http://www.minihub.org/siarlist/msg00218.html
KETETAPAN MPRS "SULAPAN" TIDAK KONSTITUSIONAL Oleh: Alam Putri Menurut Republika (22/6/’98) dalam sambutan Rachmawati pada haul ke-28 Bung Karno, atas nama keluarga meminta pemerintah mencabut Tap No. XXXIII/MPRS/1967 dan Tap No. 36/MPRS/1967. Ketetapan-ketetapan MPRS itu menetapkan status tahanan politik terhadap Presiden RI Pertama Ir Soekarno. "Kami minta pemerintah mencabut Tap yang telah berusia seperempat abad lebih itu, karena bertentangan dengan HAM, apalagi Bung Karno selama hidupnya berjuang untuk bangsa dan negara," kata Rachmawati. Muncul pertanyaan: mengapa Rachmawati menuntut dicabutnya Tap MPRS No XXXIII/XXXVI tahun 1967? Mengapa Rachmawati tak menyatakan bahwa Tap-Tap tersebut sesungguhnya tidak konstitusional, karena MPRS yang mengeluarkan Ketetapan-ketetapan itu bukan MPRS yang dibentuk Presiden Soekarno berdasar Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945, melainkan MPRS sulapan hasil memanipulasi Supersemar? Mari lah sejenak kita menoleh kebelakang melihat sejarah perkembangan MPRS tersebut. MPRS ALAT REVOLUSI Menurut JK Tumakaka [Membangun Sistem Masyarakat Pancasila, Secercah Pengalaman Bersama Bung Karno, pen. Yayasan Piranti Ilmu, 1987, hal: 189-194] Dekrit Presiden 5 Juli 1959 selain menetapkan kembali ke UUD 1945, juga mengamanatkan pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkalnya. Dalam rangka pelaksanaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 1 Tahun 1959 yang menetapkan bahwa sebelum DPR menurut UUD 1945 disusun, maka DPR sudah ada waktu itu, menjalankan tugas menurut UUD 1945.
1
Selanjutnya dikeluarkan Penpres No 2 Tahun 1959 tentang pembentukan MPRS dan Penpres No 3 tahun 1959 tentang pembentukan DPA Sementara. DPAS disusun lebih dulu dari MPRS agar DPAS dapat memberi nasehat-nasehat kepada Presiden, termasuk mengenai persoalan MPRS. Para anggota DPA ini adalah Pucuk Pimpinan dari partai-partai politik, tokoh-tokoh dari golongan karya. Tiga bulan sesudah Presiden mendapat nasehat dari DPAS, keluarlah Peraturan Presiden No 12 Tahun 1959, tertanggal 31 Desember 1959 tentang susunan MPRS. Dalam amanat presiden dalam Pembukaan Sidang Umum Pertama MPRS yang bertempat di bandung tertanggal 10 November 1960, Presiden Soekarno menggariskan tugas dan wewenang MPRS, antara lain MPRS sama seperti lembaga-lembaga negara lainnya, adalah alat revolusi untuk melaksanakan Ampera, membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur, suatu hidup merdeka, suatu hidup internasional yang bersahabat dan damai dengan semua bangsa-bangsa... Sebagai alat revolusi MPRS bertugas menyusun konsepsi-konsepsi pelaksanaan Ampera itu, atau dengan bahasa UUD 1945 bertugas menyusun GBHN. Sesuai dengan nasehat DPAS tentang "wewenang MPRS", maka MPR yang bersifat Sementara ini tidak menjalankan wewenang: 1. 2.
Mengubah atau mengganti: UUD 1945 Memilih Presiden/Wakil Presiden
MPRS bukan MPR menurut UUD 1945. MPRS sama sekali tidak berwenang untuk merobah atau mengganti UUD 1945 dan tidak berwenang untuk memilih Presiden/Wakil Presiden. Kedua kewenangan tersebut adalah semata-mata wewenang MPR menurut UUD 1945. Sebelum MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat melalui pemilu yang bebas dan rahasia itu terbentuk, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi "Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional". MPRS tidak dibentuk berdasarkan UUD 1945. Bahkan badan ini tidak dikenal dalam UUD 1945. Dalam 4 kalimat Pembukaan UUD 1945, atau dalam 37 pasal batang tubuhnya dan 4 pasal Aturan Peralihan serta 2 ayat Aturan Tambahan UUD 1945 tidak
2
diketemukan suatu ketentuan yang mengatur MPRS. MPRS dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Secara konstitusional MPRS ini kiranya dapat dipertanggungjawabkan bila difungsikan sebagai sebuah Komite Nasional, yang dimaksud dalam pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang bertugas membantu Presiden Soekarno dalam menjalankan kekuasaan MPR menurut UUD 1945. Sesuai dengan kedudukannya sebagai pembantu Presiden, maka Presiden Soekarno memberi kedudukan sebagai Menteri ex officio kepada ketua dan para wakil ketua MPRS. Demikian lah proses lahir dan kedudukan MPRS yang lahirnya dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apakah MPRS yang mengeluarkan Ketetapan-Ketetapan ber No. XXXIII dan XXXVI Tahun 1967, MPRS yang asli, yang kedudukannya sebagai Pembantu Presiden atau sudah MPRS lain? LAHIRNYA MPRS SULAPAN Sebagai buah dari strategi Soeharto [Pengakuan Frans Seda dalam Tempo 15 Maret 1986], maka pada 11 Maret 1966, Presiden mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, yang terkenal kemudian sebagai Supersemar. Dengan Supersemar ditangannya, maka Jenderal Soeharto tertanggal 12 Maret melarang dan membubarkan PKI. Soeharto menganggap Supersemar itu adalah "pelimpahan kekuasaan" padanya dan bukan "Surat Perintah" pengamanan. Padahal cukup jelas, Supersemar bukan "pelimpahan kekuasaan". Hal itu tidak diperdulikan Soeharto. Menurut AM Hanafi ["AM Hanafi Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto", dari Gestapu ke Supersemar, Edition Montblanc Lille-France-1998, hal: 275], mantan Dubes RI di Kuba dan ketika Supersemar lahir berada di sekitar Bung Karno, bahwa pembubaran PKI oleh Letjen Soeharto berdasarkan Supersemar itu jelas kontra konstitusional, walau pun jargon konstitusional tak henti-hentinya disesumbar-kannya. Keputusan itu melanggar UUD 1945 dan juga melanggar Supersemar itu sendiri. Sebab, pada saat kejadian, Presiden Soekarno masih sehat walafiat, tidak uzur, malah Presiden Soekarno mengoreksinya dengan Surat Perintah 13 Maret 1966.
3
Surat Perintah 13 Maret 1966 dari Presiden Soekarno itu, yang isinya tidak membenarkan pembubaran PKI, disampaikan langsung oleh Dr J Leimena dan didampingi Brigjen KKO Hartono di Jalan H. Agusalim. Dalam Surat Perintah 13 Maret itu dikatakan, Supersemar itu adalah Surat Perintah dan bukan pelimpahan kekuasaan. Setiap pelaksanaan yang akan dilakukan dikonsultasikan lebih dulu dengan presiden. Setelah Soeharto membaca Surat Perintah 13 Maret dari Presiden Soekarno itu, Soeharto menjawab, "Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua yang saya lakukan atas tanggungjawab saya sendiri." Menurut kamus politik ucapan semacam itu artinya kudeta. Dengan menyalahgunakan Supersemar menjadi satu kudeta yang terang-terangan telanjang bulat. Apa yang menjadi faktor sehingga Soeharto berani berpesan demikian? Tampaknya karena sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan secara de facto sudah berada ditangannya. Sudah lepas dari tangan Presiden Soekarno. Hal itu dapat diketahui dari pengakuan Soeharto bahwa ia pada 1 Oktober 1965 telah memberi 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel Angkatan Laut Bambang Widjanarko. Empat petunjuk itu dapat dibaca dalam Buku Putih (G30S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan Sekneg pada 1994, hal: 146-147. Jelasnya 4 petunjuk tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Mayjen Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap presiden untuk tidak menambah korban; Kedua, Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI AD berdasarkan perintah tetap Men/Pangad; ketiga, diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto; keempat, Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel Bambang Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan udara Halim PK, karena pasukan yang berada di bawah komandonya Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G30S yang berada di Pangkalan Udara Halim PK sebelum tengah malam 1 Oktober. APA ARTI 4 PETUNJUK TERSEBUT? Petunjuk (1) berarti: Soeharto menolak penetapan Presiden/Pangti ABRI atas Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menpangad. Ia merasa dirinya telah
4
menjadi Menpangad. Kedua menuduh Presiden Soekarno terlibat dalam pembunuhan 6 jenderal dini hari 1 Oktober 1965 itu. Petunjuk (2) berarti: Soeharto menganggap Presiden/Pangti ABRI Soekarno harus tunduk kepada apa yang dinamakan "perintah tetap Menpangad", yaitu konsensus dalam AD, bila KASAD berhalangan, otomatis Panglima Kostrad menggantinya. Hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI menentukan siapa yang harus memangku Panglima suatu Angkatan, dikesampingkannya begitu saja. Dianggapnya sebagai angin lalu. Petunjuk (3) berarti: Soeharto menyatakan secara de facto dirinya yang berkuasa. Karena itu dia berhak mengatur Presiden Soekarno harus begini dan begitu, meskipun diselimuti dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden Soekarno yang mengatur Soeharto, kini justru sebaliknya. Petunjuk (4) berarti: Soeharto menyalahgunakan Perintah lisan Presiden Soekarno kepada BrigJen Supardjo untuk menghentikan operasi militer G.30-S dan oleh pasukan G30S ditaati. Situasi itu dinilainya suatu kesempatan yang baik untuk menghancurkan G30S. Presiden Soekarno "diperintahkannya" meninggalkan Halim. Soeharto lebih berkuasa dari Presiden Soekarno. Sesudah Presiden Soekarno mendengar jawaban yang diberikan Soeharto atas surat Perintahnya 13 Maret 1966 yang dibawa Dr J Leimena, maka pada tanggal 16 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman yang menganggap pembubaran PKI itu tidak sah. Yang mengumumkannya Waperdam Chaerul Saleh dan kemudian dipertegas oleh Waperdam Ruslan Abdulgani. Mengenai hal ini, Wiratmo Sukito [Sinar, 3 Oktober 1994] mengatakan: "Bung Karno marah tatkala jenderal Soeharto menggunakan Supersemar membubarkan PKI. Dia tidak setuju Supersemar digunakan untuk membubarkan PKI. Bahkan pada tanggal 16 Maret 1966 Bung Karno mengumumkan bahwa Supersemar diberikan tanpa wewenang membubarkan PKI. Jadi, pembubaran PKI itu tidak sah. Penegasan itu disampaikan Waperdam Chaerul Saleh, yang kemudian dijelaskan oleh Waperdam Ruslan Abdulgani yang menjadi jurubicara Usdek." Atas tanggungjawab sendiri Jenderal Soeharto meneruskan kudeta merayapnya, dengan menangkap sejumlah Menteri dan kemudian menangkap dan memenjarakan anggota-anggota DPRGR/MPRS pendukung Presiden Soekarno, baik dari PKI, Partindo, PNI dan sebagainya. Kemudian anggota-anggota DPRGR/MPRS yang ditangkapnya itu
5
digantinya dengan mengangkat dari KAMI/KAPPI dan Kesatuan-kesatuan aksi lain yang diorganisasi tentara. Padahal Soeharto bukan presiden, jadi tidak berhak mengangkat anggota-anggota DPRGR/MPRS. Itu hanya menunjukkan tidak konstitusionalnya langkah Soeharto. Dengan demikian lahirlah DPRGR/MPRS sulapan, bukan DPRGR/MPRS bentukan Presiden Soekarno berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pembentukan DPRGR/MPRS sulapan ini menurut pengamatan AM Hanafi [Hanafi idem, hal:7-8] adalah: "Apa isi "konstitusional" a la Soeharto itu? Dimulai dengan Gestapu, kemudian menyusul Supersemar asli sebagai motor pirantinya, kita menyaksikan bagaimana ia mengobrak-abrik MPRS yang sah, semasa Presiden Soekarno masih berkuasa. Lebih dari separoh keanggotaan MPRS yang sah itu dijebloskan ke dalam penjara atau dibunuh. Selanjutnya dia cegah para anggota memasuki gedung sidang MPRS, dan yang masih berada di daerah dihalangi masuk kota Jakarta. "Lantas mulai lah dia menyusun MPRS baru, yang katanya konstitusional itu. Separoh dari seribu anggota MPRS gaya Orde Baru itu, dia angkat dan tunjuk, dan sudah tentu terdiri dari orang-orang yang siap membebek kepadanya dalam segala hal. Separohnya lagi bagian terbesar terdiri dari anggota-anggota dia saring dan berkualitas yes man, seperti lima ratus bebek tadi. Mereka antara lain terdiri dari anggota-anggota KAMI/KAPPI dan berbagai kesatuan aksi lainnya yang diorganisir oleh militer. Beberapa gelintir anggota yang tetap setia pada cita-cita Proklamasi dan cita-cita Bung Karno seperti Ali Sadikin - misalnya, masih dia biarkan ikut bersidang; mereka bukan komunis, tapi toh tidak berdaya apa-apa menghadapi mayoritas quasi konstitusional itu". DENGAN MPRS-SULAPAN MENGGULINGKAN PRESIDEN SOEKARNO Kuatir Supersemar yang dimanipulasi oleh Soeharto akan dicabut kembali oleh Presiden Soekarno, maka buru-buru jenderal Nasution, yang kini menjadi Ketua MPRS-sulapan membawa Supersemar ke Sidang Umum MPRS. Pada 21 Juni 1966 keluarlah Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 tentang Supersemar itu. Seterusnya pada 5 Juli 1966 keluarlah Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang menyatakan PKI sebagai partai terlarang, juga larangan menyebarkan marxisme-leninisme atau komunisme. Untuk mengkonsolidasi lebih lanjut kudeta merayap yang dilakukan Soeharto, maka dengan alasan Presiden Soekarno melanggar GBHN, yaitu tak mau membubarkan PKI,
6
DPRGR-sulapan meminta diadakan Sidang Umum Istimewa MPRS. Padahal GBHN yang berlaku ketika itu GBHN Manipol, di mana persatuannya berbasiskan persatuan Nasakom. Justru membubarkan PKI yang melanggar GBHN. Sidang Istimewa itu berlangsung dari 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret 1967. Dalam rangka penggulingan Presiden Soekarno dari kekuasannya, maka jenderal Nasution yang menjadi Ketua MPRS telah menyulap lagi MPRS yang sudah disulap itu menjadikan MPRS sebagai MPR menurut UUD 1945. Jelasnya bila menurut amanat kenegaraan Presiden Soekarno 10 November 1960 MPRS tidak berwenang mengganti Presiden/Wakil Presiden, maka oleh Nasution dinyatakan Amanat Presiden Soekarno itu tidak berlaku lagi. MPRS boleh mengganti Presiden/Wakil Presiden. Rupanya Jenderal Nasution menganggap dirinya sudah lebih dari Presiden Soekarno, padahal Presiden Soekarno masih sebagai Presiden RI saat itu. Inilah yang dikemukakan jenderal Nasution [AH Nasution "memenuhi Panggilan Tugas", jilid 7, pen. CV Haji Mas Agung, 1989, hal: 163], yang mengubah fungsi MPRS menjadi fungsi MPR dalam pidato pembukaan sidang umum MPRS 7 Maret 1967: "Sidang Umum I, II, III berbeda dengan Sidang Umum IV. Tiga Sidang Umum masih berdasarkan Penpres, dan wewenangnya pada azasnya masih dibatasi kepada penentuan GBHN saja, dan tidak mewujudkan pasal-pasal UUD 1945 sepenuhnya, dimana MPRS adalah pemegang kedaulatan rakyat, yang menetapkan atau mengubah UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden dan lain-lain wewenang kedaulatan, yang oleh UUD dijelaskan sebagai satu-satunya kekuasaan negara yang tak terbatas". "Dengan Sidang Umum IV telah kembali ke MPRS, maupun Presiden, DPR, kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintahan pada posisi dan wewenang menurut UUD 1945 dan bukan lagi jadi badan-badan pembantu Presiden/PBR sebagaimana hakikat sebelum itu". Rupanya
Nasution
telah
merasa
dirinya
sebagai
presiden
pula.
Berhak
"mendekritkan" diubahnya fungsi MPRS menjadi MPR. Dan MPRS sulapan yang telah disulap lebih lanjut oleh Nasution dan MPRS yang demikianlah yang telah mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXXIII tentang pencabutan Kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan Ketetapan No XXXVI/MPRS/1967 yang menyudahi soal-soal ajaran Bung Karno. Dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 dan No. XXVI/MPRS/1967 maka secara definitif kekuasaan Soekarno sudah digulingkan dan penggulingannya dilakukan
7
secara merayap; mulai tidak dicegahnya oleh Soeharto G.30-S melancarkan operasi militernya pada dini hari 1 Oktober 1965, padahal sudah diberi tahu oleh Kolonel Latief sebelumnya; kemudian mengangkat dirinya sendiri menjadi pimpinan AD tanpa sepengetahuan apalagi seizin Presiden/Pangti ABRI; terus dengan secara merayap menciptakan Supersemar dan membubarkan PKI yang menjadi pendukung utama Presiden Soekarno melalui Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966, yang didahului dengan pelarangan PKI tanggal 12 Maret 1966 oleh Jenderal Soeharto dengan memanipulasi Supersemar. KESIMPULAN Jadi, sesungguhnya Rachmawati tidak perlu menuntut dicabutnya Ketetapan-ketetapan MPRS No XXXIII/IVIPRS/1967 dan No XXXVI/MPRS/1967, karena Ketetapan-ketetapan itu sendiri memang tidak konstitusional. Menuntut dicabutnya, sama dengan menganggap ketetapan-ketetapan itu adalah konstitusional. Padahal sudah jelas MPRS yang mengeluarkan Ketetapan-ketetapan tersebut adalah MPRS-sulapan, tidak sah, tidak konstitusional. Semestinya Rachmawati menuntut diadilinya Soeharto yang telah bertindak tidak konstitusional menggulingkan Presiden Soekarno dari kekuasaannya, melalui kudeta merayap, dengan jalan membiarkan G3OS melancarkan operasi militernya dini hari 1 Oktober 1965. Ini sesuai dengan Orde Reformasi. Ketetapan-ketetapan MPRS-sulapan itu harus direformasi. Kini sudah tiba waktunya untuk membuka kembali sejarah 33 tahun yang lalu, sejarah G30S yang sesungguhnya, yang selama Soeharto berkuasa tak pernah bisa dibuka secara adil dan jujur. Dengan demikian sejarah akan dapat diluruskan kembali. AM Hanafi [AM Hanafi: Idem, halm: 262-263] mengemukakan "Kalau sungguh-sungguh mau menemukan dari mana sumber kesalahan paling pokok yang menimbulkan malapetaka yang "dimahkotai" oleh kemenangan "coup d'etat" Soeharto, dengan penyembelihan sejuta lebih rakyat yang tidak berdosa itu, saya berpendapat pertama-tama bukanlah harus dicari kepada Soekarno, juga bukan kepada Aidit dan PKI, tetapi terhadap mereka yang telah melacurkan diri pada Amerika. Mereka itulah yang mengacau dengan menjalin jerat-jerat provokasi dengan apa yang disebut Gestapu (G30S).
8
"Dari situ lah Soeharto mulai menggunakan Gestapu itu sebagai kuda tunggangannya untuk mencapai puncak kekuasaan, kemudian merestorasi neo-kolonialisme di Indonesia seperti yang dialami sekarang." "Tapi jelas, Gestapu itu bukan PKI, dan PKI bukan Gestapu. Gestapu itu menunggangi Soekarno, Soeharto menunggangi Gestapu. Bahwa Aidit cs tersangkut dengan Gestapu itu jelas. Dus yang sesungguhnya Gestapu itulah yang harus diperiksa dan diadili dengan teliti berikut segala sangkut pautnya dan latar belakangnya secara terbuka, adil dan demokratis. Semua itu memerlukan waktu yang cukup, tidak bisa tergesa-gesa atau main tembak tanpa proses, seperti dialami Aidit, Lukman, Nyoto, Sakirman dan lain-lain. Penggabungan nama PKI dengan Gestapu menjadi G30S/PKI itu sebenarnya sudah menunjukkan salah satu mata rantai yang tersembunyi. Siapa-siapa dan kemana mata-rantainya itu. Jadinya, seperti maling berteriak maling, karena tidak ada penyidikan yang jujur,dan terbuka. Kenapa tidak disebut G3OS sebab bukankah begitulah nama sebenarnya yang dinyatakan oleh Kolonel Untung sendiri? Kalau toh mau dilengkapi kata adjektifnya yang paling kena adalah 'GESTAPU/SOEHARTO'." ***
9