TESIS
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
MUHAMAD ALKAUSAR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan yang Mahakuasa karena berkat rahmat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara tepat pada waktunya. Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang ini berkat bantuan dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Oleh karena itu, sebagai wujud nyata ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama yang penulis terima dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada : 1)
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan semangat kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam berbagai kesulitan, khususnya dalam mendeskripsikan gagasan-gagasan yang rumit dan abstrak dengan cara yang lebih sederhana dan konkret;
2)
Prof. Dr. Pudentia, MPSS., M.A. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan, khususnya di bidang Tradisi Lisan;
3)
Bapak Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. PD (KHOM), selaku Rektor Universitas Udayana ; Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana beserta staf atas segala yang diberikan; Ibu Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., selaku Ketua Program Magister Kajian budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana, atas segala tuntutan dan petunjuknya; Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Sastra
Universitas Udayana Program Magister Kajian Budaya, atas segala motivasi dan berbagai petunjuk dalam pengerjaan laporan penelitian; 4)
Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan kritis dan objektif terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan Dr. I Gede Mudana, M.Si;
5)
seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang telah membekali penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan baik.
6)
seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2 Kajian Budaya : Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak Candra, Bapak Hendra yang dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani berbagai urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.
7)
Rektor Universitas Haluoleo Sulawesi Tenggara Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, dan selaku ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Kendari Dr. La Niampe. S.Pd M.Hum. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 Kajian Budaya Universitas Udayana
8)
para informan pegawai kelurahan Bungkutoko dan masyarakat kelurahan Bungkutoko khususnya Nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara yang telah memberikan data bagi penulis secara langsung maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
9)
teman-teman S2 angkatan 2009 khususnya dikelas pagi : Rahmat, Darwan,Ibu Choleta, Ibu Wahyu, Pak Made, Pak Nurite, Pak Suriante, rekan-rekan seperjuangan dari Kendari: Dr. La Taena SPd. M.Si, Abdul Rahman (Abu), Pak La Ino, Pak Hamiruddin Udu, Pak La Ode
Dirman, Pak Hadirman, Pak La Aso, Pak La Tari, Hardin, Wa Irma, La Kolona, Pak Ali yang telah memberikan dukungan, semangat, nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini. 10) Ayahanda Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad. M.S, Ibunda Wa Ode Atiah, serta saudarasaudariku Ahdunyadin S.E, M.Si, Lili Darlian S.Si, M.Si, Muhamad Syahlan Jayanegara S.E., M.Si., Nirmala Sari, S.Pd., M.Hum., Muhammad Awaluddin S.H., Wd. Fitriani Sari, S.Pd dan yang terspesial dan tercinta keluarga besar Riski Eprilianti Ramdani Putri Tombili S.Si (Kikhy) yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan dan suport kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini; dan 11) Keluarga Besar Bapak Soedjiwo yang telah memberikan nasehat, dukungan, bantuan, serta doa kepada penulis.
Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan yang Maha Pengasih membalas budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.
Denpasar, Agustus 2011
Penulis
ABSTRAK Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara Oleh : Muhamad Alkausar Program Studi : (S2) Kajian Budaya Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Ritual mappandesasi ini merupakan identitas budaya etnik Mandar yang di dalamnya banyak terkandung pengetahuan tradisional, seharusnya dilestarikan oleh masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya dalam kemajuan iptek dan peraliharan mata pencaharian masyarakat nelayan etnik Mandar saat ini, ritual mappandesasi sudah terancam punah atau hampir tidak lagi dilaksanakan ritual mappandesasi. Tujuan dari ritual mappandesasi adalah para nelayan meminta keselamatan dan rezeki (hasil tangkapan) pada saat melaut, dengan cara memberikan beberapa jenis makanan (sesajen) kepada penguasa laut. Ritual ini juga merupakan ucapan syukur para nelayan etnik Mandar kepada penjaga sasi atas berkah keselamatan dan rezeki yang didapat dalam melaut, Adapun manfaat ritual mappandesasi dilakukan setelah pulang dari melaut. Masalah yang diteliti dirumuskan dalam tiga pertanyaan berikut ini. (1) bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi? (3) bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ritus untuk menganalisis permasalahan pertama, teori dekonstruksi untuk menganalisis permasalahan ke dua, dan teori semiotika untuk menganalisis permasalahan pertama dan ke tiga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungukutoko Sulawesi Tenggara dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan media, faktor pendidikan, faktor ekonomi, serta kurangnya pemahaman generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan budaya dari generasi tua terhadap generasi muda, dan faktor tradisi. Terdapat beberapa dampak dan makna dalam penelitian ini terkait dengan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Dampak tersebut adalah dampak sosial, dampak ekonomi, dan dampak budaya. Adapun makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi ini adalah makna religi, makna solidaritas dan makna kedamaian. Kata kunci: keterancaman, ritual mappandesasi, dan nelayan etnik Mandar
Abstract Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara Oleh : Muhamad Alkausar Program Studi : (S2) Kajian Budaya This thesis is the result of research on the threatened of ritual Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Mandar Southeast Sulawesi. This is a ritual mappandesasi Mandar ethnic cultural identity that many contained therein traditional knowledge, should be preserved by the community. However, the reality in the progress of science and technology and transition livelihoods of fishing communities currently Mandar ethnic, ritual mappandesasi already endangered or almost no longer carried out the ritual mappandesasi. The purpose of ritual mappandesasi is the asking of safety and sustenance fishermen (catch) at sea, or by providing some type of food (offerings) to the ruler of the sea. This ritual is also a thanksgiving to the Mandar ethnic fishermen guard sasi blessing and provision of safety obtained in the sea. As for the benefits ritual mappandesasi performed after coming home from fishing. Issues, formulated in the following three questions. (1) how the shape of the threatened rituals Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Southeast Sulawesi? (2) what factors are causing the threatened of ritual mappandesasi ? (3) how the impact and the threatened ritual mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko ?. The theory used in this study is the theory of ritus to analyze the first problem, the theory of deconstruction is to analyze the second problem and the theory of semiotics to analyze the problem first and third. This study used qualitative methods. Data collection in this study was done by using observation, interview and literature study. The results of this study indicate that the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic village Bangkutoko Southeast Sulawesi influenced by the advance of technology and media, education factor, economic factors and lack of understanding of the ritual mappandesasi younger generation, the lack of cultural inheritance from older generations to younger generations, and the tradition factor. There are some impacts and meanings in this research associated with the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic in village Bangkutoko Southeast Sulawesi. The impacts are the social, economic, and cultural impact. As for the meanings contained in this ritual mappandesasi are religious, solidarity and peace meaning. Key words: the threatened, ritual mappandesasi and fishermen of Mandar ethnic
RINGKASAN Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Penduduk kelurahan tersebut terdiri atas suku Tolaki sebagai penduduk pribumi, suku Mandar, suku Buton, suku Muna, dan Jawa sebagai penduduk pendatang. Yang mendiami kelurahan Bungkutoko ini adalah etnik Mandar yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kelima suku tersebut memiliki tradisi budaya yang berbeda-beda. Penelitian ini berjudul Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Penelitian ini berfokus pada tradisi budaya etnik Mandar yang biasa dipentaskan menjelang melaut dan sesudah melaut yang disebut oleh etnik Mandar dengan istilah ritual memberi makan penjaga laut (setassasi) yang disebut dengan ritual mappandesasi. Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok permasalahan. Pertama, mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Kedua, mendeskripsikan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Ketiga, menginterpretasi dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Permasalahan tentang bentuk-bentuk keterancaman ritual mappandessai, dianalisis dengan menggunakan teori ritus. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di kelurahan Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual ,mappandesasi sebagai bentuk perwujudan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi yang dilakukan oleh etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan kerja sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar.
Selain itu, dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko di temukan adanya kelompok yang menganggap ritual mappandesasi dilakukan sekedar mencari kepuasan hati tanpa ada makna apa-apa. Ada kelompok yang menganggap pelaksanaan ritual mappandesasi sebagai kewajiban sosial untuk mengikuti tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang. Dalam pelaksanaan ritual mappandesasi ini ditampilkan berbagai bahan perlengkapan dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, nasi, telur, gambir, dupa atau kemenyan, dan ikut pula dikurbankan hewan seperti kambing (beke) dan ayam (mannu). Beke dan mannu beserta bahan sesembahan lainnya disodorkan untuk penjaga sasi. Bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai berikut. Pertama, proses pelaksanaan upacara seperti terjadinya pengurangan jenis hewan yang dijadikan sebagai binatang sesembahan. Selain itu, sudah terjadi pembaruan bahan ritual di antaranya digantinya tembakau tradisional dengan rokok hasil produksi modern. Pengurangan dalam jenis binatang sesembahan, pada mulanya, dalam ritual mappandesasi memiliki tiga jenis hewan sebagai binatang kurban yakni sapi, kambing (beke) dan ayam (manu buluh sirua). Dalam perkembangan seperti sekarang binatang yang dijadikan sebagai binatang kurban adalah kambing (beke) dan ayam (mannu). Kondisi ini diakibatkan harga sapi mencapai tujuh juta rupiah per ekor. Kedua, bentuk keterancaman lain yang terdapat dalam ritual mappandesasi adalah terjadi penurunan jumlah dan peserta dalam pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada mulanya ritual ini diikuti oleh semua suku yang ada di Kelurahan Bungkutoko, akan tetapi seiring berjalannya waktu perserta ikut berkurang karena pergantian mata pencaharian. Sebagian masyarakat tidak lagi bekerja di sektor kelautan yakni sebagai nelayan, tetapi sudah beralih pada pekerjaan yang tidak berhubungan lagi dengan laut, seperti tukang ojek, sopir angkutan umum, kuli bangunan dan menjadi karyawan di pusat-pusat perbelanjaan di Kota Kendari.
Adapun permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dianalisis dengan menggunakan teori dekonstruksi. Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi konstruksi sosial baru dalam masyarakat terkait dengan pelaksanaan ritual mappandesasi. Konstruksi tersebut adalah adanya pembaruan dan pengurangan sarana ritual akibat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dan media, faktor pendidikan dan faktor ekonomi mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi. Tiga faktor tersebut merupakan faktor penyebab secara eksternal. Ada faktor internal yang mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi yakni kurangnya pemahaman generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, dan faktor tradisi. Semua bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi melahirkan dampak negative dalam berbagai hal. Pertama, keterancaman mengakibatkan dampak secara sosial, yakni terjadinya penurunan dan memudarnya rasa persatuan serta solidaritas masyarakat dalam berbagai hal. Menurunnya tingkat kerja sama dalam masyarakat dapat kita jumpai dalam wujud kerja bakti. Sudah jarang warga Kelurahan Bungkutoko yang menghadiri acara kerja bakti di kantor kelurahan. Selain itu, dalam hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, sudah jarang laki-laki datang membantu, kebanyakan perempuan dengan alasan laki-laki pergi mencari uang. Zaman modern merupakan zaman setiap orang selalu disorientasi dislokasi dengan orientasi materi. Jarang orang yang memberikan tenaganya dengan cara gratis, harus ditukar dengan uang. Kepentingan individu diletakkan di atas kepentingan kelompok. Dampak yang lain yakni dampak yang berhubungan langsung dengan nelayan. Dampak tersebut sangat berkaitan dengan penghasilan para nelayan dalam menangkap ikan. Berkurangnya penghasilan para nelayan dikaitkan dengan akibat dari kurangnya dan terjadinya pembaruan sarana dalam ritual mappandesasi.
Tidak saja memiliki dampak, ritual mappandesasi memiliki makna positif terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar. Pertama, makna religi, ritual mappandesasi dijadikan oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai simbol mengimplementasikan kepercayaan terhadap mitos penjaga laut yang dipersonifikasikan dengan setassasi, dan terkait dengan mitos keselamatan, kedamaian, serta keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut, ketika sudah melaksanakan ritual mappandesasi. Kedua, makna solidaritas. Dengan melakukan ritual mappandesasi semua masyarakat dari etnis mana pun seharusnya ikut membantu dan merayakan pelaksanaan ritual mappandesasi. Akan tetapi, kondisi seperti itu sudah jarang ditemukan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi sekarang hanyalah tinggal antara sesama anggota nelayan dalam kelompok yang sama. Ketiga, makna kedamaian. Setiap kelompok nelayan yang telah melakukan ritual mappandesasi baru beraktivitas melaut selalu merasakan kedamaian meskipun menghadapi ombak besar di laut. Perasaan ini diakibatkan oleh pola pikir bahwa dia telah memberi makan penjaga sasi sudah pasti penjaga sasi akan melindungi dan memberikannya rezeki yang banyak. Untuk menghindari agar ritual mappandesasi tidak mengalami kepunahan, peneliti menyampaikan beberapa saran. Pertama, disarankan agar orang tua menghindari keterputusan regenerasi terhadap pelaku ritual mappandesasi, sudah saatnya para orangtua memperkenalkan ritual mappandesasi kepada anak-anaknya dengan cara menceritakan kepada mereka menjelang tidur. Setelah diperkenalkan dan diketahui, orang tua menganjurkan kepada anak-anaknya supaya pengetahuan itu ikut diiplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, disarankan agar generasi muda yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan formal supaya tidak menyalahgunakan ilmunya dengan tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan lokal sebagai bentuk kearifan lokal. Jadikanlah tradisi lokal sebagai filter untuk menyaring hasil produk
budaya modern yang masuk dan merusak dalam masyarakat agar tidak mengambil tatanan sosial yang sudah ada sebelumnya. Ketiga, disarankan kepada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah meningkatkan kepekaan dan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal sebagai penunjang kebudayaan nasional. Kepekaan dan perhatian tersebut dapat direalisasikan oleh pemerintah dengan melakukan atau mengadakan pertunjukan pameran kebudayaan lokal. Selain itu, perhatiannya dapat ditunjukan atau diperlihatkan dengan cara membentuk sanggar budaya. Lewat sanggar budaya pemerintah bisa mengadakan pertunjukan atau pentas kebudayaan yang harus diikuti oleh semua suku yang mendiami wilayah tersebut. Alternatif terakhir yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menunjukkan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal adalah dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang hendak melakukan pementasan kebudayaan, seperti etnik Mandar yang melakukan ritual mappandesasi sekali dalam setahun.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..…...i PERSYARATAN GELAR ………………………………………………….……ii LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………..……iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……...………………………………...……iv UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………………v ABSTRAK ……………………………………………………………………….ix ABSTRACT ………………………………………………………………..……..x RINGKASAN ……………………………………………………………………xi DAFTAR ISI ………………………………………………………………...…xvii LAMPIRAN………………………………………………………………….….xxi DAFTAR TABEL ………………………………………………………….…..xxii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...xiii GLOSARIUM …………………………………………………………………..xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………..1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………...……..9 1.3 Tujuan Penelitian ………………………..…………………………….……..10 1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………….………….10 1.3.2 Tujuan Khusus ……………………………………………….…………...10 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………...10 1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………..…………...10 1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………….…………..11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL 2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………….…………..…12 2.2 Konsep…………………….……………………………….…...................26 2.2.1
Keterancaman…………………………………………….………………26
2.2.2
Ritual Mappandesasi…...………...…………..…………………………..27
2.2.3
Keterancaman Ritual Mappandesasi……………………………………..29
2.2.4
Masyarakat Nelayan …..……...………………………………………….29
2.2.5
Etnik Mandar…...……………………….…………………….………….30
2.2.6
Tradisi Lisan………………………………………….…………………..32
2.2.7
Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar……..…32
2.3 Landasan Teori …………………………………………………...…………34 2.3.1 Teori Ritus…..……………...……………………………………...……….34 2.3.2 Teori Dekonstruksi………………………………………………...….……35 2.3.3 Teori Semiotik …………………………………..………………….……...37 2.4 Model Penelitian ……………………………………………………...…….38 BABA III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………………………..42 3.2 Lokasi Penelitian ………………………………………………………...…..43 3.3 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………………43 3.4 Penentuan Informan …………………………………………………………44 3.5 Instrumen Penelitian ……………………………...…………………...…….44 3.6 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………………..45 3.6.1 Observasi …………………………………………………………………..45 3.6.2 Wawancara Mendalam………………………….…………………...……..45 3.6.3 Studi Dokumen….………………………………………………………….46 3.7 Teknik Analisis Data ………………………………………………………...47 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ……………………………………….49 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ……………………………………………………………...50 4.2 Demografi ………………………………………………………………........51 4.3 Mata Pencaharian ……………………………………………………………55 4.3.1 Nelayan……………………………………………………………………..56 4.3.2 Pegawai Negeri Sipil ………………………………………………...........58 4.3.3 Berdagang ………………………………………………………….............59 4.3.4 Tukang Kayu ………………………………………………………………61
4.4 Agama dan Kepercayaan ...…………………………………………………..63 4.5 Bahasa dan Kesenian ………………………………………………………...66 4.5.1 Bahasa………………………………………………………………….......66 4.5.2 Kesenian ……………………………………………………………….......68 4.6 Organisasi Sosial …………………………………………………………….69 4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ………………………...74 4.8 Ritual Mappandesasi ………………………………………………………...76 BAB V BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA 5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi …………………………………...82 5.1.1 Mengecilnya Jumlah Sumbangan …………………………………….........83 5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi …………….86 5.1.3 Memotong Hewan Kurban…………………………………………………89 5.1.4 Meletakkan Sesaji ...………………………………………………….......104 5.1.5 Makan Bersama …………………………………………………………..106 5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi ………………………………….109 5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi ,…….112 BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KETERANCAMAN TERHADAP RITUAL MAPPANDESASI 6.1 Faktor Eksternal…………………………………………………………….118 6.1.1 Teknologi dan Media …………………………………………………….118 6.1.2 Faktor Pendidikan ………………………………………………………..128 6.1.3 Faktor Ekonomi …………………………………………….…………….133 6.2 Faktor Internal ……………………………………………………………...138 6.2.1 Tidak Adanya Tranmisi Budaya dari Generasi Tua kepada Generasi Muda ………………………………………………….139 6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda tentang Ritual Mappandesasi……………………………………………142 6.2.3 Faktor Tradisi……………………………………………………………..146
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR 7.1 Dampak …………………………………………………………….………151 7.1.1 Dampak Sosial …………………………………………………………....151 7.1.2 Dampak Ekonomi ………………………………………………………...154 7.1.3 Dampak Budaya…………………………………………………………..158 7.2 Makna ………………………………………………….…………………...161 7.2.1 Makna Religius ………………………………………………………….162 7.2.2 Makna Solidaritas ………………………………………………………..165 7.2.3 Makna Kedamaian ……………………………………………………….168 7.3 Refleksi …………………..………………………………………………....170
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan …………………………………………………………………...173 8.2 Saran …………………………………………………….………………….175
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara …………………………………………………..184 2. Daftar Informan ………………………………………………………...186 3. Peta Kelurahan Bungkutoko ……………………………………………187
DAFTAR TABEL TABEL 1. Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut Umur dan Jenis Kelamin ………...………………………………………53 2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Bungkutoko ………………………………………...……………………56
DAFTAR GAMBAR 5.1 Pemotongan Kambing (Beke)………………………………………….....90 5.2 Pemotongan Ayam (Mannu) …………………………………………….92 5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual …………………………………………….97 5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen (Anja) ……………………….99 5.5 Rakit Tempat Sesajen……………………………………………….......105 5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi dalam Ritual Mappandesasi …………………………………………...107
GLOSARIUM anja
: wadah untuk menyimpan bahan sesajen untuk dibawa ketempat keramat.
bakal
: jenis tembakau tradisional yang digunakan sebagai salah satu perlengkapan ritual mappandesasi
ba’go
: nama kapal yang digunakan nelayan etnik Mandar pertama kali tiba di Kelurahan Petoaha
beke
: kambing salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi.
dambarisan
: kebersamaan
ghoniwi
: mengirim do’a kepada roh leluhur disertai dengan makanan dan minuman secukupnya, biasanya hanya telur, air the, dan nasi.
kaluppin
: daun sirih yang dilipat berbentuk persegi empat untuk perlengkapan ritual mappandesasi.
kanjilo
: salah satu nyanyian etnik Mandar yang selalu dinyanyikan pada saat mau turun melaut.
lariangi
: nama salah satu tarian milik etnik Buton yang selalu ditampilkan pada saat acara peng-Islaman.
layya
: salah satu jenis tumbuhan yang digunakan menjadi perlengkapan ritual, atau biasa disebut jahe.
lulo
: salah satu tarian di Sulawesi Tenggara, Tarian ini milik etnik Tolaki hanya saja sekarang sudah sering dilakukan oleh semua etnik di Sulawesi Tenggata pada saat acara hajatan, seperti pesta pernikahan.
majalla
: salah satu jenis penangkapan ikan yang pertama kali digunakan oleh etnik Mandar sampai mereka tiba di Kelurahan Petoaha.
mannu
: salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi, mannu sama dengan ayam.
mappandesasi
: salah satu ritual memberi makan laut bagi nelayan etnik Mandar.
masiriballe’
: salah satu nama doa untuk meminta rezeki yang banyak dalam melaut.
pallili
: salah satu jenis persyaratan ritual mappandesasi yang terbuat dari dupa atau kemenyan.
pamere
: daun dari tumbuhan sirih yang digunakan sebagai perlengkapan dalam ritual mappandesasi.
pangudunna alo
: salah satu malam yang penuh berkah bagi masyarakat nelayan etnik Mandar, malam ini jatuh pada Malam Jum’at dengan hitungan 10 bulan di langit
panno-panno
: salah satu jenis tumbuhan yang menjadi persyaratan dalam ritual mappandesasi.
pobhelo
: nama salah satu silat tradisional dalam masyarakat Muna, yang selalu ditampilkan pada saat acara aqikah.
rarambanga
: kelompok kerja sama masyarakat nelayan etnik Mandar yang dibentuk sebagai wadah tolong-menolong dalam aktivitas melaut atau aktivitas kemasyarakatan lainnya.
sandro
: sebutan pemimpin dalam melaksanakan ritual, orang pintar seperti dukun.
sasi
: yang berarti laut.
setasasi
: sebutan penjaga laut bagi masyarakat etnik Mandar.
sikaada
: perasaan atau sikap saling menerima kekurangan antarsesama nelayan etnik Mandar.
sippatapa
: perasaan jujur atau sikap tidak saling mencurigai antarsesama nelayan etnik Mandar atau sikap saling mempercayai antara sesama mereka.
sirua
: jenis bulu ayam yang bisa digunakan sebagai hewan kurban dalam ritual mappandesasi. Ayam ini semua berbulu hitam yang di ketiaknya (di bawah sayapnya) terdapat bulu putih atau ayam yang semuanya berbulu putih tetapi di ketiak (di bawah sayapnya) terdapat bulu hitam.
Situlu-tulu
: sikap saling menolong dalam hal meringankan beban atau penderitaan hidup.
sokko
: salah satu sarana ritual mappandesasi yang terbuat dari beras ketan dan terbentuk dalam empat warna, seperti putih, merah, hitam dan kuning.
taru
: buah pinang yang digunakan sebagai perlengkapan dalam ritual mappandesasi
torada
: bambu yang digunakan sebagai perlengkapan ritual mappandesasi.
tusuk Bobal
: nama salah satu tarian ernik Mandar yang selalu ditampilkan pada saat-saat hajatan yang terkait dengan siklus hidup manusia, seperti aqikah.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Etnik-etnik yang tersebar di seluruh Nusantara ini, memiliki dua kemungkinan yang tidak dapat disangkal. Kemungkinan pertama, etnik mayoritas dengan dukungan populasi yang besar dan kedua, etnik minoritas dengan dukungan populasi yang kecil. Namun, etnik minoritas tersebut tetap memperlihatkan ciri-ciri kebudayaannya, baik yang universal maupun yang unik sifatnya. Sebagaimana diketahui kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai, dan konsep, yang memungkinkan bagi suatu kelompok untuk kehidupannya atau sebagai pandangan hidup (world view). Dalam sebuah kebudayaan tiap-tiap anggota pendukungnya secara mental memiliki suatu kerangka pikiran tertentu. Secara fisik memiliki ketetapan bentuk tubuh dasar tertentu, dan secara sosial berhubungan yang satu dengan lain dengan cara-cara tertentu. Dalam pandangan ini identitas merupakan salah satu fungsi inkulturasi (Fay,2002:74). Identitas etnik tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, cara makan, cara berpakaian, cara bersopan santun, standar etika, dan moral yang berbeda antarkomunitas. Perbedaan itu tampak kontradiktif. Namun, sejarah menunjukkan adanya inti budaya yang sama (sharing of culture) yang dapat saling menerima dan saling mengerti perbedaan itu (Purwasito,2003:224). Hal ini dapat ditemukan dalam etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Etnik Mandar memiliki tradisi budaya tersendiri yang menjadi identitasnya dalam hidup berdampingan dengan etnik-etnik lain di lokasi pemukimannya, yakni di Bungkutoko yang dihuni oleh beberapa etnik. Budaya etnik Mandar merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang belum didokumentasikan. Sebagai masyarakat yang memiliki identitasnya sendiri, Kelurahan
Bungkutoko dihuni oleh berbagai etnik yang mayoritas beragama Islam. Salah satu di antaranya adalah etnik Mandar. Walaupun masyarakat etnik Mandar mayoritas beragama Islam, tetapi masih dalam kategori Islam sinkretis. Hal ini dapat dijumpai dalam kehidupan mereka seharihari yang masih mempraktikkan kepercayaan lokal (religi) dan masih animisme dan dinamisme, seperti memberikan sesajen terhadap penguasa laut. Purwasito (2003:230), mengatakan bahwa kekuatan unsur-unsur religi merupakan kepercayaan manusia terhadap keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada manusia. Masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai cara berkomunikasi dengan kekuatan gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Lebih lanjut, Van Ball (1967: 12) menyatakan bahwa peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah selalu mengingatkan manusia untuk dibiasakan dalam pelaksanaan upacara berkenan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan. Dengan adanya upacara-upacara, masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak serta berada di tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terdapat dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko hingga saat ini adalah ritual Mappandesasi. yaitu suatu tradisi kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual memberi makan laut ini sudah dilaksanakan sejak nenek moyang yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sedang berubah karena bersentuhan langsung dengan kemajuan global. Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki
dinamika sosial, yaitu gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi yang mengagungkan rasionalitas dan menghapus hal-hal yang bersifat mistik, sehingga, globalisasi yang diidentikkan dengan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan sebagai silet yang bermata dua. Selain memajukan masyarakat, globalisasi ikut merusak tatanan hidup sosial suatu kelompok masyarakat. Menurut Giddens (2003:67 ; Avia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam peradaban manusia. Melalui ideologi budaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Storey, 2007:54). Hal yang sama dikemukakan oleh Kleden (1996:239) bahwa kalau sistem budaya itu tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem sosial, sistem sosial terpaksa berubah karena didesak oleh perubahan. Di lapisan material kebudayaan, maka yang terjadi ialah dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, muncul semacam entropi kebudayaan, yaitu sistem nilai kebudayaan bersangkutan tidak mati, tetapi kehilangan dayanya untuk memotivasi dan mengontrol sistem sosial yang ada. Kemungkinan yang kedua, bisa terjadi bahwa kekuatan kebudayaan sebagai sistem kognitif dan sistem normatif memang telah berakhir, dan tinggal peranannya sebagai embel-embel yang berfungsi sebagai hiasan lahiriah (paraphernalia) yang tidak fungsional cara pikir dan cara bertingkah laku. Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko,
Sulawesi
Tenggara.
Pelaksanaan
ritual mappandesasi telah mengalami
keterancaman dalam hal peserta ritual dan tingkat efektifitas pemahaman makna dan fungsi pelaksanaan ritual yang semakin hari semakin berkurang. Hal ini, selain diakibatkan oleh kurangnya pemahaman makna dan fungsi para generasi muda terhadap ritual mappandesasi, pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan pengetahuan-pengetahuan tradisional yang dianggap mistik dan digantikan dengan mengagungkan pemikiran rasional. Sementara ritual mappandesasi sangat penting bagi masyarakat etnik Mandar karena terkait langsung dengan aktivitas mereka sehari-hari sebagai pemburu hasil laut (nelayan) tradisional. Dalam aktivitas kebaharian, Lampe (2004:7) menyatakan bahwa nelayan dan pelautpelaut dari Sulawesi Selatan mempercayai keyakinan dan praktik agama sebagai model penyelamatan serta keberuntungan ekonomi. Dengan keyakinan, doa, dan mantra dapat dihindarkan ancaman ganasnya gelombang laut, badai, pusaran air, dan arus besar. Kekuatan do’a dapat menghindarkan diri (nelayan) dari gangguan raksasa laut (gurita, hiu) dan menjinakkan gelombang, bahkan menaklukkan hantu-hantu laut di lokasi-lokasi penangkapan yang kaya dengan sumber daya bernilai ekonomi tinggi. Spirit agama dipadukan dengan mental untuk menggerakkan usaha lainnya seperti keberanian menanggung resiko ekonomi. Keteguhan mental, persaingan, adanya adaptasi, wawasan luas, dan lain-lain menjadi modal sosial masyarakat Mandar. Ritual mappandesasi merupakan tradisi lisan folklor, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Yang termaksud folklor sebagian lisan adalah kepercayaan rakyat, adat-istiadat, permainan rakyat, upacara pesta rakyat, (Dananjaja 1986:22). Unsur lisan dari ritual mappandesasi terletak dalam doa/mantranya, nyanyian rebana. Unsur bukan lisan dapat dilihat dalam sesaji, pemotongan kurban, pembakaran dupa (kemenyan), kepercayaan adanya penjaga laut.
Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi, dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implemtasi senyatanya dari teks-teks tulisan itu. J.J. Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti sejarah; sejarah keberlangsungan hidup dan kehidupan sebuah suku bangsa. Salah satu upacara ritual adat warisan dari nenek moyang yang diturunkan secara internalisasi dari generasi ke generasi dan masih dipertahankan dan dilaksanakan hingga saat ini oleh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah mappandesasi. Mappandesasi, yaitu suatu tradisi kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan sejak nenek moyang mereka yang bermukim di daerah Mandar. Masyarakat Bungkutoko, khususnya masyarakat nelayan Mandar tidak terlepas dari berbagai ritual upacara yang dilakukannya. Nelayan etnik Mandar mempercayai adanya penghuni laut yang disebut Penjaga Sasi. Sebagaimana halnya suku Mandar yang beraktivitas sebagai nelayan, rutinitas dalam melakukan upacara-upacara selalu dilakukan untuk kesuksesan pekerjaan sebagai nelayan. Hal ini dilakukan karena dianggap sangat penting sehingga pelaksanaannya pun melibatkan tokoh-tokoh adat yang berasal dari Mandar. Masyarakat nelayan etnik Mandar sangat mempercayai adanya ritual mappandasesasi. Prosesi ritual mapandasesasi dipimpin oleh seorang sansro ‘dukun’ yang berasal dari etnik Mandar. Dukun atau sandro dalam kehidupan sehari-harinya hidup bersama dengan masyarakat pada umumnya dan mempunyai mata pencaharian seperti masyarakat lainnya, yakni sebagai nelayan. Akan tetapi, seorang sandro biasanya ada hal-hal tertentu yang membedakannya dengan
masyarakat pada umumnya, yakni seorang sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para leluhur yang dianggap membantu dan melindungi masyarakat Mandar . Pengetahuan tradisional masyarakat Mandar tentang ekologi kelautan merupakan pengetahuan tradisional yang sifatnya turun-temurun. Nelayan etnik Mandar sangat percaya bahwa betapapun kuatnya tantangan dalam mengarunginya, laut tetap menawarkan peluang keberhasilan bagi nelayan dalam mencari nafkah, dengan berbagai sumber daya laut yang terkandung di dalamnya. Agar memperoleh hasil tangkapan yang banyak, masyarakat nelayan etnik Mandar harus memiliki daya juang, yakni ulet meskipun hanya memanfaatkan terknologi tradisional andalan masyarakat. Nelayan etnik Mandar umumnya masih memegang aturanaturan, mekanisme alamiah (natural), pedoman-pedoman tradisi leluhur dalam melaut, seperti kepercayaan tentang roh dan penguasa laut. Musim penangkapan ikan berdasarkan arah dan kekuatan angin, pengetahuan tentang gelombang laut, badai, dan sebagainya. Ritual mappandesasi (memberi makan laut), merupakan suatu bentuk upacara khas yang bersifat sakral (suci) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Ritual mappandesasi merupakan media komunikasi masyarakat etnik Mandar dengan lingkungan laut, sehingga sangat penting ritual ini dilakukan. Pelaksanaan ritual mappandesasi
terhadap
masyarakat nelayan Mandar bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi agar diberikan keselamatan dalam melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Dengan demikian, masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko masih tetap mempertahankan ritual mappandesasi di era globalisasi seperti sekarang ini, meskipun pelaku ritual telah berkurang. Masyarakat etnik Mandar sangat meyakini ritual Mappandesasi sebagai salah satu media yang menghubungkan mereka untuk berkomunikasi dengan penjaga sasi. Dengan ritual mappandesasi masyarakat etnik Mandar dapat menjinakkan ganasnya air laut menjadi bersahabat dengan nelayan, dapat terhindar dari ancaman gurita besar, gelombang besar, dan bisa
mempermudah datangnya rezeki. Masyarakat etnik Mandar meyakini bahwa ketika dalam melakukan aktivitas sebagai nelayan tanpa melakukan ritual mappandesasi terlebih dahulu, maka kelompok nelayan tersebut tidak mendapat keselamatan dan rezeki, karena belum direstui oleh penjaga sasi. Kejadian seperti di atas, pernah terjadi beberapa tahun silam. Ada salah satu kelompok nelayan yang tidak melakukan ritual mappandesasi ketika melakukan pelayaran (menangkap ikan). Di tengah perjalanan kelompok nelayan ini tiba-tiba dihantam oleh gelombang besar dan tenggelam. Dalam kejadian itu, tidak ada satu orang pun dari anggota kelompok nelayan dalam pelayaran itu yang selamat. Kejadian lain yang pernah dialami oleh para nelayan yang tidak melakukan ritual mappandesasi sebelum melaut adalah seringnya kelompok nelayan melihat gurita besar. Gurita besar dianggap sebagai penjaga laut (setasasi) oleh nelayan. Tradisi seperti ini sudah menurun entitasnya dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko diakibatkan oleh dua hal. Pertama, tidak adanya kemauan dari generasi muda untuk melakukan ritual mappandesasi karena dianggap oleh generasi muda sebagai salah satu tindakan yang menduakan Tuhan (sirik). Kedua, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sudah terbawa arus globalisasi sehingga memiliki katergantungan terhadap kecanggihan teknologi mutahir. Berangkat dari keresahan sebagian besar masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, maka penulis mencoba meneliti Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan maka dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, ada tiga masalah yang perlu di teliti. Ketiga masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini. 1) Bagaimanakah bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara ? 2) Faktor-faktor apakah yang mengakibatkan terjadi keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara? 3) Bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami mendeskripsikan, dan menginterpretasi dampak serta makna ritual mappandesasi yang dijadikan cermin dan pedoman dalam kehidupan etnik Mandar dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan khusus sebagai berikut : 1) untuk mengetahui bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. 2)
untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar kelurahan Bungkutoko Sulawesi tenggara; dan
3)
untuk menginterpretasi dampak
dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam
masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan bermanfaat secara praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan informasi ilmiah dalam perkembangan studi kebudayaan tradsi lisan. 2) Hasil penelitian dapat menambah khasanah pengetahuan tentang dinamika ritual mappandesasi. 1.4.2 Manfaat Praktis 1) Hasil penelitian dapat dipakai sebagai masukan kepada pemerintah dan lembaga terkait tentang kebijakan pembinaan dan pemeliharaan fungsi-fungsi yang terkandung dalam ritual mappandesasi. 2) Hasil penelitian dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat etnik Mandar kelurahan Bungkutoko dalam ritual Mappandesasi. 3) Bagi masyarakat Mandar dan sekitarnya di Kelurahan Bungkutoko, dalam ritual mappandesasi tersebut dapat dijadikan sebagai jati diri, kearifan lokal, tradisi budaya dan objek wisata budaya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
2.1 Kajian Pustaka Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah banyak dilakukan. Tiap-tiap studi mencoba membahas aspek-aspek tertentu mulai dari faktor terjadinya ritual, karakteristik ritual, dan nilai budaya yang mendasarinya. Demi menjaga orisinalitas penelitian ini, peneliti menampilkan hasil-hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan mengenai ritual, khususnya yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dan dianggap relevan dengan penelitian ini. Maria Goretty (2010) tentang “Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana, ritual syukuran atas hasil panen yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Rendu dalam pelaksanaannya mengalami degradasi atau penurunan, yang ditandai dengan enga gua atau pengumuman pelaksanaan gua yang tidak tepat waktu, menurunnya jumlah pelaku ritual, adanya perubahan sarana ritual dan tuturan ritual semakin pendek, berkurangnya kata-kata adat dalam menyusun doa adat. Temuan Maria dalam penelitian, yaitu perubahan perilaku masyarakat suku Rendu, dalam melaksanakan ritual gua Leza di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo Flores, terlihat dalam semakin berkurangnya anggota masyarakat suku Rendu yang melaksanakan ritual, penetapan waktu pelaksanaan ritual yang tidak serentak dan melunturnya kepatuhan dan ketaatan dari sebagian anggota masyarakat suku Rendu. Selain itu kelompok generasi mudanya tidak paham dengan nilai-nilai budaya lokal warisan leluhurnya yang sarat dengan pesan-pesan moral.
Penelitian Maria tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian, memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti tulis, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan teori-teori post-modern. Kajian Maria ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti fokus pada ritual mappandesasi (memberi makan laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara, sedangkan Maria mengkaji Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan lokasi penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh. Hasil penelitian Maria tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, dan bahan pembanding. Selain itu, dijadikan rujukan awal dan sebagai sumber inspirasi peneliti untuk melakukan atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Penelitian tentang ritual dilakukan oleh Abdul Rahman (2007) tentang “ritual Cera Lepa (selamatan perahu baru) Pada Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota Kendari, Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Cera Lepa merupakan ritual yang dilakukan oleh suku Bajo pada saat mau mengoperasikan perahu baru. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa setiap perahu yang baru selesai dibuat harus dicera sebelum dioperasikan. Tujuan cera lepa adalah untuk meminta keselamatan pada penguasa laut (mbombongana lao) sekaligus untuk menyatukan arwah perahu dengan penguasa laut. Temuan Rahman yang menarik adalah perahu yang tidak dicera mendapatkan berbagai tantangan dan hambatan dalam melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Perahu selalu
diterjang ombak besar, tiba-tiba perahu tidak jalan karena dililit oleh jari-jari gurita besar, semua awak perahu selalu ketakutan karena sering melihat gurita di atas perahu. Nelayan yang menggunakan perahu yang belum dicera selalu tidak mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Penelitian Rahman tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Rahman, memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, yakni sama-sama berkaitan dengan aktivitas manusia sebagai nelayan. Penelitian Rahman tersebut merupakan penelitian Antropologi yang menggunakan pendekatan posotivistik dan menggunakan teori-teori modern, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan teori-teori post-modern. Penelitian di atas, banyak memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman peneliti terhadap konsep, bentuk, dan fungsi ritual. Oleh karena itu, penelitian di atas, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai bahan pembanding. Penelitian tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan orang Bajo demikian prominensia, sehingga Robert Zacot menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang cinta damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut. Zacot (2008: 222) menyatakan bahwa “Orang Bajo tidak menyukai kekejaman. Mereka membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang merendahkan harga dirinya kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa percekcokan antara suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat yang dijuarai oleh Ua Piana dan istrinya, tidak pernah terjadi pertengakaran di antara penduduk desa” Masyarakat Bajo begitu menyelami dan memahami makna filosofi hidup bertetangga, yakni mereka harus kasih-mengasihi dan saling memelihara antara yang satu dengan yang lainnya. Akutualisasi pemahaman itu di antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk
jaringan kerjasama atau rarambanga dengan menjadikan tetangga dekat mereka sebagai basis kekuatan utama. Penelitian Zacot tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Zacot, memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji masyarakat yang bermukim di daerah etnik lain di antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk jaringan kerjasama. Penelitian di atas, memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman peneliti terhadap tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan. Oleh karena itu, penelitian di atas, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai bahan pembanding. Sumitri (2005) tentang “Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini merupakan tesis di Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Sumitri menemukan bahwa ritual Dhasa Jawa merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan penguasa adikodrati khususnya penghuni alam gaib. Selain itu, dalam ritual Dhasa Jawa terdapat seperangkat norma dan nilai-nilai sosial yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika oleh masyarakat Rongga untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dari ritual ini, masyarakat Rongga mengetahui cara beradaptasi, memperlakukan alam dan roh para leluhur, serta memperlakukan orang lain supaya mereka (penghuni alam gaib, roh leluhur) senang atau bersahabat dengan masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani. Berdasarkan hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti mendapatkan data sekunder tentang konsep, definisi ritual dan penggunaan teori. Dilihat dari fokus kajian, penelitian tersebut memiliki persamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama berfokus pada ritual keagamaan. Penelitian Sumitri memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti.
Dari segi pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, sama-sama dalam kategori penelitian kualitatif dan menggunakan rancangan fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Selain itu, dalam hal penggunaan teori untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian memiliki persamaan, yaitu sama-sama menggunakan teori semiotik. Kajian Sumitri berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti berfokus pada ritual mappandesasi (memberi makan laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Sumitri mengkaji tentang ritual Dhasa Jawa dalam masyarakat petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan lokasi penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh. Hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, bahan pembanding, menjadi rujukan awal dan menjadi sumber inspirasi bagi peneliti untuk melakukan atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Selain hasil penelitian di atas, penulis menampilkan beberapa kajian ilmiah lainnya untuk menunjang pustaka utama guna mempertajam dan memperkaya kepustakaan dalam penelitian ini. Penelitian Nong Hoban (2007) tentang “Ritual Reba dalam
Masyarakat Petani Etnik
Bhajawa Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur: Prespektif Kajian Budaya”. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian untuk tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam penelitiannya, Hoban menemukan bahwa ritual reba sangat penting dalam kehidupan masyarakat petani etnik Ngada. Dengan melakukan ritual reba sebelum melakukan aktivitas pertanian, maka masyarakat Ngada senantiasa merasakan kenyamanan, ketenangan dalam mengelola lahan pertanian mereka. Selain itu, etnik Ngada selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah. Selain itu, para pelaku ritual (etnik Ngada) dalam melakukan ritual dengan memberikan binatang persembahan berupa babi dan ayam dengan tujuan agar Dewa Zeta Nitu Zale berkenan
menerima persembahan mereka (etnik Ngada). Setelah menerima sesembahan itu etnik Ngada berharap supaya diberikan petunjuk yang lurus oleh sang Dewa. Etnik Ngada meyakini bahwa dengan melakukan ritual Reba maka hubungan antara manusia dengan leluhur tetap terjaga keharmonisannya. Dengan demikian masyarakat Ngada selalu mendapat kekuatan spiritual dalam setiap gerak langkah atau dan seperti tidak mendapat halangan atau rintangan dan bencana. Dilihat dari fokus kajian, antara penelitian Hoban dan penelitian yang peneliti lakukan memiliki persamaan, yakni sama-sama berfokus pada ritual untuk mendapatkan keselamatan, menjaga keharmonisan antara manusia dengan penguasa alam gaib (roh para leluhur) dan Dewa, sama-sama merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian budaya. Penelitian Hoban berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hoban berfokus pada ritual yang berhubungan dengan aktivitas pertanian dalam masyarakat petani, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah berfokus pada ritual yang berkaitan dengan aktivitas melaut, khususnya dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Dari hasil penelitian Nong Hoban di atas, peneliti mendapatkan data khususnya data sekunder, seperti konsep ritual dan konsep masyarakat. Selain itu, hasil penelitian di atas, telah membuka dan menambah wawasan pengetahuan peneliti tentang objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian di atas peneliti jadikan sebagai bahan pembanding dan sumber inspirasi guna memperdalam kajian ritual mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. La ode Aris (2010), tentang “Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk tesis di Program Pascasarjan Univesitas Gajah Mada. Dalam penelitiannya La Ode Aris menemukan bahwa masyarakat Muna sangat intens melakukan riual kaago-ago guna mencegah penyakit yang datang pada waktu
pergantian musim. Jenis penyakit yang dicegah oleh masyarakat Muna dengan menggunakan ritual kaago-ago, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh angin (pergantian cuaca), seperti demam, flu, panas, dan sakit kepala. Selain penyakit yang diakibatkan oleh pergantian musim, penyakit yang dicegah dengan kaago-ago adalah penyakit yang disebabkan oleh agen aktif (manusia) seperti sihir dan tenung. Temuan yang menarik dalam penelitian La Ode Aris adalah dampak yang dirasakan oleh masyarakat kalau tidak melakukan ritual kaago-ago dalam melakukan aktivitas pertanian. Masyarakat mendapat bencana seperti lahan pertanian selalu diganggu oleh hama khususnya gangguan binatang liar sehingga tidak menghasilkan panen yang memadai. Selain itu, masyarakat mendapat bencana penyakit yang sampai merenggut nyawa manusia. La Ode Aris pada waktu melakukan penelitian mendapatkan kejadian serupa, yakni ada tiga orang warga masyarakat yang meninggal secara berturut-turut dalam satu minggu, yang diakibatkan karena mereka melakukan aktivitas pertanian tanpa melakukan ritual kaago-ago terlbih dahulu. Penelitian La Ode Aris di atas, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Apabila dilihat dari fokus kajian, maka sama-sama meneliti ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Penelitian yang dilakukan oleh La Ode Aris merupakan penelitian antropologi yang menggunakan pendekatan positivistik, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan merupakan penelitian postmodern dengan menggunakan pendekatan kajian budaya. Dari hasil penelitian La Ode Aris tersebut, peneliti mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai objek yang peneliti kaji. Selain itu, peneliti mendapatkan variasi konsep tentang ritual dan mendapat teori yang relevan dengan objek yang dikaji. Kepustakaan di atas peneliti jadikan sebagai kepustakaan pembanding dan sumber inspirasi.
Benekditus Belang Niron (2005), tentang “Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaleng Kecamatan Solor Barat, Flores Timur: Prespektif Kajian Budaya”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam penelitiannya, Benekditus menemukan bahwa ritual adat Lepa Bura dalam masyarakat Lamaholot disakralkan pelaksanaanya karena berkaitan dengan keselamatan para petani dalam mengelola lahan pertaniannya. Selain keselamtan, masyarakat selalu mendapatkan panen yang melimpah apabila mereka melakukan ritual Lepa Bura sebelum melaksanakan aktivitas pertanian. Ritual Lepa Bura bagi masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan kekuatan yang ada di luar diri manusia seperti Dewa, penguasa alam gaib, dan sekaligus mereka jadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur. Ritual Lepa Bura oleh masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai salah satu wahana untuk memperakrab atau mempererat hubungan silaturahmi antarsesama warga Lamaholot. Hal ini bisa terjadi karena pada saat diadakan upacara Lepa Bura semua warga Lamaholot diwajibkan ikut tanpa terkecuali. Dengan demikian, terbina hubungan antara Dewa, penguasa alam gaib dengan manusia dan terbina hubungan antara sesama manusia. Upacara Lepa Bura memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaannya dalam hal fokus kajian, yakni sama-sama meneliti ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Benekditus merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan kajian budaya, sehingga sama dengan pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan tentang ritual, peneliti tidak lagi menelaah objek kajian ini. Peneliti mendapatkan data sekunder, seperti konsep, teori serta makna ritual. Oleh karena itu, hasil penelitian Benekditus di atas peneliti jadikan sebagai kepustakaan pembanding.
Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran khusus pada apa yang disebut dengan simbol-simbol Turner (1967 : 19). Hal ini mirip dengan apa yang ditunjukkan masyarakat Ujung,Bone, Sulawesi Selatan tentang tradisi ritual Addewatang Putta Sereng. Mereka melakuakan ritual itu sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menurus dan turun-temurun dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di dalamnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa munculnya pemahaman dan mitos putta sereng ini didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak seorang pun yang menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama kali memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng. Penelitian tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk mendapatkan konsep dan teori yang berhubungan dengan ritual. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Turner dan yang dilakukan oleh penulis adalah tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih dilaksanakan. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Turner dengan yang penulis lakukan adalah bahwa dalam ritual Addewatang Putta Sereng yang diteliti oleh Turner, munculnya pemahaman dan mitos putta sereng ini didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak satu pun yang menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama kali memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng, dan penelitian yang dilakukan penulis adalah ritual mappandesasi dianggap suatu bentuk upacara yang bersifat sakral (suci) dan dipimpin oleh sandro, yakni dalam hal tertentu seorang Sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para leluhur yang dianggap biasa membantu dan melindungi masyarakat nelayan etnik Mandar.
Mbete, dkk. (2006) dengan hasil penelitian berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” di Kabupaten Ende Propinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus kajiannya adalah menggali berbagai ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya khususnya generasi mudanya. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete memberi inspirasi pada penulis khususnya dalam hal konsep, teori yang berhubungan dengan ritual. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawan-kawan dan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama membahas ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya terutama oleh generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai budaya yang dianut. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawankawan terfokus pada religi masyarakat Lio-Ende, sistem sosial masyarakat Lio-Ende, budaya agraris, dan khazanah seni budaya Lio-Ende. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah ritual mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko, yang terfokus pada bentuk keterancaman ritual mappandesasi, faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman dalam ritual, serta dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap kelompok remaja. Gluckman dalam Morris (2003 : 311) dengan hasil penelitiannya tentang upacara Inowala di Swazi merupakan salah satu upacara tradisional. Inowala adalah ritual kerajaan yang rumit dan berlangsung hingga berhari-hari, ritual itu dilaksanakn setiap tahun pada saat musim panen pertama. Tidak seorang pun diperbolehkan menyentuh hasil panen tersebut hingga upacara itu dilaksanakan dan di pihak kerajaan, hanya raja yang boleh melakukannya. Dalam upacara tersebut kebanyakan lagu-lagu sakral yang dinyanyikan selama upacara, mengekspresikan dan mendramatisasikan ide bahwa raja telah dibenci dan ditolak oleh masyarakat. Berkaitan langsung dengan topik penelitian ini belum ditemukan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Gluckman dan yang dilakukan oleh penulis adalah tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan kendatipun pelaksanaanya
yang rumit dan berlangsung hingga berhari-hari. Perbedaanya antara penelitian yang dilakukan oleh Gluckman dengan penelitian yang peneliti lakukan. Gluckman meneliti ritual Inowala yang merupakan upacara tradisional yang dikaji secara utuh dari aspek bentuk, fungsi dan makna. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai keterancaman ritual mappandesasi yang meliputi faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan etnik Mandar. Moertjipto (1997 : 26) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dalam masyarakat Kepuharjo, Sleman Yogyakarta tiap tahunnya sering mengadakan ritual becekan, yakni suatu ritual memohon hujan, pada saat mengalami kekeringan yang berkepanjangan, memohon agar secepat-cepatnya hujan turun, sehinggah sawah dan tumbuh-tumbuhan yang kering menjadi hijau kembali dan dapat dimanfaatkan kembali. Pelaksanaan ritual itu, ditujukan kepada penguasa gunung Merapi, karena masyarakat setempat percaya bahwa gunung Merapi merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi mereka. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dan yang dilakukan oleh penulis, yaitu sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan kendatipun pelaksanaanya pada saat mengalami kekeringan. Perbedaanya antara penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dengan yang dilakukan peneliti. Moertjipto meneliti ritual becekan, yaitu memohon hujan yang ditujukan kepada penguasa gunung Merapi. Masyarakat setempat percaya bahwa gunung Merapi merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bentuk ritual mappandesasi yaitu memberi makan laut yang ditujukan kepada penghuni laut atau dinamakan penjaga sasi. Masyarakat nelayan etnik Mandar percaya dan terhindar dari bahaya dan diberikan rezeki.
Watu (2008) melakukan penelitian tentang “Representasi Citraan Ilahi dan Insani” dalam Ritus Sa’o Ngaza di Kampung Guru Sina, Flores dengan fokus penelitiannya, yaitu representasi citraan yang Ilahi dan Insani dalam upacara pembuatan rumah adat di kampung Guru Sina. Penelitian yang dilakukan oleh Watu menambah wawasan penulis khususnya dalam hal konsep, teori, dan metodologi. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Watu dan yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat tetap dilaksanakan. Perbedaannya penelitian yang dilakukan oleh Watu dengan yang dilakukan oleh peneliti Watu meneliti “Representasi Citraan Ilahi dan Insani” khususnya dalam hal ritus pembuatan rumah adat dengan mengungkapkannya lewat bentuk, fungsi, dan makna ritual. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah tentang keterancaman ritual mappandesasi, dalam Etnik Mandar, faktor-faktor apa yang mengakibatkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan etnik Mandar. Kajian-kajian tersebut di atas bermanfaat bagi peneliti karena dapat memberikan gambaran yang berarti dalam melihat secara jeli dan ilmiah fenomena budaya di tengah arus globalisasi yang berdampak pada perubahan budaya lokal yang diangkat dalam penelitian ini. 2.2 Konsep Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karekteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu (Singarimbun dkk, 1989:34). Dalam kaitan dengan penelitian terhadap ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, digunakan sejumlah konsep terkait untuk memberikan pemahaman dasar tentang topik sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang akan dijelaskan meliputi : konsep degradasi
ritual mappandesasi, masyarakat nelayan, etnik Mandar, dan bentuk ritual masyarakat nelayan etnik Mandar. 2.2.1
Keterancaman Secara morfologis, kata ‘keterancaman’ berasal dari bentuk dasar ‘terancam’ yang
dilekati oleh imbuhan ke-an. Kata ‘terancam’ adalah kata kerja yang berarti (1) diancam oleh (2) dalam keadaan bahaya” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia). Di sisi lain, menurut Ramlan, imbuhan ke-an dalam bahasa Indonesia dapat diartikan proses. Dengan demikian, kata keterancaman dapat berarti sebuah proses terjadinya suatu objek ke dalam kondisi terancam/bahaya oleh sesuatu. 2.2.2 Ritual Mappandesasi Ritual adalah upacara kurban untuk pemulihan dan pemeliharaan keharmonisan hubungan dengan Tuhan, leluhur dan dengan alam. Di dalamnya termaksud tuntutan pemujaan dalam upacara untuk berkomunikasi dengan alam semesta atau dengan Tuhan dalam konteks budaya suatu masyarakat, misalnya upacara adat keanekaragaman, upacara keagamaan (Fox, 1984 : 16 Halliday, 1997 : 12). Menurut Hadi (1999:29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa normal atau seperti biasa yang dirasakan oleh semua manusia dan yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Berkaitan dengan hal tersebut ritual mappandesasi adalah upacara memberi makan laut. Mappandesasi merupakan suatu upacara berupa serangkaian tindakan yang dilakukan sekelompok orang menurut adat kebiasaaan setempat, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur sebagai suatu pengalaman suci. Endaswara (2003 : 175) mengklasifikasi ritual menjadi dua. Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan
mengalami krisis hidup, ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahapan hidup termaksud dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua ritual gangguan, yakni ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual semacam ini dalam masyarakat Mandar sering diwujudkan dalam tradisi selamatan. Tradisi ritual tersebut di atas, ternyata memiliki fungsi bagi keberlangsungan hidup di antaranya : 1. ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok, berarti ritual menjadi alat pemersatu atau interaksi. 2. ritual juga menjadi sarana pendukung untuk mengungkapkan emosi khususnya nafsu-nafsu negative; dan 3. ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial. Seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994:147) bahwa sistem upacara merupakan wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala. Dalam sistem upacara keagamaan terkandung empat aspek, yaitu (1) tempat upacara keagamaan, (2) tempat pelaksanaan upacara, (3) waktu pelaksanaan upacara, dan (4) benda-benda dan peralatan upacara serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya upacara. Mappandasesasi berasal dari bahasa Mandar, yakni dari kata ma yang berarti ‘me’, pande berarti ‘beri makan’ dan sasi berarti ‘laut’. Kata mappandasesasi bermakna ‘memberi makan laut’. Kata mappandasesasi ‘memberi makan laut’ merupakan salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun, serta masih tetap dipertahankan keberadaan walaupun bukan di kampung sendiri.
2.2.3 Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam kaitannya dengan penelitian ini, keterancaman tradisi ritual mappendesasi dapat diartikan sebagai suatu proses tradisi ritual mappendesasi dalam keadaan terancam punah karena faktor pengurangan hewan kurban, mengecilnya jumlah sumbangan, penurunan jumlah peserta, dan perubahan sarana ritual mappandesasi. 2.2.4
Masyarakat Nelayan Satuan konsep masyarakat nelayan terdiri atas dua unsur, yaitu masyarakat dan nelayan.
Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu wilayah dengan batas-batas tertentu, saling berinteraksi antarsesama warganya, memiliki adat-istiadat, norma-norma serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warganya dan memiliki rasa identitas yang mengingat semua anggota masyarakatnya tanpa kecuali. Koentjaraningrat (1992 : 122), menjelaskan bahwa masyarakat hendaknya memiliki empat cirri, yaitu (1) interaksi antarwarga, (2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturanaturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga, (3) kontinuitas dalam waktu, dan (4) rasa identitas yang mengikat semua warga. Berdasarkan keempat ciri tersebut dapat dirumuskan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Nelayan merupakan orang-orang yang kerjanya menangkap ikan di sungai, di danau dan di laut (Surayanto, 1994 : 24). Nelayan sebagai produser ikan dapat dibedakan manjadi 3 golongan, yaitu (1) golongan nelayan kecil, dengan modal kecil atau bahkan dengan hanya bermodalkan tenaga kerja saja; (2) golongan nelayan menengah, dengan peralatan-peralatan sederhana seperti perahu kecil dan jala; dan (3) golongan nelayan tertinggi, yang mempunyai peralatan-peralatan dan perlengkapan khusus yang cukup canggih dan seringkali mempunyai cara-cara atau usaha lain.
Bagi masyarakat nelayan di dunia, agama dan magis yang dapat terwujud dalam ritual dipandang sebagai suatu elemen dalam sistem ekonominya. Suatu yang fungsinya lebih banyak terkait pada usaha-usaha nelayan untuk memperoleh keselamatan dan keberuntungan dan menghindari malapetaka dalam proses-proses berproduksi. Konsep masyarakat nelayan adalah masyarakat yang pada umumnya bekerja dalam sektor nelayan yang orang-orangnya bekerja sebagai penangkap ikan di danau, di sungai, dan di laut yang pada umumnya bermukim di sekitar pesisir laut. Jadi masyarakat nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok masyarakat yang memiliki persamaan adat-istiadat, aktivitas (nelayan) yang bermukim dalam satu wilayah, dalam hal ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. 2.2.5 Etnik Mandar Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan norma, nilai, kepercayaan, symbol, dan praktik kultural. Terbentuknya ‘suku bangsa’ bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Barth (1988 : 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang kelompok etnik mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan cirri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.
mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya;
2.
membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri;
3.
menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain.
Barth mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan menentukan ciri khasnya yang akan dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok etnik mana dan ini dapat di perkirakan dari latar belakang asal-usulnya, dengan mengacu pada konsep kelompok etnik sebagai unit budaya dan tatanan sosial tersebut. Dapat dijelaskan bahwa kelompok pendatang di Kelurahan Bungkutoko, yaitu orang-orang berasal dari luar sebagai migran yang sadar akan identitas etniknya. Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan yang memiliki persamaan norma, nilai, kepercayaan, dan memiliki persamaan dalam seperangkat tata cara dalam menjalani hidup. Etnik tersebut adalah etnik nelayan Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. 2.2.6 Tradisi Lisan Dalam kerangka besar corpus terdapat filsafat, sejarah, nilai-nilai moral, etika, religius, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra, dan estetika. Selain itu, teks lisan juga memuat ilmu pengetahuan dengan metodenya. Masyarakat etnik Mandar mengetahui cara-cara pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan, mereka mengetahui nama dan manfaat tumbuh-tumbuhan. Tradisi lisan menjelaskan secara pasti pola-pola kepemilikan dan penguasaan atas laut dan sumber daya alam. Tradisi lisan, dengan demikian, menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. J.J Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti sejarah; sejarah berkelangsungan hidup dan kehidupan suku bangsa.
2.2.7
Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Ritual mappandasesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar adalah salah satu tradisi
masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun temurun, serta masih tetap dipertahankan keberadaannya walaupun bukan di kampung sendiri. Ritual mappandesasi (memberi makan laut), dianggap sebagai bentuk upacara yang bersifat sakral (suci) bagi nelayan etnik Mandar, yaitu sebagai wujud ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan vertikal dengan dunia gaib, khususnya penghuni lingkungan laut. Hal itu mereka lakukan untuk meminta izin kepada penghuni laut, dengan tujuan agar masyarakat nelayan etnik Mandar diberi keselamatan, dilindungi, dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Ritual adat dari masa lampau yang masih berakar kuat hingga kini masih tetap dipertahankan dan dilaksanakan adalah mappandesasi, yaitu suatu tradisi kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan sejak nenek moyang mereka yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun temurun hingga saat ini yang dilakukan tiap satu tahun sekali. Jadi, ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah upacara sesembahan kepada laut yang dilakukan oleh komunitas nelayan etnik Mandar, yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, dengan tujuan meminta dan memohon kepada penjaga sasi agar mereka (nelayan) diberikan keselamatan dan rezeki (hasil tangkap) yang banyak dalam melaut.
Namun dalam pelaksanaannya, ritual mappandesasi mengalami keterancaman, dalam arti ada dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang tetap tekun melaksanakan ritual sebagaimana dijelaskan di atas. Akan tetapi, ada masyarakat nelayan etnik Mandar yang tidak melaksanakannya. Adapun indikator keterancaman ritual mappandesasi adalah sebagai berikut: 1. menurunnya peserta yang melakukan ritual mappandesasi; 2. pengurangan terhadap ritual mappandsasi; 3. pengurangan binatang kurban dalam ritual mappandesasi; 4. adanya perubahan sarana dalam ritual mappandesasi. 2.3 Landasan Teori Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik digunakan beberapa teori. Adapun teori-teori yang digunakan adalah teori ritus, teori dekonstruksi, dan teori semiotika. 2.3.1 Teori Ritus Teori ritus dikemukakan oleh Smith (dalam Winarno, 1978 : 865), sebagai salah satu simbol dari suatu kenyataan didasarkan atas peraturan yang sewenang-wenang atau simbol dari suatu masyarakat yang sangat penting (transcendent) yang merupakan realitas rohani kepada nilai-nilai tertinggi dari suatu komunitas atau masyarakat. Rebertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian tentang religi dan agama. Gagasan pertama, mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dan religi atau agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus. Dalam agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi
atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempuyai fungsi sosial untuk mengintesifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama menjalankan upacara dengan sungguh-sungguh, dan ada yang menjalankannya setengah-setengah. Mereka menganggap upacara adalah untuk mengalami kepuasan keagamaan secara peribadi dan upacara adalah kewajiban sosial. Gagasan ke tiga adalah teori mengenai fungsi upacara sesaji. Pada pokoknya dalam upacara seperti itu, manusia menyajikan seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya. Dalam konteks teori ritus, Dhavamony (1995 : 175-176) membedakan ritual atas empat macam, yakni (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan bahanbahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik dengan demikian upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktif, yakni meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau permunian dan perlindungan atau dengan kata lain, meningkatkan suatu kesejahtraan materi dari suatu kelompok. Teori ritus dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar. 2.3.2 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi intelektual atau model pemahaman, yang telah dikembangkan oleh Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat Perancis keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar Aljazair pada tahun 1930. Derrida lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada makna atau lebih tepatnya kemustahilan makna dari sebuah teks.
Dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, tetapi bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan kekosongan. Dekonstruksi adalah pembongkaran atas suatu teks, kemudian merekonstruksi kembali konstruksi yang telah dibongkar sebagai suatu konstruksi yang baru (konstruksi dekonstruksi). Mendekonstruksi berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi melibatkan
pelucutan
alam/kebudayaan,
oposisi
akal/kegilaan,
biner
hierarkis,
misal
tuturan/tulisan,
yang
berfungsi
menjamin
kebenaran
realitas/citra, dengan
cara
mengesampingkan dan merendahkan bagian “inferior” oposisi biner tersebut, sehingga tuturan lebih diutamakan daripada tulisan, lebih diutamakan daripada citra, dan alam lebih diutamakan daripada kebudayaan. Dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks. Derrida memandang bahwa bahasa selalu merupakan sistem tanda yang defferensial yang membangun makna melalui perbedaan ketimbang melalui korespondensi dengan makna transedental yang tetap atau acuan kepada yang nyata. Sejak ada makna tidak ada lagi yang lain kecuali tanda, apa yang dipikir selalu di dalam tanda (Derrida, 2004:76-79). Tidak ada makna asli di luar tanda yang merupakan bentuk representasi grafis, sehingga tulisan menjadi asal muasal makna. Pengetahuan, kebenaran, dan kebudayaan tidak dapat dipikir tanpa tanda, yaitu tulisan. Bagi Derrida tulisan adalah jejak permanen yang ada sebelum presepsi peduli atau sadar akan dirinya sendiri. Jadi, Derrida mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan suatu identitas antara tanda dan penanda (Barker, 2004 : 76). Tujuan dekonstruksi bukan hanya sekedar membalik urutan biner tetapi menunjukkan bahwa mereka saling terimplikasi pada yang lainnya. Dekonstruksi ingin menelanjangi titik-titik buta sebuah teks, asumsi-asumsi yang tidak diakui yang mendasari operasi teks tersebut.
Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar. 2.3.3 Teori Semiotik Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk ( yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah significant (penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signife (petanda) untuk segi maknanya. Dalam konteks semiotika, Geetz menawarkan cara menafsirkan kebudayaan dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarkat yang bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Greetz, kebudayaan adalah semiotik ; hal-hal yang berhubungan dengan simbol-simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Simbol adalah suatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu (Sukanto, 1993 : VI-VII). Ritual mappandesasi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam masyarakat adat Mandar yang sarat dengan simbol-simbol. Ritual mappandesasi harus diinterpretasikan dan diterjemahkan agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai budaya dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat.
Teori semiotika dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab rumusan masalah yang pertama dan ke tiga, yaitu bagaimanakah bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara dan apa dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara. 2.4 Model Penelitian Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian dan sekaligus menjadi fokus penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan berikut ini.
Bagan 1 : Model Penelitian Nelayan Etnik Mandar
Globalisasi
- Teknologi - Ekonomi - Pendidikan
Bentuk keterancaman ritual Mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar
Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman terhadap ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar
Emansipasi Masyarakat Kelurahan Bungkutoko
- Tradisi - Mitos
Dampak dan makna keterancaman ritual Mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar.
Keterangan
-----------
: garis yang menunjukkan saling mempengaruhi : garis yang memberi hubungan atau pengaruh secara sepihak : garis yang memberi pengaruh tidak langsung secara sepihak
Penjelasan Model Masyarakat mana pun di dunia ini memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya dalam memandang hidup dan kehidupan, berdasarkan tradisi budaya dan kebiasaan masing-masing. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Nelayan Etnik Mandar yang ada di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara, memiliki tradisi kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya dalam hal memandang laut. Masyarakat Mandar di Kelurahan Bungkutoko menjadikan laut sebagai kebun tempat mereka mencari nafkah, sehingga masyarakat Mandar di kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai nelayan memiliki kebiasaan memperlakukan laut seperti makhluk hidup. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan mereka yang selalu memberi makan laut (mappandesasi). Tradisi ini mereka (masyarakat Mandar) lakukan pada saat mau turun melaut dengan tujuan supaya pada saat mereka melaut mendapat perlindungan dari dewa laut, rezeki yang banyak, serta keselamatan. Tidak dapat disangkal bahwa dengan masuknya era globalisasi,
ilmu pengetahuan
modern sudah membuat sebagian masyarakat terlena dengan alat-alat teknologi modern dan melupakan pengetahuan masa lalu (indigenous knowledge). Hal ini terjadi dalam masyarakat Mandar di Kelurahan Bungkutoko khusunya dalam tradisi ritual mappandesasi. Modernisasi mengagungkan ilmu pengetahuan empiris, sedangkan tradisi mempertahankan kebiasaan-
kebiasaan dan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat setempat dan diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Akibat pergulatan globalisasi dan tradisi, sehingga ritual mappandesasi mengalami pergeseran dalam hal berkurangnya perserta ritual yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain ekonomi, dan teknologi. Hal ini diakibatkan oleh adanya desakan ekonomi yang membuat masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata pencaharian dari nelayan ke mata pencaharian yang tidak berhubungan dengan laut, seperti mengojek, berdagang di pasar. Selain desakan ekonomi, penyebaran masyarakat nelayan etnik Mandar ke wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang diakibatkan karena pergeseran pekerjaan mereka, mengakibatkan terjadinya penurunan peserta dan dan pelaksanaan ritual mappandesasi. Dampak pendidikan, generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan khusunya ilmu agama, menganggap ritual mappandesasi sebagai salah satu bentuk praktek kemusryikan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak generasi muda nelayan etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Berdasarkan filsafat rasionalisme bahwa suatu ilmu yang valid diperoleh dari pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logis. Dalam realitas empirik adalah tunggal (sama dengan positivism penganut paham monism) tetapi realitas tersebut tidak diinterpretasikan dari prespektif (Muhadjir, 2000 : 83-84). Metode kualitatif adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara atau penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan. Ketiga, metode kualitatif ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman dengan pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maleong, 2004:9). Melalaui metode kualitatif, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklarifikasikan data yang menarik. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini membimbing peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis yang baru (Endraswara, 2003:14-15). 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Sulawesi Tenggara. Lokasi ini ditentukan dengan pertimbangan berikut ini.
1. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas etnik Mandar yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut, dalam hal ini berprofesi sebagai nelayan. 2. Ritual mappandesasi, pada awalnya sering dilakukan oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tetapi sekarang pelaksanaan ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko telah berkurang dan hampir punah.
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa mantra memotong hewan kurban, mantra memandikan perahu, mantra mendapatkan rezeki, dan mantra supaya terhindar dari musibah, dan ditunjang dengan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil obsevasi, wawancara. Data yang digunakan adalah data tentang ritual mappandesasi. Adapun data kuantitatif di antaranya diperoleh dari data BPS dan monografi kelurahan. Sumber data dalam rencana penelitian ini dibedakan atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah para informan. Sumber data sekunder adalah ritual pelaksanaan studi dokumen berupa hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku, laporan-laporan lembaga swasta seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 3.4 Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini, dilakukan secara purposive. Pertimbangannya bahwa informan tersebut dinilai memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman tentang objek penelitian. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan kunci dan informan lainnya. Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang lokasi penelitian, memiliki banyak pengetahuan tentang objek penelitian yaitu Kepala Kelurahan, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, sedangkan informan lainnya adalah peserta ritual sekaligus sebagai pelaku utama dalam ritual mappandesasi, seperti pemimpin upacara (sandro),
masyarakat nelayan Etnik Mandar, khususnya orang-orang tua yang sering melakukan dan mengikuti ritual mappandesasi,
3.5 Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan kartu-kartu data. Kartukartu data digunakan untuk pencatatan, kategorisasi, dan klarifikasi data, sedangkan pedoman wawancara digunakan sebagai pengarah peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam konteks tersebut Nawawi (1992: 69) mengatakan bahwa, dalam pengumpulan data diperlukan alat (instrumen) yang tepat agar data yang berhubungan dengan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Kemudian Nawawi, (1992 : 98) mengemukakan bahwa pedoman wawancara adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan yang diajukan kepada informan. Di samping itu, berkenaan dengan kerja pengamatan, maka diperlukan penggunaan kamera foto atau kamera Video untuk merekam hasil pengamatan serta alat perekam untuk merekam hasil wawancara.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara triangulasi yakni observasi, wawancara mendalam studi dokumen dan teks atau mantra. Di bawah ini diberikan penjelasannya 3.6.1 Observasi Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan menyeluruh tentang bentuk, fungsi, dan makna ritual mappandesasi dan dinamikanya dalam realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Mandar. Teknik yang digunakan adalah pengamatan terlibat. Peneliti ikut berperan serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual
memberi makan laut. (Muhadjir, 1992 : 179-180). Pengamatan terlibat di lapangan ditopang pula dengan penggunaan alat perekam data, khususnya rekaman video dan foto. 3.6.2 Wawancara Mendalam Wawancara difokuskan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi informan tentang upacara ritual mappandesasi. Tujuan wawancara untuk menjaring data tentang pendapat dan pandangan informan tentang upacara ritual mappandesasi terutama bentuk, fungsi dan makna tekstual dan kontekstual. Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara terbuka dan mendalam guna menjaring pandangan mereka tentang kegunaan upacara ritual mappandesasi dan kandungan norma dan nilai yang tersirat di baliknya. Wawancara demikian digunakan jika dipandang sangat perlu untuk mengurangi variasi yang bisa terjadi antara seorang yang diwawancarai dengan yang lainnya (Maleong, 2003 : 136). Selain pengamatan dan wawancara, peneliti juga merekam dan mencatat tuturan upacara ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dengan menggunakan media pandang dengar seperti video kamera dan tape recorder. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran secara utuh dan menyeluruh berbagai interaksi verbal dan nonverbal yang terjadi selama upacara ritual mappandesasi berlangsung, termasuk di dalamnya perekaman wacana ritual. 3.6.3 Studi Dokumen Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan dikaji, maka peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian yang sudah dipublikasikan. Materi-materi kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku, koran, majalah, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah, laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Studi kepustakaan digunakan untuk menemukan pemahaman yang dapat dikembangkan dalam melakukan penelitian. Selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai pelengkap data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data digunakan bukan saja dalam memperoleh data, tetapi juga merupakan bagian dari proses melihat keabsahan data. Menurut (Moleong,1995:178), untuk melihat keabsahan data tersebut digunakan teknik implementasi atau triangulasi data yang memiliki tiga prosedur, yaitu (1) membandingkan data observasi dengan hasil interview; (2) membandingkan informasi antara sumber satu dengan sumber yang lainnya; dan (3) membandingkan hasil interview dengan dokumen yang terkait. Berkaitan dengan pernyataan yang disampaikan Moleong, maka peneliti melakukan pembandingan data yang diperoleh melalui observasi di lapangan selama penelitian berlangsung, hasil wawancara, studi kepustakaan.
3.7 Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Proses analisis dimaksudkan untuk mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian sehingga dihasilkan suatu temuan atau simpulan sejalan dengan tujuan penelitian. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh melalui berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan dan perekaman dan catatan lapangan (Maleong, 2002 : 190). Prosedur berikutnya dalam penelitian ini adalah analisis data. Tahapan ini terdiri atas beberapa langkah berikut ini. a. Penyusutan data (data reduction), yaitu melakukan pengurangan data yang tidak relevan dengan permasalahan. Reduksi data sebagai proses penyaringan, penyerdahanaan,
pengabstraksian, dan transpormasi data kata yang muncul dari catatan-catatn tertulis dari lapangan dilakuakan pula dalam penelitian ini. Upaya ini sesuai dengan kerangka masalah dan kerangka konseptual yang dikaitkan dengan tujuan utama penelitian ini, yakni untuk menemukan khasanah budaya etnik Mandar. Sebagian dari proses analisis, reduksi merupakan
bentuk
mengorganisasikannya
analisis untuk
yang
menajamkan,
kemudian
bermuara
mengklasifikasi, pada
simpulan,
mengarahkannya, verifikasi,
dan
rekomendasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dengan aneka cara : seleksi yang ketat, meringkas, dan menggolong-golongkannya ke dalam pola tertentu yang lebih luas. Sajian data (data display) dilakukan dengan pengelompokan dan kategorisasi data sesuai dengan bentuk, fungsi dan makna, pengaruh bahasa dan budaya serta langkah-langkah dalam mempertahankan keaslian upacara ritual dalam masyarakat etnik Mandar. b. Penggalian makna dan fungsi dilakukan melalaui penafsiran makna atas semua bentuk upacara dan prosesnya, hasil penafsiran makna dan fungsi dinegosiasikan pula dengan para tetua adat yang menjadi informan kunci. c. Pengambilan simpulan mengenai bentuk, fungsi dan makna, sistem nilai budaya dan pengaruh budaya serta langkah-langkah pemberdayaan upacara ritual dalam masyarakat Mandar. d. Penemuan fakta tentang adanya perubahan atau dinamika ritual dilakukan dengan kajian perbandingan terhadap struktur bentuk dan makna serta fungsi ritual yang diperoleh melalui pengetahuan para pemiliknya antargenerasi, yaitu generasi tua dan muda. Perbedaan persepsi generasi tua dan muda tentang bentuk, makna, dan fungsi ritual itu merupakan makna perubahan dan dinamika yang dimaksudkan itu. (Miles dan Huberman, 1992 : 17-18).
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini akan peneliti sajikan secara informal dan formal. Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil analisis data dengan cara deskripsi kata-kata atau narasi, sedangkan secara formal penyajian hasil penelitian berupa tabel dan gambar. Laporan penelitian dituangkan ke dalam delapan bab.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Kelurahan Bungkutoko merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Abeli Kota Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kelurahan Bungkutoko merupakan daerah tersendiri, yakni kepulauan Bungkutoko yang terletak di pesisir teluk Kendari. Adapun luas wilayah Kelurahan Bungkutoko adalah 700 ha. Batas-batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Utara berbatasan dengan teluk Kendari;
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Nambo;
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Talia; dan
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.
Apabila menggunakan jalur laut untuk ke Kelurahan Bungkutoko, maka digunakan dua jenis alat transportasi. Pertama, lewat pelabuhan kecil (tempat perahu berlabuh) di Pantai Biru Sanggula (kota lama) menuju Kelurahan Bungkutoko digunakan jenis tansportasi kapal motor (perahu mesin tempel atau katinting) yang membutuhkan waktu tempuh ± 30 menit dengan biaya transportasi Rp 5.000,00 per kepala. Kedua, dengan menggunakan kapal motor jenis Speed menuju Kelurahan Bungkutoko membutuhkan waktu tempuh selama ± 10 menit dengan biaya transportasi Rp 7.000,00 per kepala. Jarak antara Pantai Biru Sanggula dengan Kelurahan Bungkutoko ± 5 Km. Sebagaimana wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang memiliki waktu perubahan musim, maka Kelurahan Bungkutoko juga mengenal perubahan musim. Akan tetapi, di Kelurahan Bungkotoko hanya dikenal dua jenis musim yakni musim, kemarau dan musim hujan. Kedua musim ini memiliki waktu perputaran yang berbeda. Musim hujan terjadi bulan Oktober
sampai dengan bulan April yang dibawa oleh angin barat, berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, dengan melewati beberapa lautan. Pada bulan Mei sampai dengan bulan September terjadi musim kemarau diakibatkan karena angin yang bertiup dari Timur (Benua Australia) kurang mengandung uap air. 4.2 Demografi Dilihat dari aspek kependudukan, masyarakat Kelurahan Bungkutoko merupakan masyarakat yang heterogen sebagai hasil dari migrasi dan perkawinan campuran antara penduduk asli (suku Tolaki) dengan suku pendatang yakni suku Mandar, Bugis, Jawa, Muna, dan Buton. Penduduk Kelurahan Bungkutoko pada akhir tahun 2010 berjumlah 1.280 jiwa, sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2011), berdasarkan data dari Kelurahan Bungkotoko, penduduk Kelurahan Bungkutoko telah mencapai jumlah 1.461 jiwa. Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk Kelurahan Bungkutoko selama kurun waktu dua tahun terakhir yakni dari tahun 2009 sampai 2011 sebesar 1,1 persen per tahun. Luas wilayah Kelurahan Bungkutoko adalah 700 Ha, yang dibagi dalam tiga lingkungan. Lingkungan pertama diberi nama Air Mancur, yang dibagi dalam tiga Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 71 kepala keluarga (KK). Lingkungan ke dua diberi nama Padang Pasir yang dibagi dalam empat Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk sebanyak 92 kepala keluarga (KK), dan Lingkungan ke tiga diberi nama Nelayan yang dibagi dalam lima Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 149 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, penduduk kelurahan Bungkutoko berjumlah 312 kepala keluarga atau 1.461 jiwa. Dari tiga lingkungan di Kelurahan Bungkutoko, lingkungan ke tiga yang paling padat penduduknya. Lingkungan nelayan terdiri atas lima Rukun Tetanga, dan sebagain besar penduduknya adalah etnik Mandar, yakni 92 kepala keluarga (KK), 57 kepala keluarga yang
menghuni lingkungan nelayan adalah terdiri atas 29 kepala keluarga etnik Buton, 25 kepala keluarga etnik Muna dan 3 kepala keluarga etnik Jawa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Buton dan Muna di lingkungan Nelayan, yaitu sebagai nelayan yang berkelompok dengan etnik Mandar. Nelayan terbanyak di Kelurahan Bungkutoko terdapat pada lingkungan nelayan dan mayoritas penduduknya didominasi oleh etnik Mandar, sehingga di lingkungan inilah lokasi ritual mappandesasi selalu dilaksanakan. Struktur umur penduduk di suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran di suatu daerah sangat tinggi maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang berpenduduk usia muda. Keadaan struktur penduduk di Kelurahan Bungkutoko berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tebel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut Umur dan Jenis Kelompok (tahun 0–4
Umur Laki-Laki (L) 91
Perempuan (P) 84
Jumlah (L+P) 175
5–9
91
72
163
10 – 14 15 – 19
67 78
67 72
134 150
20 – 24 24 – 29 30 – 34 35 – 39
75 78 57 55
100 75 60 58
175 153 117 113
40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 -59
42 33 29 14
37 34 29 10
79 67 58 24
60 – 64 65 – 69 70 – 74
12 9 6
9 4 7
21 13 13
Kelamin.
Jumlah Total
740
722
1.462
Sumber : Kantor Kelurahan Bungkutoko 2010.
Tabel di atas, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 hampir seperdua jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko secara keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia muda yang berumur di bawah 20 tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa Kelurahan Bungkutoko tidak tergolong kelurahan yang berpenduduk usia muda. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk Kelurahan Bungkutoko berjumlah 251.477 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah perempuan lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 722 jiwa atau 49, 82 persen, sedangkan laki-laki berjumlah 740 jiwa atau 50,12 persen. Perbandingan jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko antara laki-kaki dan perempuan disebut dengan rasio jenis kelamin. Tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap 100 jiwa penduduk Kelurahan Bungkutoko terdapat 48 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan dan terdapat 52 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki. Rasio jumlah penduduk yang berdasarkan jenis kelamin ini dijumpai secara merata di setiap lingkungan dalam Kelurahan Bungkutoko. Apabila hal ini dilihat dari sudut analisis ekonomi dan dihubungkan dengan struktur sosial budaya dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko, maka keadaan seperti ini tampaknya menguntungkan bagi masyarakat Kelurahan Bungkutoko, karena laki-laki harus bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup keluarga. Kendatipun demikian, dalam masyarakat kelurahan Bungkutoko, perempuan sejak kecil sudah dibiasakan oleh orangtua untuk belajar hidup mandiri.
Dalam hal tenaga kerja, masyarakat Kelurahan Bungkutoko tidak mengalami kesulitan karena jumlah penduduknya yang tergolong dalam usia non produktif (usia 0-14 tahun dan usia 60 tahun ke atas) lebih kecil yakni 526 jiwa, bila dibandingkan dengan kategori usia produktif (usia 15-59 tahun) berjumlah 936 jiwa. Penduduk Kelurahan Bungkutoko sebagian besar beragama Islam. Tampaknya agama Islam di Kelurahan Bungkutoko ini cukup berkembang dengan pesat, tetapi masih banyak di antara penduduk yang menganut agama Islam hanya lebih dalam tataran Islam simbolik. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan sebagian besar penduduk yang menganut agama Islam mulai dari anak-anak sampai pada orang tua yang pandai dan lancar membaca Al-Qur’an, meskipun kebanyakan di antara mereka tidak pernah bersekolah dan buta aksara Latin. Selain itu, masih pula penduduk kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam tetapi masih mempercayai kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap dua kepercayaan itu tidak hanya sebatas diyakini tetapi dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
4.3 Mata Pencaharian Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko menangkap ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Selain mempunyai keahlian kelautan, beberapa orang pandai berdagang dan menjadi tukang (membuat perahu/kapal kayu dan membuat rumah) sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan.dan sebagian kecil bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Komposisi mata pencaharian menduduk di kelurahan Bungkutoko dapat dilihat dalam tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Bungkutoko. No
Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa)
1
Nelayan
724
2
Pegawai Negeri
93
3
Pedagang
57
4
Tukang
38
Jumlah
912
Sumber: Kantor kelurahan Bungkutoko 2010 4.3.1 Nelayan Keterampilan penduduk Kelurahan Bungkutoko adalah menangkap ikan (nelayan) dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas menunjukkan bahwa hampir seperdua atau berjumlah 724 jiwa dari jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Bungkutoko atau 1.462 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Menangkap ikan tidak dengan menggunakan pukat, pancing saja, tetapi memburunya di dalam air dengan menggunakan panah ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal ini dilakukan karena kebutuhan pasar terhadap beberapa jenis ikan yang harus ditangkap dalam keadaan hidup memberi peluang kepada nelayan etnik Mandar untuk memburu dan menangkap ikan tersebut sesuai pesanan. Biasanya yang beroperasi mengumpulkan ikan hidup adalah beberapa pengusaha ikan dari Bungkutoko yang memiliki relasi bisnis dengan pengusaha ikan dari PT. Djayanti Group dan PT Samudera Group, dua pabrik pengolahan ikan di Kendari-Sulawesi Tenggara. Salah satu bentuk kerja sama antara nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dengan para pengusaha ikan adalah para pengusaha selain memberikan modal awal memberikan
keramba plastik secara cuma-cuma untuk menampung ikan hidup hasil buruan. Cara penangkapanya adalah ikan dipanah di bagian ujung ekornya. Setelah lemas ikan tersebut ditangkap dan dimasukkan ke dalam keramba plastik yang berisi air laut. Selain dipanah ikan tersebut ditangkap dengan menggunakan pancing. Dalam melakukan perburuan, hasil yang diperoleh tidak menentu, biasanya berkisar antara satu sampai delapan ekor. Adapun jenis ikan yang menjadi sasaran buruan para nelayan adalah kerapu (cronileptes altivelis), seperti kerapu batu (epinephelus taufina), kerapu sunuk (plectrophanus leopardus), kakap, seperti kakap putih (lace calcarifer), dan kakap merah (lutganus altifrontalis), ikan tuna, dan lain-lain. Para nelayan menjual ikan hasil buruan mereka dengan harga berkisar antara Rp 25.000,00 sampai Rp 30.000,00 per kilogram. Ikan-ikan tersebut selalu datang diambil di Kelurahan Bungkutoko oleh pengusaha ikan yang memiliki relasi bisnis dengan para nelayan setempat. Biasanya para pengusaha ikan ini turun di Kelurahan Bungkutoko untuk mengambil ikan hasil buruan para nelayan sesering-seringnya (3 kali dalam seminggu). Nelayan etnik Mandar, selain menangkap ikan dengan menggunakan panah dan pancing,juga menangkap ikan dengan menggunakan kapal yang terbuat dari kayu (perahu dengan menggunakan mesin dalam yang dilengkapi dengan jaring dan pukat) dan memasang bagang. Dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sudah termasuk dalam kategori nelayan modern. Hasil-hasil yang diperoleh dari laut, dijual dipasar oleh istri atau kerabat yang merupakan anggota kelompok nelayan. 4.3.2 Pegawai Negeri Sipil Selain pedagang penduduk Kelurahan Bungkutoko ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai PNS berjumlah 93 jiwa yang tersebar di seluruh instansi pemerintah dan instansi swasta yang ada di kota Kendari. Akan tetapi, peneliti tidak dapat merinci berapa banyak jiwa yang mengisi
lapangan pekerjaan di instansi pemerintah dan di instansi swasta. Hal itu diakibatkan karena tidak adanya data yang membagi atau membedakan hal tersebut. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai PNS di Kelurahan Bungkutoko di atas menunjukkan bahwa aktivitas sebagai nelayan lebih banyak digemari oleh warga setempat, khususnya etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia dalam komunitas etnik Mandar, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Mandar yang sejak kecil sudah melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Mandar gampang untuk mendapatkan uang, nelayan etnik Mandar dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut. Pekerjaan sebagai PNS menurut etnik Mandar lama untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru mendapatkan hasilnya (terima gaji). Hal ini yang mengakibatkan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mengenyampingkan dunia pendidikan. Dari 93 jiwa penduduk di Kelurahan Bungkutoko yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak ada satu orang pun yang berasal dari etnik Mandar. Kebanyakan dari penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil berasal dari etnik Buton, Muna, dan Bugis. Meskipun demikian, tidak berarti perekonomian etnik Mandar tidak mapan, justru perekonomian etnik Mandar lebih mapan dari perekonomian penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang orang Mandar, bahwa orang Mandar tidak akan pernah sukses meraih hidup dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang halal. Selain itu, didorong oleh kenginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari. Semua ini diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang cenderung boros dan royal dalam hal uang.
4.3.3 Berdagang Penduduk Kelurahan Bungkutoko selain berprofesi sebagai nelayan, ada sebagian penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai pedagang. Akan tetapi, jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah kecil yakni 57 jiwa. Aktivitas bedagang ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan membuka kios untuk berjualan di dalam rumah. Jenis barang yang diperdagangkan pada umumnya adalah makanan ringan, seperti kue kering, berbagai jenis roti, indomie, berbagai jenis permen, minuman botol, seperti 7-Up, lemonaden, fanta, soda, alat tulis-menulis, beberapa jenis kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, bawang, terigu, dan beberapa jenis peralatan melaut sederhana, seperti mata kail, dan tasi. Menurut pengakuan para penjual, barang jualan kurang laris, karena penduduk Kelurahan Bungkutoko pergi menjual ikan hasil tangkapan di luar (pasar di luar Bungkutoko). Pada saat kembali ke Bungkutoko selalu membawa barang-barang yang dibutuhkan terutama yang berhubungan dengan bahan makanan dan kebutuhan melaut. Berbagai jenis barang dagangan tersebut di atas, yang banyak digemari oleh konsumen adalah jenis makanan ringan dan rokok, karena kebanyakan konsumennya dari kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai jumlah keuntungan dalam berdagang tidak memberikan informasi yang pasti, karena para pedagang selalu mengatakan berdagang ini sama dengan berjudi, tergantung nasib, kalau lagi bernasib baik atau mujur penghasilan akan laku banyak tapi kalau nasib lagi tidak mujur maka barang dagangan kurang laku. Dari 57 jiwa yang berdagang, ada salah satu ibu yang mengehentikan aktivitas berdagangnya adalah Minarti istri salah seorang Kepala Lingkungan Tiga yang telah diganti. Ibu tersebut menghentikan jualannya karena rugi. Kerugian ini kerena barang dagangannya kurang laku sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh anggota keluarganya. Lebih lanjut ibu lima orang
anak itu menyatakan bahwa usahanya dihentikan bukan bangkrut akibat pembeli yang tidak membayar hutangnya, tetapi karena semata-mata kurang laku. Menurut Minarti, memang ada sebagian pembeli yang suka menghutang, tetapi selalu membayarnya tepat waktu. Nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko paling takut berhutang uang karena menurut nelayan etnik Mandar utang terkait dengan lancar tidaknya mendapat rezeki. Apabila salah satu yang merasa kecewa (tempat menghutang) bisa menjadi salah satu penyebab kesialan dalam mencari rezeki di laut. Kesulitan mencari rezeki pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup. 4.3.4 Tukang Kayu Mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko adalah nelayan. Akan tetapi, ada sebagian dari warga Kelurahan Bungkutoko yang memiliki keterampilan sebagai tukang kayu. Keterampilan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka. Pewarisan keterampilan tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran dalam keluarga. Biasanya seorang bapak yang memiliki keterampilan sebagai tukang, selalu mengajari anaknya menjadi tukang. Proses tersebut diawali dengan peniruan, yakni anak disuruh memperhatikan apa yang dikerjakan oleh orang tuanya. Lama-kelamaan anak tersebut terbiasa untuk mencoba mengerjakannya sendiri. Meskipun demikian, anak tersebut tetap berada dalam bimbingan orang tuanya. Keberadaan para tukang kayu dan tukang batu di Kelurahan Bungkutoko dirasakan cukup membantu warga setempat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain yang membutuhkan jasa tukang kayu atau tukang batu, masyarakat Kelurahan Bungkutoko pun demikian adanya. Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sebagian penduduk di Kelurahan Bungkutoko, misalnya membangun rumah, baik rumah panggung maupun rumah batu, dan jenis pertukangan lainnya. Oleh karena itu, penduduk Kelurahan Bungkutoko senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau ingin memiliki peralatan rumah, seperti lemari, tempat tidur, kursi, meja, daun pintu dan daun
jendela. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan melalui saran dari tukang. Biasanya bahanya didatangkan dari pengumpul kayu bahan rumah untuk rumah panggung dan dari pengumpul bahan bangunan, seperti batu, pasir, untuk rumah batu. Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada aktivitas melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan, kencang ombak, atau memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dipesan seperti membuat rumah, membuat lemari, atau perabot rumah lainnya. Maksudnya pemesan sangat membutuhkan barang tersebut dalam waktu tertentu (dalam waktu dekat atau sifatnya mendesak), maka tukang meninggalkan aktivitas melautnya demi memenuhi keinginan pemesan tersebut. Udin yang bekerja selain sebagai nelayan juga sebagai tukang kayu menyatakan bahwa kalau sedang musim angin kencang atau musim terang bulan, ia tidak melaut, tetapi dia bekerja sebagai tukang untuk membuat lemari, pintu atau jendela. Udin mempunyai bangsal di samping rumahnya untuk tempat dia bekerja sebagai tukang. Harga yang Udin pasang sangat ber fariasi, tergantung jenis barang yang dipesan oleh pelanggan. Alemari misalanya, ini juga memiliki harga yang sangat ber fariasi tergantung ukuran dan bentuk lemari yang dipesan. Begitu juga harga pintu dan jendela. Udin memasang tarif mulai dari Rp 750.000,00 sampai Rp 3.000.000,00. Lemari yang memiliki harga mahal yakni lemari besar dan dihiasi dengan berbagai bentuk ukiran. Selain membuat lemari, pintu, dan jendela, Udin biasa menerima pesanan untuk membuat rumah. Mengerjakan pesanan rumah, Udin dibayar mulai dari Rp 3.000.000,00 sampai Rp 6.000.000,00 per unit. Menurut Udin, dirinya lebih senang mengerjakan pesananan rumah daripada pesan lemari, jendela, dan pintu. Karena pesanan lemari, jendela dan pintu, cara kerjanya repot, capek dan butuh ketelitian karena harus diukir.
4.4 Agama dan Kepercayaan Seperti halnya kelurahan-kelurahan lain, Kota Kendari memiliki penduduk yang beragam. Keberagaman itu bukan hanya dalam hal suku, etnis, daerah asal tetapi juga agama dan kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko juga memiliki penduduk yang beragam mulai dari suku, etnis, daerah asal sampai pada keberagaman agama dan kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko memilki keberagaman suku atas etnik yang terdiri dari etnik Mandar sebagai penduduk yang mayoritas meskipun etnik Mandar sebagai etnis pendatang, etnis Buton, etnis Bugis-Makassar, etnis Jawa, dan entis Tolaki sebagai penduduk pribumi. Keberagaman etnik tersebut dibarengi dengan keberagaman agama dan kepercayaan. Di Kelurahan Bungkutoko terdapat dua agama yang teridentifikasi oleh pemerintah, yaitu agama Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dengan jumlah pengikutnya sebanyak 1428 jiwa, dan agama Kristen Katolik yang penganutnya berjumlah 34 jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagaman etnik yang ada di Kelurahan Bungkutoko tidak diikuti dengan keberagaman agama atau pluralisme agama. Sebagai agama yang pengikutnya sangat sedikit atau minoritas, maka agama Kristen di Kelurahan Bungkutoko tidak dapat dilihat secara simbolik karena tidak memiliki tempat atau rumah ibadah. Untuk menunaikan kewajibannya (melakukan ibadah) sebagai umat kristen, harus melakukan ibadah di pusat Kota Kendari yang letaknya tidak terlalu jauh dari kelurahan Bungkutoko (±15 KM). Berbeda dengan agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk di kelurahan Bungkutoko, maka agama Islam dapat dilihat secara simbolik seperti tempat ibadah. Agama Islam di Kelurahan Bungkutoko berkembang dengan pesat. Salah satu indikasinya adalah banyaknya masjid dan sarana yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Masjidmasjid tersebut sangat diramaikan oleh kegiatan-kegiatan keislaman. Bagi masyarakat di
Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masjid berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah sholat lima waktu, selamatan, tahlilan, dan tempat mengaji. Keyakinan beragama Islam di kalangan masyarakat di Kelurahan Bungkutoko pada hakikatnya telah ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Kewajiban belajar mengaji bagi anak-anak yang beragama Islam dilakukan pada malam hari atau pada pagi hari setelah selesai melaksanakan sholat Subuh, Hal ini di sebabkan karena pada siang hari anak-anak pergi ke sekolah. Walaupun masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas yang beragama Islam, tetapi Islam yang dianut dan dikembangkan oleh separuh penganut agama Islam di Kelurahan Bungkutoko, tampaknya Islam sinkritis. Indikasinya adalah sering dijumpainya keyakinan lain yang bukan berasal dari agama Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko. Misalnya, etnik Mandar yakin dan mempercayai adanya berbagai makhluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti adanya penjaga laut (sasi), batu besar, gua dan pohon-pohon besar. Berbagai makhluk halus itu dianggap sebagai pemilik atau penjaga tempat tersebut. Pendek kata masyarakat yang menganut agama Islam di kelurahan Bungkutoko juga masih yakin dan mempercayai kepercayaan animisme percaya roh-roh dan dinamisme percaya kepada benda-benda gaib. Nelayan etnik Mandar yakin bahwa makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jahat. Agar tidak mencelakakan manusia, maka tempat-tempat tersebut selalu diberi sesajen. Selain itu, setiap ingin menggunakan benda-benda atau mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat tersebut, terlebih dahulu meminta izin atau bersalam kepada penunggu atau penjaganya. Ungkapan yang lazim mereka ucapkan untuk meminta izin atau bersalam pada penjaga tempat-tampat tersebut adalah sebagai berikut, “tabe anabi sasi” apabila hendak melaut, atau tabe anabi madara ketika hendak menginjakan kaki di darat.
Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masih yakin akan adanya roh leluhur dan hubungan dengan roh-roh semacam ini tetap dipelihara kesinambungannya dalam kehidupan sehari-hari. Terperliharanya kesinambungan itu dimanifestasikan dalam perilaku masyarakat yang disebut ghoniwi, yakni mengirim do’a dengan disertai makanan dan minuman sekedarnya yang ditujukan kepada arwah-arwah para leluhur. Hal itu biasanya dilakukan pada setiap malam Jum’at atau pada hari-hari tertentu yang dianggap baik menurut nelayan etnik Mandar. Selain itu, ada upacara dan ritus adat yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya dalam peristiwa yang berhubungan dengan siklus hidup individu, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Biasanya ghoniwi itu dilakukan sebelum acara puncak dilaksanakan, misalnya dalam pesta pernikahan, sebelum memasuki acara ijab qobul terlebih dahulu dilakukan ritual ghoniwi yang dilakukan satu malan sebelum acara puncak dilaksanakan. Selain Ghoniwi, ada kebiasaan dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang dimiliki oleh masyarakat nelayan etnik Mandar dan sampai saat ini masih dipertahankan eksistensinya oleh etnik Mandar, yakni ritual mappandesasi. Ritual ini merupakan tradisi kebiasaan nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang dilakukan sebelum atau sesudah melaut. Ritual ini dilakukan untuk meminta kepada penjaga laut (sasi) supaya para nelayan diberikan, keselamatan dalam melaut dan diberikan rezeki atau hasil tangkapan yang banyak. 4.5 Bahasa dan Kesenian 4.5.1 Bahasa Banyaknya suku bangsa atau etnis yang bertempat tinggal di kelurahan Bungkutoko dengan sendirinya membuat Kelurahan Bungkutoko kaya akan bahasa. Semua suku bangsa yang berasal dari daerah lain dan bertempat tinggal menetap di Kelurahan Bungkutoko secara otomatis
membawa persebaran bahasa daerah suku bangsa tersebut. Misalnya, orang yang berimigrasi dari daerah Mandar Sulawesi Selatan secara otomatis bahasa ikut berimigrasi. Pergaulan hidup sehari-hari penduduk di Kelurahan Bungkutoko menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya suku yang tinggal di Kelurahan Bungkutoko dan tidak ada bahasa daerah dari suku-suku tersebut untuk dijadikan bahasa yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti bahasa Bali di Jati Bali. Tidak adanya bahasa daerah yang bisa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia yang lazim digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah masing-masing tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Kelurahan Bungkutoko sesama suku, etnis yang menggunakan bahasa daerah tersebut. Misalnya bahasa Mandar digunakan berkomukasi dengan sesama etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut terbatas pada etnik Mandar saja, begitu pula halnya bahasa daerah yang lain. Walaupun ada suku Tolaki yang mendiami Kelurahan Bungkutoko sebagai penduduk pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat bahasa Tolaki tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di kalangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko diakibakan oleh masyarakat pengguna bahasa Tolaki sangat sedikit. Akan tetapi, sekarang bahasa Tolaki sebagai bahasa suku pribumi sudah dijadikan bahan pelajaran di sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bahasa lokal agar tidak mengalami kepunahan karena bahasa merupakan salah satu unsur identitas masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Mengenai rekayasa tulisan, Ong mengatakan bahwa bahasa pada hakikatnya bersifat lisani (oral); begitu lisan sehingga seakan-akan aksara tidak diperlukan, buktinya di antara berpuluh-puluh ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia, hanya sekitar 106 yang memiliki sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong 1980: 7). Selanjutnya, di antar kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang memiliki kesusasteraan tertulis. 4.5.2 Kesenian Masyarakat di kelurahan Bungkutoko terdiri atas tiga etnis yang tergolong besar, yaitu etnik Mandar, Bugis, dan Muna. ketiga etnik tersebut memiliki kesenian daerah yang berdedabeda. Misalnya, kesenian pobhelo dari etnik Muna, kesenian ini dipentaskan pada saat melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu, tetapi di Kelurahan Bungkutoko ditampilkan pada saat melakukan acara aqiqah. Kesenian lariangi dari etnik Buton, kesenian ditampilkan pada saat melakukan hajatan pengislaman (katoba). Dalam etnik Mandar terdapat seni tari dan seni suara. Seni tari terdiri atas tetabuhan rebana. Seni ini menurut masyarakat etnik Mandar mempunyai nilai sejarah tersendiri karena menandai pertama kalinya agama Islam masuk di tanah Mandar. Kesenian ini selalu ditampilkan oleh etnik Mandar pada saat mau melakukan acara ritual mappandesasi di mana pun etnik Mandar bermukim, termasuk di Kelurahan Bungkutoko. Selain seni tari tetabuhan rebana, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki tarian Tusuk Bobal. Tarian ini selalu ditampilkan oleh masyarakat etnik Mandar pada saat melakukan hajatan yang terkait dengan siklus hidup manusia dan pada saat upacara-upacara adat, seperti ritual mappandesasi. Selain seni tari, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai seni suara, yang disebut kanjilo. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Mandar pada saat mereka hendak turun melaut. Meskipun masyarakat Kelurahan Bungkutoko memiliki banyak kesenian
tetapi ada salah satu kesenian yang berlaku secara universal dalam masyarakat. Kesenian tersebut berupa seni tari yang disebut tari lulo. Tari lulo itu selalu ditampilkan pada saat melakukan hajatan yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti pernikahan, aqiqah, dan pengislaman. Tari lulo ditampilkan dalam upacara syukuran keberhasilan dalam melaut. Tari ini ditampilkan pada malam hari yang berfungsi sebagai alat pemersatu berfungsi sebagai penghibur. 4.6 Organisasi Sosial Kelurahan Bungkutoko yang terbagi dalam tiga Rukun Tetangga dan tediri atas dari 12 Rukun Warga tidak membuat masyarakat di kelurahan ini bercerai berai atau tidak saling mengenal. Akan tetapi, dengan kondisi wilayah seperti itu masyarakat tetap tolong-menolong dan bantu-membantu dalam berbagai aktivitas. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko memiliki organisasi sosial tradisional yang dapat menyatukan semua etnik di kelurahan tersebut. Organisosial tradisional tersebut disebut rarambanga, yaitu bentuk hubungan kerjasama yang oleh masyarakat Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam melakukan berbagai bentuk aktivitas. Pada hakikatnya perkumpulan sosial ini dibentuk sebagai wadah partisipasi anggota masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dalam rangka memenuhi tujuan bersama yang tidak bisa dilakukan secara perseorangan, dan perkumpulan sosial merupakan sarana untuk saling menolong dalam meringankan beban hidup dan membantu memecahkan persoalan hidup sesama masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari etnik mana pun. Rarambanga ini tidak berlaku dalam aktivitas sosial yang bersifat umum, seperti bersama-sama membangun rumah, tetapi rarambanga berlaku sampai pada kegiatan sosial yang sifatnya khas seperti ritual mappandesasi. Hal ini dapat dijumpai dalam aktivitas masyarakat dari luar etnik Mandar yang sibuk membantu proses berjalannya ritual, bahkan sampai ikut serta
dalam pelaksanaan sebagai anggota. Ada yang membantu menyediakan peralatan upacara, memberikan, dan menghiasi lokasi pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bukan kaum laki-laki yang terlibat dalam menyukseskan pelaksanaan ritual mappandesasi ini melainkan kaum ibu-ibu dari berbagai etnik dan berbagai rukun tetangga ikut berpartisipasi dalam hal membantu pekerjaan dapur. Memasak untuk persiapan sesajen, untuk persiapan makan bersama setelah melakukan ritual mappandesasi. Bantuan dari etnik lain tidak terbatas dalam hal moril atau tenaga (bukan etnik Mandar), tetapi ada bantuan materi yang berwujud benda atau barang, seperti menyumbang sapi, kambing, dan ayam, untuk sesajen atau pun untuk santapan setalah melakukan ritual. Dilihat dari banyaknya bentuk partisipasi masyarakat dari luar etnik Mandar dalam hal melancarkan proses jalannya ritual mappandesasi, dapat dikatakan bahwa masyarakat di Kelurahan Bungkutoko sangat mematuhi organisasi sosial tradisional yang mereka bentuk bersama, yakni rarambanga. Rarambanga diadopsi oleh masyarakat etnik Mandar dan diterapkan dalam proses melaut. Melaut merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara berkelompok maka rarambanga sangat cocok mereka jadikan sebagai patokan berpijak dalam membentuk sebuah kelompok. Pembentukan kelompok untuk melakukan aktivitas melaut ini didasarkan pada prinsip rarambanga yang dijabarkan dalam tiga poin penting. Tiga poin Rarambanga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal, yakni sippatappa (saling percaya), sikaada (saling menerima keadaan), dan situlutulu (bahu membahu). Maksudnya, sippatappa adalah sesama anggota kelompok
harus saling
mempercayai, tidak saling membohongi, tidak saling mencurigai. Sikaada yakni harus saling memahami dan menerima keadaan bahwa memiliki perbedaan fisik, memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga harus mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Situlutulu maksudnya harus bahu-membahu, tolong-menolong karena senasib sepenanggungan yakni
mengadu nasib di laut yang penuh dengan tantangan dan resiko, serta nelayan etnik Mandar telah menjadi satu kesatuan yang lebih dekat lagi yakni rarambanga. Kelompok kerja sama yang terbangun dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko tidah hanya berlaku bagi kaum laki-laki atau suami tetapi berlaku untuk kaum perempuan atau istri. Hal ini terbukti dengan banyaknya perempuan dari kalangan ibu-ibu dan remaja yang ikut membantu dalam menyukseskan pelaksanaan ritual mappandesasi dari berbagai etnik. Tidak terbatas sampai di situ aktivitas ibu-ibu yang suaminya terlibat dalam rarambanga untuk melaut. Artinya bahwa, para suami yang melakukan kerja sama itu, istri-istri mengorganisir diri sebagai kelompok rarambanga untuk membantu kelancaran dan meringankan pekerjaan suami. Para istri bekerja sama dalam hal menjemur ikan hasil tangkapan, memasang atau mengikat bibit rumput laut tali nilon dan lain-lain. Keterlibatan etnik Mandar dalam rarambanga, selain sebagai pencerminan diri sebagai makhluk sosial, mencerminkan adanya suatu struktur sosial sebagai jaringan kerja sama antarindividu yang terorganisasi secara teratur. Dalam kehidupan etnik Mandar, hubungan sosial yang dilakukan individu merupakan upaya untuk senantiasa mempertahankan keberadaannya. Setiap individu memiliki keterbatasan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial. Keterbatasan kemampuan ini pula yang mendorong etnik Mandar untuk saling berhubungan dengan sesamanya sehingga terbentuklah suatu jaringan sosial. Jaringan sosial merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus yang terbentuk di antara sekelompok orang, yakni sedikitnya tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada. Pengelompokan tersebut dibentuk guna memungkinkan bagi anggota-anggotanya dalam memenuhi kebutuhan individual dan kelompoknya (Suparlan, 1982:35). Rarambanga merupakan salah satu pengelompokan sosial
dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko yang dibentuk sebagai jaringan kerja sama untuk saling membantu meringankan beban hidup di antara masyarakat termasuk dari etnik Mandar. Dalam jaringan kerja sama tersebut etnik Mandar sadar bahwa suatu anggota kelompok sosial dengan batas-batas yang jelas. Kesadaran etnik Mandar tentang kehidupan kolektif, telah mengubah kelakuan individu menjadi kelakuan sosial, sehingga tercipta proses interaksi yang teratur antarindividu dalam kehidupan kolektif tersebut. Kesadaran ini malahirkan kesalahan sosial, yang di antaranya dapat terlihat dari komitmen moral yang tertuang dalam prinsip kerja rarambanga. Pola tingkah laku seperti ini bukan hanya semata-mata sebagai upaya mengejar kebutuhan individu, tetapi lebih pada upaya melanggengkan keberadaan kelompok, sebagai konsekuensi dari persetujuan-persetujuan kontraktual di antara masyarakat dalam membangun jalinan kerjasama. Realitas ini sejalan dengan pemikiran Karl Marx (dalam Magnis Suseno,1993:99) bahwa pekerjaan tidak mengandung makna ekonomis semata, tetapi pekerjaan adalah jembatan antar manusia untuk memenuhi sifat sosial dan medan objektivasi diri. Artinya, melalui rarambanga, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko termasuk etnik Mandar bisa saling mengetahui keadaan hati serta perasaan secara lebih akrab dan lebih dekat, sehingga setiap orang melakukan peran-peran nyata untuk anggota dan kelompoknya. Dalam konteks ini peran-peran individu lebih bernuansa psikologis. Nuansa sosialnya tampak jelas bahwa dalam rarambanga terdapat pamataha (ketua kelompok) dan anggota yang saling berinteraksi. Dengan adanya rarambanga sebagai lembaga yang sah dalam masyarakat kelurahan Bungkutoko, semakin mudah merencanakan dan melaksanakan program-program kerja dalam masyarakat. Melalui rarambanga tersebut membangun kesadaran melalui rencana-rencana pengolahan hasil laut untuk pengembangan ekonomi. Memalui wadah ini etnik Mandar saling memberikan pemahaman dengan etnik dari luar Mandar untuk mengelola sumber daya alam
dengan bijak dan berkelanjutan untuk menigkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Selain itu, rarambanga ini menjadi wadah pengumpulan dan penyaluran bantuan modal usaha, bahkan bisa menampung dan memasarkan hasil-hasil produksi masyarakat Kelurahan Bungkutoko. Dengan demikian rarambanga tersebut memiliki kemampuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kelurahan Bungkutoko termasuk nelayan etnik Mandar, serta membawa dampak positif terhadap kegairahan dan perkembangan sendi-sendi perekonomian masyarakat pesisir secara makro. Jika dicermati lebih jauh rarambanga-rarambanga yang telah terbentuk dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko dapat saja ditransformasi menjadi lembaga formal yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian masyarakat di Kelurahan Bungkutoko, khususnya yang berprofesi sebagai nelayan. Pada gilirannya rarambanga dapat menjadi lembaga ekonomi berupa koperasi atau bank desa yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat Bungkutoko yang dapat berfungsi sebagai wadah penyaluran bantuan modal usaha untuk anggota, pemasaran hasil produksi menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh anggota. Hanya saja ini belum dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang terkait yang fokus dengan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. 4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Berdasarkan pengakuan dan keterangan yang terhimpun selama penelitian di lapangan dapat dikatakan bahwa etnik Mandar yang mendiami sebagian kelurahan Bungkutoko pada awalnya satu kapal atau perahu. Menurut pengakuan salah seorang etnik Mandar yang sesepuhnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko bahwa, etnik Mandar pertama kali tiba di kota Kendari pada tahun 1996. Waktu itu nelayan etnik Mandar belum ada keinginan untuk tinggal menetap, tetapi baru sekedar berlayar menangkap ikan. Karena melihat potensi hasil laut dalam hal ini ikan, sangat memadai sehingga masyarakat berniat untuk tinggal menetap.
Pada awalnya etnik Mandar hanyalah sekelompok nelayan tradisional yang berjumlah 12 orang dalam satu kapal. Kapal itu bernama hotel indah dan merupakan kapal jenis ba’go, yakni kapal nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jala atau biasa disebut nelayan majalla dengan pimpinan atau juragan kapal waktu itu bernama Husen. Meskipun nelayan etnik Mandar tinggal menetap, tetapi bukan di darat, melainkan di atas kapal karena belum memiliki lahan. Sifat penetapan masih sementara, karena setiap satu kali dalam satu minggu pulang ke Mandar dengan menggunakan kapal nelayan etnik Mandar.
Mereka bukan menetap di Kelurahan
Bungkutoko tetapi di laut Petoaha. Nelayan etnik Mandar tinggal dan menetap di darat nanti pada tahun 2001, yakni di Kelurahan Bungkutoko. Mereka masih berjumlah 12 orang, dan semuanya sudah berkeluarga. Pada tahun 2001 itu, nelayan etnik Mandar belum datang bersama keluarga. Setelah nelayan etnik Mandar yang berjumlah 12 orang itu memilki rumah sendiri, nelayan etnik Mandar pulang ke Mandar dan datang kembali bersama keluarga (istri dan anak-anaknya yang belum bersekolah). Pertama kali etnik Mandar menetap tinggal bersama keluarga di Kelurahan Bungkutoko pada akhir tahun 2001 dan 12 keluarga ini tinggal dalam satu rumah panjang yang menyerupai rumah gadang. Selama enam bulan tinggal di darat bersama keluarga, mulailah berdatangan para nelayan etnik Mandar yang lain. Untuk sementara waktu para nelayan yang baru datang itu tinggal di rumah panjang. Seiring berjalannya waktu terjadilah perkawinan silang antara nelayan etnik Mandar dengan penduduk lokal, dalam hal ini etnik Tolaki. Mulai saat itu dan sampai sekarang, keluarga Bungkutoko sebagian besar dihuni oleh nelayan etnik Mandar (menjadi penduduk terbesar di Kelurahan Bungkutoko).
4.8 Ritual Mappandesasi Ritual mappandesasi adalah salah satu ritual tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yakni memberi makan laut dengan cara memberi sesajen kepada laut. Pelaksanaan ritual mappandesasi dipimpin oleh seorang dukun (sandro) yang memang didatangkan dari tanah Mandar. Ritual mappandesasi bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi yang biasa disebut setassasi, agar nanti dalam melaksanakan aktivitas melaut para nelayan senantiasa diberikan keselamatan dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Dukun (sandro) yang menjadi pemimpin upacara adalah masyarakat biasa yang hidup bermasyarakat seperti para nelayan. Biasanya pekerjaan sandro dalam masyarakat adalah bertani atau juga bisa sebagai nelayan. Akan tetapi, orang menjadi sandro harus melalui kesepakatan para tokoh adat dan tokoh masyarakat. Seseorang apabila dinobatkan menjadi sandro harus memiliki bebrapa criteria, seperti harus beribadah kepada Allah SWT, berprilaku sopan terhadap sesama, baik dan rendah hati, serta memiliki kelebihan dalam hal menyembuhkan atau mengobati orang sakit. Tidak hanya itu, yang menjadi sandro atau pemimpin dalam pelaksanaan ritual mappandesasi adalah benar-benar orang yang memiliki kelebihan dalam hal menghadirkan rohroh para leluhur dan bisa berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh tersebut. Termasuk juga sandro tersebut bisa berkomunikasi dengan setassasi melalui kemampuan ilmu spritual yang dia miliki. Sandro yang menjadi pemimpin dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah sandro yang selalu didatangkan dari Mandar Sulawesi Barat. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan ilmu spritual yang dimilki oleh sandro di Kelurahan Bungkutoko belum bisa mengantarkan mereka untuk berkomunikasi dengan roh para leluhur dan setassasi.
Agar keinginan para nelayan itu yakni keselamatan dan hasil tangkapan yang banyak maka dalam upacara itu diadakan pemotongan hewan sebagai korban. Setelah dipotong hewan korban tersebut dibuang ke laut. Apabila hewan tersebut tenggelam maka itu pertanda bahwa hewan yang menjadi sesembahan diterima oleh setassasi. Dengan demikian, maka para nelayan tidak akan mendapatkan kesialan lagi dalam melaut karena menurut nelayan etnik Mandar kesialan itu sudah tenggelam bersama hewan korban yang dibuang ke laut oleh sandro. Hewan yang menjadi bahan sesajen dalam ritual mappandesasi tersebut terdiri atas kambing (beke) dan ayam (manu). Kedua jenis hewan tersebut disembelih oleh dukun (sandro). Sebelum disembelih hewan tersebut terlebih dahulu dimandikan oleh sandro dengan air bersih dan air tersebut sudah dibacakan mantra oleh sandro. Hewan tersebut disirami air dari kepala sampai ujung kaki dan hal tersebut (memandikan hewan) diulangi sampai tiga kali, semua itu dilakukan oleh sandro. Ayam yang dijadikan kurban dalam ritual ini adalah ayam yang keseluruhan bulunya berwarna putih, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai buluh hitam. Bisa sebaliknya, ayam yang keseluruhan bulunya berwarna hitam, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai buluh berwarna putih atau disebut sebagai bulu sirua. Ayam yang dijadikan sebagai hewan korban dalam ritual mappandesasi haruslah ayam jantan, sedangkan kambing yang dijadikan sebagai hewan kurban, yaitu kambing jantan yang masih muda. Menurut salah seoerang tokoh adat etnik Mandar terkait dengan mengapa ayam dan kambing yang dikorbankan harus samasama jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hari pelaksanaan ritual mappandesasi ini harus ditentukan oleh sandro. Biasanya pelaksanaan ritual ini selalu jatuh pada hari Kamis sampai malam Jum’at, yang menurut sandro hari itu adalah hari yang baik dalam perputaran hari. Untuk mentukan bulan berapa dan tanggal berapa serta hari apa pelaksanaan ritual mappandesasi ini, biasanya sandro menggunakan penghitungan atau perputaran waktu pada hitungan 10 atau lebih bulan di langit. Pelaksanaan
ritual mappandesasi jatuh pada hari Kamis dan puncak ritual dilakukan pada malam Jum’at yang disebut pangudunna allo atau malam istimewa.
BAB V BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran pada apa yang ia sebut dengan simbol-simbol (Turner, 1974:19). Hal ini mirip dengan apa yang ditunjukkan oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari tentang tradisi ritual mappandesasi. Mereka (nelayan etnik Mandar) melakukan ritual mappandesasi sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menerus dan turun-temurun dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di dalamnya. Bentuk penghormatan terhadap penjaga sasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari ini dilakukan sekali dalam dua tahun. Masyarakat merasa ada yang kurang atau belum sempurna dalam melaut jika tidak atau belum melakukan ritual mappandesasi. Anggapan ini setidaknya menjadi cara kelompok masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko melegitimasi keberadaan ritual mappandesasi sebagai struktur ideologis yang mampu menggerakkan keseluruhan aktivitas dalam tataran niat, spirit hidup, hingga ketundukan-ketundukan tiap-tiap individu pelaku atas dimensi super struktur masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko atau apa yang disebut oleh Berger (dalam Abdullah, 2008:136) dengan istilah super-structure of society. Masyarakat nelayan etnik Mandar memitoskan atau mempersonifikasikan penjaga sasi atau disebut setassasi sebagai makhluk yang selalu memberikan perlindungan, keselamatan, dan mempermudah rezeki bagi mereka dalam melaut. Akan tetapi, setassasi murka kepada nelayan, ketika ada musibah di laut seperti kapal nelayan tenggelam atau para nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan maka itu dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai bentuk murka dari setassasi. Menurut pemahaman masyarakat nelayan etnik Mandar di lokasi penelitian ini,
hal itu terjadi karena para nelayan belum memberi makan atau belum melakukan ritual mappandesasi pada saat melaut. Ritual mappandesasi mulai dilakukan oleh nelayan etnik Mandar saat adanya pengakuan para nelayan etnik Mandar terhadap eksistensi setassasi yang selalu memberikan perlindungan, keselamatan, dan rezeki serta setassasi juga bisa memberikan musibah di laut pada saat melaut. Bentuk ritual memberi makan laut (mappandesasi) ini dilakukan satu kali setahun atau dua tahun sekali, dan dilakukan pada saat mereka (nelayan etnik Mandar) mau turun melaut. Menariknya, keberadaan ritual mappandesasi melahirkan berbagai tafsir mistis, bahkan mereka meyakini adanya kaitan sebuah kelangsungan hidup, khususnya perkembangan kehidupan perekonomian para nelayan. Meskipun ritual mappandesasi begitu sangat penting dalam kehidupan nelayan etnik Mandar, akan tetapi sekarang eksistensi ritual ini dalam masyarakat telah mengalami keterancaman. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat, khusunya dalam ilmu agama. Komunitas atau masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu agama, menganggap perilaku masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dalam melakukan ritual mappandesasi merupakan perilaku yang mengarah pada kemusyrikan dan sama sekali merusak aqidah dan menggoyahkan pemahaman ajaran Islam yang benar. Pelaksanaan ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari dewasa ini sudah mengalami pergeseran dan pengurangan atau mengalami keterancaman. Hal itu dapat dilihat dalam rangkaian pelaksanaan ritual mappandesasi yang ternyata telah mengalami beberapa pengurangan, baik dari segi jumlah peserta maupun sarana ritual, bila dibandingkan dengan ritual yang dilakukan pada masa lalu. Mencermati penurunan entitas ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sejalan dengan konsep Sairin (2001:50), bahwa dimensi kehidupan yang dibawah oleh sistem informasi dan teknologi telah membawa berbagai implikasi dalam kehidupan masyarakat, terutama komunitas masyarakat yang masih berkembang. Melalui teknologi canggih gagasan-gagasan baru dari seluruh pelosok dunia, terutama yang berasal dari masyarakat atau negara maju datang menyerbu masyarakat dunia. Secara berangsur-angsur gagasan itu berhasil mengubah pola gagasan budaya masyarakat yang tersentuh serbuan tersebut. Kenyataan seperti di atas, tampak dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena imbas dari teknologi mutakhir sejak era globalisasi melanda dunia. Fenomena ini tampak pula dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Adapun bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dijelaskan di bawah ini.
5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi Terdapat beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian setiap orang bila hendak mengikuti ritual mappandesasi. Orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi perlu mempersiapkan diri (sehat jasmani dan rohani). Selain kesehatan jasmani dan rohani, orangorang yang hendak melakukan ritual mappandesasi harus menyiapkan benda-benda sebagai prasarat sahnya ritual. Syarat sahnya ritual ini terdiri atas bebrapa jenis, mulai dari binatang sebagai sesembahan, dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Upacara atau ritual mappandesasi merupakan salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar di mana pun berada, termasuk di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Ritual ini (mappandesasi) diwariskan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke generasi, dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai ritual
untuk menolak bala atau menghindari malapetaka selama melakukan aktivitas melaut. Selain itu, ritual mappandesasi diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai ritual yang dapat mempermudah datangnya rezeki. Artinya, bahwa dengan melakukan ritual mappandesasi maka orang yang melaut akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas beberapa
tahapan, yakni mengumpulkan
sumbangan, memotong hewan kurban, pelaksanaan ritual mappandesasi, meletakkan sesaji, acara makan bersama. 5.1.1
Mengecilnya Jumlah Sumbangan Pertama kali yang dilakukan oleh warga etnik Mandar dalam mempersiapkan
pelaksanaan ritual mappandesasi adalah mengumpulkan sumbangan. Sumbangan ini biasanya dalam bentuk uang, tetapi ada juga dalam bentuk barang. Sumbangan dalam bentuk barang seperti kambing, (beke), ayam (mannu) atau bahan perlengkapan ritual lainnya seperti beras. Pengumpulan sumbangan tidak melalui rumah ke rumah, tetapi melalui kapal, artinya semua kapal yang pemiliknya dari etnik Mandar dan digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan dimintai uang demi lancarnya pelaksanaan ritual mappandesasi. Artinya, setiap kapal milik nelayan etnik Mandar dikenakan iuran untuk biaya pelaksanaan ritual mappandesasi, dan biasanya satu kapal dimintai uang sejumlah Rp 400.000,00. Semua kebutuhan dalam ritual mappandesasi mulai dari pengadaan binatang yang akan dijadikan sebagai binatang kurban sampai dengan sesembahan diadakan. Pembelian kambing (beke) dan ayam (mannu) selalu terpenuhi oleh uang sumbangan dari para peserta ritual. Akan tetapi, dalam kondisi yang modern seperti ini, tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin berat membuat salah satu tahapan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi hilang tergilas roda modernisasi yang cenderung membuat manusia untuk mendahulukan sifat
individual. Tahapan dalam proses pelaksanaan ritual mappandesasi yang hilang adalah kebiasaan masyarakat dalam mengumpulkan sumbangan. Pergeseran ini membuat proses pelaksanaan ritual mappandesasi khususnya dalam mengumpulkan sumbangan sudah berkurang. Dalam era modern seperti sekarang tidak lagi semeriah dulu. Pelaksanaan ritual mappandesasi, sekarang dilakukan secara individu-individu atau perseorangan. Hal ini terjadi karena masyarakat nelayan etnik Mandar banyak yang beralih mata pencaharian. Dulunya mata pencaharian masyarakat etnik Mandar hanyalah melaut atau sebagai nelayan, sehingga pelaksanakan ritual mappandesasi sangat meriah. Nelayan etnik Mandar banyak yang beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja yang tidak berhubungan lagi dengan laut. Dari nelayan mejadi tukang ojek, buruh bangunan, serta semakin banyaknya etnik Mandar yang berprofesi sebagai sopir angkot (angkutan kota). Kondisi ini diakibatkan oleh faktor kebutuhan ekonomi (uang). Apabila mereka sebagai nelayan maka hasil yang didapatkan hari ini nanti beberapa minggu atau satu bulan baru dapat. Kalau menjadi tukang ojek dan sopir angkot setiap hari mendapatkan uang, menjadi buruh bangunan setiap tiga hari sudah menerima hasilnya. Kondisi inilah yang memotivasi para nelayan etnik Mandar untuk beralih mata pencaharian. Hal ini senada dengan ungkapan informan Andi 34 tahun yang mengatakan sebagai berikut. “Pada awalnya pelaksanaan ritual mappandesasi ini kami mengumpulkan sumbangan dari bebrapa kapal milik etnik Mandar untuk biaya pelaksanaan ritual. Bagi yang tidak membayar uang mereka menggantinya dengan barang kebutuhan ritual. Tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat sudah banyak yang berpindah mata pencaharia, melakukan aktivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Mereka beranggapan bahwa menjadi nelayan lama baru didapat hasilnya (uang), sementara melakukan aktivitas di darat seperti tukang ojek, sopir angkot, atau menjadi buruh bangunan, hasilnya kita dapat tiap hari. Memang pada zaman seperti sekarang uang adalah segalanya, orang mau kehilangan identitas budaya demi uang” (Wwancara, 9 februari 2011).
Penuturan di atas menggambarkan bahwa dalam dunia modern seperti sekarang, kebutuhan ekonomi semakin mendesak. Desakan kebutuhan ekonomi inilah yang membuat masyarakat nelayan etnik Mandar kebanyakan berpindah mata pencaharian. Selain itu, ungkapan di atas juga menunjukkan bahwa karena uang masyarakat nelayan etnik Mandar rela meninggalkan tradisi ritual mappandesasi. Demi mendapatkan uang tiap hari nelayan etnik Mandar harus terserabut dari akar budaya dan mengalami pergeseran identitas budaya karena tidak lagi melakukan ritual mappandesasi yang semua itu diakibatkan oleh globalisasi. Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Storey (2007:54). di mengatakan bahwa globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengakibatkan atau mangancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan. Meminjam istilah Kleden (2000:138) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat seperti dalam penuturan informan di atas sebagai masyarakat yang mengalami perubahan mencakup hampir semua kebudayaan kendatipun di tataran sistem budaya yang abstrak dan yang mendasar dalam kehidupan dan demi kebutuhan kepribadian manusia secara kolektif. Dengan demikian, secara umum sama dengan pendapat Mbete dkk., (2006:191) bahwa perubahan dalam dimensi atau sosok nonmaterial meliputi perubahan pola pikir, cara hidup, sikap dasar, orientasi dan pola perilaku.
5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi Awalnya syarat sah ritual ini terdiri atas sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu). Ketiga jenis binatang ini merupakan prasyarat utama dalam ritual mappandesasi karena ketiga jenis binatang ini nanti dijadikan sebagai binatang sesembahan. Apabila dalam melakukan ritual ini
dan tidak dilengkapi dengan binatang sebagai sesembahan, maka ritual ini dianggap tidak sah dan dalam pelaksanaanya terjadi hambatan seperti ada diantara peserta ritual yang jatuh atau kapalnya terbalik ke laut maka nelayan tersebut meninggal. Masyarakat nelayan etnik Mandar yang dulunya melakukan ritual mappandesasi selalu menggunakan binatang sebagai sesembahannya, seperti sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu). Tiga jenis binatang ini merupakan harga mati dalam ritual mappandesasi. Artinya, bahwa tiga jenis binatang sesembahan ini merupakan syarat sahnya ritual mappandesasi. Bahanbahan yang lain itu hanyalah pelengkap dan bisa digantikan dengan jenis atau bahan-bahan lain. Apabila dalam ritual mappandesasi, binatang sesembahan tidak lengkap atau dari tiga jenis itu ada yang kurang salah satu seperti tidak ada ayam (mannu) atau tidak ada kambing (beke) maka sudah bisa dipastikan ritual mappandesasi tidak bisa dilaksanakan. Sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) yang digunakan dalam ritual mappandesasi harus berjenis kelamin jantan. Ayam jantan yang digunakan harus ayam jantan yang berwana hitam dan sedikit memiliki bulu putih di bagian ketiaknya atau etnik Mandar menyebutnya buluh sirua. Hal ini diungkapkan oleh informan Beddu 65 tahun di bawah ini. “Bahan-bahan yang harus disiapkan terlebih dahulu dalam ritual mappandesasi adalah binatang sesembahan yang terdiri atas sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Semua jenis binatang itu harus berjenis kelamin jantan, dan mannu yang digunakan dalam ritual mappandesasi adalah mannu yang kami sebut mannu bulu sirua, yakni ayam yang semuanya berbulu hitam tetapi ada beberapa lembar bulu putih yang ada di bawah ketiaknya, atau sebaliknya, mannu yang semua berbulu putih tetapi ada beberapa lembar bulu hitam di bawah ketiaknya. Selain binatang sesembahan itu yang harus kami penuhi dalam ritual mappandesasi ini juga kami selalu melakukannya karena menurut kami nelayan etnik Mandar, dengan kami melakukan ritual mappandesasi kami merasakan ada kepuasan dan kenyamanan tersendiri dalam melaut oleh karena itu kami selalu mengulanginya sampai saat ini” (Wawancara, 4 Februari 2011).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa, betapa penting dan sangat berharganya binatang sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua dalam ritual mappandesasi sebagai binatang sesembahan sehingga harus diprioritaskan untuk diadakan. Apabila dari tiga jenis binatang sesembahan ini, sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua tidak ada, maka ritual mappandesasi pun secara otomatis harus ditunda pelaksanaanya, menunggu sampai binatang sesembahan tersebut lengkap. Selain itu, ritual mappandesasi ini sudah dianggap sebagai pandangan hidup (world view) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar, sehingga mereka selalu melakukannya dari generasi ke generasi dan membudaya. Meminjam istilah atau konsep Manuel Casstel (2001:39), komunitas seperti ini bisa disebut sebagai komunitas budaya, yakni komunitas yang dibentuk dan dikonstruksi oleh budaya. Komunitas yang diorganisir melalui sejumlah tata nilai serta makna dengan sharing-nya ditandai oleh beberapa kode identifikasi diri, seperti komunitas kaum beriman, ikon-ikon nasionalisme dan lokalitas. Komunitas budaya yang saya asumsikan sebagai bagian dari identitas diri bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dalam sikap keberagaman yang didasari oleh sebuah pandangan kosmologi atau keyakinan tertentu adalah mappandesasi. Meskipun ritual mappandesasi sudah menjadi bangunan world view bagi masyarakat nelayan etnik Mandar, akan tetapi dengan kemajuan globalisasi dewasa ini, ritual mappandesasi mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Penurunan itu dapat kita lihat dalam jenis binatang sesembahan misalnya, pada mulanya melaksanakan ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko dan sampai pada beberapa generasi menggunakan sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua sebagai binatang sesembahannya. Namun, sekarang binatang sesembahan itu sudah digampangkan yakni cukup dengan menggunakan kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua. Hal ini, diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi yang
semakin hari semakin berat. Senada dengan penuturan informan Rustam 45 tahun yang dikutip di bawah ini. “Pelaksanaan ritual mappandesasi tidak seperti dulu lagi, khususnya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sekarang binatang sesembahannya yang utama cukup beke dan mannu jantan bulu sirua. Hal ini diakibatkan selain pengaruh ekonomi, juga dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan generasi muda khususnya tentang agama Islam yang menganggap sapi itu bukanlah binatang kurban utama dalam Islam” (wawancara 9 Februari 2011). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran dalam tata cara pelaksanaan ritual mappandesasi, khusunya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sudah terjadi pengurangan atau penggampangan dalam jenis binatang sesembahan. Hal ini diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi, dan pengaruh pengetahuan generasi muda khususnya dalam hal agama, sangat berpengaruh dalam perubahan sebagian tata cara dan pelaksanaan ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Dengan demikian, di bagain tertentu ritual mappandesasi ini telah terjadi proses elaborasi dengan nilainilai dalam ajaran Islam. Uangkapan di atas sejalan dengan pandangan Soedjono Tirtokoesoemo dalam Abdullah, (2002:12) yang mengatakan bahwa ritual juga bisa diubah dan disesuaikan dengan tadisi Islam. Selain itu, ungkapan di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa betapa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat istiadat masyarakat setempat Pelras, (2006:4). Sebagian tahapan proses pelaksanaan dalam ritual mappandesasi sudah digerogoti dengan nilai-nilai ajaran agama Islam, sehingga ritual mappandesasi sudah menjadi sebagai salah satu ritual yang sudah berelaborasi dengan ritual-ritual dalam Islam. Makna dari ritual mappandesasi adalah tanda atau pesan keselamatan hidup, mempermudah datangnya rezeki serta doa panjang umur bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
5.1.3 Memotong Hewan Kurban Mengingat puncak pelaksanaan ritual mappandesasi yang selalu dilaksanakan pada malam hari yakni malam Jum’at, maka pemotongan hewan kurban untuk sesembahan dalam ritual mappandesasi dilakukan pada hari Kamis, yaitu pada sore hari. Pemotongan hewan kurban selalu didahului oleh pemotongan sapi, setelah itu menyusul pemotongan kambing (beke), dan yang terakhir pemotongan ayam (mannu). Semua hewan sesembahan ini dipotong oleh seorang sandro yang sudah ditugasi oleh pemimpin sandro. Semua jenis binatang yang menjadi sesembahan dalam ritual mappandesasi haruslah jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut yang selalu dilakukan oleh kaum laki-laki. Sandro dalam melaksanakan ritual mappandesasi terdiri atas lima orang dan setiap sandro sudah memiliki tugas masing-masing. Sebelum disembelih, semua binatang sesembahan ini terlebih dahulu dimandikan dengan air dari kepala sampai kaki setelah itu dibacakan doa-doa dan kemudian diikuti dengan niat, keselamatan dan supaya nanti binatang sesembahan itu halal untuk dimakan dan dapat diterima oleh penjaga sasi. Setiap jenis binatang sesembahan disembelih dengan niat atau doa pemotongan (sembelih) yang berbeda-beda.
Gambar 5.1 Pemotongan Kambing (Beke) (Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar di atas tampak peserta ritual yang baru selesai memotong beke dan siap-siap untuk menguliti beke tersebut untuk sesembahan dalam ritual mappandesasi. Beke tersebut disembelih oleh salah seorang sandro yang memang sudah ditugasi oleh pimpinan sandro untuk memotongnya. Sandro memotongnya dengan menggunakan doa sebagai berikut: “Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui eppa ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 4x bacaan ” Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih beke, akan tetapi diniatkan dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong beke ini atas kehendak-Mu dan tidak ada kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan beretemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan dipertemukan kembali pada suatu saat (di akhirat). Semoga beke ini diterima dengan baik oleh penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong beke tersebut. Dalam mantra untuk memotong beke di atas, jelas sekali kolaborasi antara ajaran Islam dalam ritual mappandesasi ini. Percampuran antara ayat suci Alqur’an dengan mantra tradisional etnik Mandar. Fenomena di atas sejalan dengan Pelras (2006:4) yang mengatakan bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya masyarakat setempat. Setelah menyembelih beke, sandro melanjutkan tugasnya dengan menyembelih mannu. Dalam menyembelih mannu, sandro memandikan sama seperti beke, setelah itu membacakan mantra dan niat, dengan menggunakan mantra dan niat yang hampir sama. Bedanya hanyalah dalam hal takbirnya, ayam takbirnya sebanyak dua kali, sedangkan kambing ditakbirkan sebanyak empat kali. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan jumlah kaki antara ayam dengan kambing.
Gambar 5.2 Pemotongan Ayam (Mannu) (Dok, Alkausar : 2010) Dalam gambar di atas tampak sandro sedang menyembelih mannu dan dibantu oleh beberapa orang dari peserta ritual mappandesasi. Tampak seorang peserta yang bertugas memegang ayam agar tidak bergerak-gerak pada saat disembelih oleh sandro dan ada satu lagi dari peserta yang bertugas menadah darah mannu dalam satu tempat. Darah itu nantinya digunakan sebagai campuran beberapa tumbuh-tumbuhan perlengkapan dalam ritual untuk dioleskan di bodi kapal atau perahu yang digunakan melaut. Sandro menyembelih mannu dengan menggunakan doa sebagai berikut: “Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui rua ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 2x bacaan ” Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih mannu, tetapi diniatkan dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong mannu ini atas kehendakMu dan tidak ada kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan bertemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan
dipertemukan kembali pada satu saat (di akhirat). Semoga mannu ini diterima dengan baik oleh penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong mannu tersebut. Mantra untuk memotong mannu di atas, jelas sekali memiliki penggalan-penggalan kata dari mantra tersebut merupakan atau diambil dari ayat-ayat suci Alqur’an yang sudah terjadi percampuran atau kolaborasi dengan kebiasaan etnik Mandar, sehingga terdapat beberapa kalimat yang berasal dari bahasa Mandar. Percampuran ini semakin memperjelas apa yang dikatakan oleh Pelras (2006:4) bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya masyarakat setempat. Semua doa-doa dalam ritual mappandesasi ini diturunkan oleh generasi tua secara lisan ke generasi muda dan terjadi secara turun-temurun. Doa-doa tersebut selalu diturunkan atau diwariskan murni secara lisan. Kebiasanaan ini sudah terjadi selama beberapa generasi, hanya saja generasi muda yang sekarang sudah tidak mau mempelajari kebiasaan ini karena dianggap tidak bermanfaat buat mereka. Generasi muda lebih memilih belajar budaya pop seperti musik karena musik bisa membuat mereka (generasi muda) menjadi populer dan terkenal. Bagi generasi muda yang memiliki pemahaman terhadap ajaran agama, khususnya agama Islam, mereka juga tidak mau mempelajarinya karena menganggap doa-doa dan perilaku dalam ritual mappandesasi sebagai sebuah perilaku yang mengarah pada kemusyrikan. Kondisi ini diperkuat lagi oleh pemahaman generasi muda dengan melihat mantra-mantra yang digunakan dalam memotong binatang sesembahan yang telah mencampurkan ayat-ayat suci Alqur’an dengan bahasa yang tidak jelas berasal dari mana. Darah beke dan darah mannu yang dipotong oleh sandro tidak dibuang ke tanah tetapi ditadah dalam satu tempat, karena darahnya juga berfungsi sebagai salah satu peralatan ritual, yakni dicampur dengan beberapa bahan lainnya lalu dilumuri atau dioleskan di perahu yang nelayan gunakan pada saat melaut. Salah satu jenis campuran darah dari beke dan mannu adalah
rumput ‘pennu-pennu’ (panno-panno). Menurut masyarakat nelayan etnik Mandar penggunaan rumput pennu-pennu atau panno-panno, ini memilki mitos yang terkait dengan hasil tanggkapan para nelayan. Panno-panno menurut para nelayan sama artinya dengan penuh-penuh. Artinya, dengan menggunakan jenis rumput ini diharapkan nanti hasil tanggakapannya akan seperti nama rumput itu, yakni pennu-pennu. Nanti diharapkan perahu atau kapal yang digunakan untuk menangkap ikan nanti akan penuh dengan hasil tangkapan seperti yang diungkapkan oleh Rustam 45 tahun salah seorang nelayan. Di bawah ini. “Darah beke dan mannu itu kami tidak buang tapi kami tadah di ember atau loyang karena kami gunakan sebagai salah satu peralatan ritual. Darah beke dan mannu kami campur dengan rumput panno-panno yang sudah kami tumbuk halus lalu kami oleskan pada keseluruhan bodi kapal atau perahu. Dengan seperti ini kami berharap supaya hasil tangkapan kami bisa banyak sampai kapal kami penuh seperti namanya rumput panno-panno. Menurut salah seorang tetua adat kami, semua peralatan dalam ritual mappandesasi ini merupakan simbol-simbol yang memiliki makna-makna sendiri-sendiri. Hanya saja kami belum mengetahi secara pasti semua jenis sarana itu menyimbolkan apa dan maknanya apa. Akan tetapi katanya semua itu memiliki nilai-nilai tersendiri” (Wawamcara, 9 Februari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa semua peralatan yang menjadi syarat sahnya ritual mappandesasi merupakan simbol-simbol yang memiliki makna dan nilai-nilai sendirisendiri yang terkait dengan aktivitas melaut. Darah beke dan darah mannu yang dioleskan di bodi kapal memiliki makna supaya kapal atau perahu yang digunakan nelayan dalam menangkap ikan selalu cerah. Adapun rumput panno-panno memiliki makna yang terkait dengan hasil tangkapan. Dengan mencat atau mengoleskan hasil tumbukan rumput pennu-pennu atau panno-panno bermakna agar nanti mendapat hasil tangkapan yang banyak, perahunya penuh. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis bendabenda yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk benda, seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan memiliki makna tersendiri yang tidak jauh dari pemaknaan secara kontekstual. Betapapun situasi dan kondisi masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko, ketika ingin atau tiba waktunya untuk melaksanakan ritual mappandesasi harus menyiapkan makanan dengan segala kelengkapannya dan menyempurnakan segala rangkaian prosesi jalannya ritual. Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa sebelum sampai pada puncak pelaksanaan ritual, terlebih dahulu masyarakat nelayan etnik Mandar menyiapkan beberapa sarana dan perlengkapan ritual seperti yang disebutkan dalam pembahasan terdahulu dalam tulisan ini. Setelah semua perlengkapan upacara terpenuhi, maka tahapan selanjutnya adalah puncak pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada hakikatnya puncak pelaksanaan ritual ini terdapat di dua tempat, yakni di rumah dan di tempat yang dianggap keramat seperti di pelabuhan. Ritual mappandesasi dilaksanakan dalam rumah yang sudah ditunjuk oleh sandro sebagai tempat pelaksanaan ritual dan dilaksanakan pada waktu malam hari, yakni pada malam Jum’at. Proses yang mengawali aktivitas dalam pelaksanaan puncak ritual ini adalah menyediakan hidangan makanan dan peralatan ritual lain seperti dupa. Menu makanan yang disajikan untuk peralatan ritual mappandesasi berdasarkan jenis makanan yang selama ini dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat nelayan etnik Mandar. Salah satu sumber (sandro) mengatakan bahwa “makanan yang selama ini dimasak untuk hidangan pada saat prosesi puncak ritual harus semua merupakan makanan kesukaan penjaga sasi, karena itu, setiap masakan harus disesuaikan dengan selera penjaga sasi”. Setelah semua makanan itu jadi (selesai dimasak), kemudian diletakkan di atas piring dan disatukan dalam baki besar. Makanan yang telah disiapkan kemudian disajikan untuk dimantrai oleh sandro dan disaksikan oleh semua masyarakat atau tokoh-tokoh yang menjadi perwakilan dari mereka yang melakukan ritual. Proses pelaksanaan ritualnya diawali dengan pembacaan doa-doa keselamatan dan kesyukuran kepada yang melakukan hajatan dengan menggunakan ayat-ayat suci yang dipadukan dengan mantra-mantra berbahasa daerah Mandar. Pengucapan
doa-doa tersebut dibarengi dengan ritual mengangkat dupa yang berasap sambil menggerakgerakkan mengelilingi kanan dan kiri makanan yang disajikan dalam ritual. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali putaran. Proses pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini dilakukan dalam rumah tempat melakukan ritual, setelah di dalam rumah dikuti dengan peletakan sesaji di tempat keramat atau tempat yang menurut masyarakat dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan .
Gambar 5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual (Dok, Alkausar : 2010) Dalam gambar 5.3 di atas, tampak seorang sandro yang dibantu oleh beberapa orang perempuan untuk menyusun sarana ritual. Ada beberapa sarana ritual yang sudah siap untuk dibaca-bacakan doa oleh sandro. Suasana ini merupakan puncak dari pelaksaanaa ritual mappandesasi. Pada saat inilah sandro sebagai pemimpin upacara melaksanakan tugasnya. Pada saat puncak pelaksanaan ritual mappandesasi ini, yang menjadi pemimpin sandro atau yang memimpin dalam pelaksanaan ritual tidak lupa membacakan doa untuk para nelayan agar mendapatkan rezeki yang banyak. Kebiasaan meminta rezeki ini bagi masyarakat nelayan biasa disebut masiri balle’. Masiri balle’ ini sama halnya membacakan doa supaya ikan-ikan itu berlomba-lomba untuk mendekati perahu atau kapal sehingga mudah untuk ditangkap (ikan-ikan mengelilingi perahu
atau kapal yang digunakan oleh para nelayan). Mantera yang dibaca oleh sandro dalam masiri balle’ ini yaitu “assalamu alaikum anabi washadara asal kanuru illahi jarati anabi mustafa alfatiha, bismillahi rahmanirrahim allahumasya dunia angkamuru tapere Baraka-baraka laillaha anabi Mustafa ala ullah”. Setelah proses itu dilakukan, maka hidangan makanan tersebut siap-siap dibawa ke tempat yang dianggap keramat atau tempat yang dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar dihuni oleh penjaga sasi seperti pelabuhan. Setelah dibaca-bacakan doa oleh pemimpin upacara, semua peralatan atau sarana upacara dibuka-buka lalu disusun sesuai jenisnya masingmasing dan selanjutnya disimpan di atas sebuah wadah yang sudah dibuat khusus untuk menyimpan bahan sesajen. Wadah tersebut disebut anja dan terbuat dari daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur kelapa (pucuk manyang), dan bambu. Semua makanan yang menjadi bahan sesajian dalam ritual mappandesasi diletakkan di atas anja dan ditutupi dengan kain putih. Makanan yang menjadi sesembahan dalam ritual ini bisa dibawa atau dipegang oleh orang tua dan bisa dibawa atau dipegang oleh anak-anak. Semua peralatan ritual mappandesasi disimpan di atas anja mulai dari, kapur (palili), pinang (paru), jahe (layya), tembakau yang sudah digulung dari daun nipa (bakal), daun sirih (pamera) yang diikat atau dilipat-lipat sehingga berbentuk persegi empat atau disebut kaluppin. Selain bahan-bahan itu, di atas anja disimpan juga ayam (mannu) panggang utuh satu ekor hanya dikeluarkan isi dalamnya saja. Meskipun ayam tersebut dikeluarkan isi dalamnya, tetapi tidak dengan dibelah hanya dikeluarkan melalui pantatnya. Selain ayam (mannu), kepala kambing (beke) yang sudah dimasak, bulunya dibersihkan dan tanduknya dipotong lalu diletakkan di atas anja sebagai sesajen. Anja yang berisi semua sesajen ini disimpan di tempat yang dianggap keramat atau tempat yang dihuni oleh penjaga sasi, seperti di pelabuhan.
Gambar : 5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen untuk Dibawa ketempat Keramat.(Anja) (Dok, Alkausar : 2010) Dalam gambar 5.4 di atas tampak jelas beberapa anja yang diisi dengan semua sarana ritual mappandesasi. Semua sarana ritual yang disusun oleh sandro dan beberapa perempuan yang membantunya seperti dalam gambar yang ditampilkan di halaman pembahasan terdahulu. Setalah dibaca-bacakan doa lalu disusun di atas wadah yang namanya anja, seperti yang nampak dalam gambar 5.4 di atas. Puncak pelaksanaan prosesi ritual mappandesasi seperti dalam gambar di halaman sebelumnya sama dengan yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang bernama Hj. Nani, 54 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Penuturan Hj. Nani diberikan di bawah ini. “Sebelum kami sampai pada puncak pelaksanaan ritual mappandesasi, terlebih dahulu kami mengumpulkan dan menyiapkan semua perlengkapan ritual. Kami membagi pekerjaan, dari laki-laki menyiapkan sarana ritual seperti mencari beke dan mannu jantan bulu sirua untuk binatang sesembahan, dan perelengkapan lainnya yang tidak berhubungan dengan masak-memasak. Sementara kami dari perempuan menyediakan sarana ritual yang berkaitan dengan masak-memasak seperti nasi dan membuat sokko. Selain itu kami menyiapkan atau menyusun bahan sesembahan di atas baki untuk dibaca-bacakan doa oleh sandro. Setelah
dibaca-bacakan doa keselamatan oleh sandro sesembahan itu dibuka-buka lagi lalu disusun di atas anja untuk persiapan memberikan sesaji kepada penjaga sasi di tempat yang kami anggap keramat atau tempat yang kami anggap dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan” (wawancara, 4 Februari 2011). Penuturan informan di atas menunjukkan adanya kerja sama dan pembagian kerja antara lakilaki dan perempuan dalam mencari dan menyiapkan sarana ritual. Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa mulai dari penyiapan sarana, pelaksaan ritual dan peletakan sesajen, semua orang atau peserta ritual selalu bekerja berdasarkan struktur dan fungsi masing-masing. Dukun (sandro) memiliki posisi kedudukan yang sangat tinggi dalam ritual karena berperan sebagai pemimpin upacara dan menjalankan fungsinya sebagai pemimpin. Hal ini sandro tunjukkan pada saat membaca doa dan meletakkan sesajen yang selalu sandro lakukan karena sebelum meletakan sesajen terlebih dahulu sandro berkomunikasi atau meminta izin dulu kepada penjaga sasi.
Penuturan
informan
di
atas
sejalan
dengan
pendapat
Levis-Strauss
(dalam
Koenjaraningrat,1987:235) yang mengatakan bahwa peran dan fungsi seseorang dalam masyarakat sangat ditentukan oleh struktur sosial yang dia miliki dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini, sandro tidak lupa membentengi perahu dengan mantra-mantra agar perahu terbebas dari berbagai malapetaka, seperti terkena sihir dari para nelayan yang lain. Adapun cara membentengi perahu atau kapal dalam melaut terdapat dua cara. Pertama, sandro memandikan perahu dengan air yang sudah dibacakan mantra-mantra. Mantra untuk memandikan perahu atau kapal, yaitu “wahualla jaza kumulllah”. Mantra ini diambil dari ayat suci Al Qur’an. Inti dari mantera ini adalah untuk meminta keselamatan dari bahaya ilmu sihir dan meminta agar perahu atau kapal selalu mendapatkan rezeki (hasil tangkap yang banyak dalam melaut). Memandikan perahu atau kapal, memiliki pemaham tersendiri, yakni memandikan perahu atau kapal dengan cara berputar dari arah kanan menuju arah kiri sebanyak satu kali putaran. Cara ini diyakini oleh sandro sebagai cara untuk
membuang sial, karena kebaikan itu selalu disimbolkan dengan tangan kanan dan keburukan dengan tangan kiri. Maka dengan berputar mengelilingi perahu atau kapal dari arah kanan ke kiri berarti telah membuang dan melindungi perahu atau kapal dari keburukan dan kesialan. Tidak hanya itu cara untuk membentengi perahu, sandro juga membentengi perahu dengan cara memasukkan air dalam sepotong bambu, kemudian bambu tersebut ditutup dengan sabut kelapa dan disimpan di bagian paling depan di atas perahu atau kapal. Sandro menyimpan potongan bambu yang berisi air ini dengan menggunakan mantra. Mantra yang dibaca sandro pada saat menyimpan bambu di atas perahu atau kapal adalah sebagai berikut; iyyaakana budu, wa iyyaaka nasta ‘iin,. Adapun doa yang dibacakan pada saat puncak pelaksanaan ritual mappandesasi, pimpinan sandro sekaligus pemimpin dalam pelaksanaan ritual tidak mau memberikannya kepada peneliti. Hal ini menurut pimpinan sandro Maruka (92 tahun) yang menjadi pemimpin ritual mappandesasi terkait dengan sumpah dan janji kepada gurunya bahwa selain untuk keperluan ritual mappandesasi maka doa itu tidak bisa dibacakan kepada siapa pun. Apabila doa itu dibacakan bukan untuk keperluan ritual maka orang yang membacakan doa tersebut mendapatkan kutukan dari nenek moyang etnik Mandar. Kutukan itu berupa, orang yang membacakan doa itu bukan pada tempatnya pendek umurnya atau cepat mati, dan anak turunannya akan mengalami hal yang sama. Doa yang dibaca sandro pada saat puncak pelaksanaan ritual itu sangat sakral menurut etnik Mandar, sehingga untuk proses pewarisannya tidak mudah. Harus mengikuti ketentuan yang ditentukan oleh orang yang mau mewariskan ilmunya, seperti peserta yang mau mewarisi mantra tersebut harus etnik Mandar, duduk bersila di atas kain putih dan harus pada malam Jum’at. Selain itu, mantra tersebut tidak boleh ditulis bagi orang yang mempelajarinya, harus didengarkan saja dan dihafal. Menurut Maruka, apabila mantra tersebut ditulis dapat mengurangi kemujarapan atau tidak sakral lagi.
Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Ong dalam bukunya yang terkenal, Orality dan Literacy the Thecnologizing of the Word, yang mengkhusus yang dia sebut “Primary orality” kelisanan dasar untuk orang yang sama sekali tidak pernah mengenal tulisan kecuali dalam situasi yang sama sekali terisolasi di Indonesia kelisanan dasar sudah tidak ada lagi. Kelisanan yang mengimplikasikan bunyi bunyi, memiliki kekhasan bahwa begitu ia ada, begitu pula ia tiada; sifatnya sesaat, tidak lestari dan tidak dapat dihentikan. Justru yang sifatnya demikian itu bangsa-bangsa tertentu memberi kekuatan magis kepada mantra yang harus dihafal tanpa salah supaya efektif. Tak ada dukun yang melafalkan mantra dengan membacanya dari buku atau tulisan (yang memang muncul setelah aksara). Dapat dipastikan bahwa pada zaman dini telah timbul keperluan untuk mengingat kembali apa yang telah dikatakan, direnungkan atau dipikirkan, lebih-lebih lagi kalau dari dukun (sandro) yang ingin dialihkan kepada orang lain, misalnya generasi berikutnya. Daya ingat sangat penting dan sangat dihargai dan diusahakan. Maka ditemukan juga peranti mnemonik yang dapat menunjang dan membantu daya ingat yang berfungsi sebagai tempat petimpangan pengetahuan dan pengalaman. Dengan menggunakan Definisi Lord dengan beberapa tambahan disini, formula (lihat juga Lord 1976: 30-67 dan Sweeney 1987: 119) dimaksudkan dalam arti yang luas, yaitu bunyi, kata, sekelompok kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan. Formula merupakan peranti mnemonik yang membantu orang menemukan pikiran yang tersimpan dalam ingatan, di antaranya rima, paralelisme, aliterasi, asonansi, struktur-struktur tetap yang digunakan dalam tradisi lisan. Dalam konteks pewarisannya, tradisi diwariskan secara lisan (oral). Secara sederhana tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara“ atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang bukan aksara”. (Pudentia (ed),
1998, : Vii). Lebih lanjut James Danandjaja, dalam Pudentia (1998 53-54) menjelaskan konsep tradisi lisan (verbal folklore). Folklore itu sendiri adalah pengindonesiaan kata Inggris (folklore). Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity), yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Adapun lore, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui salah satu contoh yag disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device). 5.1.4 Meletakkan Sesaji Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa puncak pelaksanaan ritual yaitu pada malam hari (malam Jum’at) dan dilaksanakan di dalam rumah. Puncak pelaksanaan ritual ini adalah semacam baca-baca doa biasa, hanya semua bahan-bahan yang menjadi perlengkapan upacara termasuk hewan sesajen turut dibaca-bacakan doa. Setelah di baca-bacakan doa, maka hewan sesajen dengan perlengkapan ritual lainnya disimpan di atas anja lalu dibawa ke tempat yang dianggap keramat lalu disajikan untuk penjaga sasi. Meletakkan sesajen ini dipimpin oleh seorang sandro. Sebelum meletakkan atau menyimpan sesajen terlebih dahulu meniatkan agar sesajen yang diberikan itu diterima dengan baik oleh panjaga sasi. Lafaz niat tersebut sebagai berikut: “wahai penjaga sasi, kami datang untuk memberi makanan kesukaanmu. Semoga setelah menerima sesembahan kami ini, kamu bisa senang dan akan selalu menjaga dari maharabahaya serta memberi kami rezeki yang banyak dalam melaut”. Setelah berniat seperti di atas, sandro langsung mengeluarkan sesajen dari dalam anja untuk diletakkan di atas rakit sebagai pertanda bahwa para nelayan telah melakukan ritual mappandesasi atau memberi makan laut. Niat ini sandro peroleh secara turun temurun dari nenek moyang atau orang tua yang mendahuluinya. Proses memperoleh niat itu,
sandro bertanya kepeda orang-orang tua dan untuk memperolehnya tidak dengan mencatat akan tetapi secara lisan dalam bentuk cerita-cerita biasa.
Gambar 5.5 Rakit Tempat Sesajen (Dok, Alkausar : 2010) Dalam gambar 5.5 di atas, tampak beberapa peralatan ritual mappandesasi yang diletakkan di atas rakit, yaitu bahan-bahan tersebut, seperti daun sirih (pamera), pinang (taru’), daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang), bambu (taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna yaitu, merah, kuning, hitam dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri). Untuk sesajen bagi penjaga sasi. Semua sesembahan yang ada di atas rakit merupakan sarana ritual yang disusun oleh sandro dan dibantu oleh beberapa orang perempuan seperti yang ditampilkan dalam gambar di depan. Kondisi yang tampak dalam gambar di atas sejalan dengan pendapat Baedawi (dalam Abdullah 2008:31) bahwa masyarakat yang mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan gaib akan sering melakukan upacara tertentu dengan memberikan sesaji kepada kekuatan gaib dengan maksud agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin dan masyarakat bisa
dijauhkan dari bencana. Hal inilah yang memotifasi masyarakat nelayan etnik Mandar yang masih beraktivitas sebagai nelayan tetap mempertahankan ritual mappandesasi dan masih melakukannya secara berulang-ulang. 5.1.5
Makan Bersama Setelah semua rangkaian dalam pelaksanaan ritual mappandesasi terlaksana seperti
dalam tahapan-tahapan yang telah diuraikan di atas, maka aktivitas selanjutnya dari semua warga yang ikut dalam ritual mappandesasi adalah acara makan bersama ini merupakan sebuah bentuk rasa syukur para nelayan karena ritual mappandesasi yang dilakukan berjalan dengan lancar, tanpa ada hambatan. Makan bersama ini dilakukan di atas kapal atau perahu yang digunakan pada saat meletakkan sesajen di pelabuhan atau di bawah lampu merah atau yang dianggap oleh para nelayan etnik Mandar ada penjaga sasi atau keramat.
Gambar 5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi dalam Ritual Mappandesasi Siap untuk Melakukan Acara Makan Bersama. (Dok, Alkausar : 2010) Dalam gambar 5.6 di atas, sandro dan beberapa masyarakat yang berpartisipasi dalam ritual mappandesasi siap untuk melakukan acara makan bersama. Wajah yang berseri-seri yang
ditampilkan oleh para peserta dan sandro, menunjukkan bahwa mereka dengan senang hati untuk menyantap makanan yang dihidangkan. Itu pertanda bahwa ritual yang dilakukan telah selesai dan berjalan sesuai dengan rencana. Gambar di atas menunjukkan rasa senang yang dirasakan (para nelayan etnik Mandar yang telah selesai melakukan ritual mappandesasi) tidak bisa disembunyikan. Tampak dari wajah masyarakat nelayan etnik Mandar yang berseri-seri. Dalam gambar di atas nampak seorang imam atau Ustadz dengan menggunakan baju putih dan kopiah yang membaca doa sebelum makan bersama. Tujuannya adalah agar kesyukuran para nelayan yang mengadakan ritual bisa dinikmati oleh semua orang. Melalui doa yang dibacakan oleh Imam atau Ustadz mereka berharap agar apa yang dihajatkan oleh para nelayan etnik Mandar bisa disampaikan kepada Allah SWT. Selain itu, sebagian dipahami kalau pembacaan doa itu dikirimkan atas nama Nabi Muhammad SAW. Fenomena seperti dalam gambar di atas sejalan dengan Pelras (2006:4) yang mengatakan bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya masyarakat setempat. Selain itu, makna dari ritual mappandesasi adalah tanda atau pesan keselamatan hidup, serta menjadi sarana untuk meminta agar dimudahkan rezeki bagi masyarakat nelayan etnik Mandar. Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, melaksanakan ritual mappandesasi merupakan suatu keharusan. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar mengenai adanya kekuatan yang ada di laut yang sewaktu-waktu kekuatan itu bisa membahayakan para nelayan. Untuk menjinakkan kekuatan yang ada di laut agar bisa bersahabat dengan para nelayan maka masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi. Nelayan etnik Mandar meyakini ritual ini bisa membuat mereka melakukan aktivitasnya sebagai nelayan dengan merasa aman. Masyarakat nelayan etnik Mandar di mana pun berada, selalu memitoskan laut sebagai sesuatu yang
memiliki kekuatan maha dahsyat dan sewaktu-waktu kekuatan tersebut bisa mengancam keamanan nelayan etnik Mandar dalam menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan. Agar kekuatan yang dimiliki oleh laut itu tidak mengganggu para nelayan dalam melaut, maka masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi.
5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi Proses keterancaman dalam ritual mappandesasi juga terjadi dalam sarana dan prasarana ritual. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta media yang semakin canggih telah mempengaruhi pola pikir manusia dalam berperilaku. Seharusnya dengan adanya kemajuan teknologi manusia berubah ke arah yang lebih baik tanpa harus meninggalkan atau merusak budaya yang menjadi identitas mereka sendiri. Aron Meko Mbete dkk., dalam bukunya yang berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” (2006:185) mengatakan bahwa perkembangan dan perubahan kebudayaan secara fungsional didambakan agar bergerak menuju arah kemajuan adab, harkat, dan martabat kemanusiaan ke tingkat yang lebih tinggi. Ritual mappandesasi tidak terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan zaman. Perubahan itu terjadi dalam sarana ritual, seperti jenis hewan sesembahan, padahal binatang sesembahan tersebut merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tersendiri dalam pelaksanaan ritual. Sesuai dengan pendapat Featherstone (dalam Abullah, 2008:189) yang mengatakan bahwa materi atau sarana merupakan sebuah simbol yang biasanya mengandung sesuatu yang bersifat implisit seperti keinginan-keinginan, maksud-maksud, dan tujuan masyarakat penggunanya. Perubahan yang terjadi dalam sarana ritual mappandesasi ini, dapat kita lihat dari pengakuan informan Rusdi (43 tahun). Rusdi yang berprofesi sebagai nelayan sekaligus pemiliki kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, mengatakan sebagai berikut.
“Adanya kemajuan seperti dalam zaman sekarang sehingga membuat menusia harus memiliki sesuatu yang baru. Parahnya kebiasaan ini sampai pada tataran kehidupan yang mendasar. Dalam ritual mappandesasi yang dulunya menggunakan binatang sesembahan seperti sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua, sekarang sudah digampangkan dengan menghilangkan sapi, cukup menggunakan beke dan mannu saja. Selain itu, dalam ritual mappandesasi juga harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional yang digulung di daun nipa, sekarang sudah digampangkan lagi, menggantinya dengan rokok yang dijual di warung-warung” (wawancara, 26 Januari 2011). Ungkapan informan Rusdi di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan hewan kurban dan pembaruan berbagai sarana perlengkapan dalam ritual mappandesasi, yaitu tembakau trdisional yang digulung di daun nipa yang sekarang sudah digampangkan dengan menggunakan rokok yang dijual di warung-warung. Selain diakibatkan oleh pengaruh modern, hal ini juga diakibatkan oleh keinginan masyarakat yang tidak mau susah dalam mencari perlengkapan sarana ritual. Selain itu, uangkapan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penempatan ruang dan waktu dalam tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, sehingga terjadi pelipatan simbol-simbol dan nilai-nilai dalam ritual mappandesasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Piliang (2006:38) yang mengatakan bahwa dunia yang disaksikan sekarang adalah dunia yang dilipat, yang di dalamnya berbagai sisi dunia tampil dengan wajahnya yang baru. Telah terjadi pemaksaan, pemadatan, pemamfaatan, perusakan, pengerdilan, dan telah terjadi miniaturisasi. Kondisi inilah yang terjadi dalam ritual mappandesasi di kelurahan Bungkutoko saat ini. Terjadi pemaksaan, seharusnya dalam ritual itu, binatang sesembahan sebagai kurban tidak boleh tidak harus sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Akan tetapi, sekarang sudah digantikan atau terjadi pengerdilan binatang sesembahan dalam ritual mappandesasi, yaitu sapi dihilangkan, cukup dengan menggunakan beke dan mannu jantan bulu sirua. Selain pemaksaan, dalam ritual mappandesasi telah terjadi pemadatan dan pemampatan. Pada awalnya dalam ritual mappandesasi harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional (bakal) yang digulung
dengan daun nipa sebagai salah satu bahan perlengkappannya, sekarang sudah diganti dengan tembakau modern yang sudah berbentuk rokok dalam kemasan yang dijual di warung-warung. Hal ini dilakukan oleh masyarakat, selain karena susah mencari tambakaunya (bakal), proses penggulungannya pun memerlukan waktu yang lama, karena daun nipanya harus dijemur dulu sampai kering. Karena merasa rugi dari segi waktu, maka masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, mencari yang instan saja, meskipun harus mengurangi nilai-nilai kesakralan dari simbol-simbol dalam ritual mappandesasi. Pembaruan dalam berbagai sarana perlengkapan ritual mappandesasi, bukan berarti ritual mappandesasi mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah yang lebih baik karena mengikuti perkembangan zaman. Dilihat dari sudut pandang modern, memang ritual mappandesasi telah mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah modern. Akan tetapi, ketika kita lihat dari sudut pandang tradisi, hal ini adalah sebuah pemunduran atau keterancaman. Tradisi yang mengutamakan simbol-simbol tradisional dalam pelaksanaanya, dan simbol-simbol tersebut telah disepakati bersama oleh masyarakat pendukungnya karena dianggap memiliki nilai-nilai sakral tersendiri. Disadari atau tidak oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari bahwa pembaruan dalam sarana ritual mappandesasi dengan hal-hal yang modern telah menggeser tradisi yang diwariskan turuntemurun dari nenek moyang.
5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi Ritual mappandesasi adalah tradisi budaya yang dimiliki oleh etnik Mandar. Secara umum dapat disebutkan bahwa pelaku ritual mappandesasi adalah semua masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, masyarakat lokal kelurahan Bungkutoko seperti, orang Buton dan orang Tolaki
pernah ikut melaksanakan ritual sebatas sebagai peserta. Hal ini diakibatkan karena pada waktu itu orang Buton dan orang Tolaki ini bekerja sebagai nelayan di kelompok nelayan etnik Mandar. Seiring berjalannya waktu, peserta ritual mappandesasi mengalami pengurangan dalam hal jumlah, karena etnik lain sudah tidak ikut lagi. Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah jarang yang melakukan ritual mappandesasi, bahkan masyarakat nelayan etnik Mandar sudah tidak lagi menjadi peserta. Keadaan seperti ini diperkuat oleh kondisi mata pencaharian sebagian masyarakat etnik Mandar yang tidak melaut dan lebih memilih pekerjaan di darat. Untuk mendapatkan peserta dalam ritual ini, masyarakat yang memiliki hajatan bekerja sama dengan pegawai kelurahan sehingga pegawai kelurahan yang menghimbau warga untuk ikut dalam pelaksanaan ritual, terkesan bahwa ritual ini dilakukan oleh pemerintah kelurahan. Sudding (40 tahun) merupakan salah seorang informan yang masih melakukan hajatan ritual mappandesasi dalam era modern seperti sekarang mengatakan sebagai berikut. “Dulu ritual mappandesasi ini tidak saja dilakukan oleh masyarakat etnik Mandar, tetapi ada etnik lain yang ikut bergabung. Namun, dalam era seperti sekarang, masyarakat sudah tidak punya keinginan lagi untuk melakukan atau bahkan mengikuti saja sebagai peserta. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah masalah mata pencaharian. Orang tidak mau ikut lagi karena pekerjaan dia bukan di laut lagi. Jadi kalau orang yang bekerja di darat mau ikut dalam ritual mappandesasi sudah tidak mau karena dia pasti merasa rugi, apalagi kalau mereka sebagai kuli bangunan atau tukang ojek. Cara untuk menghadirkan masyarakat agar bisa ikut dalam ritual, saya selalu berkoordinasi dengan pihak kelurahan” (wawancara, 8 Februari 2011). Ungkapan Sudding di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan peserta ritual, khususnya dalam hal jumlah. Kondisi ini diakibatkan oleh faktor ekonomi, dalam hal ini pekerjaan sebagian masyarakat etnik Mandar yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Akibat pekerjaan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas melaut adalah sebagian masyarakat merasa acuh tak acuh dengan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa perhatian pemerintah, khususnya Pemerintah Kelurahan terhadap ritual mappandesasi ini cukup
signifikan. Salah satu bukti perhatian pemerintah adalah dengan menghadirkan masyarakat untuk mengikuti acara ritual yang dilakukan oleh warga dengan mengatasnamakan Pemerintah Kelurahan. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat Dhavamony (1995:175) yang mengatakan bahwa era modern telah membuat manusia untuk berpikir akan kebutuhan ekonomi (uang) meskipun harus meninggalkan kebiasaan berperilaku sehari-hari. Meskipun pemerintah menyarankan masyarakat ikut serta dalam setiap ada pelaksanaan ritual mappandesasi, tetapi tidak semua masyarakat menjalankan himbauan itu. Gambaran masyarakat tidak mengindahkan himbauan itu dapat dilihat dari jumlah peserta ritual mappandesasi yang sangat sedikit seperti yang diuangkapkan oleh salah seorang pegawai Kelurahan Bungkutoko berikut ini. Burhan kepala Lurah Kelurahan Bungkutoko mengatakan sebagai berikut. “Kami (pemerintah kelurahan Bungkutoko) telah berusaha untuk mengembalikan animo masyarakat, khususnya masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai pemilik ritual mappandesasi untuk selalu mengikuti setiap pelaksanaan ritual mappandesasi, tetapi kenyataannya masih saja sedikit jumlah pesertanya. Ini diakibatkan oleh peralihan mata pencaharian mereka. Meskipun demikian, saya tidak pernah kehabisan akal untuk membesarkan kembali ritual mappandesasi ini. Saya pernah menghadirkan Wakil Walikota Kendari yang juga satu suku mereka (etnik Bugis) dalam acara ritual mappandesasi. Wakil Walikota ini tidak sekedar saya hadirkan tetapi memberikan sambutan dan memberikan bantuan sejumlah uang untuk pelaksanaan ritual ini yang dia berikan langsung pada tetua adat mereka. Dalam sambutannya Wakil Walikota mengatakan bahwa tradisi ritual seperti ini supaya dipertahankan dan selalu dilakukan karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai filter agar masyarakat tidak terbawa atau terserabut dari akar budayanya yang diakibatkan oleh globalisasi” (Wawancara, 8 Februari, 2011). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa begitu besar respon pemerintah, bukan saja Pemerintah Kelurahan Bungkutoko tetapi juga Pemerintah Kota Kendari dalam menghidupkan ritual mappandesasi. Hal ini, dapat kita lihat dari usaha kepala Lurah yang menghadirkan Wakil Walikota untuk menghadiri acara ritual mappandesasi. Ini bertujuan untuk menggugah keinginan masyarakat, khususnya nelayan etnik Mandar untuk tetap mempertahankan tradisi
mappandesasi dalam era globalisasi ini. Mulai saat itu pemerintah kota sudah selalu memberikan bantuan untuk pelaksanaan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat Dhavamony (1995:181) yang mengatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah proaktif untuk menghidupkan tadisi-tradisi lokal (kepercayaan) bekerja sama dengan pemuka agama agar masyarakat tidak terbawa arus globalisasi.
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KETERANCAMAN RITUAL TERHADAP MAPPANDESASI
Globalisasi telah minimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Meminjam pemikiran Aruppadai (dalam Ardika, 2007:18) dikatakan bahwa era globalisasi dicirikan oleh adanya perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh perkembangan teknologi (technoscape), pengaruh media dan informasi (mediascape), pengaruh aliran dana dari Negara kaya ke Negara miskin (finascape), dan adanya pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat. Berbagai pengaruh globalisasi seperti di atas, bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kehidupan dan tidak sedikit dari pengaruh globalisasi telah meruntuhkan tatanan sosial masyarakat yang telah terbina dari dulu. Tidak sedikit masyarakat yang terserabut dari akar budayanya bahkan sampai kehilangan identitas pribadi akibat globalisasi. Bukan saja masyarakat yang ada di sekitar perkotaan tetapi globalisasi telah merasuki tatanan kehidupan masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat yang mengalami, tidak saja manusia yang hidup dan betempat tinggal di sekitar wilayah perkotaan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, khusunya dalam hal kebutuhan pokok, pengaruh media dan teknologi yang banyak menampilkan kebutuhan pokok manusia dengan promosi yang sangat menarik perhatian. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kurangnya silaturrahim yang terjalin sesama mereka (etnik Mandar) di Kelurahan Bungkutoko. Selain kondisi seperti itu, ada beberapa faktor lain yang pengaruhi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi, misalnya para etnik
Mandar terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sudah jarang kita menjumpai orang-orang yang berasal dari etnik Mandar yang ikut terlibat. Pada umumnya orang-orang etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
mempunyai
aktivitas yang sama yakni melaut. Pada waktu malam hari, berbondong-bondong turun melaut, ada yang menetap di laut sampai selama kurang lebih satu bulan, ada yang pada malam hari saja. Pada waktu siang hari, kebanyakan dari mereka (nelayan etnik Mandar) memilih berdiam diri (istirahat) di rumah, ada pula yang beraktivitas mengeringkan hasil tangkapan atau buruan. Adapun aktivitas sampingan adalah berdagang, seperti membuka kios di rumah-rumah masyarakat, yang dilakukan dilakoni oleh kaum ibu. Dengan demikian, pada saat ada kegiatankegiatan sosial, seperti kerja bakti di kelurahan atau ada pernikahan, tampak sekali kuatnya persatuan warga masyarakat Bungkutoko. Akan tetapi sekarang, dengan adanya globalisasi, mengakibatkan kebutuhan manusia semakin hari semakin bertambah,
sehingga membuat
sebagian etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko beralih mata pencaharian. Dari awal sebagai nelayan, kini beralih ke mata pencaharian yang hasilnya langsung dirasakan, seperti tukang ojek, kuli bangunan, dan sopir angkot (angkutan umum). 6.1 Faktor Eksternal Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah faktor dari luar atau eksternal. Artinya, perubahan itu terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Akan tetapi, hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak berasal dari dalam masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Faktor-faktor itu antara lain teknologi dan media, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. 6.1.1 Faktor Teknologi dan Media Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada aktivitas kelautan
seperti nelayan. Kebudayaan dalam konteks norma dan sistem sosial masyarakat nelayan etnik Mandar masih tercermin secara sadar atau tidak sadar di setiap aspek kehidupan. Kesenangan berkumpul dalam rangka suatu solidaritas, keterlibatan keluarga, semua ini mencerminkan kebiasaan para nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang masih berakar dalam tubuh mereka. Akan tetapi, saat ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sedang mengalami goncangan atau tantangan dalam hal mempertahankan tradisi kebiasaan masyarakat sebagai nelayan. Tradisi itu adalah ritual mappandesasi memberi makan laut. Sebagian besar kehidupan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar, kehidupannya sudah terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Ini terjadi karena pengaruh teknologi dan media, baik media elektronik seperti televisi maupun media cetak seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti telpon genggam telah mengubah gaya hidup masyarakat, khususnya dalam hal pergaulan. Solidaritas sosial dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang selama ini menjadi sangat positif ketika arah perhatian tertuju pada kebersamaan, gotong-royong, saling memperhatikan dan tolong-menolong. Makna peningkatan kualitas hidup yang demikian memperoleh substansi yang tepat dalam keadilan, kesejahteraan bersama, dan harmoni. Bukan kepentingan individual atau kelompok tertentu. Kebudayaan nelayan yang memiliki kekentalan nilai manusiawi, seperti perhatian, persamaan, kebersamaan, dan saling menolong tidak lagi tercipta. Sama halnya dengan kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang memiliki makna menciptakan kebersamaan, tolong-menolong, antara sesama warga dari berbagai etnik, sekarang sudah kurang memiliki power atau daya kontrol terhadap masyarakat untuk menjalin sebuah solidaritas. Makna atau nilai kebersamaan yang terkandung dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, tidak saja kebersamaan antara sesama manusia, tetapi membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan penguasa alam gaib, khususnya
penjaga sasi. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh teknologi yang masuk dalam kehidupan masyarakat nelayan etnik Mandar. Teknologi mutakhir yang memiliki kecenderungan menciptakan alienasi atau pengasingan, sikap individual, dan cenderung merusak kebudayaan yang hakiki. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh para generasi tua dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tempat pelaksanaan ritual mappandesasi selalu saja mendapat tantangan dari generasi muda yang memiliki pengetahuan dan terkontaminasi dengan budaya global. Tantangan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi yang dialami oleh para generasi tua, yaitu para generasi muda menyebut generasi tua sebagai pengikut aliran sesat, melakukan praktek kemusyrikan, dikatakan mengubah ajaran Islam yang sebenarnya. Klaim dari generasi muda ini tidak terlepas dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh para generasi muda. Generasi muda menganggap praktek ritual sebagai salah satu perilaku yang mencontohkan percaya kepada tahyul, karena generasi muda tergantung pada hal-hal yang rasional saja. Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa sipritualitas nilai-nilai yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah kehilangan fungsinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era global yang ditandai dengan kemajuan iptek telah mempercepat tercabutnya akar budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan dasarnya, berupa nilai-nilai, norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam Wibowo, 2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai teknologi, sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol kebudayaan tidak dapat lagi berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam nilai-nilai karena didominasi kapitalisme. Kebudayaan merupakan seluruh usaha manusia dengan akal budinya, melalui proses belajar yang bertujuan memperbaiki situasinya, mempertinggi kualitas hidupnya, dan semakin
menyempurnakan dunia. Oleh Karen itu tindakan apa pun yang berupa pembunuhan kehidupan serasi manusia adalah tindakan anti kebudayaan (Wibowo, 2007:28). Dalam konteks ini, jika budaya global yang didominasi oleh kapitalisme ternayata banyak menciptakan ketidakadilan, peperangan, dan pembunuhan kehidupan sebagian manusia. Ritual mappandesasi yang selama ini dikenal dalam masyarakat sebagai salah satu bentuk ritual dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang menciptakan kebersamaan, tolong- menolong, dan memperkokoh persatuan dan solidaritas antarwarga, sekarang telah mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Ini merupakan gerakan dari generasi yang ingin menghancurkan ritual mappandesasi, sehingga selalu mendapatkan reaksi negatif dari sebagian besar masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Kebudayaan yang selalu bertolak dari pemikiran ideal tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan. Inilah makna kebudayaan yang hakiki. Menyempurnakan berarti selalu memperbaiki dan tidak merusaknya. Upaya ini melahirkan berbagai nilai, norma, aturan pergaulan, dan perilaku antarmanusia, serta terhadap lingkungan. Di samping itu, upaya-upaya tersebut menghasilkan penemuan baru yang kemudian berkembang bermacam-macam teknologi. Dengan demikian, teknologi sebenarnya hasil kebudayaan manusia. Sebenarnya, pemikiran-pemikiran ekonomi dengan berbagai upaya meningkatkan produksi hasil kebudayaan. Permasalahannya adalah mengapa akhirnya teknologi dan ekonomi-bisnis melahirkan dampak yang justru bertentangan dengan kebudayaan yang hakiki. Fenomena di atas, saat ini dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Sebagian masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko menjadi lebih percaya pada hasil-hasil teknologi dan hukum-hukum ekonomi untuk mencapai tujuan yang sudah bergeser ke kepentingan-kepentingan individual.
Dalam hal ini, aturan-aturan pergaulan, etika dan perilaku antarmanusia, serta pergaulan antara manusia dengan alam lingkungannya, telah diabaikan. Akibatnya, sikap dan kebudayaan nelayan etnik Mandar yang selama ini dijadikan sebagai identitas lokal mereka kini menjadi kabur. Ini diakibatkan karena nelayan etnik Mandar sebagian sudah memberhalakan hukum ekonomi yang materialistik dan hasil teknologi yang sering merusak keseimbangan serta struktur alam lingkungan. Kemajuan teknologi seperti media komunikasi dan media cetak ikut mempengaruhi terjadinya perubahan pola perilaku, cara berpikir, dan cara pandang masyararakat dalam memaknai hidup dan kehidupan. Kemajuan media yang penuh dengan bujuk rayu kenikmatan telah membuat manusia untuk mengikuti keinginannya (media). Semua kenikmatan yang ditawarkan oleh media hanyalah keniscayaan. Kelurahan Bungkutoko saat ini menghadapi persoalan globalisasi dalam hal ekonomi, informasi, dan budaya. Dalam hal ini media massa khususnya televisi dan internet sebegitu jauh terkesan sebagai media yang sangat spektakuler dalam memfasilitasi proses-proses globalisasi melalui berbagai produk budaya yang disampaikan kepada khalayak (masyarakat). Kecenderungan yang demikian membawa konsekwensi yang luas dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko khususnya dalam hal identitas lokal. Ritual mappandesasi yang selama ini dijadikan oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai ciri khas atau sebagai identitas lokal mereka kini telah mengalami pengaburan makna. Banyak masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang tidak lagi melakukan ritual. Hal ini karena sudah tidak bermanfaat lagi menurut masyarakat nelayan etnik Mandar, ini terjadi karena pengaruh media televisi dan internet yang selalu mengiklankan berbgai hasil produk global yang menjanjikan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu.
Banyak nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian demi mendapatkan kemudahan untuk memperoleh uang agar tercapai kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Banyaknya infrastruktur ekonomi yang dibangun pemerintah seperti Mall membuat generasi muda etnik Mandar tidak mau lagi menjalankan aktivitas sebagai nelayan dan memilih bekerja sebagai karyawan di mall-mall. Kondisi ini membuat banyak generasi muda yang tidak melaksanakan ritual mappandesasi, serta melupakan tradisi kebiasaan nenek moyang yang sebenarnya sangat terkait dengan filosofis kehidupan nelayan etnik Mandar. Bakri 47 tahun salah seorang informan yang merupakan tokoh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, mengatakan sebagai berikut. “Salah satu faktor yang sangat dominan pengaruhnya terhadap keterancaman ritual kami adalah kemajuan teknologi dan media dengan segala bentuk paket promosi yang selalu ditayangkan pada setiap detik, dan sasaran utamanya adalah para generasi muda. Banyak generasi muda kami yang lebih memilih bekerja menjadi karyawan di mall-mall di kota daripada menjadi nelayan, dan penghasilannya juga lebih mendingan menjadi nelayan. Selain itu, dengan adanya berbagai paket hiburan yang selalu ditayangkan oleh televisi dalam setiap hari, seperti berbagai acara musik, film, membuat generasi muda tidak ada keinginan untuk mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Menurut mereka generasi muda, tradisi itu lebih bersifat norak, kampungan dan tidak membuat mereka mejadi populer bila dibandigkan dengan mereka yang menjadi anak band” (Wawancara, 10 Februari 2011). Ungkapan Bakri di atas menunjukkan bahwa para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko lebih memilih pekerjaan yang selalu dikaitkan dengan faktor gengsi dan penampilan daripada melihat hasil. Selain itu, para generasi muda sudah tidak ada keinginan untuk menghidupkan dan melestarikan kebiasaan masa lalu yang merupakan warisan dari nenek moyang sebagai identitas lokal. Ini diakibatkan oleh iklan televisi dan internet seperti pemberitaan musik dan iklan lainnya yang selalu menawarkan keniscayaan. Pemberitaan musik misalnya, orang mampu bermain gitar dan menyanyi mereka bisa menjadi populer, sedangkan apabila mereka belajar tradisi, generasi muda berpikirnya tidak akan membuat mereka menjadi populer. Life style lebih diutamakan
sehingga membentuk sebuah identitas yang sifatnya hibriditas. Fenomena di atas, sejalan dengan pendapat Hall, 1977:140) yang mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, dimana kita mempersepsikan “dunia”, “ realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan nelayan etnik Mandar dan kehidupan melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami. Hibriditas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mengacu pemikiran Homi K. Bhaba bahwa suatu penciptaan format-format transkultural baru di dalam zona hubungan produk kolonisasi. Konsep ini diasosiasikan oleh Bhaba dalam menganalisis relasi antara penjajah dan terjajah dengan menekankan kesalingtergantungan dan konstruksi yang saling mendukung dari subjektivitas. Analisis ini bila dikaitkan dengan realita sekarang, khususnya yang terjadi di Keluarahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari sangat tepat. Kehidupan para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko, khususnya generasi muda dari etnik Mandar telah banyak mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak terlepas dari pengaruh media massa sebagai penjajah terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai terjajah. Media massa menjajah generasi muda nelayan etnik Mandar sampai membuat generasi muda mengalami ketergantungan terhadap produk-produk yang ditawarkan oleh media. Salah satu produk media yang membuat generasi muda mengalami ketergantungan adalah produk berbagai jenis musik. Generasi muda nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko lebih memilih belajar musik dari pada mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan secara turuntemurun oleh nenek moyang dan di dalam warisan itu terkandung nilai-nilai positif, bahkan bagi nelayan etnik Mandar di seluruh daerah pemukiman sudah dijadikan sebagai pedoman hidup. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam
pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehiduapn yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial. Globalisasi juga telah membuat cara-cara orang mempraktikkan ajaran nenek moyang, khususnya ritual mengalami perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat yang selalu menginginkan kebaruan. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan manusia dari konteks generalnya (Simmel,1991:17). Pandangan Simmel di atas, apabila kita kaitkan dengan kehidupan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sangatlah sejalan. Masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang selalu menginginkan kebaruan, mulai dari peralihan mata pencaharian sampai pada pembaruan sarana dan prasana ritul mappandesasi. Peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi sopir angkutan umum, buruh bangunan, menjadi tukang ojek, dan menjadi karyawan di mall, semua ini didorong oleh adanya keinginan pembaruan. Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan jenis pekerjaan dengan harapan hasil yang didapatkan lebih baru, dari sedikit menjadi banyak. Selain itu, pembaruan ini dilakukan karena ingin meningkatkan (membarukan) status sosial, karena selama ini masyarakat nelayan selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin dan orang-orang yang tidak berpendidikan. Pembaruan dalam sarana dan prasana ritual, seperti yang dulunya binatang sesembahan dalam ritual mappandesasi terdiri atas satu ekor sapi, beke, dan mannu jantan bulu sirua’ tetapi sekarang digampangkan atau dikonstruksi baru menjadi seekor beke dan mannu. Selain itu, pembaruan yang terjadi dalam ritual mappandesasi dapat kita jumpai dalam sarana
ritual. Sarana ritual yang dulunya menggunakan tembakau tradisional dan digulung dengan daun nipa, sekarang di barukan dengan mengganti tembakau tradisional dengan rokok buatan pabrik. Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah, 2009:50). Saling ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan komunikasi dan kedalaman interaksi antarwarga masyarakat lintas etnik atau antarguyub kultur bahkan dengan masyarakat dunia umumnya merupakan kekuatan pengubah dan pengembang kebudayaan. Kenyataan bahwa yang mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko bukan saja dari dalam internal keetnikan seperti hubungan antarmanusia dengan segala kepentingan terjalin, terajut dan terbina, secara alamiah dan kultural secara terus-menerus dalam kehidupan sosial. Pada kenyataannya batas keetnikan dan kebudayaan dalam era global ini memang telah kabur. Berdasarkan kontak dengan orang dan guyub kultur lain itulah, peristiwa salain belajar dan berbagi pengalaman, pengetahuan dan berbagi teknologi terjadi. Akibatnya, difusi unsur-unsur baru dapat terjadi secara meluas dan mendalam menerpa sekat-sekat sistem budaya di kalangan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.
6.1.2 Faktor Pendidikan Perkembangan pendidikan formal dan nonformal dalam berbagai jenjang dan jenisnya merupakan suatu kekuatan dominan yang sangat menentukan perkembangan penalaran dan cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan mengembangkan wawasan dan orientasi hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Pendidikan formal mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat pendidikan tinggi, baik swasta
maupun negeri dituntut untuk mengikuti kurikulum yang sudah dioplos menjadi paket-paket kepentingan tertentu, tanpa perlu mengindahkan kondisi, kepentingan, kebutuhan, dan spesifikasi, baik sekolahnya maupun daerahnya (Wibowo,2007:52). Perkembangan pendidikan formal dan nonformal di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, khususnya di lokasi pemukiman para nelayan etnik Mandar, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif sudah memadai. Perkembangan pendidikan formal sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya para generasi muda. Melalui pendidikan formal dalam berbagai jenjang inilah para generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar dibekali ilmu pengetahuan. Salah satu pendidikan generasi muda yang didapat melalui jenjang pendidikan formal dan dapat mengalihkan kebiasaan berperilaku mereka sehari-hari, khusunya kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar dalam memperlakukan hal-hal mistis atau yang berhubungan dengan alam gaib adalah mata pelajaran agama. Dalam pelajaran agama inilah masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya bagi mereka yang beragama Islam mendapat pemahaman mengenai perbedaan yang baik dan yang buruk dalam ajaran Islam. Dalam mata pelajaran ini pula mereka bisa membedakan antara perilaku yang musyrik dan yang bukan musyrik. Karena itulah, tidak mengherankan banyak kalangan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari menyebut ritual mappandesasi sebagai perilaku yang mengarah pada kemusyrikan. Pendidikan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar tidak terbatas pada tingkatan atau jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas saja. Akan tetapi, sudah banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan tinggi, baik itu negeri maupun swasta di wilayah Nusantara. Dengan bersekolah pada jenjang pendidikan tinggi, generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar semakin dalam pemahamannya tentang ajaran agama yang didapat melalui kegiatan eksternal kampus. Kondisi ini semakin membuat generasi
muda masyarakat nelayan etnik Mandar sampai berani mengklaim bahwa ritual mappandesasi adalah salah satu bentuk ritual yang menyembah selain Tuhan. Hal ini senada dengan penuturan Sappe 45 tahun, yang mengatakan sebagai berikut. “Kami sebagai generasi tua tetap memegang teguh kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang kami. Namun, dalam pelaksanaanya kami sudah banyak mendapatkan kendala. Salah satu kendala yang sering kami hadapi adalah pemahaman generasi muda yang sudah berpendidikan. Faktor yang mengakibatkan keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah banyaknya aliran Islam yang masuk di Kelurahan Bungkutoko ini. Semua yang mebawa aliran itu adalah anak-anak kami yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal mereka sudah menganggap kami sebagai orang-orang yang sesat dan musyrik. Hal ini mereka katakan karena kami dalam melakukan ritual mappandesasi selalu menyerahkan atau memberi sesajen pada tempat-tempat yang kami anggap keramat atau dihuni oleh penjaga sasi. Dari sinilah sehingga kami dari generasi tua dalam masyarakat tidak jarang terjadi pertentangan pendapat dengan generasi muda, bahkan pernah kami berpikir untuk mengusir mereka dari Kelurahan Bungutoko ini” (Wawancara, 26 Januari 2011). Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa perilaku masyarakat nelayan etnik Mandar yang masih memegang teguh kepercayaan lokal, khususnya bagi masyarakat yang kurang berpendidikan masih selalu melakukan ritual mappandesasi. Dalam melaksanakan ritual mappandesasi para masyarakat awam selalu mendapat tantangan dari generasi muda yang berpendidikan. Generasi muda sudah menilai bahwa apa yang dilakukan oleh generasi tua mereka adalah salah satu bentuk kemusyrikan dan harus dilawan karena telah mengubah ajaran dan aqidah Islam yang sebenarnya. Dengan penilaian itu tidak sedikit membuat para generasi tua kebakaran jenggot dan bahkan pernah terbesik niat dari kalangan generasi tua yang masih berpegang teguh pada tradisi kebiasaan nenek moyang, akan mengusir para generasi muda yang berbeda aliran kepercayaan dengan nelayan etnik Mandar. Apalagi agama yang dianut oleh masyarakat nelayan etnik Mandar mayoritas Islam, tetapi masih Islam sinkretis. Hal ini sejalan dengan pendapat Geertz (1992:107) yang mengatakan bahwa agama sebagai sistem kebudayaan
tidak memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, tetapi berperan memecah belah. Para generasi muda tidak sekedar menjastivikasi perilaku para generasi tua dalam masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai perbuatan yang menyimpang dari ajaran Agama Isalam. Para generasi muda membentuk kelompok-kelompok pengajian dalam masyarakat guna mempelajari atau memberikan pemahaman agama pada generasi muda yang lainnya sekaligus mencuci pemikiran mereka agar tidak melakukan ritual mappandesasi yang notabene penuh dengan simbol-simbol kemusyrikan. Dari kelompok pengajian inilah banyak bermuculan para generasi muda yang kritis, sehingga para generasi tua semakin kesulitan untuk mempertahankan atau melembagakan tradisi mappandesasi ini dalam diri generasi muda sebagai generasi penerus. Bukan itu saja, generasi tua semakin kesusahan untuk
meningkatkan jumlah peserta dalam melakukan ritual
mappandesasi. Kondisi ini mengakibatkan ritual mappandeasasi sebagai identitas budaya etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko terancam akan mengalami kepunahan. Keresahan ini diungkapkan oleh salah seorang tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar. Suddiang 50 tahun di bawah ini. “Kalau para generasi muda akan tetap berperilaku frontal seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan 15 tahun ke depan ritual mappandesasi ini akan hanya tinggal nama atau kenangan saja, bahwa masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko pernah memiliki kebiasaan atau budaya ritual mappandesasi. Perilaku generasi muda, khususnya yang mendalami ajaran agama Islam tidak hanya membuat saya resah tetapi semua masyarakat di sini prihatin dengan eksistensi ritual mappandesasi ke depannya. Dari itu, sehingga akan lahirlah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki ciri khas budaya sebagai identitas lokal atau masyarakat tanpa identitas lokal” (Wawancara, 20 Januari 2011). Ungkapan Suddiang yang juga merupakan salah satu tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari menunjukkan bahwa para masyarakat, bukan saja tetua adat, semua masyarakat yang masih memegang teguh kebiasaan
ritual mappandesasi telah terusik dengan perilaku generasi muda nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Keresahan dan kegelisan itu mengarah pada kondisi keberadaan dan eksistensi ritual mappandesasi dalam masyarakat dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Suddiang memprediksikan 15 tahun ke depan masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko akan menjadi masyarakat tanpa identitas lokal kalau para generasi muda sudah tidak mau mewarisi lagi tradisi nenek moyang dulu. Ungkapan Suddiang di atas sejalan dengan pendapat Piliang (2006:279) yang mengatakan bahwa menghidupkan kembali budaya lokal sama halnya dengan menghidupkan identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Identitas menjadi sebuah isu tatkala segala sesuatu yang sudah dianggap stabil sebagai warisan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh dari luar, khusunya akibat berlangsungnya globalisasi yang menciptakan homogenitas budaya. Krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lagi dipertahankan, karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai yang berasal dari luar. Fenomena inilah yang akan dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari apabila generasi muda mereka tetap tidak mau mempelajari dan mengaktualisasikan lagi pemahaman-pemahaman dari nenek moyang. Masyarakat nelayan etnik Mandar akan mengalami krisis identitas lokal, akibat pergulatan antara tradisi dan agama. Para generasi muda masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko hanya berpikir dan berperilaku secara sepihak. Yang dimaksud secara sepihak adalah generasi muda etnik Mandar yang mendalami ajaran agama Islam berpikir untuk kehidupan akhirat saja. Pemikiran inilah yang membuat nelayan etnik Mandar mengenyampingkan cara untuk meraih kebahagiaan dunia. Padahal dalam ajaran Islam harus meyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Berusaha untuk kebahagiaan hidup di dunia bertujuan agar dalam melaksanakan
pencarian kebahagiaan hidup akhirat terlebih dahulu harus dipenuhi kebutuhan dunia. Oleh karena itu, adat harus dipertahankan karena adat merupakan warisan nenek moyang yang diakui masih memiliki fungsi yang luhur sehingga masih dipertahankan karena merupakan pedoman untuk mendapat kebahagiaan dunia (Abdullah, 1985:7). Adapun agama, dianggap sebagai kebutuhan batin dan pegangan yang memiliki nilai agung yang dapat menuntun penganutnya ke arah yang benar untuk kebahagiaan hidup di akhirat (Geertz,1973:61). 6.1.3 Faktor Ekonomi Selain kemajuan teknologi dan media serta kemajuan ilmu pengetahuan, ternyata faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang harus dipenuhi dalam rumah tangga terkait dengan kebutuhan pangan, sandang dan kebutuhan papan. Kebanyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian karena akibat dari penghasilan melaut yang belum mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan. Desakan pemenuhan kebutuhan inilah yang mengakibatkan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari melakukan penyebaran untuk mencari pekerjaan baru yang menurut masyarakat hasilnya lebih menjanjikan daripada menjadi nelayan. Adapun jenis pekerjaan yang digeluti adalah semua pekerjaan yang tidak berhubungan dengan laut, seperti supir angkutan umum, tukang ojek, kuli bangunan, dan sebagai karyawan perusahaan, dan karyawan mall. Akibat dari pilihan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan laut lagi sehingga sebagian masyarakat nelayan tidak mau melaksanakan dan tidak mau tau lagi dengan ritual mappandesasi. Masyarakat etnik Mandar yang memilih menjadi supir angkutan umum, jam kerjanya mulai pagi sampai jam larut malam baru pulang ke rumahnya. Itupun yang tidak tinggal di
tempat kerjanya (di kota), karena yang menggeluti pekerjaan ini, biasanya sudah tinggal menetap di kota dengan tinggal di rumah kontrakan atau kost-kostsan bersama keluarganya (istri dan anaknya). Dengan tinggal di perkotaan, maka waktu pulang ke Kelurahan Bungkutoko sudah sedikit. Streotip masyarakat Mandar sebagai masyarakat yang giat bekerja, sehingga kebanyakan istri dari masyarakat nelayan etnik Mandar ikut bekerja mambantu menambah penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat etnik Mandar yang bekerja menjadi kuli bangunan jarang pulang ke Kelurahan Bungkutoko. Mengingat pusat pembangunan kebanyakan ada di pusat kota, maka setelah mendapat pekerjaan mereka harus tinggal di tempat kerja. Hal ini dilakukan untuk mengefektifkan waktu kerja. Kalau masyarakat harus pulang di Kelurahan Bungkutoko maka, secara otomatis waktu untuk bekerja akan berkurang, sementara bangunan yang dikerjakan kebanyakan sifatnya borongan. Jadi, dengan tinggal di tempat kerja, masyarakat berharap bangunan yang dikerjakan cepat selesai dan mencari pekerjaan atau borongan yang lain lagi. Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang memadai, serta kebanyakan dari nelayan etnik Mandar adalah generasi muda. Berbeda lagi dengan pekerjaan sebagai tukang ojek, memang tinggal di Kelurahan Bungkutoko, tetapi sudah bersifat apatis terhadap pelaksanaan ritual mappandesasi. Tukang ojek lebih berpikiran materialis daripada pekerja kuli bangunan dan supir angkutan umum. Ini terjadi karena kebanyakan dari nelyanan etnik Mandar yang menggeluti pekerjaan ini menggunakan motor cicilan sehingga kecenderungan untuk mencari uang tinggi, mengingat tanggung jawab nelyanan etnik Mandar terkait dengan cicilan motor yang digunakan mengojek. Kalau harus mengikuti ritual mappandesasi, tidak mendapatkan uang setoran maka nelyanan etnik Mandar
mengalami kerugian. Tukang ojek berpikiran untung rugi, dan hal ini yang membuat nelyanan etnik Mandar harus giat mencari dan bersifat individualistik. Selain tiga jenis pekerjaan di atas, masih ada jenis pekerjaan yang digeluti oleh sebagian generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar yang berdomisili di Kelurahan Bungkutoko, yakni sebagai karyawan di mall. Pekerjaan ini lebih sibuk lagi, karena masuk kerja jam 08.00 pagi dan pulang jam 22.00 malam. Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah generasi muda, baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat jarak antara Kelurahan Bungkutoko dan pusat kota sebagai tempat mereka bekerja cukup jauh dan memiliki keterbatasan transportasi. Transportasi dari kota yang menuju Kelurahan Bungkutoko memang ada tetapi sampai pada jam 20.00 malam, di atas jam 20.00 malam sudah tidak ada lagi transportasi yang mau ke Kelurahan Bungkutoko. Melihat kondisi transportasi yang demikian sehingga semua yang bekerja sebagai karyawan mall sudah pasti tinggal di rumah kost yang dekat dengan tempat kerja masing-masing. Selain keterbatasan transportasi, mereka harus tepat waktu, karena waktu jam kerja mulai jam 08.00 pagi. Sudah pasti kalau tinggal di Kelurahan Bungkutoko akan mengalami keterlambatan untuk masuk kerja karena jarak yang jauh. Meskipun semua pekerjaan yang digeluti oleh sebagian besar nelayan etnik Mandar ini, bila ditinjau dari segi penghasilan tidaklah mengalami perbedaan yang signifikan dengan penghasilan sebagai nelayan. Justru penghasilan menjadi nelayan masih lebih baik daripada pekerjaan sebagai supir mobil, tukang ojek, dan kuli bangunan. Yang membedakanya itu hanyalah dalam hal keuangan. Keuangan yang dimaksud adalah bukan dalam jumlah penghasilan, tetapi keuangan yang dimaksud adalah ketika menjadi supir angkutan umum dan tukang ojek, memegang uang tiap hari atau tidak kekurangan uang belanja keluarga seharisehari. Sementara menjadi nelayan, untuk menikmati hasilnya harus menunggu sampai pulang dari melaut, dan lama melaut bisa sampai lebih dari satu bulan atau biasanya 40 hari.
Pekerjaan sebagai karyawan mall sebenarnya penghasilannya lebih sedikit dan untuk menikmati hasilnya sama dengan nelayan yakni diterima pada setiap bulannya. Hanya yang membedakan antara karyawan mall dan nelayan terletak pada gengsi atau status sosial saja. Etnik Mandar yang bekerja sebagai karyawan mall merasa lebih daripada yang bekerja sebagai nelayan. Terjadi kelompok inferior (nelayan) dan superior (karyawan) dalam hal hubungan komunikasi antara kelompok karyawan dan kelompok nelayan. Bekerja di sektor produksi dan bersentuhan langsung denga dunia perkotaan kelompok karyawan merasa lebih segalanya daripada pekerjaan sebagai nelayan yang hidup dan tempat kerjanya selalu jauh dari pemukiman manusia. Kondisi seperti di atas, bisa dilihat dari pemaparan Surding 42 tahun. Surding adalah salah seorang tokoh masyarakat yang juga berprofesi sebagai supir angkutan umum. Hanya saja Surding tetap tinggal di Kelurahan Bungkutoko karena mengingat rumah, keluarganya dan tanggung jawabnya sebagai tokoh masyarakat. Di bawah ini dipetik ucapan Surding. “Banyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang meninggalkan aktivitasnya sebagai nelayan dan mencari pekerjaan yang tidak berhubungan dengan laut. Pekerjaan seperti buruh bangunan, tukang ojek, karyawan dan supir angkutan umum. Karena kesibukan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas di laut membuat lupa dengan tradisi. Apalagi yang bekerja sebagai karyawan di mall misalnya, etnik Mandar sudah menganggap pekerjaan sebagai nelayan sebagai pekerjaan yang rendah dan identik dengan orang-orang yang tidak berpendidikan. Mereka yang menggeluti pekerjaan yang disebutkan di atas, kebanyakan tinggal di tempat kerja. Akibatnya kondisi kebiasaan di kampung menjadi terlupakan. Masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata pencaharian disebabkan oleh desakan pemenuhan kebutuhan pokok.” (Wawancara 23 Januari 2011). Ungkapan Surding di atas menunjukkan bahwa terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi juga disebabkan oleh adanya penyebaran masyarakat nelayan etnik Mandar untuk mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni juga sangat menentukan tempat tinggal dan status sosial mereka. Generasi muda nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian, selain karena hasil dalam melaut mereka anggap belum
mencukupi kebutuhan, pekerjaan melaut juga diidentikkan dengan pekerjaan masyarakat miskin dan tidak memiliki pendidikan yang memadai. Maka dalam masyarakat nelayan etnik Mandar terjadi oposisi biner antara kelompok pekerja sebagai nelayan dan kelompok pekerja sebagai karyawan, tukang ojek, buruh bangunan dan supir angkutan umum. Kelompok pekerja sebagai karyawan menganggap diri mereka lebih dibandingkan dengan kelompok pekerja sebagai nelayan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas dan Isherwood, (1980:72) yang mengatakan bahwa proses konsumsi seperti konsumsi rumah dan jenis pekerjaan seperti pekerjaan menjadi karyawan, merupakan instrument yang cukup signifikan untuk menjelaskan gaya hidup dan merupakan penanda identitas.
6.2 Faktor Internal Faktor perkembangan teknologi dan media, faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan faktor ekonomi memang merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi secara eksternal. Disadari atau tidak, perubahan atau keterancaman ada yang datang secara internal atau dari dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan ritual mappandesasi. Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi tidak saja disebabkan oleh faktor secara eksternal seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan ini dalam halaman terdahulu, tetapi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini disebabkan oleh faktor internal seperti tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua kepada generasi muda dan kurangnya pengetahuan generasi muda tentang ritual mappandesasi. Kedua faktor yang menyebabkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini akan diuraikan di bawah ini.
6.2.1 Tidak Adanya Transmisi Budaya dari Generasi Tua kepada Generasi Muda Perubahan dapat didefinisikan secara konseptual sebagai perkembangan, pergeseran, penggantian (subtitusi) komponen atau subsistem kebudayaan tertentu pada masa perkembangan tertentu dan terjadi di lingkungan sosial tertentu pula. Aron Meko Mbete dkk. (2006:191) mengatakan bahwa penyusutan fungsi sebuah komponen budaya merupakan ciri dinamika kebudayaan. Hal yang sama juga diuangkapkan oleh Andriani S. Kusni dan J.J. Kusni (http/www.google.kompas.com.30 November 2009), bahwa pemindahan khazanah budaya dari generasi satu ke generasi yang lainnya (dari generasi tua ke generasi muda) dilakukan secara lisan dan tulisan. Pemindahan nilai-nilai budaya umumnya secara lisan, dituturkan dengan ceritacerita pada waktu menjelang tidur oleh ibu atau bapak kepada anak-anaknya kakek atau nenek kepada cucu-cucunya. Saat ini pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah jarang atau tidak lagi dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua seakan-akan tidak lagi perduli dengan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Orang tua sudah tidak mewariskan tradisi budayanya kepada anak-anak sebagai generasi penerus tradisi itu dengan menggunakan ceritacerita pada saat menjelang tidur. Kondisi ini terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Generasi muda nelayan etnik Mandar tidak lagi mengetahui apa dan seperti apa tradisi kebiasaan nenek moyangnya. Hal ini disebabkan karena sudah tidak adanya pewarisan tradisi dari orang tua (generasi tua) kepada anak-anaknya (generasi muda) sebagai generasi yang bertanggung jawab untuk melestarikan tradisi tersebut. Generasi tua nelayan etnik Mandar hanya sekedar melaksanakan untuk mempertahankan tradisi yang diperolehnya dari generasi sebelum dia tanpa ada usaha atau upaya dalam bentuk konkret untuk melestarikan tradisi tersebut.
Jumlah orang tua atau generasi yang masih sering melakukan ritual mappandesasi dalam era modern sekarang semakin hari semakin sedikit. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Masyarakat atau generasi yang masih melakukan ritual mappandesasi hanyalah dari kalangan orang tua. Anak muda tidak memiliki ketertarikan untuk ikut melaksanakan sebagai bentuk partisipasi dari masyarakat untuk mempertahankan ritual mappandesasi. Tidak adanya ketertarikan ini diakibatkan karena para generasi muda tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi tua pun dalam melaksanakan ritual mappandesasi sekedar melaksanakan tanpa ada sosialisasi kepada generasi muda untuk mengetahui dan melestarikannya. Kondisi seperti ini sejalan dengan penuturan informan Rusdi 43 tahun. Rusdi merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar. Penuturan Rusdi dicantumkan di bawah ini. “Sejak saya tiba di kelurahan Bungkutoko ini pada tahun 2005 yang lalu, saya belum pernah melihat pementasan budaya etnik Mandar. Kalau ada itu hanya pada saat-saat tertentu saja. Seperti ritual mappandesasi, itukan ada nanti dua tahun atau satu tahun sekali. Seharusnya itu perlu untuk diadakan demi kelestarian tradisi, selain itu pementasan bisa berfungsi sebagai media pengetahuan bagi generasi muda agar mereka bisa mengetahuai tentang apa fungsi dari ritual mappandesasi. Jadi kalau dari generasi tua tidak melakukan langkah-langkah kongkret untuk melestarikan ritual mappandesasi, maka tidak usah heran jika ritual mappandesasi ini akan hilang dan punah digilas roda globalisasi. Globalisasi banyak melahirkan produk budaya tandingan untuk menghancurkan tradisi, dan semua budaya yang dilahirkan oleh globalisasi selalu diminati oleh generasi muda karena memang sesuai dengan kondisi perkembangan zaman” (Wawancara, 28 Januari 2011) Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa kondisi ritual mappandesasi yang menjadi identitas lokal sekaligus menjadi tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di kelurahan Bungkutoko kecamatan Abeli, kota Kendari sedang mengalamai tantangan. Tantangan itu adalah datangnya dari generasi muda dan generasi tua, sehingga tidak tertutup kemungkinan ritual mappandesasi akan mengalami kepunahan. Dari generasi tua, tidak adanya sosialisasi
untuk mewariskan ritual mappandesasi kepada generasi muda, sehingga generasi muda tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi muda lebih akrab dengan produk budaya lokal, seperti musik dan sejenisnya. Karena musik atau produk budaya global sifatnya fleksibel, bisa menyesuaikan dengan kemajuan zaman dan bagi orang yang menekuninya bisa menjadi populer. Produk budaya global memang selalu membawa orang menjadi terkenal, populer (kemoderenan) tatapi juga selalu mematikan produk-produk budaya lokal yang tidak memiliki daya saing akibat dari masyarakat pendukungnya yang tidak pro aktif untuk melestarikan budayanya. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Abdullah (2006:52) yang mengatakan bahwa proses semacam ini sebagai proses eksklusi sosial, suatu kelompok cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dengan orang lain. Inilah yang dilakukan oleh para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Generasi muda lebih cenderung mempelajari musik-musik modern daripada ritual mappandesasi karena musik bisa membuat identitas berbeda dengan kelompok lain khususnya generasi tua yang masih melakukan ritual mappandesasi. Fenomena di atas, bila kita meminjam istilah dari Bhaba (dalam Gandhi, 2006:viii) bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat yang disebut “tempat pengucapan ketiga”. Identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hierarki “kemurnian” budaya-budaya tidak dapat dipertahankan lagi. 6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda tentang Ritual Mappandesasi Faktor penyebab terjadinya keterancaman ritual mappandesasi juga dipengaruhi oleh faktor internal, yakni tidak adanya pengetahuan generasi muda nelayan etnik Mandar tentang ritual mappandesasi. Sudah tidak memiliki pengetahuan tentang ritual mappandesasi, ditambah lagi oleh tidak adanya keinginan dari generasi muda untuk mempelajari ritual mappandesasi.
Terjadilah perubahan dalam ritual mappandesasi yang tidak mengarah kepada peningkatan atau kemajuan, akan tetapi mengalami perubahan yang mengakibatkan
penurunan tingkat
pelaksanaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar. Sztompka (1995:57) menyatakan bahwa dalam era mondial tempat terjadi pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai global, mengharuskan
perubahan
tradisi
menjadi
sesuatu
yang
bermakna
bagi
masyarakat
pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi dipengaruhi bahkan disapu bersih oleh globalisasi. Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sedang menghadapi tantangan globalisasi. Para generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka masih baru dan bisa membuat mereka menjadi populer dan terkenal. Salah satunya adalah musik, menurut generasi muda nelayan etnik Mandar dengan mempelajari musik sampai bisa masuk studio rekaman, maka masyarakat generasi muda bisa terkenal, tidak saja di Kelurahan Bungkutoko tapi terkenal seluruh dunia. kalau mempelajari ritual mappandesasi, maka tidak akan pernah membawa generasi muda untuk menjadi populer. Pemikiran inilah yang mengakibatkan para generasi muda untuk tidak belajar tentang kebiasaan-kebiasaan tradisional. Selain itu, tidak adanya keinginan generasi tua untuk mewariskan pengetahuan tradisi ini kepada generasi muda. Fenomena di atas sejalan dengan ungkapan informan Mardin 45 tahun. Mardin merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Mardin mengatakan sebagai berikut. “Saya juga bingung dengan keinginan anak muda sekarang. Mereka maunya harus yang modern-modern, seperti musik karena musik itu bisa membuat generasi muda mendapatkan uang yang banyak dan menjadi terkenal. kemungkinan besar 15 tahun ke depan kami (nelayan etnik Mandar di daerah perantauan ini) tidak lagi memilliki identitas budaya sendiri. Era yang serba modern ini memang mangarahkan manusia untuk serba gempang (praktis) tetapi tidak bisa kita pungkiri juga karena globalisasi kita harus kehilangan tatanan
sosial yang selama ini kita jadikan sebagai ikon budaya dan persaudaraan”. (Wawancara, 23 Januari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan kekhawatiranya atas sikap dan perilaku generasi muda nelayan etnik Mandar yang tidak lagi memperhatikan dan melestarikan tradisi seperti ritual mappandesasi. Generasi muda lebih cenderung melestarikan produk-produk modern seperti musik. Selain itu, ungkapan informan di atas menunjukkan adanya penyesalan terhadap gerakan globalisasi, seharusnya globalisasi mengantarkan manusia untuk modern tanpa harus terserabut dari akar budayanya, tetapi justru produk modern yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat yang sudah ada. Kita pinjam istilah Storey (2007:54) bahwa globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring masyarakat ke persamaan atau homogenitas budaya serta menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengancam eksistensi budaya lokal bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan. Menurut Giddens (2003:8) bahwa kehancuran masyarakat lokal diakibatkan oleh masyarakat lokal itu sendiri yang tidak memiliki kemampuan untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi yang melanda masyarakat lokal sehinga komunitas lokal terserabut dari akar budayanya. Kondisi inilah yang terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Banyak generasi muda yang tidak mengetahui lagi apa yang menjadi tradisi dan tradisi itu sebenarnya memiliki nilai-nilai bagi nelayan etnik Mandar. Salah satu cantoh tradisi yang tidak lagi deketahui oleh generasi muda dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah kebiasaan masyarakat melakukan ritual mappandesasi. Dalam ritual ini banyak terkandung nilai-nilai kebaikan dan dijadikan sebagai pandangan hidup bagi masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar).
Tidak membuat generasi muda nelayan etnik Mandar populer. Ritual mappandesasi dianggap oleh generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan khusunya ilmu agama, sebagai salah satu bentuk praktek kemusryikan. Itulah salah satu penyebab mengapa generasi muda nelayan etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi. Kondisi di atas sejalan dengan penuturan informan
Andri 22 tahun. Andri merupakan salah seorang
pemuda yang aktif dalam dunia hiburan, tetapi sebelum Andri aktif dalam dunia musik, semasa kuliahnya Andri aktif dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Penuturan Andri dicantumkan di bawah ini. “Bagaimana kami (generasi muda) mau mempelajari ritual Mapandesasi, menurut kami itu tidak berarti apa-apa, justru itu hanya menjadikan sebagai masyarakat yang menyembah selain Allah. Masa kita diajarkan untuk berbuat musryik. Selain itu, ritual mappandesasi tidak akan pernah membuat menjadi populer karena itu dilakukan sekali dalam setahun, musimanlah sifatnya. Itupun yang melakukannya hanya para generasi tua, kelompok nelayan, dan anak-anak. generasi tua sudah jarang yang ikut-ikut melakukan itu (ritual mappandesasi). beda dengan kami belajar musik misalnya, karena musik bisa membuat generasi muda menjadi populer, mencari jati diri, pelaksanaannya tidak musiman” (Wawancara, 23 Januari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ketidakmauan generasi muda untuk mempelajari tradisi-tradisi lokal seperti ritual mappandesasi karena ritual mappandesasi sifatnya musiman, cenderung mengajarkan masyarakat untuk menduakan Allah (melakukan kemusryikan). Selain itu, ritual mappandesasi tidak memiliki nilai positif terhadap generasi muda, karena menurut masyarakat nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi tidak akan membuat generasi muda menjadi populer, berbeda dengan belajar musik. Musik bisa membuat generasi muda yang berbakat menjadi terkenal. Ungkapan informan di atas menunjukan bahwa ritual mappandesasi telah kehilangan daya kontrolnya dalam masyarakat sehingga ritual mappandesasi tidak lagi dianggap oleh generasi muda sebagai suatu unsur penyeimbang dalam masyarakat guna menghadapi tantangan globalisasi. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Kleden (1996:239)
bahwa ketika suatu sistem sosial budaya tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem sosial dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu terpaksa berubah karena didesak oleh perubahan. Perubahan yang dimaksud, yakni globalisasi yang telah merusak tatanan sosial dalam suatu masyarakat. 6.2.3 Faktor Tradisi Sebagaimana pandangan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi adalah konstruksi imaginasi masyarakat etnik Mandar melalui simbol-simbol dalam memahami suatu kekuatan yang berada di luar dirinya (Turner, 1976:19). Sejalan dengan itu ritual mappandesasi pada saat yang sama, ditafsirkan sebagai sesuatu yang hadir melalui warisan tradisi leluhur, karena itu harus dipelihara keberlanjutannya, selain itu masyarakat menganggap ritual mappandesasi setara dengan ritual keagamaan. Terasa kontrofersial, karena itu ritual mappandesasi mendapat respon berbeda dari komunitas lain khususnya dari tingkat individu yang memiliki pemahaman agama Islam. Seperti yang telah diuraikan di halaman pembahasan sebelumnya bahwa masyarakat nelayan etnik Mandar merespon fenomena atau mitos ritual mappandesasi ditanggapi berbeda dan variatif. Selain keyakinan terhadap eksistensi ritual mappandesasi yang selalu hadir setiap saat, ada yang memahami ritual yang selama ini dilakukan merupakan warisan atau tradisi leluhur. Menurut pemahaman masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko bernama Sudding, merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar mengatakan bahwa “ada dua makna yang diyakini oleh masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi. Pertama, sebagai pengikut tradisi leluhur dan kedua, sebagai bentuk rasa syukur karena bernazar kepada Tuhan”. Masyarakat nelayan etnik Mandar melanggar atau tidak mengikuti tradisi ini merupakan sebuah bentuk penghianatan terhadap leluhur. Karenanya, sikap dan perilaku yang diambil
sesuai dengan apa yang telah dan pernah dilakukan leluhur etnik Mandar, seperti menyiapkan dan melakukan upacara ritual sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap mitologi ritual mappandesasi relatif berbeda dengan orang yang meyakininya tidak berdasarkan konsep warisan tradisi leluhur. Kelompok ini adalah kelompok orang-orang yang mendalami ajaran agama Islam. Sikap seperti ini berbeda responnya ketika masyarakat nelayan etnik Mandar meyakini atau memahami bahwa praktek ritual ini merupakan kelanjutan dari tradisi yang diajarkan oleh orang tua. Bedanya dengan praktek ritual dengan berdasarkan warisan leluhur terletak pada pola-pola dan bentuk pelaksanaan ritualnya karena masyarakat nelayan etnik Mandar menganggap ritual ini adalah warisan leluhur cenderung mempertahankan pola lama dalam upacara, misalnya dari komposisi makanan yang harus disiapkan sesuai dan sama persis jenis dan jumlahnya yang semestinya disediakan. Sementara bagi nelayan etnik Mandar secara umum dalam era modern ini melihat ritual mappandesasi ini sekedar sebagai bentuk ketaatannya pada orang tua lebih memilih memodifikasi atau reinvention (Hobsbawm dan Ranger, 2003:1) pola-pola ritual yang dilakukan, dalam istilah lain. Misalnya bentuk rokok yang digunakan, meskipun namanya sama akan tetapi bahan dan proses pembuatanya berbeda. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah pola regenarasi yang diterapkan oleh orang tua yang selalu melibatkan anak-anak dalam setiap ada ritual mappandesasi. Masyarakat nelayan etnik Mandar dari pelaku ritual mappandesasi ini berbeda dengan nelayan etnik Mandar yang meyakini ritual sebagai bagian dari kehidupannya. Pada prinsipnya melakukan praktek ritual ini sekedar ikut-ikutan atau istilah lainnya partisipan semu (virtual reality). Sikap dan perilaku yang paling menyolok dari orang-orang seperti ini adalah ambivalens dalam meyakini eksistensi ritual mappandesasi. Biasanya orang-orang yang menampilkan seperti ini adalah yang sedang atau telah mengenyam pendidikan formal, selain itu orang-orang yang
memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran agama Islam. Sikap lain yang dapat dilihat dari orang-orang cenderung melakukan ritual sebagai formalitas tanpa ada usaha dan rasa ingin tahu apa makna simbolik dari ritual mappandesasi. Pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara, kebutuhan dan kekuasaan yang dilakukan suatu masyarakat kegiatan ini dilakukan di samping untuk menjaga kelangsungan kebudayaan itu sendiri, untuk kelangsungan hidup masyarakat. Dalam “A Scientific Theory of Culture and Other assays “, Malinowski menyatakan, tradisi budaya harus disampaikan dari setiap generasi salanjutnya. Cara dan mekanisme sifat pendidikan tersebut harus tetap ada dalam setiap kebudayaan. Peraturan dan hukum harus dijaga, sejak kesepakatan menjadi inti dari setiap kegiatan budaya (Malinowski, 1960 : 37). Demikian halnya dengan generasi terakhir dari orang-orang etnik Mandar yang masih memelihara ritual ini, yang disekolahkan di sekolah agama, seperti madrasah dan pesantren. Prilaku yang mereka tampilkan sangat resisten terhadap instruksi yang diberikan oleh orang tua selama ini.
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
Proses transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, mengenai keberagaman, praktek-praktek ritus lokal, hingga bagaimana suatu komunitas berusaha membangun strategi bertahan di bawah bayang-bayang tantangan global mengalami hambatan serius. Hambatan ini mulai dari relevansi sampai dengan dampak yang dirasakan oleh masyarakat lokal. Dampak dari transformasi sosial ini tidak hanya dirasakan dalam dimensi politik dan ekonomi, tetapi juga dalam aspek spritualitas dan bangunan world view suatu masyarakat.
Kondisi seperti di atas dapat ditemukan dalam masyarakat di Kelurahan
Bungkutoko, khusunya para nelayan etnik Mandar. Beradasarkan data temuan di lapangan yang merupakan hasil interview dengan masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukan ritual mappandesasi, terungkap bahwa dengan adanya arus globalisasi yang melanda Kelurahan Bungkutoko telah membawa dampak terhadap berlangsungnya ritual mappandesasi. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko terkait dengan adanya transformasi sosial yang diakibatkan oleh globalisasi yakni terkait dengan world view, telah terjadi keterancaman dalam ritual mappandesasi.
7.1 Dampak Setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya selalu memiliki akibat atau dampak baik-buruk, untung-rugi, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungan sosialnya. Begitu pula dengan kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota kendari. Kebiasaan melakukan ritual mappandesasi memiliki dampak terhadap lingkungan sosial dan penyebaran masyarakat nelayan etnik Mandar. Perubahan merupakan sifat yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, karena tanpa perubahan manusia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Kebudayaan sebagai salah satu produk hasil karya manusia senantiasa selalu berinteraksi dengan dunia dan berkembang serta berubah dalam perjalanan waktu. Ritual mappandesasi sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan hasil produk masyarakat nelayan etnik Mandar dewasa ini telah mengalami perubahan. Ritual mappandesasi merupakan salah satu identitas budaya bagi nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Adanya perubahan atau keterancaman dalam berbagai tahapan proses yang terkait dengan pelaksanaan ritual mappandesasi membawa berbagai dampak negatif terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. 7.1.1 Dampak Sosial Keterancaman ritual mappandesasi memiliki banyak pengaruh dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai salah satu etnik pendukung dan sekaligus sebagai etnik pelaku ritual mappandesasi. Ritual mappandesasi dimaknai oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai salah satu media untuk membangun keharmonisan antara manusia dengan penghuni alam gaib. Manusia yang dimaksud di sini adalah masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, dan penghuni alam gaib yang dimaksud yaitu penjaga sasi. Pelaksanaan ritual mappandesasi pada tahun-tahun sebelumnya tidak dilaksanakan oleh nelayan etnik Mandar saja, tetapi diikuti oleh semua nelayan yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko Kecamatam Abeli, Kota Kendari. Seiring berjalannya waktu, ritual mappandesasi
mengalami penyusutan, baik itu dari segi anggota dalam pelaksanaan mupun dalam hal sarana dan prasarana ritual. Penyusutan dalam hal jumlah peserta yang diakibatkan oleh faktor peralihan mata pencaharian, secara tidak langsung telah mengakibatkan hubungan-hubungan atau kontak langsung antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan antara etnik yang satu dengan etnik yang lain mengalami penyusutan. Sadar atau tidak sadar, dan sengaja atau tidak disengaja kurangnya kontak langsung atau hubungan secara langsung antara inividu yang satu dengan dinvidu yang lain, antara etnik satu dengan etnik yang lain akan mengakibatkan kurangnya kebersamaan di dalam masyarakat. Dengan sendirinya mengakibatkan terjadi varian-varian di dalam masyarakat. Kelompok nelayan hanya bekerja sama dengan sesama kelompok nelayan, kelompok buruh bangunan bekerja sama dengan kelompok buruh bangunan, dan yang lebih parah lagi pergaulan itu terjadi dalam satu kelompok. Pada awalnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko merupakan masyarakat yang memiliki persatuan dan kerjasama yang kuat, sekarang semangat gotong-royong itu sudah mulai memudar. Persatuan itu dapat dilihat pada saat pelaksanaan ritual mappandesasi terjadi, semua etnis ikut merayakan dan ikut menyumbang terjadi kerja sama yang sangat baik. Dalam era modern sekarang, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan persatuan antarsesama warga. Kondisi ini bisa disimak dari pemaparan Burhan seorang Kepala Kelurahan Bungkutoko. Berikut penuturan Burhan. “Saya menjadi Kepala Lurah di sini sejak tahun 2006 sampai sekarang. Jadi saya menjadi Kepala Lurah di sini sudah lebih satu periode. Pertama kali saya tiba di sini, saya melihat keakraban dan persatuan yang begitu akrab dan kuat di antara sesama. Persatuan ini tidak terjadi dalam kegiatan ritual mappandesasi tetapi selalu saya jumpai persatuan itu dalam setiap kegiatan. Baik itu kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti dan kegiatan yang menyangkut hajatan seseorang. Dulu pertama kali saya menyaksikan ritual mappandesasi ini, saya kaget karena semua etnik yang ada di Kelurahan Bungkutoko ini ikut semua. Jadi saya kira ini tradisi masyarakat di kelurahan ternyata itu tradisi masyarakat etnik
Mandar. Saya melihat pemudaran kerjasama dan persatuan antarsesama warga itu sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu. Di mana masyarakat sudah banyak beralih mata pencaharian. Masing-masing sibuk dengan pekarjaannya. Jangankan dalam ritual mappandesasi yang mengalami penyusutan peserta, kerja bakti pun sudah banyak yang tidak ikut. Justru saya melihat sudah terjadi berbedaan perlakuan dalam masyarakat antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Ada kelompok yang merasa dirinya lebih baik dan mediskreditkan kelompok lain” (Wawancara, 20 Januari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko sudah terjadi pergeseran dan penyusutan rasa persatuan dan kebiasaan gotong-royong. Semua ini diakibatkan oleh jenis dan lokasi pekerjaan setiap individu dalam masyarakat yang berbedabeda. Ada yang bekerja sebagai sopir angkutan umum, tukang ojek, buruh bangunan, sebagai karyawan di beberapa perusahaan dan beberapa pusat-pusat perbelanjaan di Kota Kendari, dan sebagian tetap bekerja sebagai nelayan. Semua jenis pekerjaan ini dilakukan oleh warga etnik Mandar sebagai pemilik tradisi ritual mappandesasi. Banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan oleh warga masyarakat mengakibatkan diskriminasi di antara kelompok. Yang sering menonjolkan perbedaan di antara kelompok itu adalah kelompok karyawan. Kelompok ini selalu mendiskriminasi kelompok nelayan, bahkan tidak segan-segan kelompok karyawan menganggap kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat rendah dan tidak memiliki pendidikan. Ungkapan informan di atas sejalan dengan Gandhi (2006:141) bahwa suatu masyarakat atau penduduk menghadapi dua bentuk penjajah, yakni penjajah asing dan penguasa patriakal pribumi yang menindas. Kelompok pekerja sebagai karyawan menganggap dirinya sebagai kelompok superior (berhak menjajah) karena memililki pekerjaan yang lebih baik daripada kelompok pekerja sebagai nelayan
sehingga atas dasar ini mereka menganggap
kelompok kerja nelayan sebagai masyarakat atau kelompok inferior (harus dijajah). Menjajah dan dijajah dalam tulisan ini adalah kelompok pekerja sebagai karyawan menjajah kebiasaan
atau budaya dari kelompok pekerja nelayan dengan menghadirkan kebiasaan atau budaya baru dalam masyarakat. 7.1.2 Dampak Ekonomi Keterancaman ritual mappandesasi tidak saja berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi dampaknya ikut dirasakan oleh masyarakat nelayan sendiri. Sesuai dengan substansinya, masyarakat nelayan etnik Mandar mengadakan atau melakukan ritual mappandesasi dengan tujuan untuk meminta keselamatan dalam melaut, dan meminta supaya diberikan rezeki yang banyak dalam melaut. Masyarakat meminta kedua hal tersebut kepada penjaga sasi atau masyarakat nelayan etnik Mandar biasa menyebutnya dengan istilah setasasi. Terkait dengan tujuan awal masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi untuk meminta rezeki yang banyak dalam melaut kepada penjaga sasi. Ketika masyarakat tetap melakukan ritual mappandesasi sesuai dengan urutan dan memenuhi semua prasyarat seperti yang disebutkan dalam halaman pembahasan sebelumnya, masyarakat selalu mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Ketika masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi dengan tidak memenuhi semua persayaratan seperti yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, maka masyarakat juga mengalami kekurangan penghasilan. Disadari atau tidak disadari oleh masyarakat, ritual mappandesasi ini bisa dikatakan sebagai ritual yang memiliki konsekwensikonsekwensi terhadap masyarakat pelaku ketika tidak melakukan ritual mappandesasi sesuai dengan prosedur. Nelayan etnik Mandar bukan melakukan ritual mappandesasi tidak sesuai dengan prosedur dan mengikuti syarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, akan tetapi para nelayan sekarang melakukan ritual mappandesasi dengan membarukan atau mengurangi syaratsyarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Misalnya, sapi yang dulunya ikut dijadikan sebagai syarat dalam ritual mappandesasi, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena
harga sapi yang mahal. Selain itu, pembaruan yang dilakukan oleh masyarakat pelaku ritual mappandesasi adalah rokok yang menjadi prasyarat dalam ritual mappandesasi dulunya berasal dari tembakau tradisional yang digulung dengan daun nipa kering, sekarang sudah diganti dengan rokok yang merupakan hasil produksi modern. Salah satu konsekwensi yang dirasakan oleh masyarakat nelayan ketika tidak melakukan ritual mappandesasi sesuai dengan persyaratan yang diwariskan oleh nenek moyang adalah berkurangnya hasil tangkapan para nelayan dalam melaut. Karena penghasilan dalam melaut sudah tidak seperti dulu lagi (mengalami penurunan) membuat masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan pergantian mata pencaharian. Sebagian nelayan etnik Mandar sepertinya mengalami frustasi dan menjadi kurang yakin lagi dengan ritual mappandesasi. Hal inilah, yang membuat nelayan etnik Mandar harus melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja yang tidak berhubungan dengan laut. Peralihan mata pencaharian ini lebih diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian nelayan etnik Mandar tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya dengan menggantungkan hidup dari melaut. Kenyataan ini tidak saja dirasakan oleh para nelayan yang memiliki kebutuhan ekonomi rumah tangga yang banyak, seperti orang tua yang memiliki anak lebih dari empat orang dan semuanya sekolah. Kondisi ini dirasakan oleh nelayan yang baru memiliki anak dua atau tiga orang. Informan Rustam (45 tahun), memiliki enam orang anak dan salah satu di antaranya sudah duduk di kursi perguruan tinggi. Rustam menuturkan pengalamanya di bawah ini. “Saya menjalani pekerjaan sebagai nelayan sejak saya berusia 25 tahun. Sampai usiaku memasuki 44 tahun saya tidak lagi memaksakan diri untuk melaut. Bukan karena usia saya yang sudah tua tetapi karena hasil dalam melaut sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang hasil dalam melaut itu untung-untungan bisa mencapai Rp. 200.000,-/orang setelah dibagi. Dikerjakan selama sebulan dengan hasil yang demikian sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi saya sudah memiliki anak yang sudah kuliah. Kejadian ini sering kami (nelayan) alami
setelah melakukan ritual mappandesasi dengan tidak menggunakan sapi dan tembakau tradisional sebagai sarananya. Tapi kalau kami gunakan sapi, harganya sudah mahal, sementara orang yang melakukan ritual mappandesasi sudah sendiri-sendiri. Artinya sesuai kelompok nelayannya, tidak lagi dilakukan secara bersama-sama. Adik-adiknya masih ada empat orang dan tiga di antaranya sudah bersekolah. Itulah sebabnya saya kembali pada pekerjaan saya masih di Mandar sebagai sopir angkutan umum. Alhamdulillah saya rasa hasilnya lebih memungkinkan daripada penghasilan saya sebagai nelayan” (Wawancara 9 Februari 2011). Kondisi seperti di atas tidak saja dirasakan oleh Rustam, tetapi dirasakan oleh para nelayan lain. Salah satu di antara masyarakat etnik Mandar adalah Andi (34). Andi yang memiliki dua orang anak merasa penghasilannya dari melaut sudah tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi ini dirasakan Andi sejak beberapa tahun terakhir ini. Hal ini diakibatkan oleh hasil tangkapan nelayan dalam melaut yang tidak seperti dulu lagi. Sekarang susah untuk mendapatkan ikan, padahal tempat berlayar atau melaut sudah dekat dengan perbatasan Negara Malaysia. Berikut penuturan dari Andi. “Rata-rata hasil tangkapan nelayan sekarang sangat sedikit, saya tidak tau ini diakibatkan oleh apa! Sementara kami berlayar sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Susah sekali untuk mendapatkan ikan. Ada empat kali berlayar kami mendapatkan hasil yang sedikit. Kejadian ini sering dialami oleh para nelayan, bukan saja kami setelah terjadi beberapa pergantian bahan dalam ritual mappandesasi. Dari situ saya berpikir mendingan cari pekerjaan lain dulu di darat. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan iparku mendapat pekerjaan (borongan) membangun Rumah Toko (Ruko) di kota. Saya ikut dia saja, dan hasilnya lebih memuaskan. Satu minggu terimah gaji bersih sebesar Rp. 300.000,-, sementara kalau melaut uang tiga ratus ribu itu tidak dapat dalam sebulan” (Wawancara, 9 Februari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa berkurangnya hasil tangkapan dalam melaut kemungkinan besar karena diakibatkan oleh terjadinya pembaruan dan pengurangan sarana dalam melakukan ritual mappandesasi. Pengurangan dan pembaruan ini dipengaruhi oleh mahalnya harga sapi dan susahnya mencari tembakau tradisional. Kelompok nelayan tidak lagi melakukan ritual mappandesasi secara bersama-sama (satu kelompok besar), tetapi setiap kelompok nelayan melakukan sendiri-sendiri ritual mappandesasi. Hal ini diakibatkan karena
tempat berlabuhnya kapal yang berbeda-beda dan sangat berjauhan. Dengan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan dalam melaut, semakin menunjukkan bahwa begitu pentingnya sarana ritual dalam mappandesasi sehingga harus dipenuhi secara keseluruhan. Ungakapn di atas sejalan dengan M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis benda-benda yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk benda, seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan masing-masing memiliki makna tersendiri yang tidak jauh dari pemaknaan secara kontekstual. 7.1.3 Dampak Budaya Dampak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat nelayan etnik Mandar adalah pengaruh pendidikan, agama, dan kehidupan modern yang mempengaruhi dari aspek akulturasi tardisi agama dan kehidupan modern, kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan. Konformisme dalam perilaku kolektif mendominasi kehidupan individu. Perubahan yang sangat drastis, berkembang menjadi krisis multidimensi termasuk di dalamnya budaya, membuat suatu pilihan tentang apa yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Pilihan yang dimaksud adalah reformasi dan transformasi. Pilihan sudah diambil oleh masyarakat generasi muda berdasarkan pendidikan, agama dan kehidupan modern menuju keterancaman. Transformasi hidup yang diharapkan oleh masyarakat karena harapannya ingin cepat mencapai hasil, maka tanpa disadari apa yang terjadi adalah merupakan transformasi. Pengaruh modernitas dalam aspek budaya yang dianggap tidak bernilai dapat mempengaruhi seluruh bagian. Akibat dunia era globalisasi mendorong kontak antarbudaya semakin pesat. Kontak budaya dapat dimaknai sebagai pertemuan antara nilai baru dengan nilai lama yang terjadi di luar dan di dalam masyarakat nelayan etnik Mandar dan pada akhirnya melahirkan perubahan budaya Soemarjan (1995: 64) mengatakan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tradisional yang mempengaruhi sistem sosialnya. Sementara oknum
mengemukakan bahwa perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material maupun inmaterial, terutama yang menekankan pengaruh yang datang dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap kebudayaan inmaterial. Perubahan budaya berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sistem stratifikasi sosial, sistem nilai dan norma sosial, proses sosial, struktur sosial, pola sikap dan tindakan sosial dalam keberadaan masyarakat, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan sosial berproses di dalam masyarakat dan mengubah masyarakat secara keseluruhan secara bertahapan. Perubahan terjadi akibat adanya faktor yang datang dari internal dan faktor eksternal terutama agama dan pendidikan. Doktrin agama mempengaruhi dalam keterancaman kehidupan adat- istiadat menyebabkan identitas diri dan jati diri dalam nilai-nilai budaya yang mengatur kehidupan manusia telah mengaburkan konteks keterancaman ritual mappandesasi. Dalam kenyataannya agama proses akulturasi sampai asimilasi, lebih jauhnya sampai homogenisasi atau penyeragaman budaya. Di samping itu, neoliberalisasi yang merasuk semua ranah kehidupan, termasuk pendidikan, nilai-nilai asli yang sebelumnya sakral dan menjadi bagian dari jati diri masyarakat hilang dan tidak bermakna lagi. Pada saat nilai-nilai modern mulai terkontaminasi terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar, saat itu pula terjadi proses penggiringan nilai-nilai budaya masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya split dan kegamangan nilai. Kegamangan nilai yang dialami masyarakat dewasa ini merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal, memarginalkan peranan nilai-nilai transendental serta tunduk pada paham individualism dan kapitalisme. Akibatnya, manusia kehilangan roh kemanusiaan dan kosong dari nilai-nilai spiritual. Kemampuan otak dan rasionalitas telah mencapai titik puncak dan tidak dibarengi dengan kekuatan rohaniah, akibatnya hidup menjadi kehilangan makna. Mengingat tantangan
yang dihadapinya semakin nyata dan kompleks, maka proses pendidikan yang berbasis pada nilai etika dan budaya dewasa ini menjadi sangat penting. Tantangannya datang dari berbagai arah, terutama datang sebagai efek dari arus informasi global. Susanto (1998: 27) menyebutkan dalam era globalisasi yang terbuka ini, terpaksa informasi sangat memungkinkan seseorang mengadopsi nilai-nilai pengetahuan dan kebiasaan luar lingkungan sosialnya jauh dari jangkauannya secara fisik. Dalam kondisi semacam itu, pertahanan nilai etika dan budaya yang menjadi pegangan masyarakat akan semakin tergoyahkan, nilai tradisi yang ramah, lembut, dan santun bisa tergilas oleh nilai-nilai baru yang bersandar dan berlindung pada kebebasan dengan mengatasnamakan hak asasi. Dengan demikian, standar nilai yang dipegang oleh masyarakat akan semakin rapuh dan siap untuk digantikan dengan standar lainnya. Nilai-nilai yang bersumber kepada budaya atau tatanilai yang dipegang teguh masyarakat akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Karena itu, rujukan nilai etika yang dikembangkan oleh pendidikan tidak cukup hanya berdasarkan nilai moral masyarakat, melainkan nilai transendetal yang bersumber dari agama tradisional perlu diperpadukan agar nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang mengatur kehidupan manusia dalam pancasila sebagai identitas bangsa berdasarkan kehidupan budaya nusantara perlu dipertahankan dalam setiap generasi, karena budaya global mempengaruhi budaya nasional menyebabkan budaya lokal dimarginalkan dengan ideologi pembangunan, berubah lagi otonomi khusus dan otonomi daerah pun tidak menyelesaikan sosial ekonomi masyarakat tetapi menghancurkan sosial budaya yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan. 7.2 Makna Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan nalurinya. Demikin pula halnya masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan
ritual mappandesasi selalu merasakan kepuasan, kedamaian dan kenyaman dalam menjalankan aktivitasnya di laut sebagai nelayan. Dalam hal ini, hadirnya ritual mappandesasi didukung oleh tradisi kebiasaan para nelayan etnik Mandar sehingga dapat dilihat bagaimana masyarakat nelayan etnik Mandar memaknai ritual mappandesasi tersebut. Makna itu sendiri diberikan oleh suatu subjek atau penafsir terhadap yang dimaknainya atau yang dia tafsirkan. Sehubungan dengan hal ini, Ratna (2008:127) mengungkapkan bahwa makna merupakan suatu representasi, proses menghadirkan kembali, yang diperoleh penafsir melalui kegiatan menafsirkan. Dalam kehidupan masyarakat, pemaknaan akan mengikuti lajunya perubahan perilaku dan struktur sosial budaya dalam masyarakat yang selalu bergerak dinamis. Berangkat dari pernyataan inilah, tentunya makna akan terus bergerak mengikuti teks dan konteks. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Derrida (dalam Sarup, 2000:48) bahwa makna tidak bisa tetap, tidak bisa sama dan akan bergerak terus dari konteks yang satu ke konteks yang lainnya. Ritual mappandesasi yang dulunya ada di daerah Mandar, Sulawesi Barat sekarang ritual mappandesasi telah sampai di Kelurahan Bungkutoko, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Hal ini diakibatkan oleh nelayan etnik Mandar yang fanatik terhadap tradisi dan budaya. 7.2.1 Makna Religius Seorang manusia yang mempercayai dan menghayati ajaran suatu agama akan memperoleh kerangka berpikir untuk dijadikan acuan dalam memaknai semua kejadian yang dialami sepanjang hidupnya. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi. Ritual mappandesasi dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai salah satu media yang bisa menghubungkan antara manusia dengan penjaga sasi. Selain itu, ritual mappandesasi juga dimaknai oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai salah satu
media yang memecahkan permasalah nelayan etnik Mandar dalam melaut, khususnya masalah yang berhubungan dengan alam gaib. Dhavamony (1996:167) mengatakan bahwa agama adalah tindakan simbolis dan dalam mengekspresikan tindakan simbolis itu berlangsung konsekrasi dalam artian terjadi perubahan imaji terhadap sesuatu, baik benda maupun situasi atau keadaan. Konsentrasi yang ada dalam ritual mappandesasi dapat dijumpai dalam penuturan doa-doa yang digunakan dan dalam lafaz niat yang digunakan dalam ritual mappandesasi. Semua doa dan niat yang digunakan memiliki atau mengandung makna magis, dan bahasa yang digunakan menyiratkan pengertian mistik. Sehubungan dengan pengertian yang demikian, terjadilah transubstansi dari suasana profan menjadi suasana sakral. Kondisi seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa dengan melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar sebenarnya tidak menginginkan terjadinya keselarasan dengan penjaga sasi sebagai fungsi utama, akan tetapi dalam melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar telah menunjukkan kepada publik bahwa aktif dalam menjalankan kepercayaanya sebagai bentuk ketaatan atau implikasi dari religi. Ritual mappandesasi dikatakan memiliki makna religius karena dalam penyampaian permohonan kepada penjaga sasi selalu dengan menggunakan doa-doa yang mengandung mistik seperti penjelasan di halaman sebelumnya dalam tulisan ini. Selain itu, kesadaran para generasi tua yang masih melaksanakan ritual mappandesasi merupakan satu indikator bahwa kepercayaan masyarakat terhadap ritual mappandesasi sangat tinggi dan dianggap sangat sakral. Hal ini dapat dilihat dalam penuturan informan Muhtardi bawah ini. “Dalam melaksanakan ritual mappandesasi masyarakat yang ikut sebagai peserta menunjukkan kekhusukan mereka dalam menjalani ritual mappandesasi ini. Kekhusukan dalam melaksanakan ritual mappandesasi karena menurut nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi ini merupakan induk dari segala pemecahan permasalahan dalam kehidupan etnik Mandar, khususnya yang tinggal di daerah
pesisir dan menggantungkan hidup pada saat melaut. Kami meyakini bahwa kalau tidak melakukan ritual mappandesasi terus langsung melaut, maka kami sering mendapatkan bahaya, seperti tidak mendapatkan ikan, selalu dihantam oleh ombak, setelah kami melakukan ritual ini maka kami baru mengerti bahwa harus melakukan dulu ritual jika kami belum melakukan ritual. Oleh karena itu, dengan melakukan ritual mappandesasi, kami merasakan kenyamanan tersendiri dalam melaut. Itu sebabnya kami selalu melakukan ritual mappandesasi dan menghindari larangan-larangan yang bisa membatalkan kemanjuran doa-doa dalam ritual ini” (Wawancara 10 Februari 2011). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa setelah melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar merasakan ada kepuasan batin tersendiri. Kepuasan batin itu sehingga membuat nelayan etnik Mandar untuk selalu melakukannya. Kepuasan yang selalu merasa nyaman dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut. Itulah yang membuat nelayan etnik Mandar selalu melakukan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan dengan E.B Tylor (dalam Koentjaraningrat 1987:71) yang mengatakan suatu kelompok manusia selalu mengulangi tindakannya karena dimotivasi oleh kepuasan tersendiri yang diperoleh melalui tindakanya tersebut. 7.2.2 Makna Solidaritas Manusia sebagai makhluk sosial yang di dalam kehidupannya senantiasa dituntut untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang lain guna menjalani aktivitas kehidupan dalam Kesehariannya. Manusia harus menjalin atau membangun hubungan solidaritas yang penuh harmonis dengan Tuhan sang Pencipta, dengan sesama manusia dan dengan alam yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sebagai makhluk sosial tidak hanya menjalin hubungan solidaritas yang harmonis dengan Tuhan, dan manusia. Akan tetapi, masyarakat nelayan etnik Mandar selalu menjalin hubungan yang harmonis dengan penguasa ilmu gaib seperti dewa-dewa, roh nenek moyang, bahkan dengan penjaga sasi sekalipun. Hubungan solidaritas antara masyarakat nelayan etnik Mandar dengan penguasa alam
gaib, khususnya penjaga sasi termanifestasi dalam bentuk upacara ritual mappandesasi atau ritual memberi makan laut. Dalam melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, selalu dikerjakan bersama-sama dengan orangorang di sekitarnya (secara gotong-royong). Dengan melakukan ritual mappandesasi, maka sama halnya menguatkan kembali rasa persatuan, kebersamaan, dan solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sesama etnik Mandar, dengan etnik lain, serta dengan lingkungan, dalam hal ini laut, dan antara etnik Mandar dengan penguasa alam gaib seperti penjaga sasi. Solidaritas antara sesama manusia, dapat dilihat dalam bentuk kerja sama masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam tolong-menolong menyiapkan semua perlengkapan sarana upacara ritual mappandesasi. Solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dengan alam, khususnya sasi dapat dilihat bahwa setelah melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dapat melaksanakan aktivitasnya sebagai nelayan dengan aman dan nyaman. Adapun solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar dengan penguasa alam gaib (penjaga sasi) dapat dilihat dengan keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini terjadi karena salah satu fungsi dari ritual mappandesasi adalah meminta kepada penjaga sasi agar memberikan rezeki yang banyak. Dalam era globalisasi seperti sekarang, masyarakat nelayan etnik Mandar sebagian sudah beralih mata pencaharian, dari nelayan berpindah mata pencaharian menjadi sopir angkutan umum, tukang ojek, dan menjadi buruh bangunan, atau menekuni aktivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Hal ini membuat peserta ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko menjadi berkurang. Meskipun masyarakat yang mata pencahariannya tidak lagi berhubungan dengan laut, bukan berarti sudah tidak ada rasa solidaritas di antara masyarakat nelayan etnik Mandar. Masyarakat yang beralih mata pancaharian tidak ikut serta dalam
pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi pada saat mengumpulkan atau membuat sarana ritual tetap meluangkan waktu untuk ikut membantu. Dengan kondisi ini, ritual mappandesasi bagi masyarakat nelayan etnik Mandar masih diyakini sebagai sesuatu yang sangat bermakna dalam pencapaian kebersamaan dan membangkitkan rasa solidaritas. Di bawah ini dicantumkan penuturan informan Imran, (31 tahun) dan berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. “Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah banyak yang berpindah mata pencaharian dan melakukan akitivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Secara otomatis memang mereka tidak mengikuti pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi dalam mengumpulkan bahan dan membuat sarana ritual, masyarakat yang tidak lagi melakoni aktivitas sebagai nelayan tetap meluangkan waktunya untuk selalu ikut membantu. Masyarakat selama ini tidak sering ketemu karena kesibukan dengan pekerjaan masing-masing, terkesan sudah tidak ada keakraban dan kebersamaan lagi diantara sesama. Akan tetapi, pada saat mengumpulkan bahan dan membuat peralatan ritual suasana ketidakakraban itu kembali menjadi sebuah kebersamaan dan membangun solidaritas yang tinggi dengan aktivitas mereka tolong-menolong dalam membuat dan mengumpulkan peralatan ritual” (Wawancara, 20 Februari 2011). Penuturan Imran di atas menunjukkan bahwa ritual mappandesasi bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko selain berfungsi untuk mempermudah datangnya rezeki, berfungsi sebagai media untuk membangun solidaritas di antara sesama warga di Kelurahan Bungkutoko. Meskipun masyarakat nelayan etnik Mandar telah mengalami sekat-sekat dalam hal ini perbedaan jenis mata pencaharian akibat tuntutan kebutuhan ekonomi di era globalisasi ini. Akan tetapi, solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko tetap terjaga dan terbangun dengan adanya ritual mappandesasi. Penuturan informan di atas berbanding terbalik dengan pendapat Syaefudin, (2007:185) yang mengatakan bahwa secara sosiologis masyarakat sedang mengalami perubahan sosial yang cepat akibat globalisasi, akibatnya dapat dirasakan, khususnya di segmen-segmen masyarakat tertentu telah mengalami disorientasi, dilokasi dan alienasi yang semuanya sangat kondusif bagi timbulnya keresahan sosial. Masyarakat yang biasanya sangat rentan terjadi dengan apa yang disebut konflik.
7.2.3 Makna Kedamaian Selain makna religi dan makna solidaritas, masih ada makna lain yang terkandung dalam ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukannya. Makna tersebut adalah makna kedamaian bagi masyarakat yang selalu melaksanakan ritual mappandesasi sebelum dan sesudah melakukan pelayaran atau melakukan aktivitas sebagai nelayan (menangkap ikan). Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di halaman-halaman sebelumnya bahwa salah satu eksistensi dari pelaksanaan ritual mappandesasi adalah memnita kepada setasasi supaya diberikan keselamatan kepada nelayan etnik Mandar dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai nelayan. Terkait dengan eksistensi di atas, maka masyarakat nelayan etnik Mandar yang telah melakukan ritual mappandesasi, selalu mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan kenyamanan dalam melaut. Tidak merasa gentar atau takut meskipun melewati lautan bebas yang gelombangya besar. Nelayan yang sudah melakukan ritual mappandesasi selalu berpikiran bahwa tidak akan mendapat musibah apa-apa dalam melaut meskipun melewati ombak besar karena penjaga sasi sudah berpihak kepada mereka atau penjaga sasi selalu melindungi mereka dari segala mara bahaya yang mengancam. Kedamaian yang didapat oleh nelayan etnik Mandar setelah melakukan ritual mappandesasi ini tidak saja dirasakan pada saat melakukan pelayaran untuk menangkap ikan, tetapi merasakan setelah melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Kedamaian yang dirasakan setelah menangkap ikan adalah kedamaian dan ketenangan jiwa setelah mengkonsumsi hasil (uang) yang diperoleh dari melaut. Kedamaian ini, seperti membeli barang dengan menggunakan uang hasil dari melaut, barang-barang tersebut dapat awet dan tahan lama. Uang yang diperoleh dari hasil melaut bisa ditabung, tidak selalu dikeluarkan (tidak panas), berbeda dengan uang yang diperoleh dengan tidak mengeluarkan keringat.
Pemahaman masyarakat seperti di atas terjadi atau terpola dalam pemikiran dan tingkahlaku masyarakat nelayan etnik Mandar secara turun temurun dari nenek moyang. Disadari atau tidak disadari pemikiran itu ada dengan sendirinya dalam otak para nelayan etnik Mandar karena seringnya anak-anak melihat dan mendengarkan apa yang sering dilakukan oleh orang tua. Oleh karena itu, kebiasaan berpikir dan berprilaku seperti itu masih ada yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, jumlahnya sudah tidak sebanyak dulu lagi. Meskipun jumlah yang mempertahankan tradisi sudah tidak banyak tetapi tidak menyurutkan niat kelompok penerus tradisi ini untuk tidak melakukan kebiasaan nenek moyangnya, yakni melakukan ritual mappandesasi. Dengan jumlah yang tinggal sedikit semakin kelihatan bahwa mereka tetap eksis melakukan ritual mappandesasi. Meskipun hasil tangkapan yang sudah tidak banyak dalam setiap kali melakukan pelayaran, nelayan etnik Mandar tetap berpikiran bahwa ini persoalan nasib. Kelompok ini samapai sekarang tetap melakukan ritual mappandesasi karena didorong oleh keinginan para nelayan untuk mendapatkan berbagai kenikmatan dan kedamaian seperti yang telah diuraikan di atas. Refleksi Ritual mappandesasi merupakan salah satu ritual tradisi yang dimiliki oleh nelayan etnik Mandar yang selalu mereka lakukan pada saat mau turun melaut atau pada saat mereka pulang melaut di mana pun mereka berada. Pada awalnya ritual ini dilakukan sekali dalam dua tahun. Akan tetapi, nelayan etnik Mandar yang bermukin di kelurahan Bungkutoko, sekarang melakukan ritual mappandesasi ini sekali dalam setahun. Hal ini dilakukan karena nelayan etnik Mandar banyak mengalami kesialan dalam melaut, seperti selalu mendapatkan musibah dalam melaut, selalu mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit. Setelah melakukan ritual
mappandesasi sekali dalam setahun, nelayan etnik Mandar selalu mendapatkan kedamaian, kenyamanan serta mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut. Pada awal pelaksanaan ritual mappandesasi ini di Kelurahan Bungkutoko, semua nelayan yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, baik itu dari etnik Mandar maupun dari etnik lain ikut melaksanakan, turut merayakan meskipun sebagai peserta. Seiring berjalan waktu, ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan. Adapun bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah terjadinya pengurangan jumlah peserta, terjadinya pengurangan dan adanya pembaruan dalam hal sarana dan prasarana ritual. Pengurangan sarana ritual misalnya pada awal pelaksanaan ritual binatang yang menjadi sesembahan terdiri atas binatang sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu), tetapi sekarang binatang sesembahan itu tinggal kambing (beke) dan ayam (mannu). Pembaruan dalam sarana ritual, dulunya ritual mappandesasi ini menggunakan perlengkapan sarana, seperti tembakau tradisional yang digulung dengan daun nipa, sekarang sudah dibarukan dengan menggunakan rokok modern yang dibeli di toko atau warung-warung. Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari diakibatkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal atau perubahan yang diakibatkan oleh faktor dari luar seperti keterancaman diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan media, kemajuan ilmu pengetahuan, dan diakibatkan oleh faktor ekonomi. Kemajuan teknologi dan media mempengaruhi pola perilaku manusia yang diakibatkan oleh pencitraan media, seperti media televisi dan internet. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya generasi muda banyak yang tidak mau melakukan ritual mappandesasi karena dianggap ritual mappandesasi itu salah satu praktek tindakan kemusyrikan dan dianggap oleh generasi muda ritual mappandesasi sebagai tindakan yang cenderung mengubah ajaran Islam yang seseungguhnya karena memimta
sesuatu kepada selain Allah. Keterancaman yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, yakni terjadinya persebaran penduduk untuk mencari pekerjaan karena desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan. Ritual mappandesasi dianggap sebagai salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yang selalu dilakukan sekali dalam setahun guna mencari ketenangan, kedamaian, kenyamanan pada saat melakukan aktivitasnya sebagai nelayan. Selain itu, ritual mappandesasi dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar untuk meminta keselamatan dan rezeki yang banyak pada saat melaut. Keterancaman ritual mappandesasi melahirkan beberapa dampak yang terjadi dalam masyarakat, seperti dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan. Ritual mappandesasi juga memberikan makna bagi masyarakat nelayan etnik Mandar. Adapun makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar, yakni makna religius, makna solidaritas, dan di dalam ritual mappandesasi juga terdapat makna kedamaian. Ritual mappandesasi merupakan ukuran kualitas tinggkat religiusitas terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar. Selain sebagai ukuran tingkat religiusitas masyarakat nelayan etnik Mandar, ritual mappandesasi merupakan simbol pemersatu masyarakat nelayan etnik Mandar. Pada saat ada hajatan untuk melakukan ritual mappandesasi maka semua warga nelayan etnik Mandar bahu membahu mencari, mengumpulkan bahan-bahan untuk perlengkapan ritual mappandesasi. Kebersamaan itu tidak berlaku di kalangan kaum laki-laki tetapi berlaku pada kaum perempuan. Para perempuan bekerjasama atau bergotong royong mengerjakan pekerjaan dapur, seperti membuat sokko, memasak daging beke untuk perlengkapan ritual, dan sebagainya.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Ritual mappandesasi adalah sebuah ritual yang dimiliki oleh nelayan etnik Mandar, ritual selalu dilakukan sekali dengan menggunakan jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut ditentukan oleh sandro sebagai pemimpin dalam pelaksanaan ritual tersebut dengan berdasarkan kesepakatannya dengan penjaga sasi atau seta sasi. Biasanya ritual mappandesasi ini dilakukan oleh nelayan etnik Mandar sekali dalam setahun atau berdasarkan hasil perjanjian sandro dengan penjaga sasi. Pergelaran ritual ini dilakukan biasanya sebelum melakukan pelayaran untuk menangkap ikan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan rezeki yang banyak kepada penjaga sasi dan setelah melakukan pelayaran menangkap ikan sebagai bentuk rasa syukur para nelayan kepada penjaga sasi atas berkah yang telah dia berikan kepada nelayan. Ritual mappandesasi ini selalu dilakukan dimulai pada hari Kamis dan puncak pelaksanaan ritual mappandesasi, yakni pada malam hari (malam Jum’at). Hari Kamis dan malam Jum’at yang dipilih tidak sembarang hari Kamis atau malam Jum’at, tetapi hari Kamis yang dipilih adalah harus bertepatan dengan penghitungan 10 bulan di langit. Puncaknya dilakukan pada malam hari karena pada malam Jum’at yang bertepatan dengan hitungan 10 bulan di langit dianggap oleh nelayan etnik Mandar sebagai malam yang penuh berkah atau biasa disebut dengan pangguduna alo.
Dalam pelaksanaan ritual mappandesasi masyarakat menyiapkan beberapa perlengkapan sebagai sarana ritual. Perlengkapan tersebut terdiri atas sapi, beke, dan mannu sebagai binatang sesembahan. Akan tetapi, sekarang sapi sudah tidak digunakan lagi karena harganya mahal.
Selain binatang sesembahan, sarana ritual mappandesasi terdiri atas daun sirih (pamera), pinang (taru’), daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang), bambu (taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna, yaitu merah, kuning, hitam, dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri). Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas lima tahapan, yakni tahapan pengumpulan sumbangan,
tahapan
pemotongan
binatang
sesembahan,
tahapan
pelaksanaan
ritual
mappandesasi, tahapan meletakkan sesajen, dan tahapan akhir adalah acara makan bersama. Pelaksanaan ini dipimpin oleh seorang pimpinan ritual yang disebut sandro. Tiap tahapan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi ini memiliki sandro masing-masing, terkecuali tahapan pengumpulan sumbangan. Tahapan ini dipimpin oleh salah seorang masyarakat yang ditokohkan dalam masyarakat. Dulu pelaksanaan ritual mappandesasi ini dijalankan sesuai dengan tradisi yang diturunkan atau diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Akan tetapi, dalam era globalisasi seperti sekarang telah terjadi penyusutan eksistensi, terjadinya pengurangan dan pembaruan terkait dengan sarana dan prasarana
ritual mappandesasi dalam masyarakat.
Peyusutan atau berkurangnya jumlah peserta yang diakibatkan oleh penyebaran penduduk dalam hal mencari lapangan pekerjaan baru. Penghasilan sebagai nelayan dianggap oleh sebagian nelayan etnik Mandar tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena hasil tangkapan ikan yang sudah berkurang. Penghasilan sedikit, sedangkan kebutuhan yang harus dipenuhi banyak terutama terhadap nelayan yang anaknya telah duduk di bangku kuliah. Keterancaman dalam ritual mappandesasi disebabkan oleh beberapa faktor yang tiap-tiap faktor memiliki keterkaitan yang erat. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar yakni faktor eksternal, dan factor internal. Faktor ekternal meliputi faktor teknologi dan media, faktor pendidikan, dan faktor ekomoni. Adapun faktor internal, yaitu tidak adanya pengetahuan
generasi muda tentang ritual mappandesasi dan tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua kepada generasi muda, serta faktor tradisi. Sementara dampak keterancaman ritual mappandesasi dalam kehidupan nelayan etnik Mandar adalah dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan. Ritual mappandesasi juga memiliki makna terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar, yakni makna religi, makna solidaritas, dan makna kedamaian.
8.2 Saran Fenomena keterancaman ritual dalam masyarakat sudah menjadi tontonan yang biasa bagi setiap masyarakat. Akan tetapi, tidak semua masyarakat pendudukung kebudayaan menganggap keterancaman itu sebagai hal yang biasa. Banyak masyarakat yang justru resah dengan fenomena keterancaman ini, karena mengakibatkan pergeseran identitas dan mengakibatkan perubahan kebiasaan yang dianggap oleh masyarakat sudah menjadi pandangan hidup. Perubahan-perubahan ini diakibatkan oleh faktor globalisasi yang merenggut dan meluluhlantahkan tatanan sosial yang pernah ada dalam masyarakat. Melihat kondisi yang demikian, maka peneliti menyarankan kepada pihak-pihak yang terkait supaya segera memperhatikan nasib kebudayaan lokal yang juga merupakan pendukung paling utama kebudayaan nasional. Oleh karena itu, peneliti menyarankan beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam bertindak. 1. Kepada Masyarakat Khususnya para orang tua agar tetap memperkenalkan produk budaya-budaya tradisi masa lalu kepada generasi muda, mulai sejak dini dan melalui cerita-cerita kepada anak-anak menjelang tidur. Cerita itu tidak berfungsi mengantar anak-anak untuk tidur tetapi diharapkan
pula agar anak-anak itu bisa mengetahui apa fungsi dari tradisi-tradisi tersebut. Setelah diceritakan, diharapkan kepada orang tua agar menyarankan kepada anak-anaknya sejak dini untuk ikut mempraktekkan cerita-cerita tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diyakini akan efektif untuk mempertahankan budaya masa lalu yang diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyang. Masyarakat yang masih berstatus generasi muda, diharapkan supaya tidak gampang terserabut dari akar budayanya karena desakan-desakan modernism. Semua janji dari modernism itu adalah sebuah keniscayaan yang jarang untuk dicapai. Pertahankanlah budaya daerahmu sebagai identitas lokalmu dan jadikanlah kebudayaan itu sebagai filter untuk menyaring hasil produk budaya global yang dapat merenggut atau melumpuhkan semua tatanan sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Jangan karena sudah mengenyam pendidikan formal lalu ikut melupakan bahkan menjadi agen utama dalam masyarakat untuk memusnahkan tradisi karena berbeda dengan apa yang didapatkan dalam bangku sekolah atau perkuliahan. Jangan pula mendiskreditkan masyarakat yang melakukan tradisi sebagai kelompok masyarakat yang berusaha untuk mengubah ajaran Islam, karena antara agama dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling menopang. Jadikanlah ilmu yang diperoleh di bangku sekolah atau di bangku kuliah untuk membangun kearifan lokal daerah, dengan cara melakukan pementasan-pementasan budaya sekaligus memperkenalkan identitas budaya kepada orang lain. 2. Kepada Pemerintah Didasarnkan
agar
Pemerintah
Daerah
lebih
meningkatkan
kepekaanya
untuk
memperhatikan pengembangan budaya lokal sebagai salah satu faktor pendukung kebudayaan nasional. Kepekaan atau perhatian itu dapat ditunjukkan dalam bentuk kebijakan dengan menetapkan dan mengeluarkan kebijakan yang peka terhadap kearifan lokal.
Pemerintah rajin mengadakan pameran kebudayaan dengan menampilkan semua kebudayaan etnik penduduk daerah tersebut. Jangan mengadakan pameran pembangunan yang terfokus pada hasil-hasil produksi saja. Sementara tradisi kebuadayaan merupakan salah satu pendukung utama pembangunan yang lebih bermartabat dan berbudaya. Pemerintah juga seharusnya selalu memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat yang mau mangadakan pentas budaya, seperti tradisi ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat yang setiap tahun melakukan ritual kebudayaan sebagai bentuk tolak bala dan ucapan terima kasih kepada penguasa laut yang disebut dengan istilah setasasi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makasar. Jakarta: Inti Idayu Press. Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan Pada Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah & Nilai Tradisional. ------------------.2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakatra: Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Ames, Roger T. 2001. Ritual Sebagai Hak : Laternatif Konfusius dalam Etika Terapan I, Yogyakarta: CV, Tirta Wacana Yoga. Amin, Rais Mohammad. 2008. Keragaman Masyarakat Ujung Bone: Sebuah Ritual “Addewatang Putang Sereng” di Sulawesi Selatan. (Irwan Abdullah ed). Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitas dalam Refleksi Hubungan Antar Etnis. Antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali”. Dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM. Edisi Maret Tahun 2007. Aris, La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan Barker, Chirs. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Bath, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : University Press Casstel, Manuel. 2001. The Information Of Age: Economy, Society, and Culture: Vol II, The Power of Identity. Ozford: Blackwell. Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta : PN. Grafiti Pers. Dhavamony, M. 1995. Fenomena Agama. Yogyakarta: Kanisius. Douglas, M. dan B. Isherwood. 1980. The World of Goods. Harmonsworth: Penguins. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi PenelitianKebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University press. Foley, William A. 1991. Antropological Linguistics : An Intruduction, Oxford, UK : Blackwell Publisher, Ltd
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan. Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ---------. 1973. The Interpretation of Cultures. Terjemahan New York: Basic. Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD Komplek Polri Gowok. Goretty, Maria. 2010. Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Endu Aesea Propinsi Flores. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hadi, Y. Sumandiyo. 2000, Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia. Hadi, Abdul. W.M. 2004. Hermeneutika Estika Religius, Yogyakarta : DN Matahari Hadi, Sutrisno. 1978. Metode Reascard. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hall, S. 1977. Culture The Media an The Ideological Effect, dalam J.Curran, M. Gurevilch dan J. Woollacott (ed). Mass Cominications and Society. London. Edwar Arnold. Halliday. 1997. Explorations in The Function of Language. London : Edward Arnold. Hoban, Nong. 2007. Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik Bhajawa Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 2003. The Invention of Tradition. United Kingdom: Cambirdge University Perss. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka Kleden, Ignatius. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) ---------, 1987 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) --------, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. ---------, 1994, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat ---------, 2004. Kebudayaan Mentalis dan Pembanungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lampe, Munsi. 2004. Masyarakat Bahari Wallecea dalam Catatan Antropologi Sosial Budaya Universitas Hasanudin. Makassar. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York: Harvard University Press. Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Posdakarya. ___________, 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other assays. New York : Oxford University Press. Moertjipto, Drs, dkk. 1997. Upacara Tradisional Mohon Hujan Desa Kephoharjo Cangkringan Sleman, Yogyakarta Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama Kritik Teori-Teori Agama Kontermporer. Yogyakarta: AK Group. Muhadjir, Noeng. 1995. Metododlogi Penelitian Kualitatif : Telaah Posistivistik, Rasionalistik, Phenomonologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake Sarisin. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadja Mada University Press. Niron, Benekditus Belang. 2005. Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng Kecamatan Solok Barat, Flores Timur: Prekspektif Kajian Budaya. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan O’dea, Thomas. 1985. Sosiologi Agama, Jakarta. Rajawali. Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy: The Technologizing of the word’ Reprinted. London: Methuen. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEQ. Piliang, Amir Yasraf. 2006. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Pudentia, MPSS. (ed), 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : ATL Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Rahman, Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan. Rais, Muhammad. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global dalam Keberagaman Masyarakat Ujung Bone Sebuah Ritual “Addewatang Putta Sereng”. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM. Ratna, I Nyoman Kutha 2008. Postkolonialisme di Indonesia: Refleksi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarup, Madan. 2000. Postrukturalismen dan Postmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES Simmel, Georg. 1991. “Money in Modern Cultur”, Theory Culture and Society. 8 (3): 7-13. Soemardjan. 1995. Sosiologi. Semarang: IKIP Semarang Press. Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop (terjemahan dari judul asli An Introductory Guide Theory and Populer Culture) Edisi 1. Yogyakarta: CV. Qalam. Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pascasarjana Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, (tidak diterbikan). Surayanto A. 1994. Ekosistem Pesisir Potensi Permasalahan dan Upaya Pengelolaan Secara Terpadu. Jakarta: BPPT Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Kencana Sweeny, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: University of California Press. Syaefudin, Asep. 2007. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Turner, V. 1974. Darmas, Fields and Metaphors. Ithaca: Cornel University Press. Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta : Gramedia. Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Perilaku Serta Sikap yang tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Zacot, Francius R, 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayanan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Bagaimanakah sejarah masuknya etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ? 2. Apakah selain etnik Mandar ada etnik lain yang ikut dalam ritual mappandesasi ? 3. Bagaimanakah sistem kepercayaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar ? 4. Apakah dalam masyarakat etnik Mandar ada stratifikasi sosial ? kalau ada bentuknya seperti apa ? 5. Selain ritual mappandesasi apakah ada ritual lain ? kalau ada ritual apa saja ? 6. Siapakah yang paling berperan dalam ritual mappandesasi ? B. Masalah Bentuk-Bentuk Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar 1. Jelaskan apa itu ritual mappandesasi ? 2. Apa fungsi dari ritual mappandesasi ? 3. Apakah manfaat dari ritual mappandesasi ? 4. Sejak kapan ritual mappandesasi dilakukan di Kelurahan Bungkutoko? 5. Siapakah yang memimpin ritual mappandesasi ? 6. Jelaskan mengapa ritual mappandesasi dilaksanakan pada hari Kamis atau malam Jum’at? 7. Sarana apa saja yang digunakan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi ? 8. Persiapan apa saja yang disediakan dalam ritual mappandesasi ?
9. Siapakah peserta ritual mappandesasi ? C. Masalah Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Keterancaman Ritual Mappandesasi. dan Pengurangan terhadap Ritual Mappandesasi 1. Apa penyebab terjadinya penurunan peserta ritual mappandesasi ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadi penurunan peserta ritual mappandesasi? 3. Apakah peserta ritual mappandesasi tidak pernah berkomunikasi dengan para pimpinan ritual sandro ? 4. Bagaimanakah peran pimpinan ritual dengan penurunan peserta ritual ? 5. Apa yang mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap ritual mappandesasi ? D. Masalah Dampak dan Makna Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar 1. Makna apa yang terdapat dalam ritual mappandesasi ? 2. Apakah dampak dari penurunan peserta dan pengurangan ritual mappandesasi ? 3. Apakah pernah ritual mappandesasi tidak dilaksanakan dalam satu tahun ? kalau pernah mengapa ? Apa akibatnya terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar ? 4. Apakah para peserta ritual mappandesasi paham dengan makna-makna yang terkandung di dalam ritual mappandesasi ? 5. Apakah pernah terjadi kekurangan bahan ritual atau sesajen ? 6. Apakah masyarakat asli Kelurahan Bungkutoko pernah melarang adanya ritual mappandesasi ?
Lampiran 2
DAFTAR INFORMAN NO
Nama
L/P
Usia
Pekerjaan
Alamat
1
Ba’dul
L
70 thn
Tokoh Masyarakat
Kel.Bungkutoko RW-01
2
Bakri
L
47 thn
Tokoh Masyarakat/ Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-02
3
Mardin
L
45 thn
Tokoh Masyarakat/Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
4
Sudiang
L
50 thn
Tetua Adat
Kel.Bungkutoko RW-02
5
Maruka
L
92 thn
Pimpinan Ritual Sandro (Dukun)
Kel.Bungkutoko RW-03
6
Beddu
L
65 thn
Sandro (Dukun)
Kel.Bungkutoko RW-02
7
Sappe
L
45 thn
Sandro (Dukun)
Kel.Bungkutoko RW-03
8
Drs.Burhan S.E
L
45 thn
Lurah Kel. Bungkutoko
Kel.Bungkutoko RW-02
9
Muhtar S.E
L
37 thn
Sekertaris Lurah
Kel.Bungkutoko RW-01
10
Imran
L
30 thn
PNS Kel.Bungkutoko
Kel.Bungkutoko RW-01
11
Intan
P
27 thn
PNS Kel.Bungkutoko
Kel.Bungkutoko RW-01
12
Hj. Nani
P
54 thn
Ibu Rumah Tangga
Kel.Bungkutoko RW-01
13
Reski
P
25 thn
Ibu Rumah Tangga
Kel.Bungkutoko RW-01
14
Rustam
L
41 thn
Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
15
Rusdi
L
43 thn
Tokoh Masyarakat/ Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
16
Andri
L
22 thn
Mahasiswa
Kel.Bungkutoko RW-01
17
Cullang
L
37 thn
Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
18
Andi
L
34 thn
Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
19
Surding
L
42 thn
Tokoh Masyarakat/Supir Angkutan
Kel.Bungkutoko RW-01
19
Sudding
L
40 thn
Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
Peta Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS UDAYANA PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA Jalan Nias 13 Denpasar, Bali
Telp/Fax (0361)246653
SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING
Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama (Pembimbiing I)
: Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
2. Nama (Pembimbing II)
: Dr. Pudentia MPSS., M.A.
Menyatakan bahwa tesis mahasiswa berikut telah kami bimbing dan kami nyatakan siap diuji. Mahasiswa tersebut adalah : Nama
: Muhamad Alkausar
NIM
: 0990261026
Pengkhususan : Tradisi Lisan Judul Penelitian : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Denpasar, Agustus 2011
Pembimbing I
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP 194409271976021001
Pembimbing II
Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 195605081982032002
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 13 AGUSTUS 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP 19440927 1976 021001
Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 19560508 1982 03 2002
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S NIP. 19430521 198303 2001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal, 13 Agustus 2011
Panitia Penguji Tesis, Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1390/UN14.4/HK/2011, Tanggal, 09 Agustus 2011
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Anggota : 1. Dr. Pudentia MPSS., M.A. 2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S 3. Prof. Dr. Aron Meko Mbete 4. Dr. I Gede Mudana, M.Si
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS UDAYANA PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA Jalan Nias 13 Denpasar, Bali
Telp/Fax (0361)246653
SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING DAN PENGUJI Nomor : /J 14.4.5/PP.00.08/2011 Kami yang bertanda tangan dibawah ini, masing-masing secara terpisah telah mencermati hasil perbaikan tesis : Berjudul : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Disusun oleh : Muhamad Alkausar NIM : 0990261026 Mahasiswa : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana Lebih lanjut kami nyatakan bahwa hasil perbaikan tersebut telah dapat kami setujui karena sesuai dengan masukan-masukan yang telah kami berikan dalam ujian pada tanggal Agustus 2011. Kami mengharap “Surat Pernyataan” ini dapat digunakan sesuai dengan keperluan. NO 1.
Nama
Para Pembimbing dan Penguji Tanda Tangan Persetujuan
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
(Pembimbing I) 2.
(Pembimbing II) 3.
3. …………………………………………
Prof. Dr. Aron Meko Mbete.
(Anggota Penguji) 5.
2. ………………………………………….
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S
(Anggota Penguji) 4.
1. ………………………………………….
Dr. Pudentia MPSS., M.A
4. ………………………………………….
Dr. I Gede Mudana, M.Si
(Anggota Penguji)
5. ……………………………………………
Denpasar,13 Agustus 2011 Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S NIP 1943 0521 1983 03 2001 Catatan : Persetujuan secara berturut-turut supaya Diminta oleh mahasiswa kepada masing-masing Anggota Penguji, Pembimbing II dan terakhir Pembimbing I