KETIDAKADILAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM NOVEL I’AM MALALA KARYA MALALA YOUSAFZAI DAN CRISTINA LAMB
Iklimatul Hafazah Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak. Masalah ketidakadilan terhadap perempuan merupakan masalah global yang harus disikapi dan diberikan pemecahan atau solusi secara arif dan bijaksana. Penelitian ini mengaji masalah ketidakadilan terhadap perempuan yang sampai saat ini masih menjadi isu global dan masih banyak menarik perhatian orang. Ada pun tujuan penelitian ini untuk memperoleh deskripsi, interprestasi dan eksplanasi tentang: (1) bentuk kosakata yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan, (2) bentuk kalimat yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan, (3) bentuk metafora yang menggambarkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pendekatan yang digunakan adalah kajian kritik sastra feminis dan analisis wacana kritis yang merupakan komponen dalam bidang interdisipliner studi perempuan yang dapt diaplikasikan dalam kajian karya sastra. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel yang ditulis oleh pengarang perempuan, yaitu novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen. Berdasarkan analisis data dan hasil pembahasan diperoleh hasil sebagai berikut. Bentuk kosakata yang merepresentasikan ketidakadilan berupa kosakata klasifikasi, kosakata membatasi pandangan, dan kosakata marjinalisasi. Bentuk kalimat yang merepresentasikan ketidakadilan dalam novel I’Am Malala berupa kalimat pasif penghilangan pelaku dan nominalisasi. Tradisi ketidakadilan beban tugas, ketidakadilan beban perlakuan, yakni laki-laki diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berekspresi, bermain, berpendidikan, dan berprilaku, sedangkan perempuan sangat dibatasi karena menurut pandangan ideologi patriarkhi tugas perempuan hanyalah di dapur, di sumur, dan dikasur. Perempuan ditempatkan pada posisi inferior, namun berusaha melakukan perlawanan, sehingga berhasil memperoleh kesetaraan gender, sehingga dapat mengeliminasi ketidakadilan terhadap perempuan. Metafora yang terdapat dalam novel I’Am Malala banyak menggambarkan nasib perempuan yang harkat dan martabatnya direndahkan oleh kaum laki-laki dan juga metafora-metafora lain sebagai hasil penemuan peneliti. Implikasi pada pembelajaran sastra berprespektif gender. NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 497
Kata kunci: Ketidakadilan perempuan, kosakata, kalimat, metafora novel I’Am Malala. PENDAHALUAN Sastra tetap menjadi bagian penting dalam hidup manusia, sastra sangat indah untuk dibahas. Sastra hidup tidak akan jauh dari manusia, sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinya ke dalam karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa sastra sendiri adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8). Ditinjau dari segi penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara objektif dan komprehensif tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (a) mendeskripsikan, menginterprestasikan dan mengimplementasi bentuk-bentuk bahasa yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan pada novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb, (b) mendeskripsikan, menginterprestasi dan mengeksplanasi bentuk kata yang
merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan pada novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb, (c) mendeskripsikan, menginterprestasi dan mengeksplanasi bentuk kalimat yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan pada novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb, dan (d) mendeskripsikan, menginterprestasi dan mengeksplanasi bentuk metafora yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan pada novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai (1) bagan kelengkapan dan studi pembelajaran sastra bagi mahasiswa, para peneliti lain, guru bahasa/sastra, siswa SLTA, dan masyarakat pecinta sastra terkait dengan subtansi novel maupun masalah penelitian. Lebih lanjut nilai-nilai dari hasil penelitian ini dapat diinternalisasi dalam tingkah lakukehidupan para pembaca; (2) bahan yang mengandung nilai-nilai etika, pendidikan, kemandirian hidup, dan intlektual wawasan cara berpikir bagi perempuan dengan segudang permasalahan ketidak adilan terhadap perempuan pada diri perempuan Malala sebagai manusia imajinatif; (3) bahan yang menampilkan perjuangan intlektual dalam keterbelengguan nafsu dan patriarki. Hal itu akan mengandung ajaran untuk menghindari kebelengguan. Dalam banyak kebudayaan, juga di Indonesia, kaum perempuan justru adalah kaum yang
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 498
bekerja keras, bahkan sering berfungsi tidak lebih dari sekedar budak. Banyak contoh penderitaan perempuan yang sering kita lihat baik disekitar ruang domestik maupun ruang publik. Yang paling penting dengan gambaran itu para laki-laki akan smakin memahami dan peduli terhadap kebutuhan dan keinginan perempuan. Selain itu juga diharapkan membantu sekaligus mempermudah dalam mempelajari, menganalisis dan memahami permasalahan dan ketidak adilan terhadap perempuan didalam karya sastra dalam hal ini novel melalui tokoh Malala dari novel I’Am Malala sehingga dapat memberikan makna yang lebih menyeluruh serta diharapkan untuk meningkatkan kemampuan siswa, mahasiswa dan pencinta karya sastra dalam mengapresiasi karya sastra. METODE PENELITIAN Ditinjau dari segi metode kerja dan hasil yang ingin dicapai, penelitian ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb, dilakukan dengan menggunakan prinsip kerja rancangan kualitatif. Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki ciri (1) hasil penelitian berupa kata-kata, (2) penelitian bertujuan untuk mengembangkan atau meningkatkan pemahaman terhadap teks, (3) dilakukan untuk menghasilkan deskripsi, (4) interprestasi kemudian di implementasi dan simpulan secara verbal dalam bentuk kata-kata, dan (5) hasil penelitian masih bersifat terbuka bagi penelitian lanjutan.
Berdasarkan fokus penelitian dan cara mendapatkan atau memperlakukan data, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian deskriptif interparatif. Data-data yang telah terkumpul tidak hanya dideskripsikan saja melainkan juga diinterprestasi dan di implementasikan. Kegiatan interprestasi melibatkan dunia pengalaman dan pengetahuan peneliti serta wawasan teotitis yang ditemukan peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tentang gambaran ketidakadilan terhadap perempuan dari novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Crisyina Lamb. Untuk mencapai tujuan tersebut, data penelitian ini diambil dari setting alamiah (natural setting) berupa novel dan peneliti sendri sebagai instrumen utama (human isnstrumen). Dalam pelaksanaanya, metode kualitatif berpandangan bahwa semua hal yang berupa teks kebahasaan tidak ada yang patut diremehkan, semuanya penting, dan semuanya mempunyai pengaruh dan kaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan semua teks kebahasaan kemungkinan akan memberikan suatu pemahaman yang lebih konprehensif mengenai apa yang sedang dikaji. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis wacana oleh sebab itu, analis wacana kritis tidak bisa di anggap sebagai pendekatan netral (sebagaimana ilmu sosial objektivis) namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 499
bahwa analisis ini bertujuan mengungkap praktik peran kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial tertindas. Bogdan (dalam Sugiono, 2012:19) menyatakan bahwa data akan diketahui setelah memasuki objek, dengan cara membaca berbagai sumber informasi tertulis, gambar-gambar, berfikir, dan melihat objek serta aktivitas orang yang berada disekelilingnya, melakukan wawancara dan sebagainya. Dikemukakan juga bahwa penelitian kualitatif belum memiliki masalah, atau keinginan yang jelas, tetapi dapat langsung memasuki objek/lapangan. Dalam penelitian kualitatif yang diutamakan adalah kualitas data bukan kuantitas data. Kualitas data ini ditentukan oleh representatif atau tidaknya suatu data. Data yang refrensetatif adalah data yang mewakili ciri-ciri kelompoknya, selain itu data berkualitas adalah data yang menyeluruh yakni data yang sebesar mungkin dapat merekam keseluruhan gejala atau fenomena yang ada dalam objek penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel yang ditulis oleh pengarang perempuan, yaitu Malala Yousafzai dan Cristina Lamb: Novel I’ Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb, tebal buku 383 halaman, Mizan Media Utama, Bandung, 2014. Adapun data penelitian ini berupa paparan bahasa yang terkait
dengan butir-butir ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel yang dijadikan sumber data penelitian, yaitu (1) Bentuk-bentuk bahasa yang merepresentasikan ketidakadilan terhadap perempuan yang diperinci menjadi: Bentuk kata, bentuk kalimat, dan metafora (2) Ideide feminis dalam merepresentasi ketidakadilan terhadap perempuan yang diperinci menjadi: ide feminis tentang kebebasan perempuan, hak perempuan, dan perjuangan harkat dan martabat perempuan. Masalahmasalah tersebut dibedah dengan teori wacana kritis dengan model kajian kritik sastra feminis. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama atau human intrument. Peneliti sebagai instrument utama (human intrument), berarti peneliti yang menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya. Oleh karena itu di dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrumen”, jadi peneliti adalah merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif (Sugiono, 2012:222-223). Untuk memastikan keabsahan data penelitian ketidakadilan terhadap perempuan karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb digunakan instrumen pembantu berupa format panduan penelitian. Format panduan tersebut didasarkan pada variabel dan sub variabel. Tujuannya adalah untuk memudahkan identifikasi dan klasifikasi data.
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 500
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Representasi Ketidakadilan terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan seringkali terjadi di dalam rumah di mana perempuan menjadi seorang ibu, istri, anak perempuan, saudara perempuan, atau sebagai seorang pengasuh. Rumah yang semestinya menjadi tempat tinggal yang aman, dalam beberapa kasus ternyata menjadi ladang pembantaian yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Hak hidup bagi perempuan, bahkan ketika masih berupa janin pun banyak yang tidak terpenuhi. Misalnya yang pernah terjadi di India dan China, ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin tersebut harus diaborsi karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak saja, dan diutamakan bukan perempuan yaitu laki-laki sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial di banding perempuan (http:L’enfer Paradisiaque Re-thinking Feminism.htm). Representasi Kosakata yang Menimbulkan Ketidakadilan Kosakata kata-kata atau istilah yang digunakan dalam novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Pemakaian kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan kata dalam suatu teks
menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang berbeda dari penulisanya baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional, dan nilai ekspresif. Nilai eksperiental berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai rasional berkaitan dengan dengan hubunganhubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut. Nilai ekspresif berkaitan dengan pemilihan atau evaluasi tentang sesuatu yang dicerminkan oleh kata tersebut. Dalam hal ini dapat dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Setiap teks dapat dianalisis dari representasi dalam teks yaitu bahasa yang digunakan misalnya dengan melihat kosakata yang digunakan untuk memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu, selain itu teks dapat dilihat dari pilihan gramatikal atau struktur sintaksisnya (Eriyanto, 2012:290). Misalnya pilihan kata yang digunakan oleh penulis dalam novel I’Am Malala yang dapat memperlihatkan bentuk ketidakadilan. Representasi Ketidakadilan terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan seringkali terjadi di dalam rumah di mana perempuan menjadi seorang ibu, istri, anak perempuan, saudara perempuan, atau sebagai seorang pengasuh. Rumah yang semestinya menjadi tempat tinggal yang aman, dalam beberapa kasus ternyata menjadi ladang pembantaian yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Hak hidup bagi perempuan, bahkan
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 501
ketika masih berupa janin pun banyak yang tidak terpenuhi. Misalnya yang pernah terjadi di India dan China, ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin tersebut harus diaborsi karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak saja, dan diutamakan bukan perempuan yaitu laki-laki sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial di banding perempuan (http:L’enfer Paradisiaque Re-thinking Feminism.htm). Representasi Kosakata yang Menimbulkan Ketidakadilan Kosakata kata-kata atau istilah yang digunakan dalam novel I’Am Malala karya Malala Yousafzai dan Cristina Lamb yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Pemakaian kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan kata dalam suatu teks menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang berbeda dari penulisanya baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional, dan nilai ekspresif. Nilai eksperiental berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai rasional berkaitan dengan dengan hubunganhubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut. Nilai ekspresif berkaitan dengan pemilihan atau evaluasi tentang sesuatu yang dicerminkan oleh kata tersebut. Dalam hal ini dapat dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Setiap teks dapat dianalisis dari representasi
dalam teks yaitu bahasa yang digunakan misalnya dengan melihat kosakata yang digunakan untuk memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu, selain itu teks dapat dilihat dari pilihan gramatikal atau struktur sintaksisnya (Eriyanto, 2012:290). Misalnya pilihan kata yang digunakan oleh penulis dalam novel I’Am Malala yang dapat memperlihatkan bentuk ketidakadilan. Kosakata Membuat Klasifikasi Bahasa pada dasarnya selalu menyediakan klasifikasi. Realitas tertentu dikategorisasikan sebagai ini, dan akhirnya dibedakan dengan realitas yang lain. Klasifikasi terjadi kareana realitas begitu kompleksnya, sehingga orang kemudian membuatpenyederhanaan dan abstraksi dari realitas tersebut. Realitas tersebut bukan hanya bisa dikenali, pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan yang lain. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Seperti pada pemaparan data berikut: Terdapat dua kosakata seperti berupa kata “tinggal di rumah” dan kata berupa “menunggu”. Seperti pada kutipan berikut. Seperti dalam sebagian besar keluarga, semua anak perempuan tinggal di rumah sementara semua anak lakilaki bersekolah.” Mereka hanya menunggu untuk dinikahkan,”(2014:37). Paparan data kosakata “tinggal di rumah” menimbulkan streotip dari kecil anak perempuan sudah ditekankan untuk tidak keluar rumah, tidak boleh bermain keluar rumah,
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 502
tidak boleh bersekolah, anak perempuan diharuskan untuk melayani ayahnya dan saudara lakilakinya seperti memasak dan membersihkan rumah, sementara anak laki-laki bebas keluar kemana saja yang mereka inginkan, bermain permainan yang meraka suka di luar rumah tanpa ada yang memarahi dan boleh kesekolah tanpa rasa takut oleh ancaman Taliban yang tidak mengijinkan sekolah untuk anak perempuan. Kata menunggu menimbulkan betapa lemahnya perempuan yang tidak mampu menentang atau menolak atas keputusan laki-laki yang diberikan kepada kaum perempuan. Garis hidup manusia sudah ditentukan sebelum ia di lahirkan di dunia namun, garis hidup seorang perempuan Pastun ditentukan ditangan laki-laki sehingga semakin nampak tranparanlah bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Sejalan dengan itu menurut Mansoer Fakih penyebab dari ketidakadilan terhadap perempuan terdiri dari beberapa faktor. Pertama, adanya arogansi laki-laki yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya anggapan kalau laki-laki disepakati sebagai pencari nafkah utama dalam keluaga. Ketiga, adanya kultur yang selalu memenangkan laki-laki telah mengakar di masyarakat. Keempat, norma hukum dan kebijakan politik yang diskriminatif. Kelima, perempuan sangat rawan pemerkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra dan norma baik dalam keluarga dan masyarakat, sehingga perempuan
harus dikekang oleh aturan-aturan khusus yang memenjarakan perempuan dalam tugas domestik saja. Jadi, apa pun yang menjadi keputusan laki-laki, kaum perempuan harus mengikuti dan pasrah menerima peraturan laki-laki yang sudah berakar sejak zaman patriarki. Kosakata Membatasi Pandangan Menurur Fowler dkk,. bahasa pada dasarnya bersifat membatasi─kita diajak berpikir untuk memahami seperti itu, bukan yang lain. Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Hal ini karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara langsung. Oleh karena itu, ketika membaca suatu kosakata tertentu, akan dihubungkan dengan realitas tertentu. Terdapat juga kosakata berupa kata “simbol protes”. Hal ini jelas terlihat pada kutipan di bawah ini. Kami juga bersenang-senang seperti pergi ke taman dan mendengarkan musik, yang seakan tampak biasa bagi sebagian besar orang. Tindakan yang sangat seharihari, namun di Swat bisa menjadi simbol protes politik (2014:226). Berdasarkan pemaparan data di atas, penulis menggunakan kata simbol protes yang menimbulkan asosiasi bahwa perlawanan masyarakat yang menentang peraturan Taliban, dimana bagi mereka mendengarkan musik merupakan pelanggaran yang tidak diperbolehkan dalam hukum syariat Islam. Kosakata simbol protes ini
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 503
menekankan pada bentuk ketidakperdulian masyarakat terhadap peraturan yang telah di buat oleh Taliban sehingga membuat orang-orang tidak bisa mengekspresikan dirinya dalam hal seni, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan seni telah disita dan dihancurkan oleh pengikut Taliban. Kosakata Marjinalisasi Argumen dasar dari Roger Fowler dkk. adalah pilihan linguistik tertentu─kata, kalimat, proposisi─membawa nilai ideologis tertentu. Kata dipandang buka suatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Pada level pilihan kata dipertanyakan bagaimana peristiwa dan aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut dibahasakan. Terdapat kosakata berupa kata “perempuan” dan kata ”diperkosa”.Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Penjara-penjara kami segera dipenuhi kasus-kasus, misalnya anak perempuan berusia tiga belas tahun yang diperkosa, hamil, tapi malah dijebloskan ke penjara karena tuduhan perzinaan, gara-gara dia tidak bisa mendatangkan empat saksi laki-laki untuk membuktikan kejahatan itu”(2014:39). Dalam kacamata masyarakat luas kaum perempuan selalu termarginalkan oleh kaum laki-laki bahwa apa pun bentuk kesalahan selalu dilimpahkan sepenuhnya kepada kaum perempuan, tindak kekerasan seksual terjadi dimanamana namun saat perempuan mengadukan perlakuan yang asusila
tersebut kaum perempuan malah sebaliknya mendapatkan hukuman bukannya mendapatkan keadilan. Sejalan dengan hal itu, hukum islam yang memperkuat nilai kesaksian kaum perempuan menjadi hanya setengah dari nilai kesaksian kaum lelaki, yang membuat laki-laki melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa harus takut dengan hukum dan melakukan kejahatan berulangkali yang tidak akan merugikan kaum laki-laki tetapi kaum perempuanlah yang mendapatkan ganjaran dari perbuatan keji tersebut. Efek bentuk kalimat pasif: penghilangan pelaku Menurut Fowler bahasa dipandang sebagai model yang mengubungkan antara objek dan peristiwa. Tata bahasa bukan hanya berhubungan dengan persoalan teknis kebahasaan, ia juga bukan hanya melulu persoalan cara menulis, karena bentuk kalimat menentukan makna kalimat yang dihasilkan oleh susunan kalimat tersebut. Ada dua bentuk kalimat: kalimat aktif dan kalimat pasif. Dalam kalimat aktif yang ditekankan adalah subjek pelaku dari suatu kegiatan, sedangkan dalam kalimat pasif yang ditekankan adalah sasaran dari suatu pelaku atau tindakan. Dalam novel I’Am Malala ini peneliti menemukan efek bentuk kaliamat pasif yang menimbulkan penghilangan pelaku, seperti pada kutipan-kutipan kalimat di bawah ini. Anak-anak perempuan terus dibunuhi dan sekolah-sekolah diledakkan. Pada bulan Maret terjadi sebuah serangan terhadap sebuah sekolah untuk
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 504
anak perempuan di Karachi yang pernah kami kunjungi (2014: 364). Pada kalimat pasif di atas, kalimat tersebut masih bisa dibaca ketika pelaku dihilangkan. Artinya ada atau tidak adanya pelaku, tidak akan mempengaruhi bacaan kalimat, karena yang dipentingkan dalam kalimat yang berstruktur pasif ini adalah sasaran atau korban. Seperti telah dipaparkan kutipan kalimat di atas bahwa sasaran atau korban dari kekejaman Taliban adalah anak-anak perempuan yang tidak berdosa dibunuh hanya karena mereka ingin bersekolah seperti anak laki-laki lainnya. Sehingga posisi pelaku dalam kalimat pasif hanyalah sebagai keterangan atau posisi itu tidak mempengaruhi secara gramatikal kalau dihilangkan. Yang dipentingkan dalam kalimat pasif adalah korban bukan pelaku (subjek) sehingga pelaku dari tindak kekejaman ini bisa disembunyikan dalam kalimat sementara khalayak fokus pada sasaran atau korban dalam struktur kalimat tersebut. Efek nominalisasi: penghilangan pelaku Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara radikal dalam suatu klausa, yang memiliki konsekuensi struktural yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan ideologi. Dalam bahasa Indonesia predikat verba direalisasikan secara sintaksis menjadi nomina. Salah satunya dilakukn dengan memberi imbuhan “pe-an” Kau bisa mendengar Taliban itu berkata,”Pegangi dia. Pegangi tangannya.”Pada
suatu saat diantara pencambukan itu, burqa gadis itu melorot dan mereka berhenti sejenak untuk membetulkannya, lalu meneruskan pemukulan itu. Mereka mencambuknya tiga puluh empat kali. Kerumunan orang terbentuk, tapi mereka tidak melakukan apa pun. Salah seorang kerabat gadis itu bahkan membantu memegangi secara sukarela. (2014: 200). Dalam bentuk nominal bukan lagi kegiatan atau tindakan yang ditekankan tetapi suatu peristiwa. Seperti dalam kutipan di atas yang ingin dikomunikasikan pada khalayak yakni peristiwa pencambukan dan pemukulan yang menimpa seorang gadis sebanyak tiga puluh empat kali. Artinya peristiwa kekerasan dan pelecahan yang dilakukan Taliban yang lebih utama menjadi sorotan publik. Metafora yang Menggambarkan Ketidakadilan Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Metafora juga merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan uangkapan kebahasaan yang menyatakan hal-hal yang bersifat umum untuk hal-hal yang bersifat khusus dan sebaliknya. Terdapat metafora yang berupa kata “porselen rapuh”. Seperti pada kutipan di bawah ini: Ibuku sangat cantik dan ayah memujanya seakan dia adalah porselen rapuh. Ayah tidak
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 505
pernah memukul ibu, tidak seperti banyak kaum laki-laki kami (2014:28). Pada paparan data di atas metafora “porselen rapuh” dapat memunculkan makna bahwa kaum perempuan seperti benda pecah belah yang mudah hancur atau makhluk rentan yang harus dijaga, diperhatikan, dilindungi, dicintai, disayangi, lemah lembut, pemalu, mudah bersedih dan sangat sensitif jika tidak diperhatikan maka ia akan merasa dirinya tidak dibutuhkan atau kehadirannya tidak dihargai sama sekali. Ayah Malala sangat menyayangi istrinya, selalu bertukar pikiran tentang masalah yang dihadapinya (meskipun kebiasaan itu tidak biasa untuk kaum laki-laki Pastun, karena mereka akan merasa lemah jika bertukar pikiran dengan kaum perempuan). Tidak ada satu pun yang disembunyikannya dari istrinya, ini membuktikan bahwa ayah Malala sangat menghargai iastrinya baginya istrinya adalah orang kepercayaan yang tidak dapat tergantikan dengan orang lain, karena itu ayah Malala tidak pernah berbuat kasar kepada istrinya, bertolak belakang dengan perlakuan lelaki Pastun lainnya yang sangat kasar. Lelaki pastun sangat keras terhadap istri mereka dan menganggap rendah kaum perempuan, dan selalu dijadikan pusat kesalahan yang meskipun sebenarnya ia tidak melakukan kesalahan. Kata porselen rapuh tersebut telah mewakili bahwa betapa lemahnya kaum perempuan yang harus selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan yakni (a) Nilai sosial dan budaya patriarkhi sama dengan pranata kehidupan yang berdasarkan pandangan laki-laki, (b) Produk dan peraturan perundangundangan yang masih bias gender, (c) Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial, (d) Kelemahan kurang percaya diri, tekad & inkonsistensi kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasibnya, (e) pemahaman para pemimpin dan pengambil keputusan terhadap makna kesetaraan dan keadilan gender yang belum mendalam. Dan semoga model kajian dalam penelitian dapat dijadikan sebagai bagian bahan rujukan dalam belajar aplikasi persoalan ketidakadilan terhadap perempuan dalam karya sastra, khususnya ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel dengan fokus analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis. DAFTAR RUJUKAN Eriyanto. 2012. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta:PT Lkis Printing cemerlang. Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gend er dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset. Jorgensen, Marianne dan Phillips, Lauise.2010.Analisis Wacana. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 506
Moleong. 2014.Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung Ricoeur, Paul. 2012. Hermeneutika Ilmu sosial. Kreasi Wacana. Kasihan Bantul. Ritzer&Goodman. 2014.Teori Sosiologi. Kreasi Wacana: Kasihan, Bantul. Sugihastuti & Suharto. 2013. Kritik sastra Feminis:Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yousafzai, Malala. 2014. ”I’Am Malala”. Bandung:Mizan Pustaka. http:/L'enfer Paradisiaque Rethinking Feminism.htm 2014, 21:49 http://www.kemenpppa.go.id/index.p hp/publikasi/berita/12-anak/777hm 2015, 02:24 http://www.puskur.net. Naskahakademik /monografbahanajargender. http://www.pusbuk.or.id. Instrumen penialaian buku BI.zip\Instrumen\BHS INDO\B Ind SD- ZIP archive, unpacked size 9,634,754 bytes.
NOSI Volume 3, Nomor 4, Agustus 2015____________________________________________Halaman | 507