BAB 1 Remasan-remasan kertas coretan sketsa menumpuk di keranjang sampah di samping kakinya. Tapi ia masih mengambil kertas yang lainnya dan menggambar lagi. Meski tidak ada satupun yang diselesaikannya. Sebenarnya ia sedang tidak berminat menggambar. Pemuda itu sedang sedih. Ia merasa ketulusan dan perhatiannya tak terbalaskan. Sejak tadi pagi hingga siang hari ini, tak ada sepatah katapun ucapan mengharukan diberikan kepadanya. Kini ia merasa menjadi orang yang terlupakan dan tidak diperdulikan. Akhirnya Boyke bosan menggambar, lalu menyandarkan punggungnya dalam kursi di balik meja kerjanya. Ujung matanya mencuri pandang pada Devi, asisten pribadinya yang duduk berjarakan hanya beberapa meter saja. Ia gadis yang paling dekat dengannya. Biasanya ia tidak pernah melupakan hari jadi Boyke. Setiap tanggal itu datang, ia selalu memberikan hadiah kecil yang manis atau setidaknya sebuah ucapan. Tapi kini Devi sudah melupakannya dan duduk tenang-tenang saja. Seperti hari-hari biasanya. Boyke berputar-putar dengan kursinya, berusaha mencari perhatian. Ia ingin Devi menangkap kegundahannya. Namun gadis itu hanya sekilas mengintip di balik kaca mata tebalnya. Lalu menekuni kesibukannya lagi. Betul-betul menyebalkan. Waktu istirahat siang telah tiba. Ketika Devi melaporkan hasil kerjanya ke meja Boyke, dan berpamit untuk keluar ruangan, dengan cepat Boyke bertanya. “Apa kamu tidak ingat sesuatu?” “Soal apa tuh..?” “Kamu sudah lupa? Atau sengaja melupakannya?” sinis Boyke. “Aku sama sekali tidak tahu. Sungguh. Apaan sich?”
“Ya sudah kalau tidak ingat, pergi dech sana. Sebel!!” ketus Boyke geram. Ia amat kesal dan kecewa. Devi hanya mengangkat bahu sejenak, heran. Lalu pergi. Kini Boyke duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang asri. Wajahnya tertopang di bibir meja yang terbuat dari kayu jati mengkilat dialasi kaca tebal. Di hadapannya ada seperangkat sopa warna ceria untuk menerima para tamu. Boyke melupakan kesedihannya dengan mengawasi seluruh ruang kantornya. Bagian dari kebanggaan hasil kerja keras. foto-foto dokumentasi hasil karyanya yang dikenakan para model terkenal dan juga ratu dunia dan ratu sejagat, terpampang demikian apik di dinding. Juga deretanderetan gaun koleksinya. Kemudian matanya berpaling pada sebuah foto kecil berbingkai yang berdiri manis di atas mejanya. Dia tersenyum. Diraihnya foto itu dan di awasi lama sekali. Potret masa kecil Boyke bersama Phopy, kakak perempuannya. Kisah masa lalu yang sangat berarti dan juga bukti bahwa sesungguhnya ia punya keluarga. Pada hakikatnya Boyke adalah seorang desainer fashion sejati dan memiliki naluri bisnis yang mapan. Manusia yang suka bekerja keras dan seorang bos yang sangat memperhatikan karyawannya. Di dunia desainer, namanya cukup diperhitungkan dan menduduki kelas papan atas. Boyke telah menggenggam kesuksesan dengan memiliki rumah mode yang besar dan beberapa cabang salon kecantikan. Tapi dia bukan pemuda tangguh yang mampu membuat para gadis tergilagila padanya. Ketampanan yang dimilikinya sama sekali tak berguna. Prilakunya yang cenderung feminim, bagai gemerencing kecrek para tukang patri. Kini usianya sudah dipertengahan tiga puluhan. Akankah selamanya ia hidup sendiri? Boyke ngeri membayangkan masa depan pribadinya. Ia terperangkap dalam dua muara yang menariknya dengan kekuatan yang sama. Hingga saat ini, ia tidak mampu memutuskan, dimuara manakan ia harus menambatkan dirinya? Haruskah ia memilih seorang pria untuk dijadikan suami? Karena hanya seorang prialah yang menjadi impian pasangan hidupnya. Hal itu sering ia coba dan lakukan. Ia sudah bercinta dengan banyak pria, tapi nalurinya berkata lain. Ia tidak hanya
membutuhkan seks. Ia ingin total menjadi wanita. Namun ketika dihadapkan pada pilihannya yang terkuat, Boyke menjadi ketakutan. Ia membayangkan dirinya berdiri di Taman Lawang dalam busana malam yang sangat indah. Ia tidak akan membiarkan dirinya sakit dan menjadi badut. Boyke tidak berani berspekulasi dengan dorongan hati nuraninya. Ia telah memiliki reputasi dan karier yang cemerlang. Sebuah sumur telah digali dengan susah payah. Air jernih telah ditemukan. Boyke tidak boleh menimbunnya lagi hanya karena menuruti nalurinya untuk menjadi wanita. Lagi pula ia masih berharap suatu saat bisa pulang dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Akankah ia meminang seorang gadis dan menjadikannya sebagai istri? Itu yang terbaik. Ayahnya akan meminta maaf, menyesal telah berlaku buruk padanya. Ia akan berada dalam lingkungan mesra keluarganya lagi. Boyke akan diraih dan tidak lagi diasingkan dan dituding sebagai penentang alam. Tapi ia sama sekali tidak berminat. Bagi Boyke, wanita adalah makhluk indah yang sama sekali tidak membangkitkan gairah. Pengalaman pertamanya dan satu-satunya dalam hidup Boyke berkencan dengan makhluk yang namanya wanita, terjadi ketika ia berusia dua puluh lima tahun. Saat itu ia sedang prustasi karena kehilangan Randy, cinta pertamanya. Ini berawal dari kekhawatiran ayahnya yang semakin menyadari kondisi Boyke. Ia demikian bersemangat untuk membuktikan pada masyarakat bahwa anaknya adalah laki-laki sejati dan bukan seonggok aib yang memalukan. Di suatu hari ayahnya memperkenalkan Wida, putri bawahannya. Menurut Boyke gadis itu sangat pemalu dan canggung. Rambutnya panjang, dikepang dua dan mengenakan gaun midi bermotip bunga. Ketika berjabatan tangan, ia nyaris tidak memperlihatkan wajahnya. Ayahnya mengatakan, gadis seperti Widalah calon istri yang terbaik buat Boyke. Betapa ayah Boyke menyanjung gadis itu tak terhingga. Boyke mengerti, itu artinya adalah sebuah penekanan, di mana ia tidak boleh menolaknya. Ayahnya telah mengatur dan merencanakan siasat. Seminggu kemudian, di akhir pekan, ayahnya menyuruh Boyke berkunjung ke rumah Wida untuk mengajak gadis itu berkencan. Sejujurnya Boyke tidak berminat, tapi ia harus melakukannya. Malam itu mereka nonton di theatre sineplex. Wida
adalah teman yang paling membosankan. Ia kurang percaya diri dan selalu takut melakukan kesalahan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Itupun suaranya sangat pelan dan nyaris tak terdengar. Boyke percaya pada keluguan Wida. Kata ayahnya, Wida gadis yang amat penurut. Dia tipe anak rumahan. Tidak pernah bergaul keluyuran tak karuan seperti gadis-gadis pada umumnya. Hari-harinya dihabiskan untuk belajar dan membantu ibunya. Sesekali ke mall, itupun harus dengan ibunya. Tetapi betapa mengejutkan dan membuat darah Boyke berhenti seketika, di saat mengantarkan gadis itu pulang. Sebelum turun dari mobil, Wida menyerbunya dengan ciuman hangat. Dalam detik yang sangat cepat itu, Boyke terperangah. Ia merasakan lidah gadis itu masuk ke dalam mulutnya dan mencium deru nafasnya yang memburu. Wida berusaha membangkitkan lidah api dan membakarnya. Boyke melemaskan diri dan membiarkan semua itu berlangsung. Kini ia mulai membayangkan gadis itu menjadi istrinya. Mereka berdua tengah bercinta di atas ranjang pengantin penuh bunga dengan aroma wangi melati, di malam pertama pernikahan. Wida mengenakan baju pengantin dodot hingga payudaranya yang mulus menyembul separuh. Boyke memacu khayalannya dan membiarkan gadis itu menyusuri tubuhnya mencari bagian-bagian erotik. Ketika tangan kecil itu membuka resleting celananya dan menemukan bagian tubuhnya yang paling sensitif, saat itu Boyke berteriak dan mendorong tubuh Wida, hingga gadis itu terjerembab ke belakang. “Hentikan! Kamu tidak menemukan pasangan yang tepat.” Seketika impian ranjang pengantin penuh bunga melati buyar. Boyke menangis tersedu-sedu, menyadari apa yang telah dianganangankan ayahnya tidak akan pernah terwujud. Sejak itu ia tidak lagi berpikir untuk memiliki istri. Perkawinan bukan diperuntukan bagi dirinya. Kini di saat ia telah menjadi desainer terkenal, memiliki rumah Mode dan beberapa cabang salon kecantikan, ia diliputi rasa puas dan kebanggaan berlipat ganda. Boyke tidak lagi takut menderita sendirian. Ia menganggap seluruh karyawannya adalah saudaranya sendiri. Ia menyayangi dan menginginkan yang terbaik buat mereka. Walaupun dia tahu karyawannya sering mempergunjingkan dirinya di belakang, setelah Boyke berteriak mengomeli mereka yang melakukan
pekerjaan ceroboh. Mereka menertawakan dan mengolok-ngolok Boyke. Memperagakan cara berjalannya yang gemulai dan logat bicaranya dengan memperkecil pita suara. Mereka menjuluki Boyke dengan panggilan Tante Mince. Boyke tahu dan menyadari semua itu, meski tak ada yang pernah berani melakukan kekurang ajarannya di hadapan Boyke secara langsung. Pun begitu Boyke sering memergokinya. Tapi itu bukan masalah. Boyke hanya berharap suatu saat mereka semua menyadari, apapun yang ia lakukan adalah untuk kebaikan. Walaupun pada dasarnya ia seorang pemimpin utama. Pemegang saham tunggal. Tapi Boyke tidak pernah bersikap seperti seorang bos. Ia hanya ingin menjadi pelindung dan sahabat. Pagar batasan kedudukan itu tidak akan pernah ada. Meskipun ia tukang berteriak, ia tidak ingin menjadi sebuah momok yang menakutkan. Di hormati karena rasa takut, adalah kesalahan besar. Itu jalinan hubungan yang amat kering. Tak ada yang lebih tahu dari Boyke, sejauh mana ia memperhatikan kesejahtraan karyawannya. Boyke lebih suka menyebutnya para sahabat, atau bahkan saudaranya. Ia tidak akan membiarkan Bety, si tukang pasang kancing dan manik-manik, menangis sendiri di rumah sakit setelah mengalami keguguran anak pertamanya. Boyke menyisihkan waktu untuk menjenguk dan menghiburnya. Bety yang sangat kecewa menangis dalam pelukannya menumpahkan seluruh kesedihan. Masalah besar. Boyke termangu beberapa menit, ketika masuk ke ruang produksi dan melihat kerumunan. Boyke menyeruak ingin tahu apa yang tengah terjadi. Wajah-wajah karyawannya tampak panik dan ketakutan. “Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan gadis ini? Kenapa dia?” pekik Boyke. Tubuh Yola si tukang pola yang selalu berpenampilan nyentrik dengan topi baret merahnya, terkulai di pangkuan Udin si tukang jahit. Warna kulit gadis kerempeng itu seperti buah kukuk. Pucat kehijauhijauan.
“Diran lagi manggil taksi, sebentar lagi pasti datang,” ujar salah satu karyawan Boyke. “Dia tidak boleh terlambat, ayo segera bawa ke mobilku,” Boyke menukas dengan cepat. Saat itu Boyke meluncurkan mobilnya menuju rumah sakit seperti orang gila. Ia tidak tahu penyakit apa yang diderita Yola. Kelihatannya ini sangat serius. Boyke diserang rasa putus asa, takut tidak bisa menyelamatkan nyawa Yola. Wajah gadis kerempeng itu seperti tengah menuju gerbang maut. Udin memeluk Yola. Di sepanjang perjalanan ia tidak pernah berhenti berdoa dan membisikan kalimah Tuhan di kuping Yola. “Kamu akan selamat Yola, bertahanlah! Bertahanlah!” Boyke menggenggam tangan kecil Yola, seolah ingin memberikan kekuatan. Sepasukan perawat berseragam putih, dengan sigap membawa Yola dengan kereta dorong menuju ruang gawat darurat. Setengah jam kemudian, seorang dokter keluar. “Anda saudaranya?” tanya Dokter itu dengan mata menyelidik. “Ya saya saudaranya,” jawab Boyke tegas. “Anda kurang memperhatikan pergaulannya, ia telah menenggak butiran ekstasy dan kelebihan dosis.” Boyke ternganga dan tak mampu berkata-kata. Dari semula ia sudah menduga. Karena menurutnya Yola termasuk gadis yang agak bebas. Dari berbagai informasi Boyke segera mengetahui kalau selama ini Yola nyaris menghabiskan sebagian gajinya untuk obat-obatan terlarang, mariyuana dan minuman keras. Boyke sangat sedih. Belakangan ia mengetahui , kalau Yola sudah lama terseret pergaulan bebas. Memerlukan waktu yang lama untuk membuat Yola sembuh dari ketergantungannya. Tapi Boyke berjanji dalam hati untuk membawa gadis itu ke dunia yang lebih sehat. Walau dia sadar itu bukan persoalan ringan. Boyke bekerja keras memajukan perusahaan dan memikirkan kesejahteraan karyawannya. Ia ingin semuanya bahagia. Tak terkecuali Diran si tukang sapu, yang agak bodoh dan lamban. Ketika
ia bercerita akan menikah, Boyke menghadiahkan sebuah gaun pengantin dari koleksi lamanya. Meski Boyke harus kecewa, di saat pesta itu berlangsung, istri Diran tidak mengenakan gaun itu. Boyke merasa tersinggung. Diran tidak menghargai pemberiannya. Di tengah kemeriahan pesta yang diselenggarakan di rumah kecil milik keluarga istri Diran, ia menyeret laki-laki itu ke tempat yang sunyi dan mempertanyakannya. “Gaun itu terlalu bagus mas Boy, tidak pantas dikenakan di pesta seperti ini.” “Lalu…?” tatapan Boyke mengungkap kekesalan. Diran tergagap diliputi ketakutan. Tangannya gemetaran dan berkeringat. “Gaun itu sudah saya jual, Maafkan saya Mas Boy…” “Dijual..?” Boyke mendelik. “Iya Mas Boy, harganya cukup lumayan untuk tambah uang muka kredit rumah.” Saat itu Boyke mengerti, ia telah melupakan sesuatu hal. Karyawannya perlu tempat tinggal. Dia harus memikirkannya. Jarum jam menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh menit. Waktunya makan siang. Seperti biasa para karyawannya pasti tengah makan siang di capetaria belakang gedung. Ia tidak mau memikirkannya. Semula Boyke mengira mereka saudaranya dan tak akan melupakannya. Tapi ternyata perkiraannya itu salah. Mereka bekerja hanya untuk uang. Bukan untuk menjalin persaudaraan. Ini hari ulang tahunnya. Ketika tadi pagi dia berangkat dari rumah, Boyke membayangkan bakal ada kue tart dan lilin dan lagu happy birtday menyambut kedatangnnya. Atau setidaknya hanya ucapan dan jabat tangan saja. Namun hingga kini tak ada seorangpun yang menyinggung hari jadinya. Tak ada yang berkata sepatah katapun tentang ulang tahunnya. Di saat Devi tadi menyerahkan berkas, Boyke tergoda untuk mengatakan bahwa hari ini ia berulang tahun. Tetapi apa gunanya? Benar-benar keterlaluan kalau kita mengingatkan orang bahwa kita
berulang tahun. Sejak dari kecil, Boyke tak pernah melewatkan hari ulang tahunnya tanpa ucapan. Kini ia merasa sendiri dan terpencil. Boyke sadar, bahwa ia iba pada dirinya sendiri. Ia tidak boleh menangisi tiadanya peringatan ulang tahun sekarang ini. Belajarlah membiasakan diri. Ini mungkin awal dari kesunyian panjang hidupnya. Pintu kantornya terbuka. Boyke sudah tahu itu pasti Diran yang datang. Seperti biasa ia akan menanyakan makan siangnya. Mau makan apa? Diantar atau tidak? Boyke sama sekali tidak lapar. Tetapi betapa kagetnya ia melihat Diran berjalan tergopoh-gopoh mendekatinya. Wajahnya pucat pasi. “Mas Boy, ruang produksi kebakaran,” ujarnya tergagap. Boyke bagai disengat kalajengking. Ia melompat dan berlari tunggang langgang ke belakang. “Matikan semua listriknya! Matikan listrik!” teriaknya seperti orang gila. Dalam larinya ia melihat gaun-gaun hasil kreasinya dijilati lidah api. Tak ada lagi yang tersisa. Mesin-mesin jahit, bahan-bahan tekstil, meja, kursi, semuanya telah menjadi bara dan abu. Asap tebal menenggelamkan dirinya dalam ketakutan yang tak terperi. Brak! Pintu ruang produksi dibuka dengan kasar. Boyke berdiri mengangkang di ambangnya dengan lutut bergetar. Ia melihat kegelapan yang sangat pekat. Mana apinya? Ia tidak melihat asap dan bara. Tak terdengar bunyi derak api, selain kesunyian dalam gelap yang mencekam. Ini sebuah permainan. Lampu di dalam ruangan tiba-tiba menyala. Refleks Boyke menunduk untuk melindungi tubuhnya, ia merasakan kematian tengah mencengkram dirinya. “Mas Boy, selamat ulang tahun,” itu suara Yola. “Happy brithday……… Happy brithday…….” Mata Boyke sejenak silau kena cahaya lampu. Tapi ia segera melihat kenyataan yang mengejutkan. Para karyawannya berderet mengelilingi sebuah meja. Ada lagu ulang tahun yang dinyanyikan
secara serempak. Ada kue tart, dan Devi tengah menyalakan lilinlilinnya. Boyke terpana, tidak percaya akan mendapat kejutan indah. Tak terasa bola matanya memanas. Sesaat ia merasa bersalah telah berperasangka buruk. Padahal mereka demikian memperhatikannya. Sebelum meniup lilin, Boyke menyempatkan diri berpaling pada Diran. “Thanks Bob, ternyata yey berbakat jadi aktor.” Diran tersipu malu-malu. Pesta sederhana dan dadakan itu terasa sangat meriah dan sempurna. Ruang produksi telah disulap menjadi lantai diskotik mungil. Suara musik keras menggema. Semua bersuka ria. Devi yang terkenal kaku dipaksa untuk berjoged, dan melepaskan kaca mata tebalnya. Ada beberapa krat bir, sprit, coca-cola dan makanan ringan. “Mas Boy, ada telephon,” resepsionisnya datang tergesa-gesa Tapi Boyke tidak berminat. Ia tengah bersenang-senang dan tidak ingin diganggu. Ia menyuruh Devi untuk menanganinya. Boyke menghabiskan beberapa kaleng bir dan hampir mabuk. Ia tak henti bercaca dan berdansa. Liukan tubuhnya laksana seekor ular, gemulai melebihi kelembutan seorang wanita. Ia penari yang sangat berbakat. “Telephon dari siapa?” tanya Boyke, ketika Devi kembali bergabung dalam arena pesta. “Dari Marina.” “Apa katanya?” “Dia menanyakan gaun pesanannya, dan akan mengambilnya jam empat sore ini.” “Apa?!” teriak Boyke kaget. “Dia tidak bisa mengambilnya sekarang, gaun itu belum saya cek. Pokoknya belum bisa,” ujarnya panik. “Tapi kemarin kan kamu ngomong kalau gaun itu sudah selesai, dan seratus persen siap pakai.”
Boyke tidak perduli, ada sebuah dorongan yang membuatnya gelisah. “Kenapa tadi kamu tidak nanya dulu, Sekarang hubungi lagi Marina, katakan pada dia kalau gaun pesanannya baru bisa diambil besok.” “Aku ngga bisa, aku sudah menyetujuinya tadi. Lagi pula seperti ngga tahu saja, Marina itu kaya apa.” “Kamu pasti tahu cara membereskan masalah ini,” Boyke memberikan handphonnya. Devi memijit beberapa nomor dengan wajah kecut.