bagian VIII
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas, Departemen Pertambangan dan Energi
K
eterkaitan Rachmat dengan dunia birokrasi diawali dengan dibukanya kesempatan oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita, yang menginginkan kader-kader berpikiran maju untuk diangkat sebagai birokrat eselon II guna meningkatkan kinerja Kementerian. Ketika gagasan Ginandjar tersebut disampaikan oleh Umar Said yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan, Rachmat belum menanggapinya dengan serius. Saat itu, perhatian Rachmat masih terfokus pada Kelompok Penelitian dan PROSEPT yang dipimpinnya. “Pak Umar, kebetulan disini (Lemigas) masih banyak studi yang harus kita lakukan. Apa yang bisa saya lakukan di Departemen?” Namun demikian, pada saat penawaran gelombang kedua, Rachmat bersedia untuk mengikuti proses seleksi. Toh belum tentu diterima, pikir Rachmat. Ia diminta untuk melakukan presentasi di hadapan Menteri Ginandjar dan para Dirjen. Topik yang hangat waktu itu adalah masalah |
95
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
globalisasi dan kemandirian bangsa. Untuk lebih mengerti tema tersebut, terpaksa Rachmat menelaah buku statistik ekonomi dan keuangan Indonesia yang diterbitkan secara periodik oleh Bank Indonesia. Dalam presentasinya dia menekankan bahwa kemandirian bangsa tidak sama dengan konsep berdikari yang dilancarkan oleh Bung Karno pada tahun 1960-an. Kemandirian lebih merupakan upaya yang dilakukan secara konsisten dan terus-menerus untuk mengurangi ketergantungan dari bangsa lain. Presentasi yang dia siapkan tidak hanya bersifat kualitatif retorika tapi juga kuantitatif makro dalam kaitan dengan capacity building bangsa dan negara. “Saya tidak tahu istilahnya lulus atau apa. Tapi yang jelas beberapa waktu kemudian Pak Umar memberitahukan bahwa saya akan menggantikan posisi beliau sebagai Kepala Biro Perencanaan. Pak Umar sendiri dipromosikan menjadi Sekjen.” Namun demikian, sebagaimana diceritakan Rachmat, mendengar rencana tersebut, Rivai Hamzah, salah seorang Direktur di Ditjen Migas, berkomentar, “Tidak cocok Rachmat ditempatkan di Biro Perencanaan. Dia kan pengetahuan teknisnya kuat, semestinya dia pindah kesini, ke Ditjen Migas.” Akhirnya, pandangan Rivai didengar dan disetujui oleh pimpinan dan Rachmat diangkat menjadi Direktur Eksplorasi Produksi (EP) Migas menggantikan posisi Rivai yang pindah ke Direktorat Pembinaan. Rachmat pun berkomentar, “Tentu saya lebih senang berkarya di Direktorat EP Migas karena sesuai dengan background dan pengalaman saya. Kalau saya ditempatkan di Biro Perencanaan, mungkin agak frustrasi juga.” Lebih lanjut, Rachmat menceritakan bahwa pengangkatannya sebagai Direktur menyimpang dari SOP. Sebelum diangkat menjadi Direktur, ia selalu berada pada jalur fungsional. Lazimnya, untuk menjabat eselon II sebelumnya harus sudah memegang jabatan strukural eselon III, yaitu sebagai Kepala Bidang jika dalam struktur organisasi Lemigas. “Saya loncat ke Direktur tanpa melalui jenjang struktural dan tanpa mengikuti kursus-kursus kedinasan,” ungkap Rachmat. Saat dia diminta datang untuk menghadap Suyitno Patmosukismo, Direktur Jenderal Migas waktu itu, ”Sisir rambut yang rapi ya, siap-siap ketemu dengan bos.” kata Marzuan, Sekretaris Ditjen Migas saat itu, sambil berkelakar. Sebelumnya Suyitno menjabat sebagai Direktur EP Pertamina yang kemudian diperbantukan |
96
|
ke Departemen untuk memimpin Ditjen Migas. Rachmat terkesan: “Nampak wibawanya, terbawa dari pengalamannya sebagai pimpinan lapangan.”
Gambar 37. Upacara di Departemen Pertambangan dan Energi, 1994
Menurut Rachmat, alasan dia dianggap lebih cocok menjadi Direktur EP Migas karena kebijakan pemerintah terkait dengan kegiatan hulu migas banyak membutuhkan pendekatan dan analisis yang bersifat kuantitatif. Sebagai contoh, untuk menentukan besarnya insentif yang akan diberikan kepada kontraktor PSC yang baru, perlu dilakukan berbagai exercise terkait dengan penerimaan negara. Juga untuk insentif yang diberikan oleh Pemerintah pada proyek-proyek baru non-konvensional. “Direktorat Jenderal Migas yang harus menyiapkan kebijaksanaan semacam itu.” Dengan diberikannya insentif, penerimaan negara per proyek akan berkurang. Itupun jika ada yang mau merealisasikan proyek dimaksud. Tanpa insentif, mungkin sama sekali tidak akan ada proyek yang diusulkan, walaupun layak secara teknis. Secara nasional, kebijakan pemberian insentif ini akan menjadikan iklim usaha di Indonesia menarik dan merangsang perusahaan migas untuk melakukan kegiatan yang memerlukan teknologi tinggi namun keekonomiannya kurang menarik. “Sebagai contoh ekstrem, taruhlah pembagian hasil untuk pemerintah dibanding kontraktor PSC 100 : 0, dari penerimaan negara tentu maksimal, tapi siapa orang gila yang mau datang? Tentu ada proporsi yang optimal yang menguntungkan negara,” kata Rachmat bercanda memberi ilustrasi. |
97
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
Rachmat memberikan catatan bahwa peraturan pemberian insentif perlu disiapkan secara cermat dan selektif. Mengingat latar belakang dan pengalaman Rachmat sebagai pelaksana studi-studi di banyak lapangan migas di Indonesia, perumusan kebijakan semacam ini dapat dilakukan secara lebih mandiri oleh Ditjen Migas. “Tadinya, secara teknis Ditjen Migas masih lemah. Peran saya di sana mungkin juga ikut merangsang upaya peningkatan capacity building, memperkuat Ditjen Migas untuk mengimbangi perkembangan industri migas yang sangat dinamis.” Sekalipun sebelumnya selalu berkecimpung di lingkungan penelitian, namun pengalaman sewaktu melakukan studi-studi membuat Rachmat banyak mengetahui permasahan riil di lapangan. Secara tidak langsung, personil Lemigas juga memperoleh transfer of technology dari perusahan minyak multinasional yang beroperasi di Indonesia. Terkait aspek kepemimpinan dan manajerial, idealnya memang harus didalami melalui keikutsertaan pada kursus-kursus kedinasan. Namun menurut penilaiannya, “Saya lihat bahwa saya tidak mengalami kesulitan, dalam artian mereka yang saya pimpin itu merasa antusias. Mungkin karena ada kegiatan riil yang meningkat,” jelas Rachmat. Yang penting dalam menghadapi anak buah adalah human approach yang tepat. Waktu itu, menurut Rachmat, di Ditjen Migas proyek-proyek terkait dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) kurang berkembang dibanding institusi lain. Ada kendala waktu itu bahwa kenaikan anggaran tahunan yang diusulkan per proyek tidak boleh melebihi 10–15%. Tapi karena waktu awal anggarannya sudah kecil, tentu sulit untuk menyusun rencana yang lebih besar. Rachmat minta supaya proyek-proyek di Direktorat EP Migas dikembangkan untuk mendukung kebijakan pemerintah di bidang kegiatan hulu migas. Dia memberi contoh yang konkret, terkait dengan kondisi bis antar jemput karyawan yang sudah ‘bobrok’, walaupun bukan terkait dengan masalah teknis yang dia tangani, tapi merupakan cerminan umum kondisi Ditjen Migas saat itu. “Sungguh sangat tidak layak untuk instansi yang mempunyai kaitan tanggung jawab terhadap penerimaan migas, yang notabene mendukung anggaran PELITA itu sendiri.” Lebih lanjut, Rachmat mengisahkan bahwa pengalaman di Lemigas terkait dengan pelaksanaan berbagai studi memberikan pengalaman |
98
|
yang sangat berharga. “Saya punya pengalaman memimpin proyek studi eksploitasi yang menuntut kita harus bisa bergerak cepat.” Kadang-kadang ada kegiatan yang menyimpang dari jadwal yang sudah disusun. Ketepatan waktu harus dijaga agar kepercayaan yang diberikan Pertamina maupun kontraktor asing dapat dipertahankan. Bahkan, ia mengilustrasikan bahwa anggota Tim harus siap setiap kali harus berangkat ke lapangan. Di dalam Tim Studi ada beberapa pelaksana yang diperbantukan dari bidang lain. Kadang-kadang Rachmat lupa bahwa mereka tidak biasa mengikuti kecepatan kerja dari Tim yang dipimpinnya. Kalau diperlukan besok berangkat, anggota Tim harus siap berangkat ke lapangan. Mereka protes, “Loh, ini kok seperti perang saja. Masak hari ini diputuskan, besok harus sudah berangkat?” Jadi, seperti komandan perang yang memerintahkan anggotanya untuk segera menuju ke medan tempur. “Karena memang kita berhadapan dengan perusahaan asing, kita harus tepat waktu dan harus mampu menyamakan dengan ritme kerja mereka.” Rachmat menyadari, “Waktu saya ke Direktorat Jenderal Migas, saya sadar bahwa ritme kerja dari birokrasi kadang-kadang tidak secepat dari apa yang kita kerjakan di Lemigas.” Rachmat pun mengakui bahwa ia merasa lebih tepat untuk melakukan tugas-tugas yang bersifat teknis seperti pekerjaan yang diembannya selaku Direktur EP Migas. Sebagaimana diceritakan, waktu Rachmat ditunjuk sebagai Sekretaris Ditjen Migas ada sesuatu yang kurang ‘sreg’ di hati Rachmat. Tapi itu mungkin policy pimpinan bahwa harus ada tour of duty di lingkungan eselon II. Lebih dari setahun Rachmat diminta untuk merangkap sebagai Direktur EP Migas sambil menunggu pejabat baru untuk menggantikannya di Direktorat EP. Ternyata dia dapat melaksanakan tugas sebagai Sekretaris Ditjen Migas dengan lancar. Terlebih dia sangat antusias karena mendapat tugas menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) menjabarkan Undang-undang Migas No. 44 tahun 1960 dan Undang-undang Pertamina No. 8 tahun 1971 yang bahkan sudah lebih dari 30 tahun tidak pernah disusun. Tidak berhenti disitu, Rachmat bahkan diminta oleh Umar Said untuk memimpin persiapan membuat Undang-undang Migas yang baru, menyusul hasil dari Sidang APEC yang diadakan di Bogor tahun 1995. Barangkali itulah |
99
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
salah satu alasan kenapa dia dipindah sebagai pimpinan Sekretariat Ditjen Migas, karena unit inilah yang bertanggung jawab atas urusan legal aspect.
Gambar 38. Mengunjungi Proyek EOR di Prefektur Niigata, Jepang
Selama menjadi Direktur EP, Rachmat merasa bahwa salah satu hal penting yang dilakukan adalah peningkatan capacity building di direktorat tersebut. Menurutnya, saat itu kondisi sumber daya manusia di direktorat tersebut tidak terlalu kuat. Rivai Hamzah pernah berseloroh: ”Direktorat Jenderal Migas ini ibaratnya seperti RT di kelurahan Menteng. Ketua RT punya fungsi mengurusi tetangganya, tetapi tidak dipandang sebelah mata oleh warganya, karena dia miskin, sedangkan warganya semua kaya raya.” Kita semua tertawa mendengarnya. Rivai memang suka bercanda dan teman-temannya suka berkerumun mendengar leluconnya. Tapi itulah barangkali kedudukan Ditjen Migas di mata industri waktu itu. Terlebih Pertamina juga punya otoritas yang besar sebagai pemegang kuasa pertambangan dan manajemen terhadap perusahaan kontraktor asing. Bisa dikatakan, hampir seluruh urusan dipegang oleh Pertamina. Mungkin juga karena capacity dari Ditjen Migas di masa lalu tidak terlalu dikembangkan. Pada masa akhir tahun 1960-an, Ditjen |
100
|
Migas yang bertanggung jawab atas negosiasi kontrak-kontrak PSC. Tapi karena perangkapan jabatan Ibnu Sutowo sebagai Dirjen Migas dan Dirut Pertamina, serta perpindahan dari beberapa Direktur Migas, pekerjaan Ditjen Migas yang cukup strategis terbawa ke perusahaan negara itu. Ada satu hal yang krusial terkait dengan data yang harus tersedia untuk penawaran Blok Migas yang baru. Data tersebut diperoleh dari hasil survei non-eksklusif di daerah ‘open’. Untuk melakukan survei diperlukan kapal seismik dan processing data seismik yang biayanya sangat mahal untuk ukuran instansi pemerintah. Sementara pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan jasa swasta yang secara internasional melakukan pekerjaannya di bawah perjanjian kerahasiaan data dan kepemilikan data oleh pemerintah. Selama menjabat sebagai Direktur EP dan nantinya sebagai Dirjen Migas, beberapa peraturan Dirjen dan Menteri terkait dengan data migas dan bank data nasional telah dikeluarkan oleh Rachmat, walaupun hal yang terakhir ini mengalami beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Salah satu jenis data penting dan strategis yang secara berkesinambungan dihimpun secara nasional adalah data cadangan dan produksi migas yang dilakukan bersama dalam satu wadah yang disebut sebagai Tim Evaluasi Cadangan Potential (TECP). Dalam kaitan dengan survei noneksklusif serta penyiapan blok-blok migas baru, diperlukan kepastian batas wilayah pertambangan dengan negara tetangga supaya tidak terjadi overlaping dan konflik di kemudian hari. Masih banyak daerah batas landas kontinen dengan negara tetangga yang belum terselesaikan. Rachmat selaku Direktur EP Migas waktu itu cukup banyak berpartisipasi dalam sebagian besar negosiasi untuk memfinalkan batas itu, terutama dengan Malaysia, Vietnam, dan Australia. Ada kejadian yang cukup unik yang bersifat sangat teknis yang ditangani Rachmat semasa menjabat di Direktorat EP Migas. Sudah beberapa tahun Pertamina membuka diri untuk melakukan kerja sama dengan pihak swasta untuk ikut mengoperasikan lapangan-lapangan Pertamina di wilayah ‘own operation’. Hal ini dilakukan karena lapangan sudah tua atau karena luasnya wilayah kerja Pertamina, sehingga terdapat lapangan migas yang tidak mendapat prioritas utama untuk dikembangkan lebih |
101
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
lanjut. Kerja sama semacam ini disebut sebagai Technical Assistance Contract (TAC) atau Joint Operation Agreement (JOA), tergantung pada sistem manajemen yang diterapkan dalam kontrak tersebut. Ada juga kontrak TAC yang khusus didedikasikan untuk kerja sama di bidang EOR. Kerja sama semacam ini harus mendapat persetujuan Departemen c/q Ditjen Migas, yang secara teknis evaluasinya dilakukan oleh Direktorat EP Migas. Semboyan utama dari semangat kerja sama ini adalah sebagai ajang pembinaan Pertamina, satu-satunya ‘BUMN’ yang boleh melakukan kegiatan usaha migas di tanah air, kepada swasta nasional. Dalam kenyataannya, Rachmat melihat Pertamina mengajukan persyaratan keekonomian yang demikian ketat sehingga banyak perusahaan swasta nasional, yang notabene dikatakan memerlukan pembinaan, yang tidak dapat melaksanakan TAC dengan baik. Faktor lain yang menyebabkan ketidakberhasilan pelaksanaan TAC, tentu adalah karena memang perusahaan swasta tersebut tidak mempunyai kemampuan minimum baik secara teknis, keuangan dan manajerial. Dibawah sistem TAC, pembagian hasil produksi antara Pertamina dan mitra kerjanya diberlakukan hanya pada peningkatan produksi di atas suatu base-line tertentu yang disetujui bersama. Porsi produksi di atas base-line akan dibagi, sedangkan di bawah base-line seratus persen milik Pertamina karena dianggap sebagai hasil jerih upaya Pertamina sebelum lapangan tersebut diserahkan kepada kontraktor TAC. Jadi kalau tidak ada peningkatan, seluruh produksi minyak untuk Pertamina, sedangkan kontraktor tidak mendapat bagian. Pada suatu ketika, ada perusahaan swasta nasional yang menawarkan diri untuk bekerja sama dengan Pertamina melalui TAC. Mereka menyatakan siap untuk menyediakan tenaga ahli, teknologi, dan bisa mengusahakan pinzaman kepada negara sampai USD 5 miliar. Perusahaan ini juga menyampaikan bahwa dengan sumber daya yang dimiliki, sanggup menaikkan produksi Pertamina hingga 2-3 kali lipat. Perusahaan tersebut adalah PT Ustraindo Petra Gas yang didirikan dan dimiliki oleh Praptono yang menjabat sebagai Direktur Utamanya. Tidak tanggung-tanggung, dia mengajukan permohonan langsung kepada Presiden untuk diizinkan |
102
|
memberikan bantuan teknis kepada Pertamina dalam hal pengoperasian lapangan-lapangan minyak besar di unit operasi utama Pertamina di Jawa dan Sumatera. Saat itu di bawah Undang-undang Pertamina No. 8 Tahun 1971, Presiden mempunyai peran cukup besar sebagai ‘pembina’ Pertamina. Rachmat sendiri terkejut dan hampir tidak percaya bahwa Presiden menyetujui usulan Ustraindo tersebut: “Berarti sekitar 60% dari produksi minyak Pertamina harus diserahkan untuk dioperasikan oleh Ustraindo. Saya mengerti betapa kesalnya, kalau tidak dibilang marah besar, reaksi dari rekan-rekan saya di Pertamina waktu itu.”
Gambar 39. Acara di Lobi Departemen Pertambangan dan Energi
Di bawah kontrak TAC tersebut, hampir semua karyawan Pertamina yang bekerja di lapangan-lapangan yang berada di bawah ‘yuridiksi’ kontrak ini diperbantukan kepada Ustraindo. Jumlahnya mungkin ada ribuan karyawan. Dapat dibayangkan betapa sulitnya Ustraindo mengoperasikan lapangan bersama dengan karyawan yang sebetulnya setengah hati bekerja di bawah perusahaan ini. Apalagi janji-janji Ustraindo terkait dengan dana dan teknologi tidak kunjung terrealisasi, sehingga Ustraindo sendiri kesulitan mendanai kegiatan operasional rutinnya. Karena masa berlaku kerja sama masih beberapa bulan lagi, berbagai upaya dilakukan oleh Pertamina untuk menaikkan produksi sebelum diserahkan ke Ustraindo, agar base-line bisa dinaikan secara signifikan. Dengan demikian, saat lapangan minyak diserahkan kepada Ustraindo, perusahaan ini harus bekerja ekstra keras untuk bisa menaikan produksi di atas base-line tersebut. |
103
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
Salah satu contoh yang ekstrem adalah apa yang terjadi di Lapangan Beringin, Sumatera Selatan. Sebelum lapangan tersebut diserahkan kepada Ustraindo, Pertamina dengan segala cara berupaya untuk menaikan produksi lapangan tersebut. Produksi akhirnya dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat, sehingga base-line dibuat sedemikian tinggi dengan harapan Ustraindo sulit untuk dapat menaikan produksi di atas itu, walaupun dalam jangka panjang. Karena perselisihan yang berkepanjangan, akhirnya masalah tersebut dibawa ke Ditjen Migas untuk diselesaikan. Bagi Rachmat, masalah penetapan base-line dan kenaikan produksi yang harus dibuktikan, bukan masalah besar untuk dipecahkan. Puluhan studi reservoir telah dia lakukan untuk menentukan base-line maupun kenaikan produksi untuk perhitungan insentif, dari mulai lapangan raksasa sampai kepada proses EOR yang rumit. Sebetulnya dalam hati ada sedikit rasa antusias dan kegembiraan bahwa dia masih bisa menangani hal-hal teknis seperti ini di lingkungan manajemen birokrasi. Dia tidak perlu minta bantuan terlalu banyak dari Lemigas karena untuk evaluasi ini tidak perlu menggunakan model simulasi reservoir yang kompleks. “Dengan program sederhana yang ditulis dalam bahasa Fortran oleh Lemigas, base-line dari lapangan ini dapat ditentukan dengan cepat. Kebetulan staf Direktorat EP Migas dapat memperoleh data produksi dan tekanan yang cukup komplit dari Pertamina untuk mendukung evaluasi dengan hasil yang lebih akurat. Sesuai dengan penurunan alamiah produksi suatu reservoir, apabila produksi dinaikkan secara drastis maka laju produksi yang dijadikan baseline pun akan menurun dengan tajam. Bahkan dengan menggunakan cara sederhana seperti analisis ‘decline curve’ pun dapat dibuktikan bahwa base-line yang ditetapkan Pertamina, yang dibuat hampir sejajar dengan base-line pada kasus sebelum produksi dinaikkan, memberikan hasil cadangan minyak yang jauh lebih besar dari nilai cadangan yang seharusnya. “Bagi saya secara ofisial angka cadangan yang saya pegang adalah yang tercatat dalam buku besar TECP. Angka base-line Pertamina memberikan cadangan dua kali lipat lebih besar dari cadangan TECP. Dan ini tentu tidak bisa dibantah oleh kedua belah pihak.” Sebenarnya Rachmat bisa mengerti kekecewaan rekan-rekannya di Pertamina. Adalah wajar bila mereka mencoba untuk menggagalkan |
104
|
upaya yang dilakukan oleh Ustraindo yang dianggap tidak fair karena masuk bisnis melalui jalur kekuasaan. Bagi Rachmat, upaya tersebut tidak masalah asalkan masih dalam koridor kaidah keteknikan yang baik (good engineering practice). Tapi apa yang dilakukan Pertamina di lapangan sungguh di luar dugaan. Untuk menaikan produksi, mereka mengubah cara produksi sumur melalui anulus, yaitu ruang antara tubing dan casing. Dan yang lebih gawat lagi, saat inspeksi lapangan yang dilakukan oleh Direktorat Teknik Migas, terlihat kabut asap berupa butiran-butiran minyak yang terbang bersama gas karena kapasitas unit separator yang ada tidak mampu memproses pemisahan dengan sempurna karena over capacity. Tentu ini bukan contoh yang baik, terlebih tugas yang diberikan kepada Pertamina adalah titipan rakyat yang harus dijaga dan diemban dengan baik. “Nothing’s personal. Bagi saya, walaupun pelakunya adalah sesama alumni dari Bandung, tapi kita telah dipercaya untuk menduduki jabatan masing-masing dan berusaha menjalankan peran masing-masing sebaik mungkin,” komentar Rachmat. Beberapa waktu kemudian Rachmat mendapat panggilan dari Kejaksaan Agung untuk menjelaskan mengenai kasus Beringin. KPK belum ada. “Saya juga lihat Pak Umar Said, yang kalau tidak salah waktu itu menjabat Sekretaris DKPP dan juga mantan Menteri Ginandjar dan IB Sudjana. Saya sama sekali tidak grogi dan saya jelaskan apa adanya. Walaupun agak bersifat teknis tapi kelihatannya pihak kejaksaan dapat mengerti apa yang saya sampaikan.” Karena Ustraindo tidak mampu membuktikan janji-janji dan kemampuannya, mereka akhirnya harus mengembalikan operasi lapangan ke Pertamina. Rupanya lama setelah kejadian itu, masalah Ustraindo belum juga berhenti. Setelah Rachmat pensiun dari BP MIGAS pada tahun 2005, Rachmat diminta bantuan oleh Ginandjar untuk menjadi saksi ahli dalam penyelidikan kasus Ustraindo yang dibuka kembali setelah berhenti beberapa tahun. ”Dengan senang hati saya memenuhi permintaan Pak Ginandjar. Di samping karena saya sudah mendalami seluk beluk TAC, saya sekaligus juga bisa membalas budi Pak Ginandjar yang telah mengangkat saya jadi Direktur, melompati SOP yang beliau kesampingkan waktu itu,” kata Rachmat sambil tertawa.
|
105
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
a | Rachmat Sudibjo
Gambar 40. Sidang Bilateral RI – Australia Khusus tentang Masalah Gas Bumi, 1994
Sejak Rachmat menjabat sebagai Direktur EP Migas, Direktorat ini mempunyai peran yang cukup aktif dalam kerja sama bilateral dengan negara lain, seperti Korea Selatan, Taiwan, Australia, dan Amerika Serikat. Kerja sama mencakup berbagai aspek, terutama pertukaran informasi dan kemajuan sektor migas di masing-masing negara. Di tingkat teknis, Rachmat biasanya menyampaikan makalah tentang status dan kemajuan di sektor migas. Waktu, tempat, dan tuan rumah dilakukan secara bergilir dan bergantian di antara kedua negara yang bekerja sama. Selaku exofficio, Rachmat juga memegang jabatan sebagai National Representative OPEC yang bertugas mewakili Indonesia dalam pembahasan kuota produksi minyak bumi di markas OPEC di Wina. Setidaknya ada 2-3 kali pertemuan bilateral yang dilakukan Rachmat dalam setahun, dan minimal dua kali pertemuan OPEC di Wina. Di luar dugaan Rachmat, ternyata di lingkungan birokrasi pun sama sibuknya seperti semasa dia melakukan studi-studi eksploitasi di Lemigas. Ada satu kontribusi Ditjen Migas yang walaupun kecil tapi penting dalam pengembangan di luar sektor, yakni awal mula pengembangan perkebunan |
106
|
kelapa sawit yang menjadikan Indonesia produsen terbesar kelapa sawit di dunia saat ini. Sesuai dengan Undang-undang pertambangan migas, zona kegiatan eksploitasi migas di bawah tanah tidak mencakup bidang tanah di permukaan. Dalam pengembangan kebun kelapa sawit, pemerintah daerah bersama dengan departemen yang bertanggung jawab atas perkebunan, melihat peluang lahan yang cukup luas di blok migas yang relatif ‘menganggur’. Selain diperuntukkan bagi komplek perkantoran, perumahan, serta fasilitas pengolahan lapangan migas, sebagian besar luas lahan dalam blok migas ‘menganggur’ dan tertutup oleh hutan-hutan yang masih perawan, karena kegiatan utama migas dilakukan hanya melalui titik-titik sumur yang relatif sempit. Selain itu, jaringan pipa serta jalan operasi pun terkadang tidak sampai memakai 10-15% dari total luas blok-blok migas yang beroperasi. Dalam perundingan yang melibatkan operator blok migas dengan pengusaha atau BUMN yang membuka lahan kebun kelapa sawit, ditentukan persyaratan ketat yang dituangkan dalam perjanjian yang harus ditaati masing-masing pihak. Memang dalam pelaksanaan di lapangan sering timbul masalah terkait pemanfaatan bersama infrastruktur berupa jalanan dan jembatan yang menghubungkan daerah operasi ladangladang minyak dan infrastruktur yang dibangun perkebunan. Tapi Rachmat tahu bahwa dalam hal ini masing-masing penanggung jawab sektor tidak perlu mengedepankan ‘ego sektoral’, karena secara nasional dan jangka panjang akan menguntungkan negara. “Indonesia adalah negara satu-satunya di dunia yang secara simultan memproduksi minyak bumi dari bawah tanah dan minyak nabati di atas permukaan tanah. Negara maju selalu menjelek-jelekkan Indonesia karena minyak sawit ini, tentu karena mereka kawatir akan nasib minyak nabati mereka di masa depan. Sukur-sukur jika suatu waktu nanti kita berhasil menjadikan sebagian minyak nabati tersebut menjadi energi alternatif yang kita butuhkan. Kalau tidak ada rotan akar pun jadi. Kalau tidak menjadi produsen minyak bumi yang terbesar, bolehlah kita menjadi produsen minyak nabati yang terbesar di dunia,” katanya menutup komentarnya sambil tertawa.
|
107
|
Direktur Eksplorasi dan Produksi Migas Pertambang Departemen Pertambangan dan Energi
|
108
|
a | Rachmat Sudibjo