1
Analisis Pajak Penghasilan Orang Pribadi atas Keuntungan Harga Jual yang Diperoleh Distributor Multi Level Marketing (MLM) PT. XYZ (Studi Kasus Stokis Pondok Kopi)
Mohammad Fahmi Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected] Abstract. This research discusses the advantages derived by the sale price Multi Level Marketing Distributors. This study was conducted to get an idea of how the process is supposed to be taxed, about its issues, and its alternatives taxes. This research uses a qualitative approach for data collection through in depth interview and study literature. These results indicate that the application of income tax on gains income earned selling prices MLM distributors are not going well due to ignorance of the MLM distributors to add its gain to their annual income tax return. Furthermore, the presence of PP 46 in 2013 makes trading business conducted MLM Distributors included in the criteria included in it. In this case MLM Distributor can be categorized as Tax Payer that “Hard to Tax”.
Keywords: Income Tax, Multi Level Marketing, Distributors, Hard to Tax. Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai keuntungan harga jual yang diperoleh distributor Multi Level Marketing. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai bagaimana seharusnya proses perpajakannya, masalah, dan alternatif pemajakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerapan PPh atas keuntungan harga jual yang diperoleh Distributor MLM tidak berjalan baik dikarenakan ketidaktahuannya para distributor MLM bahwa keuntungan atas harga jual yang diperoleh Distributor termasuk dalam penghasilan yang harus ditambahkan di SPT Tahunan dari Distributor tersebut. Lebih lanjut, adanya PP 46 tahun 2013 menjadikan usaha dagang yang dilakukan Distributor MLM termasuk di dalam kriteria yang termasuk di dalamnya. Dalam hal ini Distributor MLM dapat disimpulkan telah memenuhi kriteria-kriteria Hard to Tax. Kata kunci: Pajak Penghasilan, Multi Level Marketing, Distributor, wajib pajak sulit dipajaki.
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
2
PENDAHULUAN Surat Edaran DitJen Pajak Nomor SE-100/PJ/2009, menjelaskan mengenai aspek klasifikasi dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap Distributor MLM yang mengacu pada Keputusan DitJen Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000, yaitu, atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan”, dan atas perkembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “pekerjaan bebas bidang profesi lainnya”, namun demikian bila dikaitkan dengan peraturan perpajakannya, Distributor MLM bisa diperlakukan sebagai pengusaha atas perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan sehingga wajib melakukan pencatatan. Dalam pengenaan perkembangan jaringan usaha dari Distributor MLM diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. Adanya kombinasi antara penjualan eceran dan perekrutan menyebabkan Distributor MLM dianggap berstatus ganda, yaitu sebagai pengusaha dan pekerja. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), Distributor MLM dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. Di dalam pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor: 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghasilan distributor yang berasal dari perdagangan eceran barang-barang hasil
industri pengolahan memasukan Distributor termasuk dalam pengusaha, yang mana dalam hal ini adalah pengusaha kecil. Pengusaha kecil wajib melakukan pencatatan atas peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Format atau bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-4/PJ/2009. Pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang dijadikan dasar perhitungan peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. Distributor MLM termasuk dalam penjualan eceran dan perekrutan menyebabkan Distributor MLM dianggap berstatus ganda, yaitu sebagai pengusaha dan pekerja.
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
3
Distributor MLM pun mempunyai hak dan kewajiban perpajakan yang sama seperti jenis profesi maupun kegiatan usaha lainnya. Oleh karena itu, ketika Distributor MLM memperoleh penghasilan tertentu (melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak), Distributor MLM diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah ber-NPWP, setiap tahun Distributor MLM juga berkewajiban untuk melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya dalam SPT Tahunan Orang Pribadi. Pemotongan pajak atas Distributor MLM dipotong atas bonus yang diterima oleh Distributor MLM dalam sebulan. Pemotongan pajak atas bonus yang diterima langsung dipotong dari perusahaan, yang mana dalam hal ini PT. XYZ terdapat beberapa macam bonus, yang pertama ada bonus mengajak (sponsor) yang dibayar satu hari kerja sejak yang diajak bergabung, yang kedua ada bonus perkembangan jaringan (leadership) yang dibayar satu hari kerja, yang ketiga ada bonus unilevel yang dibayar bulanan, atas ketiga penghasilan tersebut Distributor MLM dipotong PPh 21 oleh perusahaan secara langsung. Biasanya atas penghasilan yang diberikan perusahaan kepada Distributor dinamakan rabat. Rabat sendiri dapat berbentuk komisi, diskon, bonus, dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya rabat adalah komisi penjualan yang diberikan oleh perusahaan MLM kepada Distributor, itu semua yang dipotong PPh 21 oleh perusahaan. Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap Distributor MLM atas penghasilan yang diterima di MLM yang dijalankan oleh Distributor dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pajak yang diterapkan atas penegmbangan jaringan/bonus (dengan berbagai macam nama dan bentuknya) dan atas keuntungan (selisih) dari harga yang dianjurkan dengan harga Distributor atau bisa disebut
dengan keuntungan atas harga jual. Harga Jual adalah jumlah moneter yang dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau pelanggan atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan. Penghasilan atas pengembangan jaringan yang diterima Distributor setiap bulan, akan dipotong PPh 21 oleh perusahaan MLM tempat yang bersangkutan bergabung. Besarnya PPh Pasal 21 atas rabat didasarkan pada besarnya rabat yang diterima pada bulan tertentu. Selain itu, status perkawinan dan jumlah tanggungan Distributor juga mempengaruhi besarnya PPh pasal 21. Mengingat perusahaan MLM adalah pihak yang paling mengetahui jaringan anggotanya, maka perusahaan MLM ditunjuk sebagai pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap rabat. Ketidaktahuan para Distributor disebabkan karena tidak adanya sosisalisasi yang dilakukan oleh perusahaan tentang perpajakan terhadap para Distributor MLM. Distributor MLM hanya mengetahui bahwa urusan pajak mereka telah selesai ketika telah membayar pajak atas komisi yang didapat yang terdiri dari berbagai macam bonus. PPh yang tidak dilaporkan oleh para Distributor MLM adalah PPh atas penghasilan yang timbul atas keuntungan harga jual yang dianjurkan perusahaan dengan harga yang dijual ke pasaran oleh Distributor. Keuntungan harga jual yang dimaksud adalah ketika Distributor MLM melakukan penjualan barang, tentu ketika barang tersebut diambil dari perusahaan tempat Distributor MLM tersebut bergabung karena Distributor tersebut sebagai member maka mendapatkan harga member yang tentunya lebih murah. Distributor MLM pun melakukan transaksi penjual dengan pelanggan yang memesan dari produk MLM tersebut, tentunya ketika dijual barang tersebut pun sudah dinaikan harganya oleh Distributor MLM tersebut. Contohnya, Distributor mengambil barang A dari PT. XYZ
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
4
dengan harga Rp 150.000 lalu menjual kepada pelanggannya dengan harga Rp 250.000, Distributor mendapatkan keuntungan harga jual sebesar Rp 100.000. Keuntungan tersebut yang dimaksud dengan keuntungan harga jual. Mayoritas Distributor MLM beranggapan bahwa urusan pajak Distributor MLM telah selesai, ketika Distributor MLM dipotong PPh Pasal 21 oleh perusahaan MLM dan Distributor MLM menganggap keuntungan dari harga jual tidak termasuk dalam keuntungan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan. Padahal sesuai dengan peraturan perpajakan. Keuntungan (selisih) antara harga yang dianjurkan dengan harga Distributor pun merupakan obyek PPh. Oleh karena itu, Distributor wajib melaporkan seluruh penghasilannya, yang terdiri dari rabat yang diterima ditambah keuntungan dari keuntungan atas harga jual yang dianjurkan dengan harga Distributor, dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Akibat dari tidak adanya pencatatan yang dilakukan Distributor MLM atas penghasilan yang timbul atas keuntungan harga jual yang diwajibkan untuk distributor atas penghasilan Distributor yang berasal dari perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan, yang mana dalam hal ini penjualan produk yang dilakukan oleh Distributor kepada para pelanggannya, Distributor termasuk dalam pengusaha, yang mana dalam hal ini adalah pengusaha kecil sehingga diwajibkan melakukan pencatatan atas penjualan yang dilakukan oleh Distributor MLM sesuai dengan PER-4/PJ/2009 yang mengatut mengenai ketentuan pencatatan. Tidak dilaporkannya PPh atas penghasilan yang timbul atas keuntungan harga jual oleh Distributor MLM maka akan muncul potensial tax loss yang dapat mengurangi penerimaan Negara. Munculnya potensial tax loss ini sebagai akibat dari tidak dibayarkannya kewajiban
perpajakan yang harus dibayar oleh Distributor MLM. Potential tax loss adalah selisih antara potensi pajak dengan realisasi penerimaan pajak (Mohammad Zain, 2003), dalam hal ini dapat disebabkan dari tidak dilaporkannya PPh atas penghsilan yang timbul atas keuntungan harga jual oleh Distributor MLM. Potensial tax loss yang muncul dapat diestimasikan dengan menghitung penjualan produk A dan produk B di stokis Pondok Kopi, dengan mengetahui penjualan atas produk A dan produk B maka dapat diestimasikan keuntungan dari selisih harga jual yang dipasarkan Distributor MLM kepada para pelanggannya, dengan mengetahui keuntungan harga jual yang didapat maka dapat diestimasikan penghasilan yang seharusnya dilaporkan DistributorDistributor MLM PT. XYZ di Pondok Kopi. Munculnya PP 46 tahun 2013 dengan tarif 1 persen dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final menjadi hal yang menarik dibahas apabila dikaitkan dengan adanya status ganda Distributor MLM yang merupakan kombinasi antara penjualan eceran dan perekrutan yang menyebabkan Distributor MLM dapat diartikan sebagai pengusaha dan pekerja. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), Distributor MLM dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. PP 46 tahun 2013 menjadikan target dari pemajakan dalam ketentuan ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp 4,8 miliar dalam PP tersebut yang mana masih mengacu dalam lingkup pengerian UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
5
dengan peredaran maksimum Rp 50 miliar dalam setahun. Adanya PP 46 tahun 2013 menjadikan keuntungan harga jual yang diperoleh Distributor MLM dapat dikenakan PP 46 tahun 2013, ini terkait dengan status pengusaha yang dikenakan terhadap Distributor MLM atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan”, ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas dengan adanya PP 46 tahun 2013 ini bila dihubungan dengan aktifitas penjualan yang dilakukan oleh Distributor MLM. Perkembangan bisnis MLM yang terus meningkat menunjukan bahwa Distributor MLM di Indonesia semakin banyak. Penerapan Pajak Penghasilan atas Distributor MLM terhadap keuntungan harga jual yang diperoleh menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji secara dalam. Dengan melihat proses dari Distributor ketika mengambil barang dari perusahaan PT. XYZ, mencari bagaimana proses ketika Distributor MLM menaikan harganya ke para pelanggan, mencoba melihat kendala-kendala yang muncul dalam proses penerapan Pajak Penghasilan (PPh) atas keuntungan harga jual, serta melihat penggunaan PP 46 tahun 2013 atas keuntungan harga jual yang diperoleh dengan tarif 1% atas jumlah peredaran bruto setiap bulan. halhal tersebut akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, wawancara mendalam, dan studi literatur. Teknik analisis data dilakukan dengan menelaah data dari hasil wawancara dengan informan penelitian, catatan lapangan, dan dokumentasi terkait. Dalam penelitian ini juga dilakukan triangulasi yaitu proses check dan recheck antara satu sumber
dengan sumber lainnya (Irawan, 2006, 76).[7] Setiap data yang ditelaah tersebut harus diketahui maksud dan maknanya. Penelitian ini dilakukan di Stokis Pondok Kopi. Informan dalam penelitian ini adalah Distributor PT. XYZ, Staf Direktorat PP II, DitJen Pajak, Kementrian Keuangan, Kasi Potensi Jasa DitJen Pajak, kementrian Keuangan, staf Stokis Pondok Kopi PT. XYZ, dan akademisi bidang perpajakan FISIP UI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam SE–100/PJ/2009, Distributor perusahaan MLM atau direct selling diklasifikasikan jenis usaha sebagai berikut : 1. Atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "Perdagangan eceran barangbarang hasil industri pengolahan"; 2. Atas pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya". Surat Edaran DitJen Pajak Nomor SE-100/PJ/2009 juga menjelaskan mengenai pembagian klasifikasi dari pengenaan terhadap Distributor yang mengacu pada Keputusan DitJen Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000, yaitu atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan”, dan atas perkembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “pekerjaan bebas bidang profesi lainnya”, namun demikian bila dikaitkan dengan peraturan perpajakannya, Distributor MLM bisa diperlakukan sebagai pengusaha atas perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan sehingga wajib melakukan pencatatan. Dalam pengenaan perkembangan jaringan usaha dari Distributor MLM diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
6
hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. Adanya kombinasi antara penjualan eceran dan perekrutan menyebabkan Distributor MLM dianggap berstatus ganda, yaitu sebagai pengusaha dan pekerja. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), Distributor MLM dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor: 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghasilan distributor yang berasal dari perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan memasukan Distributor termasuk dalam pengusaha, yang mana dalam hal ini adalah pengusaha kecil. Pengusaha kecil wajib melakukan pencatatan atas peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Format atau bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-4/PJ/2009. Pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang dijadikan dasar perhitungan peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. Distributor MLM termasuk dalam penjualan eceran dan perekrutan menyebabkan Distributor MLM dianggap berstatus ganda, yaitu sebagai pengusaha dan pekerja. Penjelasan definitif mengenai pekerja yang relevan dengan bahasan ini, tidak akan dijumpai dalam ketentuan perpajakan, yang ada hanyalah pengertian pegawai seperti yang disebutkan dalam Keputusan Ditjen Pajak No. KEP545/PJ/2000. Sementara istilah pekerja boleh dibilang cakupannya lebih luas, lanjutnya yakni tidak hanya terbatas pada pengertian pegawai. Bagi Distributor yang sekaligus pegawai mungkin tidak terlalu salah terkait pendapatannya, mengingat sudah terlibat hubungan kerja dengan perusahaan, Sementara Distributor yang fungsinya murni semata-mata sebagai agen yang melakukan penjualan atas nama perusahaan MLM dan tidak memperoleh penghasilan berkala seperti gaji atau upah. Komisi dapat diartikan sebagai imbalan berkaitan dengan omzet penjualan baik pribadi maupun kelompok, sedangkan bonus sifatnya lebih cenderung seperti hadiah yang diberikan saat seorang Distributor mencapai target-target tertentu, sementara keuntungan langsung adalah uang yang diperoleh Distributor dari selisih harga Distributor dengan
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
7
harga konsumen. Komisi diberikan berkaitan dengan prestasi seorang Distributor. Prestasi di sini hubungannya adalah dengan omzet penjualan yang dicapainya. Mengenai jenis komisi ini masing-masing perusahaan MLM tidak sama. Ada perusahaan MLM yang memberi komisi kepada Distributor dalam bentuk diskon dan ada yang berbentuk royalti. Diskon adalah komisi yang dihitung dari pembelian produk. Caranya perusahaan MLM memberikan rabat (potongan harga) kepada Distributornya. Asumsinya diskon merangsang anggota membeli dan kemudian menjualnya atau dipakai sendiri. Sedangkan royalti, yaitu komisi yang diperoleh Distributor karena telah berjasa mengenalkan bisnis perusahaan. Meski keduanya dikaitkan dengan prestasi yang dicapai seorang Distributor, nyatanya baik komisi maupun bonus berbeda (atau dibedakan). Batasan mengenai penghasilan Distributor berupa komisi dan bonus boleh jadi tidak sama untuk tiap perusahaan. Masing-masing memiliki kebijakan sendiri dalam memberikan imbalan kepada Distributornya. Namun demikian bila dikaitkan dengan peraturan perpajakannya, Distributor MLM lazimnya bisa disebut pengusaha sehingga wajib melakukan pencatatan. Sesuai peraturan perpajakan, Distributor MLM diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja dan atas usaha dagang yang dilakukan dianggap sebagai pengusaha atas penjualan yang dilakukan oleh Distributor. Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) untuk kegiatan Multi Level Marketing dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pajak yang diterapkan atas rabat (dengan berbagai macam nama dan bentuknya)/yang merupakan penghasilan dari pengembangan jaringan dan atas keuntungan (selisih) dari harga yang
dianjurkan dengan harga Distributor atau bisa disebut dengan keuntungan atas harga jual. Harga Jual adalah jumlah moneter yang dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau pelanggan atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan. Penghasilan atas rabat yang diterimanya setiap bulan, Distributor akan dipotong PPh oleh perusahaan MLM tempat yang bersangkutan bergabung. PPh ini biasa disebut sebagai PPh Pasal 21. Besarnya PPh Pasal 21 atas rabat didasarkan pada besarnya rabat yang diterima pada bulan tertentu. Selain itu, status perkawinan dan jumlah tanggungan Distributor juga mempengaruhi besarnya PPh pasal 21. Mengingat perusahaan MLM adalah pihak yang paling mengetahui jaringan anggotanya, maka perusahaan MLM ditunjuk sebagai pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap rabat. Distributor MLM pun mempunyai hakdan kewajiban perpajakan yang sama seperti jenis profesi maupun kegiatan usaha lainnya. Sehingga, ketika Distributor MLM memperoleh penghasilan tertentu (melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak), Distributor MLM diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah ber-NPWP, setiap tahun Distributor MLM juga berkewajiban untuk melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya dalam SPT PPh-OP. Pajak Penghasilan yang tidak dibayarkan oleh para Distributor MLM adalah PPh atas penghasilan yang timbul dari selisih antara harga jual yang dianjurkan dengan harga Distributor. Mayoritas Distributor MLM beranggapan bahwa urusan pajak telah selesai, ketika para Distributor MLM dipotong PPh Pasal 21 oleh perusahaan MLM. Padahal sesuai dengan peraturan perpajakan, selisih antara harga yang dianjurkan dengan harga Distributor pun merupakan obyek PPh. Oleh karena itu,
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
8
Distributor wajib melaporkan seluruh penghasilannya, yang terdiri dari rabat (bonus) yang diterima ditambah keuntungan dari selisih harga jual yang dianjurkan dengan harga Distributor, dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. PT. XYZ terdapat beberapa macam bonus yang diberikan PT. XYZ kepada para membernya, yang pertama ada bonus mengajak (sponsor) yang dibayar satu hari kerja sejak yang diajak bergabung ke PT. XYZ, yang kedua ada bonus perkembangan jaringan (leadership) yang dibayar satu hari kerja, yang ketiga ada bonus unilevel yang dibayar bulanan, yang keempat ada bonus mingguan yang dinamakan retail atas penjualan yang dilakukan Distributor kepada pelanggan dan group retail atas penjualan secara group, serta ada bonus yang dibayar tahunan. Dari penjelasan Distributor MLM bahwa atas bonus harian yang diterima yang terdiri dari bonus Sponsorship dan Leadership serta bonus bulanan, oleh PT. XYZ Distributor MLM dipotong PPh 21 oleh perusahaan secara langsung. Keuntungan harga jual yang diperoleh Distributor MLM atas harga yang dianjurkan oleh PT. XYZ, seharusnya dilaporkan juga dalam SPT Tahunan PPh-OP Distributor MLM PT. XYZ, Distributor diwajibkan melaporkan seluruh penghasilannya, yang terdiri dari bukti potong atas pemotongan PPh 21 oleh perusahaan PT. XYZ atas bonus yang diperoleh Distributor MLM ditambah keuntungan atas selisih harga jual yang dianjurkan dengan harga Distributor dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Keuntungan harga jual yang dimaksud adalah ketika Distributor MLM melakukan penjualan barang, tentu ketika barang tersebut diambil dari perusahaan tempat Distributor MLM tersebut bergabung karena Distributor tersebut sebagai member maka mendapatkan harga member yang tentunya lebih murah.
Distributor MLM pun melakukan transaksi penjual dengan pelanggan yang memesan dari produk MLM tersebut, tentunya ketika dijual barang tersebut pun sudah dinaikan harganya oleh Distributor MLM tersebut. Contohnya, Distributor mengambil barang A dari perusahaan dengan harga Rp 150.000 lalu menjual kepada pelanggannya dengan harga Rp 250.000, Distributor mendapatkan keuntungan harga jual sebesar Rp 100.000. dapat diketahui bahwa proses barang dijual dari perusahaan melalui stokis-stokis yang berperan sebagai cabang dari perusahaan dengan harga yang telah ditetapkan untuk setiap botolnya, dan perusahaan memberikan anjuran harga atas setiap produk yang ada dari perusahaan MLM tersebut, para Distributor MLM menjual dengan harga yang telah dianjurkan tersebut atau di atas harga yang telah dianjurkan. Selisih harga dari pembelian produk tersebut setelah dinaikan oleh Distributor dinikmati sebagai kentungan oleh Distributor. Keuntungan tersebut yang dimaksud dengan keuntungan harga jual, keuntungan yang muncul tersebut dikarenakan ketika Distributor membeli barang dari perusahaan, Distributor tersebut mendapatkan harga yang lebih murah sebagai member dan ketika dijual Distributor diwajibkan perusahaan menjual dengan harga yang telah ditentukan oleh perusahaan biasa disebut dengan harga yang dianjurkan, Distributor dilarang untuk menjual dibawah dari harga yang telah dianjurkan oleh perusahaan. Distributor untuk mendapat keuntungan dari penjualan produknya ke pelanggan memang menaikan harga yang didapat dari perusahaan dengan menaikan harga dari perusahaan tersebut, Distributor MLM mendapatkan keuntungan dari produk yang di jualnya kepada pelanggan-pelanggan dari Distributor tersebut. Dari keuntungan yang diperoleh Distributor MLM atas produk yang
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
9
dijualnya, keuntungan yang muncul tersebut dikarenakan ketika Distributor membeli barang dari perusahaan, Distributor tersebut mendapatkan harga yang lebih murah sebagai member dan ketika dijual Distributor diwajibkan perusahaan menjual dengan harga yang telah ditentukan oleh perusahaan biasa disebut dengan harga yang dianjurkan, sesuai dari penjelasan dari bapak Nurmansyah dan Egie Satriaji, selaku Distributor MLM, kebanyakan dari beberapa perusahaan Distributor MLM mempunyai aturan untuk melarang para Distributor untuk menjual dibawah dari harga yang telah diajurkan oleh perusahaan. Kurangnya sosialisasi dari perusahaan menyebabkan Distributor tidak mengetahui apa saja aspek pajak yang harus dibayarkan oleh Distributor, ketidaktahuan dari para Distributor MLM kalau keuntungan atas harga jual yang diperoleh Distributor MLM termasuk dalam aspek perpajakan lebih tepatnya Pajak penghasilan yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak penghasilan Wajib Pajak orang pribadi sehingga mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang bisa diterima oleh DitJen Pajak, sangat disayangkan akibat kurangnya sosialisasi dari perusahaan hilang juga sumber penerimaan dari para Distributor MLM. Kendala-kendala yang muncul dalam dilaporkan atau tidak dilaporkannya keuntungan atas harga jual oleh Distributor MLM, lebih karena ketidaktahuan Distributor MLM bahwa keuntungan atas harga jual tersebut termasuk dalam penambahan penghasilan yang harus dilaporkan Distributor MLM di SPT tahunan Pajak penghasilan dari Distributor MLM. Dalam penerapannya muncul kendala-kendala yang ditemui di lapangan seperti dari transaksi yang bersifat tunai dari para Distributor MLM apabila menjual barangnya ke para pelanggannya, transaksi yang terjadi dengan pembeli
yang berhubungan dengan pembeli dengan jual-beli online sehingga sulit untuk memberikan kwitansi. Akibat dari tidak dilaporkannya PPh atas penghasilan yang timbul atas keuntungan harga jual oleh Distributor MLM maka akan muncul potential tax loss yang dapat mengurangi penerimaan Negara. Dari hasil dari wawancara pendahuluan dengan para Distributor MLM bahwa ditemukan kebanyakan dari para Distributor tidak melaporkan penghasilan dari keuntungan harga jual yang diperoleh ke SPT PPh 21 para Distributor MLM, dengan pertumbuhan perusahaan-perusahaan MLM yang semakin bertambah banyak, tentunya potential tax loss yang muncul tentu tidak sedikit. Dalam menghitung potential tax loss yang muncul, dicoba untuk membuat estimasi dari sampel penjualan di stokis pondok kopi, dari hasil yang didapat bahwa atas produk A harga yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar Rp 86.400 dan dijual oleh Distributor MLM kepada para pelanggannya sebesar Rp 100.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Distributor MLM atas produk B sebesar 13.600 per botol. Bila produk B yang dijual, harga yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar Rp 151.000 dan di jual oleh Distributor MLM sebesar Rp 250.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Distributor MLM atas produk B sebesar Rp 99.000. Distributor MLM mendapatkan keuntungan sebesar Rp 13.600 apabila menjual produk A per botol dan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 99.000 apabila menjual produk B, agar dapat mengetahui berapa besar potential tax loss yang muncul dari stokis pondok kopi maka diperlukan data penjualan yang dilakukan stokis pondok kopi dalam melakukan penjualan produk A dan produk B. Dari penjelasan staf stokis ditemukan dalam sebulan stokis pondok kopi dapat menjual sekitar 500 botol per
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
10
bulan untuk produk A dan untuk produk B bisa menjual sekitar 400 botol perbulan. Untuk dapat mengetahui potential tax loss yang muncul maka jumlah botol yang berhasil terjual oleh stokis pondok kopi dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh apabila di jual ke pelanggan. Penghasilan yang diperoleh dalam sebulan
= Rp 13.600*500 botol
(produk A) + Rp 99.000*400 botol (produk B) = Rp 46.400.000 Dalam sebulan penghasilan yang diperoleh Distributor-Distributor MLM PT. XYZ di Pondok Kopi dalam sebulan mencapai Rp 46.400.000 yang terdiri dari penjualan produk A dan produk B sebesar 500 botol dan 400 botol. Penghasilan yang diperoleh Distributor apabila disetahunkan: Penghasilan yang diperoleh dalam setahun
= Rp 46.400.000*12
(bulan) Penghasilan yang diperoleh dalam setahun
= Rp 556.800.000
Dari data-data yang didapatkan, estimasi penghasilan yang diperoleh oleh Distributor-Distributor yang berada di Pondok Kopi atas keuntungan harga jual selama setahun bisa dianggap sebesar Rp 556.800.000, atas penghasilan tersebut seharusnya para Distributor-Distributor tersebut melapor di SPT Tahunan sebagai tambahan penghasilan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Adanya PP 46 tahun 2013 dengan tarif 1 persen dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final menjadi hal yang dikaitkan dengan adanya status ganda Distributor MLM yang merupakan kombinasi antara penjualan eceran dan perekrutan yang menyebabkan Distributor MLM dapat diartikan sebagai pengusaha
dan pekerja. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), Distributor MLM dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. PP 46 tahun 2013 menjadikan target dari pemajakan dalam ketentuan ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp 4,8 miliar dalam PP tersebut yang mana masih mengacu dalam lingkup pengertian UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha dengan peredaran maksimum Rp 50 miliar dalam setahun. Adanya PP 46 tahun 2013 menjadikan keuntungan harga jual yang diperoleh Distributor MLM dapat dikenakan PP 46 tahun 2013, ini terkait dengan status pengusaha yang dikenakan terhadap Distributor MLM atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha “perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan”, ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas dengan adanya PP 46 tahun 2013 ini bila dihubungan dengan aktifitas penjualan yang dilakukan oleh Distributor MLM. PMK 107 tahun 2013 yang mengatur lebih teknis PP 46 tahun 2013 dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 adalah Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteriakriteria sebagai berikut, Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap dan menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
11
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Dalam menghitung menggunakan PP 46 tahun 2013, dicoba untuk membuat estimasi dari sampel penjualan di stokis pondok kopi, dari hasil yang didapat bahwa atas produk A harga yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar Rp 86.400 dan dijual oleh Distributor MLM kepada para pelanggannya sebesar Rp 100.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Distributor MLM atas produk B sebesar 13.600 per botol. Bila produk B yang dijual, harga yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar Rp 151.000 dan dijual oleh Distributor MLM sebesar Rp 250.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Distributor MLM atas produk B sebesar Rp 99.000. PP 46 tahun 2013 menggunakan peredaran bruto dari Distributor MLM dari penjualan produk A dan B selama satu bulan. Dari penjelasan di atas ditemukan dalam sebulan stokis pondok kopi dapat menjual sekitar 500 botol per bulan untuk produk A dan untuk produk B bisa menjual sekitar 400 botol perbulan. Untuk dapat menghitung dengan menggunakan PP 46 tahun 2013 maka atas perlu dicari dahulu peredaran bruto yang beredar dalam sebulan yang diestimasikan dari stokis Pondok Kopi. Peredaran bruto produk A dan B dalam satu bulan = Rp 100.000*500 botol (produk A) + Rp 250.000*400 botol (produk B) = Rp 150.000.000 Dalam sebulan peredaran bruto yang diperoleh Distributor-Distributor MLM PT. XYZ di Pondok Kopi mencapai Rp 150.000.000 yang terdiri dari penjualan produk A dan produk B sebesar 500 botol dan 400 botol. Perhitungan menggunakan PP 46 tahun 2013 dengan tarif 1 % dikalikan dengan peredaran bruto yang berjumlah Rp 150.000.000.
Perhitungan
menggunakan
PP
46
tahun 2013 = Rp 150.000.000*1% = Rp 1.500.000 Dalam melakukan penyetoran dan pelaporan dijelaskan bahwa yang melakukan pembayaran diwajibkan untuk melakukan penyetoran, namun mengenai ketentuan pelaporan baru berlaku sejak Januari 2014, sehingga bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki peredaran usaha untuk masa-masa Juli s.d Desember 2013 sepertinya tidak perlu melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan lagi. Untuk lebih jelasnya diuraikan sesuai ketentuan dalam Pasal 10 PMK 107 tahun 2013, dijelaskan bahwa Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang yang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau yang dipersamakan yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Final tersebut wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak Terakhir. Bagi Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh dianggap telah menyampaikan SPT Masa sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada SSP. Ketentuan pelaporan ini (SPT Masa PPh) sesuai dengan pasal 16 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014. Para Distributor yang tidak tahu mengenai aspek perpajakan dari keuntungan harga jual yang diperoleh dari penjualannya barangnya berkata bahwa para Distributor akan membayar pajak atas keuntungan
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
12
harga jual apabila para Distributor mengetahui adanya aspek perpajakan dalam transaksi penjualan tersebut. ketidakpatuhan Distributor MLM dalam melakukan kewajiban perpajakannya atas keuntungan harga jual dikarenakan ketidaktahuannya atas aspek pajak tersebut, dari penjelasan di atas juga ratarata Distributor MLM baru mengetahui aspek pajak tersebut, tetapi akan melaporkannya apabila ada peraturan yang mengatur tentang itu. Tidak ada definisi pasti untuk Hard to Tax (HTT). Namun, secara sederhana HTT dapat diartikan sebagai kelompok Wajib Pajak yang lebih sulit untuk dikenakan pajak dibanding Wajib Pajak lainnya. Di sisi lain Terkper (2003) mengartikan HTT sebagai pihak-pihak yang tidak dapat mendaftar secara sukarela, Wajib Pajak tersebut, biasanya tidak dapat memberikan rekaman hasil penghasilan dan biaya usaha yang ada secara benar, tidak menyampaikan surat pemberitahuan pajak, tidak menyampaikan pembukuan yang baik, dan cenderung menghindari pajak. Terpisah dari definisi atau model yang benar, ada konsensus yang dapat dipertimbangkan mengenai HTT, kriteriakriteria Wajib Pajak yang sulit untuk dipajaki antara lain: 1. Jumlah Wajib Pajaknya sangat besar sehingga sangat tidak mungkin bagi otoritas pajak untuk melakukan pengawasan terhadap semua Wajib Pajak tersebut. 2. Penghasilan Wajib Pajak tersebut rendah, cenderung di bawah garis kemiskinan. 3. Kondisi bisnis yang dijalani, mengharuskan Wajib Pajak membuat pencatatan tetapi tidak dilakukan. 4. Pada umumnya Wajib Pajak menjual ke pembeli akhir, sehingga mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif. Pada pembahasan berikutnya akan diuraikan lebih dalam terkait apakah Distributor MLM termasuk dalam
kriteria-kriteria di atas yaitu, jumlah Wajib Pajaknya sangat besar sehingga sangat tidak mungkin bagi otoritas pajak untuk melakukan pengawasan terhadap semua Wajib Pajak tersebut, penghasilan Wajib Pajak tersebut rendah, cenderung di bawah garis kemiskinan, kondisi bisnis yang dijalani, mengharuskan Wajib Pajak membuat pencatatan tetapi tidak dilakukan, dan pada umumnya penjualannya ke pembeli akhir, sehingga mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif. Dalam hal ini Distributor MLM termasuk dalam Wajib Pajak yang jumlahnya sangat besar dari seratusan perusahaan MLM yang terdapat di Indonesia, jumlah pasti berapa banyak Distributor MLM di Indonesia sampai saat ini masih belum jelas. Hal ini disebabkan tidak adanya data yang menjelaskan berapa jumlah Distributor MLM di Indonesia, data mengenai para Distributor MLM yang mengetahui hanya perusahaan tempat Distributor MLM tersebut terdaftar. Hal ini yang menyebabkan otoritas perpajakan kesulitan untuk mendeteksi jumlah Distributor MLM. Salah satu cara yang paling tepat untuk mengetahui berapa jumlah Distributor di Indonesia adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap semua perusahaan-perusahaan MLM yang ada di Indonesia. Satu-satunya yang mengetahui berapa jumlah distributor MLM yang ada hanya perusahaan tempat Distributor MLM tersebut terdaftar. Jadi solusi yang paling tepat adalah DitJen Pajak memeriksa semua perusahaan MLM untuk dapat melakukan pendeteksian berapa jumlah Distributor MLM yang ada di setiap perusahaan-perusahaan MLM di Indonesia. Distributor MLM bukan termasuk dalam kategori dalam Wajib Pajak berpenghasilan rendah yang cenderung di bawah garis kemiskinan, ini dikarenakan jarang ditemukan ada Distributor yang
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
13
mempunyai penghasilan rendah, apabila ada Distributor mempunyai penghasilan yang rendah dan cenderung dibawah garis kemiskinan biasanya akan berhenti menjadi Distributor MLM. Adanya Distributor yang berpenghasilan rendah dikarenakan Distributor baru bergabung sehingga belum mempunyai penghasilan yang tetap seperti para DistributorDistributor yang telah lama menjalankan. Distributor MLM termasuk juga kondisi bisnis yang tidak mengharuskan membuat pembukuan, dalam Surat Edaran DitJen Pajak Nomor SE-100/PJ/2009 menjelaskan mengenai pembagian klasifikasi dari pengenaan terhadap Distributor yang mengacu pada Keputusan DitJen Pajak Nomor KEP536/PJ/2000, namun demikian bila dikaitkan dengan peraturan perpajakannya, Distributor MLM lazimnya diperlakukan sebagai pengusaha sehingga tidak wajib melakukan pembukuan, yang perlu dilakukan hanya pencatatan. Sesuai peraturan perpajakan, Distributor MLM diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. Adanya kombinasi antara penjualan eceran dan perekrutan menyebabkan Distributor MLM dianggap berstatus ganda, yaitu sebagai pengusaha dan pekerja. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), Distributor MLM dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, dalam pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor: 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghasilan distributor yang berasal dari perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan memasukan Distributor termasuk dalam pengusaha, yang mana dalam hal ini adalah pengusaha kecil. Pengusaha kecil wajib melakukan pencatatan atas peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Format atau bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan DirJen pajak, yang sekarang berlaku adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-4/PJ/2009. Pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Distributor MLM diharuskan melakukan pencatatan, tidak adanya pencatatan yang dilakukan Distibutor MLM menyulitkan pihak DitJen Pajak untuk mendeteksi berapa penghasilan yang diterima oleh distributor, salah satu cara yang paling tepat adalah mensosialisasikan kepada para Distributor untuk melakukan pencatatan atas semua tranksaksi penjualan yang dilakukannya sehingga semua aktifitas dari Distributor MLM dapat terekam dengan baik. Pada umumnya penjualan yang dilakukan oleh Distributor MLM kepada para pelanggannya, dapat dikatakan sebagai pembeli akhir. Akibat penjualan yang dilakukan Distributor MLM pada konsumen akhir, mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif. Pemahaman yang kurang dari Distributor untuk menghitung menjadikan mekanisme “withholding tax” tidak dapat berjalan dengan baik. Pada umumnya kriteria-kriteria yang ada di atas merupakan cerminan dari para Distributor MLM yang ada di
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
14
Indonesia. Dengan tidak melakukan pembukuan, jumlah yang tidak terdeteksi, dan penjualan yang dilakukan Distributor MLM pada konsumen akhir sehingga menyulitkan Distributor MLM untuk melaksanakan mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya. Distributor MLM termasuk dalam salah satu Wajib Pajak yang sulit dipajaki (Hard to Tax) dan dari wawancara yang dilakukan, Distributor MLM pun termasuk salah satu penghindar pajak. Salah satu yang menyebabkan Distributor MLM termasuk dalam salah satu penghindar pajak dikarenakan kesadaran yang tidak ada pada Distributor MLM, yang mana menurut Bapak Tunas itu disebabkan karena adanya kesulitan dari DitJen Pajak untuk mendetectnya dari awal untuk mengetahui individu dapat penghasilan dari mana sehingga sulit untuk mengenakan pajak, menurut Bapak Tunas itu disebabkan karena sistem administrasi pengawasan penerimaan pajak itu masih belum sempurna untuk bisa menjangkau Distributor MLM yang mendapatkan penghasilan. Kurangnya kesadaran dari Distributor memang alasan klasik yang menyebabkan seseorang menjadi penghindar pajak akan tetapi yang menyebabkan Distributor MLM menjadi sulit dipajaki karena jumlah yang banyak dengan perkiraan jumlah Distributor MLM mencapai 10 juta orang di Indonesia tentu sangat sulit bagi DitJen Pajak untuk mencari para penghindarpenghindar pajak dari Distributor, yang mana disamping itu sistem pengawasan yang masih belum baik di DitJen Pajak menyebabkan hal ini dapat terjadi. Kondisi bisnis penjualan produk MLM yang Distributor MLM jalani memang tidak mungkin perusahaan yang mengenakan pajak dikarenakan Distributor MLM yang melakukan penjual ke pelanggannya yang mana dalam hal ini sebagai pembeli akhir, sehingga mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya menjadi
tidak efektif. Itulah hal-hal yang menyebabkan Distributor MLM temasuk salah satu Wajib Pajak yang sulit dipajaki dan termasuk juga penghindar pajak. Munculnya PP 46 tahun 2013 menjadi solusi dalam melakukan pengenaan pajak dalam penjualan-penjualan terhadap konsumen akhir, dengan pertimbangan pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1 persen dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final terhadap UMKM sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum PP 46 Tahun 2013 adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun DitJen Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Tidak terdapat aspek keadilan yang menjadi faktor pertimbangan terbitnya PP ini. Pengenaan PPh yang bersifat final bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1 persen yang dihitung dari peredaran bruto setiap bulan, kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan final. Apabila Distributor MLM menggunakan PP 46 tahun 2013 akan lebih mudah bagi para Distributor MLM untuk melakukan pencatatan dan perhitungannya karena hanya melihat dari peredaran brutonya. SIMPULAN Penghasilan dari keuntungan harga jual seharusnya dikenakan PP 46 tahun 2013, karena penghasilan dari distributor yang dari pengembangan jaringannya telah dipotong PPh 21 oleh perusahaan, sedangkan atas usaha dagang yang dilakukan Distributor seharusnya dikenakan PP 46 tahun 2013. Penggunaan PP 46 tahun 2013 terhadap usaha dagang yang dilakukan Distributor MLM lebih sederhana dan lebih mudah untuk dilaporkan karena hanya membutuhkan pencatatan atas peredaran bruto dari penjualan Distributor MLM atas produkproduk yang dijual oleh Distributor MLM dan pembayarannya pun dapat dilakukan
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014
15
di ATM terdekat (Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BCA). Distributor MLM termasuk dalam Wajib Pajak yang jumlahnya sangat besar, Distributor pun diwajibkan melakukan pencatatan tetapi tidak dilakukan, dan pada umumnya para Distributor MLM menjual produknya ke pembeli akhir, sehingga mekanisme “withholding tax” untuk pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif. Secara singkat, akibat kondisi di atas membuat para Distributor MLM sangat mudah untuk menyembunyikan penghasilannya. Dengan terpenuhinya kriteria di atas, Distributor MLM termasuk dalam salah satu Wajib Pajak yang sulit dipajaki (Hard to Tax). DAFTAR REFERENSI Allen Rubin and Earl R. Babbie. Research Methods for Social Work (Sixth Edition), California: Thomson Brooks/Cole, 2008. Alm, et al. Taxing The Hard To Tax: Lessons from Theory and Practice. London: Elsevier, 2004. Bogdan, R and Taylor, S.J. Introduction to Qualitative Research Methode. New York: John Willey and Sons, 1975. Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia, 2011. Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011. Seligman. Essays in Taxation. USA: Columbia University Press, 1911. Thuronyi, Victor. Tax Law Design and Drafting. Washington D.C: International Monetary Fund, 1996. Zain, Mohammad. Manajemen Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, 2003.
Analisis pajak..., Mohammad Fahmi, FISIP UI, 2014