KINERJA REHABILITASI HUTAN LINDUNG MANGROVE, DI RPH CIBUAYA, BKPH CIKIONG, KPH PURWAKARTA
UDI KUSDINAR
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
KINERJA REHABILITASI HUTAN LINDUNG MANGROVE, DI RPH CIBUAYA, BKPH CIKIONG, KPH PURWAKARTA
UDI KUSDINAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN UDI KUSDINAR, Kinerja Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove di RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan IWAN HILWAN. Kerusakan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya disebabkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan konversi lahan dengan merubah peruntukan alami menjadi budidaya (tambak) sistem empang parit. Upaya rehabilitasi dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan sebagai hutan lindung. Kegiatan rehabilitasi yang kurang efektif dan kecenderungan masyarakat yang merusak hutan menyebabkan tingkat keberhasilannya rendah. Tingkat keberhasilan rehabilitasi yang pernah ada di KPH Cikiong sangat rendah, karena masyarakat cenderung merusak dan upaya yang dilakukannya sangat rendah. Penelitian ini bertujuan menjelaskan kinerja rehabilitasi hutan lindung mangrove, dilihat dari luas penutupan lahan mangrove oleh vegetasi mangrove dan menentukan besarnya nilai sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem. Pengukuran Penutupan Lahan dilakukan dengan metode garis intersep (Line Intercept Tehnique), sedangkan besarnya nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem, diperoleh dengan melakukan wawancara menggunakan Metode Valuasi Contingent-MVC, dengan pendekatan Metode Tawar Menawar (MTM), dan untuk mendapatkan besarnya Willingness To Pay dan Willingness To Accept yang dianalisis menggunakan metode statistik secara regresi. Hasil Pengukuran penutupan lahan pada kelas I, II, dan III terdapat kesesuaian antara luas penutupan lahan di lapangan dengan luas penutupan lahan yang tertuang dalam kontrak, dengan persentase 100%, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik pesanggem maupun Perhutani. Sedangkan pada kelas IV luas penutupan lahan di lapangan yang sesuai dengan kontrak sebesar 83,3%, karena sebesar 16,7 % memiliki luas penutupan yang lebih besar dibanding luas yang tertulis dalam kontrak, maka pesanggem dirugikan sebab seharusnya tambaknya masuk pada kelas III. Adanya kondisi tambak dengan penutupan lahan 0 % pada kelas IV sebesar 33,33% Ini menunjukan telah terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove, dan tidak berhasilnya rehabilitasi pada ekosistem mangrove. Besarnya sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem adalah lebih tinggi dari nilai sewa yang ada dalam kontrak perjanjian sekarang. Besarnya nilai sewa yang terbaik untuk kelas I sebesar Rp. 100.170/ha, kelas II sebesar kisaran Rp. 118.930,36/ha s.d. Rp. 137.151,64/ha, kelas III sebesar kisaran Rp.136.973,62/ha s.d Rp. 137.151,38/ha, kelas IV sebesar kisaran Rp. 188.910,66/ha s.d Rp. 189.095,22/ha. Pengelolaan hutan lindung mangrove sistem tambak menggunakan sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan rehabilitasi hutan lindung mangrove. Kata kunci : hutan mangrove, kontrak, penutupan lahan, rehabilitasi
SUMMARY UDI KUSDINAR, Effort on Rehabilitation of Mangrove-Protection Forest in RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta. Supervised by SAMBAS BASUNI and IWAN HILWAN The degradation of mangrove-protection forest in RPH Cibuaya is caused by forest utilization which gives more priority to economic value and land conversion. This kind of utilization changes the mangrove forest from natural usage into cultivation (fishpond) usage with embankment ditch system. The effort on rehabilitation is done in order to return the function of area into protection forest again. The successfulness level in KPH Cikiong is very low due to ineffective rehabilitation program and local people’s activity which disposed disturbing the forest. The aim of this research is to explain the effort on mangrove-protection rehabilitation, which observed from the large of land covering by mangrove vegetation and determining the best fishpond rent-fee. The best fishpond rent-fee determination is based on the function value of protection forest and people’s willingness to pay. The measurement of land cover was done using line intercept technique while the determination of fishpond rent-fee could be arranged from interview using Valuation Contingent Method with bargaining approach. The willingness to pay and willingness to accept were analyzed using regression statistic method. The result of land covers measurement in class I, II and III shows that between real lands cover on field is suitable to the reported land cover in contract. The percentage of comparison between real land cover and reported land cover is 100%. This percentage shows there is no side suffered both local people and Perhutani. The result of land cover measurement in class IV is less suitable to land cover reported in contract. The percentage is 83,3%. The real lands cover on the field is wider (16,7%) than in the contract. It means the local people are suffered. There is 0% of land cover in some part of class IV. The zero land cover shows that mangrove ecosystem is in degradation and unsuccessfulness of rehabilitation. The fishpond rent-fee based on the function value of protection forest and people’s willingness to pay is higher than the rent-fee that had been determined in contract. The best rent-fee of fishpond for class I is Rp 100.170,-/ha, class II is about Rp 118.930,36/ha – Rp 137.151,64/ha, class III is about Rp 136.973,62/ha – Rp 137.151,38/ha and for class IV is about Rp 188.190,66/ha – Rp 189.095,22/ha. Based on the analysis above could be concluded that the management of mangrove-protection forest using class fishpond method make the successfulness of rehabilitation disincentive.
Keywords: contract, land cover, mangrove forest,,rehabilitation
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kinerja Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove Di RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Mei 2009
Udi Kusdinar NRP E34102042
Judul Penelitian
: Kinerja Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove, di RPH Cibuaya BKPH Cikiong KPH Purwakarta
Nama
: Udi kusdinar
NIM
: E 34102042
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP.131 411 832
Ir. Iwan Hilwan, MS NIP. 131 578 802
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan nikmat lahir batin sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini, dengan judul KINERJA REHABILITASI HUTAN LINDUNG MANGROVE, (STUDI KASUS DI RPH CIBUAYA, BKPH CIKIONG, KPH PURWAKARTA). Skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor. Rehabilitasi hutan lindung Mangrove RPH Cibuaya dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi hutan lindung mangrove. Namun proyek rehabilitasi yang pernah dilaksanakan tingkat keberhasilanya sangat rendah karena pola pemanfaatan kawasan oleh masyarakat yang cendrung merusak hutan dan upaya rehabilitasi yang dilakukannya sangat rendah , maka diperlukan informasi kinerja rehabilitasi yang sesuai dan relevan dengan kondisi kawasan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, diharapkan adanya masukan dan saran dari pembaca untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 13 Mei 1984 sebagi anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Tarsuli dan Ibu Dasiti. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Ciamis dan pada saat yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut Ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia BEM TPB, ketua umum Oganisasi Mahasiswa Daerah Ciamis (PMGC, dan sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA). Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen beberapa mata kuliah yaitu Dendrologi, Ekologi Satwa Liar (S1), dan konservasi Sumberdaya Alam hayati (D3 Ekowisata).
Penulis juga mengikuti kegiatan Praktek
Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Purwakarta pada tahun 2005 dan Praktek Kerja Lapang Propesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kinerja Rehabilitasi hutan lindung Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong KPH Purwakarta di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR............................................................................... .... i RIWAYAT HIDUP ................................................................................... .... ii UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... .... iii DAFTAR ISI.............................................................................................. .... iv DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah.............................................................................. 2 1.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 3 1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3 1.5. Ruang lingkup ...................................................................................... 3 1.6. Manfaat Penelitian................................................................................ 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Lindung...................................................................................... 5 2.2. Hutan Mangrove................................................................................... 5 2.2.1. Pengertian Hutan Mangrove......................................................... 5 2.2.2. Karakteristik dan Ciri Hutan Mangrove ......................................... 8 2.2.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ............................................ 9 2.2.4. Ancaman terhadap Hutan Mangrove.............................................. 11 2.2.5. Pengelolaan Hutan Mangrove ........................................................ 13 2.2.6. Rehabilitasi Hutan Mangrove......................................................... 15 2.3. Kinerja Proyek...................................................................................... 18 2.4. Penutupan Lahan .................................................................................. 19 2.5. Metode Valuasi Contingent.................................................................. 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 23 3.2. Alat dan Bahan ..................................................................................... 23 3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan............................................................ 23
3.3.1. Jenis data ......................................................................................... 23 3.3.2. Teknik Pengumpulan Data Primer .................................................. 24 3.4. Pengolahan Data................................................................................... 27 IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Letak dan Luas ..................................................................................... 30 4.2. Status dan Sejarah Pengelolaan............................................................ 31 4.3. Iklim, Tanah dan Topografi.................................................................. 33 4.4. Vegetasi dan Satwaliar ......................................................................... 33 4.5. Sejarah dan Letak Lokasi Penelitian .................................................... 34 4.6. Kondisi Sosial Kemasyarakatan........................................................... 35 4.7. Penggunaan Lahan ............................................................................... 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hutan Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong .............................. 37 5.1.1. Sejarah Kawasan ............................................................................ 37 5.1.2. Lahan Mangrove RPH Cibuaya...................................................... 38 5.1.3. Lahan mangrove yang Digunakan Tambak.................................... 39 5.1.4. Lahan Mangrove yang Dikonversi ke Penggunaan Lain ............... 39 5.1.5. Pengelolaan Tambak sistem empang Parit ..................................... 40 5.2. Penutupan Lahan Mangrove RPH Cibuaya.......................................... 46 5.2.1. Kesesuaian Persentase Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kelas tambak .................................................................................. 46 5.2.2. Upaya Rehabilitasi Mangrove ........................................................ 51 5.3. Besarnya Nilai Sewa (Bagi Hasil) Tambak yang Sesuai Dengan Nilai Manfaat Hutan Lindung Mangrove dan Kemauan Membayar dari Pesanggem ........................................................................................... 55 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan........................................................................................... 64 6.2. Saran..................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66 LAMPIRAN.................................................................................................... 69
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Besarnya Sewa Berdasarkan Kelas Tambak...........................................2 Tabel 2. Luas dan Persentase Kelas Tambak di BKPH Cikiong ..........................15 Tabel 3. Kelebihan dan Kelemahan Kelima Metode Penentuan Nilai KUMB.....21 Tabel 4. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Pembagian Resort Pemangkuan Hutan BKPH Cikiong ..............................................................................32 Tabel 5. Data Luasan Mangrove RPH Buaya Kelompok Hutan Cikiong.............38 Tabel 6. Data Penggunaan Lahan Selain untuk tambak........................................40 Tabel 7. Contoh data pengelolaan sistem empang parit........................................41 Tabel 8. Persentase vegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak ......................46 Tabel 9 Rekapitulasi perhitungan penutupan lahan berdasarkan pesanggem.......48 Tabel 10 Rekap kesesuaian penutupan lahan berdasarkan kelas tambak .............49 Tabel 11. Perkembangan sewa tambak berdasarkan tahun...................................56 Tabel 12. Rekapitulasi besarnya kemauan membayar sewa tambak ....................57 Tabel 13. Besarnya sewa kelas 1...........................................................................58 Tabel 14. Besarnya sewa kelas 2...........................................................................58 Tabel 15. Besarnya sewa kelas 3...........................................................................59 Tabel 16. Besarnya sewa kelas 4...........................................................................59 Tabel 17. Besarnya nilai ganti rugi reboisasi/kelas tambak/hektar.......................61 Tabel 18. Besarnya ganti rugi pada kelas 1...........................................................61 Tabel 19. Besarnya ganti rugi pada kelas 2...........................................................61 Tabel 20. Besarnya ganti rugi pada kelas 3...........................................................62 Tabel 21. Besarnya ganti rugi pada kelas 4...........................................................62
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Sketsa Metode Line Intercept Tekhnique ..........................................26 Gambar 2. Hutan mangrove di PPS RPH Cibuaya tahun 2006 ..........................44 Gambar 3. Bentuk pengelolaan lahan tambak.....................................................50 Gambar 4. Contoh upaya rehabilitasi pada lahan tambak...................................54
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Lampiran 1. Data pesanggem dan luas tambak............................................... 69 2. Lampiran 2. Daftar responden yang di wawancara........................................ 74
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bersifat berkelanjutan adalah sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), diantarnya adalah hutan mangrove. Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia, terutama di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, Kepulauan Aru, sedikit di Sulawesi bagian selatan serta Jawa bagian utara (Bengen, 2000). Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran berbagi jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwaliar dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan. Secara ekonomis, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan bahan baku kertas. Selain itu, hutan mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk industri peternakan lebah madu, ekoturisem, dan kegiatan ekonomi lainnya (Bengen, 2000). Kawasan hutan mangrove di RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta adalah salah satu kawasan hutan lindung mangrove yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/2003 tentang perubahan hutan mangrove di Jawa Barat dari hutan produksi menjadi hutan lindung. Kerusakan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya akibat pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang menitik beratkan pada kepentingan ekonomi dan konversi lahan yang merubah fungsi alami menjadi budidaya, menunjukan kerusakan yang cukup parah terhadap fungsi hutan lindung mangrove seperti fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Dalam rangka mengembalikan fungsi hutan sebagai hutan lindung diperlukan upaya-upaya rehabilitasi agar kawasan tersebut berhutan kembali. Rehabilitasi hutan lindung mangrove RPH Cibuaya bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan lindung mangrove. Namun proyek rehabilitasi yang
pernah dilaksanakan di BKPH Cikiong tingkat keberhasilanya sangat rendah, karena pola pemanfaatan kawasan oleh masyarakat yang cenderung merusak hutan dan upaya rehabilitasi yang dilakukannya sangat rendah, maka diperlukan informasi tentang kinerja rehabilitasi yang relevan dan sesuai dengan kondisi kawasan. Penelitian Kinerja Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove di RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi pihak pengelola untuk tercapainya tujuan dan sasaran program rehabilitasi hutan lindung mangrove.
1.2. Perumusan Masalah Hasil penelitian pendahuluan menunjukan bahwa seluruh hutan lindung mangrove di BKPH Cikiong berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh para pesanggem yang diikat oleh suatu perjanjian dengan Perum Perhutani. Salah satu isi perjanjianya adalah masalah sewa. Sistem sewa antara Perum Perhutani dan pesanggem didasarkan pada kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada tambak, dan luasan hutan yang dijadikan tambak (Tabel 1). Tabel 1. Besarnya Sewa Berdasarkan Kelas Tambak. No
Kelas
1 2 3 4
I II III IV
Persentase vegetasi mangrove (%) /Ha 80-100 60-80 40-60 <40
Besarnya sewa (Rp)/ Ha 95.400,00 112.000,00 129.000,00 179.000,00
Sumber BKPH Cikiong, 2005 Berkaitan dengan kinerja rehabilitasi hutan lindung mangrove di RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta, maka terdapat beberapa titik masalah yaitu sebagai berikut: 1. Jika luas penutupan lahan tidak sesuai dengan sebenarnya di lapangan maka akan terjadi dua kemungkinan yaitu : a. lebih besar dari sebenarnya, maka pesanggem dirugikan b. lebih kecil dari sebenarnya, maka Perum Perhutani yang dirugikan. 2. Diduga bahwa kemauan untuk membayar (willingnes to pay) sewa tambak oleh pesanggem lebih besar dari yang ditetapkan oleh Perum Perhutani.
1.3. Kerangka Pemikiran Untuk mempermudah proses penelitian maka digunakan kerangka berpikir berikut ini : kajian mengenai Kinerja Rehabilitasi Hutan Lindung Mangrove ini adalah dengan mengetahui kinerja rehabilitasi dilihat dari luas penutupan lahan dan besarnya sewa tambak hutan lindung mangrove. Luas lahan yang diteliti meliputi: 1) Luas awal lahan mangrove RPH Cibuaya, 2) Luas lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain (sawah, pemukiman, dll), 3) Luas lahan mangrove untuk tambak, 4) Luas lahan mangrove yang bervegetasi mangrove sesuai dengan aturan kelas tambak.
Hasil pengukuran tersebut dapat menentukan luas
penutupan lahan mangrove yang bervegetasi mangrove dan kesesuaian aturan kelas tambak dengan kondisi di lapangan, dan 5) Besarnya nilai sewa tambak hutan lindung mangrove yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrovenya antara Perum Perhutani dan pesanggem. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur respon pesanggem apabila tidak diperbolehkan berusaha tambak dan mengetahui berapa besar kemampuan membayar untuk dibolehkan berusaha tambak.
1.4. Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu menjelaskan kinerja rehabilitasi hutan lindung mangrove, dilihat dari luas penutupan lahan mangrove oleh vegetasi mangrove dan menentukan besarnya nilai sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem.
1.5. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah : a. Mengkaji peraturan formal, Perum Perhutani tentang pembagian kelas lahan mangrove untuk tambak.
b. Mengetahui besarnya nilai sewa tambak hutan lindung mangrove yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrovenya.
1.6. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan acuan bagi pengelola atau stakeholder lain dalam pengambilan keputusan, serta sebagai : 1. Data dasar untuk meninjau kembali kelas-kelas penutupan lahan mangrove oleh vegetasi mangrove, dan 2. Besarnya nilai sewa tambak antara Perum Perhutani dan pesanggem berdasarkan kemauan membayar dari pesanggem.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Lindung Anonymous (1967) dalam Purwanto (1986) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsinya hutan negara dapat dibagi empat yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan hutan wisata (taman wisata dan taman buru). Kriteria penetapan Hutan Lindung telah diputuskan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 pada tanggal 24 November 1980. Penetapan hutan lindung yang telah dikukuhkan sebelumnya, dinyatakan tetap sebagai hutan lindung selama belum diadakan peninjauan dan penetapan kembali sesuai dengan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung berdasarkan surat keputusan tersebut di atas. Anonymous (1967) dalam Purwanto (1986) mendefinisikan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta pemelihara kesuburan tanah. Kittredge (1948) dalam Purwanto (1986) menyebutkan bahwa hutan lindung adalah suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah. Dalam keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Hutan Lindung adalah hutan yang memilki sifat yang khas yang mampu memberikan perlindungan terhadap kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah (LPP Mangrove, 1998).
2.2. Hutan Mangrove 2.2.1. Pengertian Hutan Mangrove Kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968) dalam (Syah, 2003). Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput-
rumputan/semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove atau hutan payau adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut yaitu tergenang air laut pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada waktu surut (Syah, 2003). Berbagai referensi lain mendefinisikan hutan mangrove sebagai berikut : a) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).; b) adalah hutan yang berada di air payau, perbatasan antara daratan dan lautan di daerah tropika dan subtropika, merupakan ekosistem kaya yang dapat menyediakan berbagai macam barang dan jasa bernilai ekonomi (Spaninks dan Beukening, 1997) dalam (Muliady, 2002); c) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992) dalam (Muliady, 2002); d) adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipenuhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Schyphyphora, dan Nypa (Soerianegara, 1996 dalam R. Muliady, 2002); e) adalah tumbuhan halopit yang tumbuh di daerah pasang surut di sepanjang areal pantai, dimana diantara seluruh sistem makrofit laut, mangrove adalah satu-satunya kelompok tumbuhan yang memiliki areal biomas dan ditemukan mulai dari daerah yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah setara ketinggian rata-rata air laut, terhampar mulai dari
daerah tropis sampai daerah subtropis (Arksornkoae, 1993) dalam (Muliady, 2002). Muliady (2002) menyatakan beberapa pengertian hutan mangrove di atas dapat memberikan gambaran secara umum bahwa hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, berkembang di antara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit di atas rata-rata permukaan air laut. Hutan ini didominasi oleh tumbuhan halopit yang terdiri dari jenis pohon Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora,
Bruguiera,
Ceriops,
Lumnitzera,
Excoecaria,
Xylocarpus, Aegiceras, Schyphyphora, dan Nypa. Sedangkan menurut Saenger et al. dalam Anwar et al. (1984) dalam Syah (2003), walaupun belum ada definisi mengenai ekosistem mangrove yang dapat diterima secara umum, ia mengusulkan agar di dalam definisi ekosistem hutan mengrove harus mencakup hal-hal di bawah ini : a) Satu atau lebih pohon mangrove yang khas. b) Setiap jenis yang tidak khas tumbuh bersama jenis yang khas. c) Biota yang hidup di dalamnya seperti hewan daratan atau laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri, dan lainnya, baik yang menetap atau sementara hidup di daerah tersebut. d) Proses-proses yang penting untuk mempertahankan ekosistem ini baik yang ada di daerah bervegetasi atau luarnya. e) Daerah-daerah terbuka atau berlumpur yang terletak diantara hutan sebenarnya dan laut. Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Terdapat pada tanah lumpur, pasir atau lumpur berpasir. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berhabitus semak hingga berhabitus pohon besar dan tingginya antara 50-60 m dan hanya mempunyai satu stratum tajuk (Istomo, 1992).
2.2.2. Karakteristik dan Ciri Hutan Mangrove Menurut Bengen (2002), karakteristik hutan mangrove adalah sebagai berikut : a) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. b) daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. c) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat dan d) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 sampai 22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil). Soerianegara dan Indrawan (2002) menerangkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut : a) tidak terpengaruh iklim b) terpengaruh pasang surut c) tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau berpasir terutama tanah liat d) tanah rendah pantai e) hutan tidak mempunyai stratum tajuk f) pohon-pohon dapat mencapai tinggi 30 meter g) jenis-jenis pohon mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Bruguiera sp. h) tumbuh-tumbuhan bawah terdiri dari Acrosthicum aurum, Acanthus ilicifolius, Acanthus ebracteatus. i) tumbuh dipantai merupakan jalur. Samingan (1973) dalam Sulistiadi (1986) melaporkan bahwa mangrove mempunyai ciri bentuk akar khusus yang toleran terhadap keadaan yang khusus pula akan nutrisi, asimilasi air dan oksigen di dalam lumpur anaerobik.
2.2.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia (Lpp mangrove, 2000) dalam (Syah, 2003). Menurut Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978, pengusahaan hutan mangrove ditujukan untuk menghasilkan kayu sebagai bahan arang, kayu bakar dan serpih kayu (Setiaji, 2001). Soerianegara (1996) dalam Muliady (2002), manfaat atau fungsi hutan mangrove meliputi fungsi hayati perairan, fungsi fisik dan kimiawi perairan. Fungsi hayati perairan meliputi; sebagai sumber makanan/kesuburan tanah, tempat berlindung, tempat berbiak dan tempat pembesaran, sedangkan fungsi fisik dan kimiawi perairan meliputi; seperti penahan gelombang, penahan angin, penahan intrusi air laut, pencegah erosi tanah, pengendali banjir dan pelindung terhadap pencemaran. Bengen (2000) mengemukakan bahwa fungsi dan manfaat hutan mangrove yaitu : a) sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dan abrasi, penahan lumpur perangkap sedimen. b) penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove c) daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya d) penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan bakar arang dan bahan baku kertas (pulp) e) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya dan f) sebagai tempat pariwisata.
Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran berbagai jenis ikan dan udang, serta spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dan gempuran gelombang tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya. Secara ekonomi potensi mangrove diperoleh dari tiga sumber yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta pariwisata alam (Syah, 2003). Kusmana et al (2003) menyatakan fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi yaitu fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomis. Peranan ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang terutama pada fungsi dasar sebagai daerah asuhan ikan dan daerah yang bebas dari ikan predator. Hal tersebut didasarkan pada kualitas ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan bervariasi, produksi serasah sedang, dan kelas genangan yang tinggi dicirikan oleh keberadaan ikan-ikan muda (juvenile). Kondisi ini memperlihatkan kontribusi ekosistem mangrove sebagai tempat tumbuh besar dan mencari makan bagi beragam komunitas ikan (Kawaroe et al, 2001) dalam (Sofian, 2003). Manfaat hutan mangrove di BKPH Cikiong, KPH Purwakarta terdiri dari 2 bagian, yaitu manfaat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan manfaat produksi. Kedua manfaat tersebut di atas baik secara langsung maupun tidak langsung bagi sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat lokal (Arief, 2002). Ekosistem mangrove BKPH Cikiong sangat penting untuk memelihara dan membentuk tanah, sebagai cadangan asimilasi tersier sampah, dan secara global memelihara dan mempertahakan siklus karbondioksida, nitrogen dan sulfur. Kemudian ekosistem mangrove ini memainkan peranan yang penting dalam
stabilisasi dan promosi lahan, fiksasi lumpur, penurunan kecepatan angin, pasang surut dan energi gelombang. Selain memberikan manfaat perlindungan fisik bagi kawasan tepi pantai, secara ekologis mangrove juga sebagai kawasan pemijahan untuk berbagi jenis ikan komersial serta konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini menunjukan bahwa mangrove memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Penanaman mangrove merupakan salah satu metoda alternatif yang murah biayanya dan sangat efektif untuk mengontrol erosi, perlindungan daerah pantai dan mengembalikan fungsi-fungsi mangrove lainnya. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan yang dilakukan oleh pengelola hutan mangrove di BKPH Cikiong sejak tahun 1967, akibat adanya pengrusakan hutan di daerah ini secara besar-besaran. Kemudian kegiatan ini secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan nilai komersial yang cukup tinggi, baik nilai komersial tegakan mangrove beserta hasil ikutannya maupun nilai jasa dari ekosistem ini berupa keindahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan ekowisata. Kegiatan produksi yang saat ini dilakukan di kawasan mangrove BKPH Cikiong, KPH Purwakarta hanya diarahkan pada kegiatan produksi perikanan. Sedangkan kegiatan produksi lainnya belum dikelola dengan optimal. Kegiatan produksi perikanan di kawasan ini umumnya dilakukan dengan cara : 1) pola empang parit tradisional; 2) pola empang parit yang disempurnakan; dan 3) pola komplangan. 2.2.4. Ancaman terhadap Hutan Mangrove Dahuri
(1996)
dalam
Suhendrata
(2001)
dalam
Sofian
(2003)
menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu : a) tanah timbul dan tanah tenggelam b) masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat c) kegiatan pembangunan di darat d) kegiatan pembangunan di laut e) menajemen pengelolaan hutan mangrove Kawaroe et al. (2001) dalam Sofian (2003) menyatakan dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah
kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosisitem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat pembiakan dan pembesaran (spawning dan nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground). Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan dan pelabuhan), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove semakain meningkat pula. Hal ini berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove secara langsung (penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen, 2000). Kegiatan penebangan oleh penduduk dapat mengakibatkan kematian vegetasi hutan mangrove, yang berdampak serius terhadap perikanan pantai (Anonimous, 1986) dalam (Setiaji, 2001). Pertambakan udang pada hutan mangrove secara besar-besaran dan modern menyebabkan kerusakan dan ketidakseimbangan alam, antara lain penurunan produksi perikanan seperti yang terjadi di Bagan siapi-api dan Teluk Jakarta (Atmawidjaja, 1987). Gangguan keamanan hutan di wilayah kawasan payau KPH Purwakarta biasanya berupa perusakan tanaman, bencana alam banjir dan pendudukan lahan. Arief (2002) menyatakan bahwa permasalahan di areal hutan mangrove BKPH Cikiong, KPH Purwakarta sudah ada sejak awal tahun 60-an, ketika terjadi penyerobotan lahan yang menyebabkan sebagian besar hutan mangrove alam di kawasan tersebut mengalami kerusakan. Saat ini muncul permasalahan lain yang hampir serupa yaitu perambahan kawasan yang terjadi di areal hutan di sepanjang kanal yang melintasi areal hutan mangrove. Di lokasi tersebut, perambah menebang pohon, membuka hutan mangrove dan mendirikan bangunan di atasnya yang pada akhirnya perambah akan mengklaim lahan mangrove yang telah dibuka sebagai miliknya. Permasalahan di areal hutan mangrove BKPH Cikiong tidak hanya menimpa perum perhutani sebagai pihak yang menguasai lahan, tetapi juga
menimpa para pesanggem (penggarap tambak). Permasalahan ini biasa muncul ketika para pesanggem memanen hasil tambaknya. Pada saat itu, banyak masyarakat di luar pesanggem turut melakukan pemanenan hasil budidaya perikanan yang bukan haknya. Permasalahan di kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong tidak hanya disebabkan oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti banjir. Banjir besar yang terjadi di akhir tahun 2000 dan menggenangi hutan mangrove selama kurang lebih 2 bulan, telah menyebabkan puluhan hektar hutan mangrove yang ada di BKPH Cikiong mengalami kerusakan (kematian). Pada bulan Januari 2001, pohon mangrove di areal tersebut sudah terlihat kering dan mati (Arief, 2002). 2.2.5. Pengelolaan Hutan Mangrove Salah satu cara pengelolaan hutan mangrove yaitu sistem tumpang sari. Tambak tumpangsari merupakan suatu pola sylvofishery yang diterapkan pada pelaksanaan program Perhutanan Sosial di kawasan hutan mangrove, dimana para petani memelihara ikan dan udang agar kesejahteraannya meningkat sekaligus merehabilitasi hutan mangrove (Perum Perhutani, 1998) dalam (Sofian, 2003) Arief (2002), menyatakan program Perhutanan Sosial di BKPH Cikiong direncanakan sejak tahun 1987, dalam bentuk rencana operasional seluas 25 ha (satu unit). Pelaksanaan Perhutanan Sosial yang diterapkan di areal tersebut adalah sistem sylvofishery (tambak tumpangsari). Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan terpadu antara pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan payau dengan kegiatan budidaya ikan. Program sylvofishery dilaksanakan di petak 43 dengan melibatkan sebanyak 9 KTH. Setiap petani yang digabung dalam program Perhutanan Sosial ini disebut pesanggem dan dibuat perjanjian tertulis dengan pihak Perum Perhutani. Perjanjian ini berlaku selama enam tahun dan akan diperbaharui setiap kali habis masa kontraknya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Koordinator KTH RPH Cibuaya tahun 1994, jumlah anggota KTH tercatat 181 orang dengan luas garapan 1.302,55 ha (Arief, 2002).
Sistem sylvofishery yang diterapkan di wilayah BKPH Cikiong didasarkan pada sistem yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Pola Empang Parit Tradisional Dalam pola empang parit tradisional, lahan hutan dan empang berada dalam satu hamparan. Pengelolaan air diatur dalam satu pintu air. b) Pola Empang Parit yang Disempurnakan Pola empang parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional. Perbedaanya terletak pada pintu air untuk pemeliharaan yang terdiri atas 3 (tiga) buah pintu, yaitu 2 buah pintu masuk dan 1 buah pintu keluar. Ditambah lagi dengan saluran air pasang surut bebas untuk hutan. c) Pola Komplangan Dengan pola ini areal budidaya ikan dengan hamparan tegakan hutan terpisah oleh tanggul yang diberi dua buah pintu air sebagai penghubung yaitu satu untuk pintu masuk air dan satu untuk keluar air. Pada areal tegakan hutan terdapat saluran pasang surut bebas. Fahrudin (1996) dalam Sofian (2003) menyimpulkan bahwa proporsi pemanfaatan hutan untuk tambak intensif yang paling baik adalah 25% dari total luas hutan mangrove di Kabupaten Subang. Bila proporsi pemanfaatan untuk tambak intensif lebih besar dari 50% luas hutan mangrove, maka manfaat relatif yang diperoleh akan lebih kecil daripada pemanfaatan untuk hutan mangrove dengan pola tumpangsari. Tetapi kenyataannya, keterbatasan modal yang ada pada masyarakat menyebabkan kecenderungan untuk memperbesar luas lahan garapan tambak dan bukan meningkatkan produktifitas lahan. Selain itu, untuk meningkatkan produktifitas tambak melalui intensifikasi tambak mengandung resiko lebih besar daripada budidaya tambak secara tradisional. Hal ini terlihat dari hanya 3,36% masyarakat yang melakukan budidaya monokultur udang, itu pun dengan teknik budidaya tradisional. Berdasarkan kecenderungan yang ada di masyarakat, Fahrudin (1996) menyatakan bahwa upaya untuk mempertahankan hutan mangrove tetap menghadapi tantangan besarnya peningkatan permintaan lahan mangrove untuk
tambak ekstensif walaupun pengelolaan hutan mangrove dengan tambak tumpangsari menghasilkan nilai manfaat yang relatif besar. Hasil penelitian pendahuluan menunjukan bahwa seluruh hutan lindung mangrove di BKPH Cikiong adalah berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh para pesanggem yang diikat oleh suatu perjanjian dengan perum perhutani. Dalam perjanjian yang ada saat ini, tidak ada kewajiban bagi pesanggem untuk melakukan rehabilitasi, mereka hanya diwajibkan untuk memelihara tanaman yang ada dan melakukan penyulaman tanaman mangrove yang mati. Situasi di lapangan menunjukan kondisi sebaliknya, banyak mangrove yang ditanam malah dicabuti. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan reboisasi hutan lindung mangrove. Hal ini terbukti dari banyaknya lahan areal tambak yang turun kelas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi hutan mangrove di BKPH Cikiong telah mengalami kerusakan yang cukup parah, karena hutan yang bervegetasi mangrove kurang dari 40% (Tabel 2). Tabel 2. Luas dan Persentase Kelas Tambak di BKPH Cikiong. RPH
Jml petak
Pakis Pangkaran Cikeruh Ciwaru Cibuaya
9 10 7 15 13
Luas Total (Ha) 842,88 1365,12 1143,10 1926,81 1302,71
Luas dan persentase lahan pesanggem berdasrkan kelas (Ha) I
%
II
%
III
%
IV
%
94,76 9,35 28,48 6,5 17,3
11,24 0,68 2,49 0,34 1,33
190,96 43,89 415,52 84,58 91,4
22,66 3,22 36,35 4,39 7,02
203,35 144,85 340,22 184,97 278,71
24,13 10,61 29,36 9,60 21,40
353,80 1167,03 358,85 1650,79 915,3
41,98 85,49 31,39 85,67 70,26
Sumber BKPH Cikiong, 2005.
2.2.6. Rehabilitasi mangrove Rehabilitasi yaitu kegiatan untuk meningkatkan manfaat dan kelestarian wilayah mangrove sesuai dengan fungsinya (Wiroatmojo dkk, 1993) dalam (Siregar, 1998). Sedangkan Prastowo (1993) dalam Siregar (1998) menyebutkan bahwa rehabilitasi mangrove perlu dilaksanakan untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi perlindungan, fungsi pelestarian dan fungsi reproduksi. Kegiatan reboisasi yang dilakukan terhadap hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa (Bengen, 2000). Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa dilaporkan telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman utama Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dengan persen tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60-70% (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1986) dalam (Bengen, 2000). Hal yang serupa juga dilakukan pada sekitar 105 ha hutan mangrove yang rusak di Cilacap, dimana telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. Secara umum, upaya rehabilitasi hutan mangrove hampir selalu mengalami kegagalan atau persen keberhasilannya sangat rendah. Sebagai ilustrasi, keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di KPH Purwakarta hanya sekitar 44,61%, bahkan di BKPH Cikiong hanya 14,79% saja. Rendahnya keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove tersebut diantaranya disebabkan oleh pencabutan tanaman muda oleh masyarakat yang mengusahakan tambak dan konversi lahan mangrove untuk lahan pemukiman serta sawah. Dengan paradigma baru dibidang kehutanan saat ini bahwa setiap kegiatan pengurusan hutan harus melalui pendekatan partisipasi masyarakat, maka di dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, partisipasi masyarakat sangat diutamakan
dalam
rangka
mengembangkan
potensi
dan
pemberdayaan
masyarakat, demi tercapinya tujuan dan sasaran program rehabilitasi hutan dan lahan. Tujuan utama dilakukan rehabilitasi hutan mangrove dan pantai adalah untuk mengembalikan aneka fungsi ekosistem baik fungsi ekologis maupun ekonomis. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka jenis-jenis yang akan ditanam maupun pola tanamnya harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendatangkan manfaat yang optimal. LPP Mangrove (2003) menyatakan rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi dari masyarakat. Rencana rehabilitasi disusun dengan mempertimbangkan
zonasi kawasan, manfaat, fungsi, serta aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan rencana rehabilitasi adalah pendekatan fisik, pendekatan biologis dan pendekatan sosial. Pendekatan fisik dimaksudkan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan kawasan pantai dengan membangun bangunan fisik (alat pemecah ombak, cerucuk, dan sebagainya) untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon mangrove dan pohon hutan pantai) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai. Upaya rehabilitasi akan sia-sia apabila kegiatan tersebut hanya berhenti setelah dilakukan penanaman dan pemasangan alat pemecah ombak. Oleh karena itu penguatan dan pengembangan kelembagaan konservasi kawasan pantai perlu dikembangkan dengan tetap melibatkan semua pihak. Menurut LPP Mangrove (2004), aspek-aspek perencanaan yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi mangrove antara lain : a) Aspek ekologis dan fisik lahan b) Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat sekitar yang akan direhabilitasi c) Aspek finansial dari kegiatan yang akan dilaksanakan d) Aspek teknis (terutama teknis silvikultur) untuk melakukan kegiatan rehabilitasi yang direncanakan e) Aspek ketenagakerjaan yang digunakan Secara umum, beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan di dalam kegiatan rehabilitasi adalah sebagai berikut : a) Seleksi dan persiapan areal penanaman b) Pendekatan rehabilitasi c) Pemilihan jenis yang sesuai d) Pembuatan persemaian e) Penanaman f) Pemeliharaan
2.3. Kinerja Proyek Menurut Kadariah (1999) dalam Rusmana (2005) menyebutkan proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan manfaat (benefit) atau suatu aktifitas yang mengeluarkan uang dengan harapan mendapatkan hasil (return) di waktu yang akan datang dan yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai satu unit. Sedangkan Pasaribu (1979) dalam Rusmana (2005), proyek adalah suatu pelaksanaan pekerjaan yang terencana mencakup serangkaian kegiatan yang saling berkaitan dan terkoordinasi, untuk mencapai tujuan khusus, dengan sejumlah dana dan jangka waktu tertentu. Kinerja merupakan ukuran seberapa besar atau seberapa jauh efisiensi serta keefektifan seseorang atau kelompok, seberapa baik menetapkan dan mencapai sasaran yang tepat (Stoner dan Freeman, 1992) dalam (Witria, 2004). Sedangkan menurut Suwarto (1999) dalam Rusmana (2005) menyatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi dimana jika kemampuan dan motivasi memiliki nilai tinggi maka kinerjanya akan tinggi pula. Kinerja merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu yang menghantarkan pada suatu penilaian. Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu kegiatan/proyek berdasarkan suatu standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa kegunaan penilaian kinerja menurut George A. Smith, et al. dalam Gracia (1996) dalam Witria (2004) adalah sebagai berikut : a) Penilaian; menghitung tingkat keberhasilan proyek b) Navigasi; membantu proyek tetap dalam arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya c) Alat diagnosa; menentukan bagian mana yang memerlukan perhatian serta mengetahui problem yang ada d) Monitor; mengetahui kemajuan/kinerja sesuai dengan yang diharapkan e) Accountability; mengevaluasi apakah proyek tersebut menguntungkan bagi peserta proyek.
2.4. Penutupan Lahan Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995) dalam Suheri (2003), lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan, yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi, dan biologi. Penutupan lahan menurut Lillesend dan Kiefer (1990) dalam Suheri (2003) merupakan istilah berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. pengertian serupa ditambahkan Berley (1961) dalam Lo (1995) dalam Suheri (2003) bahwa penutupan lahan menggambarkan kontruksi vegetasi dan buatan yang menutup lahan. Secara umum ada tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan : 1. Struktur fisik yang dibangun manusia. 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Istilah penggunaan lahan menurut Lillesend dan Kiefer (1990) dalam Suheri (2003) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsirkan secara langsung dari penutupan lahannya. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena aktifitas manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesend dan Kiefer, 1990). Faktor-faktor perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan, misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah. Lillesend dan kiefer (1990) dalam Suheri (2003) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang merubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan seperti yang dikutip oleh Melte dan Caroll (1994) dalam Basuni (2003) terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan, dan faktor sosial ekonomi lainnya.
2.5. Metode Valuasi Contingent (MVC) Keuntungan ekonomi dari kebijaksanaan perubahan kualitas lingkungan adalah nilai uang dari peningkatan lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia yang dihasilkan oleh kebijaksanaan tersebut atau terhindarnya biaya yang besar dalam menangani kerugian yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Kebijaksanaan lingkungan akan menjadi efektif jika memberikan benefit ekonomi dari pelaksanaannya. Secara ideal, nilai ini adalah jumlah dari nilai-nilai yang ditentukan oleh seluruh individu baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ini bisa dinyatakan dalam bentuk uang yang sering dikaitkan dengan istilah Kemauan Untuk Membayar-KUMB (Willingness to pay) untuk barang-barang lingkungan yang disediakan (Yakin, 1997). Telah banyak metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan. Sampai saat ini telah berkembang sekitar lima belas jenis metode penilaian ekonomi perubahan kualitas lingkungan. Yang paling populer adalah Metode Valuasi Contingent-MVC (Contingent Valuation Method) yang dianggap superior untuk saat ini (Bishop and Herberlein, 1990; Hoehn, 1990; Johson, Bregenzer and Shelby, 1990; Hoevenagel, 1994) dalam (Yakin, 1997). Metode Valuasi Contingent (MVC) adalah metode teknik survey untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan, jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran lain seperti pajak diterapkan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas, juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan (Yakin, 1997). Dalam hal ini, orang diasumsikan bertindak seperti yang dia katakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Dengan dasar asumsi ini, maka pada dasarnya metode MVC ini menilai barang lingkungan dengan menanyakan dua pertanyaan berikut :
1. Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga (Willingness to pay) setiap bulan atau setiap tahunnya untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan 2. Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang atau rumah tangga (Willingness to accept) setiap bulan atau setiap tahunnya sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (dampak negatif dari lingkungan). Asumsi dasar MVC adalah sebagai berikut : 1) bahwa individu-individu memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka dan bahwa mereka cukup tahu kondisi lingkungan yang dinilai, dan 2) apa yang dikatakan orang adalah sungguh-sungguh apa yang mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi. Untuk
mendapatkan
penilaian
keuntungan
yang objektif dengan
menggunakan MVC maka harus diperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian, antara lain: 1. Penentuan populasi dan objek yang dinilai 2. Desain daftar pertanyaan 3. Metode bertanya 4. Ketersediaan data penunjang 5. Analisis data Metode bertanya yang bisa ditempuh dalam mengajukan pertanyaan kepada responden sangat beragam. Pendekatan ini terdiri dari Metode Tawar Menawar-MTM; Metode Pertanyaan Terbuka-MPT; Metode Kartu PembayaranMKP; Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi-MPPD; dan Metode Rengking-MRC, yang masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 3). Tabel 3.
Kelebihan dan Kelemahan Kelima Metode Penentuan Nilai KUMB (Yakin, 1997)
Metode MPT1 MTM1 MKP1 MPPD1 Penerapan W/T/P W/T W/P W/T/P Kesesuaian Rendah Menengah Menengah Tinggi Kemungkinan Bias Tidak Ya Ya Ya Kesulitan estimasi Tidak Tidak Tidak Ya Kompatibel Tidak Tidak Tidak Ya Catatan : W = wawancara langsung; T = melalui telepon; P = melalui pos Kriteria
MRC W/T/P Tinggi Ya Ya Ya
Menurut Yakin (1997), kesalahan potensial estimasi nilai lingkungan dengan metode ini meliputi kesalahan hipotesis, kesalahan strategi, kesalahan informasi, kesalahan titik awal nilai tukar, dan kesalahan alat. Dengan adanya kemungkinan terjadinya beberapa kesalahan estimasi nilai lingkungan dengan menggunakan MVC ini, maka dalam merancang suatu daftar pertanyaan serta menentukan
strategi
dalam
melakukan
memperhatikan potensi estimasi di atas.
survey
atau
wawancara
harus
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Juni–Juli 2006, dan Oktober 2008 yang dilakukan di Hutan Lindung Mangrove RPH Cibuaya, BKPH Cikiong, KPH Purwakarta.
3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Alat tulis
6. Peta lokasi penelitian
2. Kamera
7. Meteran 50 m
3. Tape recorder
8. Tali tambang/tali rapia
4. Panduan wawancara
9. Taly sheet
5. Pita diameter
3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang (baik data primer maupun data sekunder). Data yang dikumpulkan meliputi : a) Data awal lahan mangrove RPH Cibuaya (sejarah kawasan) b) Data lahan mangrove yang bervegetasi mangrove c) Data lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain d) Data lahan mangrove yang digunakan tambak e) Data pengelolaan tambak sistem empang parit, meliputi : luas tambak, kelas tambak, umur tambak, jumlah tenaga yang terlibat, status tambak, dan upaya konservasi yang dilakukan. f) Data luas penutupan lahan mangrove bervegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak. g) Besarnya nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem. Data sekunder diperlukan untuk melengkapi data primer, yang diperoleh dari kantor pengelola yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan ini. Selain
itu, data sekunder diperoleh dari studi literatur yang relevan dan menunjang data pokok, baik itu dari data pustaka maupun data-data dan informasi yang diperoleh dari pihak pengelola yang terdiri dari keadaan umum lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian. 3.3.2. Teknik Pengumpulan Data 3.3.2.1. Data sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara langsung dengan pengelola. Berikut rincian teknik pengumpulan data sekunder berdasarkan jenis data : 1. Data lahan mangrove RPH Cibuaya, data lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain dan data lahan mangrove yang digunakan tambak. Data ini diperoleh dengan melakukan studi pustaka pada penelitian penelitian yang sudah dilakukan di BKPH Cikiong dan laporan kerja tahunan BKPH Cikiong. 2. Data pengelolaan tambak sistem empang parit, meliputi : luas tambak, kelas tambak, umur tambak, jumlah tenaga yang terlibat, status tambak, dan upaya konservasi yang dilakukan. Data ini diperoleh melalui teknik Penelusuran Sejarah, dilakukan melalui wawancara studi kasus bertipe open-ended, dimana peneliti bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mengenai peristiwa yang ada sepanjang masa. Dalam penelitian ini ditetapkan beberapa informan kunci yang dianggap mampu memberikan informasi akurat. Adapun kriteria bagi pemilihan informan kunci adalah : tokoh masyarakat yang tahu persis tentang sejarah pemanfaatan hutan mangrove RPH Cibuaya sebagai informan ahli. Sebagai upaya untuk mendapatkan sumber informasi atau informan yang tepat, dilakukan metode snowball, yaitu suatu teknik penentuan informan yang dianggap “lebih mampu” memberikan informasi sesuai kebutuhan penelitian berdasarkan petunjuk atau rekomendasi informasi awal. Proses ini terus berlangsung, hingga diperoleh sumber utama yang tepat.
3.3.2.2. Data primer Data primer diperoleh melalui observasi di lapangan dan wawancara dengan pihak pengelola kawasan dan para pesanggem. Berikut rincian teknik pengumpulan data primer berdasarkan jenis data : 1. Penutupan Lahan Bervegetasi Mangrove Data penutupan lahan yang bervegetasi mangrove, dapat diperoleh melalui observasi langsung/pengukuran dengan mengambil contoh untuk setiap kelas tambak, yang selanjutnya dilakukan pengukuran panjang penutupan lahan dengan metode yang digunakan adalah Line intercept tehnique. Selain itu digunakan juga metode wawancara pada pesanggem dan pengelola kawasan. 1). Metode Penarikan Contoh Unit contoh untuk penelitian adalah luas tambak per kelas tambak. Penarikan contoh dilakukan dengan teknik Multistage Random sampling berdasarkan luas lahan mangrove yang digunakan.dalam berusaha tambak, dengan intensitas sampling 5%. Banyaknya contoh yang diambil dapat diketahui dengan Rumus : IS ntotal
= 1 – (n/N) 5 = X Luas Lahan Tambak 100
Keterangan : IS = Intensitas Sampling N = Banyaknya Contoh (Luas Lahan Tambak) n = Luas contoh yang akan diambil
2). Metode Pengukuran Penutupan Lahan menggunakan Metode Line Intercept tehnique. Cara garis intersep dilaksanakan di lapangan dengan membentangkan atau menaruh garis transek. Alat yang digunakan adalah pita ukur atau tambang/tali. Salah satu sisi areal yang akan dipelajari dibuat garis dasar yang dibagi menjadi beberapa titik yang sama jaraknya. Dalam pelaksanaanya digunakan sistematik sampling. Titik-titik tersebut dapat digunakan sebagai titik tolak garis intersep melalui areal yang akan dipelajari.
Tumbuhan yang terlewati garis intersep baik di atas garis maupun di bawah garis harus dicatat. Yang dicatat adalah panjang garis yang terpotong (i) dan lebar maksimum tumbuhan tegak lurus pada garis transek (m). Berikut ini sketsa metode Line Intercept Tehnique, yang tersaji pada Gambar 1.
1 2 3
Gambar 1. Sketsa Metode Line Intercept Tehnique Dari hasil hasil pengukuran dihitung besaran besaran sebagai berikut : a. Jumlah individu individu yang dijumpai (N) b. Total Panjang intersep (I) c. Jumlah interval transek yang ditemukan jenisnya d. Total panjang maksimum tumbuhan tegak lurus pada garis transek (M) e. Total dari kebalikan dari lebar tumbuhan maksimum (∑ 1/M) Data besaran
besaran
hasil
perhitungan
digunakan
untuk
perisalahan tegakan hutan yang meliputi: Kerapatan, Dominansi dan Frekuensi. Serta digunakan untuk mengukur Penutupan Total (Total Covarage) . 2. Besarnya nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem. Data ini dapat diperoleh dengan mengunakan Metode Valuasi ContingentMVC, dengan pendekatan Metode Tawar Menawar (MTM). Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung kepada
responden
berapa jumlah maksimum uang yang ingin dibayar terhadap perubahan lingkungan, dengan menanyakan responden apakah dia mau membayar sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point). Materi pokok yang ditanyakan adalah :
a. Perum Perhutani akan memutuskan perjanjian yang telah dibuat antara Perum Perhutani dengan pesanggem, karena bukan kawasan hutan produksi. Tetapi kalau pesanggem tetap mau menggarap dan mengelola wanamina, sesunguhnya berapa mereka berani membayar (WTP) untuk setiap ha setiap kelas tambak. b. Perum Perhutani akan mereboisasi kawasan tambak menjadi kawasan berhutan. Sesungguhnya berapa besar yang mau mereka terima (WTA) sebagai kompensasi atau ganti rugi dari hilangnya lahan tambak mereka setiap ha setiap kelas tambak. Menurut Bailey dalam Hasan (2002) menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30. Maka banyaknya responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 orang. Responden diambil menggunakan pendekatan Random Sampling.
3.4. Pengolahan Data Pengolahan data penelitian dilakukan dengan metode analisis sebagai berikut: 1. Data kualitatif yang diperoleh melalui penelusuran sejarah, wawancara dan studi literatur diolah dengan cara tabulasi dan atau diagram serta dianalisis secara deskriptif. 2. Data kuantitatif berupa penutupan lahan diolah dengan menggunakan metode Line Intercept tehnique dengan Rumus : a. Total panjang Intersep (I) I
= i1+i2+i3+...+in
Keterangan : I = i1+...+in =
Total Panjang Intersep Panjang garis yang terpotong ke n
b. Dominansi suatu jenis (% Penutupan ) % penutupan = I/ Ha = I/S x 100 Keterangan : I = Total Panjang Intersep S = Panjang garis yang terpotong ke n
c. Penutupan Lahan Total Penutupan Total = (S – (S-M)/S)) x 100% Keterangan : S M (S-M)
= = =
Total Panjang Intersep Total panjang maksimum tegak lurus dengan garis transek Total panjang permukaan tanah yang tidak ditutupi vegetasi
3. Sedangkan untuk analisis besarnya WTP dan WTA digunakan metode statistik secara regresi (Walpole 1992), yaitu dengan Rumus-rumus : a. Nilai tengah contoh (rataan) n
x=
∑x i =1
i
n
b. Simpangan Deviasi Simpangan deviasi diperoleh dari nilai ragam
∑ (x n
S2 =
i =1
−x
i
2
n −1
∑ (x n
S=
)
i =1
i
−x
)
2
n −1
δ= S c. Besarnya WTP atau WTA (y) diperoleh dengan Rumus : y =x±δ Keterangan : y
= besarnya kisaran harga
x = nilai tengah δ = simpangan deviasi
Sehingga besarnya harga sewa yang terbaik (Zn), diperoleh dengan rumus : a). Berdasarkan WTP dapat diasumsikan, dengan rumus :
(Za +Y2) ≤ Zn ≤ (Za+Y1) Keterangan : Zn = besarnya harga sewa yang terbaik Za = besarnya harga sewa dalam kontrak Y1 dan Y2 = besarnya WTP
b) berdasarkan WTA dapat diasumsikan , dengan rumus.
(Za -Y2) ≤ Zn ≤ (Za-Y1) Keterangan : Zn = besarnya harga sewa yang terbaik Za = besarnya harga sewa dalam kontrak Y1 dan Y2 = besarnya WTA
IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Letak dan Luas Kawasan hutan BKPH Cikiong terletak di tiga wilayah administratif pemerintahan, yakni: Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, dan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Berdasarkan pembagian wilayah administratif pengelolaan hutan RPH Cibuaya termasuk ke dalam wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cikiong, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Kawasan ini terbentang di pantai utara Jawa Barat antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cipanugara di sebelah timur, memanjang kurang lebih 31,80 km di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Pedes dan Batujaya. Bagian barat kawasan BKPH Cikiong termasuk kedalam Kecamatan Pakisjaya, bagian tengah termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Batujaya, dan bagian timur termasuk dalam wilayah Cibuaya. Batas-batas kawasan BKPH Cikiong adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara
: Laut Jawa
b. Sebelah Timur
: Desa Sedari, Kedungjaya, dan Cibuaya Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang
c. Sebelah Selatan
: Desa Segarjaya, Batujaya, Karyabakti, Tambaksari, dan Tambaksumur Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang
d. Sebelah Barat
: Wilayah Administratif Kabupaten Bekasi
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 599/Kpts-II/1997 tanggal 17 September 1997, luas kawasan hutan BKPH Cikiong adalah 8.749,25 hektar. Kawasan ini terbagi atas Hutan Tetap seluas 7.823,25 hektar dan Hutan Cadangan seluas 912,65 hektar. Kawasan hutan di BKPH Cikiong termasuk kedalam Kelas Perusahaan Payau dengan jenis tanaman api-api (Avicennia sp.), pedada (Sonneratia alba), dan tancang ( Bruguirea gymnorhiza ). Sedangkan secara teknis, pengelolaan hutan BKPH Cikiong berada di lima Resort Pemangkuan Hutan (RPH), yaitu: 1. RPH Pakis
: 2.028,35 Ha
2. RPH Cikeruh
: 1.401,30 Ha
3. RPH Pangakaran
: 1.518,10 Ha
4. RPH Ciwaru
: 2.080,80 Ha
5. RPH Cibuaya
: 1.707,35 Ha
Luas lahan yang digarap oleh petani untuk dijadikan tambak adalah seluas ± 6.600 Ha, dengan petani penggarap sebanyak 1.508 orang pesanggem dengan sistem silvofishery.
4.2. Status dan Sejarah Pengelolaan Status kawasan hutan BKPH Cikiong berdasarkan Berita Acara Tata Batas tertanggal 15 Maret 1934, yang disahkan oleh Direksi Perum Perhutani pada tanggal 15 Agustus 1934, luas hutan Cikiong adalah 9.373,80 hektar. Selanjutnya berdasarkan Berita Acara Tata Batas tanggal 14 Agustus 1959 yang disahkan tanggal 25 Agustus 1959 terdapat pembebasan lahan mangrove seluas 1.550,55 hektar untuk lahan pertanian, sehingga luas kawasan menjadi 7.823,25 hektar. Berdasarkan usul Kepala KPH Purwakarta tanggal 4 Juli 1963, tanah yang ada di luar kawasan hutan yang terdapat di wilayah Pakis dimasukan kedalam areal hutan. Bupati Kepala Daerah tingkat II Karawang dengan suratnya Nomor : Pem-2095/12/63, tanggal 23 Agustus 1963 memutuskan bahwa tanah tersebut dimasukan ke dalam areal hutan Cikiong, sehingga luasnya yang semula 7.723,25 ha menjadi 8.735, 90 ha ( BKPH Cikiong, 1993) Berdasarkan bagan kerja KPH Purwakarta, kawasan hutan BKPH Cikiong terbagi dalam lima Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yaitu RPH Pakis ( 1.115,70 ha), RPH Cikeruh (1.401,30 ha), RPH Pengakaran (1.158,10 ha), RPH Ciwiru (2.080,50 ha), dan RPH Cibuaya (1.707,35 ha). Luas kawasan masing-masing RPH tersebut secara terinci disajikan pada Tabel 4. Pada tanggal 11-19 September 1992 telah dilakukan pengukuran oleh Seksi Pengukuran dan Perpetaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dan inventarisasi keadaan di dalamnya yang dilakukan oleh BPN Karawang dan Pemerintahan Desa dan Kecamatan Pakisjaya. Hasil dari pengukuran tersebut ternyata dari 871 ha, ± 41 ha terkena abrasi. Pada tanggal 16 Juni 1993 diadakan rapat yang dipimpin oleh Sekwilda Kabupaten Karawang yang intinya mohon pendirian Perhutani tentang penyelasaian/pengukuhan hutan blok Tanjungpakis,
yang keadaannya telah berupa kampung, sawah, tambak/empang, dan tegalan. Namun masalah tersebut masih dalam penyelesaian sehingga lahan tersebut belum dapat dikuasai dan dikelola, sehingga untuk mempermudah administrasi dipergunakan luasan angka luas kawasan 7. 823,25 ha. Tabel 4. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Pembagian Resort Pemangkuan Hutan BKPH Cikiong. No
RPH
Kecamatan
1
Pakis
2 3
Cikeruh Pangakaran
4
Ciwaru
5
Pakisjaya Batujaya Batujaya Batujaya Batujaya Cibuaya Cibuaya
Cibuaya Jumlah Sumber BKPH Cikiong, 1993.
Luas Kawasan Hutan(ha) Hutan Tetap Hutan Cadangan
Jumlah (ha)
1.115,70
912,65
2. 028,35
1. 401,30 1. 518,10
0 0
1. 401,30 1. 158,10
2. 080,80
0
2. 080,80
1. 707,35 7. 823,25
0 912,65
1. 707,35 8. 735.90
Areal hutan BKPH Cikiong KPH Purwakarta ditetapkan sebagai kawasan hutan mangrove pada tanggal 17 September 2001 yang didasarkan pada SK. Menteri Kehutanan No. 599/Kpts-II/1997 tanggal 17 September 1997. Luas kawasan hutan ini adalah 8.749,25 hektar. Kawasan ini terbagi atas Hutan Tetap seluas 7.823,25 hektar dan Hutan Cadangan seluas 912,65 hektar. Kawasan hutan di BKPH Cikiong termasuk kelas perusahaan payau (Arief, 2002) Pengelolaan hutan payau Cikiong dimulai sejak dilaksakannya penataan pada tahun 1934. Beberapa kali terjadi kerusakan hutan yang berat akibat ulah manusia penyerobotan, perubahan fungsi hutan dan lainnya. Reboisasi besarbesaran dilaksanakan pada tahun 1967 menyusul kerusakan berat pada tahun 1963. Perum Perhutani berupaya agar sedapat mungkin menjawab kebutuhan masyarakat
sekitar
hutan,
menata
dan
membangun
hubungan
saling
menguntungkan. Banyak program yang telah digulirkan dan yang paling menarik adalah program-program dimana masyarakat sekitar diberi peranan dalam pembangunan hutan yang sekaligus dapat menghidupi mereka secara finansial. Tahun 1989 Perum Perhutani menerapkan sistem Perhutanan Sosial dalam mengatasi gangguan para petani tambak dalam areal hutan mangrove di BKPH Cikiong.
4.3. Iklim, Tanah dan Topografi 4.3.1. Iklim Berdasarkan pencatatan data iklim diketahui bahwa rata-rata harian di Kabupaten Karawang berkisar antara 25–27ºC, dengan suhu maksimum harian antara 28-32ºC, dan suhu minimum harian berkisar antara 18-20ºC. Kelembaban udara berkisar antara 70–80%. Jumlah hari hujan rata-rata 130 hari/tahun dan ketinggian curah hujan sekitar 2.223 mm/tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951) dalam Arif (2003), lokasi penelitian tergolong dalam kelas C dengan jumlah bulan hujan rata rata 5-6 bulan. 4.3.2. Tanah Tanah di lokasi hutan mangrove RPH Cibuaya sebagian besar terbentuk dari endapan lumpur yang terbawa oleh aliran sungai, sehingga tampak tanahnya merupakan campuran dari bahan-bahan yang sudah hancur. Teksturnya tergolong liat, tanah berwarna abu-abu dan kedalaman tanah tergolong dalam. Diperkirakan jenis tanahnya termasuk jenis aluvial dengan ciri-ciri tekstur liat berpasir, lempung, warna coklat abu-abu, kedalaman tanah tergolong dalam. Tingkat kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong rendah – sedang. Daerah ini pada umumnya terdiri atas tanah hitam berpasir yang dipengaruhi pasang surut air laut dan banjir ( Arief, 2002). 4.3.3. Topografi Keadaan topografi di dalam kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong secara keseluruhan tergolong datar sampai landai. Adapun ketinggian tempat lokasi tersebut diperkirakan 0 – 2 meter diatas permukaan laut. 4.4. Vegetasi dan Satwaliar Berdasarkan data yang didapat dari BKPH Cikiong (1993), kondisi hutan di BKPH Cikiong adalah sebagai berikut : (1) Kelas perusahaan hutan payau dengan tanaman yang terdiri dari api api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora mucronata), kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan waru (Hibiscus sp.). (2) lahan lain yang terdiri dari pemukiman, lahan sengketa, lahan pinjam pakai, sawah, areal saluran, badan sungai, tanggul, serta tanah timbul.
Kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong termasuk dalam muara sungai Cibuntu. Kawasan ini mempunyai potensi keanekaragaman flora dan fauna yang besar. Jenis tumbuhan yang ada di lokasi penelitian diantaranya bakau-bakau (Rhizophora spp.), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia alba) dan tancang (Bruguiera gymnorrhiza). Dari jenis-jenis tersebut, jenis yang paling dominan adalah bakau-bakau (Rhizophora spp.). Satwaliar yang terdapat di kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong didominasi oleh jenis burung, yang sebagian besar termasuk jenis burung air. Kawasan hutan ini terdapat lebih kurang 30 jenis burung dan 13 jenis burung yang dilindungi. Jenis satwa yang berada di hutan mangrove adalah biawak (Varanus salvator), ular lampe, ular blibug dan beregul (pemakan ikan). Sedangkan jenis ikan yang ada diantaranya adalah sidat (Arguilla sp), lundo (Arilus maculatus), belosa (Elertis fuscus), sembilang (Cordosioma sp), kipper (Scatophagus argus), udang putih (Palemonetes sp), kepiting (Cardiosoma sp), glodok (Pheropthalmus cantonesis), kakap (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), betotot, mujair dan belanak. Terdapat juga jenis lain seperti ikan dan udang yang dibudidayakan oleh masyarakat dengan sistem sylvofishery di empang-empang yang terdapat di dalam kawasan ini.
4.5. Sejarah dan Letak Lokasi Penelitian 4.5.1. Sejarah Lokasi Wilayah BKPH Cikiong secara historis pada awalnya merupakan kawasan hutan mangrove yang didominasi tegakan jenis bakau-bakau (Rhizophora spp.) dan api-api (Avicennia spp.) dengan berbagai manfaat yang dihasilkannya, baik langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar antara lain berupa berbagai jenis ikan tangkapan yang selanjutnya menjadi masalah karena dilakukan dengan mengabaikan ekosistem hutan payau. Secara umum wilayah BKPH Cikiong adalah salah satu wilayah yang mengalami kerusakan akibat tekanan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dimulai pada tahun 1960-an dengan latar belakang ekonomi nasional yang cukup
parah, menyebabkan masyarakat sekitar hutan payau masuk dan menggarap kawasan hutan tanpa terkendali untuk dijadikan empang parit untuk budidaya ikan bandeng dan udang. Puncak kerusakan terjadi akibat euphoria reformasi. Akibat penggarapan yang dilakukan masyarakat tersebut, sebagian besar luasan (± 6.600 Ha) telah berubah menjadi empang budidaya ikan dengan sistem silvofishery. Rehabilitasi lahan kawasan hutan yang terus dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan karena adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kepentingan kelestarian hutan payau. 4.5.2. Aksesibilitas Lokasi penelitian berjarak ±41 km dari kota Karawang yang dilanjutkan ke Rengasdengklok menggunakan mobil, motor atau angkutan umum selama 30 menit. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Desa Sedari yang dapat ditempuh dengan menggunakan mobil atau motor karena tersedia jalan aspal. Dari Desa Sedari menuju ke lokasi penelitian (RPH Cibuaya dan PPS) dapat ditempuh dengan menggunakan motor selama 15 menit atau jika jalan terendam banjir dapat dilalui dengan menggunakan perahu motor yang disewakan penduduk sekitar selama 20 menit.
4.6. Kondisi Sosial Kemasyarakat Masyarakat yang berada di sekitar RPH Cibuaya memiliki pekerjaan yang beragam. Salah satu desa yang masuk dalam RPH Cibuaya adalah Desa Sedari. Jumlah kepala keluarga Desa Sedari sebanyak 1.147 dan jumlah penduduk sebanyak 4.452 orang dengan jumlah laki-laki 2.257 orang dan perempuan 2.195 orang. Dari total penduduk itu, terdiri dari pemeluk agama Islam sebanyak 4.436 orang dan agama lainnya 16 orang. Mata pencaharian pokok masyarakat desa Sedari beraneka ragam, yaitu terdiri dari pemilik sawah (16 orang), buruh tani sawah padi (307 orang), penggarap empang (298 orang), bujang empang (307 orang), pemilik ternak (3 orang), PNS (guru, dll) sebanyak 3 orang, bidan (1 orang), pemilik warung/toko (20 orang), dan tukang (2 orang). Dari beberapa sumber mata pencaharian masyarakat tersebut, paling banyak yang bekerja sebagai penggarap dan bujang empang/tambak. Empang tersebut diisi dengan komoditas ikan dan udang. Jenis
interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan yaitu berupa garapan resmi, garapan tidak resmi dan perencekan/pencurian.
4.7. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di kawasan hutan mangrove BKPH Cikiong dapat dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu : (1) lahan tanaman dan (2) bukan tanaman. Luas lahan yang dikategorikan sebagai lahan tanaman adalah seluas 7.220,87 ha. Lahan ini ditanami dengan berbagai jenis pohon, baik yang termasuk kelas perusahaan payau maupun tidak. Lahan yang dikhususkan bukan untuk tanaman mempunyai luas 601,385 ha. Lahan bukan untuk tanaman ini merupakan lahan pinjam pakai yang digunakan Pertamina (21,74 ha), untuk sawah (110,05 ha), pemukiman (39,895 ha), saluran /kali serta tanggul (362,20 ha), dan disengketakan dengan masyarakat setempat (18 ha) (Arief, 2002). Kawasan RPH Cibuaya yang dimanfaatkan sebagai tambak memiliki luasan 1286,86 Ha dengan jumlah pengelola (pesanggem) 194 orang.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hutan Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong 5.1.1. Sejarah kawasan Kawasan Hutan RPH Cibuaya pada awalnya merupakan kawasan hutan alam yang di dominasi oleh warakas dan api api. Sejak Tahun 1960an masyarakat mulai masuk dan menggarap lahan hutan mangrove untuk dijadikan tambak. Pada tahun 1966 kondisi hutan mangrove di RPH Cibuaya masih sangat gelap dan rapat. Sepanjang jalan menuju lokasi juga masih banyak semak yang tinggi yang dikenal dengan warakas atau paku laut (Acrostichum sp). Pada saat itu, hanya beberapa orang yang tinggal di sekitar hutan untuk melakukan budidaya perikanan tambak. Keberadaan satwa liar seperti burung dan ular masih sering terlihat dan masuk ke dalam rumah masyarakat (Marta pers comm. 2006). Kerusakan ekosistem mangrove mulai muncul pada tahun 1965 yang disebabkan banyaknya perambahan oleh masyarakat untuk tambak (Saidi pers comm. 2006). Pada awalnya belum ada kesepakatan dan perjanjian yang jelas antara penggarap dengan pemerintah (Departemen Kehutanan) dalam pengelolaan hutan mangrove yang diperuntukan tambak. Sehingga masyarakat yang ada pada saat itu memanfaatkan hutan tanpa ada batas-batas tertentu. Akibatnya terjadi kerusakan yang cukup besar pada ekosistem mangrove. Pada tahun 1970 dibuat percobaan penanaman jenis Bakau sebanyak dua hektar, dan pada tahun 1977 dilakukan penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove (Saidi pers comm. 2006). Pada tahun 1978 terjadi pemindahan pengelolaan hutan dari Departemen Kehutanan ke Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, yang sekarang pengelolaannya di bawah wilayah RPH Cibuaya, BKPH Cikiong. Kemudian demi pengelolaan hutan mangrove yang lestari, disusun suatu perjanjian kontrak kerjasama antara Perhutani dengan penggarap dengan pedoman Perhutanan Sosial, pola empang parit (sylvofishery) pada Tahun 1989. BKPH Cikiong memiliki jumlah petani penggarap (pesanggem) sebanyak 1.500 orang, dengan luas lahan garapan ±6.600 ha (Laporan BKPH Cikiong, 1998). Pada tahun 1988 pesanggem yang sebelumnya mengelola lahan dengan tidak beraturan,
menjadi mengelompokan diri membentuk suatu wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) Payau. Pada tahun 1998 terjadi kerusakan hutan yang besar, karena masuknya masyarakat dan merusak hutan tanpa memperhatikan dampak ekologi di masa mendatang. Hal itu terjadi karena tekanan ekonomi masyarakat yang tinggi. Pada tahun 1999-2000 terjadi kekeringan sehingga penanaman mangrove tidak berhasil. Puncak kerusakan hutan mangrove di lokasi ini terjadi pada tahun 2002. Lahan tambak dan hutan mangrove terendam banjir selama 3 bulan, mengakibatkan kematian vegetasi yang sangat tinggi. Maka Perhutani melakukan reboisasi pada tahun 2002 dan 2006. Rehabilitasi kawasan hutan yang dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan, karena adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kelestarian hutan payau.
5.1.2. Lahan mangrove RPH Cibuaya Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 599/Kpts-II/1997, luas kawasan hutan BKPH Cikiong adalah 8.749,25 ha. Kawasan ini terbagi atas hutan tetap seluas 7.823,25 ha dan Hutan cadangan seluas 926 ha. Berdasarkan bagan kerja KPH Purwakarta tahun 2004, kawasan hutan BKPH Cikiong dibagi kedalam lima resort dengan salah satunya Resort Cibuaya dengan luas 1583,47 ha. Pada tahun 2005 terjadi pengukuhan ulang, karena pergeseran batas alam, maka mendapat tambahan dari RPH Pakis seluas 123,88 ha, sehingga luas RPH Cibuaya menjadi 1707,35 ha (Tabel 5). Tabel 5. Data luasan mangrove RPH Cibuaya Kelompok Hutan Cikiong No
Petak
Luas (Ha)
1
43
2
46
3
47
4
48
5
49
6
50
7 8 9
51 52 53
260,80 50,00 95,25 35,00 162,60 25,00 62,40 9,00 141,70 10,00 82,80 5,00 51,10 91,60 65,54
Fungsi Hutan HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL HL
Kelas Hutan TK TK TK TK TK TK TK TK TK
Jenis Hutan Bakau/api Bakau/api Bakau/api Bakau/api Bakau/api Bakau/api -
Tahun Tanam 1981 1981 1980 1989 1989 1989 -
Keterangan
No
Petak
Luas (Ha)
10
54
11
55
12
56
13 14
57 58
209,70 15,00 139,60 25,00 6,50 4,00 6,00 45,00 52,76
Fungsi Hutan HL HL HL HL HL HL HL HL HL
Kelas Hutan TK TK TK KU I. KU I. TK TK
Jenis Hutan Bakau/api Bakau/api Bakau/api Bakau/api -
Tahun Tanam 1989 1983 2005 2001 -
Keterangan
18 Ha. Sengketa 34.76 Ha. abrasi
1.707,35
Sumber : BKPH Cikiong, 2006
Dari tabel di atas untuk petak 58 dengan luas 52,76 ha dalam kondisi bermasalah yaitu 34,76 ha terkena abrasi, karena proses alam sedangkan 18 ha lagi dalam status sengketa dengan hak pengguna lain dalam hal ini masyarakat. 5.1.3. Lahan mangrove yang digunakan tambak Sebagian besar wilayah RPH Cibuaya untuk perhutanan sosial pola empang parit. Berdasarkan daftar Penggarap PHBM payau tahun 2006 di RPH Cibuaya, hutan payau untuk tambak dikelola oleh 194 pesanggem seluas 1286,86 ha atau 75,37% dari total luas wilayah RPH Cibuaya (Lampiran 1). Luasnya kawasan hutan payau RPH Cibuaya digunakan untuk tambak sebesar 75,37% menunjukkan bahwa hampir seluruh kawasan hutan digunakan untuk tambak. Sehingga sistem pengelolaan kawasan di RPH Cibuaya adalah sistem perhutanan sosial berbentuk tambak dengan sistem empang parit. 5.1.4. Lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain (tidak digunakan untuk tambak) Wilayah RPH Cibuaya digunakan untuk tambak dengan sistem empang parit, tetapi beberapa bagian dimanfaatkan untuk pemukiman, saluran air, kali, tanggul empang dan pinjam pakai (Pertamina). Beberapa bagian yang lain tidak dapat digunakan sebagai tambak, karena sedang dalam sengketa dan abrasi. Data ini disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Data penggunaan lahan selain untuk tambak. No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Keterangan 1 Pemukiman 10,01 2 Saluran, kali, tanggul empang 362,20 3 Pinjam pakai (Pertamina) 21,74 4 Sengketa 18,00 5 Abrasi 34,76 Disebabkan gejala Alam Jumlah 446,71 24,63% Sumber : BKPH Cikiong, 2004 Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan di RPH Cibuaya selain untuk tambak sebesar 446,71 ha atau 24,63% dari total luas wilayah RPH Cibuaya. Lahan yang dalam kondisi abrasi harus segera dilakukan rehabilitasi dan untuk mengurangi abrasi maka harus dilakukan rehabilitasi mangrove di tepi pantai, sehingga abrasi tidak akan semakin luas. Sedangkan lahan yang dalam masalah sengketa harus segera dicari solusi yang terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa, sehingga lahan tersebut dapat dikelola sesuai dengan tujuan Perhutani. 5.1.5. Pengelolaan tambak sistem empang parit Perum Perhutani membuat suatu kebijakan pengelolaan mangrove yaitu suatu sistem pengelolaan bersama masyarakat yang dikenal dengan silvofishery atau Mina Wana Tani. Kebijakan ini diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan oleh masyarakat karena kebijakan tersebut memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan. Sasaran kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum menurut Nuryanto (2003) diarahkan pada empat aspek, yaitu: 1) Mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove dalam bentuk: a. Pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman kerusakan hutan lainnya, b. Menindak penambak liar yang beroperasi, c. Melakukan penataan kawasan, 2) Revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove dalam bentuk: a. Melakukan penghutanan kembali (reforestation) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya,
b. Menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu, 3) Mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan dalam bentuk: a. Menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan, b. Mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional, 4) Merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomi kawasan. Pemanfaatan kawasan mangrove menjadi tambak di lokasi RPH Cibuaya dilakukan dengan sistem tambak tumpangsari pola empang parit, dengan tujuan untuk perlindungan terhadap tanaman mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Pola ini menggambarkan lahan yang efektif untuk memelihara ikan merupakan saluran keliling atau caren dengan lebar maksimal 10 m, sedangkan di bagian tengah ditanami pohon bakau atau mangrove. Untuk kelestarian mangrove pihak Perhutani juga menentukan jarak tanam vegetasi mangrove sebagai upaya rehabilitasi yaitu 3 x 3 m. Sistem empang parit ini diatur dalam sebuah perjanjian kerjasama antara Perhutani dengan pesanggem, yang di dalammya berisi hak dan kewajiban masing masing pihak. Beberapa data yang berkaitan dengan pengelolaan tambak sistem empang parit yaitu luas tambak, kelas tambak, umur tambak, jumlah tenaga kerja, status tambak, dan upaya konservasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat data pengelola tambak sistem empang parit yang tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Contoh data pengelolaan sistem empang parit. No
Responden
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
Luas Garapan (Ha) 4 5,4 4 2 4 6
Kelas Tambak 3 4 2 4 3 4
Umur Tambak (Th) 25 27 27 15 31 11
Jumlah Tenaga Kerja 2 2 2 1 2 2
Kontrak Atas Nama milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri
Upaya konservasi
No
Responden
7
7
Luas Garapan (Ha) 6
3
Umur Tambak (Th) 15
Jumlah Tenaga Kerja 3
milik sendiri
8
8
5
1
11
2
milik sendiri
9 10 11 12 13 14
9 10 11 12 13 14
10 5 6 6 4 4
4 4 3 4 4 4
27 27 44 12 11 15
3 2 2 2 2 1
milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri
15
15
4
2
16
1
milik sendiri
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
5 1,8 2 3 4 5 0,75 5 5 2 5 3 4 5 4
4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 2 4 3 3 2
25 5 26 18 20 11 6 20 15 5 16 13 1 11 15
2 1 1 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2 2 2
milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri Alih kontrak milik sendiri milik sendiri
Kelas Tambak
Kontrak Atas Nama
Upaya konservasi Memelihara tanaman
Memelihara tanaman
Hasil wawancara menunjukan adanya keragaman dalam status hak pengelolaan tambak setiap orang (pesanggem) dilihat hal berikut : (a). Untuk luas lahan yang digarap terdapat perbedaan untuk setiap pesanggem dengan luas garapan terendah
sebesar 0,75 ha dan yeng terluas sebesar 10 ha, hal ini
disebabkan perbedaan kemampuan setiap pesanggem dalam membayar uang sewa usaha tambak; (b). Lahan yang dikelola mempunyai perbedaan kelas pada beberapa pesanggem, karena adanya perbedaan penutupan vegetasi mangrove di setiap lahan tambak. Sesuai kesepakatan bahwa kelas tambak di RPH Cibuaya dibagi menjadi 4 kelas, dengan kelas I memiliki penutupan vegetasi yang terbesar (80-100)%, sedangkan kelas 4 memiliki penutupan vegetasi paling sedikit (<40%) dari luas tambak; (c). Lamanya pesanggem mengelola tambak (umur tambak) juga berbeda dengan lama mengelola terlama 27 tahun, dan paling singkat baru 1 tahun.; (d). Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan tambak setiap lahan tambak per pesanggem rata rata 2 orang saja, karena biasanya setiap lahan
tambak dikelola oleh suami dibantu istri dan anak.; (e). Status kepemilikan tambak hampir seluruhnya (96,67%) milik sendiri, atau dikelola atas nama sendiri dan hanya satu orang (3,33%) yang statusnya alih kontrak, karena pesanggem mengelola tambak tapi masih atas nama orang lain; dan (f). Upaya konservasi yang dilakukan oleh pesanggem hanya dilakukan oleh 2 orang saja (6,66%) yaitu dengan memelihara dan menjaga mangrove dan juga melakukan penyulaman atau penanaman secara sukarela di lahan tambaknya, dan sebanyak 28 orang ( 93,33 %) tidak melakukan usaha konservasi karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab langsung terhadap tanaman mangrove, karena yang bertanggung jawab pada tanamannya adalah pihak Perhutani. Ini terjadi karena tidak dimasukkannya kewajiban rehabilitasi mangrove oleh pesanggem pada setiap lahan tambaknya. Ini menunjukan upaya konservasi yang dilakukan masyarakat sangat kurang bahkan tidak ada, maka pihak Perhutani sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap kelestarian ekosistem mangrove melakukan upaya-upaya konservasi dengan membentuk Pusat Percobaan Silvofishery (PPS). PPS pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat yang mengelola tambak, namun dicabut hak kepemilikannya karena melakukan pelanggaran (terlibat dalam suatu tindakan politik). Kemudian lahan tersebut dijadikan sebagai lahan percobaan penanaman dan upaya rehabilitasi hutan mangrove serta percobaan metode-metode penanaman baru. PPS berdiri sejak tahun 1992 dengan sebutan BIPSP (Badan Informasi Perhutanan Sosial Payau), yang bertujuan: 1) tempat uji coba metoda, teknologi budidaya ikan dalam habitat payau dan kombinasi lainnya, 2) sebagai tempat penelitian, pengembangan pola dan jenis tanaman serta flora fauna hutan payau, 3) sebagai lokasi penyuluhan Perhutanan Sosial Payau, khususnya dalam penerapan silvofishery. Selanjutnya pada Tahun 1995 dengan Petunjuk Kerja No.22/PK/Binhut/II/1995 BIPSP ditetapkan menjadi PPS. RPH Cibuaya terdapat PPS yang terletak pada petak 43 dengan luas lahan 57,80 ha dengan jenis tanaman
bakau (Rhizophora spp.) yang ditanam pada tahun 1978 dan tahun 2000 hingga sekarang. PPS dikuasai sepenuhnya oleh Perhutani, namun karena di dalamnya dilaksanakan silvofishery, Perhutani meminta beberapa masyarakat menjaga dan memelihara ikan dan udang yang ditanamnya tanpa merusak vegetasi. Sistem sylvofishery yang diterapkan di wilayah RPH Cibuaya didasarkan pada Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan. Pola empang parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional. Perbedaanya terletak pada pintu air untuk pemeliharaan yang terdiri atas 3 (tiga) buah pintu, yaitu 2 buah pintu masuk dan 1 buah pintu keluar. Ditambah lagi dengan saluran air pasang surut bebas untuk hutan. Masyarakat mendukung kegiatan yang dilakukan Perhutani di PPS, karena menganggap akan mendatangkan keuntungan. Sebab uji coba penanaman dan metoda-metoda baru secara tidak langsung dilakukan di lahan tambak mereka. Jika penanaman yang dilaksanakan di PPS berhasil baik, penggarap akan menerima bila penanaman dilanjutkan ke lahan tambak mereka, namun jika tidak berhasil maka penggarap tidak merasa dirugikan karena tidak mengganggu budidaya tambak mereka sama sekali. Sampai saat ini PPS dirasakan belum mampu mencapai tujuan pelestarian hutan mangrove. Seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini menunjukan kondisi mangrove di PPS.
a Gambar 2. Hutan mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery b(PPS) Tahun 2006 masih baik (a); dan rusak (b) Vegetasi mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery (PPS) tidak seluruhnya baik, hanya sekitar 30% dari luas PPS (57,80 Ha) yang vegetasi mangrovenya masih bagus (Gambar 2a), sedangkan 70% sisanya rusak (sama seperti vegetasi pada lahan garapan masyarakat). Gambar 2b menunjukkan kerusakan vegetasi di PPS. Vegetasi mangrove di PPS yang masih bagus berada di dekat sungai, sedangkan vegetasi pada lahan yang lebih jauh dari sungai banyak yang rusak. Menurut petugas lapang, hal ini dikarenakan salinitas air lebih baik pada lahan yang dekat dengan sungai. Rehabilitasi lahan kawasan hutan yang terus dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kepentingan kelestarian hutan payau. Selain itu, adanya faktor lain seperti hama tanaman yang menyerang daun muda, hewan peliharaan yang memakan pucuk daun muda, panas matahari dan pupuk serta akar tanaman yang mengapung atau tidak menancap sempurna di dalam tanah. Selain mengawasi dan membina penggarap dalam pemanfaatan lahan hutan, Perhutani juga mempunyai rencana penanaman setiap tahunnya. Rencana tanaman disusun dalam Renstra dan dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Pada Tahun 2005, rencana tanam yang telah dilaksanakan sebesar 201 ha untuk 5 resort di BKPH Cikiong. Tahun 2006 dilaksanakan penanaman seluas 215 ha, dan rencana penanaman untuk tahun 2007 adalah seluas 75 ha. Luas lokasi penanaman tergantung dari pihak KPH yang menentukan kebijakan dan dilaksanakan secara berangsur dengan lokasi penanaman disesuaikan dengan kondisi lapangan yang
dibutuhkan. Saat ini penanaman lebih difokuskan pada tepi-tepi sungai dan mengurangi penanaman di dalam empang (tambak) karena tingkat keberhasilan penanaman di dalam empang rendah. Jenis vegetasi yang ditanam disesuaikan dengan lokasi penanaman. Dalam empang diupayakan jenis bakau (Rhizophora spp.) yang merupakan jenis yang paling cocok ditanam pada lahan berlumpur, sedangkan tepi sungai lebih sesuai jenis api-api (Avicenia spp.). Hal tersebut disesuaikan gengan sifat dari masingmasing jenis vegetasi mangrove dimana api-api berada pada urutan pertama jika dilihat dari tepi laut.
5.2. Penutupan Lahan yang Bervegetasi Mangrove di RPH Cibuaya 5.2.1. Kesesuaian persentase vegetasi mangrove berdasakan kelas tambak Kawasan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya dikelola dalam bentuk perhutanan sosial, yaitu sistem empang parit yang pengelolaannya diberikan pada masyarakat dan terikat dalam perjanjian kesepakatan dengan pihak Perhutani. Salah satu perjanjiannya yaitu mengenai status kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Ketentuan persentase vegetasi mangrove per kelas tambak dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase vegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak No Kelas Persentase Vegetasi Magrove (%)/Ha 1
I
80-100
2
II
60-80
3
III
40-60
4
IV
< 40
Sumber : BKPH Cikiong, 2005 Pengkelasan tambak sangat berkaitan dengan kinerja rehabilitasi mangrove dan upaya-upaya konservasi yang harus dilakukan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Kelas tambak juga berkaitan dengan sewa antara pesanggem dan Perhutani yang disesuaikan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Maka diperlukan pengkelasan yang tepat dan sesuai antara aturan dan kondisi di lapangan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Maka dilakukan penelitian kesesuaian kelas tambak,
yang diukur
berdasarkan panjang penutupan lahan oleh vegetasi mangrove per kelas tambak. Penelitian dilakukan dengan mengambil unit contoh berdasarkan luas lahan yang digunakan tambak dengan intensitas sampling 5%, karena kondisi ekosistem yang seragam jadi diasumsikan dapat mewakili. Unit contoh adalah luas tambak per kelas tambak yang diambil secara acak. Penelitian dilakukan pada 12 pesanggem dengan kelas dan luas tambak yang berbeda sehingga dianggap mewakili kelas dan luas keseluruhan, dengan total luas penelitian adalah 71,93 ha. Rekapitulasi perhitungan hasil pengukuran tersaji pada Tabel 9. Dari Tabel 9 dapat dilihat pengambilan contoh dilakukan pada setiap kelas tambak yaitu kelas I; 1 orang (8,33%), kelas II; 2 orang (16,67%), kelas III; 3 orang (25%) dan kelas IV; 6 orang (50%). Unit contoh dari kelas IV lebih banyak dari kelas lainnya sebesar 50%, karena jumlah pesanggem kelas IV paling banyak dari kelas lainnya. Pada lahan tambak yang diamati hanya jenis Rhizophora mucronata yang ditemukan dan menutupi lahan tambak. Hasil perhitungan menunjukan contoh 1 (kelas I) mempunyai kerapatan terbesar yaitu 15104,23 ind/ha, hal ini menunjukan bahwa banyaknya individu per ha pada Kelas I lebih banyak dari kelas lainnya. Sedangkan kerapatan terendah ada pada contoh 10 dan 11(kelas IV), sebesar 0,00 karena tidak ditemukan vegetasi mangrove di lahan tambak. Kerapatan suatu jenis sangat mempengaruhi dominansi jenis tersebut, dominansi tertinggi pada kelas I sebesar 71,98%, dan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0, karena tidak ditemukannya vegetasi. Frekuensi yang terbesar adalah pada contoh 2 (kelas II) sebesar 100% ini menunjukan bahwa vegetasi mangrove tersebar merata. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0% karena tidak ada ditemukan vegetasi.
Tabel 9 . Rekapitulasi Perhitungan penutupan lahan berdasarkan pesanggem. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Unit Contoh
Luas (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah
5 4 4 6 4 4 4 7 5 7 10 11,93 71,93
Kelas
Jenis Tanaman
1 2 2 3 3 3 4 4 4 4 4 4
Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata
Rhizophora mucronata
Kerapatan (ind/ha) 15104,23 8847,72 8220,21 7968,32 6373,44 6947,97 5600,99 7834,56 4686,94 0,00 0,00 7292,75 78877,12
Dominansi Frekuensi (%) (%) 71,98 54,60 54,98 35,30 40,15 50,59 39,43 28,08 23,76 0,00 0,00 13,23 412,09
85,00 100,00 92,00 66,67 88,24 92,59 86,67 75,00 80,00 0,00 0,00 72,45 838,62
INP (%) 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 0,00 0,00 300,00 3000,00
Total Penutupan (%) 80,50 63,19 62,80 41,76 43,15 53,11 40,77 29,03 24,36 0,00 0,00 13,76 452,43
48
Hasil pada Tabel 9 juga menunjukan total penutupan lahan untuk masing masing contoh berdasakan kelas tambak. Penutupan lahan terluas diperoleh pada contoh 1 (kelas I) sebesar 80,5%, artinya 80,5 % luas tambak masih bervegetasi mangrove. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0%, artinya semua luas tambak tidak bervegetasi mangrove. Data hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara total penutupan lahan per kelas tambak yang sebenarnya dengan aturan yang ada di kontrak, jumlah penutupan lahan yang sesuai sebanyak 95,83% dan hanya 4,17% yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, data disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rekap kesesuaian penutupan lahan berdasar kelas tambak No
Kelas
1
I
2
II
3
III
4
IV
Unit contoh 1 1 2 1 2 3 1 2 3 4 5 6 Jumlah Rata rata
Total penutupan lahan (%) 80,5 63,19 62,8 41,76 43,15 53,11 40,77 29,03 24,36 0 0 13,76
Penutupan vegetasi =aturan >aturan satuan % satuan % 1 100
Jumlah satuan 1
% 100
2
100
2
100
3
100
3
100
5
83,3
1
16,7
6
100
11
383,3 95,83
1
16,7 4,18
12
400
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelas I, II, dan III terdapat kesesuaian antara luas penutupan lahan dalam kontrak dengan luas penutupan lahan yang sebenarnya dilapangan, dengan persentase 100%, artinya pengkelasan pada kelas I, II, dan III sudah benar dan tepat. Sehingga pada kelas I, II, dan III tidak ada pihak yang akan dirugikan baik
penggarap (pesanggem) maupun
Perhutani. Pada kelas IV luas penutupan lahan yang sesuai dengan kondisi di lapangan sebesar 83,3%, artinya pengkelasan pada lahan tersebut sudah benar. Tapi ada yang tidak sesuaian data penutupan lahan di lapangan dengan aturan pada kontrak sebesar 16,67 %, yaitu pada contoh 7 atas nama Bapak Dali. Hasil pengukuran menunjukan bahwa luas penutupan lahan lebih besar dari aturan, dengan luas sebesar 40,77%, sedangkan pada aturan dijelaskan bahwa kelas IV luas penutupan <40%. Karena luas penutupan lahan lebih besar dari sebenarnya,
maka pesanggem dirugikan, sebab seharusnya tambak masuk pada kelas III bukan kelas IV. Indikator pengkelasan pada tambak, tidak hanya berdasarkan luas penutupan vegetasi saja, tapi indikator lain seperti pasang surut air laut, aksebilitas, kadar garam dan lainnya. Sehingga untuk kasus tambak Bapak Dali, walaupun luas penutupan vegetasinya lebih besar dari sebenarnya tetapi memiliki kelebihan berupa pasang surut bagus, diapit dua sungai, dan aksesibilitas baik, maka dimasukan pada kategori kelas IV (Mendon pers comm. 2006). Dengan adanya ketentuan seperti itu maka pengkelasanya telah sesuai dengan kontrak. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan. Bentuk tambak Kelas I (luas tambak 20%), sangat sesuai dengan pola yang ditetapkan, yaitu bagian caren (tempat pemeliharaan ikan) berada di tepi lahan dengan rabak (tegakan mangrove) berada di tengah lahan tambak. Begitu juga bentuk tambak Kelas II, III dan IV, hanya saja jumlah tegakan yang ada lebih sedikit. Berikut ini contoh lokasi tambak kelas I, II, III dan IV disajikan pada Gambar 3.
a
b
c d Gambar 3. Bentuk pengelolaan lahan tambak Kelas I (a); Kelas II (b); Kelas III (c);dan Kelas IV (d).
Hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara hasil lapangan dengan kontrak. Tapi ada hal yang harus diperhatikan dengan melihat hasil lapangan bahwa ditemukan tambak dengan kondisi penutupan lahan 0 % pada kelas IV sebesar 33,33% dari luas lahan yang digunakan tambak. Kondisi ini menunjukan telah terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove baik secara sengaja oleh manusia mapun oleh gajala alam. Hal ini menunjukan tidak berjalannya atau tidak dilaksanakannya upaya upaya konservasi terhadap ekosistem mangrove. Dalam perjanjian yang ada saat ini, tidak ada kewajiban bagi pesanggem untuk melaksanakan rehabilitasi, mereka hanya diwajibkan untuk memelihara tanaman yang ada dan melakukan penyulaman tanaman mangrove yang mati. Situasi dilapangan menunjukan kondisi sebaliknya, banyak mangrove yang ditanam malah dicabuti, yang masih hidup ditebang untuk kayu bakar. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan reboisasi hutan lindung mangrove. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) menjelaskan banyaknya lahan areal tambak yang turun kelas jika dibanding tahun sebelumnya . Kondisi mangrove di RPH Cibuaya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data dalam Lampiran 1 dapat diketahui bahwa luas tambak yang paling besar adalah tambak kelas IV sebesar 903,85 Ha (70,23%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi mangrove di daerah tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah karena hutan yang bervegetasi mangrove kurang dari 40%. Dari hasil penelitian menunjukan kecendrungan dari pesanggem untuk turun kelas, hal ini dapat dilihat dari besarnya penutupan lahan setiap pesanggem lebih mendekati batas bawah setiap kelasnya. Sehingga dalam jangka panjang tidak menutup kemungkinan semua kelas tambak yang ada di RPH Cibuaya hanya kelas empat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi kelestarian ekosistem mangrove di PRH Cibuaya dan akan menyulitkan upaya rehabilitasi lahan mangrove. Maka diperlukan peninjauan kembali pengkelasan tambak di RPH Cibuaya. Hasil penelitian Helmi Yudiarsafran Zuna (1998) ” Bahwa Komposisi luasan optimal tambak tumpangsari adalah tambak (54%) dan hutan (46%).
Persentase ini menunjukan secara ekologi maupun ekonomi sama-sama menguntungkan. 5.2.2. Upaya rehabilitasi lahan mangrove Keberadaan hutan mangrove di RPH Cibuaya merupakan lahan bagi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dan menjadi sumber penghasilan. Adanya masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai lahan budidaya ikan dan udang dalam tambak menjadikan hutan mangrove kehilangan fungsi alaminya sebagai habitat berbagai jenis ikan, kepiting dan habitat satwaliar lain. Pemanfaatan secara berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove yang cukup parah. Untuk itu diperlukan usaha rehabilitasi untuk memperbaiki keadaan hutan mangrove. Upaya yang ditempuh Perhutani dalam memperbaiki hutan mangrove dimulai dengan dilakukannya penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat mengenai pentingnya ekosistem hutan mangrove. Kemudian Perhutani melakukan penanaman kembali lahan budidaya yang tidak bervegetasi. Dimulai dari Pusat Percobaan Silvofishery (PPS), Perhutani mencoba memberikan beberapa contoh penanaman bibit bakau dengan jarak tanam tertentu. Kronologis upaya rehabilitasi yang dilakukan Perum Perhutani di BKPH Cikiong (Mendon pers comm. 2006) adalah sebagi berikut: a). Tahun 1970
: Percobaan penanaman jenis bakau sebanyak 2 ha
b). Tahun 1977-1978
: Penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk menjaga ekosistem mangrove.
c). Tahun 1995
: Penanman di Pusat Percobaan Silvofishery
d). Tahun 2002
: Penanaman pada lahan yang terkena banjir
e). Tahun 2005
: Penanaman 201 Ha untuk wiayah BKPH Cikiong
f). Tahun 2006
: Penanaman 215 ha untuk wilayah BKPH Cikiong
g). Tahun 2007
: Rencana tanaman 75 ha.
Menurut Kepala BKPH Cikiong, tingkat keberhasilan penanaman bibit bakau di lokasi penelitian hanya 30%. Bibit bakau yang ditanam dengan jarak tanam 3 m x 3 m tersebut mengalami kematian cukup besar karena beberapa faktor, antara lain:
1. Serangan hama Bibit bakau yang telah ditanam dapat mengalami gangguan oleh hama baik pada daun maupun batang. Hama ini merusak daun-daun muda yang pada akhirnya mengakibatkan kematian. Perhutani sendiri tidak dapat mengontrol secara teliti, jika diketahui ada tanaman yang mati maka petugas akan menyulam dengan bibit baru. 2. Gangguan hewan Bibit-bibit tidak hanya ditanam di bagian dalam lahan garapan saja, tetapi ada bibit yang ditanam ditepi tanggul. Bibit ini sering dimakan oleh hewan peliharaan penambak (kambing) yang digembalakan di sekitar lahan tambak. Hewan ini memakan pucuk-pucuk daun muda yang baru tumbuh sehingga tanaman tidak dapat bertahan lama. 3. Panas matahari dan pupuk Bibit bakau yang ditanam di lahan garapan yang tidak bervegetasi cenderung mengalami kematian lebih cepat karena panas matahari yang mengenai tanaman muda. Menurut penggarap, adanya pemakaian pupuk yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan kondisi tanah tidak stabil dan pupuk tersebut memberikan rasa dingin pada bagian bawah air, sementara pada bagian permukaan air mengalami pemanasan oleh matahari. Hal ini yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh hingga besar. 4. Akar tidak menancap di tanah Nuryanto (2003) menyatakan bahwa akar mangrove tidak menancap di tanah sebagai akibat kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter sehingga bibit akan terapung, atau juga dapat disebabkan pencabutan tanaman yang sengaja dilakukan beberapa penggarap yang lahannya tidak mau ditanami dengan tanaman baru. Petugas jarang melihat langsung penggarap yang mencabut tanaman, hanya dijumpai akar tanaman yang tidak menancap secara sempurna pada tanah. Nuryanto (2003) menyatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidak mungkin ditinjau
dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis.
Selanjutnya ia
menyatakan, suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam. Pada lahan tambak Kelas IV, upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak Perhutani sangat besar karena hampir 100% lahan digunakan sebagai lahan budidaya tambak ikan dan udang dengan penutupan lahan sampai 0%. Namun untuk melaksanakan penanaman tersebut, baik Perhutani maupun masyarakat mengalami kesulitan karena keberhasilan pertumbuhan vegetasi sangat kecil yaitu sekitar 30%. Jika penanaman dilakukan sebanyak 1100 bibit untuk tiap hektar lahan, maka keberhasilan tumbuh hanya 330 bibit saja. Dari tingkat keberhasilan yang rendah tersebut, pertumbuhan tanaman muda seringkali mengalami gangguan, baik karena serangan hama maupun mati karena panas yang tinggi. Kematian tanaman juga disebabkan adanya hewan peliharaan (kambing) yang memakan pucuk-pucuk daun muda yang berada di sisi tanggul, selain itu karena penggunaan pupuk yang sangat tinggi sejak dahulu, maka kondisi tanah tidak baik. Berikut ini salah satu contoh rehabilitasi mangrove yang dilakukan Perhutani pada lahan PPS, yang secara pengkelasan masuk pada kelas IV, dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Contoh upaya rehabilitasi pada lahan tambak.
Kegiatan rehabilitasi bukan hanya dilakukan pada lahan tambak kelas IV tapi harus dilakukan di setiap kelas tambak, sehingga kelestarian mangrove di
RPH Cibuaya dapat terjaga, maka manfaat ekonomis dari tambak sejalan dengan terjaganya fungsi ekologis dari mangrove. Kesulitan yang dialami dalam upaya merehabilitasi hutan mangrove memaksa pihak Perhutani mengupayakan cara terbaik dalam penanaman bakau. Upaya yang sedang dijalankan Perhutani lebih memfokuskan penanaman bibit bakau pada tepi-tepi sungai, saluran-saluran air dan tanggul, dan mengurangi penanaman dalam tambak. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan baik dan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi baik sekarang maupun jangka panjang, sehingga kelestarian ekosistem mangrove di RPH Cibuaya dapat terjaga. Selain itu Perhutani harus memasukkan pelaksanaan rehabilitasi dalam perjanjian kontrak, sehingga rehabilitasi menjadi tanggung jawab bersama.
5.3. Besarnya nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh hutan lindung mangrove di RPH Cibuaya adalah berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh pesanggem yang terikat dalam suatu perjanjian dengan Perum Perhutani. Salah satu isi perjanjiannya adalah masalah sewa. Sistem sewa antara perum perhutani dan pesanggem didasarkan pada kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada tambak, dan luasan hutan yang dijadikan tambak. Di RPH Cibuaya pengelolaanya terdiri dari empat kelas. Yaitu kelas I, II, III, dan IV. Kelas tambak ditentukan oleh Seksi Perencana Hutan (SPH) berdasarkan kriteria-kriteria khusus yang ditetapkan (jumlah vegetasi pada lahan tambak, pasang surut dan lebar empang). Pengkelasan dapat berubah (menjadi lebih kecil atau besar) jika keadaan di lapangan sudah tidak sesuai dengan ketentuan kelas yang ditetapkan sebelumnya. Jika vegetasi di suatu lahan semakin berkurang maka SPH dapat menurunkan kelas lahan tersebut dan menaikkan harga sewa lahannya. Semakin rendah kelas, semakin mahal harga sewa yang harus dibayarkan penggarap setiap tahunnya. Harga sewa yang ditetapkan untuk Kelas I
saat ini sebesar Rp. 95.400/ha/tahun, Kelas II sebesar Rp. 112.000/ha/tahun, Kelas III sebesar Rp. 129.000/ha/tahun dan Kelas IV sebesar Rp. 179.000/ha/tahun. Besarnya harga sewa di RPH Cibuaya telah mengalami perubahan dari tahun 1988-2004, berdasarkan hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) bahwa perubahannya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11..Perkembangan sewa tambak berdasarkan tahun. No Tahun Kelas Besarnya sewa (Rp)/ha/thn 1 70.000 1988 (KTH yang 1 2 50.000 mengelola)*) 3 35.000 1 70.000 1992 (Perhutani yang 2 2 50.000 mengelola) 3 35.000 1 36.000 3 1999**) 2 50.000 3 72.000 1 95.400 2 112.000 4 2004 - sekarang 3 129.000 4 179.000 Keterangan : *). Pada tahun 1988, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling sedikit. **). Pada tahun 1999 sampai sekarang, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling banyak. Tambak di RPH Cibuaya dikelola oleh pesanggem, dengan jumlah penggarap yang mengelola sebanyak 194 orang, untuk kelas (1) 3 orang, kelas (2) 17 orang, kelas (3) 30 orang dan kelas (4) 144 orang. Hal ini menunjukan besarnya minat masyarakat untuk mengelola tambak sangat tinggi, karena hal ini ditunjang dengan besarnya pendapatan yang dihasilkan dari usaha tambak cukup besar. Menurut Feblita (2006), bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat relatif cukup karena kebutuhan pertahun yang dihitung berdasarkan standar upah minimum regional Karawang sebesar Rp 2.400.000/tahun. Hal ini terlihat dari besarnya pendapatan rata-rata tahunan pesanggem pada kelas IV sebesar Rp.38.323.318 dan rata-rata tahunan/ha sebesar Rp 1.532.932,00, dengan asumsi pendapatan dalam panen tahap II tahun ini sama.
Dari data di atas dapat diasumsikan bahwa sesungguhnya usaha tambak ini menguntungkan, sehingga setiap orang (pesanggem) mempunyai kemampun dan kemauan membayar lebih tinggi (Willingnes to pay/WTP) untuk biaya sewa yang berlaku. Maka dilakukan pengambilan contoh pada 30 orang pesanggem dengan daftar responden tersaji pada Lampiran 2. Unit contoh yang diambil per kelas tambak adalah kelas (I) 1 orang (3,33%), kelas (II) 4 orang (13,33%), kelas (III) 8 orang (26,66%) dan kelas (IV) 8 orang (56,66%). Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan Metode Valuasi Contingensi (MVC) dengan metode bertanya menggunakan pendekatan metode tawar menawar (MTM), maka responden diberi pertanyaan dengan terlebih dahulu diberi titik awal berapa biaya yang bersedia dibayar/ha yang lebih tinggi dari harga sekarang. Untuk memudahkan responden besarnya nilai uang diganti dengan persen. Titik awal penawaran yang diajukan adalah 10% (Tabel 12). Tabel 12. Rekapitulasi besarnya kemauan membayar sewa tambak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Unit Contoh 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kelas
Luas (ha)
3 4 2 4 3 4 3 1 4 4 3 4 4 4 2 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 2 4 3
4 5,4 4 2 4 6 6 5 10 5 6 6 4 4 4 5 1,8 2 3 4 5 0,75 5 5 2 5 3 4
Besarnya kenaikan sewa /Ha % Rp 10% 12900 10% 17900 10% 11200 10% 17900 10% 12900 5% 8950 5% 6450 5% 4770 5% 8950 5% 8950 5% 6450 5% 8950 5% 8950 5% 8950 5% 5600 5% 8950 5% 8950 5% 8950 5% 8950 5% 8950 5% 6450 5% 6450 5% 8950 5% 8950 5% 8950 5% 5600 5% 8950 5% 6450
No 29 30
Unit Contoh 29 30
Kelas
Luas (ha)
3 2
5 4
Besarnya kenaikan sewa /Ha % Rp 5% 6450 5% 5600
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya kemauan mereka membayar lebih sewa adalah 5% dan 10 % dari sewa yang telah disepakati sebelumnya. Lima orang (16,66%) bersedia membayar 10% dan lima belas orang(83,33%) bersedia membayar 5%. Harga 5% merupakan nilai penawaran terendah yang diajukan, sehingga peminatnya lebih banyak jika dibandingkan dengan nilai 10% yang merupakan titik awal penawaran yang disetujui. Pada perbandingan setiap kelas, untuk kelas I yang memilih (5%) sebanyak 100%, kelas II yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, kelas III yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, dan untuk kelas IV yang memilih
(10%) sebesar 11,76% dan (5%) sebesar 88,24%.
Besaran persen yang diperoleh kemudian diterjemahkan dalam angka nominal seperti pada tabel diatas, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung WTP menggunakan metode statistik secara regresi. Besarnya kemauan membayar (WTP) sewa
usaha tambak yang lebih
besar dari perjanjian yang sekarang berlaku, sehingga diperoleh harga sewa yang baru yang sesuai dengan nilai WTP dari pesanggem, tersaji pada Tabel 13 s.d Tabel 16. Tabel.13.Besarnya sewa kelas 1 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
Besarnya kenaikan (Rp/ha)
Rataan
Simapangan Deviasi
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
1
1
5
4770
4.770
0
y = 4.770
95.400
100.170
Tabel.14. Besarnya sewa pada kelas 2 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
Besarnya kenaikan (Rp/ha)
Rataan
Simapangan Deviasi
1
1
4
11200
7.000
69,64
2 3 4
2 3 4
4 5 4
5600 5600 5600
Besarnya Kisaran harga (y) Y1=6.930,36 Y2=7.069,64
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
112.000
118.930,36 < Y< 119.069,64
Tabel.15.Besarnya sewa kelas 3 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
Besarnya kenaikan (Rp/ha)
Rataan
Simapangan Deviasi
1
1
4
12900
8.062,5
88,88
2 3 4 5 6 7 8
2 3 4 5 6 7 8
4 6 6 5 0,75 4 5
12900 6450 6450 6450 6450 6450 6450
Besarnya Kisaran harga (y) Y1=7.973,62 Y2=8.151,38
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
129.000
136.973,62 < Y< 137.151,38
Tabel.16. Besarnya kenaikan sewa kelas 4 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
Besarnya kenaikan (Rp/ha)
Rataan
Simapangan Deviasi
1
1
5,4
17900
10.002,94
92,28
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
2 6 10 5 6 4 4 5 1,8 2 3 4 5 5 2 3
17900 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950 8950
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Y1=9.910,66 Y2= 10.095,22
179.000
Besar sewa yang baru/Ha 188.910,66
Dari data di atas menunjukan bahwa semua responden (100%) mempunyai kemampuan dan kemauan membayar lebih (WTP) untuk setiap kelas tambak/hektar yang mereka garap dari nilai sewa sekarang. Besarnya kenaikan sebagai berikut : untuk kelas 1 sebesar Rp 4.770/ha, kelas II sebesar Rp.6.930,36/ha dan Rp.7.069,64/ha. Untuk kelas III sebesar Rp.7.976,62/ha dan Rp.8.151,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar Rp.9.910,66/ha dan Rp.10.095,22/ha. Besarnya WTP menunjukan besarnya keinginan pesanggem untuk tetap mengelola hutan lindung mangrove dengan pola tambak empang parit.
Besarnya sewa tambak berdasrakan kemauan membayar (WTP) dari pesanggem adalah lebih tinggi dari nilai sewa yang ada dalam kontrak perjanjian sekarang. Sehingga besarnya nilai sewa yang baru untuk kelas I sebesar Rp. 100.170/ha, kelas II sebesar kisaran Rp. 118.930,36/ha s.d. Rp. 137.151,64/ha Untuk kelas III sebesar kisaran Rp.136.973,62/ha s.d Rp. 137.151,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar kisaran Rp. 188.910,66/ha s.d Rp. 189.095,22/ha. Secara ekonomis dengan meningkatnya WTP pesanggem terhadap lahan tambak yang dikelola, memberikan keuntungan ekonomis yang cukup tinggi kepada pihak pengelola dalam hal ini perhutani. Tetapi secara ekologis hal ini tidak sesuai karena vegetasi yang ada dari tahun ketahun semakin berkurang akibat pengelolaan tambak yang tidak sesuai aturan. Maka diperlukan pengawasan dan pembinaan yang ketat dan tepat pada pesanggem sehingga kelestarian ekosistem mangrove terjaga. Artinya semakin tinggi WTP maka resiko kerusakan lingkungan dalam hal ini ekosistem mangrove juga tinggi. Sehingga besarnya nilai WTP sebanding dengan besarnya biaya rehabilitasi. Untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove, perhutani melakukan kegiatan
reboisasi
di
tambak-tambak
pesanggem,
untuk
meningkatkan
keberhasilan reboisasi maka diperlukan kerjasama dengan para pesanggem. Sehingga timbul rasa memiliki terhadap mangrove oleh para pesanggem dan pesanggem bersedia menjaga, memelihara, melestarikan dan melakukan rehabilitasi. Cara
yang harus dilakukan adalah memperbaharui isi perjanjian
kontrak kerjasama yang berkaitan dengan kewajiban merehabilitasi lahan mangrove setiap pesanggem. Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam penentuan besarnya sewa tambak dengan
memperhatikan besarnya ganti rugi atas kesediaan menjaga
lingkungan disebut dengan Willingnes to accept (WTA). Besarnya WTA yang diperoleh dari hasil wawancara pada responden dengan menawarkan besaran ganti rugi dengan menggunakan satuan persen yaitu sebesar 5%, 10%, 20% dan 30%, dengan titik awal 10%, hal ini dilakukan untuk memudahkan responden menjawab. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa 100% responden (30 orang) memilih besarnya ganti rugi sebesar 30% dari harga sewa/kelas tambak/ha. Besarnya ganti rugi rebiosasi/ kelas tambak/ha, disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17.Besarnya persentase dan nilai ganti rugi reboisasi/kelas tambak/ hektar Kelas Nilai ganti No Sewa/ha Persen ganti rugi tambak rugi(Rp/ha) 1 I 95.400 30 % 28.620 2 II 112.000 30% 33.600 3 III 129.000 30% 38.700 4 IV 179.000 30% 53.700 Dari Tabel 17 terlihat bahwa semua pesanggem bersedia lahannya dilakukan rehabilitasi, karena mereka menganggap rehabilitasi itu adalah hak dari perhutani sebagai pemilik lahan, tapi pesanggem meminta ganti rugi sebesar 30% dari biaya sewa tambak. Besarnya nilai ganti rugi/ha untuk kelas I sebesar Rp. 28.620/ha, kelas II sebesar Rp. 33.600/ha, kelas III sebesar Rp. 38.700/ha, dan untuk kelas IV sebesar Rp. 53.700/ha. Nilai ganti rugi kelas IV lebih tinggi dari kelas I, II dan III karena nilai sewa kelas IV yang tertinggi. Besarnya nilai ganti rugi 30% dipilih oleh seluruh pesanggem (100%), karena semua pesanggem memilih persentase terbesar yang ditawarkan pewawancara, alasan kisaran tawarnya 5-30% karena penyesuaian atau penyamaan dengan kisaran tawaran WTP. Nilai ganti rugi ini sangat tergantung dengan nilai tawar tertinggi yang diberikan kepada pesanggem. Besarnya WTA dianalisis dengan statistik secara regresi. Sebagai biaya ganti rugi hilangnya lahan tambak untuk digunakan rehabilitasi. Sehingga diperoleh harga sewa yang baru berdasrkan WTA yang bersedia mereka terima sebagai kompensasi atas perbaikan lingkungan yang sebanding dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove, tersaji pada Tabel 18 s.d Tabel 21. Tabel 18. Besarnya ganti rugi pada kelas 1 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
Besarnya ganti rugi(Rp/Ha)
Rataan
Simapangan Deviasi
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
1
1
5
28620
28620
0
y = 28620
95.400
66.780
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
Y=33600
112.000
78.400
Tabel 19. Besarnya ganti rugi pada kelas 2 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
1 2 3 4
1 2 3 4
4 4 5 4
Besarnya ganti rugi (Rp /ha) 33600 33600 33600 33600
Rataan 33600
Simapangan Deviasi 0
Tabel 20. Besarnya biaya ganti rugi pada kelas 3 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
4 4 6 6 5 0,75 4 5
Besarnya ganti rugi (Rp /ha) 38700 38700 38700 38700 38700 38700 38700 38700
Rataan
Simapangan Deviasi
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
38700
0
Y=38700
129.000
90.300
Tabel 21.Besarnya biaya ganti rugi pada kelas 4 No
Unit Contoh
Luas Garapan (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
5,4 2 6 10 5 6 4 4 5 1,8 2 3 4 5 5 2 3
Besarnya Ganti rugi (Rp /ha) 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700 53700
Rataan
Simapangan Deviasi
Besarnya Kisaran harga (y)
Besar sewa/Ha
Besar sewa yang baru/Ha
53700
0
Y= 53700
179.000
125.300
Dari data diatas besarnya sewa yang diinginkan pesanggem berdasarkan WTA adalah sebagai berikut, untuk kelas I sebesar Rp 66.780/ha, kelas II sebesar Rp. 78.400/ha, kelas III sebesar Rp.90.300/ha, dan kelas IV sebesar Rp.125.300/ha .Artinya WTA mempengaruhi sewa tambak yang telah disepakati menjadi lebih kecil, karena perhutani harus membayar ganti rugi kebersediaan pesanggem melakukan rehabilitasi sebagai upaya pelestarian ekosistem mangrove. Jadi besarnya WTA sebanding dengan keberhasilan rehabilitasi dan kelangsungan konservasi mangrove. Hal ini disebabkan pesanggem akan berusaha memelihara, menjaga, dan akan timbul rasa memiliki terhadap mangrove, serta
mampu
kerjasama dengan Perhutani sehingga memudahkan Perhutani dalam menjalankan program rehabilitasi. Dengan adanya ganti rugi ini maka pesanggem dapat membayar biaya sewa lebih ringan dan lebih murah, dan bagi perhutani akan berhasilnya program rehabilitasi ini, merupakan bentuk pengelolaan kawasan yang lestari dan terjamin. Besarnya nilai sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem adalah besarnya sewa yang berdasarkan WTP, sedangkan berdasarkan WTA hanya alternatif pendekatan saja.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap kinerja rehabilitasi hutan lindung mangrove di RPH Cibuaya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Penutupan lahan mangrove Tingkat kesesuaian antara total penutupan lahan per kelas tambak dilapangan dengan aturan yang telah disepakati dalam kontrak sebesar 95,83%, dan yang tidak sesuai sebesar 4,17% . Pada kelas I, II, dan III terdapat kesesuaian antara luas penutupan lahan dalam kontrak dengan luas penutupan lahan yang sebenarnya dilapangan, dengan persentase 100%, artinya pengkelasan pada kelas I, II, dan III sudah benar dan tepat. Sehingga pada kelas I, II, dan III tidak ada pihak yang akan dirugikan baik pesanggem maupun perhutani. Sedangkan Pada kelas IV luas penutupan lahan yang sesuai dengan di lapangan sebesar 83,3%, dan ada ketidaksesuaian data penutupan lahan di lapangan dengan aturan pada kontrak sebesar 16,7%. Hasil pengukuran yang tidak sesuai menunjukan bahwa luas penutupan lahan lebih besar dari aturan, dengan luas sebesar 40,77%. Karena luas penutupan lahan lebih besar dari kontrak, maka pesanggem dirugikan, sebab seharusnya tambaknya masuk pada kelas III bukan kelas IV. Adanya kondisi tambak dengan penutupan lahan 0 % pada kelas IV sebesar 33,33% dan dengan luas kelas IV sebesar (70,23%) dari luas lahan yang digunakan tambak. Ini menunjukan telah terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove, dan tidak berhasilnya rehabilitasi pada ekosistem mangrove. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan rehabilitasi hutan lindung mangrove. 2. Besarnya nilai sewa tambak Besarnya sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem adalah lebih tinggi dari nilai sewa yang ada dalam kontrak perjanjian sekarang. Hal ini berdasarkan Willingnes to pay (WTP) di setiap pesanggem per kelas tambak sehingga besarnya nilai sewa yang terbaik menjadi, untuk kelas I sebesar Rp.100.170/ha, kelas II sebesar kisaran Rp.118.930,36/ha s.d. Rp.137.151,64/ha, kelas III sebesar kisaran
Rp.136.973,62/ha s.d Rp.137.151,38/ha, dan untuk kelas IV sebesar kisaran Rp. 188.910,66/ha s.d Rp. 189.095,22/ha. Secara ekonomis dengan meningkatnya WTP pesanggem terhadap lahan tambak yang dikelola, memberikan keuntungan ekonomis yang cukup tinggi kepada pihak pengelola dalam hal ini perhutani. Tetapi secara ekologis hal ini tidak sesuai karena vegetasi yang ada dari tahun ketahun semakin berkurang akibat pengelolaan tambak yang tidak sesuai aturan. Maka diperlukan pengawasan dan pembinaan yang ketat dan tepat pada pesanggem sehingga kelestarian ekositem mangrove terjaga. Semakin tinggi WTP maka resiko kerusakan lingkungan dalam hal ini ekosistem mangrove juga tinggi. Sehingga besarnya nilai WTP sebanding dengan besarnya biaya rehabilitasi, sehingga biaya sewa ini pemanfaatanya harus secara tepat dan cepat untuk peningkatan kinerja rehabilitasi mangrove.
6.2. Saran Saran yang dapat diberikan antara lain 1. Diperlukan perbaikan isi perjanjian kerjasama dalam pengelolaan tambak yang berkaitan tentang kewajiban Pesanggem, yaitu perlu penambahan poin bahwa pesanggem wajib melaksanakan rehabilitasi. 2. Adanya penataan ulang sistem pengkelasan tambak berkaitan dengan batas persentase setiap kelas tambak antara lain, penetapan batas bawah persentase untuk kelas IV sebesar 15%, sehingga tidak sampai ke angka 0% dan penghapusan kelas IV, sehingga batas bawah persentase vegetasi >40%. 3. Komposisi luasan optimal tambak tumpangsari adalah tambak (54%) dan hutan mangrove (46%) dan menentukan nilai sewanya. 4. Menentukan kisaran kelas yang baru dengan selang tiap kelas 10%. 5. Distribusi manfaat tambak dengan mengutamakan hak pengelolaan kepada penduduk lokal.
DAFTAR PUSTAKA Arief, H. 2002. Studi Ekologi Mangrove di Cikiong Jawa Barat. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi Dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar III, Ekosistem Mangrove. LIPI. Jakarta. Bengen., D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. BKPH Cikiong. 2005. Laporan Tahunan BKPH Cikiong. Tidak diterbitkan. ____________. 2004. Laporan Tahunan BKPH Cikiong. Tidak diterbitkan. ____________. 1993. Laporan Tahunan BKPH Cikiong. Tidak diterbitkan. Feblita, R. 2006. Kontrak Pemanfaatan Mangrove dan Implementasinya di RPH Cibuaya, BKPH Cikeong, KPH Purwakarta. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan. Istomo. 1992. Tinjauan Ekologi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Indonesia. Jurusan Menajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zuna, HY. 1998. Analisis Ekonomi Sistem Tambak Tumpangsari, Di RPH Poponcol, Desa Mayangan, Kabupaten Dati II, Subang. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kusmana, C.; S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. LPP
Mangrove. 2004. Pengembangan Konsep Kapasitas Kelembagaan Sumberdaya Mangrove dan Percontohan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Sumberdaya mangrove. Bogor.
_____________. 2003. Rehabilitasi Mangrove di Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung. Bogor. _____________. 1998. Rancangan Sistem Pengelolaan Hutan Bakau di Kawasan Segara Anakan Kabupaten DATI II Cilacap-Jawa Tengah. Laporan Utama, maret 1998. Cilacap.
Muliady, R. 2002. Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Mangrove Muara Angke Oleh Masyarakat Sekita Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nuryanto A. 2003. Silvofishery (Mina Hutan): Pendekatan Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara Lestari [Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)]. Bogor: Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor. Perhutani. 2003. Selayang Pandang BKPH Cikiong KPH Purwakarta. Perum Perhutani. Purwakarta -------------. 2006. Sekilas Pengelolaan Hutan Mangrove (Payau) Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Purwakarta BKPH Cikiong, Perum Perhutani. Karawang. Purwanto, E. 1986. Studi Kelayakan Kondisi Hutan Lindung di Sub DAS Sumber Brantas. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusmana, N. 2005. Kinerja Proyek Bantuan Tanaman MPTS (Multi Purpose tree species) dalam Program Pembinaan Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setiaji, A. 2001. Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Sumber Bahan Kayu Bakar, Studi Kasus di BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, A. F. 1998. Studi Kelembagaan Dalam Rehabilitasi Jalur Hijau mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgan, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sofian , A. 2003. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kawasan Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Menajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan dan Kelautan Departemen Sosial Ekonomi Perikanan Dan Kelautan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suheri. 2003. Studi Perubahan Penutupan Lahan di Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sulistiadi, R. S. 1986. Studi Interaksi Masyarakat Dengan Hutan Mangrove Segoro Anak Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syah, C. Pengaruh Penebangan Terhadap Suksesi Hutan Alam Mangrove di Propinsi Kalimantan Barat, Studi Kasus di HPH PT INHUTANI, Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole, RE. 1992. Pengantar Statistik : Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Witria, A. 2004. Evaluasi Kinerja Proyek Ternak Domba Bergulir Dalam Program Pembinaan Desa Desa di Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar luas dan kelas andil garapan pesanggem A. Kelas IV Nama H.Acim H.Anti Japar Rana Bahrudin Nurjaman Minan Irah Ombah Acem Masdri Sukri Carlim Parman Hasan H.Amsuri Jueni Ombi H.Nandang.AS Dama Taip B Nali H.Umroh H.Raum Wanukri Jamrong Asep H.Junaedi H.Akbar Yono A.Kamsinah Hj.Karni Suminta Darma Namin H.Sukardi H.Jamali H.Ocad Damin Ucah H.Ocad Oom Omsah H.Raum Sanam
Alamat Petak Luas (Ha) Sedari 43 5.00 Srijaya 43 3.50 Srijaya 43 9.40 Sedari 43 2.00 Sedari 43 5.00 Sedari 43 4.00 Sedari 43 3.10 Sedari 43 3.00 Sedari 43 3.00 Sedari 43 1.50 Sedari 43 2.00 Sedari 43 1.60 Sedari 43 3.00 Sedari 43 1.50 Sedari 43 3.00 Kedungjaya 43 10.00 Kedungjaya 43 5.00 Kedungjaya 43 2.80 Kedungjaya 43 4.00 Kedungjaya 43 5.00 Tambaksumur 43 6.75 Sedari 43 7.00 Sedari 43 7.00 Sedari 43 2.00 Sedari 43 10.00 Sedari 43 5.00 Sedari 43 5.00 Sedari 43 10.50 Sedari 43 1.50 Sedari 43 5.00 Srijaya 43 3.50 Sedari 43 1.00 Sedari 43 6.00 Sedari 43 5.40 Srijaya 43 10.00 Srijaya 43 10.00 Pisangsambo 43 17.50 Sedari 43 2.00 Sedari 43 3.00 Pisangsambo 43 9.00 Sedari 46 5.00 Sedari 46 2.00 Sedari 46 4.00
H.Samu Mirta Halimah H.Samar Dali Nuryati Boin Jamad Mirad H.Nusi H.Calam Tarmin Warsan Cemeng Akam H.Parta Kanim Jamsah Usin Enjen Sana Ratam Ikun H.Kiang Karja H.Osin Hasan Emed Encan Ni'ing H.Ajid Madhari Minah Maja Bonin Naba Kosasih Omih Unan Noin H.Oji H.Wawan.R H.Enda Omah H.Ajid Omsah
Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Tambaksumur Sedari Sedari Sedari Sedari Tambaksumur Sedari Sedari Sedari Srijaya Srijaya Srijaya Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Kedungjaya Srijaya Sedari Sedari Kedungjaya Sedari Kedungjaya Sedari Sarengseng Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Sedari Sedari Sarengseng Sarengseng Kedungjaya Sarengseng Sedari
46 46 46 46 46 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47 48 48 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
5.00 7.00 7.00 5.00 4.00 10.00 1.00 0.75 3.00 10.00 5.00 10.00 10.00 4.00 4.00 6.00 7.00 6.00 4.00 1.00 1.70 4.00 3.50 4.60 5.00 9.30 4.00 1.20 2.00 1.00 4.00 0.60 0.60 1.50 3.30 2.50 0.30 4.20 1.70 1.50 2.50 4.00 4.00 2.50 3.00 2.00
Oja Imung Salim H.Calam Junaedi Entas Karsa Unayah H.Karya H.Ajid H.Ali.K Yohanes H.Yanta Wilan Iye Rupiatna Hj.Isem Tiongham Dasman Kim'an Rifki Gunawan N.Mulyana Nawawi H.Tiar Aswadi Nasir Jubaedah H.Umin Warno Yuan Kardum Gerwanto Hj.Tinah Kusnadi Tarnya Nyaang Wawan.S Junariah Rudi Ranam Hasan Paing Namat Satim Hj.Enung H.Sukardi
Sedari Sedari Sedari Tambaksumur Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Sarengseng Sarengseng Sedari Cemarajaya Kedungjaya Kedungjaya Kedungjaya Sungai buntu Sarengseng Cemarajaya Kedungjaya Cemarajaya Cemarajaya Cemarajaya Sedari Sedari Cemarajaya Sedari Sedari Kedungjaya Sedari Cemarajaya Sedari Sedari Sedari Cemarajaya Sedari Sedari Cemarajaya Sedari Cemarajaya Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Srijaya
49 49 49 49 49 49 49 49 50 50 51 51 51 51 51 51 51 52 52 53 53 53 54 54 54 54 54 54 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55 55
6.20 0.50 0.50 2.00 3.00 3.00 3.00 5.00 7.00 10.00 32.50 41.00 14.00 4.50 4.50 10.00 8.80 55.00 1.00 65.00 14.00 15.00 5.00 5.00 10.00 5.00 5.00 2.00 3.00 4.00 0.50 2.00 6.00 36.00 2.00 6.00 24.08 4.00 4.00 9.00 1.50 3.00 2.30 2.40 4.00 11.93
Komarudin Sarki Cilay Rakman Sernaldi Hendri Tama Yani.S Ucar
Cibuaya Sedari Cemarajaya Sedari Cemarajaya Cemarajaya Cemarajaya Sedari Jumlah total Rata-rata Luas
55 55 57 57 57 57 57 57
B. Kelas III Nama Alamat Petak Sadam Sadam 46 Marta Sedari 46 H.Calam Tambaksumur 46 Samsudin Kutamakmur 47 Kani Sedari 47 Aming Sedari 47 Hotimah Sedari 47 Omsah Sedari 47 Amid Srijaya 47 H.Jiman Sedari 47 Hj.Ersih Cibuaya 48 Naomi Srijaya 48 Rupiatna Sungai buntu 50 Suyatno Sungai buntu 50 Hj.Surtijah Sarengseng 50 Herman Cemarajaya 50 H.Asan Kedungjaya 54 Herman Cemarajaya 54 H.Komaruloh Cibuaya 54 Gusar Raseng Cemarajaya 54 Susanti Cemarajaya 54 Susilawati Cemarajaya 54 H.Raum Sedari 55 Angisah Sedari 55 H.Nusi Sedari 55 Ujang Ahmadi Kedungjaya 55 Ruslan Sedari 55 Sihong Cemarajaya 56 H.Umin Sedari 57 Jumlah total Rata-rata Luas
2.50 1.60 2.00 5.00 7.00 7.00 15.00 0.75 903.85 6.28
Luas (Ha) 5.00 6.00 4.00 8.00 0.75 5.00 0.75 4.00 6.00 4.00 16.31 3.00 18.00 6.00 10.00 4.90 50.00 33.40 17.50 20.00 10.00 23.40 1.60 4.00 7.00 10.00 3.00 9.00 2.00 292.61 9.75
C. Kelas II Nama A.Sairan Unar H.Tambun Hasan Usin Sami Nurini H.Kamsur H.Atam Demas Soleh Rusdi Ejo H.Naomi Duloh Uwen
Alamat Petak Sedari 46 Tambaksumur 46 Sedari 46 Sedari 46 Sedari 46 Sedari 46 Sedari 46 Kedungjaya 47 Srijaya 47 Sedari 47 Sedari 47 Sedari 48 Kedungjaya 48 Sedari 55 Sedari 55 Kedungjaya 55 Jumlah Rata-rata luas
D. Kelas I Nama Rukiah H.Wartijah Suandi
Alamat Sedari Srijaya Sedari Jumlah Rata-rata luas
Petak 46 47 48
Luas (Ha) 5.00 6.00 2.50 5.00 3.00 4.00 3.00 9.00 4.00 5.00 4.00 5.00 4.40 8.00 3.10 4.00 78.00 4.41
Luas (Ha) 5.00 5.60 1.80 12.40 4.13
Lampiran 2. Daftar pesanggem yang menjadi responden. No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
H. Jiman Namin Sami masdri Dali Darma Amid Rukiah jamrong asep Marta Jamsah akam ratam H. atam H. samar Suwandi Raum hasan cemeng Aming Hotimah Karja Oom Encan Sairan H.Oja Omsah Sadam Soleh Jumlah
Kelas I= 3,33% 2=13,33% 3=26,66% 4=56,66%
Jenis kelamin
Umur
Aalamat
kelas tambak
Laki Laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
45 50 47 35 51 55 40 65 65 35 65 40 35 57 55 50 50 45 61 65 50 30 65 45 25 48 57 42 55 35
Sedari Sedari Sedari Sedari srijaya Sedari srijaya Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari srijaya srijaya Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari kedungjaya Sedari Sedari Sedari Sedari Sedari
3 4 2 4 3 4 3 1 4 4 3 4 4 4 2 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 2 4 3 3 2
Luas Garapan (Ha) 4 5,4 4 2 4 6 6 5 10 5 6 6 4 4 4 5 1,8 2 3 4 5 0,75 5 5 2 5 3 4 5 4 129,95