KEMISKINAN
Tampaknya indikator pencapaian pembangunan manusia yang paling menonjol di Indonesia adalah penuninan kemiskinan. Ada beberapa pendapat tentang perhitungan garis kemiskinan, khususnya mengenai apakah pengukuran tersebut telah mencerminkan pengeluaran bukan makanan secara tepat. Oleh karenanya, pada tahun 1996 BPS memperbaharai metode perhitungan garis kemiskinan untuk memasukkan komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai. Perhitungan kembali angka kemiskinan untuk tahun 1996 telah meningkatkan perkiraan roporsi penduduk yang berada pada kisaran pendapatan kaum miskin dari 11% menjadi 18%. Menerapkan kriteria yang sama pada tahuntahun sebelumnya juga menggeser garis kemiskinan ke tingkat yang lebih tinggi dengan peningkatan yang kurang lebih sama (yaitu naik sekitar 7%). Walaupun demikian, meski digunakan angka yang telah dikoreksi tersebut, terlihat jelas bahwa selama periode 1970 hingga 1996, kemiskinan menurun drastis. Walaupun prestasi ini pantas mendapat pujian, masih ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Yang pertama adalah bahwa di Indonesia banyak masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan, sehingga perubahan kecil dalam kriteria kemiskinan akan mendorong lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan. Yang kedua adalah pencapaian ini mungkin lebih cendemng mempakan efek sampingan dari pertumbuhan ekonomi daripada merupakan hasil dari suatu strategi yang kliusus ditujukan untuk pengurangan kemiskinan. Ketiga, pada akhir masa 1980-an dan awal 1990-an, laju pengurangan kemiskinan semakin menurun karena sejak saat itu pertumbuhan lebih terkonsentrasi pada industri padat modal yang menyerap lebih sedikit tenaga kerja. Di samping itu, indikator-indikator ini juga tidak mengukur "derajat keparahan" kemiskinan. Kemiskinan pada mereka yang berada di golongan terbawall dari distribusi pendapatan/ konsumsi dan secara signifikan berada jauh di bawah garis kemiskinan cenderung lebih parah. Contohnya, 22,4% dari rumah tangga yang berada di seperlima bagian terbawall dari distribusi pengeluaran memiliki anak yang tidak mengenyam pendidikan dasar. Angka ini jauh di bawah garnbaran nasional yang hanya mencantumkan angka 12,5%. Gambaran yang sama juga terlihat pada rasio atau perbandingan antara golongan termiskin dan terkaya dalam meperoleh akses terhadap sumber air bersih (0,343), sanitasi yang memadai (0,18) dan listrik (0,71).
Literatur terbaru mengkaji tentang kemiskinan semakin diarahkan pada berbagai cara untuk mencoba mengungkapkan dimensi lain dari kemiskinan, di luar kemiskinan yang didasarkan pada tingkat pendapatan, dengan memberikan perhatian pada kebutuhan-kebutulian dasar seperti akses terhadap air bersih, pendidikan dan kesehatan. Pengukuran kemiskianan yang lebih luas adalah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) yang diperkenalkan oleh UNDP, dimana dilakukan kombinasi antara indikator-indikator angka harapan hidup, tingkat buta huruf, tingkat kekurangan gizi, dan akses terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan. IKM turun dari 27,6% pada tahun 1990 menjadi 25,2% pada tahun 1995 dan tetap stabil pada tingkat ini hingga tahun 1998. Suatu hal yang hams diperhatikan ialah bahwa IKM bukan suatu indeks yang menunjukkan jumlah kepala (orang) 'headcounf. Indikator-indikator yang mendasarinya tidak merujuk pada kelompok-kelompok masyarakat yang sama: contohnya, mereka yang buta aksara tidak selalu mereka yang tidak memiliki akses terhadap air bersih (misalnya, seseorang mungkin saja kaya raya tetapi tidak bisa membaca). Karena tumpang tindih antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ini tidak diketahui, maka nilai komposit IKM sebesar 24,2% tidak dapat diartikan 24,2% dari penduduk hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian, IKM memberikan suatu indikasi yang sangat bermanfaat mengenai perkembangan kemiskinan manusia antar waktu. IKM juga dapat diperbandingkan antar negara, atau antar propinsi yang berbeda di suatu negara. Di Indonesia, IKM berkisar antara nilai tertinggi 47,7% di kabupaten Jaya Wijaya di Man Jaya (Papua), hingga yang terendah 8,3% di Jakarta Utara.
Ketimpangan Salah satu ciri utama dari trasformasi ekonomi di Asia Timur dan Asia Tenggara adalah berkurangnya ketimpangan pendapatan. Ukuran konvensional dari ketimpangan adalah koefisien Gini, yang nilainya berkisar antara nol (kemerataan absolute) dan satu (hanya satu orang yang memiliki semuanya). Untuk Indonesia, koefisien Gini turun dari 0,35% pada awal 1970-an menjadi 0,32% pada akhir tahun 1980-an. Sebagaimana negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya, koefisien Gini di Indonesia juga meningkat selama awal tahun 1990-an, tetapi kemudian menurun lagi secara tajam menjadi 0,32 pada tahun 1998.
Ketimpangan Jender Kemajuan dalam berbagai isu yang berkaitan dengan jender juga patut dipuji. Contohnya, antara tahun 1990 dan 1999, proporsi perempuan dalam rangka partisipasi angkatan kerja meningkat dari 25% menjadi lebih dari 37%. Rasio partisipasi angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan meningkat dari 0,4 pada tahun 1970 hingga 0,7 pada tahun 1997. Angka buta huruf perempuan menurun dari 69% pada tahun 1961 menjadi 17% pada tahun 1994. Rata-rata lamanya bersekolah untuk perempuan juga meningkat dari 4,7 tahun pada 1990 menjadi 6,1 tahun pada 1999. Rasio perempuan yang bersekolah di sekolah dasar mencapai 100% pada tahun 1990. Antara 1980 dan 1996, rasio (bruto) dari perempuan yang bersekolah di sekolah menengah dan perguruan tinggi meningkat masing-masing dari 23% dan 35% menjadi 41% dan 50%. Pada tahun 1996, siswa perempuan menyumbang masingmasing 48%, 45% dan 35% dari total siswa di sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguman tinggi. Ketimpangan jender di bidang pendidikan menurun di semua tingkat pendidikan. Jumlah siswa perempuan per 100 siswa laki-laki meningkat dari 85,9 pada tahun 1976 menjadi 92,8 pada tahun 1996 di sekolah dasar, dari 65,1 menjadi 95,0 di sekolah menengah, dan dari 56,7 menjadi 88,2 di perguruan tinggi. Proporsi guru perempuan di sekolah dasar meningkat dari 33% di tahun 1980 menjadi 52% di tahun 1996. Pada tahun 1996, proporsi guru perempuan di sekolah menengah adalah 40% dan di perguruan tinggi adalah 30%. Di Indonesia, angka partisipasi angkatan kerja perempuan sebelum krisis adalah sekitar 40%, termasuk cukup tinggi dibandingkan rata-rata di Asia Selatan (38%) dan di Asia Tengah serta Afiika Utara (26%). Berdasarkan data Susenas 1997, 39% dari perempuan di daerah perkotaan dan 51% di daerah pedesaan aktif secara ekonomi. Namun hanya 0,3% menduduki dudukan manajerial dan administrasi, sekitar 4% menjabat jabatan klerek/tata usaha dan pekerjaan lain yang berkaitan, sekitar 5% menjadi tenaga professional, sekitar 125 menjadi buruh pabrik dan sekitar 23% bekerja sebagai tenaga penjual. Pada awal tahun 1990-an, perempuan menduduki sekitar sepertiga dari posisi pegawai negeri termasuk sebagian pada tingkat jabatan yang sangat tinggi. Representasi perempuan di tingkat jabatan menteri di tahun 1999 sekitar 6%, yang berarti sebanding dengan keadaan di Thailand dan Singapura. Walaupun demikian, dalam hal representasi perempuan di DPR, Indonesia tertinggal di belakang negara-negara tetangga, dengan hanya 8%
perempuan di DPR dibandingkan dengan 10%-11% di Filipina dan Malaysia. Terlepas dari prestasi tersebut diatas, secara umum, status perempuan dalam masyarakat tetap memerlukan perhatian. Sebagai mana diungkapkan dalam studi yang dilakukan oleh BAPPENAS / UNICEF baru-baru ini, kemauan politis unruk mengimplementasikan isu-isu sensitif yang berkaitan dengan jender masih sangat kurang. Budaya paternalistik yang masih banyak dianut oleh masyarakat Indonesia tetap meletakkan laki-laki sebagi penganibil keputusan utama dalam rurnah tangga, dan memberikan otoritas dalam keputusan yang berkaitan dengan keluarga berencana dan pelayanan masa kehamilan, yang mempengaruhi perempuan. Kekerasan domestik dalam berbagai bentuknya juga merupakn isu yang memerlukan perhatian. Menurut suatu survei terhadap hubungan suami-istri pada tahun 1997, sekitar 11% dari 339 responden laki-laki mengakui telah menyiksa istrinya dan 19% mengakui melakukan intimidasi psikologis. 362 responden perempuan melaporkan bahwa mereka dipukul (16%), ditendang (9%), diludahi atau disundut dengan rokok. Perkawinan anak-anak (usia kurang 16 tahim) cukup tinggi, dan bahkan mencapai 16% di Jawa Barat, menurut data Susenas 1998. Perkiraan angka kematian ibu sewaktii melahirkan berkisar antara 350 hingga 390 per 100.000 kelahiran hidup. Perempuan juga menghadapi resiko tinggi terhadap penyakit dan kematian yang disebabkan tidak cukupnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan nutrisi ibu yang buruk. Perempuan hamil juga mengalami diskriminasi di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS/ UNICEF mencatat juga bahwa perempuan pekerja dan gadis remaja mengalami pelecehan dan penyiksaan, dengan gaji, risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang rendah. Pada tahun 1997, hanya 18% perempuan menerima gaji lebih tinggi dari Rp. 300.000,- setiap bulan, dibandingkan 31% laki-laki.
Ketimpangan Antar Propinsi Data di tingkat propinsi menunjukkan bahwa hasil dari kemajuan ekonomi dibagi secara cukup merata ke semua daerali. Ketimpangan antar daerah pada sebagian besar komponen IPM menurun atau tidak mengalami perubahan. Sebagai contoh, sebaran antar wilayah, diukur dengan koefisien variasi, dalam hal angka harapan hidup menurun dari 0,059 inenjadi 0,045 dan untuk angka buta huruf menurun tajam dari 0,10 menjadi 0,082 antara tahun 1990 dan 1999. Sebaran antar
wilayah dalam hal kematian bayi dan rata-rata lamanya duduk di bangku sekolah selama periode 1990-1999 secara umum tetap stabil. Adapun ketimpangan antar kabupaten dalam berbagai indikator pembangunan manusia juga menurun. Di semua propinsi, peningkatan ranking IPM juga berkorelasi dengan peningkatan Indeks Pembangunan lender. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian dalam pembangunan manusia di tingkat daerah scara umum sejalan dengan pencapaian dalam kesetaraan jender. Dekomposisi dari angka ketimpangan menunjukkan bahwa ketimpangan antar kabupaten/ kota menyumbang hanya 20% dari total ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan output antar kabupaten relatif kecil. Jika pendapatan dari sektor minyak dan gas dikeluarkan dari perhitungan, ketimpangan output antar daerah menutun secara signifikan. Contohnya, pada tahun 1998, rasio Gini dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di luar minyak dan gas antar kabupaten (tidak termasuk 13 kabupaten-wilayah kantong yang kaya) adalah 0,26 dibandingkan dengan 0,41 jika pendapatan minyak dan gas dan kabupatenkabupaten serta wilayah kantong juga diperhitungkan. Hal ini menunjukan sensitivitas ketimpangan output antar daerah terhadap pendapatan yang berasal dari minyak dan gas.
KESEJAHTERAAN : METODE BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengukur tahapan keluarga sejahtera dengan menggunakan 23 variabel dan 5 tahapan yakni Pra Keluarga Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KSI), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III) dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III +), dengan rincian alasan ekonomi dan alasan bukan ekonomi ke dalam variabel-variabel berikut. Apabila dalam salah satu tahapan keluarga sejahtera ada salah satu variabel yang tidak terpenuhi maka rumah tangga yang bersangkutan tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu tahapan tersebut. Artinya rumah tangga tersebut berada pada satu lapis di bawah tahapan keluarga sejahtera yang diukur. Umpamanya, sedang dalam penentuan kriteria KS II, akan tetapi salah satu variabel tidak terpenuhi maka rumah tangga ini akan berada pada kelompok KS I. Tahapan keluarga sejahtera serta rincian pada setiap variabel adalah sebagai berikut:
Keluarga Sejahtera I (KS I) 1. Melaksanakan ibadah agama 2. Makan dua kali atau lebih sehari 3. Pakaian yang berbeda 4. Lantai rumah terluas bukan dari tanah 5. Anak sakit, man KB ke kesehatan modern
Keluarga Sejahtera II (KS III) 6. Melaksanakan ibadah secara teratur 7. Paling sedikit sekali seminggu makan daging, ikan, telur 8. Satu stel bara pakaian setahun terakhir 9. Rata-rata lantai rumah minimal 8m per orang 10.
Tiga bulan terakhir dalam keadaan sehat
11. Umur 15 th+ berpenghasilan tetap 12. Umur 10-60 th dapat baca-tulis 13. Anak umur 7-15 th masih bersekolah
Keluarga Sejahtera III (KS III) 14. PUS dengan AMH 2 + pakai kontrasepsi 15. Berusalia meningkatkan pengetahuan agama 16. Dapat menabung 17. Makan bersama minimal sekali sehari 18. Mengikuti kegiatan masyarakat di hngkungannya 19. Rekreasi sekali dalam enam bulan 20. Akses berita surat kabar, majalah, TV, radio 21. Menggunakan sarana transportasi setempat
Keluarga Sejahtera III + (KS III+) 22. Menyumbang materi untuk kegiatan social 23. Aktif sebagai pengurus institusi masyarakat
Catatan: Khusus untuk pertanyaan 2; 3; 4; dan 5 untuk KS I dan pertanyaan 7; 8; 9; dan 13 untuk KS II dibedakan ke dalam alasan ekonomi dan alasan bukan ekonomi. Dengan cara seperti ini akhirnya didapatkan Keluarga Pra KS alasan ekonomi dan Keluarga Pra KS alasan bukan ekonomi serta Keluarga KS I alasan ekonomi dan Keluarga KS I alasan bukan ekonomi. Kemiskinan diidentikkan dengan Pra KS alasan ekonomi dan KS I alasan ekonomi. Data kemiskinan yang sebetulnya bukan murni menggambarkan penduduk miskin digunakan untuk pembagian beras miskin (raskin) karena tidak ada data yang lain yang dapat digunakan untuk mencari penduduk miskin sampai pada alamat dimana mereka bertempat tinggal. Tidak mengherankan kalau dalam pembagian raskin seringkali dan banyak yang tidak tepat sasaran (Mubyarto.2004. Kesejahteraan rumah tangga,
kemiskinan,
dan
program-program
penanggulangan.
Yogjakarta.
Puskep.UGM). Penemuan terbatas dari data Sakerti-3 tentang kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat selama periode krisis 1997-2000 menunjukkan kesan
umum yang berbeda, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan dengan kesan umum sangat pesimistik yang tersiar di media massa. Kondisi kehidupan masyarakat tidak seburuk yang digambarkan pada surat kabar. Memang pada puncak krisis moneter 1998 kejutan kenaikan harga-harga terutama pangan membuat panik masyarakat dan kondisi kemiskinan benar-benar parali. Namun inflasi 77% tahun 1998 ternyata berhasil dikendalikan menjadi hanya 2,2 persen pada tahun 1999 sehingga kontraksi ekonomi - 13,3 persen pun dapat diubah menjadi pertumbuhan ekonomi positif 0,79 persen dan bahkan menjadi 4,9 persen tahun 2000; 3,3 persen tahun 2001 dan 3,7 persen tahun 2002. Memang benar fenomena kemiskinan sementara telah teramati secara empirik yang berarti sistem ekonomi Indonesia rupanya memiliki pada dirinya sendiri kekuatan internal yang mampu mengadakan "koreksi otomatis". Kita harus mengakui krisis ekonomi yang berdampak langsung pada kellidupan masyarakat sudah teratasi dan yang masih mempakan masalah hanyalah dampak pada APBN yaitu keuangan pemerintah.
DAMPAK KRISIS
Terlepas dari berbagai perbedaan perkiraan yang dibuat oleh beberapa peneliti dan BPS, semua perkiraan tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan insiden kemiskinan yang sangat cepat selama krisis. Menurut perkiraan BPS, jumlah orang miskin meningkat dari 17,7% pada bulan Febmari 1996 menjadi 37% pada bulan September 1998, yaitu pada saat krisis mencapai puncaknya. Bertambahnya kemiskinan di daerah perkotaan terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dalam kasus ini, terdapat dua penyebab bertambahnya kemiskinan: pengaruh inflasi dan pengaruh resesi ekonomi (hilangnya pekerjaan). Karena BPS mengukur garis kemiskinan berdasarkan konsumsi, ukuran tersebut sensitif terhadap berkurangnya daya beli, baik yang disebabkan oleh inflasi maupun resesi. Pada saat inflasi mulai terkendali, insiden kemiskinan cendenmg tetap tinggi selama kelompok penduduk terbawah tidak memperoleh pekerjaan yang memadai. Krisis juga mengakibatkan peningkatan tajam derajat keparahan kemiskinan secara tajam. Suatu perkiraan menunjukkan bahwa antara bulan Februari 1996 dan Februari 1999 jumlah penduduk yang hidup di bawah 65% dari garis kemiskinan bertambah menjadi 73% di daerah perkotaan dan 63% di daerah pedesaan. Data yang lebih baru menunjukkan bahwa indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) di daerah perkotaan turun kembali ke tingkat sebelum krisis, walaupun indeks keparahan kemiskinan di daerah pedesaan tetap di atas tingkat sebelum krisis. Perkiraan yang didasarkan pada beberapa ukuran ketimpangan yang dapat dipercaya, seperti rasio Gini, Theil-index dan L-index yang dihitung dari data Susenas mini pada bulan Desember 1998, menunjukkan bahwa selama krisis ekonomi ketimpangan justru menurun. Temuan ini konsisten dengan kecenderungan yang terjadi selama krisis ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Meskipun demikian, bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa temuan tentang penurunan ketimpangan selama krisis tidak dapat membedakan antara ketimpangan nominal dengan perubahan dalam distribusi pendapatan yang disesuaikan untuk melihat perbedaan dampak inflasi terhadap rumah tangga miskin dan tidak miskin. Bagaimanapun juga, data pada pertengahan tahun 1999 menunjukkan bahwa penurunan ketimpangan yang terjadi selama krisis telah
meningkat lagi. Tampaknya terlalu dini untuk menilai konsekuensi jangka panjang dari krisis terhadap beberapa aspek, seperti kesehatan dan pendidikan karena pengaruhnya bam akan muncul dalam waktu yang lama. Jika jumlah penduduk miskin tetap tinggi, pengaruh jangka panjangnya terhadap kesehatan dasar dan pendidikan akan sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, walaupim sebagian besar prestasi dalam pembangunan manusia yang dicapai selama masa pertumbuhan yang cepat tidak terlalu terpengamh oleh krisis, tidak ada jaminan bahwa kondisi ini akan tetap dapat dipertahankan.
Kemiskinan Berdasarkan Pendapatan Konsekuensi logis dari kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang cepat dan distribusi pendapatan yang merata adalah pengurangan kemiskinan yang diukur dari tingkat pendapatan. Juga telah dikemukakan bahwa pada akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, pengurangan kemiskinan mulai melemah. Meskipim deinikian, hal ini tidak menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan pekerja di sektor formal secara tajam. Karena pemerintah mengatur gerakan serikat pekerja, maka sedikit sekali peluang bagi para* pekerja untuk melakukan tawar-menawar upah. Selama periode 1986-1996, ketika PDB meningkat sekitar 7% per tahun upah nil tidak mengalami peningkatan. Hingga awal dekade 1990-an Indonesia telah menikmati pertumbuhan ekonomi selama seperempat abad. Indonesia telah melakukan transformasi ekonomi, dari ketergantungan pada pertanian dan pertambangan menjadi suatu perekonomian di mana prospek ekonominya ditentukan oleh sektor manufaktur non-migas. Pemerintah juga telah berhasil mengatasi ketimpangan antar-wilayah dengan melakukan investasi di bidang infrastruktur dan pelayanan. Kesemuanya telah
mempu
mengurangi
ketidakpuasan
daerah-suatu
stabilitas
yang
dipertahankan, bila perlu dengan kekuatan militer. Stabilitas kondisi Indonesia dan murahnya tenaga kerja membuat Indonesia menjadi negara tujuan yang sangat menarik bagi penanaman modal asing, dan memungkinkan investasi, secara keseluruhan meningkat hingga skitar 30% dari PDB. Lebih dari dua lipat dibandingkan proporsi di sebagian besar negar-negara yang sedang berkembang.
Hilangnya Keajaiban Pada paruh kedua dekade 1990-an telah mulai telihat tanda-tanda bahwa masa keemasan pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mendekati titik akhir. Produktifitas pertanian mengalami stagnasi, pertumbuhan ekspor, melambat, dan tekanan terhadap tingkat upah semakin menguat. Terlebih lagi, kompetisi di sektor manufaktur yang padat karya semakin meningkat seiring dengan perkembangan negara-negara lain, khususnya di Asia Selatan, yang bergabung dengan formasi 'flying geese' (angsa terbang) Asia. Telah tiba waktunya bagi Indonesia untuk melewati tahap pertama industrialisasi yang paling sederhana menuju ke tahap yang berlandaskan pada produktivitas yang lebih tinggi, yang tidak hanya mengandalkan ketrampilan merakit tetapi juga melalui inovasi teknologi. Sejak petengahan dekade 1960-an Indonesia telah menikmati perpaduan yang sangat menguntungkan dari kebijaksanaan pemerintah dan keberuntungan yang telah menghasilkan pertumbuhan yang cukup merata. Tetapi pada dekade 1990-an model ini lambat laun lenyap. Terdapat dua isu utama: pertama adalah perubahan struktur produksi; kedua adalah perubahan kondisi ekonomi-makro.