KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
TESIS
Oleh
G. P. HUTAJULU 077005098/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
G. P. HUTAJULU 077005098/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Judul Tesis
: KEWENANGAN POLRI DALAM PENANGANAN BIDANG KEHUTANAN
Nama Mahasiswa
: G. P. Hutajulu
Nomor Pokok
: 077005098
Program Studi
: Ilmu Hukum
SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA DI
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 04 Agustus 2009 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Telah diuji pada Tanggal 04 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS
Anggota
: 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
ABSTRAK
Sanksi pidana yang dicantumkan terhadap pelaku kayu ilegal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang sudah cukup efektif. Secara umum peranan Polri dalam kasus kayu ilegal adalah pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau dokumen penebangan lainnya,(2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan,(3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw. Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasahan-permasalahan sebagai berikut Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan ,bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lain nya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan , apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal ( doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it is written in the book ) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law it is decided by the judge through judicial process ). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Koordinasi antara Polda Sumut dengan aparat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan pengadilan dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah Sumatera Utara yaitu dengan kejaksaan : Pengiriman surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang; Pra penuntutan Yaitu pengembalian berkas perkara dari Jaksa Penuntut Umum( JPU ) kepada penyidik untuk dilengkapi/disempurnakan dalam tenggang waktu 14 hari; Pengiriman berkas perkara (tahap I) dan pengiriman tahap II berupa tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada JPU;Perpanjangan penahanan selama 40 hari oleh penyidik kepada JPU;Gelar perkara dalam kasus kayu ilegal antara Polda Sumut dengan Kejaksaan terutama dalam perkara yang mendapat perhatian masyarakat. Dengan pengadilan; Perpanjangan penahanan lanjutan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; Persetujuan izin sita barang bukti oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Permohonan izin penggeledahan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri;Pengamanan sidang kasus kayu ilegal terutama yang mendapat perhatian masyarakat ;Pengamanan sidang lapangan (lokasi/areal pengambilan barang bukti).Kendala/hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan Propinsi G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Sumatera Utara antara lain; Personil yang kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS); Sarana dan prasarana yang sangat kurang seperti, mobil patroli,alat angkut barang bukti;kurangnya dukungan anggaran terutama untuk biaya pengangkutan dan perawatan barang bukti termasuk biaya penyidikan perkara. Kata Kunci :
Kewenangan Polri, Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
ABSTRACT Menaced crime sanction to perperator criminal act of forestry in Code of Republic Indonesia Number 19 year 2004 about Stipulating of Regulation of Government of Subsitution of Code Number I year 2004 about change of code number 41 year 1999 about forestry become code, have effective enough. In general role of police in case of forestry I s back up to (1) expenditure of rights permit management of forest(HPH) or other hewing document,(2) distribution and transportation result of plundering wood,(3) backing to sawmill and also,(4) ownership of chainsaw .Pursuant to breackdown of from above mentioned background,can be formulated by the following problems;how is the police’s authority as investigator in handling of doing an injustice of forestry,how is the coordination between police with government officer enforcer of other law in handling of doing an injustice of forestry,what is the resistance of constraint faced by police in haandling of doing an in justice of forestry. Methods used in this research is the judicial normative. Normative research method is also called as a doctrinal research Doctrinal research is a study that analysis whether a law written in the books (law as it is written in the book) and the law decided by judgesvthrough the court process ( law it is enough by judge through the judicial process),research based on normative law and secondary data on the steps speculative theoryand qualitative analysis of normative. Coordination between Poldasu with government officer enforcer of other law like public attorney and justice in handling of case of forestry in North Sumatera Region,that is with public attorney; delivery of notice in starting investigation executed pursuant to code; prosecution pre that is return law suit from public procecutor (JPU) to investigator to be equiped in grace period 14 day;delivery law suit (phase I) and delivery of phase II in the form of and evidence goods of investigator to JPU;lengthen detention during 40 day by investigator to JPU; Title Case in case of forestry between Poldasu with Prosecution, especialy in case getting attention of society. With justice; Lengthening of detention of continuation by investigator to Chief Distric Court; Approval of permit confiscate evidence by investigator to Chief Distric Court; Application of rummage permite by investigator of Chief Distric Court; Application of permit auction evidence goods by investigator to Chief Distric Court; Security of case conference (areal intake of evidence goods). Constraint faced by on duty forestry of provinsi North Sumatera in handling of case of forestry in territory of jurisdiction
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
of provinsi North Sumatera, for example: less adequate personnel either from amount facet and also quality as investigator of public servant of civil (PPNS); Very Facilities and basic facilities less like, prowl car, appliance transport, evidence goods; Lack of budget supportespecially for the transportation fee of and treatment of evidence goods of is including the expense of handling of case.
Key words:
POLRI Authority, Crime Act of forestry
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum/Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul Tesis ini adalah: “Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan” Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi
Magister Ilmu Hukum, yang memberikan kesempatan
kepada Penulis menjadi Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga Tesis ini selesai pada waktunya. 4. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 5. Bapak
Syafruddin
S.
Hasibuan.,
S.H.,
M.H.,
sebagai
Komisi
Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini. 6. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepadaTuhan YME. 7. Kepada Istri dan Anak-anakku, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. 8. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan YME membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan,
Juli 2009
Penulis
G.P. HUTAJULU
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Ginting Pandapotan Hutajulu
Tempat/Tanggal Lahir
:
Laguboti, 06 Oktober 1957
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Kristen Protestan
Pekerjaan
:
Polri/ Kasubdit PAM OPSUS DIT SAMAPTA
Pendidikan
:
SR Tamat Tahun 1969 SMP Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1972 SMA Negeri 1 Laguboti Tamat Tahun 1975 Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1982 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................. i ABSTRACT ................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ................................................................................ iv RIWAYAT HIDUP ..…………………………………………………………. vii DAFTAR ISI ............................................................................................. viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xii BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 12 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12 D. Manfaat Penelitian .............................................................. 13 E. Keaslian Penulisan .............................................................. 13 F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 14 G. Metode Penelitian ............................................................... 21 BAB II
KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN......………………………………………………....28 A. Eksistensi Kayu Ilegal ........................................................ 28 1. Praktik kayu Ilegal…………………………………………28 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal .............. 30 B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal .......................... 37 C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal .............................................. 42 1. Ketentuan Pidana Di Bidang Kehutanan ......................... 42
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
2. Ketentuan Pidana Lain yang Terkait dengan Kayu Ilegal .................................................................... 53 D. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan 65 BAB III
KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN ……………. 86 A. Frekuensi Tindak Di Bidang Kehutanan yang Terjadi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara …….. 86 B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan Secara Liar…………………………………………………... 93 1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam Pengelolaan Hutan………………………………………... 93 2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial .................................. 99 C. Koordinasi Antara Polri Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan ..…………………………………………………. 105
BAB IV
KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANGKEHUTANAN ……………………… 112 A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan …………112 1. Upaya Preventif ..……………………………………….112 2. Upaya Represif ………………………………………… 117 B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek Pidana ………………………………………………………. 122 C. Kendala atau Hambatan Yang Dihadap Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan ………... 128
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................134 A. Kesimpulan .......................................................................134 B. Saran .................................................................................135
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................137
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
DAFTAR TABEL
No 1
Judul
Halaman
Data Kasus Kayu Ilegal di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2001-2005 ..................................
89
2
Data Penanganan Kasus Kayu Ilegal Tahun 2005 s/d 2008 .................................................................
91
3
Data Kasus Kayu Ilegal yang Di Tangani Polda Sumut Tahun 2004 s/d 2008 .....................................................
92
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
Data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009....................................................
143
1
2
Data Penyidik dan Penyidik Pembantu Dit Reskrim Polda Sumut dan Sat Reskrim Sejajaran Tahun 2009 ......................... 144
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengrusakan hutan alam Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru dunia telah mencapai proporsi yang sangat besar. Menurut data dari Departemen Kehutanan tahun 2003, disebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar dengan laju degradasi dalam tahun 2003, 2004, 2005, mencapai 2,1 juta per tahun. Bahkan ada laporan yang mengatakan bahwa setiap tahunnya Indonesia, kehilangan hutannya antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar, angka ini berarti sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya. 1 Bahkan data terbaru menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 83 miliar per hari akibat praktek kayu ilegal yang terjadi. Bahkan yang lebih buruk lagi praktek kayu ilegal
ini tidak hanya berdampak pada
kerugian negara tetapi juga memberikan dampak negatif bagi generasi sekarang (kerugian langsung) seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya penyakit, dan tanah longsor. 2
1
IGM. Nurdjana, dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 5. 2 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, (Jakarta: Erlangga, 1995), hal. 1.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Selain itu, praktek
kayu ilegal
juga membawa dampak negatif bagi
kehidupan generasi yang akan datang seperti hilangnya plasma nutfah (flora dan fauna), perubahan struktur alam (erosi), berkurangnya keanekaragaman hayati, dan habisnya sumber daya alam. Menurut Emil Salim diperhitungkan bahwa dalam enam dasawarsa tahun mendatang hutan di Indonesia akan habis seluruhnya. Hal ini benar-benar telah sangat mengkhawatirkan, apabila hanya memperhatikan hutan dari segi ekonomisnya saja tanpa memperhatikan ekosistem hutan sebagai bagian keseimbangan lingkungan yang amat penting untuk segera dipulihkan dan dilestarikan. 3 Melihat kondisi hutan Indonesia yang semakin parah akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab, padahal hutan Indonesia adalah merupakan salah satu paru-paru dunia, membuat pemerintah mulai mengambil kebijakan dengan memperbaharui undang-undang yang berhubungan dengan kehutanan baik dari segi sanksi pidananya maupun dari segi proses pemanfaatan hutan dan hasil hutan. Pemerintah mengambil kebijakan ini dengan harapan dapat menyelamatkan hutan dari oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga tercapai sumber daya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan hutan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggung jawab. Kebijakan yang diambil pemerintah ini antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mencabut UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, 3
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang mencabut
PP
No.
28
Tahun
1985
tentang
Perlindungan
Hutan
serta
dikeluarkannya Instruksi Presiden No.4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. 4 Perang terhadap kasus penebangan liar beberapa tahun ini menjadi perhatian para pemimpin di Indonesia. Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan perang terhadap kasus kayu ilegal dengan lebih serius dan tegas menangani perkara-perkara kejahatan lingkungan tersebut. Sebagai langkah awal, MA akan mengirimkan surat untuk mengingatkan semua pengadilan di seluruh Indonesia agar tak main-main dalam memproses perkara tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintahannya akan memerangi pencurian dan kayu ilegal , termasuk menindak oknum-oknum aparat pemerintah, penegak hukum, TNI, dan Polri yang menjadi backing pencuri dan penyelundup kayu di hutan Indonesia. 5 Lima hari setelah keluarnya pernyataan presiden, Polri menggelar operasi. Dalam operasi tersebut petugas berhasil menangkap 19 kapal layar motor dan tiga kapal motor di Sungai Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat. Belasan kapal itu mengangkut 12 ribu meter kubik kayu olahan kelas wahid, seperti bangkirai. Nilai 4
Ibid. Emerson Yuntho, “Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging”, Dikutip dari http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009. 5
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kayu yang akan diselundupkan ke Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu Rp 208 miliar. Selain besarnya tangkapan, sejumlah pihak diduga terlibat dalam kasus tersebut. Misalnya, aparat kepolisian, bupati, jaksa, hakim, pejabat Dinas Kehutanan, politikus lokal, serta cukong di Ketapang dan Kuching. Kondisi itu segera direspons Mabes Polri dengan memindahkan sejumlah tersangka kayu ilegal dari Kalimantan Barat ke Jakarta untuk ditangani langsung. 6 Meskipun sudah sering dilontarkan pernyataan mengenai perang melawan kayu ilegal dan sejumlah operasi dilakukan, hasil akhirnya cenderung mengecewakan. Hal itu akibat penegakan hukum dalam kasus kayu ilegal hingga kini tidak menyentuh seluruh aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan pemilik modal. Harus diakui, perang melawan praktik kayu ilegal sama susahnya dengan memerangi para koruptor. Hingga kini, pemerintah sudah melakukan lima kebijakan operasi pemberantasan kayu ilegal. Misalnya, Wana Jaya, Wana Laga, Wana Bahari, serta Operasi Hutan Lestari I,II, dan III. Namun, kenyataannya, operasi yang dilakukan juga tidak dapat menjerat pelaku sesungguhnya. Beberapa kalangan menyebut kayu ilegal sebagai kejahatan tak tersentuh hukum. 7 Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku kayu ilegal
dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
6 7
Ibid. Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, sebenarnya sudah cukup efektif. Ancaman pidana terberat adalah penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. Seharusnya ancaman itu mampu membuat para pelaku berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan pidana tersebut. Data kepolisian atas hasil Operasi Hutan Lestari menyebutkan, selama 2004 hingga Juni 2006, diungkap 4.178 kasus dengan jumlah tersangka 4.860 orang dan barang bukti 822.296 m3 kayu dan 2,37 juta batang kayu. Pada aspek penindakan, upaya pemerintah telah mencapai beberapa kemajuan dalam upaya memerangi kayu ilegal , namun gagal memenjarakan para pelaku utama. Dari ribuan kasus kayu ilegal tersebut, hanya segelintir cukong atau pelaku utama yang berujung hingga ke pengadilan. Hasilnya juga mengecewakan. 8 Dalam catatan ICW, selama empat tahun terakhir (2005-2008), dari 205 orang pelaku kayu ilegal yang diadili hanya 18 orang (8,8%) yang tergolong pelaku utama, seperti direktur, manajer, komisaris utama, pemilik sawmill, cukong, penegak hukum, pejabat Dinas Kehutanan, kontraktor, warga negara asing. Selebihnya, 187 orang (91,2%), adalah pelaku kelas teri, seperti operator, supir truk, dan petani. Dari semua yang diproses, sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. 8
Polda Sumatera Utara,Operasi hutan lestari I,2006.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Selebihnya, 44 orang (21,4%) divonis di bawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8%) divonis 1-2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8%) yang divonis di atas 2 tahun penjara. Banyaknya tersangka kasus
kayu ilegal
yang dibebaskan pengadilan
setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktik kayu ilegal yang dilakukan pemerintah dengan jajaran di bawahnya tidak didukung secara maksimal pihak yudikatif, dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah dinilai giat dalam memberantas praktik kayu ilegal , pengadilan justru giat membebaskan pelaku kayu ilegal . Tanpa ada kesamaan pandangan dan semangat memerangi kayu ilegal di antara aparat penegak hukum, sebanyak apa pun kasus yang diungkap akan kandas di pengadilan. Banyaknya pelaku kayu llegal yang dibebaskan pengadilan secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengadilan justru melegalkan praktik kayu llegal . 9 Independensi yang dimiliki hakim dalam memeriksa dan memutus suatu kasus sering disalahgunakan untuk kepentingan sesaat segelintir orang, namun berakibat kerugian bagi ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Kondisi itu diperburuk lemahnya pengawasan yang dilakukan internal pengadilan. Buruknya hasil di pengadilan juga diikuti dengan buruknya upaya penindakan oknum di Departemen Kehutanan yang diduga terlibat dalam pemberian izin tersebut. Dari sejumlah kasus kayu llegal yang terungkap, sanksi 9
Emerson Yuntho, Op Cit
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
yang diberikan terhadap oknum yang diduga terlibat masih sebatas sanksi administratif berupa pembebasan tugas, atau teguran, atau penundaaan kenaikan pangkat. 10 Di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, Taman Nasional Batang Gadis (disingkat TNBG) adalah sebuah taman nasional, yang terletak di 99° 12’ 45" BT sampai dengan 99° 47’ 10" dan 0° 27’ 15" sampai dengan 1° 01’ 57" LU dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi puncak Gunung Sorik Merapi. 11 Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda dalam kurun waktu 1921–1924. Sementara kawasan hutan produksi yang 10
Ibid. AR. Tanjung, “Illegal Logging dan Polisi”, Dikutip dari http://artanjung. blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html, Diakses tanggal 22 Februrari 2009. 11
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis Timber seluas 1.000 ha. Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam. TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan - harangan atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun 2003, kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan di Sumatera Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu 1985-1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan penebangan liar dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. 12 Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain. 12
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Seperti desa-desa lain di seberang Batang Gadis, di Humbang I juga beberapa tahun lalu terdapat aktivitas pembalakan kayu di Tor Siayo. Penduduk Humbang banyak yang ikut bekerja sebagai pengangkut kayu balok. Aktivitas penebangan liar berhenti sejak akhir tahun 2004. Maraknya aktivitas penebangan liar di daerah TNBG, diduga ada kaitannya dengan fakta bahwa harga gergaji mesin yang bekas cukup murah yaitu sekitar Rp 2,5 juta sehingga banyak orang yang mampu membeli. Pelaku
kayu ilegal
berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju lokasi hutan. Misalnya ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling (kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pola distribusi kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp. 50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu (jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah. 13 Aktivitas kayu ilegal di Huta Bargot Nauli (disingkat HBN) marak pada tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBN yang jadi salah satu 13
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
toke-nya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikuti jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Aktivitas pembalakan kayu berhenti sejak SBY dilantik menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004, daerah ini merupakan tempat beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang. Praktik-praktik
kayu ilegal
biasanya terjadi di bukit Tor Adian, Tor
Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Mayoritas pelaku kayu ilegal adalah warga luar desa yang sengaja datang menebang kayu. Pelaku utamanya adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu) dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat tinggal sementara di tengah hutan. Secara umum peranan POLRI dalam kasus sepuluh desa di atas adalah pem-backup-an terhadap (1) pengeluaran izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atau dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan, (3) Backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw. 14 Pertama, pengeluaran izin HPH. Untuk melakukan penebangan kayu secara legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Izin seperti ini diperlukan para pengusaha untuk melakukan praktek 14
kayu ilegal . Pada saat ini juga polisi membantu para
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
pengusaha
yang
mempunyai
HPH
untuk
mem-backup
segala
aktifitas
pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga berusaha mendapatkan dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan leluasa melakukan penebangan secara liar. Kedua, distribusi dan transportasi hasil kayu jarahan. Seperti terjadi di Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengawasan pengangkutan kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill. Ketiga, backing terhadap sawmill. Pada masa maraknya praktek
kayu
ilegal ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing Natal terus bertambah. Dalam satu desa bisa terdapat jumlah sawmill 3 sampai 4 sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya. Keempat, kepemilikan chaisaw. Dalam beberapa desa di wilayah Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil. Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polisi juga meminta insentif dari pemilik chainsaw lainnya, untuk bisa mengoperasikan chainsaw nya di desa. 15 Dalam proses penyidikan tindak pidana lingkungan, selain Penyidik Polri, PPNS Lingkungan juga mempunyai kewenangan dalam penyidikan berdasarkan UUPLH. Meskipun PPNS mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan, 15
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
namun untuk melanjutkan hasil penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum, PPNS Lingkungan harus melalui penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUPLH. 16 k B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan? 2. Bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan? 3. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan
16
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hal. 19.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
2. Untuk mengetahui sejauh mana koordinasi antara Polri dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana
di bidang
kehutanan. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi Polri dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk tercapainya penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. 2. Secara Praktis Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur upaya penanganan di bidang kehutanan.
E. Keaslian Penulisan Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Di Bidang Kehutanan ”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana di bidang kehutanan namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran yang bersifat membangun dan konstruktif. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam pembahasan mengenai Kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi. 17
17
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 26.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menurut Lawrence M. Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, kedudukan dan kepentingan. 18 Teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi
ada
pada
negara
dan
negara
mengatur
kehidupan
anggota
masyarakatnya. 19 Negara yang berdaulat melindungi masyarakatnya terutama masyarakat yang lemah. Dalam merumuskan wewenang Polri sebagai satu alat negara seyogyanyalah mempedomani teori kedaulatan yang menjadi sumber kekuasaan atau wewenang pemerintah Republik Indonesia, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Dalam mendelegasikan
menjalankan
pemerintahan
kepada
lembaga-lembaga
negara
tersebut
pemerintahan
kewenangan-kewenangan. Salah satu kewenangan
maka negara
Presiden berupa
tersebut adalah wewenang
untuk menyelenggarakan fungsi penegakan hukum dengan demikian Polri dalam melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa: negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas 18
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumetera Utara, 17 April 2004), hal. 21. 19 Mochtar Kusumaatmaja, Hukum,Masyarakat dan Pembinaan masyarakat ( Bandung:Bina Cipta,1976 ),hal.69
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kekuasaan belaka (machtstaat). Namun demikian lingkup wewenang Polri tersebut dibatasi oleh lingkungan kuasa hukum berdasarkan: a. Lingkungan kuasa soal-soal (zakengebied) yang termasuk kompetensi hukum publik; b. Lingkungan kuasa orang (personen gebied) yang terjangkau oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara atau prosedur dilakukannya tindakan kepolisian; c. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied) yakni lingkup batas waktu yang diatur dalam ketentuan undang-undang tentang tindakan kepolisian dan ketentuan undang-undang tentang kadaluarsa masalah tertentu; d. Lingkungan kuasa tempat/ ruang (ruimtegebied) yakni lingkup berlakunya hukum nasional publik dan hukum internasional publik serta hukum adat di suatu daerah/ wilayah atau lokasi tertentu. 20 Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum (equality before the law), berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada
20
H.Warsito Hadi Utomo,Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta:Prstasi Pustaka,2005),hal 63
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum. 21 Cita-cita hukum dan asas-asas hukum nasional, diharapkan mampu memberi arah pada proses transformasi masyarakat yang berkelanjutan mencakup semua orang dan seluruh masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Semakin mendekatnya cita-cita dengan kenyataan maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada hukum yang pada gilirannya akan memperkokoh wibawa hukum. 22 2. Konsepsi Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan maka dapat diberikan defenisi operasional sebagai berikut ; a. Kewenangan adalah hal berwenang; hak dan kekuasaan yang dipunyai atau dimiliki untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan; 23 b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini; 24
21
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 7. 22 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hal.11. 23 Daryanto, S.S., Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), hal. 633. 24 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 5.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; 25 d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan; 26 e. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini; 27 f. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing; 28 g. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan; 29
25
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1. 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 3. 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, Pasal 1 angka 11. 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 4. 26
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
h. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat; 30 i. Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 31 j. Anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; 32 k. Pejabat Polri adalah anggota Polri yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian; 33 l. Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undangundang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut, yaitu: 1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia; 2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;
30
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Pasal 6 angka 1, jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 angka 1. 31 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1. 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 2. 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 3.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut. 34 m. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, pengarapan; 35 n. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; 36 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan: (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan: (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : 34
Satochid. K., Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa. Daryanto, S.S., Op. Cit., hal. 575. 36 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 angka 1. 35
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
judicial process) 37 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatifkualitatif. 38 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 39 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan
37
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006,hal. 118. J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta,: 2003, hal. 3. 39 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, 2007, hal. 57. 38
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. 1. Tipe atau Jenis Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau normanorma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 40 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.41 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian
40
C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 89. 41 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 33.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan. 3. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer : Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai Kehutanan (misalnya: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Perlindungan Hutan, Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dll. 42 ), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang
otoritasnya
di
bawah
undang-undang
adalah
Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip
42
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan dan Illegal Logging, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008), hal. 7.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi. 43 c. Bahan hukum tersier: Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah. 44 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya. 45 Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundangundangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
43
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2005, hal 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, 1990, hal. 14. 45 Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung, 2004, hal. 97. 44
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
5. Metode analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. 46 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundangundangan, putusan-putusan pengadilan, serta hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan: a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ; b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan
perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. 46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 2006, hal. 225.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB II KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN A. Eksistensi kayu Ilegal 1. Praktik kayu Ilegal Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120, 35 juta ha, atu 63 persen luas daratan. 47 Hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi Indonesia, dengan sumbangan yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Sekitar 300.000 orang bekerja pada industri pengelolaan kayu dan paling tidak 14 juta orang menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup lebih dari 11 persen dari pendapatan ekspor selama 1994-1999. Walaupun begitu besar sumbangan hutan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, akan tetapi manfaat ini dihasilkan tanpa mempertimbangankan kelestarian hutan. 48 Laju perusakan hutan Indonesia juga sangat besar mencapai 1,6 juta hingga 2,1 juta ha per tahun dan salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kayu ilegal. 49 Kayu Ilegal hingga saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sulit untuk diberantas dan masih terjadi hampir di seluruh dunia. Yang paling parah 47
Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Vol.4, No. 3, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003), hal. 22. 48 Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). 49 Herdiman, V., Loc. Cit.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
justru banyak dilakukan dikawasan Asia Pasifik, khususnya di negara-negara Amerika Latin, Benua Afrika dan negara-negara dalam Association of South East Asian Nation (ASEAN). Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi kayu ilegal yang merupakan suatu kejahatan yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala internasional. Hasil kayu ilegal itu banyak di ekspor keluar negeri seperti RRC, Malaysia, Singapura bahkan ke Eropa, yang kemudian kayu yang diekspor ini ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk olahan. 50 Praktik-praktik kayu ilegal
merupakan permasalahan yang berdampak
multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya ekologi (lingkungan). Data dari Departemen Kehutanan 51 bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp.83 miliar per hari akibat kayu ilegal . Kerugian yang dialami negara tersebut merupakan angka kerugian minimum oleh karena kerugian yang disebutkan di atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian secara ekologis berupa hilangnya jenis/ spesies keanekaragaman hayati tidak
50
Tim BEINEWS, “Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal”, Dikutip dari www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009. 51 Menteri Kehutanan RI, “Enforcement Economic Program Conservation InternationalIndonesia EEPCI”, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics 52 , kerugian ekologis akibat kayu ilegal , khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun. Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut biasanya dilakukan untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun terus terjadi karena kerusakan hutan yang semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dari pemerintah pusat hanya berupa stimulasi. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal Belum adanya kesepahaman dalam memberikan definisi liar (ilegal) dalam rangka menjustifikasi setiap kasus tentang kayu ilegal antara pemerintah pusat dan daerah akan menimbulkan tanggapan atau penilaian tersendiri oleh masingmasing pihak terhadap
kayu ilegal . Kondisi ini diperburuk dengan adanya
kontradiksi kebijakan antara pusat dan daerah yang semakin mengaburkan konsep legalitas konsesi pengusahaan dan pemanfaatan hutan. Namun demikian, jika dilihat dari pengertian tentang kayu llegal yang bertitik tolak dari prilaku yang dapat merusak hutan maka praktik kayu ilegal ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
52
Herdiman, V., Op. Cit., hal.2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
a. Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hasil hutan, dan b Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan yaitu melakukan penebangan di luar konsesinya (over cutting), melanggar persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konsesinya, kolusi dengan pejabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan. Pandangan tentang faktor penyebab terjadinya
kayu ilegal
ini pun
bervariasi tergantung pendekatan yang digunakan masing-masing pihak. Kayu Ilegal berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang terjadi di luar daerah tebangan 53 . Namun dari berbagai pandangan itu tampaknya persamaan yang selalu ada dalam setiap pandangan yaitu memandang bahwa kasus kayu ilegal merupakan suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga faktor ekonomi adalah merupakan faktor utama yang menjadi penyebab dari kayu ilegal .
53
Haba, J., “Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”, www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
Dikutip
dari
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menurut Dudley bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan suburnya kayu ilegal pada tingkat lokal dan yang memungkinkan kayu ilegal meluas dengan cepat, yaitu: 54 1) Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa-desa dekat hutan; 2) Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal yang berkaitan dengan industri penebangan kayu; dan 3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya serta kolusi dengan para politisi dan pemimpin setempat. Ketiga faktor di atas saling mempengaruhi, saling mendukung dan saling melengkapi. Hasil penelitian Dudley, yang relevan dengan praktik kayu ilegal di Papua, dari ketiga faktor tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 55 Pertama, Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa-desa dekat hutan dipengaruhi oleh unsur-unsur: (1). Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan; (2). Pengaruh tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara ilegal; (3). Ketidakpuasan lokal atas kebijakan kehutanan pusat; (4). Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari. Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan pekerjaan dan pendapatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesedian
54 55
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 448-450. Ibid., hal. 438-439.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
masyarakat bekerja secara melanggar hukum (ilegal) dipengaruhi
kuat oleh
kenyataan bahwa anggota masyarakat yang lain bekerja demikian. Faktor lain yang sangat berpengaruh seperti di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Ketidakpuasan dan kebencian masyarakat di Papua merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang mengeksploitasi hutan di Papua dan kemudian hasilnya dibawa ke pusat sementara hanya sedikit sekali dikembalikan ke Papua, sehingga pembangunan di Papua jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pemerintah pusat dalam era pengelolaan hutan yang sentralistik seringkali memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar dengan mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi, sementara militer dan polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut tentu mempunyai kecenderungan untuk membela perusahaan pengelola kayu karena dibayar untuk menjaganya. Konflik antara perusahaan kayu pemegang konsesi dari pusat dengan masyarakat adat setempat tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan, sehingga keterlibatan aparat militer dan polisi dalam sistem pengelolaan hutan, baik sebagai protektor bagi perusahan maupun sebagai pemegang saham dan pengelola hutan seringkali menimbulkan pelangaran-pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) 56 . Kondisi demikian pada akhirnya menanamkan rasa kebencian dan ketidakpuasan
56
Asia Report No39, “Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan Rekomendasi”, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009, hal. 2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
masyarakat adat setempat atas kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik tersebut. Kedua, Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal berkaitan dengan industri penebangan kayu dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu: 1) Kebutuhan kapasitas terpasang industri dalam negeri dan permintaan kayu dari luar negeri; 2) Kemampuan pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan; 3) Tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu. Besarnya kapasitas industri kayu di daerah akan menimbulkan naiknya permintaan akan pasokan kayu yang mengarah kepada pemanenan kayu yang berlebihan. Kemampuan pasokan kayu dan kemampuan penyediaan industri perkayuan yang legal yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan kemudian menimbulkan permintaan tambahan akan kayu yang diambil dari hasil kayu ilegal . Tingginya permintaan atau rendahnya persedian kayu menurunkan laba
dari
perusahaan
kayu,
sehingga
untuk
mempertahankan
laba
itu,
dimungkinkan untuk membeli kayu ilegal yang lebih murah dan resikonya rendah. 57 Ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) diperkirakan, kebutuhan Industri akan kayu mencapai 60 juta meter kubik per tahun, sementara supply hanya sebesar 22 juta meter kubik per tahun, jadi defisit 57
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal.455.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kayu sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun. 58 Jalan termudah untuk memenuhi defisit kayu tersebut adalah melalui kayu ilegal . Permintaan akan kayu ini juga menimbulkan permintaan akan tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Dengan demikian faktor ini kemudian mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk disekitar hutan. Ketiga, Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya pada, serta kolusi dengan, para politisi dan pemimpin setempat dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti : a) Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kayu; b) Besarnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal; c) Besarnya partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan kayu ilegal; dan d) Banyaknya kerjasama ilegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau pejabat lokal. Faktor ketiga ini dapat terjadi oleh karena pejabat lokal mempunyai kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ditegakkan atau diabaikan. Kemudian para pengusaha memiliki modal atau dana yang diperoleh dari keuntungan bisnis kayu. Peristiwa hukum yang terjadi di sini adalah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 58
Herdiman, V., Op.Cit., hal. 23.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menurut Dudley bahwa semakin kuatnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal akan meningkatkan partisipasi pejabat lokal dalam kerja sama ilegal yang kemudian berpengaruh kepada peningkatan laba bagi pengusaha kayu.
59
Ketika kayu ilegal
meningkat dan potensi pendapatan masyarakat
menjadi jelas, maka kegiatan kayu ilegal juga semakin di terima oleh masyarakat, bahkan masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan tersebut dan melihat bahwa kegiatan tersebut akan tetap terjadi meskipun tanpa keterlibatan masyarakat. Kolusi yang terjadi antara pejabat lokal dengan pengusaha bisa terjadi karena adanya permintaan yang datangnya dari pengusaha dan penawaran dari pihak pejabat atau birokrat. Melihat dari motif yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan yang ditambah dengan rasio pendapatan yang diinginkan oleh oknum pejabat di atas pendapatan gaji rata-rata, sehingga memungkinkan terjadinya suap-menyuap. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa praktik-praktik kolusi dalam dunia bisnis di bidang kehutanan menjadi sangat rentan apabila kekuatan sistem hukum tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Proses kegiatan kayu ilegal
di atas akan terus berjalan jika kekuatan sistem hukum tidak dapat
menanggulangi.
59
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 453.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Akan tetapi ketika kekuatan sistem hukum diperkuat maka akan berpengaruh terutama akan mengurangi partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan ilegal yang kemudian menurunkan hasil atau keuntungan bagi pengusaha kayu yang pada akhirnya melemahkan pengaruh pengusaha-pengusaha kayu tersebut bagi pejabat lokal. Maka di sinilah letak pentingnya kekuatan sistem hukum dalam menanggulangi kegiatan kayu ilegal . Kekuatan sistem hukum dalam tentu harus didukung oleh unsur-unsur seperti; instrumen hukum yang efektif, penegak hukum yang profesional dalam arti memiliki integrasi moral, pendidikan dan kesejahteraan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, dana operasional yang cukup, konsistensi aturan yang terkait dengan kehutanan, koordinasi antar instansi terkait yang sinergis dan dukungan dari berbagai stakeholder terutama pemerintah dan seluruh masyarakat. B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal Permasalahan mendasar dari sulitnya memberantas kayu ilegal
dari
perspektif penegak hukum (Polri) yang dikemukakan oleh Komisaris Jenderal Polisi Erwin Mappaseng, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: pertama, bahwa kayu llegal
termasuk kategori “kejahatan terorganisir (organized crime)”. 60
Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang terorganisir dalam suatu jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Di antara pelaku yang terlibat adalah buruh penebang kayu, pemilik modal (cukong), penjual, pembeli 60
Herdiman, V., Op. Cit., hal. 22-23.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/ Polri dan oknum tokoh masyarakat. Antara elemen yang satu dengan yang lainnya terjalin hubungan yang sangat kuat dan rapi sehingga mengakibatkan sulitnya pengungkapan secara tuntas jaringan tersebut. Lebih lanjut Mappaseng mengatakan bahwa penebangan yang dulu dilakukan secara tradisional dan konvensional, kini telah bergeser dan menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan menggunakan sistem manajemen yang rapi dan baik dan jaringan pemasaran yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu dukungan berbagai sarana dan peralatan modern membuat mobilitas kegiatannya menjadi semakin cepat dan efektif. Kedua, karena ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply). Selain itu pertumbuhan dan permintaan industri kayu luar negeri seperti Malaysia, Tailand, Korea dan RRC menjadi faktor pendorong yang sangat kuat dan penyalurannya melalui black market (pasar gelap). Ketiga, penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari kewajiban
membayar pajak berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan
Dana Reboisasi (DR).
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Pelaku dalam kejahatan kayu ilegal dapat dikelompokkan sebagai berikut: 61 a) Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan kegiatan penebangan secara langsung baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. Laju perusakan hutan akibat kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ini relatif kecil oleh karena modal dan peralatan yang dimiliki sangat terbatas. b) Pemilik modal (cukong), pengusaha. Pelaku ini berperan sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, bahkan menjadi otak dari pencurian kayu. c) Pemilik industri kayu atau pemilik HPH. Pelaku ini bisa bertindak sebagai pencuri kayu dan bisa bertindak sebagi penadah kayu. d) Nahkoda kapal. Pelaku ini bisa berperan sebagai turut serta melakukan, atau membantu melakukan penyelundupan kayu atau kejahatan kayu ilegal . e) Oknum pejabat pemerintah atau oknum aparat pemerintah. Pelaku ini biasanya berasal dari oknum TNI, oknum Polri, Jagawana/ PNS Kehutanan, PNS Beacukai, oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD dan oknum politisi. Pelaku ini bisa terlibat KKN dengan pengusaha dan atau melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau pemberian konsesi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
61
Mabes POLRI, “Anatomi Illegal Logging”, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No. 3, terbit Desember 2003, (Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003), hal. 27.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
f) Pengusaha asing. Pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian. Pelaku-pelaku dalam kegiatan kayu ilegal
di atas dalam kasus yang
berdimensi luas memiliki jalinan hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan konsesi penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum aparat pemerintah dan pemilik modal dan dana untuk mendukung kepentingan tersebut. Pengusaha dapat mempengaruhi pejabat atau oknum aparat pemerintah lokal untuk melakukan kerja sama ilegal dalam bentuk kayu ilegal . Dalam rangka melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk setempat atau mendatangkan dari luar daerah. Modus operandi dalam kegiatan kayu ilegal adalah sebagai berikut: 62 Modus operandi di daerah hulu: a) Melakukan penebangan tanpa izin, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau pengusaha atau kepada industri pengelolahan kayu. b) Melakukan penebangan di luar izin telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Izin Penebangan Kayu (IPK) yang sah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya target produksi 62
Ibid.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
atau hasil tebangan untuk memenuhi kontrak dengan pembeli kayu yang sudah disepakati atau dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan perusahaannya. Modus ini juga seringkali menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal atau pekerja dari luar daerah. Modus operandi di daerah hilir a) Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). b) Pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; 1.Blangko dan isinya palsu. 2. Blangko asli akan tetapi isinya palsu. 3. SKSHH dari daerah lain c) Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai data yang ada dalam dokumen SKSHH. d) Penggunaan satu dokumen SKSHH yang berulang-ulang e) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat atau di laut sebagai pengganti SKSHH yang disita atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu sebagai pengganti SKSHH Dalam praktiknya, modus operandi yang dilakukan dalam kegiatan kayu ilegal ini melibatkan lebih banyak lagi pelaku, baik yang turut serta melakukan, membantu melakukan atau yang menyuruh melakukan. Pengangkutan tanpa
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dilengkapi SKSHH tidak hanya melibatkan pemilik kayu tapi pengangkutan termasuk nahkoda kapal terlibat dalam masalah tersebut. Dalam hal pemalsuan dokumen melibatkan pemilik kayu yang dokumen-dokumennya palsu, aparat penerbit dokumen palsu dan pembuat cap dan stempel. Demikian juga dengan penggunaan satu dokumen SKSHH berulang-ulang, ketimpangan antara jumlah kayu dalam angkutan dengan jumlah yang ada di dalam dokumen SKSHH, serta penggunaan dokumen pengganti, ini melibatkan
pejabat yang mengeluarkan
SKSHH juga pengangkut. C. Ketentuan Pidana Kayu Ilegal 1. Ketentuan Pidana Di Bidang Kehutanan
Pada saat berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan lex specialis di bidang kehutanan, maka berdasarkan ketentuan penutup undang-undang tersebut Pasal 83 mencabut UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam UU No. 5 Tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan. Namun diatur dalam peraturan pelaksanaannya berdasarkan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa: “Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini”. Dengan demikian dalam rangka menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan pada umumnya dan khususnya kejahatan kayu ilegal
maka ketentuan tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan untuk
kejahatan kayu ilegal
antara lain Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Untuk menerapkan sanksi pidana terutama dalam rangka penegak hukum pidana terhadap kejahatan kayu ilegal . Khususnya dalam proses penyidikannya maka selain penyidik Polri, diberikan juga kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam Departemen Kehutanan untuk melakukan tugas-tugas penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). a. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang hukum itu (penjelasan umum paragraf ke-18 UU No. 41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melawan hukum karena sanksi pidananya berat. Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan kayu ilegal menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: Pertama, Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (1): yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan dan alat angkut. Kedua, Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2)). Barangsiapa yang menimbulkan kerusakan ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (2), yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ketiga, Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf c) sampai dengan: 1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3) 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai; 4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
6)
130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf c: secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan. Perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 78 ayat (1), (2) dan (3) tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer (Comanditer Vennotschaap-CV), firma, koperasi dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)). Keempat, Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (pasal 78 ayat (4)). .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Kelima, Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)). Keenam, Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h). Pelanggaran ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000; (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h: yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi sura-surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada perbedaan antara isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut tidak mempunyai suratsurat yang sah sebagai bukti. Ketujuh, Membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000; (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (8). Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf j: yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, bulldozer, truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep dan kapal. Kedelapan, Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (9). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf k: tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Kesembilan, Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alatalat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)). Dalam penjelasannya disebutkan benda yang termasuk alat angkut antara lain kapal, tongkang, truck, trailer, pontoon, tugboat, perahu layar, helikopter dan lain-lain. Dari uraian rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999 tersebut di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana kejahatan kayu ilegal yaitu sebagai berikut:
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan. c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undangundang. d) Menebang pohon tanpa izin. e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal. f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH. g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin. Melihat rumusan dari unsur-unsur pasal tersebut mencerminkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan kayu ilegal . Akan tetapi perkembangan kasus kayu ilegal yang justru banyak melibatkan pejabat pemerintah termasuk pemerintah daerah atau pejabat lokal, Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri serta pejabat penyelenggara negara lainnya yang justru menjadi pelaku intelektual dalam kayu ilegal belum dapat dijangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 belum diberikan definisi tentang
kayu ilegal, belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan kayu ilegal. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang tidak diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut untuk lolos dari tuntutan hukum. Dikaitkan dengan perkembangan kejahatan kayu ilegal sebagaimana dijelaskan di atas, maka tidak dapat lagi diakomodasi dalam ketentuan pidana menurut UU No. 41 Tahun 1999. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Dalam UU No. 5 Tahun 1990 ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam (Pasal 40 ayat (1) dan (2)) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diaur dalam (pasal 40 ayat (3) dan (4)) UU No. 5 Tahun 1990, sedangkan unsurunsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan 33 sebagai berikut: Pertama, Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap: keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)) dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000; (dua ratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (1)). Penjelasan (Pasal 19 ayat
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
(1)): yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan dan memasukkan jenis-jenis bukan asli. Kedua, Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan penjara pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000; (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2)). Ketiga, Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap: keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan penjara kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000; (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (3)). Keempat, Barangsiapa karena kelalaian melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau luar Indonesia (Pasal
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah). (Pasal 40 ayat (4)). Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan kayu ilegal
dalam
undang-undang di atas antara lain: 1) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata. 2) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki,
merusak,
memusnahkan,
memelihara,
mengangkut,
memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan. Namun ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan. (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990). Melihat dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan kayu ilegal hanya sebagi
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
instrumen pelengkap yang hanya dapat berfungsi jika unsur-unsur tersebut terpenuhi. 2. Ketentuan Pidana Lain yang Terkait Dengan Kayu Ilegal Ketentuan
pidana
diluar
perundang-undangan
yang secara khusus
mengatur tentang kehutanan sebagaimana telah diuraikan di atas dan yang ada kaitannya dengan kejahatan kayu ilegal adalah antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe ada dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana secara khusus, yaitu: 63 1) Orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. 2) Perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten), maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan
kayu ilegal
merupakan tindak pidana khusus yang dalam
kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. 63
Andi Hamzah,Azas-Azas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta 2005),hal.129
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Pada dasarnya kejahatan kayu ilegal , secara umum berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu: a) Pengrusakan Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang tersebut dapat berupa barang terangkat dan tidak terangkat, namun barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dapat dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebagimana yang disebutkan dalam pasal tersebut dan tidak relevan untuk diterapkan pada kejahatan pengrusakan hutan. Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah (gedung) atau kapal. Hukuman itu ditambah sepertiganya jika dilakukan bersama-sama. Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kayu ilegal berangkat dari pemikiran dan konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin fungsi kelestarian fungsi hutan. Kayu Ilegal
pada hakekatnya
merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over cutting atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki. b) Pencurian Pencurian menurut Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (1)
Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.
(2)
Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.
(3)
Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.
(4)
Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mengambil manfaat dari hasi hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun. c) Penyelundupan Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang penyelundupan, sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu secara ilegal) menjadi bagian dari kejahatan kayu ilegal
dan merupakan
perbuatan yang dapat dipidana. Namun demikian, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang mengatur tentang membeli, menjual atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat dinterprestasikan sebagai suatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut apakah nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak menimbulkan kontra interprestasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
d) Pemalsuan Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276 KUHP. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan: suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama enam tahun dan Pasal 264 paling lama delapan tahun. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan ancaman hukuman terhadap pemalsuan materai dan merek dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun. e) Penggelapan Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di dalam kekuasaan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan kayu ilegal antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity) dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan izin
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
yang dimiliki adalah sistem tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah). f) Penadahan Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam bahasa asingnya “heling” (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900; (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu ilegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil kayu ilegal yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Modus ini pun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
b. UU Pemberantasan Korupsi Mengacu pada uraian tentang perkembangan kejahatan kayu ilegal dan melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh praktik-praktik kayu ilegal yang bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi akan tetapi juga terkait dengan aspek ekologi, sosial dan budaya, maka sangat jelas bahwa
kayu ilegal
bukanlah
merupakan suatu kejahatan yang biasa akan tetapi dapat digolongkan sebagai extra ordinary crime yang penanganannya pun tidak dapat dilakukan dengan caracara yang biasa. Demikian juga penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal ini, tidak hanya diarahkan kepada penegakan keadilan hukum, tetapi juga harus diarahkan pada penegakan keadilan sosial dan ekonomi secara simultan. Artinya bahwa tidak hanya memberikan hukuman kepada pelaku dengan sanksi yang berat, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku dapat kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam kejahatan
kayu ilegal
terdapat juga tindak pidana lain seperti
tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru menjadi faktor utama penyebab semakin meningkatnya kegiatan ilegal tersebut. Unsur merugikan keuangan dan perekonomian negara yang menjadi unsur dalam tindak pidana korupsi relevan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan kayu ilegal yang juga merugikan keuangan atau perekonomian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian juga unsur-unsur kolusi seperti suap menyuap juga menjadi fenomena dalam praktik kayu ilegal .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kejahatan
kayu ilegal
mempunyai dampak yang multi dimensional yang salah satunya sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Hal ini juga merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana Korupsi.. Dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan pengertian korupsi yaitu perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Beberapa kalangan menilai bahwa ada keterkaitan antara korupsi dengan kejahatan
kayu ilegal . Menurut pendapat direktur eksekutif LSM Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI) 64 bahwa “Akar permasalahan dari kayu ilegal adalah korupsi, hal ini dilihat dari izin-izin soal hutan yang dikelola oleh birokrasi pemerintah ”. Praktik-praktik KKN dalam kejahatan kayu ilegal inilah yang dapat tersentuh oleh penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan kayu ilegal , sehingga penegakan hukum hanya tertuju pada pelaku masyarakat kecil yang hanya diupah untuk melakukan kegiatan kayu ilegal
tersebut, namun otak dari
kejahatan kayu ilegal tersebut tidak tersentuh oleh hukum. Kolusi antara pejabat atau aparat pemerintah dengan pengusaha dalam kegiatan pengelolaan hutan merupakan salah satu faktor penyebab suburnya kegiatan kayu ilegal , namun dalam undang-undang kehutanan belum mengatur
64
Ginting, L., “Korupsi adalah Inti www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
dari
Illegal
Logging”,
Dikutip
dari
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
tentang unsur-unsur keterlibatan pelaku dari pihak pemerintah dalam kejahatan kayu ilegal , sehingga undang-undang tersebut terkesan selektif dan diskriminatif. Dalam perundang-undangan dibidang kehutanan belum mengatur tentang tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri, sehingga aturan hukum yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal , terutama menyangkut unsur-unsur korupsi masih harus mengacu pada undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini. Pengertian pegawai negeri juga diperluas menjadi orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
negara atau masyarakat. Ketentuan dalam UU No. Tahun 2001 yang dapat dikaitkan dengan kejahatan kayu ilegal antara lain: 1) Memberikan
atau
menjanjikan
sesuatu
kepada
pegawai
negeri
atau
penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut (Pasal 5 ayat (2). Ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah). 2) Memberikan sesuatu kepada hakim atau advokat untuk mempengaruhi putusan atau pendapatnya (Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b). Hakim atau advokat yang menerima pemberian tersebut (Pasal 6 ayat (2)). Ancaman pidana penjara15
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
(lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000; (seratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 3) Pegawai negeri yang dalam tugas jabatannya menggelapkan uang atau surat berharga, atau membiarkan diambil atau digelapkan orang lain. (Pasal 8). Ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000; (seratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 750.000.000; (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 4) Pegawai negeri atau orang yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan, memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk memeriksa administrasi (Pasal 9). Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah) hingga 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta rupiah). 5) Pegawai negeri yang menerima janji atau hadiah karena kekuasaan atau wewenang yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11). Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 250.000.000; (dua ratus lima puluh juta rupiah). 6) Pasal 12 ayat (1): ancaman pidana terhadap korupsi yang nilainya diatas Rp. 5.000.000; adalah penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda Rp. 200.000.000; (dua ratus juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah). Korupsi di bawah Rp. 5.000.000; (lima juta rupiah) pidana penjara paling lama 3 (tiga)
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000; (lima puluh juta rupiah), terhadap: a) Pegawai yang menerima hadiah atau janji agar melakukan atau tidak melakukan yang bertentangan dengan kewajibannya. (huruf a); b) Pegawai negeri yang menerima hadiah dari sesuatu yang telah dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (huruf b); c) Hakim yang menerima hadiah untuk mempengaruhi putusannya (huruf c); d) Advokat yang menerima hadiah untuk mempengaruhi pendapatnya (huruf d); e) Pegawai negeri yang memaksa orang lain untuk memberikan atau mengerjakan sesuatu (huruf e); f) Pegawai negeri yang meminta, menerima atau memotong pembayaran pegawai negeri lain yang seolah mempunyai utang (huruf f); g) Pegawai negeri yang meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang yang seolah-olah merupakan utang pada dirinya (huruf g); h) Pegawai negeri yang mengagunkan tanah negara yang dibebani hak dan merugikan orang yang berhak (huruf h); i) Pegawai negeri yang secara langsung atau tidak turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang menjadi tugasnya untuk mengurus dan mengawasi (huruf i).
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Apabila dibandingkan antara sanksi pidana yang ada di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dengan sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999, maka sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 lebih berat dan lebih bisa memberikan efek jera kepada pelaku. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah merupakan lex specialis dari tindak pidana di bidang kehutanan, akan tetapi undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri atau pejabat penyelenggara lainnya. UU No. 20 Tahun 2001 juga merupakan undang-undang khusus tentang tindak pidana korupsi dan mengatur secara khusus perbuatan pidana terhadap pegawai negeri. Oleh kerena itu, sepanjang undang-undang tentang kehutanan sebagai lex specialis belum mengatur dan untuk menjaga kekosongan hukum maka UU korupsi dapat diterapkan kepada pelaku pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal . Akan tetapi sasaran penegakan hukum itu terutama hanya ditujukan
pada
tindak
pidana
korupsinya
dan
bukan
perbuatan
yang
mengakibatkan kerusakan hutan. Penerapan undang-undang tindak pidana korupsi terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal
yang
dilakukan bersama-sama dengan pelaku lain yang bukan pegawai negeri akan menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi pelaku yang bukan pegawai negeri karena perbedaan kapasitas sanksi yang diterima masing-masing pelaku. Hal lain yang juga menjadi masalah yaitu semakin meluasnya proses pengusutan dalam
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
rangka penegakan hukum terhadap kejahatan
kayu ilegal
itu yang akan
membutuhkan waktu yang relatif lama dan proses yang berbeli-belit. D. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dalam rumusan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Polri melekat pula pertanggung jawaban sehingga bila wewenang tersebut digunakan dengan melampaui kewenangan yang diberikan maka ada prosedur sanksi dan pertanggung jawabannya.Bentuk-bentuk wewenang Polri dalam proses pidana dinyatakan lebih rinci dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kelompok
wewenang
Kepolisian
dapat
dikenali
berdasarkan
pengelompokan tugas-tugas yang bersumber dari kewajiban umum Kepolisian dan perundang-undangan lainnya
dalam proses pidana, oleh karena itu
wewenang Polri dapat dibagi menjadi (4) bagian yaitu: 65 1. Wewenang Kepolisian secara umum. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 , Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang 66 :
65
Momo Kelana, Memahami Undang-Undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002 (Jakarta;PTIK Press,2002), hal 109 66. Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 15 ayat (1).
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan Rumusan kewenangan ini merupakan legitimasi bagi Polri sebagai pejabat yang berwenang “menerima laporan dan pengaduan” dalam rangka pelaksanaan tugas Kepolisian dan merupakan penegasan kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum merupakan tugas yang termasuk dalam lingkup “kewajiban umum Kepolisian” sehingga Polri dapat melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif. Kewenangan ini diberikan untuk membantu menyelesaikan agar tidak berkembang ke arah timbulnya bahaya yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan umum. c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. Dalam rumusan ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penyakit masyarakat” antara lain pengemisan dan pergelendangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia dan pungutan liar. Penyakit masyarakat merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian untuk pencegahan dan penanggulangannya sehingga Polri dapat melakukan upaya-upaya preemtif maupun preventif. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kewenangan mengawasi aliran kepercayaan juga diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1991 yang diperbaharui dengan UndangUndang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan demikian dalam pelaksanaannya dibutuhkan koordinasi antara Polri dan Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan ditengah-tengah masyarakat agar tidak terjadi perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. e. Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian. Rumusan kewenangan ini merupakan konsekuensi dari fungsi Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang mencakup antara
lain
“Fungsi
Pengaturan”.Kewenangan
ini
sejalan
dengan
pembahasan istilah “Peraturan Kepolisian” yang tercantum dalam ketentuan umum, pasal 1 angka 4 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002. f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan. Rumusan ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi tindakan pemeriksaan khusus yang dilakukan oleh pejabat Polri sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan. Taktik dan teknis operasi Kepolisian dapat ditemukan baik dalam rangka pelaksanaan kegiatan / operasi rutin Kepolisian sehari-hari maupun dalam rangka kegiatan /
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
operasi khusus yang salah satu bentuk tindakannya berupa pemeriksaan khusus atau razia. g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian. Kewenangan ini merupakan kewenangan umum Kepolisian dan legitimasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Polri ditempat kejadian guna penanganan tempat kejadian dan barang bukti.Rumusan kewenangan ini memberikan dasar dan kekuatan hukum bagi “Tanda Garis Polisi” atau police line yang dipasang pada tempat kejadian sehingga terhadap mereka yang melewatinya tanpa izin dari Kepolisian dapat dikenakan sanksi hukum dan tindakan Kepolisian. h. Mengambil sidik jari dan indentitas lainnya serta memotret seseorang. Bagi pelaksanaan tugas Kepolisian, identitas merupakan faktor yang sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan terhadap seseorang selain itu identitas akan terkait dengan hak dan kedudukan
hukum
dari
seseorang
secara
pribadi
sehingga
untuk
penentuannya diperlukan dasar hukum. i. Mencari keterangan dan barang bukti. Rumusan ini memberikan legitimasi bagi kewenangan umum Polri dalam mencari keterangan dan barang bukti, baik untuk kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian maupun untuk kepentingan proses pidana. Dengan demikian keterangan dan barang bukti yang dikumpulkan oleh Polri secara hukum mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Pusat informasi kriminal nasional adalah sistem jaringan dari dokumentasi kejahatan maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan indentifikasi lalu lintas.Upaya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dikaitkan dengan peran Polri selaku penegak hukum mempersyaratkan pengenalan terhadap bentuk dan intensitas dari gangguan Kamtibnas yang ditandai dengan pelanggaran hukum dan bentuk gangguan lainnya.Rumusan ini dimaksudkan agar informasi tentang kriminal secara nasional diselenggarakan oleh badan atau lembaga yang diberikan kewenangan berdasarkan Undang-undang sehingga kebijakan keamanan, penanggulangan kejahatan dan kebijakan pemolisian secara nasional didasarkan kepada hasil analisa informasi yang akurat.Dalam hal ini instansi yang diberikan kewenangan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat. Rumusan ini memberikan penegasan dan konsekwensi dari fungsi Kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang mencakup anatara lain “Fungsi Perizinan”.Wewenang pemberian izin bukanlah melambangkan kekuasaan tetapi karena hakekat perizinan adalah agar terdapat keadilan, pengamanan dan perlindungan. l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Rumusan ini menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban dan keamanan umum khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, sidang pengadilan mempersyaratkan suasana tertib dan aman dan untuk itu Polri diberi
kewenangan.Kewenangan
umum
untuk
memberikan
bantuan
pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat namun penggunaan kewenangan itu atas permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat. m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Rumusan kewenangan ini merupakan legitimasi penyimpanan barang temuan untuk sementara waktu agar penguasaan terhadap barang (milik orang lain) tersebut tidak disebut sebagai tindakan melawan hak atau melanggar hukum. 2.Wewenang Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; Rumusan kewenangan ini diadopsi dari substansi kewenangan yang diatur dalam pasal 510 KUHP.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; Rumusan kewenangan ini merupakan penegasan kewenangan Polri dalam pendaftaran kendaraan bermotor untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan yang dioperasikan, mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang nomor 14 tahun 1992 yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi. c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; Kewenangan yang dirumuskan dalam huruf c tersebut diatas merupakan pemantapan kewenangan Polri sebaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang 14 tahun 1992 yang dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi. d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; Rumusan kewenangan ini merupakan penegasan kewenangan Polri dalam mengatur kegiatan politik sebagaimana diatur dalam Perpu nomor 2 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum yang dapat berbentuk unjuk rasa, demonstrasi, pawai dan rapat umum serta pemaparan melalui media massa baik cetak maupun elektronik.Perpu ini kemudian diganti dengan
Undang-Undang
nomor
9
tahun
1998
tentang
kemerdekaan
mengeluarkan pendapat dimuka umum. e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Rumusan
kewenangan
ini
merupakan
penegasan
kewenangan
Polri
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 DRT/1951,Lembaran Negara tahun 1951 nomor 78 tentang senjata api. f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; Pesatnya
perkembangan
usaha
di
bidang
jasa
pengamanan
telah
menimbulkan urgensi pengawasan oleh Polri.Berbagai perusahaan /badan usaha tidak saja menyediakan personil pengamanan terlatih untuk pengamanan berbagai kegiatan dan industri tetapi juga menawarkan berbagai produk alat dan teknologi pengamanan pribadi. Operasional dari badan usaha tersebut memerlukan izin dari Polri dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar tidak timbul ekses yang justru menimbulkan kerawanan keamanan. g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; Secara substansi, kewenangan ini terkait dengan pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 dan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 karena setiap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dengan sendinya dari segi Kepolisian adalah pengemban fungsi Kepolisian yang wajib menguasai kemampuan teknis Kepolisian yang meliputi tataran preemtif, preventif dan represif-yustisial. h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Rumusan kewenangan ini memberikan peluang bagi kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan negara lain berdasarkan traktat atau perjanjian internasional dalam menyidik dan memberantas kejahatan yang trend lintas batas negara dan memerlukan kerjasama atau perjanjian antar negara secara khusus baik bilateral maupun multilateral seperti halnya “Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana.” i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; Pengawasan yang dilakukan oleh Polri adalah pengawasan fungsional yang terkait dengan kewajiban umum Kepolisian dan tujuan Kepolisian dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri.Kewenangan ini memberikan dasar hukum bagi tugas-tugas dan kegiatan fungsi intelijen dan pengamanan Kepolisian yang meliputi intelijen kriminal, pengamanan dan pengawasan orang asing. j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; Rumusan kewenangan ini memberikan dasar hukum bagi Polri untuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian internasional antara lain International Criminal Police Organization (ICPOInterpol). k.
Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Rumusan kewenangan ini dimaksud untuk menampung berbagai ketentuan tentang kewenangan Polri yang tersebar di berbagai Undang-Undang. 3.Wewenang “Diskresi Kepolisian.” Diskresi kepolisian ( police discretion ) dalam Ensiklopedia Ilmu Kepolisian didefenisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk memelihara diantara sejumlah tindakan legal atau ilegal atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menunaikan tugasnya. 67 Diskresi merupakan wewenang dari pejabat publik demi kepentingan umum untuk bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut penilaiannya sendiri . Demikian juga halnya dengan pejabat kepolisian negara memiliki kewenangan ‘ diskresi ‘ 68 . Diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian ( plichtmatigheidsbeginsel ) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian nya sendiri dalam rangka kewajiban umumnya menjaga ,memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Seseorang petugas Polri yang bertugas ditengah-tengah masyarakat seorang diri harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperhatikan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum. 67 68
Momo Kelana, Op.Cit, hal 111 Ibid, hal 112
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Dalam
keadaan
seperti
itu
tidak
mungkin
baginya
untuk
meminta
petunjuk/pengarahan terlebih dahulu dari atasan nya sehingga dia harus memutuskan sendiri tindakannya. Terdapat kekhawatiran bahwa sipetugas tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung kepada kemampuan subjektif dari sipetugas tersebut. Dalam hukum kepolisian dikenal berupa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas Polri akan melakukan “diskresi” yaitu ; 69 a.Tindakan harus benar-benar diperlukan ( noodzakelijk,notwending) atau asas keperluan. b.Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian ( zakelijk, sachlich ) c.Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya sesuatu atau tidak terjadinya suatu yang dikhawatirkan ,dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan ( zweckmassig,doelmatig ) d.Asas keseimbangan ( evereding ). Dalam mengambil tindakan berdasarkan penilaian sendiri,yang paling menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu pemahaman tentang “ diskresi kepolisian “ dalam Pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan dengan konsekwensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 31,32 dan 33
69
Ibid, hal 113
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 sehingga adanya jaminan bahwa petugas Polri akan mampu mengambil tindakan secara cepat dan profesional. 4.Wewenang Kepolisian dibidang proses pidana Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian terdiri dari tugas-tugas yang berada pada tataran tugas pencegahan ( preemtif dan preventif ). Tataran tugas represif terdiri atas bentuk-bentuk,Pertama, tindakan kepolisian yang bersifat represif non-yustisial ( sekedar memulihkan keadaan yang terganggu berdasarkan kewajiban umum kepolisian ) dan Kedua, tindakan yang bersifat represif yustisial yaitu tindakan kepolisian dibidang proses pidana ( criminal justice system ) berdasarkan asas legalitas sesuai ketentuan acara pidana. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 menyebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dalam pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana , Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang untuk : a.
Melakukan penangkapan ,penahanan,penggeledahan dan penyitaan.
b.
Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidik.
c.
Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d.
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka dan saksi.
g.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara.
h.
Mengadakan penghentian perkara.
i.
Menyerahkan berkas perkara kepada pejabat Imigrasi dalam keadaan mendesak untuk mekasanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana.
j.
Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan PPNS untuk diserahkan kepada Penuntut Umum.
k. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Selain didalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 , wewenang Polri juga diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 sebagai berikut ; Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : 70 a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
70
R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1988),hal 17.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
b.
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d.
Melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan.
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.
Mengadakan penghentian penyidikan.
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab..
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak pidana di bidang kehutanan dalam sistem peradilan pidana meliputi 4 ( empat ) komponen yaitu ; a. Kepolisian b. Kejaksaan c. Pengadilan d. Lembaga Pemasyarakatan Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah kepolisian,tetapi dalam beberapa tindak pidana tertentu selain Kepolisian, oleh undang-undang ditentukan secara khusus penyidik dari lingkungan instansinya sendiri yang lazim dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), demikian halnya dengan G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
tindak pidana kehutanan maka penyidiknya adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berada dalam lingkungan Departemen Kehutanan. Selain PPNS tersebut ada juga Polisi Kehutanan yang bertugas melakukan perlindungan kehutanan yang dahulu dikenal dengan istilah Jagawana. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 disebutkan bahwa “ Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Kewenangan Polisi Khusus Kehutanan yang dimuat dalam pasal 51 ayat (1) Undang-Undang kehutanan yaitu : 1. Mengadakan patroli/perondaan didalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya. 2. Memeriksa
surat-surat
atau
dokumen
yang
berkaitan
dengan
pengangkutan hasil hutan didalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya. 3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. 4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. 5. Dalam hal tertangkap tangan ,wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, ditegaskan tentang kewenangan PPNS kehutanan yang merupakan implementasi dari Pasal 7 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi sebagai berikut; Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk : 71 a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang didengar melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya. d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
71
Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar 2006 ),hal 31
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. g. Membuat dan menandatangani berita acara h. Menghentikan penyidikan, apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan,kawasan hutan dan hasil hutan. Jika diperbandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat didalam pasal 7 KUHAP maka PPNS kehutanan tidak mempunyai kewenangan dalam hal: 1. Melakukan penangkapan dan penahanan. 2. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang 4. Mendatangkan seorang ahli. 5. Mengadakan tindakan lain yang bertanggung jawab. Selain kedua penyidik ini dikenal juga penyidik Perwira TNI AL yang berwenang melakukan penyidikan dalam tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan dan Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Pidana Subversi dan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa kejaksaan dalam waktu 2 (dua) tahun setelah berlakunya KUHAP masih diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. 72 Lebih lanjut Hariadi 73 menjelaskan bahwa, dengan adanya empat institusi penyidik dan empat pejabat yang berwenang mengangkat yaitu, penyidik Polri yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang bersangkutan diangkat oleh Menteri Hukum dan Ham, penyidik TNI AL diangkat oleh Panglima TNI dan penyidik Kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung, selanjutnya mekanisme tata kerja yang bervariasi yaitu ada yang melalui koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang langsung ke penuntut umum tanpa koordinasi dengan penyidik Polri, kemudian adanya kewenangan yang berbeda dalam tahap penyidikan yaitu kewenangan melaksanakan tugas penyidikan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing, maka dilihat dari kesatuan sistem yang integral, hal ini kurang menggambarkan adanya suatu “ lembaga penyidikan” yang mandiri dan terpadu. Oleh karenanya situasi seperti itu cenderung menimbulkan konflik dan keruwetan serta macetnya penegakan hukum pidana. Ketentuan tentang penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur dalam Pasal 77 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara khusus mengatur tentang PPNS kehutanan. Hal ini merupakan penjabaran dari 72 73
Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni 1998), hal. 55. Ibid., hal. 55-56.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999, bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka kepada pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik. Dalam Pasal 77 ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan. Bahwa wewenang PPNS diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Namun, mekanisme tata kerja PPNS kehutanan dalam Pasal 77 ayat (3) UU no. 41 Tahun 1999, sedikit menyimpang dengan apa yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya PPNS berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri sedangkan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999, PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya langsung kepada penuntut umum. Dalam Pasal 107 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal PPNS melakukan penyidikan terhadap peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana yang dapat diajukan ke penuntut umum,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
maka PPNS melaporkan hal itu kepada penyidik Polri. Rumusan dari Pasal 77 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 di atas, secara tegas memberikan kewenangan kepada PPNS kehutanan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kehutanan yang langsung ke penuntut umum artinya dapat dilakukan tanpa koordinasi dengan penyidik Polri. Di sisi lain penyidik Polri juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 junto Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999. Demikian juga dengan kejaksaan yang mempunyai kewenangan penyidikan tindak pidana khusus, kemudian penyidik Perwira TNI AL atas dasar kerja sama dengan Departemen Kehutanan mempunyai kewenangan seperti dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan kayu ilegal yang merupakan bagian dari kejahatan di bidang kehutanan. Dengan demikian kondisi seperti ini memungkingkan sekali terjadi tumpang tindih penyidikan terrhadap satu tersangka dalam kejahatan kayu ilegal , masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa praktik muncul arogansi masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kehutanan berdasarkan kewenangan masing-masing. Bahkan terkesan adanya tumpang tindih kewenangan atau berebut kasus dalam menangani kasus-kasus seperti kejahatan kayu ilegal .
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Terkait dengan analisis tentang perkembangan kejahatan kayu ilegal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka lemahnya koordinasi dan pengawasan dalam penegakan hukum termasuk tidak adanya kesatuan sistem yang integral dalam tahap penyidikan artinya tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme kerja antar penyidik tersebut, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Kondisi seperti ini justru berpotensi menimbulkan konflik antar penegak hukum itu sendiri yang pada gilirannya akan menghambat atau mempersulit proses penegakan hukum pidana terhadap kejahatan kayu ilegal
itu sendiri. Banyak kalangan
menilai bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal sangat lemah atau tidak efektif, sehingga diperlukan suatu lembaga tertentu semacam Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi dan untuk kejahatan kayu ilegal
semacam Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Kehutanan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB III KOORDINASI ANTARA POLRI DENGAN APARAT PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN A. Frekuensi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Yang Terjadi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara Sekarang ini keadaan hutan di Sumatera Utara sedang menghadapi permasalahan
yang
cukup
serius
dalam
sistem
pengelolaannya.
Sistem
pengelolaan hutan yang dibangun dalam kerangka prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) seakan menjadi sebuah sistem yang demikian sulit untuk diterapkan di lapangan. Secara konseptual, kelestarian hutan akan terwujud bila 3 (tiga) pilar utamanya dapat diaktualisasikan yaitu keberlanjutan fungsi ekonomis, kelestarian fungsi ekologis dan kesesuaian fungsi sosial. Salah satu sebab sulitnya dilakukan penataan dan pengelolaan hutan adalah maraknya praktik kayu Ilegal
yang telah membuyarkan rumusan dasar
pengelolaan hutan secara lestari. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah praktik
kayu ilegal ini telah menjelma menjadi ledakan sebuah sistem
pengrusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis, bahkan telah dilakukan secara terorganisir. Pembangunan kehutanan di Sumatera Utara ditujukan untuk mencapai terwujudnya sumber daya hutan yang lestari dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
bertanggung jawab. Dimana untuk mencapai tujuan ini tindakan yang dilaksanakan adalah dengan melakukan pengelolaan hutan termasuk di dalamnya melaksanakan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan. Pada saat ini, kawasan hutan di Provinsi di Sumatera Utara sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Sumatera Utara Tahun 2003-2018 adalah seluas 3.678.338,48 Ha atau 51,33% dari luas wilayah Sumatera Utara (7.168.068 Ha). Maka berdasarkan fungsinya, kawasan hutan yang dimaksud terdiri dari: 1. Fungsi hutan dalam kawasan hutan lindung seluas 1.844.071,05 Ha a
Cagar Alam seluas 12.372,61 Ha
b
Suaka Margasatwa seluas 85.552,00 Ha
c
Taman Nasional Gunung Leuser seluas 2.985,00 Ha
d
Taman Hutan Daya (TAHORA) seluas 51.600,00 Ha
e
Taman Wisata Alam seluas 3.473,75 Ha
f
Taman Buru seluas 8.350,00 Ha
g
Hutan Lindung seluas 1.481.737,69 Ha
2. Fungsi hutan dalam kawasan budidaya seluas 1.835.267,43 Ha a
Hutan Produksi Terbatas seluas 851.155,07 Ha
b
Hutan Produksi Tetap seluas 936.861,12 Ha
c
Hutan Produksi Konvensi seluas 47.251,24 Ha
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Dengan demikian secara de jure luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara adalah 51,33% dari luas daratan, namun secara de facto dilapangan keadaannya telah mengalami kerusakan sebagai akibat perambahan, penebangan liar dan kebakaran hutan). 74 Melihat begitu luasnya keadaan hutan di Provinsi Sumatera Utara ini memicu masyarakat, pemilik modal atau cukong bekerjasama dengan aparat pemerintah maupun keamanan untuk bergabung mengeksploitasi hutan, akibat praktek kayu ilegal berjalan dengan lancar dan terorganisir secara baik tanpa ada pihak yang bisa melarang atau menghentikannya. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara frekuensi praktik kayu ilegal selama periode tahun 2001-2005, dimana dalam kurun waktu tersebut didapat data sebagai berikut (lihat di Tabel)
74
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005, hal 1
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Tabel 1 Data Kasus Kayu Ilegal di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2001 - 2005
No
1
Jenis Kasus
Pengangkutan hasil hutan kayu ilegal
Tahun
2001 5
2002 5
2003 19
Jumlah
2004 -
2005 -
29
Barang Bukti
a. Kayu olahan + 2.493.084 m 3 b. Kayu bulat 650 keping
2
Pelaku perambah hutan
6
-
-
4
5
15
c. Papan / Broti 82.880 keping d. Truck 53 unit
3
4
Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) yang menampung kayu illegal
7
Pengangkutan hasil hutan tanpa dilengkapi SKSHH
-
-
-
-
-
7
e. Buldozer 3 unit f. Ekscavator 6 unit g. Chainsaw 5 unit
-
-
-
5
5
h. Bendsaw 18 unit i. Gergaji 19 unit j. Pita Gergaji 2 buah
5
Pemalsuan surat-surat dokumen pengangkutan
-
-
-
-
2
2
k. Mesin Bor 2 buah l. Parang 2 buah m. Kapal Motor 1 unit
6
Pencurian humus Jumlah
18
5
2 21
4
12
2 60
n. Mesin Coll Cat 1 unit
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2005
Dari Tabel 1 yang terdapat dalam sepanjang tahun 2001-2005 dari berbagai kasus yang terjadi, kasus pengangkutan kayu hasil hutan kayu ilegal yang paling meningkat yaitu sebesar 29 kasus, kemudian diikuti dengan kasus pelaku perambahan hutan sebanyak 15 kasus. Secara kuantitatif praktik kayu ilegal ini selama periode 2001-2005 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
berjumlah 18 kasus mengalami penurunan jumlah sebesar 5 kasus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 21 kasus atau 23,80% dari jumlah kasus tahun 2002. Kemudian pada tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat signifikan sebesar 4 kasus dan kembali mengalami peningkatan jumlah sebesar 12 kasus pada tahun 2005. Peningkatan jumlah ini sangatlah mengkhawatirkan walaupun masih ada jumlah kasus lebih besar yang belum terpantau oleh aparat pemerintah atau penegak hukum. Sementara itu Dalam Tabel 2 (lihat di Tabel) Penanganan Kasus kayu ilegal pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumut tahun 2005-2008 menunjukkan bahwa praktek kayu ilegal masih saja berlangsung terus menerus, hal ini dapat dilihat pada tahun 2005 dengan 46 Kasus/ perkara dengan 94 orang tersangka, pada tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 57 kasus/ perkara tetapi tersangkanya mengalami penurunan menjadi 61 orang, pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 51 kasus/ perkara dengan 83 tersangka, dan pada tahun 2008 lalu juga mengalami penurunan menjadi 42 kasus/ perkara dengan 74 tersangka.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Tabel 2
No
Tahun
Kasus
Data Penanganan Kasus kayu Ilegal 2008
Tersangka
Tahun 2005 s/d
Barang Bukti
/PKR Kayu Bulat
Kayu Olahan
Truck
Chain saw
Kapal Motor
Boat
Buldozer
Kapak
1
2005
46
94 Orang
6490 Btng
16,565 Kpng
41
11
4
9
4
21
2
2006
57
61 Orang
5890 Btng
22,485 Kpng
49
18
6
14
6
28
3
2007
51
83 Orang
5240 Btng
20,575 Kpng
38
12
4
10
6
32
4
2008
42
74 Orang
4860 Btng
14,860 Kpng
34
10
3
8
4
24
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2009
Sedangkan barang bukti yang disita terdiri dari kayu bulat, kayu olahan, truck, chainsaw, kapal motor, boat, buldozer, dan kapak. Hal ini menunjukkan bahwa perkara kayu ilegal tetap menjadi perkara/ kasus yang selalu ada setiap tahunnya, tetapi penanganannya juga dilakukan secara intensif oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumut.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Tabel 3 Data Kasus Kayu Ilegal yang Di Tangani Polda Sumut Tahun 2004 s/d 2008 No
Tahun
Jumlah Tindak Pidana
Jumlah Penyelesaian Perkara
Persentase %
Tersangka
Barang Bukti
Truck
Kapal
Alat Berat
Chain saw
Kayu/m 3
1
2004
64
57
89 %
107
24
5
-
13
+ 1.163,6 M3
2
2005
134
122
91 %
181
31
5
1
6
+ 782,6486 M3
3
2006
733
344
47 %
907
335
9
28
38
+ 11.768,65 M3
4
2007
188
111
59 %
284
90
3
3
17
+ .426,9946 M3
5
2008
85
32
38 %
116
11
9
1
4
+ 444,9387 M3
Total
1204
666
55 %
1,595
491
31
33
78
+ 15.586,6 M3
Sumber : Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut, 2009 Bahwa disamping data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara penulis juga memperoleh data dari Kepolisian Sumatera Utara
sebagai hasil
penelitian yang penulis lakukan. Sementara dalam Tabel 3 data ini merupakan frekwensi praktik kayu ilegal dalam kurun waktu tahun 2004 s.d. 2008 yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Sumatera Utara . mengalami pasang surut, hal ini dapat dilihat dari jumlah tindak pidana pada tahun 2004 sebanyak 64 dengan persentase penyelesaian perkara 89 %, pada tahun 2005 mengalami peningkatan 134 tindak pidana dengan persentase penyelesaian perkara 91 %,
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mengalami kenaikan yang signifikan yaitu 733 tindak pidana dengan persentase penyelesaian 47 %, pada tahun 2007 tindak pidana turun menjadi 188 dengan persentase penyelesaian perkara 59 %, dan pada tahun 2008 lalu jumlah tindak pidana mengalami penurunan drastis menjadi 85 tindak pidana tetapi dalam persentase penyelesaian perkara mengalami penurunan menjadi 38 %. Barang bukti yang disita oleh Polda Sumut terdiri dari: truck, kapal, alat berat, chain saw dan kayu. B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penebangan Hutan Secara Liar 1. Kurangnya Pengawasaan Aparat Kehutanan dalam Pengelolaan Hutan Hutan merupakan salah satu sub sistem dalam pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
meliputi
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan hutan merupakan usaha yang meliputi beberapa aspek seperti perencanaan, organsasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, dimana setiap fungsi tersebut saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil hutan yang dapat dikelola. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa dalam melakukan pengelolaan hutan harus diperhatikan berbagai kehidupan ekosistem di dalam hutan yang saling ketergantungan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Untuk itu dalam aspek pengelolaan hutan ini diperlukan beberapa ilmu yang mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, sosial ekonomi dan lingkungan, bahkan pada perkembangan globalisasi ini diperlukan juga bidang komputerisasi dan ini sangat mendukung melihat pada keadaan semakin banyaknya tuntutan terhadap fungsi hutan dan memberikan informasi yang akurat. Dalam Pasal 4 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 menetapkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: a Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. b Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan yang melindungi dan membina lingkungan hidup. c
Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.
d Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup. e
Terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
f
Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/ atau perusakan lingkungan hidup. Mengingat akan luasnya kawasan hutan dan terkait dengan personil
petugas
kehutanan
yang
melakukan
pengawasan
terhadap
hutan,
maka
pengawasan hutan secara langsung terhadap pihak-pihak yang melakukan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
penebangan hutan merupakan pekerjaaan yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara polisi hutan dengan kawasan hutan yang harus mereka awasi, yaitu “satu orang polisi hutan mengawasi 5 ribu-12 ribu hektar hutan”. 75 Maka untuk mencapai tujuan pengawasan, kebijakan pengelolaan hutan harus ditujukan untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya kelestarian fungsi hutan. Oleh karena itu, dengan adanya kesadaran bersama akan pentingnya kelestarian fungsi hutan akan menghasilkan suatu penataan dan perencanaan yang baik, sehingga pengelolaan hutan akan berhasil secara maksimal. Pengelolaan hutan dapat menghasilkan nilai tambah karena banyak areal hutan yang sebelumnya jarang terdeteksi menjadi nyata, sehingga menjadi suatu nilai tambah bagi produktivitas hutan. . Dengan adanya pengelolaan hutan, berarti memiliki suatu perencanaan hutan yang mengandung pengertian peruntukan, penyediaan, pengadaan, penggunaan hutan secara serba guna dan kelestarian demi kepentingan: 1) Pengaturan tata air, mencegah adanya banjir, mencegah erosi dan memelihara kesuburan tanah. 2) Produksi hasil hutan dan pemasarannya pada umumnya serta secara khusus untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
75
http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu Polisi Hutan Mengawasi 12 Ribu Hektar Hutan.htm
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
3) Sumber mata pencarian yang beraneka ragam bagi rakyat di dalam dan sekitar hutan. 4) Perlindungan alam hayati dan alam khas demi kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pertanahan nasional, rekreasi dan pariwisata. 5) Transmigrasi, pertanian, perkebunan dan peternakan. 76 Di samping pengertian di atas, hutan juga memiliki fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain sebagai berikut: 1) Mengatur tata air, mencegah bahaya banjir, mencegah erosi dan memelihara kesuburan tanah. 2) Memenuhi produksi hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor. 3) Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya. 4) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik. 5) Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru bagi kepentingan ilmu pengetahuan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata. 6) Merupakan salah satu unsur basis strategis pertahanan nasional. 77
76 77
Arifin Arif, Hutan dan Kehutanan, (Yogyakarta:Penerbit Konisius , 2001) hal. 94 Ibid, hal. 95
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Dalam pemanfaatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), eksistensi sumber daya hutan khususnya di kawasan hutan produksi, para pihak yang memegang HPH diharuskan mampu mengupayakan kelestarian pengusahaannya melalui perencanaan yang mantap ditopang oleh data informasi yang akurat dan rasional, peningkatan produktifitas dan intensitas pengelolaan secara teknologi tepat guna. Tujuan dari pengusahaan hutan yaitu untuk memperoleh dan meningkatkan produk hasil hutan demi kepentingan ekonomi bagi masyarakat, peningkatan devisa negara dan perluasan serta pemerataan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pengembangan sumber energi non minyak dan penyelenggaraan pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian dan asas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan dan pemasaran hasil. Akan tetapi jika tindakan penebangan pohon dalam kawasan hutan dilakukan oleh pihak yang telah meperoleh dan memiliki HPH telah melampaui batas atau target yang ditentukan oleh instansi/ pejabat kehutanan, maka tindakan penebangan tersebut digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Dengan demikian tindakan penebangan hutan secara liar dalam kawasan hutan dan telah memperoleh surat izin menebang pohon dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a. Penebangan pohon yang dilakukan oleh orang perorangan di dalam kawasan hutan yang telah ditata atau, telah ditetapkan secara yuridis sebagai kawasan hutan. Perbuatan tersebut tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang/
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
pejabat kehutanan. Misalnya, di dalam pemberian izin pemanfaatan kayu atau izin penebangan tercantum 200 meter kubik, ternyata melakukan penebangan kayu sebanyak 300 meter kubik. Kelebihan kayu tebangan sebanyak 100 meter kubik tersebut adalah tindakan penebangan liar yang patut dikenakan tuntutan hukum. b. Izin penebangan pohon atau izin pemanfaatan kayu, diperoleh subyek hukum di dalam kawasan hutan dimana pelaksanaannya tidak sesuai dengan lokasi yang telah ditunjuk. Misalnya izin penebangan diberikan sebanyak 100 meter kubik di lokasi unit penebangan hutan tertentu, tetapi penebangan pohon tidak dilakukan di lokasi yang dimaksud. 78 Akan tetapi dalam praktiknya, pihak-pihak yang melakukan penebangan secara liar adalah orang-orang yang tidak memiliki izin penebangan. Bukan hanya melakukan penebangan saja, tetapi orang-orang tersebut juga melakukan pencurian terhadap hasil hutan yang telah dikelola oleh pihak yang memiliki HPH. Berdasarkan riset di Dinas Kehutanan Sumatera Utara, pada umumnya orang yang melakukan perambahan terhadap hasil hutan adalah orang-orang yang tidak memiliki izin dan mereka juga melakukan pencurian terhadap hasil hutan yang telah dikelola oleh pihak yang memiliki HPH. Kondisi di atas dipengaruhi oleh keadaan dimana mereka dapat lolos dari pengawasan aparat kehutanan karena melakukan pengawasan terhadap kawasan 78
Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,( Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2000 ),hal. 46
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
hutan dengan jumlah personil yang dibutuhkan masih belum memadai, sehingga aparat kehutanan sangat kesulitan untuk menjangkau setiap kawasan hutan. Oleh karena itu, penebangan hutan secara liar ini didukung oleh kurangnya pengawasan terhadap aktifitas tersebut, dimana aparat petugas juga kurang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga para pelaku penebangan hutan secara liar begitu gampangnya lepas atau menghindar dari pengawasan aparat yang berwenang. 79 Akan tetapi ada juga tindakan penebangan hutan tersebut karena dicukongi atau di backing oleh aparat atau pejabat yang berwenang, dimana petugas dari pejabat tersebut seharusnya mengawasi dan menjaga upaya pelaksanaan pengelolaan hutan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Para pihak yang melakukan penebangan tanpa izin dengan segala cara mendekati orang-orang tertentu yang memiliki wewenang dalam bidang kehutanan, dimana pengusahaan terhadap hasil hutan sangat menguntungkan para pihak-pihak tersebut. 2. Faktor Ekonomi dan Faktor Sosial Hutan merupakan kawasan yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan ekonomi dan juga kehidupan sosial masyarakat, dimana setiap aktivitas masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan banyak berhubungan dengan hutan. Salah satunya hutan sebagai tempat berburu hewan untuk dikonsumsi dan yang paling penting hutan menghasilkan kayu sebagai kebutuhan yang diperlukan 79
Ibid
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
oleh masyarakat, seperti kayu yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar, kayu dibutuhkan untuk membangun rumah atau tempat tinggal dan juga kebanyakan peralatan yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya terbuat dari kayu. Dengan demikian masyarakat tidak dapat dilepas dari suatu keadaan bahwa kayu memiliki manfaat yang sangat besar untuk mendukung aktivitas kehidupan masyarakat. 80 a. Faktor ekonomi Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau memberikan keuntungan bagi setiap masyarakat dan juga bagi negara, dimana hutan menghasilkan kayu, rotan dan lainnya, sehingga hutan menjadi salah satu komoditi terbesar yang menghasilkan keuntungan finansial yang besar dalam aspek ekonomi. 81 Keuntungan dari pengusahaan terhadap hutan ini dapat diperoleh oleh masyarakat, negara dan juga pengusaha dan pengelola hutan. Dalam hal ini keuntungan yang diperoleh masyarakat masihlah kecil, karena biasanya masyarakat memanfaatkan hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada umumnya masyarakat di pedesaan masih banyak menggunakan kayu sebagai bahan bakar, sehingga mereka mencari kayu di kawasan hutan, dan biasanya mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon karena ranting tersebut
80
Igm Nurjana dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hal 94 81 Ibid, hal 95
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
paling gampang untuk dibakar. Tetapi ada juga masyarakat menebang pohon untuk kayu bakar, dan pohon tersebut merupakan pohon yang khusus dibuat untuk kayu bakar. Misalnya, pohon pinus yang cocok dijadikan kayu bakar karena kayu pinus tersebut jika dibakar tidak akan menghasilkan asap yang banyak, sehingga ada masyarakat yang memanfaatkan kayu pinus ini untuk dijual kepada masyarakat yang membutuhkan kayu bakar dan kayu yang akan dijual sebagai bahan bakar tersebut biasanya telah dipotong-potong kecil sehingga dapat langsung digunakan oleh masyarakat. Akan
tetapi
kalau
dilihat
latar
belakang
mengapa
masyarakat
memanfaatkan hutan untuk mendapatkan keuntungan finasial, hal ini dipengaruhi oleh kondisi Negara Indonesia dimana sejak tahun 1997 telah terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga menyebabkan daya masyarakat secara keseluruhan sangat menurun. Di daerah perkotaan pada sektor industri banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga mengakibatkan banyak pengangguran, dimana orang yang terkena pemutusan hubungan kerja banyak berasal dari daerah pedesaan dan mau tak mau harus kembali kedaerahnya di daerah
perkotaan
tersebut,
sehingga
para
pengangguran
yang
kembali
kedaerahnya tersebut memilih menjadi petani. 82
82
Mochtar Lubis, Menuju kelestarian Hutan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia 1998),hal 65
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Dampak dari krisis ekonomi tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat
perkotaan saja, tetapi dampaknya juga terjadi pedesaan. Hal ini dapat dijumpai pada sektor pertanian, akibat dari adanya krisis ekonomi, penyediaan pupuk atau obat-obat sulit dijangkau oleh masyarakat karena daya beli masyarakat telah menurun . Di samping adanya kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan, masih ada faktor lain yang mendukung yaitu semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, sehingga diperlukan lagi daerah untuk tempat bermukim. Maka salah satu cara yang mudah untuk mengatasi kurangnya pemukiman tersebut adalah dengan cara mengorbankan tanah pertanian untuk tempat tinggal, sehingga dilakukan berbagai usaha lain untuk mengganti lahan pertanian dengan cara melakukan perambahan terhadap hutan. 83 Perambahan hutan juga menjadi salah satu alternatif untuk usaha manusia dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yaitu dengan melakukan pekerjaan menebangi pohon untuk dijual kepada penadah dan juga mereka ada yang bekerja kepada pemegang HPH. Semua hal di atas terjadi karena didorong oleh tuntutan untuk mempertahankan hidup, sehingga membuat manusia tidak dapat berpikir panjang untuk memperhatikan akibat dari perbuatannya tersebut. Untuk itu harus dilakukan penjagaan dan pengawasan dari pihak-pihak yang netral yang sangat
83
Ibid, hal 66
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dibutuhkan. Dengan demikian perlindungan terhadap hutan harus mendapatkan prioritas utama untuk diperhatikan oleh semua pihak. b. Faktor Sosial Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat untuk khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan di sebagian daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena pada saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan dan tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. 84 Bagi masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan biasanya segan untuk menjamah ataupun memasuki daerah hutan untuk melakukan penebangan hutan ataupun untuk mengambil hasil hutan lainnya, karena mereka percaya kalau mereka telah mengusik hutan yang keramat tersebut mereka pasti akan mendapat bala, misalnya sakit atau bahkan mati. Hal ini masih dapat dijumpai di daerah yang masih memiliki adat istiadat yang kental, seperti Toba, Karo, Dairi dan sebagainya. Dalam kepercayaan di daerah tersebut biasanya mereka dilarang untuk mengambil jenis-jenis kayu tertentu, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan melalui pemerintah menekankan bahwa dilarang
84
IGM,Nurjana dkk, Op.Cit, hal 97
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
mengambil semua jenis pohon yang ada di hutan, dan biasanya masyarakat mengenal kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lindung. Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan, masyarakat desa pada umumnya menganggap bahwa hutan adalah milik mereka sehingga mereka bebas untuk memanfaatkan hutan dalam melakukan segala aktivitas mereka. Dalam peraturan perundang-undangan tentang hutan masih mengakui adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara liar, sehingga masyarakat dalam melakukan pengusahaan ataupun pengelolaan terhadap hutan harus dapat menjaga kelestarian hutan. Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagai penyanggah dan juga sebagai sumber mata air bersih, akan tetapi karena sesuatu hal yang mendesak dalam memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk mendapatkan penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan juga berburu hewan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk dijual. Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi masyarakat desa melakukan perambahan terhadap hutan, khususnya melakukan penebangan liar dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah, karena pada umumnya orang yang berada atau tinggal di sekitar kawasan hutan berpendidikan sekolah dasar, dan ada juga yang berpendidikan sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dengan tingkat
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
pendidikan yang rendah, membuat pola berfikir masyarakat rata-rata dipengaruhi oleh kondisi pergaulannya di daerah tersebut, dan mereka jarang mendapatkan informasi yang seharusnya mereka butuhkan dari luar daerah mereka tentang pentingnya untuk menjaga kelestarian hutan. 85 Penebangan secara liar di kawasan hutan, baik itu hutan lindung yang diiringi dengan perambahan dan penjarahan hutan dihubungkan dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan persepsi masyarakat yang berfungsi sebagai penyangga dan pengatur keseimbangan lingkungan dan ekosistem kurang dapat dipahami, sehingga para pelaku yang berasal dari anggota masyarakat tanpa merasa
dan
mendapat
beban
apapun
melakukan
tindakan
pengrusakan,
perambahan, dan penjarahan terhadap apa yang ada di kawasan hutan. C. Koordinasi Antara Polri Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Koordinasi antara Polda Sumatera dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara (PPNS Kehutanan) dalam penanganan kasus kayu ilegal
di wilayah
Sumatera Utara, terlaksana dengan baik, dimana: 86 1
Dalam kegiatan represif, Dinas kehutanan bertindak sebagai saksi ahli dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sampai dengan persidangan di pengadilan;
85
Ibid, hal 99 Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009. 86
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
2
Dalam kegiatan preventif, secara bersama-sama membuat pamflet larangan penebangan kayu tanpa izin, melaksanakan patroli gabungan dan razia bersama seperti operasi khusus (operasi hutan lestari) dan operasi wanalaga sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008;
3
Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan (PPNS) dimana ada tersangka yang ditahan, maka penahanan dititipkan di Rutan Mapolda Sumut;
4
Dalam kegiatan pengukuran/ kubikasi kayu sebagai barang bukti, Dinas Kehutanan yang membuat pengukuran/ kubikasi sebagai lampiran barang bukti dalam berkas perkara. Koordinasi antara Polda Sumut dengan aparat penegak hukum lainnya
seperti Kejaksaan dan Pengadilan dalam penanganan kasus kayu ilegal di wilayah Sumatera Utara, terlaksana dengan baik, dimana: 87 a. Dengan kejaksaan: 1) Pengiriman surat pemberitahuan di mulai penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang; 2) Pra penuntutan yaitu pengembalian berkas perkara dari jaksa penuntut umum (JPU) kepada penyidik untuk dilengkapi/ disempurnakan dalam tenggang waktu 14 hari;
87
Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
3) Pengiriman berkas perkara (tahap I) dan pengiriman tahap II berupa tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada JPU; 4) Perpanjangan penahanan selama 40 hari oleh penyidik kepada JPU; 5) Gelar perkara dalam kasus
kayu ilegal
antara Polda Sumut dengan
kejaksaaan, terutama dalam perkara yang mendapat perhatian dari masyarakat. Misalnya Kasus Adelin Lis b. Dengan pengadilan: 1) Perpanjangan penahanan lanjutan dalam waktu 2 x 30 hari oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; 2) Persetujuan izin sita barang bukti oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; 3) Permohonan izin penggeledahan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; 4) Permohonan izin lelang barang bukti oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan Negeri; 5) Pengamanan sidang kasus kayu ilegal , terutama kasus yang mendapat perhatian dari masyarakat; 6) Pengamanan sidang lapangan (lokasi/ areal pengambilan barang bukti).
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
c.
Dengan Penyidik Perwira TNI AL 1) Penyerahan tersangka dan barang bukti dalam kasus kayu ilegal kepada penyidik Polri apabila ditemukan / ditangkap oleh perwira TNI AL di wilayah perairan atau laut. 2) Melakukan operasi gabungan / razia bersama antara Perwira TNI AL dengan Polri / Polisi Perairan dalam penanganan atau penindakan terhadap kayu ilegal di wilayah perairan atau laut. Upaya-upaya yang dilakukan Polda Sumatera Utara dalam penanganan kasus
kayu ilegal antara lain: 88 1) Peningkatan jaringan informasi untuk pengungkapan kasus kayu ilegal ; 2) Peningkatan koordinasi dengan kejaksaan, pengadilan dan dinas kehutanan/ PPNS untuk percepatan penanganan kasus kayu ilegal dan penjatuhan hukuman maksimal kepada para pelaku, serta pemberdayaan PPNS kehutanan dalam penanggulangan kasus kayu ilegal; 3) Pemberian pelatihan bagi personil dan pengiriman personil untuk mengikuti pendidikan/ kejuruan reserse; 4) Pengajuan tambahan dukungan anggaran penyidikan kasus kayu ilegal , untuk menghindari terjadinya KKN, antara penyidik dengan pelaku. 5) Pengajuan alat angkut kayu dan pengamanan barang bukti; 88
Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda Sumut, di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
6) Peningkatan koordinasi dengan dinas kehutanan dan Panitia Lelang dalam pelelangan kayu sebagai barang bukti untuk menghindari hilangnya, rusaknya barang bukti. Koordinasi antara Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dengan penyidik Polri, Kejaksaan dan Pengadilan dalam penanganan kasus kayu ilegal di wilayah Sumatera Utara terlaksana dengan baik, antara lain: 89
a. Dengan penyidik Polri: 1) Setiap penanganan perkara, PPNS selalu mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penyidik Polri; 2) Polri selaku Korwas PPNS selalu memberikan bantuan teknis maupun yuridis kepada PPNS dalam setiap penanganan perkara kayu ilegal 3) Apabila PPNS melakukan penahanan terhadap pelaku/ tersangka maka PPNS menempatkan di Rutan Polri; 4) Dalam melakukan penanganan kayu ilegal dinas kehutanan bersama-sama dengan Polri melakukan razia/ operasi bersama dalam bentuk operasi khusus yaitu operasi hutan lestari dan operasi wanalaga;
89
Wawancara dengan Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan , di Kantor Dinas Kehutanan Provnsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
5) PPNS dengan kewenangannya dapat mengirimkan berkas perkara sebagai tahap I dan penyerahan tersangka dan barang bukti sebagai tahap II kepada JPU dengan mengirimkan tembusan kepada penyidik Polri; b. Dengan Kejaksaan: 1) PPNS mengirimkan berkas perkara sebagai tahap I dan penyerahan tersangka dan barang bukti sebagai tahap II kepada JPU dengan tembusannya kepada penyidik Polri; 2) Dalam setiap penanganan perkara kejaksaan selalu memberikan bantuan yuridis kepada PPNS untuk percepatan penyelesaian perkara. c. Dengan Pengadilan: 1) Permohonan izin/ persetujuan sita kepada ketua Pengadilan Negeri; 2) Permohonan izin/ persetujuan penggeledahan kepada ketua Pengadilan Negeri; 3) Permohonan izin lelang barang bukti kepada ketua Pengadilan Negeri; 4) Permintaan vonis atas perkara illegal logging untuk dilampirkan dalam berkas perkara. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dalam meningkatkan penanganan kasus kayu ilegal , antara lain: 90
90
Wawancara dengan Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan, di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
1) Peningkatan kerjasama dengan aparat penegak hukum lainnya terutama dengan penyidik Polri dalam hal melakukan razia/ operasi gabungan untuk menanggulangi kayu ilegal ; 2) Peningkatan
kuantitas/kualitas
PPNS
dengan
mengirimkan
personil
mengikuti pendidikan/ kejuruan baik di Diklat Pemprov Sumut maupun Diklat Polri; 3) Permintaan sarana dan prasarana untuk menunjang penyidikan ke Departemen Kehutanan seperti, mobil patroli dan alat angkut barang bukti; 4) Permintaan dukungan anggaran terutama biaya pengangkutan dan perawatan barang bukti termasuk biaya penanganan dan penyidikan perkara.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB IV KENDALA ATAU HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN A. Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan 1. Upaya Preventif Upaya preventif adalah merupakan suatu usaha penanganan yang lebih menitikberatkan pada pencegahan/ penanganan atau pengendalian sebelum terjadinya tindak pidana kayu ilegal . Menurut Manumpak Butar-Butar selaku Kasat Tipiter Dit Reskrim Polda Sumut mengatakan bahwa bagian Reskrim lebih dominan dalam upaya represif sedangkan dalam upaya preventif lebih cenderung menjadi tanggung jawab dari Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak tertutup kemungkinan pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara ikut terlibat dalam usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya preventif dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara . Upaya-upaya preventif yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk penanganan / pencegahan tindak pidana kayu ilegal antara lain: a.
Melakukan patroli secara berkala disekitar kawasan hutan dengan maksud untuk mencegah pelaku / masyarakat tidak melakukan penebangan kayu tanpa izin atau mengangkut kayu tanpa dilindungi dokumen yang sah.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
b. Memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat khususnya disekitar kawasan hutan, pengusaha HPH , pejabat TNI / Polri dan aparat Pemda atau Pemko / kabupaten. c.
Memberikan himbauan kepada aparat desa untuk tidak mengeluarkan Surat Keterangan Asal Usul Kayu ( SKAU ) tanpa alas hak yang sah.
d.
Membuat / mendirikan Pos Polisi disekitar kawasan hutan terutama pada pintu-pintu keluar wilayah untuk mengawasi dan mencegah kayu ilegal. Adapun langkah yang ditempuh Dinas Kehutanan Sumatera Utara sebagai
upaya preventif dalam rangka perlindungan hutan dan hasil hutan antara lain : a. Memberikan Himbauan Kepada Masyarakat Himbauan-himbauan ini dapat dilakukan melalui media elektronik ataupun media cetak seperti radio swasta dan surat kabar lokal. Himbauan ini juga dapat dilakukan melalui spanduk-spanduk maupun pamflet-pamflet yang berisi tentang ajakan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan hutan sehingga hutan dapat lestari. Peran serta masyarakat dalam usaha perlindungan hutan adalah merupakan salah satu jalan yang efektif dalam pencapaian pembangunan hutan di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah orang yang berhubungan langsung dan hampir setiap hari bersentuhan dengan kawasan hutan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
b. Memberikan Penyuluhan Hukum Penyuluhan hukum dilakukan secara teratur dan kontinyu kepada masyarakat. Dimana dalam penyuluhan hukum ini diinformasikan kepada masyarakat tentang bahaya yang akan mengancam bila praktik kayu ilegal terus berjalan. Selain itu dalam penyuluhan hukum juga diberitahukan kepada masyarakat mengenai sanksi pidana yang akan diterima bila melakukan praktik kayu ilegal , sehingga masyarakat menjadi takut untuk melakukan praktik / kegiatan tersebut. Dalam penyuluhan hukum tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum lainnya yaitu pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Selain itu pimpinan ataupun tokoh masyarakat serta tokoh adat juga dilibatkan dalam program ini. Keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan masyarakat lebih percaya kepada pimpinan atau tokoh masyarakat dibandingkan dengan orang luar. Dengan keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat setempat diharapkan masyarakat menjadi ikut merasa memiliki hutan sehingga timbul keinginan untuk menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup.. Dengan dilakukannya penyuluhan hukum ini diharapkan masyarakat dapat: 1) Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. 2) Menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. 3) Tidak melakukan hal-hal yang menghambat proses penegakan hukum. 91 c. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Polisi Hutan Pada saat sekarang ini tugas penjagaan, pengamanan dan perlindungan kawasan hutan serta peredaran hasil hutan ditumpukan kepada Polisi Kehutanan (Polhut). Sementara keadaan Polhut saat ini menunjukan gambaran yang ironis dan memprihatinkan bila dibandingkan dengan beratnya tugas yang harus diembannya. Jumlah Polhut yang ada dirasakan sangat kurang bila dibandingkan dengan ratio luas kawasan hutan yang harus dijaga keamanannya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya praktik kayu ilegal karena sebagian kawasan hutan luput dari pengawasan Polhut. Selain itu kualitas dan kuantitas dari SDM Polhut serta persepsi yang kurang baik terhadap Polhut karena adanya tindakan sebagian Polhut yang tidak terpuji dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berhubungan dengan pengamanan dan peredaran kayu termasuk menjadi penentu semakin maraknya praktik kayu ilegal . 91
Welly I., Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab. Kerinci, Skripsi, jambi, 2005, hal. 40
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Melihat keadaan ini Departemen Kehutanan mengambil langkah-langakah pembinaan kemampuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM Polhut yaitu dengan mengadakan program pendidikan dan pelatihan . Salah satu program diklat yang dikembangkan saat ini adalah dengan dibentuknya Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC). Diklat pembentukan SPORC ini bertujuan untuk membentuk gugus Polhut yang memiliki karakteristik berpikir dan bertindak cepat dan tepat didalam melaksanakan tugas-tugas khusus dibidang kehutanan. 92 Selain itu tujuan pembentukan SPORC ini adalah untuk penugasan khusus terhadap adanya eskalasi ancaman/ gangguan keamanan hutan yang meningkat yaitu gangguan keamanan yang tidak ditangani secara rutin oleh satuan Polhut yang reguler. Dalam pelaksanaan diklat ini Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Mabes Polri karena tugas Polhut dalam hal ini SPORC terkait dengan tugas-tugas di bidang kehutanan. Program diklat ini dilaksanakan berdasarkan amanat dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Upaya preventif yang dilakukan Polhut ataupun SPORC dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal antara lain adalah:
92
Majalah Kehutanan Indonesia, Op. Cit., hal 10.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
1)
Berpatroli secara rutin, mendadak, periodik ataupun gabungan di dalam kawasan hutan atau dalam wilayah hukum Polhut yang telah ditentukan.
2) Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan atau di wilayah hukum Polhut yang telah ditentukan. 3) Melakukan koordinasi dengan mitra instansi/ lembaga yang terkait dalam operasi perlindungan dan pengamanan hutan. 2. Upaya Represif Upaya represif adalah merupakan suatu usaha yang lebih bersifat pada penindakan/ pemberantasan setelah tindak pidana kayu ilegal itu terjadi. Menurut Manumpak Butar-Butar bahwa upaya represif yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam rangka penanganan tindak pidana kayu ilegal dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah 93 : a. Menangkap pelaku kayu illegal Dari salah satu proses hukum yaitu laporan, pengaduan atau tertangkap tangan mengenai dugaan telah terjadi tindak pidana kayu ilegal di wilayah hukum Kepolisian Sumatera Utara kemudian pihak Kepolisian melakukan penyidikan terhadap orang yang diketahui sedang atau telah melakukan tindak pidana kayu
93
Hasil Wawancara dengan Manumpak Butar-Butar,Jabatan Kasat Tipiter Dit reskrim Polda Sumut di Polda Sumut tanggal 4 Mei 2009
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
ilegal . Bila telah terbukti melakukan tindak pidana kayu ilegal pelaku ditangkap untuk proses penegakan hukum yang lebih lanjut. Dengan ditangkapnya pelaku kayu ilegal tersebut diharapkan memberikan efek jera khususnya bagi pelaku sendiri dan menimbulkan rasa takut bagi masyarakat agar tidak mau melakukan praktik kayu ilegal lagi. Namun kenyataan dalam pemberantasan tindak pidana kayu ilegal ini sering kali pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara menemui kendala dalam menangkap pelaku yaitu ada kalanya yang ditemui hanya truk beserta dengan kayu yang diduga adalah hasil praktik kayu ilegal namun yang membawa kayu tersebut (supir truk) tidak ada atau dengan kata lain berhasil lolos. Selain itu pelaku yang menjadi otak dari praktik kayu ilegal ini masih banyak yang belum terjerat hukum hal ini dikarenakan pelaku tersebut adalah orang dekat dengan kekuasaan dan mempunyai modal besar untuk melarikan diri. Hal inilah yang menjadi kendala sehingga pelaku tindak pidana kayu ilegal sering lolos dari jaringan hukum. b. Operasi Wanalaga III Operasi Wanalaga dicetuskan pertama kali pada tanggal 27 Desember 2001. Operasi Wanalaga ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi (PHKA) Departemen Kehutanan dengan Deputi Kapolri Bidang Operasional Mabes Polri.. Menanggapi kerjasama tersebut maka Kapolri melalui Surat Telegramnya No.Pol.: STR/227/IV/2002 tanggal 10 April 2002 menginstruksikan untuk
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
melaksanakan operasi kepolisian
terhadap para pelaku praktik kayu ilegal
kepada seluruh jajaran Kepolisian Daerah
di seluruh Indonesia. Berdasarkan
instruksi tersebut maka Kepolisian Daerah Sumatera Utara bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sumatera Utara melaksanakan Operasi Wanalaga III. Dalam melaksanakan operasi wanalaga III ini juga melibatkan institusi atau aparat pemerintah daerah dan instansi lain yang berhubungan dengan kehutanan secara aktif. Operasi wanalaga III ini langsung dipimpin oleh Kapolda Sumatera Utara dan sebagai wakilnya adalah Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Operasi Wanalaga III bertujuan untuk memutuskan mata rantai kegiatan kayu ilegal di daratan.Tujuan utama dari operasi wanalaga ini adalah: 1.Menegakkan hukum terhadap para pelaku kejahatan kehutanan 2 Memberdayakan kelembagaan institusi secara terkolaborasi dan profesional 3.Mencegah dan memberantas kerusakan hutan serta menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan 4.Menindak tegas bagi para pelaku kejahatan kehutanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan, mengamankan barang bukti dan mendorong percepatan proses lelang. Sasaran dari operasi wanalaga III yang dilaksanakan adalah pelaku, penadah, aktor intelektual, backing dan pemodal tindak pidana kayu ilegal , peredaran hasil hutan ilegal, penyelundupan kayu, pemalsuan dan penyalahgunaan dokumen SKSHH yang dilakukan baik individu, kelompok maupun perusahaan.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Dari operasi wanalaga III yang dilaksanakan 58 kasus berhasil disidik dan 35 kasus di Sumatera Utara dengan total kerugian yang ditanggung negara sebesar RP. 110.206.000,-. 94 c. Operasi Hutan Lestari I Operasi Hutan Lestari I ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya represif sebelumnya yaitu operasi wanalaga III. Operasi Hutan Lestari I ini dilaksanakan Kepolisian
Daerah Sumatera Utara
pada awal tahun 2004 atas
instruksi langsung dari Kapolri bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Dengan dilakukannya operasi Hutan Lestari I ini diharapkan pelanggaran hukum dalam bentuk pencurian dan penyelundupan kayu dapat ditumpas. Operasi Hutan Lestari I yang dilaksanakan di Sumatera Utara ternyata berjalan cukup efektif, hal ini dapat dilihat pada tahun 2004 praktek operasi Hutan Lestari I menurun yaitu 64 kasus dengan menangkap 107 tersangka, 6 kasus dalam proses sidik, 57 kasus dikirim ke JPU dan 1 kasus dilimpahkan dimana pada tahun 2003 sebanyak 105 kasus dengan menangkap 124 tersangka, 18 kasus dalam proses sidik, 72 kasus dikirim ke JPU dan 15 kasus dilimpahkan. Dengan menurunnya praktek kayu ilegal yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara yaitu 105 kasus menjadi 64 kasus menunjukan bahwa operasi Hutan Lestari
94
Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Operasi Wanalaga III,2003
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
yang dilaksanakan berhasil dan memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana kayu ilegal . Namun keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 tersebut tidak berlanjut pada tahun 2005. Pada tahun 2005 praktek
kayu ilegal
meningkat dan
peningkatan tersebut sangat drastis yaitu menjadi 134 kasus, dengan jumlah tersangka 181 tersangka, 22 kasus dalam proses sidik, 111 kasus dikirim ke JPU dan 1 kasus dilimpahkan. 95 Dalam rangka pengamanan hutan khususnya penanggulangan praktek kayu ilegal
Provinsi Sumatera Utara juga mengambil kebijakan-kebijakan, hal ini
didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 Yo UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, dimana kewenangan pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat dalam suatu wilayah kabupaten/ kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota. Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam upaya melaksanakan pengamanan hutan khususnya untuk menangani kegiatan kayu ilegal telah menetapkan: 1.
Pembentukan Tim Operasi Gabungan Pengamanan Hutan dan Hasil Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522.05/073 K/2001 tanggal 23 Maret 2001 dan Keputusan
95
Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Operasi Hutan Lestari I, 2004
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Gubernur
Sumatera
Utara
No.
522.5/1821/K/2003
tanggal
25
September 2003. 2.
Penunjukan lokasi Pos Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522/816.K/2002 tanggal 25 Juli 2002.
3
Operasi Wanalaga yang dilaksanakan oleh Polda Sumatera Utara dan operasi Wanabahari yang dilaksanakan oleh jajaran Angkatan Laut.
4
Melaksanakan operasi fungsional oleh Aparat Kehutanan, dan Operasi gabungan dengan Aparat Keamanan dan unsur terkait lainnya. 96
B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek Pidana Dari uraian tentang ketentuan pidana dalam uraian di atas, maka dapat diketahui kendala dalam aspek pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan sebagai berikut: 1. Pelaku atau aktor intelektual sulit disentuh hukum Pelaku yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum pejabat penyelenggara negara, oknum aparat penegak
96
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Op. Cit, hal.4.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
hukum atau oknum pegawai negeri yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang kehutanan tersebut. 97 Penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan,
menyuruh melakukan dan turut serta
melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam
kejahatan kayu
ilegal yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian, beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam hal terjadinya tindak pidana kayu ilegal juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidana maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditentukan. 2. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegak hukum yang tidak berkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan kayu ilegal . Proses peradilan mulai dari penyelidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang panjang dan sarana/ prasarana yang
97
Igm Nujana dkk, Op.Cit, hal 137
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
memadai serta membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu instansi tertentu tidak memiliki semua komponen, data/ informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap kayu ilegal
tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan terhadap kejahatan kayu ilegal l 98 menemukan bahwa salah satu kendala dalam pemberantasan kayu ilegal disebabkan oleh koordinasi yang kurang efektif dan efisien dari berbagai instansi terkait, dalam hal ini terdapat 11 (sebelas) instansi yang berada dalam satu mata rantai pemberantasan kayu ilegal yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan di bidang kehutanan yaitu: 1. Menkopolkam, 2. TNI AD/ Hankam, 3. TNI AL, 4. Polri, 5. Departemen Kehutanan, 6. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 7. Departemen Perhubungan, 8. Bea Cukai, 9. Kejaksaan, 10. Pengadilan, dan 11. Pemda Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Koordinasi
antara
berbagai
instansi
tersebut
keberhasilan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan
sangat
menentukan
kayu ilegal
yang
merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penebangan hingga ke ekspor kayu ilegal.
98
Fathoni, T., “RI-Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal”, Artikel Bisnis Indonesia, terbit tanggal 2 Juli 2003, hal. 1.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
3. Masalah Pembuktian Berbicara masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia adalah sistem negatif (negatif wettelijke stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif. 99 Menurut Syahrani bahwa dalam sistem negatif
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila
berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum sehingga hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidana kayu ilegal adalah keterangan saksi ahli untuk menjelaskan keadaan hutan yang rusak akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Proses ini memerlukan ketelitian dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari tindak pidana biasa. Pembuktian terhadap tindak pidana kayu ilegal yang masih mengacu pada KUHAP seperti tersebut di atas, adalah menjadi kewajiban penyidik dan penuntut
99
Syahrani, R., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983),
hal.129.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
umum untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat-alat bukti yang juga mengacu kepada KUHAP seperti halnya tindak pidana biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku-pelaku yang berada dibelakang kasus tersebut. Belum mengatur mekanisme proses untuk mengakses alat-alat bukti seperti akses informasi pada bank, atau ketentuan yang memerintahkan kepada bank untuk memblokir rekening tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. 100 4.Ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman penjara paling berat 10 (sepuluh) tahun bagi yang melakukan kayu ilegal . Pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000.000; (lima belas miliar rupiah). Rumusan sanksi dalam undangundang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan terhadap tindak pidana pembiaran.
100
Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 139
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
5. Subjek atau Pelaku Pidana Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penebangan kayu ataupun pengusaha yang melakukan transaksi kayu secara ilegal. Ketentuan pidana tentang kehutanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan kayu ilegal secara keseluruhan seperti koorporasi, pejabat penyelenggara negara, pegawai negeri sipil, TNI/ Polri, pemilik sawmil dan nahkoda kapal. 101 6.Rumusan Sanksi Pidana. Rumusan sanksi pidana dalam pasal 78 Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman penjara paling berat 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10 tahun bagi yang melakukan kejahatan kayu ilegal. Pidana denda paling banyak Rp.15.000.000.000; ( lima belas milyar rupiah ). Rumusan sanksi dalam undangundang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama terhadap tindak pidana pembiaran. 101
Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 141
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
7.Proses Penyitaan. Barang bukti kayu dalam tindak pidana di bidang kehutanan memiliki konsep penanganan tersendiri seperti prosedur dan metode serta keahlian (memiliki sertifikat pengukuran) dalam sistem pengukuran dan juga membutuhkan waktu yang lama sehingga perlu diatur tersendiri. Demikian juga proses pelelangan barang bukti serta pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah asal kayu ilegal tersebut. Hal tersebut belum diatur dalam ketentuan pidana dalam undang-undang kehutanan. C. Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Masalah kayu ilegal saat ini adalah masalah krusial yang dihadapi Indonesia karena masalah kayu ilegal semakin memperburuk kondisi hutan yang sudah buruk dan bahkan dampaknya semakin mempersulit keadaan masyarakat yang sudah sulit akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai contoh dampak kayu ilegal adalah terjadinya banjir dimana-mana hampir diseluruh wilayah Indonesia bahkan belum lepas dari ingatan kita bagaimana dahsyatnya banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang di Sumatera Utara yang menelan banyak korban. Dimana pada akhirnya terungkap bahwa bencana alam yang terjadi tersebut akibat praktik kayu ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sehingga hutan tidak dapat berfungsi sebagaimana peruntukannya.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Kendala/hambatan yang dihadapi oleh Polda Sumatera Utara dalam penanganan
tindak pidana di bidang kehutanan
di wilayah hukum Provinsi
Sumatera Utara: 102 1.Kendala Yuridis antara lain : a. Adanya beberapa Peraturan Menteri Kehutanan antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006 tentang Tata Usaha Hutan yang melindungi kayu dan pelaku kayu ilegal dimana penyelesaiannya cenderung melalui administrasi bukan melalui penyelesaian pidana/ pengadilan b. Sanksi pidana dalam undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak
mencantumkan
ancaman
hukuman
minimal
sehingga
sering
dimanfaatkan atau peluang KKN antara pelaku / tersangka dengan aparat penegak hukum khususnya pengadilan. c. Kayu yang berasal
atau bersumber dari kawasan hutan lindung tidak
diperkenankan untuk dilelang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya. d. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Yo Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah
102
Wawancara dengan AKBP Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda Sumut di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Dengan keluarnya peraturan tersebut diatas maka kewenangan pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan kabupaten/kota. Dengan adanya kewenangan tersebut maka dalam penanganan kasus kayu ilegal yang terjadi di daerah kabupaten/kota menjadi kendala karena Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak dapat langsung menangani tindak pidana tersebut akan tetapi harus melalui permintaan kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini akan memperlambat proses penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi apabila Polda Sumatera Utara melakukan kegiatan atau operasi bersama dengan Dinas kehutanan Provinsi Sumatera Utara. 1. Kendala teknis antara lain: a. Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sangat tergantung dari kesediaan para pejabat Dinas Kehutanan sebagai ahli; b. Dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu ilegal belum memadai terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang bukti, penitipan barang bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan barang bukti; c. Masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama yang bertugas di Polres dan Polsek;
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
d. Kurangnya alat angkut/ pengangkutan dan sepeda motor baik untuk pengejaran/ penangkapan pelaku dan pengangkutan kayu dari tempat kejadian perkara ke penitipan barang bukti atau komando/ markas. e. Kebijakan dibidang kehutanan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini cenderung kepada pengelolaan hutan yang eksploitatif dibanding kepada upaya konservasi dan pelestarian hutan atau kebijakan yang berorientasi pada prinsip-prinsip good governance and sustainable development. f. Lemahnya kapasitas dan integrasi penegak hukum. Hal ini berawal dari proses rekruitmen yang tidak berdasarkan prinsipprinsip Transparan, Partisipatif dan Akuntable (TPA) secara profesional hingga kependidikan, kejuruan, pelatihan-pelatihan dan pembekalan-pembekalan yang kurang memadai terhadap personel penegak hukum terhadap tindak pidana kehutanan tersebut. g. Keterbatasan dana Selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan termasuk kayu ilegal tidak ditentukan anggaran atau dana tersendiri secara khusus, artinya dalam penegakan hukum tersebut sama sekali seperti tindak pidana lainnya, sementara proses penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana umum lainnya. Sebagai contoh pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berada di tengah hutan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
memerlukan sarana seperti helikopter yang belum dimiliki oleh instansi Polri dan PPNS kehutanan terutama di daerah-daerah yang justru mempunyai hutan yang luas, sehingga perlu untuk menyewa helikopter dan sebagainya. 103 h. Kurangnya Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain sebagainya. Kalau hal-hal tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, maka mustahil penegakan hukum dapat tercapai. 104 Namun kenyataan di lapangan menunjukan sarana dan prasarana yang dimiliki pelaku praktik kayu ilegal jauh lebih maju dibandingkan sarana dan prasana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktik kayu ilegal . 105 Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang
103
Ibid, hal 142 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), cetakan keempat, hal. 27 105 IGM. Nurdjana, dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, *(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hal. 143 104
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kehutanan. Dengan terhambatnya proses penyidikan tentu berimbas terhadap semakin maraknya tindak pidana di bidang kehutanan. i. Mentalitas aparat penegak hukum Aparat penegak hukum yang terkait langsung dalam proses penanganan tindak pidana dibidang kehutanan adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, PPNS, Polisi Kehutanan dan advokat yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberhasilan penegakan hukum dibidang kehutanan,. Penegakan hukum yang memungkinkan ditegakkannya hukum dan keadilan dibidang kehutanan apabila aparat hukum tersebut profesional dan bermental tunggal serta mempunyai integritas moral yang tinggi. Kebijakan yang terbatas sebagai ekonomy risk dan sarana prasarana hubungan sebagai political risk dalam penanganan/ penanggulangan kayu illegal yang potensial dengan korupsi menjadi tantangan intergritas moral penanganan supremasi hukum. j.Pengelolaan hutan masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak – hak masyarakat lokal atau masyarakat adat yang hidup dikawasan hutan sehingga masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan masih tetap miskin
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1.Tindak pidana di bidang kehutanan
adalah suatu perbuatan yang dilakukan
terhadap hutan tanpa hak atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan rusaknya hutan. Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah Kepolisian namun dalam beberapa tindak pidana tertentu misalnya, tindak pidana dibidang kehutanan selain penyidik Polri ada juga penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) yang berada di lingkungan departemen kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP dan pasal 77 ayat (2) undang-undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan 2 Koordinasi antara Polri selaku penyidik dengan aparatur penegak hukum lainnya antara lain, Kejaksaan, Pengadilan dan PPNS Kehutanan dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan secara umum dapat terlaksana baik dalam kegiatan preventif maupun kegiatan represif, sehingga jumlah kasus-kasus / tindak pidana di bidang kehutanan semakin berkurang / menurun, terutama setelah dilakukannya operasi wanalaga dan operasi hutan lestari di wilayah hukum Sumatera Utara. 3. Kendala/ hambatan yang dihadapi oleh Polri selaku penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
meliputi Kendala Yuridis yaitu adanya beberapa peraturan Menteri Kehutanan antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006 tentang Tata Usaha Hutan yang Melindungi kayu illegal dan pelaku kayu ilegal dimana penyelesaiannya cenderung melalui administrasi bukan melalui penyelesaian pidana/ pengadilan dan tidak adanya ancaman hukuman minimal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang mengakibatkan adanya peluang KKN antara pelaku dengan aparat penegak hukum terutama Pengadilan/Hakim serta Kendala teknis yaitu, Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sangat tergantung dari kesediaan para pejabat dinas kehutanan sebagai ahli, dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu ilegal belum memadai terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang bukti, penitipan barang bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan barang bukti serta masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama yang bertugas di Polres dan Polsek. B. Saran Penanganan kayu ilegal memerlukan perhatian yang seius dari semua elemen masyarakat terutama aparat penegak hukum oleh karena itu dapat diberikan beberapa saran yaitu : 1.
Untuk mencegah dan menanggulangi praktik kayu ilegal yang terjadi ada baiknya pemerintah meningkatkan keadaan ekonomi masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar hutan sehingga tidak terdorong / terjebak untuk melakukan praktik kayu ilegal baik untuk kepentingan diri sendiri
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar terutama dari cukong / pemilik modal. Selain itu kegiatan penyuluhan hukum ditingkatkan, untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hutan lestari. 2.
Meningkatkan penegakan hukum dengan tetap mengedepankan upaya preventif yaitu dengan meningkatkan kegiatan penyuluhan hukum dan patroli secara rutin, apabila upaya preventif tidak dilaksanakan secara optimal ternyata praktik kayu ilegal masih terjadi agar dilakukan upaya represif dengan koordinasi yang baik dan optimal antara Polri dengan aparat penegak hukum lainya dalam sistem peradilan pidana ( Criminal Justice System ) termasuk PPNS yang diberi kewenangan oleh undang-undang sehingga tidak ada tumpang tindih proses penyidikan terhadap satu kasus dan tidak terjadi arogansi antar penyidik.
3.
Melakukan pembaharuan atau politik hukum terhadap undang-undang Kehutanan no 41/1999 atas ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan yaitu dengan memberikan ancaman hukuman minimal dan maksimal
untuk mempersempit kemungkinan / kesempatan bagi aparat
penegak hukum khususnya hakim dalam melakukan praktik KKN dengan para pelaku kayu ilegal.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2006. Bisri Mustofa, metode menulis Skripsi & Tesis, Jogjakarta: Optimus 2008. Colfer,
C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Daryanto, Kamus Bahasa Umum Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, 1997. Syahrani, R, Beberapa hal Tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni , 1983. Hartono, C.G.F. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke20, Bandung: Alumni, 1994. Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: 2007. K., Satochid, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa. Syaifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,Bandung: Refika Aditama,2007 Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Lubis,Mochtar, Menuju Kelestarian Hutan,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta:1998
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. MD, Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999. Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Jakarta: Erlangga, 1995. Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: 2005. Muladi dan Arif, B. N., Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni 1998. Nurdjana, IGM., dkk., Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung: 2004. Riyanto, Budi, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Bogor: LPH Kehutanan dan Lingkungan, 2004. Salim, H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: 2006. ----------------, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan keempat, Jakarta: Grafindo Persada, 2002. ----------------, dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: 1990. Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: 2003. Suarga, Riza, Pemberantasan Illegal Logging, cetakan 1, Tangerang: Wana Aksara, 2005.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Sumardi, dkk, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Yogyakarta: UGM Press, 2004. Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: PT. Sofmedia, 2009. --------------, Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT. Sofmedia, 2009. Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan dan Illegal Logging, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008. Tunggal,
Hadi Setia, Undang-undang Kehutanan Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo, 2008.
Beserta
Peraturan
Zein, Alam Setia. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Kelana Momo, Memahami Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 Jakarta : PTIK Press 2002, Lubis,Solly.M, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung:Mandar Maju, Jakarta:PTIK Press,2002. Hadi Utomo,HW,Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,2005
2.
Artikel/ Majalah/ Koran/ Buletin/ Karya Ilmiah/ Wawancara
Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat. Tipiter DitResKrim Polda Sumut, Hasil wawancara di DitResKrim Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009. Arifin Arif, Hutan dan Kehutanan,Penerbit Konisius Jogjakarta,2001 hlm 94
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Alam Setia Zein, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,Jakarta ,Penerbit Rineka Cipta,2000 Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Penebangan Kayu dan Illegal Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, 2005 Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Vol.4, No. 3, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003. I., Welly, Peranan Polisi Kehutanan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Taman Nasional Kerinci Seblat Kab. Kerinci, Skripsi, jambi: 2005. Marolop Gultom, Kasi. Perlindungan Hutan di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Hasil Wawancara di Kantor Dinas Kehutanan Provnsi Sumatera Utara, tanggal 6 Mei 2009. Mabes POLRI, “Anatomi Illegal Logging”, Majalah lingkungan Hidup OZON, Vol. 4, No. 3, terbit Desember 2003, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, 2003. . Nasution , Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Medan, 17 April 2004 Fathoni,T, RI – Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal, 2 Juli 2003 3.
Peraturan Perundang-undangan
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI tentang Kehutanan dan Illegal Logging, Jakarta: Nuansa Aulia, 2008. Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politea, 1998.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,Lembaran Negara Nomor 68 tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara 49 Tahun 1990 ,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419. Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tanggal 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Kayu Secara Ilegal Dikawasan Hutan dan Peredaran nya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. 4.
Internet
Asia Report No39, “Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan Rekomendasi”, Dikutip dari www.crisisweb.org/home/ , Diakses tanggal 20 Mei 2009. Ginting, L., “Korupsi adalah Inti dari Illegal Logging”, Dikutip dari www.gatra.com/artikel, Diakses tanggal 20 Mei 2009. Haba,
J.,
“Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”, Dikutip dari www.kompas.com/kompascetak/opini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
http://www.tempointeraktif.com/Tempointeraktif_com-Satu Mengawasi 12 Ribu Hektar Hutan.htm
Polisi
Hutan
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menteri
Kehutanan RI, “Enforcement Economic Program Conservation International-Indonesia EEPCI”, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.id/informasiumum, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
Tanjung, AR., “Illegal Logging dan Polisi”, Dikutip dari http://artanjung. blogspot.com/2008/06/illegal-logging-dan-polisi-studi.html, Diakses tanggal 22 Februari 2009. Tim BEINEWS, “Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal”, Dikutip dari www.bexi.co.id/artikel/komoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009. Yuntho, Emerson, “Kapan Pengadilan Serius Adili Illegal Logging”, Dikutip dari http://opinibebas.epajak.org/search/polri/, Diakses tanggal 22 Februari 2009.
]
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009