Jum'at, 06 Maret 2015 | 06:53 WIB
Kisruh APBD DKI Melebar, KPK-Polisi Rebutan Kasus Wakil Ketua DPRD DKI Abraham 'Lulung' Lunggana meluapkan emosinya usai kisruh saat rapat Mediasi dan Klarifikasi Mengenai Evaluasi RAPERDA/APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2015 di Kantor Kemendagri, Jakarta, 5 Maret 2015. Rapat yang digelar terkait kisruh antara Ahok dengan DPRD DKI Jakarta dalam RAPBD DKI Jakarta 2015 berakhir ricuh dan belum ada penyelesaian. Tempo/M IQBAL ICHSAN TEMPO.CO , Jakarta: Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta soal APBD Jakarta 2015 tak tuntas juga. Mediasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri pada Kamis 5 Maret 2015 menemui jalan buntu. "Hasilnya deadlock," kata Prabowo Soenirman, anggota DPRD Jakarta. Ahok menilai ada "dana siluman" sebesar Rp 12 triliun di APBD itu, sedangkan Dewan menuding Ahok memakai dokumen APBD yang berbeda. Masalahnya, sebelum mediasi terjadi, Ahok sudah melaporkan kasus "dana siluman" ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Lapor ke KPK Ahok mendatangi kantor KPK pada Jumat, 27 Februari 2015. Dengan membawa sejumlah dokumen Ahok melaporkan adanya indikasi penyelewengan penggunaan APBD DKI sejak 2012 hingga 2014 yang jumlahnya mencapai puluhan triliun rupiah. Hal itu juga menyangkut kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS). "Kami kecolongan di 55 sekolah. Kepala sekolah pun kaget karena tidak pernah memesan UPS," ujar Ahok. Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto Pribowo, menyatakan akan melakukan verifikasi data. KPK juga akan menggali info lebih mendalam di lapangan. "Belum dapat kami simpulkan apakah ada indikasi tindak pidana korupsi atau tidak," ujarnya pada akhir 1
Februari lalu. Polisi Mulai Selidiki Juga Entah siapa yang melaporkan, kasus UPS ini kini juga ditangani Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kepolisian mulai bergerak menyelidiki kasus ini pada 28 Februari 2015 atas dasar pengaduan masyarakat. Penyidik bahkan telah memeriksa 12 saksi, termasuk mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Sudin Dikmen Jakarta Barat Alex Usman dan mantan Kepala Sudin Dikmen Jakarta Pusat Zaenal Soelaiman. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan nanti saksi-saksi lain yang berkaitan dengan kasus dugaan korupsi ini akan diperiksa. "Termasuk para pemenang tendernya," ujarnya. Setidaknya, menurut dia, ada sekitar 40 perusahaan pemenang tender pengadaan UPS ini. Siapa yang Lebih Berwenang? Baik KPK maupun polisi sama-sama menyatakan berhak menyelidiki kasus ini. Lantas, siapa lembaga yang paling berwenang dalam menangani kasus ini? KPK dengan tegas menyatakan tak terpengaruh dengan penyelidikan yang sedang dilakukan Polda Metro Jaya, karena yang dilaporkan Ahok bukan hanya pengadaan UPS, tapi dugaan penyelewengan APBD DKI. "Yang dilaporkan Pak Ahok ke KPK itu penggunaan APBD 2012-2014, jadi bukan hanya UPS, yang memang menjadi bagian kecil dari yang dilaporkan itu," kata Johan Budi pada Kamis, 5 Maret 2015. Diserahkan Kemana Sebaiknya? Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah, mengatakan KPK lebih berwenang menangani kasus ini bila dibandingkan dengan kepolisian, karena KPK lebih dulu menerima laporan dari Ahok. "Tak bisa lagi ditangani polisi. KPK sudah duluan," kata Andi saat dihubungi, Kamis, 5 Maret 2015. Tak hanya itu, kata Andi, KPK lebih berwenang menangani kasus korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 1 miliar, seperti yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK. Sedangkan nilai total anggaran siluman itu, menurut Ahok, mencapai Rp 105,876 miliar. "Kepolisian seharusnya menyerahkan penanganan kasus ini ke KPK saja. Apalagi, Ahok
2
sendiri yang melaporkan langsung ke sana," kata Andi. "Ke kepolisian kan tak ada yang melaporkan." Menurut Andi, undang-undang juga membolehkan KPK mengambil alih kasus yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan. K | INDRI MAULIDAR
Jum'at, 06 Maret 2015 | 06:51 WIB
Ahok vs DPRD, Apa Saja Ongkos Politik yang Harus Ditebus? Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi (tengah) bersama para wakil ketua DPRD DKI Jakarta, usai rapat paripurna hak angket di gedung DPRD DKI Jakata, 26 Februari 2015. Hasil Rapat paripurna resmi mengajukan hak angket atas Gubernur Basuki T Purnama atau Ahok, setelah para anggota dewan setuju mengajukan hak angket. TEMPO/Dasril Roszandi TEMPO.CO, Jakarta - Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Fraksi Gerindra mengatakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak bisa diajak kompromi. Ahok, ujar dia, tak mau lagi memasukan program kegiatan usulan dewan atau pokok pikirian (pokir) ke dalam APBD 2015. Padahal, menurut dia, pokir merupakan ladang duit bagi anggota dewan. "Anggota Dewan itu hidup dari pokir," kata dia kepada Tempo, Selasa 24 Februari 2015. Jika Ahok tak mau memasukan pokir, ia melanjutkan, artinya mantan Bupati Belitung Timur itu sudah mengusik persoalan perut anggota dewan. "Intinya, ini urusan perut," ucap dia. Dia mengatakan, menjadi anggota dewan dan partai itu cukup menguras dompet. Gaji sebagai anggota DPRD hanya Rp 22 juta per bulan. Sedangkan pengeluarannya bisa 3
sampai puluhan juta termasuk setor ke partai sekitar 20 persen dari gaji. "Belum lagi kalau konstituen meminta ini itu. Pusing juga," ucap dia. Adapun biaya yang dianggarkan pemerintah untuk kegiatan reses anggota dewan, terbilang kecil, hanya Rp 60 juta sekali reses. Dalam setahun dewan mendapat tiga kali reses. Dana reses, ujar dia, pun harus dibagi-bagi. Konstituennya di enam wilayah mendapat jatah masing-masing Rp 10 juta. "Duit segitu enggak cukup. Masang tenda saja sudah Rp 5 juta. Nah tambahan untuk reses dari pokir." Selain itu, anggota DPRD juga perlu memikirkan cara mengembalikan dana kampanye. Ia mengungkapkan, dirinya habis miliaran rupiah untuk membiayai kampanye agar melenggang masuk ke Kebon Sirih. Bahkan, ada anggota dewan lain yang merogoh kocek puluhan miliar. "Saya enggak apa-apa pokir tidak diakomodir asal semuanya enggak dapat," ucap dia. ERWAN HERMAWAN
Jum'at, 06 Maret 2015 | 06:48 WIB
Ahok Blak-blakan Jelaskan Penyebab Deadlock Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meninggalkan rapat Mediasi dan Klarifikasi Mengenai Evaluasi RAPERDA/APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2015 di Kantor Kemendagri, Jakarta, 5 Maret 2015. Tempo/M IQBAL ICHSAN
TEMPO.CO , Jakarta: Mediasi yang dilakukan untuk mendamaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menemui jalan buntu (deadlock). Menurut Ahok--sapaan akrabnya, anggota DPRD meninggalkan ruangan rapat tepat di saat Wali Kota Jakarta Barat Anas Efendi hendak menjelaskan soal 4
munculnya proyek UPS di wilayahnya. "Saya meminta Anas Efendi untuk menjelaskan apakah betul ada pengadaan UPS (Uninterrupted Power Supply) dan ketika Anas berdiri untuk menjelaskan, mereka malah meninggalkan rapat jadi bagaimana rapat bisa diteruskan," kata Ahok, Kamis 5 Maret 2015. Ahok mereka-ulang kejadian saat berada di ruang rapat. Ahok merasa percaya diri meminta Anas menjelaskan ihwal anggaran siluman di Jakarta Barat. "Sebab, saya sudah memegang surat pernyataan dari dia yang bunyinya tidak mengusulkan anggaran sebesar Rp 270 miliar," kata dia. Ahok menegaskan, justru dengan meminta Anas menjelaskan di depan publik, ia sebenarnya menyelamatkan Anas dari tuduhan terlibat dalam permainan anggaran dengan dewan. Dengan penjelasan terbuka, Ahok melanjutkan, justru dapat membuktikan posisi Anas sebenarnya. "Jadi tudingan ke saya kalau menekan Anas itu keliru, saya tidak marah. Saya justru mendapatkan surat pernyataan Anas soal proyek UPS itu sejak hari Senin," kata Ahok. Saat dikonfirmasi mengenai teguran Ahok, Anas menjawab melalui pesan singkat. "No comment. Saya sudah meyampaikan semua kepada Gubernur," ujarnya. Anas membuat surat pernyataan tertanggal 2 Maret 2015 yang menyatakan Pemerintah Kota Jakarta Barat hanya mengusulkan rencana anggaran Rp 131.914.519.591 atau Rp 131 miliar. Anas mengaku menemukan adanya penambahan anggaran sebesar Rp 270.830.000.000 atau sekitar Rp 270 miliar. Penjelasan Ahok ini menjawab tudingan DPRD soal penyebab kericuhan dalam rapat mediasi yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, Kamis 5 Maret 2015. Kemendagri mempertemukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyelesaikan kisruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun mediasi yang berlangsung sejak pukul 09.30 dihentikan pukul 11.55 karena menemui jalan buntu. Dalam rapat itu, Ahok geram karena dewan tetap menghendaki anggaran versi wakil rakyat yang disahkan. Padahal dalam anggaran itu, Ahok menduga ada anggaran siluman senilai Rp 12,1 triliun yang tak masuk dalam pembahasan bersama.
5
DINI PRAMITA Jum'at, 06 Maret 2015 | 06:43 WIB
Ahok vs DPRD,Skenario Jika Deadlock Sampai 8 Maret
TEMPO.CO , Jakarta: Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Yenny Sucipto, mengatakan Pemerintah DKI Jakarta bisa langsung menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2014. Menurut dia, skenario ini baru bisa dilakukan jika pembahasan APBD 2015 antara Pemerintah DKI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak kunjung ada kesepakatan. "Kementerian Dalam Negeri memberikan waktu 7 hari kerja untuk membahas hal ini. Kalau misalnya masih deadlock, bisa pakai APBD 2014," katanya saat dihubungi, Kamis, 5 Maret 2015. Yenny mengatakan masalah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Di beleid tersebut diatur jika dalam batas waktu yang ditentukan APBD tak juga disepakati, maka pemerintah daerah bisa menggunakan APBD tahun sebelumnya. Menurut dia, jika menggunakan APBD 2014, Pemerintah DKI tak perlu lagi meminta persetujuan Dewan. Soalnya, mereka sudah menyepakati anggaran tersebut sebelumnya. "Mereka sudah membahas dan menyetujui, jadi tak perlu minta pendapat lagi," katanya. Pemerintah DKI rincian kegiatan penyuplai listrik anggaran 2015.
bisa menggunakan besaran dana yang sama dengan APBD 2014. Tapi pengadaannya tak perlu sama. Program pengadaan UPS atau alat yang menjadi masalah, misalnya, tak perlu lagi dimasukkan dalam "Kalau sudah diadakan, ya tak usah diadakan lagi. Nanti malah
dobel-dobel," ujarnya. Pemerintah DKI, kata dia, hanya perlu melaksanakan program-program prioritas dalam anggaran tersebut. Seperti masalah pendidikan, kesehatan, dan pelayanan masyarakat. Untuk rincian kegiatannya, ditentukan oleh dinas terkait.
6
Pemerintah DKI dan DPRD belum juga menyepakati APBD 2015 meski sudah dimediasi oleh Kementerian Dalam Negeri. DPRD menuding deadlock ini disebabkan oleh sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Saat pertemuan dengan Kementerian, Ahok--sapaan akrabnya meminta anak buahnya membeberkan pengadaan UPS 2014. Kala itulah anggota dewan meninggalkan ruangan rapat dan terjadi kericuhan. NUR ALFIYAH Jum'at, 06 Maret 2015 | 06:33 WIB
Ditegur Ahok Soal UPS, Anas Efendi Angkat Bicara Seorang operator menunjukkan perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) atau pasokan daya bebas gangguan di ruang penyimpanan UPS SMA 78, Jakarta, 28 Februari 2015. Ahok menilai harga UPS per unit yang disebar di 55 sekolah tidak masuk akal. ANTARA/Puspa Perwitasari TEMPO.CO , Jakarta: Wali Kota Jakarta Barat Anas Efendi menjadi sorotan di tengah riuhnya kisruh pembahasan APBD DKI Jakarta antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penyebabnya, proyek UPS yang diduga Ahok--sapaan akrab Basuki--sebagai proyek siluman dalam anggaran, terbanyak terdapat di wilayah Jakarta Barat yang dipimpin Anas Efendi. Secara keseluruhan, Ahok menduga adanya dana siluman dalam APBD 2015 dengan total nilai mencapai Rp 12,1 triliun. "No comment, saya sudah jelaskan semuanya kepada Gubernur," kata Anas kepada Tempo, Kamis 5 Maret 2015. Penjelasan yang dimaksud Anas adalah surat pernyataan yang ia kirimkan kepada Gubernur Ahok. Dalam surat tersebut, Anas menyebutkan fungsinya selaku Pengguna Anggaran (PA) SKPD Walikota Kota Administrasi Jakarta Barat. Anas mengaku telah mengusulkan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Belanja Langsung Kegiatan pada SKPD Walikota Kota Administrasi Jakarta Barat sesuai sistem e-budgeting untuk tahun anggaran 2015 sebesar Rp 131 miliar. Anggaran tersebut untuk membiayai sejumlah 20 kegiatan.
7
Dalam pernyataannya, Anas menyatakan dalam anggaran tersebut lantas ditemukan adanya penambahan anggaran kegiatan sekitar Rp 270 miliar yang tidak pernah dia usulkan. Anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan UPS di 56 Kelurahan dengan harga satuan Rp 4,2 miliar dan pengadaan UPS di 8 Kecamatan juga dengan harga satuan Rp 4,2 miliar. Selain UPS, pengadaan lainnya tercatat digunakan untuk penanggulangan Kenakalan Remaja dan Pemuda dalam rangka Pembentukan Akhlak Yang Mulia di kalangan Remaja dan Pemuda tingkat kota Administrasi Jakarta Barat sebesar Rp 150 juta. Selanjutnya rincian anggaran untuk penguatan Mental dan Spiritual bagi Remaja melalui ESQ Kota Administrasi Jakarta Barat sebesar Rp 150 juta. Adapula anggaran yang ditulis untuk sosialisasi Bahaya Minuman Keras dan Narkoba di Kalangan Remaja dan Pemuda dengan Pendekatan Keagamaan Tingkat Kota Administrasi Jakarta Barat Rp 150 juta. Dua rincian terakhir yaitu anggaran untuk Workshop dan Pengembangan Karakter untuk Meningkatkan Mental dan Spiritual bagi Remaja dan Pemuda Jakarta Barat sebesar Rp 150 juta dan Peningkatan Wawasan Spiritual bagi Remaja dan Kepemudaan di Jakarta Barat sebesar Rp 150 juta. "Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk digunakan sebagaimana mestinya," kata Anas dalam suratnya. Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah mengatakan telah menerima surat pernyataan Anas itu secara langsung, Kamis 5 Maret 2015. "Ya dia bilang UPS dia enggak usulin tiba-tiba ada di perencanaan 2015. Iya dia bilang emang enggak usul," kata Saefullah di ruangannya, setelah mengadakan pertemuan dengan Anas. AISHA SHAIDRA | DINI PRAMITA
8