KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Disusun oleh:1 Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM. Veri Antoni, S.H., M.Hum. Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.
Abstrak Keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat diajukan. Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-departemen. Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang kewenangan BI. Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.
1
Dosen FH UGM
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
A. Latar Belakang
Dewan Moneter, sehingga BI pada saat itu merupakan bagian integral dari pemerintah.4 Oleh karena itu,
Membahas mengenai Bank Indonesia (BI) sebagai
DPR bersama Presiden akhirnya bersepakat
bank sentral, tentu tidak dapat dilepaskan dari desain
memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia
konstitusional yang menyatakan bahwa negara
sebagai bank sentral melalui UU Nomor 23 Tahun
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
1999 tentang Bank Indonesia.
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU.2 Hal tersebut menunjukkan adanya
Pemberian kemandirian kepada BI bertujuan agar BI
pengakuan secara konstitusional terhadap eksistensi
tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah. Namun,
bank sentral dalam sistem ketatanegaraan di
dalam perjalanannya kemandirian BI yang diberikan
Indonesia, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BI.
oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 direvisi melalui UU
Pengaturan lebih lanjut mengenai bank sentral
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
“dengan undang-undang” (bij de wet geregeld)
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
meredefinisi kemandirian BI dengan memberikan
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
pembatasan dalam hal melaksanakan tugas dan
NRI Tahun 1945) inilah yang sejatinya menjadi
kewenangannya. Hal ini dipandang penting sebab
konstruksi utama dalam memberikan arah pengaturan
diperlukan koordinasi yang lebih erat antara BI sebagai
mengenai bank sentral di Indonesia. Pengaturan lebih
pemegang otoritas moneter dengan Pemerintah
lanjut inilah yang dapat mendudukkan dan
sebagai pemegang otoritas fiskal dan sektor riil dalam
memberikan desain spesifik mengenai kewenangan,
rangka mewujudkan kestabilan nilai rupiah.5 Redefinisi
kelembagaan, dan kedudukan bank sentral (Bank
atas terminologi independensi BI dapat diartikan
Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
sebagai bentuk degradasi level kemandirian BI sebagai lembaga negara yang independen atau pula dimaknai
Salah satu aspek utama dalam desain bank sentral
sebagai bentuk konkretisasi independensi.
adalah terkait kemandirian bank sentral dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab
Revisi kemandirian dan luasan cakupan “interaksi”
secara historis ketidakmandirian bank sentral
BI setidak-tidaknya dapat mempengaruhi kemandirian
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
BI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
krisis ekonomi sebelum dilakukannya perubahan
dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Di luar
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945).3
Dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, salah satu
perjalanan selanjutnya, beriringan dengan proses
bentuk “interaksi” tersebut adalah peran DPR dalam
perubahan UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan
penentuan anggaran BI berdasarkan Pasal 60 UU
Rakyat (DPR) juga melakukan proses penggantian
Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1968 tentang
dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), yang
Bank Sentral, yang memberi kedudukan kepada BI
menentukan bahwa anggaran operasional BI harus
sebagai pembantu pemerintah dalam melaksanakan
dimintakan persetujuan dari DPR. Bahkan dalam
kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh
2
Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012, hlm. 1.
2
4.
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
5.
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
perkembangan kekinian di tengah wacana adanya
dengan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
revisi UU BI, DPR juga menghendaki adanya
jawab dan independensi agar kemudian substansi
persetujuan DPR terlebih dahulu dalam penetapan
UU tersebut koheren dan dapat diimplementasikan
anggaran kebijakan yang sebelumnya hanya wajib
dengan tepat oleh BI.
dilaporkan secara khusus kepada DPR. Peluang BI untuk dapat turut membahas RUU Bukan hanya itu, desain UU BI saat ini juga sangat
sebenarnya terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU
dominan aspek pengawasan dari DPR. Hal tersebut
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (4) UU BI yang
Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi,
mengatur bahwa kinerja Dewan Gubernur dan
“Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang
Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika
tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. DPR juga
materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
kemudian berwenang memberikan persetujuan
lembaga negara atau lembaga lain.”7 Pasal a quo
menurut Pasal 62 ayat (3) UU BI bilamana Pemerintah
membuka peluang BI untuk turut serta dalam tahap
hendak memberikan injeksi modal karena modal BI
pembicaraan tingkat I dalam pembentukan suatu
kurang dari Rp2Trilyun. Tentu pengaturan mengenai
RUU yang substansi terkait dengan kewenangan
modal minimum BI merupakan hal yang tidak tepat
lembaga negara yang lain. Peluang tersebut menjadi
mengingat BI bukanlah commercial entity.
bernilai sangat politis karena frasa yang mengatur hanya berbunyi “dapat diundang” dan bukan “harus
Beranjak dari permasalahan tersebut di atas, maka
mengundang”. Padahal bila memang substansi yang
perlu kemudian dimaknai kembali substansi
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
kemandirian yang dilekatkan kepada BI, yang mana
kewenangan lembaga negara yang lain sudah
desain kemandirian tersebut sepenuhnya merupakan
sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib untuk
pilihan kebijakan (legal policy) yang dituangkan
diundang, sehingga apa yang diatur dalam UU
dengan UU khusus yang mengatur susunan,
tersebut sejalan dan dapat diimplementasikan oleh
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
lembaga yang terkait.
independensi bank sentral. Sebagai lembaga negara yang independen, yang bebas dari campur tangan
Sejatinya, keterlibatan bank sentral dalam proses
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya.6
pengusulan RUU bukan lagi hal baru dalam konteks kebanksentralan di dunia. Bank Sentral Cyprus (Cyprus
Menjadi hal yang harus ditelaah lebih lanjut untuk
Central Bank/CCB) mengusulkan RUU terkait
melibatkan BI dalam proses pembentukan UU yang
restrukturisasi sektor perbankan yang terkena krisis,
mengatur lebih lanjut terkait kewenangan BI sebagai
yakni dengan merekomendasikan pengajuan
bank sentral di Indonesia. Pelibatan BI semata dalam
mendesak dan pemberlakuan segera menjadi UU
kerangka menjaga konsistensi independensi bank
Reorganisasi dan Pemulihan Sistem Perbankan Cyprus
sentral sebagai lembaga negara yang diamanatkan
oleh Parlemen Cyprus.8 RUU tersebut akhirnya
oleh konstitusi. Keterlibatan BI penting khususnya dalam mengawal pembentukan UU yang terkait
6
Bagian Konsiderans Menimbang huruf d dan Pasal 4 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
7
Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
8
Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/1 49970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
disahkan oleh 26 suara, dengan 2 suara menolak dan 25
abstain.9
Fakta tersebut cukup memberikan
Berita Negara Republik Indonesia, termuat keterangan mengenai bank sentral.10
ilustrasi bahwa pelibatan bank sentral dalam proses
Penjelasan Pasal 23 UUD 1945
pembahasan RUU adalah sebuah hal yang dapat
menyebutkan bahwa, “Kedudukan Bank
dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan
Indonesia yang akan mengeluarkan dan
pula kajian mendalam untuk menganalisis peluang
mengatur peredaran uang kertas,
keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU dalam
ditetapkan dengan undang-undang”.11
sistem ketatanegaraan Indonesia. 2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat B. Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
1949 (KRIS 1949). Bank sentral dalam KRIS 1949 diatur dalam Pasal 164 ayat (4) dan Pasal 165. Pasal 164 ayat (4)
1. Desain Kelembagaan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang Mandiri
menyatakan, “Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat
a. Pengaturan Bank Sentral dalam Konstitusi
ataupun Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat
Sebelum masa reformasi terdapat tiga
(1) menyatakan, “Untuk Indonesia ada
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2),
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
“Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan
1945), Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949), dan
pengaturan tatanan dan kekuasaannya
UUD Sementara 1950 (UUDS 1950). Ketiganya
dilakukan dengan undang-undang
memberikan rumusan pengaturan yang
Federal”.
berbeda terkait bank sentral, yaitu: 3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
(UUDS 1950). Pengaturan bank sentral
1945). Berdasarkan pembahasan
dalam UUDS 1950 terdiri atas tiga ayat
rancangan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI
yang terdapat dalam Bab IV tentang
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Keuangan, yaitu Pasal 109 ayat (4), Pasal
Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia
110 ayat (1) dan (2). Pasal 109 ayat (4)
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tidak
menyebutkan, “Pengeluaran alat-alat
ditemukan adanya usulan ataupun pembahasan mengenai bank sentral. Pembahasan yang mengemuka saat itu lebih banyak terkait dengan hal keuangan dan anggaran negara serta perekonomian dan kesejahteraan sosial secara umum. Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang dibuat kemudian dan untuk pertama kalinya diumumkan dalam
9
Ella Syafputri, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruurestrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.
4
10 Penjelasan ini dibuat oleh Soepomo untuk kepentingan sosialisasi naskah UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946, judulnya ditulis dengan kata “tentang”, yaitu: “Pendjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia”, bukan “Penjelasan OendangOendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia” sebagai judul dokumen. 11 Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, eksistensi konstitusional Bank Indonesia sebagai nama dan sebagai institusi bank sentral sudah diungkapkan secara eksplisit. Sayangnya, ketentuan tersebut hanya terdapat dalam penjelasan, yang meskipun sudah diberlakukan sebagai bagian dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, tetapi tidak bersifat imperatif. Oleh karena itu, sebelum Undang-Undang tentang Bank Indonesia disusun, atas kebutuhan ketika itu, maka Bank Negara Indonesia Tahun 1946 yang dibentuk lebih dahulu yang disamping merupakan Bank Komersial atau Bank yang melaksanakan tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pembayaran yang sah dilakukan oleh atau
suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan,
atas nama Pemerintah Republik Indonesia
kewenangan, tanggung jawab, dan
ataupun oleh Bank Indonesia”. Sedangkan
independensinya diatur dengan undang-
Pasal 101 ayat (1), “Untuk Indonesia ada
undang”.
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Penunjukan sebagai Bank
Pencantuman independensi ke dalam batang
Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan
tubuh konstitusi juga terjadi perbedaan
kekuasaannya dilakukan dengan undang-
pendapat. Perbedaan pendapat ini tercatat
undang”.
dalam Risalah Rapat Pleno ke-14 Panitia AdHoc I Badan Pekerja MPR, tertanggal 14 Maret
Setelah masa reformasi, Majelis
2002. Pendapat yang setuju, misalnya, diwakili
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
oleh Lukman Hakim dari F-PPP, dengan
(selanjutnya disebut MPR RI) menggarisbawahi
pertimbangan karena pada masa lalu bank
salah satu kebijakan reformasi pembangunan
sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh
yang harus dilakukan guna penyelamatan dan
pemerintah, maka larangan terhadap intervensi
normalisasi kehidupan nasional adalah
ini harus dilakukan dengan cara menegaskan
restrukturisasi dan penyehatan
perbankan.12
independensi bank sentral dalam UUD.15
Proses restrukturisasi dan penyehatan
Pendapat yang sama diungkapkan Gregorius
perbankan harus dimulai dengan mewujudkan
Seto Harianto dari F-PDKB bahwa telah ada
bank sentral yang tidak dapat diintervensi
kesepakatan dalam amandemen UU Nomor
oleh pemerintah. Sebab menurut MPR RI,
23 Tahun 1999 untuk mempertahankan
salah satu penyebab melemahnya
independensi Bank Indonesia dalam
perekonomian nasional pada saat itu adalah
melaksanakan tugasnya.
sistem perbankan yang tidak mandiri. Ketidakmandirian ini dikarenakan adanya
Pendapat yang tidak setuju pencantuman
kewenangan pemerintah untuk melakukan
independensi dalam batang tubuh konstitusi,
intervensi terhadap bank sentral.13 Berbeda
misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari
dengan tiga UUD sebelumnya, hanya UUD
F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi
1945 Hasil Amandemen IV yang secara tegas
itu cukup dicantumkan dalam undang-undang,
menyebutkan tentang independensi bank
karena bank sentral itu hanya independensi
sentral,14
dengan rumusan Pasal 23D UUD
dari kekuasaan pemerintah. Pendapat seperti
NRI Tahun 1945 bahwa, “Negara memiliki
ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari F-TNI/POLRI, dengan alasan menimbulkan implikasi politik, karena akan timbul multi interpretasi selain menimbulkan kekakuan.
12 Lihat Bab IV, huruf a, butir c Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Tidak perlunya independensi ini dicantumkan
13 Lihat Bab II, huruf a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
dinilai cukup dinyatakan dalam undang-
14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 185-186.
dalam konstitusi juga dinyatakan oleh Soedijarto dari F-UG, karena independensi undang. Pendapat ini juga menjadi pendapat A.M. Lutfi dari F-Reformasi.
15 Ibid., hlm. 185.
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Selain masalah independensi bank sentral,
dibuatnya pun sejajar dengan keputusan
masalah lain yang cukup pelik menjadi
Menteri.18
perdebatan adalah status Bank Indonesia sebagai lembaga negara. Hal ini terkait dengan
Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas
tidak adanya penjelasan dalam undang-
secara jelas mendudukkan Bank Indonesia
undang tentang kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara, bukan merupakan
sebagai lembaga negara yang independen,
lembaga tinggi negara. Adapun mengenai
yang dapat dikategorikan sama dengan
kesetaraan antara Bank Indonesia dengan
lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden,
lembaga tinggi negara dalam menjalankan
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja
Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
antara Bank Indonesia dengan pemerintah
Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud
dalam kedudukannya sebagai lembaga negara
dalam Pasal 1 ayat (2) Ketetapan MPR RI
yang independen sebagaimana diatur dalam
Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU Nomor
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi
23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.16
Dengan statusnya yang spesial ini, meminjam istilah Klaus Stern, maka Bank Indonesia harus
Dalam keterangan pemerintah yang
dilihat sebagai “the highest executive state
dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada
bodies”19, dengan “its designation as an
Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret
authority is applicable only to a very restricted
1999 dinyatakan bahwa:
extent”20. Hal tersebut yang kemudian
[…] Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak
membuat Ellen Kennedy menyimpulkan bahwa
bisa, karena governance agency dia tidak bisa
bank sentral adalah “[…] is not a constitutional
karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan
branch like the judiciary, legislative or executive,
swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara,
the Bundesbank operate in constitutive manner
tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private
and its norm of monetary stability is more like
agency, bukan governance agency, bukan
a constitutional principle.”21
sebagai lembaga tinggi negara. Ini suatu agency, suatu lembaga bukan pemerintahan tapi punya negara. […].17 Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehakiman memberikan penjelasan pada Rapat Panitia Kerja ke-2, tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen sejajar dengan menteri dan peraturan yang
18 Sekretariat Komisi VIII, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 79. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 353. 19 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK, hlm. 111. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 356.
16 Ibid., hlm. 149.
20 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, Op.cit., hlm. 110. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, hlm. 80.
17 Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 62. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 352.
21 Ellen Kennedy, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London, hlm. 11. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Loc.cit.
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas,
dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia
pasca reformasi desain kelembagaan Bank
tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD
Indonesia sebagai bank sentral merupakan
NRI Tahun 1945, tetapi hanya ditentukan
reaksi atas pengalaman ketika Bank Indonesia
dalam UU. Bank Indonesia adalah lembaga
dengan mudah diintervensi pemerintah, yang
negara yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun
berakibat Bank Indonesia tidak dapat
1945, tetapi kewenangannya diberikan oleh
melaksanakan fungsinya secara baik, sehingga
UU. Oleh karenanya, sangatlah sulit untuk
melahirkan isu independensi Bank Indonesia.
mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah
Desain kelembagaan Bank Indonesia atas
state agency (dalam perspektif state agency
dasar respon pengalaman masa lalu
adalah lembaga atau institusi yang dibentuk
dibandingkan pertimbangan akademis yang
oleh undang-undang)22, sebab Bank Indonesia
lebih bersifat teoritis membuat desain Bank
adalah Bank Sentral Republik Indonesia
Indonesia menjadi lembaga yang “unik” bila
sebagaimana ditentukan lewat UU Bank
dibandingkan dengan lembaga-lembaga
Indonesia. Akibatnya, susunan, kedudukan,
negara lainnya.
kewenangan, tanggung jawab, dan independensi bank Indonesia, sepenuhnya
b. Pengaturan Bank Sentral dalam Undang-
bergantung pada kesepakatan (konsensus)
Undang
antara DPR dan Presiden, selaku pemegang
Sebagaimana telah juga dikutip di atas, Pasal
kekuasaan membentuk UU.
23D UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Negara memiliki suatu bank sentral
Dinamika pengaturan tersebut terlihat dari
yang susunan, kedudukan, kewenangan,
rumusan desain Bank Indonesia pada UU yang
tanggung jawab, dan indipendensinya diatur
mengatur tentang Bank Indonesia. Pasal 4
dengan undang-undang”. Berdasarkan
UU Nomor 23 Tahun 1999 menyebutkan
ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
tersebut, meskipun ketentuan konstitusional
yang independen, bebas dari campur tangan
tentang bank sentral hanya terdiri dari satu
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya,
pasal, namun terkandung substansi yang
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
mendasar. Pertama, negara ditegaskan
dalam UU Bank Indonesia. Kemudian, pada
memiliki “satu bank sentral”. Suatu bank
Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagai
sentral itu menunjukkan kepada satu lembaga
perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999,
yang berfungsi sebagai bank sentral dengan
rumusan desain Bank Indonesia mengalami
nama yang tidak ditentukan secara eksplisit.
perubahan, khususnya pada bagian luasan
Kedua, bank sentral yang dimaksudkan itu
independensi yang dilekatkan pada Bank
mempunyai susunan, kewenangan, tanggung
Indonesia.
jawab, dan kedudukan yang independen. Ketentuan mengenai susunan, kewenangan,
Dalam aturan perubahan disebutkan bahwa
tanggung jawab, dan independensinya akan
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Menariknya, bilamana dibandingkan dengan lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, maka kedudukan Bank Indonesia
22 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 10.
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya,
sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab tidak
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
ada lembaga negara lain dalam sistem
dalam UU Bank Indonesia. Penambahan frasa
ketatanegaraan Indonesia yang dapat secara
“dalam melaksanakan tugas dan
langsung mengajukan anggarannya kepada
kewenangannya” menunjukkan dinamika
DPR dan Presiden, melainkan harus melalui
desain independensi Bank Indonesia yang
proses penganggaran yang normal, yaitu
ditentukan oleh substansi pengaturan dalam
melalui proses anggaran pendapatan dan
UU Bank Indonesia.
belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUD 1945.25
Salah satu bentuk konsekuensi pemberian independensi kepada Bank Indonesia adalah
Kemandirian mengusulkan dan menetapkan
diberikannya kewenangan kepada Bank
penganggaran secara normatif mulai direduksi
Indonesia untuk mengatur atau
dengan dilakukannya perubahan terhadap UU
membuat/menerbitkan peraturan yang
Nomor 23 Tahun 1999 melalui UU Nomor 3
merupakan pelaksanaan
undang-undang.23
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Keleluasaan dalam mengatur ini merupakan
Undang Nomor 23 Tahun 1999. Perubahan
salah satu perwujudan kemandirian yang
tersebut secara spesifik difokuskan pada
dimiliki oleh Bank Indonesia. Selain diberi
penyesuaian mekanisme perumusan kebijakan
kewenangan untuk mengatur atau
moneter dan penataan kembali kelembagaan
membuat/menerbitkan peraturan, Bank
Bank Indonesia sebagai penanggung jawab
Indonesia juga diberi keleluasaan dalam
otoritas kebijakan moneter.26 Kedua hal ini
mengatur struktur, kepegawaian, keuangan,
menjadi fokus perubahan karena dengan
dan bahkan penggajian bagi Gubernur, Deputi
perubahan ini diharapkan dapat memperkuat
Senior Gubernur, dan para Deputi Bank
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas
Indonesia. Dengan demikian, kemandirian
Bank Indonesia tanpa mengurangi makna
tidak hanya sebatas pembentukan peraturan
independensi lembaga negara.27
perundang-undangan saja, tetapi juga diberi kemandirian dalam menentukan dan
UU Nomor 3 Tahun 2004 dinilai melakukan
mengatur organisasinya.
pembatasan terhadap independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan UU
Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 1999 juga
Nomor 23 Tahun 1999 dengan memberi
memberikan kewenangan Bank Indonesia
batasan kata “independensi” dalam Pasal 4
untuk secara langsung mengusulkan dan
ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
menetapkan anggaran tahunan dan
menambahkan frasa “dalam melaksanakan
memberitahukannya ke DPR dan Presiden.24 Konstruksi ini sangat mengukuhkan kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi
23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 24 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
8
25 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 9. 26 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
tugas dan wewenangnya”. Dengan
Ketentuan Pasal 4 tersebut menjadi penting
ditambahkannya frasa ini, makna independensi
ketika dinyatakan bahwa Bank Indonesia
dibatasi hanya dalam melaksanakan tugas
adalah lembaga negara independen, bebas
dan kewenangan saja dan tidak pada bidang
dari campur tangan pemerintah atau pihak
lain. Artinya, DPR dan Presiden dapat dimaknai
lain, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.
sepakat untuk mereduksi derajat independensi
Rumusan tersebut kemudian disambung
yang telah mereka berikan melalui UU Nomor
dengan frasa “kecuali untuk hal-hal yang
23 Tahun 1999 atau mengkonkretkan makna
secara tegas diatur dalam undang-undang
independensi yang dimiliki Bank Indonesia.
ini”, maka dengan demikian rumusan Pasal tersebut bila dimaknai secara argumentum a
2. Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga Negara Lain
contrario berarti Pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU
a. Hubungan Bank Indonesia dengan Dewan
Bank Indonesia. Dengan demikian, “campur
Perwakilan Rakyat
tangan” tersebut dijabarkan dalam relasi yang
Dalam rangka menelaah hubungan Bank
tercermin dalam Pasal 58, 58A, dan 59.
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu ditelaah kembali ketentuan Pasal 4 UU
Pada umumnya hubungan antara bank sentral
Nomor 3 Tahun 2004, yang menyatakan
dengan parlemen diatur secara umum
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
terutama dalam bentuk pertanggungjawaban
yang independen dalam melaksanakan tugas
bank sentral kepada parlemen. Parlemen
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
mempunyai hak untuk melakukan evaluasi
Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk
terhadap rencana dan kegiatan bank sentral.
hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU
Hal ini terjadi karena dianggap parlemen telah
Bank Indonesia. Tugas dan wewenang yang
mendelegasikan wewenang dan kekuasaannya
dimaksud dalam Pasal 4 tersebut dijabarkan
dalam kebijakan moneter, sehingga parlemen
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Bank Indonesia,
berwenang untuk meminta pertanggung-
yang mana disebutkan bahwa fungsi atau
jawaban dari bank sentral. Parlemen pada
tujuan utama dari Bank Indonesia memelihara
umumnya mempunyai hak dan kesempatan
kestabilan nilai
rupiah.28
Untuk mencapai
untuk memberikan penilaian dan melakukan
tujuan tersebut, Bank Indonesia diberi
review performance dari bank sentral dalam
kewenangan untuk menetapkan dan
hubungannya dengan kebijakan moneter.
melaksanakan kebijaksanaan moneter, dan
Sementara bank sentral pun mempunyai hak
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
dan kewajiban untuk memberikan penjelasan
pembayaran.29
dan pembenaran atas kebijakan tersebut. Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tahunan, yang memuat antara lain: (a)
28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada
29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
tahun sebelumnya; dan (b) rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan langkah-langkah Indonesia untuk tahun yang akan datang
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi serta kondisi ekonomi dan
keuangan.30
menghendaki pemeriksaan secara khusus mengenai satu masalah atau kegiatan tertentu,
Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) disebutkan
maka DPR dapat meminta BPK melakukan
dalam hal DPR memerlukan penjelasan
pemeriksaan terhadap Bank Indonesia.
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
b. Hubungan Bank Indonesia dengan
termasuk dalam rangka penilaian terhadap
Pemerintah
kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib
Sama halnya dengan Dewan Perwakilan
menyampaikan penjelasan secara
tertulis.31
Rakyat, ketentuan Pasal 4 UU Bank Indonesia
Selain laporan tahunan, berdasarkan Pasal 58
memberikan batasan relasi antara Bank
ayat (2), Bank Indonesia diwajibkan juga untuk
Indonesia dengan Pemerintah, bahwa
menyampaikan laporan triwulan secara tertulis
pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri
tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya
urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang
kepada DPR dan
Pemerintah.32
Laporan
memang diatur dalam UU Bank Indonesia.
triwulan tersebut kemudian dievaluasi oleh
Oleh UU Bank Indonesia hal tersebut dijabarkan
DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian
dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 52,
tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur
53, 54, 55, dan 56 UU Nomor 23 Tahun 2009
dan Bank
Indonesia.33
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Lebih jauh dalam Pasal 58A disebutkan, untuk
Ketentuan Pasal 52 menetapkan bahwa Bank
membantu DPR dalam melaksanakan fungsi
Indonesia bertindak sebagai pemegang kas
pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank
pemerintah.35 Dalam kedudukannya sebagai
Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam
pemegang kas terdapat kewajiban Bank
upaya meningkatkan akuntabilitas,
Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo
independensi, transparansi, dan kredibilitas
pemerintah sesuai dengan peraturan
Bank
Indonesia.34
Selanjutnya, dalam hal DPR
perundang-undangan. Pasal 53 mengatur tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai penerima pinjaman luar negeri untuk menata usahakan, serta menyelesaikan tagihan dan
30 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
kewajiban keuangan Pemerintah terhadap
31 Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Pasal 54 ayat (1) mengatur kewajiban
32 Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
pihak luar negeri.
pemerintah untuk pendapat dan mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang keuangan terutama yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Bank Indonesia untuk
33 Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 34 Pasal 58A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
10
35 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
memberikan pendapat dan pertimbangan
undang-undang melarang Bank Indonesia
kepada pemerintah mengenai APBN serta
untuk mengambil keuntungan dari penerbitan
kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas
surat-surat hutang ini, namun sebagai agen,
dan wewenang Bank
Indonesia.36
Ketentuan
Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli
ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank
surat-surat hutang hanya untuk dalam keadaan
Indonesia dengan pemerintah sebagai badan
darurat atau hanya terhadap surat-surat utang
hukum, yang dapat disejajarkan dengan
berjangka pendek.
lembaga tinggi negara lainnya, yang dalam hal ini adalah pemerintah.
C. Keterlibatan Bank Indonesia dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang
Selanjutnya, Pasal 55 memuat kewajiban pemerintah berkonsultasi dengan Bank Indonesia, jika pemerintah berkeinginan untuk menerbitkan surat-surat hutang
1. Proses dan Tahapan Pembentukan UndangUndang
negara.37
Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat
Pembentukan undang-undang adalah bagian dari
hutang itu tidak berakibat negatif terhadap
aktivitas dalam mengatur masyarakat,38 yang
kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan
terdiri atas gabungan individu-individu manusia
penjualan surat hutang itu dilakukan sesuai
dengan segala dimensinya39. Sebagai negara
kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah.
hukum, sudah semestinya pembangunan hukum
Penerbitan surat hutang Bank Indonesia dapat
nasional dilakukan secara terencana, terpadu,
memberikan bantuan kepada pemerintah.
dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional
Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk
yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban
membeli surat-surat hutang negara di pasar
rakyatnya. Oleh karena itu, dalam rangka
primer untuk diri sendiri, kecuali surat hutang
pembangunan hukum nasional, pembentukan
berjangka pendek yang diperlukan dalam
suatu peraturan perundang-undangan diatur
operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia
dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
diperkenankan untuk membeli surat hutang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
negara di pasar primer dalam rangka
yang mengatur cara dan metode yang pasti, baku,
pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu
dan standar yang mengikat semua lembaga yang
terhadap hutang negara berjangka paling lama
berwenang dalam membentuk peraturan
satu tahun.
perundang-undangan.
Ketentuan tersebut semakin menegaskan posisi
Sejatinya, UU Nomor 12 Tahun 2012 bukanlah
Bank Indonesia sebagai agen yang membantu
yang pertama dalam menjadi panduan, melainkan
pemerintah dalam menerbitkan surat-surat
merupakan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun
hutang, sehingga pada saat yang sama
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
36 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
38 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
37 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
39 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai makhluk monodualis jiwa-raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri makhluk Tuhan. Lihat dalam Ibid.
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undangan. Penggantian tersebut dilatarbelakangi
c. pengaturan mekanisme pembahasan
oleh kelemahan dan kekurangannya dalam
Rancangan Undang-Undang tentang
menampung perkembangan kebutuhan
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, antara
lain:40
Undang-Undang; d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai
f. penambahan teknik penyusunan Naskah
dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang
dalam pembentukan peraturan perundang-
ini.
undangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur
Pada Sub-bab ini diuraikan proses dan tahapan
dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
pembentukan undang-undang. Tahapan kegiatan tersebut mencakup kegiatan perencanaan
Sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 10
undang-undang, penyusunan undang-undang,
Tahun 2004 tersebut, terdapat materi muatan
pembahasan rancangan undang-undang, dan
baru yang ditambahkan, antara
lain:41
a. penambahan Ketetapan Majelis
pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan
a. Perencanaan Undang-Undang
hierarkinya ditempatkan setelah Undang-
Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan
Tahun 1945;
undang-undang dilakukan dalam Program
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Legislasi Nasional atau disingkat Prolegnas.
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas adalah instrumen perencanaan
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga
program pembentukan undang-undang yang
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
disusun secara terencana, terpadu, dan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan
sistematis,42 yang merupakan skala prioritas
lainnya;
program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.43
40 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
42 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
41 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
43 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
12
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam penyusunannya, Prolegnas disusun
akhir tahun bersamaan dengan penyusunan
daftar rancangan undang-undang didasarkan
dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan,
atas: (a) perintah Undang-Undang Dasar
sedangkan penyusunan dan penetapan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)
Prolegnas prioritas tahunan sebagai
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
pelaksanaan Prolegnas jangka menengah
Rakyat; (c) perintah Undang-Undang lainnya;
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan
(d) sistem perencanaan pembangunan nasional;
Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
(e) rencana pembangunan jangka panjang
Pendapatan dan Belanja Negara.46
nasional; (f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan
rencana strategis DPR; dan (h) aspirasi dan
Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui
kebutuhan hukum
masyarakat.44
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.47 Menurut UU Nomor 27
Muatan dalam Prolegnas adalah program
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
pembentukan undang-undang dengan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
berisikan judul rancangan undang-undang,
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Rakyat Daerah, alat kelengkapan DPR yang
peraturan perundang-undangan lainnya.
khusus menangani bidang legislasi disebut
Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan
dengan Badan Legislasi sebagaimana
peraturan perundang-undangan lainnya
diterangkan dalam Pasal 99 sampai dengan
merupakan keterangan mengenai konsepsi
Pasal 103.
rancangan undang-undang yang meliputi: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b)
Sebelum penyusunan Prolegnas secara bersama
sasaran yang ingin diwujudkan; dan (c)
antara DPR dengan Pemerintah, masing-masing
jangkauan dan arah
pengaturan.45
dari DPR dan Pemerintah menyusun rencana Prolegnas-nya masing-masing. Badan Legislasi
Prolegnas disusun oleh DPR dan Pemerintah,
(Baleg) DPR bertanggungjawab untuk
yang ditetapkan untuk jangka menengah dan
mengoordinasikan penyusunan Prolegnas di
tahunan berdasarkan skala prioritas
lingkungan DPR. Dalam penyusunan Prolegnas
pembentukan rancangan undang-undang.
di lingkungan DPR tersebut, dilakukan dengan
Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,
menengah dilakukan pada awal masa
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk
Sedangkan, penyusunan Prolegnas di
jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka
lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh
menengah tersebut dapat dievaluasi setiap
menteri yang menyelenggarakan urusan
44 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
46 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
45 Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
47 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintahan di bidang hukum atau dalam
pemerintahan di bidang hukum.50 Dari daftar
hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM.
hasil penyusunan Prolegnas, rancangan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
undang-undang yang telah melalui pengkajian
penyusunan Prolegnas dalam lingkungan DPR
dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah
diatur dengan Peraturan DPR. Sedangkan
Akademik.51
ketentuan lanjutan mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan
b. Penyusunan Undang-Undang
pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Suatu rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD52. Dalam
Untuk dapat menjadi Prolegnas yang sah, hasil
melakukan penyusunan rancangan peraturan
penyusunan Prolegnas antara DPR dan
perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
Pemerintah harus disepakati menjadi Prolegnas
teknik penyusunan peraturan perundang-
dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
undangan. Teknik penyusunan peraturan
Penetapan Prolegnas yang disetujui kemudian
perundang-undangan tersebut telah ditentukan
ditetapkan dengan Keputusan
DPR.48
Dalam
dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011.53
Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka
Khusus rancangan undang-undang yang
yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian
berasal dari DPD harus melalui DPR. Rancangan
internasional tertentu; (b) akibat putusan
undang-undang yang berasal dari DPD tersebut
Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran
hanya yang berkaitan dengan kewenangannya,
Pendapatan dan Belanja Negara; (d)
yaitu: (a) otonomi daerah; (b) hubungan pusat
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
dan daerah; (c) pembentukan dan pemekaran
daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
serta penggabungan daerah; (d) pengelolaan
(e) penetapan/pencabutan Peraturan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.49
lainnya; dan (e) perimbangan keuangan pusat dan daerah.54
Namun demikian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas dengan cakupan: (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan
50 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 51 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 52 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
53 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
49 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
54 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Semua rancangan undang-undang yang
dikoordinasikan oleh menteri yang
berasal dari ketiga lembaga tersebut harus
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
disertai Naskah Akademik. Kewajiban adanya
bidang hukum.
naskah akademik tidak berlaku bagi rancangan undang-undang mengenai: (a) Anggaran
Mengenai usulan rancangan undang-undang
Pendapatan dan Belanja Negara; (b) penetapan
yang berasal dari DPD disampaikan secara
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
Undang menjadi Undang-Undang; atau (c)
DPR dan tentu saja disertai dengan naskah
pencabutan Undang-Undang atau pencabutan
akademik. Oleh pimpinan DPR, usulan tersebut
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
disampaikan kepada alat kelengkapan DPR
Undang.55 Namun demikian, semua rancangan
yang khusus menangani bidang legislasi untuk
undang-undang di atas disertai dengan
dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-
materi muatan yang diatur.
undang. Dalam melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan undang-undang yang berasal dari
rancangan undang-undang dapat
DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR
yang mempunyai tugas di bidang perancangan
yang khusus menangani bidang legislasi atau
undang-undang untuk membahas usul
DPD. Sedangkan rancangan undang-undang
rancangan undang-undang. Selanjutnya Badan
yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
Legislasi menyampaikan laporan tertulis
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
mengenai hasil harmonisasi kepada pimpinan
non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas
DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam
dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rapat paripurna.56
rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-
Rancangan undang-undang dari DPR
kementerian terkait membentuk panitia antar
disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kementerian dan/atau antar non-kementerian.
kepada Presiden. Selanjutnya Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk
Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan
membahas rancangan undang-undang
konsepsi rancangan undang-undang yang
bersama DPR dalam jangka waktu paling lama
berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat
60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
kelengkapan DPR yang khusus menangani
pimpinan DPR diterima. Menteri yang ditunjuk
bidang legislasi, dalam hal ini adalah Badan
tersebut mengoordinasikan persiapan
Legislasi. Sedangkan harmonisasi, pembulatan,
pembahasan dengan menteri yang
dan pemantapan konsepsi rancangan undang-
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
undang yang berasal dari Presiden
bidang hukum. Sebaliknya, rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
55 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Penyusunan Naskah Akademik Rancangan UndangUndang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana telah diatur dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
56 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat
kepada DPR atas rancangan undang-undang
penunjukan menteri yang ditugasi mewakili
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Presiden dalam melakukan pembahasan
Negara dan rancangan undang-undang yang
rancangan undang-undang bersama DPR.
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
Selanjutnya DPR mulai membahas rancangan
agama.59
undang-undang usulan Presiden tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
Dalam pembahasan rancangan undang-
puluh) hari terhitung sejak surat Presiden
undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
diterima. Apabila dalam satu masa sidang DPR
pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri
dan Presiden menyampaikan rancangan
atas Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan
undang-undang mengenai materi yang sama,
Tingkat II.
yang dibahas adalah rancangan undangundang yang disampaikan oleh DPR dan
1) Pembicaraan Tingkat I
rancangan undang-undang yang disampaikan
Pembicaraan tingkat I dilaksanakan dalam
Presiden digunakan sebagai bahan untuk
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
dipersandingkan.57
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Dalam
c. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Setiap pembahasan rancangan undang-undang
Pembicaraan tingkat I tersebut dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Sedangkan pembahasan
a) Pengantar musyawarah;
rancangan undang-undang yang berkaitan
Dalam pengantar musyawarah sebagai
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
bagian dalam kegiatan pembicaraan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan
tingkat I dilaksanakan dengan urutan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
sebagai berikut: (a) Dalam hal
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
rancangan undang-undang berasal dari
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
DPR, maka DPR memberikan
selain dilakukan oleh DPR bersama Presiden,
penjelasan dan Presiden menyampaikan
juga dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
pandangan jika rancangan undang-
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan
undang berasal dari DPR. Apabila
rancangan undang-undang tertentu yang
rancangan undang-undang berkaitan
terkait diwakili oleh alat kelengkapan yang
dengan kewenangan DPD, maka DPD
membidangi materi muatan rancangan
menyampaikan pandangannya; (b)
undang-undang yang
dibahas.58
Selain terlibat
Dalam hal rancangan undang-undang
dalam pembicaraan I untuk bidang tertentu
berasal dari Presiden, maka Presiden
di atas, DPD juga memberikan pertimbangan
memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika rancangan undang- undang berasal dari Presiden.
57 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 58 Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
16
Apabila rancangan undang-undang
59 Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
berkaitan dengan kewenangan DPD,
penyampaian laporan yang berisi proses,
maka DPD menyampaikan
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,
pandangannya.
dan hasil pembicaraan tingkat I; (2) pernyataan persetujuan atau penolakan
b) Pembahasan Daftar Inventarisasi
dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
Masalah;
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
Daftar inventarisasi masalah diajukan
paripurna; dan (3) penyampaian pendapat
oleh Presiden jika rancangan undang-
akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri
undang berasal dari DPR. Dan
yang ditugasi. Apabila persetujuan dari
sebaliknya, bila rancangan undang-
tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan
undang berasal dari Presiden, maka
tidak dapat dicapai secara musyawarah
daftar inventarisasi masalah diajukan
untuk mufakat, pengambilan keputusan
oleh DPR. Selain itu, sepanjang
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
berkaitan dengan kewenangan DPD,
Dan apabila rancangan undang-undang
maka DPR mempertimbangkan usul
tidak mendapat persetujuan bersama
dari DPD.
antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh
c) Penyampaian Pendapat Mini. Penyampaian pendapat mini
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.60
disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh fraksi, dan Presiden. DPD
Suatu rancangan undang-undang dapat
juga menyampaikan pendapat mini jika
ditarik kembali sebelum dibahas bersama
rancangan undang-undang berkaitan
oleh DPR dan Presiden. Namun, rancangan
dengan kewenangan DPD. Namun
undang-undang yang sedang dibahas
demikian, dalam hal DPD tidak
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
menyampaikan pandangannya baik
persetujuan bersama DPR dan Presiden.
rancangan undang-undang yang
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
berasal dari Presiden maupun DPR yang
penarikan kembali rancangan undang-
terkait dengan kewenangannya dan
undang ini diatur dengan Peraturan DPR.61
tidak menyampaikan pendapat mini, maka pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
d. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-Undang Suatu rancangan undang-undang yang telah
Dalam pembicaraan tingkat I ini, juga dapat
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
diundang pimpinan lembaga negara atau
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
lembaga lain jika materi rancangan undang-
Presiden untuk disahkan menjadi undang-
undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain terkait. 2) Pembicaraan Tingkat II Pembicaraan tingkat II dilaksanakan dalam rapat paripurna yang merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: (1)
60 Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 61 Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undang. Penyampaian rancangan undang-
pemerintah dan peraturan lainnya yang
undang tersebut dilakukan dalam jangka
diperlukan dalam penyelenggaraan
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
pemerintahan namun tidak didasarkan atas
sejak tanggal persetujuan
bersama.62
Rancangan undang-undang yang telah
perintah suatu undang-undang dikecualikan atau tidak memerlukan batasan waktu.
disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang
Dalam konteks mencari peluang Bank
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
Indonesia dalam memprakarsai Rancangan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama
Undang-Undang peluang keterlibatan tersebut
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan
terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor
undang-undang tersebut disetujui bersama
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
oleh DPR dan Presiden. Namun, dalam hal
Peraturan Perundang-undangan. Pasal a quo
rancangan undang-undang tersebut tidak
membuka peluang Bank Indonesia untuk
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
terlibat dalam pembicaraan tingkat I karena
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain
sejak rancangan undang-undang tersebut
dapat diundang jika materi Rancangan
disetujui bersama, maka rancangan undang-
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga
undang tersebut sah menjadi undang-undang
negara atau lembaga lain tersebut.64 Peluang
dan wajib diundangkan. Namun, kalimat
tersebut sepenuhnya menjadi domain
pengesahannya menjadi berbeda dengan
kewenangan DPR selaku “tuan rumah” yang
pencantuman kalimat pengesahannya
memegang fungsi legislasi. DPR “dapat”
berbunyi: “Undang-Undang ini dinyatakan
mengundang dan tidak diberikan suatu
sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5)
keharusan untuk “mengundang” lembaga
Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara lain walaupun secara awam diketahui
Indonesia Tahun 1945”. Kalimat pengesahan
bahwa substansi RUU yang sedang dibahas
khusus tersebut harus dibubuhkan pada
adalah kewenangan lembaga negara yang
halaman terakhir undang-undang sebelum
lain. Padahal bila memang substansi yang
pengundangan naskah undang-undang ke
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.63
kewenangan lembaga negara yang lain, sudah sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib
Berkaitan dengan pendelegasian peraturan
untuk diundang, sehingga apa yang diatur
perundang-undangan harus ada kejelasan
dalam UU tersebut sejalan dan dapat
waktu penetapan peraturan pelaksanaannya,
diimplementasikan oleh lembaga yang terkait.
baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan lainnya sebagai pelaksanaan undangundang tersebut. Penetapan peraturan
2. Pendekatan Komparatif Peran Bank Sentral dalam Memprakarsai Rancangan UndangUndang
62 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 63 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
18
Berbicara mengenai keterlibatan Bank Indonesia dalam memprakarsai rancangan undang-undang
64 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dapat dirujuk perkembangan peran bank sentral
will be much less of a panacea than its, more
di berbagai negara di dunia. Hal tersebut menjadi
credulous (academic) advocates would hope. A
penting untuk diperhatikan, mengingat dewasa
danger in this context is that 'independence' may
ini kecenderungan untuk menjadikan bank sentral
get over sold as the solution to the ills of the
bersifat independen semakin menguat, sejalan
monetary system, just as monetary targeting,
dengan berlangsungnya perkembangan
exchange rate floating, and so many prior economic
pemikiran-pemikiran baru yang mempengaruhi
nostrums were often given exaggerated credence
terjadinya perubahan peran bank sentral di seluruh
in some quarters, to their own subsequent
dunia. Hal tersebut ditegaskan oleh Forrest Capiey,
detriment.66
Charles Goodhart, dan Norbert Schnadt yang menyebutkan:
Merujuk pada penjelasan di atas, independensi
In the last few years discussion and debate has
yang diberikan pada bank sentral harus dapat
switched from operational techniques (e.g. interest
dikelola secara politik oleh bank sentral, sehingga
rate control versus monetary base control: rules
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
versus discretion) towards concern with structure,
tersebut menjadi problematik karena pengaturan
incentives and accountability, in short to most of
dan kadar independensi di berbagai negara
the issues that come together under the heading
lazimnya dituangkan dalam suatu produk hukum
of central bank
independence.65
yang setara dengan undang-undang, yang notabene dibentuk melalui proses politik di
Kecenderungan yang terjadi di dunia dipengaruhi
parlemen. Hal tersebut dikuatkan oleh Stanley
adanya mindstream bahwa pemberian
Fischer yang menegaskan bahwa independensi
independensi dapat menjadi solusi atas
yang diberikan kepada bank sentral sangat
permasalahan moneter yang menjadi ancaman
bergantung pada legislasi yang mengatur kadar
laten kondisi perekonomian suatu negara. Namun
independensi itu sendiri, yaitu:
demikian, pemberian independensi kepada bank
Control over the supply of money and credit gives
sentral juga memerlukan “keahlian politik”
the central bank potentially enormous power. In
mengelola kemandirian tersebut sehingga dapat
countries where the central bank has sufficient
mencapai tujuan untuk menciptakan inflasi yang
independence to determine interest rate, the
rendah. Hal tersebut menyiratkan bahwa
goals towards which that power should be
independensi yang diberikan melalui sebuah
deployed are often specific in legislation.67
pengaturan (dalam undang-undang atau yang sejenis) lebih bersifat sebagai advokasi akademik
Kondisi tersebut merupakan hal yang dilematis,
daripada sebuah solusi. Hal tersebut ditegaskan
karena pada satu sisi bank sentral, khususnya di
oleh Capiey, Goodhart, dan Schnadt, yaitu:
negara berkembang, diharapkan lebih merdeka
This latter view, that the establishment of an
dari tekanan politik,68 namun secara desain
independent central bank will largely succeed, or
independensinya dipengaruhi oleh proses politik
fail, depending on its 'political' skills in holding together a low inflation constituency, implies that the passage of Acts to grant such independence
66 Ibid., hlm. 240. 67 Stanley Fischer, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995, hlm. 4.
65 Forrest Capiey, Charles Goodhart, Norbert Schnadt, “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK, hlm. 35.
68 Central Banks in developing countries tend to have more independence from political and commercial pressures than most other organisations, and also tend to be better financed. Lihat dalam C.A.E. Goodhart, “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-10-25, hlm. 36.
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
itu sendiri. Maka dari itu, peluang untuk melibatkan
terkait dengan fungsi pengawasan keuangan yang
bank sentral dalam pembahasan draf undang-
dilakukan oleh lembaga lain, yaitu:
undang yang berkaitan dengan kewenangan dan
In the jurisdictions where the NCBs do not perform
tanggung jawab bank sentral diperlukan, bukan
the supervisory function, the NCBs have
dalam konteks mencampurkan locus kewenangan
nevertheless remained involved in supervision in
bank sentral dengan parlemen atau pemerintah
many different ways, they have a substantial
sebagai pembentuk undang-undang, melainkan
involvement in the preparation of legislation
semata sebagai upaya untuk menjaga kadar
relating to supervision; [...].70
independensi bank sentral yang dituangkan dalam berbagai pengaturan yang terkait dengan
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan bank
kewenangan dan tanggung jawab bank sentral.
sentral menjadi penting untuk diikutsertakan dalam proses pembentukan undang-undang,
Ikhtiar menjaga kadar independensi dalam
bahkan pada pembentukan Undang-Undang yang
substansi pengaturan yang mengatur kewenangan
notabene tidak mengatur mengenai bank sentral
dan tanggung jawab bank sentral menjadi hal
secara langsung, tetapi hanya pengaturan
yang penting untuk mewujudkan dua jenis
bersinggungan dengan kewenangan bank sentral
independensi yang diperkenalkan oleh Fischer
dalam bidang moneter.
sebagai goal Independence dan instrumen independence, yaitu:
Dalam konteks yang lebih relevan, hasil penelitian
These two approaches point to different forms of
Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika
CBI. Guy Debelle and Fischer (1995) and Fischer
Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi
(1995) introduce the distinction between goal
Kotkas, Marek Porzycki and Milan Vetrák telah
independence and instrument independence. A
memotret keterlibatan bank sentral dalam proses
central bank that is given control over the levers
legislasi di beberapa negara di Eropa Tengah dan
of monetary policy and allowed to use them has
Timur, yaitu Bulgaria, Republik Ceko, Estonia,
instrument independence; a central bank that sets
Hungaria, Latvia, Slovakia, dan Polandia. Negara
its own policy goals has goal independence.69
di kawasan Eropa Timur dan Tengah tersebut
Berdasarkan hal tersebut, maka independensi
memiliki konteks perkembangan demokrasi dan
bank sentral juga dapat dimaknai dalam konteks
pendewasaan politik yang hampir sama dengan
keterlibatannya dalam menentukan arah kebijakan
konteks Indonesia sebagai negara-negara pecahan
hukum, khususnya yang menyangkut pelaksanaan
Uni Soviet. Negara-negara tersebut, selain telah
kewenangannya.
melibatkan bank sentral dalam proses legislasi yang terkait dengan kewenangan dan tanggung
Dalam kondisi yang sedikit berbeda, Marcis Apinis
jawab bank sentral, tetapi juga memiliki desain
pun menegaskan bahwa bank sentral yang tidak
pengaturan yang hampir serupa dengan Indonesia
terlibat dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan
dalam hal kebanksentralan, terlebih bila merujuk
keuangan (financial supervision function) sudah
desain bank sentral dalam konstitusi masing-
seharusnya diberikan kewenangan untuk terlibat
masing negara.
dalam proses pembentukan Undang-Undang yang
69 Stanley Fischer, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995, hlm. 202.
20
70 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010, hlm. 5.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam hal praktik keterlibatan bank sentral dalam
praktik Bulgarian National Bank terlibat secara
proses legislasi di Bulgaria, pelibatan bank sentral
aktif dan dapat mempengaruhi proses pembahasan
tidak secara tegas disebutkan dalam konstitusi
rancangan undang-undang. Hal tersebut secara
ataupun undang-undang, namun Bulgarian
tegas dicatat sebagai hasil penelitian Marcis Apinis,
National Bank dapat turut membahas proses
et al., yaitu:
penyusunan undang-undang melalui Standing
In Bulgaria, the Government establishes
Committee yang dibentuk oleh National Assembly
interinstitutional working groups where draft laws
of the Republic of Bulgaria, yang membuka proses
are discussed and benefit from the expertise of
pembahasan rancangan undang-undang diikuti
all the public bodies involved. Although legislation
oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.71
Peluang
does not expressly provide for the BG-NCB’s
yang dibuka oleh National Assembly of the Republic
involvement in the process of making primary law
of Bulgaria dapat dimaklumi sebab Bulgaria
governing supervision, in practice, the BG-NCB
menganut sistem pemerintahan Parlementer72
influences the drafting of the primary law through
yang dalam hal ini National Assembly of the
its participation in interinstitutional working groups
Republic of Bulgaria memiliki kewenangan dalam
on the preparation of legal acts to such extent
bidang legislatif sekaligus mengontrol jalanannya
that the BG-NCB may even draft the legislative
pemerintahan yang dilakukan oleh
parlemen.73
provisions.75
Bulgarian National Bank tidak dijelaskan secara
Bank sentral negara lain yang juga terlibat dalam
rinci dalam Constitution of the Republic of
proses legislasi adalah Czech National Bank. Seperti
Bulgaria, namun konstitusi hanya menggariskan
halnya Bulgaria, Republik Ceko juga menganut
kewenangan National Assembly of the Republic
sistem pemerintahan parlementer, namun demikian
of Bulgaria untuk memilih dan memberhentikan
dalam hal keterlibatan bank sentral dalam proses
Governor of the Bulgarian National Bank.74 Namun
sudah jauh lebih jelas dibandingkan dengan
demikian, walaupun secara normatif peluang
Bulgaria. Hal yang sangat membedakan adalah
pelibatan bank sentral hanya melalui norma
kewenangan terlibat dalam mempersiapkan
representatives of legal entities, namun dalam
rancangan undang-undang yang terkait dengan kewenangan dinyatakan secara eksplisit dalam Article 38 of Act of Czech National Bank, dengan
71 Article 28 of the Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013): (3) Any member of a Standing Committee may invite individuals or representatives of legal entities, concerned with the issues considered by the Committee, to attend its meeting. (4) Representatives of trade unions, professional and industries’ associations, on their request, shall attend the meetings, submit written opinions and participate in the Standing Committees’ deliberations on draft legislation concerning their activities and issues of interest, in compliance with the rules established by the committees. The opinions shall be published on the relevant committee webpage of the National Assembly Internet site. 72 Article 1 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “Bulgaria shall be a republic with a parliamentary form of government.” 73 Article 62 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National Assembly shall be vested with the legislative authority and shall exercise parliamentary control.” 74 Article 8 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National Assembly shall: elect and remove the Governor of the Bulgarian National Bank and the heads of other institutions established by law;”
rumusan sebagai berikut:76 (1) The Czech National Bank, together with the Ministry of Finance, shall prepare and submit to the Government draft legislation on the currency and the circulation of money, and draft legislation concerning the status, competence, organisation and activities of the CNB, save for financial market supervision, the payment system and electronic money issuance.
75 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm. 14. 76 Article 38 of the Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
(2) The Czech National Bank shall cooperate with
Dalam Bank of Estonia Act tidak diberikan
the Ministry of Finance in preparing draft
pengaturan yang eksplisit menyatakan Bank of
legislation in the areas of the financial market,
Estonia dapat terlibat dapat proses legislasi. Namun
the payment system, regulation of electronic
berdasarkan hasil penelitian Marcis Apinis, et al.,
money issuance, foreign exchange
Bank of Estonia dapat menginisiasi penyusunan
management and the adoption of the single
undang-undang maupun menyiapkan draf
currency, the euro, in the Czech Republic.
keseluruhan dari undang-undang dengan kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of Estonia,
Sebenarnya Constitution of the Czech Republic
dan Financial Supervision Authority, yang mana
pun hanya secara ringkas mengatur fungsi dan
Ministry of Finance yang bertugas memasukkan
kelembagaan bank sentral, yaitu:77
draf tersebut kepada Parliament of Estonia.79
(1) The Czech National Bank is the central bank of the State. Its activities are primarily oriented
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
towards currency stability; it is possible to
legislasi sejatinya sangat sumir, karena hanya
interfere with its activities exclusively on the
disandar pada norma “The Bank of Estonia advises
basis of law.
the Government of the Republic in matters of
(2) The status, jurisdiction, and other details are set down by law.
economic policy”.80 Sejatinya bila hendak dirunut, keterlibatan Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan
Bila hal tersebut dibandingkan dengan pengaturan
dari format kerja sama antara Ministry of Finance,
dalam UUD NRI Tahun 1945, setidaknya
Bank of Estonia, dan Financial Supervision
Constitution of the Czech Republic memang lebih
Authority yang dituangkan dalam sebuah
jelas dalam pengaturannya, karena disebutkan
Cooperation Agreement. Secara eksplisit memang
tugas dan fungsi dasar dari bank sentral. Adapun
Bank of Estonia tidak memiliki kewenangan untuk
untuk penjabaran lebih lanjut dari tugas dan fungsi
terlibat dalam proses legislasi, namun Ministry of
tersebut Constitution of the Czech Republic juga
Finance sebagai wakil dari pemerintah tentu
menyerahkan pada legal policy pembentuk undang-
memiliki kewenangan tersebut, sedangkan untuk
undang sebagaimana pula diamanatkan dalam
Financial Supervision Authority memang secara
desain konstitusional bank sentral di Indonesia.
eksplisit disebutkan memiliki kewenangan mengajukan proposal untuk mengajukan
Hampir sama dengan Bulgaria, Eesti Pank (Central
pembentukan atau revisi undang-undang yang
Bank of the Republic of Estonia) pun terlibat
terkait dengan sektor finansial,81 yang justru
dalam proses legislasi, namun melalui norma
kewenangan seperti ini tidak diberikan kepada
pengaturan yang bersifat implisit. Dalam
Bank of Estonia.
Constitution of the Republic of Estonia hanya menyebutkan kewenangan dasar Bank of Estonia berupa hak eksklusif untuk menerbitkan mata uang Estonia, mengelola sirkulasi dan menjaga stabilitas mata uang, serta tugas lain yang sesuai dengan hukum dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Riigikogu (The Parliament of
80 Article 4 paragraph (2) of the Bank of Estonia Act.
Estonia).78
81 Article 6 paragraph (1) number 5 of the Financial Supervision Authority Act, “The functions of the Supervision Authority in fulfilling the objectives of financial supervision are to: make proposals for the establishment and amendment of Acts and other legislation concerning the financial sector and related supervision, and participate in the drafting of such Acts and legislation;”
77 Article 98 of the Constitution of the Czech Republic. 78 Article 111-112 of the Constitution of the Republic of Estonia.
22
79 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm.15.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
member of the Government, the member of
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
the Government shall inform the MNB within
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
15 working days of receipt or publication of
sama untuk merancang bersama peraturan dan
the proposal – through public channels if the
panduan di bidang keuangan.82 Hal ini seolah
proposal has been announced in the public –
menggabungkan kewenangan ketiga organ yang
of the launch of a procedure directed at
bekerja sama dalam sebuah forum bersama.
adopting a legal act or at initiating a legislative
Namun demikian, secara tidak disadari sejatinya
proposal; – in the event of legislative proposal–
forum kerja sama tersebut telah mereduksi
of the deadline for presenting a draft law to
independensi Bank of Estonia, walaupun secara
the Parliament, or in the event of regulation
normatif independensi tersebut dijamin oleh
in a decree, the deadline for its publication in
Article 3 verse (1) of Constitution of the Republic
the official journal; or in the absence of the
of Estonia.83
above, of the reasons for such a decision. (3) If the deadline defined in paragraph (2) expired
Pada praktik di Hungaria, Magyar Nemzeti Bank
without any actions taken, the addressee of
(Hungarian National Bank) secara eksplisit diberikan
the proposal shall immediately inform the
kewenangan untuk mengajukan usulan legislasi
MNB – through public channels if the proposal
yang ditujukan kepada pemerintah. Hal tersebut
has been announced in the public – of the
secara tegas dituangkan dalam Article 58 of Act
reasons for delay, and – if the addressee is in
CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank
agreement with the proposal – of the new
berikut:84
deadline for presenting a draft law to the
(1) In order to maintain the stability of the financial
Parliament, or of its publication in the official
intermediary system, the MNB may submit a
journal.
proposal to the Government to adopt legal regulations or to make legislative proposals,
Berbekal pengaturan tersebut sudah sangat kuat
or to any member of the Government for
dasar Hungarian National Bank untuk mengajukan
adopting legal regulations. The MNB may
usulan legislasi yang terkait dengan lingkup
decide to make this proposal in a public
kewenangannya, yang pada sisi yang lain tetap
announcement.
terdapat jaminan atas independensinya85 dalam
(2) In response to any proposal of the MNB submitted to the Government as defined in
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang moneter86.
paragraph (1), on behalf of the Government the Minister responsible for the regulation of the money, capital and insurance markets; and in the event of a proposal submitted to a
82 Article 4 of the Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007. 83 Article 3 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Estonia, “The Bank of Estonia operates independently of other government agencies. The Bank of Estonia reports on its activities to the Riigikogu and is not subordinate to the Government of the Republic or any other executive agency of the government or to any third party.” 84 Article 58 of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.
85 Article 1 paragraph (2) of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank, “The MNB, and the members of its bodies shall be independent in carrying out their task and meeting their obligations conferred upon them by this Act, and shall neither seek nor take instructions from the Government, or the institutions, bodies or offices of the European Union, with the exception of the European Central Bank (hereinafter the ‘ECB’), or from the governments of Member States or any other organisation or political party. The Government as well as all other institutions shall adhere to this principle and shall not attempt to influence the MNB and its bodies in the course of the performance of their tasks.” 86 Article 41 paragraph (1) of the Constitution of Hungary, “The Hungarian National Bank shall be the central bank of Hungary. The Hungarian National Bank shall be responsible for the monetary politics in a manner provided by separate law.”
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Kondisi yang terjadi Latvia serupa dengan praktik
secara spesifik oleh Act on the National Bank of
yang terjadi Estonia, yaitu kewenangan menyusun
Slovakia untuk mengajukan usulan legislasi, yaitu:90
draf terdapat Financial and Capital Market
(1) The National Bank of Slovakia shall submit
Commission,87
yang mana sebenarnya tidak ada
keharusan bagi Financial and Capital Market
draft legislation to the Government in the areas of money circulation.
Commission untuk berkonsultasi dengan Latvijas
(2) The National Bank of Slovakia shall, together
Banka (Bank of Latvia). Namun, konsultasi tersebut
with the Ministry of Finance of the Slovak
dimungkinkan dilakukan dengan adanya
Republic (hereinafter referred to as the
kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga
“Ministry”), submit to the Government draft
ini, sebagaimana yang terjadi di Estonia. Hanya
legislation in the area of foreign exchange
saja dalam kerja sama ini hanya dilakukan antara
relations, the payment systems and the
Financial and Capital Market Commission dan
provision of payment services and the financial
Bank of Latvia.88
market including banking and the position and competence of the National Bank of
Pada praktik di Slovakia terdapat keunikan
Slovakia.
tersendiri. Pengaturan tentang Národná banka
(3) The provisions of paragraphs (1) and (2) shall
Slovenska (National Bank of Slovakia) mirip dengan
be without prejudice to the functions and
pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945,
yaitu:89
powers of institutions and bodies of the
(1) The National Bank of Slovakia is an independent
European Union in the field of legislation,
central bank of the Slovak Republic. The
under separate legal provisions, nor to the
National Bank of Slovakia may, within its scope
duty to consult draft legislation with the
of power, issue generally binding legal
European Central Bank to the extent laid down
regulations if it is so empowered by a law.
in a separate legal provision.
(2) The highest administration body of The National Bank of Slovakia is the Bank Council
Pengaturan di atas menunjukkan 2 (dua)
of the National Bank of Slovakia.
mekanisme pengajuan usulan legislasi yang dapat
(3) Details according to paragraphs 1 and 2 shall be laid down by a law.
dilakukan oleh National Bank of Slovakia, yaitu: (1) mengajukan usul secara mandiri spesifik dalam bidang peredaran uang; dan (2) mengajukan usul
Walaupun sama dalam desain konstitusi, namun
melalui kerja sama dengan Ministry of Finance
National Bank of Slovakia memiliki desain legal
dalam bidang hubungan valuta asing, sistem
policy yang berbeda dengan Bank Indonesia.
pembayaran, penyediaan layanan pembayaran,
National Bank of Slovakia diberikan kewenangan
dan pasar keuangan, termasuk pula terkait perbankan dan posisi dan kompetensi bank sentral. Terlepas dari kedua mekanisme tersebut, tetapi norma pengaturan tersebut dapat memberikan
87 Article 6 paragraph (8) of the Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012), “The Commission shall have the following functions: to analyse regulatory requirements pertaining to financial and capital market and draft proposals for their improvement and harmonisation with the regulatory requirements Community;” 88 Article 2.1.6 of the Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009. 89 Article 56 of the Constitution of the Slovak Republic.
24
dasar hukum yang kuat bagi bank sentral untuk terlibat dalam proses legislasi yang terkait dengan kewenangan bank sentral.
90 Article 30 of the Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pada praktik di Polandia, Narodowy Bank Polski
dan (4) bank sentral independen dalam
(National Bank of Poland) tidak memiliki
melaksanakan fungsi dan kewenangannya.95
kewenangan mengajukan usulan legislasi
Dengan demikian, maka menjadi relevan untuk
sebagaimana pengaturan di Slovakia, namun
memperbandingkan bank sentral Indonesia
National Bank of Poland diberikan keharusan untuk
dengan bank sentral di Venezuela dan Peru,
menyajikan pendapat pada pembahasan rancangan
khususnya tentang keterlibatan bank sentral
undang-undang mengenai aktivitas bank dan
dalam proses legislasi.
rancangan undang-undang yang penting untuk sistem perbankan.91 Keharusan tersebut dinilai
Dalam Law on The Central Reserve Bank of Peru
cukup untuk menangkap kepentingan bank sentral
tidak terdapat pasal yang mengatur secara eksplisit
dalam proses pembentukan undang-undang yang
mengenai kewenangan The Central Reserve Bank
berkaitan dengan kewenangan bank sentral.
of Peru untuk terlibat dalam proses legislasi. Namun, peluang keterlibatan The Central Reserve
Selain negara-negara di Eropa Timur dan Tengah,
Bank of Peru dalam proses legislasi khususnya
praktik di negara Amerika Latin juga memiliki sisi
dalam mengajukan inisiatif rancangan undang-
kompabilitas yang relatif sama dengan konteks
undang justru dijamin dalam Constitution of Peru,
Indonesia, yaitu sebagai negara berkembang yang
yakni dalam Article 107 yang mengatur bahwa:
sedang mengalami masa demokratisasi seperti
Both the President of the Republic and the
halnya Indonesia. Selain itu, negara-negara di
congressmen have the right to initiative in law-
Amerika Selatan, seperti Venezuela dan Peru,
making. The same right, in matters within their
relatif memiliki sistem ketatanegaraan yang sejenis
competence, is also enjoyed by the other State
dengan Indonesia, yaitu menganut sistem
branches, autonomous public agencies, regional
pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan
and local governments, and professional
kompleksitas sistem kepartaian multipartai, yang
associations. Likewise, citizens possess the right
mengindikasikan pluralitas masyarakat yang relatif
to initiative in accordance with the law”.96
sejenis dengan konteks Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka, The Central Reserve Bank of Peru sebagai a legal entity governed by
Kedua negara tersebut dipandang relevan untuk
public law97 mempunyai hak yang sama untuk
diperbandingkan dengan Indonesia dengan 4
mengajukan inisiatif pembentukan rancangan
(empat) alasan, yakni: (1) merupakan negara
undang-undang.
berbentuk
republik;92
(2) menganut sistem
pemerintahan presidensial;93 (3) ketentuan
Bila dibandingkan dengan Indonesia, setidaknya
mengenai bank sentral disebutkan dalam konstitusi
terdapat 2 (dua) perbedaan mendasarkan perihal
undang-undang;94
akses The Central Reserve Bank of Peru dan Bank
dan diatur lebih lanjut dengan
Indonesia dalam proses legislasi, yakni: Pertama, hak The Central Reserve Bank of Peru untuk 91 Article 21 paragraph (4) of the Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
92 Lihat Article 1 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 43 and 48 of the Constitution of Peru. 93 Lihat Article 162, 226, 228, and 233 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 90, 111, 112, and 113 of the Constitution of Peru.
95 Lihat Article 2 of the Law on the Central Bank of Venezuela. Lihat Article 1 of the Law on the Central Reserve Bank of Peru. Lihat juga Article 86 of the Constitution of Peru. 96 Lihat Article 107 of the Constitution of Peru.
94 Lihat Article 318 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 83 of the Constitution of Peru.
97 Lihat Article 1 of the Law on The Central Reserve Bank of Peru.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undang dijamin dalam konstitusi negaranya,
politik negara yang memunculkan kompromi
sedangkan hal tersebut sama sekali tidak diatur
antara peneguhan independensi dan kebutuhan
dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, hak untuk
legislasi bank sentral. Dengan melihat berbagai
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
praktik bank sentral dalam konteks legislasi, maka
undang The Central Reserve Bank of Peru seperti
dapat disimpulkan bahwa keterlibatan bank
halnya yang disebutkan dalam Article 107 sama
sentral dalam proses legislasi merupakan hal yang
halnya dengan hak inisiatif Presiden dan anggota
lazim dan penting dalam rangka mewujudkan
kongres dalam menginisiasi rancangan undang-
stabilitas perekonomian nasional menjaga kadar
undang. Hal tersebut berarti The Central Reserve
independensi bank sentral itu sendiri. Hal ini
Bank of Peru mempunyai kedudukan yang sama
menjadi wajar sebagai bentuk dinamika99
dalam mengajukan inisiatif pembentukan
kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia untuk
rancangan undang-undang. Dengan demikian,
menjaga stabilitas moneter dalam perekonomian
akses The Central Reserve Bank of Peru dalam
negara. Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang
mengajukan inisiasi pembentukan rancangan
wajar jika Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
undang-undang jelas lebih terjamin dibandingkan
Republik Indonesia diberikan peluang untuk dapat
dengan akses Bank Indonesia dalam menginisiasi
memprakarsai atau setidak-tidaknya terlibat dalam
pembentukan rancangan undang-undang.
proses pembahasan penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangannya.
Lebih lanjut perihal keterlibatan The Central Bank of Venezuela dalam proses legislasi. Keterlibatan bank sentral Venezuela dalam proses legislasi
3. Peluang Bank Indonesia Memprakarsai Rancangan Undang-Undang
tidak diatur secara khusus baik dalam Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela maupun dalam
Amandemen konstitusi telah mengubah wajah
Law on The Central Bank of Venezuela. Namun,
ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.
peluang keterlibatan The Central Bank of
Penataan kelembagaan negara yang mengarah
Venezuela untuk terlibat dalam proses legislasi
pada kehidupan yang lebih demokratis merupakan
tersirat pada Article 112 of the Constitution of
ciri keberhasilan dari perubahan konstitusi. Salah
Bolivarian Republic of Venezuela, yang mengatur
satu penataan tersebut adalah dengan penguatan
bahwa, “During the process of debating and
kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
approval of bills, the National Assembly or Standing
Penguatan BI sebagai salah satu lembaga negara
Committees shall consult the other organs of the
yang diakui konstitusi tidak lepas dari konteks
State, the citizenry and organized society to hear
reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan
their opinion about the same
[....]”.98
Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam proses pembahasan
dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good
dari rancangan undang-undang National Assembly
governance) dimulai dari pembentukan peraturan
maupun Standing Committees dapat meminta
perundang-undangan dan pembentukan lembaga
pendapat dari organ negara lainnya, antara lain
seterusnya mengakomodasi kepentingan publik
The Central Bank of Venezuela.
secara melembaga.100
Belajar dari negara-negara tersebut sedikit banyak menggambarkan kedudukan bank sentral dalam
98 Lihat Article 112 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.
26
yang kuat dan bersih (strong and clean government)
99 Praktik dinamika kewenangan juga terjadi dalam konteks kewenangan yudisial, yang bergeser dari menguji peraturan perundang-undangan berkembang menjadi membatalkan peraturan perundang-undangan. 100 Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010, hlm. 24.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam upaya penguatan kelembagaan BI dilakukan
can be made particularly strong if its independence
secara bertahap dimulai dengan lahirnya UU Nomor
is enshrined not just in a central bank charter but
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan
in the constitution”.102 Hal tersebut senada dengan
lebih mempertegas kewenangan Bank Indonesia,
yang disampaikan Boediono sebagai Menteri
yaitu pelaksana otoritas moneter.101 Konsekuensi
Keuangan pada saat pembahasan amandemen
dari pelaksanaan kewenangan tersebut berdasar
UUD 1945 yang menyatakan:
evaluasi atas praktik ketatanegaraan masa lalu,
[…] Kebanyakan dari bukti-bukti atau data-data
yang kemudian menjadikan BI sebagai lembaga
internasional menunjukkan memang ada korelasi
negara yang independen terpisah dari cabang
positif negara yang mempunyai bank sentral yang
kekuasaan eksekutif. Pemerintah ataupun
diberi independensi […] biasanya mempunyai
kekuasaan apapun tidak boleh mencampuri
prestasi pengendalian inflasi yang lebih baik. […]
pelaksanaan kewenangan BI.
Oleh sebab itu, maka sejak satu dasawarsa atau sedikit lebih akhir-akhir ini memang kecenderungan
Desain kelembagaan yang sudah ditentukan dalam
umum dari pendapat para pakar di dunia adalah
UU tersebut kemudian diajukan pada pembahasan
memang sebaiknya bank sentral itu diberi satu
amandemen UUD untuk dimasukkan dalam
kewenangan untuk independen. Independen
ketentuan konstitusi. Persoalan eksistensi bank
dalam menentukan kebijakan moneternya.103
sentral, penamaan dengan menggunakan Bank Indonesia, dan permasalahan menyangkut
Dalam UU yang mengatur independensi BI,
independensi adalah pembahasan yang menguras
dicantumkan bahwa, “Bank Indonesia adalah
energi Panitia Ad-Hoc Perubahan UUD 1945.
lembaga negara yang independen, bebas dari
Dari amandemen pertama sampai terakhir,
campur tangan Pemerintah, dan atau pihak-pihak
perdebatan atas eksistensi BI seakan tidak
lainnya, kecuali untuk yang secara tegas diatur
mendapatkan penyelesaian, sehingga diputuskan
dalam undang-undang ini.”104 Lebih lanjut, dalam
untuk menciptakan ketentuan yang bersifat
penjelasan Pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan:
kompromistis, yaitu Pasal 23D yang berbunyi,
Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang
“Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
independen di bidang tugasnya berada di luar
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan
pemerintahan dan lembaga lain sebagaimana
independensinya diatur dengan undang-undang.”
ditetapkan dalam undang-undang ini. Dalam
Dalam ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia
hanya menyebutkan bahwa bank sentral
menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan
merupakan bank yang independen, namun tidak
Rakyat. Selain itu, laporan keuangan Bank
dijelaskan sejauh mana batas independensinya
Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa
dan hanya diserahkan kepada pembentuk undang-
Keuangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
undang untuk mengatur luasan lingkup makna independensinya. Bank Indonesia sebagai bank sentral penting untuk diberikan Independensi sebagaimana dikatakan
102 Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, hlm. 302.
Arend Lijphart yang menyatakan, “A central bank
103 Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 266.
101 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
104 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Keuangan disampaikan kepada Dewan Perwakilan
(2) isi norma yang lebih rendah.108 Teori yang
Rakyat.105
dikemukakan Kelsen ini membatasi organ mana
Independensi BI semata untuk mencapai tujuan
yang memiliki kewenangan dalam membentuk
BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan
peraturan perundang-undangan.
nilai rupiah.106 UUD sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia Kemandirian BI tersebut nyatanya telah direduksi
telah menentukan kelembagaan apa yang memiliki
oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana
wewenang legislasi di Indonesia. UUD memberikan
telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan, bahkan
atribusi kewenangan membentuk UU kepada DPR
dalam revisi UU BI yang baru sangat dominan
dan Presiden, dan pada beberapa masalah spesifik
dalam aspek pengawasan daripada memperjelas
dengan melibatkan DPD. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI
tugas, fungsi dan wewenang BI. Hal tersebut
Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden berhak
tentunya secara ketatanegaraan menjadi suatu
mengajukan rancangan undang-undang kepada
masalah sebab tanpa kejelasan dan kepastian
Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan, Pasal 20
hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
BI akan menghambat peran BI dalam perekonomian
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
nasional. Oleh karena itu, menjadi penting untuk
membentuk undang-undang. Membandingkan
melibatkan BI dalam proses legislasi yang berkaitan
kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa lembaga
dengan kelembagaan BI, baik menyangkut fungsi,
negara yang diberikan kekuasaan membentuk
tugas wewenang maupun kewajibannya.
undang-undang adalah DPR. Namun, dalam pembahasan undang-undang dan persetujuan
Dalam kaitan dengan keterlibatan BI dalam
perlu dilakukan bersama antara DPR dengan
membentuk undang-undang, maka harus
Presiden. Selain itu, dalam Pasal 22D UUD NRI
diperhatikan dasar kewenangan untuk melakukan
Tahun 1945 pada pokoknya menyatakan bila
hal tersebut. Hal ini penting, sebab sebagaimana
terkait dengan kewenangan DPD, maka DPD dapat
pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas
pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari
RUU tersebut bersama DPR dan Presiden.
penegakan hukum yang sangat penting untuk diperhatikan.107 Dari pandangan itu, Kelsen
Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan BI,
mengelaborasi lebih lanjut, bahwa menurutnya
yang harus dijawab adalah apakah BI memiliki
pembentukan hukum dapat ditentukan menurut
peluang untuk terlibat dalam proses pembentukan
dua cara yang berbeda, yaitu norma lebih tinggi
undang-undang dan apakah dimungkinkan secara
dapat menentukan: (1) organ dan prosedur
yuridis untuk terlibat. Jawaban atas pertanyaan
pembuatan norma yang lebih rendah; dan
tersebut jika mengacu pada pendapat Hans Kelsen tentang delegasi kewenangan dari norma tertinggi atas organ pembentuk undang-undang, maka BI tidak termasuk di dalamnya. Sebab konstitusi
105 Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
membatasi kekuasaan membuat undang-undang
106 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Kelsen di atas, maka kewenangan membentuk
107 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, hlm. 163.
28
adalah DPR yang menyertakan Presiden dan DPD. Namun, jika menafsirkan lebih lanjut pendapat
108 Ibid., hlm. 167.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
peraturan harusnya tidak saja diberikan oleh norma
keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
tertinggi kepada norma rendah, tetapi juga dapat
Indonesia atau masalah lain yang termasuk
lahir dari kewenangan yang muncul dari norma
kewenangan Bank Indonesia.
yang mengatur itu sendiri. Maknanya, kekuasaan
(2) Bank Indonesia wajib memberikan pendapat
membentuk undang-undang tetap berada pada
dan pertimbangan kepada Pemerintah
lembaga-lembaga yang ditentukan konstitusi,
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan
namun juga dalam pengaturan lebih lanjut tentang
dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang
pembentukan undang-undang yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
memungkinkan membuka peluang kepada
Indonesia.
lembaga atau entitas lain untuk terlibat. Dalam ayat (1) tidak dibatasi secara limitatif Mencermati dan menelaah UU BI yang telah direvisi
“pembahasan masalah” yang dimaksud. Frasa
dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, sejatinya terbuka
“masalah ekonomi, perbankan dan keuangan
peluang BI untuk terlibat dalam penyusunan
yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau
RUU dan dalam proses pembentukan undang-
masalah lain yang termasuk kewenangan Bank
undang. Dalam Pasal 7 UU BI terdapat ayat yang
Indonesia”, membuka peluang keluasan cakupan
mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
keterlibatan BI bekerja sama dengan Pemerintah,
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Dalam Pasal
termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU.
7 UU BI dinyatakan bahwa, “Untuk mencapai
Argumentasi tersebut dikuatkan dalam pengaturan
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
pada ayat (2), pada frasa yang menyatakan, “Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara
Indonesia wajib memberikan pendapat dan
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
di bidang perekonomian.”109 Dari ketentuan
Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa BI
tersebut didapati bahwa dalam mencapai tujuannya
memang dapat turut serta dan bahkan wajib
BI harus mempertimbangkan kebijakan umum
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
yang diambil pemerintah di bidang ekonomi.
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN ini kemudian menjadi bahan utama bagi
Pengaturan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 1999
presiden untuk membuat RUU APBN.
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004 dapat menjadi pintu masuk bagi BI sebagai pemrakarsa RUU yang
Dengan menggunakan penafsiran ekstensif, tidak
terkait dengan tugas dan kewenangannya, yaitu:110
dapat dipungkiri bahwa RUU APBN adalah masuk
(1) Pemerintah wajib meminta pendapat Bank
dalam nomenklatur RUU pula.111 Dengan demikian,
Indonesia dan/atau mengundang Bank
secara implisit sejatinya BI memiliki kewenangan
Indonesia dalam sidang kabinet yang
dalam mempersiapkan bahan dari RAPBN yang
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain yang berkaitan
109 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 110 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu bagi BI untuk
111 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
terlibat dalam mempersiapkan bahan dari RUU
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Selain dalam UU BI, peluang tersebut juga terbuka
Undang-Undang, Rancangan Peraturan
melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Perlu Hanya diperlukan perluasan makna dari
undangan, yang menyatakan, “Dalam pembicaraan
terminologi “pemrakarsa”, yang sejauh ini hanya
tingkat satu dapat diundang pimpinan lembaga
sempit terbatas pada “menteri/pimpinan lembaga
negara atau lembaga lain jika materi Rancangan
pemerintah non-departemen yang mengajukan
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara
usul penyusunan Rancangan Undang-Undang
atau lembaga lain.” Terlebih dengan ketentuan
[...]”,113 perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terkait dengan kewenangannya. Tentu saja
yang mengatur mengenai Pembicaraan Tingkat
konsekuensi dari jalur ini adalah akuisisi usulan
I yang terdiri dari: (a) pengantar musyawarah; (b)
RUU tersebut menjadi RUU usulan Pemerintah.
pembahasan daftar inventaris masalah; dan (c) penyampaian pendapat mini, semakin memberikan
Selain itu, harus dicermati pula bahwa Perpres a
jalan bagi BI untuk dapat turut mengawal bahan
quo sejatinya merupakan amanat dari UU Nomor
RUU yang telah diajukan oleh BI, baik itu RUU
10 Tahun 2004, yang notabene sudah digantikan
melalui jalur Presiden, DPR, ataupun DPD.
substansi dan keberlakuannya oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. Sedangkan, UU Nomor 12 Tahun
Upaya untuk membuka keterlibatan lembaga
2011 juga memerintahkan untuk dibentuknya
negara/lembaga lain tersebut, yang dibutuhkan
Perpres yang mengatur lebih lanjut mengenai
adalah perubahan pada aturan pelaksana, yang
tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
dalam hal ini adalah Tata Tertib DPR atau Peraturan
Undang.114 Dengan demikian, peluang untuk
Presiden yang mengatur mengenai tata cara
memperluas terminologi “pemrakarsa” sangat
persiapan RUU. Dalam Pasal 99 ayat (1) Peraturan
dimungkinkan sejalan dengan pembentukan
DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib,
Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan
dinyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dapat berasal dari DPR, Presiden atau
DPD.112
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2011.
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk mengajukan RUU, selama masih terkait
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
dalam lingkup kewenangannya. Tentu saja
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan
kemudian usulan RUU dari lembaga
BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi
tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,
menjadi RUU usulan DPR. Pada jalur eksekutif, untuk membuka pintu inisiasi RUU perlu adanya perubahan pada Peraturan
112 Pasal 99 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
30
113 Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. 114 Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat
Kelemahan dari pemilihan jalur ini adalah DPR
3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu,
bukanlah mewakili satu kepentingan saja. Di
BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan
dalam institusi DPR terdapat polarisasi suara yang
catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah
membawa kepentingan politik masing-masing
dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa
partai politik, bahkan kepentingan politik masing-
RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU
masing anggota DPR, sehingga akan susah untuk
dari jalur DPR. Namun, opsi ini sangat tergantung
menemukan kebulatan suara di dalamnya.
pada perubahan peraturan yang saat ini masih berlaku sebagaimana telah diuraikan di atas.
Sedangkan bila melalui jalur Pemerintah,
Melalui posisi sebagai pemrakarsa, BI dapat
keuntungannya adalah adanya locus kewenangan
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
yang berhimpitan antara Pemerintah dan BI, yaitu
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
dalam bidang moneter dan fiskal, yang notabene
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
keduanya dulu adalah sama-sama ranah kekuasaan
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
eksekutif. Selain itu, melalui Pemerintah lebih
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
mudah untuk dicapai kesepahaman kepentingan
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait
politik mengenai substansi RUU. Kelemahan atas
dengan tugas dan kewenangannya.
pilihan ini adalah himpitan kewenangan antara BI dan Pemerintah, mengakibatkan kecenderungan
BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun
Pemerintah untuk mereduksi kewenangan BI.
suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila
yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara
BI dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat
DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
diajukan. Pada langkah ini, BI mempercayakan
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
sepenuhnya pembahasan kepada lembaga yang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dititipi dan tidak turut aktif dalam pembahasan,
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
kecuali atas undangan pihak yang dititipi. Dalam
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
pilihan ini setiap jalur yang dipilih BI memiliki
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait dengan
implikasi masing-masing atas keberhasilan dalam
tugas dan kewenangannya. BI dapat mendorong
menjaga kepentingan BI.
adanya perubahan UU BI yang di dalamnya secara spesifik memberikan kewenangan mengusulkan
Apabila yang dipilih adalah jalur DPR, maka
RUU yang terkait dengan kewenangan BI, baik
keunggulannya adalah posisi DPR sebagai
ditentukan secara limitatif ataukah tidak. Gagasan
pemegang kekuasaan membentuk undang-
ini merujuk pada praktik yang terjadi di Hungaria,
undang. Apabila DPR telah mengajukan RUU dan
Slovakia, dan Republik Ceko yang kesemuanya
secara bersamaan Presiden atau DPD juga
menentukan secara eksplisit kewenangan untuk
melakukan hal yang sama, maka RUU dari DPR
mengusulkan RUU yang terkait dengan
yang akan dibahas, sedangkan yang lain hanya
kewenangan bank sentral. Dengan demikian, akan
digunakan sebagai pembanding
saja.115
lebih memberikan kepastian hukum kepada BI dalam mengajukan RUU.
115 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
merujuk pada praktik yang telah dilaksanakan di
sector untuk mengundang dan melibatkan BI
Peru, yang mana peluang Peruvian Central Bank
dalam penyusunan RUU. Pilihan ini membuat BI
untuk ikut mengajukan RUU diatur secara implisit
menjadi sangat tergantung pada will pemerintah
dalam norma di level konstitusi. Dengan demikian,
untuk turut terlibat dalam penyusunan RUU. Pilihan
tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan
ini menjadi kurang relevan, karena bila RUU yang
RUU terbuka lebar. Bahkan Bank Indonesia dapat
dibahas terkait dengan tugas dan kewenangan
secara independen mengawal draf RUU yang
BI, maka seyogyanya Bank Indonesia terlibat dalam
diusulkannya, dari pengajuan sampai dengan RUU
proses penyusunan RUU tersebut.
disahkan sebagai UU. BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam
dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh
pembahasan suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak
Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan
bertindak selaku pemrakarsa atau pihak yang
suatu
RUU.116
Derajat ini berpegang pada definisi
mengajukan, namun sebatas menjadi pihak yang
legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa
turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU
hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga
yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI.
pemerintah
non-departemen.117
Selain itu, hanya
Permohonan pengajuan diri BI terlibat dalam
menteri yang dapat ditunjuk oleh Presiden menurut
proses pembahasan berpijak pada rumusan
UU untuk melakukan pembahasan RUU bersama
pengaturan pada UU BI yang memungkinkan BI
DPR melalui sebuah Surat
Presiden.118
Pada porsi
ini keterlibatan BI sangat bergantung pada
turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait tugas dan kewenangannya.119
kemauan dan kesediaan leading sector untuk mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu
Derajat keterlibatan ini menggunakan penafsiran
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan
norma bahwa dalam “Pembicaraan Tingkat I dapat
BI. Opsi ini telah seperti yang diterapkan di negara
diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga
Venezuela yang mana pelibatan Venezuela Central
lain jika materi Rancangan Undang-Undang
Bank tergantung pada kebutuhan Pemerintah,
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
dalam hal ini Menteri Keuangan untuk meminta
lain” dan norma bahwa “Pemerintah wajib
pertimbangan Venezuela Central Bank atas
meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau
pembahasan rancangan undang-undang.
mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan
Pada porsi ini, posisi Bank Indonesia menjadi pihak
dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
yang pasif menunggu kemurahan hati leading
Indonesia atau masalah lain yang termasuk kewenangan Bank Indonesia”.
116 Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Keaktifan BI untuk mengajukan diri sebagai pihak
117 Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pemerintah memiliki kewajiban mengundang
118 Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
32
dalam pembahasan merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya untuk berhasil sebab
119 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
untuk BI, sedangkan pada di sisi yang lain BI
konstitusional yang diderita oleh BI dengan
merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
dibahas berkaitan dengan kewenangan lembaga
memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI
negara/lembaga lain tersebut.
Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama
lembaga yang dapat mengusulkan atau
ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan
memprakarsai RUU dalam hal pembangunan
norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya
hukum di bidang kewenangan BI. Hal seperti
BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait
halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI
kewenangan BI tentu membawa dampak yang
dapat membangun kerja sama dengan
signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan
Kementerian Keuangan misalnya, spesifik dalam
konstitusional BI, yang tentu mengarah pada
hal perancangan usulan RUU yang terkait
munculnya kerugian konstitusional yang diderita
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk
dengan kewenangan Kementerian Keuangan.
menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
proses legislasi UU yang terkait dengan
legislasi sejatinya sangat sumir, karena keterlibatan
kewenangan BI.
Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan dari format kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of
Pilihan ini lebih membawa kepastian hukum sebab
Estonia, dan Financial Supervision Authority yang
Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal
dituangkan dalam sebuah Cooperation Agreement.
10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
merupakan materi muatan dalam undang-undang
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
dan akan ditindaklanjuti baik oleh Presiden
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
maupun DPR untuk diajukan sebagai Rancangan
sama untuk merancang bersama peraturan dan
Undang-Undang. Implikasi atas jalur pengujian
panduan di bidang keuangan. Kondisi yang terjadi
konstitusional atas undang-undang memiliki dua
Latvia serupa dengan praktik yang terjadi Estonia,
kemungkinan, yaitu diterima atau ditolak. Jika
yaitu kewenangan menyusun draf terdapat
permohonan BI diterima, maka hal tersebut akan
Financial and Capital Market Commission, yang
membawa keuntungan bagi BI untuk kepastian
mana sebenarnya tidak ada keharusan bagi
hukum sesuai yang dimohonkan, sedangkan
Financial and Capital Market Commission untuk
apabila ditolak, maka akan mengukuhkan yang
berkonsultasi dengan Latvijas Banka (Bank of
sudah ada dan hal tersebut menjadi risiko yang
Latvia). Namun, konsultasi tersebut dimungkinkan
harus ditanggung oleh BI.
dilakukan dengan adanya kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga ini, sebagaimana yang
Dalam setiap penerapan gagasan dan/atau
terjadi di Estonia. Hanya saja dalam kerja sama
peraturan baru dalam sistem hukum membawa
ini hanya dilakukan antara Financial and Capital
implikasi terhadap sistem lama yang sudah
Market Commission dan Bank of Latvia.
berjalan. Hal ini juga berlaku pada gagasan keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
berkaitan dengan tugas dan kewenangannya.
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
Masing-masing gagasan memiliki kelebihan dan
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
kekurangan, sehingga harus mempertimbangkan
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
segala kemungkinan yang terjadi sebelum
bagi BI untuk terlibat dalam mempersiapkan bahan
menentukan pilihan yang akan diterapkan.
dari RUU yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.
D. Kesimpulan Ketiga, Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2011 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terdapat peluang untuk melibatkan Bank Indonesia
menjadi peluang pula, “Dalam pembicaraan tingkat
dalam proses pembentukan Rancangan Undang-
satu dapat diundang pimpinan lembaga negara atau
Undang dalam sistem ketatanegaraan Republik
lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang
Indonesia. Peluang BI untuk dapat turut membahas
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
RUU sebenarnya terbuka secara normatif melalui
lain.” Keempat, jalur lain adalah perubahan pada
beberapa Pasal, yakni: Kesatu, Pasal 7 ayat (1) UU
aturan pelaksana, yang dalam hal ini adalah Tata
Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004
Tertib DPR atau Peraturan Presiden yang mengatur
yang mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
mengenai tata cara persiapan RUU. Dalam Pasal 99
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, Pasal
ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang
54 UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun
Tata Tertib, dinyatakan bahwa Rancangan Undang-
2004 menjadi pintu masuk bagi Bank Indonesia
Undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.
sebagai pemrakarsa RUU yang terkait dengan tugas
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
dan kewenangannya. Frasa “masalah ekonomi,
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan
mengajukan RUU, selama masih terkait dalam lingkup
tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk
kewenangannya. Usulan RUU dari lembaga
kewenangan Bank Indonesia”, membuka peluang
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi menjadi
keluasan cakupan keterlibatan BI bekerja sama dengan
RUU usulan DPR.
Pemerintah, termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU. Argumentasi tersebut dikuatkan
Perlu adanya perubahan pada Peraturan Presiden
dalam pengaturan pada ayat (2), pada frasa yang
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
menyatakan, “Bank Indonesia wajib memberikan
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Belanja Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa
Rancangan Peraturan Presiden. Hanya diperlukan
BI memang dapat turut serta dan bahkan wajib
perluasan makna dari terminologi “pemrakarsa”,
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
yang sejauh ini hanya sempit terbatas pada “menteri/
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN
pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang
ini kemudian menjadi bahan utama bagi presiden
mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-
untuk membuat RUU APBN. Dengan menggunakan
Undang [...]”, perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
penafsiran ekstensif, tidak dapat dipungkiri bahwa
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang terkait
RUU APBN adalah masuk dalam nomenklatur RUU
dengan kewenangannya. Tentu saja konsekuensi dari
pula. Dengan demikian, secara implisit sejatinya BI
jalur ini adalah akuisisi usulan RUU tersebut menjadi
memiliki kewenangan dalam mempersiapkan bahan
RUU usulan Pemerintah.
dari RAPBN yang kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan BI
yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas
Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu
dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
kemurahan hati leading sector untuk mengundang
alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan
dan melibatkan BI dalam penyusunan RUU. Pilihan
diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua
ini membuat BI menjadi sangat tergantung pada will
perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka
pemerintah untuk turut terlibat dalam penyusunan
BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah
RUU.
atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang
BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan
berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam pembahasan
lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut
suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak bertindak selaku
BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD
pemrakarsa atau pihak yang mengajukan, namun
untuk selanjutnya dapat diajukan.
sebatas menjadi pihak yang turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU yang terkait dengan tugas
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila BI
dan kewenangan BI. Permohonan pengajuan diri BI
dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat memilih
terlibat dalam proses pembahasan berpijak pada
langkah untuk mengusulkan revisi UU BI atau revisi
rumusan pengaturan pada UU BI yang memungkinkan
tahapan proses legislasi dalam UU Pembentukan
BI turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait
Peraturan Perundang-undangan, sehingga dapat
tugas dan kewenangannya. Keaktifan BI untuk
mengakomodasi peran BI dalam proses legislasi dan
mengajukan diri sebagai pihak dalam pembahasan
bahkan memungkinkan BI untuk mengajukan sendiri
merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangannya.
untuk berhasil sebab Pemerintah memiliki kewajiban
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah
mengundang untuk BI, sedangkan pada di sisi yang
BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah
lain BI merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini merujuk pada
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
praktik yang telah dilaksanakan di Peru, yang mana
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang dibahas
peluang Peruvian Central Bank untuk ikut mengajukan
berkaitan dengan kewenangan lembaga
RUU diatur secara implisit dalam norma di level
negara/lembaga lain tersebut.
konstitusi. Dengan demikian, tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan RUU terbuka lebar.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
Bahkan Bank Indonesia dapat secara independen
lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai
mengawal draf RUU yang diusulkannya, dari
RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang
pengajuan sampai dengan RUU disahkan sebagai UU.
kewenangan BI. Hal seperti halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI dapat membangun kerja sama
Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan
dengan Kementerian Keuangan misalnya, spesifik
undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
dalam hal perancangan usulan RUU yang terkait
untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik
dengan kewenangan Kementerian Keuangan. Dalam
formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat
Cooperation Agreement antara Ministry of Finance,
dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah
Bank of Estonia, dan Financial Supervision Authority
non-departemen. Pada porsi ini keterlibatan BI sangat
ditegaskan bahwa kerja sama untuk merancang
bergantung pada kemauan dan kesediaan leading
bersama peraturan dan panduan di bidang keuangan.
sector untuk mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu RUU yang terkait dengan tugas
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
dan kewenangan BI. Pada porsi ini, posisi Bank
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
Indonesia menjadi pihak yang pasif menunggu
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.
36
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta. Kennedy, Ellen, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London. Lijphart, Arend, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta. ___________________, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta. Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
B. Antologi Capiey, Forrest, et al., “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK. Stern, Klaus, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK.
C. Artikel Jurnal Apinis, Marcis, et al., “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010.
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Fischer, Stanley, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995. _____________, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995. Goodhart, C.A.E., “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 200010-25. Ismail, Maqdir, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010. ___________, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007. Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010. Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012.
D. Makalah Rahardjo, Satjipto, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
E. Sumber Internet Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-ImbasKrisis-Siprus, diakses 12 April 2013. Syafputri, Ella, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.
F. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
G. Sumber Lain The Constitution of the Czech Republic. The Constitution of Hungary. The Constitution of the Republic of Bulgaria. The Constitution of the Republic of Estonia. The Constitution of the Slovak Republic. The Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. The Constitution of Peru. The Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank. The Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
The Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll. The Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski). The Bank of Estonia Act. The Act on The Central Bank of Venezuela. The Act on The Central Reserve Bank of Peru. The Financial Supervision Authority Act. The Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012). The Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013). The Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007. The Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009.
Noted : Strongly recommended : review : NP.
40