berkelanjutan dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia.
Green politics menawarkan konsep desentralisas, sebagai strategi implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan ltngkwgan. Green
politics meyakini implementasi kontrol level global dapat lebih efeltif dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil, yakni skaia komunitas lokal yang langsung memiliki interdepcndensi terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka. Desenhalisasi berimbas pada tumbuhnya komunitas lingkungan yang dapat menciptakan praksis ketrerlanjutan linghrngan ketimbang rezirr internasional antarnegara yang dipenuhi dengan permai nan power politics . Dengan konsep ini, pengelolaan lingkungan menitikberatkan pada dimensi berbasiskan teknologi tinggi. Konsep green politics dalam tataran kebi-iakan pemerintah Indonesia terwujud dalam konsep desentralisasi lingkungan hidup. Salah satu konsep yang diadopsi dari ide green politics adalah mengembangkan konsep demokrasi ekoiogi desa. UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah memungkinkan masyarakat desa untuk kembali memiliki hak-hak dasar yang meliputi hak partisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal unik agar terwujud pembangunan yang berkelanjutan.
etis kearifan lokal daripada penyelesaian masalah lingkungan
Desentralisasi institusi lingkungan hidup tidak semata-mata kebijakan yang membebankan penyelesaian lingkungan hidup pada tataran unit terkecil desa. Desentralisasi lebih diarahkan untuk menggapai penyelesaian masalah lingkungan yang plural sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah tanpa harus tersentralisasi dalam perdebatan-perdebatan penuh dengan hasrat kepentingan sebagaimana yang te{adi pada level global3.
3
Kemal Stamboel,"Green Locel Govemance: Mewujudkan Tata Kelola Lingkungan Hidup yang Terdesentralisasf',114alry1clqd$antgellAlq 6 Februan 2009.
4
desa dalam Dengan adanya otonomi daerah dan semakin berwenangnya pelestarian"ekologis, menjadi modal bagi Indonesia untuk mengimplementasikan rrrenyelesaikan iescntralisasi tadkelola lingkungan hidup sebagai upaya alternatil pengelolaan lingkungan. Dalam konteks ini perilaku budaya sawah di Puiau Jawa dan Bali rnisalnya, ..*pd un kearifan lingkungan untuk memanfaatkan hujan sekaligus melindungi yang tanah belerang dari ancaman erosi karena curahan hujan. Teras sawah di Jibentuk menrirut garis kontur di Jawa Tengah./DIY clisebut "nyabuk gunung". Jawa Barat disebut "ngars gunwtgl', dan di Bali disebut "sengkedan", temyata pengetat uan yang telah"lamu Oiptuttitt an ini selaras dengan cara bertani mutakhir yaltu Contour Planting (Zakaria, 1994).
Banyak sekali tersebar hukum adat dalam menjaga lingkungan di Tatar Suku Sunda. Masyarakat Adat Dayak dan Penan serta Suku Bentian di Kalimantan, Barat' pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Suku Dani dan Deponsoro di Papua suku Krui di Lampung dan Suku Kei maupun Haruku di Maluku, mereka memiliki ,irt p.rrg.lolaan sulmberdaya alam luar brasa yang menunjukkan tingginya iLnu
-
pengetahuan mereka.
suku Dayak memiliki keyakinan bahwa: "Tanah adalah Hidup dan Nafas di Papua Barat Masyarakat Adat meyakini bahwa ''Tanah Kita, Hidup Kami,,'pr. Karel Phit zrari, 1999). Jelas di sini bahwa bagi mereka, tanah' ;;1d lingkungan alam adalah sumber kehidupan dan sangat bermakna dalam segala urp'J tlUaupun. Sebagian dari mereka mengibaratkan bumi sebagai Ibu mereka' Merusak alam sama dengan mengotori bumi dan menyakiti Sang lbu' Kondisi j,arrg sama bisa terjadi di belahan tempat lainnya di Indonesia. Jika kita mau mencoba memahami praktik-praktik ini lebih jauh, yang kelak pada ;iii.^*yr akan memberi sumbangan berarti bagi pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam negeri ini. Pelestarian: Kesinambungan dan Perubahan Beberapaprinsippentingdalamprosespelestariansecaraumumyangdapat dijadikan titil tolak pinye-pumaan konsep, kebijakan, dan strategi dalam upaya memajukan kebudayaan nasional Indonesia adalal: 1
.
2.
L
masyarakat sebagai pusat pengelola an Qteople-centered management), pentingnya kedasama antardisiplin ilmu maupun seklor, iercipt-a mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi
masyarakat.
5
4. dukungan dan penegakan aspek legal, dan 5. perlu diwujudkannya titik temu pelestarian yang memihki nilai tambah ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitaq agar bisa menjamin kesirtambungan pengeloiaannya.
Setiap proses pelestarian selalu membutuhkan waktu panjang, mulai dari pemahaman dan kepedulian pelestarian bagi para stakehclders, termasuk masyarakat lokal, hingga upaya pelestarian fisik yang perlu dilakukan serta kemampuan masyarakat mengelola dan memanfaatkannya. Dryakini, bahwa upaya pelestarian pusaka budaya merupakan salah satu alat penting untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaan Indonesia".
Dalam memahami upaya-upaya pelestarian, tak jarang banyak pihak yang mengartikannya sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan dengan cara mengawetkan (preservasi) tanpa ada perubahan sama sekali sepan-iang jaman' Namun, konsep pelestarian kini memang telah jauh berkembang' Pada awalnya pelestarian pusaka dititik beratkan pada monumen, candi atau bangunan bersejarah dan budaya material lainnya. Kemudian berkembang hingga lingkup yang luas sampai kota dengan kehidupannya yang dinamik. Hal ini menekankan, bahwa pelestarian bukanlah romantisme masalalu atau upaya untuk mengawetkan komponen bersejarah saja, namu-n juga dit'rjukan untuk monjadi alat dalam mengolah hansformasi dan revitalisasi pusaka budaya. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset lama, dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan keatif, berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan juga estimasi aspek ekonominya. Bahwa pelestarian adalah upaya pengelolaan perubahan secara selel'tif
melalui kegiatan perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan/atau pengembangan pusaka saujana untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman, membangun kualitas hidup yang lebih baik serta menciptakan pusaka masa datang.
Dalarn pelaksanaannya berbagai benturan sering terjadi dan diperlukan kemampuan publik untuk melindunginya melalui dialog dan negosiasi. Mengingat keragaman pusaka budaya memang tidak terbatas, kriteria penetapan pusaka budaya dan upaya pelestariannya juga san gat beragam. a
i,aretna T. Adish akti,"Pus{rks: Keaneiaragaman, Keunilcan, dan Kemngla Dasar Geraktn
P eleslorian", P
ragwn Pelestarian Pusaka untuk Indonesi4 Yogyakart4 Desernber 2003.
6
Ini
semua terkait erat dengan kepedulian, termasuk pihak-pihak lain yang terkait seperti pemerintah, swasta dan masyarakat. Seperti halnya rnasyarakat dunia menetapkan World Heritage, atau suafu bangsa menetapkan National Treasures, masyarakat av,,am selay4lqya diberi kesempatan untuk secara selektif menetapkan pusaka iingkungannya sendfui (Or dinary Heritage).
Keberhasilan upaya pelestarian terletak pada kemampuan publik dalam mempedulikar aset yang dimilikinya. Suatu upaya yang perlu beiangkat dari buah kecintaan, pemahaman dal apresiasi publik yang kemudian menciptakan suatu gerakan budaya masyarakat dalam pelestarian pusaka budaya. Apalagi di tengah era otonorni daerah, kearifan lckal periu dikedepankan, temrasuk pula peranserta masyarakat lokal dalarr mengelolanya. Selain all'1if berpartisipasi menganyam masa lalu, sekarang, dan masa dofang, perlu membanfu mengontrol perkembangannya. Peran Daerah dalam Gerakan Pelestarian Bertolak dari keprihatinan akan kondisi pelestarian pusaka budaya yang ada di Indonesia, diperlukan kerja bersama melalui kcmitraan yang sehat, yang dengan sekuat tenaga memperjuangkan pelestarian pusaka budaya secara holistik, sistematik dan berkesinambungan melalui mekanisme dan proses yang adll, demokatik, harmonis, dan didukung oleh landasan hukum yang jelas dan korrsisten. Tekad ini dapat diwujudkan dalam sebuah agenda aksi bersama dengan mengajak semua stakeholders untuk berpartisipasi, dengan:
1. Tindakan aktif perlindungan terhadap berbagai ancaman yang ada.
2. 3. 4.
5. 6.
Penguatan kemampuan dan sarana unfuk inventarisasi, dokumentasi, kiasifikasi yang sisternatik dan komprehensif, serta mengembangkan teknik-teknik oelestarian yang tepat dalam konteks Indonesia. Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, kampanye publik, serta tindakan-tindakan persuasif lainnya. Peningkatan kapasistas kelembagaan deugan mekanisme pembagian kewenangan dan tugas, dukungan perangkat lunak, memperluas j aringan kerjasama, membangun sistem pendanaan serta penguatan pengendalian agar upaya-upaya pelestarian dapat dilakukan lebih efektif dan sinergis. Penguatan penegakan hukum lewat pengembangan peraturan perundangan, sistem peradilan, mekanisme pelaksanaan yang jelas, adil serta penguatan tekanan dan kontrol masyarakat untuk perbaikan. Mengenali, menghargai potensi, dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dalam melestarikan dan memanfaatkan pusaka budaya untuk kesejahteraan masyaraka-t itu sendiri yang berkelanjutan.
Implementasi pada Tata Kota Yogyakarta Monumen penting Yogyakarta bukanlah bangunan monumental yang nregah, meiainkan poros historis filosofis Krapyak-Kraton-Tugu. Secara historis kultural bangunan-bangunan di sekitar poros filosofis itu berorierrtasi pada keberadaan Kraton dan garis imaj iner, baik di luar maupun di Kawa san Kraton (.nJeron Beteng). Poros imaj iner itu dalam tata rakit kraton, konfigurasi fisiknya merupakan bagian tak terpisahkan dalam Tata Kota Yogyakarta. Yogyakar ta pada umumnya memiliki empat komponen utama, y_ang disebut " caturgatra tunggal'atau empat komponen daiam satu kesatuan'. Keempat komponen itu adalah Kraton, Masj id Gede, Alun-Al'rn Lor, dan Pasar Beringha{o. Kawasan nJeron Beteng yang dikelilingr Beteng Balnuarti, yang artinya beteng pagar bata, memiliki lima pintu gerbang yang disebut plengkung. Nama-nama kampung di nJeron Beteng amat lekat dengan keberadaan Kraton. Nama-nama itu biasanya menunjuk pada nama abdi dalem katon yang tinggal di situ Di kawasan itu banyak pusaka budaya dan pusaka alam yang berharga, seperti Kraton, Masjid Gede dan Tamansari.
Implementasi di Pernerintahan Pemerintah Daerah Propinsi DIY, dalam rnenj alankan pemerintahannya diiuntun berdasarkan nilai-nilai filosofis "Ham€mayu Hayuning Bawdnd', 7'ang kini menj iwai budaya pemerintahan (got:ernance culture). Setelah dinalisis, hasil suwai yang menggambarkan kompilasi nilai-nilai " Ham€mayu Hayuning Bawdnd' sebagai budaya pemerintahan dijabarkan menjadi tiga kategori nilai-nilai perilaku yang lebih aplikabel dan terukur, sebagai berikut6:
"IIAMEMAYU HAYTINING BAWANA" llutrungan sbg. Insan dg. Tuhan & Alam
Ilubungan sbg. Abdi
Negara dg. Masyarakat: Semesta: "Rahayuning Bawdrui "Dharmaning Satriyd Mahanani Rahayuning Kapurbd Lltaskilaning Manungsd' Nagdrd" (Kesejahteraan dunia itu (Darma-bakti pamong praja sebagai tiang baku tergantung pada
Hubungan sbg. Makhluk Sosial: Manungxi Dumadi Kardnd " Rahayuning
Kamanungsand" (Kesejahteraan manusia terjadi oleh rasa
kearifan manusia Bidsng II PPL "Poros Imajiner, Identitas Hisloris Kolq yog/qkerta". Gubernur DIY, " 7'ransformasi Buduya Birokrasi di Era Olonomi l)aemh",Pembekalan Wawasan Kebangsaan, Diklat Kepemimpinan Tingkat trI Propinsi se Indonesi4 Yogyakafi4 23 Agustus 2004. 5 6
6
P|]RILAKU INSAN KAMIL:
PERILAKU ABDI NEGARA/PUBTIC
Pf,RILAKU ABDI MASYARAKAT:
SERWCE: Kelestarian dan keselarasan dg. Iuhan, alam dan manusia Lingkungan bersih, sehat, rapi & indah Rasa memiliki
Profes ional./Kompetensi
Keteladanan, Pengabdian, Komitmen Pelayanan orima Transparan, Akuntabel Pengembangan SDM dlrn. IQ, EQ & SQ Entr epr en e ur ial attitud e More outcome, less cost
Iman & Taqwa Toleran
Komunikatif Inte gritas//lff cdibilitas
Kreatif-inovatif Motivator perubahan
Oleh pendirinya, Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta telah diberikan "ruh' dengan landasan falsafah hidiip "sawiii" geget, sengguh, ora-ndngkuh", yang sebenarnya adalah bagian pokok dari ilmu kepemimpinan untuk kemudian nilainilai luhur itu direvitalisasi dan diintemalisasikan ke dalam budaya pemerintahan 'SATRIYA'. Budaya kerja ini mewajibkan hagi setiap Abdi Negara sebagai Abdi Masyarakat, untr.lk bersikap dan bertindak dengan selalu mencerminkan sifat-sifat keutanraan seorang satriya'. "Selaras, Akal-budi luhur, keTeladanan, Rela melayani, Inovatif, Yakin dan percaya, Ahli dan profesional".
Partisipasi Masyarakat Proyek-proyek konservasi pusaka budaya yang diprakarsai oleh masyara.kat internasional kerap bertentangan dengan masyarakat lokal, tenrtama masyarakat adat. Pertentangan itu disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal, yaitu visi, pandangan fungsional, perlakuan dan bentuk perlakuan, perilaku pengembangan, semangat dan dasar perlakuaq dan praktih sehubungan dengan atau terhadap rvarisan budaya (llyasa Putra, 2002)" Masyarakat intemasional memiliki visi universal, holistilq dan berkelanjutan terhadap pusaka budaya, yang tampak pada rumusan-rumusan operas ionalnya. Setiap pusaka budaya dipandang sebagai bagian dari pusaka budaya milik bersama umat manusia?. Masyarakat lokal tetap memandang bahwa pusaka budaya itu adalah miiiknya sendiri. Pandangan ini kerap melahirkan kendala-kendala serius dalam konservasi pusaka budaya.
7I Wryan Artika, sPendekalqn Pqrtisipatifdalam Konsewasi Waisan Budayn", Sinar Harapan,2002. 9
Hai itu tampaknya berkaitan dengan orang-orang, lembaga yang menjadi pemrakarsa, penyandang dana, dan pelaku, dalam konservasi. Ada tendensi, pada awalnya -yang hal ini bisa berlangsung lama-- masyarakat lokal menolak usahausaha konservasi. Jika tidak seekstrem ifu, mcreka menerima dengan tidak rela atau apatis. Karenanya, tren konsenasi yang bijak adalah partisipatif (Putra Agng, 2002). Dengan dernikian, konserva-si terhadap pusaka budaya yang ditangani oleh masyarakat internasional, dimuiai dari tindakan-tindakan persuasif terhadap penyikapau sikap masyarakat lokal. Hal itu bisa berupa program-program prakonservasi dalam bentuk audensi dalam rangka sosialisasi visi atau hakikat fungsional pusaka budaya. Program prakonservasi diharapkan menjadikan masyarakat lokal mengerti, bahwa pusaka budaya tetap merupakan identitas komunitas masyarakat bersangkutan, yang merupakan pijaka4 pengendali, dan orientasi proses peradaban antargenerasi. Sehingga dibutuhkan kesadaran betapa konservasi merupakan tanggung jawab rnoral antargenerasi. Pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal dalam konserva*si pusaka budaya tidak hanya dibutuhkan selama proses konservasi itu, tetapi yang lebih penting adalah pasca konservasi. Apa yang harus dilakukari pasca konservas i diambil alih oleh masyarakat lokal, dan di sini tampak bagaimana konservasi sebagai sebuah kontinuitas. Kcntinuitas konservasi pusaka budaya yang paling penting adalah dimilikinya sikap di kalangan komunitas lokal, bahwa pusaka budaya yang ada di dalam atau di dekatnya senantiasa membutuhkan jasa-jasa koirservasi.
Pengelolaan kawasan pusaka yang berpusat pada masyarakat Qteople centered management) adalah sebuah mekanisme yang diharapkan tumbuh berkembang di Indonesia yang sangat kaya akan pusaka alam da-n budaya ini, termasuk di Yogyakarta. Karena di Yogyakarta sebagian besar aset pusaka alam dan budaya adalah milik pribadi masyarakat sehingga pelestarian kawasan pusaka akan sulit bila masyarakat setempat kurang atau bahkan tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu, di Yogyakarta sudah banyak terbentuk komunitas pelestari pusaka budaya yang berbasis pada masyarakat setempat. Apa yang dicoba dilakukan masyarakat di nJeron Beteng, Kotagede, dusun Bralut Sleman, Tamansari, menunjukkan betapa besar partisipasi masyarakat dalam upaya-upaya pelestarian pusaka saujana budaya di Yogyakarta.
l0
Sistem Pelestarian Terintegrasi Sudahkan kekayaan buciaya berbagai suku di Nusantara, dari yang berada di puncak gunung hingga di Dusat kota, dari pusaka yang terlihat hingga tidak terlihat, dari yang tidak dihuni manusia hingga kawasan berselarah yang penuh dinamika kehidupan manusia, terakomodasi dalam suatu "konsensus" nasional tentang pusaka budaya dan pelestariannya? Dalam hal ini, perlu pemahaman bersama bahwa pusaka budaya tidak hanya berbentuk artefak saja, tetapi terkait erat dengan komponen lingkungan hiCup, yaitu abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), serta sosial-budaya. Komponen pusaka buCaya dapat berbentuk tunggal atau pun keiompok, berskala kecil tingkat lokal, seperti rukun tetangga hingga kota bersejarah, juga dari yang sangat bersahaja hingga budaya tingkat tinggi.
Tingkat kompleksitas pelestarian pusaka budaya semakin meningkat, sementara kenyataan yang ada menuqi'rkkan bahwa pusaka budaya Indonesia banyak yang terancam bahaya dan tidak terkelola dengan tepat. pelestarian pusaka budaya belum menjadi suatu persoalan yang secam sistemik terencana da:r ierkelola sejalan dengan derap pembangunan. Bahkan seringkali dianggap pelestarian pusaka sekedar romantisme rnasa lalu belaka dan bertentangan dengan pembangunan ekonomi. Selain itu, kiteria penetapan apakah termasuk pusaka budaya ataukah tidak dan bagaimana upayanyajuga sangat b eragarn. Selama ini kita sibuk berbicara tentang suatu obyek pusaka budaya itu sendiri, apakah tentang sejarahnya, keindahannya, ataukah ciri-ciri arsitekfumya. Kita memerlukan "pasar" yang mampu memberikan apresiasi terhadap obyek tersebut, unfuk kemudian secara mandiri rrrampu memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya. Kita perlu mengakomodasi apresiasi dan gerakan budaya masyarakat dalam pelestarian pusaka dalam sebuah sistem pelestarian terintegrasi. Di sini rnemerlukan pranata pembangunan dan good goyernance yang mampu mengakomodasr apresiasi dan gerakan budaya masyarakat dalam peiestarian pusaka. Untuk itulah diperlukan "the total system of heritage conseryation' yang mengakar.
Teknologi Eco-Efisien Abad 2l seringkali dikatakan sebagai abad teknologi, karena salah satu fenomena yang dominan dan menarik di abad ini adatah hadimya teknologi super
Dari kehadiran teknologi macam itu yang diharapkan adalah berkembangnya kegiatan ekonomi secara lebih pesat dan peningkatan canggih.
kesej ahteraan umat manusia.
l1
Sesungguhnya teknologi maju tidak hadir dengan begitu saj4 tetapt mernbutuhkan penelitian yang berlangsung bertahun-tahun dan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Juga membutuhkan "kcrban", karena kehadramya pada dasarnya adalah untuk menggantikan tenaga manusia dalam proses produksi.
Kemampuan sumberdaya manusia dalam meningkatkan efisiens.i, produktivitas dan kreativitas proses produksi dinilai sudah mencapai titik maksimum, artinya sudah tidaii. mrurgi
Kita harus menyadari dua muka teknologi itu, kita tidak periu takut pada
teknologi dan menyadari sepenuhnya perlunya teknologi. Namun, kita juga harus menyadari adanya segi negatif teknologi, dengan memberikan perhatian yang memadai untuk menghindari te{adinya dampak negatif teknologi. Jika berbicara tentang peran teknologi dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, mau tidak mau kita harus merujuk terlebih dulu inovasi pemikiran Prof otto Soemarwoto tentang "Teknologi Eco-Eflsien 'e.
Dalam dasawarsa ini di negara maju dikembangkan konsep eco-efisiensi oleh lttorld Business Council for Sustainable Dewlopmenl (WBCSD) di 't"TT Bumi di fuo de Janeiro pada tahun 1992. Efisiensi adalah sebuah konsep dasar ekonomi, yaitu menggunakan sumberdaya seefektif mungkin untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Bersamaan dengan itu limbah yang terbentuk berkurang, sehingge dampak terhadap lingkungan ikut menurun. WBCSD menyebutnya eco-efisiensi, yaitu manajemen bisnis yang menggabungkan efisiensi ekonomi dan ekologi. Dengan eco-eftsiensi pengusaha, konsumen dan lingkungan pun diuntungkan, karena tercipta kondisi. win-w in.
Eco-efisiensi bertumpu pada "Kurangi sumberdaya, maksimumkan Qunaulang dan Daur-ulang serta tingkatkan [inerja" atau disingkat KGDK. Contoh guna-ulang (re-use) ialah penggunaan kembali botol Coca-Cola dan daur-ulang (recycle) kaleng aluminium Coca-Cola. Pada guna-ulang botol hanya dicuci dan digunakan kernbali, tidak ada proses lainnya. Pada daur-ulang penggunaan kembali kaleng Coca-Cola diperlukan pioses di pabrik menjadi kaleng atau produk lain' Para anggota WBCSD menyadari benar potensi keuntungan eco+fisiensi.
E
e
Budi W. Soetjipto,"Dilema Kemaiton Tehtologi", KOMPAS Online, 17 Mer 1995. Otto Soemar'woto, "Teknologi Eko-Efisien", Kompas, I 4 Agustus 1999. T2
Eco-efisiensi menjadi landasan R & D mereka dengan menggunakan KGDK sebagai parameter desain p oduk. Dalam jangka waktu kurang dari l0 tahun teknologi eco-efisien telah berkembang dengan pesat. Tekrrologi eeo-efrsien ada yang sangat canggih, tetapi adajuga yang sederhana.
Bahkan seyogianya teknologi eco-efisien dimulai clengan perbaikan pengelolaan rumah tangga yang murah dan muCah. Misalnya, memeriksa dengan teratur pipa, kran air dan minyak serta memperbaikinya dengan segera Jika terjadi kebocoran; menggunakan kran air tekan yang otomatis mati setelah waktu tertentu; tempat yang kering dan tidak kebocoran serta menyimpan bahan sehingga tidak ada yang kedaluwarsa; mengadminishasinya dengan mematikan lampu di ruangan yang tidak digunakan, dengan menggunakan kunci ruangan sebagai switch lampu, sehingga lampu otomatis mati waktu ruangan ditinggalkan; menggunakan cahaya alam sebanyak-banyaknya: menanam pohon, semak Can rumput unfuk mengurangi kesilauan dan suhu; mengatur AC agar tidak terlalu dingin.
di
bai(
Bank Dunia melaporkan, industri di lndonesia dengan perbaikan pengelolaan rumah tangga yang tidak memerlukan investasi tambahan energi dapat dihemat dengan 8 persen. Dengan investasi yang ringan, energi dapat dihemat lagi dengan 15 persen, sehingga jumlah penghematan menjadi 23 persen. Bayangkan berapa banyak biaya yang dapat tlihemat! Negara juga untung, karena anggaran belanja untuk subsidi BBM berkurang. Bersamaan dengan berkurangnya penggunaan energi bahan bakar yang dibakar berkurang, sehingga dampaknya terhadap lingkungan pun n€nurun.
Di
Indonesia, teknologi eco-efisien membantu memutar kembali roda ekonomi dengan mengurangi kebutuhan devisa, menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki mutu lingkungan. Perbaikan mutu lingkungan akan mengurangi biaya yang harus kita tanggung. Bank Dunia melaporkan, di Jakarta saja biaya pencemaran udara adalah 220 juta dollar AS per tahun dan pencemaran air 303 juta dollar AS serta di Jawa erosi menurunkan produksi dengan 315 juta dollar AS. Eco-efisiensi juga dapat menarik modal dari luar negeri, misalnya hibah dari Global Environment Facility (GEF)) yang mengelola dana dalam rangka Protokol Montreal dan Protokol Kyoto, hibah dari negara dan yayasan tertentu serta modal bisnis untuk implementasi patungan dalam rangka Protokol Kyoto.
Agar teknologi yang dikembangkan benar-benar dapat memadukan efisiensi ekonomi dan efisiensi ekologi, kiranya ada baiknya teknologi macam ini dipikirkan kemungkinan aplikasinya di berbagai sektor industri. 13
Menjadi tantangan para pakar, teknolog, industriawan dan manajemen yang terlibat dalam kegiatan industri, apakah teknologi eco-efisien itu dapat diterapkan untuk nieningkatkan produksi, serta bagi sebesar-besar kesejahteraan bangsa? Model Ekonomi Lingkungan Dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia menghadapi pertentangan antara lajunya tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan pemerataan dan pengentasarr kemiskinan serta penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada kualitas hidup rakyat indonesia. Dalam hubungan ini, generasi sekarang memihki tiga alternatif pilihan: memaksimumkan konsumsi sekarang dan mengabaikan konsumsi bagi generasi masa depan, (2) meminimumkan pengurasan SDA"/lingkungan, (3)mengurangi konsumsi dan meningkatkan investasi pada teknologi yang berwawasan lingkungan, agar dapat mengkonsumsi lebih besar pada masa yang akan datang tanpa melakukan pengurasan SDA/lingkungan. ( 1)
Dari uraian di atas tcrlihat, bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan masalah antargenerasi, dan perhrmbuhan ekonomi jangka panjang tidak hanya tergantung dari parameter produksi, tetapi juga preferensi masyarakat terhadap kualitas lingkungan dan alokasi kemalmluran antargenerasi. Pembangunan memiliki kriteria yang majemuk dan tujuan yang kadang bertentangan satu dengan lainnya, misalnya: pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dihadapkan pada usaha menjaga kerusakan lingkungan sekecil-kecilnya.
Tujuan pembangunan yang majemuk dan bertentangan tersebut harus dicari titik temu toleransinya. Pada saat ini dirasakan pendngnya penelitian untuk menyusun perencanaan pembangunan yang memiliki dimensi tujuan yang majemuk dan bertentangan serta secara khusus memasukkan faklor lingkungan maupun aspek sosial. Dalam mengevaluasi strategi investasi dapat mengtrnakan model ekonomi lingkungan (ernironmental economic modeling). Model ini mencakup analisis dinamilq multi-regional, multi-criteria dan multi-level dari pembangunan suatu industri dengan memasukkan selain faktot input-output, juga unsur non-market value dai lingkungan (SDA dan polusi) dan aspek sosial.
Pertumbuhan ekonomi yang dititik beratkan pada ekspor cenderung menggunakan teknologi padat modal. Sedang bila unsur lingkungan (SDA dan polusi), dimasukkan ke dalam model, rnaka strategi investasi dengan teknologi tradisional dan semi-intenrrve bisa menggantikan teknologi padat modal tersebut. t4
Namun demikian, pemasukkan uns,rr lingkungan
ke dalam model
pada turunnya (1,5 perse'r) tingkat kemakmuran generasi sekarang, berdampak -kemalcnurao generasi berikutrya yang diukur dengan Net Present Value s"dang yang tidak G\fpvt lebih tl:rggi sibesar 2,6 persen dibanding strategi investasi memasukkan unsur lingkungan.
Hal ir,i menunjukkan, bahwa tesis kernakmuran antargenerasi dipengaruhi oleh discount rale pemanfaatan SDA dan lingkuiigan, benar adanya. Maka, pembangunan yang hanya berorientasi pada produksi dan ekspor cencerung memilih strateg'i investasi pada teknologi padat modal yang pada urnumnya kurang memiliki aspek pemerataan. Strategi investasi yang mernpertimbangkan faldor lingkungan, :,valaupun cenderung menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang iebih ,.nAun (COe lebih rendah), namun mernbertkan benefit lebih besar pada generasi berikutnya (NPV lebih tinggi), dibanding strategi investasi yang dititik beratkan pada petingkatan produksi dan ekspor' pembangunan berkelanjutan memerlukan kontinuitas pertumbuhan ekonomi, dan bukannya stagrasi karena rusaknya SDA dan lingkungan. Pembangunan Indonesia yang berwawasan lingkungan leblh tepat untuk mencapal sasaran pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.
Berbasis Kearifan Lokal
Anutan ideologi sentralisme hulcrm (legal centralism)
cenderung memarjinalisasi modal sosial (social capital), yakni citra dan etika lingkungan, sistem religi, asas-asas dan norma hukum adat yang mencelminkan kearifan
iiu,
pernbangunan nasional jugu mendegradasitan modal sumber daya alam (ecological capita[) akibat kegiatan
lingkungan masyarakat lokal. Selarn pembangunan yang bercorak eksploitatif'
Oleh karena itu, pengelolaan keanekaragaman hayaii yang holistik, berkelanjutan dan berkeadilan sosial bagi segenap warga masyarakat, sungguh diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati. Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah afu, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya di kalangan masyarakat adat. Cerminan dari kearifan lingkungan masyarakat yang bercorak religio-magis secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat lokal, yang dalam ancangan antropologi hukum disebut hukum rakyat, misaln-va hukum kebiasaan (cornentional law), hukum penduduk asli (inCigenous law)' 15
Atau hukum tidak tertulis (um,vritten la"t), bahkan hukum tidak resmt (unofrcial law), yang dalam konteks lndonesia disebut hukum adat (adat law/adatrecht)to
.
Jenis hukum rakyat ini merupakan sistem norma yang menge.jawantahk-an niiai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi yang tumbuh, berkembang, dan dianut masyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrumen untuk meniaga keteraturan interaksi antarwarga ma-syarakat (social order), keteraturan hubungan dengan Sang Pencipta dan roh-roh yang Cipercaya memiliki kekuatan supranatural (spiritual order), dan menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungannya (ecological order) -
Akan tetapi dengan menjaga keteraturan interaksi antarwarga masyarakat, keteraturan hubungan dengan Sang Pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural, hal itu merupakan tindakan yang sifatnya membodohkan masyarakat. sumberdaya alam terlindungi akan tetapi SDM akan semakin bersifat primitif dan tidak berpikiran maju dan rasional. Di sinilah diperlukannya kebijakan kebudayaan yang berfungsi scbagai sarana pengendalian sosial (social control), sarana untuk menjaga keieraturan spiritual, sosia!, dan ekologi dalam kehidupan masvarakat.
Kebijakan yang dibuat bukan merupakan suatu institusi 5'ang bersifat otonom, tetapi menjadi bagian yang integral, tidak terpisalkan, dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan lain seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan religi, sebagai safu sistem budaya masyarakat. Komunitas masyarakat merupakan arena sosial (soclal fietd) yar;rg memiliki kapasitas untuk membentuk hukum sebagai mekanisme internal untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial dalam lingkungaa komunitasnya (Moore, 1978). Dalam persepktif antropologi, hukum yang diekspresikan dalam nonna-nofina yang mengatur perilaku masyarakat dalam i<ehidupan bersama merupakan wujud ideal dari kebudayaan masyarakat (Koentjaraningrat, 1979), yang mencelminkan kearifan komunitas-komunitas masyarakat lokal.
Kearifan lokal (local wisdom) masyarakat adat saat ini diyakini sebagai "teknologi baru" yang dipakai dalam pelestarian hutan. Selama ini kata "tei<nologi" se1a1u dikaitkan dengan "modemisasi" yang berarti cara-cara berpikir maju dan berorientasi ke dunia Barat. ('ebijak
16
Hanya sebagian kecil yang menyadari bahwa sistem pengelolaan hutan berbasis kearifrn lokal bisa menjadi alat dalam meiestarikan hutan. Banyak program Pemerintah di tingkat nasional dan internasional dalam rangka menel,an perusakan hutan, dengan memperbanyak jumlah cagar alam dan hutan lindung dengan janji Pernerintah kelestarian hutan akan lebih terjaga. Masyarakat tradisional bahkan merelakan hutan yang mereka tempati turuntemurun untuk diklaim sebagai kawasan terlaiang dan kawasan proteksi oleh Pemerintah. Kenyataannya, secara umum tindakarr-tindakan tersebut gagal, bahkan kerusakan hutan semakin meningkat. Karena pengeloiaan hutan secara bijaksana selama ini telah terbukti hanya dilakukan oleh masyarakat adat sekitar hutan, maka dari itu wajar jika ada penegasan bahwa kearifan lokal adalah solusi tepat dalam mcngatasi berbagai macam persoalan kehutanan.
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan (rohani dan jasmani) yang memberikan daya tahan dan daya tumbuh bagi komunitas tersebut (Saini KM,2005). Soemarwoto (1982) mengartikan kearifan lokal sebagai ilmu pengetahuan yang mampu menghadapi kondisi suatu lingkungan. Kearifan lokal dipandang sebagai "teknologi baru" dalam pelestarian hutan. Hal ini memiliki makna yang luas, karena mencakup scluruh peraiatan/benda, metode, cara serta pengorganisasian yang diciptakan oleh elemen manusia berdasarkan keterampilan dan iknu pengetahuan yang dimilikinya. Kearifan lokal preferensinya lebih ke arah pengetahuan (tmowledge), btkan sekedar sains (science) karena adanya aspek "pengalaman" dan "keterampilan"rr. gelolaan Berbasis Komunitas Dalam rangka mewujudkan tata pembuatan hukum yang balk (good law making governance), maka agenda ke depan yang harus dilakukan pemerintah dan legislatif adalah: Melakukan kaji-ulang terhadap seluruh produk hukum yang fidak mencerminkan keadilan, demokrasi, serta keberlanjutan ftngsi dan manfaat sumberdaya alam, dengan mengintegrasikan paling tidak lima prinsip berikut: Pcn
1. Pengelolaan sumberdaya alam harus diorientasikan untuk mencapai
2.
kesejahteraan dan kcmakmuran rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi; Sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan demokratis di antara generasi sekarang maupun yang akan datang dalam kesetaraan gender;
'.' M utia Ramadha d, "Kearifun Tradisional Maqumkat Adqt sebqgqi 'Teknologi Baru' dalam l\'la.\tarion Hunn", Lomba Tulis YPHL, 30 Oktober 2008.
17
3.
4.
5.
Pengelolaan sumberdaya alam harus mampu menciptakan kohesivitas masyarakat dalam berbagai lapisan dan kelompok serte mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya yang mencerminran kearifan lokal, termasuk sistem irukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat; Pengelolaan sumberdaya alam harus diiakukan dengan pendekatan sistem ekologi (eco-syslez) untuk mencegah teriadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial, cgo-sektoral, ego
lokal.
di
atas satu sama lain saling terkait dan saling mempengaruhi, sebagai satu kesatuan I'ang mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam ditujukan untuk menggapai kemakmuran dan
Kelima prinsip
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan, sesuai dengan amanat fruD 1945, dengan berbasis pada kemajemukan budaya dan kesatuan bangsa atas adalah kebijakan pengelolaan Indonesia. Inti dari prinsip-prinsip sumberdaya alam tidak berorientasi pada eksploitasi, tctapi mengedepankan kepentingan keberlanjutan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya atam tidak bercorak sentralistik, tetapi bercorak desentralisasi kewenangan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak mengedepankan pendekatan sektoral, tetapi mengutamakan pendekatan holistik/komprehensif berbasis budaya
di
Memberi ruang bagi partisipasi publik dan transparansi, mengakui Can melindungi akses dan hak-hak masyarakat atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dan memberi ruang hidup bagi kebudayaan lokal termasuk kearifan lingkungan lokal, kemajernukan hukum (legal pluralism) yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam perspektif otonomi daerah, prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam di atas mencerminkan nuansa ke-otonomi-an masyarakat lokal untuk menguasai, mengelola, dan memafaatkan sumberdaya alam lokal, karena malora dan hakikat dari otonomi daerah harus diterjemahkan sebagai pemberian otonomi kepada masyarakat adaVlokal, dan bukan semata-mata pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah hanya memberi pelayanan yang bersifat prima (excellent services). Ini merupakan manifestasi dari paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis komunitas (community-based resource managentent), sebagai pengalihan dari pcngelolaan sumberdaya alam yang berbasis negara dengan strukturnya
di
daerah (state-based resource management).
l8
Catatan
Aklir
Sebenamya tidak ada hal bani dalam kita melestarikan dan mengembangkan pusaka budaya, semuanya telah ada jauh di rnasa silam. Yang kini perlu kita bangkitkan adalah upaya pelestarian yang menyejahterakan masyarakat dan mendudukkan Indonesia sebagai bangsa yang berperadaban tinggi lewat gerakan aksi nyata secara bersungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Untuk penguatan masyarakat sebagai pusat pengelolaan perubahan tidak bisa dipisahkan dengan prinsip-prinsip proses pelestarian lainnya, yaitu kolaborasi antardisiplin ilmu maupun sektor; mekanisme kelembagaan yang m:rmpu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakal dukungan dan penegakan aspek legal serta upaya pelestarian yang berdimensi ekonomi guna menunjang kesinambungan pengelolaan. Proses pelestarian lingkungan memang membufuhkan wakhr panjang. Mulai dari pemahaman dan kepedulian pelestarian bagi masyarakat lokal, hingga pelaksanaan pelestarian fisil serta kesiapan kernampuan masyarakat mengelola dan memanfaatkannya. Untuk itu diperlukan suatu program pelestarian yang terus-menerus secara berkesinambungan.
Memperhatikan bahwa kekuatan
nilai
pusaka Indonesia
adalah pembangurran keanekaragamanan benhikan alam dan olahan manusia, berwawasan lingkungan budaya selayaknya menjadi semangat pembangunan yang spesifik Indonesia. Persoalan budaya tidak bisa dipisahkan dari lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. lndonesia merupakan mozaik pusaka saujana yang berkilau. Namun, kilau itu kini menyiratkan kepudaran di banyak tempat, karena semakin banyak pusaka yang terusik dan terusak. Karena itu, hendaknya kita membangun
tanpe menggusur atau merusak pusaka alam-budaya Indonesia yang teiah kita terima dari generasi terdahulu dan yang wajib diserahkan kembali kepada generasi berikutnya dalam keadaan lestari. Strategi kcnservasi dunia memuat trga hal: konservasi sistem kehidupan, konservasi jenis, dan pemanfaatan yang lestari. Strategi tersebut dirumuskan oleh IUCN International Union for Consemation of Nature, sebuah badan konservasi alam internasional. Strategi ini il-ut dikawal oleh UNEP: United Nation Environmental Protection. Dalam diskusi regional UNEP Asia-Pasifik di Bangkok, Profesor Wuryadi sebagai salah satu peserta menyampaikan, bahwa local wisdom "HamAmayu Hayuning Bmudnd' diapresiasi oleh UNEP, karena searah dengan strategi konservasi, dan konsep eco-efisiensi, yang dalam budaya Jawa, kita sebut dengan "gemi nastiti ngati-atf
l9
Maka menjadi jelaslah, bahwa "Pengelolaan Lingkungan Berbasis Budaya' meski sehuah konsep ideal, yang jika dilaksanakan secara kosisten dan konsekuen akan lebih mencapai sasaran pembangunan yang berkelanjutan. Tetapi kenyataan rrenunjukkan yang sebaliknya, bahwa dalam praltik di lapangan masih ba-nyak menemui hambatan dan tantangan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 23 November 2009
KARI,TON NGAYOG-{AKARTA IIADININGRAT,
IIAMENGKU BI'WONO X
20