Kimia Koordinasi Teori Ikatan Valensi
•
Beberapa teori telah dirumuskan untuk menjelaskan ikatan dalam senyawaan koordinasi dan untuk merasionalisasi serta meramalkan sifat-sifatnya: teori ikatan valensi, teori medan kristal, dan teori medan ligand.
•
Teori ikatan valensi dikembangkan oleh Linus Pauling dan lainnya pada 1930an, teori medan kristal dan teori medan ligand unggul pada tahun 1950an dan 1960an yang secara perlahan kalah dari teori orbital molekul.
•
Dalam teori ikatan valensi pembentukan senyawa koordinasi adalah reaksi antara asam (logam atau ion logam) dan basa Lewis (ligand) dengan pembentukan ikatan kovalen koordinasi (dativ).
•
Hibridisasi orbital s, p dan d logam dirumuskan untuk menjawab fenomena bentuk dan sifat magnetik senyawa kompleks. Pada senyawaan kompleks Pt(II) dan Ni(II) sudut ikatan ligan–logam–ligan adalah 90° dan bersifat diamagnetik.
•
Pauling mengusulkan terjadinya hibridisasi dsp2 yang mengarah ke sudut-sudut suatu persegi. Orbital hibridisasi ini kemudian membentuk ikatan σ dengan ligand. Elektron dalam ion bebas yang berjumlah 8 menjadi berpasangan dalam 4 orbital (n-1)d.
•
Dengan beberapa ligand tertentu, mis. Cl–, Ni(II) membentuk kompleks berkoordinasi empat yang paramagnetik dan tetrahedral.
•
Teori ikatan valensi memperkirakan orbital d tidak mengalamai perubahan sebagaimana ion bebas dan orbital yang berhibridisasi adalah sp3 atau sd3 atau kombinasi keduanya untuk mendapatkan bentuk yang sesuai dan bersifat paramagnetik. Orbital yang terlibat dalam hal ini adalah nd., karena orbital (n-1)d tidak lagi tersisa.
•
Karena banyaknya kompleks yang mengikuti keadaan ini maka muncul aturan ‘kriteria magnetik tipe ikatan,’ yang memungkinkan peramalan bentuk dari kemagnetan senyawaan kompleks d8. Diamagnetik = persegi, paramagnetik = tetrahedral.
•
Teori VB memperkirakan orbital d tidak mengalamai perubahan sebagaimana ion bebas dan orbital yang berhibridisasi adalah sp3 atau sd3 atau kombinasi keduanya untuk mendapatkan bentuk yang sesuai dan bersifat paramagnetik. Orbital yang terlibat dalam hal ini adalah nd.
•
Untuk senyawaan dengan koordinasi 6, teori ikatan valensi merumuskan hibridisasi orbital pada logam d2sp3.
•
Orbital d yang memenuhi syarat untuk terbentuknya oktahedral dengan ikatan σ antara metal dan ligand adalah dz2 dan dx2–y2. Untuk kompleks paramagnetik, orbital d yang digunakan adalah yang pada level nd.
• •
Fe(III) dalam kompleks memiliki 1 atau 5 elektron tak berpasangan.
•
High-spin. Pada kompleks dengan 5 elektron tak berpasangan elektron ligand tidak cukup kuat untuk membuat elektron elektron-elektron 3d menjadi berpasangan dan menggunakan orbital 4d.
•
Pada Co(II), jika low-spin maka satu elektron dipindahkan ke orbital yang lebih tinggi.
Low-spin. Untuk kompleks dengan 1 elektron tak berpasangan, elektron ligand memaksa elektron pada orbital 3d menjadi berpasangan sehingga ada tempat kosong bagi elektron ligand untuk berhibridisasi dan membentuk ikatan.
Prinsip kenetralan elektron dan ikatan balik (back bonding)
•
Asumsi ligand berikatan koordinasi pada logam menyebabkan logam memiliki muatan formal negatif.
•
Pauling mengatakan kompleks akan stabil bila keelektronegatifan ligand dapat menyebabkan logam memiliki muatan nol, yang disebut dengan prinsip kenetralan elektron.
•
Banyak kompleks yang menyalahi prinsip kenetralan elektron: logam dengan bilangan oksidasi rendah berikatan dengan ligand yang keelektronegatifannya rendah.
•
Kompleks karbonil stabil oleh kemampuan CO menerima ‘donasi balik’ kerapatan elektron dari atom logam.
•
Dalam teori ikatan valensi proses ikatan balik terjadi pada orbital π karbon yang menyebabkan ikatan dengan oksigen melemah.
•
Teori ikatan valensi tidak dapat menjelaskan data eksperimen serapan dan hal ini adalah kekurangan yang sangat fatal.