Pembuatan Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus (Cyphomandra betacea Cav. Sendtner) dan Markisa (Fassflora edulis var falvicarva) Dengan Metode Foam-Mat Drying ABSTRAK Penelitian dari Pembuatan Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus (Cyphomandra betacea Cav. Sendtner) dan Markisa (Fassflora edulis var falvicarva) Dengan Metode Foam-Mat Drying. Hasil pengujian terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa didapatkan produk terbaik yaitu pada perlakuan C (Sari buah terung pirus : Sari buah markisa = 50 % : 50 %); rendemen 68,5848 %; daya serap air 0,22 ml; kadar padatan yang tidak larut dalam air 0,9127 %; kadar air 2,2273 %; kadar vitamin C 11,0929 mg/100 gr bahan; kadar gula 50,7918 %; warna 4,08; aroma 2,96; dan rasa 3,76. Key words : bubuk instan, sari buah, terung pirus, markisa, foam-mat drying.
I.
PENDAHULUAN
Buah Terung pirus (Cyphomandra betacea Cav. Sendtner) dan markisa (Fassflora edulis var falvicarva) merupakan salah satu komoditas hortikultura Indonesia. Terung pirus memiliki warna yang menarik tetapi rasa sepat yang terdapat pada buah tersebut kurang disukai. Buah markisa memiliki rasa manis dan aroma yang khas, sedangkan warna yang dimiliki buah markisa kurang menarik. Pengeringan sari buah dengan metode foam-mat drying menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi, kwalitas warna dan rasa bubuk yang dihasilkan cukup bagus, biaya yang digunakan lebih murah dan proses pengeringan tidak terlalu rumit (Kumalaningsih et al, 2005). Penambahan sari buah markisa pada pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa dengan metode foam-mat drying dapat berpengaruh terhadap mutu dan rasa bubuk instan yang dihasilkan juga merupakan diversifikasi produk campuran sari buah dan sekaligus dapat merangsang berkembangnya agroindustri komoditi terung pirus dan markisa. II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terung Pirus (Cyphomandra betacea Cav. Sendtner Tanaman ini populer dengan nama Terung Belanda (Chyphomandra betacea Cav Sendtner). Tetapi di daerah Sumatra Barat tanaman ini lebih dikenal dengan nama Terung Pirus. Negara asalnya adalah Peru. Tanaman ini masuk dalam famili Solanaceae. Tinggi pohon dapat mencapai 3,5 meter. Daunnya berbentuk oval dengan panjang 6 - 12 inci. Bunganya kecil-kecil berwarna merah jambu. Bentuk buahnya bulat telur, panjangnya antara 2 – 3 inci. Daging buahnya tebal berwarna merah kekuningan, dibungkus oleh selaput kulit tipis yang mudah dikelupas.
2 Daging buah melindungi biji-biji yang jumlahnya banyak dan tersusun melingkar rapi. Daya tahan pohon ini bisa mencapai 10 tahun. (Anonim, 2002). Terung pirus merupakan salah satu spesies dari genus solanum dengan klasifikasi sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Sub-divisio : Angiospermae Klas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum Spesies : Cyphomandra betacea Cav. Sendtner Komposisi kimia yang terkandung di dalam terung pirus menurut Verheij dan Coronel (1997) cit Maulidarmi (2004), antara lain : air, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, vitamin A dan vitamin C yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan gizi masyarakat. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia terung pirus. Tabel 1. Komposisi Kimia Terung Pirus dalam 100 gram Bahan Komposisi Jumlah Air (gr) 85,00 Protein (gr) 1,50 Lemak (gr) 0,06-0,28 Karbohidrat (gr) 10,00 Serat (gr) 1,40-4,20 Abu (gr) 0,70 Vitamin A (SI) 150-1500 Vitamin C (mg) 25,00 Sumber : Verheij dan Coronel (1997) cit Maulidarmi (2004). Gambar 1. Buah Terung Pirus yang Digunakan
2.2. Markisa (Fassflora edulis var falvicarva) Markisa merupakan tanaman tahunan yang dapat berumur 10 - 25 tahun, tumbuh merambat, batang berzat kayu, sulur muncul pada ketiak daun yang berhadapan dan dapat berbuah sepanjang tahun. Markisa yang tumbuh di Sumatra Barat adalah markisa dari jenis Konyal (Fassflora edulis var falvicarva), dengan ciri-ciri buah berwarna kuning dengan rasa manis dan mengandung total asam yang rendah (Asfaruddin, Dahlan dan Rini, 2003). Buah markisa sudah bisa dipanen setelah berumur antara 120 - 140 hari dengan tanda-tanda warna kuning dan tangkai buah sudah mengkerut dengan mengeluarkan aroma khas. Semakin tua dipetik, semakin tinggi kualitasnya
3 namun semakin tidak tahan lama disimpan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan cit Silvia, 2002). Menurut Salim (1993), tanaman markisa kuning mempunyai batang agak lurus, sedikit berkayu, berumur panjang (sampai 6 tahun) dan dapat menjalar tinggi sekali (kurang lebih 15 meter) pada pohon-pohon atau atap rumah. Buah berbentuk bulat dengan panjang antara 5 - 7 sentimeter, buah yang masih muda berwarna ungu hijau, sedangkan buah yang telah masak berwarna kuning tua. Kulit buahnya cukup kuat dan tahan, bahkan dapat bertahan selama dalam pengangkutan yang agak jauh. Manurut Salim (1993), biji buah ini banyak dan ditutupi oleh selaput yang mengandung cairan yang rasanya manis, serta baunya harum, sedangkan menurut Asfaruddin et al (2003), cairan atau lendir buah markisa mengandung vitamin dan mineral. Tabel 2 komposisi kimia markisa menurut Verheij dan Coronel (1997) cit Silvia (2002). Tabel 2. Komposisi Kimia Markisa dalam 100 gram Bagian yang Dapat Dimakan Komposisi Jumlah Air (g) 69-80 Protein (g) 1,2 Karbohidrat (g) 16 Serat (g) 3,5 Ca (mg) 10 Fe (mg) 1,0 Vitamin A (SI) 20 Riboflavin (mg) 0,1 Nikotinamida (mg) 1,5 Vitamin C (mg) 20 Energi Kj 385 Sumber : Verheij dan Coronel (1997) cit Silvia (2002). Gambar 2. Buah Markisa yang Digunakan
2.3. Bubuk Instan Sari Buah Produk bubuk merupakan produk olahan pangan yang berbentuk serbuk, mudah larut dalam air, praktis dalam penyajian dan memiliki daya simpan yang lama (Kumalaningsih et al, 2005). Sari buah adalah produk minuman yang diperoleh secara mekanis dari buah matang atau dari pengenceran sari buah tanpa fermentasi, diawetkan, dan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Menurut SNI (1995), bubuk instan sari buah adalah produk yang merupakan campuran ekstrak sari buah, gula pasir dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Berdasarkan pengertian bubuk instan sari buah tersebut, maka bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa adalah bubuk yang berasal dari campuran sari buah terung pirus dan markisa yang ditambahkan bahan tambahan makanan dan dikeringkan sehingga dihasilkan ekstrak sari buah lalu tambahkan gula pasir dan blender.
4 Sifat produk pangan bubuk adalah ukuran partikel yang sangat kecil, memiliki kadar air rendah dan memiliki luas permukaan yang besar (Kumalaningsih et al, 2005). 2.4. Beberapa Prinsip Pengeringan Sari Buah Menurut Winarno, Fardiaz dan Fardiaz (1980), pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Bahan pangan kering lebih pekat daripada setiap bentuk bahan pangan awetan yang lain. Keuntungan pengeringan ini yaitu biaya prosesnya lebih murah, diperlukan tenaga yang lebih sedikit, peralatan pengolahan terbatas, kebutuhan penyimpanan untuk bahan pangan kering minimal dan biaya distribusi berkurang (Muljohardjo, 1988). Sedangkan menurut Winarno et al (1980), keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga mempermudah pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Prinsip pembuatan produk pangan bubuk instan sari buah adalah dehidrasi atau pengeringan. Dalam proses tersebut umumnya diperlukan bahan pengisi sebagai pengikat komponen-komponen bahan yang rusak atau hilang saat pengeringan. Teknologi yang digunakan untuk pembuatan produk pangan bubuk instan biasanya menggunakan peralatan yang canggih seperti spray dryer. Namun, dalam hal ini akan dilakukan dengan teknologi yang sederhana yaitu dengan foam-mat drying (Kumalaningsih et al, 2005). 2.4.1. Foam-Mat Drying (Pengering Busa) Pengeringan ini digunakan untuk mengeringkan cairan yang sebelumnya telah dijadikan busa terlebih dahulu dengan jalan dikocok dan memberikan zat pengembang atau pembuih dalam jumlah kecil ke dalam cairan yang dapat membuih. Pembentukan busa suatu cairan menciptakan permukaan yang lebih luas, sehingga pengeluaran air menjadi lebih cepat, selain itu juga memungkinkan penggunaan suhu pengeringan yang lebih rendah (Muljohardjo, 1988). Sedangkan menurut Zubaedah et al (2003), pengeringan busa (foam-mat drying) merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa yang menyebabkan lengket jika dikeringkan dengan cara lain. Makanan yang dikeringkan dengan metode foam-mat drying mempunyai ciri khas, yaitu struktur remah, mudah menyerap air dan mudah larut dalam air. Keuntungan pengeringan menggunakan metode foam-mat drying antara lain : 1. Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan. 2. Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi berkisar antara 50 – 80 oC. 3. Bubuk sari buah instan mempunyai kualitas warna dan rasa cukup bagus, karena dipengaruhi suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma dan rasa tidak banyak yang hilang. 4. Biaya proses pengeringan lebih murah karena energi yang dibutuhkan untuk pengeringan lebih kecil.
5 5. Produk lebih stabil selama proses penyimpanan sehingga umur produk akan lebih tahan lama. 6. Bubuk yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang rendah dan kadar air bubuk berkisar antara 2 - 4 % (Kumalaningsih et al, 2005). Adanya lapisan busa pada metode foam-mat drying akan lebih cepat kering dari pada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa dari pada melalui lapisan padat pada bahan yang sama (Arsdel, Copley dan Morgan, 1973 cit Zubaedah et al, 2003). Menurut Zubaedah et al (2002), konsentrasi busa yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur berpori pada bahan dan memungkinkan terjadinya pemanasan disemua bagian sehingga proses penguapan air dari bahan lebih cepat. 2.5. Bahan Tambahan Yang Diperlukan Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa antara lain : 1. Tween 80 Salah satu pengemulsi sintetik yang sudah dikenal luas adalah tween 80. Pengemulsi ini memiliki nilai HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance) 15. Nilai HLB menunjukkan tingkat kekuatan zat pengemulsi terhadap air dan minyak. Nilai HLB yang besar menyebabkan tween 80 sangat cocok digunakan sebagai pengemulsi pada sistem emulsi minyak dalam air. Tween 80 dalam konsentrasi tertentu juga dapat berfungsi sebagai pendorong pembentukan foam (busa), namun dalam konsentrasi berlebihan justru akan memecahkan foam (busa) (Kumalaningsih et al, 2005). 2. Dekstrin Dekstrin adalah golongan karbohidrat dengan berat molekul tinggi yang dibuat dengan modifikasi pati dengan asam. Dektrin mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil dari pada pati, sebagai pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavor, pewarna dan remah yang memerlukan sifat mudah larut ketika ditambahkan air serta sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk (Kumalaningsih et al, 2005). Penambahan bahan pengisi diperlukan dalam pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa dengan metode foam-mat drying, bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan mencegah kerusakan akibat panas, melapisi komponen flavor, meningkatkan total padatan dan memperbesar volume. (Suryanto et al, 2001). 3. Asam Sitrat (Kumalaningsih et al, 2005), asam sitrat adalah asam organik yang banyak terdapat dalam buah citrun, berbentuk granula atau bubuk putih, tidak berbau dan berfungsi sebagai pemberi rasa asam, cepat larut dalam air dimana kelarutannya dalam air dingin lebih cepat dari pada dalam air panas. Asam ini juga berperan sebagai bahan pengawet pada produk sirup dan minuman. Kelemahan asam sitrat adalah sifatnya yang sangat mudah menyerap uap air (higroskopis) sehingga memerlukan perhatian yang cukup dalam penyimpanannya (Kumalaningsih et al, 2005).
6 4. Gula Gula sering diartikan sebagai karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan gula digunakan untuk menyatakan sukrosa yaitu gula utama yang digunakan dalam industri pangan dan sebagian besar didapat dari tebu dan bit (Buckle, Edward, Fleet dan Wootton, 1987). Menurut Kumalaningsih et al (2005), gula pasir dikenal sebagai bubuk sweeterner yaitu bahan pemanis yang biasanya digunakan dalam jumlah banyak. Gula pasir mempunyai sifat sedikit higroskopis dan mudah larut dalam air. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kelarutan semakin besar. Kristal sukrosa yang berhubungan langsung dengan udara dapat menyerap uap air sampai 1 % dari berat sukrosa. Menurut Buckle et al (1987), meskipun rasa manis adalah ciri gula yang paling banyak dikenal, penggunaannya yang luas dalam industri pangan juga tergantung pada sifat-sifat lainnya. Bagaimanapun juga rasa manis selalu ada pada produk yang mengandung gula dan akan mempunyai pengaruh yang paling berarti pada penerimaan dari produk tersebut III. BAHAN DAN METODA 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Sukarami dan untuk analisanya dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Andalas Padang dari bulan Mei - Juli 2006. Adapun perlakuan yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi sari buah markisa terhadap sari buah terung pirus, yaitu : A = Sari buah terung pirus : Sari buah markisa (100 % : 0 %) B = Sari buah terung pirus : Sari buah markisa (75 % : 25 %) C = Sari buah terung pirus : Sari buah markisa (50 % : 50 %) D = Sari buah terung pirus : Sari buah markisa (25 % : 75 %) IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa yang dilakukan terhadap campuran sari buah terung pirus dan markisa sebelum pengeringan, yaitu : 1. pH Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa Tabel 3 menunjukkan nilai rata-rata pengamatan terhadap pH campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 3. Rata – Rata pH Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Perlakuan PH D (25 % : 75 %) 3,9 C (50 % : 50 %) 3,8 B (75 % : 25 %) 3,7 A (100 % : 0 %) 3,6
7 Dari Tabel 3 dapat dilihat nilai rata-rata pH campuran sari buah terung pirus dan markisa. Pada perlakuan A diperoleh nilai pH rata-rata 3,6; pada perlakuan B diperoleh nilai pH rata-rata 3,7; pada perlakuan C diperoleh nilai pH rata-rata 3,8 dan pada perlakuan D diperoleh nilai pH rata-rata 3,9. 2. Kadar Vitamin C Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata pengamatan terhadap kadar vitamin C campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 4. Rata-Rata Vitamin C Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Perlakuan Vitamin C (mg/100 gr bahan) D (25 % : 75 %) 15,9867 C (50 % : 50 %) 16,7933 B (75 % : 25 %) 19,3967 A (100 % : 0 %) 21,2667 Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai rata-rata kadar vitamin C campuran sari buah terung pirus dan markisa. Pada perlakuan A diperoleh nilai 21,2667 mg/100 gr bahan, pada perlakuan B diperoleh nilai 19,3967 mg/100 gr bahan, pada perlakuan C diperoleh nilai 16,7933 mg/100 gr bahan dan pada perlakuan D diperoleh nilai 15,9867 mg/100 gr bahan. Vitamin C pada campuran sari buah cenderung mengalami penurunan, hal itu terjadi karena vitamin C mengalami oksidasi saat proses pencampuran sari buah. B. Analisa yang dilakukan terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa setelah pengeringan, yaitu : 1. Rendemen Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5 %, menunjukkan bahwa penambahan sari buah markisa berpengaruh nyata terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan. Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata rendemen bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 5. Rata-Rata Rendemen Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Perlakuan Rendemen (%) D (25 % : 75 %) 71,0669 a C (50 % : 50 %) 68,5848 b B (75 % : 25 %) 66,6921 c A (100 % : 0 %) 64,7828 d Kk = 0,9278 % Angka-angka pada jalur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rendemen bubuk instan sari buah mengalami kenaikan. Rendemen bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan berkisar antara 64,7828 % (perlakuan A) - 71,0669
8 % (perlakuan D). Berat kering sari buah terung pirus yaitu 15 gr / 100 gr bahan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan vitamin yang tidak larut dalam air. Menurut Buharman, Mala, dan Afdi (2004), rendemen sari buah markisa 60,5 %, sehingga dengan adanya penambahan sari buah markisa maka rendemen bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa akan semakin tinggi. Menurut Winarno et al (1980), dengan mengurangi kadar airnya, bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. 2. Daya Serap Air Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5 %, menunjukkan bahwa penambahan sari buah markisa berpengaruh tidak nyata terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan. Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata daya serap air bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 6. Rata - Rata Daya Serap Air Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Daya serap air Perlakuan (ml) D (25 % : 75 %) 0,25 C (50 % : 50 %) 0,22 B (75 % : 25 %) 0,18 A (100 % : 0 %) 0,13 Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa daya serap air bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan berkisar antara 0,13 ml (perlakuan A) – 0,25 ml (perlakuan D). Dengan penambahan sari buah markisa pada pembuatan bubuk instan campuran sari buah maka padatan yang terbentuk pada bubuk instan akan tinggi, sehingga daya serap bubuk instan terhadap air juga akan semakin tinggi. Menurut Syarief, Santausa dan Budiwati cit Suryanto et al (2001), bubuk sari buah termasuk produk instan yang sangat mudah menyerap air. 3. Kadar Padatan Yang Tidak Larut dalam Air Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5 %, menunjukkan bahwa penambahan sari buah markisa tidak berpengaruh nyata terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan. Tabel 7 menunjukkan nilai rata-rata kadar padatan yang tidak larut dalam air bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 7. Rata-Rata Kadar Padatan yang Tidak Larut dalam Air Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Kadar padatan Perlakuan yang tidak larut dalam air (%) D (25 % : 75 %) 0,9299
9
C (50 % : 50 %) B (75 % : 25 %) A (100 % : 0 %)
0,9127 0,9125 0,9107
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa kadar padatan tak larut dalam air bubuk instan campuran sari buah berkisar antara 0,9107 % (perlakuan A) - 0,9299 % (perlakuan D). Semakin tinggi kadar padatan yang tidak larut dalam air menunjukkan bahwa kelarutan bubuk sari buah semakin rendah. Dengan penambahan sari buah markisa maka kelarutan bubuk instan akan semakin rendah, hal tersebut dikarenakan padatan yang tidak dapat larut dalam air pada sari buah markisa tinggi. Menurut Faesal (1986) cit Mardhiah (1996), padatan yang tidak larut dalam air diantaranya protein, karbohidrat, lilin, dan zat warna pada produk. 4. Kadar Air Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5 %, menunjukkan bahwa penambahan sari buah markisa tidak berpengaruh nyata terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan. Tabel 8 menunjukkan nilai rata-rata kadar air bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 8. Rata-Rata Kadar Air Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Perlakuan Kadar air (%) D (25 % : 75 %) 2,2286 C (50 % : 50 %) 2,2273 B (75 % : 25 %) 2,2025 A (100 % : 0 %) 2,1311 Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata kadar air bubuk instan campuran sari buah yang dihasilkan berkisar antara 2,1311 % (perlakuan A) – 2,2286 % (perlakuan D). Dengan penambahan sari buah markisa maka kadar air bubuk instan cenderung mengalami kenaikan, karena pada sari buah markisa mengandung kadar gula yang tinggi (terbukti dengan rasanya yang manis) sehingga berpengaruh pada kadar air bubuk instan yang dihasilkan. Menurut Kumalaningsih et al (2005), karakteristik bahan pangan bubuk siap saji memiliki kadar air 2 – 4 %. 5. Vitamin C Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata 5 %, menunjukkan bahwa penambahan sari buah markisa berpengaruh nyata terhadap bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang dihasilkan. Tabel 9 menunjukkan nilai rata-rata kadar vitamin C bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa. Tabel 9. Rata-Rata Kadar Vitamin C Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus dan Markisa. Perlakuan Vitamin C bubuk (mg/100 gr bahan)
10 A (100 % : 0 %) 39,3929 a B (75 % : 25 %) 23,9760 b C (50 % : 50 %) 11,0929 c D (25 % : 75 %) 8,8681 c Kk = 2,4742 % Angka-angka pada jalur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa dengan penambahan sari buah markisa maka vitamin C bubuk instan mengalami penurunan dari 39,3929 mg/100 gr bahan (perlakuan A) menjadi 8,8681 mg/100 gr bahan (perlakuan D). Penurunan kadar vitamin C bubuk instan yang dihasilkan terjadi karena selama pengolahan campuran sari buah mengalami oksidasi vitamin C Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1995), bahwa vitamin C mudah teroksidasi selama pengolahan dan penyimpanan tetapi kerusakannya dapat dihambat dalam keadaan asam. Selain itu menurut Deman (1997), bahwa vitamin C mudah rusak selama proses, pemanasan yang terlalu lama dengan adanya oksigen akan merusak kandungan vitamin C dalam makanan. Pada campuran sari buah untuk bahan baku juga dapat dilihat yaitu dengan adanya penambahan sari buah markisa akan menurunkan kadar vitamin C bahan baku. 6. Organoleptik a. Warna Hasil pengamatan terhadap warna larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa telah diuji oleh 25 orang panelis. Tabel 10 menunjukkan nilai rata-rata pada pengujian terhadap warna. Tabel 10. Skor Rata-Rata Warna Larutan Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus Dan Markisa. Perlakuan Warna C (50 % : 50 %) 4,08 a A (100 % : 0 %) 3,88 a B (75 % : 25 %) 2,92 b D (25 % : 75 %) 2,11 c Kk = 26,4554 % 1. Angka-angka pada jalur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT. 2. Nilai organoleptik berkisar antara 1 sampai 5, dengan 1= tidak suka, 2 = kurang suka, 3 = biasa, 4 = suka dan 5 = sangat suka. Pada Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata uji organoleptik terhadap warna larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa, yaitu berkisar antara 2,11 – 4,08. Nilai warna tertinggi diperoleh pada perlakuan C yaitu 4,08 (suka). Dengan penambahan sari buah markisa (perlakuan C) maka warna larutan dari warna merah menjadi kuning jingga. Menurut Rodriquez dan Raihana (1986) cit Novitasari (1999), Warna merah pada sari buah terung pirus disebabkan karena adanya zat antosianin, sedangkan
11 menurut Tressler dan Joslyn (1961) cit Novitasari (1999), warna kuning disebabkan adanya zat karotenoid pada sari buah markisa. b. Aroma Hasil pengamatan terhadap aroma larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa telah diuji oleh 25 orang panelis. Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata yang diperoleh pada pengujian terhadap aroma. Tabel 11. Skor Rata-Rata Aroma Larutan Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus Dan Markisa. Perlakuan Aroma C (100 % : 0 %) 2,96 A (50 % : 50 %) 2,96 B (75 % : 25 %) 2,80 D (25 % : 75 %) 2,48 Nilai organoleptik berkisar antara 1 sampai 5, dengan 1= tidak suka, 2 = kurang suka, 3 = biasa, 4 = suka dan 5 = sangat suka. Nilai rata-rata pada uji organoleptik terhadap aroma larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa berkisar antara 2,48 – 2,96 (kurang suka). Hal ini sesuai dengan pernyataan Apandi (1984) dan Pantastico, Chattopdyay dan Subramanya (1986) yang menyatakan bahwa markisa mempunyai bau dan rasa yang khas, akan tetapi akibat penambahan beberapa bahan kimia dan pemanasan dalam pengolahan dapat menyebabkan aroma berbeda dari keadaan semula sehingga kurang disukai konsumen. Sedangkan menurut Muljohardjo (1988), salah satu kerugian yang ditimbulkan dalam proses pengeringan adalah kehilangan senyawa flavour atau senyawa-senyawa volatil yang mudah menguap. c. Rasa Hasil pengamatan terhadap rasa larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa telah diuji oleh 25 orang panelis. Tabel 12 menunjukkan nilai rata-rata yang diperoleh pada pengujian terhadap rasa. Tabel 12. Skor Rata-Rata Rasa Larutan Bubuk Instan Campuran Sari Buah Terung Pirus Dan Markisa. Perlakuan Rasa C (50 % : 50 %) 3,76 a A (100 % : 0 %) 3,24 a b B (75 % : 25 %) 3,00 b D (25 % : 75 %) 2,92 b Kk = 32,6811 % 1. Angka-angka pada jalur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT. 2. Nilai organoleptik berkisar antara 1 sampai 5, dengan 1 = tidak suka, 2 = kurang suka, 3 = biasa, 4 = suka dan 5 = sangat suka.
12 Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata rasa pada pengujian organoleptik terhadap rasa larutan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa berkisar antara 2,92 – 3,76. Rasa pada perlakuan A – perlakuan C (perbandingan sari buah terung pirus lebih besar dan sama) panelis memberikan penilaian biasa dan untuk perlakuan D (perbandingan sari buah terung pirus lebih kecil) panelis menyatakan kurang suka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1995), bahwa komponen rasa lain akan berinteraksi dengan komponen rasa primer, akibat yang ditimbulkan mungkin peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa yang akan mempengaruhi penilaian konsumen. 7. Analisa Produk Terbaik Analisa terhadap produk terbaik berupa bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yaitu pada perlakuan C dengan daya serap air 0,22 ml, kadar padatan yang tidak larut dalam air 0,9127 %, kadar air 2,2273 %, kadar vitamin C 6,0533 % dan uji organoleptik dengan skor untuk warna 4,08, aroma 2,96, rasa 3,76. Dari analisa produk terbaik maka dilanjutkan dengan analisa terhadap kadar gula pada produk terbaik tersebut. Kadar Gula Tabel 13. Kadar Gula Sukrosa Sampel Sukrosa (%) Rata-Rata (%) C1.1 50,5065 50,7918 C1.2 50,9282 C1.3 50,9406 Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa kadar gula sukrosa pada bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa berkisar antara 50,5065 % – 50,9406 % (perlakuan C). Sedangkan berdasarkan standar mutu SNI serbuk minuman rasa jeruk, jumlah gula sukrosa adalah 75 %. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan gula sebanyak 30 % pada pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa menghasilkan jumlah sukrosa dibawah standar mutu SNI serbuk minuman rasa jeruk. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan sari buah markisa berpengaruh nyata terhadap rendemen dan kadar vitamin C dan tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air, kadar padatan yang tidak larut dalam air, kadar air. Dimana penambahan markisa semakin menaikkan rendemen dan menurunkan kadar vitamin C bubuk. 2. Bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa yang terbaik adalah perlakuan C (50 % sari buah terung pirus dan 50 % sari buah markisa). Dari hasil analisa organoleptik diperoleh skor nilai yaitu warna 4,08; aroma 2,96; dan rasa 3,76. 3. Produk terbaik yang diperoleh berdasarkan uji organoleptik dan uji kimia yaitu pada perlakuan C dengan rendeman 68,5848 %, daya serap air 0,22 ml,
13 kadar padatan yang tidak larut dalam air 0,9127 %, kadar air 2,2273 %, kadar vitamin C 11,0929 mg/100 gr bahan dan rata-rata kadar gula yaitu 50,7918 %. 5.2. Saran Berdasarkan pelitian yang telah dilakukan terhadap sari buah terung pirus dan markisa, maka penulis menyarankan : 1. Penggunaan metode pengeringan lain pada pembuatan bubuk instan campuran sari buah terung pirus dan markisa, contohnya dengan Spray Drying. 2. Untuk melakukan penelitian tentang pembuatan bubuk instan sari buah dengan jenis buah yang berbeda. 3. Adanya fortivikasi dengan penambahan vitamin C. 4. Adanya penambahan persentase jumlah gula yang ditambahkan.
DAFTAR PUSTAKA Anas, Y dan Z. Zuki. 1981. Penuntun Praktikum Analisis Bahan Makanan. Departemen Pertanian UNAND. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 60 hal. [Anonim]. 2002. Terung Belanda, Kembaran Tomat Yang Langka. Harian Sinar Harapan Lampung. Rabu, 20 Februari 2002. Lampung. http://www.terranet.or.id. [25 November 2005]. Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Bandung. Alumni. 106 hal. Asfaruddin, H. Dahlan, Rini B. 2003. Rekayasa dan Introduksi Alat Pemisah Biji dan Cairan Buah Markisa untuk Pembuatan Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 8. 18-28 hal. Biro Pusat Statistik. 1998. Kabupaten Solok dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Solok dengan Biro Pusat Statistik. --------------------------. 1999. Kabupaten Solok dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Solok dengan Biro Pusat Statistik. --------------------------. 2000. Kabupaten Solok dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Solok dengan Biro Pusat Statistik. --------------------------. 2001. Kabupaten Solok dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Solok dengan Biro Pusat Statistik. Buckle, KA, RA. Edward, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta. UI Press. 365 hal. Buharman B., Y. Mala, dan E. Afdi. PERSPEKTIF PENGEMBANGAN AGRIBISNIS MARKISA DI KABUPATEN SOLOK, SUMATRA BARAT. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 7. No.1 : 54-68 hal.
14 Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Terj. Padmawinata. Bandung. Teknologi Bandung. 549 hal.
Institut
Kumalaningsih, S., Suprayogi dan B. Yudha. 2005. Membuat Makanan Siap Saji. Surabaya. Trubus Agrisarana. 41 hal. Mardhiah, S.Z. 1996. Pengaruh Pemberian Beberapa Bahan Pengawet Alami Pada Nira Aren Terhadap Mutu Gula Semut yang Dihasilkan. [Skripsi]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 48 hal. Maulidarmi. 2004. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan Bubur Buah Terung Pirus (Cyphomandra betacea Cav Sendtner) Terhadap Mutu Sirup yang Dihasilkan. [Skripsi]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 42 hal. Muljohardjo, M. 1988. Tekonologi Pengawetan Pangan. Terj. dari Desrosier, N.W. Jakarta. Universitas Indonesia Press. 614 hal. Novitasari, R. 1999. Pengaruh Perbandingan Sari Buah Markisa Dengan Sari Buah Terung Pirus yang Dihasilkan. [Skripsi]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 41 hal. Pantastico, T.K., Chattopdyay dan H. Subramanya. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Pengaruh dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 161-190 hal. Salim, S. 1993. Diskripsi Pengusahaan Markisa Di Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Jakarta. Direktorat Pengkajian Sistem Industri Primer Deputi Bidang Analisis Sistem Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 17 hal. Silvia, N. 2002. Perbaikan Proses dan Formula Pembuatan Sirup Campuran Markisa dan Terung Pirus. [Skripsi]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 59 hal. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-3722-1995. Syarat Mutu Minuman Rasa Jeruk. Soekarto, S.T. 1981. Penilaian Organoleptik. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor. IPB. 120 hal. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Makanan dan Pertanian. Yogyakarta. Liberti. 138 hal. Suryanto, R., S. Kumalaningsih dan T. Susanto. 2001. Pembuatan Bubuk Sari Buah Sirsak (Annona muricata L) dari Bahan Baku Pasta dengan Metode Foam-Mat Drying, Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi
15 Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://digilib. Brawijaya.ac.id. Edisi 20 April 2001. [30 November 2005]. 25 hal. Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta. PT. Gramedia. 89 hal. Winarno, F. G. 1995. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 253 hal. Zubaedah, E., J. Kusnadi dan I. Andriastuti. 2003. Pembuatan Laru Yoghurt dengan Metode Foam-Mat Drying, Kajian Penambahan Busa Putih Telur Terhadap Sifat Fisik dan Kimia. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XIV No. 3. 258-261 hal.