KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI DALAM ORGANISASI FKMSB (FORUM KOMUNIKASI MAHASISWA SANTRI BANYUANYAR) DI JABODETABEK Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)
Oleh:
ACHMAD FARUK 109032200021
JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
ABSTRAKSI Organisasi merupakan wadah berkreasi dan bersilaturahmi yang kemudian juga memberikan kesempatan bagi semua anggotanya untuk mengembangkan potensi dalam proses aktualisasi diri. Namun akan menjadi persoalan yang kurang elok ketika dalam pola relasi organisasi terdapat kelompok yang terlalu mendominasi baik dalam strukural maupun dalam konteks yang lain. Pada prosesnya, dominasi juga akan melahirkan sebuah ketimpangan dalam beberapa aspek bagi para anggotanya. Dan akan menjadi sesuatu yang menarik ketika ketimpangan itu terjadi pada organisasi mahasiswa santri (mahasantri) sebagai kaum intelektual yang sudah tercerahkan oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanakah dengan mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek? Persoalan inilah yang diteliti penulis sebagai objek penelitian. Secara purposif diambil 12 mahasantri sebagai informan, dan difokuskan pada mahasantri FKMSB yang pernah menjadi pengurus maupun aktif sebagai anggota dari kampus yang berbeda-beda. Dari beberapa kampus yang berbeda tersebut kemudian dikelompokan kedalam dua kategori kampus yang mempunyai pola pendidikan kampus modernis dan yang berorientasi fundamentalis. Metode analisis yang digunakan adalah Teori Analysis Pathway (GAP) dengan menggunakan empat aspek: Akses, partisipasi, kontrol dan pemanfaatan, yang semua aspek tersebut digunakan untuk melihat adanya ketimpangan relasi gender dan beberapa faktor terjadinya ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan kurangnya akses dan kurangnya partisipasi anggota perempuan dalam beberapa program pengembangan skill dan knowledge. Sebagai organisasi modern yang sudah mempunyai AD-ART dalam hal ini tidak ada aturan yang membatasi perempuan dalam berorganisasi, namun realitanya anggota perempuan belum sekalipun mendapatkan posisi strategis seperti menjadi ketua maupun wakil. Bahkan sebagian besar anggota perempuan merasa kurang dilibatkan dan kurang diberdayakan dalam beberapa kegiatan, sehingga dalam organisasi FKMSB Jabodetabek ini tampak lebih dominan anggota laki-laki baik dalam posisi struktural maupun partisipasi dalam beberapa kegiatan. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa anggota laki-laki lebih mempunyai kontrol (Power) dan lebih banyak mendapatkan manfaat dari proses berorganisasi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab adalah, faktor pemahaman agama yang masih kental akan pemahan tekstual yang kemudian sebagian besar informan mempunyai pemahaman tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Kemudian budaya patriarkhi yang masih dianut dari tanah kelahirannya yakni pulau madura, bahwa dalam relasi sehari-hari selalu mengedepankan sosok laki-laki dan sebaliknya perempuan dijadikan sebagai the second class, dan budaya ini berlanjut dalam organisasi ini. Kemudian, relasi organisasi yang masih lemah, bahwa pola relasi dalam organisasi FKMSB ini masih kurang ada keterbukaan satu sama lain, seperti masih adanya intruksi dari salah satu keluarga pesantren (Neng) yang kemudian membatasi kaum perempuan terlibat secara maksimal dalam proses berorganinsasi. Dan faktor lainnya adalah, banyaknya mahasantri yang memilih perguruan tinggi aliran timur tengah dengan menggunakan pola pendidikan yang berorientasi fundamentalis. Kata kunci: Ketimpangan Gender, Mahasantri, Organisasi
iv
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum, Wr. Wb. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa harapan kesempatan dan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan proses penulisan skripsi ini, dengan judul “KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI
DALAM
ORGANISASI
FORUM
KOMUNIKASI
MAHASISWA SANTRI BANYUANYAR (FKMSB) DI JABODETABEK”, dari awal hingga akhir dalam keadaan sehat walafiat. Semoga penulis selalu diberikan kesemangatan dan senantiasa dijadikan insan akademis yang selalu dapat menaburkan kebaikan kepada seluruh alam dan berguna bagi insan sesama sebagaimana khoirunnas anfauhum linnas. Penulis menyadari bahwa dalam kepenulisan skripsi ini tidak akan pernah tercipta tanpa dorongan dan motivasi dari berbagai pihak yang telah rela memberikan segala bantuan baik itu bantuan moral maupun materil. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dede Rosyada sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zulkifly, MA., selaku dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si,selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan Bapak Husnul Khitam, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah. 4. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku dosen penasehat akademik penulis selama masih menjalani aktifitas perkuliahan dan sebagai pengajar pada program studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
5. Ibu Ida Rosyidah, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan segala kesiapan dan waktu luangnya, tenaga, perhatian dan kesabarannya dalam memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas ilmunya bunda, semoga tuhan membalasnya dengan kebaikan yang tak terhingga. 6. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Ikatan Mahasiswa Alumni Bata-bata (IMABA) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) tempat dimana penulis bersilaturrahmi, berjuang dan berbagi bersama sebagai sesama santri yang berjuang di ibu kota Jakarta. 7. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Forum Mahasiswa Madura (FORMAD) Jabodetabek, tempat dimana penulis menjalin silaturrahmi dan melestarikan identitas primordial-etnis Madura di kota rantau. 8. Kawan-kawan sosiologi angkatan 2009, Ulumudin, Ichsan Fajri, Daniel, Nur Azizah, Resty, Ahsya, Rian reza, Fahmi, Abdillah, dan kawan-kawan yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini. 9. Teman-teman yang selalu ada buat penulis dan sudah bersedia menjadi sahabat di dalam suka maupun duka, Achmad Asy’ari, Salim Assegaf, Surahman, Azis fais, Bung maman, Ainur Rofiq, Badri Amin, Zain panick, Jauharil Wafi, Hasbul dan Syafie salim. Mator Sakalangkong Serajeh. 10. Sosok yang selalu memberikan harapan baru dan semangat untuk lebih baik lagi dan segera wisuda. Desy Nurlita terima kasih atas doanya. 11. Semua adek-adek yang selalu mendoakan penulis dan berharap segera memakai toga, A Rofiq, Taufik, Melqy, Kosim R, Jamal, Imam, Syaiful, Rian A, Faisol, Hasyin, Fauzi, Ainiatul qoriah, Azizah, Wardah, Hida, Atien dan
vi
DAFTAR ISI
COVER ..........................................................................................................
ii
LEMBAR PEMBIMBING ...........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iv
LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ...........................................................
v
ABSTRAKSI .................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Pertanyaan Penelitian ...............................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................
7
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................
9
E. Kerangka Teori ........................................................................
14
1.
Gender Analisis Pathway ..................................................
14
2.
Definisi Konseptual...........................................................
16
a.
Gender ........................................................................
16
b.
Ketimpangan Gender .................................................
17
c.
Mahasantri .................................................................
21
d.
Organisasi .................................................................
22
F. Metodologi Penelitian ..............................................................
24
1.
Pendekatan dan Metode Penelitian ...................................
24
2.
Subyek Penelitian ..............................................................
25
3.
Lokasi Penelitian ...............................................................
28
4.
Waktu Penelitin ................................................................
28
viii
5.
Jenis Data .........................................................................
29
a.
Data Primer ...............................................................
29
b.
Data Sekunder ...........................................................
29
Teknik Pengumpulan Data ................................................
29
a.
Wawancara ................................................................
31
b.
Dokumentasi .............................................................
31
Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................
30
a.
Reduksi Data .............................................................
30
b.
Display Data ..............................................................
31
c.
Penarikan Kesimpulan ..............................................
31
G. Sistematika Penelitian ..............................................................
31
6.
7.
BAB II
BAB III
GAMBARAN UMUM A. Madura, Masyarakat, Santri dan FKMSB ..............................
32
B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB ...............
34
C. FKMSB Wilayah Jabodetabek ...............................................
40
D. Latar Belakang Pendidikan .....................................................
44
TEMUAN DAN ANALISIS A. Akses Mahasantri Dalam Mendapatkan Sumber daya Di Organisasi ................................................................................
46
1.
Akses Mahasantri Dalam Jabatan di Struktural ................
48
2.
Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill .................
52
3.
Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge .........................................................................
55
B. Partisipasi Mahasantri Dalam Organisasi ................................
58
1.
Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial ...............
59
2.
Partisipasi Mahasantri Dalam Struktur Organisasi ...........
61
ix
3.
Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge
66
C. Kontrol dalam Organisasi ........................................................
69
1.
Struktural ...........................................................................
69
Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi ..................
71
D. Manfaat Yang Didapatkan Dalam Organisasi .........................
75
2.
1.
2. BAB IV
Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi
Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Kegiatan FKMSB .............................................................................
75
Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek ....
77
KESIMPULAN DAN SARAN B. Kesimpulan ..............................................................................
79
C. Saran ........................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
xiv
LAMPIRAN ..................................................................................................
xvi
x
DAFTAR TABEL Tabel I.G.2
: Profil Informan FKMSB Jabodetabek
26
Tabel I.G.3
: Waktu Penelitian
27
Tabel II.C.1
: Data Anggota FKMSB Jabodetabek Selama Tiga Tahun Terahir 43
Tabel II.D.1
: Latar belakang Mahasantri FKMSB Jabodetabek
44
Tabel III.A.1 : Akses Mahasantri Dalam Menjabat di Struktur Organisasi FKMSB48 Tabel III.A. 1 : Penafsiran Mahasantri Terhadap Kepemimpinan Perempuan
50
Tabel III.A. 2 :Akses Mahasantri dalam Pengembangan Skill
54
Tabel III.B.1 : Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial
59
Tabel III.B.2 : Partisipasi Mahasantri Dalam Struktur Organisasi
62
Tabel III.B.2 : Partisipasi Anggota Perempuan Dalam Struktur Organisasi
64
Tabel III.B.3 : Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge
66
Tabel III.C.1 : Data Jumlah Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri
69
Tabel III.C.2 : Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan
74
Tabel III.D.1 : Manfaat Pelaksanaan Acara FKMSB Terhadap Mahasantr i
76
Tabel III.D.2 : Manfaat Pengadaan Basecamp Terhadap Mahasantri
78
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
ini
ingin
mengetahui
bagaimana
masih
terjadinya
ketimpaangan relasi gender dalam organisasi mahasantri, serta menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa ketimpangan relasi gender masih saja terjadi dalam organisasi mahasantri yang notabeninya mempunyai basis pemahaman agama yang kuat. Organisasi mahasantri yang akan menjadi objek penelitian ini adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek. Hal ini berangkat dari temuan awal berupa catatancatatan, studi dokumentasi serta wawancara dengan para pendiri, alumni dan anggota, bahwa di dalam organisasi mahasantri tersebut, masih banyak terdapat temuan ketimpangan relasi gender dalam praktiknya. Ketika bicara mahasiswa, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perbincangan kaum intelektual. Dalam beberapa literature sering disinggung bahwa mahasiswa tergolong dalam barisan kaum intelektual atau cendikiawan. Memang mereka adalah golongan yang terdidik dan secara keilmuan, mereka adalah orang-orang yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila sering muncul dari golongan ini suara yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, dan solidaritas kepada kaum tertindas. (Zainuddin, 2004: 72-73). Dalam hal ini gambaran objektif tentang perbedaan pendidikan di satu sisi, dan ketimpangan gender di sisi lain, tak pelak menjadi isu penting. Dan 1
tatanan sosial budaya merupakan dasar bagi berlangsungnya struktur yang diskriminatif. Hal ini pula yang menjadi penyebab timbulnya ketidakadilan gender dan ketimpangan pendidikan yang terasa patut untuk diperjuangkan oleh para cendikiawan. Kalau boleh menilik dari data-data kesenjangan gender di Jakarta, Sejauh ini hasil yang dicapai upaya pembangunan kualitas hidup di Jakarta masih tampak kentara cenderung menguntungkan kepada penduduk laki-laki. Fenomena ini tercermin dari indikator komposit yang digunakan untuk menilai kesenjangan gender, yaitu IPG menunjukkan angka yang lebih rendah dibanding IPM. Pada perkembangannya, selama kurun waktu 20092011 IPG DKI Jakarta selalu menunjukkan posisi lebih rendah dibandingkan IPM. Besaran rasio yang diperoleh berdasarkan perbandingan antara IPG terhadap IPM pada kisaran 94 - 95 persen. Hal ini dapat dimaknai, meski IPG memperlihatkan perkembangan yang selalu meningkat selama periode 20092011, tetapi ketimpangan gender masih terjadi. (BPS Provinsi DKI Jakarta 2013). Ketimpangan relasi gender yang masih terjadi dalam konstrusksi sosial masyarakat, mengisyaratkan adanya akses dan pembagian peran serta kekuasaan yang masih mejadi persoalan. Akses dan peran ini adalah persoalan yang menjadi kajian penting dalam studi gender akhir-akhir ini. Karena dalam konteks peran dan kekuasaan ini, ketidaksetaraan dan ketimpangan relasi masih dirasakan menjadi konstruksi masif dan akut dalam relasi sosial yang berkeadilan. Semakin kentara ketika ketimpangan relasi dan peran gender terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik yang 2
menentukan feminitas dan maskulinitas, (Azyurmardi Azra, 2003: VII) yang menyebabkan relasi itu tidak berjalan dalam ruang yang berkeadilan. Hal ini semakin menjadi persoalan mendasar ketika relasi yang demikian dipandang sebagai sesuatu yang seharusnya benar dan sah, karena mendapatkan legitimasi dari budaya dan konstruksi pemahaman keagamaan. Kenyataan sebagaimana diatas, semakin menjadi persoalan dan unik ketika semua itu masih terjadi dalam kalangan komunitas atau organisasi yang anggotanya terdiri dari kaum terdidik di perguruan tinggi (Mahasiswa). Padahal sebagaimana disebut Blumberger bahwa suatu komunitas dalam hal ini sebenarnya dapat diharapkan menjadi jawaban bagaimana perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk berkiprah di ruang
publik
(Blumberger 1987:123). Namun harapan ini masih belum menemukan konteks dan ruangnya dalam sebagian komunitas dan organisasi. Termasuk dalam konteks ini organisasi mahasantri yang menjadi objek penelitian ini yaitu Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanayar (FKMSB) yang telah lama berdiri dan berkiprah dalam ruang-ruang perkotaan seperti di Jabodetabek. Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (selanjutnya disebut FKMSB) sudah memulai kiprahnya sejak tahun 1999 di Yogyakarta, yang kemudian memperluas sayap anak cabangnya hingga Jabodetabek yang berdiri pada tahun 2008 silam. Organisasi ini tentu adalah organisasi yang anggotanya adalah mahasiswa santri atau mahasiswa yang dahulunya adalah seorang santri (selanjutnya di sebut mahasantri) dari sebuah pondok pesantren semi modern di 3
Madura, lebih tepatnya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura. Pada perkembangannya, organisasi ini bisa disebut organisasi modern. Asumsi ini paling tidak berdasarkan beberapa hal; pertama, dari konteks kelahirnnya, bahwa ia lahir berdasarkan semangat dan pemikiran modern yang telah bercokol dan menjadi arus utama kalangan santri yang telah menjadi mahasiswa saat itu. Kedua, berdasarkan tempat kelahirannya yaitu kota Yogyakarta di mana arus pemikiran modern berlangsung massif. Ketiga, berdasarkan ruang perkembangan dan tumbuh kembangnya, yaitu di perkotaan di mana pusat modernisme ditempa sedemikian rupa. Dalam konteks ini bisa dipahami karena mahasantri ini eksodus dari desa ke kota-kota besar untuk melanjutkan studi mereka keperguruan tinggi yang memang berada di pusatpusat
kota
seperti
di
Jabodetabek.
Keempat,
berdasarkan
struktur
organisasinya. Selain sudah mempunyai AD/ART, sistem pemilihan ketua, proses kerja dan penyusunan kepengurusan sudah dilakukan secara demokratis sebagaimana organisasi modern pada umumnya. Dalam konteks kemoderenan sebagaimana disebut di atas, penelitian terhadap mahasantri FKMSB ini menemukan relevansi dan keunikannya. Hal ini bisa ditelaah dalam beberapa hal; Pertama, dalam organisasi modern dengan anggota yang terdiri dari kaum terdidik, serta mempunyai AD/ART yang jelas ternyata organisasi ini dalam sejarahnya belum sekalipun dipimpin bahkan mencalonkan atau dicalonkan pimpinannya dari kalangan perempuan.
4
Kedua, dalam temuan awal penelitian ini, tampak bahwa dalam relasi keorganisasian antara laki-laki dan perempuan masih sangat terpisah dan berjarak sedemikian rupa. Hal ini tampak misalnya dalam ruang-ruang kajian, rapat-rapat, serta dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian yang masih menggunakan tabir dari kain atau pemisah antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, dalam konteks tertentu justru kalangan perempuan sendiri menolak secara tegas jika ruang pertemuan dengan laki-laki dan perempuan tidak diberikan pembatas berupa tabir. Dalam temuan awal penelitian ini terdapat pula ada kasus-kasus bahwa kalangan perempuan mengancam akan keluar dan mendirikan organisasi sendiri khusus kalangan perempuan karena dalam satu kali pertemuannya tidak diberikan tabir. Keempat, pelibatan atau bahkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan organisasi sangat minim (untuk tidak mengatakan tidak ada). Bahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang terakhir di Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak perempuan tidak dilibatkan atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya menjadi penonton dan pendengar semata. Sehingga seluruh keputusan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) itu adalah murni keputusan laki-laki. Penelitian ini semakin relevan, kala ketimpangan relasi sebagaimana di atas masih eksis ditengah organisasi yang hidup dan berkembang di tengah kemoderenan kota Jabodetabek yang metropolitan dimana pemikiran modern dipupuk untuk maju dan berkembang. Di sisi yang lain, organisasi yang sudah modern, dengan anggotanya yang terdiri dari mahasiswa terdidik di perguruan 5
tinggi dengan arus informasi akademik maupun informasi non akademik masuk setiap hari, namun ketimpangan gender itu masih ditemukan. Melihat dari perkembangan dan beberapa kasus yang terjadi, tampaknya belum memungkinkan perempuan untuk sekedar dicalonkan menjadi pimpinan di organisasi ini karena dominasi laki-laki yang begitu kuat. Ketimpangan relasi dan peran gender dikalangan mahasiswa santri seperti FKMSB ini menjadi menarik dan patut untuk diteliti lebih mendalam. Menarik selain karena organisasi ini lahir dari tangan atau kelompok mahasiswa, sekelompok elit akademisi yang sudah akrab dengan dunia pemikiran di kampus, namun dalam praktiksnya masih terjadi dominasi lakilaki dan ketimpangan relasi dalam berorganisasi. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula kenyataan bahwa mereka (pendiri dan seterusnya anggotaanggotanya) juga berlatar belakang santri, yakni telah tercerahkan dengan pendidikan dan kehidupan ala pesantren, tetapi kehidupan sebagai mahasiswa dan interaksinya dengan semangat dan dialektika di kampus telah sedikit banyak mempengaruhi pemikiran mereka, namun demikian ketimpangan relasi itu masih sangat terasa hingga kini. B. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek?
2.
Faktor apa yang menyebabkan terjadinya ketimpangan relasi gender dalamorganisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar? 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian sebagaimana di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan adanya ketimpangan relasi gender mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek. 2. Selanjutnya adalah untuk mengetahui dan dapat mendeskripsikan faktorfaktor yang menjadi penyebab masih terjadinya ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek? Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan konstribusi yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi dan menambah pengetahuan serta dapat dijadikan bahan acuan bagi penelitian yang lain di masa mendatang. 2. Kemudian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi
dunia
pendidikan
dan
dapat
meningkatkan
perkembangan ilmu pengetahuan terutama disiplin ilmu sosiologi
7
Gender yang memang menemukan relevansinya di masa sekarang ini. 3. Disamping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu pengetahuan sosial, terutama dibidang ilmu sosiologi.
b. Manfaat Praktis 1. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hasil dari penelitian ini dapat menjadi koleksi dan referensi yang bisa memberi wawasan atau pemahaman yang lebih luas tentang sosiologi terlebih lagi dalam konteks ini adalah sosiologi gender sebagaimana konsen dari penelitian ini. 2. Bagi Mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang mencari atau membutuhkan informasi, serta dapat memberikan wawasan atau pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dan tantangan sosial yang ada saat ini 3. Bagi Peneliti. Hasil penelitian ini menjadi bekal wawasan dan pengalaman secara nyata sehingga dapat memberi pemahaman dan kontribusi nyata terhadap persoalan yang ada di masyarakat. 4. Bagi masyarakat umum. Hasil penelitian ini memberi pemahaman baru kepada masyarakat pada umumnya mengenai kesetaraan gender yang seharusnya dilakukan dan didapatkan perempuan sehingga
8
masyarakat mampu untuk memahami dan menelaah atas situasi dan kondisi tersebut.
D. Tinjauan Pustaka Pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa penelitian yang cukup relevan mengenai relasi ketimpangan Gender Mahasantri dalam organisasi. 1. Pertama, hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftahuddin, Nur Hidayah, dan Supardi (2008) yang diberi judul : Sensitivitas Dan Aplikasi Kesetaraan Gender Di Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini Miftahuddin lebih menekankan kepada sensitivitas perempuan terhadap isu-isu kesetaraan gender dalam organisasi dimana ia juga menitikberatkan kepada aktivitas atau peranperan perempuan dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler.Namun dalam penelitian ini tidak disebutkan secara lebih jelas menggunakan teori apa dalam mengenalisis permasalahan tersebut.Dan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wacana gender sebagian besar sudah diakses oleh organisasi mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. Hanya saja dalam hal sensitivitas dan aplikasi kesetaraan gender belum semuanya menunjukkan kondisi yang serupa. Kegiatan yang dilakukan pun belum menjamin bahwa dalam praktek keseharian organisasi mencerminkan hal senada, karena kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatan praktis kepanitiaan perempuan masih sering ditempatkan untuk mengurusi hal-hal 9
yang bersifat domestik, sedangkan laki-laki sebaliknya. Persamaannya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan metodologi kualitatif, dan sama-sama ruang lingkupnya adalah organisasi,Namun berbeda dengan yng akan penulis teliti yakni objek penelitiannya lebih ke organisasi berbasis pesantren yang mempunyai backround pendidikan yang berbedabeda. 2. Tesis yang disusun oleh Lathifatul Hasanah (2007) dengan judul: Pendidikan Perspektif Gender. Studi Kebijakan tentang kesetaraan dan keadilan gender di Madrasah. Tesis ini menggunakan beberapa teori dasar tentang gender. Teori kodrat alam (Nature), teori Kebudayaan (Nurture), Teori
Psikoanalisa
dan
Teori
Fungsionalisme
Struktural.
Dan
menggunakan dua metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam metode penelitiannya.Dari tesis ini ditemukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidak setaraan atau kesenjangan gender dalam bidang pendidikan (Termasuk madrasah) yaitu faktor partisipasi, akses, kontrol dan faktor manfaat. Persamaannya dengan penelitian ini adalah menggunakan tema yang sama yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender, serta menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis Pathway). Namun yang sangat berbeda disini adalah metodologi dan objek penelitiannya yang akan dilakukan lebih menekankan ke mahasantri dalam organisasi, sedangkan hasil penelitian ini lebih kepada para santri di Madrasah.
10
3. Tesis yang disusun oleh Eneng Darol Affifah dengan judul” Analisis Gender dan Pengaruhnya terhadap gerakan perempuan Islam Indonesia: Studi kasus Pucuk pimpinan fatayat Nahdatul Ulama 2004. Dalam tesis ini menggunakan teori Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan. Dengan menggunakan metodologi kualitatif dan pendekatan deskriptif, Eksplanatif dan interpretatives”. Dalam tesis ini memusatkan perhatinnya untuk menjawab pengaruh perspektif gender terhadap ajaran agama islam dan gerakan organisasi perempuan islam serta faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi diadopsinya analisis gender ke dalam organisasi perempuan islam serta dalam bentuk apa pengaruhnya terhadap gerakan organisasi. Dalam temuanya pengaruh yang paling terlihat adalah pada organisasi fatayat Nahdaul Ulama dalam sepuluh tahun terahir ini. Yakni dengan direalisasikannya beberapa program yang hampir seluruhnya adalah program berbasis pada analisis gender. Hal ini mampu merubah cara pandang mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metodologi kualitatif dan objek penelitiaannya sama-sama dalam ruang lingkup organisasi.
perbedaannya
adalah
teori
yang
digunakan
adalah
Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan, sedangkan disisi lain penulis menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis Pathway) 4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Fitrianti & Abdullah dengan judul : Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada banyak faktor terjadinya ketidaksetaraan gender 11
dalam pendidikan di daerah Majalaya Kabupaten Karawang. Disebabkan oleh pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilaipun, perempuan harus mendahulukan laki-laki dalam meraih kesempatan pendidikan semenjak dahulu sampai dengan saat ini. Pada masyarakat Majalaya hal ini diperkuat karena minimnya akses terhadap pendidikan, rendahnya pertisipasi serta kontrol yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuallitatif dengan jenis penelitian bersifat eksplanatif. Persamaan yang sangat mendasar adalah sama-sama meneliti dengan tema yang sama yaitu ketidaksetaraan gender dan mencari tau faktor ketidak setaraan dengan menggunakan GAP yaitu ; Faktor Akses, Partisipasi, Kontrol dan manfaat. Serta sama-sama menggunakan
pendekatan
metodologi
kualitatif.
Sedangkan
yang
membedakan dengan penelitian disini adalah objek penelitiannya lebih kepada pendidikan secara umum, sedangkan penulis disini lebih tertuju ke Mahasantri dalam konteks organisasi. 5. Tesis yang disusun oleh Susanto dengan judul : Sensitivitas Gender Di Dunia Pesantren, Studi Kasus Pndok Pesantren Dar al- Tauhid Cirebon Jawa barat. Tesis ini menggunakan metodelogi penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan geneologi dengan mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa perkembangan sensitivitas gender di Pesantren Dar-al Tauhid Cirebon semakin menguat. Hal ini ditandai oleh terjadinya pergeseran orientasi pesantren dari keilmuan klasik minded menuju adanya disvertikasi 12
keilmuan pesantren yang responsif gender. Upaya sensitivitas ini dilakukan melalui training, pengajian santri, penerbitan buku yang berisi ide-ide islam responsif gender, serta pelayanan dan pendampingan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang difasilitasi oleh Women’s Crisis Center Balqis. Persamaanya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan tema gender dan lingkup penelitiannya juga dalam konteks pesantren,
metodologi
penelitian
yang
sama-sama
menggunakan
metodologi kualitatif. Namun yang membedakan adalah yang satu lebih kepada sensitifitas gendernya namun penulis di sini lebih menekankan kepada faktor ketidak setaraan atau ketimpangan relasi gender. Yang objek penelitiannya lebih kepada mahasantri dalam organisasi sedangkan hasil penelitian ini lebih ke ruang lingkup para santri yang masih berada dalam pesantren. Dari berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan relasi ketimpangan gender dalam organisasi, baik yang berdasarkan penelitian atau beberapa hasil refleksi lainnya, peneliti melihat bahwa penelitian yang secara khusus berkaitan dengan Menelaah ketimpangan Relasi Gender Dalam Organisasi, masih belum secara khusus melihat langsung pada proses ketimpangan gender sebagaimana fokus penelitian ini. Selain hal itu, jika di lihat pada objeknya belum pula di temukan penelitian yang meneliti pada organisasi Mahasantri, khususnya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) terlebih penelitian secara khusus menggunakan studi kasus Organisasi FKMSB wilayah Jabodetabek masih belum ada. 13
Dengan demikian hasil penelitian ini mempunyai posisi yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil dari penelitian ini diharapakan selain menambah khasanah ilmu pengetahuan dan melengkapi referensi yang sudah ada, juga menjadi bahan kajian lebih baik serta menjadi bahan perbandingan yang lebih objektif dan terpercaya dalam kacamata akademik.
E. Kerangka Teori 1. Gender Analysis Pathway (GAP) Dalam penelitian ini peneliti mencoba memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem kultural yang disebabkan oleh konstruksi gender di kalangan mahasantri khusunya di FKMSB Jabodetabek. Untuk mengetahui hal itu, maka peneliti mencoba menggunakan pisau analisis, Gender Analysis Pathway (GAP) Alat untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat empat aspek: Akses, peran, kontrol dan manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program pembangunan. Dan untuk melihat ruang sosial dan kultural seperti apa ketimpangan itu terkonstruksi selama ini dan apa saja penyebab dan faktorfaktornya. Dalam hal ini menurut Moser (1993:) disebabkan oleh empat faktor : akses, partisipasi, Kontrol dan pemanfaatan. Hal ini juga sejalan dengan Gender Analisys Pathway (GAP) bagaimana melihat potensi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sebagai obyek maupun sebagai 14
subyek pembangunan. Lebih jelasnya hal ini juga disampaikan oleh Suryadi dan Idris (2004 : 158-164) yang mengkategorikan terjadinya ketimpangan gender ke dalam empat aspek tersebut. Yang kemudian dari empat aspek tersebut akan dijadikan alat analisis untuk menentukan keadilan gender mahasantri di Organisasi FKMSB Jabodetabek. a. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Dalam konteks organisasi peneliti memfokuskan pada akses perempuan dalam struktur dan akses mendapatkan hak yang sama dalam pengembagan skill. b. Partisipasi. adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, dan dalam konteks ini peneliti memfokuskan pada partisipasi perempuan dan laki-laki dalam dan struktural organisasi FKMSB. c. Kontrol. Adalah penguasaan wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dan hal ini ketimpangan gender dapat diukur dengan skala kuantitas dalam keanggotaan dan struktural. d. Manfaat, adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal. Dalam hal ini peneliti ingin melihat manfaat
yang
diperoleh oleh laki-laki dan perempuan dalam beberapa kegiatan dan posisi strukural. Dari gambaran empat aspek diatas, memang agak sulit jika keadilan gender itu direalisasikan. Namun dalam batas-batas tertentu, bisa saja prospek keadilan gender dengan memberikan kesempatan yang sama 15
menempati posisi strategis serta memberikan kesempatan yang sama kaum perempuan dengan kaum laki-laki, dalam kontek tertentu saja, misalnya dalam hal ikut berpartisipasi aktif di organisasi baik secara struktural maupun prakteknya hal ini menjadi harapan perempuan yang mungkin akan semakin lebih baik.
2. Definisi Konseptual a. Gender Dalam Khasanah ilmu-ilmu sosial istilah gender digunakan dengan makna khusus yang secara fundamental berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis. Hal ini juga diperkuat oleh Moore bahwa Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Orang pertama kali membedakan istilah gender dan jenis kelamin ialah Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris (Saptari & Halzner).. Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Karena itu dalam konteks ini gender adalah konstruksi masyarakat atau bentukan sosial tentang laki-laki dan perempuan baik itu sifat, status, peran dan kesempatan yang tidak bersifat permanen (Inayah; 2003; 4). Gender disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat ( Musdah Mulia, 2004: 4). 16
Ia juga menyatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman (Musdah Mulia dan Marzani 2001. 13) Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap unit sosial termasuk dalam konteks ini organisasi mahasantri mempunyai konsruksinya sendiri. Oleh karena itu konstruksi khas mahasiswa santri ini akan menjadi objek telaah dan kajian sosial gender peneliti dalam proses penelitian ini.
b. Ketimpangan Gender Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya bertujuan untuk saling menolong antara keduanya bukan untuk saling menguasai atau untuk saling menindas satu sama lain. Cita-cita Al-Qur’an sesungguhnya adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal (Husein Muhammad 2007: 37). Namun secara kompromis untuk melihat ketidaksetaraan gender terdapat
teori
keseimbangan
(equilibrium).
Pendekatan
teori
ini
menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini tidak mempertentangkan jenis 17
kelamin karena mereka harus bekerjasama secara harmonis dalam suasana kemitraan baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara. Untuk mewujudkan gagasan itu maka dalam setiap kebijakan dan perencanaan program perlu diperhitungkan kepentingan dan peran laki-laki dan perempuan secara seimbang. Kedua jenis kelamin ini sama-sama memiliki tanggung jawab secara komplementer, saling mengisi dan melengkapi serta tidak bertentangan satu sama lain. R.H Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realitas kehidupan manusia (Kemenag PP RI,II 2001: 50). Namun demikian, karena gender merupakan hasil dari konstruksi atau bentukan sosial, maka dalam realitas satu budaya tertentu konstruksi itu menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumbersumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991: 52). Ketimpangan dalam konstruksi gender tentang bagaimana harus menjadi laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender itu bisa dilihat dalam konstruksi sosial budaya dalam 18
masyarakat bahkan dalam kebijakan pemerintah. Sejarah perbedaan gender dimulai sejak manusia lahir, kemudian perbedaan tersebut dikonstruksi secara sosial, diobyektifikasi dan disosialisasikan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Hal ini semakin menemukan tempatnya kala proses internalisasi terus menerus dilakukan, sehingga kemudian diyakini memiliki kebenaran sendiri dan tidak dianggap sebagai konstruksi (Inayah, 2014; 22). Disisi lain ketimpangan gender semakin mengakar ketika masih kuatnya budaya patriarkhi yang dianut. Konsep patriarkhi sebagaimana disebutkan oleh Rueda yang mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap
bahwa
laki-laki
lebih
kuat
(superior)
dibandingkan
perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).
19
Disisi lain hubungan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya tercipta bukanlah hubungan atas bawah bahwa laki-laki harus diatas dan perempuan menjadi the second class yang selalu tertindas. Dalam sejarah panjang, Muhammad sebagai sosok revolusiner dan orang yang paling berpengaruh sedunia mengajarkan bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial yang seharusnya masih sangat relevan untuk ditunjukkan. Sebagaiaman Siti Khadijah sebagai saudagar kaya yang menjadi pengusaha dan Muhammad menjadi orang yang paling dipercaya sebagai pegawainya, sebelum akhirnya setelah pernikahan keduanya itu, Muhammadlah yang seringkali bertugas sebagai manajer utama untuk pergi berdagang ke Syiria maupun ke Habasyah. (Djunaidi & Thobieb 2006 : 9). Hal ini masih terus berlanjut pada konteks rumah tangga Muhammad dan Siti Khadijah bagaimana mereka saling menghargai dan saling menjunjung tinggi satu sama lain, yang kemudian tak ada ketimpangan yang tercipta maupun diskrimansi dalam relasi keduanya. Namun pada realitas sosial saat ini, masih banyak stereotype terhadap perempuan yang menganggap lemah dan tidak punya kapasitas yang kemudian mengarah pada diskrimasi terhadap perempuan. Disinilah persoalannya, karena perempuan seringkali diposisikan bergantung pada suami dan berperan di sektor domestik, sehingga perempuan juga dianggap sangat mendahulukan emosionalitasnya. Untuk itulah kemudian gerakan feminisme liberal lebih menekankan pada upaya reformasi sistem hukum,
20
politik, dan pendidikan sebagai cara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. (Endang sumiarti, 2004 : 60-63 ). Hal lain yang paling umum juga sangat mempengaruhi adanya ketimpangan maupun diskriminasi terhadap perempuan adalah karena konstruksi tersebut, ketimpangan gender masih lumrah ditemukan dalam kehidupan masyarakat akibat dari konstruksi yang terus menerus dilakukan, baik itu dari budaya masyarakat, pemahaman keagamaan, dan dari kebijakan negara-negara yang bias gender. Dalam konteks konstruksi yang melahirkan ketimpangan relasi bisa ditemukan dalam berbagai kebudayaan terutama dalam konteks ini dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) yang menjadi objek penelitian ini.
C. Mahasantri Santri dalam KBBI 2013 didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan saleh. Jika dilihat dari asal usulnya, menurut beberapa ilmuan, kata santri berasal dari kata india “shastri” yang mempunyai arti orang yang memiliki pengetahuan kitab suci. Namun pendapat yang lain mengatakan bahwa asal kata santri berasal dari bahasa sansekerta ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Versi yang lainnya menganggap santri sebagai gabungan antara kata “saint” (manusia baik) dan kata “tra”
21
(suka menolong) sehingga pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Pada dasarnya, pemaknaan mahasiswa dinilai sebagai tatanan orang yang berintelektual. Sedangkan santri biasanya kerap dikenal sebagai manusia yang suci dan jauh dari dosa. Dengan menggabungkan keduanya maka akan muncul manusia sempurna yang berintelektual tinggi dan bertatakrama santun (Achmad Marzuki, 2012). Namun, sejauh ini penulis masih belum menemukan definisi yang secara eksplisit mendefinisikan dari dua kata mahasiswa dan santri. Namun dari beberapa artikel yang penulis tangkap makna secara sederhananya adalah, individu yang lulus dan basis pendidikannya dari pondok pesantren kemudian melanjutkan kuliah di suatu perguruan tinggi, atau individu yang kuliah di suatu perguruan tinggi sekaligus secara bersamaan menempuh pendidikan di suatu pesantren. Namun dalam konteks mahasantri yang akan menjadi objek penelitian ini, adalah siswa atau santri yang pernah mengecap pendidikan di pesantren darul ulum Banyuanyar yang kemudian melanjutkan studinya ke berbagai perguruan tinggi di Jabodetabek.
D. Organisasi Terdapat beberapa definisi organisasi dari beberapa tokoh, J. William Schulze (1886:31) Menurutnya, organisasi adalah suatu penggabungan dari orang orang, benda-benda, alat-alat perlengkapan, 22
ruang lingkup kerja dan segala hal yang berhubungan dengannya dan disatukan dalam sebuah hubungan yang teratur dan sangat efektif untuk mencapai segala tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut Chester I. Barnard (1886) organisasi dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Function of The Executive, yang berarti suatu sistem mengenai usaha usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Tujuan umum organisasi menurut Barnard (1886: 34) adalah sebagai sebuah tujuan moral. Untuk menanamkan tujuan moral tersebut terhadap anggota organisasi, eksekutif harus memahaminya sebagai sebuah tugas yang mulia dan bermakna. Boulding menjelaskan pendapat Barnard dengan mengusulkan dalil bahwa bentuk hirarkis organisasi dapat secara luas diinterpretasikan sebagai suatu alat untuk menyelesaikan konflik pada setiap tingkatan hirarki, yang mengkhususkan diri dalam menyelesaikan konflik dari tingkatan yang lebih rendah. Organisasi pada dasarnya merupakan tempat atau wadah di mana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terkendali,
dengan
memanfaatkan
sumber
daya
(dana,
material,
lingkungan, metode, sarana, prasarana, data) dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan bersama. Istilah organisasi dalam konteks penelitian ini digunakan untuk melihat dan menganalisis organisasi mahasantri yaitu forum mahasiswa santri banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek terutama dalam konteks kerjasama yang mereka lakukan kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan. 23
Diakui atau tidak dalam sebuah organisasi ada sistem dan budaya yang bekerja, dalam ruang demikian organisasi ini akan mejadi objek penelitian.
G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi gender. Sebagaimana dipahami bahwa sudah sejak lama, kira-kira pada tahun 1970-an pertanyaan mendasar yang muncul di kalangan aktivis perempuan terutama dalam kerangka membangun teoritisnya, ditujukan pada suatu pertanyaan mendasar, bagaimana dapat menerangkan relasi lakilaki dan perempuan terutama dapat memperjelas ketertindasan perempuan? Pertanyaan ini menjadi titik tolak di mana kerangka teori keilmuan untuk menerangkan fenomena tersebut dibangun. Dari pertanyaan tersebut muncullah teori sosial feminis dimana teori-teori sosial pada awalnya menjadi motor penggerak utama (Aziz Faiz, 2015; 1). Dengan demikian, sosiologi gender telah menjadi penggerak utama untuk menjelaskan relasi dan konstruksi laki-laki dan perempuan. Karena itulah kemudian dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi gender dimana memang sudah sejak lama berkembang terutama di kalangan aktivis perempuan. Dan untuk mengenalisis adanya ketimpangan relasi gender dan faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan pada mahasantri dalam FKMSB Jabodetabek ini, penulis menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP) sebagai pisau analisis. 24
Adapun metode dari penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif dipilih bertujuan untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai permasalahan adanya ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara detail mengapa hal itu bisa terjadi serta faktor-faktor adanya ketimpangan tersebut, diperlukan wawancara mendalam kepada informan. Menurut Creswell (1998) penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dan pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang dialami (Juliansyah, 2011:34). Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Lexy, 2004:3). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan
format
deskriptif,
bertujuan
untuk
menjelaskan,
meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variabel tersebut (Bungin, 2003:36).
25
2. Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap semua anggota mahasantri yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek, serta masih aktif kuliah di beberapa kampus di wilayah Jabodetabek dan berasal dari semester IV ke atas, hal ini mengingat semester IV ke atas sudah banyak yang aktif di berbagai organisasi yang lain, dan tentunya sedikit banyak sudah mengetahui konsep gender. Dalam mengelompokkan dua kategori modernis dan fundamentalis yang berbeda ini, penulis melihat atas dasar pola pendidikan yang dipakai, dan pola relasi mahasiswa dalam keseharian. Walaupun disisi lain tidak membenarkan secara umum identitas dari kampus tersebut, serta tidak membenarkan secara kolektif mahasiswanya mempunyai ideologi modernis maupun fundamentalis, dalam hal ini penulis bertujuan untuk lebih memudahkan menjadi kelompok yang lebih mudah dipetakan. Kategori kampus yang masuk dalam kelompok modernis adalah UIN Ciputat, UMJ Cirendeu, Unindra Condet dan STT Ganesha Legoso, hal ini atas dasar pola pendidikan yang digunakan memadukan pendidikan umum dan agama secara proporsional, dan pola relasi mahasiswa laki-laki dan perempuan hampir memeberikan ruang yang sama dan sudah terbiasa berkumpul bersama dalam satu kelas maupun dalam beberapa aktivitas perkuliahan. Sedangkan disisi lain kelompok fundamentalis terdiri dari kampus Lipia, Al-Hikmah, An-Nuaimi dan STIE Hidayatullah, hal ini berdasarkan sistem dan pola pendidikannya masih sangat kental dengan 26
sistem pendidikan timur tengah yang lebih mengedepankan pendidikan keislaman tekstual, dan cenderung lebih sedikit memberikan porsi pendidikan umum. Serta dalam konteks relasi keseharianpun sangat jarang ditemukan mahasiswa laki-laki dan perempuan berkumpul dan bersama-sama dalam satu kelas dan hampir semuannya ada pembatas. Bahkan salah satau perguruan tinggi dalam kelompok ini hanya mengkhususkan untuk mahasiswa laki-laki saja. Hal ini sedikit dari sebagain besar yang penulis dapatkan untuk kemudian berani mengkategorikan ke dalam kelompok fundamentalis. Berdasarkan data awal yang berhasil dikumpulkan, penting kiranya penulis menyertakan beberapa latar belakang informan menurut inisial, serta posisi atau jabatan dalam organisasi FKMSB, dan latar belakang kampus yang sudah dikategorikan ke dalam dua kelompok modernis dan fundamentalis. Berikut penulis sertakan kedalam bentuk tabel untuk lebih memudahkan. Tabel I. G.II. Profil Informan Mahasantri FKMSB Jabodetabek Jabatan
Kampus
Daerah
IM HO MZ FZ KR EV AK AH JU AR ME
Jenis Kelamin Pr Pr Pr Pr Lk Pr Lk Lk Pr Lk Lk
Mantan Infokom Mantan Korwat Anggota Anggota Anggota Anggota Mantan Wakil Infokom MantanInfokom Mantan Ketua Mantan Sekretaris
UIN LIPIA UMJ Al Hikmah GANESHA LIPIA UNINDRA Hidayatulllah Al-Hikmah UIN UNINDRA
Ciputat Pasar Minggu Cirenndeu Mampang Legoso Pasar Minggu Condet Depok Mampang Ciputat Condet
Modernis Fundamentalis Modernis Fundamentalis Modernis Fundamentalis Modernis Fundamentalis Fundamentalis Modernis Modernis
8 8 8 8 8 6 6 6 4 6 6
BS
Pr
Mantan Korwat
Al-Hikmah
Mampang
Fundamentalis
8
No
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10 11 12
Kategori
Semester
(Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB 2013/ 2014) Berdasarkan tabel diatas terdapat enam informan yang masuk dalam kategori kelompok modernis, IM, MZ, KR, AK, AR dan ME. Sedangkan 27
delapan informan lainnya masuk dalam kategori kelompok fundamentalis, HO, FZ, EV, AH, JU dan BS.
2. Lokasi Penelitian Peneliti memilih tempat penelitian di daerah Jabodetabek, yakni di beberapa kampus Mahasiswa Santri Banyuanyar menuntut ilmu. Yaitu di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, UMJ Cirendeu,
UNINDRA Condet, STT
GANESHA Legoso, LIPIA Pasar Minggu, Al-Hikmah Mampang Prapatan, STIE Hidayatullah Depok dan An-Nuaimi Kebayoran Lama.
4. Waktu Penelitian Dalam penelitian ini penulis membutuhkan waktu kurang lebih 15 bulan terhitung dari bulan Januari 2015 hingga Maret 2016. Waktu tersebut digunakan peneliti untuk memperoleh data melalui wawancara, bahan bacaan, bahan pustaka, laporan-laporan penelitian serta mengolah dan menganalisis data. Hal ini dilakukan agar penelitian dapat menghasilkan data secara lengkap dan akurat. Tabel I.G.III Waktu Penenlitian No
Jan
Feb
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Feb
Maret
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
Minngu ke
Kegiatan
1
Penelitian Awal
1
2
Diskusi Proposal Bab I
4
4
Diskusi Metodologi & Teori Diskusi Bab II
5
Menentukan Matriks
6
Turun Lapangan
3
3 2 1 1 s/d 4
8
Penyusunan Data Grafik Pengumpulan Data
9
Analysis Temuan
10
Pengumpulan Bab III
1
11
Revisi Bab III
2
7
12 13
2 3
1 2
Diskusi IV Kesimpulan & saran Pengumpulan Skripsi
1 4
28
5. Jenis Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lexy J. Moleong 2009:157). Hasil didapatkan melalui dua sumber data, yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan. Di dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah keterangan yang diperoleh dari 12 informan. b. Data sekunder Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi dengan permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa
bahan
bacaan,
bahan
pustaka,
dan
laporan-laporan
penelitiandan laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang tercantum dalam tinjauan pustaka.
6. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara 29
Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara (Bungin, 2013:133). Pertanyaan dan jawaban diberikan secara verbal dan menghindari prasangka-prasangka sehingga dapat menemukan sesuatu yang dianggap penting untuk mendapat hasil yang sempurna (Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 1997; 12). Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap 12Informan dengan tujuan memperoleh data dan informasi secara lengkap dengan bahasa Indonesia, b. Dokumentasi Tehnik dokumentasi adalah cara mengumpulkan yang dilakukan dengan katagori dan klasifikasi catatan peristiwa yang sudah berlalu. Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah memanfaatkan dokumen-dokumen, seperti buku pengkaderan anggota baru FKMSB, AD/ART-nya termasuk dalam hal ini adalah buku-buku, dan literatur lainnya yang medukung terhadapa penelitian ini.
7. Metode Pengolahan dan Analisis Data a. Reduksi Data Data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan-laporan tersebut direduksi, dirangkum serta dipilih hal-hal yang pokok untuk difokuskan pada hal 30
yang penting, yang kemudian dicocokkan dengan matriks agar dapat terusun lebih sistematis. Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih
tajam
tentang
hasil
penelitian
awal
yang
kemudian
mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan. b. Display Data (penyajian data) Dari data yang dihasilkan melalui wawancara serta bahan bacaan maupun bahan pustaka maka menghasilkan data yang banyak. Kemudian dari data tersebut akan dipilih informasi yang penting dan diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hanya data yang bersifat penting saja yang disajikan baik dalam bentuk tulisan, tabel maupun grafik. c. Penarikan Kesimpulan Kesimpulan berisi inti dari hasil temuan penelitian di lapangan. Kesimpulan mengandung kalimat inti yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan penelitian. Dari seluruh data yang telah di reduksi, setelah itu disajikan (display data) lalu kemudian diambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh. Sehingga dapat menjelaskan keseluruhan penelitian secara singkat dan jelas.
31
H. Sistematika Penelitian Bab I
Pendahuluan: Bagian ini terdiri dari pernyataan masalah,
pertanyaan penelitian,tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori metodologi penelitian dan juga sistematika penelitian. Bab II Gambaran Umum:Bagian ini memuat gambaran umum objek penelitian serta gambaran umum Madura, Masyarakat santri dan FKMSB. Dan dilengkapi data-data Organisasi FKMSB untuk menunjang dan melengkapi data penelitian. Bab III Analisis dan Temuan: Bagian ini berisi analisis dari hasil temuan penelitian di lapangan. Bab ini juga berisi hasil wawancara dan temuan awal yang merupakan data primer yang dipergunakan untuk bahan analisa. Bab IV Kesimpulan dan Saran: Bagian ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran yang berguna untuk keperluan penelitian selanjutnya.
32
BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Madura, Masyarakat Santri dan FKMSB Masyarakat Madura dikenal dangan masyarakat yang beragama Islam dengan corak yang khas. Dikatakan khas karena identitas keberagamaan yang tidak bisa dipisah dari kehidupan mereka sehari harinya. Karena saking khasnya keberagamaan orang madura hingga muncul kata-kata yang sering dilekatkan pada mereka yaitu “sejelek-jeleknya orang madura pasti mereka tahu mengaji alqur’an”. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas muslim (+97-99%), Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya. Selain akar budaya lokal (asli Madura), syariat Islam juga begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura. Bahkan ada ungkapan budaya: Seburukburuknya orang Madura, jika ada yang menghina agama (Islam) maka mereka tetap akan marah. (Aziz 2014:12) Dengan demikian identitas keislaman khas itu tidak mudah lepas dari masyarakat madura dengan tingkat fanatisme yang tinggi. Kekuatan utama keberagamaan masyarakat madura ditopang dengan berdirinya berbagai pondok pesantren yang tumbuh dan terus berkembang. Pendidikan
khas
pondok
pesantren
ini
mendominasi
dalam
proses
pemberdayaan masyarakat Madura. Hal ini dapat ditemui dengan ungkapan khas anak muda bahwa “ga’ mondok ga’ keren”. Kata-kata ini menjadi pemahaman umum dalam konteks madura bahwa kalau anak muda tidak mondok kesebuah pondok pesantren maka dia akan dianggap kurang keren.
33
Dalam konteks yang demikian tidak heran juga jika dikatakan bahwa masyarakat madura adalah masyarakat santri dengan tradisi kuat khas NU. Indikator masyarakat santri ini selain karena khas masyarakat madura yang bisa dipastikan mempunyai langgar sebagai tempat ibadah, juga karena tumbuh kembangnya pondok pesantren di Madura hampir disetiap desa. Hal ini karena banyak sekali putra-putra kyai yang kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren baru sebagai langkah pembangunan masyarakat beragama di Madura. Salah satu pondok pesantren yang sangat tua dalam konteks Madura adalah pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang terletak di Desa Potoan Daya Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan, Sekalipun belum ada data yang valid namun dari cerita-cerita santrinya diperkirakan pondok pesantren ini telah berdiri sekitar 250 tahun yang silam. Mengingat perkiraan umur pondok pesantren yang sudah dua setengah abad itu, tentu sudah banyak sekali melahirkan alumni-alumni yang banyak berkiprah dalam masyarakat. Alumni dari pondok pesantren ini terkumpul dalam PERADABAN (Persatuan Alumni Darul Ulum Banyuanayar), yang mewadahi alumni secara keseluaran. Namun ada wadah alumni lain yang khusus dan khas yaitu FKMSB (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar). Organisasi khusus menangani alumni pondok pesatren banyuanyar yang terfokus pada alumni yang menyandang status mahasiswa. Sebagaimana telah disebutkan di atas, FKMSB atau Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanayar adalah wadah Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar khusus bagi mahasiswa alumni dari pondok tersebut yang
34
menyebar di beberapa kota di Indonesia bahkan luar negeri. Karena pusat studi itu banyak tumbuh di perkotaan maka organisasi ini banyak berkembang di perkotaan pula mengingat mereka adalah alumni yang kemudian eksodus dan merantau untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi di berbagai kota di indonesia. Tentu saja dalam hal ini termasuk kota-kota di Madura dan kotakota besar seperti Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Di kota-kota besar termasuk dalam konteks penelitian ini adalah FKMSB di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi), mereka menempuh pendidikan dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Tentu dalam konteks yang demikian, FKMSB telah tumbuh berkembang dan sudah memainkan peran dalam konteks pengembangan keberagaman dan keilmuaan masyarakat Madura terutama mereka yang alumni Pondok Pesantren Banyuanyar untuk terus diajak dan kemudian melanjutkan jejang studinya keperguruan tinggi. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu organisasi ini terutama ogranisasi daerahnya seperti wilayah Jabodetabek, Surabaya dan lain sebagainya bersaing untuk kemudian semakin memperbanyak kader baik putri maupun putra setiap tahunnya agar mereka bisa melanjutkan studinya kesetiap daerah tersebut. B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB Terbentuknya sebuah komunitas bisa dilacak dalam berbagai literatur sosiologi. Dalam berbagai literatur itu dikatakan bahwa manusia saling tergantung satu sama lain yang tidak mungkin terpisah dengan hidup menyendiri. Hal ini menghadirkan pemahaman akan adanya keterikatan
35
dengan orang lain yang menunjukkan bahwa manusia hidup berkelompok. (Aziz 2015:23) Independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat.(K.J. Veeger 1993:9) Karena itu, terbentuk apa yang disebut dengan proses sosial yang melahirkan struktur dengan hadirnya kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Sedangkan pada sisi mentalitasnya, akan melahirkan sistem nilai, pola dan cara berfikir, sikap, tingkah laku dan sistem norma-norma.( Soekanto 1993:45-46) Sosiolog Jerman Max Weber, melihat bahwa tindakan sosial dapat menjelaskan hubungan sosial dalam masyarakat itu sendiri. Bagi Weber, ciriciri yang khas dari hubungan-hubungan sosial adalah hubungan itu bermakna bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya, dan hubungan sosial tersebut memiliki tiga bentuk, yaitu: konflik atau perjuangan, komunitas, dan kerjasama.( Doyle Paul Jhonson 199:23) Dalam ruang lingkup kajian sosial mengenai masyarakat dengan hadirnya kerjasama yang berbentuk masyarakat maka Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) bisa dilihat sebagai bagian proses tindakan sosial itu yang di dalamnya hadir kerjasama berdasarkan kesamaan tujuan, nilai dan identitas. Jika dilihat dari proses terbentuknya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) maka tempak mereka lahir karena kesamaan identitas mereka yang merasa sebagai masyarakat santri dan tentu karena berasal dari pondok pesantren yang sama yaitu Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Kesantuan asal usul dan latar belakang pendidikan ini yang
36
menyebabkan mereka kemudian saling berhubungan dan berinteraksi dengan membentuk perkumpulan khusus yang disebut dengan FKMSB. Jika ditelaah lebih jauh organisasi ini merupakan organisasi primordial yang berbasis santri dengan status sebagai mahasiswa di berbagai kampus dalam negeri maupun di luar negeri, FKMSB dibentuk pada tanggal 21 Januari di Aula MA Darul Ulum, FKMSB ini merupakan kelanjutan dari Ikatan Mahasiswa Darul Ulum (IMAD) yang diketuai Drs. Kholil Asy’ari (Sekarang wakil Bupati, Pamekasan). Beberapa alumni ponpes Banyuanyar yang menggerakkan IMAD antara lain; Drs. Moh. Mansyur, (Sekarang anggota KPU Bangkalan) Drs Johanni, Moh. Buhori S.Ag, Dr. H. Zainuddi Syarif, M.Ag, Kholil, S.Ag dan sejumlah nama lainnya. Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan direncanakan IMAD berubah menjadi FKMSB. Dalam rencana perubahan nama tersebut dari IMAD ke FKMSB di latari dengan keinginan untuk mengakomodasi semua kalangan bukan hanya lembaga darul ulum saja, namun juga pondok pesantren Al-Hamidy Banyuanyar. Maklum pondok pesantren darul ulum Banyuanyar berdampingan tak terpisah dengan pondok pesantren Al-Hamidy Banyuanyar yang memang pondok pesantren yang sama-sama didirikan oleh satu keluarga. Dalam ruang pemikiran kekeluargaan yang demikian, muncul inisiatif untuk alumninya bisa bersatu dalam forum dan wadah organisasi yang sama yaitu FKSMB.Walaupun pada kenyataan selanjutnya keinginan untuk menyatukan wadah alumni ini kurang mendapat respons oleh sebagaian besar alumni Alhamidy, walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa di daerah seperti Malang dan Jabodetabek alumni Al-Hamidi bergabung dengan FKMSB. Selain karena belum banyak
37
alumninya yang menyebar dan keberadaan mereka yang sedikit, mahasiswa Alhamidy Banyuanyar bergabung dengan FKMSB karena kesamaan dalam konteks kultural yang memang lebih dekat. FKMSB di awal kepengurusan berbetuk presidium dan pada Kongres I berhasil memilih Ach Fauzan (STAI AL-Khairat) sebagai sekjen. Pada Rakernas FKMSB akhir 2000, disepakati untuk membentuk kepengurusan di setiap wilayah. Dalam forum tersebut juga dirumuskan lambang FKMSB. Kemudian pada Kongres II tahun 2001 kepengurusan FKMSB disempurnakan dengan membentuk badan eksekutif yang dipimpin oleh ketua sedangkan presidium dialihfungsikan sebagai legislaif. Badan eksekutif dan legislatif tersebut juga dibentuk di setiap wilayah. Pada Kongres inilah AD/ART FKMSB disahkan. Kongres juga berhasil memilih Ach. Mukhlisin (Unijoyo) sebagai ketua yang selanjutnya diberi wewenang membentuk kepengurusan pusat. Sedangkan ketua presidium terpilih adalah H. Holil, S.Ag (Alumnus UII Yogyakarta). Kemudian FKMSB menggelar Kongres III ahir 2003 di aula ponpes Almujtama’. Dalam Kongres ini AD/ART FKMSB kembali disempurnakan dan sistem organisasi dimantapkan. Kongres berhasil memilih Ach Baidowi Amirudin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) sebagai ketua. Dalam forum itu juga berhasil menetapkan Abd Hamid, SHI (IAIN Sunan Ampel Surabaya) sebagai ketua presidium. Dimasa kepengurusan ini terjadi perombakan secara signifikan
dengan
mengandalkan
eksistensi.
Bahkan,
FKMSB
mulai
diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam level gerakan periode ini penyusunan pedoman administrasi FKMSB serta pengaktifan forum-forum
38
organisasi seperti sidang tahunan, Rakorwil, hingga Rakornas. berbagai bidang bisa dirambah FKMSB khususnya dunia tulis menulis. Kemudian FKMSB menggelar Kongres IV januari 2006 di Hotel Madinah yang kembali memilih Ach Baidowi Amirudin sebagai ketua Umum FKMSB kedua kalinya. Sedangkan ketua presedium terpilih adalah Mahrus Ali (UII Yogyakarta) dalam kepengurusan ini, distribusi kewenangan mulai diatur seperti pembentukan pembantu ketua. FKMSB mempercepat Kongres V karena pertimbangan regenerasi dan pengoptimalan organisasi pada kongres V berhasil memilih Muhsin Salim (UIM Pamekasan) sebagi ketua umum. Sedangkan ketua presedium terpilih adalah Moh Ilyas (Unira Pamekasan). Mulai kepengurusan ini, Pembantu ketua umum dipangkas menjadi wakil ketua umum. Dan pada tanggal 21 Januari 2009 FKMSB menggelar Kongres yang ke VI guna terciptanya organisasi yang runtun sesuai dengan AD/ART, Pada kongres ke VI Ini terpilihlah Hafiz al- Azad (UIN Syarif Hidayatullah) Sebagai perwakilan kandidat dari Jakarta dan terpilih menjadi ketua umum FKMSB periode 2009-2011, dan sebagai wakil ketuanya adalah Wawardi Asyari (Universitas Islam Madura) dengan ketua Badan legislatif terpilih Ach. Farwis ( IAIN Sunan Ampel Surabaya) Dalam kepengurusan ini terpilih Juga Jufriady ( Ma’had aly An-Nuaimy Jakarta ) sebagai skretaris umum dan Isma’il sebagai Bendahara umum (UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta). Kemudian pada tanggal 24-26 Desember 2011, FKMSB menggelar Kongres yang ke VII bertempat di Singosari, Malang. Pada Kongres ini, AD/ART kembali di sempurnakan lagi dan di perbaiki, khususnya yang
39
mengatur mengenai kepengurusan wilayah. Kongres ini berhasil memilih Ahmad Zairi Syakur (Malang) sebagai ketua umum FKMSB periode 20112013. Sedangkan wakil ketua dipegang oleh Saiful Harir (Sumenep), sekretaris umum Edy Sugianto, tetapi kemudian di ganti oleh Agus Zainuddin (Pamekasan) karena alasan Edy Sugianto menikah, sementara Bendahara umum saudara Zainal Azhar (Jakarta). Dan baru kemudian kongres terkahir yaitu kongres di asrama haji sukolilo surabaya yang kemudian melahirkan sosok Syaiful Bahri (FKMSB Jabodetabek) sebagai ketua umum pada periode 2014/2015. Jika dilihat dan ditelaah dalam sejarah FKMSB sebagaimana di atas, tampak tidak muncul nama-nama perempuan untuk memegang dan ikut mengatur jalannya organisasi ini. Sejarah organisasi FKMSB sebagaimana penulis jelaskan diatas tampak bahwa dalam kepengurusan harianpun namanama perempuan belum muncul dan dicantumkan karena mereka memang tampak belum banyak di perhitungkan padahal jumlah merekla sangat banyak. Baru kemudian pada kongres 2014 di asrama haji Surabaya para perempuan ini semakin vokal. Sehingga kemudian pada hasil rapat kerja di Surabaya muncul nama Rohmatun (FKMSB Malang) sebagai bendahara umum walaupun jabatanya tidak sampai selesai karena alasan menikah. Kemunculan nama Rohmatun dalam Kongres Surabaya karena upaya yang sangat kuat dilakukan oleh kalangan perempuan FKMSB yang dimotori oleh Halimah Bukhori (FKMSB Jabodetabek) untuk mendapatkan posisi. Mereka berjuang untuk kemudian perempuan diperlakukan khusus dengan membentuk badan otonom yang yang diberi nama HIMAH (Himpunan
40
Muslimah) FKMSB. Tidak berhenti sampai disitu ternyata tuntutan mereka berlanjut dengan upaya merombak AD/ART dan menempatkan HIMAH sebagai badan otonom yang harus diakui secara legalitas di AD/ART itu sendiri. Dalam upaya berjuang akan hal ini mereka bahkan sempat melakukan aksi walk outatau keluar dari area kongres karena usulan mereka dianggap dihalang-halangi. Mereka kaum perempuan ini tidak mau hanya berdasarkan persetujuan kongres dan surat keputusan dari ketua umum semata, namun juga dilegalkan di AD/ART itu sendiri. C. FKMSB Wilayah Jabodetabek Perkembangan FKMSB memang sangat pesat seiring dengan semakin banyaknya alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Pondok pesantren tua di Pamekasan Madura ini rata-rata mengeluarkan lulusan seribu lima ratus (1500) santri putra dan putri setiap tahunnya. Namun demikian mereka yang sudah lulus dari pondok pesantren ini tidak bisa serta merta melanjutkan kuliah atau studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus mereka diharuskan menjadi apa yang mereka sebut dengan guru tugas atau guru pengabdian. Mereka harus menjadi guru-guru atau ustadz-ustadz yang dikirim oleh pondok pesantren ke setiap daerah di Indonesia, dengan durasi pengabdian selama satu tahun. Mereka banyak tersebar di selain pulau madura dan jawa, mereka dikirim juga ke pedalaman Kalimantan, Papua dan Riau serta daerah-daerah lainnya di Indonesai untuk mengabdi mencerdaskan anak bangsa. Pengiriman santri yang demikian oleh pondok pesantren sudah berlansung sekitar 80 (delapan puluh) tahun yang silam.
41
Setelah mereka menyelesaikan tugas mengabdi dan kembali ke pondok pesantren, baru kemudian mereka merancang untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi. Dalam momen mereka kembali ke pondok pesantren ini, mereka sudah mulai membangun komunikasi dengan kakak angkatan mereka yang telah terlebih dahulu berada dan melanjutkan kuliah diberbagai kota di Indonesia. Termasuk dalam hal ini di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Mahasiswa santri Banyuanyar di daerah ini termasuk yang terbesar karena menyebar di berbagai kampus di empat kota sekaligus. Termasuk dalam konteks ini mahasiswa santri bagian putri yang memang lebih banyak melanjutkan kuliah ke Jabodetabek ketimbang ke kota-kota lainnya di Indonesia. Tentu saja FKMSB dengan tujuan reaktualisasi kaum santri dan meningkatkan nilai ukhwah di kalangan santri Banyuanyar, diamini oleh beberapa mahasiswa yang sudah terlebih dahulu kuliah di daerah Jabodetabek. Tujuan mulia yang menginspirasi mereka untuk kemudian berencana membuat cabang FKMSB di Jobodetabek sebagaimana daerah lainnya di Indoensai seperti Malang, Surabaya dan Yogyakarta. Dengan segenap pertimbangan pada visi dan misi organisasi berupa: Menggali potensi dan mengembangkan pemikiran sebagai upaya penguatan wacana. Menampung, mengarahkan dan menyalurkan kepedulian santri terhadap masalah sosial. Membentuk pola pembinaan dan pemberdayaan santri yang terpadu untuk mendukung tujuan organisasi. Menginternalisasikan nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini ingin sekali diterapkan di Jabodetabek dengan kekuatan silaturahmi dengan mempertimbangkan potensi santri yang sudah kuliah di daerah ini.
42
Karena itu para mahasantri ini berinisiatif untuk segera mendirikan organisasi secepatnya. Jika ditelusuri berdirinya FKMSB Jabodetabek ini dimulai sejak tahun 2008 kala itu di motori oleh Holisul Ibad dan Ahmad Jufri yang pada waktu itu kuliah di An-nuami Kebayoran lama Jakarta. Karena sesuai dengan AD/ART FKMSB bahwa suatu wilayah bisa membentuk cabang ketika sudah ada anggota menimal tujuh orang, mereka segera memprosesnya. Karena,kala itu di Jakarta sudah lebih dari ketentuan tersebut namun disisi yang lain mereka belum terbentuk cabang secara resmi. Oleh karena itu mereka berkonsultasi dengan ketua umum FKMSB Muhsin Salim yang berkantor di kota Pamekasan sekaligus menyerahkan surat rencana mendirikan cabang FKMSB Jabodetabek. Akhirnya usulan tersebut dibawa kerapat pengurus pusat dengan disetujui badan legislatif FKMSB maka disetujui terbentuknya pengurus cabang tersebut dan dibentuk pengurus sementara yang diketuai oleh Khulisul Ibad sendiri. Sebagaimana aturan AD/ART organisasi, cabang baru boleh dibentuk atas persetujuan ketua umun dan badan legislatif namun hanya sah dan secara resmi dikenakan kewajiban organisasi hanya setelah disahkan di Kongres. Oleh karena itu, FKMSB Jabodetabek disahkan pada Kongres tahun 2009. Dengan terbentuknya organisasi FKMSB secara resmi di Jabodetabek maka mereka membuat rencana kerja yang salah satunya adalah sosialisasi mengenai kampus-kampus di Jabodetabek ke pondok pesantren Banyuanyar baik putra maupun putri untuk kemudian mereka bisa melanjutkan kuliah ke daerah Jabodetabek. Hasilnya hingga saat ini sangat fantastis dengan jumlah kader baru lebih dari seratus mahasiswa santri yang kuliah ke daerah ini.
43
Termasuk yang paling banyak dalam konteks ini adalah mahasiswa santri bagain putri. Mahasiswa santri bagian putri ini semakin membeludak ke Jakarta tatkala salah satu putri kyai sendiri yaitu Neng, kuliah di Al-Hikmah Jakarta Selatan. Sehingga hadirnya seorang Neng ini di Jakarta maka santri-santri putri terdorong juga untuk kuliah ke Jakarta. Hal ini bisa dipahami karena Neng dipandang sebagai contoh dan cukup berpengaruh di kalangan santri putri dan tingkat kepatuhan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, tidak heran jika sampai saat ini santri putri yang kuliah paling banyak berada didaerah Jabodetabek. Ketika penelitian ini dilakukan, mereka para mahasiswa santri yang berasal dari Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura ini tersebar di beberapa kampus di Jabodetabek, Berikut data anggota FKMSB Jabodetabek dalam tiga tahun terahir. Tabel II. C.1. Anggota FKMSB Jabodetabek Dalam Tiga Tahun Terahir NO
Kampus
2012/2013 Laki-laki Perempuan 0 9
2013/2014 Laki-laki Perempuan 0 9
2014/2015 Laki-laki Perempuan 0 9
1
LIPIA
2
AL-HIKMAH
4
5
4
7
4
7
3
HIDAYATULLAH
18
0
25
0
25
0
4
AN-NUAIMI
3
0
3
0
3
0
5
STPD Bekasi
0
2
1
2
2
3
6
IbnuKholdunDepok
3
0
1
2
1
2
7 8 9 10
STT GANESHA UIN JAKARTA UNINDRA UMJ
5 25 5 2 65
0 7 0 1 24
5 25 5 5 74
1 7 0 1 29
8 27 8 5 83
1 7 0 2 31
JUMLAH
89
103
115
(Sumber Data: SekretarisUmum FKMSB 2014/2015) Dari data tersebut terlihat peningkatan yang sangat tinggi oleh anggota laki-laki setiap tahunnya, Dan anggota perempuan juga mengalami peningkatan walaupun
44
tidak sedominan anggota laki-laki. Namun dinamika yang terjadi tampak mahasantri laki-laki yang tidak sama sekali kuliah di Lipia, serta mahasantri perempuan yang tak seorangpun kuliah di Hidayatullah dan An-niami, serta dominasi mahasantri yang kuliah di UIN Syarif hidayatullah walaupun memang leih banyak laki-laki. Hal ini atas beberapa faktor, antara lain disebabkan kurangnya minat dari mahasantrinya sendiri untuk memilih perguruan tinggi tersebut, kemudian beberapa perguruan tinggi yang hanya dikhususkan untuk mahasantri laki-laki saja. Namun sebagai bahan tambahan ternyata mahasantri FKMSB mengalami banyak kesulitan untuk bisa diterima di perguruan tinggi sesuai keinginannya sendiri, terlebih dalam memilih perguruan tinggi yang berstandar internasional. D. Latar Belakang Pendidikan Informan Perguruan tinggi yang juga menjadi tempat menuntut ilmu para mahasantri FKMSB di Jabodetabek adalah beberapa kampus yang notabenenya kampus bercorak islami, hal ini sangat sejalan karena mahasantri FKMSB sebagai santri yang seharusnya selalu mengedepankan nilai-nilai kesantrian dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Namun disisi lain tidak sedikit pula mahasantri FKMSB yang juga mempunyai keinginan dan memilih kuliah di beberapa kampus negeri atau umum. Terdapat beberapa kampus Islam, Negeri dan swasta yang sudah banyak diminati oleh mahasantri FKMSB untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Jabodetabek. beberapa kampus tersebut adalah UIN syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Al-Hikmah Mampang, Stie
45
Hidayatullah Depok, LIPIA Pasar minggu, An-Nuaimi Kebayoran lama, dan UNINDRA Condet.
Dari beberapa kampus tersebut lebih banyak mahasantri memilih kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tujuan awal melanjutkan jenjang studinya, walaupun tidak semua mahasantri diterima menjadi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Namun mereka dapat memilih beberapa kampus yang lokasinya tidak jauh dari UIN atau area Ciputat. Sampai tahun 2015 ini tercatat hampis sebagian besar anggota FKMSB laki-laki dan perempuan bertempat tinggal di daerah Ciputat Tangerang selatan. Dimana berdiri beberapa kampus seperti UIN, UMJ, Stie Ahmad Dahlan, dan STT Ganesha. Disisi lain ada beberapa Mahasantri yang memilih Stie Hidayatullah Depok sebagai tujuan awal, mengingat kampus tersebut menyediakan beasiswa penuh dan disediakan tempat tinggal yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat menarik mahasantri untuk memilih kampus tersebut. Apalagi di kampus tersebut hanya dikhususkan untuk laki-laki saja, artinya anggota perempuan FKMSB tak satupun yang berasal dari Stie Hidayatullah Depok. Dan yang terakhir adalah kampus Al-Hikmah dan Lipia. Beberapa kampus yang berada di daerah mampang prapatan ini lebih banyak ditempati anggota perempuan. Walaupun ada anggota laki-laki yang memilih kampus tersebut, namun masih lebih banyak anggota perempuan yang bertempat di daerah tersebut. Dari beberapa kampus dan latar belakang pendidikan yang berbeda ini, secara umum akan melahirkan karakter dan mindset yang berbeda juga terhadap para mahasiswanya. Namun besar harapan, Sebagai organisasi mahasantri yang
46
sudah tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan diharapkan organisasi tersebut mampu menerima dan saling menghargai perbedaan, serta saling menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
47
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS Pada bab ini penulis ingin menjabarkan hasil temuan terjadinya ketimpangan relasi gender dan berbagai faktor ketimpangan yang telah penulis kategorikan berdasarkan data yang dikumpulkan selama proses penelitian ini berlangsung. Ketimpangan yang terjadi antara lain akan dilihat dalam bentuk akses, ketimpangan dalam bentuk parsitipasi, serta ketimpangan dalam bentuk kontrol. Sedangkan konteks yang terahir ketimpangan dalam bentuk pengambilan manfaat dalam proses berorganisasi mahasantri pada Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek. A. AKSES MAHASANTRI DALAM BERORGANISASI DI FKMSB Akses adalah “The capacity to use the resources necessary to be a fully active and productive (socially, economically and politically) participant in society, including access to resources, services, labor and employment, information and benefits”. Secara sederhana definisi tersebut dapat diartikan sebagai kapasitas untuk menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat (Hery Puspita 2013: 5) Dalam Gender Analysis Pathway (GAP) Akses adalah kesempatan perempuan dan laki-laki mendapatkan peluang atau kesempatan yang sama dalam menggunakan sumber daya tertentu, yakni semua anggota mempunyai akses dan kesempatan yang sama menggunakan sumber daya tertentu. Dalam hal ini penulis fokuskan pada akses mahasantri menduduki posisi struktur kepengurusan organisasi FKMSB Jabodetabek. Dan yang kedua adalah kesempatan mendapatkan akses dalam pengembangan skill dan knowledge di beberapa perhelatan acara organisasi FKMSB Jabodetabek.
47
1. Akses Mahasantri Dalam Jabatan di Struktur Organisasi FKMSB Struktur organisasi merupakan posisi dimana seseorang mendapatkan kesempatan menerima tugas dan melakukan pekerjaan sesuai dengan job deskripnya masing-masing dalam menjalankan roda organisasi secara lebih baik. Dalam hal ini
penulis ingin
melihat akses keterlibatan semua anggota laki-laki dan perempuan dalam jabatan di struktur organisasi FKMSB. Dari hasil temuan ini ternyata akses keterlibatan perempuan untuk mendapatkan posisi dalam struktur kepengurusan di FKMSB masih sangat minim. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh beberapa informan perempuan: Kalau akses ke struktural bisa dibilang gak ada ya... kalaupun ada di sruktural posisinya gak jauh-jauh dari bendahara, itupun seringkali adanya penunjukan secara langsung, mungkin karena perempuannya lebih sedikit jadi mau-mau aja gitu...(Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 maret 2015) Emang masih kurang. Sekarang kan laki-lakinya juga lebih banyak, mungkin juga pengurusnya lebih banyak laki-laki, jadinya kepedulian kepada akhwat kurang kalau menurut saya (Wawancara pribadi dengan JU, Condet, 24 April 2015). Hal senada juga disampaikan oleh informan yang lain, bahwa dalam konteks struktural anggota perempuan merasa kurang dihargai. Tidak pernah, perempuannya lebih sedikit, bahkan kadang pas ngadain acara pakek main nunjuk-nunjuk aja, perempuan yang jadi ininya,,, gitu.. bahkan lebih parahnya lagi walaupun gag ada orangnya kadang langsung ditentuin aja, yah... jadi perempuannya kayak kurang dihargai gitu.. (Wawancara pribadi dengan IM, Ciputat, 21 MARET 2015 19:00) Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa akses perempuan dalam struktur organisasi memang tidak ada, dan ini dirasakan oleh sebagian besar perempuan yang mengaku kurang merasa dilibatkan dan kurang mendapatkan kesempatan dalam jabatan struktural. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penunjukan secara langsung kepada perempuan dalam mendapatkan posisi tertentu. Untuk lebih jelasnya dalam konteks akses ini penulis sertakan informasi tersebut ke dalam bentuk grafik dibawah ini:
48
Tabel.III.A.I. Akses Mahasantri Dalam Struktur Organisasi No
Nama
Jenis Kelamin
Latar Belakang Pendidikan
Akses ke Jabatan Struktural Kesempatan Menjabat Dalam Struktur
7. 8. 9. 10. 11. 12.
IM HL MZ HZ JU BS EV AH KR AB ME AK
Laki-laki
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perempuan
Ada
UIN Lipia UMJ Al-hikmah Al-hikmah Al-hikmah Lipia Hidayatullah Ganesha UIN UIN Unindra
Tidak tau
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3
Jumlah
Tidak ada
7 12
2
Dari data diatas menunjukkan bahwa semua informan perempuan menyatakan tidak mendapatkan akses dalam jabatan struktural. Dalam konteks akses ini menurut informan perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan terhadap perempuan serta adanya penunjukan langsung terhadap perempuan pada posisi-posisi yang mengarah pada posisi yang bias gender, sehingga anggota perempuan hanya menduduki posisiposisi seperti seksi konsumsi, perlengkapan dan beberapa posisi yang kurang menguntungkan perempuan. Berbeda dengan informan laki-laki yang menuturkan bahwa akses dalam struktural disebabkan karena kurangnya kemampuan atau kapasitas dari perempuannya sendiri, dan salah satu informan menyatakan bahwa laki-laki memang lebih baik daripada perempuan, seperti yang dituturkan dua informan berikut ini: Sebenarnya ada... Cuma saya rasa perempuan memang kurang mempunyai kapasitas berada dalam struktur, apalagi menjadi leader, ini kan organisasi pesantren,,, yang kita tau perempuan masih menjadi the second class. Dan perempuan harus perjuangkan itu karena saya rasa disitulah problemnya. (Wawancara pribadi dengan ME, Ciputat,25 Maret 2015 13:00).
49
Sama-sama punyalah... tapi inikan organisasi pesantren... jadi memang kurang pas kalau perempuan terlibat dalam struktur, apalagi sampe’ jadi ketua, masih banyak laki-laki yang lebih layak lah.. (Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta, 23 Maret 2015). Salah satu faktor yang mencolok atas kurangnya akses dalam struktur ini adalah adanya pengakuan bahwa organisasi pesantren ini kurang tepat kalau ketuanya adalah sosok perempuan. Walaupun disisi lain ternyata ada salah satu perempuan yang mengaku sanggup bahkan siap menjadi ketua. Seperti pengakuan salah satu informan berikut ini: Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua, apalagi di AD-ART cukup jelas kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota laki-laki, saya siap kok kalau ada kesempatan menjadi ketua. Cuma masalahnya sampe sekarang perempuan gag pernah diberi kesemptan kan..? (Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 MARET 2015 19:00) Saya pernah dipimpin oleh perempuan dalam sebuah organisasi, saya merasa nyaman-nyaman aja bahkan saya merasa lebih baik disana”. kalau alasannya itu karena pesantren, saya rasa itu pembodohan buat perempuan. (Wawancara pribadi dengan MZ,Jakarta, 26 Maret 2015 17:30) Namun selain karena tidak adanya kesempatan perempuan menjabat dalam struktur, yang paling menarik disini adalah kuatnya stereotype yang dianut bahwa anggota perempuan kurang layak dan kurang cukup mempunyai kapasitas berada dalam struktural. Dan selanjutnya kuatnya budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan sosok laki-laki dalam pucuk kepemimpinan, sehingga melahirkan pola relasi yang selalu merugikan kaum perempuan dalam konteks struktural. Namun faktor lain yang ditemukan dan tidak kalah menarik menyatakan bahwa hal ini dikarenakan seluruh anggota organisasi FKMSB adalah para mantan santri yang masih punya pemahaman agama yang kuat dengan menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. hal ini atas dasar pemahaman nas al-qur’an “Arrijaalu qowwaamuna alannisa’ ”yang sebagian besar menafsirkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi ketua atau pemimpin. berikut beberapa perbedaan pendapat informan terkait
50
wacana perempuan menjadi pemimpin yang penulis kelompokkan ke dalam bentuk tabel berikut ini: TabelIII.A.II. Penafsiran Perempuan Menjadi Pemimpin No
Nama
Jenis Kelamin
Latar belakang pendidikan
Kategori Kampus
Wacana Perempuan menjadi pemimpin dalam organisasi Tidak boleh √ √ √ √ √ √
FUNDAMENTALIS
Hidayatullah Lipia Lipia Al-hikmah Al-hikmah Al-hikmah UMJ Uin Ganesha UIN UIN Unindra
PROGRESIF
7. 8. 9. 10. 11. 12.
AH HL EV HZ JU BS MZ IM KR AB ME AK
Laki-laki
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perempuan
Boleh
√ √ √ √ √ √ 6
Jumlah
6 12
Dari data tersebut memperlihatkan bahwa informan yang setuju terhadap wacana perempuan menjadi pemimpin adalah mahasiswa yang mempunyai latar belakang pendidikan Islamnegeri dan umum, seperti UMJ, UIN, Ganesha dan Unindra. Sedangkan sebaliknya informan yang tidak setuju berasal informan yang mempunyai pola pendidikan timur tengan yang berorientasi fundamentalis Seperi Lipia, Al-hikmah dan Hidayatullah. Hal ini sedikit menunjuksn bahwa latar belakang pendidikan fundamentalis juga berpengaruh terhadap pola pikir mahasantri. Sedangkan disisi lain, Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan mantan pemimpin tertinggi Al Azhar seperti yang dikutip oleh Quraisy Shihab dalam (Perempuan: Dari Cinta Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru, 2005:07) menyatakan, bahwa Allah telah menganugerahkan potensi yang cukup kepada laki-laki dan perempuan untuk mengemban tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Potensi ini juga termasukdalam hal kepemimpinan. Karena pada 51
akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin. Dari pernyataan tersebut menjadi menarik karena pada umumnya seorang yang mempunyai latar pendidikan Islam mempunyai pandangan yang lebih progresif terhadap kepemimpinan perempuan. Namun, dalam temuan ini ternyata justru informan yang mempunyai latar belakang pendidikan modernis yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin atau ketua dalam organisasi FKMSB. Seperti salah satu informan berikut ini Suatu hal yang baru dan suatu hal yang sangat membanggakan bila FKMSB bisa melahirkan pemimpin perempuan. Saya sangat setuju itu. Ini akan menjadi suatu langkah lebih maju dari apa yang saya bayangkan. Apalagi dalam AD-ART tidak ada larangan perempuan menjadi katua. (Wawancara pribadi dengan AK, Condet, 17 April 2015) Sejalan dengan pernyataan informan, bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB sekalipun ternyata memang tidak ditemukan larangan ataupun batasan terhadap keterlibatan perempuan dalam struktur kepengurusan, jadi dapat disimpulkan berdasarkan data ini akses perempuan dalam struktur organisasi dan menurut AD-ART pada dasarnya tidak ada larangan, namun pada realitanya dalam struktur organisasi ini tetap laki-laki yang selalu menjadi ketua, dan sebaliknya perempuan selalu mendapatkan posisi perlengkapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa, akses
anggota perempuan
terhadap jabatan dalam struktural masih belum maksimal, walaupun dalam AD-ART tidak ada larangan namun dalam realitanya masih belum bisa dirasakan secara proporsional, dan terjadi ketimpangan. 2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill Skill merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian mulai dikembangkan dan diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali dalam hal ini penulis ingin menjelaskan akses perempuan dan laki-laki dalam pengembangan 52
skill di organisasi FKMSB. Pengembangan skill yang dimaksud penulis disini adalah akses untuk menjadi MC dan Moderator dalam beberapa acara yang dihelat oleh organisasi FKMSB. Dan dari beberapa data dan hasil wawancara ini ditemukan beberapa pengakuan bahwa dalam hal ini anggota perempuan juga hampir tidak pernah mendapatkan akses dalam pengembangan skill tersebut. Kalau MC dan Moderator gak pernah tuh,,, paling kalau di konsumsi atau perlengkapan iya..yah.... mungkin panitianya lebih percaya kalau laki-laki lebih bisa dan lebih pas dibandingin perempuan, tapi bukan berarti perempuan juga gak bisa kan... !? ini sih... lebih ke siapa yang dipercaya dan siapa yang rekomendasiin. Tapi biasanya asal nunjuk aja tapi perempuan gag pernah ada yang nunjuk (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 21 april 2015) Gak pernah... iya ikuti aja keputusan rapat, masa’ perempuan mau ngajuin sendiri. saya bisa jadi MC saya mau... kan gak enak juga. Seharusnya anggota laki-laki ada yang lebih peka lah... nawarin aja itu udah menghargai banget daripada gak sama sekali.(Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang,23 Maret 2015). Dari pengakuan dua informan perempuan tersebut mencerminkan bahwa laki-laki tidak memberikan akses kepada perempuan untuk menjadi MC atau Moderator. Bahkan laki-laki dianggap kurang peka dan tidak menghargai perempuan karena tidak pernah memberikan akses berupa kesempatan terhadap perempuan dalam pengembangan skill. Dan yang lebih mirisnya lagi ada salah satu informan yang mengaku sangat kecewa dengan keputusan panitia. Bahwa pernah dalam suatu acara menawarkan menjadi MC pada perempuan, tapi kemudian pas acara dimulai, tanpa ada konfirmasi atau informasi sebelumnya tawaran menjadi MC atau Moderator itu digagalkan seketika. Kemaren pas acara Milad sebenarnya ditawari jadi MC dan Direjen gitu, saya juga udah mempersiapkan diri, tapi pas acara ternyata yang maju malah cowok, itu saya kecema banget, gak menghargai banget deh...(Wawancara pribadi dengan IM Jakarta, 21 Maret 2015) Dari data ini kemudian penulis mendapatkan kesempatan menanyakan ke ketua FKMSB periode 2014-2015 seputar perempuan yang sampai saat ini hampir tidak pernah dilibatkan atau diberikan kesempatan menjadi MC atau Moderator. 53
Sebenarnya dulu pernah perempuan diplot menjadi MC pas acara pelantikan pengurus kalau gag salah, tapi sebelum acara selesai waktu itu ada yang komplain dan ternyata yang komplain justru dari para akhwat sendiri, alasannya sih ... kalau masih ada laki-laki kenapa harus pakek perempuan bukannya suara perempuan itu juga aurat dan gag boleh, Mon sampe’ kataoan Neng kakdintoh kita se etukanih (Madura: red- “kalau sampai katahuan putri kiayi bakalan kita yang dimarahi”) Mungkin atas dasar ini juga perempuan hingga sekarang kurang terlibat walaupun mungkin perempuan yang lain juga banyak yang mengharapkan menjadi MC juga. (Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 23 Maret 2015) Dari jawaban ini, sedikit memberikan penjelasan bahwa kurangnya akses terhadap anggota perempuan menjadi MC ataupun Moderator tidak hanya disebabkan karena faktor kurangnya akses dari laki-laki saja, melainkan adanya pemahaman agama yang dianut oleh sebagian informan perempuan yang menyatakan bahwa suara perempuan adalah aurat. Dan disisi lain juga memberikan alasan takut diketahui dan dimarahi oleh Neng. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab kurangnya akses perempuan mendapatkan kesempatan dalam pengembangan skill ini. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa, disisi lain ada informan perempuan yang sebenarnya juga menginginkan mendapat kesempatan menjadi MC atau Moderator dalam organisasi alumni pesantren itu. Jadi MC, siapa yang gag pengin sih.... itukan ilmu pengetahuan juga, apalagi ini organisasi kita sendiri, kita bisa terlibat di dalamnya itu luar biasa. Kalau bagi saya ini akan menjadi bentuk sumbangsih saya sebagai anggota dan sebagai alumni pesantren. (Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015) Namun data yang berhasil dihimpun oleh penulis menunjukkan bahwa dalam beberapa pertemuan terahir perempuan ternyata tidak sama sekali mendapatkan kesempatan tersebut. terlepas hal itu sudah ditawarkan oleh anggota laki-laki atau perempuannya yang tidak mau, hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan data yang terhimpun, anggota perempuan sampai detik ini masih belum mendapatan akses yang sama dalam pengembangan skill menjadi MC atau Moderator dalam seluruh perhelatan program FKMSB. Berikut data autentik yang dapat penulis sajikan kedalam bentuk tabel: 54
Tabel.III.A.II. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill No
Beberapa Acara Pada Pertemuan Terahir 20142015
Menjadi Moderator
Menjadi MC
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan -
1
Musyawarah Besar
√
-
√
2
Pengkaderan Anggota Baru
√
-
√
-
3
Milad 50 Tahun FKMSB
√
-
√
-
3
Rakornas
√
-
√
-
4
Musywil
√
-
√
-
5
Perayaan Isro’ mikroj
√
-
√
-
5
0
5
0
Jumlah
Dari data diatas ini, menunjukkan tak sekalipun perempuan mendapatkan akses menjadi MC atau Moderator. Dalam hal ini jelas suatu hal yang sangat merugikan kaum perempuan dan sangat bisa disimpulkan bahwa dalam aspek akses pengembangan skill ini, kesempatan atau akses anggota perempuann tertutup. Sehingga semakin menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan perlakuan tidak adil. Dan semakin menguatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak mempunyai kapasitas dalam pengembangan skill. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Masdar F. Mas’udi (2003: 37) bahwa ketidakadilan pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah. 3. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill dan Knowledge Modul FKMSB merupakan satu-satunya buku panduan organisasi yang di lounching beberapa waktu lalu, tepatnya di acara milad FKMSB yang ke 17 pada 10 Januari 2015 di Jakarta. Dalam penyusunan dan kepenulisan modul tersebut dibutuhan skill menulis yang baik serta punya wawasan keilmuan (Knowledge) yang mempuni, dan
55
hal ini sangat berhubungan skill dan knowledge anggota FKMSB. Tak terkecuali dengan anggota perempuan yang seharusnya juga mendapatkan kesempatan dalam penyusunan dan kepenulisannya tersebut. Namun ternyata pada realitanya ditemukan bahwa tak ada satupun perwakilan anggota perempuan yang menjadi atau yang diikutsertakan dalam tim penyusun terbitanya modul FKMSB tersebut. Saya gak tau, apalagi mau dilibatkan, taunya itu pas acara milad ternyata mau lounching modul katanya. (Wawancara pribadi dengan MZ,Ciputat, 26 Maret 2015 17:30) Apalagi dilibatkan, informasinya aja kita gak dapet... gak tau. (Wawancara pribadi dengan SH, Mampang 28 Maret 2015 19:00) Informan perempuan yang ketiga juga mengaku tidak tau perihal modul tersebut Kurang tau kenapa gak dilibatkan yang jelas saya juga taunya pas di acara, dan setelah baca emang dari laki-laki aja tim penyusunnya. Para akhwat Sebenarnya bukan gak bisa, dari dulu yang ngelola majalah Shibghah itu dari akhwat kok..! (Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015) Hampir semua informan perempuan yang diwawancarai, mempunyai jawaban yang serupa dan mengatakan tak mendapatkan informasi, serta membenarkan bahwa perempuan tidak dilibatkan dalam kepenulisan tersebut, dan mengetahuinya sesaat sebelum mau dilaouncing bahwa ada modul FKMSB. Sedangkan informan laki-laki yang
menjadi
pengurus
menjawab
bahwa
tidak
ada
cukup
waktu
untuk
menginformasikan hal itu kepada para anggota perempuan: Kemaren kan emang buru-buru, jadi gak sempat ngabari juga, karna kita pengin cepat-cepat kelar juga nulisnya.. (Wawancara pribadi dengan ME, Jakarta 30 Maret 2015) Iya kemaren kita tidak sempat kepikiran melibatkan perempuan, karena memang waktunya mepet dan akan segera diselesaikan, iya udah semuanya dihandle lakilaki karena menginginkan gerak cepat waktu itu. (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 Maret 2015) Dari hasil wawancara ini hampir sama dengan dengan konteks akses, bahwa anggota laki-laki secara tidak langsung mempunyai stereotype terhadap perempuan lemah dan tidak bisa gerak cepat, sehingga dalam kepenulisan modul FKMSB tersebut
56
tidak seorangpun perempuan yang dilibatkan dan salah satu alasannya adalah karna stereotipe terhadap perempuan tidak bisa gerak cepat. Namun disisi lain, pada dasarnya kaum minoritas yakni anggota perempuan bukanlah anggota yang tidak mempunyai potensi ataupun kreativitas yang dapat disumbangkan terhadap organisasi FKMSB Jabodetabek selama ini, terlebih dalam dunia kepenulisan. Bahkan dalam tiga tahun terahir ditemukan bahwa perempuanlah yang mengusulkan dan mengelola penerbitan tabloid Shibghah FKMSB Jabodetabek sebagai media penunjang kreatifitas dan wadah penyampaian ide dan gagasan. Dan akhirnya keberadaan tabloid tersebut cukup digandrungi bahkan menjadi Trending topic FKMSB wilayah yang lain. Dari dulu perempuanlah yang menghandle penerbitan tabloid Shibghah, dan itu sudah cukup digandrungi dalam lingkup FKMSB Pusat (Wawancara pribadi dengan EV, Mampang, 29 April 2015 13:15). Dari temuan tersebut sedikit membuka penglihatan bahwa perempuan seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama serta hak yang sama dengan laki-laki, terlebih dalam kepenulisan modul tersebut. Namun pada realitanya akses perempuan selalu mendapatkan penghalang dan hal yang justru merugikan. Dan pada puncaknya kaum laki-laki masih saja melakukan dan justru menyia-nyiakan potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini tentunya kepenulisan modul FKMSB. Hal ini juga sejalan degan apa yang dikemukakan oleh Griffiths (2006: 125) bahwa terkadang kelompok yang dominan secara sengaja cendrung mempertahankan posisinya dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan ahirnya mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan potensi produktif dari kaum minoritas.
57
Dalam konteks akses ini terlihat jelas bahwa anggota perempuan tidak mendapatkan akses yang sama dengan anggota laki-laki, baik dalam Pengembangkan skill maupun knowledge, dan yang paling tampak dalam hal ini terjadi pada penerbitan modul FKMSB. Lebih miris lagi perempuan sampai tidak mendapatkan informasi dalam penyusunan dan penerbitan modul tersebut. Dari konteks akses ini, faktor terjadinya ketimpangan dalam beberapa aspek tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, kuatnya sistem patriarki yang selalu mengedapankan laki-laki dibanding perempuan, sehingga melahirkan relasi antar keduanya kurang terbuka. Kedua, kultur agama dan sistem pendidikan yang masih belum terbuka dalam konteks isu-isu gender sehingga melahirkan pemahaman-pemahaman yang bias gender, sehingga pada beberapa realitas organisasi FKMSB terjadi ketidakadilan dalam peran dan hak terhadap perempuan. Ketiga, adanya stereotype bahwa perempuan dianggap lemah, tidak bisa gerak cepat serta tidak cukup pantas menjadi pemimpin, sehingga membuat perempuan lebih inferior dan semakin tidak mempunyai kesempatan dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Ketimpangan dalam konteks akses ini faktor yang sangat mencolok adalah kuatnya sistem patriarkhi serta Stereotype terhadap perempuan yang pada dasarnya disebabkan oleh konstruksi sosial yang sudah terbentuk sekian lama. Hal ini terbentuk melalui proses sosial dan kultural yang selama diserap sehingga menjadi sesuatu yang tidak disadari dalam berperilaku. Hal ini juga sejalan dengan teori behavioral differencesyang
dikembangkan
oleh
Oakley
(1972)
dalam
bukunya
Sex,
Gender,andSociety. Dalam buku tersebut terdapat asumsi dasar dari teori Oakley bahwa, perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan adalah perbedaan perilaku (Behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Asumsi ini menunjukkan bahwa 58
ketimpangan relasi itu terdapat dalam konteks perilaku dan perlakukan yang sebenarnya sudah tertanam secara masif melalui proses sosial dan kultural yang selama ini mereka serap, sehingga menjadi ruang ketidaksadaran mereka dalam berperilaku dan memperlakukan. Dan pada akhirnya tidak mengherakan jika dalam relasi keduanya masih terjadi ketimpangan satu sama lain. B. PARTISIPASI MAHASANTRI DALAM ORGANISASI Berbeda dengan konteks akses dimana perempuan lebih menekankan pada bagaimana mendapatkan semua fasilitas atau sumberdaya organisasi secara adil dan samasama menggunakan wadah reaktualisasi diri secara bersamaan tanpa ada yang membatasi ataupun larangan. Dalam konteks partisipasi ini Gender Analysis Pathway (GAP) lebih menekankan bagaimana partisipasi disini sama-sama melibatkan laki-laki dan perempuan dan terlibat secara langsung dalam rencana-rencana strategis serta kebijakan organisasi yang akan dijalankan secara kolektif, sehingga kaum perempuan pada hususnya dapat menyuarakan aspirasinya serta benar-benar merasa diberdayakan. Dalam konteks partisipasi ini beberapa ahli gender juga mendefinisikan dengan“Who does what?” (Siapa melakukan apa?) Bahwa laki-laki dan perempuan berpartisipasi dan mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya organisasi secara demokratis, namun tidak berarti bebas berbuat semaunya tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain (Veitzal Rivai, 2003: 52) 1. Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial Dalam partisipasi ini penulis memfokuskan partisipasi perempuan dalam beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan, hal ini berhubungan dengan skill managerial bagaimana perempuan juga seharusnya terlibat dan mendapatkan hak yang sama dalam kegiatan tersebut terlebih dalam struktur kepanitiaan bagaimana perempuan 59
seharusnya mendapatkan kemampuan memimpin dalam organisasi dan dapat terlibat secara langsung serta dapat menyuarakan aspirasinya dalam menentukan suatu kebijakan. Dari data yang penulis dapati terlihat jelas ada ketimpangan yang sangat mencolok dalam beberapa kegiatan tersebut. Berikut penulis rangkum ke dalam bentuk tabel. Tabel.III.B.I.Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial PARTISIPASI DALAM PROGRAM KEGIATAN No
Kegiatan 2014/2015
Menjadi ketua panitia
Menjadi Sekretaris
Menjadi Bendahara
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan -
1
Musyawarah Besar
√
-
√
-
√
2
Pengkaderan Anggota Baru
√
-
√
-
√
-
3
Milad 50 Tahun FKMSB
√
-
√
-
-
√
3
Rakornas
√
-
√
-
√
-
4
Musywil
√
-
√
-
√
-
5
Perayaan Maulid Nabi
√
-
√
-
√
-
6
Seribu waqaf Al-qur’an
√
-
√
-
√
-
Jumlah
5
0
5
0
4
1
Dari data ini terlihat jelas bahwa dalam beberapa kegiatan yang dihelat oleh FKMSB Jabodetabek ini tak seorangpun perempuan terlibat sebagai seorang ketua, sekretaris dan hanya sekali sebagai bendahara. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam perhelatan acara tersebut tentunya sangat merugikan perempuan. Skill Managerial seperti merealisasikan suatu kegiatan dan kemampuan mesukseskan suatu kegiatan jelas hanya akan didapatkan oleh anggota laki-laki saja. Kurangnya keterlibatan anggota perempuan dalam hal ini menurut beberapa informan perempuan: Kepanitiaan itu kan biasanya dipilih dengan musyawarah, kadang perempuannya juga tidak mau dan kadang laki-laki juga gak ada yang mau mengusulkan perempuan jadi panitia, yah.... karena dari dulu memang seperti itu mau diapain lagi.. (Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 maret 2015 09:00) Kurang tau ya,,, yang jelas dalam pembentukan kepanitiaan itu melibatkan perempuan, cuma memang selama ini kita gag pernah menggunakan perempuan
60
sebagai ketua panitia. Bukan percaya atau tidak percaya ya... Cuma belum terbiasa aja mungkin (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 Maret 2015) Sebagian informan laki-laki mengatakan kurangnya kesempatan perempuan dalam konteks ini tidak ada hubungannya dengan kapasitas perempuan Gak... bukan masalah itu, perempuan juga punya kapasitas kok. Inikan ntar kerjanya bersama-sama, ketua itu kan cuma bertanggung jawab sepenuhnya. Jadi tinggal intruksi aja ntar... (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta,27 Maret 2015) Dan dari informan perempuan yang lain juga menuturkan: Sejak saya ikut musyawarah pembentukan panitia kalau mau ngadain acara gitu, gak pernah perempuan diusulkan jadi ketua. paling kalau pas giliran seksi konsumsi langsung ditunjuk aja gitu.... kamu jadi seksi kosumsinya. Yaudah ikutikut aja... mau menolak gimana ini kan buat kita bersama. (Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00) Dari data ini terlihat jelas bahwa ketika anggota laki-laki menjadi ketua secara tidak langsung hanya anggota laki-laki saja yang punya otoritas dan mengendalikan organisasi ini, namun anggota perempuan yang tidak mendapatkan posisi yang kurang menguntungkan menjadi semakin inferior dan hanya bisa mengerjakan hal-hal yang selalu berhubungan dengan dapur, seperti seksi kosumsi dan seksi perlengkapan sebagaimana posisi tersebut selalu diidentikkan dengan posisi ideal perempuan. Dalam hal ini penyebabnya tidak jauh berbeda dengan konteks akses, yaitu adanya stereotype terhadap anggota perempuan yang masih kuat dari kalangan pengurus laki-laki sehingga partisipasi dalam skill managerial tidak sepenuhnya bisa dirasakan. Dalam hal ini anggota perempuan seringkali mendapatkan posisi yang kurang menguntungkan seperti seksi konsumsi dan perlengkapan. Dan yang lebih menarik disini, walaupun sudah jelas dalam AD-ART bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis, namun pada realitanya ternyata dalam pemilihan struktur kepanitiaan para anggota laki-laki masih sering menggunakan penunjukan langsung kepada anggota perempuan, bahkan seringkali tanpa sedikitpun mempertimbangkan dan menawarkan
61
terlebih dahulu kesiapan perempuan dalam mengemban tugas tersebut. Pada akhirnya dalam konteks ini lagi-lagi anggota laki-laki saja yang diuntungkan dan sebaliknya perempuan semakin inferior dan semakin pasif. Hal ini sejalan dengan Para peneliti feminis barat yang secara umum mempunyai keyakinan bahwa sekali pria mendominasi sebuah kelompok masyarakat dalam bidangbidang tertentu,perempuan akan menjadi kelompok yang tertindas dan pasif (S. Duval 1998: 13) 2. Partisipasi Mahasantri Dalam Struktural Oganisasi Keterlibatan semua anggota baik laki-laki maupun perempuan dalam struktur organisasi merupakan cerminan ideal suatu organisasi. Dan dalam tegaknya organisasi yang baik pula, seharusnya semua anggota laki-laki maupun perempuan dapat terlibat secara proporsional terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang diharapkan tidak saling merugikan satu sama lain. Namun nyatanya dalam struktur organisasi ini masih terlihat bahwa keterlibatan anggota perempuan sangatlah minim dan sangat tidak proporsional. Tercatat sejak berdirinya organisasi FKMSB ini pada tahun 2008 di Jabodetabek, tak pernah sekalipun perempuan mendapatkan posisi baik sebagai ketua maupun wakil ketua. Hanya sekali menjadi sekretaris pada tahun 2011/2012 dan dua kali menjadi bendahara pada tahun 2010/2011 dan 2011/2012. Padahal sampai tahun 20142015 organisasi ini terhitung sudah memasuki tujuh periode, dimana organisasi ini seharusnya sudah berkembang dan sosok perempuan seharusnnya sudah sangat diperhitungkan. Namun realita yang ada tidak sesuai fakta dan harapan perempuan pada umumnya, bahwa perempuan masih saja kurang mendapatkan hak yang sama. Berikut data pertisipasi mahasantri dalam struktur organisasi dalam beberapa periode yang dirangkum kedalam bentuk tabel:
62
Tabel.III.B.II.Partisipasi Mahasantri Dalam Sruktur Organisasi Struktur Organisasi Selama Tujuh Periode No
Tahun
Ketua dan wakil Laki-laki
1 2 3 4 5 6 7
2008/2009 2009/2010 2010/2011 2011/2012 2012/2013 2013/2014 2014/2015
Perempuan
Sekretaris Laki-laki
√ √ √ √ √ √ √
Bendahara
Perempuan
Laki-laki
√ √ √
Perempuan
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
(Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek 2014/2015) Dari data ini tergambar jelas dimana sosok perempuan tidak pernah sekalipun menjadi ketua ataupun wakil dalam struktur FKMSB Jabodetabek. Dan tampak betapa dominannya anggota laki-laki dalam jabatan ketua sekretaris maupun bendahara. Kurangnya partisipasi perempuan dalam jabatan ketua maupun wakil, menurut mantan ketua wilayah FKMSB periode 2014/2015 disebabkan oleh perempuannya sendiri: Belum ada memang selama ini perempuan yang mau menjabat jadi ketua. Mungkin karena perempuannya yang memang belum siap mencalonkan, sebenarnya bisa-bisa aja mencalonkan... tapi itu tadi kendalanya di perempuannya aja yang mungkin belum kepikiran kesana, kalaupun ada kendala yang lain saya kurang tau itu. (Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta, 26 Maret 2015). Kalau untuk mencalonkan diri dari perempuannya tidak mungkin juga sih... kebetulan perempuannya juga sedikit, yah... tetap kalah jumlah sama laki-laki. Ya udah ngikutin aja...(Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 maret 2015 19:00) Alasan informan pertama menyatakan penyebabnya adalah dari perempuannya sendiri, bahwa perempuan dianggapap belum siap menjabat sebagai ketua maupun wakil, namun alasan dari informan perempuan bukanlah faktor dari perempaunnya. Melainkan karena dominasi laki-laki dalam keanggotaan yang secara kuantitas lebih banyak daripada perempuan, sehingga perempuan merasa akan sia-sia bila mencalonkan diri. Namun, lagi-lagi problem yang sama juga dikemukakan oleh informan laki-laki bahwa bukan karena dominasi keanggotaan, melainkan karena perempuannya sendiri yang dipandang belum siap dan belum ada yang dinilai punya kapasitas FKMSB Jabodetabek memang belum saatnya dipimpin oleh kaum perempuan, karena berbagai faktor internal dan eksternal juga. Selain karena perempuannya 63
yang memang masih belum siap saya kira, anggota perempuan juga belum ada yang cukup pantas dicalonkan untuk saat ini. Terdapat faktor eksternal yang sifatnya sangat erat kaitannya dengan pesantren. Sejauh ini diakui atau tidak pesantren Banyuanyar itu masih menganut faham patriaki yang secara tidak langsung kurang memberi ruang kepada perempuan menjadi pemimpin (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 maret 2015) Hal ini juga secara tidak langsung diamini oleh informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis aliran timur tengah, bahwa sejatinya kurang setuju atas keterlibatan perempuan dalam struktural kepengurusan: Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah perempuan. Ia kalau masih ada laki-laki yaa… ngapain harus perempuan..!? yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. (Wawacara pribadi dengan HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30). Namun terlepas dari alasan yang dituturkan oleh informan laki-laki dan sebagian informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis itu, ternyata masih ada dua informan perempuan yang berpendapat bahwa perempuan pada dasarnya juga bisa menjadi pemimpin dan terlibat aktif secara demokratis dalam struktur organisasi ini. Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua dan terlibat dalam struktural, karena memang di AD-ART cukup jelas kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota yang lain. (Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21 Maret 2015 19:00) Kenapa tidak,,,? Perempuan juga punya hak, dan saya rasa perempuan juga banyak yang punya kapasiatas dalam mempimpin (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30) Penuturan dua informan ini sekaligus membuka pandangan bahwa dalam organisasi ini masih ada sebagian kecil anggota perempuan yang menginginkan menjadi ketua, dan tentunya sedikit banyak mengerti bagaimana seharusnya menjadi ketua, karena pada dasarnya menurut (Richard I Lester : 1991) menjadi ketua atau pemimpin adalah sebuah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan cara kepatuhan, kepercayaan dan rasa hormat. Dan dari beberapa unsur tersebut bukanlah hal yang sulit bagi mahasantri atau sosok perempuan untuk tidak memilikinya juga.
64
Namun yang menjadi dasar alasan dan faktor kurangnya partisipasi perempuan dalam struktural, dalam hal ini sebenarnya tak terkecuali beberapa perbedaan pandangan terhadap setuju tidaknya perempuan terlibat dalam struktur organisasi yang lebih demokratis dalam konteks AD-ART. Untuk lebih jelasnya berikut penulis sertakan perbedaan pandangan tersebut dari semua informan yang dirangkum ke dalam bentuk tabel dibawah ini: Tabel.III.B.II.Keterlibatan Mahasantri Dalam Struktur Organisasi No
Nama Informan
Jenis Kelamin
Latar Belakang Pendidikan
Menjadi Ketua Boleh
Menjadi Sekretaris
Menjadi Bendahara
Tidak Boleh
Boleh
Tidak Boleh
Boleh
Tidak Boleh
IM
UIN
√
-
√
-
√
-
2
HO
Lipia
-
√
√
-
√
-
3
MZ
4
HZ
5
JU
6
EV
Perempuan
1
UMJ
√
-
√
-
√
-
Al-hikmah
√
-
√
-
√
-
Al-hikmah
√
-
√
-
√
-
Lipia
-
√
√
-
√
-
BS
Al-hikmah
-
√
√
-
√
-
8
AH
Hidayatullah
√
-
√
-
√
-
9
AK
Unindra
√
√
-
√
-
10
AR
UIN
√
-
√
-
√
-
11
ME
UIN
√
-
√
-
√
-
12
KR
Ganesha
√
-
√
-
√
-
9
3
12
0
12
0
JUMLAH
Laki-laki
7
-
Dari data tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB, sebagian besar informan membolehkan perempuan menjabat dalam struktur organisasi, baik menjadi ketua, seksretaris ataupun bendahara. Namun dari 12 informan terdapat tiga informan yang masih berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi ketua. Ia tetap gag boleh lah... sudah jelas juga kan ayatnya, Arrijalu qowwamuna alannisa’. iya... walaupun FKMSB gag ngelarang itu juga. (Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00) Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah perempuan.Ia kalau masih ada laki-laki yaa… ngapain harus perempuan..!?” yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. (Wawacara pribadi dengan HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30). Bukan berarti saya tidak setuju kalau perempuan terlibat, Cuma kalau untuk menjadi ketua menurut saya itu langkah yang terlalu berani, menjaga itu akan
65
lebih baik saya rasa. (Wawancara pribadi dengan EV, Mampang, 29 April 2015 13:15) Dari pengakuan tiga informan perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan memang tidak ingin terlibat dalam struktural hususnya menjadi ketua. Hal ini semakin menguatkan bahwa latar belakang pendidikan aliran timur tengah menjadi satu alasan yang juga berpengaruh kuat terhadap tegaknya demokratisasi organisasi dimana perempuan selalu menjadi sosok The second class. Namun disisi lain menurut Nasaruddin Umar (2000 : 49) Seorang cendekiawan kontemporer yang menyatakan bahwa tidak ada satupun dalil, baik dari al-qur’an maupun hadist yang melarang kaum perempuan untuk terjun ke dalam bidang politik baik sebagai pejabat maupun pemimpin negara. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan di sekitar Nabi terlihat aktif dalam dunia politik. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa kata Khalifah pada surat al-baqarah ayat 30 tidak merujuk hanya kepada satu jenis kelamin tertentu, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai Khalifah di muka bumi yang akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT. Faktor pemahaman agama tersebut sangat menarik walaupun disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak perempuan yang sangat ingin terlibat ke dalam struktur organisasi bahkan menjadi ketua sekalipun. Namun, kembali pada konteks partisipasi dalam kepengurusan ternyata dapat disimpulkan bahwa memang terjadi ketimpangan dalam struktural. Walaupun faktornya adalah perempuannya sendiri yang menyatakan kurang setuju jika perempuan menjadi ketua, namun sebagaimana organisasi modern dan tertuang dalam AD-ART, bahwa semua anggota FKMSB memiliki kesempatan yang sama dalam struktural. Mengingat sebagian perempuan juga mempunyai keinginan yang kuat terlibat dalam posisi yang lebih strategis. Seharusnya
66
anggota perempuan tidak selalu mendapatkan posisi yang bias gender yang selalu diposisikan diseksi konsumsi dan perlengkapan saja. 3. Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge Diskusi mingguan merupakan salah satu wadah pengembangan knowledge dan program ini sudah rutin diagendakan dan disepakati dalam rapat kerja (Raker) yang dihelat di Mampang Jakarta Selatan pada 12 Januari 2015. Pengembangan knowledge atau keilmuan ini sangat sejalan sebagaimana tujuan dasar berdirinya FKMSB itu adalah reaktualisasi kaum santri dan meningkatkan nilai ukhwah di kalangan mahasantri Banyuanyar. Dan yang menjadi harapan adalah semua anggota dapat mengikuti dan mendapatkan hak yang sama untuk mengembangkan knowledge dalam forum diskusi tersebut tak terkecuali anggota perempuan dalam hal ini. Tapi yang sangat mencengangkan ternyata dalam forum ini, tak satupun anggota perempuan terlibat dalam program pengembangan knowledge baik dalam segi kehadiran sebagai audiens maupun keterlibatan sebagai pemateri. Berikut data partisipasi perempuan dalam pegembangan knowledge dalam forum diskusi mingguan: Tabel.III.B.III. Partisipasi Perempuan Dalam Pengembangan Knowledge di Forum Diskusi FKMSB Jabodetabek 2014/2015
2
Mei
3
Juni
1
Bln/ Minggu
April
No
Tema Diskusi
Pemateri
I
Kajian Tokoh timur tengah
II
Ekonomi Konfensional
III
Libur
IV
Sejarah Nusantara
I II III IV I II III
Pelatihan Jurnalistik Survival Jurnalisme Kode etik Jurnalis Tafsir Hermantika Tokoh AliSyariaty Tokoh Sosiologi Ulumul Qur’an Kajian Tokoh Tirto Adhi Soerjo
VI
Audience
Jumlah
Pr
Lk
Mukit Kosim Rahman Kosong Hotibul Umam Moh Toha Musyfiq Moh Melqy Mursidi Moh Melqy Haviz al asad Ust Mukit
-
30
30
-
25
25
-
-
-
-
29
29
-
20 21 19 23 24 27 27
20 21 19 23 24 27 27
Sulaiman
-
24
24
(Sumber data : Ketua bidang kajian mingguan FKMSB wilayah Jabodetabek)
67
Dari data tersebut tidak ada satupun perempuan yang mendapat kesempatan menjadi moderator dan hadir sebagai audiens. Hal ini sepintas terlihat jelas bahwa tidak adanya partisipasi dalam pengembangan knowledge ini mencerminkan adanya ketimpangan yang sangat mencolok. Namun setelah ditanya mengapa partisipasi perempuan dalam pengembangan knowledge ini tidak pernah ada satupun yang terlibat. Dua informan perempuan berikut ini menjawab. Sebenarnya bukan gak mau terlibat atau gak dilibatkan, Cuma waktu dan jaraknyaitu yang jadi kendala, diskusinya kan malem.. jadinya gak mungkin kalo malem-malem perempuan hadir kan,,,!? Apalagi jauh-jauh ke ciputat!! (Wawancara pribadi denganBS, Mampang, 28 maret 2015 19:00) Dilibatkan juga sih..,smsnya juga dapet, Cuma kurang diberdayakan menurut saya. kadang pengin hadir juga, cuma perempuannya sedikit yang hadir jadinya males gitu, yah.... kadang perempuan juga jadi partisipasi pasif sih... (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30). Namun sebaliknya dari semua informan laki-laki hanya ada satu informan saja yang mengaku tidak bisa mengikuti dalam forum diskusi mingguan itu. Sebenarnya pengin hadir cuma jauh banget ke ciputat, kan tinggalnya di depok…!? (Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 Maret 2015 09:00) Data ini menjelaskan bahwa kurangnya keterlibatan anggota dalam forum diskusi mingguan ini jelas karena faktor jarak dan waktu, namun beberapa alasan lain yang juga menjadi penyebab adalah kehadiran anggota perempuan yang terkadang hanya menjadi partisipasi pasif, sehingga membuat anggota perempuan semakin tidak bisa berpartisiapsi dalam forum tersebut. Namun alasan yang paling umum adalah faktor jarak dan waktu yang kurang pas. Hal ini juga sependapat dengan ketua bidang diskusi mingguan sebagai faktor kurangnya partisipasi anggota perempuan khususnya dalam mengikuti forum diskusi ini. Kami sebagai panitia sebenarnya sudah menginformasikan kesemua anggota, Cuma mungkin yang jadi kendala memang jarak yang jauh ya.. jadi tidak memungkinkan semua anggota terlibat secara maksimal. (Wawancara pribadi dengan SY, Jakarta, 30 Maret 2015)
68
Secara keseluruhan informan perempuan memberikan jawaban yang serupa atas alasan ketidakhadiran dan kurang terlibatnya dalam forum diskusi mingguan tersebut. Bahwa Selain karena faktor jarak dan waktu, perempuan juga merasa malas dan tidak nyaman sehingga merasa kurang percaya diri ketika lebih banyak laki-laki yang hadir mengikuti forum diskusi tersebut. Dalam konteks ini kurangnya keterlibatan anggota perempuan murni bukan karena dari perempuannya sendiri yang kurang berupaya mengikuti forum tersebut, namun lebih karena faktor jarak dan
waktu. dan dalam
pengembangan knowledge ini sangat tampak karena kebijakan pengurus dalam hal ini anggota laki-laki yang kurang mempertimbangkan perempuan dalam memutuskan waktu dan tempat acara diskusi tersebut yang kemudian sangat tidak menguntungkan perempuan. Sehingga acara tersebut menjadi acara yang tidak berkesetaraan gender dan hanya bisa dirasakan oleh anggota laki-laki saja. Seharusnya dalam perhelatan acara ini, pihak pengurus ada yang memfasilitasi anggota perempuan untuk alat transportasi misalnya antar jemput. Pertimbangannya adalah kalau malam-malam perempuan tidak aman dan rawan kejahatan. Dan selebihnya yang menjadi faktor penyebab adalah karena anggota perempuan merupakan kelompok minoritas dan kurang dilibatkan dalam forum-forum tertentu. Bahkan walaupun terlibat sekalipun terkadang hanya menjadi pelengkap dan menjadi partisipasi pasif. Dari data penelitiaan awal juga menunjukkan bahwa dalam Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang terakhir di Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak perempuan tidak dilibatkan atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya menjadi penonton dan pendengar semata, Sehingga seluruh keputusan RAKORNAS itu adalah murni keputusan laki-laki.
69
C. KONTROL MAHASANTRI DALAM ORGANISASI Dalam Gender Analysis Pathway (GAP) kontrol diartikan sebagai penguasaan, wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan yang menunjukkan akan peran seseorang dalam sebuah kelompok sosial baik itu kelompok ekonomi, sosial, dan politik. Ahli gender yang lain juga mendefinisikan bahwa kontrol sering bisa dipahami dari sebuah pertanyaan berikut ini, ”Who has what? (Siapa punya apa?) Dalam konteks ini penulis ingin memfokuskan pada dua sub bab: Jumlah keterlibatan mahasantri dalam beberapa posisi struktural, serta kontrol terhadap mahasantri dalam relasi organisasi. 1. Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi Struktural Dalam konteks ketimpangan relasi gender dalam aspek kontrol ini, penulis ingin melihat keseluruhan mahasantri FKMSB dari beberapa tahun terahir ini, baik dalam jumlah keterlibatan keanggotaan maupun dalam posisi strategis distruktur kepengurusan. Tentunya dominasi diantara keduanya akan sangat berdampak pada pengambilan keputusan dan berpengaruh juga pada siapa yang paling punya power dalam menentukan kebijakan. Berikut data keanggotaan dan beberapa posisi dalam struktur kepengurusan dalam tiga tahun terahir. Tabel.III.C.I. Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri Dalam Posisi Struktural
TAHUN
Perempuan
Laki-laki
Perepuan
Laki-laki
Perempuan
1.
2014/2015
83
31
20
7
1
0
1
0
1
0
1
0
2.
2013/2014
74
29
18
7
1
0
1
0
1
0
1
0
3.
2012/2013
65
24
15
6
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
1
0
1
Laki-laki
NO
Laki-laki
Keterlibatan Dalam Posisi Bendahara
Perepuan
Keterlibatan Dalam Posisi Sekretaris
Laki-laki
Keterlibatan Dalam Posisi Wakil
Perempuan
Keterlibatan Dalam Posisi Ketua
Laki-laki
Keterlibatan Dalam Struktural
Perempuan
Jumlah Keanggotaan
4.
2011/2012
(Sumber data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek)
70
Dari tabel ini bisa terlihat bahwa anggota laki-laki lebih dominan pada jumlah keanggotaan maupun dalam posisi struktural. Namun berdasarkan presentase jumlah keanggotaan dari tahun 2012-2013 sampai 2014-2015 dapat dikatakan keterlibatan perempuan dalam struktural mengalami peningkatan. Dan pada tahun 2014/2015 ternyata dari 83 anggota laki-laki hampir 40% terlibat dalam struktural, Sedangkan dari 31 anggota perempuan hampir 25% terlibat dalam struktur, presantase ini sudah cukup dikatakan seimbang dan proporsinal mengingat jumlah keanggotaan laki-laki jauh lebih banyak daripada anggota perempuan yang kemudian menyebabkan anggota perempuan lebih sedikit mendapatkan posisi dalam struktural. Namun yang tetap menarik disisi lain adalah keterlibatan perempuan dalam mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam struktur. Hal ini masih sejalan dengan data-data sebelumnya bahwa anggota perempuan lebih sedikit mendapatkan posisi strategis di struktural. Berdasarkan hasil temuan data diatas menunjukkan bahwa, tak ada satupun perempuan yang pernah mengisi posisi ketua ataupun wakil, dan pada posisi sekretaris dan bendahara hanya sekali dan itupun pada periode 2011-2012 tiga tahun yang lalu. Pada konteks ini secara jelas anggota perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak strategis, sedangkan sebaliknya anggota laki-laki mendapatkan posisi yang strategis. Dalam struktur organisasi tentunya posisi yang lebih strategis ini sangat berpengaruh pada siapa yang mempunyai kontrol dan power, semua kebijakan akan lahir dari elit organisasi ini. Dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam konteks ini akan sangat merugikan. Terlebih dalam menentukan suatu kebijakan terkadang perempuan kurang dihiraukan, kurang mendapatkan informasi, bahkan dalam programprogram tertentu seringkali tidak dilibatkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian awal bahwa dalam program sosialisasi ke pondok pesantren Banyuanyar. Dalam
71
perhelatannya tak pernah sekalipun anggota perempuan diikutkan. Dan masih banyak lagi dalam beberapa kegiatan yang lain anggota perempuan kurang dilibatkan. Dan kebenaran ini diakui oleh beberapa informan perempuan Jarang dilibatkan,,, kadang ngadain acara aja kita tidak tau, dan parahnya lagi taunya dari orang lain bukan dari kelompok kita maksudnya, ini kan aneh masak organisasi kita yang tau programnya malah orang lain. Ia mungkin ada benarnya juga karena dominasi laki-laki, Saya sih sampe beranggapan organisasi ini emang mau diurus oleh laki-laki saja ya... (Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21 Maret 2015 19:00) Dilibatkan sih iya... kan biasanya dibicarakan dalam forum atau rapat gitu... Cuma kurang diberdayakan menurut saya, dalam forum itu kan lebih banyak laki-laki... wajarlah kalau hampir semua kebijakan itu lahir dari laki-laki. Ahirnya Perempuan ikut-ikut aja. kan biar kompak!? (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30). Salah satu informan mengatakan bahwa, ketika suatu kebijakan selalu menegedepankan laki-laki saja hal itu tentunnya sudah sangat merugikan perempuan. Yang jelas ketika dalam suatu kebijakan cuma lebih mengedepankan laki-laki itu sudah merugikan perempuan. Biasanaya kalau ngadain sosialisasi ke pesantren di madura belum pernah FKMSB itu mengutus perempuan, setiap tahun selalu anggota laki-laki (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30) Hal ini semakin menegaskan bahwa dominasi laki-laki dalam aspek kontrol ini sangat kental bahwa laki-laki lebih punya otoritas dan sebagai anggota yang lebih dominan serta sebagai elit organisasi, tentunya dengan posisi tersebut anggota laki-laki lebih mempuyai otoritas terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang pada akhirnya akan sangat menguntungkan kelompok mayoritas saja,
Menurut Kamla
Bashim (1996: 1) Dominasi laki-laki dalam sebuah kelompok akan sangat mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan dimana selama ini laki-laki selalu menempati di garis terdepan dan selalu menduduki posisi superior. Sedangkan disisi lain perempuan senantiasa menjadi sosok yang tersubordinasidan inferior sehingga selalu menjadi sosok yang tertindas dan sangat tidak diuntungkan.
72
2. Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi Dalam suatu organisasi seharusnya relasi antara laki-laki dan perempuan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Dari berbagai ketimpangan yang kemudian menjelaskan adanya kontrol yang kuat dari lakilaki terlihat dominasi laki-laki dalam setiap lini. Sehingga membuat perempuan lebih inferior dari anggota laki-laki. Dalam konteks kontrol mahasantri dalam relasi organisasi ini, ternyata ditemukan beberapa arahan dan campur tangan keluarga pesantren ( Neng : Putri kiayi) yang seringkali secara tidak langsung melarang anggota perempuan untuk tidak terlalu bergabung dengan para anggota laki-laki dalam organisasi. Bahkan dalam beberapa pertemuan, menurut salah satu informan yang tak ingin disebutkan identitasnya menyatakan bahwa, Neng seringkali menginstruksikan supaya menggunakan tabir dalam setiap acara FKMSB. Salah satu instruksi yang sering Neng tekankan adalah menghadirkan tabir dalam setiap rapat dan pada pertemuan-pertemuan FKMSB. yah... mungkin biar lebih terjaga aja hubungan antara Ikhwan dan Akhwat (Wawancara pribadi dengan X, Jakarta 14, April 2015). Salah satu informan perempuan yang lain juga menuturkan Pernah suatu hari ada rapat yang melibatkan anggota perempuan dan laki-laki dan saat itu tidak menggunakan tabir, keesokan harinya mereka dilarang mengikuti kegiatan lagi, dan mengancam pula untuk membentuk organisasi khusus perempuan, yang terpisah secara struktur organisasi (Wawancara pribadi dengan X, Mampang, 23 Maret 2015) Namun demikian, menurut beberapa informan anggota yang dekat dengan Neng seperti HB (Mantan Kordinator Akhwat FKMSB Jabodeabek) ahirnya mampu menegosiasikan hal ini dengan Neng sehingga ancaman itu ahirnya tidak terjadi. Dan akhirnya kontrol yang mereka punyai dan jalankan lebih banyak berperan dalam konteks domestik perempuan itu sendiri. Seperti memposisikan dirinya dalam seksi perlengkapan, konsumsi. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai penghambat bagi 73
perempuan dalam mendapatkan akses dan partisipasi anggota perempuan dalam proses berorganisasi secara demokratis dan profesional. Sehingga dalam relasinyapun berdampak pada kontrol perempuan dalam relasi organisasi yang kurang harmonis karna disatu sisi ada yang mendukung arahan ataupun instruksi tersebut, dan disisi lain malah tidak meresponnya. sehingga tidak mengherankan jika anggota perempuan maupun anggota laki-laki sampai detik ini terkesan kurang harmonis dan kurang kompak dalam relasi organisasi. Padahal kalau mengkaji lebih dalam di Al-Qur’an sendiri sebagai pegangan umat Islam khususnya kaum santri, di samping Al-Hadits, menegaskan bahwa lakilaki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun
intelektual.
Dalam
penyampaian
pesannya,
menggunakan
ungkapan “laki-laki
dan
perempuan
pengakuannya
terhadap
hak
dan
kesetaraan
Al-Qur’an
seringkali
beriman” sebagai
kewajiban
mereka. Dalam
bukti hal
kewajiban agama, Al-Qur’an juga tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara keduanya (Ali Munhanif, 2002: xxvi). Dari data tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa melemahnya kontrol ini tidak hanya karena dominasi laki-laki dalam struktur ataupun dalam keanggotaan, melainkan juga adanya campur tangan dan instruksi keluarga pesantren yakni Neng, yang kemudian lebih banyak mengarahkan untuk tidak teralalu berinteraksi dalam proses berorganisasi, sehingga relasi antara keduanyapun kurang harmonis dan anggota perempuan tidak banyak ikut serta membangun dan mengambil kesempatan untuk terlibat lebih aktif dalam organisasi ini. Dan yang Kedua, budaya patriarkhi yang masih kental bahwa anggota laki-laki selalu menduduki posisi paling depan, sehingga kerapkali keterlibatan perempuan dalam beberapa kegiatan tidak maksimal dan selalu
74
lebih dominan dalam pekerjaan yang bersifat domestik. Budaya patriarkhi ini juga mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada ahirnnya memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan menunjukkan dominasi anggota laki-laki dalam setiap lini. Dari data tersebut tampak dominasi anggota laki-laki sebagai sosok yang mempunyai kontrol yang akan selalu memberikan perlakuan kurang adil sehingga perempuan sebagai kelompok minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas, dan hubungan antara keduanyapun sering menimbulkan konflik yang ditandai oleh sikap subyektif seperti prasangka dan tingkah laku yang tak bersahabat (Schwingenschlogl, 2007: 32) Sebagai data yang masih bisa digali lebih dalam, kemudian penulis juga sempat menanyakan ke beberapa informan sehubungan dengan instruksi Neng yang menganjurkan penggunaan tabir dan selalu menyarankan perempuan untuk selalu menjaga diri dan membatasi interaksi dengan laki-laki dalam relasi organisasi dalam kegiatan FKMSB. Hal ini tergambar jelas bahwa hampir semua informan tidak setuju dengan instruksi tersebut. Seperti pada tabel berikut : Tabel III.C.II.Beberapa Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan No
Nama
Latar Belakang Pendidikan
Instruksi Penggunakan Tabir dalam suatu acara Setuju
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
IM HO MZ HZ JU BS AH AM KR AR ME EV
Jumlah
UIN Lipia UMJ Al-Hikmah Al-Hikmah Al-Hikmah Unindra Hidayatullah Ganesha UIN UIN Lipia
Tidak Setuju √
kondisional √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4
7
1 12
75
Instruksi Membatasi Diri Dengan Dalam Relasi Organisai . Tidak Biasa saja/ Setuju Setuju Tidak tau √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4 7 1 12
Dari data ini menyatakan sebagian besar informan tidak setuju dengan instruksi Neng. sebanyak 7 dari 12 Informan menyatakan tidak setuju dengan instruksi penggunaan tabir dalam beberapa acara, dan hanya empat informan saja yang setuju. Disisi lain instruksi kepada perempuan untuk membatasi diri dengan laki-laki dalam relasi organisai juga tidak jauh berbeda dengan konteks sebelumnya yakni 7 dari 12 Informan menyatakan tidak setuju, Namun 4 diantaranya menyatakan setuju dengan beberapa alasan yang berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa ternyata tidak semua instruksi dari Neng disetujui oleh anggota, Namun yang menjadi kemungkinan besar adalah tingginya nilai-nilai pengetahuan keagamaan yang kemudian anggota FKMSB selalu menghargai status yang disandangnya sehingga instruksi tersebut seringkali dipenuhi walaupun terasa berat untuk dijalani. D.MANFAAT YANG DIDAPATKAN DALAM ORGANISASI Manfaat dalam Gender Analysis Pathway (GAP) adalah: Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan? Dalam konteks ini penulis ingin melihat pada beberapa program yang sudah dijalankan, dalam konteks organisasi FKMSB ini perempuan dan laki-laki idealnya bisa mendapatkan manfaat yang sama dan setara. Dan untuk terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, berpartisipasi, dan kontrol atas organisasi serta memperoleh manfaat yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan (Faqih : 1997- 13) 1. Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Program FKMSB Aspek pengambilan manfaat yang sama ini menjadi salah satu aspek yang paling nyata dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kurangnya akses dan minimnya kesempatan perempuan dalam konteks partisipasi akan berpengaruh terhadap 76
pengambilan manfaat yang rendah dan tidak setara, begitu juga melemahnya kontrol dari perempuan itu sendiri menyebabkan proses pengambilan manfaat yang tidak sama dengan laki-laki. Dengan demikian anggota perempuan akan sangat dirugikan. Dalam konteks yang lebih konkrit ini misalnya anggota perempuan memang tidak banyak terlibat dalam diskusi mingguan, kepenulisan modul dan beberapa pengembangan skill dan knowledge sehingga hal itu sangat berdampak pada aspek manfaat yang sampai saat ini perempuan kurang bisa merasakan mendapatkan manfaat yang sama. Kuranglah... mungkin kedepannya bisa ditingkatkan lagi, dan perempuan lebih banyak terlibat (Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 MARET 2015 19:00) Informan laki-lakipun juga menuturkan Memang Kurang sih..., mungkin masih proses aja menuju kesetaraan. Ini perjuangan dan saya rasa ini tidak gampang (Wawancara pribadi dengan ME, Jakarta 30 Maret 2015) Dari beberapa data sebelumnya sudah menunjukkan bahwa dalam beberapa program
kegiatan,
anggota
perempuan
mengalami
subordinasi
dan
selalu
mendapatkan perlakuan kurang profesional, bahkan dalam struktur kepengurusan juga mengalami stereotype bahwa perempuan lemah dan kurang pantas menjadi leader. Sehingga tak pernah sekalipun anggota perempuan menjadi ketua, wakil maupun sekretaris dalam suatu program FKMSB, seperti terlihat jelas pada tabel (III,B,I Partisipasi Perempuan Dalam Skill Managerial) Dan dapat disimpulkan bahwa dalam konteks manfaat ini perempuan sangat tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan anggota laki-laki.
77
Tabel.III.D.I. Manfaat Mahasantri Dalam Pelaksanaan Program FKMSB PROGRAM KEGIATAN FKMSB No
Kegiatan 2014/2015
Menjadi ketua panitia
Menjadi Sekretaris
Menjadi Bendahara
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan -
1
Musyawarah Besar
√
-
√
-
√
2
Pengkaderan Anggota Baru
√
-
√
-
√
-
3
Milad 50 Tahun FKMSB
√
-
√
-
-
√
3
Rakornas
√
-
√
-
√
-
4
Musywil
√
-
√
-
√
-
5
Perayaan Maulid Nabi
√
-
√
-
√
-
6
Seribu waqaf Al-qur’an
√
-
√
-
√
-
Jumlah
5
0
5
0
4
1
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan, ternyata tak sekalipun anggota perempuan terlibat di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa, ternyata dalam setiap acara FKMSB anggota perempuan tidak mendapatkan manfaat yang sama dalam proses merealisasikan beberapa acara tersebut. Baik pemanfaatan dalam struktural maupun dalam relasi keduanya dalam suatu agenda yang melahirkan ilmu pngetahuan dan wawasan. 2. Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek Dan yang paling menarik lagi, dalam konteks manfaat ini anggota perempuan juga tidak mendapatkan tempat atau Basecamp khusus seperti yang sudah didapatkan oleh anggota laki-laki beberapa tahun yang lalu.Sampai saat ini FKMSB Jabodetabek hanya memfasilitasi anggota laki-laki saja. Dan sebagai informasi bahwa pengadaan basecamp ini juga sedikit banyak dibantu secara finansial oleh beberapa senior untuk pembayaran sewa tempatnya. Tentu hal ini akan sangat membantu secara finansial. Namun tidak demikian dengan anggota perempuan yang kemudian memilih untuk bertempat tinggal di Kos-kosan. Iya…. kita ngekos. Kebetulan cewek-ceweknya kan sedikit yang di ciputat, gag, paling kalau ada acara aja ke Basecamp. basecamp itu kan cuma buat laki-laki saja. (Wawancara pribadi dengan MZ,Jakarta, 23 Maret 2015). 78
Iya kan perempuannya kebetulan juga sedikit, paling yang tinggal berdekatan 5 orangan aja, yaudah kita ngekos aja. pengennya sih punya Basecamp juga,, Cuma mau gimana lagi. Kan udah ada cowok-cowoknya. (Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 Maret 2015 19:00) Hal senada juga disampaikan informan yang lain bahwa Basecamp FKMSB ini hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja. Iya memang... karna yang tinggal diciputat itu lebih banyak laki-laki jadi ditampung di Basecamp. Gag lah... ntar yang ada timbul fitnah kalau di basecamp perempuan sama laki-laki. (Wawancara pribadi denganKR, Jakarta, 27 maret 2015) Dari beberapa data tersebut menunjukkan bahwa pengadaan Basecamp ini hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja, tapi tidak dengan anggota perempuan yang sebenarnya juga menginginkan pengadaan Basecamp tersebut yang dianggap akan sedikit lebih membantu secara finansial dan tentunya akan lebih fokus dalam berorganisasi. Namun hal ini tidak pernah terfikirkan oleh pengurus FKMSB. Tabel.III.D.II. Manfaat Pengadaan Basecamp FKMSB No
Nama
MANFAAT
Jenis Kelamin
Pengadaan Basecamp Ada
Tidak Ada √ √ √ √ √ √ √
Perempuan
IMO HOL MUZ HZA JUW SHO EVI AHM KRA ABR MEL ABH
√ √ √ √ √ 5
Laki-laki
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jumlah
7 12
Dalam konteks pengambilan manfaat, Beberapa temuan lebih banyak disebabkan oleh karena dua hal, pertama, selain karena dominasi laki-laki yang sangat kuat, juga disebabkan oleh anggota laki-laki yang kurang sensitif dan kurang peka untuk melibatkan anggota perempuan dalam setiap proses organisasi yang mereka 79
jalani. Akibatnya perempuan tidak dapat mengakses, mengontrol dan mengambil manfaat secara langsung dalam setiap kebijakan dan dari setiap program yang mereka agendakan. Tentu logika sederhananya adalah, tanpa terlibat tidak mungkin dapat mengambil maafaat yang maksimal pada sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan. Kedua, adalah keengganan perempuan untuk terlibat, hal ini besar kemungkinan disebabkan adanya instruksi Neng yang kemudian berdampak pada pengambilan manfaat yang belum terpenuhi secara maksimal dan tak sesuai harapan. Bahkan dalam pengadaan Basecamp sekalipun, tergambar jelas bahwa tidak satupun anggota perempuan yang bisa menempatinya dan hal itu hanya dikhususkan untuk anggota laki-laki saja . Hal ini menunjukkan bahwa sampai persoalan fasilitas sekalipun, ternyata anggota perempuan belum mampu mendapatkan manfaat yang sama, dan masih sangat jauh dari kata-kata proporsional. Dan disisi lain pengurus FKMSB yang lebih banyak diisi oleh anggota laki-laki kurang begitu memahami dan tidak punya inisiatif untuk membentuk Basecamp khusus untuk anggota perempuan. Dalam konteks ini jelas-jelas kurangnya akses, partisipasi dan kontrol yang lemah yang dirasakan anggota perempuan, secara otomatis selanjutnya juga akan melahirkan kurangnya manfaat yang seharusnya bisa dapatkan. Dan dari beberapa hasil penelitian ini sudah menujukan bahwa dalam relasi mahasantri dalam organisasi FKMSB sejauh ini masih tampak ada ketimpangan dalam setiap aspek.
80
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Orgaisasi FKMSB Ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB ini, banyak ditemukan dalam beberapa aspek. Dalam konteks akses ternyata anggota perempuan kurang mendapatkan akses dan peluang untuk mencalonkan diri dalam posisi struktural organisasi. Bahkan Dalam pengembangan Skill dan knowledge, ternyata ditemukan bahwa anggota perempuan tak sekalipun mendapatkan akses menjadi MC ataupun Moderator, sehingga anggota laki-laki dalam konteks akses ini lebih dominan dalam segala aspek. Terlebih dalam kepenulisan modul FKMSB, ternyata anggota perempuan tak satupun mendapatkan informasi dalam penyusunan da kepenulisan tersebut. Semakin mencolok adanya ketimpangan yang dalam organisasi FKMSB ini ketika anggota perempuan seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dan mengalami tindakan subordinat dan stereotype bahwa perempuan dianggap lemah dan tidak punya kapasitas menjadi leader. Disisi lain dalam konteks partisipasi mahasantri dalam pengembangan skill Managerial, keterlibatan perempuan juga sangat minim. Hal ini berdasarkan temuan bahwa dalam beberapa program yang dihelat FKMSB tak satupun anggota perempuan yang mendapatkan kesempatan menduduki posisi yang strategis sehingga kesempatan dalam mendapatkan pengetahuan memimpin (skill managerial) tidak ada. Partisipasi dalam pengembangan Knowledge juga tampak tidak maksimal, hal ini terlihat bahwa dalam program
81
diskusi mingguan tak sekalipun anggota perempuan dilibatkan menjadi moderator, pemateri bahkan dalam tiga bulan selama peneitian ini berlangsung tak satupun anggota perempuan yang hadir menjadi audiens. Sehingga dalam konteks partisipasi ini anggota laki-laki lebih banyak berpartisipasi dalam proses berorganisasi. Dalam konteks kontrol, penelitian ini menemukan dominasi anggota laki-laki dalam jumlah keanggotaan dan dalam posisi struktural yang hampir semua posisi struktural diisi oleh anggota laki-laki saja. Hal ini menunjukkan betapa dominanya anggota laki-laki yang secara tidak langsung menjadi sosok yang paling mempunyai power, pemegang kendali dan kebijakan yang dapat mengontrol organisasi ini seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan dalam beberapa temuan ini, tidak jarang anggota perempuan tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan bahkan dalam kegiatan tertentu. Sehingga Dalam konteks kontrol ini jelas anggota perempuan sering mengalami penindasan dan dalam relasi organisasi antar keduanya terjadi tidak balance. Dan dalam konteks pamanfaatan, menunjukkan bahwa anggota perempuan kurang mendapatkan porsi yang sama seperti apa yang sudah didapatkan dan dirasakan oleh anggota laki-laki. manfaat dalam mendapatkan pengetahuan dan wawasan dalam struktur kepengurusan dan dalam mensukseskan beberapa program. Hal ini hanya bisa dirasakan oleh sebagian besar anggota laki-laki saja, sedangkan anggota perempuan lebih banyak diberikan posisi perlengkapan dan konsumsi sehingga manfaat yang didapatkan anggota perempuan sangat tidak sesuai dengan harapan dan tidak menujukkan adanya ketimpangan antar anggota. Bahkan untuk sekedar menempati Basecamp saja perempuan tidak bisa. Hal ini tidak lepas karena kurangnya kepedulian pengurus FKMSB yang dihuni oleh sebagian banyak anggota laki-laki. 82
2. Faktor Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Organisasi FKMSB Beberapa faktor penyebab terjadinya ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek adalah 1. Budaya Patriarkhi Budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan laki-laki sebagai tokoh sentral dalam relasi kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berlaku dalam organisasi FKMSB, sehingga perempuan selalu menjadi the second class dan mendapat perlakuan yang kurang profesional dalam realitas organisasi. Kultur organisasi yang terkonstruksi oleh budaya patriarkhi ini sudah sekian lama tertanam sejak dari asal mereka yaitu pulau Madura. Hal ini diperkuat dengan temuan data bahwa sampai detik ini pucuk kepemimpinan tertinggi masih kokoh dipimpin oleh anggota laki-laki. Semakin komplek dalam konteks ini anggota perempuan selalu mendapat tantangan yang sangat besar dari kelurga kyai terutama dari putri-putrinya, sehingga ruang gerak dan keterlibatan perempuan dalam organisasi FKMSB semakin terbatas. 2. Pemahaman Agama Semua anggota FKMSB merupakan mantan santri, dimana mereka menempuh pendidikan di pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang masih belum terbuka dalam konteks isu-isu gender dan masih menerapkan metode salaf berupa mengaji kitabkitab salaf seperti kitab yang dianggap benar dan harus diikuti, walaupun disisi lain tidak sedikit yang dikritisi para aktivis gender karena mangandung konstruksi yang bias gender. seperti beberapa dalil al-qur’an yang ditafsirkan bahwa hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin, dan corak keagamaan yang fiqih centres ini masih sangat kental mempengaruhi kultur kehidupan mereka sehari-hari, baik
83
dalam sosial budayanya dan keagamaannya sehingga dalam konteks ini tidak heran jika perempuan selalu mendapatkan perlakuan subordinat dan sering mendapatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak punya kapasitas untuk menjadi pemimpin. 3. Lemahnya pola relasi dalam organisasi Pola komunikasi dan relasi anggota baik laki-laki maupun perempuan disini terlihat masih kurang terbuka dalam konteks relasi keduanya, sehingga juga mempengaruhi efektifitas organisasi. Hal ini juga didukung dengan temuan bahwa masih terjadi beberapa perlakuan yang kurang profesional dengan masih adanya penunjukan langsung dalam menentukan posisi di struktur organisasi. 4. Basis pendidikan yang berorientasi fundamentalis Semua Santri yang sudah lulus dari pondok pesantren Banyuanyar melanjutkan kuliah ke beberapa kampus di Jabodetabek dan sangat jarang memilih perguruan tinggi berbasis umum apalagi ke UIN yang sempat mendapat klaim Liberal. Terlebih anggota perempuan lebih banyak memilih perguruan tinggi yang tergolong Islam aliran timur tengah, seperti LIPIA, Al-Hikmah,An-Nuaimi dan Hidayatullah yang semua itu merupakan pola pendidikan berbasis Fundamentalis. Hal ini sangat terlihat ketika mahasantri dari kampus tersebut memberikan pendapat dan mengklaim suatu pendapat dan dalilnya harus dikuti dan harus dibenarkan. Hal ini juga dianggap menjadi faktor kurangnya keterlibaan anggota perempuan dalam proses berorganisasi secara profesional.
84
B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek ini, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan baik yang bersifat akademis maupun praktis yang akan ditujukan: 1. Untuk Organisasi FKMSB Perlu diupayakan sebuah pendekatan dan pembelajaran untuk meningkatkan sensitivitas gender di kalangan anggota FKMSB berupa diskusi ataupun kajian tentang relasi gender agar terwujud pemahaman yang sadar gender sehingga semua anggota mendapatkan kesempatan dan hak-hak yang sama dalam relasi berorganisasi. 2. Untuk Pesantren Banyuanyar Perlu adanya keterbukaan komunikasi yang kemudian meningkatkan sensetivitas gender bagi pengasuh, para ustadz dan ustadzah, sehingga dapat memberikan arahan bahkan kebijakan yang kemudian memberlakukan pembelajaran terkait gender yang seharusnya diberikan sejak dini kepada para santri di pesantren. Dan selebihnya mulai diberikan beberapa penjelasan dan arahan terkait pendidikan berspektif gender, yang kemudian diharapkan lulusan pesantren dapat memahami dan mempunyai persepsi yang baik dalam konteks realitas sosial saat ini. Selanjutnya, juga perlu adanya keterbukaan komunikasi antara pengurus dan keluarga Pesantren
terkait anggota FKMSB perempuan serta peran pengurus perempuan yang
selama ini masih terlihat kaku dan terkesan kurang berani tampil kedepan karena stigma perempuan yang masih kental akan budaya patriarki dan selalu diposisikan sebagai the second class.
85
Peran pengurus pusat FKMSB, pengurus pesantren dan keluarga pesantren sangat tepat untuk membicarakan dan menentukan beberapa kebijakan dengan harapan terciptanya relasi organisasi FKMSB yang lebih baik terlebih bagi anggota perempuan kedepan. 3. Untuk Pemerintah dan Kementerian Agama Perlu adanya kebijakan pemerintah yang memberikan porsi yang cukup terhadap lembaga pendidikan di pesantren berupa pengetahuan sosial berspektif gender yang kemudian memungkinkan lulusan pesantren lebih melek memahami konteks realitas sosial, serta lebih responsif terhadap isu-isu gender yang berkembang dan semakin mengantisipasi adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Dan perlu adanya buku kurikulum berbasis agama dan pengetahuan umum yang dikomparasikan dengan standar nasional yang kemudian diberikan dan diajarkan dalam lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren dapat melahirkan sosok pelajar yang mempuni baik dalam pengetahun agama maupun dalam pengetahuan sosial.
86
Daftar Pustaka Affan dan Faiz azis. “Bara di Pulau Madura: Mengurai Konflik Syi’ah Sunni di Sampang Madura.” Yogyakarta. Suka press, 2014. Bologh, Roslyn Walach, Feminist Social Theorizing and Moral Reasoning: on Difference and Dialectic, Dalam Perkumpulan sosiologi Amerika, Social Teory. San Francisco: Jose-Bass, 1984. Faiz Aziz, Feminisme Marxis Dalam Ruang Sosial “Kita” Dewasa Ini. Tesis yang diperesentasikan dalam Forum Gerakan Mahasiswa Peduli Perempuan. Yogyakarta: UIN SUKA, 2015. Faiz
Aziz, Komunitas Hijabers: Komodifikasi, Elitisme dan Identitas Keberagaman Muslimah Perkotaan. Yogyakarta: Suka Press, 2015.
Fadilah, Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jabodetabek bekerjasama dengan McGill Project/IISEP, 2003. Jamhari. Citra Perempuan Dalam Islam. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Mulia, Siti Musdah. “Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Jender,” Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Agama, 2005. Mulia, Siti Musdah. “Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam.” Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003. Rohmaniyah, Inayah. “Konstruksi Patriarki dalam Tafsir Agama: Sebuah Perjalanan Panjang.” Yogyakarta: Dandra Pustaka Indonesia, 2014. Soekanto. “Beberapa Teori Sosiologi Tentang Masyarakata.” Jakarta: Rajawali Press, 1993. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar penelitian Kualitatif, terj. Djunaidi Ghony. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997. Sukri, Sri Suhandjati. “Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. “ Yogyakarta: Gama Media, 2002. Veeger, K.J. “Realitas Sosial: Refleksi Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi,” Jakarta: Gramedia, 1993. Mulia, Siti Musdah. “Islam Menggugat Poligami.” Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. LXXXVI
Megawangi, Ratna. “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.” Bandung: Mizan, 1999. Nasaruddin, H. Umar. “Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci.” Jakarta: PT Fikayati Aneska, 2000. Nunuk, A, dan Murniati. “Getar Gender,” Magelang: Yayasan Indonesia Tera Anggota IKAPI, 2004. Nurhaeni, Dwi Astuti. “Gender Analisys Pathway (GAP) Alat Analisis Gender untuk Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Bappenas Bekerjasama dengan Kemenerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2007. Puspita, Hery. “Konsep, Teori dan Analisis Gender.” Sebuah makalah yang dipresentasikan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institute Pertenian Bogor, 2013. Puspitawati, H. “Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.” Bogor: PT. IPB Press, 2012. Veithzal Rivai. “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Damin, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Muhammad, Husein. “Fiqh Perempuan.” Yogyakarta: LkiS, 2007.
LXXXVII
MATRIKS Penelitian : Ketimpangan relasi gender Mahasantri dalam Organisasi FKMSB Jabodetabek. NO
1
INFORMAN
Anggota dan pengurus
INFO YANG DIGALI Relasi perempuan dalam kegiatan dan kesempatan berpartisipasi dalam program. Ketidak seimbangan dalam konteks apa Kesempatan perempuan dalam struktur kepengurusan Faktor yang menjadi kendala perempuan kurang terlibat dalam kegiatan dan pengembangan skill dan knowedge Faktor penghambat perempuan dalam menjabat di struktural
2
Pendiri dan ketua FKMSB
Sejarah dan perkembangan FKMSB Jabodetabek Konfirmasi data yang dirasa membutuhkan penegasan dan penjelasan
Wawancara dengan Informan 1. Informan diminta bercerita tentang relasi antara aki-laki dan perempuan dalam organisasi FKMSB. 2. Informan diminta menceritakan pengalaman – pengalaman yang berkaitan dengan akses, partisipasi dan kontrol dalam organisasi FKMSB. 3. Informan iminta menceritakan kendala dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi gender dalam organisasi FKMSB Jabodetabek.
Dokumentasi beberapa acara yang menggunakan pembatas atau tabir antara laki-laki dan perempuann dalam acara FKMSB Jabodetabek. Foto bersama ketua FKMSB wilayah Jabodetabek. Dan Basecamp FKMSB