18
BAB I I TINJAUAN TEORITIS A. Teori Lokasi Ketika akan mendirikan sebuah usaha maka yang perlu diperhatikan adalah lokasi tempat usaha tersebut. Lokasi industri pada umumnya akan mengacu pada teori lokasi. Daldjoeni (1981: 168) mengemukakan bahwa: “teori lokasi tujuan utamanya adalah penentuan lokasi optimal (yang terbaik secara ekonomis) artinya yang memberikan keuntungan secara maksimal”. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa lokasi memberikan peranan penting terhadap keberlangsungan suatu industri atau usaha, sehingga yang dicari adalah lokasi menguntungkan untuk keberlanjutan usaha. Lokasi berkenaan dengan hubungan tata ruang, selanjutnya yang dicari adalah lokasi optimum bagi perusahaan atau tempat usaha. Berkaitan dengan ini Glasson (1991: 108) mengemukakan bahwa terdapat tiga pendekatan tentang teori lokasi industri meliputi “(1) Pendekatan biaya terkecil, berusaha menjelaskan lokasi berdasarkan minimisasi biaya-biaya faktor. (2) Analisa daerah pasar, lebih menitikberatkan pada permintaan atau faktor pasar. (3) Pendekatan maksimalisasi laba, akibat logis dari kedua pendekatan tersebut di atas. Pemilihan lokasi untuk suatu industri jangan sampai tidak cermat, sehingga akhirnya dapat menyebabkan usaha menjadi gulung tikar. Berkaitan dengan ini, Djojodipuro (1992: 10) menyatakan pendapatnya mengenai penentuan lokasi menurutnya: “permintaan yang cukup besar dan didukung oleh daya beli yang memadai, cepat atau lambat akan menarik perhatian seorang usahawan.
19
Adanya permintaan pasar dan luas pasar tersebut akan menentukan skala produksi yang akan dianut oleh perusahaan yang bersangkutan”. Pendapat Djojodipuro menunjukan bahwa pasar akan terbentuk seiring dengan adanya kebutuhan akan barang dan daya beli masyarakat yang memadai. Menurut data meping Yayasan Resik Subang tahun 2009, disebutkan bahwa: “Kabupaten Subang memiliki 11 titik lokalisasi prostitusi, tiap lokalisasi terdapat 25 - 75 PSK. Tercatat setidaknya ada sekitar 5.706 pelanggan PSK, jumlah ini kemudian diimbangi dengan keberadaan 721 PSK langsung, 315 PSK tidak langsung, dan 140 Waria”. Jumlah ini hanya yang tercatat, sangat memungkinan jumlahnya akan lebih besar atau malah menjadi lebih sedikit, hal ini dimungkinkan karena mobilitas mereka cukup tinggi, mudah untuk pindah tempat operasi dikarenakan suatu alasan tertentu. Lokalisasi prostitusi bertujuan agar lebih mudah dilakukan pengawasan, dampak luasnya dapat menimbulkan penghematan bagi pelanggannya, karena mereka tidak perlu jauh untuk mencari apa yang dibutuhkan. Pelanggan jasa PSK cukup mendatangi lokalisasi prostitusi tersebut. Keberadaan lokalisasi prostitusi akan mendorong terbentuknya usaha lain, seperti berdirinya warung yang menyediakan makanan, rokok, minuman keras dan penginapan atau hotel yang sengaja diperuntukan memberikan fasilitas kepada pelaku prostitusi.
20
B. Prostitusi dan Penggolongannya Prostitusi menurut KBBI, (2002: 793) diartikan sebagai “suatu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan”. Sementara menurut Ensiklopedia Indonesia (1998: 278) “prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan”. Prostitusi merupakan salah satu mata pencaharian manusia yang berusia sangat tua. Prostitusi dimaknai sebagai tingkah laku yang bebas tanpa kendali dan cabul berupa pelampiasan nafsu seks antara manusia dengan lawan jenisnya tanpa mengenal nilai-nilai kesopanan. Prostitusi dianggap sebagai suatu perilaku yang menyimpang dalam kehidupan masyarakat setelah undang-undang pernikahan atau penataan aturan mengenai relasi seks mulai diterapkan. Hal ini berarti prostitusi lebih dulu ada jauh sebelum tata aturan tentang perkawinan dibuat dan diberlakukan. Soekanto (1990: 102) mengatakan “sejak adanya norma perkawinan dalam pergaulan hidup manusia, sejak itu pula ada gejala penyimpangan dari norma perkawinan dalam masyarakat yang kemudian dikenal dengan prostitusi”. Prostitusi merupakan bisnis yang tidak pernah lesu, selalu saja ada peminatnya, dan sebagian dari mereka yang memfasilitasinya, hasrat birahi atau seks ini merupakan sebuah dorongan naluri alamiah yang ada pada tiap manusia, kemudian diwujudkan dalam bentuk yang tidak normal tanpa melalui ikatan perkawinan yang sah, perilaku tersebut merupakan awal dari terjadinya prostitusi.
21
Menurut Koentjaraningrat (1981: 109), penyebab prostusi adalah: “…dorongan seks, dorongan ini malahan telah menarik perhatian banyak ahli psikologi, dan berbagai teori telah dikembangkan sekitar soal ini. Suatu hal yang jelas adalah bahwa dorongan ini timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkena pengaruh ilmu pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang mendorong mahluk manusia untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya”. Prostitusi berada di antara norma yang ambigu, di satu sisi dibatasi oleh norma hukum, di sisi lain banyak peminatnya apalagi bagi sebagian orang prostitusi merupakan ladang bisnis yang menguntungkan. Nampaknya hal inilah yang menjadi penyebab praktek prostitusi tidak kunjung henti. Hull (dalam Valentina, 2004: 39) memperhitungkan bahwa “setiap tahun sektor seks mendapat penghasilan berkisar antara US$ 1,18-3,3 Milyar, atau sekitar RP 10,62-29,7 Trilyun, dengan asumsi perhitungan bahwa US$ 1 = RP 9.000”. Nilai demikian tidak dapat dianggap remeh, keuntungan yang tinggi membuat bisnis seks ini tumbuh subur, terlebih karena ada segelintir pihak yang merasa diuntungkan dari adanya praktek prostitusi tersebut. Dunia semakin hari semakin berkembang, baik dari segi teknologi, industri maupun kebudayaan, prostitusi ikut seiring dengan perkembangan jaman tersebut baik secara bentuk, ragam dan tingkatannya.
22
Kartono (1999: 217-220) menyebutkan diantara kegiatan yang dimasukan dalam kategori prostitusi adalah sebagai berikut: 1. Pergundikan: pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan. 2. Tante girang atau loose married woman: yaitu wanita yang sudah menikah, namun tetap memerlukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain secara iseng untuk mengisi waktu kosong atau bersenang-senang 3. Gadis-gadis panggilan: ialah gadis-gadis dan wanita biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitue, melalui saluransaluran tertentu. 4. Gadis-gadis bar atau B girls: yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan bar sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para pengunjung. 5. Gadis-gadis juvenile delinguent: yaitu gadis-gadis muda dan jahat, Karakternya sangat lemah, akibatnya mereka mudah sekali menjadi pecandu minum-minuman keras dan pecandu obat-obat terlarang sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan immoril seksual dan pealcuran. 6. Gadis-gadis binal atau free girls: Mereka adalah gadis-gadis sekolah atau putus sekolah dengan pendirian yang binal dan menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrem, untuk mendapatkan kepuasan seksual. 7. Gadis-gadis taksi, yaitu wanita-wanita dan gadis-gadis panggilan yang dibawa ke tempat plesiran dengan taksi ataupun becak. 8. Penggali emas atau gold-diggers: yaitu wanita-wanita cantik, yang pandai merayu dan bermain cinta untuk mengeruk kekayaan orang-orang berduit. 9. Hostes atau pramuria yang menyemarakkan kehidupan malam di klub malam, para hostes bertugas melayani minum pelanggan bahkan sampai urusan pemuasan seks sekalipun. 10. promiskuitas/promiscuity ialah: hubungan seks secara bebas dan awut-awutan dengan pria manapun juga, dilakukan dengan banyak laki-laki. Dari ke 10 bentuk prostitusi ini, semuanya masih aktif dalam menjalankan perannya, baik dengan tujuan untuk mencari tambahan penghasilan, maupun hanya sekedar untuk mencari kepuasan. Tante girang bertujuan mencari kepuasan, mereka umunya memiliki meterinya yang berkecukupan, sehingga tante girang
23
kemudian mencari pelacur pria untuk kepuasan seksualnya, bukan melacurkan dirinya. Sisanya adalah wanita yang hanya mengikuti nafsu untuk mencari tambahan penghasilan, atau untuk sekedar bertahan hidup ketika pilihan pekerjaan lain dirasa sangat sulit atau malas dilakukan. C. Pekerja Seks Komersial Pelacur merupakan
seseorang yang melacurkan dirinya, baik wanita
maupun pria yang bekerja secara penuh maupun sampingan. Di Indonesia sekitar tahun 1960an oleh Dinas Sosial (DINSOS) istilah pelacur kemudian diperhalus menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) seiring waktu terjadi lagi perubahan kemudian kita kenal sekarang adalah Pekerja Seks Komersial (PSK). Salah satu penyebab seseorang terlibat dalam dunia prostitusi di samping karena pendidikan rendah adalah alasan kemiskinan. Sebenarnya bukan akibat faktor kemiskinan semata, tetapi keengganan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, layak dipandang masyarakat. Pekerjaan yang umumnya didapat oleh mereka dengan pendidikan rendah, tanpa keahlian tertentu, kemungkinan jenis pekerjaan yang didapat adalah pekerjaan kasar, banyak menguras tenaga. Mereka yang enggan untuk bekerja keras maka menjadi PSK adalah salah satu alternatif pilihan.
24
Sikap tidak suka bekerja keras dan lebih suka mendapat hasil instant tanpa bersusah payah, hal inilah yang berperan mendorong perempuan terutama yang dianugerahi kecantikan serta usia muda, kemudian terlibat ke lahan bisnis prostitusi. Koentjaraningrat (1981: 45) mengatakan: “potensi nilai moral yang justru dapat melemahkan dalam membangun negara dan dimiliki oleh sebagian besar rakyat, sifat-sifat tersebut antara lain: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tidak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh”.
Mentalitas suka menerabas merupakan salah satu penyebab maraknya PSK di Indonesia. Mentalitas suka menerabas dapat diartikan sebagai jalan singkat untuk meraih tujuan secepat-cepatnya, tanpa bersusah payah, tanpa menuntut kerelaan untuk berusaha dari permulaan selangkah demi selangkah yang mesti ditempuh untuk medapatkan sesuatu yang diinginkan. Mereka yang memilih pekerjaannya menjadi PSK, baik terpaksa maupun tidak dan tetap melacurkan diri, merupakan bentuk dari mentalitas menerabas yang tidak memerlukan keahlian atau keuletan dalam berusaha. Pekerjaan sebagai PSK berbeda dengan pekerja yang mendapatkan upah hasil dari jerih payahnya di bidang jasa lain ataupun sebagai penjual barang, hal yang umum dijumpai dalam diri PSK adalah ia adalah penjaja sekaligus barang jualannya sendiri. Usia muda, wajah cantik dan bentuk tubuh yang dapat membangkitkan gairah seksual merupakan modal utama para PSK untuk menggaet pelanggannya. Sering kali terjadi persaingan kompetitif diantara para PSK, hal ini membuat
25
mereka berpikir untuk berhenti menjadi PSK kemudian menjalankan kehidupan normal seperti manusia biasa kembali, atau lebih jauh lagi berkeinginan menjadi germo. Kartono (1999: 239-241) mengungkapkan ciri-ciri PSK, diantaranya adalah: 1. Cantik, ayu, rupawan, manis atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya, dapat merangsang kaum pria 2. Pada umumnya berusia masih belia, 75% dari jumlah PSK di kota-kota ada di bawah usia 30 tahun, mereka kebanyakan berada di rentang usia antara 17 - 25 tahun. Prostitusi di kelas rendahan dan menengah sering kali mempekerjakan gadis-gadis prapuber dengan rentang usia 15 - 17 tahun yang biasanya di sajikan sebagai barang baru. 3. Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, eksentrik untuk menarik perhatian pria, mereka kebanyakan sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu: wajah, rambut, pakaian alat kosmetik dan pewangi badan yang kuat wanginya. 4. Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tidak hadir secara psikis (afwezig, absent minded), tanpa emosi atau afeksi, tidak pernah dapat mencapai orgasme sangat provokatif dalam bermesraan, dan biasanya dilakukan secara kasar. 5. Besifat sangat mobile, kerap berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, mereka sering menggunakan nama samaran dan sering pula berganti nama, mengaku berasal dari tempat lain, bukan tempat asalanya, agar tidak di kenal oleh banyak orang. Khususnya terdapat migran-migran dari daerah pedesaan yang gersang dan miskin yang pindah ke kota, mengikuti arus urbanisasi. 6. PSK-PSK profesional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus, kurang pendidikannya, modal yang di gunakannya berupa kecantikan dan kemudaannya. PSK amatir, di samping bekerja sebagai buruh pabrik, restoran, bar, bekerja sebagai pelayan toko mereka menempatkan diri beroprasi sebagai PSK tunggal atau sebagai wanita panggilan. 7. 60 - 80% dari jumlah PSK ini memiliki intelek yang normal, kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan, selebihnya adalah mereka yang ada pada batas yang tidak menentu atau tidak jelas derajat intelegensinya.
Berdasarkan ciri-ciri PSK tersebut, nampak bahwa PSK mudah dibedakan dengan wanita dengan bidang pekerjaan lainnya. Mereka umumnya berpenampilan lebih berani memakai pakaian yang minim atau seronok, berdandan semenor mungkin
26
dengan tujuan utama untuk menggaet pelanggannya. Modal utamanya adalah usia muda dan wajah menarik serta bentuk badan yang mampu membangkitkan hasrat seksual pria. Partodidjojo (dalam Dirdjosisworo, 1977: 79- 80) mengkalsifikasikan PSK kedalam tiga golongan yakni, golongan bawah, tengah dan atas berupa ciri-cirinya baik berupa pekerjaan, tempat dan tarif yang ditentukan. 1. Golongan rendah PSK yang bergelandangan sepanjang tempat-tempat umum dan biasa disebut sebagai street prostitues. PSK yang bersarang di kampung atau di pinggir kota (hoerenkrotten); tarifnya amat rendah. Sebagian besar langganannya adalah buruh-buruh pabrik, pedagang kecil, tukang becak dan lain-lain sebagainya yang berpenghasilan kecil. Tetapi kadang-kadang terdapat pula tingkat yang punya duit atau pemuda-pemuda iseng yang hanya ingin melepaskan dorongan seksualnya dengan PSK-PSK tersebut. Golongan ini merupakan bahaya bagi masyarakat, baik oleh karena mereka itu sebagian besar dijangkiti penyakit kelamin karena tidak ditempatkan di bawah pengawasan dokter, maupun karena merusak jiwa dan kesehatan pemuda sekitarnya. 2.
Golongan menengah Prostitusi yang bersarang di rumah-rumah penginapan atau rumah-rumah bordil yang cukup baik tampilannya, biasanya berparas cantik, berdandan tidak mencolok, dan mempunyai tingkah laku yang lebih sopan. Tarifnya sendiri lebih tinggi dari golongan rendah, pelanggannya kebanyakan orang berduit. PSK jenis ini sudah cukup pengertiannya tentang pemeliharaan kesehatan, biasanya atas kemauan sendiri pada waktu-waktu tertentu memeriksakan dirinya ke Dokter. Dilihat dari sudut medis bahaya terhadap penularan penyakit kelamin dibandingkan dengan golongan rendah agak kurang. 3. Golongan atas PSK yang bersarang di hotel-hotel besar. Paras, pakaian dan sebagainya lebih sempurna apabila di bandingkan dengan golongan menengah dan tentu saja tarifnya lebih tinggi. Dalam golongan ini dapat dimasukan PSK-PSK yang menyediakan dirinya untuk dipanggil atas pesanan, umumnya mereka memperhatikan perawatan kesehatan. Tingkatan dalam golongan PSK timbul akibat perbedaan tarif dan tempat. Dari ketiga golongan diatas tentunya yang paling banyak adalah PSK golongan rendah hal ini lebih dikarenakan tekanan ekonomi hanya sekedar menyambung hidup,
27
tarifnya yang rendah menyesuaikan dengan pasarnya yang berupa pria berpenghasilan menengah ke bawah. PSK golongan atas dapat berubah kelas apabila sudah tidak banyak peminatnya, mempunyai kemungkinan ia akan turun tingkatan menjadi golongan menengah. D. Penyebab Prostitusi Scoot (dalam Dirdjosisworo, 1977: 90) ”sebab sebenarnya dari prostitusi adalah keinginan seksual laki-laki, keinginan ini kemudian menciptakan kehendak untuk berzinah di luar pernikahan dan kenyataan bahwa laki-laki itu bersedia membayar keperluan pemuas seksualnya.” Pernyataan dari Scoot ini memberi pengertian bahwa prostusi diawali dari keinginan laki-laki untuk berhubungan seksual dengan seseorang yang bukan istrinya, kemudian ia mencari pelampiasan dan di sisi lain ada pihak yang bersedia memuaskan keinginannya tersebut dengan bayaran tertentu. Seiring waktu yang terjadi seolah-olah ada perestuan sesuatu yang tidak wajar dan layak dalam masyarakat, sehingga hal yang mungkin untuk dilakukan adalah upaya
pencegahan atau sekurang-kurangnya ketidakwajaran yang ada
tersebut dapat ditekan sampai batas-batas seminimal mungkin. Prostitusi jelas ditolak oleh masyarakat, tetapi seakan tidak pernah dapat dihentikan. Wahyunadi dkk (2004: 31) mengatakan “Prostitusi diantaranya timbul akibat gaya hidup yang setiap saat didengar dan dilihat dalam bermasyarakat seperti perilaku konsumerisme, narkoba dan seks”. Seseorang apabila berada di tengah masyarakat dengan gaya hidup yang tinggi, tetapi kemampuan hidupnya
28
pas-pasan dan ketidakmauan untuk bekerja keras, akan menyeret seseorang terlibat ke dalam dunia prostitusi sebagai jalan pintas untuk pemuas semua kebutuhan jasmaniahnya. Perubahan kehidupan sosial yang cepat dan dinamis dan perkembangan yang tidak sama dengan kebudayaan, mengakibatkan banyak individu tidak mampu untuk menyesuaikan diri sehingga timbul konflik eksternal dan internal. Peristiwa seperti ini memudahkan individu menggunakan reaksi menyimpang dari pola umum yang berlaku, sehingga jalan mudahnya adalah terbentuknya pola prostitusi, untuk dapat bertahan dalam hiruk pikuk kehidupan. Kartono (1999: 242 -244) mengemukakan beberapa peristiwa sosial yang merupakan sebab timbulnya prostitusi, hal tersebut meliputi: 1. Tidak adanya undang-undang yang melarang prostitusi. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau diluar pernikahan. Yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah praktik germo (pasal 296 KUHP) dan mucikari (pasal 506 KUHP). KUHP 506 berbunyi barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Namun dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari ini selalu ditoleransi, secara inkonvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi 2. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan pernikahan. 3. Komersialisasi seks, di sini baik pihak PSK, germo maupun oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan alat yang jamak guna berbagai tujuan komersialisasi di luar pernikahan. 4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saatsaat orang mengenyam kesejahteraan hidup, ada pemutarbalikan nilai-nilai pernikahan sejati. 5. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap harkat dan martabat kaum wanita. 6. Kebudayaan eksploitasi pada jaman modern ini, khususnya mengeksploitasi kaum wanita untuk tujuan yang bersipat komersil.
29
7. Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum ”jual dan permintaan”, yang ternyata diterapkan pula dalam relasi seks. 8. Peperangan dan masa pemberontakan di dalam negeri dalam meningkatkan jumlah prostitusi. 9. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio antara jumlah lelaki dan wanita di tempat tersebut. 10. Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan menyerap banyak tenaga buruh serta pegawai pria. Terlebih laju urbanisasi yang tidak terkendali bagi mereka kaum wanita yang tidak punya keterampilan dan keahlian tertentu jalan singkatnya adalah menjadi PSK itu sendiri. 11. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat tanpa ada usaha untuk memfilternya. Di daerah perkotaan mengakibatkan perubahan sosial yang cepat dan radikal, sehingga masyarakatnya menjadi sangat labil. Terjadi banyak konflik dan kurang adanya konsensus/ persetujuan mengenai norma-norma kesusilaan di antara anggota masyarakat. Kondisi sosial menjadi terpecah sedemikian rupa, sehingga timbul suatu masyarakat yang tidak dapat diintegrasikan, maka terjadilah disorganisasi sosial, sehingga mengakibatkan breakdown atau kepatahan pada kontrol sosial: tradisi dan norma-norma susila banyak dilanggar. Maka tidak sedikit wanita muda yang mengalami disorganisasi pribadi, dan secara elementer bertingkah laku semaunya sendiri memenuhi kebutuhan akan sekes dan kebutuhan hidup lainnya dengan cara melacurkan diri. Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa prostitusi merupakan sebuah gejala yang kompleks melibatkan banyak hal, terutama adalah keinginan laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksual kepada bukan pasangan resminya. Pembangunan kota atau industri yang besar di suatu tempat yang di dominasi oleh laki-laki akan memicu permintaan yang tinggi terhadap PSK, terutama apabila dalam jangka waktu bekerja bertahun-tahun dan terpisah jauh dari keluarga terutama istrinya. Munculnya era globalisasi, terutama internet dan sektor pariwisata yang makin berkembang, sangat memungkinkan terjadinya perembesan budaya terutama yang menyangkut norma kesusilaan dan kehidupan seksual seorang yang berbeda kebudayaan dengan masyarakat asli. Apabila tidak cermat dalam
30
memilahnya, tidak menutup kemungkinan perilaku seksual yang tidak sesuai dengan masyarakat perlahan mulai dijadikan bagian dari gaya hidup baru. E. Pelaku Prostitusi PSK seringkali tidak bekerja sendiri, melainkan banyak pihak yang terlibat dalam praktek prostitusi sepertigermo, calo, pelanggan dan lainnya. Sulit untuk memutus rantai dari prostitusi ini, karena meraka saling menguntungkan dan masing-masing menjalankan perannya. Kemudian Dirdjosisworo, (1977: 45 - 46) mengemukakan beberapa peran yang ada dalam dunia prostitusi, peran mereka dapat berupa: 1. PSK, adalah wanita yang menyerahkan diri atau tubuhnya kepada banyak lakilaki tanpa pilihan, yang untuk penyerahannya memperoleh pembayaran dari laki-laki yang menerima penyerahan tersebut. Dengan pembayaran yang diterimanya PSK menjadikan sebagai pekerjaannya, baik dengan atau tanpa mata pencaharian lainnya. 2. Langganan PSK atau prostituant prostituant yaitu orang yang melacur atau yang membayar seorang PSK untuk memenuhi naluri seksnya dalam mencapai kepuasan. 3. Germo, germo atau baktau yang sehari-hari banyak disebut dengan panggilan Mami, Ibu, Tante dan sebagainya, adalah orang yang mata pencahariannya baik sambilan atau sepenuhnya, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan, membuka dan memimpin serta mengatur tempat untuk praktek prostitusi yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya PSK dengan langganannya. Germo biasanya mengambil sebagian besar hasil yang diperoleh PSK dari langganannya. 4. Calo, merupakan orang yang mata pencahariannya mempertemukan PSK dengan si pemakai atau pelanggannya. Pekerjaannya dapat sepenuhnya ataupun hanya sebagai sampingan saja dari pekerjaan lain. 5. Pedagang atau penjual wanita yaitu mereka yang mencari keuntungan dengan membujuk, membawa, atau melarikan orang gadis/wanita yang kemudian di bujuk baik secara terang-terangan maupun samar kemudian wanita tadi bekerja sebagai PSK.
31
Selain beberapa peran pekerjaan yang sudah terstruktur di lokalisasi prostitusi seperti tersebut diatas. Respon atau peran serta masyarakat di sekitar lokalisasi prostitusi akan memberikan pengaruh, mungkin ada beberapa menolak tegas terhadap keberadaan lokalisasi prostitusi di sekitar daerahnya, tetapi ada sebagian masyarakat justru mendapatkan keuntungan seperti menjadi tukang parkir, tukang warung, penyedia rumah atau kontrakan yang digunakan untuk praktek prostitusi, menjadi petugas keamanan, atau lainnya. Perhatian utama ditujukan kepada pelanggan PSK, karena ketika ada permintaan maka mulai dilakukan usaha untuk memenuhi permintaan tersebut, berkaitan dengan hal ini Hull (dalam Valentina 2004: 73) memberi keterangan bahwa: ”Laki-laki Indonesia adalah pelanggan utama jasa seks komersial dan masyarakat secara umum di untungkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kehadiran dan penghasilan yang diberikan oleh industri seks. Terhitung setiap bulannya, anatara 2,7 - 4,3 juta laki-laki mengunjungi PSK, yang berarti antara 5-8% lelaki dewasa Indonesia.” Hal yang mengkhawatirkan sebuah liputan berita di stasiun televisi swasta, ibu rumah tangga di Yogyakarta banyak mengidap penyakit HIV/AIDS, akibat perilaku suaminya yang tertular karena suka bermesraan dengan PSK. Suaminya yang telah terjangkit penyakit, kemudian akan menularkan kepada istrinya, karena itu sangatlah penting untuk berkomitmen setia terhadap pasangan. PSK banyak diperjualbelikan antar germo dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain, harganya cukup bervariasi, tergantung dari wajah, bentuk badan dan usianya. Semakin mempunyai daya tarik seksual yang tinggi, harganya makin mahal.
32
Anehnya, mereka tidak tahu telah diperjualbelikan. Hal ini terjadi kerena kebanyakan para calo menyamar sebagai agen penyalur jasa tenaga kerja, calon PSK baru tahu setelah berada di tempat tujuan kerja, dalam kondisi yang tidak berdaya untuk melakukan apapun dan tidak banyak pilihan. Gadis desa yang kemudian menjadi PSK pemula, biasanya masih lugu dan belum dibekali pengetahuan yang cukup soal kesehatan seksual, apalagi mengenai kehamilan akan terjadi bila masih melakukan hubungan seksual. berkaitan dengan permasalahan ini Haryadi (2005: 11-12) mengatakan: “Golongan korban jebakan itu sama sekali tidak mempunyai pengalaman menangkal penyakit atau kehadiran janin, sehingga tidak jarang dari mereka tiba-tiba hamil, dengan kejam para germo itu memerintah aborsi agar si ibu tetap bekerja, kalau selamat sampai lahir para korban tidak segan-segan agar jabang bayi di jual saja “.
Tingkat aborsi yang tinggi merupakan akibat nyata dari adanya praktek prostitusi. Karena suatu alasan tertentu germo akan menyuruh PSK untuk menggugurkan kandungannya,
germo
beralasan
bahwa
calon
bayi
akan
mengganggu
produktivitasnya sebagai PSK. Apabila nanti bayi sempat terlahir dan diberi kesempatan untuk hidup dan tumbuh di daerah lokalisasi prostitusi akan membawa pengaruh buruk bagi tumbuh kembang si bayi tersebut. Sehingga dikhawatirkan apabila tidak juga berhenti menjadi PSK atau masih bertempat tinggal di lokalisasi tersebut, maka anak dari PSK kemungkinan akan menjadi PSK di kemudian hari.
33
F. Usaha Mengatasi Prostitusi Prostitusi nampaknya perilaku yang hampir tidak mungkin untuk diberhentikan secara penuh dari kehidupan masyarakat. Hal ini karena di samping berurusan dengan seks yang merupakan salah satu dari sifat biologis manusia yang kadang tidak terkendali, prostitusi ternyata mendatangkan rupiah yang tidak sedikit. ada saja yang butuh untuk dilayani dan pihak yang membutuhkan materi, kemudian ada yang berusaha memfasilitasinya, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan prostitusi ini sulit untuk dihentikan. Selanjutnya hal yang mungkin untuk dilakukan adalah tindakan untuk mencegah akibat buruk dari adanya praktek prostitusi ini, bentuk-bentuk pencegahannya dapat berupa tindakan represif dan prefentif, seperti: 1. Tindakan represif. Memperhatikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masalah prostitusi telah diatur dalam pasal 296, 297 dan 506. Isinya menunjukan bahwa yang diatur adalah mereka yang menjadi germo, yang mencari wanita untuk tujuan prostitusi dan souteneur, akan tetapi kaidah-kaidah tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan secara konsekwen. Senoadji (dalam Dirdjosisworo, 1977: 133) mengemukakan bahwa “Persoalan prostitusi sebagai penyakit masyarakat, menunjukan beberapa persoalan yaitu konsumen atau pelanggannya, PSK sendiri, pengusaha rumah atau tempat prostitusi dan exploiter PSK”. Sehingga kemudian menjadi permasalahan
34
adalah bukan hanya dari pihak PSK tetapi semua pihak yang terlibat terlebih menyangkut kebutuhan biologis manusia, sehingga dirasa sulit untuk dihentikan sampai tuntas. KUHP yang berlaku sekarang, nampaknya tidak dapat diterapkan sepenuhnya untuk menghadapi masalah prostitusi. Kemudian Pemerintah Daerah (PEMDA) mengambil kebijaksanaan dengan tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai tindakan represif . PEMDA tidak melaksanakan hukum pidana yang berlaku, melainkan dengan ketentuan pemerintah daerah masingmasing baik di tuangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) atau suatu kebijaksanaan operasional. Tindakan rerpesif berupa melakukan razia terhadap PSK, pengawasan pengaturan dan pencegahan penyakit, dan kebijakan lokalisasi, Dirdjosisworo (1977: 147) mengungkapkan bahwa penangan terhadap PSK dapat dilakukan dengan cara: a. Razia terhadap PSK “Melakukan pengadiministrasian dan pengawasan pelacuranan bordil, disertai dengan penjagaan kesehatan dari penyakit kelamin. Melakukan razia untuk memberantas Pelacuran jalanan dan yang tersembunyi sesuai dengan peraturan daerah setempat, merupakan cara untuk mengatasi prostitusi jalanan dan prostitusi liar dengan berbagai akibatnya” . Razia dilakukan oleh pihak kepolisian bekerjasama dengan Dinas Sosial (DINSOS) dan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Razia dilakukan secara acak waktunya dan berkala, atau akibat banyaknya keluhan dari masyarakat, seperti mendekati Bulan Ramadhan, maupun hari raya. Tindak lanjut
35
dari adanya razia ini adalah wanita yang bekerja sebagai PSK kemudian dipindahkan ke wisma penampungan milik DINSOS setempat untuk dididik dan diberi keterampilan khusus seperti menjahit, memasak dan lainnya, diberi nasihat kemudian dikembalikan lagi agar dapat hidup normal bersama masyarakat. Razia masih menghadapi masalah yang cukup berat terutama apabila saat PSK mau hidup normal kembali bersama masyarakat, tidak sedikit masyarakat yang apriori membenci PSK atau tidak sudi menerima PSK berada di sekitar tempat tinggalnya. Hal inilah salah satunya yang menyebabkan usaha untuk menyadarkan PSK tidak berhasil, oleh karenanya tidak jarang PSK yang sudah kena razia, kemudian ditampung serta dibekali keterampilan tertentu, setelah itu dilepas, kemudian terjaring razia kembali, terlebih bila usianya masih muda. b. Tindakan pengawasan, pengaturan dan pencegahan penyakit Kebijaksanaan pengawasan atau dikenal dengan reglementering di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda, hingga kini masih dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia. Tahun 1852, Pemerintah Belanda mengeluarkan sebuah peraturan yang isinya menyetujui komersialisasi industri seks, diikuti dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang, kemudian diberlakukan semacam pengadministrasian atau pendataan PSK maupun germonya, dan diawasi oleh Kepolisian, DINSOS dan DINKES setempat.
36
PSK saat itu disebut sebagai wanita publik., wanita publik diawasi secara langsung dan ketat oleh polisi. Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya. c. Kebijakan lokalisasi Berdasarkan kenyataan dilapangan bahwa upaya represif seperti razia rutin dan tindakan pengawasan belum maksimal. PEMDA mencoba membuat peraturan mengenai lokalisasi prostitusi bertujuan untuk membatasi prostitusi, pertimbangan utama untuk menghilangkan atau mengurangi prostitusi jalanan yang ada di tengah kepadatan penduduk sehingga menimbulkan kesan yang buruk. Moeliono (dalam Dirdjosisworo, 1977: 141) memberikan pengertian mendalam mengenai lokalisasi, menurutnya: “lokalisasi bukan berarti kita menunjuk daerah mana dibiarkan sebagai tempat prostitusi, akan tetapi dengan keras tegas kita bertindak terhadap segala bentuk prostitusi di luar daerah yang telah diterapkan. Daerah dimana prostitusi dibiarkan, tidak berarti diijinkan, hendaknya diadakan upaya penanganan yang intensif, daerah prostitusi mestinya dijadikan lapangan kerja khusus bagi pekerja yang memilki cinta kasih tugasnya bukan untuk menangkap PSK dan menceramahi mereka, melainkan selalu siap sedia membantu ketika diperlukan serta penyuluhan tentang kesehatan dan bahaya penyakit kelamin terus digalakan”. Pada kenyataannya lokalisasi tidak lebih sebagai tempat terpusatnya praktek prostitusi, Lokalisasi ini jangan sampai menjadi legalisasi dari adanya praktek prostitusi, kemudian harus bertujuan jangka panjang merupakan tempat rehabilitasi dan resosialisasi PSK agar dapat kembali hidup bersama dan diterima oleh masyarakat.
37
2. Tindakan preventif Tindakan preventif diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah meluasnya jumlah prostitusi. a. Tindakan preventif dapat dalam artian khusus Pencegahan langsung diarahkan untuk menekan meluasnya jumlah prostitusi. Pencegahan dapat berupa pendidikan seks untuk anak sekolah lanjutan yang diarahkan untuk menghindarkan remaja dari hubungan seks secara bebas, penyuluhan mengenai bahaya penyakit kelamin seperti shypilis dan gonorhoe, pemberian bekal agama yang memadai yang dapat mencegah rendahnya moral, pengawasan tempat-tempat dekat rumah bordil agar tidak sembarangan dapat dimasuki remaja, pengawasan polisi terhadap peredaran film cabul, situs-situs porno serta majalah maupun buku-buku cabul. b. Tindakan preventif dapat dalam artian umum Dalam hal ini dilakukan upaya untuk mencegah meluasnya penyakit masyarakat diantaranya dilakukan dengan pembangunan masyarakat desa bertujuan membendung arus urbanisasi, meciptakan kesibukan bagi remaja untuk menyalurkan kelebihan energinya, memperluas lapangan pekerjaan khususnya bagi wanita dengan upah yang sepadan dengan kerja kerasnya.
38
G. Lokalisasi Prostitusi Daldjoeni (1991: 34) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan lokalisasi adalah “pemusatan suatu kegiatan pada wilayah yang terbatas”. Kemudian Pasya (2006: 107) menambahkan bahwa lokalisasi adalah “Pemusatan suatu kegiatan pada wilayah yang terbatas, sehingga akan menambah fungsi wilayah yang bersangkutan”. Pemusatan sesuatu di daerah tertentu dengan tujuan agar mudah dilakukan pengawasan, kemudian akibat dari adanya pemusatan secara langsung akan berakibat pada bertambahnya fungsi wilayah tersebut. Pada perekembangannya pengertian lokalisasi makin mengerucut dan hampir selalu dihubungkan dengan tempat atau kompleks praktek prostitusi. Lokalisasi bertujuan untuk melakukan pembatasan daerah prostitusi di suatu tempat tertentu, dengan pertimbangan untuk menghilangkan atau sekurangkurangnya dapat mengurangi jumlah prostitusi jalanan dan prostitusi bordil yang banyak meresahkan. Tahun 1970an, Gubernur Jakarta Ali Sadikin pernah mengemukakan pendapatnya mengenai lokalisasi yang kemudian dipusatkan di daerah Kramat Tunggak dekat Pelabuhan Tanjung Priok: menurutnya: “memerlukan biaya besar untuk pembangunan Jakarta, dan prostitusi lebih baik dilokalisir untuk dikontrol dan ditarik retribusi, daripada terpencar liar dimana-mana”. Pendapat awalnya adalah praktek prostitusi apabila tetap dibiarkan maka akan semakin meresahkan, karena pelakunya bebas melakukan aktifitasnya sebagai PSK, terlebih bagi mereka yang sudah terjangkit penyakit kelamin
39
sehingga berpotensi menularkannya. Pemusatan bertujuan agar lebih mudah diawasi dan dapat ditarik retribusi bagi Pemerintah Daerah. Kemudian dibuat SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SKPTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.SosJu/1973. Lokalisasi prostitusi hubungannya dengan aglomerasi industri berarti pemusatan suatu usaha agar lebih mudah untuk dipantau, berkaitan dengan hal ini Glasson (1991: 83) mengemukakan bahwa: ”keuntungan-keuntungan aglomerasi adalah menyebabkan konsentrasi produksi lebih efisien daripada terpencarpencar”. Fungsi lokalisasi bagi pelakunya seperti PSK, germo, dan pelanggannya, lokalisasi prostitusi berarti sebuah peluang usaha. Lokalisasi akan membuat sebuah usaha menjadi lebih besar, hal ini disebabkan karena letaknya yang terpusat sehingga biaya usaha berkurang, harga barang/jasa menjadi lebih murah, pilihan yang makin beragam, suplay barang/pekerja lebih mudah, dan pasar yang luas lebih mampu dijangkau karena tempat tersebut menjadi makin ramai. Keberadaan lokalisasi berarti akan lebih mudah dalam hal perekrutan calon PSK karena tempat untuk mereka bekerja telah tersedia, lebih luasnya kalangan pelanggan yang datang. Lokalisasi selain melayani transaksi seks, sangat memungkinan menjadi tempat penjualan minuman keras, penggunaan obat-obatan terlarang, terjadinya tindakan kekerasan dan kriminalitas.
40
Masyarakat yang tinggal di sekitar lokalisasi, akan mendapat dampak dari adanya praktek ini, mungkin bebarapa dari mereka ada yang memperoleh pekerjaan sebagai tukang parkir, keamanan, menjadi calo, pengantar atau penghubung antara PSK dengan pelanggannya. Di sisi lain keberadaan lokalisasi akan membawa berpengaruh buruk terutama kepada perkembangan anak dan remaja, dikhawatirkan masa depannya akan lebih rentan bila tetap tinggal dan mendapat pengaruh langsung dari lokalisasi.
H. Telaah Geografis Terhadap Prostitusi Sumaatmadja (1988: 34) mengemukakan pendapatnya tentang geografi, yaitu: “Geografi sebagai bidang ilmu pengetahuan, selalu melihat keseluruhan gejala dalam ruang, dengan memperhatikan secara mendalam tiap aspek yang menjadi komponen keseluruhan tadi. Geografi sebagai satu kesatuan studi (unified geography), melihat satu kesatuan komponen insaniah pada ruang tertentu di permukaan bumi, dengan mengkaji faktor alam dan faktor manusia yang membentuk integrasi keruangan di wilayah yang bersangkutan. Gejalainterelasi-interaksi-integrasi keruangan, menjadi hakekat kerangka kerja utama pada geografi dan studi geografi”. Menurut seminar dan lokakarya peningkatan kualitas pengajaran geografi tahun 1988 (dalam Pasya, 2006: 82) diperoleh pengertian bahwa: “geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfera dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks keruangan”. Berdasarkan kedua pengertian di atas bahwa geografi mengkaji tentang fenomena atau kejadian nyata yang ada dalam kehidupan manusia di suatu ruang tertentu akibat dari pengaruh faktor alam (fisik) dan campur tangan manusia dalam
41
membentuk suatu hubungan dengan pola tertentu dipermukaan bumi. Sehingga ketika membahas geografi baik itu manusia maupun alam tidak dapat dibahas secara terpisah, karena adanya hubungan saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Sumaatmadja (1988: 42-44) secara rinci menjelaskan “prinsip geografi terdiri atas prinsip penyebaran, interelasi, deskripsi dan korologi”. Selengkapnya Sumaatmadja menjelaskan sebagai berikut: 1. Prinsip penyebaran yaitu suatu gejala dan fakta geografi yang, baik yang berkenaan dengan alamnya, maupun mengenai manusianya, tersebar di permukaan bumi. Penyebaran gejala dan fakta tadi, tidak merata dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Sehingga dari distribusi ini nantinya akan membedakan serta membuat ciri khas suatu daerah. 2. Prinsip interelasi, yaitu suatu hubungan saling terkait dalam ruang, akan diungkapkan hubungan antar faktor fisik dengan faktor fisik, antara faktor manusia dengan faktor manusia, dan antara faktor fisik dan manusia. Berdasarkan pengaruh antar hubungan, kita akan dapat mengungkapkan karakteristik gejala atau fakta geografi di tempat atau wilayah tertentu. 3. Prinsip deskripsi, dipakai untuk memberikan gambaran lebih jauh tentang gejala dan masalah yang kita pelajari. Prinsip ini tidak hanya dapat dilaksanakan melalui kata-kata dan peta, melainkan juga dapat dilaksanakan menggunakan diagram, grafik dan tabel. 4. Prinsip korologi, yaitu suatu gejala, fakta, dan masalah geografi ditinjau penyebarannya, interelasinya dan interaksinya dalam ruang. faktor, sebab dan akibat terjadinya suatu gejala dan masalah tidak dapat di pisahkan dari ruang yang bersangkutan. Keempat prinsip ini harus selalu ada ketika akan melakukan suatu pengkajian dan pengungkapan gejala, variabel, faktor dan masalah geografi. Prinsip korologi merupakan perpaduan dari prinsip penyebaran, interelasi, dan hasilnya harus dapat dipertanggung jawabkan pengungkapannya dengan cara dideskripsikan, sehingga penjabaran dapat lebih dipahami.
42
Pasya (2006: 110 - 113) mengemukakan 10 konsep dasar geografi berdasarakan seminar dan lokakarya ahli geografi pada tahun 1988 dan 1989 yang menghasilkan 10 konsep esensial geografi, yaitu: lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, diferensiasi area dan keterkaitan keruangan. Lebih jelasnya mengenai 10 konsep dasar geografi diatas akan dijelaskan seperti di bawah ini: 1. Lokasi Lokasi merupakan posisi suatu tempat di permukaan bumi, dalam geografi lokasi ini terbagi atas 2 macam, yakni lokasi absolute atau lokasi pasti yang ditunjukan dengan koordinat garis lintang maupun garis bujur. Lokasi absolute ini akan menempatkan suatu titik cenderung stabil disuatu persimpangan titik koordiant tertentu. Kemudian lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat berdasarkan objek lain atau keadaan disekitarnya, lokasi relatif ini amat mudah terjadi perubahan karena berhubungan dengan aktivitas manusia disekitarnya. 2. Jarak Jarak dapat diartikan sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh atau lamanya sesuatu mencapai tujuan yang diinginkan. Jarak dapat diukur dengan dua cara yakni jarak dalam satuan geometrik (panjang) maupun jarak dalam satuan waktu (jarak tempuh)
43
3. Keterjangkauan Keterjangkauan dinyatakan kedalam suatu kondisi dimana sulit atau mudahnya suatu lokasi dapat dijangkau. Keterjangkauan akan diindikasikan dengan ketersediaan angkutan atau kendaraan maupun kondisi jalan. 4. Pola Pola dapat diartikan sebagai bentuk khas, baik karena pengaruh manusia maupun pengaruh alam. maupun akibat pengaruh dari keduanya dalam hubungannya dengan suatu persebaran. 5. Morfologi Morfologi dinyatakan sebagai bentang alam yang berupa suatu bentukan dipermukaan bumi yang terjadi akibat proses alami itu sendiri maupun mendapat pengaruh dari manusia sebagai penghuninya. 6. Aglomerasi Aglomerasi berarti telah terjadinya pemusatan kegiatan berdasarkan aktivitas atau kepentingan manusia yang sama pada suatu daerah tertentu. 7. Nilai kegunaan Nilai kegunaan ini menekankan pada fungsi dari suatu daerah yang memberikan pengaruh tersendiri terutama bagi manusia yang memanfaatkannya. Sehingga terdapat fungsi yang berbeda-beda untuk tiap daerah hal ini didasarkan pada kepentingan manusia yang beragam.
44
8. Interaksi Interaksi berarti bahwa terdapat adanya hubungan antara suatu daerah dengan daerah lainnya karena nilai kegunaan yang berbeda, maka antar daerah kemudian akan berusaha saling memenuhi kebutuhannya, hingga terbentuklah hubungan timbal balik. 9. Diferensiasi area Diferensiasi area menekankan pada perbedaan nilai pada suatu daerah dengan daerah lainnya, misalnya daerah pantai maka bernilai atau berpotensi sebagai penghasil ikan, daerah pegunungan akan cenderung menghasilkan hasil perkebunan, hingga akhirnya perbedaan ini akan terjadi suatu bentuk interaksi antar daerah. 10. Keterkaitan keruangan keterkaitan keruangan dapat berupa sejauh mana hubungan antar suatu daerah dengan daerah lain disekitarnya, terdapat saling adanya keterkaitan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Berdasarkan konsep dan prinsip geografi di atas, peneliti mencoba untuk menghubungkannya dengan fenomena lokalisasi prostitusi, sehingga nantinya akan diketemukan keterkaitan baik berupa persamaan maupun perbedaan lokalisasi prostitusi di tiap tempat,
termasuk kepada kehidupan pelaku
prostitusinya dan respon masyarakat yang ada disekitar lokalisasi prostitusi ditinjau dari sudut pandang geografi.
45
Fenomena geografi di permukaan bumi timbul akibat dari adanya proses interaksi antar lingkungan dengan lingkungan, manusia dengan manusia, maupun manusia dan lingkungannya. Interaksi tersebut menimbulkan bentang alam dan bentang budaya. Kaitannya dengan prostitusi, geografi memandang prostitusi sebagai fenomena sosial yang hidup dan nyata keberadaannya di masyarakat. Fenomena prostitusi ini muncul akibat pertentangan, ada sebagian pihak yang keras menentangnya, tapi di sisi lain ada sebagian lagi yang mendukungnya bahkan memfasilitasinya atas dasar permintaan yang selalu ada hingga menimbulkan peluang usaha. Prostitusi hingga kini masih tetap tumbuh dengan segala modelnya di berbagai wilayah di permukaan bumi, akan tetap ada hingga nanti dan hampir tidak mungkin untuk dihentikan. Sampai kondisi dimana semua kebutuhan manusia
sudah
tercukupi,
mampu
untuk
mengendalikan
birahinya,
menyalurkannya hanya kepada pasangan yang sah baik oleh agama maupun hukum negara .
46
I. Industri Seksual Penentuan lokalisasi prostitusi, tentunya akan mempertimbangkan aspekaspek geografi, aspek-aspek geografi yang dilibatkan dapat berupa aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik berupa topologi membahas hal-hal yang berkenaan dengan letak atau lokasi suatu wilayah, bentuk muka buminya, luas area dan batas-batas wilayah yang mempunyai ciri-ciri khas tertentu. Aspek biotik membahas tentang kehidupan manusia, hewan maupun tumbuhan. Aspek non biotik membahas mengenai tanah air dan atmosfer. Aspek non fisik lebih menitikberatkan pada kajian manusia terutama mengenai karakteristik perilakunya. Manusia dipandang sebagai fokus utama dalam kajian geografi dengan memperhatikan pola penyebaran manusia dalam ruang dan kaitan perilaku manusia dengan lingkungannya. Kajiannya dapat berupa aspek sosial seperti membahas mengenai adat, kelompok masyarakat. Aspek ekonomi membahas mengenai perindustrian, perdagangan, pertanian, dan transportasi. Aspek budaya membahas mengenai pendidikan, agama, bahasa dan kesenian. Aspek politik membahas mengenai pemerintahan dan partai. Lokalisasi prostitusi dari sudut pandang geografi termasuk ke dalam aspek ekonomi, terutama lokalisasi prostitusi sebagai bentuk dari industri.
47
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Daldjoeni (1981: 167) mengemukakan bahwa: “industri dirumuskan sebagai pengubahan komoditi menjadi lebih bermanfaat. Dalam rumah tangga berupa kerajinan, dan kini pabrik-pabrik. Commercial manufacturing mencakup segala kegiatan di mana ada: (1) pengumpulan bahan mentah, (2) ada peningkatan terhadap kegunannya lewat pengubahan bentuk, (3)pengiriman komoditi yang lebih berharga itu ke tempat lain. Berdasarkan pernyataan di atas, nampak bahwa industri di dalamnya terdapat perubahan bentuk agar menjadi lebih bernilai guna. Kemudian bentuk pelayanan jasa juga dimasukan ke dalam industri, meskipun tidak berkaitan dengan perubahan bentuk barang. Bisnis lokalisasi prostitusi dapat digolongkan kedalam sebuah bentuk industri berupa jasa atau pelayanan seksual. Lokalisasi prostitusi dikatakan sebagai bentuk industri seks, hal ini karena di dalamnya terdapat sebuah peran yaitu berupa jasa pelayanan seksual untuk mendapatkan upah atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggannya. Wikipedia memberi pengertian bahwa “Industri seks adalah istilah yang diberikan untuk industri yang mempekerjakan pekerja seks, umumnya disebut hiburan dewasa yang tidak cocok untuk anak-anak”. Pengertian di atas dapat disimpulkan industri seks adalah industri yang dikhususkan bagi yang telah dewasa, hal ini memberikan makna bahwa anak-anak dilarang untuk mengkonsumsinya karena akan mempengaruhi perilaku seksnya, dirasa terlalu dini untuk mengetahui seks lebih lanjut.
48
Industri seks mempunyai pasarnya tersendiri yaitu mereka yang dikatakan telah dewasa. Kemudian ada menjadi pelanggan atau konsumennya, nampaknya hal inilah yang menyebabkan prostitusi selalu ada dari waktu ke waktu. Daldjoeni (1981: 167) berpendapat bahwa: “faktor lokasi dalam industri berkaitan dengan wilayah bahan mentah, pasaran, sumber suplai tenaga kerja, wilayah bahan bakar dan tenaga, jalur transportasi, medan wilayah, pajak dan persatuan penjaluran (zoning) kota. Adapaun wilayah industri yang ideal menyajikan empat kebutuhan asasi: bahan mentah, bahan bakar (tenaga), buruh dan konsumen”.
Pernyataan Daldjoeni memberi keterangan bahwa syarat-syarat suatu industri agar dapat tetap ada dan berkembang adalah syarat tersebut di atas. Dalam industri seks yang perlu diperhitungkan adalah kondisi dan lokasi dimana terjadinya penurunan akan nilai kesucian pernikahan dan ajaran agama mulai pudar, sehingga kebutuhan seksual akan makin menjadi kemudian mencari penyaluran ke lokalisasi prostitusi. Lokalisasi prostitusi dapat bertahan lama ketika masyarakat yang ada disekitarnya cenderung bersikap acuh, terlebih apabila sebagian mendapatkan penghasilan tambahan dari adanya lokalisasi prostitusi tersebut. Hal lainnya yang mendukung terhadap lokalisasi prostitusi adalah faktor geografis seperti tempatnya yang sengaja dikhususkan, seperti jauh dari keramaian penduduk, sehingga mengurangi keresahan, dirasa lebih aman terutama bagi pelanggan karena ia tidak perlu khawatir ketahuan bila ia suka pergi ke tempat tersebut.
49
Kondisi jalan yang baik dari segi akses mudah dijangkau, transportasi memadai, terdapat sarana pendukung seperti penginapan remang yang dijadikan sebagai tempat lokalisasi. Lokalisasi prostitusi disadari maupun tidak, dapat menjadi sebuah lahan pekerjaan baru bagi PSK dan orang-orang yang berkepentingan dengan bisinis ini.