KETERAMPILAN MENGATASI MASALAH DAN KETERAMPILAN-KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI Oleh: Rahyu Setiani Rahyu Setiani adalah Dosen DPK Kopertis Wilayah VII pada STKIP PGRI Tulungagung
PENDAHULUAN Selama beberapa tahun terakhir ini ada penekanan yang semakin besar pada pengajaran keterampilan berpikir dan mengatasi masalah di sekolah. Ini sebagian disebabkan oleh berbagai penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keterampilan berpikir generik siswa dan prestasinya di berbagai mata pelajaran di sekolah dan sebagian lainnya disebabkan oleh adanya berbagai perubahan di masyarakat, khususnya perubahan yang bergerak ke arah masyarakat di mana pengetahuan dan informasi menjadi semakin kompleks dan semakin cepat membludak. Ini berarti bahwa memproses sejumlah besar pengetahuan saja tidak cukup. Anakanak dan orang dewasa akan perlu memiliki keterampilan untuk membuat pilihan-pilihan dan mengatasi berbagai masalah dengan menggunakan penalaran logis (Resnick, 1987). Ada empat macam program utama yang terkait dengan keterampilan berpikir, yaitu : 1. Salah satu pendekatan yang populer adalah mengerjakan sejumlah keterampilan problem–solving (mengatasi masalah) kepada siswa. Pendekatan ini disebut pendekatan heuristik. Tugas-tugas mula-mula akan diuraikan agar dapat dipecah
menjadi sub-subtugas yang lebih mudah dikerjakan. 2. Pendekatan metakognitif mulai dari premis bahwa kinerja seseorang dapat ditingkatkan melalui pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang proses berpikirnya sendiri. Mengajarkan self-awareness (kesadaran tentang diri sendiri) merupakan inti pendekatan ini. 3. Sebagian pendidik percaya bahwa pembelajaran open-ended dan aktif, yang didorong oleh metode mengajar konstruktivis, sudah cukup untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. 4. Berdasarkan teori Piaget, pendekatan berpikir formal yang dimaksudkan untuk membantu siswa menjalani transisi antara tahap perkembangan dengan lebih mudah. Keempat pendekatan ini melahirkan berbagai program yang semuanya dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa. STRATEGI-STRATEGI MENGATASI-MASALAH SECARA HEURISTIK Di dalam pendekatan heuristik, tujuannya adalah untuk mengajarkan keterampilan mengatasi masalah
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 50
tertentu, yang dapat digunakan siswa ketika mereka harus mengatasi masalah tertentu. Untuk dapat melakukannya dengan lebih mudah, proses mengatasi masalah perlu didekonstruksikan menjadi bagian-bagian komposit. Banyak penelitian tentang paradigma ini yang dilakukan dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah yang terkait dengan kata-kata, misalnya pertanyaan fisika (gerak lurus) dalam bentuk konteks (misalnya; sebuah bus, yang menempuh perjalanan dari kota A ke kota B (40 Km) berangkat pada waktu yang sama dengan sebuah mobil yang menempuh perjalanan dari arah sebaliknya. Bus itu berjalan dengan kecepatan 90 km/jam, sedangkan mobil itu berjalan dengan kecepatan 120 km/jam. Setelah berapa kilometerkah mereka akan bertemu?). Urut-urutan berikut ini mestinya dilakukan untuk menyelesaikan soal fisika (gerak lurus) itu : 1. Memahami dan merepresentasikan masalahnya. 2. Memiliki atau merencanakan solusinya. 3. Melaksanakan rencana tersebut. 4. Mengevaluasi hasilnya (Poyla, dikutip di dalam Orton, 1992) MEMAHAMI DAN MEREPRESENTASIKAN MASALAHNYA
Langkah pertama dalam mengatasi masalah adalah menemukan dengan tepat apa arti masalahnya. Ini melibatkan tindakan menemukan informasi yang relevan dengan masalah itu dan memisahkan elemen-elemen yang relevan dengan upaya mengatasi masalah itu dengan elemen-elemen
yang tidak relevan. Selain mengidentifikasi masalahnya, perlu dikembangkan representasi yang akurat tentang masalah itu. Ini membutuhkan dua elemen pokok. Yang pertama pemahaman linguistik, yang berarti bahwa siswa perlu memahami seluruh arti kalimat yang terdapat di dalam soal itu. Itu melibatkan lebih dari sekadar memahami kata per kata, karena siswa juga perlu memahami struktur logis kalimat-kalimat itu. Siswa biasanya menemui lebih banyak kesulitan dengan proposisi-proposisi relasional (misalnya, bus A berjalan 10 mil per jam lebih cepat dibanding bus B). Setelah semua kalimat dipahami, siswa harus menyatukannya menjadi sebuah pengertian utuh, dan harus mampu memahami masalahnya secara keseluruhan. Banyak siswa cenderung mengambil keputusan terlalu cepat tentang apa masalahnya, berdasarkan petunjuk-petunjuk yang kasat-mata. Jadi, penting bagi mereka untuk diajari menguraikan masalah melalui pemikiran yang cermat, membaca seluruh masalahnya sebelum memutuskan apa pertanyaannya (Woolfolk, 1997). Salah satu cara membantu siswa untuk melakukan ini adalah dengan membiarkan melihat banyak macam contoh penyelesaian. Ini ditemukan lebih efektif daripada memberikan beberapa contoh lalu membiarkan siswa menyelesaikan sendiri berbagai masalah (soal). Guru juga dapat membantu siswa dengan mengajari mereka untuk mengenali dan mengategorisasikan dengan berbagai tipe soal dan memilih informasi yang
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 51
relevan dan tidak relevan yang terdapat di dalam masalah (soal) itu. Guru perlu memastikan bahwa siswa memahami masalahnya dengan meminta mereka menjelaskannya kepada siswa-siswa lain, dengan meminta mereka memverbalisasikannya berbagai asumsi yang mereka gunakan, dan dengan meminta mereka menjelaskan apa yang mereka anggap sebagai informasi yang relevan dan tidak relevan di dalam soal itu. Guru juga perlu mendorong siswa untuk melihat masalahnya dari berbagai macam perspektif yang berbeda. Ini dapat dilakukan dengan meminta mereka menawarkan solusisolusi yang berbeda atau yang nonkonvensional, untuk membantu mereka melepaskan diri dari cara yang konvensional dalam melihat berbagai hal. MEMILIH ATAU MERENCANAKAN SOLUSINYA Setelah masalahnya dipahami, bagian kedua proses berupa merancang sebuah rencana untuk menyelesaikan masalahnya. Untuk melakukan ini siswa perlu memiliki sebuah strategi umum untuk mengatasi masalah, yang disebut heuristik. Salah satu strateginya adalah dengan memecah masalahnya menjadi sejumlah langkah kecil dan kemudian menemukan cara untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut. Ada sejumlah cara yang berbeda untuk melakukan ini. Salah satunya adalah dengan bekerja mundur, dari tujuan mundur ke masalah awal yang belum diselesaikan. Menyelesaikan bukti-bukti matematis sering kali dapat ditangani dengan baik dengan cara ini. Strategi lainnya adalah
dengan menggunakan pemikiran analogis. Ini berarti membatasi pencarian solusi ke strategi-strategi yang pernah digunakan untuk mengatasi masalah yang mirip dengan masalah yang saat ini sedang dihadapi. Menjelaskan strategi yang dipilih juga dapat membantu, karena dapat membuat siswa memahami dengan lebih jelas urut-urutan penyelesain masalahnya. Penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa yang diminta menjelaskan masing-masing langkah dalam penyelesaian masalahnya lebih sukses dibanding siswa-siswa yang tidak diminta melakukan itu (Gagne, 1965). Setelah melakukan ini, siswa seharusnya mampu memilih sebuah algoritma yang efektif untuk masingmasing bagian masalahnya. Algoritma adalah prosedur langkah-demi-langkah untuk mencapai sesuatu, yang biasanya bersifat spesifik-subjek (atau spesifiktopik). Kesulitan yang terjadi bila siswa tidak memilih sebuah heuristik secara cermat adalah bahwa mereka akan cenderung mengaplikasikan berbagai algoritma secara acak, bukan berdasarkan pemahaman tentang masalahnya tetapi berdasarkan bahwa misalnya, algoritma tertentu sebelumnya telah digunakan di dalam soal-soal fisika sejenis sehingga mereka pikir mereka juga dapat mencoba menggunakannya. Siswasiswa lalu akan menelaah sejumlah algoritma standar secara acak. Di beberapa kasus ini mungkin cara ini pada akhirnya akan membawa mereka ke hasil yang benar, tetapi jelas bahwa mereka tidak akan mencapai
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 52
pemahaman riil apapun. Inilah alasan lain untuk meminta siswa menjelaskan jawabannya. Pengajar heuristik dapat dibantu dengan meminta siswa untuk menjelaskan langkah-langkah yang mereka ambil selama mereka menyelesaikan masalah. MELAKSANAKAN RENCANANYA Bagian ketiga proses melibatkan upaya menemukan solusi aktual untuk masalahnya. Bila heuristik yang dipilih di dalam langkah sebelumnya telah melahirkan rencana yang tepat dalam kaitannya dengan algoritma mana yang akan digunakan, langkah tersebut biasanya bersifat langsung dan hanya melibatkan penerapan algoritma yang dipilih saja. Tetapi, banyak siswa melakukan kesalahan algoritmik, sehingga pengetahuan yang baik tentang berbagai algoritma dasar diperlukan untuk penyelesaian masalah yang baik. MENGEVALUASI HASILHASILNYA Langkah terakhir adalah memeriksa jawabannya. Pemeriksaan yang diketahui oleh umum tetapi sering dilupakan adalah dengan melihat apakah jawabannya masuk akal. Sebagai contoh, jawaban 7000 mil per jam ketika menghitung kecepatan mobil jelas menunjukkan kesalahan dalam perhitungan, pemilihan algoritma, atau heuristik. Estimasi dapat membantu disini. Sebagai contoh, bila jawabannya perhitungan 101 x 31, hasilnya dapat diperkirakan dengan mudah, yaitu pasti sedikit lebih besar dari 3000. Selain itu, siswa-siswa perlu memeriksa semua bukti dan data
yang mungkin kontradiktif (atau mengkonfirmasikan) jawaban mereka. Agar efektif dalam mengembangkan keterampilan berpikir tingkat-tingkat, masalah itu perlu mengikuti sejumlah aturan. Masalah itu seharusnya berupa aktivitas baru, yang berarti bagi siswa, dan harus cukup dekat dengan tingkat pengetahuan mereka saat ini agar dapat diasimilasikan tetapi cukup berbeda untuk memaksa mereka mentransformasikan metode berpikir dan metode bekerja mereka serta mengembangkan pemahaman mereka. Ini berarti bahwa masalah itu menurut definisinya memang “sulit”, tetapi tidak terlalu sulit (Granett dan Jaquet, 1996; Sosniak dan Etherington, 1994). Masalah/soal dapat dipermudah untuk siswa-siswa dengan menggunakan konteks-konteks kehidupan nyata yang cukup mereka kenal dan dengan menggunakan gambar-gambar (Hembree, 1992). Bahwa latihan heuristik dapat efektif ditunjukkan di dalam sebuah meta-analisis terhadap studi-studi tentang problem-solving yang dilaksanakan oleh Hembree (1992), yang melaporkan bahwa anak-anak yang pernah menerima ajaran tentang keterampilan mengatasi masalah menunjukkan kinerja yang lebih baik secara signifikan dibanding mereka yang belum pernah menerimanya. PENDEKATAN METAKOGNITIF Salah satu elemen penting dalam mengatasi-masalah adalah metakognisi. Istilah ini pada dasarnya mencakup pengetahuan tentang proses berpikir kita sendiri, regulasi-diri, dan
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 53
memantau apa yang sedang kita kerjakan, mengapa kita mengerjakan itu, dan apa yang sedang kita kerjakan dapat membantu (atau tidak dapat membantu) mengatasi masalahnya. Ini memungkinkan kita untuk memastikan apakah strategi yang sedang kita gunakan efektif, dan mengubah strategi itu bila dianggap perlu (Schoenfeld, 1992). Jelas bahwa keterampilan metakognitif amat sangat penting bagi anak, bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan mengatasi masalah mereka tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan berpikir secara lebih umum. Metakognisi yang telah dikembangkan juga adalah membuat siswa lebih menyadari kekuatan dan kelemahannya (Schoenfeld, 1987; Lesters, 1994). Kurangnya metakognisi membuat anak-anak menggunakan strategi mengatasi-masalah yang tidak efektif (benar tetapi lambat atau tidak efisien). Dengan demikian, agar dapat belajar secara lebih efektif, proses-proses metakognitif harus diungkapkan secara terbuka dan regulasi-diri dijadikan sebuah proses sadar (proses yang dilakukan dengan sengaja). Schoenfeld (1987) mengusulkan sejumlah teknik untuk mengajarkan strategi metakogtif kepada siswa: - Mengembangkan kesadaran tentang proses berpikir kepada siswa. Untuk melakukan ini penting untuk menjelaskan mengapa berbagai strategi mengatasi-masalah dinilai penting. Schoenfeld mengusulkan kegiatan-kegiatan seperti menunjukkan sebuah rekaman
video kepada siswa-siswa lain yang terlibat di dalam pengatasanmasalah secara kooperatif, sehingga mereka dapat melihat orang-orang lain yang menggunakan strategi-strategi yang tidak efektif. Ini dapat memberikan kesan kepada mereka tentang pentingnya menyadari terhadap apa yang sedang dikerjakannya. - Menyelesaikan masalahnya di papan tulis dengan mempresentasikan resolusi masalahnya secara keseluruhan dan bukan hanya menunjukkan solusirapinya. Teknik ini dan teknik yang dikemukakan sebelumnya berguna karena menekankan tentang perilaku-perilaku tertentu dan menggarisbawahi pentingnya keterampilan metakognitif. - Biarkan seluruh kelas menyelesaikan suatu masalah, dan guru mengambil peran moderator di dalam diskusi siswa-siswanya. Siswa-siswa akan memilih untuk mengajarkan hal-hal tertentu yang mungkin benar atau mungkin juga keliru. Bila strategi mereka tidak berjalan baik, solusi-solusi baru seharusnya dicoba sampai solusi yang tepat ditemukan. Ini mestinya diikuti dengan sebuah debriefing yang dapat dilaksanakan oleh guru. Kegiatan ini ditemukan membantu regulasi-diri siswa. Mengembangkan keterampilan keterampilan metakognitif juga dapat dibantu melalui kegiatan-kegiatan tertentu. Kerja kelompok kooperatif dapat digunakan untuk mendapat efek ini, karena scaffolding memungkinkan
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 54
hal itu. Ada pendapat bahwa siswasiswa yang bekerja di dalam kelompokkelompok kecil dapat diberi kartu yang berisi sebuah nomor dengan pertanyaan dasar yang akan membantu mereka memikirkan tentang pemikiran mereka sendiri. Ini termasuk: “Apa yang sedang saya kerjakan sekarang?” ”Apakah ini membawaku ke suatu tempat?” dan “Kalau bukan ini, apa yang mestinya kulakukan?” (Salomon dan Perkins, 1989). Ini akan membantu mereka melakukan refleksi terhadap metode mengatasi-masalah mereka, sampai “scaffolds” (dalam bentuk kartu-kartu) itu dapat diambil kembali oleh guru setelah siswa menginternalisasikan tentang berpikirmetakognitif. MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR MELALUI PENGAJARAN KONSTRUKTIVIS. Pengajaran konstruktivis dapat membantu pengembangan keterampilan berpikir melalui gaya pengajaran open-ended berbasismasalah yang digunakan guru. Kelas yang konstruktivis memberikan kesempatan kepada pendidik untuk mengimplementasikan pembelajaran aktif dan menantang pelajar untuk mencari pengetahuan lebih jauh di lingkungan belajarnya. Pelajar didorong untuk mengambil pengetahuan secara aktif, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah diasimilasikan sebelumnya dan membuat pengetahuannya sendiri dengan mengkonstruksikan interpretasinya (Hanley, 1994). Penggunaan analogi-
analogi telah diusulkan sebagai salah satu cara memperkuat pengajaran keterampilan berpikir di dalam pelajaran-pelajaran yang kontruktivis (English, 1993). Di dalam sebuah studi berskala lebih besar terhadap 350 siswa ditemukan bahwa siswa-siswa SMA yang diajar secara konstruktivis tidak menunjukkan skor yang lebih tinggi pada ukuran-ukuran berpikir tingkat tinggi dibanding siswa-siswa yang diajar dengan menggunakan pengajaran langsung (Chang et al. 1994). Temuantemuan ini menyisakan keragu-raguan seperti apakah pengajaran konstruktivis saja sudah cukup untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada siswa. MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR – FORMAL: AKSELERASI KOGNITIF DI BIDANG SAINS. Dengan adanya berbagai masalah yang terlibat dalam mengajarkan heuristik dan keterampilan berpikir di luar konteks kepada siswa, sejumlah program intervensi telah dirancang untuk mengajarkan keterampilan berpikir di dalam mata pelajaran tertentu. Salah satu program intervensi kognitif yang paling efektif pelaksanaannya adalah proyek CASE (Cognitive Acceleration in Science Education) yang dirancang oleh Adey dan Shayer (1994) di Inggris. Proyek ini didasarkan pada pemikiran Piaget dan Vygotsky dengan maksud membawa siswa ke tingkat berpikir operasional formal, sebagian dengan membuat mereka sebanyak mungkin bekerja di dalam zone of
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 55
proximal development (kesenjangan antara apa yang dapat dilakukan sendiri dan apa yang dapat dilakukan dengan bantuan orang lain yang lebih ahli atau memiliki lebih banyak pengetahuan). Program ini bersifat spesifik subyek, yang dikembangkan untuk sains. Program ini berisi topik-topik sains tertentu di masing-masing pelajarannya. Proyek yang berisi 52 pelajaran ini memiliki lima elemen utama: 1. Persiapan konkret untuk mengintroduksikan perbendaharaan kata yang diperlukan untuk menjelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk menetapkan permasalahannya. Ini berarti bahwa guru perlu menetapkan permasalahan sesuai konteks dan menjelaskan arti perbendaharaan kata yang akan dibutuhkan siswa. Salah satu contoh yang diberikan oleh Adey dan Shayer (1994) adalah tentang konsep hubungan. Mula-mula siswa harus diperkenalkan pada konsepnya dengan cara yang sederhana, bukan dengan memberikan contoh-contoh yang tidak ada hubungannya. 2. Guru perlu mengintroduksikan tentang “konflik kognitif”. Ini terjadi bila siswa diperkenalkan pada sebuah pengalaman yang membingungkan bagi mereka atau bertentangan dengan pengetahuan atau pemahaman mereka sebelumnya. Ini dapat membuat siswa melangkah maju ke arah zone of proximal development mereka, tetapi hanya jika kegiatannya dikelola dengan baik oleh guru.
Bila tidak, bahaya yang mungkin timbul adalah informasi-informasi yang saling bertentangan akan dibuang begitu saja atau didistorsi sedemikian rupa agar pas dengan skemata yang telah dimiliki siswa. 3. Jadi siswa perlu melanjutkan langkahnya ke kegiatan construction zone, yaitu kegiatan yang memastikan bahwa siswa dapat melangkah melampaui tingkat pemahaman dan kompetensinya saat ini. Ini difasilitasi oleh konflik kognitif, yang memaksa siswa untuk menantang gagasan dan proses pemikiran yang sebelumnya sudah disusunnya sendiri. Guru dapat membantu siswa melakukan hal ini dengan membantu mereka membangun langkah demi langkah untuk mencapai pola penalaran lebih tinggi yang perlu mereka akses. 4. Siswa perlu melakukan refleksi secara sadar tentang pola pengatasan masalahnya (metakognisi) dengan cara-cara yang mirip dengan yang telah dipaparkan di atas. 5. Siswa perlu “menjembatani” keterampilan-keterampilan baru atau pengetahuan mereka, yakni mampu menerapkannya di berbagai konteks yang berbeda. Sejumlah metode yang diusulkan di atas dapat digunakan untuk memfasilitasi ini. Pelajaran-pelajaran CASE biasanya melibatkan banyak interaksi guru-dan- siswa, dan siswa-dan-siswa, dan sering kali juga melibatkan kerja
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 56
kelompok kolaboratif. Peran guru jelas penting, dan banyak hal yang telah dipaparkan di sini mungkin terasa agak menakutkan bagi guru-guru pemula. Meskipun metode ini memang membutuhkan menejemen kelas yang baik dan keterampilan mengajar interaktif serta rasa percaya diri untuk dapat memberikan banyak arahan kepada siswa di dalam pelajaran itu, tetapi para pengembang program ini menyediakan bahan-bahan latihan untuk setiap pelajaran maupun berbagai kegiatan latihan pengembangan profesional. TRANSFER KETERAMPILAN BERPIKIR Salah satu kesulitan metode heuristik maupun metakognitif adalah bagaimana mentransfer keterampilan yang sudah dipelajari keluar konteks kelas. Salah satu isunya barang kali adalah bahwa teknik dan heuristik yang telah dipelajari dapat diterapkan dengan mudah untuk masalah-masalah di kelas yang mirip dengan masalah yang mula-mula dipelajari dengan heuristik tersebut, tetapi ketika mereka dihadapkan pada situasi-situasi baru di dalam maupun di luar kelas, siswa akan mundur kembali ke penerapan algoritme secara acak dan tidak efisien atau sekedar menebak-nebak. Meskipun sulit untuk menangkal sepenuhnya masalah-masalah semacam ini, ada sejumlah strategi yang dapat diikuti guru untuk memperbesar kemungkinan terjadinya transfer. Melibatkan siswa secara aktif di dalam pembelajaran adalah salah satu strateginya. Siswa yang telah dilibatkan secara aktif di dalam pembelajaran,
baik melalui diskusi, pengajaran interaktif, atau melalui penelitian atau eksperimen mandiri, ditemukan lebih berkemungkinan untuk mentransfer pengetahuannya ke situasi-situasi lain. Bentuk-bentuk simulasi di mana belajar terjadi di sebuah lingkungan yang serupa dengan lingkungan di mana pembelajaran itu akan diterapkan juga membantu transfer. Salah satu contohnya adalah pelajaran mengemudi yang biasanya berlangsung paling tidak sebagian di rute-rute yang akan diikuti selama ujian mengemudi. Overlearning, mempraktikkan sebuah keterampilan sampai menjadi otomatik, juga ditemukan membantu transfer. Sebagai contoh, kebanyakan orang yang diajari tentang time tables (tabel perkalian) di sekolah kelak akan tetap dapat menggunakannya ketika dihadapkan pada soal-soal perkalian. Terakhir, guru dapat mengarahkan perhatian siswa ke keterampilan yang telah dipelajari di pelajaran sebelumnya bila selama sebuah pelajaran berlangsung terjadi sebuah situasi yang membuat penggunaan keterampilan tersebut berguna. PENUTUP Ada empat pendekatan utama untuk mengajarkan keterampilan berpikir. Program-program heuristik dimaksudkan untuk mengajarkan keterampilan mengatasi masalah tertentu yang dapat digunakan siswa ketika mereka harus menyelesaikan masalah tertentu. Untuk memudahkannya, proses mengatasi
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 57
masalah perlu didekonstruksikan menjadi bagian-bagian komposit. Strategi metakognitif dimaksudkan untuk meningkatkan conscious self-regulation (regulasi-diri di tingkat kesadaran) siswa. Istilah ini mengacu pada pengetahuan siswa tentang proses berpikirnya sendiri dan memantau apa yang sedang dikerjakannya, mengapa ia mengerjakan itu, dan bagaimana hal yang sedang dikerjakannya dapat (atau tidak dapat) membantu mengatasi masalah. Ini memungkinkan seseorang untuk memastikan apakah strategi yang digunakannya efektif dan bilamana perlu ia dapat mengubah strateginya. Sejumlah strategi telah diusulkan untuk meningkatkan strategi metakognitif siswa. Pengajaran konstruktivis dengan metode-metode dan filosofi yang terbuka dan berbasis kegiatan oleh sebagian peneliti dan praktisi dianggap dapat menghasilkan keterampilan berpikir yang lebih tinggi, atau paling tidak membantu siswa di bidang ini. Terakhir strategi-strategi yang didasarkan pada pemikiran Piaget dan Vigotsky termasuk program CASE yang bersifat spesifik-subjek dan dibangun di seputar 52 pelajaran sains. Sejumlah metode yang dapat membantu mempermudah transfer pengetahuan ke berbagai konteks yang berbeda termasuk praktik mengatasi masalah di berbagai macam konteks, memberikan contoh-contoh nyata yang kompleks, mengingatkan siswa tentang keterampilan berpikir yang telah dipelajarinya di bagian-bagian
pelajaran lain, dan dengan melibatkan siswa secara aktif di dalam pembelajaran dan overlearning DAFTAR PUSTAKA Adey, P. dan Shayer, M. 1994. Really Raising Standards. Cognitive Intervension and Academic Achievement. London: Routledge. Chang, M., Romisowski, A. dan Grabowski, B. 1994. Constructivist and Objectivist Appoachhes to Teaching Chemistry Concepts to Junior High School Students. Makalah yang dipresentasikan di dalam the Annual Meeting, of the American Educational Research Association, New Orleans, L.A, April 1994. English, L. 1993. Children’s Strategies for Solving Two-and Three Dimensional Combinatorial Problems. Journal for Research in Mathematics Educational 24 (3), 255-273. Gagne, R. M. 1965. The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart & Winston. Hanley, S. 1994. On Constuctivism. http://www.inform.umd.edu/UMS +State/UMDProjects/MCTP/Essays/Constructi vism.txt Hembree, R. 1992. Experiments and Relational Studies in Problem Solving. Meta-Analysis. Journal for Research in Methematics Education 23(3), 242-273. Muijs, D. & David Reynolds. 2008. Effective Teaching. Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Resnick, L. B. 1987. Education and Learning to Think. Washington, DC: National Academy Press. Salomon, G. dan Perkins, D. N. 1989. Rocky Roads to Transfer: Rethinking Mechanism of a
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 58
Neglected Phenomenon. Educational Psychologist 24, 113142. Schoenfeld, A. H. 1987. What’s All the Fuss About Metacognition? In A. H. Schoenfeld (ed.) Cognitive Science and Mathematics Education. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Schoenfeld, A. H. 1992. Learning to Think Mathemetically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics. Di dalam D. A. Grouws (ed.) Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan. Sosniak, L. A. dan Ethington, C. A. 1994. When Teaching Problem Solving Proceeds Successfully in US 8th Grade Classrooms. Di dalam I. Westbury, C. A. Ethington, L. A. Sosniak dan D. P. Baker (eds) In Search of Effective Mathematics Education. Norwood, NJ: Ablex. Woolfolk. A. 1997. Educational Psychology Needham, MA: Allyn & Bacon.
Rahayu Setiani, Ketrampilan Mengatasi Masalah Desember 2012 59