Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (The Existence of Customary Justice in Aceh’s Society, Before and After the Implemetation of the Law of Aceh Governance) Oleh Manfarisyah1 Abstract Courts have long recognized the indigenous village by the people of Aceh . The existence of customary justice had faded either duty or authority at the time of enactment of the Act. No.5 of 1979 concerning Village Government, which limits the role and authority of the judiciary and its indigenous customary institutions in Indonesia, as well as in Acehnese society. Law on Aceh Special Autonomy, the Qanun on government of Mukim, and Qanun on Government of Gampong cannot run customary justice well because of the political and security situation in Aceh at that time. After the implementation of Act on the Government of Aceh, then customary justice and other traditional institutions can re-exist and perform tasks accordingly. Strengthening the judiciary and other customary institutions continued by setting rules such as qanun concerning village institutions and other traditional institutions. Existence of customary justice became stronger after an agreement between the Governor, the MAA, and Regional Police Chief in 2011. Keywords : Existence, Customary Justice, the People of Aceh
A.
PENDAHULUAN
Lembaga peradilan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mewujudkan ketentraman dan kedamaian warga masyarakat, terutama dalam memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu fungsi yang penting adalah menyelesaikan sengketa/perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Sengketa atau perselisihan dapat terjadi setiap saat dalam pergaulan hidup manusia, sesuai dengan kodratnya manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk hidup bersama manusia lainnya dengan beragam kepentingan, sengketa/perselisihanpun kadang tak dapat dihindari. 1
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 112
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) Disisi lain setiap orang yang sehat dan normal jasmani dan rohaninya berkeinginan hidup dalam kondisi damai dan sejahtera, untuk itu setiap perselisihan/sengketa harus dikelola atau diselesaikan dengan baik dan cepat. Apabila sengketa atau perselisihan tidak segera diselesaikan akan terganggu kedamaian, ketentraman dan dapat menimbulkan disharmonisasi sosial. Untuk mewujudkan kedamaian tersebut diperlukan suatu lembaga yang dapat menangani setiap sengketa yang terjadi dalam masyarakat. baik antara satu dengan lainnya atau yang terjadi antar kelompok masyarakat. Lembaga formal atau informal yang diharapkan oleh masyarakat atau pihak yang bersengketa adalah suatu lembaga yang dapat mewujudkan rasa keadilan bagi mereka yang bersengketa atau bagi mereka yang mencari keadilan. Di Indonesia dikenal berbagai jenis peradilan yang dilaksanakan oleh di bawah naungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.2 Keberadaan peradilan tersebut sebagai tempat bagi para pihak yang bersengketa mencari keadilan, baik perkara pidana atau perkara perdata. sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU Kekuasaan Kehakiman. Lembaga peradilan yang akan dibahas lebih lanjut adalah peradilan informal yang ada dalam Masyarakat Aceh yaitu Peradilan Adat Gampong, yang keberadaannya diakui oleh aturan perundangundangan di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana eksistensi peradilan adat pada Masyarakat Aceh sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. B.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, Untuk kebutuhan data dalam penulisan ini diperoleh melalui daata kepustakaan yang merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur berupa aspek2
Pasal 18 Undang-undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 113
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
aspek hukum di Indonesia, dengan cara menganalisis peraturan-perundangan yang berkaitan dengan peradilan adat, baik yang berlaku secara umum di Indonesia maupun yang berlaku khusus untuk Provinsi Aceh. C.
PEMBAHASAN
1.
Peradilan Adat di Aceh
Pada Masyarakat Aceh selain peradilan umum sebagaimana disebut di atas dikenal suatu peradilan yang bersifat informal, disebut dengan peradilan adat, peradilan ini sudah sejak dahulu menangani setiap permasalah/sengketa atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat Aceh. Dalam kehidupan Masyarakat Aceh dahulu sangat asing dengan lembaga peradilan formal seperti pengadilan negeri atau yang lainnya. Hal ini antara lain disebabkan karena lokasi pengadilan formal tersebut hampir semua berada di kota yang jauh dari kediaman masyarakat pedesaan/gampong di Aceh. Sebagian besar masyarakat Aceh bertempat tinggal jauh dari kota, dan mereka sangat jarang ke kota. Masyarakat Aceh banyak yang tidak memahami proses atau tatacara berperkara di pengadilan formal, selain itu masyarakat juga tidak mudah percaya pada orang yang tidak mereka kenal. Demikian juga dalam hal menyerahkan masalah/sengketa yang mereka hadapi tidak percaya diselesaikan oleh orang yang mereka tidak kenal/baru mereka kenal. Masyarakat yang dikenal ramah dengan nilai sosial yang tinggi sudah terbiasa hidup rukun dengan prinsip gotong royong dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, demikian juga dalam menghadapi sengketa atau perselisihan antara masyarakat, mereka berusaha menyelesaikan dengan musyawarah baik oleh para pihak sendiri atau oleh keluarga yang lebih tua dan dihormati, apabila tidak dapat diselesaikan oleh keluarga sengketa akan diserahkan kepada keuchik gampong (kepala Desa) atau Imeum meunasah (Iman Meunasah) untuk diselesaikan, putusan musyawarah yang dipimpin oleh pimpinan gampong pada umumnya diterima oleh para pihak. Putusan pimpinan gampong diambil setelah musyawarah dan adanya kesepakatan antara para pihak. Musyawarah yang dihadiri oleh perangkat gampong dan tokoh masyarakat diadakan di meunasah pada waktu yang telah ditentukan, kecuali sengketa keluarga yang oleh para pihak minta diselesaikan secara tertutup, dalam keadaan demikian akan diadakan di rumah Keuchik atau dirumah Tgk. Imeum sesuai kesepakatan. Para pihak menerima hasil putusan musyawarah tersebut karena 114
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) meraka merasa putusannya adil juga karena mereka merasa putusan tersebut yang terbaik bagi mereka. Adakalany putusan tersebut diterima karena menghormati pimpinan gampong. Seseorang yang menolak putusan musyawarah dapat dicemoah/dicela oleh masyarakat sebagai orang yang tidak beradap dan egois serta akan dapat sanksi sosial yaitu diasingkan dalam pergaulan. Keberadaan keuchik dan perangkat gampong, bagi warga adalah sebagai pemimpin/orang tua/pelindung bagi mereka, dan mereka yakin keuchik tidak akan pilih kasih terhadap warga yang dipimpinnya, maka putusan atas suatu sengketa akan diterima oleh warganya. Demi tercipta hidup rukun dan damai. Hal tersebut sudah berlangsung cukup lama di Aceh. Dengan keadaan demikian hampir tidak ada kasus yang terjadi dalam masyarakat Aceh yang sampai ke pengadilan, walaupun kasusnya termasuk kasus besar, seperti perkelahian, yang mengakibatkan lika atau sampai masuk rumah sakit. Demikian juga mengenai masalah kecelakaan yang sampai meninggalnya salah satu di antara mereka. Namun kasusnya dapat diselesaikan di gampong, kalaupun ada yang sampai ke pengadilan hanya satu atau dua kasus, itupun sangat jarang terjadi. 2.
Dasar Hukum Peradilan Adat di Aceh
Pelaksanaan peradilan adat yang dewasa ini didukung oleh sejumlah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan payung hukum tentang peradilan adat cukup memadai karena telah di dukung oleh aturan-aturan hukum yang sah. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari gampong dan mukim. Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan Lembaga Mukim. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan peradilan adat adalah: 1) Undang-Undang Dasar !945 Pasal 18 ayat (1) dan (2); 2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ke istimewaan Aceh Pasal 3 ayat (1) dan (2) dan Pasal 6; 3) Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII; (UU-PA); 4) Qanun No. 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim:
115
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
5) Qanun No. 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong; 6) Qanun No. 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat; 7) Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat; 8) Kesepakatan Bersama antara Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Gubernur Aceh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Ketua MPU Aceh, MAA, Rektor IAIN Araniry, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Aceh, dan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Aceh tentang Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) ke dalam Tuha Peut Gampong/Sarak Opar/Majelis duduk Setikar Kampong atau nama lain, tertanggal 2 Maret 2010; 9) Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat dan Mukim atau nama lain di aceh tanggal 20 Desember 2011. Kesemua ketentuan hukum tersebut di atas memberi peluang kepada Peradilan Adat Gampong bahkan beberapa ketentuan yang disebut terakhir semakin menguatkan kedudukan dan peran Peradilan Adat gampong dalam menyelesaikan sengketa masyarakat, terlebih lagi setelah keluarnya UU-PA. Peran dan wewenang peradilan Adat Gampong semakin kuat setelah ditetapkan Keputusan Bersama pada tanggal 20 Desember 2011. 3.
Peradilan Adat Pasca berlakunya UU No. 5 Tahun 1979
Sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, kehidupan masyarakat adat diseluruh daerah di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kebijakan menyatukan (unifikasi) lembaga peradilan pada masa orde lama, melikuidasi lembaga peradilan adat dan desa, menjadi „pedobrak‟ masuknya hukum nasional yang tidak aspiratif atas lembaga adat. Hal ini masih ditambah lagi dengan masyarakat totaliter yang melindas kreatifitas, dan pembangunan materialis ekonomis yang menumpulkan rasa.3
Adi Sulistyono, Merasionalkan Budaya Musyawarah untuk mengembangkan Penggunaan Penyelesaikan Sengketa Win-win Sulution, Orasi Ilmiah, Sidang Terbuka Universitas Sebelas Maret, Tanggal 12 Maret 2005. 3
116
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) Arus modernisasi 4 ternyata juga ikut memberikan andil dalam medobrak dinding tatanan moral tradisional berupa adat-istiadat dan kebiasaan leluhur nenek moyang manusia serta rusaknya pranata-pranata tradisional yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tradisional.5 Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, musyawarah, tanggungjawab, kejujuran, kerukukan, kesetiakawanan lambat laun digeser oleh otonomi manusia yang mendewakan kebebasan. Pandangan hidup yang mengagungagungkan kebebasan personal umumnya akan mendorong manusia untuk mendahulukan kepentinga pribadi, yang diutamakan adalah kebebasan pribadi, sedangkan hak-hak orang lain sering kali dilupakan. Sikap ini acapkali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam hidup sosial. Penyanjung kebebasan seakan-akan tinggal di luar entitas sosial dan seolah-olah mereka tidak berdampingan dengan sesama.6 Keadaan demikian juga dirasakan oleh masyarakat Aceh. Sejak itu pula masyarakat Aceh mulai berhadapan dengan pengadilan formal seperti pengadilan negeri dan pengadilan Agama, sebagian masyarakat mulai ada yang menyerahkan sengketa ke pengadilan untuk diselesaikan dalam rangka mencari keadilan. Walaupun sebagian lainnya masih merasa enggan untuk berurusan dengan pengadilan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak masyarakat yang mengajukan sengketa mereka ke pengadilan. Para pihak yang bersengketa mencoba memahami putusan pengadilan atas sengketa yang dijukan, semakin mereka memahami semakin membuat mereka bingung dan tak mengerti, masyarakat tidak nyaman dengan proses dan putusan yang di putuskan atas banyak sengketa yang diselesaikan di pengadilan, keadilan yang mereka harap juga tidak ditemukan. Keadaan tersebut berlangsung lama dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilanpun semakin lama semakin memudar, dikarenakan harapan unruk memperoleh keadilan hampir tidak dapat diwujudkan melalui lembaga peradilan. Selain rasa keadilan juga dirasakan berbagai kendala lain dalam menyelesaikan sengketa dipengadilan antara lain mekanisme beracara di pengadilan juga membutuhkan waktu yang lama dan dirasa berbelit-belit, juga membutuhkan biaya Ibid Lihat Satjipto Rahardjo, “Perilaku Gugat Menggugat”, Kompas, 25 Februari 1998 6 William Chang, “Pendidikan nilai-nilai Moral”, Kompas, 31 Januari 1999. 4 5
117
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
yang besar. Putusan pengadilanpun tidak menyelesaikan masalah yang terjadi diantara para pihak bahkan cenderung memunculkan masalah baru yaitu demdam bagi pihak yang tidak puas dengan putusan yang diberikan pengadilan. Pengadilan dalam memutuskan perkara menetapkan pihak yang kalah dan yang menang, ini tentu tidak sesuai dengan budaya dan kepribadian Masyarakat Aceh. Kekecewaan masyarakat terhadap lembaga peradilan semakin diperparah dengan terbongkarnya kasus-kasus mafia peradilan, hampir disemua lini intitusi penegak hukum terjadi suap dan korupsi, sehingga masyarakat tidak lagi percaya kepada penegak hukum yang ada. Keadaan di atas membuat masyarakat Aceh berusaha untuk meng eksistensi kembali Peradilan Adat yang pernah ada di Aceh, yang sempat memudar peran dan wewenangnya. 4.
Peradilan Adat Aceh Masa Berlakunya UU No. 44 Tahun 1999
Berlakunya UU No. 44 Tahun 1999 Tentang keistimewaan Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah daerah istimewa dalam bidang adat, agama, dan pendiddikan. Ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang memberi dampak pada usaha revitalisasi adat di Aceh, juga merupakan langkah awal kembalinya Aceh dapat menerapkan adat istiadatnya dengan dasar hukum yang kuat. Status Keistimewaan Aceh dikonfirmasikan juga dengan keluarnya Undangundang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD).7 Kebijakan ini menyebabkan lahirnya tiga lembaga baru di Aceh: Majelis Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah Adat; Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah agama dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang mengurus bidang pendidikan. MAA merupakan perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan aceh (LAKA) yang dibentuk pada masa Gubernur Prof. Ali Hasyimi (1957-19640.8 Pada tahun 2003 diberlakukan dua aturan hukum yang cukup penting di Aceh setingkat perda yaitu Qanun Provinsi No.5 tahun 2003 Tentang Pemerintahan 7Leena Avonius & sehat Ihsan Shadiqin, “Pendahuluan: Revitalisasi Adat di Indonesia dan Aceh,” dalam Leena Avonius & sehat Ihsan Shadiqin (ed.) Adat dalam Dinamika Politik Aceh, ARTI dan ICAIOS, Banda Aceh, 2010, hlm.13 8 Ibid.
118
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) gampong dan Qanun Provinsi No.4 tahun 2003 tentang Mukim. Namun pada tahun yang sama Presiden Megawati Sukarno Putri memberlakukan Operasi militer dan UU Otonomi Khusus tidak dapat diberlakukan, demikian juga dengan qanun-qanun tidak dapat dijalankan karena situasi keamanan di Aceh. 5.
Peradilan Adat Aceh Setelah berlakunya UUPA
Setelah proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar hukum yang baru tentang Pemerintahan Aceh yang diberlakukan setahun kemudian. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan damai dan untuk mengimplementasikan MoU Helsinki. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dan dengan diberlakukan UU-PA tersebut maka UU No.18 Tahun 2001 dengan resmi dicabut. Pada Bab XIII Pasal 98 ayat (3) UUPA tercatum tiga belas lembaga adat,9 yang harus difungsikan dan berperan sebagai “wahana partisipasi masyarakat” dalam penyelenggaraan Pemerintah Aceh di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Secara lebih detail, Bab XV menjelaskan mengenai mukim dan gampong. Dalam rangka terlaksananya isi dari pasal-pasal dalam UU-PA khususnya tentang adat, maka pemerintah Aceh mengeluarkan beberapa regulasi ditingkat provinsi seperti: Qanun No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 2008 Tentang Lembaga Adat, kedua qanun tersebut dasar pelaksanaan kembali adat istiadat di Aceh, sebagai bagian dari Pemerintahan Aceh. Keberadaan lembaga adat yang kembali menguat setelah berlakunya UU-PA, menjadikan masyarakat Aceh kembali memanfaatkan lembaga-lembaga adat tersebut untuk urusan kehidupan bermasyarakat. Demikian juga mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi di antara warga, para pihak lebih memilih menyerahkan sengketa mereka kepada peradilan adat gampong yang dilaksanakan oleh perangkat gampong yaitu: Keuchik, Teungku Imuem dan Tuha Peut juga yang lainnya tergantung sengketa yang terjadi. Wewenang Keuchik sebagai hakim perdamaian dengan tegas dan jelas disebutkan dalam Qanun Pemerintahan Gampong, antara lain Keuchik menjadi Hakim
Tiga belas lembaga adat tersebut adalah:1. Majelis Adat Aceh, 2 Imeum mukim, 3 Imeum chiek, 4 Keuchik, 6 Tuha peut, 5 tuha lapan, 7 imeum mehunasa, 8 keujruen blang, 9 panglima laot, 10 pawang gle, 11 peutua seuneubok, 12 haria pekan dan syahbandar. 9
119
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
Perdamaian antar penduduk dalam Gampong.10 Dalam hal Keuchik sebagai hakim Perdamaian pada peradilan adat gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dibantu oleh Imeum Meunasah dan Tuha Peut Gampong.11 Peradilan Adat gampong di Aceh diperkuat lagi dengan berlakunya Qanun N0.9 Tahun 2008. Sengketa-sengketa yang menjadi kewenangan peradilan adat (kompetensi peradilan adat), sebagaimana hasil temuan dilapangan dan hasil rapat koordinasi antara MAA dengan lembaga penegak hukum diketahuai ada beberapa kasus yang lazim diselesaikan oleh peradilan adat. Sekarang kasus atau sengketa yang menjadi kewenangan peradilan adat dengan tegas diatur dalam Qanun No.9 Tahun 2008. Kasus yang menjadi kewengan Peradilat adat adalah: 1. Perselisihan dalam rumah tangga; 2. Sengketa antara keluaarga yang berkaitan dengan faraild; 3. Perselisihan antar warga; 4. Khalwat/meusum 5. Perselisihan tentang hak milik; 6. Pencurian dalam keluarga/pencurian ringan; 7. Perselisihan harta seuharekat; 8. Pencurian ringan; 9. Pencurian ternak peliharaan; 10. Pelangaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan; 11. Persengketaan di laut; 12. Persengketaan di pasar; 13. Penganianyaan ringan; 14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikat komunitas adat); 15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; 16. Pencemaran lingkungan (dalam skala ringan); 17. Ancam-mengancam (tergantung jenis ancaman ) 18. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar agama dan dan adat istiadat. Kalau dilihat dari Pasal 13 Qanun No.9 tahun 2008 tersebut Peradilan Adat masih dapat menyelesaikan kasus-kasus atau perkara/sengketa lain yang melanggar
10 Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampomg, Bagian Kedua Pasal 12 angka 2 huruf d. 11 Ibid, ayat (2)
120
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) adat istiadat tidak hanya pada sengketa yang disebut diatas.12 Hal tersebut sebagaimana dipertegas dalam Surat Keputusan Bersama antara Gubernur, Kapolda, Ketua MAA, dalam dictum KESATU disebutkan bahwa sengketa atau perkara-perkara ringan wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan adat. 6.
Badan Penyelenggara Peradilan Adat di Aceh
Pada umumnya peradilan adat dilakukan oleh lembaga gampong dan mukim, hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh, hanya saja untuk beberapa daerah seperti Takengon dan Aceh tamieng menggunakan istilah lain namun fungsi sama, untuk lebih jelas srtuktur dan peran penyelenggara peradilan adat tingkat gampong dapat dilihat pada skema berikut ini: a. Struktur dan Peran Penyelenggara Peradilan Adat Tingkat Gampong
Sumber:Buku Pedoman Peradilan adat di Aceh, oleh MAA-edisi kedua 2012.
b. Proses Penyelesaian Sengketa pada peradilan Adat Aceh Pada dasarnya hukum adat tidak mengenal perbedaan sengketa perdata dan pidana, semua sengketa dapat diselesaikan oleh peradilan adat. Namun Pedoman Peradilan Adat di Aceh untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, edisi kedua, Penerbit: MAA. 12
121
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada pertimbanganpertibangan dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana yang ditangani. Maka dibuat secara terpisah dalam Buku Pedoman Peradilan Adat, demikian juga tentang sengketa yang melibatkan perempuan dan anak. Secara umum prosedur penyelesaian perdamaian adat dilakukan sebagai berikut:
sengketa melalui peradilan
1. Penyelesaian Sengketa Perdata; 1) Para pihak yang merasa dirugikan dapat melapor kepada kepadadusun atau kepala lorong atau ulee Jurong tempat sengketa terjadi. Namun tidak tertutup kemungkinan sengketa dapat langsung dilaporkan kepada Keuchik, adakala juga kepala dusun langsung menyelesaikan jika kasus tidak terlalu rumit, tapi jika tak bisa diselesaikan maka kepala dusen melapor ke keuchik. 2) Keuchik setelah menerima laporan dari kepala dusun atau korban segera mengadakan rapat internal dengan perangkat gampong (sekretaris keuchik, imeum, kepala dusun atau ulee jurung) untuk menetukan jadwal sidang, pelaporan tidak boleh dilakukan di sembarang tempat, harus rumah atau meunasah. 3) Sebelum sidang digelar perangkat gampong melalukan pendekatan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya sekaligus untuk menanyakan kepada kedua belah pihak tentang kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. 4) Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh keuchik dan perangkatnya, tetapi juga dilakukan oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus sensitif yang korbannya perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya. 5) Jika kesepakatan telah ada maka para pihak akan diundang untuk menghadiri persdangan pada waktu yang telah ditetapkan. 6) Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili/didampingi oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara; 7) Persidangan bersifat resmi dan terbuka, biasanya dilakukan di Meunasah atau tempat lain yang dianggab netral. 122
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) 8)
Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil secara adat.
Secara jelas dapat dilihat dalam skema berikut ini:
Sumber: Buku Pedoman Peradilan Adat Oleh MAA- edisi kedua 2012
Setelah semua teratur maka sidang dimulai, secara rinci proseudur dapat dilihat dalam Buku Pedoman Peradilan Adat Aceh. 2. Penyelesaian Sengketa Pidana Proseudur penyelesaian sengketa pidana hampir sama dengan sengketa perdata, hanya ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
123
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
1) Memberi pengamana secepatnya melalui perlindungan kepada kedua belah pihak, seperti menempatkan pelaku pada tempat yang dirahasiakan. 2) Keuchik dan lembaga gampong langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan di luar persidangan musyawarah formal. Keuchik harus menemukan prinsipprinsip keputusan berasaskan damai dibantu perangkat gampong dan tokoh masyarakat. 3) Penyelesaian sengketa didasarkan pada data dan bukti yang telah di inventarisir dalam penjajakan awal dan perdasarkan prinsip perdamaian, sebagai prinsip dasar penyelesaian secara adat. 4) Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan bijaksana dari majelis sidang agar dapat diterima oleh para pihak. 5) Pelaksanaan keputusan oleh keuchik, dengan surat perdamaian yang ditanda tangani oleh para pihak dan dengan perjanjian tidak mengulangi lagi perbuatan salah tersebut. 6) Setelah perdamaian pemangku adat harus memantau agar tidak terjadi hal tidak diinginkan terulang lagi. Proses tersebut di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus dibawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bentuk perlakuan khusus yang dimaksud adalah upaya dari pemimpin adat agar tersedianya perlindungan. Langkah utama yang dilakukan yaitu adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari pelaporan perkara, proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai tahap setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah proses damai. Apabila pemangku adat merasa tidak mampu memberi perlindungan maka pemangku adat harus melaporkan hal tersebut kepada kepolisian supaya dapat dipastikan perlindungan yang dimaksud dapat diberikan. Selain perlindungan tersebut di atas ada perlakuan khusus lainnya adalah terhadap sengketa perempuan dan anak dilakukan persidangan secara tertutup, dan dipastikan adanya pedampingan. Ini dilakukan agar perempuan atau anak merasakan kondisi yang kondusif selamaam menjalani persidangan. 124
Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Aceh… (Manfarisyah) Demikian uraian singkat tentang proses persidangan perdamaian pada Peradilan Adat di Aceh yang sudah dituangkan dalam Qanun sebagai Peraturan Daerah Pemerintah Aceh. D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Peradilan Adat di Aceh sudah berlangsung sejak lama di dalam kehidupan Masyarakat Aceh, Putusan Peradilan Adat pada umumnya diterima oleh para pihak dan dilaksanakan. Kepatuhan masyarakat terhadap putusan peradailan adat disebabkan beberapa alasan, selain karena dirasakan adil dan merupakan yang terbaik untuk para pihak, juga karena mereka percaya pada majelis sidang sebagai pihak yang jujur dan adil dalam memutuskan perkara. secara adat istiadaat masyarakat tidak berani menolak putusan yang telah disepakati, karena dapat dianggap tidak beradap dan dicela oleh para warga gampong lainnya. Eksistensi peradilan adat semakin jelas setelah berlaku Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Peradilan Adat semakin eksis.. Peran dan wewenang peradilan Adat lebih kuat dan luas lagi setelah adanya penitipan peran FKPM kedalam tugas Tuha Peut Gampong yang ditegas kembali dengan Keputusan bersama Gubernur, KAPOLDA, dan Ketua MAA. 2.
Saran
Diharapkan kepada pemerintah daerah Aceh untuk membina perangkat gampong secara terus menerus dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan keterampilan/kemampuan dalam menyelesaikan sengketa/perselisihan dalam masyarakat. Kepada Masyarakat Aceh teruslah menjaga eksistensi Peradilan Adat ini untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Eksistensi Lembaga Peradilan adat perlu terus di berdayakan dan dibina, untuk dapat melaksanakan atau mewujudkan perdamaian dalam masyarakat. Semua warga masyarakat perlu ikut aktif dalam mewujudkan perdamaian supaya dapat hidup rukun, damai, adil, dan sejahtera. Dalam melakukan pembinaan untuk meningkatkan keterampilan para perangkat gampong, pemerintah juga harus mengikutkan tokoh perempuan supaya setiap gampong memiliki tokoh perempuan yang terampil, kerena kehadiran tokoh 125
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
perempuan sangat diperlukan dalam menangani kasus-kasus yang pelaku/korbannya perempuan atau anak.
Daftar Pustaka Anonimus, 2008. Pedoman Peradilan Adat di Aceh untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Edisi Kesatu, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh); Anonimus, 2012. Pedoman Peradilan Adat di Aceh untuk Peradilan Adat Yang Adil dan Akuntabel, Edisi Kedua, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh) Adi Sulistyono, 2005. Merasionalkan Budaya Musyawarah untuk mengembangkan Penggunaan Penyelesaikan Sengketa Win-win Sulution, Orasi Ilmiah, Sidang Terbuka Universitas Sebelas Maret, Tanggal 12 Maret 2005. Leena Avonius & sehat Ihsan Shadiqin, 2010. “Pendahuluan: Revitalisasi Adat di Indonesia dan Aceh,” dalam Leena Avonius & sehat Ihsan Shadiqin (ed.) Adat dalam Dinamika Politik Aceh, (Banda Aceh: ARTI dan ICAIOS); Satjipto Rahardjo, “Perilaku Gugat Menggugat”, Kompas, 25 Februari 1998 William Chang, “Pendidikan nilai-nilai Moral”, 31 Januari 1999. Undang- undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Undang- undang No.44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan keistimewa Aceh Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggro Aceh Darussalam; Qanun No. 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan gampong dalam Provinsi Nanggro Aceh Darussalam; Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentangPembinaanKehidupan Adat dan adat Istiadat. Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat Kesepakatan Bersama Antara Kapolda, Gubernur Aceh dan MAA
126