Artikel Penelitian
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter: Perbandingan dengan Diagnosis yang Dikonfirmasi Pemeriksaan KOH Anjas Asmara, Kusmarinah Bramono, Siti Aisah Boediardja Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak Pendahuluan: Dermatofitosis khususnya tinea korporis dan/atau kruris termasuk kasus penyakit kulit yang sering dijumpai dokter umum (dokter) dalam praktek sehari-hari. Meskipun demikian, hasil penelitian di luar negeri menunjukkan dokter masih sering melakukan kesalahan dalam menegakkan diagnosis kasus dermatofitosis. Hal ini antara lain disebabkan diagnosis kasus dermatofitosis umumnya ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan KOH sebagai pembantu dalam menegakkan diagnosis sering terlewatkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis klinis dokter pada kasus tinea korporis dan/ atau kruris dengan cara membandingkannya dengan diagnosis yang didasarkan pada hasil pemeriksaan KOH. Metode: Sebanyak 101 subyek penelitian dirujuk oleh 5 orang dokter yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan nilai sensitivitas diagnosis klinis dokter sebesar 77,1%, spesifisitas 54,5%, nilai duga positif 47,4%, dan nilai duga negatif 81,8%. Disensitas tersebut menujukkan bahwa gambaran klinis tidak cukup baik untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis tinea korporis dan atau kruris, dan pemeriksaan KOH perlu dilakukan untuk membantu menegakkan kasus yang dicurigai dermatofitosis. J Indon Med Assoc:2013;63:259-64. Kata kunci: tinea korporis, tinea kruris, ketepatan diagnosis, dokter, KOH
Korespondensi: Kusmarinah Bramono Email:
[email protected]
J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013
259
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter
Diagnostic Accuracy of Dermatophytosis by General Practitioner: Comparation with KOH Preparation Based Diagnosis Anjas Asmara, Kusmarinah Bramono, Siti Aisah Boediardja Department of Dermato-venereology, Medical Faculty, University of Indonesia, Jakarta
Abstract Introduction: Tinea corporis and cruris are commonly encountered by general practitioners (GP). However, several studies showed that dermatophytosis are still among skin diseases that often misdiagnosed by GP. The reason is that the diagnosis mainly based on clinical features, and KOH examination to confirm the diagnosis is often overlooked. The aim of this study is to determine the accuracy of clinical diagnosis of tinea corporis and cruris cases by GP, compared with diagnosis confirmed by KOH examination. Methods: One hundred and one patients were referred by GP from Barito Utara Regency,Central Borneo. The result of the study showed the sensitivity of clinical diagnosis by GP was 77,1%, its specificity 54,5%, positive predictive value 47,4%, and negative predictive value 81,8%. It can be concluded that diagnosis of dermatophytosis based only on clinical signs and symptoms is doubtful, and KOH examination should be done to confirm the diagnosis. J Indon Med Assoc:2013;63:259-64. Keywords: tinea corporis, tinea cruris, diagnostic accuracy, general practitioners, KOH examination.
Pendahuluan Penyakit kulit merupakan kasus yang sering ditemui oleh seorang dokter dalam praktik sehari-hari. Sebuah data kesehatan di Australia menunjukkan 17% kunjungan ke praktek dokter (general practitioner) merupakan kasus penyakit kulit.1 Sebuah survei di Amerika yang dilakukan pada tahun 1984 menunjukkan bahwa 31% kunjungan ke layanan kesehatan primer merupakan kasus penyakit kulit.2 Dermatofitosis atau tinea, di antaranya tinea korporis dan/atau tinea kruris, termasuk kasus penyakit kulit yang sering dijumpai dokter dalam praktik sehari-hari di Indonesia.3-5 Meskipun demikian, hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri, menunjukkan bahwa dokter masih sering melakukan kesalahan diagnosis kasus dermatofitosis. Hingga saat ini dalam praktek dokter sehari-hari termasuk di puskesmas, diagnosis kasus dermatofitosis umumnya ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, sedangkan pemeriksaan laboratorium pembantu diagnosis dengan sediaan langsung KOH belum secara rutin digunakan untuk memastikan diagnosis.6,7 Pada umumnya tinea korporis dan kruris dapat memberikan gambaran klinis yang khas, sehingga diagnosis secara klinis dapat langsung ditegakkan. Namun beberapa penelitian menunjukkan diagnosis kelainan kulit yang hanya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis seringkali keliru.8,9 Beberapa kelainan kulit antara lain psoriasis, dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, liken simpleks 260
kronik, hand dermatitis, eritema anulare sentrifugum, granuloma anulare, dan dermatitis numularis merupakan diagnosis banding yang seringkali salah didiagnosis sebagai tinea.10-19 Berdasarkan hal tersebut, para ahli merekomendasikan agar pemeriksaan KOH dilakukan untuk membantu diagnosis berbagai kelainan kulit papuloskuamosa.8 Tingkat kesalahan diagnosis kasus dermatofitosis dapat diperbaiki dengan melakukan pemeriksaan KOH. De Kock20 membuktikan bahwa pemeriksaan KOH yang dilakukan langsung oleh dokter dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dermatomikosis superfisial. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, De Kock merekomendasikan bahwa pemeriksaan KOH perlu dilakukan oleh dokter pada kasus yang dicurigai dermatomikosis superfisial, termasuk dermatofitosis/tinea.20 Meskipun di luar negeri telah dilakukan beberapa penelitian mengenai tingkat ketepatan diagnosis dokter dalam kasus dermatologi termasuk dermatofitosis, namun hingga saat ini di Indonesia belum ada penelitian serupa, sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis dokter pada kasus dermatofitosis khususnya tinea korporis dan/atau tinea kruris dengan cara membandingkannya dengan diagnosis berdasarkan pemeriksaan KOH, sehingga didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN). J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter Metode Penelitian ini merupakan uji diagnosis dengan menggunakan rancangan studi potong lintang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis klinis dokter pada kasus tinea korporis dan kruris yang dibandingkan dengan diagnosis yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH. Tingkat ketepatan diagnosis dokter dinilai berdasarkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif. Pengambilan data yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sampel kerokan kulit dilakukan di RSUD Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Pemeriksaan mikroskopik sampel kerokan kulit dengan KOH 20% dilakukan di Laboratorium Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian dilakukan bulan Oktober 2011 sampai Maret 2012. Lima orang dokter yang bertugas di wilayah Kabupaten Barito Utara diminta kesediaannya untuk merujuk pasien dengan berbagai kasus penyakit kulit kepada peneliti yang bertugas di poliklinik RSUD Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara. Kasus yang dievaluasi dalam penelitian ini terdiri atas berbagai diagnosis banding tinea korporis dan/atau tinea kruris yang menjadi kompetensi dokter untuk mampu menanganinya secara mandiri berdasarkan Buku Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) Tahun 2006, di antaranya adalah dermatitis seboroik (DS), dermatitis atopik (DA), kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis numularis, pitiriasis rosea, dan liken simpleks kronik.21 Pasien rujukan dokter kepada peneliti yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan dijadikan sebagai subjek penelitian (SP). Dalam penelitian ini, kriteria penerimaan ditetapkan sebagai berikut; (1) pasien rujukan dokter puskesmas atau dokter RSUD Muara Teweh dengan diagnosis tinea korporis dan/atau kruris atau dermatosis lain yang merupakan diagnosis banding tinea korporis atau kruris, (2) bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan. Sedangkan kriteria penolakan meliputi (1) pasien yang telah mendapatkan pengobatan dengan obat antijamur topikal dalam seminggu terakhir dan/atau antijamur sistemik dalam sebulan terakhir sebelum berobat ke puskesmas atau dokter perujuk dan (2) bila diagnosis kerja tidak tercantum dalam surat rujukan dokter. Sejumlah minimal 98 subyek diperlukan untuk penelitian ini guna mendapat kemaknaan statistik dengan nilai a 0.05 dan d 0,08. Diagnosis klinis kasus yang dirujuk tanpa pemeriksaan KOH dibandingkan dengan diagnosis yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH akan dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN). Data dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan statistical programme for social sciences (SPSS) 11.5. Digunakan statistik deskriptif dan data disajikan dalam bentuk teks dan tabel. Tingkat ketepatan diagnosis dinilai dengan membuat tabel 2x2 untuk J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013
menghitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN). Penelitian ini telah lulus kaji etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Cipto Mangunkusumo. Surat persetujuan mengikuti penelitian telah diberikan dan ditandatangani oleh dokter maupun subjek penelitian (SP) yang terlibat dalam penelitian. Hasil Sebanyak 5 orang dokter mengirimkan 106 pasien rujukan kepada peneliti, di antaranya terdapat 101 yang memenuhi kriteria penerimaan sebagai SP. Subjek Penelitian termuda berusia 8 bulan, dan tertua berusia 70 tahun, dengan rerata usia 33,46 tahun (simpang baku + 15,22 tahun). Berdasarkan diagnosis yang dikonfirmasi pemeriksaan KOH, ditemukan dermatofitosis sebanyak 35 orang dari 101 SP (34,7%). Tinea korporis merupakan jenis dermatofitosis yang paling banyak ditemukan, mengenai 19 dari 35 orang SP dengan dermatofitosis (54,3%). Jenis dermatofitosis lain yang ditemukan adalah tinea kruris sebanyak 5 orang (14,3%), dan tipe campuran sebanyak 11 orang (31,4%) dari 35 orang SP dengan dermatofitosis. Kasus non-dermatofitosis ditemukan pada 66 orang SP (65,3%), dengan jenis terbanyak adalah LSK yang ditemukan pada 27 dari 66 orang SP (26,5%). Selain LSK, kasus dermatosis lain yang ditemukan adalah dermatitis seboroik, kandidosis kutis, dermatitis numularis, dermatitis atopik, pitiriasis rosea, skabies, dermatitis kontak iritan, dan psoriasis. Pada tabel 1 dapat dilihat, di antara 101 SP, dokter membuat diagnosis klinis dermatofitosis pada 57 SP dan 44 SP sisanya didiagnosis mengalami kasus non-dermatofitosis. Sementara hasil pemeriksaan KOH menunjukkan kasus dermatofitosis hanya ditemukan pada 35 SP (tinea korporis dan/atau tinea kruris) dan sebanyak 66 SP mengalami kasus non-dermatofitosis. Sebagai catatan di antara 66 kasus nondermatofitosis tersebut, terdapat dua kasus yang memiliki karakteristik klinis sesuai dengan dermatofitosis namun karena pemeriksaan KOH menunjukkan hasil negatif, kedua kasus tersebut tetap digolongkan sebagai kasus nonTabel 1. Diagnosis Klinis Dokter Dibandingkan dengan Diagnosis berdasarkan pemeriksaan KOH (n=101) Diagnosis berdasarkan KOH DermatoNonfitosis Dermato (KOH +) fitosis (KOH -)
Total
Diagnosis dokter Dermatofitosis Non-dermatofitosis
27 8
30 36
57 44
Total
35
66
101
261
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter dermatofitosis. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan program SPSS 11.5 didapatkan nilai sensitivitas 77,1%, spesifisitas 54,5%, NDP 47,4%, dan NDN 81,8%. Nilai sensitivitas, spesifisitas, NDN, dan NDP yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran klinis saja tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis kasus tinea korporis dan atau kruris. Tabel 2 menunjukkan kesalahan diagnosis klinis yang dibuat dokter, baik pada kasus yang dianggap sebagai dermatofitosis maupun non-dermatofitosis. Dalam hal ini diagnosis klinis dokter dibandingkan dengan diagnosis berdasarkan batasan operasional yang dibuat peneliti sesuai landasan teori dan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan KOH. Sebagai catatan, pada penelitian ini ditemukan bahwa dokter perujuk mempunyai pengertian yang keliru mengenai definisi tinea pedis dan manum, antara lain mendiagnosis lesi tinea pada punggung kaki atau tangan sebagai tinea pedis atau manum. Namun sesuai batasan operasional, kasus rujukan yang seharusnya didiagnosis sebagai tinea korporis tersebut tetap dimasukkan dalam hasil penelitian. Diskusi Pada penelitian ini dari 101 kasus yang didiagnosis klinis sebagai tinea kruris dan/atau tinea korporis didapatkan nilai sensitivitas sebesar 77,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan dokter dapat mendiagnosis dengan tepat suatu kasus dermatofitosis adalah sebesar 77,1%. Sementara nilai spesifisitas sebesar 54,5% menunjukkan bahwa bila hasil pemeriksaan KOH-nya negatif, kemungkinan seorang dokter tidak mendiagnosis dermatofitosis adalah 54,5%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (<80%), menunjukkan gambaran klinis tidak cukup untuk digunakan Tabel 2.
Kesesuaian Diagnosis Klinis Dokter Perujuk dengan Batasan Operasional dan Hasil KOH pada Penelitian di Kabupaten Barito Utara Tahun 2012 (n=101) Kesesuaian dengan batasan operasional Sesuai Tidak sesuai
Hasil KOH
Diagnosis dokter perujuk
n
Dermatofitosis Tinea fasialis Tinea korporis Tinea manus Tinea kruris Tinea pedis Tinea kruris et korporis Tinea Jumlah Non-dermatofitosis Liken simpleks kronik Dermatitis Dermatitis seboroik Dermatitis atopik Dermatitis kontak Jumlah
1 12 3 20 7 5 9 57
1 9 2 12 2 5 3 34
0 3 1 8 5 0 6 23
0 9 0 10 1 5 2 27
1 3 3 10 6 0 7 30
19 21 1 2 1 44
17 17 1 2 1 38
2 4 0 0 0 6
4 4 0 0 0 8
15 17 1 2 1 36
101
72
29
35
66
Total
262
sebagai dasar dalam menegakkan diagnosis tinea korporis dan atau kruris, sebab syarat suatu uji diagnosis dianggap baik adalah bila memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.22 Nilai duga positif (NDP) sebesar 47,4% pada penelitian ini menunjukkan, bila seorang SP didiagnosis dermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan SP tersebut benar-benar mengalami dermatofitosis adalah sebesar 47,4%. Artinya, kemungkinan suatu diagnosis dermatofitosis yang dibuat dokter merupakan diagnosis yang benar hanya sebesar 48,3%, atau lebih dari setengah diagnosis dermatofitosis yang dibuat dokter merupakan diagnosis yang salah. Nilai duga negatif sebesar 81,8% menunjukkan bahwa pada SP yang didiagnosis bukan dermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan bahwa SP tersebut tidak mengalami dermatofitosis adalah sebesar 81,8%, atau dapat disampaikan bahwa pada kasus yang didiagnosis sebagai nondermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan diagnosis tersebut benar adalah sebesar 81,8%. Nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, dan NDN yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki pola hampir sama dengan hasil penelitian oleh Lousbergh, Buntinx, dan Pierard yaitu dengan nilai sensitivitas dan NDN yang cukup baik, namun nilai spesifisitas dan NDP-nya rendah. Perbedaanya, pada penelitian tersebut yang digunakan sebagai pembanding adalah pemeriksaan kultur.10 Nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, dan NDN dalam penelitian ini menunjukkan bahwa diagnosis dermatofitosis/tinea yang ditegakkan dokter dengan hanya berdasarkan gambaran klinis tidak selalu tepat, bahkan lebih dari separuh diagnosis tersebut cenderung salah. Tabel 2 menunjukkan kesalahan diagnosis klinis yang dibuat dokter, baik pada kasus yang dianggap sebagai
Positif (+)
Negatif (-)
J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter dermatofitosis maupun non-dermatofitosis. Terdapat 57 kasus yang didiagnosis dokter sebagai dermatofitosis, namun 30 (51,7%) di antaranya menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan KOH. Artinya lebih dari setengah kasus telah salah didiagnosis sebagai dermatofitosis oleh dokter. Kesalahan paling sering terjadi pada kasus yang dianggap sebagai tinea kruris. Di antara 20 kasus yang didiagnosis secara klinis sebagai tinea kruris, terdapat 10 (50%) kasus yang salah didiagnosis oleh dokter. Dalam hal tersebut, dokter mendiagnosis kasus dermatitis seboroik atau dermatitis intertriginosa sebagai tinea kruris. Sebagai catatan, di antara 10 kasus tersebut terdapat 2 kasus yang secara klinis memiliki gambaran khas dermatofitosis berupa plak hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan central clearing, namun pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan elemen jamur. Hal tersebut menurut peneliti disebabkan sensitivitas KOH tidak mencapai 100% sehingga disimpulkan hasil pemeriksaan KOH pada kedua kasus tersebut adalah negatif semu.9,23 Respons yang baik terhadap pemberian terapi dengan obat antijamur topikal/oral membuktikan bahwa kedua kasus tersebut adalah dermatofitosis/tinea. Pada 44 kasus yang dianggap non-dermatofitosis, secara umum dokter lebih baik dalam menegakkan diagnosis dan hanya membuat sedikit kesalahan, yaitu pada beberapa kasus yang didiagnosis liken simpleks kronik dan dermatitis. Terdapat 8 (18,2%) kasus yang salah didiagnosis sebagai dermatitis, sementara hasil positif pada pemeriksaan KOH membuktikan adanya infeksi jamur dermatofita. Perlu diperhatikan bahwa, meskipun tingkat kesalahan diagnosis klinis dokter pada kasus non-dermatofitosis cukup rendah, namun pada penelitian ini ditemukan bahwa diagnosis klinis yang dibuat dokter pada berbagai kasus nondermatofitosis masih menggunakan istilah yang kurang tepat, antara lain: 1. Istilah “dermatitis” digunakan dokter pada beberapa kasus yang secara klinis sesuai dengan dermatitis kontak, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan psoriasis vulgaris. 2. Istilah “tinea” digunakan pada satu kasus yang secara klinis merupakan tinea korporis dengan lesi pada tungkai. 3. Istilah “tinea pedis” digunakan oleh dokter pada beberapa kasus yang yang secara klinis merupakan tinea korporis dengan lesi pada punggung kaki. Hasil lain pada penelitian ini yaitu ditemukan tingkat kesesuaian diagnosis klinis dokter bila dibandingkan dengan diagnosis berdasarkan pemeriksaan KOH adalah sebesar 62.4%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan survei yang dilakukan oleh Basarab, Munn dan Jones (1995) yang meneliti tingkat ketepatan diagnosis yang dibuat oleh dokter terhadap pasien yang dirujuk kepada dokter spesialis kulit. Pada survei tersebut didapatkan tingkat ketepatan diagnosis dokter hanya sebesar 47%.24 Perbedaan tersebut menurut J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013
peneliti disebabkan pada penelitian ini kasus yang diikutkan dibatasi pada kasus yang merupakan kompetensi dokter untuk menanganinya hingga pemberian terapi. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gambaran klinis tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis kasus penyakit kulit yang diduga sebagai dermatofitosis/tinea, khususnya tinea korporis dan atau kruris. Untuk mencegah terjadinya kesalahan diagnosis, pemeriksaan KOH seharusnya dilakukan secara rutin untuk membantu menegakkan diagnosis kasus yang diduga sebagai dermatofitosis. Daftar Pustaka 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
General Practice Statistics and Classification Unit. General Practice Activity in Australia 2001–02. AIHW Cat. No. GEP-10. [Cited 26 Jan 2011]. Available from: http://www.aihw.gov.au/publications/gep/gpaa01-02/index.html#s00. Tunnessen WW. A survey of skin disorders seen in general and dermatology clinics. Pediatric Dermatol. 1984;1:219-22. Bramono K, Menaldi SL, Widaty S, Hernani Ch. Prevalensi penyakit kulit, faktor risiko dermatomikosis serta sebaran jenis dermatofitosis dan spesies penyebab: survey di daerah rural dataran rendah Jawa Barat. Media Dermatolo-Venereologica Indonesia. 2008;35(1):2-7. Chandra J. Karakteristik klinis, sosial, dan lingkungan pasien dermatomikosis superfisial di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dan Divisi Mikologi Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. Amiruddin MD, Amin S, Ilyas FS. Tinjauan mengenai infeksi jamur superfisial di Indonesia. MDVI. 2001;28(2):228-31S. Pariser RJ, Pariser DM. Primary care physicians’ errors in handling cutaneous disorders: a prospective survey. J Am Acad Dernatol. 1987;17:239-245. Al-Fayez H, Mukhtar S, Mohammed S. Diagnostic agreement between primary care physician and dermatologist and reason for reverral to skin clinic. Bahrain Medical Bulletin. 2006;26(2):15. Thomas B. Clear choices in managing epidermal tinea infections. The Journal of Family Practice. 2003; 52(11): 850-62. Lousbergh D, Buntinx F, Pierard G. Diagnosing dermatomycosis in general practitioner. The Journal of Family Practice. 2009; 16:611-5. Verma S, Heffernan MP. Superficial fungal infection: dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1807-21. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 14658. Friedmann PS, Arden-Jones MR, Holden CA. Atopic dermatitis. In: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Blackwell Publishing; 2010. p. 23151. Plewig G, Jansen T. Seborrheic dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 219-25.
263
Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter 14. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. p. 189-203. 15. Budimulja U. Eritrasma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. p. 334-5. 16. Burgin, S. Nummular eczema and lichen simplex chronicus/ prurigo nodularis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 158-62. 17. Berth-Jones J. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Erythroderma. Dalam: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. Blackwell Publishing; 2010. p. 23.1-51. 18. Aoyama H, Tanaka M, Hara M, Tabata N, Tagami H. Nummular eczema: An addition of senile xerosis and unique cutaneous reactivities to environmental aeroallergens. Dermatology. 1999; 199(2):135-9 19. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
264
20.
21.
22.
23.
24.
dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 362-6. De Kock CA, Sampers GHMA, Knottnerus JA. Diagnosis and management of cases of suspected dermatomycosis in the Netherlands: influence of general practice based potassium hydroxide testing. Br J Gen Pract. 1995;45:349-51. Konsil Kedokteran Indonesia. Buku standar kompetensi dokter. 1st ed. Jakarta; 2006 [cited 2011 Jan 26]. Available from: http:/ /inamc.or.id/download/Standar%20Kompetensi%20Dokter.pdf Pusponegoro HD, Wirya WIGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SZ. Uji diagnostik. In: Sastroasmoro S, Ismaiel S, editors. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 3rd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2008. p. 193-215. Budimulja U. Penyelidikan dermatophytosis di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo [Dissertation]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1980. Basarab T, Munn SE, Jones RR. Diagnostic accuracy and appropriateness of general practitioner referrals to a dermatology out patient clinic. Br J Dermatol. 1996;135:70-3.
J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 7, Juli 2013