WACANA PAMERAN SENI RUPA BINALLE SOLO :
KETIDAK KEMUNGKINAN ATAU KENISCAYAAN FAJAR SUTARDI Pra Wacana Pembicaraan yang mengarah pada wacana Binalle Seni Rupa Solo digulirkan oleh kalangan perupa muda di Solo seperti teman-teman Sanggar Kamar WC, beberapa anggota Komunitas Pintu Mati, teman-teman ISI Solo dan FKIP Seni Rupa yang dilakukan dalam diskusi-diskusi tidak resmi pada waktu dan tempat berbeda, sempat menggelitik pikiran saya. Kalau kita mau menerawang jauh ke masa lalu sebenarnya kegelisahan para perupa muda, tentang kemungkinan diadakannya Binalle Seni Rupa di Solo tadi cukup beralasan. Pertama,ternyata bahwa disadari atau tidak Solo secara histories merupakan kota yang pernah melahirkan “dinamika dan spirit kompetisi” dan pemikiran kemungkinan-kemungkinan untuk itu. Lewat SIM ( Seniman Indonesia Muda ), misalnya beberapa perupa muda waktu itu seperti S.Sudjojono, Basuki Resobowo, Trubus, Surono, Dullah, Sudibyo, Sudjana Kerton, Moh.Sahid, Suromo, Sasongko pada tahun 1947-an telah melakukan pembacaan wacanawacana kompetisi seni rupa dengan cara yang sederhana, yaitu dengan menampilkan karyakarya mereka melalui majalah seni SENIMAN yang bermarkas di Pasar Pon Solo. Kedua, gejala eksodus atau hijrahnya perupa-perupa muda Solo tahun tujuh puluhan ke Jakarta, sebenarnya kalau dipikir-pikir dengan wacana sekarang, merupakan “hijrah kompetisi” untuk secara pribadi-pribadi mencari ruang cakrawala terbuka dengan atmosfir dan semangat yang berbeda dengan di Solo,wong Solo yang berangkat ke kota metropolitan merupakan sebuah keberanian dan tekad yang luar biasa,
seperti hijrahnya Sri Warso Wahono, Jeihan
Suksmantoro, S.Wakidjan, Mulyadi.W. dengan resiko dan keuntungan sendiri-sendiri pula, dari sisi ini mereka termasuk cukup cerdas. Ketiga, setelah aktivitas di Sasono Mulyo tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak berdarah kegiatannya, karena ditinggalkan para aktivis perupanya – maka atas “perjuangan” pak Ndon, di penghujung tahun 80-an Solo berdiri space, ruang yang representative dan megah, yaitu sebuah Taman Budaya yang disana para perupa seakan menemukan “oase” kegelisahan dan dinamika tersebut. Dan dengan kehadiran “ruang seni untuk umum yang gres tersebut”, maka beberapa nama perupa Solo atau yang mewakili Solo, baik dari kampus atau personal akhirnya sempat ikut serta diundang Binnale di TIM mulai tahun 1974 sampai dengan tahun 1996 antara lain Sri Warso Wahono, Putut H.Pramono, AS Budiono, Suatmadji dan Bonyong Munni Ardhie, Anang Ismail Syaronie, Narsen Afatara, Reyot Hartoto,Rusmadi, Winardie, Suharman MS, I.Gusti Nengah Nurata. Keempat, gesekan dan dinamika kegiatan seni rupa diluar Solo,seperti Binalle Jogja,
UNS, ISI, SMKI, SMSR, ASDI tetapi kenapa Solo bengong dan diam saja. Mereka cuma bertanya, mengapa Solo adem ayem. Mengacu dari catatan sejarah dari empat “spirit kompetisi” hal diatas, tulisan ini mencoba untuk berkhidmat – tentang perlu, sangat perlu atau tidaknya Solo ikut-ikutan ber Binnale Ria, seperti kota-kota besar lain seperti Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Surabaya dan sebagainya, seperti yang dilemparkan teman-teman perupa muda diatas. Binalle. Binalle. Apakah Binalle Seni Rupa? Shearer West ( 1996 ) dalam buku Guide to Art, terbitan Bloomsbury, London, disebutkan, bahwa
pada mulanya Binalle bertujuan sebagai ajang pameran seni rupa
internasional, yang di selenggarakan setiap dua tahunan, dihimpun dan dinilai oleh sekelompok juri tingkat internasional. Beberapa penyelenggaraan Binalle Internasional yang dianggap sukses adalah seperti Binalle Documenta di Jerman, Sao Paulo Binalle di Brazil, Binalle de la Havana di Cuba, Venice Binalle di Italia, Osaka Trienalle di Jepang, Asia Pacific Trienalle di Australia, Transmediale Binalle di Berlin dan sebagainya. Keberhasilan penyelenggaraan Binalle Internasional inilah, akhirnya menjalari gagasan serupa dibeberapa kota besar dunia, termasuk Jakarta. Peristiwa Binalle Seni Rupa di Jakarta, yang pertama digelar pada tahun 1974. Pada waktu itu, perhelatan besar seni rupa berlabel dengan nama Pameran Besar Seni Rupa Indonesia. Dengan kekuatan, spekulasi dan semangat yang makantar-kantar. Pameran Besar itu ditangani dan diselenggarakan oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang baru pertama kali diadakan dalam skala nasional, terbilang sukses. Mulai tahun 1982 istilah Pameran Besar Seni Rupa Indonesia, diganti menjadi Binalle Seni Lukis Jakarta. Binalle Seni Lukis ini, menjadi ajang bergengsi bagi para perupa diseluruh Indonesia. Binalle ini juga berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk mengevaluasi perkembangan dan penilaian seni lukis ( rupa ) di Indonesia, secara kewilayahan geografis, dan pengelompokan domisili perupa ( Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surakarta, Surabaya, Ujung Pandang, Medan dan kota-kota besar lainnya. Sejak
tahun
mengembangkan
1985
gagasan
penyelenggaraan menarik,
antara
Binalle lain
Seni
Lukis
keikutsertaan
Jakarta,
peserta
panitia
Binalle,tidak
mendasarkan dengan menggunakan istilah kewilayahan atau kepemukiman, tetapi mendasarkan atas kesenioritasan dan keyunioritasan dengan batasan perupa senior adalah telah mencapai diatas 35 tahun, sementara yunioritas berumur dibawah 35 tahun. Pada tahun 1987 Binalle diperluas lagi dengan konsep, bahwa keikutsertaan para perupa tidak dibatasi kewilayahan, kepemukiman dan kesenioran ataupun keyunioran. Artinya, peserta binalle di
Mini karena terkesan hanya pameran biasa, tidak istimewa, tidak ada kejutan dari ketegangan kreatif dalam masa menunggu dua tahunan. Pada tahun 1990-an seiring dengan munculnya gallery-gallery, space dan ruang seni rupa di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya, peristiwa Binalle Seni Lukis, muncul berbagai-bagai ragam dan kepentingannya seperti Binalle Yogja, CP-Binalle, Treinal Seni Patung Jakarta, Festival Kesenian Jogja, Trienalle Denpasar, Trienalle Seni Grafis Indonesia, Binalle Jawa Timur atau bahkan Binalle Bali. Dari beberapa peristiwa di tingkat Internasional dan Nasional diatas , dapat disarikan bahwa Binalle, pada intinya adalah peristiwa perhelatan seni rupa dengan system kuratorial yang relative selektif sesuai dengan visi, misi dan kepentingan masing-masing penyelenggara. Pada hakekatnya Binalle menjadi penting bagi perupa, karena seperti dikatakan Moctar Lubis dalam Katalog Binalle XI tahun 1998 di Jakarta bahwa, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai karya putra-putri bangsa itu sendiri. Dan perlu dicatat disini, keikutsertaan para perupa Solo dalam Binalle Nasional, tidak begitu banyak alias dapat dihitung dengan jari, bila dibanding dengan peserta dari Surabaya, Bandung, Yogjakarta atau Jakarta sendiri. Siapkah Solo mengadakan Binalle Seni Rupa? Setelah sepuluhan tahun berlalu, Solo tidak diperhitungkan lagi dikancah binalle di tingkat nasional. Sepuluhan tahun perupa Solo tidur. Dan, sepuluhan tahun pula perupa Solo mandul. Merebaknya kegiatan Binalle daerah ( Yogja, Surabaya, Bandung dan Jakarta ), tidak menggemingkan para perupa Solo. Dan tentang kemungkinan Binalle Solo kedepan, pernah saya diskusikan dengan pengelola Galery Seni Rupa TBS beberapa waktu yang lalu, dalam diskusi yang bersifat ngalor ngidul itu, akhirnya disimpulkan bahwa Solo belum layak menyelenggarakan Binalle. Karena, bila Binalle tetap akan dilaksanakan di Solo, yang dirugikan adalah para perupa pinggiran, sementara “pemenang” Binalle paling ya itu-itu saja. Kesimpulan sementara dalam diskusi kecil di ruang lobby Galery Seni Rupa TBS tersebut, masih menjadi catatan besar hati saya antara mungkin atau ketidak mungkinannya diselenggarakan Binalle Seni Rupa Solo. Kemudian saya menghubungi Mikke Susanto, dalam wawancara imajiner dengan penulis yang didasarkan bukunya yang berjudul “ Menimbang Ruang Menata Rupa” Galang Pers, September 2004. Mikke mengatakan bahwa Pameran Besar atau Binalle, sebenarnya dapat diselenggarakan dimana saja termasuk di Solo, asalkan Binalle tersebut memiliki karakter. Pameran atau Binalle yang berkarakter, ialah pameran yang melibatkan sejumlah perupa secara pribadi atau kelompok, sesuai dengan waktu yang disepakati, tema yang diusung, jenis karya, ruang, tempat, kehendak pelaku ( perupa ,manajer, curator, sponsor, art
Mikke juga menambahkan, bahwa penyelenggaraan Binalle seharusnya juga memperhatikan struktur lokasi yang menjadi proyek binalle atau pameran secara specific, konteks keseharian kehidupan seniman rupa di area tersebut, skala kecenderungan atau arah tujuan pameran, dan mobilitas yang besar dari para pengemban misi binalle. Salah satu contoh adalah suksesnya penyelenggaraan CP-Binalle 2005 dalam ‘Urban Culture’ di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Dan diikuti beberapa Binalle seperti Binalle Yogja dalam ‘NeoNation’ misalnya, walau ada beberapa cacat dalam hal misi dan visinya, namun diakui atau tidak penyelenggaraan tersebut terbilang berhasil. Tentang Binalle Solo, dilain waktu Bonyong Munni Ardhie, mengatakan bahwa Solo belum saatnya Binalle, karena kepedulian dan perhatian dari pemerintah setempat belum nampak, institusi seni seperti UNS Seni Murni, UNS FKIP Seni Rupa, ISI belum ada “grengseng” mengarah kesana. Juga mungkin kesiapan dan keberadaan para perupanya, cenderung masih tercecer-cecer belum saling membutuhkan dan belum bisa bersatu untuk pekerjaan besar seperti Binalle, misalnya. Selain itu komunitas perupa di Solo belum dapat bekerja secara maksimal; pameran saja masih temporal, pemfokusan tema yang diangkat belum menyiratkan isu-isu daerah Solo dan apalagi Nasional, perjalanan pemikiran para perupa belum mengarah pada gerakan yang spesifik. Ada beberapa perupa yang menjaring dengan Jogja, tetapi belum menyentuh pada masalah yang sebenarnya di Solo. Pada intinya masih tertinggal jauh dengan perjalanan dan percepatan dengan kota besar lainnya. Solo memerlukan waktu 10 sampai dengan 20 tahun untuk mewujudkan Solo sebagai kota seni rupa, dengan segala insfrastrukturnya dan kegiatannya. Sudjud Dartanto, salah satu curator Binalle Yogja IX “ Neo-Nation”, yang juga dosen FSRD ISI Yogya menulis, bahwa usaha memajukan seni rupa melalui penyelenggaraan Binalle, sebenarnya di dorong oleh kebutuhan akan status, fungsi dan kedudukan Binalle itu sendiri secara fundamental. Yang fundamental dalam penyelenggaraan Binalle
tersebut,
antara lain nilai ideal, nilai strategis dan nilai ekonomis. Ketiganya tidak dapat ditinggalkan dari salah satunya, semuanya dominant dan penting. Nilai ideal, merupakan perwujudan sebuah event bergengsi yang menampilkan keragaman prestasi artistic dan kecenderungan estetik pada karya seni, serta strategi pembacaan apa yang perlu dan penting untuk diajukan dalam pencapaian dan fenomena estetik yang terjadi. Sedang pada nilai strategis, terletak pada tema yang diusung. Tema merupakan akumulasi dari pergeseran, perubahan, dan perkembangan dunia sosial budaya dimana para seniman bekerja dan didalam medan seni itu sendiri. Juga perlu memerhatikan perancangan tema, dengan tema yang menarik, praktis akan memicu pencapaian karya seni yang menggambarkan “perspektif masa depan” bagi senimannya . Pada nilai yang ketiga, yaitu nilai
bagian dan berperan aktif atas peristiwa Binalle tersebut, bukan tidak mungkin penyelenggaraan Binalle akan menuai sukses dan berlanjut sebagai kebutuhan masyarakat tersebut. Ketika Binalle, sudah menjadi pengalaman naratif bagi seluruh warga masyarakat dan para pelancong seni rupa. Maka model representasi itulah yang akan menjadi pedoman untuk Binalle selanjutnya. Lorenzo Rudolf, Fair Director Shanghai Contemporary, dalam diskusi tentang masa depan seni rupa kontemporer di Asia, Asia disini sudah barang tentu termasuk didalamnya Solo kedepan ( tambahan pen.) yang diselenggarakan di rumah kolektor Dedy Kusuma, beberapa waktu lalu, yang termuat di koran Kompas (31 Agustus 2008 ). Lorenzo mengatakan bahwa, seiring menguatnya ekonomi dibeberapa Negara Asia, serta liberisasi sosial dalam berbagai bidang termasuk seni, di kota-kota besar di Asia akan terjadi perputaran kesenian yang hebat, dan sepanjang setiap event ( Binalle : pen ) asalkan di platform yang jelas, akan menjadi ajang kompetisi yang sehat dan professional. Untuk itu seniman harus dapat bekerjasama dengan siapapun termasuk sponsor dan gallery. Kiblat seni rupa akan berubah arah ke Asia. Optimisme yang dikatakan Lorenzo, menjadikan pekerjaan rumah ( PR ) untuk Solo dan sekitarnya, tantangan yang berat masih menghadang kita. Mungkin di Solo kedepan perlu “mencetak”creator, konseptor,curator, sponsor yang dapat “menghidupkan” Solo pada beberapa tahun kedepan. Menggerakkan Solo menuju Binalle dengan Pameran Pra Binalle. Adalah Samuel Indratmo, yang sempat melontarkan gagasan kepada teman-teman Kamar WC saat bertemu di Yogya, waktu itu teman-teman Solo bertandang ke Jogja untuk mengajak perupa Jogja dalam acara performant art dibeberapa tempat di Solo, yang salah satunya dilakukan di depan Gelora Manahan Solo. Samuel Indratmo lewat informasi Susiawan Haryanto mengatakan dengan menegaskan, agar teman-teman Solo dapat segera mengadakan Binalle Solo, dengan mengawali pameran Pra Binalle, dengan support dan spirit dari sebagian para perupa di Yogja. Lontaran Samuel, cukup menarik dan menjadi renungan spontan teman-teman, termasuk saya. Pameran Pra Binalle, menurut saya cukup menarik dan ideal, minimal merupakan ajang membaca wacana seni rupa di Solo kedepan. Kemudian siapa yang akan memulai pekerjaan yang penuh tantangan ini? Tentu tidak mudah dan tidak segampang yang kita bayangkan. Menurut pendapat saya , pada prinsipnya perhelatan yang besar sejenis Binalle atau Pra Binalle dapat dilaksanakan dengan baik di Solo, asalkan penggerak seni rupa dari kalangan manapun, secara serius memperhatikan beberapa hal dibawah ini, antara lain :
dengan mendokumentasikannya untuk kepentingan public dan penelitian. Pendokumentasian dan mempublikasikan merupakan pekerjaan utama bagi seorang curator. Profesi curator dinegara-negara maju cukup mendapat perhatian besar. Di Solo, dapat dipahami bersama bahwa belum adanya pekerja kurasi ini secara profesional, apalagi dengan menyandang gelar ahli kurasi dari lulusan dengan jenjang pendidikan sarjana atau master yang relevan. Di Solo, memang belum terbentuk tradisi pengkurasian karya. Ini menjadi pekerjaan bagi institusi seni di Solo, seperti ISI dan Seni Rupa Murni UNS. Bila di Solo telah lahir sarjana – sarjana ahli dalam bidang pengkurasian, tentu para calon curator ini akan bekerja professional, mencari obyek
pendokumentasian
dan
pernik-perniknya
dengan
penuh
dedikasi
dan
bertanggungjawab, demi memajukan seni rupa di Solo. Tuntutan ini menarik, sebab maju dan tidaknya kesenirupaan, disamping dari kreatornya, tidak kalah penting adalah juga para kuratornya. Kita sama-sama menunggu tokoh yang di Solo “terbiasa” mengkurasi karya seni rupa secara independent, semacam Putut H.Pramono, Narsen Afatara, Arfial Arsad Hakim, I.Gusti Nengah Nurata, Bonyong Munni Ardhie, Soni Kartika Darsono, Cahyo Prabowo atau yang lebih muda seperti Satriana Didik, Gigih Wiyono, Moch.Sofyan Zarkasi, Nanang Yulianto dan sebagainya. Kedua, Solo butuh kritikus seni rupa. Kitapun paham, bahwa bidang keahlian dalam hal kritik seni, di Indonesia terbilang langka. Apalagi bidang ini, dari sisi komersial kurang menjanjikan. Kita pernah memiliki satu-satunya kritikus seni rupa yang handal, Sanento Yuliman almarhum. Dibawah Sanento Yuliman ada juga seperti; Jim Supangkat, Agus Dermawan T, Sudjoko, MamanNoor, Jean Couteau, dan sebagainya. Di Solo tradisi menulis kritik seni belum terbentuk dengan baik, ada beberapa seperti HB Sutopo, Narsen Afatara, I.Gusti Nengah Nurata , Agus Nor Setiawan, Bonyong Munni Ardhie, Andrik Purwasito, Cahyo Prabowo, Arfial Arsad Hakim, tetapi belum begitu intens dalam bidang yang memang hanya ladang “kering kerontang”. Ketiga, Solo kekurangan sponsor. Sponsor atau fundraising, sebenarnya bisa berbentuk uang, dukungan pemikiran, tenaga, pinjaman tempat, dan fasilitas. Berbagai sumber dana dapat diupayakan melalui komunikasi dengan : perusahan-perusahaan, sponsorship personal, Negara atau pemerintah setempat, donator ( hibbah ) dari Negara lain, atau Yayasan, Lembaga dan Organisasi yang peduli dengan seni rupa baik yang berada di dalam negeri ataupun luar negeri. Di Solo, bertahun-tahun para sponsorship ini sebenarnya sedikit banyak telah membantu penyelenggaraan pameran dengan dana, fasilitas yang seadanya, tetapi jalan dengan baik. Misalnya, sumbangan dan fasilitas TBS, dinas pariwisata, pemerintah kodya , percetakan-percetakan, perusahaan swasta cukup membantu. Keempat, Perupa Solo perlu merencanakan anggaran matang. Sebuah pameran
pertangggungjawaban. Perencanaan keuangan yang tidak matang, akan melahirkan sesuatu yang setengah-setengah. Kelima, Solo butuh pekerja seni yang handal dalam hal kepanitiaan. Panitia yang terdiri dari Pelindung, Penasehat, Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Seksi-seksi merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cita-cita bersama untuk mencapai satu tujuan. Kepanitiaan yang cerdas, ulet, jeli, rapi, tahan banting, ikhlas, jujur, menjaga kebersamaan, siap tempur disegala waktu, tidak malas, peduli, gembira, kompak, terbuka akan melahirkan dan menciptakan Tim yang handal dan professional dan mengagumkan. Keenam,keterlibatan media di Solo belum maksimal. Media dalam hal ini adalah pers dan media elektronika. Pers yang membantu kesenian dengan membuka ruang seni rupa, baik untuk artikel, dokumentasi foto dari sebuah peristiwa seni rupa, ulasan dan komentar, kritik seni, wacana pembacaan seni rupa merupakan sesuatu yang penting juga. Keberadaan pers di Solo, seperti Kompas Solo-Jogja, Suara Merdeka, Solo Pos, Joglo Semar, Wawasan, Jawa Pos cukup menciptakan “oase” seni rupa di Solo, dengan penyediaan ruang atau rubric pergelaran seni misalnya. Cuma khusus seni rupa, ketersediaan ruangannya sangat terbatas. Untuk media Elektronika; TA TV cukup baik dalam menayangkan peristiwa seni rupa, walau belum adanya ulasan dan komentar yang memadai. Ketujuh, Solo perlu tim usaha mendirektori para perupa di Jawa Tengah khususnya, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, bahkan kalau perlu perupa luar Jawa. Mencatat nama-nama perupa yang masih berkarya dan masih seringnya berpameran ditingkat local dan nasional, merupakan upaya untuk mendokumentasikan mereka. Yang pada saatnya, dapat diundang untuk terlibat dalam perhelatan Pameran Pra Binalle. Usaha ini cukup sulit, tetapi dengan melacak katalogus mereka di taman budaya misalnya, mejadikan sarana komunikasi awal untuk secara bersama-sama berkompetisi diajang yang semi besar, tentu dengan kriteriakriteria yang di program Panitia pameran, bersama dengan curator dan lembaga-lembaga pemerintah. Ketujuh hal diatas, menjadi sarana penunjang dalam penyelenggaraan event pameran semi besar, semacam Pameran Pra Binalle misalnya. Saya secara pribadi melihat bahwa, beberapa kaum muda di Solo, telah menunjukkan keprofesionalan dalam menyelenggarakan pameran-pameran, walau pameran yang masih bertaraf dan bersifat local. Tetapi, bila dibakar, dikompori, diberdayakan para kaum muda, tentu akan memperlihatkan kemampuannya dengan total. Artinya, seandainya mulai saat ini penggagasan Pameran Pra Binnale sebagai alternative dan batu loncatan untuk menuju Binalle mulai digulirkan dan diwacanakan dengan sungguh-sungguh, bukan sesuatu yang mustahil untuk diselenggarakan. Lontaran Samuel Indratmo sangat mungkin akan menjadi kenyataan.
masyarakat pendukungnya, pihak pemerintah, warga kota, image atau kesan teman-teman diluar Solo mungkin Solo dianggap diluar skets kegiatan mereka dan sebagainya. Ya, Solo dalam bidang seni rupa memang belum maksimal. Mungkin tulisan tentang Binalle Solo inipun dianggap ngayawara, kurang waras, mimpi besar tenaga kurang alias jarkoni : kakehan ujar ning gak bisa nglakoni dan sebagainya. Tetapi pada saatnya Binalle sangat mungkin dilaksanakan di Solo. Disatu pihak memang seperti gambaran diatas, di pihak lain pameran seni rupa yang diadakan di Solo ( TBS ), tetap ada “gesah positif”oleh teman-teman di luar Solo dan sampai saat ini pameran teman diluar Solo tetap mengalir. Lalu, untuk kegiatan Solo sendiri, mengapa mengalami kemunduran dan stagnan? Mungkin jawabannya tersimpulkan sebagai berikut : a. selama ini perupa Solo berjalan sendiri-sendiri, kurang berkomunikasi, kurang terbuka, dalam pembacaan Solo kedepan. Sementara para praktisi akademik, seakan tenggelam dengan aktivitas kampusnya masing-masing, sehingga disibukkan, menyibukkan diri dengan kegiatan kedalam. b. mungkin para perupa Solo, sedang mencari format yang tepat, untuk menghidupkan kotanya, atau bahkan mungkin sebagian perupa sudah pindah profesi lain yang lebih menjanjikan, ketimbang bersakit-sakit dengan derita selamanya di wilayah seni rupa. c. mungkin juga banyaknya perupa Solo yang hijrah diam-diam ke kota besar, seperti Jakarta, Jogja
untuk mengadu dan mengundi “nasib” mereka, agar masa depan mereka
meningkat secara material, sementara di Solo
para pejabat pemerintah, anggota DPR,
pengusaha, keluarga kraton, tidak ada yang mencoba membeli karya-karya mereka sebagai investasi, menjaga gengsi atau sekedar apresiasi. d. tidak adanya maezenas ( impresario ) asal Solo yang sukses dikota-kota besar, untuk menggerakkan kota muasal mereka dengan mengangkat dunia perupaan yang digelar di Solo. e. factor ekonomi, alam lingkungan atau factor kecerdasan berbisniz warga Solo, belum saatnya berpikir tentang “ bisniz” lukisan dan mendorong kegiatan para perupa, seperti binalle. f. atau, memang Solo mungkin masih malu-malu berkompetisi dengan kota lain, dalam hal mencari dan mencuri peluang bisniz kreasi lewat seni rupa, seperti Bandung Creative City Forum, Malang, Magelang dan lain sebagainya. Inilah “kenyataan” wolak waliking jaman, atau jaman itu sendiri akan melahirkan irama kehidupan sendiri-sendiri. Tetapi, usaha dan usaha tetap diperlukan asalkan diselenggarakan dengan kejujuran. Bukankah kejujuran itu merupakan energi besar dalam berkesenian dalam hal ini seni rupa. Inilah renungan kita, sebelum melangkah untuk berbinal binal ria atau jangan-jangan kita tidak “binal” seperti kuda.