KEUNIKAN PERMAINAN TENIS MEJA TUNANETRA OLEH UTOMO PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari permasalahan tunanetra bermain tenis meja yang unik. Penelitian dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitiannya studi kasus ini bertujuan untuk menemukan keunikan dan permasalahan yang ada dalam permainan tenis meja tunanetra. Temuan penelitian yaitu (1) adanya keunikan dalam peraturan, bentuk lapangan, bed, bola tenis meja, dan adaptasi pelaksanaan permainan. (2) adanya permasalahan yang terjadi yaitu tunanetra belum bisa bermain secara mandiri, masih terjadi kesalahpahaman tentang seberapa kecepatan service dan pengembalian bola pertama yang diperbolehkan, masih sering kurangnya koordinasi telinga dan tangan, dan tunanetra merasa terganggu jika situasinya ramai. Kata kunci : keunikan, tenis meja tunanetra, adaptasi PENDAHULUAN Olahraga sudah menjadi kebiasaan bagi siapapun yang menginginkan tubuhnya sehat. Hasilnya tidak hanya sehat jasmani saja, akan tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan rohani. Dengan olahraga maka akan membentuk keseimbangan antara jasmani dan rohani. Secara garis besar olahraga dibagi menjadi dua, yaitu olahraga kesehatan dan olahraga prestasi. Walaupun tidak bisa dipungikri bahwa olahraga prestasipun juga ikut serta menciptakan tubuh menjadi sehat. Anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus atau lebih dikenal dengan istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) mempunyai ciri khas tersendiri dalam mengimplementasikan kehidupan dibidang olahaga. Olahraga bagi anak/orang yang mempunyai kebutuhan khusus dikenal dengan olahraga adaptif. Olahraga adaptif sebenarnya tidak hanya diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus saja, namun juga diperuntukkan bagi mereka yang secara jasmani/fisik/mental mempunyai kondisi yang berbeda dengan orang pada umumnya, misalnya olahraga bagi orang yang sedang menderita penyakit atau olahraga bagi orang yang usianya sudah lanjut. Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan perhatian di bidang olahraga adalah anak-anak yang mempunyai hambatan penglihatan (tunanetra). Olahraga bagi tunanetra perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Kekhususan olahraga bagi tunanetra terutama mengantisipasi adanya hambatan penglihatan. Artinya setiap jenis olahraga yang dilakukan sebisa mungkin adalah olahraga yang tidak harus memanfaatkan fungsi penglihatan, terutama bagi tunanetra yang tergolong buta atau low vision yang sudah tidak bisa lagi memanfaatkan sisa penglihatannya untuk digunakan dalam aktifitas berolahraga. Beberapa bidang olahraga yang sering digeluti oleh anak tunanetra diantaranya sepak bola, tenis meja, renang, atletik, dan lain-lain. Secara umum pelaksanaan olahraga baik peraturan, peralatan, maupun arena/lapangan tetap mengacu kepada peraturan-peraturan olahraga pada umumnya, namun ada beberapa hal yang diadaptasikan dengan kondisi hambatan penglihatan anak. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan bahwa ada salah satu jenis olahraga yang diminiati oleh tunanetra yaitu olahraga tenis meja. Peneliti menemukan beberapa
1
keunikan yang sangat menarik untuk diteliti diantaranya modifikasi lapangan, bed, bola dan peraturan permainan, serta pelaksanaan permainan. Berdasarkan permasalahanya tersebut maka mendorong peneliti untuk melakukan penelitian sebagai usaha menggali lebih dalam tentang keunikan permainan olahraga tenis meja bagi tunanetra. Rumuasan permasalahan penelitian ini adalah ”Bagaimana keunikan dan permasalahan yang masih ada dalam permainan tenis meja tunanetra?” Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan olahraga adaptif tenis meja baik secara teoritis maupun praktis. KAJIAN TEORI A. Pendidikan Olahraga/Jasmani Adaptif Olahraga Adaptif adalah Metode Olahraga yang disesuaikan dengan kapasistas fungsional tubuh seseorang. Tidak ada pemaksaan gerakan, intensitas dan frekuensi dalam melakukan olahraga ini (Posted by jayapustaka. Friday, July 6, 2007). Olahraga ini cocok dilakukan oleh mereka yang memiliki kecenderungan menderita penyakit degeneratif/penuaan (hipertensi, hipercholesterol, asam urat, rheumathoid arthritis, pengapuran) dan mereka yang mempunyai kelainan/kecacatan. Pembelajaran adaptif merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dengan demikian pembelajaran adaptif bagi ABK hakekatnya adalah Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab didalam pembelajaran adaptif bagi ABK yang dirancang adalah pengelolaan kelas, program dan layanannya (Hosni. Pembelajaran Adaptif. 2009). Secara mendasar pendidikan jasmani adaptif adalah sama dengan pendidikan jasmani biasa. Pendidikan jasmani merupakan salah satu aspek dari seluruh proses pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan Anak Luar Biasa memiliki masalah dalam ranah psikomotor. Masalah psikomotor sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan sensomotorik, keterbatasan dalam kemampuan belajar. Sebagian Anak Luar Biasa bermasalah dalam interaksi sosial dan tingkah laku. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut. Sifat program pengajaran pendidikan jasmani adaptif memiliki ciri khusus yang menyebabkan nama pendidikan jasmani ditambah dengan kata adaptif. Adapun ciri tersebut adalah: Program Pengajaran Penjas adaptif disesuaikan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa yang berkelainan berpartisipasi dengan aman, sukses, dan memperoleh kepuasan. Misalnya bagi siswa yang memakai kursi roda satu tim dengan yang normal dalam bermain basket, ia akan dapat berpartisipasi dengan sukses dalam kegiata tersebut bila aturan yang dikenakan kepada siswa yang berkursi roda dimodifikasi. Demikian dengan olahraga lainnya. Oleh karena itu pendidikan jasmani adaptif akan dapat membantu dan menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya. 2. Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh siswa. Kelainan pada Anak Luar Biasa bisa terjadi pada kelainan fungsi postur, sikap tubuh dan pada mekanika tubuh. Untuk itu, program pengajaran 1.
2
pendidikan jasmani adaptif harus dapat membantu siswa melindungi diri sendiri dari kondisi yang memperburuk keadaannya. 3. Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu ABK. Untuk itu pendidikan jasmani adaptif mengacu pada suatu program kesegaran jasmani yang progresif, selalu berkembang dan atau latihan otot-otot besar. Dengan demikian tingkat perkembangan ABK akan dapat mendekati tingkat kemampuan teman sebayanya. Apabila program pendidikan jasmani adaptif dapat mewujudkan hal tersebut diatas, maka pendidikan jasmani adaptif dapat membantu siswa melakukan penyesuaian sosial dan mengembangkan perasaan siswa memiliki harga diri. Perasaan ini akan dapat membawa siswa berperilaku dan bersikap sebagai subyek bukan sebagai obyek dilingkungannya (Fnpinky’s Blog. Pendidikan Jasmani Adaptif. Januari 8, 2010). B. Tunanetra Istilah tunanetra mengacu pada suatu kondisi yang dialami seseorang di mana adanya ketidakberfungsian organ-organ penglihatan untuk menangkap rangsangan visual sehingga mengalami kelainan atau gangguan dalam proses pemerolehan informasi visual dari lingkungannya. Kerusakan pada organ-organ penglihatan ini berdampak menimbulkan kebutaan (buta total/totally blind) ataupun penurunan derajat penglihatan (kurang awas/low vision). Dengan demikian istilah ketunanetraan yang diterjemahkan dari visual impairment merupakan konsep payung untuk semua jenis dan derajat kecacatan penglihatan, dalam arti ketunanetraan mencakup kebutaan dan berbagai tingkatan kurang awas. Kehilangan atau penurunan derajat penglihatan ini mengakibatkan seseorang tidak mampu atau hanya sedikit saja memiliki kemampuan untuk menangkap rangsangan visual. Akibatnya informasi yang diterima kurang atau tidak lengkap, khususnya yang berhubungan dengan informasi visual seperti warna. Kehilangan penglihatan ini ibarat sebuah kamera yang lensanya (atau komponen lain) rusak maka target yang dibidik atau difoto tidak dapat terekam sama sekali atau terekam kurang baik dalam film karena salahsatu komponen kamera tersebut mengalami kerusakan. Dengan demikian upaya pemotretan tersebut tidak menghasilkan gambar yang bagus bahkan tidak menghasilkan apa pun. Banyak kalangan mengemukakan pengertian tentang anak tunanetra berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya masing-masing. Dalam kacamata pendidikan, Barraga (1983:25) merumuskan pengertian anak tunanetra sebagai berikut: A visually handicapped child is one whose visual impairment interferes with his optimal learning and achievement, unless adaptations are made in the methods of presenting learning experiences, the nature of the materials used, and/or in the learning environment. Rumusan yang dikemukakan Barraga tersebut menjelaskan bahwa seorang anak dikatakan tunanetra apabila ia mengalami gangguan fungsi penglihatan untuk mengikuti belajar dan mencapai prestasi secara optimal, tidak dapat menyesuaikan metode, materi pelajaran, dan lingkungan belajar yang umumnya digunakan oleh orang melihat. Penjelasan tentang keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunanetra sebagai akibat dari gangguan fungsi penglihatannya itu menuntut pentingnya penyesuaian-penyesuaian sehingga anak tunanetra dapat belajar dan mencapai prestasi secara optimal. Dengan kata lain, pentingnya penyesuaian-penyesuaian dalam merancang pola pembelajaran yang dapat mengakomodir kondisi ketunanetraan yang disandang anak menjadi fokus utama. Hal itu dipandang penting karena pemahaman tentang kondisi ketunanetraan selayaknya tidak hanya melihat dari sisi kelemahan atau keterbatasan-keterbatasannya saja (handicapped) melainkan lebih 3
berorientasi pada sisi potensi dan kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat dikembangkan pada diri anak tunanetra sehingga dapat mengembangkan potensi dan mencapai prestasi diri secara optimal. Ketunanetraan dapat terjadi sejak seseorang itu dilahirkan atau bawaan maupun kemudian setelah dilahirkan atau dapatan. Hal paling mendasar yang membedakan antara ketunanetraan bawaan dan dapatan adalah dalam hal penguasaan konsep dasar visual yang berimplikasi pada aspek-aspek perkembangan lainnya. Khususnya ketunanetraan bawaan yang buta total, mereka tidak mempunyai konsep dasar visual samasekali. Konsep mereka tentang dunia luar bergantung pada indera-indera lain (nonvisual). Bagaimanakah melihat itu, misalnya bagaimana berfungsinya hukum optik, akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk memahaminya. Merupakan suatu gagasan yang menarik dan akan sangat berarti bagi anak tunanetra bawaan yang buta total jika kita membandingkan perspektif tentang berkurangnya intensitas suara dengan bertambahnya jarak. Ungkapan orang awas yang ditujukan pada orang tunanetra bahwa “mereka hidup dalam kegelapan” sesungguhnya tidak memiliki makna yang tepat, karena sesungguhnya mereka tidak memahami konsep kegelapan itu sendiri bahkan tidak pernah melihat apapun. Konsep atau gambaran mental tentang sesuatu, seluruhnya berasal dari pengalamannya dengan menggunakan fungsi indera-indera yang lain. Sedangkan mereka yang memperoleh ketunanetraan dapatan telah memiliki sejumlah pengalaman visual yang bervariasi. Ketunanetraan yang didapat pada usia remaja atau dewasa cenderung menimbulkan masalah psikologis yang memerlukan penanganan yang lebih khusus. C. Olahraga Tenis Meja Tunanetra yang Aksesibel Salah satu jenis olahraga adaptif yang berkembang di Indonesia adalah Tenis meja Tunanetra. Walaupun para tunanetra mengalami gangguan penglihatan, namun bukan berarti mereka tidak bisa bermain tenis meja. Permainan tenis meja tunanetra pertama kali diciptakan oleh seorang guru SLB/A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta yang bernama Drs. Suradji (Andam Zuriadi dalam slbaykabsurakarta.blogspot.com). Memang pada dasarnya permainan olahraga tenis meja harus memanfaatkan penglihatannya dalam bermain. Maka dari itu segala hal yang berkaitan dengan penglihatan dalam permainan ini harus diadaptasikan. Beberapa pengadaptasiannya adalah sebagai berikut : 1. Peralatan yang digunakan : a. Bed pingpong yang lapisan karetnya dilepas. b. Bola pingpong yang diisi dengan peluru (Gotri sepeda yang kecil). c. Ukuran Meja = Panjang 730 cm + 5 cm untuk selokannya, Lebar 152 Cm + 5 cm selokannya. d. Bisa dibuat seperti Meja pingpong awas sehingga mudah/tdk terlalu berat untuk dipindah. e. Batas pukulan miring pada saat melakukan service dari garis tengah kekanan 40cm dan kekiri 40 cm (jumlah area sasaran service 80 cm). 2. Peraturan Tenis Meja Tunanetra a. Service harus lurus dan pelan dan sebelumnya harus memberi kode kepada lawan dengan bilang siap? Lawan menjawab siap/ya baru dilakukan service. b. Service miring seperti garis panah hijau berarti salah dan di ulang sampai 3 kali, apabila 3 kali salah terus berarti point untuk lawan. c. Bola pengembalian service juga dilakukan dengan pelan (pelan disini maksudnya diharapkan sama seperti jalannya bola service). 4
d. Service harus sampai pada area service. Kalau tidak sampai are itu berarti point untuk lawan. e. Arah pengembalian bola service boleh lurus, miring dengan catatan pelan. f. Semua pemain diharuskan memakai penutup mata (blind full). g. Game pada angka 21 dengan 2 kemenangan (two Winning Set) Service dilakukan 2 kali pindah/ganti. D. Arena tenis meja yang aksesibel Arena tenis meja adalah tempat dimana lapangan tenis meja diletakkan. Arena juga mengandung lingkungan sekitar lapangan. Olahraga tenis meja tunanetra membutuhkan arena yang aksisibel. Kategori akses mengandung makna bahwa para pemain tunanetra dapat bermain tenis meja dengan aman, mudah, dan mandiri. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian tentang Keunikan Permainan Tenis Meja Tunanetra dilakukan guna mendapat gambaran berbagai aspek keunikan dan permasalahan yang ada dalam permainan olahraga tenis meja tunanetra. Untuk mencapai hal-hal tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena dengan pendekatan kualitatif peneliti dapat memperoleh deskripsi fenomena yang lebih lengkap. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena, menurut Van Maanen dalam Tarsidi (2002) bahwa pendekatan kualitatif adalah penelitian yang menggunakan berbagai macam teknik interpretasi yang berupaya mendeskripsikan, mengungkap, menerjemahkan dan menafsirkan fenomena sosial tertentu yang terjadi secara alami dari segi maknanya bukan frekuensinya. Sedangkan Patton dalam Tarsidi D. (2002) mendeskripsikan pendekatan kualitatif sebagai penyelidikan ilmiah yang menggunakan pendekatan pemahaman, didasarkan atas pemikiran kritis mengenai fenomena sosial tanpa bergantung pada abstrak simbol-simbol numerik. B. Deskripsi Lokasi Dan informan Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura. Lembaga ini tempat untuk memberikan layanan rehabilitasi bagi penyandang tunanetra. Banyak aktifitas yang dilakukan oleh tunanetra, diantaranya aktifitas permainan olahraga tenis meja. Informan utamanya adalah guru yang banyak membina olahraga tenis meja tunanetra. Informan tambahannya adalah siswa-siswa tunanetra yang sering bermain tenis meja. C. Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Metode wawancara digunakan untuk mengungkap data tentang hal-hal yang berhubungan dengan permainan tenis meja tunanetra. Peneliti menggunakan wawancara semi struktur. Maksud dari wawancara semi struktur adalah wawancara yang didasari oleh pedoman yang telah dibuat. Walaupun demikian pedoman yang dibuat dalam wawancara ini hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang isi materi yang diberikan saat wawancara. Artinya peneliti mempunyai kewenangan untuk mengembangkan pertanyaan walaupun pertanyaan tersebut tidak terdapat dalam pedoman wawancara. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat lebih memahami jawaban yang diberikan oleh informan. Metode observasi digunakan dalam mengungkap data tentang pelaksanaan penyelenggaraan sekolah. Dengan melihat dan mengamati sendiri pada saat observasi peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah. Pelaksanaan observasi ini dilakukan setelah sebelumnya ada kesepakatan dengan informan 5
baik menyangkut waktu maupun tempatnya. Kegiatan saat observasi peneliti melihat perilaku dan tindakan yang dilakukan guru maupun komponen sekolah dalam rangka penyelenggaraan pendidikan. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah panduan wawancara sedangkan instrumen tambahan adalah panduan observasi. D. Teknik Analisis Data Proses analisis data terjadi secara simultan dan bolak balik yang artinya dalam proses analisis data dimulai sejak pengumpulan data sampai analisis data itu sendiri. Proses analisis data dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, reduksi data yaitu menyeleksi, menyingkat data, menyederhanakan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan mentranskrip data atau menuliskan kembali hasil wawancara berdasarkan jawaban-jawaban pertanyaan penelitian. Setelah ditranskrip kemudian hasilnya ditunjukkan kepada informan agar informan dapat memeriksa kembali apa yang telah dinyatakan (member check) sehingga jika ada tambahan informasi atau kekeliruan dalam penulisan dapat ditambahkan atau dikoreksi. Hal ini peneliti maknai sebagai proses validasi hasil wawancara. Transkrip data kemudia dipilah-pilah untuk dikelompokan ke dalam sub-sub kategori atau kategori-kategori berdasarkan pertanyaan penelitian. Berikutnya mencocokkan transkrip data dengan hasil observasi dan dokumentasi (triangulasi). Kedua, data yang telah dikategorikan peneliti lengkapi dengan hasil observasi dan dokumentasi disajikan dalam bentuk matrik sehingga mudah untuk dibaca, dengan cara ini akan tergambar hubungan antara kategori yang satu dengan yang lainnya. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi data dimaksudkan untuk mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan mencari persamaan atau perbedaan, mencari pola, tema, hubungan dan hal-hal yang sering timbul dari menyusun rangkaian logis antar kategori sebagai kesimpulan dari data yang yang diperoleh. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian untuk mengungkap keunikan permainan tenis meja tunanetra menghasilkan dua pokok temuan yaitu (1) keunikan-keunikan yang ada pada permainan tenis meja tunanetra dan (2) permasalahan-permasalahan yang timbul adanya permainan tenis meja tunanetra. 1. Keunikan permainan tenis meja tunanetra Permainan tenis meja tunanetra banyak perbedaannya dengan tenis meja biasa. Perbedaan yang ada disesuaikan dengan kondisi penyandang tunanetra. menurut salah seorang guru yang sehari-harinya bergelut dengan olahraga adaptif, bahwa penyesuaian permainan olahraga terdapat pada lapangan, bed, bola, beberapa peraturan, dan cara bermainnya. Penyesuaian tersebut, dikarenakan penyandang tunanetra mengalami kesulitan jika menggunakan segala sesuatu yang berkenaan dengan olahraga tenis meja pada umumnya. Kesulitan yang timbul akibat dari tidakfungsinya atau terganggunya penglihatan. Para tunanetra tinggal menggunakan permainan tenis meja yang sudah ada. Segala adaptasi telah disetujui oleh NPC/National Paralimpic Comitte. NPC adalah lembaga olahraga binaan KONI untuk mengurusi olahraga bagi penyandang disabilitas. NPC sebelumnya bernama BPOC (Badan Pembina Olahraga Cacat). Adaptasi lapangan tenis meja tunanetra diarahkan agar dalam kondisi tidak melihat, tunanetra dapat menguasai lapangan, termasuk anak tunanetra bisa mengambil bola di pinggir lapangan. Lapangan tenis meja lebih lebar masing-masing 5 cm di bagian kiri, kanan dan belakang. Kelebihan lebar 5 cm bentuknya lebih rendah dari lapangan utamanya dan bagian luarnya ditinggikan kira-kira 10 cm untuk menghalangi bola supaya tidak keluar. Namun pada kenyatannya jika bolanya cepat, terkadang bola keluar lapangan. Adaptasinya lainnya yaitu lapangan tenis meja tunanetra diberi batas untuk menentukan lapangan bagian depan dan 6
bagian belakang . Hal ini untuk membatasi saat service, jika bola tidak sampai ke lapangan bagian belakang, maka dianggap mati, sehingga poin bagi lawan. Adaptasi berikutnya adalah adaptasi bed tenis meja. Pada bed tenis meja biasa, masih dilapisi karet untuk pemantul, namun untuk bed tenis meja tunanetra tidak terdapat karet, sehingga cukup dengan papan dasarnya yang biasanya terbuat dari triplek atau kayu. Bed tenis meja tunanetra tidak memerlukan karet karena pada saat main tidak memerlukan pantulan. Justru jika masih ada karetnya maka akan mengganggu pantulan. Tujuan lainnya yaitu supaya menimbulkan suara pukulan saat bed tenis meja tuanetra mengenai bola. Pengadaan bed tenis meja tunanetra saat ini masih terbatas. Biasanya penyandang tunanetra membeli bed tenis meja biasa, kemudian karetnya dikelupas atau seringkali tunanetra mencari bed tenis meja biasa yang telah rusak sehingga tinggal menghilangkan sisa-sisa karetnya saja. Bola tenis meja tunanetra juga memerlukan adaptasi yang cukup unik. Bola tenis meja biasa tidak bisa digunakan oleh tunanetra karena pergerakan bola tidak bisa diakses oleh orang yang tidak bisa melihat. Tunanetra memerlukan suara untuk mendeteksi pergerakan bola. Maka dari itu bola tenis meja biasa tersebut didalamnya diberi benda yang bisa menimbulkan bunyi. Biasanya diberi gotri sepeda ukuran kecil sebayak 3-4 biji. Pada saat bola bergerak maka akan menimbulkan bunyi. Cara memasukkan gotri yaitu dengan menggunakan teknik dipanasi jarum untuk melubangi kulit bola dan kecepatan memasukkan sehingga lubang bekas memasukkan tadi tidak bisa untuk keluar gotri yang telah dimasukkan. Untuk menambah keamanan supaya gotri tersebut tidak bisa keluar, maka biasanya bekas lubangnya ditutupi plester putih yang biasa untuk memplester kertas kado. Keunikan permainan tenis meja tunanetra lainnya yaitu pada peraturan permainannya. Ada beberapa peraturan yang tidak sama dengan tenis meja biasa antara lain bola tidak melalui atas net, namun melalui bawah net. Justru jika bola melewati atas net maka dianggap mati. Net yang digunakan untuk permainan tenis meja tunanetra sama seperti yang digunakan pada tenis meja biasa, hanya saja posisi bawah netnya harus bisa dilalui oleh bola tenis meja sehingga lubang bawah net lebih besar (lebih tinggi) dari ukuran bolanya. Service dan pengembalian bola pertama juga ada ketentuan yaitu tidak boleh cepat. Menurut guru yang mengajar tenis meja, kecepatannya tergantung dari persepsi pemain/wasit. Artinya setiap pemain atau wasit terkadang mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Keunikan lainnya yaitu bola harus melewati bagian depan lapangan tenis meja dan harus berada di bagian belakang tenis meja. Jika bola saat service maupun permainan berikutunya tersebut tidak bisa melewati batas bagian depan lapangan maka dianggap bola keluar. Cara bermain tenis meja tunanetra bolanya bukan dengan cara dipukul, melainkan didorong dengan menggunakan bed yang telah dikelupas kulitnya. Biasanya cara mendorong bola dengan posisi backhand, akan tetapi tetap diperbolehkan dengan posisi forehand. 2. Permasalahan permainan tenis meja tunanetra Menurut penuturan guru yang mengajar siswa-siswa tunanetra, bahwa permainan tenis meja selama ini masih terdapat permasalahan-permasalahan. Permainan tenis meja tunanetra belum bisa distandarkan secara international, walaupun secara nasional sudah bisa dipertandingkan. Artinya secara nasional sudah diakui. Para ahli olahraga adaptif memberikan analisis mengapa permainan tenis meja trunanetra belum bisa diakui secara internasional, dikarenakan belum bisa ditemukan keahlian/ketrampilan yang muncul. Permainan tenis meja ini mulai dari service maupun pengembalian bola berikutnya belum bisa menggambarkan sebuah keterampilan mengolah bola. Hal ini perlu dicarikan justifikasi keterampilan yang bisa dimunculkan. Permasalahan lain yang terdeteksi oleh guru adalah pada peraturan service dan pengembalian bola yang harus pelan. Seberapa kecepatannya yang disebut pelan masih menjadi perdebatan. Biasanya hanya persepsi pemain atau wasit (jika kebetulan ada wasit). 7
Belum adanya ketentuan yang baku tersebut sering menimbulkan kesalahpahaman antar pemain, dan juga wasit. Penyandang tunanetra mengalami kesulitan bermain tenis meja secara mandiri. Hal ini sangat dirasakan apabila para pemain tenis meja semuanya kategori buta atau low vision yang berat. Dikatakan tidak bisa mandiri terlihat jika secara kebetulan bola tenis meja terlepas dari meja permainan, walaupun bola sudah dimodifikasi dengan bunyi-bunyian. Bola akan berbunyi jika bergerak. Pada saat diam bola tidak mengeluarkan bunyi. Penyandang tunanetra sering merasa kesulitan untuk menemukan bola kembali jika tidak ada pemain atau orang yang mendampinginya masih bisa melihat. Keadaan tersebut seringkali permainan pada akhirnya harus diakhiri sebelum waktunya, karena bola yang digunakan untuk permianan tidak ditemukan. Permainan tenis meja tunanetra membutuhkan penonton yang bisa mengendalikan diri untuk tidak ramai saat berlangusng permainan karena sangat mengganggu konsentrasi mendeteksi bola yang berbunyi. Jika keadaan lingkungan terlalu ramai, maka seringkali tunanetra kehilangan konsentrasi. Hal ini berbeda dengan permainan tenis meja biasa, justru ramainya penonton menambah semangat pemain. Para penonton boleh bersorak sorai pada saat permainan berhenti karena salah satu lawan mati langkah. Pada saat permainan berlangsung kembali, maka penonton harus diam lagi, dan begitu seterusnya. Permasalahan lainnya yang terungkap adalah penyandang tunanera saat bermain tenis meja tunanetra kadang merasa kesulitan mengkoordinasikan antara pendengaran dengan tangan yang memegang bed. Seringkali kecepatan datangnya bola terlambat untuk terdeteksi oleh telinga sehingga otal terlambat memerintah tangan yang memegang bed untuk mengembalikan bola. Mereka merasa ukuran lapangan tenis meja kurang panjang. B. Pembahasan Keadaan seseorang yang mempunyai kebutuhan khusus bukan berarti tidak mempunyai cara untuk beraktifitas layaknya orang-orang pada umumnya seperti aktifitas olahraga. Aktifitas olahraga juga perlu untuk diimplementasikan kepada orang-orang yang mempunyai kebutuhan khusus salahsatunya yaitu mereka yang mempunyai hambatan penglihatan atau lebih dikenal dengan penyandang tunanetra. Bidang olahraga bagi penyandang tunanetra untuk dapat dilakukan oleh tunanetra memerlukan adaptasi seperti halnya penyandang disabilitas lainnya yang dikenal dengan pendidikan jasmani (penjas) adaptif. Permainan tenis meja tunanetra yang menjadi penelitian ini tidak lepas dari ketentuanketentuan dalam pendidikan jasmani adaptif. Ketentuan atau peraturan yang diterapkan menurut pembahasan peneliti sudah menyesuaikan dengan kondisi penyandang tunanetra. Penyesuaian permainan tenis meja tunanetra sudah mengarah kepada ilmu kompensatoris hambatan penglihatan. Adaptasi lapangan tenis meja, adaptasi bola tenis meja, adaptasi bed, dan adaptasi peraturan-peraturan yang berlaku serta cara bermainnya sesuai dengan pengalihan fungsi penglihatan yang terganggu ke indera lain seperti perabaan dan pendengaran. Adaptasi yang ada pada permainan tenis meja tunanetra masih menyisakan permasalahan-permalsahan yang ada. Sebenarnya hal ini sebuah kewajaran, sebab ilmu kompensatoris memang tidak bisa mengatasi semua kebutuhan bagi tunanetra. Setidaknya mencoba untuk mencari solusi-solusi yang ada. Peneliti mengumpamakan bahwa ilmu kompensatoris sepeti halnya peribahasa “tidak ada rotan, akarpun jadi”. Terkadang ilmu kompensatoris justru membuat sesuatu pengalihan fungsi indera yang mempunyai hambatan ke indera lain yang masih berfungsi menjadi hal yang menarik dan justru muncul sebuah keunikan. Keunikan-keunikan inilah yang menjadi daya tarik untuk diteliti terus menerus sampai menemukan terobosan-terobosan yang dapat menyempurnakan ide-ide sebelumnya. 8
Peneliti sangat menghargai adanya permainan tenis meja tunanetra. Adanya permasalahan yang ada pada permainan tenis meja tunanetra, justru memunculkan ide-ide untuk mengatasinya dengan kajian-kajian ilmiah berikutnya. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Seseorang dalam kondisi berkebutuhan khusus yang disebabkan oleh ketunanetraan harus tidak menyurutkan untuk tetap berolahraga. Salahsatu olahraga yang cukup digemari tunanetra yaitu permainan tenis meja tunanetra. Terdapat beberapa keunikan yang ada pada permainan tersebut diantaranya adaptasi lapangan tenis meja untuk mengatasi agar bola tidak keluar lapangan, adaptasi bola yang diisi dengan gotri sepeda agar dapat menimbulkan bunyi, adaptasi bed yang dihilangkan karetnya, peraturan permainan yang disesuaikan dengan kondisi tunanetra, serta beberapa cara bermain yang berbeda dengan permianan olahraga tenis meja biasa. Adaptasi yang ada sebagai bentuk kompensatoris (pengalihan) indra penglihatan yang terganggu ke indera lain yang masih berfungsi seperti pendengaran dan perabaan. Adaptasi yang ada ternyata masih menyisakan permasalahan-permasalahan seperti kurangnya kemandirian tunanetra bermain sendiri diantara mereka dan perlu ada pendamping awas, belum ada ukuran kecepatan bola waktu service dan pengembalian bola pertama yang diinginkan (peraturannya harus pelan), masih terganggunya tunanetra jika saat bermain lingkungan sekitar terlalu ramai, serta masih sering terganggu koordinasi pendengaran dengan perabaan dan kinestetik tangan untuk mengembalikan bola. B. Saran Berdasarkan temuan penelitian maka disarankan untuk diadakan penelitian lanjutan untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam permainan olahraga tenis meja, diantaranya untuk mengatasi ketidakmandirian tunanetra dalam bermain tenis meja, ketidakpastian kecepatan service dan pengembalian bola pertama, perlunya inovasi lapangan tenis meja tunanetra untuk mengatasi hambatan koordinasi pendengaran dengan perabaan dan kinestetik, serta menyeting agar permainan tenis meja bisa tidak terganggu jika situasi terlalu ramai. DAFTAR PUSTAKA Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional : Jakarta : Restindo Mediatama Andam Zuriadi, (2010). Peraturan Tenis Meja Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://wwwslbaykabsurakarta.blogspot.com. [6 Juni 2010]. Andersen, JK. (2000). Pengaruh Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Penyandang Ketunanetraan Bawaan-Makalah. Bali. Astati, (2001), Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa Elderly New, (2007). Olahraga Adaptif [online]. Tersedia: http:/www.sahabatlansia.blogspot.com. [6 Juni 2010]. Mason H & Mc Call, (1997), Visual Impairment Acces to Education for Children and Young people, London: David Fultron Publishers Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung : Alfabeta Bandung Tarsidi D, (2008), Aksesibilitas Fisik bagi Penyandang Ketunaan (Online).www.diditarsidi.blogspot.com Yin R, Alih Bahasa Mudzakir MD (2003) Studi Kasus, Desain dan Metode, jakarta: Raja Grafindo Persada 9
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional : Jakarta : Restindo Mediatama __________, Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
10