Prakata Memandang hukum dalam perspektif perempuan adalah melihat sejauh mana pengalaman dan suara perempuan hadir dan menjadi subyek yang utuh. Hukum dengan dengan demikian dilihat dengan semangat penegakan hak asasi perempuan. Dengan kata lain, hukum dimaknai sebagai sesuatu yang terus berproses, termasuk di dalamnya menghadirkan paradigma baru, yaitu hukum berperspektif jender. Salah satu isu penting dalam hukum berperspektif jender adalah penangananan kasus kekerasan terhadap perempuan. Di sini menjadi sangat penting untuk mengupayakan terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu yang berkeadilan jender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Hukum sendiri dalam kaca mata perempuan, dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari substansi (materi) hukum, struktur hukum (aparat penegak hukum), dan kultur hukum (pandangan masyarakat terhadap kasus-kasus berkaitan dengan perempuan). Oleh karena itu, upaya pembaharuan hukum tidak dipandang semata untuk melahirkan aturan perundang-undangan yang berperspektif jender (melalui serangkaian advokasi), melainkan juga upaya melakukan pendidikan bagi aparat penegak hukum, pendidikan bagi mahasiswa dan akademisi, dan sosialisasi di tingkat masyarakat. Dalam kerangka itulah Info Perempuan dan Penegak Hukum hadir…. Selamat membaca… Semoga bermanfaat…. Salam, R. Valentina Sagala Koord. Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan
Dari Redaksi Info PPH adalah salah satu upaya dalam mensosialisasikan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) melalui terbitan secara berkala. Pada edisi 1 ini, kami hadirkan tema ‘Hukum Berkeadilan Jender Sebuah Paradigma Baru’. Beberapa pemikiran tentang tema tersebut tertuang dalam rubrik-rubrik dalam INFO PPH kali ini. Fokus, memaparkan tema utama pada edisi ini. Bagaimana sistem hukum yang ada saat ini sudah tidak mumpuni dalam menjawab permasalahan-permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Sebuah pembaruan dibutuhkan dalam menjawabnya, dimulai dengan paradigma baru dalam sistem hukum yang berkeadilan jender. SPPT-PKKTP, adalah ‘nafas’ dari INFO PPH, sehingga akan dimuat berseri dan muncul dalam tiap edisi. Kali ini SPPT-PKKTP memuat (1) Pengertian SPPT-PKKTP, (2) Pihak yang terkait dalam SPPT-PKKTP, (3) Ruang lingkup SPPT-PKKTP, (4) Dasar konsep SPPT-PKKTP, (5) SPPTPKKTP merupakan salah satu cara mewujudkan sistem peradilan yang murah, cepat dan dapat dipertanggung jawabkan, serta (6) Prinsip yang terkandung dalam SPPTPKKTP. Skema SPPT-PKKTP akan muncul dalam setiap edisi sebagai acuan dari rubrik SPPT-PKKTP. Potret, menghadirkan sosok Deliana Sayuti. S.H., seorang mantan hakim PTUN Jakarta. Pengalamannya ketika menjadi hakim dikaitkan dengan peran saat ini sebagai wakil ketua Komnas Perempuan, merupakan hal menarik yang perlu dicatat sebagai upaya membangun sistem peradilan yang berkeadilan jender. Moment, adalah rekaman rangkaian kegiatan dalam program Penguatan Penegak Hukum sebagai upaya mewujudkan SPPT-PKKTP. Instrumen, adalah rubrik yang memuat instrumeninstrumen yang berperspektif jender. Demikianlah menu edisi kali ini. Salam Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, Redaksi
Kritik, saran maupun usulan dapat dialamatkan ke Redaksi Komnas Perempuan Jl. Latuharhari No. 4B Menteng, Jakarta Telp. (021) 390 3963 Fax. (021) 390 3922 email:
[email protected],
[email protected]. Pemesanan dapat dilakukan melalui surat maupun email dengan melampirkan nama dan alamat lembaga yang bersangkutan. Publikasi ini adalah bagian dari Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum
Redaksi Penanggung Jawab : Kamala Chandrakirana, M.A. Pemimpin Redaksi : R. Valentina Sagala, S.E., S.H. Redaksi : Qorihani, S.S. Danielle Samsoeri, S.H. Kontributor : Dr. Sulistiowati Irianto Qorihani, S.S. Editor : Arimbi Heroepoetri S.H., L.LM. Desain & Layout : Paragraph Penerbit : Divisi Reformasi Hukum & Kebijakan Komnas Perempuan
Fokus
HUKUM BERPERSPEKTIF KEADILAN JENDER: SUATU PARADIGMA BARU Dr. Sulistyowati Irianto
P
erspektif keadilan jender dalam hukum merupakan suatu pendekatan yang relative baru baik di kalangan akademik maupun praktisi hukum di Indonesia. Dalam hal ini muncul pertanyaanpertanyaan, apakah benar perempuan dan laki-laki tidak memiliki akses yang sama kepada keadilan? Mengapa? Bukankah hukum itu netral, berlaku sama bagi perempuan dan laki-laki, mengapa dipermasalahkan? Bukankah hukum itu sudah menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap orang tidak pandang bulu? Memang benar sudah banyak sekali instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Terdapat berbagai Konvensi Internasional, termasuk yang sudah diratifikasi oleh Negara kita, di antaranya adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (Konvensi Wanita atau Konvensi CEDAW), diratifikasi melalui UU no.7/1984. Tahun ini, kita memasuki tahun yang ke-20 ratifikasi Konvensi Wanita tersebut. Konstitusi kita sendiri, yaitu UUD 1945, khususnya pasal 27 sudah menjamin kesetaraan bagi setiap warganegara di muka hukum. Berbagai peraturan perundang-undangan yang lain sudah kita miliki, di antaranya UU No. 39/1999 tentang HAM, khususnya pasal 45 yang berbunyi: “Hak wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi manusia”. Kita juga memiliki instrumen hukum yang paling baru yaitu UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga2. Kebijakan jender mainstreaming dalam pembangunan pun sudah kita miliki (Inpres no 9/2000). Sungguhpun sudah banyak instrument hukum yang berdimensi kesetaraan dan keadilan, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Convention Watch tahun 1994-1995, dan salah satu temuan penelitian yang dilakukan oleh PKWJ UI tahun 20033, tidak banyak aparat penegak hukum yang tahu mengenai adanya Konvensi Wanita atau intrumen hukum lain yang menjamin kesetaraan dan keadilan jender ini. Dari hasil pengamatan Convention Watch, PKWJ UI dari tahun 1996 sampai tahun ini dalam program-program kemitraan bersama dengan tidak kurang dari 75 fakultas hukum di Indonesia dan institusi penegakan hukum, juga tidak banyak orang yang tahu dan peduli terhadap adanya instrumen hukum ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam prakteknya hukum itu tidak bekerja sebagaimana yang
1 2 3
1
diinginkan dalam kandungan substansinya? Dalam kenyataan sehari-hari, diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung, dan bahkan dapat dijumpai banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Pada umumnya praktek dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa perempuan belum mendapatkan hak-hak dasarnya. Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dapat dicari akarnya dari bagaimana warga masyarakat menempatkan perempuan dan laki-laki dalam budayanya. Artinya, bagaimana masyarakat menciptakan konsep mengenai perempuan dan laki-laki, siapa perempuan dan siapa laki-laki. Bagaimana warga masyarakat memberi nilai dan norma mengenai apa yang pantas dan tidak pantas bagi perempuan dan laki-laki. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya. Hukum merumuskan budaya yang dianut dalam masyarakat, sehingga sebenarnya relasi hukum dan budaya adalah bagaikan dua sisi dari keeping mata uang yang sama. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan hukum adalah budaya yang patriarkhis, maka tidak mengherankan bila hukum yang diciptakan adalah juga yang tidak peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah hukum dapat dijadikan sebagai a tool of social engineering (Roscoe Pound) , alat rekayasa social, yang dapat membawa perubahan menuju keadaan yang lebih baik dan lebih adil dalam masyarakat? Jawabannya tidaklah dengan mudah diperoleh mengingat budaya patriarkhis yang sangat kental yang mengendap dalam pemikiran para pengambil keputusan, penegak hukum, insan pendidikantinggi hukum, dan masyarakat luas. Namun kita harus mencobanya juga, setidaknya memperkenalkan kepada para stakeholder hukum, bahwa ada yang salah dalam system hukum kita, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan bagi sebagian besar warga masyarakat, khususnya perempuan. Salah satu alat yang dirasa perlu untuk diperkenalkan adalah alat analisis dalam ilmu hukum, yang disebut sebagai pendekatan hukum berperspektif perempuan, atau berperspektif keadilan jender. Pendekatan ini sebenarnya merupakan terjemahan “strategis” dari Feminist Legal
Kepala Pusat Kajian Wanita dan jender, Universitas Indonesia, staf pengajar pada fakultas Hukum UI dan Program Kajian Wanita, Pascasarjana. Masih banyak lagi instrument hukum lain yang menjamin kesetaraan dan keadilan secara jender, di antaranya adalah Amandemen II UUD 1945: Pasal 28a: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” , UU no. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 7: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan” Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Perdagangan Perempuan dan Pengedaran Narkotika (Studi Kasus di LP Wanita Tangerang), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 2005
1
Fokus Theory, yang sangat banyak alirannya itu, tetapi memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama, yaitu menganalisis hukum secara kritis. Berikut ini akan dijelaskan dijelaskan mengenai pendekatan hukum berperspektif perempuan secara garis besar. Perspektif keadilan jender dalam hukum seperti apa? Bila kita secara kritis mengamati berbagai macam produk peraturan perundang-undangan, maka kita dapat menemukan banyak sekali pasal-pasal yang sebenarnya tidak peka terhadap masalah yang dihadapi perempuan, dengan berbagai dampaknya. Huruf-huruf yang tersusun dalam pasal-pasal tersebut bahkan ada yang secara jelas menunjukkan adanya relasi timpang antara laki-laki dan perempuan (Lihatlah misalnya pasal-pasal tertentu dalam UU Perkawinan no.1/1974 tentang poligami, dan soal kepala rumah tangga). Pendekatan hukum berperspektif keadilan jender, mengajak kepada kita untuk bersikap kritis dalam menyikapi berbagai produk peraturan perundang undangan. Dalam melakukan kritisi terhadap berbagai produk hukum itu, berbagai pertanyaan dapat digunakan sebagai alat analisis, yaitu, apakah peraturan perundangundangan itu peka terhadap masalah-masalah perempuan, dan apakah tidak diberlakukan standar ganda bagi perempuan dan laki-laki. Apakah hukum juga tidak mengabaikan pengalaman-pengalaman perempuan?
2
Karena seksualitasnya sebagai perempuan, seringkali seorang perempuan memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dan menghadapi masalah-masalah yang khas, sehingga membutuhkan penanganan yang khusus. Lihatlah misalnya masalah-masalah khas yang dihadapi para tenaga kerja wanita di luar negeri, yang berbeda dengan tenaga kerja pria pada umumnya. Banyak di antara mereka yang menghadapi ancaman kekerasan dan pelecehan seksual. Lebih dari itu, pendekatan hukum berperspektif keadilan jender, mengajak untuk dapat melakukan reformasi hukum baik dalam bentuk revisi terhadap berbagai produk hukum yang jender biased, menciptakan hukum baru, dan melakukan pendampingan terhadap para perempuan di persidangan, agar mendapatkan akses kepada keadilan, Institusi penegakan hukum beserta aparatnya (jaksa, hakim, polisi, pengacara), para sarjana hukum, civita akademika pendidikan hukum, termasuk para calon sarjana hukum muda adalah harapan bagi terwujudnya keadilan bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu kepada mereka perlu diperkenalkan perspektif baru dalam mempelajari dan mempraktekkan hukum. Terutama kepada mereka diharapkan agar dapat melahirkan terobosan-terobosan baru khususnya dalam menangani kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bidang, termasuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan.
SPPT-PKKTP Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP): Sebuah Usulan4 R. Valentina Sagala, S.E., S.H.
P
engalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan (baik sebagai korban maupun sebagai “pelaku”), meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah bagi pembaharuan sistem hukum. Dalam sistem peradilan pidana yang selama ini berlangsung, perempuan mengalami situasi yang sulit, mulai dari merasa malu, tertekan dan merasa berdosa, psikologis korban terganggu, dsb. Perempuan, baik sebagai korban kekerasan maupun “pelaku”, berhadapan dengan materi hukum, sikap aparat penegak hukum, dan pandangan masyarakat yang bias jender (patriarkis). Untuk itulah, terwujudnya sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) menjadi sangat penting. Proses membangun SPPT-PKKTP sendiri haruslah bersumber dari pengalaman perempuan dan pendampingan korban. Sehingga SPPTPKKTP mengacu pada upaya menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. 1. Pengertian SPPT-PKKTP SPPT-PKKTP merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. 2. Pihak yang Terkait dalam SPPT-PKKTP Pihak yang terkait dalam SPPT-PKKTP adalah pendamping korban secara medis, psikolog dan hukum (advokat dan paralegal), penyedia layanan rumah sakit, penyedia layanan/women crisis center (WCC), instansi kepolisian atau awak ruang pelayanan khusus (RPK), jaksa dan instansi kejaksaan, panitera, hakim dan instansi kehakiman, serta instansi rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas). 3. Ruang lingkup SPPT-PKKTP Lingkup SPPT-PKKTP adalah untuk perempuan yang mengalami kekerasan (perempuan korban kekerasan) yang ditempatkan sebagai korban atau “pelaku” dalam proses peradilan. Kekerasan yang dimaksud meliputi setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat, pada kerugian fisik, seksual, psikologis dan ekonomi termasuk ancaman terhadap perbuatan tertentu, pemaksaan atau penghilangan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Mengacu pada berbagai kasus yang terjadi,
4 5 6
5
perempuan korban biasanya mengalami trauma baik yang jelas terlihat ataupun tersembunyi6. Trauma ini terkadang muncul dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuknya adalah sikap menolak terhadap kekerasan yang dialaminya dengan melakukan penyerangan balik terhadap pelaku kekerasan. Pada situasi seperti ini, perempuan yang semula merupakan korban (karena mengalami kekerasan) akhirnya oleh hukum diposisikan sebagai “tersangka”, ataupun “terdakwa” tindak pidana. 4. Dasar Konsep SPPT-PKKTP Kebutuhan dan kepentingan korban dengan mengacu pada nilai-nilai yang adil jender menjadi dasar dari upaya membangun SPPT-PKKTP. Dengan demikian SPPTPKKTP bertitik tekan pada perspektif korban yang mensyaratkan korban menjadi atau diletakkan pada pusat berjalannya sistem peradilan. Selama ini, korban diposisikan sebagai pelengkap (objek). Penderitaan dan kekerasan yang dialami serta tuntutan keadilan yang didasarkan atas penderitaan korban seringkali diabaikan oleh para penegak hukum yang menangani kasus kekerasan yang dialaminya. Dengan SPPT-PKKTP, korban akan diposisikan sebagai pelaku utama (subjek), bukan sebagai pelengkap (objek) yang hanya diambil pengakuannya saja. Sebagai subjek ia berhak didengar keterangannya, mendapatkan informasi atas upayaupaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-haknya dan kekerasan yang dialaminya. Memposisikan perempuan korban sebagai subjek pada SPPT-PKKTP diharapkan sudah dilakukan sejak terjadinya kasus, pada pendampingan dan penanganan pertama terhadap korban (medis, sosial, dan psikologis), penanganan hukum yang meliputi pelaporan kasus ke kepolisian, penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di tingkat peradilan, putusan peradilan, dan eksekusi putusan peradilan. 5. SPPT-PKKTP merupakan Salah Satu Cara Mewujudkan Sistem Peradilan yang Murah, Cepat dan Dapat Dipertanggungjawabkan Upaya untuk mengubah sistem peradilan pidana dengan meletakkan pengalaman perempuan ketika bersentuhan dengan sistem hukum adalah sebuah proses panjang demi terciptanya hukum yang lebih memberi akses, peluang, dan manfaat yang sama untuk semua pihak. Harapannya hukum menjadi alat yang tangguh untuk mencapai rasa keadilan dan bukan menciptakan alat yang justru melegitimasi ketidakadilan. Hukum kemudian
Bahan diambil dari Draft Final Policy Paper “SPPT-PKKTP” Adalah Koordinator Divisi Reformasi Hukum Komnas Perempuan Peta Kekerasan di Indonesia: Pengalaman Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Oktober 2002
3
SPPT-PKKTP didorong agar lebih peka dan melindungi kelompokkelompok rentan, antara lain perempuan korban kekerasan. Sistem peradilan yang dibangun adalah sistem peradilan yang mudah, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penanganan korban.
potensinya dalam semua bidang kehidupan. Keadilan jender merupakan suatu kondisi yang adil bagi perempuan dan laki-laki melalui suatu proses kultural dan struktural yang menghentikan hambatan-hambatan aktualisasi bagi pihak-pihak yang oleh karena jenis kelaminnya mengalami hambatan, baik secara cultural maupun secara struktural.
6. Prinsip-prinsip yang Terkandung dalam SPPT-PKKTP a. Perlindungan dan penegakan atas Hak Asasi Manusia Konsep SPPT-PKKTP ini harus dilandasi oleh semangat untuk pemenuhan hak asasi manusia khususnya HAM yang paling mendasar seperti hak hidup, hak atas kebebasan dan hak atas keamanan. Konsep ini dibuat untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap korban, dalam hal ini perempuan dan dalam rangka memenuhi hakhak asasi manusia itu. b.
c.
Perlindungan terhadap korban Konsep ini dilandasi oleh semangat terhadap perlindungan dan penegakan hak-hak korban yakni hak untuk memperoleh kebenaran, keadilan dan reparasi.
d.
Prinsip Non-diskriminasi Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial, karena itu harus ada usaha untuk menghapuskannya agar tidak terjadi diskriminasi. CEDAW sendiri mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin.
Kesetaraan dan keadilan jender jender adalah suatu konsep yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang dibangun atau dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Selama ini dalam pelaksanaannya seringkali perempuan menjadi korban dari ketidakadilan jender ini. Oleh karena itu konsep ini harus didasari oleh semangat utama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender khususnya bagi perempuan korban kekerasan.
Mewujudkan SPPT-PKKTP dengan demikian jelas merupakan upaya mengubah sistem peradilan pidana yang selama ini kurang mengakomodir kompleksitas persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi lebih berkeadilan jender
Kesetaraan jender adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan berada dalam kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan
Melalui SPPT-PKKTP, perempuan ditempatkan sebagai subyek yang utuh dalam sistem peradilan pidana. Bukankah ini makna keadilan dalam arti luas, bagi perempuan dan laki-laki?
Sekilas PPH Program Penguatan Penegak Hukum atau PPH adalah kerja kermitraan antara Komnas Perempuan, LBH APIK Jakarta, DERAPWarapsari dan Convention Watch-PKWJ UI yang didukung oleh European Commission. Secara paralel dan intensif kemitraan juga melibatkan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) dan IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia) untuk mengembangkan sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Tim Pelaksana (berdasarkan abjad) § Danielle Samsoeri, S.H. § Indri Oktaviani, S.Sos § Jumi Rahayu, S.H. § KolPol (P) Dra. Irawati Harsono, M.Si. § AKBP (P) Titien Pamudji, S.Ip. § Lim Sing Meij, M.Hum
§ § § § § §
Magdalena, S.H. Qorihani, S.S. Ratna Batara Munti, S.Ag., M.Si. R. Valentina Sagala, S.E., S.H. Dr. Sulistiowati Irianto Virlian Nurkristi, S.H.
Kontak Mia Lubis, S.H. IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia) Kami rasa bahwa kemitraan antara penegak hukum yangtelah terjalin dalam program Penguatan Penegak Hukum sudah sangat baik. Karena selama ini dirasakan bahw setiap instansi penegak hukum saling bekerja sendiri-sendiri terutama utk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan dibangunnya kerjasama lintas penegak hukum ini, maka kasus KTP dapat ditangani lebih baik oleh penegak hukum. Anggraini, S.S. , M. Hum. GFP Kejaksaan Agung Dengan kemitraan yang terjalin antar lintas penegak hukum maka diharapkan terjalin visi bersama tentang penanganan KTP, ada persamaan persepsi tentang KTP.
4
Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang saat ini sedang dibangun dapat membantu terpetakannya penanganan KTP. Penegak hukum dapat saling membantu dalam penanganan. Dengan pemahaman jender yang baik, jaksa misalnya bisa menuntut maksimal pada pelaku KTP. Kerjasama yang telah dilakukan misalnya adalah back up data KTP dari kejaksaan. AKBP Khatarina Ekorini, S.S. Bareskrim POLRI Program PPH sangat bagus dan menarik dalam rangka tukar info dan pengalaman menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak. Harapan saya agar terbentuk satu perpepsi yang salam dalam pola penanganan KTP dan kita yang berperspektif jender.
Potret
DELIANA SAYUTI, S.H.: Perlu Sistem Hukum yang Berkeadilan Jender untuk Penanganan Kasus KTP Nama lengkap Jabatan saat ini
: Deliana Sayuti Idmudjoko, SH : Wakil Ketua Komnas Perempuan Pekerjaan terakhir : Ketua Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, tahun 2002 – 2003 Pengalaman : -
Narasumber berbagai seminar tentang UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Penatar UU Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta (semasa menjabat sebagai hakim tinggi)
D
eliana Sayuti, sosok perempuan ramah dan menyenangkan, mantan hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas Perempuan. Beliau lahir di Medan, Juli 1940. Berdasarkan pengalamannya sebagai mantan hakim, redaksi berdialog untuk mendapatkan pengetahuan seputar sistem peradilan, realitas dan kondisi ideal yang diharapkan dalam menjawab permasalahan seputar kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Bagaimana Ibu memandang kasus KTP dengan latar belakang sebagai mantan hakim dan posisi sekarang s e b a g a i w a k i l k e t u a K o m n a s Pe r e m p u a n ? Sewaktu menjadi hakim saya tidak paham kasus KTP, karena tidak secara khusus menanganinya. Setelah saya masuk ke Komnas Perempuan barulah saya tahu KTP sangat luar biasa, mulai di lingkup rumah tangga, pekerjaan. Saya termasuk yang strike, kalau sudah berumah tangga harus menunjukkan bahwa rumah tangga adalah segalanya. Wanita harus menghargai suaminya, perkawinan harus dihormati sedemikian rupa. Tapi pelecehan terkadang bisa terjadi juga di kantor. Bisa juga terjadi karena sikap kita, perempuan yang mengundang. Saya pernah hampir mengalami pelecehan, tapi mereka tidak berani karena sikap saya yang berani, tidak mau dilecehkan. Jadi perempuan juga harus punya sikap, tegas. Bagi perempuan yang tidak punya kekuasaan atau kekuatan untuk menolak, bagaimana? Relasi kekuasaan memang membuat perempuan tidak bisa menolak kekerasan menimpanya. Contoh seperti perempuan sebagai pembantu rumah tangga, buruh di pabrik. Mereka memang membutuhkan bantuan dari kita.
Yang harus dihindari adalah stigma mengeneralisir suatu kondisi misalnya semua perempuan begini atau semua lelaki begitu. Bahwa ada lelaki pelaku kekerasan, tapi ada juga lelaki yang menghormati perempuan. Bahwa ada juga perempuan korban kekerasan, tetapi ada juga perempuan ‘pelaku’ kekerasan. Perempuan harus teguh pada prinsip dan punya keberanian, jangan sampai dilecehkan seenaknya. Misalnya, pada kasus perkosaan, kita maunya melihat kasus ini dari kejadian perkosaannya saja, Tetapi juga sebelum terjadinya perkosaan. Saya pernah berdebat tentang hal ini. Siapa sih yang tidak kasihan, perempuan disia-siakan, diperlakukan semena-mena. Apa kita sebagai perempuan tidak terpukul? Hakim pasti mempertimbangkan hal-hal begitu. Langkah-langakah fasilitasi yang kita lakukan haruslah proporsional, utuh, tidak sepotong-sepotong. Dan tentu saja harus lebih elegan, tidak dengan “menabraknabrakan”. Penyelesaian kasus KTP harus dilihat dari “muka tengah dan belakang”. Hal ini harus dilembagakan. Perempuan ketika berhadapan dengan sistem hukum, baik sebagai korban maupun “pelaku”, bagaimana pandangan Ibu berdasarkan pengalaman sebagai mantan hakim? Perempuan ketika baik sebagai korban maupun “pelaku” memang sering mengalami ketidakadilan dalam proses peradilan. Meskipun ada upaya-upaya yang berpihak pada mereka, tetapi dirasakan sangat personal dari aparat yang bersangkutan sifatnya. Contoh hakim perempuan bila menghadapi terdakwa perempuan, menjadi lebih punya sensitif dan berempati dibandingkan hakim laki-laki. Meskipun hakim-hakim sudah mendapatkan sosialisasi jender melalui upaya
5
Potret pengarusutamaan jender di tiap departemen, tapi sangat kurang efektif. Sebagai hakim saya dulu tidak mengerti CEDAW (Convention of Elimination on Discrimination Against Woman, Red.), karena tidak ada sosialisasi.
Kulonprogo. Karena pendekatan program PKK sangat menyentuh satuan masyarakat terkecil, yaitu keluarga.
Menurut Ibu, apa yang dapat dilakukan untuk mengubah kondisi tersebut, dari kebijakan personal menjadi kebijakan yang lebih bersifat meluas?
Menanggapi kebutuhan dari korban-berdasarkan pengalaman penanganan kasus KTP, bahwa korban membutuhkan pendamping di persidangan. Bagaimana sebuah sistem peradilan pidana menjawabnya?
Kita mempunyai ruang dan wajib juga untuk membantu mensosialisasikan jender melalui media massa. Sensitifitas jender harus dipahami juga oleh masyarakat, tidak hanya oleh penegak hukum. Sosialisasi jender terutama pada pimpinan aparat penegak hukum. Mereka harus memahami bahwa di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan sudah cukup tinggi dan penanganannya tidak seperti yang diharapkan. Kalau pandangan pimpinan masih tidak mengerti kondisi ini maka sulit untuk mengubah pandangan-pandangan yang selama ini merugikan perempuan, terutama dari segi kebijakan.
Tentang pendamping dalam proses persidangan, dalam KUHAP memang tidak disebutkan. Akan tetapi bila hakim mempunyai pemahaman yang baik tentang kondisi korban yang butuh pendampingan terutama dari segi psikologis, maka hakim dapat mengijinkan pendamping hadir di persidangan. Itu yang disebut kebijakan personal. Mengacu pada SPPT, maka kita dapat upayakan agar MA sebagai instansi yang berwenang dapat mengeluarkan SEMA tentang ijin untuk pendamping mendampingi korban untuk kasus kekerasan terhadap perempuan.
Saya mengharapkan adanya suatu upaya perubahan sistem hukum yang lebih memberi keadilan bagi perempuan baik sebagai korban maupun pelaku. Sehingga dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, perempuan benar-benar mendapatkan keadilan. Perubahan sistem hukum, dapat dilakukan dengan apa misalnya? Seperti tadi, pertama pemahaman tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan. Kemudian, memikirkan langkah-langkah yang bisa dilakukan secara ‘bersama’ atau terpadu untuk penanganan kasus KTP. Bentuk sistem peradilan pidana terpadu sebelumnya pernah ada, yaitu MAHKEJAPOL. Khususnya untuk kasuskasus besar yang mengganggu keamanan dan stabilitas negara. Mekanisme MAHKEJAPOL menemukan titik persamaan antara pimpinan institusi aparat penegak hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian dalam penanganan kasus. Dalam perjalanannya sistem ini banyak mengundang kritik, seperti buat apa bekerja bersama, lebih baik sendiri-sendiri saja (antar instansi penegak hukum). Buat saya ini baik, selama dalam konteks keamanan dan stabilitas negara. Contohnya untuk kasus TKI ilegal, perlu sistem peradilan terpadu dalam penanganannya. Selain aparat penegak hukum dan masyarakat yang berperan dalam mengubah sistem hukum yang ada menjadi sistem peradilan yang terpadu untuk penanganan KTP, pihak mana lagi yang harus dilibatkan? Pemerintah, baik pusat maupun daerah, karena bisa langsung menyentuh masyarakat luas. Seperti Depdagri. Program yang pernah dilakukan seperti PKK yang sangat menyentuh masyarakat sampai ke bawah bisa dijadikan model sosialisasi. Saya pernah membantu program tersebut ketika menjabat sebagai Ketua PKK di Wates,
6
Apa yang harus dilakukan Komnas Perempuan untuk mendukung upaya membangun sistem peradilan pidana terpadu? Kritisi saya, gerakan perempuan jangan langsung apriori terhadap sikap-sikap dari penegak hukum. Sayang, kalau perjuangan kita ditolak karena ketidaktepatan strategi atau cara pendekatan, baik ke aparat penegak hukum maupun pemerintah. Kita harus melobi pimpinan penegak hukum agar kebijakan bisa berdampak luas bukan hanya kebijakan kelompok. Komnas Perempuan sebagai komisi nasional yang dibentuk atas dorongan gerakan perempuan untuk menuntut tanggung jawab pemerintah terhadap kekerasan yang dialami oleh perempuan pada Peristiwa Mei 1998. Komnas Perempuan sebagai fasilitator pemerintah dan NGO mempunyai posisi strategis untuk mempengaruhi kebijakan yang lebih berkeadilan bagi perempuan. Apapun yang dikatakan pihak lain terhadap Komnas Perempuan, harus menjadi cara mengintrospeksi diri sendiri. Saya bercita-cita agar perjuangan Komnas Perempuan diketahui khalayak ramai. Sehingga perjuangannya dipercayai dan didukung oleh masyarakat. Meskipun setiap kebijakan atau langkah-langkah advokasi mendapat hambatan dan ganjalan, tapi kita harus tetap optimis. [Q]
Moment
Audiensi Komnas Perempuan dengan Bapak Iskandar Kamil, S.H.
Dalam program Penguatan Penegak Hukum, Komnas Perempuan, LBH-APIK Jakarta, LBPP DERAP-Warapsari, Convention Watch-PKWJ UI. Melakukan sejumlah kegiatan dalam rangka mewujudkan SPPT-PKKTP. Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan: l Audiensi Komnas Perempuan, LBH APIK Jakarta, DERAP-Warapsari dan Convention Watch-PKWJ UI selaku mitra pelaksana program Penguatan Penegak Hukum dengan Bapak Iskandar Kamil, SH. Kabid. Pidana Khusus Anak pada tanggal 22 Februari 2005. Pertemuan ditujukan untuk menyampaikan hasil dari rangkaian diskusi antar NGO, penegak hukum dan pratisi yaitu sebuah usulan tentang perlunya kebijakan dari yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung agar hakim dapat mengijinkan hadirnya pendamping korban khususnya pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Bapak Iskandar Kamil mendukung usulan tersebut dan meminta perlunya berdiskusi lebih mendalam untuk menindaklanjutinya. Draft SEMA terlampir sebagai usulan. l Training Sensitifitas jender untuk Aparat Penegak Hukum Training dilaksanakan oleh DERAP-Warapsari pada tanggal 1-9 Desember 2004 di Puri Avia, Jawa Barat. Peserta training diadakan terdiri dari perwakilan MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Asosiasi Advokat. l Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Pemantauan Peradilan I pada tanggal 3-5 Desember 2004 di GG. House, Ciawi, Jawa Barat. Kegiatan Diikuti oleh 22 peserta yang merupakan perwakilan pemantau di 6 wilayah, tim analis dari LBH APIK Jakarta dan MaPPI FHUI serta perwakilan dari mitra program. Enam wilayah yang menjadi sasaran pemantauan adalah Medan, Palembang, Jakarta, Kupang, Menado, Kaltim. Proses pemantauan yang dilakukan dipandu oleh sebuah Panduan Pemantauan Peradilan untuk Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan yang disusun oleh LBH-APIK Jakarta dengan MaPPI FHUI.
l Lokakarya dan Kompetisi Moot Court yang Berkeadilan jender di Jakarta pada tanggal 30 November 2004, di FHUI Depok, diselenggarakan oleh Convention Watch-PKWJ UI. Peserta kegiatan terdiri dari mahasiswa-mahasiwa fakultas hukum dari 7 universitas di wilayah Jakarta, Banten dan Bandung, yaitu Universitas Indonesia, Depok; Univ. Krisnadwipayana, Jakarta; Univ. Pancasila, Jakarta; Univ. Atmajaya, Jakarta; Univ. Tirtayasa, Banten; Univ. Padjajaran, Bandung; dan Univ. Parahyangan, Bandung. Yang membuat kompetisi ini berbeda dari kompetisi moot court lain, adalah Moot Court ini ditampilkan dengan pendekatan jender dalam menganalisis kasus dan memerankannya. Oleh karenanya, sebelum kompetisi diadakan, diberikan pemahaman materi tentang jender dan Kekerasan Terhadap Perempuan; Temuan Pemantauan Peradilan dalam Penanganan Kasus KTP; Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Pe n a n g a n a n K a s u s Ke k e r a s a n Te r h a d d a p Perempaun(SPPT-PKKTP); dan Teknis Pelaksanaan Kompetisi Moot Court-Panduan Kompetisi Moot Court, dalam sebuah lokakarya. Kasus-kasus yang dipilihkan untuk dikompetisikan adalah kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan traficking. Kompetisi Moot Court dimenangkan oleh Univ. Krisnadwipayana sebagai juara I, Univ. Atmajaya sebagai juara II dan Univ. Parahyangan sebagai juara III. Juga dipilih sebagai hakim terbaik yaitu, Lindung Sihombing (Univ. Krisnadwipayana), JPU terbaik yaitu Januardo Sihombing (Univ. Parahyangan) dan Luki Reza (Univ. Padjajaran), penasehat hukum terbaik yaitu Ivan Lazuardi (Univ. Parahyangan), saksi ahli terbaik yaitu Nura Wulan (Univ. Krisnadwipayana), saksi korban terbaik yaitu Chika (Univ. Indonesia).
7
Moment l Lokakarya Kompetisi Moot Court yang Berkeadilan jender di Jogjakarta pada Tanggal 1-2 Februari 2005 di Fakultas Hukum Atma Jaya, Jogjakarta Lokakarya ini merupakan bagian dari kegiatan kompetisi Moot Court yang akan diadakan untuk wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Diselenggarakan oleh Convention Watch PKWJ-UI Materi yang disampaikan adalah Sensitivitas jender dan Hukum oleh Ibu Maria Surya Alam, SH; Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan (Feminist Legal Theory) oleh Dr. Sulistyowati Irianto; Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhaddap Perempaun(SPPT-PKKTP) oleh R. Valentina Sagala; Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Dr. Endang Sumiarni; Isu-isu Perdagangan Perempuan oleh Sri Nurhartanto SH, LLM); dan Teknis Pembuatan Berkas dan Dakwaan Berperspektif Keadilan Jender oleh Djunaidi, SH. Kompetisi Moot Court akan diselenggarakan pada bulan April 2005, dilanjutkan dengan Dialog Publik untuk mensosialisasikan Moot Court sebagai sebuah miniatur SPPT-PKKTP.
l Training of Trainer SPPT-PKKTP pada tanggal 1416 Februari 2004, 21-26 Februari 2004, 28 Februari5 Maret 2004, yang diadakan secara bergelombang. Kegiatan ini adalah lanjutan dari Training Sensitifitas jender. Kegiatan bertujuan mensosialisasikan SPPTPKKTP dalam kurikulum pendidikan di masing-masing instansi penegak hukum, agar para pendidik memahami SPPT-PKKTP dan bisa mengadaptasikan kedalam kurikulum internal di setiap instansi. [Q]
Persiapan Training of Trainer SPPT-PKKTP
8
SKEMA SPPT-PKKTP Wujud Sistem Peradilan Pidana yang berkeadilan Jender untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT - PKKTP) Tanggung Jawab Negara
Hakim Rutan/Lapas
Pelanggaran Hukum
Jaksa
Penanganan Kasus
Perempuan Advokat
Polisi
Pendamping
Tanggung Jawab Masyarakat
Keterangan : Hubungan dari setiap pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan satu sama lain, tidak kaku, dan terbuka terhadap setiap usaha/ tindakan-tindakan khusus di dalam mengupayakan hukum yang berkeadilan jender bagi para perempuan korban.
9
INSTRUMEN Sejak tanggal 22 September 2004 Republik Indonesia telah mengundangkan sebuah kebijakan yang melindungi perempuan khususnya dalam llingkup rumah tangga. INFO PPH akan memuat isi UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT) secara bersambung selama empat kali penerbitan. 1.
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
2.
Asas dan Tujuan Pasal 3 menyebutkan bahwa asas yang terkandung adalah: a. Penghormatan Hak Asasi Manusia; b. Keadilan dan kesetaraan jender; c. Nondiskriminasi; dan d. Perlindungan korban. Kemudian pasal 4 menjelaskan tujuan yang terkandung adalah: • Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; • Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; • Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
3.
Ruang Lingkup Pasal 2, menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi: a). Suami, isteri, dan anak; b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c). Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
4.
Bentuk-bentuk KDRT Pasal 5 menyebutkan bentuk-bentuk KDRT meliputi: 1. Kekerasan fisik; 2. Kekerasan psikis; 3. Kekerasan seksual; 4. Penelantaran rumah tangga (Kekerasan Ekonomi). Pasal 6 menyebutkan bahwa ”kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”; Pasal 7 menyebutkan bahwa “Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”; Pasal 8 menyebutkan bahwa “Kekerasan seksual meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.” Pasal 9 menyebutkan bahwa penelantaran rumah tangga meliputi: (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”
10