KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MAINAN ANAK
TINTIN PRIHATININGRUM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI Mainan Anak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2016 Tintin Prihatiningrum NIM I351130151
RINGKASAN TINTIN PRIHATININGRUM. Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan DWI SADONO. Penduduk Indonesia terdiri dari 25 persen anak-anak berusia 0 sampai 14 tahun, dengan tingkat impor mainan anak yang mencapai 60 juta dolar AS pada Agustus 2013, namun mainan anak-anak tersebut belum tentu seluruhnya memenuhi standar keselamatan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No.55/M-IND/PER/11/2013 tentang pemberlakuan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) pada mainan anak. Penerapan standar wajib seharusnya dimulai pada bulan April 2014, tetapi sebagian besar pengrajin boneka yang berada di industri skala kecil belum siap. Kinerja industri kecil dalam pelaksanaan standar wajib adalah penting karena mereka memiliki kontribusi terhadap PDB Indonesia dan pada tahun 2013, 3,9 juta UKM mampu menyerap tenaga kerja dari 9,14 juta orang. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis kinerja boneka pengrajin di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak, 2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 sampai November 2016 di Bekasi. Populasi penelitian ini adalah 46 pengrajin inti yang memiliki modal ekonomi dalam bentuk bahan baku, mesin dan biaya operasional produksi. Pengumpulan data dilakukan dengan sensus terhadap 46 pengrajin inti. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensial (Rank Spearman). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak tergolong pada kategori tinggi dalam tingkat pemenuhan persyaratan administasi, pengujian dan penandaan. Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa faktor karakteristik yang berkorelasi dengan kinerja adalah pendidikan formal, pengalaman bisnis, kemampuan memenuhi permintaan pasar dan investasi usaha. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa faktor motivasi yang berkorelasi dengan kinerja adalah kebutuhan untuk kekuasaan. Faktor eksternal yang berkorelasi dengan kinerja adalah tingkat ketersediaan informasi dan tingkat pemberdayaan boneka pengrajin melalui pelatihan. Tidak satu pun dari faktor atribut inovasi yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas dan observabilitas, yang berkorelasi dengan kinerja. Kata Kunci:
Standar Nasional Indonesia, penerapan SNI, kinerja, SNI mainan anak.
SUMMARY TINTIN PRIHATININGRUM. Performance of Doll Craftsman in Bekasi in Indonesian National Standard of Children Toys Implementation. Undersupervision of PUDJI MULJONO dan DWI SADONO. Indonesian population consist of 25 percent children age 0 until 14 years old, with imported children toys reach 60 million dollars in August 2013, but those children toys may not all of it meet safety standards. Government of Indonesia has issued Decree No.55/M-IND/PER/11/2013 regarding The Mandatory of Indonesian National Standard (SNI) on Children Toys. The mandatory standards implementation have to start in April 2014, but most of the doll craftsman which are in small scale industry not ready yet. Performance of smallscale industry in mandatory standards implementation is importance since they have contribution to Indonesia GDP and in 2013, 3,9 million SMEs were able to absorb the labor force of 9.14 million people. The objectives of this study were: 1) to analyze the performance of doll craftsman in Bekasi in the implementation of SNI of children toys, 2) to analyze the factors related to the performance of doll craftsman in Bekasi in the implementation of SNI of children toys. This research was conducted in April 2015 to November 2016 in Bekasi. The population were 46 core doll craftsman who have economic capital in the form of raw materials, machinery and operational costs of production. The data collection was conducted by census on the population. The analysis of data was performed by using the correlation test of rank Spearman. The results of this research showed that the performance level of the doll craftsman in Indonesian National Standard of Children Toys Implementation was high in the rate of administration requirement, testing requirement and marking requirement. The characteristic factors correlated with performance were formal education, business experience, the ability to meet market demand and business investment. The motivation factors correlated with performance was needs for power. The external factors correlated with performance were the availability of information and the level of doll craftsman empowerment through training. None of the attribute of innovation factors correlated with performance. Key words:
Indonesian national standard, implementation of SNI, performance, SNI on toys.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA MAINAN ANAK
TINTIN PRIHATININGRUM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Anna Fatchiya, MSi
Judul Tesis : Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak Nama : Tintin Prihatiningrum NIM : I351130151 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi Ketua
Dr Ir Dwi Sadono, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 sampai dengan November 2016 ini ialah Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI Mainan Anak. Terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan Dr Ir Dwi Sadono, MSi selaku komisi pembimbing atas pengertian, dukungan, ilmu dan semangat yang diberikan kepada penulis saat penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan beragam masukan dan saran konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf kependidikan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, yang telah mendidik dan membantu penulis selama penyelesaian studi di IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran Badan Standardisasi Nasional (BSN), Kementerian Perindustrian, Disperindag Kota Bekasi, HIKIB (Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI (Himpunan Industri Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir) dan seluruh pengrajin boneka di Kota Bekasi yang telah memberikan informasi dan menyediakan waktu dan pikirannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Almarhum Ayahanda Sundarto yang berpulang ke Rahmatullah di tengah penulisan tesis ini dan Ibunda Suyati atas kasih sayang, doa, nasihat, dan dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Adi Baskoro atas kasih sayang, motivasi dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sampai saat ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada putra putri tercinta Muhammad Banyu Baskoro atas inspirasi yang diberikan dan Padma Anindya Baskoro yang hadir di tengah-tengah penulisan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi di Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh sahabat keluarga PPN atas kasih sayang, kebersamaan, diskusi, dukungan, nasihat yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca dan berkontribusi pada perkembangan standardisasi di Indonesia. Bogor, November 2016 Tintin Prihatiningrum
ii
DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Motivasi Wirausaha Atribut Inovasi Pengrajin Pengrajin Boneka di Kota Bekasi Pemberlakuan SNI Wajib Penerapan SNI Wajib Mainan Anak Faktor Eksternal Pengrajin Tinjauan Penelitian Sebelumnya Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi, Sampel dan Informan Data dan Intrumentasi Penelitian Definisi Operasional Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Deskripsi Perkembangan Kerajinan Boneka di Kota Bekasi Karakteristik Pengrajin Motivasi Wirausaha Pengrajin Faktor Eksternal Pengrajin Atribut Inovasi SNI Mainan Anak Kinerja Pengrajin Boneka Hubungan Karakteristik dengan Kinerja Pengrajin Hubungan Motivasi Wirausaha dengan Kinerja Pengrajin
i iii v v 1 1 3 4 5 5 6 6 7 8 10 11 12 13 18 18 20 23 25 25 25 25 26 27 33 34 34 36 36 37 38 40 42 43 45 47 48
iv
Hubungan Faktor Eksternal dengan Kinerja Pengrajin Hubungan Atribut Inovasi SNI Mainan Anak dengan Kinerja Pengrajin 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
50 51 52 52 52 53 66
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15 16 17
Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi Jumlah sebaran data penelitian Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran karakteristik pengrajin Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran motivasi wirausaha pengrajin Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran faktor eksternal pengrajin Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran atribut inovasi SNI mainan anak Variabel kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak Sebaran karakteristik pengrajin boneka di Kota Bekasi Rentang skor motivasi wirausaha pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan sni mainan anak Rentang skor faktor eksternal pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Rentang skor atribut inovasi SNI mainan anak Rentang skor kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak Nilai koefisien korelasi antara karakteristik pengrajin dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Nilai koefisien korelasi antara motivasi wirausaha pengrajin dengan kinerja pengrajin Nilai koefisien korelasi antara faktor eksternal pengrajin dengan kinerja pengrajin Nilai koefisien korelasi antara atribut inovasi dengan kinerja pengrajin
10 12 26 28 29 30 31 32 38 41 42 44 46
48 49 50 51
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tanda SNI 2 Contoh penggunaan tanda SNI pada produk boneka pengrajin di Kota Bekasi 3 Sketsa Peta Kota Bekasi 4 Sosialisasi penerapan SNI mainan anak kepada pengrajin boneka oleh Dinas Perindag Kota Bekasi 5 Pelatihan manajemen organisasi kepada pengrajin boneka oleh Dinas Perindag Kota Bekasi 6 Diskusi para pengrajin boneka di Kota Bekasi 7 Proses produksi boneka di Prada Toys Kota Bekasi 8 Wawancara bersama pengrajin boneka di Kota Bekasi 9 Wawancara bersama kepala sub bagian IKM Dinas Perindag Bekasi 10 Penyuluh magang untuk IKM yang diwawancara
60 60 61 62 62 63 63 64 64 65
vi
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengrajin boneka di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini telah berpusat di Kota Bekasi, setelah sebelumnya, selamanya dua dekade sempat berkembang di daerah Bandung dan Cengkareng. Awal mula hadirnya pengrajin boneka di Kota Bekasi ditandai dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 dan membuat beberapa pabrik boneka asing di Kota Bekasi yang menutup pabriknya sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja. Kebutuhan ekonomi dan lapangan kerja membuat beberapa orang kemudian membangun usaha pembuatan boneka yang terus berkembang hingga saat ini. Sejalan dengan perkembangan industri boneka di Indonesia saat ini telah diberlakukan wajib standar mainan anak untuk produksi boneka yang juga mengatur berbagai jenis mainan lainnya seperti kelereng, puzzle, baby walker dan lainnya. Standar merupakan sebuah inovasi yang penting bagi industri karena memberikan dampak perbaikan pada setiap produk, baik berupa barang maupun layanan jasa, mulai dari alat transportasi, alat komunikasi, barang-barang elektronik hingga kebutuhan sandang pangan sehari-hari. Standar awalnya diterbitkan untuk memastikan barang dan jasa agar dapat diproduksi dan digunakan pada negara yang berbeda. Standar juga digunakan untuk mengurangi hambatan perdagangan barang dan jasa sehingga dapat diperdagangkan dengan bebas di seluruh dunia. Standar berlaku secara nasional maupun internasional dan pada dasarnya penerapannya bersifat sukarela (BSN 2011). British Standard Institution (BSI) menyebutkan bahwa standar akan membantu memastikan industri mendapatkan hasil terbaik dengan menghasilkan produk berkualitas, menjaga konsistensi, efisiensi dan praktek terbaik serta menunjukkan bagaimana untuk terus meningkatkannya. Adopsi terhadap standar akan membantu untuk membuat produk dan jasa menjadi lebih aman, yaitu dengan mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa, misalnya dengan menetapkan standar minimum untuk produk-produk seperti makanan, minuman, pakaian bayi, keselamatan kebakaran, peralatan listrik, atau pada penelitian ini misalnya pada mainan anak yaitu boneka, sehingga standar dapat melindungi dan memberi informasi yang dibutuhkan bagi konsumen untuk membuat pilihan (BSI 2009). Berhasil atau tidaknya pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) mainan anak berhubungan dengan banyak faktor yang berada di dalam maupun di luar diri pengrajin. Faktor-faktor tersebut turut menentukan bagaimana hasil produksinya dapat memenuhi persyaratan dan diterima oleh semua pasar yang dituju. International Standard Organization (ISO) menjelaskan bahwa standar berkontribusi pada penghematan atau peningkatan pemasukan. Satu faktor yang menonjol adalah dampak standar akan semakin terlihat bila diikuti dengan pembentukan pasar atau market baru, artinya bagi pengrajin boneka adalah mereka selain dapat memenuhi permintaan pasar dalam negeri, juga mampu bersaing di pasar dunia. Standar dalam hal ini sangat berperan untuk menciptakan kepercayaan calon konsumen terhadap teknologi baru, memudahkan perusahaan memasuki pangsa pasar baru yang secara konsisten mengirimkan produk dan jasa
2
sesuai keinginan konsumen. Studi membuktikan bahwa fokus pada standar dapat menjadi penentu utama dalam strategi upgrading memasuki segmen pertambahan nilai yang lebih tinggi, di mana hasil penelitian memperlihatkan secara konsisten keuntungan pemakaian standar (ISO 2011). SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku nasional di seluruh Indonesia yang dirumuskan oleh panitia teknis yang berada di masing-masing institusi teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dalam pengembangan kegiatan standardisasi di Indonesia. Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional adalah meningkatkan perlindungan kepada masyarakat untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup (BSN 2010a). Melalui program Gerakan Penerapan Standar Nasional Indonesia (Genap SNI), pada 11 komoditas prioritas dalam rangka China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Badan Standardisasi Nasional (BSN) mencanangkan salah satunya Program Penerapan SNI mainan anak. Hal ini termasuk dengan kebijakan edukasi pada penerap SNI yang tergolong pada Industri Kecil Menengah (IKM) seperti pengrajin boneka di tengah banyaknya impor mainan anak dari Cina (BSN 2010b). Adopsi SNI mainan anak oleh pengrajin boneka dengan modal sosial ekonomi yang terbatas menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena dibutuhkan komitmen dan motivasi yang kuat dari pihak manajemen untuk meningkatkan kinerja dalam penerapan SNI. Penerapan SNI sangat erat kaitannya dengan kesiapan untuk mengerahkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Analisis kemampuan industri mainan anak menunjukkan bahwa dari sudut penerapan teknologi, banyak produsen mainan anak di dalam negeri berproduksi dengan teknologi rendah, padahal tuntutan industri mainan anak semakin maju. Pembinaan penerapan SNI membantu pengrajin boneka mencapai kinerja yang diharapkan dalam penerapan SNI, sehingga produk yang dihasilkan dapat sesuai dengan SNI dan mengurangi adanya risiko bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung pada mainan anak (BSN 2010c). Mainan anak merupakan salah satu bisnis terbesar di dunia yang menjanjikan keuntungan besar, dan menjadi komoditi yang berpengaruh pada Indonesia sebagai negara dengan populasi anak usia 0 sampai dengan 14 tahun yang berdasarkan CIA World Factbook mencapai lebih dari 25 persen (CIA 2016). Mainan anak adalah salah satu sasaran utama industri global, menurut Kementerian Perdagangan, hingga bulan Agustus 2013 nilai impor mainan anak telah mencapai 60 juta dolar, dengan 95 persen di antaranya berasal dari Cina. Namun, belum tentu seluruh mainan yang beredar itu aman untuk anak, hingga kemudian standar mainan anak diberlakukan wajib (Suryowati 2013). Produk Mattel buatan Cina juga ditarik di Amerika pada tahun 2007karena memiliki kandungan timbal berlebihan dan magnet yang dapat tertelan dan membuat tersedak. Penarikan mainan anak ini terjadi, dan menjadi salah satu kasus yang terbesar sepanjang sejarah (Story & Barboza 2007). Timbal merupakah bahan kimia berbahaya yang sering ditemukan pada mainan anak, kandungan timbal yang di atas batas toleransi dapat menyebabkan keracunan kronik pada otak, pembuluh darah dan syaraf tubuh. Akibatnya, anak yang
3
keracunan timbal akan menderita penyakit pernapasan akut, penyakit pencernaan akut, serta melemahnya kerja zat-zat pembangun tulang sehingga berpotensi menyebabkan kerapuhan tulang (BPOM 2014). Radio Australia menyebutkan bahwa pemerintah Cina menutup beberapa pabrik setelah penarikan tersebut, dan memulai program pendidikan. Sebagai negara pengekspor mainan terbesar di dunia, dengan 22 miliar mainan buatan Cina terdapat di luar Cina pada tahun 2006, hal ini menjadi perhatian khusus pemerintah Cina (Barboza & Story 2007). Menurut International Standard Organization (ISO), dari hasil penelitian Statistic Brain, tiga penyebab penarikan produk di seluruh dunia adalah karena luka bakar, tersedak dan laserasi atau luka robek, dengan 17 persen di antaranya produk mainan anak. Penarikan produk paling banyak dilakukan untuk produk yang berasal dari Asia, dengan jumlah sebanyak 72 persen. Dalam penarikan ini paling banyak dilakukan pada produk asal Cina, disusul produk yang berasal dari Amerika Latin (ISO Focus 2013). Kejadian tersebut menjadi perhatian AsiaPacific Economic Cooperation (APEC) Toy Safety Initiative yang kemudian mendorong adanya harmonisasi standar terkait keamanan mainan anak di antara negara-negara anggota APEC dengan mengacu pada standar ISO (Nadarajan 2013). Selain menjadi perhatian dalam konferensi APEC, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), persaingan terkait mutu dan keamanan produk yang dihasilkan sangat penting dan menentukan kelangsungan usaha. Bagi pengrajin boneka, peluang dalam menghadapi tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kemampuan dan mencapai kinerja maksimal dalam menghasilkan produk-produk boneka yang berkualitas dan aman. Kinerja tersebut salah satunya terkait pada peningkatan jumlah produksi boneka sesuai dengan permintaan pasar dan pemenuhan standar yang menjamin kekuatan fisik boneka serta keamanan zat kimia yang terkandung dalam bahan-bahan pembuatnya. Pemenuhan standar ini, selain karena SNI mainan anak sudah wajib, juga untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan. Perumusan Masalah Terhitung sejak Oktober 2013 lalu, di Indonesia, melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Menteri No.55/M-IND/PER/11/2013 diberlakukan SNI mainan anak secara wajib untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan pada anak. SNI mainan anak tersebut secara umum mengatur spesifikasi sifat fisis dan mekanis (SNI ISO 8124-1:2010), spesifikasi sifat mudah terbakar (SNI ISO 8124-2:2010), perpindahan unsur tertentu atau migrasi zat kimia (SNI ISO 8124-3:2010), keamanan dan keselamatam mainan yang bisa dinaiki (SNI ISO 8124-4:2010), keamanan mainan elektrik (SNI IEC 62115:2011), persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida (SNI 7617:2010) (Kemenperin 2013a). Peraturan tersebut berlaku untuk semua mainan yang digunakan oleh anak di bawah usia 14 tahun, baik saat awal diterima konsumen, penggunaan normal hingga penggunaan kasar, termasuk mainan boneka yang menjadi salah satu komoditi yang dihasilkan oleh pengrajin boneka di Kota Bekasi. Peraturan tersebut diberlakukan untuk menjamin keamanan mainan dan memastikan
4
pemenuhan persyaratan sesuai standar dilakukan pengujian yang terdiri dari di antaranya uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia pada satu lot produksi, dengan ketentuan satu lot produksi merupakan hasil produksi selama enam bulan. Pengujian ini dilakukan melalui laboratorium penguji yang telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan ruang lingkup produk mainan (Kemenperin 2013a). Keberadaan SNI bertujuan untuk mengurangi risiko dan bahaya penggunaan mainan anak. Harapannya hal ini akan mendukung upaya agar industri dapat memenuhi persyaratan minimal dalam proses produksinya. Pemberlakuan SNI mainan anak menunjukkan bahwa SNI berlaku sebagai acuan pasar selain juga menjadi tanda jaminan mutu, keamanan dan keselamatan konsumen, khususnya pada bayi dan anak. Pemberlakuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil (Kemenperin 2013b). Persyaratan administrasi, persyaratan sertifikasi dan persyaratan penandaan harus dipenuhi oleh seluruh industri mainan anak, baik untuk skala usaha kecil, sedang, maupun besar, buatan dalam maupun luar negeri. Jika pengrajin boneka tidak memiliki motivasi maupun kemampuan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan tersebut maka sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian, produk mainan anak yang diproduksi tidak boleh beredar di Indonesia. Ketentuan ini memberi dampak yang luas dari sisi kelangsungan usaha kecil menengah, ketenagakerjaan serta devisa negara. Bagi pengrajin boneka, tantangan ini dapat menjadi sebuah nilai tambah, namun juga dapat menjadi hambatan bagi kelangsungan usaha, karena itu, langkah apa yang dipilih akan menentukan perkembangan usahanya. Tantangan ini akan menjadi hambatan jika pengrajin boneka tidak dapat dalam mencapai kinerja yang diharapkan dalam memproduksi boneka yang mampu bersaing. Penerapan SNI merupakan salah satu inovasi teknologi dalam upaya pengembangan produk dan perwujudan kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Proses untuk mencapai kinerja ini membutuhkan dukungan dan peningkatan sumber daya manusia. Sejalan dengan uraian di atas, dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak? 2. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian: 1. Menganalisis kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.
5
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk mengkaji kebijakan dan program penerapan SNI, khususnya dalam program penerapan SNI Wajib mainan anak, serta untuk merumuskan model kebijakan Program Penerapan SNI. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai : 1. Bahan acuan analisis kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. 2. Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam peningkatan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini melingkupi bahasan yang berfokus pada pengrajin boneka di Kota Bekasi. Pemberlakuan SNI wajib mainan anak memberikan dampak khusus kepada pengrajin boneka di Kota Bekasi yang merupakan salah satu sentra produksi boneka di Indonesia. Pemerintah Kota Bekasi juga memfasilitasi IKM mainan anak untuk mendapatkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI). Sejumlah pengrajin boneka kemudian berhasil memenuhi persyaratan SNI melalui program insentif penerapan SNI yang sebagian besar berasal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bekasi ditambah dengan Kementerian Perindustrian RI. Program insentif penerapan SNI ditujukan untuk mempercepat tingkat adopsi inovasi yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak, sehingga keberhasilan program tersebut menjadi dasar pemilihan pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penelitian ini.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Kinerja diartikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang berdasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan 2006). Sebagai perilaku, kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi. Kinerja seseorang merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya atau target kerjanya. Berdasarkan As’ad (2012) tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja adalah kemampuan bekerja individu, usaha kerja yang didasari keinginan individu untuk bekerja, dan dukungan organisasional berupa kesempatan untuk bekerja bagi tiap individu. Menurut Gibson et al. (2011), kinerja dapat dinilai salah satunya dengan menilai keadaptasian, yaitu bagaimana sebuah organisasi dapat menyesuaikan dirimya dengan perubahan. Perubahan di sini dapat mengacu pada perkembangan teknologi, peraturan pemerintah, maupun tuntutan pasar terhadap kualitas dan variasi produk. Inovasi sebagai proses gelombang panjang penciptaan nilai di mana perusahaan pertama kali menemukan dan mengembangkan pasar baru, pelanggan baru, serta kebutuhan yang sedang berkembang dan tersembunyi dari pelanggan menuntut adanya perkembangan baru dalam kinerja sebuah organisasi. Menurut Barney (2002), kinerja perusahaan didefinisikan sebagai perbandingan nilai yang diciptakan organisasi dengan penggunakan aset dan nilai yang diharapkan diperoleh oleh pemilik. Pada penelitian ini kinerja pengrajin boneka dilihat dari segi sejauh mana penerapan SNI mainan anak dapat tercapai secara keseluruhan untuk mencapai target produksi boneka yang memenuhi persyaratan pengujian berdasaran SNI mainan anak dan mampu mendapatkan SPPT SNI beserta pemenuhan aplikasinya pada produk. Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI adalah dengan memenuhi persyaratan SPPT SNI mainan anak, sesuai dengan tata cara memperoleh SPPT SNI yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Nomor:02/BIM/PER/1/2014, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan Penerapan SNI Mainan Anak Secara Wajib. Persyaratan memperoleh SPPT SNI yang dimaksud adalah memiliki Ijin Usaha (IUI atau TDI), sertifikat merek atau TDM, surat pernyataan jaminan untuk tidak mengedarkan mainan pada saat proses pengujian, surat pencatatan Registrasi SPPT SNI dan mampu menyediakan satu lot produksi atau hasil produksi selama enam bulan. Setelah berhasil memiliki SPPT SNI mainan anak, pengrajin harus mampu mencantumkan tanda SNI dan Nomor Registrasi Produk (NRP) sesuai ketentuan persyaratan, setelah tahap ini pengrajin harus melaporkan realisasi produk mainan sesuai persyaratan penandaan yang berlaku kepada Dinas Perindag Kota Bekasi. Kinerja pengrajin yang dalam penerapan SNI juga dilihat apakah terdapat peningkatan omzet penjualan yang signifikan setelah menerapkan SNI.
7
Motivasi Wirausaha Motivasi pada dasarnya adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal di luar dirinya. Terdapat beragam teori motivasi seperti teori hirarki kebutuhan (Abraham Maslow), teori tiga motif sosial (David McClelland), teori dua faktor (Frederick Herzberg), teori E-R-G (Clayton Alderfer), dan berbagai teori lainnya. Teori hirarki kebutuhan Maslow terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Thoha 2010). Teori ini menekankan tingkatan kebutuhan di mana ada beberapa kebutuhan yang diutamakan dan harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lain, misalnya kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum akan didahulukan sebelum kebutuhan aktualisasi diri. Setelah kebutuhan-kebutuhan dasar itu terpenuh maka akan mucul kebutuhan-kebutuhan lain (Samsudin 2009). Kewirausahaan dalam Suryana (2006) adalah merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang sukses. Seorang wirausaha memerlukan kreativitas agar usahanya dapat berjalan dengan baik, yaitu kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Seorang wirausaha juga harus memiliki kemampuan inovasi untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang. Berdasarkan McClelland (1961) dalam berwirausaha, seseorang dipengaruhi berbagai motivasi sesuai teorinya yaitu teori tiga motif sosial, motivasi tersebut adalah: (1) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement), yaitu pada saat seseorang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keingginan mendapatkan prestasi dan pengakuan dari orang lain. Suryana (2006) menyebutkan bahwa McClelland mendefinisikan motif berprestasi sebagai dorongan yang ada pada diri individu untuk meraih sukses yang optimal, yang melebihi prestasinya di masa lalu dan prestasi orang lain. Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk unggul, berhubungan dengan seperangkat standar, dan bagaimana berjuang untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik sehubungan dengan hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. (2) Kebutuhan kekuasaan (need for power), yaitu di mana seseorang melakukan kegiatan kewirausahaan, ia juga didorong oleh keinginan mendapatkan kekuasaan atas sumberdaya yang ada. Peningkatan kekayaan, pengusaan pasar sering menjadi pendorong utama wirausaha melakukan kegiatan usaha. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan
8
sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. (3) Kebutuhan afiliasi (need for affiliation), pada saat seseorang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan untuk berhubungan dengan orang lain secara sosial kemasyarakatan. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan ini untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. Teori yang diungkapkan oleh McClelland yaitu achievement motivation theory atau teori motivasi prestasi, menyebutkan bahwa kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk unggul dan sukses sesuai dengan standar yang ditentukan. Individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah (Suryana 2006). Atribut Inovasi Suatu inovasi atau sistem baru, biasanya akan melalui berbagai proses sebelum akhirnya diterima oleh masyarakat. Sebuah inovasi memerlukan waktu untuk kemudian diadopsi oleh individu ataupun sekelompok masyarakat. Menurut Rogers (2003), adopsi adalah keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya dari suatu inovasi sebagai tindakan yang terbaik dan melewati urutan tahapan sebelum penerimaan produk baru, sedangkan penolakan adalah keputusan untuk tidak mengadopsi suatu inovasi yang tersedia. Atribut inovasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat adopsi yaitu kecepatan relatif suatu inovasi diadopsi oleh anggota atau sistem sosial. Rogers (2003) menyebutkan terdapat lima atribut dalam teori difusi inovasi yang menentukan tingkat adopsi inovasi, yaitu: (1) Keuntungan relatif (relative advantage) adalah sejumlah manfaat yang diterima dari suatu hasil inovasi dibandingkan manfaat yang diperoleh sistem lama. Hal ini menunjukkan sejauh mana sebuah inovasi inovasi dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik daripada gagasan yang digantikannya, lebih bermanfaat dari inovasi sebelumnya, dan dapat dilihat manfaatnya dari sudut pandang teknis, ekonomis, prestise, kenyamanan dan kepuasan. Jika seseorang merasa bahwa sebuah inovasi memberikan manfaat yang tinggi maka ia akan mengadopsi inovasi tersebut. Tingkat keuntungan relatif sering dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, seperti dari segi prestise sosial, atau dengan cara lain. Sifat inovasi menentukan jenis suatu keuntungan relatif apakah secara ekonomi, sosial, dan sejenisnya dianggap penting oleh pengadopsi, meskipun karakteristik pengadopsi potensial juga dapat mempengaruhi pandangannya tentang keuntungan relatif mana yang paling penting. (2) Kompatibilitas (compatibity) adalah kesesuaian antara teknologi yang ada dengan teknologi baru, sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi
9
potensial. Kompatibilitas ini berkaitan erat dengan nilai sosial budaya, kepercayaan, gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan keperluan yang dirasakan oleh individu. Hal itu akan dipengaruhi oleh kesesuaian sebuah inovasi dengan nilai diri adopter, pengalaman adopter, dan kebutuhan adopter. (3) Kompleksitas (complexity) adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan, mudah tidaknya inovasi dapat dipraktekkan oleh pemakai, merujuk pada tingkat kesulitan pemahaman dan penggunaan sebuah inovasi. Semakin kompleks dan rumit sebuah inovasi akan lebih sulit diadopsi. (4) Trialibilitas (trialability) adalah tingkat di mana inovasi dicoba diterapkan sebagian untuk melihat sejauh mana suatu inovasi teknologi dapat diuji. (5) Observabilitas (observability) merupakan tingkat di mana hasil dari inovasi terlihat oleh pihak lain, sejauh mana suatu inovasi dianggap mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain, atau dapat terlihat langsung. Atribut ini menjadi pertimbangan dalam mengadopsi sebuah inovasi terkait sejauh mana hasil adopsi inovasi dapat diamati dan dikomunikasikan. Inovasi merupakan bagian dalam transformasi, globalisasi dunia dan persaingan usaha, hal ini menjadi sebuah kebutuhan, di mana semua industri bersaing dan bertahan dengan berbagai bentuk penyempurnaan dari produk yang sudah stabil. Hal ini sesuai dapat dilihat dalam tahapan proses keputusan inovasi menurut Rogers (2003): (1) Tahap pengetahuan, yaitu tahapan di mana seorang individu sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu berfungsi. Tahap ini terkait pada karakteristik sosial ekonomi, variabel kepribadian dan perilaku komunikasi. (2) Tahap persuasi, yaitu ketika seorang individu sudah membentuk sikap terhadap inovasi yaitu apakah inovasi tersebut dianggap sesuai atau tidak bagi dirinya. Pada tahap ini, terkait bagaimana inovasi dapat diterima atau diadopsi. (3) Tahap keputusan, yaitu tahap seorang individu sudah terlibat dalam pembuatan keputusan yaitu apakah menerima atau menolak inovasi. Adopsi mengacu pada keputusan untuk adopsi menggunakan seluruh inovasi dengan usaha yang maksimal, sementara penolakan adalah keputusan untuk tidak mengadopsi sebuah inovasi. Jika sebuah inovasi memiliki dasar percobaan parsial, biasanya diadopsi lebih cepat, karena kebanyakan orang pertama ingin mencoba inovasi dalam situasi mereka sendiri dan kemudian datang ke keputusan adopsi. (4) Tahap implementasi, yaitu pada saat seorang individu menerapkan inovasi berdasarkan keputusan yang telah dibuatnya. Penerapan ini masih memiliki ketidakpastian akan hasil yang dapat mempengaruhi tindakan selanjutnya. (5) Tahap konfirmasi, yaitu pada saat seorang individu mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini pengrajin dapat mengubah keputusan untuk menolak inovasi yang telah di adopsi sebelumnya. Pada sebuah proses adopsi inovasi, kecepatan adopsi dapat berjalan cepat, lambat atau bahkan menolak, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya tingkat pendidikan, status sosial, status ekonomi, kemampuan komunikasi dan
10
umur. Hal ini menurut Rogers (2003) dapat digambarkan dalam kategori pengadopsi yang dikelompokkan sebagai berikut yaitu: (1) Innovators, yaitu kelompok yang berjiwa petualang, sehingga berani mengambil resiko, kelompok ini bersifat cerdas dan biasanya memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Innovator, kemudian meneruskan inovasi melalui pengguna lain hingga akhirnya diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kegiatan produktif. Meskipun begitu inovator bukanlah opinion leaders, karena secara umum, dalam mencoba hal baru inovator berpikir untuk kemanfaatan dirinya sendiri (jumlahnya sekitar 2,5%). (2) Early Adopters, yaitu kelompok merupakan perintis atau pelopor, sehingga menjadi teladan bagi masyarakat, biasanya mereka adalah pemuka pendapat, orang yang dihormati dengan akses yang tinggi di dalam masyarakat. Pengadopsi awal ini memiliki status di lingkungan sosial dan menjadi pemimpin opini, mereka mengadopsi produk yang berhasil membuat mereka lebih dapat diterima dan dihormati (jumlahnya sekitar 13,5%). (3) Early Majority atau pengikut dini, yaitu mayoritas awal yang penuh pertimbangan dan memiliki interaksi internal tinggi. Kelompok ini lebih konservatif dan memiliki status sedikit di atas rata-rata, cenderung lebih berhati-hati dan hanya mengadopsi produk yang memiliki penerimaan sosial baik (jumlahnya sekitar 34%). (4) Late Majority atau pengikut akhir, memiliki ciri skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi, dan terlalu berhati-hati. Kelompok ini tidak mau mengambil resiko dan memilih untuk melakukan apa yang sudah dilakukan orang lain (jumlahnya sekitar 34%). (5) Laggards atau kelompok kolot, merupakan mereka yang bersifat tradisional, terisolasi, wawasan terbatas dan bukan opinion leaders. Kelompok ini adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Mereka bersifat tradisional dan tidak suka menggunakan hal-hal baru (jumlahnya sekitar 16%). Pengrajin Pengrajin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang menghasilkan kerajinan dengan skala usaha Industri Kecil Menengah (IKM). Menurut BPS pembagian kriteria IKM didasarkan pada jumlah tenaga kerja, seperti yang dijabarkan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja No. Jenis Industri Jumlah Tenaga Kerja (Orang) 1. Industri Rumah Tangga 1-4 2. Industri Kecil 5-19 3. Industri Sedang atau Menengah 20-99 4. Industri Besar > 99 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016 Adapun kriteria kelompok usaha berdasarkan atas Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut:
11
(1) Organisasi Kecil, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2 miliar 500 juta rupiah. (2) Organisasi Menengah, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2 miliar 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 50 miliar rupiah. Industri kecil yang dimaksud dalam penelitian ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor:41/M-IND/PER/2008, yaitu yang memiliki investasi seluruhnya di atas lima juta rupiah sampai dengan dua ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau dengan kata lain industri kecil yang termasuk kategori wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI). Kesiapan pengrajin dalam menerapkan SNI berkaitan dengan keberlangsungan usaha, sehingga hal ini menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2013, dari 3,9 juta IKM yang ada di Indonesia, mampu menyerap tenaga kerja sebesar 9,14 juta orang. Industri kecil menengah (IKM) di Indonesia berkontribusi 10 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional pada tahun 2012 dan ditargetkan kontribusi IKM dapat mencapai 50 persen pada tahun 2025. Peluang IKM di tengah pertumbuhan kelas`menengah masyarakat Indonesia yang terus meningkat sangatlah besar. Dalam era ASEAN Economic Community saat ini, pertumbuhan ekonomi tersebut jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi lahan yang digarap oleh industri dari negara lain. Pengrajin Boneka di Kota Bekasi Pada pemberlakuan SNI wajib mainan anak, dari 12 jenis mainan yang termasuk di dalamnya, salah satunya adalah boneka. Kota Bekasi merupakan salah satu sentra produksi boneka di Indonesia. Jumlah keseluruhan pengrajin boneka di Kota Bekasi hingga tahun 2015 terdapat sekitar 300 pengrajin yang menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kota Bekasi terdiri dari 46 pengrajin inti yaitu pengrajin boneka yang memiliki modal ekonomi dan selebihnya terdiri dari pengrajin plasma yaitu pengrajin yang merupakan binaan pengrajin inti untuk mengerjakan kerajinan boneka sesuai standar yang ditentukan. Pengrajin plasma dalam menjalankan produksinya tergantung pada permintaan dari pengrajin inti dalam hal jumlah maupun spesifikasi dan mutu produk. Secara keseluruhan bidang kerajinan boneka ini mampu menyediakan lapangan kerja untuk 10.000 orang yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota Bekasi. Dinas Perindag Kota Bekasi bekerjasama dengan lembaga sertifikasi produk dan beberapa asosiasi pengrajin boneka yang ada di Kota Bekasi membuat sebuah program yang membantu pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Program ini diselenggarakan mulai tahun 2014 dengan membantu 9 pengrajin boneka dan 1 pengrajin mainan edukasi melalui pendampingan pemenuhan
12
persyaratan sertifikasi dan bantuan dana dari APBD sebesar kurang lebih 15 juta rupiah untuk membiayai sertifikasi SNI mainan anak. Program ini kembali diadakan pada tahun 2015 dengan target 12 pengrajin boneka mampu mendapatkan sertifikasi mainan anak. Kriteria pengrajin yang menerima pendampingan proses pemenuhan persyaratan SPPT (Sertifikat Produk Penggunaan Tanda) SNI mainan anak ini adalah pengrajin boneka yang telah memiliki persyaratan administrasi paling lengkap. Hal ini menjadi salah satu variabel yang ingin dilihat sebagai kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Selain dari Dinas Perindag Kota Bekasi, beberapa pengrajin boneka juga mendapatkan insentif dari Kementerian Perindustrian RI dengan dana dari APBN dan pendampingan oleh Dinas Perindag Kota Bekasi, terhitung melalui program ini di Kota Bekasi terdapat satu pengrajin boneka yang telah memperoleh SPPT SNI dan dua pengrajin boneka lainnya masih dalam proses. Data dari Dinas Perindag Kota Bekasi menunjukkan bahwa hampir di seluruh Kecamatan di Kota Bekasi terdapat pengrajin inti, dengan jumlah paling banyak di daerah Bantar Gebang dan Rawa Lumbu disusul Mustika Jaya, dan Bekasi Timur. Pengrajin inti yang tersebar di 8 kecamatan di Bekasi tersebut sebagian merupakan anggota dari asosiasi yang terdiri dari tiga asosiasi pengrajin boneka yaitu HIKIB (Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI (Himpunan Industri Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir). Asosiasi tersebut memiliki koperasi yang dipergunakan salah satunya untuk pengajuan SNI mainan anak untuk merek bersama di samping masing-masing pengrajin juga memiliki SPPT SNI atas nama perusahaannya untuk produk yang lebih eksklusif. Jumlah pengrajin inti yang ada di tiap kecamatan di Kota Bekasi, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi No. Nama Kecamatan Jumlah Pengrajin inti Persentase 1 2 3 4 5 6 7 8
Bantar Gebang Rawa Lumbu Mustika Jaya Bekasi Timur Jati Asih Bekasi Barat Medan Satria Bekasi Selatan Total
20 9 7 4 2 2 1 1 46
43,5 19,6 15,2 8,7 4,3 4,3 2,2 2,2
Pemberlakuan SNI Wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas di antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good
13
practice, yaitu bersifat terbuka, transparan, tidak memihak dan konsensus, efektif dan relevan, koheren dan berdimensi pembangunan dengan memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional (BSN 2010b). Sesuai perjanjian TBT WTO, pengembangan standar nasional diupayakan mengacu dan tidak menduplikasi standar internasional, memberikan kesempatan bagi pemangku kepentingan untuk memberikan tanggapan dan masukan, serta dipublikasikan melalui media yang dapat diakses secara luas selama sedikitnya 60 hari. Hal ini dilakukan oleh BSN sebagai notification body dan enquiry point di Indonesia. Perbedaan dengan standar internasional harus dengan mudah diketahui dan diberikan penjelasan mengapa perbedaan tersebut diterapkan (BSN 2010b). Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, SNI dapat diberlakukan wajib pada saat diperlukan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat memberlakukan SNI tertentu secara wajib jika dianggap penting dan diperlukan. Pemberlakuan ini dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang melalui regulasi teknis, dan produk yang tidak memenuhi ketentuan tersebut tidak boleh beredar di pasaran, karena itu perlu dilakukan tanpa menghambat persaingan usaha yang sehat (BSN 2010c). Pemberlakuan SNI wajib membuat penilaian kesesuaian sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI (BSN 2010c). Pemberlakuan standar wajib baru dapat diberlakukan secara efektif sekurang-kurangnya 6 bulan setelah ditetapkan untuk memberikan kesempatan semua pihak mempersiapkan diri. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh membedakan produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk yang diproduksi di negara lain, dan tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara tertentu dengan produk dari negara lainnya (BSN 2010c). Penerapan SNI Wajib Mainan Anak Melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 dengan beberapa perubahan pada Peraturan Menteri Perindustrian No.55/MInd/PER/11/2013, diberlakukan SNI Mainan Anak secara wajib bulan April 2014, untuk meningkatkan daya saing industri nasional dengan menjamin mutu hasil industri dan perlindungan konsumen. Peraturan ini berlaku untuk mainan anak usia di bawah usia 14 tahun, baik penggunaan normal hingga penggunaan kasar. Pemenuhan persyaratan dilakukan melalui pengujian di laboratorium yang telah terakreditasi yang terdiri dari uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia (Kemenperin 2013a). Berdasarkan peraturan tersebut, terkait dengan pengawasan, Direktur Jenderal Pembina industri menugaskan petugas dari Direktorat Pembina Industri untuk melakukan pemeriksaan perusahaan dan uji petik, sementara Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur menugaskan Petugas Pengawas Standar
14
Produk (PPSP) untuk melakukan pengawasan pemberlakuan dan penerapan SNI Mainan secara wajib sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu tahun. Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Nomor. 02/BIM/PER/1/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Mainan Secara Wajib menyebutkan bahwa untuk boneka yang mencakup bagian dan aksesorisnya, standar yang berlaku adalah SNI ISO 81241:2010, SNI ISO 8124-2:2010, SNI ISO 8124-3:2010, SNI 7617:2010 (Kemenperin 2014). SNI ISO 8124-1:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-1:2009 dengan judul Safety of toys – Part 1: Safety aspects related to mechanical and physical properties, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.1-2001, Keamanan mainan - Bagian 1: Spesifikasi sifat fisis dan mekanis (BSN 2010d). SNI ISO 8124-2:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-2:2007 dengan judul Safety of toys–Part 2: Flammability, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.2-2001, Keamanan mainan-Bagian 2: Spesifikasi sifat mudah terbakar(BSN 2010e). SNI ISO 8124-3:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-3:2007 dengan judul Safety of toys–Part 3: Migration of certain elements, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.3-2001, Spesifikasi untuk perpindahan elemen-elemen tertentu (BSN 2010f). Standar tersebut ketiganya disusun dengan cara reprint-republikasi oleh Sub Panitia Teknis 97-01-S1, Mainan Anak dari Panitia Teknis 97-01, Rumah tangga, hiburan dan olah raga, dengan sekretariat Kementerian Perindustrian. Standar ini telah dikonsensuskan di Jakarta, pada tanggal 8 Februari 2010, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pemerintah, produsen, konsumen, tenaga ahli, dan institusi terkait lainnya. Dalam standar ini istilah ―ISO‖ diganti dengan ―SNI ISO‖, dan istilah ―International Standards‖ diganti dengan ―National Standards‖(BSN 2010e). SNI 7617:2010 Tekstil mengenai Persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi dan anak disusun untuk melengkapi SNI di bidang tekstil. Standar ini menetapkan persyaratan mutu zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi dan anak dari berbagai jenis serat tekstil meliputi kain tenun dan kain rajut. Penyusunan SNI ini didukung oleh data hasil uji dari bermacam-macam produk pakaian jadi bayi dan anak yang diperoleh dari pasar maupun dari industri kecil yang memproduksi pakaian untuk bayi dan anak. Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 59-01, Tekstil dan Produk Tekstil (BSN 2010g). Pemerintah memberi waktu kepada industri mainan untuk memenuhi persyaratan sesuai SNI hingga menjadi bulan Oktober 2014, dan kemudian diundur kembali hingga 30 April 2015. Pengrajin boneka merasa pemberlakuan itu menambah beban biaya produksi dan tidak seimbang dengan keuntungan yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkanpenerapan SNI dibutuhkan kampanye nasional standardisasi secara terus menerus dan berkesinambungan program penerapan SNI melalui edukasi, pembuatan kurikulum pelatihan standardisasi, peningkatan partisipasi para pelaku usaha serta mendorong keterlibatan lembaga-lembaga pelatihan dalam mendidik dan membina tenaga ahli standardisasi. Banyaknya mainan yang beredar dipasaran dengan harga yang bervariasi merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian. Hal ini semakin marak dengan
15
adanya pasar bebas, khususnya produk mainan yang masuk ke Indonesia dengan harga yang murah dan bersaing dengan produk lokal. Harga murah ini belum tentu merupakan jaminan bagi mainan tersebut. Produk mainan asal Cina yang masuk secara ilegal dan memunculkan kekhawatiran mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan, selain itu standar mutu dan keamanannya pun memerlukan pengawasan yang ekstra ketat. Mainan asal Cina ini dapat ditemukan mulai dari pasar tradisional hingga ke pusat perbelanjaan. Menurut Herjanto dan Rahmi (2010), Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) menemukan mainan Cina yang beredar di Indonesia 80 persen mengandung logam berat dan racun. Kondisi ini diakui oleh pemerintah Cina bahwa 20 persen mainan anak-anak dan bayi di Cina berada di bawah standar. Mainan dari Cina yang beredar ciri-cirinya sebagian besar terbuat dari plastik, seperti bola, mobil-mobilan dan boneka, beratnya lebih ringan dari produk buatan lokal dan harganya lebih murah hingga 50 persen. Survei yang dilakukan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebanyak 60 persen masyarakat Indonesia tidak tahu tentang perlindungan konsumen. Apabila terdapat pengaduan oleh konsumen BPKN akan melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi kepada eksekutif untuk mengubah regulasi yang berpihak kepada konsumen (Virdhani 2013). Menurut Endraswati (2011) konsumen membeli apa yang mereka yakini dapat menawarkan nilai tertinggi yang diberikan kepada pelanggan (customerdelivered value) yaitu perbedaan antara nilai total pelanggan (total customer value) dan biaya total pelanggan (total customer cost). Hal ini sangat terkait dengan mutu produk, Kotler (2005) dalam bukunya Manajemen Pemasaran, menyebutkan bahwa produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk dibeli, digunakan atau dikonsumsi yang dapat memenuhi suatu keinginan atau kebutuhan. Produk meliputi obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan. Mutu produk adalah kemampuan sebuah produk untuk menjalankan fungsinya, sehingga dapat dikategorikan meliputi tahan lama, handal, memenuhi aspek keamanan, keselamatan, teliti, memiliki kemudahan operasional dan perbaikan, serta atributatribut lainnya yang bernilai. Pemberlakukan SNI Wajib mainan anak di Indonesia menentukan persyaratan bahwa mainan harus dibuat cukup besar (diameter 1,75 inci atau 4,4 sentimeter) dengan bagian yang tidak mudah lepas agar tidak berisiko tertelan, terutama untuk anak di bawah tiga tahun. Mainan yang beredar harus dibuat dari material atau bahan yang tidak mudah terbakar, memiliki permukaan dan sudut yang halus, dibuat kuat, kokoh dan tidak mudah pecah sehingga tidak menggores dan melukai anak. Mainan lipat atau mainan berengsel harus dirancang dengan aman agar tidak menjepit jari anak. Pemakaian zat kimia yang berbahaya tidak diperkenankan karena berpotensi terjadinya keracunan ataupun kematian. Parameter persyaratan kritikal sesuai Annex B SNI ISO 8124-1:2010 menyebutkan bahwa terdapat poin-poin pentingnya label keselamatan peringatan bahaya tersedak atau kemungkinan bahaya lain yang dapat ditimbulkan oleh mainan, penandaan pabrik berisi nama dan alamat produsen atau produsen dalam bahasa Indonesia. Pengujian fisis dan mekanis diantaranya meliputi uji bagian kecil, aksesibilitas, uji ujung dan sisi tajam, runcing, tali, beban, kinetik, uji jatuh artinya
16
mainan tidak pecah saat dijatuhkan berkali-kali dari ketinggian tertentu, uji puntir 180 derajat atau 0,45 Nm selama 10 detik untuk memastikan mainan tidak mudah patah atau terlepas, uji tekan dengan gaya 114 sampai dengan 138 N selama 10 detik memastikan mainan tidak mudah pecah, uji tarik70 N digunakan untuk memastikan jahitan atau bagian mainan tidak mudah terlepas, pukul, dan suara. Sementara pengujian sifat mudah terbakar sesuai SNI ISO 8124-2:2010 akan memastikan mainan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti tekstil, bahan tenda atau terpal, telah dikondisikan dalam suhu tertentu dapat bertahan dari rata-rata tingkat keterbakaran. Uji bakar harus dilakukan pada mainan berbulu seperti boneka untuk memastikan mainan tidak mengandung seluloid atau mengandung cairan yang mudah terbakar dengan laju bakar kurang dari 30 mm per detik. Penguji kimia sesuai SNI ISO 8124-3:2010 dilakukan untuk mengetahui kandungan zat kimia sesuai batas maksimal zat berbahaya seperti antimoni (Sb) tidak boleh lebih dari 60 ppm, arsenik(As) tidak boleh lebih dari 25 ppm, barium (Ba) tidak boleh lebih dari 1000 ppm, kadmium (Cd) tidak boleh lebih dari 75 ppm, Kromium (Cr) tidak boleh lebih dari 60 ppm, timbal (Pb) tidak boleh lebih dari 90 ppm, merkuri (Hg) tidak boleh lebih dari 60 ppm, dan selenium (Se) tidak boleh lebih dari 500 ppm. Pada mainan dengan bahan dasar kain harus diuji persyaratan zat warna azo dan formaldehida sesuai SNI 7617:2010. Zat warna azo tidak boleh lebih dari 20 ppm karena bersifat beracun, mutagenik, karsiogenik dan alergi, pewarna ini biasa digunakan untuk memberi warna cerah dan bersifat tidak biodegradabel serta sulit hilang dari ekosistem. Formaldehida digunakan pada tekstil sebagai pengikat pigmen azo agar warna tahan lama, zat ini tidak boleh lebih dari 75 ppm karena bersifat berbahaya bila tertelan dapat menimbulkan muntah-muntah dan iritasi saluran pernapasan, untuk jangka panjang dapat menyebabkan kanker, mengacaukan susunan DNA. Parameter keselamatan lainnya adalah persyaratan kandungan phthalates atau ftalat sesuai EN 71-5, zat ini adalah senyawa kimia yang ditambahkan ke plastik agar lebih lentur, zat ini sedikit demi sedikit akan terlepas dan berbahaya jika sampai tertelan karena bertindak sebagai anti androgen. Phthalates dengan jenis DBP, BBP, DEHP, DINP, DNOP dan DIDP tidak boleh lebih dari 0,1 persen. Pada penelitian ini mainan anak yang dimaksud sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian No.55/M-IND/PER/11/2013adalah boneka, baik bagian maupun aksesorisnya dengan nomor Harmonized System (HS) 9503.00.21.00, 9503.00.22.00 dan 9503.00.23.00. Boneka tersebut tidak termasuk yang memakai batere atau elektronik, sehingga tidak perlu memenuhi SNI IEC 62115:2011 tentang keamanan Mainan Elektrik. Peraturan Menteri tersebut mengatur bahwa perusahaan yang memproduksi mainan sebagaimana dimaksud dalam pemberlakuan secara wajib SNI mainan anak wajib memenuhi dan menerapkan SNI dengan: (1) memiliki SPPT SNI sesuai ketentuan skema sertifikasi sebagai berikut: (a) pengujian kesesuaian mutu produk sesuai ketentuan SNI yang dilakukan pada contoh produk terhadap produksi dalam negeri, diambil dari lot/bach produksi yaitu merupakan total hasil produksi selama enam bulan
17
(b) penerbitan SPPT SNI dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) 302:2006: Penilaian Kesesuaian—Fundamental Sertifikasi Produk melalui Pengujian kesesuaian mutu produk sesuai ketentuan SNI mainan anak (2) pembubuhan tanda SNI pada setiap produk dan/atau kemasan di tempat yang mudah dibaca dan dengan proses yang menghasilkan tanda SNI tidak mudah hilang (3) membubuhkan penandaaan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan Berdasarkan sosialisasi SNI mainan anak terkait penerapan dan manfaatnya, BSN menyampaikan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengrajin boneka untuk memperoleh sertifikasi SNI adalah sebagai berikut (BSN 2014): (1) Persyaratan Administrasi Pengajuan SPPT SNI Persyaratan permohonan SPPT SNI ditujukan ke LSPro (Lembaga Sertifikasi Produk) adalah dengan melampirkan spesifikasi produk dan pemohon memenuhi persyaratan administrasi di antaranya: (a) Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI) (b) Sertifikat Merek atau Surat bukti Pendaftaran Merek (Tanda Daftar Merek) yang diterbitkan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementrian Hukum dan HAM, dan/atau Perjanjian Lisensi dari pemilik merek untuk merek yang telah didaftarkan pada Dirjen HKI. (c) Surat pernyataan jaminan untuk tidak mengedarkan mainan pada saat proses pengujian. (d) Surat Pencatatan (registrasi) SPPT SNI dari Dirjen Pembina Industri Kementrian Perindustrian. (2) Persyaratan Sertifikasi Proses sertifikasi pengujian dilakukan oleh laboratorium uji yang ditunjuk LSPro pada setiap lot produksi atau hasil produksi selama enam bulan. Proses Pengujian dilakukan berdasarkan SNI ISO 8124-1:2010, SNI ISO 8124-2:2010, SNI ISO 8124-3:2010 dan SNI 7617:2010. Pengambilan hasil produksi dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang ditugaskan oleh LSPro. Hasil uji contoh dituangkan dalam Sertifikat/Laporan Hasil Uji (SHU/LHU). Lingkup jaminan mutu mainan berdasarkan SPPT SNI merupakan jaminan pada saat mainan dalam keadaan baru. Jangka waktu Penerbitan SPPT SNI adalah lima hari kerja setelah semua persyaratan diterima dengan lengkap dan benar. Biaya penerbitan SPPT SNI merupakan tanggung jawab pemohon. Satu SPPT SNI dapat memuat lebih dari satu merek produk dan famili produk (memiliki kesamaan merek, kode HS, kategori usia, fungsi utama (elektrik atau mekanik), bahan baku utama dan parameter uji. (3) Persyaratan penandaan SNI Sementara dalam penandaan SNI pelaku usaha pemegang SPPTSNI memiliki kewajiban melaporkan realisasi produk mainan kepada Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (Dirjen BIM) 1 bulan sejak diterbitkannya SPPT SNI. Pelaku usaha harus mencantumkan tanda SNI pada setiap produk dengan persyaratan, sebagai berikut: (a) Tanda SNI berada di posisi yang mudah dibaca.
18
(b) Tanda SNI tidak mudah hilang. (c) Tanda SNI berbentuk bujur sangkar dengan ukuran minimal 7x7 mm. (d) Tanda SNI yang tidak memungkinkan dicantumkan pada produk, maka dapat dicantumkan pada label atau kemasan terkecil. (e) Tanda SNI dapat dilakukan menggunakan stiker permanen (yang tidak mudah lepas), diembos, dijahit, dicetak atau cara lain yang disesuaikan dengan jenis material dan produk. (f) Tanda SNI pada mainan anak sesuai dengan pedoman KAN 403-2011 tentang penilaian kesesuaian-ketentuan umum penggunaan kesesuaian berbasis SNI dan/atau regulasi teknis (Lampiran 3) Faktor Eksternal Pengrajin Faktor eksternal pengrajin yang dimaksud di antaranya adalah informasi, insentif dan pemberdayaan pengrajin. Rogers (2003) menyebutkan media massa dalam teori hypodermic needle model atau teori jarum suntik dianggap memiliki pengaruh langsung, segera dan kuat pada pemirsanya. Sementara dalam two-step flow model media massa dianggap sebagai pembentuk pengetahuan dan komunikasi interpersonal seperti yang dilakukan instansi pemerintah, tenaga penyuluh lapangan, pengrajin lain dan lembaga sertifikasi produk dianggap lebih penting dalam mempengaruhi proses adopsi. Insentif menurut Rogers (2003) adalah suatu hal yang diberikan baik berupa uang maupun bentuk lainnya yang ditujukan untuk mendorong adanya perubahan perilaku dengan meningkatkan keuntungan relatif dari sebuah ide atau inovasi baru. Insentif pada penelitian ini dilihat dari ketersediaan insentif penerapan SNI mainan anak yang berupa biaya sertifikasi, pelatihan pemahaman dokumen SNI, pendampingan pengujian produk dan publikasi di media massa. Salah satu insentif yang diberikan adalah publikasi, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Nomor. 02/BIM/PER/1/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Mainan Secara Wajib dilaksanakan melalui pemberian penghargaan, pemuatan berita dalam media cetak dan elektronik yang bertujuan untuk sosialisasi, memberikan informasi, dan pemahaman terhadap masyarakat atas penerapan SNI secara wajib. Publikasi ini dilakukan salah satunya untuk menghargai ketaatan penerapan SNI oleh produsen dan pelaku usaha lainnya serta pihak terkait (Kemenperind 2014). Adapun pemberdayaan seperti disebutkan Mardikanto (2015) bertujuan memperbaiki pendidikan dan aksesibilitas yang mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup dan diharapkan akan memperbaiki bisnis yang dilakukan dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang tercermin dalam perbaikan pendapatan. Pemerintah daerah perlu mengambil peranan besar karena dianggap paling mengetahui keadaan industri di daerahnya. Meskipun begitu, kunci keberhasilan dari pemberdayaan IKM bergantung pada partipasi dari IKM sebagai pelaku utama dalam penerapan SNI. Tinjauan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai kinerja, motivasi, adopsi inovasi maupun tentang IKM telah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut tidak terkait dengan kinerja IKM dalam penerapan SNI. Adapun penelitian yang telah ada terkait SNI,
19
berhubungan dengan kajian kesiapan penerapan SNI, salah satunya oleh Herjanto dan Rahmi (2010) mengenai Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara Wajib Standar Mainan Anak-Anak. Penelitian tersebut dilakukan sebelum ditetapkan kebijakan SNI wajib mainan anak, karena itu setelah kebijakan tersebut diluncurkan dan pengusaha mainan anak mulai mengajukan sertifikasi SNI, maka dipilih topik mengenai Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Penelitian ini berhubungan dengan perubahan perilaku sebagai proses belajar dengan kesadaran kritis atas persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan mutu produk. Penelitian lain tentang SNI mainan anak di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Mabruri (2014) dalam penelitiannya mengenai standardisasi dan pengawasan peredaran produk mainan anak oleh pemerintah, menyimpulkan bahwa instrumen hukum SNI mainan anak maupun produsen mainan anak belum sepenuhnya baik, pengawasan terhadap pelaku usaha dalam hal peredaran produk mainan anak harus dioptimalkan dengan melibatkan masyarakat sebagai konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu melakukan penyuluhan terkait hukum perlindungan konsumen, menambahkan beberapa aturan dalam instrumen hukum SNI mainan anak terkait pengawasan oleh masyarakat selaku konsumen dan meningkatkan sinergitas pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. (2) Vivianti (2013), yaitu Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Mainan Anak Impor Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini membahas perlindungan konsumen melalui pengaturan tentang penerapan SNI Wajib pada mainan impor, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam peredaran produk mainan anak impor serta pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mainan yang tidak aman. Sementara beberapa penelitian mengenai pengrajin boneka yang telah dilakukan, di antaranya: (1) Utami (2014) dalam studinya pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap keberhasilan usaha pada pengusaha boneka di sentra boneka Sukamulya Bandung, menyimpulkan perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap keberhasilan usaha sebesar 41,6 persen dan sisanya 58,4 persen dipengaruhi oleh faktor lain (2) Sofatunisa (2014) dalam penelitiannya mengenai pengaruh kemampuan manajerial terhadap keberhasilan usaha pada pengrajin boneka di Sentra Industri Boneka di Kota Bandung, menyimpulkan bahwa kemampuan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap keberhasilan usaha yang diukur berdasarkan indikator laba. (3) Ochtaviana (2012) dalam penelitiannya mengenai pengaruh karakteristik kewirausahaan dan motivasi terhadap keberhasilan usaha pada sentra UKM boneka kain di Sukamulya Bandung, menyimpulkan bahwa karakteristik kewirausahaan dan motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberhasilan usaha, dengan motivasi sebagai faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap keberhasilan usaha.
20
(4) Werdiyati (2011) dalam penelitiannya strategi pemasaran dan pengembangan usaha perdagangan boneka CV. Hayashi Toys menyimpulkan bahwa dengan matriks QSP, didapatkan strategi prioritas, yaitu menjaga mutu dan memunculkan ciri khas produk untuk mengantisipasi persaingan usaha. Sedangkan prospek pengembangan produk boneka didapatkan bahwa perusahaan layak dan prospektif untuk dikembangkan melalui pengembangan produk yang sudah ada. (5) Ningsih (2009) meneliti mengenai pemberdayaan kelompok pengrajin boneka dengan studi kasus di Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Menurut Ningsih diperlukan penguatan kelembagaan usaha koperasi KPB Bojongmenteng untuk meningkatkan kemampuan pengrajin untuk mempergunakan mesinmesin dan kemampuan manajerial meliputi desain produk, kualitas produk, perencanaan pemasaran, pola penghitungan bahan baku, pola pengelolaan keuangan dan penerapan teknologi tepat guna) meliputi penerapan Total Quality Control dan melengkapi KPB dengan mesinmesin canggih. (6) Haryenny (2007) dalam studinya mengenai perbaikan sistem kerja di perusahaan boneka ivy Bandung ditinjau dari segi ergonomi, menyimpulkan bahwa perusahaan masih harus memperbaiki sistem kerja yang ada dengan melakukan perbaikan tata letak tempat kerja perbaikan pencahayaan, menambah jumlah apron, menyediakan kotak P3K, perbaikan kursi kerja, dan penerapan aktivitas 5S (seiri/Ringkas, seiton/Rapi, seiso/Resik, seiketsu/Rawat, shitsuke/Rajin). (7) Ocktilia (2004) dalam penelitiannya pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penguatan kemitraan lokal pada pengrajin boneka kain di kelurahan Sukagalih Kecamatan Sukajadi Kota Bandung, menyimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara kondisi peta sosial dengan keberadaan usaha pengrajin boneka kain namun berbagai potensi lokal yang dimiliki belum banyak dimanfaatkan. Hasil evaluasi evaluasi program kemitraan menunjukkan program masih bersifat top down dan belum berbasis komunitas, sehingga perlu diadakan pertemuan rutin antar pengrajin boneka kain. Selain itu perlu juga dilakukan pendataan terhadap potensi lokal dan optimalisasi peranan koperasi melalui kemitraan dalam bidang permodalan, pengadaan bahan baku, pemasaran dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan. Kerangka Pemikiran Program penerapan SNI merupakan salah satu upaya merubah perilaku IKM dalam memproduksi berbagai barang maupun jasa sehingga sesuai dengan standar yang berlaku. Pemberlakuan SNI Wajib mainan anak ditujukan tidak hanya untuk melindungi masyarakat dari beredarnya mainan anak yang berbahaya bagi kesehatan, tapi juga membuat industri dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor yang menguasai pasar dalam negeri. Pada Gambar 1 disajikan kerangka pemikiran kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak di Kota Bekasi.
21
Karakteristik pengrajin (X1) X1.1 Tingkat pendidikan formal pengrajin X1.2 Lamanya menjalankan usaha X1.3 Kemampuan memenuhi permintaan pasar X1.4 Investasi modal usaha Motivasi wirausaha pengrajin (X2) X2.1 Tingkat kebutuhan prestasi X2.2 Tingkat kebutuhan kekuasaan X2.3 Tingkat kebutuhan afiliasi Faktor eksternal pengrajin (X3) X3.1 Tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak X3.2 Tingkat insentif penerapan SNI mainan anak X3.3 Tingkat pendampingan penerapan SNI mainan anak X3.4 Tingkat pemberdayaan pengrajin
Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak (Y) Y1 Tingkat pemenuhan persyaratana dministrasi Y2 Tingkat pemenuhan persyaratan Pengujian Y3 Tingkat pemenuhan persyaratan Penandaan Y4 Peningkatan omzet penjualan
Atribut inovasi SNI mainan anak (X4) X4.1 Tingkat keuntungan relatif X4.2 Tingkat kompatibilitas X4.3 Tingkat kompleksitas X4.4 Tingkat observabilitas
Gambar 1 Kerangka berpikir kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak
22
Pelaksanaan pemberlakuan SNI wajib memerlukan kondisi industri dalam negeri yang siap untuk menerapkannya. Pada kenyataannya yang siap menerapkan SNI terbatas pada industri-industri besar karena mereka memiliki modal ekonomi dan telah lama berorientasi ekspor yang dituntut untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh konsumennya, terkait keselamatan, keamanan dan jaminan mutu. Sementara IKM seperti pengrajin boneka yang lebih banyak memiliki pasar di dalam negeri belum seluruhnya menerapkan standar mutu tersebut, ditambah keadaan konsumen Indonesia masih banyak yang yang lebih berorientasi pada harga murah dibandingkan mutu. Kinerja pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan SNI mainan anak diduga berhubungan dengan karakteristik pengrajin, motivasi berwirausaha, faktor eksternal pengrajin, dan atribut inovasi SNI mainan anak. Karakteristik pengrajin yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan SNI mainan anak adalah tingkat pendidikan formal, lamanya menjalankan usaha, kemampuan memenuhi permintaan pasar dan investasi modal usaha. Tingkat pendidikan formal merupakan kegiatan yang meningkatkan pengetahuan dan pemahaman setiap pengrajin. Lamanya waktu menjalankan usaha dihitung dari awal pengrajin menjalankan usaha hingga saat ini, hal ini dapat digunakan membedakan pengalaman dan tingkat pengetahuan masingmasing pengrajin yang masih baru. Kemampuan memenuhi permintaan pasar dilihat dari jumlah produksi boneka setiap bulan dibandingkan dengan jumlah permintaan pasar. Tingkat investasi usaha dilihat dari jumlah tenaga kerja dan mesin produksi yang dimiliki oleh perusahaan, serta investasi biaya yang ditanamkan pada bisnis tersebut. Faktor motivasi wirausaha yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan SNI mainan anak adalah kebutuhan prestasi, kebutuhan kekuasaan dan kebutuhan afiliasi. Kebutuhan akan prestasi dilihat dari apakah pengrajin memiliki keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonomi dan status sosial serta menghasilkan produk yang bermutu untuk masyarakat. Kebutuhan kekuasaan dilihat dari apakah pengrajin berwirausaha dengan keinginan untuk memperoleh kekuasaan di masyarakat, ingin orang lain yang bekerja kepadanya dan memiliki kesempatan untuk mengajarkan pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain. Kebutuhan afiliasi dilihat dari apakah pengrajin berwirausaha agar dapat bekerjasama dengan orang lain, memperluas pergaulan dan memiliki sebuah komunitas. Selain faktor motivasi, faktor eksternal pengrajin juga diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam menerapkan SNI mainan anak. Faktor eksternal yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan SNI mainan anak adalah tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak, tingkat insentif penerapan SNI mainan anak, pendampingan penerapan SNI mainan anak dan pemberdayaan pengrajin boneka. Tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak dilihat dari seberapa banyak informasi yang didapatkan oleh pengrajin dengan sumber informasi dari media massa, instansi pemerintah, tenaga penyuluh lapangan, pengrajin lain dan lembaga sertifikasi produk yang didapatkan. Tingkat insentif penerapan SNI mainan anak dilihat dari ketersediaan insentif yang dapat mendukung pengrajin menerapkan SNI mainan anak. Insentif tersebut terdiri dari biaya sertifikasi, pelatihan pemahaman dokumen SNI,
23
pendampingan pengujian produk dan publikasi di media massa. Tingkat pendampingan yang dilakukan agar proses pemenuhan persyaratan dapat berjalan dengan lancar dilihat dari seberapa banyak jumlah sosialisasi, pelatihan dan workshop yang pernah diikuti oleh pengrajin selama dua tahun terakhir. Tingkat pemberdayaan pengrajin boneka dilihat dari ketersediaan jumlah pelatihan terkait keterampilan kerajinan boneka, manajemen organisasi, pemasaran dan keuangan. Atribut inovasi SNI mainan anak juga diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak. Atribut inovasi SNI mainan anak yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kompleksitas dan tingkat observabilitas. Pada penelitian ini triabilitas tidak diukur karena dokumen SNI adalah satu kesatuan di mana persyaratan-persyaratannya harus dipenuhi secara keseluruhan, tidak dapat hanya sebagian saja. Jika salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka SPPT SNI tidak dapat dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi produk. Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak dinilai dari apakah pengrajin mampu memenuhi persyaratan administrasi, persyaratan pengujian, persyaratan penandaan SNI mainan anak dan peningkatan omzet penjualan setelah menerapkan SNI mainan anak. Variabel kinerja pemenuhan persyaratan administrasi dalam penelitian ini diukur dari pemenuhan: (1) Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI), (2) Sertifikat Merek atau Tanda Daftar Merek. Variabel kinerja untuk pemenuhan persyaratan pengujian dalam penelitian ini diukur dari pemenuhan: (1) contoh hasil produksi selama enam bulan, (2) Lolos pengujian produk dan mendapatkan SPPT SNI mainan anak. Variabel kinerja untuk pemenuhan persyaratan penandaan daslam penelitian ini diukur dari pemenuhan: (1) memenuhi syarat penandaan SNI di posisi yang mudah dibaca, (2) tidak mudah hilang, (3) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran minimal 7x7 mm, (4) mencantumkan nomor dan gambar tanda SNI dengan bentuk sesuai dengan aturan (Gambar 2), (5) Memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP), dan (6) Melaporkan realisasi penandaan produk mainan. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang ditetapkan diperoleh dengan menggunakan alur berpikir secara deduktif melalui kajian berbagai literatur, sehingga diperoleh pemahaman tentang berbagai teori dan konsep pendukung penelitian. Pada proses penelitian secara empiris, akan diperoleh temuan atau kesimpulan sebagai suatu bentuk pemikiran induktif. Pada akhirnya melalui temuan proses empiris ini dapat dijadikan suatu masukan bagi kebijakan program penerapan SNI untuk melaksanakan edukasi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran IKM akan manfaat SNI. Setelah mencermati kondisi yang ada pada pengrajin boneka di Kota Bekasi, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik pengrajin di Kota Bekasi berhubungan secara signifikan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. 2. Motivasi wirausaha (kebutuhan akan prestasi, kebutuhan kekuasaan dan kebutuhan afiliasi) berhubungan secara signifikan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.
24
3.
4.
Faktor eksternal pengrajian boneka di Kota Bekasi (tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak, tingkat insentif penerapan SNI mainan anak, pendampingan penerapan SNI mainan anak dan pemberdayaan pengrajin boneka) berhubungan secara signifikan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Atribut inovasi SNI mainan anak (tingkat keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kompleksitas dan tingkat observabilitas) berhubungan secara signifikan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.
25
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, metode penelitian yang dipilih untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian digunakan metode survei. Ciri metode ini adalah data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan merupakan upaya dalam mengungkapkan suatu fenomena sosial yang menarik perhatian peneliti (Effendi 2012). Desain penelitian yang digunakan adalah: (1) Analisis Statistika Deskriptif Definisi statistika deskriptif menurut Walpole (1995) adalah metodemetode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Melalui analisis statistik deskriptif akan diberikan gambaran mengenai aspek karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha, faktor eksternal pengrajin dan atribut inovasi SNI Mainan anak yang berhubungan dengan variabel kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Analisis deskriptif yang digunakan adalah berdasarkan persentase yang didapat dari nilai responden yang dibagi ke dalam tiga kelas kriteria yang terdiri dari: Rendah, Sedang dan Tinggi sesuai interval yang telah ditentukan. (2) Analisis Korelasional Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antar variabel. Analisis korelasional dilakukan uji statistik nonparametrik, yaitu korelasi rank Spearman, untuk melihat hubungan antara variabel karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha, faktor eksternal pengrajin dan atribut inovasi SNI Mainan anak dan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Variabel dalam penelitian diukur dalam skala ordinal, dan uji korelasi rank Spearman dinilai cukup fleksibel untuk berbagai jenis data. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi yang memiliki 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kota Bekasi merupakan sentra pengrajin boneka terbesar di Indonesia yang pengrajinnya mendapat pendampingan penerapan SNI dari pemerintah. Saat ini di antara responden penelitian terdapat 14 pengrajin di antaranya yang telah berhasil mendapatkan sertifikasi SNI melalui insentif dari pemerintah. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan April 2015 sampai dengan November 2016. Populasi, Sampel dan Informan Populasi dalam penelitian ini adalah pengrajin boneka di Kota Bekasi, yang menurut data Dinas Perindag Kota Bekasi berjumlah 46 orang pengrajin inti. Dinas Perindag Kota Bekasi mendefinisikan pengrajin inti sebagai pengrajin yang memiliki modal ekonomi, mereka memiliki modal dalam bentuk bahan baku, mesin dan biaya operasional produksi. Pengrajin inti terdiri dari pengrajin boneka telah memiliki sertifikasi SNI, yang sedang mengurus sertifikasi SNI dan yang
26
belum mengurus sertifikasi SNI, mereka tersebar di seluruh Kota Bekasi, dengan konsentrasi utama di Kecamatan Bantar Gebang dan Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi. Hal ini dapat dilihat dalam jumlah sebaran data penelitian pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah sebaran data penelitian No. Nama Kecamatan Jumlah Pengrajin inti 1 2 3 4 5 6 7 8
Bantar Gebang Rawa Lumbu Mustika Jaya Bekasi Timur Jati Asih Bekasi Barat Medan Satria Bekasi Selatan Total
20 9 7 4 2 2 1 1 46
Persentase (%) 43,5 19,6 15,2 8,7 4,3 4,3 2,2 2,2
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan sensus pada responden pengrajin inti, baik yang telah mendapatkan sertifikasi SNI, masih dalam proses mendapatkan sertifikasi SNI maupun yang belum mendapatkan sertifikasi SNI, sehingga diharapkan dapat saling menjadi pembanding. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha, faktor eksternal pengrajin boneka dan atribut inovasi SNI mainan anak, sedangkan variabel terikat adalah kinerja pengrajin. Informan pada penelitian ini adalah pegawai dan penyuluh Dinas Perindag Bekasi yang menangani pembinaan dan pendampingan terhadap pengrajin boneka di Bekasi, pegawai Kementerian Perindustrian RI yang menangani IKM Wilayah II. Data dan Intrumentasi Penelitian Pada penelitian ini data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan melalui wawancara langsung dengan responden. Data primer dalam penelitian ini, dilakukan dengan menyebar kuesioner dan pengisian kuesioner dilakukan dengan metode wawancara. Selain itu juga akan dilakukan wawancara mendalam dengan informan dan beberapa responden terpilih seperti ketua asosisasi, pengrajin boneka yang telah mendapatkan sertifikasi SNI mainan anak, pejabat terkait maupun lembaga sertifikasi produk. Data sekunder adalah data yang didapatkan secara tidak langsung, data dapat berasal dari lembaga maupun pustaka. Pada penelitian ini data sekunder didapatkan melalui berbagai literatur, baik dari lembaga terkait maupun buku dan penelitian sebelumnya. Data tersebut berupa dokumen SNI, dokumen peraturan yang berlaku, profil daerah Kota Bekasi, serta materi-materi sosialisasi penerapan SNI mainan anak.
27
Dalam mengumpulkan data primer, peneliti menggunakan kuesioner yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, dan memperoleh informasi yang memiliki validitas dan reliabilitas tinggi. Pertanyaan yang disajikan di dalam kuesioner adalah pertanyaan yang terkait langsung dengan tujuan dan hipotesis penelitian. Kuesioner dalam penelitian ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Bagian pertama adalah karakteristik pengrajin yang terdiri dari pendidikan formal, tingkat kemampuan memenuhi permintaan pasar dan tingkat investasi usaha. 2. Bagian kedua adalah motivasi wirausaha pengrajin yang terdiri dari kebutuhan akan prestasi, kebutuhan kekuasaan dan kebutuhan afiliasi. 3. Bagian ketiga adalah faktor eksternal pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak yang terdiri dari informasi mengenai penerapan SNI mainan anak, insentif penerapan SNI mainan anak, pendampingan penerapan SNI mainan anak dan jenis pelatihan. 4. Bagian keempat adalah faktor atribut inovasi SNI mainan anak yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kompleksitas dan tingkat observabilitas. 5. Bagian kelima adalah kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak, yang dilihat dari pemenuhan persyaratan administrasi pengajuan SPPT SNI, persyaratan sertifikasi dan penandaan SNI. Sebagai acuan untuk menentukan nilai variabel dalam kuesioner digunakan skala likert. Sugiyono (2013) menyebutkan bahwa skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang fenomena sosial, sehingga jawaban-jawaban dalam kuesioner ini sebagian besar mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dan untuk keperluan analisis kuantitatif, jawaban-jawaban tersebut diberi skor sehingga menjadi sebuah data interval. Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini berguna untuk melakukan pengukuran terhadap variabel penelitian dengan jelas dan terukur sesuai dengan tujuan penelitian. Variabel penelitian terdiri terdiri dari dua variabel utama yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak (Y). Variabel bebas terdiri dari karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha pengrajin, faktor eksternal pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak dan atribut inovasi SNI mainan anak, yaitu: (1) Karakteristik pengrajin (X1) adalah ciri yang melekat pada identitas pengrajin boneka yang diamati dalam penelitian, meliputi tingkat pendidikan formal, lama menjalankan usaha, tingkat kemampuan memenuhi permintaan pasar dan tingkat investasi usaha, yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. (2) Motivasi wirausaha pengrajin (X2) adalah hal-hal yang menjadi motif pengrajin boneka dalam berwirausaha dilihat berdasarkan teori McClelland yang berupa teori tiga motif sosial, yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan
28
kekuasaaan dan kebutuhan afilisasi, yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. (3) Faktor eksternal pengrajin (X3) adalah faktor-faktor yang berada di luar diri pengrajin boneka yang diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Faktor-faktor ini meliputi informasi mengenai penerapan SNI mainan anak, insentif penerapan SNI mainan anak, pendampingan penerapan SNI mainan anak dan pemberdayaan pengrajin boneka. (4) Atribut inovasi SNI mainan anak (X4) adalah pandangan pengrajin boneka terhadap sifat-sifat yang terdapat pada SNI mainan anak yang terdiri dari keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, observabilitas dan diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Berdasarkan variabel penelitian tersebut, definisi operasional dalam penelitian ini meliputi: Karakteristik pengrajin(X1) Karakteristik pengrajin yaitu identitas individu pengrajin yang diamati dalam penelitian yaitu tingkat pendidikan formal, lama menjalankan usaha, kemampuan memenuhi permintaan pasar dan tingkat investasi usaha, yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Karakteristik pengrajin dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran karakteristik pengrajin No Sub Definisi Indikator Kategori Variabel Operasional Pengukuran 1. Tingkat Lamanya Jumlah tahun Rendah; pendidikan pengrajin pendidikan formal sedang; formal menempuh pengrajin sampai tinggi. (X1.1). pendidikan penelitian ini formal. berlangsung. 2. Lama Jumlah tahun Jumlah tahun Rendah; menjalankan menjalankan menjalankan usaha sedang; usaha (X1.2). usaha sebagai sampai dengan tinggi. pengrajin boneka. penelitian ini dilakukan. 3. Kemampuan Perbandingan Perbandingan jumlah Rendah; memenuhi jumlah produksi produksi dan sedang; permintaan dan jumlah permintaan pasar tinggi. pasar (X1.3). permintaan pasar. sampai penelitian dilakukan. 4. Tingkat Jumlah tenaga Jumlah tenaga kerja, Rendah; investasi kerja, mesin mesin produksi dan sedang; usaha (X1.4). produksi dan modal usaha pengrajin tinggi. modal usaha sampai penelitian ini berupa uang. berlangsung.
29
Faktor motivasi wirausaha pengrajin (X2) Hal-hal yang menjadi motif pengrajin dalam berwirausaha dilihat berdasarkan teori motif sosial McClelland yang terdiri dari tingkat kebutuhan prestasi, tingkat kebutuhan kekuasaaan dan tingkat kebutuhan afiliasi, yang berhubungan dengan kinerja pengrajin di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Faktor motivasi wirausaha ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran motivasi wirausaha pengrajin No
Sub Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Kategori Pengukuran
1.
Tingkat kebutuhan prestasi (X2.1).
Keinginan atau dorongan untuk meningkatkan modal ekonomi, kualitas produk dan status sosial.
Diukur dari tingkat alasan pengrajin dalam berwirausaha terkait kebutuhan prestasi dalam tingkat ekonomi, kualitas produk dan status sosial.
Rendah; sedang; tinggi.
2.
Tingkat kebutuhan kekuasaan (X2.2).
Keinginan atau dorongan mendapatkan pengakuan dari masyarakat dari segi penciptaan lapangan kerja, penguasaan pengetahuan dan pengalaman.
Diukur dari tingkat Rendah; alasan pengrajin dalam sedang; berwirausaha terkait tinggi. tingkat kekuasaan dalam penciptaan lapangan kerja, penguasaan pengetahuan dan pengalaman.
3.
Tingkat kebutuhan afiliasi (X2.3).
Kuatnya dorongan bekerjasama dengan orang lain, memperluas pergaulan dan memiliki komunitas.
Diukur dari kuatnya keinginan pengrajin dalam berwirausaha terkait tingkat keinginan bekerjasama dengan orang lain, memperluas pergaulan dan memiliki komunitas.
Rendah; sedang; tinggi.
Faktor eksternal pengrajin (X3) Faktor-faktor yang berada di luar diri pengrajin yang terdiri dari tingkat ketersediaan informasi, tingkat insentif penerapan SNI, tingkat pendampingan penerapan SNI dan tingkat pemberdayaan pengrajin, yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Faktor eksternal pengrajin disajikan pada Tabel 6.
30
Tabel 6 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran faktor eksternal pengrajin No 1.
2.
3.
4.
Sub Variabel Tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak (X3.1)
Definisi Operasional Penjelasan mengenai bagaimana cara memenuhi persyaratan SNI mainan anak dan mendapatkan SPPT SNI.
Indikator
Diukur dari jumlah ketersediaan informasi mengenai cara memenuhi persyaratan SNI mainan anak dari media massa, instansi pemerintah, tenaga penyuluh lapangan dan LSPro Tingkat Ketersediaan Diukur dari tingkat insentif pelatihan insentif berupa penerapan pemahaman ketersediaan pelatihan SNI mainan dokumen SNI, pemahaman dokumen anak (X3.2) pendampingan SNI, pendampingan penyiapan syarat penyiapan syarat sertifikasi, biaya sertifikasi, biaya pengujian dan pengujian dan bantuan bantuan publikasi di media publikasi. massa. Tingkat Proses Diukur dari tingkat pendampingan membantu dan pendampingan penerapan menemani penerapan SNI mainan SNI mainan pengrajin anak dilihat dari jumlah anak (X3.3) boneka dalam pendampingan dari memenuhi instansi pemerintah, persyaratan pengrajin lain, LSPro penerapan SNI dan lembaga swadaya mainan anak masyarakat, serta manfaat yang dirasakan. Tingkat Peningkatan Tingkat pemberdayaan pemberdayaan kemampuan pengrajin boneka pengrajin pengrajin dilihat dari jumlah boneka melalui pelatihan selama dua melalui pelatihan terkait tahun terakhir serta pelatihan penerapan SNI manfaat yang (X3.4) mainan anak dirasakan.
Kategori Pengukuran Rendah; sedang; tinggi.
Rendah; sedang; tinggi.
Rendah; sedang; tinggi.
Rendah; sedang; tinggi.
31
Atribut inovasi SNI mainan anak (X4) Atribut inovasi SNI mainan anak adalah pandangan pengrajin boneka terhadap sifat-sifat yang terdapat pada SNI mainan anak yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kompleksitas dan tingkat observabilitas, yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak. Atribut inovasi SNI mainan anak ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran atribut inovasi SNI mainan anak No. Sub Variabel Definisi Indikator Kategori Operasional Pengukuran 1.
Tingkat keuntungan relatif (X4.1)
Sejumlah manfaat yang diperoleh pengrajin boneka setelah menerapkan SNI dibandingkan dengan sistem lama
Tingkat keuntungan relatif dilihat dari peningkatan mutu, peningkatan penjualan, perlindungan hukum dan perluasan pasar setelah menerapkan SNI mainan anak pada produk boneka.
Rendah; sedang; tinggi.
2.
Tingkat kompatibilitas (X4.2)
Kesesuaian antara SNI mainan anak dengan kebutuhan, nilai-nilai dan budaya perusahaan
Tingkat kompatibilitas dilihat dari kesesuaian antara persyaratan SNI mainan anak dengan kebutuhan kelangsungan usaha, kebutuhan konsumen dan budaya perusahaan
Rendah; sedang; tinggi.
3.
Tingkat kompleksitas (X4.3)
Tantangan yang dihadapi pengrajin dalam menerapkan SNI mainan anak.
Tingkat kompleksitas Rendah; dilihat dari persyaratan sedang; dalam SNI mainan tinggi. anak terkait aspek keamanan yang dapat dipenuhi oleh pengrajin
4.
Tingkat observabilitas (X4.4)
Hasil yang dapat dilihat dari penerapan SNI mainan anak oleh pengrajin.
Tingkat observabilitas dilihat dari apakah produk yang sesuai dengan SNI mainan anak dan tanda SNI yang asli mudah dibedakan dari yang tidak sesuai.
Rendah; sedang; tinggi.
32
Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak (Y) Kinerja pengrajin boneka ditunjukkan oleh usaha yang dilakukan pengrajin boneka memenuhi persyaratan penerapan SNI mainan anak yang terdiri dari tingkat pemenuhan persyaratan administratif, tingkat pemenuhan persyaratan pengujian, pemenuhan persyaratan penandaan dan peningkatan omzet penjualan, yang berhubungan dengan karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha, faktor eksternal pengrajin dan atribut inovasi SNI mainan anak. Tabel 8 Variabel kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak No Variabel Definisi Indikator Kategori Operasional Pengukuran 1.
Tingkat pemenuhan persyaratan administratif (Y1)
Tahap pengrajin boneka sudah memiliki izin usaha dan legalitas merek yang dapat digunakan dalam pengajuan sertifikasi SNI mainan anak.
Tingkat pemenuhan persyaratan administratif dilihat dari apakah pengrajin boneka memiliki IUI atau TDI dan Sertifikat Merek atau Surat bukti Pendaftaran Merek
Rendah; sedang; tinggi.
2.
Tingkat pemenuhan peryaratan pengujian (Y2)
Tahap pengrajin sudah memiliki produk yang sesuai dengan petunjuk teknis sertifikasi SNI mainan anak untuk dilakukan pengujian.
Pengrajin boneka dapat menyediakan contoh hasil produksi selama enam bulan untuk pengujian dan mendapatkan SPPT SNI
Rendah; sedang; tinggi.
3.
Tingkat pemenuhan persyaratan penandaan (Y3)
Tahap pengrajin boneka sudah mencantumkan tanda SNI sesuai ketentuan persyaratan
Tingkat pemenuhan persyaratan penandaan dilihat dari kesesuaian pencantuman tanda SNI dan Nomor Registrasi Produk dengan ketentuan persyaratan
Rendah; sedang; tinggi.
4.
Peningkatan omzet penjualan (Y4)
Tahap pengrajin memperoleh tambahan hasil penjualan setelah menerapkan SNI mainan anak.
Diukur dari apakah terdapat peningkatan omzet penjualan setelah menerapkan SNI mainan anak dibandingkan sebelumnya.
Rendah; sedang; tinggi
33
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kuesioner dikembangkan dari teori kinerja dari Cardy and Dobbins dan Waldman, teori motivasi yang diajukan David McClelland, atribut inovasi yang diajukan oleh Everret M Rogers, serta persyaratan dalam penerapan SNI mainan anak, yang dimodifikasikan disesuaikan dengan subyek penelitian. Validitas, menurut Muljono (2012) berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Untuk menguji validititas instrumen dilakukan pengujian validitas konstruk, yang digunakan untuk menilai apakah data hasil kuesioner sudah benarbenar mampu untuk mengukur variabel penelitian. Reliabilitas, berdasarkan Muljono (2012) berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Mekanisme yang digunakan untuk memeriksa reliabilitas tanggapan responden digunakan teknik belah dua dengan mengambil nomor-nomor ganjil dari kuesioner untuk kelompok yang pertama dan nomor-nomor genap dari kuesioner untuk kelompok yang kedua. Untuk keperluan ini sebanyak 20 responden digunakan sebagai pilottest. Responden yang digunakan adalah pengrajin boneka di Kota Bekasi yang terdiri dari pengrajin plasma yaitu pengrajin yang tidak memiliki modal ekonomi dan melaksanakan produksi boneka atas modal dan permintaan pengrajin inti. Hasilnya digunakan dalam melakukan perbaikan instrumen atas masukanmasukan yang diberikan oleh mereka. Uji Validitas Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini digunakan alat bantu program SPSS versi 22. Uji validitas dilakukan dengan korelasi Pearson dengan cara mengorelasikan skor item dengan skor totalnya. Pengujian signifikansi dilakukan dengan menggunakan r tabel pada tingkat signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi. Kriterianya suatu item instrumen valid jika nilai korelasinya adalah positif dan r hitung lebih besar atau sama dengan r tabel, jika r hitung lebih kecil dari r tabel maka item dinyatakan tidak valid (Priyatno 2014). Item yang tidak valid tetap digunakan dengan mengganti kalimat pertanyaan agar lebih mudah dimengerti responden. Uji Reliabilitas Pengujian instrumen melalui uji reliabilitas dilakukan untuk melihat keandalan suatu alat ukur. Pengujian reliabilitas untuk mengukur skala rentangan seperti skala likert seperti dijelaskan dalam Priyatno (2014) dilakukan Cronbach Alpha. Instrumen reliabel atau tidak ditentukan dengan batasan 0,6 jika reliabilitas kurang dari 0,6 artinya kurang baik, jika 0,7 dapat diterima dan jika di atas 0,8 artinya baik. Nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach pada faktor motivasi wirausaha termasuk ke dalam kategori reliabel, faktor eksternal termasuk ke dalam kategori reliabel, atribut inovasi termasuk ke dalam kategori reliabel. Kisaran nilai koefisien reliabilitas Cronbach Alpha yang diperoleh yaitu 0,650 sampai dengan 0,853 (Lampiran 2).
34
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan responden menggunakan kuesioner penelitian. Hasil wawancara berdasarkan kuesioner dilengkapi dengan melakukan observasi di lapangan untuk mempertajam hasil wawancara dengan cara membandingkan hasil wawancara dengan kondisi kenyataan di lapangan. Informasi lainnya diperoleh melalui wawancara mendalam denganpihakpihak yang berhubungan dengan penelitian, yaitu dengan beberapa responden yang dinilai dapat memberi informasi penting, seperti ketua asosiasi, penyuluh, nara sumber dari Dinas Perindag Kota Bekasi, dan nara sumber dari Badan Standardisasi Nasional. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen yang diterbitkan Dinas Perindag Kota Bekasi dan Badan Standardisasi Nasional, serta studi pustaka untuk melengkapi data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini terdiri dari teknik analisis statistika deskriptif dan korelasional: Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif menurut Suliyanto (2012) berfungsi untuk memberi gambaran tentang suatu data, pada penelitian ini analisis dilakukan untuk memberi gambaran. Pada statistik deskriptif menurut Sugiyono (2013) cara mendeskripsikan dan menggambarkan data yang terkumpul dilakukan sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Deskripsi data pada penelitian ini disajikan dalam bentuk persentase rentang skor. Data dalam penelitian kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak ini terdiri dari karakteristik pengrajin (X1), motivasi wirausaha pengrajin (X2), faktor eksternal pengrajin (X3) dan atribut inovasi SNI mainan anak (X4), dan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak (Y). Analisis statistik deskriptif ini dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: a. Penyajian data variabel X dan Y dengan metode tabulasi b. Penentuan kecenderungan nilai responden ke dalam tiga kelas kriteria yang terdiri dari: (1) rendah, (2) sedang dan (3) tinggi. Interval kelas ditentukan dengan rumus berikut ini:
Interval Kelas = Nilai Maksimal + Nilai Minimun 3 Analisis Korelasional Analisis korelasional menurut Suliyanto (2012) berfungsi untuk menguji hubungan linear antara satu variabel dengan variabel lainnya. Korelasi positif menunjukkan bahwa perubahan satu variabel diikuti perubahan variabel lainnya dengan arah perubahan yang sama, sebaliknya korelasi negatif menunjukkan
35
bahwa perubahan satu variabel dikuti dengan perubahan variabel lain dengan arah yang berlawanan. Pengujian dalam penelitian digunakan uji statistik nonparametrik, yaitu korelasi rank Spearman, karena variabel dalam penelitian ini tingkat pengukurannya dalam skala ordinal. Uji korelasi tersebut digunakan untuk melihat keterkaitan antara variabel X dan Y yang telah ditetapkan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif antar variabel yang berbentuk ordinal. Hasil Uji korelasi rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel yang akan diuji, dan sebagai variabel bebas digunakan karakteristik pengrajin boneka (X1), motivasi wirausaha (X2), faktor eksternal pengrajin boneka (X3) dan atribut inovasi SNI mainan anak (X4). Variabel bebas tersebut akan diuji hubungannya dengan variabel kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak (Y). Berikut rumus korelasi rank Spearman adalah: (
)
dimana: = Nilai korelasi rank Spearman 6 = Merupakan angka konstan = Selisih ranking n = Jumlah data Untuk mengetahui korelasi hubungan antar variabel dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut: Ho: Tidak ada hubungan antara variabel X dengan variabel Y Ha: Terdapat hubungan antara variabel X dengan variabel Y Kriteria pengujian hipotesis: Jika Signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika Siginifikansi < 0,05 Ho ditolak Diterima atau tidaknya hipotesis tersebut juga dapat dilihat dari nilai signifikansi. Taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05 atau 0,01 dengan pengambilan keputusan sebagai berikut: 1. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05, maka hubungan kedua variabel signifikan, artinya terdapat hubungan signifikan antara variabel X dengan variabel Y, 2. Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05, maka hubungan kedua variabel tidak signifikan, artinya tidak terdapat hubungan signifikan antara variabel X dengan variabel Y.
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bekasi (2014), Kota Bekasi terletak daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dengan luas sekitar 210,49 kilometer persegi. Wilayah utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, wilayah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, wilayah barat berbatasan dengan DKI Jakarta, dan wilayah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Wilayah Kota Bekasi dialiri tiga sungai utama yaitu Sungai Cakung, Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Kota Bekasi memiliki iklim kering dengan tingkat kelembaban yang rendah. Kondisi lingkungan sehari-hari sangat panas. Temperatur harian diperkirakan berkisar antara 23,6 sampai dengan 34,2 derajat Celcius. Seperti terlihat pada skesta peta pada Lampiran 4, Kota Bekasi terdiri dari 12 kecamatan dan 56 kelurahan, dengan anggaran belanja yang bersifat dinamis. Sebagai kota satelit dari Jakarta, penduduk di Kota Bekasi terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2013 jumlah penduduk di Kota Bekasi bertambah 1,8 persen, dari 2.498.600 jiwa menjadi 2.570.400 jiwa. Hal ini menyebabkan penduduk di Kota Bekasi semakin padat. Kepadatan penduduk di Kota Bekasi tahun 2013 mencapai 12.211 jiwa/km2 sedangkan tahun sebelumnya hanya 11.870 jiwa/km2. Karakteristik penduduk di Kota Bekasi didominasi oleh kelompok umur produktif, yaitu 25 sampai dengan 29 tahun. Jumlah penduduk pada kelompok umur ini adalah 10,6 persen dari total penduduk, sedangkan kelompok umur 60 sampai dengan 64 tahun memiliki persentase paling rendah yaitu 1,9 persen. Pada kelompok umur 25 sampai dengan 29 tahun, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menurut jenis kelamin menunjukkan TPAK laki-laki lebih besar dibandingkan TPAK perempuan, ini merupakan indikasi bahwa laki-laki masih dominan dalam pasar kerja di Kota Bekasi. Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja yang mencatat pencari kerja di Kota Bekasi menunjukkan bahwa persentase pencari kerja di Kota Bekasi tahun 2013 didominasi oleh laki-laki yaitu 80,2 persen dari total. Jumlah pencari kerja di Kota Bekasi yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja tahun 2013 adalah 39.966 orang. Jumlah pencari kerja paling banyak terdapat pada kelompok umur 20 sampai dengan 29 tahun yaitu 60,5 persen dari total pencari kerja, sedangkan pencari kerja paling sedikit terdapat pada kelompok umur 45 sampai dengan 55 tahun. Sumber penghasilan utama di setiap wilayah Kota Bekasi berdasarkan data Potensi Desa 2013 berada di sektor jasa Dari 56 kelurahan yang ada di Kota Bekasi, 28 kelurahan masyarakatnya memiliki sumber penghasilan utama dari sektor jasa, 15 kelurahan memiliki sumber penghasilan utama dari industri pengolahan, 12 kelurahan memiliki penghasilan utama dari perdagangan, 1 kelurahan dari sektor pertanian. Karakteristik perekonomian Kota Bekasi adalah perdagangan dan jasa, namun dalam penciptaan nilai tambah, industri di Kota Bekasi dikategorikan menjadi industri besar sedang dan industri kecil mikro. Industri kecil mikro di
37
Kota Bekasi terbukti lebih tahan terhadap guncangan moneter dibandingkan dengan industri besar sedang. Berdasarkan data potensi desa tahun 2013, terdapat 7 kategori IMK yang tersebar di 12 kecamatan. Perekonomian Kota Bekasi ditunjang dari aktivitas perdagangan dan jasa, perdagangan di Kota Bekasi terbagi atas perdagangan untuk ekspor dan perdagangan antar daerah. Deskripsi Perkembangan Kerajinan Boneka di Kota Bekasi Industri kerajinan boneka di Kota Bekasi mulai berkembang setelah krisis ekonomi tahun 1998 di mana beberapa karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja dari sebuah pabrik boneka milik seorang yang berkebangsaan Korea. Kebutuhan hidup membuat mereka kemudian merintis usaha mandiri di bidang kerajinan boneka. Produk boneka yang dihasilkan sangat beragam jenisnya dari segi bentuk maupun ukuran dengan bahan kulit dari kain velboa (kain yang berbulu pendek), kain yelvo (kain yang berbulu pendek tapi lebih halus dari velboa), kain rasfur (kain yang berbulu agak panjang), kain snail (kain yang berbulu agak panjang seperti rasfur tapi berpola keriting) dan kain nylex (kain yang berbulu pendek dan paling kasar di antara bahan yang lain) serta bahan isi dari dakron, yaitu bahan serat tekstil yang memilliki nama asli polietilena tereftalat yang merupakan resin polimer plastik termoplast dari kelompok poliester. Boneka yang diproduksi dengan mesin-mesin yang masih sederhana ini awalnya banyak dipasarkan di Jakarta, hingga selanjutnya berkembang dengan adanya permintaan dari kota lain di Pulau Jawa seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Banten, dan pada akhirnya juga ke luar Pulau Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Bali. Produksi boneka ini selain membuka lapangan pekerjaan baru di Kota Bekasi, juga memberi penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar. Para pengrajin yang kadang-kadang mendapatkan pesanan melebihi kapasitas produksinya juga menggandeng penduduk sekitar untuk menjadi mitra yang kebanyakan adalah ibu-ibu rumah tangga. Hal ini sama-sama menguntungkan untuk pengrajin inti yaitu pemilik modal dan pengrajin plasma yaitu mitra produksi pengrajin inti. Bagi pengrajin inti, mereka terbantu untuk memenuhi saat permintaan pasar tiba-tiba naik, tanpa harus menambah pegawai tetap, ruang produksi maupun biaya lain seperti listrik, uang makan maupun kebutuhan sanitasi. Bagi pengrajin plasma, mereka mendapatkan penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan keluarga di rumah. Industri kerajinan boneka ini berkembang dari kapasitas produksi yang berkisar ribuan per bulannya menjadi puluhan ribu. Dinas Perindag Kota Bekasi juga mendukung dengan melakukan pembinaan dan pemberdayaan pengrajin boneka sehingga pengrajin dapat meningkatkan kemampuannya di bidang manajemen produksi, teknik produksi maupun persyaratan produksi seperti penerapan SNI. Dukungan dalam bentuk modal usaha diberikan melalui BPR dan insentif biaya penerapan SNI. Pengrajin boneka di Bekasi sebagian merupakan anggota dari Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka (HIKPB), Himpunan Pengrajin Boneka Indonesia (HIPBI), Himpunan Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir (HIBAS), sebagian lagi memilih untuk tidak tergabung dalam Himpunan Pengrajin. Masing-
38
masing Himpunan Pengrajin yang ada memiliki koperasi untuk mengatasi permodalan, pemasaran maupun penerapan SNI. Karakteristik Pengrajin Pada penelitian ini karakteristik pengrajin boneka diidentifikasi tingkat pendidikan formal, lamanya menjalankan usaha, tingkat kemampuan memenuhi permintaan pasar dan tingkat investasi usaha. Pendidikan Formal Pendidikan formal yang berkembang di Indonesia adalah pendidikan berjenjang dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menurut Peraturan Pemerintah RI No.32 Tahun 2013, pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan hak dan kewajiban dari seorang warga negara, dengan pendidikan seseorang dapat berperan aktif dalam menjaga kelangsungan hidup dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial budaya. Adapun karakteristik pengrajin dari segi pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran karakteristik pengrajin boneka di Kota Bekasi Karakteristik Jumlah Persen No Kategori Pengrajin (X1) (n) (%) Rendah (6 – 9 tahun) 7 15,2 1 Pendidikan formal Sedang (10 – 12 tahun) 34 73,9 Tinggi (13 – 16 tahun) 5 10,9 Rendah (1,5 – 7,7 tahun) 24 52,2 Lama menjalankan 2 Sedang (7,8 – 13,8 tahun) 20 43,5 usaha Tinggi (13,9 – 20 tahun) 2 4,3 Tingkat kemampuan Rendah (17% - 44%) 3 6.5 3 memenuhi permintaan Sedang (45%-72%) 9 19.6 pasar per bulan Tinggi (73%-100%) 34 73.9 Tingkat Investasi Usaha Rendah (< 5 orang) 5 10.9 4 Jumlah tenaga kerja Sedang (5 – 19 orang) 13 28.3 Tinggi (20 – 99) orang) 28 60.9 Rendah (2 – 18 buah) 33 71.7 Jumlah mesin 5 Sedang (18 –25 buah) 9 19.6 produksi Tinggi (35 – 50 buah) 4 8.7 Jumlah investasi Rendah (< Rp.50 juta) 10 21.7 6 modal usaha Sedang (Rp. 50 – 500 juta) 33 71.7 Tinggi (> Rp. 500 juta) 3 6.5 Karakteristik pengrajin boneka di Kota Bekasi jika dilihat dari latar belakang pendidikan formal termasuk beragam, mulai dari sekolah dasar hingga sarjana, di mana sebagian besar pengrajin menjalani pendidikan formal selama 10 sampai dengan 12 tahun yaitu sebesar 73,9 persen, terdapat 15,2 persen yang
39
tergolong kategori rendah, sementara 10,9 persen lainnya mampu menjalani pendidikan tinggi. Kondisi perekonomian yang baik dan lokasi tempat tinggal pengrajin yang sangat dekat`dengan Ibukota Jakarta membuat mereka memiliki akses pendidikan yang mudah dan motivasi yang tinggi untuk menjalani pendidikan formal. Pengrajin di Kota Bekasi menjadi memiliki sikap yang terbuka pada berbagai upaya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang baru. Lama Menjalankan Usaha Pengrajin boneka di Kota Bekasi mayoritas menjalankan usaha ini kurang dari 7,7 tahun. Pengrajin yang paling lama menjalankan usaha ini adalah 20 tahun dan ada juga pengrajin yang belum 2 tahun dalam menjalankan usaha ini. Para pengrajin boneka tersebut sebagian di antara mereka bersama-sama mendirikan asosiasi untuk berbagi ilmu dan melindungi anggotanya, di antaranya dari kelangkaan serta tingginya harga bahan baku. Tingkat Kemampuan Memenuhi Permintaan Pasar Kapasitas produksi masing-masing pengrajin sangat beragam, dimulai dari yang terkecil sekitar 200 buah boneka, hingga yang mampu memenuhi sekitar 40.000 buah boneka setiap bulannya. Sebagian besar dari permintaan tersebut datang dari Pulau Jawa, sebagian lagi datang dari luar Jawa di berbagai kota besar di Indonesia, sementara hingga saat ini di antara pengrajin yang menjadi responden dalam penelitian ini belum ada yang mengirim produknya ke luar negeri. Secara keseluruhan jika dirata-rata kemampuan para pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam memenuhi permintaan pasar cukup tinggi, yaitu antara 73% sampai dengan 100% setiap bulannya. Tingkat Investasi Usaha Berdasarkan klasifikasi industri menurut BPS, dilihat dari jumlah tenaga kerja, industri kerajinan boneka di Kota Bekasi didominasi oleh industri sedang atau menengah dengan jumlah tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang, selain itu terdapat juga beberapa industri rumah tangga dan industri kecil. Jika dirata-rata para pengrajin boneka di Kota Bekasi menjalankan mesin produksi yang terdiri dari mesin jahit dan mesin potong sebanyak 2 sampai dengan 18 buah. Untuk memenuhi semua permintaan pasar, pengrajin di Kota Bekasi ratarata menanamkan modal usaha sebesar 50 juta rupiah sampai dengan 500 juta rupiah. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, jika dilihat dari besarnya investasi modal usaha tersebut, sebagian besar pengrajin di Kota Bekasi termasuk kriteria usaha kecil, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Salah satu usaha untuk mengatasi modal usaha dan pemasaran beberapa pengrajin mendirikan koperasi, yang juga digunakan untuk mendapatkan sertifikasi SNI untuk digunakan dalam produksi bersama. Pengrajin di Kota Bekasi sedang dalam taraf perkembangan yang positif, meskipun kebanyakan dari mereka memiliki pengalaman kurang dari 7,7 tahun dalam produksi boneka dan kapasitas produksi maupun permintaan pasar rata-rata
40
masih di bawah 20.200 buah, mereka mau meningkatkan daya kreativitasnya, sehingga produk yang dihasilkan tidak monoton, salah satu pengrajin mengungkapkan: "kami selalu mencoba membuat desain-desain baru dan fungsi baru dari boneka, bukan hanya meniru desain yang sudah ada, jadi saat ini boneka tidak hanya menjadi pajangan atau untuk bermain, tapi juga bisa digunakan sebagai kasur, tempat duduk maupun bantal." Tahapan Proses Keputusan Inovasi Penerapan SNI mainan anak melibatkan tidak hanya perkembangan tingkat pengetahuan pengrajin terkait syarat mutu dan keamanan, namun juga kebutuhan perkembangan permodalan untuk mendukung biaya pengujian produk dan biaya proses perbaikan produk sesuai hasil uji. Sebagian besar pengrajin sudah mengetahui mengenai pemberlakuan wajib SNI mainan anak dan prinsip-prinsip penerapannya. Pengrajin memperoleh pengetahuan tersebut melalui pertemuan tatap muka yang diselenggarakan oleh Dinas Perindag Bekasi yang bekerjasama dengan lembaga sertifikasi produk. Pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan insentif penerapan SNI yang diberikan kepada pengrajin yang telah siap, maupun pada koperasi yang menjadi wadah bagi pengrajin lainnya. Sesuai dengan teori Rogers (2013) tentang tahapan proses keputusan adopsi inovasi tahap ini merupakan tahap pengetahuan. Selanjutnya adalah tahap persuasi, dimana pengrajin mulai memahami tujuan diberlakukan SNI mainan anak dan mengerti bagaimana caranya untuk memenuhi persyaratan barang beredar sesuai peraturan pemerintah terkait SNI wajib mainan anak. Sebagian pengrajin yang telah siap mengajukan SPPT SNI melalui dinas kepada lembaga sertifikasi produk, sedangkan pengrajin lainnya mengajukan SPPT SNI melalui koperasi. Hal ini merupakan tahap keputusan yang didorong oleh adanya kewajiban untuk mematuhi peraturan dari Kementerian Perindustrian. SPPT SNI yang harus diperbaharui setiap enam bulan sekali oleh pengrajin boneka dan tingkat pengawasan penerapan SNI mainan anak oleh pemerintah menjadi tantangan pada tahap implementasi terkait keberlangsungan penerapan SNI oleh pengrajin boneka di Kota Bekasi. Kedua hal tersebut akan menjadi pertimbangan pengrajin pada tahap konfirmasi, apakah akan terus menerapkan atau tidak. Motivasi Wirausaha Pengrajin Motivasi wirausaha berdasarkan teori motivasi dari McClelland terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat kebutuhan prestasi, tingkat kebutuhan kekuasaan, dan tingkat kebutuhan afiliasi. Pengrajin boneka di Kota Bekasi memiliki motivasi wirausaha berdasarkan tingkat kebutuhan prestasi yang tergolong sedang. Motivasi ini dilihat dari keinginan meningkatkan keadaan ekonomi, menghasilkan produk yang bermutu untuk masyarakat dan keinginan meningkatkan status sosial. Kebutuhan pengrajin untuk meningkatkan keadaan ekonomi keinginan ini hadir dari keinginan untuk
41
bertahan hidup, bekerja sesuai kemampuan dan harapan untuk berhasil. Hal ini, seperti disampaikan oleh salah satu responden: “awalnya kami bekerja pada sebuah pabrik boneka milik perusahaan Korea yang kemudian bangkrut pada saat krisis moneter 1998. Kami terkena PHK dan karena kami tahunya soal boneka, akhirnya kami memutuskan untuk membuat boneka. Supaya bisa bertahan kami selalu berusaha memenuhi semua persyaratan yang ada, salah satunya SNI.” Berdasarkan kebutuhan kekuasaan pengrajin tergolong kategori sedang, motivasi ini dilihat dari keinginan untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, dalam hal ini pengrajin boneka sebagai bagian dari masyarakat terus mengembangkan diri secara profesional untuk dapat memiliki kontribusi terhadap keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Kebutuhan akan kekuasaan tercermin dari bagaimana mereka mempertahankan usahanya untuk dapat terus menyediakan lapangan kerja bagi para pekerjanya dan para pengrajin plasma, karena secara tidak langsung hal ini dapat membuatnya memiliki kedudukan khusus di masyarakat sebagai seseorang yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Adapun deskripsi dari masing-masing faktor motivasi wirausaha dijelaskan pada Tabel 10. Tabel 10
Rentang skor motivasi wirausaha pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Motivasi wirausaha Kategori Rentang Jumlah Persen No pengrajin (X2) skor (%) 1 Tingkat kebutuhan akan rendah 7,0 - 8,7 8 17,4 prestasi sedang 8,8 - 10,3 25 54,3 tinggi 10,4 - 12,0 13 28,3 2 Tingkat kebutuhan rendah 6,0 - 7,7 9 19,6 kekuasaan sedang 7,8 - 9,3 31 67,4 tinggi 9,4 - 11,0 6 13,0 3 Tingkat kebutuhan afiliasi rendah 7,0 - 8,7 11 23,9 sedang 8,8 - 10,3 21 45,7 tinggi 10,4 – 12,0 14 30,4
Kondisi ini dalam lingkup kecil membuatnya ingin mempertahankan pengaruh atas orang lain dan mencoba menguasai orang lain, dalam hal ini pekerjanya, dengan mengatur perilakunya, dalam hal ini agar melaksanakan produksi sesuai standar yang telah ditetapkan, sehingga ia dapat membuat orang lain terkesan kepadanya dengan selalu menjaga reputasi dan kedudukannya. Motivasi wirausaha berdasarkan kebutuhan afiliasi juga tergolong kategori sedang, dilihat dari keinginan berwirausaha karena ingin bekerjasama dengan orang lain, keinginan memperluas pergaulan dan kebutuhan akan sebuah komunitas. Para pengrajin boneka di Kota Bekasi sebagian besar tergabung dalam sebuah komunitas, hal ini merupakan sebuah wujud kebutuhan afiliasi, dimana
42
dalam komunitas tersebut mereka dapat bekerjasama menghadapi tantangan dan menyelesaikan masalah bersama. Faktor Eksternal Pengrajin Faktor eksternal yang dilihat dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang berada di luar diri pengrajin yang dapat diduga berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak. Faktor eksternal ini terdiri dari tingkat ketersediaan informasi mengenai penerapan SNI mainan anak, tingkat insentif penerapan SNI mainan anak, tingkat pendampingan penerapan SNI mainan anak dan tingkat pemberdayaan pengrajin boneka melalui pelatihan. Informasi mengenai penerapan SNI mainan anak dilihat dari ketersediaan sumber informasi dari media massa, instansi pemerintah, tenaga penyuluh lapangan, pengrajin lain dan lembaga sertifikasi produk. Pendampingan terhadap pengrajin boneka di Kota Bekasi bertujuan untuk memberikan bimbingan teknis yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan industri dalam penerapan SNI mainan anak. Pendampingan penerapan SNI mainan anak pada penelitian ini dilihat dari ketersediaan pendampingan yang dilakukan oleh instansi pemerintah, pengrajin lain, lembaga sertifikasi, dan lembaga swadaya masyarakat. Pemberdayaan pada penelitian ini dilihat dari perbaikan aksesibilitas pendidikan berupa ketersediaan pelatihan yang bermanfaat bagi pengrajin boneka yaitu pelatihan keterampilan kerajinan boneka, manajemen organisasi atau produksi, manajemen pemasaran dan manajemen keuangan.Adapun deskripsi dari masing-masing faktor eksternal pengrajin boneka dijelaskan sebagai berikut: Tabel 11 Rentang skor faktor eksternal pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak No Faktor eksternal Kategori Rentang Jumlah Persen pengrajin (X3) skor (%) 1 Tingkat ketersediaan rendah 9,0 – 12,0 11 23,9 informasi mengenai sedang 12,1 – 15,0 18 39,1 penerapan SNI mainan tinggi 15,0 – 18,0 17 37,0 anak 2 Tingkat insentif rendah 6,0 – 9,7 7 15,2 penerapan SNI mainan sedang 9,8 – 13,3 24 52,2 anak tinggi 13,4 – 17,0 15 32,6 3 Tingkat pendampingan rendah 6,0 - 9,7 7 15,2 penerapan SNI mainan sedang 9,8 – 13,3 19 41,3 anak tinggi 13,4 – 17,0 20 43,5 4 Tingkat pemberdayaan rendah 5,0 – 8,7 13 28,3 pengrajin boneka melalui sedang 8,8 – 12,3 30 65,2 pelatihan tinggi 12,4 – 16,0 3 6,5 Informasi mengenai penerapan SNI mainan anak memiliki tergolong sedang, informasi ini didapatkan dari media massa, instansi pemerintah, tenaga
43
penyuluh lapangan dan pengrajin lain, serta lembaga sertifikasi produk. Hal ini disebabkan kurangnya frekuensi pertemuan dengan penyuluh karena terbatasnya jumlah tenaga penyuluh lapangan dan setiap penyuluh menangani berbagai jenis industri. Saat ini di Dinas Perindag Kota Bekasi terdapat 3 tenaga penyuluh lapangan dan 1 tenaga magang penyuluh IKM. Melalui wawancara mendalam diketahui bahwa informasi yang dirasakan paling bermanfaat adalah prosedur penerapan SNI dan persyaratan untuk memperoleh tanda SNI termasuk informasi mengenai peraturan pemerintah yang terkait penerapan SNI. Pengrajin juga merasa informasi tentang peningkatan kualitas produk, manfaat penerapan SNI dan persaingan pasar bermanfaat bagi mereka. Tingkat insentif penerapan SNI mainan anak berupa biaya sertifikasi, pelatihan pemahaman dokumen SNI, pendampingan pengujian produk dan publikasi di media massa tergolong kategori sedang. Tingkat pendampingan penerapan SNI mainan anak tergolong tinggi. Pendampingan yang didapatkan berupa konsultasi, pelatihan, penyuluhan, dan bimbingan teknik cara menerapkan SNI dan birokrasi pengajuan SPPT SNI, serta pengujian produk. Insentif yang diberikan kepada pengrajin salah satunya melalu koperasi bersama untuk meringankan biaya sertifikasi dan mengatasi tingginya harga bahan baku, pemberian insentif ini tidak lepas dari proses pendampingan yang diberikan oleh pemerintah sebagai proses edukasi dan perubahan perilaku, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ocktilia (2004) yang menyebutkan bahwa untuk mencapai keberhasilan sebuah program pemberdayaan ekonomi rakyat diperlukan adanya identifikasi terhadap potensi lokal dan optimalisasi peranan koperasi melalui kemitraan dalam bidang permodalan, pengadaan bahan baku, pemasaran dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan. Tingkat pemberdayaan melalui pelatihan tergolong kategori sedang. Pemberdayaan adalah proses di mana pengrajin didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya. Pemberdayaan seperti disebutkan dalam Mardikanto (2015) bertujuan memperbaiki pendidikan dan aksesibilitas yang mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup dan diharapkan akan memperbaiki bisnis yang dilakukan dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang tercermin dalam perbaikan pendapatan. Pemberdayaan pada pengrajin boneka di Kota Bekasi dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan manajemen usaha, keterampilan pembuatan boneka dan pemahaman dokumen SNI diselenggarakan oleh Dinas Perindag Kota Bekasi, sebagian besar pengrajin merasa pelatihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan usaha, meningkatkan keterampilan, menambah wawasan dan pengalaman dalam pengetahuan manajemen usaha, meningkatkan mutu produk. Atribut Inovasi SNI Mainan Anak Suatu inovasi atau sistem baru, biasanya akan melalui berbagai proses sebelum akhirnya diterima oleh masyarakat. Sebuah inovasi memerlukan waktu untuk kemudian diadopsi oleh individu ataupun sekelompok masyarakat. Menurut Rogers (2003), adopsi adalah keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya dari suatu inovasi sebagai tindakan yang terbaik dan melewati urutan tahapan sebelum penerimaan produk baru, sedangkan penolakan adalah keputusan untuk tidak
44
mengadopsi suatu inovasi yang tersedia. Terdapat lima atribut dalam teori difusi inovasi yang menentukan tingkat adopsi inovasi, yaitu keuntungan relatif (relative advantage, kompatibilitas (compatibity), kompleksitas (complexity), trialibilitas (trialability) dan observabilitas (observability). Atribut inovasi yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kompleksitas, dan tingkat observabilitas pada SNI mainan anak bagi pengrajin boneka di Kota Bekasi rata-rata tergolong sedang, hal ini menunjukkan bahwa SNI mainan anak dapat diterapkan, namun belum dianggap menguntungkan. Adapun deskripsi dari masing-masing atribut inovasi SNI mainan anak dijelaskan pada Tabel 12. Tabel 12 Rentang skor atribut inovasi SNI mainan anak No Atribut inovasi SNI Kategori Rentang mainan anak (X4) skor 1
Tingkat keuntungan relatif
2
Tingkat kompatibilitas
3
Tingkat kompleksitas
4
Tingkat observabilitas
rendah sedang tinggi rendah sedang tinggi rendah sedang tinggi rendah sedang tinggi
10,0 – 12,0 12,1 – 14,0 14,1 – 16,0 11,0 – 14,0 14,1 – 17,0 17,1 – 20,0 6,0 – 9,3 9,4 – 12,7 12,8 – 16,0 10,0 – 12,0 12,1 – 14,0 14,1 – 16,0
Jumlah
Persen (%)
25 13 8 10 34 2 5 33 8 20 22 4
54,3 28,3 17,4 21,7 73,9 4,3 10,9 71,7 17,4 43,5 47,8 8,7
Tabel 12 menunjukkan bahwa atribut inovasi SNI mainan anak dilihat dari tingkat keuntungan relatif hingga saat ini belum terlihat jelas dapat menaikan omzet penjualan, karena penerapannya belum lama dan belum seluruh pengrajin menerapkannya. Selain itu juga karena dari segi peningkatan mutu produk, pengrajin merasa mutu produk mereka memang sudah baik sejak sebelum menerapkan SNI mainan anak sehingga dampak penerapan SNI pada produk boneka ini tidak terlalu dirasakan dari segi peningkatan mutu produk, hal ini disampaikan salah satu responden: “Produksi boneka di Bekasi sudah sejak lama menggunakan bahan-bahan yang aman dan berkualitas, pada saat filling kami menggunakan bahan yang baru bukan limbah dari industri lain. Beberapa pengrajin boneka ada yang menggunakan limbah untuk mengisi bonekanya agar harga boneka mereka lebih murah.” Kondisi tersebut terjadi karena belum adanya kesadaran bahwa untuk menentukan mutu produk diperlukan sebuah ukuran syarat mutu serta pengujian yang dapat membuktikan mutu produk dan menjadi tolak ukur untuk mempertahankan mutu produk. Jika hal ini sudah disadari maka seperti disebutkan
45
oleh Werdiyati (2011) dalam strategi pemasaran dan pengembangan usaha perdagangan boneka didapatkan strategi prioritas, yaitu menjaga mutu dan memunculkan ciri khas produk untuk mengantisipasi persaingan usaha. Keuntungan yang dirasakan sebatas perlindungan hukum karena SNI telah diberlakukan wajib oleh Kementerian Perindustrian atas dasar faktor keamanan dan keselamatan, sehingga ketika boneka yang diproduksi dipasarkan tidak ada resiko akan ditarik dari peredaran karena sudah lolos pengujian berdasarkan syarat mutu dan keamanan yang ditetapkan. Keuntungan lain yang dirasakan adalah bertambahnya pangsa pasar dan peningkatan penjualan karena secara tidak langsung adanya pemberlakuan SNI wajib mainan anak, membuat para pedagang retail lebih memilih produk boneka yang telah sesuai SNI untuk mereka jual, sehingga bagi pengrajin boneka terdapat permintaan baru yang menambah omzet penjualan. Tingkat kompatibilitas SNI mainan anak tergolong sedang, hal ini berarti SNI mainan anak dianggap sesuai dengan nilai-nilai dan budaya perusahaan sehingga sejalan dengan kebutuhan kelangsungan usaha dan proses produksi kerajinan boneka saat ini. SNI mainan anak juga dianggap sesuai dengan kebutuhan konsumen atas jaminan keselamatan dan kemanaan boneka yang digunakan oleh anak-anak mereka. Pada syarat mutu SNI mainan anak diatur tentang bahan yang digunakan dan kekuatan jahitan yang menentukan tingkat migrasi zat warna ataupun kekuatan tarik pada penggunaan yang tidak biasa misalnya dimasukkan ke mulut atau pun ditarik dengan kuat. Pada data di Tabel 12 ditunjukkan bahwa tingkat kompleksitas SNI mainan anak tergolong kategori sedang, hal ini menunjukkan bahwa bagi pengrajin boneka pemenuhan persyaratan dari segi kekuatan jahitan dapat dipenuhi dengan baik, begitu juga dengan pemenuhan pemilihan bahan yang tidak mudah terbakar dan bebas dari zat kimia beracun. Bahan boneka yang digunakan menurut pengrajin didapatkan dari pemasok yang memang sudah memiliki bahan kain yang lolos uji, sehingga pengrajin tidak perlu khawatir pada saat menggunakannya sebagai bahan baku boneka. Adapun tingkat observabilitas SNI mainan anak bagi pengrajin tergolong kategori sedang, hal ini menunjukkan bahwa produk boneka yang sesuai SNI mainan anak relatif dapat diketahui langsung perbedaan fisiknya, terutama dari sisi filling-nya, boneka yang sesuai SNI akan menggunakan dakron yang baru dan bersih, sedangkan boneka yang tidak sesuai SNI biasanya diisi dengan limbah kain maupun dakron sisa produksi yang bentuknya tidak teratur dan kotor. Demikian halnya dengan tanda SNI yang asli pada produk boneka dapat diidentifikasi dengan melihat pencantuman nomor SNI, kode lembaga sertifikasi produk (LSPro) dan nomor registrasi produk. Beberapa produk boneka ada yang mencantumkan tanda SNI tanpa kode LSPro, hal ini membuat tanda SNI tersebut tidak dapat dilacak sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa produk tersebut sudah lolos pengujian sesuai syarat mutu SNI mainan anak. Kinerja Pengrajin Boneka Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Nomor:02/BIM/ PER/1/2014, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan
46
Pengawasan Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib dapat dilihat dari pemenuhan persyaratan administrasi, pemenuhan persyaratan pengujian dan pemenuhan persyaratan penandaan. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan SPPT SNI Mainan, wajib memenuhi persyaratan administrasi berupa: surat izin usaha, sertifikat merek, dan surat pernyataan jaminan tidak mengedarkan mainan pada saat proses pengujian, persyaratan pengujian berupa: contoh hasil produksi, dan jika lolos uji mendapat SPPT SNI mainan anak, persyaratan penandaan berupa: tanda SNI yang mudah dibaca, tidak mudah hilang dengan bentuk, ukuran dan cara pencantuman nomor SNI sesuai persyaratan. Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 No 1
2
3
4
Rentang skor kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Kinerja pengrajin (Y) Kategori Rentang Jumlah Persen skor (%) Tingkat pemenuhan persyaratan rendah 1,0 - 1,9 9 19,6 administrasi (Y1) 2,0 2,4 8 sedang 17,4 2,5 - 3,0 29 tinggi 63,0 Tingkat pemenuhan persyaratan rendah 1,0 - 1,9 5 10,9 pengujian (Y2) 10 sedang 2,0 - 2,4 21,7 2,5 - 3,0 31 tinggi 67,4 Tingkat pemenuhan persyaratan rendah 1,0 - 1,6 2 4,3 penandaan (Y3) 6 sedang 1,7 - 2,4 13,0 2,5 –3,0 38 tinggi 82,6 Peningkatan omzet penjualan rendah 1,0 - 1,9 25 54,3 (Y4) 2,0 -2,9 19 sedang 41,3 3,0 2 tinggi 4,3
Pemenuhan persyaratan administrasi tergolong kategori tinggi, karena ebagian besar dari pengrajin boneka sudah memiliki Surat Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI) karena sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor:41/M-IND/PER/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri, dijelaskan bahwa setiap pendirian perusahaan industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI), dan bagi industri kecil wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI). Sebagian dari pengrajin yang belum memiliki SPPT SNI juga ada yang sudah memiliki sertifikat merek dan telah mendaftarkan pencatatan registrasi SPPT SNI yang dilengkapi surat pernyataan jaminan tidak mengedarkan produk saat pengujian. Pemenuhan persyaratan pengujian tergolong kategori tinggi, pengrajin boneka di Kota Bekasi merasa sanggup menyediakan contoh produksi untuk bahan pengujian dalam sertifikasi SNI, karena sebelumnya mereka sudah memproduksi boneka dengan memperhatikan mutunya. Hingga saat ini pengrajin di Kota Bekasi yang memiliki SPPT SNI untuk produknya sendiri hanya 30,4 persen dari jumlah keseluruhan, hal ini karena biaya sertifikasi yang cukup tinggi
47
bagi UKM, sebagian besar insentif biaya sertifikasi SNI rata-rata tetap memerlukan dana pribadi sebesar 50 persen dari keseluruhan biaya. Pengrajin lain kemudian menggunakan alternatif lain untuk mendaftarkan produknya bersama melalui koperasi yang juga mendapatkan insentif biaya sertifikasi. Kebijakan adanya kewajiban melakukan pengujian produk setiap enam bulan juga termasuk berat untuk IKM karena tingginya biaya sertifikasi dibandingkan dengan modal, biaya produksi dan omzet penjualan sehingga perlu dikaji ulang. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pemenuhan persyaratan penandaan tergolong tinggi, tanda SNI pada boneka yang diproduksi di Kota Bekasi dijahit pada bagian bawah boneka dalam bentuk label pita satin sehingga mudah dibaca dan tidak mudah hilang meskipun melalui proses pencucian berulang kali. Label tersebut berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sesuai persyaratan, pada label tersebut dicantumkan nomor SNI mainan anak yang diacu serta nomor lembaga sertifikasi produk dan nomor registrasi produk di bawahnya (Lampiran 4). Meskipun begitu sebagian besar pengrajin mengaku belum melaporkan realisasi produknya dengan alasan tidak tahu atau tidak diminta oleh pemerintah untuk melaporkannya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena pelaporan realisasi produk sangat penting untuk pengawasan produk di pasar. Kinerja pengrajin boneka juga dilihat dari segi peningkatan omzet penjualan, berdasarkan data pada Tabel 13 penerapan SNI mainan anak oleh pengrajin juga sudah mulai menunjukkan adanya peningkatan omzet penjualan, dimana pedagang retail mulai lebih memilih produk yang bertanda SNI, hal ini dirasakan karena dengan memilih produk bertanda SNI lebih aman dari inspeksi pasar. Hubungan Karakteristik dengan Kinerja Pengrajin Pendidikan formal berhubungan dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak hanya sebatas pada pemenuhan persyaratan administrasi, dan tidak berhubungan nyata dengan aspek pemenuhan persyaratan pengujian dan penandaan, maupun dengan peningkat omzet (Tabel 14). Hal ini karena meskipun berpendidikan tinggi namun tidak merasakan pentingnya syarat mutu pada SNI mainan anak, maka pengrajin tidak merasa perlu memenuhi persyaratan lainnya untuk menerapkan SNI. Hasil ini berlawanan dengan hasil penelitian Vionita (2013) yang menyatakan tingkat pendidikan yang tinggi dari seorang pegawai akan mempengaruhi kemampuannya dalam mencapai kinerja secara optimal. Lamanya menjalankan usaha berhubungan nyata dengan pemenuhan persyaratan administrasi, artinya pengrajin yang telah cukup lama menjalankan usaha mampu memenuhi izin usaha dan sertifikat merek. Meskipun begitu lamanya usaha belum tentu membuat pengrajin mampu memenuhi persyaratan pengujian dan penandaan, serta mencapai peningkat omzet. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Firdausa (2012) bahwa semakin lama usaha dijalankan maka semakin besar jumlah pendapatan pedagang tersebut. Tingkat kemampuan memenuhi permintaan pasar berhubung dengan peningkatan omzet, artinya jika pengrajin mampu memproduksi boneka sesuai jumlah yang dibutuhkan pasar maka otomatis maka omzet juga akan meningkat. Meskipun demikian kemampuan memenuhi permintaan tidak berhubungan dengan kinerja pengrajin dalam memenuhi seluruh persyaratan penerapan SNI,
48
karena orientasi pasarnya masih terbatas pada pasar dalam negeri yang lebih mempertimbangkan jumlah dan waktu pengerjaan. Berbeda halnya jika pengrajin berorientasi pasar ke negara-negara lain yang mengutamakan persyaratan kemanan mainan anak. Hal ini seperti dinyatakan pada hasil penelitian Felgueira dan Rodrigues (2012) bahwa orientasi pasar adalah unsur pemersatu upaya individu atau departemen, yang mengarah ke kinerja yang lebih tinggi. Nilai koefisien korelasi antara karakteristik pengrajin dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik pengrajin dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak Kinerja Karakteristik No. Persyaratan Persyaratan Persyaratan Peningkatan pengrajin administrasi pengujian penandaan Omzet 1 Pendidikan 0,315* -0,035 -0,237 -0,079 formal 2 Lama menjalankan 0,493** 0,278 0,134 0,091 usaha 3 Kemampuan memenuhi -0,189 -0,189 -0,013 0,405** permintaan pasar 4 Jumlah 0,439** 0,255 0,117 0,139 investasi usaha * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01 Hasil penelitian mengungkapkan bahwa jumlah investasi usaha berhubungan dengan pemenuhan persyaratan administrasi (Tabel 14). Hal ini karena izin usaha dan sertifikat merek adalah syarat utama untuk melaksanakan produksi, sedangkan pemenuhan persyaratan pengujian dan penandaan adalah biaya ekstra yang tidak dipertimbangkan sebagai biaya produksi. Pengrajin merasa biaya untuk memenuhi persyaratan pengujian dan penandaan cukup besar, sehingga dibutuhkan tambahan modal usaha untuk dapat menerapkannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ekowati et al. (2012) dan Khoirrini dan Kartika (2014) yang menyebutkan bahwa modal (fisik, intelektual dan finansial) maupun modal insani dan modal sosial berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, serta berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kinerja. Hubungan Motivasi Wirausaha dengan Kinerja Pengrajin Motivasi wirausaha berdasarkan kebutuhan kekuasaan berhubungan nyata dengan pemenuhan persyaratan administrasi dan pengujian (Tabel 15). Dengan memenuhi persyaratan administrasi dan pengujian, pengrajin dapat memasarkan produknya tanpa takut ditarik dari pasar karena tidak sesuai dengan syarat mutu SNI. Hal ini membuat pengrajin dapat mempertahankan usahanya, menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang-orang di sekitarnya dan memiliki kesempatan
49
untuk menjadi acuan dalam produksi boneka dengan prosedur yang jelas dan lolos uji laboratorium. Hal ini sejalan dengan penelitian Ochtaviana (2012) yang menyimpulkan bahwa karakteristik kewirausahaan dan motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberhasilan usaha, dengan motivasi sebagai faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap keberhasilan usaha. Dua sub variabel motivasi wirausaha pengrajin yang lainnya, yaitu kebutuhan prestasi dan kebutuhan afiliasi tidak berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin, artinya peningkatan keduanya tidak berarti akan menyebabkan kinerja pengrajin akan naik juga. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Yunal (2013) bahwa motivasi berwirausaha memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan usaha dan hasil penelitian Larasati dan Gilang (2014) yang menyebutkan bahwa motivasi kerja yang terdiri dari kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kekuasaan secara simultan dan parsial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Tingkat kebutuhan prestasi tidak berhubungan dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI, artinya keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonomi tidak serta merta membuat seorang pengrajin untuk menerapkan SNI. Pengrajin juga merasa untuk menghasilkan produk yang bermutu tidak harus dengan menerapkan SNI, melainkan bisa dengan memilih distributor bahan baku yang dapat dipercaya dan tidak menggunakan limbah sebagai isi boneka, padahal untuk menjamin hal tersebut dibutuhkan parameter dan hasil uji tertentu. Hal ini belum disadari sehingga ketika seorang pengrajin menerapkan SNI tidak kemudian akan meningkatkan status sosialnya, berbeda dengan jika ia mengalami kenaikan omzet penjualan yang akan membuatnya menjadi salah seorang yang dipandang berhasil oleh pengrajin lain. Sementara itu tingkat kebutuhan afilisasi tidak berhubungan dengan kinerja pengrajin, karena seorang pengrajin yang belum menerapkan SNI, produknya tetap diterima oleh lingkungannya dan dapat bekerjasama dengan orang lain dalam memasarkan produknya. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Frianto dan Dewi (2012) yang menyebutkan bahwa lingkungan kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja. Nilai koefisien korelasi antara motivasi wirausaha pengrajin dengan kinerja pengrajin dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai koefisien korelasi antara motivasi wirausaha pengrajin dengan kinerja pengrajin Kinerja Motivasi No. Persyaratan Persyaratan Persyaratan Peningkatan wirausaha administrasi pengujian penandaan Omzet 1 Kebutuhan 0,129 -0,180 0,068 0,084 prestasi 2 Kebutuhan 0,338* 0,364* 0,132 0,224 kekuasaan 3 Kebutuhan 0,185 -0,156 0,072 0,073 afiliasi * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
50
Hubungan Faktor Eksternal dengan Kinerja Pengrajin Tingkat ketersediaan informasi berhubungan nyata dengan peningkatan omzet penjualan (Tabel 16). Hal ini karena dengan informasi yang cukup mengenai SNI mainan anak dapat membuat pengrajin mampu meyakinkan pasar untuk lebih memilih produknya. Data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat pemberdayaan pengrajin boneka melalui pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin boneka dalam hal pemenuhan persyaratan adimistrasi dan peningkatan omzet penjualan. Pelatihan yang diikuti oleh pengrajin dirasakan berguna untuk meningkatkan kompetensi pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak. Nilai koefisien korelasi antara faktor eksternal pengrajin dengan kinerja pengrajin dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Nilai koefisien korelasi antara faktor eksternal pengrajin dengan kinerja pengrajin Kinerja Faktor No. Persyaratan Persyaratan Persyaratan Peningkatan Eksternal administrasi pengujian penandaan Omzet 1 Ketersediaan 0,124 -0,138 -0,192 0,422** informasi 2 Insentif -0,177 -0,097 -0,134 0,122 penerapan 3 Pendampingan -0,129 -0,085 -0,234 0,205 ** 4 Pemberdayaan 0,379 -0,120 -0,040 0,441** * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01 Hubungan atribut inovasi SNI mainan anak dengan kinerja pengrajin pada aspek insentif penerapan SNI tidak berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin karena jumlahnya insentif hanya sedikit sehingga tidak semua pengrajin mendapatkanya dan bagi pengrajin yang mendapatkannya, hanya disediakan sebagian dana dari jumlah biaya sertifikasi yang dibutuhkan. Tingkat pendampingan penerapan SNI mainan anak tidak berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin. Pendampingan ini dinilai kurang berhasil karena terbatasnya jumlah penyuluh membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit, ratarata pengrajin bertemu penyuluh hanya satu kali per tahun bahkan ada yang tidak pernah. Padahal seperti disebutkan dalam penelitian Sumantri et al. (2013) pendampingan yang berkelanjutan oleh ahli akan sangat membantu wirausaha untuk meningkatkan kinerja usaha. Pemberdayaan pengrajin melalui pelatihan berhubungan dengan pemenuhan persyaratan administrasi, yang artinya pelatihan yang didapat membuat pengrajin memiliki kemampuan untuk membuat usahanya dapat memperoleh izin usaha, mendapatkan tanda daftar merek dan mengurus berbagai persyaratan administratif lainnya. Melalui pemberdayaan pengrajin juga terjadi peningkatan omzet penjulana, seperti misalnya dari pelatihan manajemen usaha dan pelatihan keterampilan pembuatan boneka, pengrajin memiliki kemampuan untuk membuat
51
variasi produk yang sesuai dengan permintaan pasar serta mengatur proses produksi agar mampu memenuhi kuantitas dan kualitas produknya. Hubungan Atribut Inovasi SNI Mainan Anak dengan Kinerja Pengrajin Atribut inovasi SNI mainan anak secara keseluruhan tidak berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI (Tabel 17). Hal ini karena tingkat keuntungan relatif seperti peningkatan mutu dirasakan tidak terlalu penting karena pengrajin merasa bahwa selama ini produksi sudah mempertimbangkan mutu. Dari sisi penjualan juga dianggap tidak berpengaruh, ditambah kewajiban pengujian ulang setiap enam bulan sekali yang perlu tambahan biaya. Dari segi perlindungan hukum, pengawasan masih kurang, sehingga pengrajin merasa meskipun tidak menerapkan SNI mereka masih tetap dapat memasarkan produknya dengan bebas. Adapun dari tingkat kompatibilitas dan kompleksitas, bagi pengrajin tanpa menerapkan SNI, syarat mutu produk boneka sudah mereka penuhi dengan baik dari aspek kekuatan jahitan, pemilihan bahan yang tidak mudah terbakar maupun keamanan dari zat kimia berbahaya dan zat warna pada bahan boneka. Namun tentu saja hal ini adalah penilaian kasat mata yang tidak didukung hasil uji laboratorium. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat observabilitas tidak menjadi pertimbangan pengrajin dalam penerapan SNI. Nilai koefisien korelasi antara atribut inovasi dengan kinerja pengrajin dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai koefisien korelasi antara atribut inovasi dengan kinerja pengrajin Kinerja Atribut No. Persyaratan Persyaratan Persyaratan Peningkatan inovasi administrasi pengujian penandaan Omzet 1 Tingkat keuntungan 0,182 0,074 -0,010 0,290 relatif 2 Tingkat -0,080 0,106 -0,095 0,200 kompatibilitas 3 Tingkat -0,140 0,058 -0,094 0,022 kompleksitas 4 Tingkat -0,202 0,214 0,044 0,025 observabilitas * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
52
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan di Kota Bekasi secara garis besar tergolong tinggi. Faktor kinerja pengrajin yang tergolong tinggi adalah tingkat pemenuhan persyaratan administrasi, tingkat pemenuhan persyaratan pengujian dan pemenuhan persyaratan penandaan. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan pengrajin untuk menerapkan SNI mainan anak, dan bahwa SNI mainan anak dapat diterapkan. Penerapan SNI mainan anak oleh pengrajin juga sudah mulai menunjukkan adanya peningkatan omzet penjualan, dimana pedagang retail mulai lebih memilih produk yang bertanda SNI. Karakteristik pengrajin, motivasi wirausaha pengrajin dan faktor eksternal pengrajin, masing-masing berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan di Kota Bekasi. Atribut inovasi SNI mainan anak secara keseluruhan tidak berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin dalam penerapan SNI. Karakteristik pengrajin yang berupa pendidikan formal, lama menjalankan usaha dan jumlah investasi usaha berhubungan dengan faktor pemenuhan persyaratan administrasi dalam kinerja pengrajin. Adapun kemampuan memenuhi permintaan pasar berhubungan dengan peningkatan omzet penjualan. Motivasi wirausaha yang berupa kebutuhan kekuasaan berhubungan dengan pemenuhan persyaratan pengujian. Tingkat ketersediaan informasi berhubungan nyata dengan peningkatan omzet penjualan. Adapun pemberdayaan pengrajin boneka melalui pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja pengrajin boneka dalam hal pemenuhan persyaratan adimistrasi dan peningkatan omzet penjualan. Saran Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan di Kota Bekasi perlu didukung dengan adanya pendampingan yang lebih intensif agar tingkat pemenuhan persyaratan administrasi, pengujian dan penandaan tetap konsisten. Kebijakan adanya kewajiban melakukan pengujian produk setiap enam bulan termasuk berat untuk IKM karena tingginya biaya sertifikasi dibandingkan dengan modal, biaya produksi dan omzet penjualan sehingga perlu dikaji ulang. Pendampingan pengrajin dalam proses penerapan SNI perlu ditingkatkan terutama dalam mempersiapkan pengajuan SPPT SNI. Pengawasan produk boneka bertanda SNI yang beredar di pasar harus ditingkatkan untuk mengapresiasi IKM yang telah mematuhi SNI wajib mainan anak dan disosialisasikan mekanisme pengawasannya agar tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
53
DAFTAR PUSTAKA As’ad M. 2012. Seri Psikologi Industri. Yogyakarta (ID): Liberty. Barboza D, Story L. 2007. Mattel Issues New Recall of Toys Made in China [Internet]. [dapat diunduh dari: http://www.nytimes.com/2007/08/14/ business/15toys-web.html?pagewant ed=all] Barney J. 2002. Gaining Sustaining Competitive Advantage. New York (US): Prentice Hall. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Sentra Informasi Keracunan Nasional. Bahaya Timbal pada Produk Mainan Anak-Anak. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/artikel-timbal_koran -terbit.pdf] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Sosial dan Kependudukan. [Internet]. [dapat diunduh dari: https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/9] [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010a. Peraturan Kepala BSN Nomor: 3 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Badan Standardisasi Nasional Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010b. Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional, Nomor: 134/PER/BSN/12/2010 tentang Sistem Standardisasi Nasional. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010c. SNI Penguat Daya Saing Bangsa. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010d. SNI ISO 8124-1:2010. Keamanan mainan – Bagian 1: Aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010e. SNI ISO 8124-2:2010. Keamanan mainan – Bagian 2:Sifat mudah terbakar. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010f. SNI ISO 8124-3:2010. Keamanan mainan – Bagian 3: Migrasi unsur tertentu. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010g. SNI 7617:2010. Tekstil Persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi dan anak.. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI Penguat Daya Saing Bangsa (Satu Tahun Genap SNI 2010-2011). Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia. [Internet]. [dapat diunduh dari: https://www.sisni.bsn.go.id.] [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2014. Sosialisasi Standar Nasional Indonesia Mainan Anak: Penerapan dan Manfaatnya. Jakarta(ID):BSN [BSI] British Standard Institution. 2009.Good For Business: The Small Business Guide To Standards. London(UK): BSI. Cardy RL, Dobbins GH. 1992. Job Analysis in a Dynamic Environment. Human Resources Division News, Fall, 1992. [CIA] Central Inteligence Agency. 2016. World Fact Book: Field Listing Age Structure. [Internet]. [dapat diunduh dari: https://www.cia.gov/library/ publications/the-world-factbook/geos/print/country/countrypdf_id.pdf]
54
Effendi S. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Ekowati S, Rusmana O, Mafudi. 2013. Pengaruh Modal Fisik, Modal Finansial, dan Modal Intelektual terhadap Kinerja Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Online Onsoed: 1-23. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://jos.unsoed.ac.id/index.php/aom/ article/download/324/162] Endraswati H. 2011. Mutu Produk, Nilai dan Kepuasan Pelanggan dalam Pandangan Islam. Jurnal Asy-Syir’ah. Salatiga (ID): STAIN. 45 (1) Felgueira T, Rodrigues RG. 2012. Entrepreneurial Orientation, Market Orientation and Performance of Teachers and Researchers in Public Higher Education Institution. Public Policy and Administration Journal 11 (4):703-718. Firdausa RA. 2012. Pengaruh Modal Awal, Lama Usaha dan Jam Kerja terhadap Pendapatan Pedagang Kios di Pasar Bintoro Demak. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Frianto A, Dewi SK. 2013. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Melalui Motivasi. Jurnal Ilmiah Manajemen. 1 (4):1055-1065. Gibson JL, Ivancevich JM, Donnelly JH. 2011. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta (ID): Bina Rupa Aksara. Haryenny. 2007. Perbaikan Sistem Kerja di Perusahaan Boneka Ivy Bandung Ditinjau dari Segi Ergonomi. [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Kriten Maranatha. Hasibuan MSP. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): PT Haji Masagung. Herjanto E, Rahmi D. 2010. Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara Wajib Standar Mainan Anak-Anak. Jurnal Riset Industri. Jakarta(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. 4 (1): Hlm. 1-16. ISO Focus. 2013. Product Recalls Across The World. Geneva(CH): ISO Focus. 4 (5/6) [ISO] International Standard Organization. 2011. Economic Benefit of ISO Methodology: Overview of case studies in Indonesia PT Wika Beton. Jenewa(GN): ISO. [Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2013a. Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013. Tentang Pemberlakuan Standar Nassional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib. Jakarta (ID): Kemenperin. [Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2013b. Tentang Memahami hal-hal kritikal keselamatan mainan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Ditjen Industri Kecil dan Menengah Direktorat IKM Wilayah II, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia [Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2014. Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur No.02/BIM/PER/1/2014. Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) Secara Wajib. Jakarta (ID): Kemenperin.
55
[Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2015. Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Nomor. 02/BIM/PER/1/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Mainan Secara Wajib. Jakarta (ID): Kemenperin. Khoirrini L, Kartika L. 2014. Pengaruh Modal Insani dan Modal Sosial terhadap Kinerja (Studi Kasus Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Makanan dan Minuman Kota Bogor). Jurnal Manajemen dan Organisasi 5 (3):245-258. Kotler P. 2005. Manajemen Pemasaran. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa Molan, B. Indeks. Jakarta (ID): Kelompok Gramedia. Larasati S, Gilang A. 2014. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan Wilayah Telkom Jabar Barat Utara (Witel Bekasi). Jurnal Manajemen dan Organisasi 5 (3):200-213. Mabruri H. 2014. Standardisasi Dan Pengawasan Peredaran Produk Mainan Anak Oleh Pemerintah. [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Negeri Surakarta. Mardikanto T. 2015. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung (ID): Penerbit Alfabeta. McClelland DC. 1961. The Achieving Society. Princeton, New York (US): Van Nostrand.Hlm. 36-62 Muljono P. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bogor (ID): IPB. Nadarajan RD. 2013. Not a Game: Recall Tragedy Drives International Efforts For Safer Toys. Geneva (CH): ISO Focus. 4 (5/6). Hlm. 14-17. Ningsih B. 2009. Pemberdayaan Kelompok Pengrajin Boneka (Studi Kasus di Kelurahan Bojongmenteng, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 1992. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta. Ochtaviana D. 2012. Pengaruh Karakteristik Kewirausahaan dan Motivasi terhadap Keberhasilan Usaha pada Sentra UKM Boneka Kain di Sukamulya Bandung. [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Komputer Indonesia. Ocktilia H. 2004. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Penguatan Kemitraan Lokal (Kasus pada pengrajin boneka kain di Kelurahan Sukagalih Kecamatan Sukajadi Kota Bandung). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyatno D. 2014. SPSS 22 Pengolahan Data Terpraktis. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovation. Edisi 5. New York (US): The Free Press. Sahin I. 2006. Detailed Review Of Rogers’ Diffusion Of Innovations Theory And Educational Technology-Related Studies Based On Rogers’ Theory. The Turkish Online Journal of Educational Technology. Ankara (TR): TOJET. (5) 2. Samsudin S. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Bandung: CV. Pustaka Setia. Sofatunisa RS. 2014. Pengaruh Kemampuan Manajerial terhadap Keberhasilan Usaha (Survey pada Pengrajin Boneka di Sentra Industri Boneka di Kota Bandung. [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Pendidikan Indonesia.
56
Story L, Barboza D. 2007. Mattel Recalls 19 Million Toys Sent From China. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://www.nytimes.com/2007/08/15/ business/worldbusiness/15imports.html?pagewanted=all]. New York (US): nytimes.com Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Suliyanto. 2012. Analisis Statistik Pendekatan Praktis dengan Microsoft Excel, Yogyakarta (ID): Andi. Sumantri B, Fariyanti A, Winandi R. 2013. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Usaha Wirausaha Wanita: Suatu Studi pada Industri Pangan Rumahan di Bogor. Jurnal Manajemen Teknologi 12 (3):252-277 Suryana. 2006. Kewirausahaan, Pedoman Praktis, Kiat Dan Proses Menuju Sukses. Jakarta(ID): Salemba Empat. Suryowati. 2013. 95 persen mainan anak diimpor dari china. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://tekno.kompas.com/read/2013/11/01/1446019/95. persen. mainan.anak.diimpor.dari.china] Thoha M. 2010. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, 1st Edt. Jakarta: Rajawali Pers. Utami EN. 2014. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Keberhasilan Usaha (Studi Kasus pada Pengusaha Boneka di Sentra Boneka Sukamulya Bandung). [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Pendidikan Indonesia. Vionita VG. 2013. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Tata Usaha SMK Negeri di Kota Payakumbuh. [skripsi]. Padang (ID): Universitas Negeri Padang. Virdhani MH. 2013. Duh, 60% Masyarakat Buta Soal Perlindungan Konsumen. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://economy.okezone.com/read/2013 /11/19/320/899560/duh-60-masyarakat-buta-soal-perlindungan-konsumen] Vivianti N. 2013. Perlindungan Konsumen terhadap Peredaran Mainan Anak Impor Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Waldman DA. 1994.The Contribution of Total Quality Management to a Theory of Work Performance. Academy of Management Review, Vol. 19 No.3. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Gramedia Pusataka Utama. Werdiyati P. 2011. Strategi Pemasaran dan Pengembangan Usaha Perdagangan Boneka CV. Hayashi Toys Rawa Lumbu Bekasi. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [WTO] World Trade Organization. 1979. Perjanjian TBT/WTO, Putaran Tokyo, Articles 2, 5 dan Annex 3, WTO Code of good practice on Technical Barrier to Trade Agreement: ―Development of International Standards, Guides and Recommendations. Tokyo (JP): WTO Yunal VO. 2013. Analisa Pengaruh Motivasi Berwirausaha dan Inovasi Produk terhadap Pertumbuhan Usaha Kerajinan Gerabah di Lombok Barat. Jurnal AGORA: 1 (1):1-11. [Internet]. [dapat diunduh dari: http://studentjournal. petra.ac.id/index.php/manajemen-bisnis/arti cle/view/25 0/191]
57
LAMPIRAN
58
59
Lampiran 1 No
1
2
Hasil uji validitas dan reliabilitas
Variabel
Sub Variabel
Item Pernyataan
Koefisien Korelasi
Keterangan
Faktor motivasi wirausaha pengrajin (X2)
Kebutuhan akan prestasi (X2.1) Kebutuhan kekuasaan (X2.2) Kebutuhan afiliasi (X2.3)
Item ke 9 Item ke 10 Item ke 11 Item ke 12 Item ke 13 Item ke 14 Item ke 15 Item ke 16 Item ke 17 Item ke 18 Item ke 19 Item ke 20 Item ke 21 Item ke 22 Item ke 24 Item ke 25 Item ke 26 Item ke 27 Item ke 28 Item ke 30 Item ke 31 Item ke 32 Item ke 33 Item ke 35 Item ke 38 Item ke 39 Item ke 40 Item ke 41 Item ke 45 Item ke 48 Item ke 49 Item ke 50 Item ke 51 Item ke 52 Item ke 53 Item ke 54 Item ke 55 Item ke 56 Item ke 57 Item ke 58 Item ke 59 Item ke 60 Item ke 61 Item ke 62
0,751 0,751 0,653 0,325 0,857 0,706 0,792 0,923 0,844 0,308 0,313 0,691 0,314 0,582 0,514 0,700 0,650 0,560 0,767 0,789 0,553 0,882 0,741 0,538 0,877 0,877 0,878 0,912 0,564 0,892 0,601 0,696 0,736 0,665 0,409 0,881 0,796 0,538 0,903 0,944 0,922 0,922 0,742 0,942
Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Tidak Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Faktor eksternal pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak (X3)
Informasi mengenai penerapan SNI mainan anak (X3.1) Insentif penerapan SNI mainan anak (X3.2) Pendampingan penerapan SNI mainan anak (X3.3) Pemberdayaan pengrajin boneka (X3.4)
3
Atribut Tingkat inovasi keuntungan SNImainan relatif (X4.1) anak(X4) Tingkat kompatibilitas (X4.2)
Tingkat kompleksitas (X4.3) Tingkat observabilitas (X4.4)
Koefisien Alfa Cronbach 0,768 (Reliabel) 0,721 (Reliabel) 0,848 (Sangat Reliabel) 0,650 (Reliabel)
0,763 (Reliabel)
0,770 (Reliabel)
0,811 (Sangat Reliabel)
0,787 (Reliabel)
0,767 (Reliabel)
0,843 (Sangat Reliabel) 0,853 (Sangat Reliabel)
60
Lampiran 2 Tanda SNI 7 mm
7 mm
Nomor SNI Kode Lembaga Sertifikasi Produk Nomor Registrasi Produk a. Tanda SNI
b. Contoh penggunaan tanda SNI pada produk boneka di Kota Bekasi
61
Lampiran 3 Skesta Wilayah Kota Bekasi
U
Kec. Medan Satria
Kec. Bekasi Utara Kec. Bekasi Barat Kec. Bekasi Timur Kec. Bekasi Selatan Kec. Pondok Gede Kec. Rawa Lumbu
Kec. Jati Asih
Kec. Mustika Jaya
Kec. Pondok Melati
Kec. Bantar Gebang Kec.Jati Sampurna
sumber: Pemerintah Kota Bekasi Sketsa Wilayah Kota Bekasi
62
Lampiran 4 Foto Kegiatan
a. Sosialisasi penerapan SNI mainan anak kepada pengrajin boneka oleh Dinas Perindag Kota Bekasi
b. Pelatihan manajemen organisasi kepada pengrajin boneka oleh Dinas Perindag Kota Bekasi
63
c. Diskusi para pengrajin boneka di Kota Bekasi
d. Proses produksi boneka di Prada Toys Kota Bekasi
64
e. Wawancara bersama pengrajin boneka di Kota Bekasi
f. Wawancara bersama kepala sub bagian IKM Dinas Perindag Bekasi
65
g. Penyuluh magang untuk IKM yang diwawancara
66
RIWAYAT HIDUP Tintin Prihatiningrum merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Sundarto dan Ibu Suyati. Penulis lahir di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Februari 1980. Penulis menamatkan pendidikan di SD Negeri Polisi 5 Bogor (1992), SMP Negeri 1 Bogor (1995), SMU Negeri 5 Bogor (1998). Pendidikan sarjana satu diperolehnya di Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Penulis bergabung dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sejak tahun 2005, selama bekerja di BSN, ia pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Sistem dan Evaluasi Pemasyarakatan Standardisasi dan Kepala Sub Bidang Promosi Standardisasi di Pusat Pendidikan dan Pemasyarakatan Standardisasi. Penulis adalah salah satu penerima beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi untuk pendidikan Master di jurusan Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2013. Pada masa studinya Penulis mewakili IPB dalam program ASEAN Student Exchange, Twin College Envoys Program (TWINCLE) di Faculty of Education, Chiba University dengan beasiswa Japan Student Services Organization (JASSO) pada tahun 2014 (Jepang). Penulis juga pernah mewakili UGM dalam program Student Exchange Program, Nagoya University for Academic Exchange (NUPACE), Nagoya University dengan beasiswa Association of International Exchange Japan (AIEJ) pada tahun 2002 (Jepang), Delegasi untuk Consumers International World Congres pada 2010 (Hong Kong) dan Delegasi untuk International Training Program on Standardization and Quality Assurance di Bureau of Indian Standards pada tahun 2010 (India).