Kesuburan hewan jantan ada hubungannya dengan beberapa faktor, yaitu : 1. Produksi sperma [ilustrasi :1] Kuantitas dan kualitas sperma menentukan kesuburan seekor pejantan. Kuantitas sperma diukur dengan volume satu ejakulat. Kualitas sperma dapat dilihat dari konsentrasi, motilitas, viabilitas, dan prosentase yang abnormal [ilustrasi :2]. Volume : Aspermia: volume = 0 Hypospermia: volume sedikit Konsentrasi : Azoospermia: tidak ada spermatozoa (nol) Oligospermia: spermatozoanya sedikit Motilitas : Asthernozoospermia: gerakannya sedikit Viabilitas : Necrospermia: semua mati Abnormalitas : Teratospermia: persentase yang abnormal tinggi 2. Daya hidup dan kemampuan membuahi spermatozoa 3. Sexual desire (keinginan kawin, libido) 4. Kemampuan mengawini I. Cacat Bawaan Sejak Lahir 1. Segmental aplasia dari ductus Wolffian Seperti diketahui dari epididimis, ductus deferens, dan ampulla ductus deferens merupakan perkembangan dari ductus Wolffian. Pada cacat ini sebagian kecil atau sebagian besar, satu atau kedua ductus Wolffian hilang. Kalau hanya unilateral yang tidak tumbuh atau buntu sering kali masih fertil. Tet api kalau bilateral hewan tersebut akan steril (mandul). Kejadian ini lebih sering terjadi pada keturunan dari pejantan yang memperlihatkan cacat ini. Pada pada sapi hilangnya epididimis dapat sebagian atau total dari satu atau kedua epididimis, tetapi lebih sering terjadi epididimis yang kanan yang tidak ada. Segmental aplasia dari epididimis menyebabkan terkumpulnya spermatozoa di dalam epididimis yang buntu. Kejadian ini disebut spermatocele. 2. Cryptorchidism Turunnya testis ke dalam rongga scrotum (descensus testiculorum) dimulai dari berpindanya dari rongga abdomen ke cincin inguinalis interna melalui canalis inguinalis masuk ke scrotum. Pada kejadian cryptorchid satu atau kedua testes gagal turun dari rongga abdomen ke scrotum. Turunnya testes ini akibat dari membesarnya dan regresi dari gubernaculum testis (ligamentum yang membentang dari daerah inguinalis dan terpaut pada kauda epididimis). Prosesnya dimulai dari memendeknya gubernaculum dari ujung kauda testes ke cincin canalis inguinalis externa. Akibatnya testes tertarik ke canalis inguinalis dan masuk ke scrotum. Abnormal dari perkembangan gubernaculum testes menyebabkan cryptorchid. Pada sapi descencus testiculorum selesai pada pertengahan kebuntingan, sedangkan pada kuda terjadi menjelang dilahirkan. Kejadian cryptorchid lebih sering terjadi pada babi dan kuda daripada ternak yang lain. Kemungkinan ini bersifat menurun yang diturunkan dari pejantan. Sifat ini dominan pada babi dan kuda, sedangkan ternak lain bersifat resesif. Satu atau kedua tes tes tetap berada di rongga abdomen atau biasanya berada di canalis inguinalis. Pada kuda yang besar lebih sering terjadi pada testes kiri daripada yang kanan. Sedangkan pada kuda yang kecil (pony) kejadiannya sama besar. Bilateral cryptorchid menyebabkan hewan jadi mandul karena tidak terjadi proses spermatogenesis. Sedangkan pada unilateral cryptorchid spermatogenesis terjadi pada testes yang berada di dalam scrotum normal sehingga tetap fertil, tetapi biasanya konsentrasi spermanya lebih rendah. Tanda-tanda kelamin sekundernya normal karena testes tetap memproduksi testosterone dalam jumlah yang mendekati normal sebagai akibat meningkatknya produksi LH. Fungsi steroidogenesis dari testes yang cryptorchid ini kontroversial. Testes yang
cryptorchid pada domba dan sapi lebih rendah kemampuannya dalam mensekresi tertosteon akibat pemberian gonadotropin dari luar. Sebaliknya ini vitro produksi testosterone oleh sel Leydig sama, baik bilateral maupun unilateral pada babi dan kuda. Meskipun cryptorchid yang unilateral tetap fertil sebaiknya tidak digunakan sebagai pejantan karena sifat tersebut dapat diturunkan pada keturunannya. 3. Hypoplasia testes Hypoplasia testes merupakan cacat bawaan dimana potensi untuk berkembang dari epithel germinativum kurang. Kejadian ini dapat terjadi pada semua ternak terutama sapi jantan dari beberapa bangsa sapi, misalnya sapi Brahman dan Brahman Cross. Sapi di dataran tinggi Swedia hypoplasia testes ini disebabkan oleh suatu recessive autosomal gene. Hypoplasia testes ini baru dapat diketahui/dicurigai pada saat pubertas atau sesudahnya karena kesuburannya rendah atau bahkan mandul. Hypoplasia ini dapat terjadi pada satu atau kedua testes. Pada hewan jantan yang mandul, semennya encer sekali berisi sedikit atau tidak ada spermatozoa (oligospermia atau azoospermia). Pada hypoplasia testes yang ringan, semen, libido, dan kemampuan mengawini tidak terpengaruh, tetapi jumlah spermatozoanya kurang. Pada preparat histologinya di dalam tubulus seminiferus tidak terjadi spermatogenesis, spermatogoniumnya sedikit sel Sertolinya banyak. Tanda-tanda hypoplasia testes ini dari luar ukuran testisnya lebih kecil. Pada keadaan yang parah dapat didiagnosa dengan mengukur scrotum dan testes, tetapi pada yang ringan sulit ditentukan. Disamping testis kecil dan konsentrasi spermatozoanya rendah, hypoplasia testes pada domba juga ditandai dengan tingginya persentase spermatozoa yang abnormal. II. Gangguan Ejakulasi (Impotentia coeundi) Ada dua tipe gangguan eyakulasi, yaitu tidak ada atau rendahnya nafs u kawin (libido) dan kegagalan/ketidakmampuan kopulasi karena gangguan ereksi, gangguan menaiki hewan betina, dan kesulitan memasukkan penis. 1. Libido Untuk hewan jantan, libido merupakan aspek fungsi reproduksi yang sangat penting. Kurangnya libido (impotentia coeundi) dapat karena keturunan, gangguan psikogenik, ketidakseimbangan hormonal, atau faktor lingkungan. Meskipun spermanya bagus kalau libidonya rendah kesuburannya juga menurun. Sapi. Pada sapi baik libido maupun kemampuan mengawini dapat diseba bkan oleh faktor genetik. Ini dibuktikan pada sapi jantan kembar monosigot libidonya sama meskipun pemberian pakan dan pengelolaannya berbeda. Kurangnya nafsu kawin lebih sering terjadi pada sapi potong dan sapi Bos Indicus. Beberapa pejantan menjadi takut atau enggan karena perubahan lingkungan yang mendadak misal kandang, petugas yang memelihara, lokasi tempat penampungan semen. Karena takut menyebabkan nafsu kawin turun sampai pejantan tersebut biasa dengan keadaan yang baru tersebut. Ketakutan atau keengganan berkembang sebagai akibat frustasi yang berulang-ulang, kesalahan manageman, kesalahan pada saat koleksi semen, gangguan selama coitus, dan terlalu cepat teaser ditarik setelah kopulasi. Akibatnya pejantan tersebut menolak kopulasi, ereksi yang tida k komplit atau eyakulasi yang tidak sempurna. Tidak adalah hubungan antara libido dengan kualitas semen atau lingkaran scrotum. Semen yang dikoleksi dengan elektroejakulator dari pejantan dengan libido yang rendah ternyata kualitasnya bagus. Tetapi metode ini jarang digunakan pada program IB karena kemungkinan dapat menyebarkan genes yang berhubungan dengan libido yang rendah ini. Rendahnya libido disebabkan oleh defisiensi androgen di dalam peredaran darah. Tetapi pada pejantan Holstein konsentrasi hormon testosterone di dalam peredaran dari tidak ada hubungannya dengan libido atau karakteristik semen. Kuda. Ketidaknormalan nafsu kawin pada kuda jantan sering kali disebabkan oleh kesalahan pengelolaan pada saat digunakan untuk mengawini. Penggunaan yang berlebihan, perlakuan yang kasar, atau terlalu sering digunakan untuk mengawini selama musim winter
dapat berakibat buruk pada nafsu kawin kuda jantan muda. Rasa sakit pada saat kopulasi atau waktu mencoba menaiki kuda betina juga sering menyebabkan impoten. Variasi nafsu kawin akibat perbedaan musim dan aktivitas gametogenik sebagian dipengaruhi oleh sekresi testosterone. Produksi semen yang paling bagus terjadi selama bulan Juli, dua bulan setelah puncak level plasma testosterone pada bulan Mei. Domba. Meskipun produksi semen normal, domba jantan dapat mempunyai kesuburan yang rendah sebab tidak mampu mengawini cukup banyak domba betina. Turunnya kemampuan mengawini ini akibat libido rendah, tidak lincah (malas) atau dipengaruhi pejantan yang lain. Faktor musim seperti lama siang hari dan temperatur mempengaruhi performan seksual beberapa bangsa pada kondisi yang berbeda baik pada alami atau pada kondisi penelitian. Berkurannya lama penyinaran pada umumnya meningkatkan kegiatan seksual. Kesuburan domba jantan juga dipengaruhi oleh temperatur udara yang tinggi. Babi. Rendahnya libido pada babi ada hubungannya dengan kegemukan, heat stress, atau pakan yang terlalu tinggi kualitasnya. Libido juga dipengaruhi oleh kesalahan pengelolaan perkawinan babi jantan muda. 2. Ketidakmampuan Kopulasi Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan tidak mampu kopulasi misalnya : a. Ketidakmampuan menaiki Ketidakmampuan menaiki sering dialami oleh pejantan yang telah tua. Ini ada hubungannya dengan tidak berfungsinya anggota gerak (lac omotor) yang disebabkan oleh dislokasi/fraktur (retak) dan osteoarthritis kaki belakang atau tulang belakang. b. Ketidakmampuan memasukkan penis ke dalam alat reproduksi betina Ketidakmampuan memasukkan penis ke dalam vagina dapat disebabkan oleh keluarnya penis dari praeputium atau penisnya arahnya membelok. Phimosis (radang praeputium) atau orificium praeputeal yang sempit akibat congenital (bawaan sejak lahir), luka atau akibat infeksi dapat menyebabkan penis tidak keluar. Penyebab yang lain adalah adany a hemalotom penis karena rusaknya/rupture corpus cavernosum penis, prolapsus praeputium, frenulum persistent, hair ring, scar tissue, tumor, laceration, urethral fistula, dan coiling penis. c. Kegagalan eyakulasi Gangguan mekanisme syaraf yang mengatur proses eyakulasi dapat menyebabkan gangguan eyakulasi terutama pada kuda. Kegemukan, kurus, atau kelelahan akibat terlalu seringnya dipakai untuk mengawinkan dapat menyebabkan gangguan pada mekanisme syaraf ini. Kesalahan teknik koleksi semen untuk IB. III. Kegagalan Fertilisasi Kegagalan fertilisasi merupakan penyebab yang penting dari ketidaksuburan (infertilitas) dari seekor pejantan yang mempunyai libido normal dan mempunyai kemampuan mengawini dan eyakulasi. Penyebabnya adalah karakteristik semen yang tidak baik atau kesalahan dalam hal teknik perkawinan. 1. Patologi testes, epididimis, dan kelenjar vesikularis Kondisi patologis dari testis, epididimis, dan kelenjar vesikularis mengganggu fertilisasi, karena ada gangguan pada spermatogenesis atau pemasakan spermatozoa. Hal ini menyebabkan karakteristik semen yang tidak normal atau menghalangi lewatnya spermatozoa dari testis ke urethra. Degenerasi testes. Pada degenerasi testes tubulus seminiferus kehilangan kemampuan memproduksi spermatozoa normal. Proses degenerasi testes biasa terjadi pada sapi, domba, babi, dan kuda. Degenerasi testes merupakan penyebab yang paling sering turunnya kesuburan. Penyebab degenerasi testes bukan akibat penyakit spesifik atau penyakit primer, tetapi merupakan akibat atau efek lanjutan dari penyakit umum. Yang paling sering menyebabkan degenerasi testes adalah faktor umur. Pada sapi degenerasi
testes dapat terjadi mulai umur 3 tahun dan jika prosesnya cepat, pada umur 7 tahun sapi tersebut sudah mandul total. Tetapi yang lebih sering terjadi prosesnya lebih lambat dan menjadi tidak subur pada umur 10-15 tahun. Penyebabnya kemungkinan gangguan makanan, avitaminosis A. Pada domba degenerasi testes biasa terjadi akibat ambient temperature yang terlalu tinggi dalam waktu lama, sehingga mekanisme pengaturan temperatur tidak bisa mengatasi. Gangguan sementara pada proses spermatogenesis dapat terjadi dengan menaikkan temperatur sampai 41ÂșC selama 3 jam atau skrotumnya ditutupi dengan selimut yang tebal. Perubahan histologi yang terjadi bervariasi tergantung derajat penyakitnya. Pada yang ringan ada nekrosis spermatid dan pada beberapa tubulus seminiferus tidak terjadi pembentukan spermatozoa, yang lain normal. Pada kondisi yang lebih berat mengalami degenerasi yaitu terjadi vacuole pada sitoplasmanya dan pada intinya. Pada keadaan yang lanjut seluruh testes mengalami degenerasi dan banyak tubulus yang rusak total, kecuali membran basalis. Pada beberapa tubulus terbentuk sel raksasa. Keadaan ini diikuti dengan perkembangan jaringan fibrosa, lebih lanjut lagi jaringan spermatogenik rusak. 2. Heat stress Temperatur adalah salah satu faktor lingkungan penting yang mempengaruhi proses reproduksi. Kenaikan temperatur tubuh selama temperatur lingkungan tinggi atau akibat penyakit dapat menyebabkan degenerasi testes, penurunan persentase spermatozoa normal, dan penurunan kesuburan spermatozoa di dalam eyakulat. 3. Manajemen perkawinan Kegagalan fertilisasi yang disebabkan dari pejantan mungkin akibat manajemen perkawinan yang jelek atau kesalahan teknik IB. Pada sapi dan domba sinkronisasi estrus dengan preparat progesterone, makan substansi estrogenik yang terdapat di dalam pakan hijauan, dapat mengganggu proses transport spermatozoa dan menyebabkan kegagalan fertilisasi. Pada program perkawinan alam, frekuensi untuk mengawini dan ratio atau banyaknya betina yang dikawini tergantung species, umur, libido, kesuburan, dan nutrisi pejantan, lama musim kawin, sistem manajemen. Spermatogenesis adalah proses yang berjalan terus menerus (kontinu), tetapi seringnya eyakulasi mempengaruhi libido dan karakteristik semen. Walaupun libido dapat kembali normal setelah seminggu diistirahatkan tidak dipakai mengawini (eyakulasi), tetapi karakteristik semen belum kembali normal dalam waktu 6 minggu. Sebaliknya jika lama tidak dipakai untuk mengawini juga tidak baik, karena biasanya karakteristik semen dan kesuburannya rendah pada saat kebali dipakai pertama kali mengawini. Pada spesies yang termasuk seasonally breeding seperti kuda dan domba perubahan lamanya siang hari akan mempengaruhi kualitas dan kualitas semen. 4. Faktor immunologik Pada ternak belum banyak diungkap mengenai ketidaksuburan yang disebabkan oleh faktor imunologik. Komponen antigen semen dapat berasal dari testes, epididimis, vas deferens, dan gla ndula accessoria. Secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu yang berada pada seminal plasma dan yang terikat pada spermatozoa. Spermatozoa membawa suatu campuran antigen misalnya sperm-specific antigen (antigen spesifik spermatozoa), histocompability antigens (antigen yang menyebabkan tidak cocok, misalnya yang bertanggung jawab terhadap penolakan jaringan), antigen golongan darah, dan antigen jaringan somatik yang lain. Antigen spermatozoa mungkin antigen di dalam sistem reproduksi jantan (autoantigens) atau di dalam sistem reproduksi betina (isoantigens). Antigen spermatozoa yang berada pada permukaan membran plasma mungkin yang menyebabkan kegagalan reproduksi. Antibodi melawan spermatozoa harus masuk cairan seminal atau mucus cervix setelah dideposisikan di dalam alat reproduksi betina. Antibodi juga terdapat di dalam serum dan cairan semen sapi jantan. Antibodi antisperma dapat mencegah fertilisasi dengan cara menyebabkan spermatozoa
tidak bergerak, menghalangi spermatozoa menembus mucus cervix, menginaktifkan enzim akrosom yang digunakan dalam proses fertilisasi, menghambat melekatnya spermatozoa pada zona pellucida atau menyebabkan kematian embrio. Antibodi sperma dapat juga sebagai salah satu penyebab repeat breeding sapi, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa antisperm antibodi bertanggung jawab turunnya kesuburan di dalam kelompok sapi repeat breeder. Kuning telur dan susu yang digunakan untuk pengencer semen mungkin juga dapat bertindak sebagai antigen. Antibodi melawan antigen kuning telur telah diketemukan di dalam mucus uterus dan jaringan dari sapi betina yang telah diinseminasi beberapa kali. Jika sapi diinseminasi dengan semen yang memakai pengencer kuning telur kesuburannya,(conception rate) lebih rendah pada sapi yang memperlihatkan titer antigen uterus daripada sapi yang tidak memperlihatkan titer antigen uterus. IV. Nutrisi dan Infertilitas Pengaruh faktor kekurangan pakan terhadap kesuburan terlihat lebih nyata pada hewan betina daripada hewan jantan. Kekurangan nutrisi akan menunda waktu pubertas dan menekan produksi dan karakteristik sperma/semen. Hewan muda dan hewan yang sedang tumbuh mudah terkena akibat kekurangan gizi ini daripada hewan yang telah dewasa. Pakan akan mempengaruhi sistem hormonal daripada fungsi spermatogenesis testes. Faktor makanan yang biasa berpengaruh adalah under feeding, defisiensi kalori, defisiensi vitamin, mineral, dan zat -zat toksik. Meskipun hewan dewasa mampu menjaga produksi semen dan sekresi testosterone dalam kondisi kekurangan zat gizi, tetapi pada hewan jantan muda perkembangan seksualnya terhambat dan tercapainya pubertas tertunda. Hal ini disebabkan aktivitas hormonal testes tertekan akibatnya pertumbuhan dan fungsi alat reproduksi terhambat. Jika sapi, domba, dan babi jantan dewasa diberi pakan energi rendah untuk periode yang lama, libido dan produksi testosterone akan terpengaruh lebih dahulu daripada karakteristik semen. Efek kekurangan gizi dapat diperbaiki pada pejantan dewasa, sedangkan pada hewan jantan yang masih muda kurang berhasil karena kerusakan permanen pada epithel germinativum testis. Kegemukan dan kelebihan pakan akan menurunkan libido dan aktivitas seksual pada domba, babi, dan sapi, terutama pada musim panas. Defisiensi protein lebih mempengaruhi hewan muda daripada hewan yang telah dewasa. Sapi jantan muda yang mendapatkan pakan defisiensi protein memperlihatkan penurunan libido dan karakteristik semen, sedangkan yang telah dewasa jarang terpengaruh. Sebaliknya pakan dengan protein tinggi tidak esensial untuk produksi sperma yang optimal. Defisiensi vitamin Defisiensi vitamin A dan carotene menyebabkan degenerasi testis pada semua ternak. Efek vitamin A pada testis kemungkinan tidak langsung dan disebabkan ditekannya pelepasan hormone gonadotropin dari kelenjar pituitari. Injeksi hormon gonadotropin atau vitamin A akan memperbaiki spermatogenesis, kecuali jika kerusakan pada testis sudah permanen. Pedet jantan yang diberi pakan dengan vitamin A yang rendah dalam waktu yang lama akan memperlihatkan degenerasi pada epithel germinativum testis dan azoospermia, sedangkan pada pejantan dewasa tidak memperlihatkan pengaruh yang jelek pada spermatogenesis. Sapi lebih tahan defisiensi vitamin A daripada babi. Sebagai contoh buta malam dan inkoordinasi gerakan akan terlihat lebih dahulu daripada penurunan kesuburan pada sapi jantan, sedangkan degenerasi testis adalah salah satu tanda yang terlihat paling awal avitaminosis A pada babi dewasa. Vitamin E (tocopheral) penting untuk proses reproduksi normal, tetapi peranannya pada kesuburan ternak jantan tidak jelas.
Defisiensi mineral Belum banyak informasi tentang efek defisiensi trace mineral terhadap proses reproduksi jantan. Defisiensi yodium (iodine) dicurigai sebagai penyebab rendahnya libido dan karakteristik semen. Penambahan copper, cobalt, zinc, dan mangan pada pakan akan meningkatkan produksi sperma dan kesuburan hewan jantan Agen toksik Tanaman yang mengandung estrogen memberi efek yang tidak baik terhadap kelenjar accessoria, tetapi ketidaksuburan domba dan sapi yang digembalakan pada estrogenic pasture ada hubungan dengan terjadinya perubahan pada mucus cervix dan dengan kegagalan transport spermatozoa pada alat reproduksi betina. Banyak zat kimia yang mempengaruhi spermatogenesis pada berbagai species mamalia, tetapi peranannya pada ketidaksuburan hewan jantan masih harus diteliti.