Kesimpulan Hasil Bintek Hakim Militer TA. 2017
1. Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi. Oleh Prof. Dr. Surya Jaya,S.H.,M.Hum. a. Latar belakang. 1) Terdapat sekitar 100 UU Hukum Pidana mengamengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Dalam kenyataannya belum ditegakkan secara maksimal. 2) Ada kekosongan hukum acara, UU dimaksud belum mengatur atau mengatur tetapi tidak lengkap. 3) Penanganan tindaka pidana korporasi belum Efektif. 4) Pelaku tindak pidana korporasi semakin meningkat, namun belum di proses. b. Maksud dan Tujuan. 1) menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus; 2) mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus; dan 3) mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus. c. Pengertian Korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. d. Tindak Pidana Korporasi. merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi. e. Pertanggungjawaban Pidana (Mens Rea/Kesalahan) Korporasi. 1) Korporasi dapat dipertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi. 2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain: a) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; b) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. f. Syarat Formal Dan Syarat Materiil Dakwaan Korporasi. 1) Surat dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2) Bentuk surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut : a) nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/ dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili; dan b) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. g. Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi. Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata. h. Perluasan Alat Bukti. 1) Keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah. 2) Sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang lainnya. i.
Sanksi Pidana Terhadap Korporasi. 1) Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan. 2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda. 3) Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pertimbangan Hukum Putusan Pidana Berbasis Asas, Teori Dan Dokmatik Hukum. Oleh Laksma TNI Bambang Angkoso Wahyono, S.H.,M.H. a. Asas Hukum. Mempelajari Gagasan Dan Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Yang Merupakan Pancaran Moral. Contoh : Asas Nullum Delicttum (Ansalm Feureback). b. Teori Hukum. Dapat memberi landasan teoritis dalam penerapan hukum, menemukan metode yang tepat dalam penerapan hukum, mempelajari hukum dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam. Contoh : Teori Sebab Akibat (Von Burry), Teori Pmh (Negatif, Positif). c. Dogmatik Hukum. Bersifat Deskriptif Analitis, Sistematis, Normatif, Praktis, Ada yang berasal dari mala rohibita atau mala in se. Contoh : semua ketentuan perundang-undangan. d. Kerangka Berfikir dalam Keilmuan Hukum. 1) Ontologis. Ajaran tentang hakikat hukum, menyangkut hal yang fundamental seperti : Asas Hukum dan Kaidah Hukum. 2) Epistemologis. Ajaran tentang pengetahuan hukum, ajaran yang mempertanyakan tentang seberapa jauh pengetahuan tentang hakikat hukum dapat berlaku secara umum. 3) Axiologis. Ajaran tentang nilai, berkaitan dengan legitimasi hukum, menyangkut tentang nilai : kepatutan, kesamaan, keadilan dan kebenaran. e. Tugas Hakim dalam keseluruhan proses acara pemeriksaan perkara pidana. 1) Mengkonstatir.. Melihat, mengakui/membenarkan telah terjadinya peristiwa tertentu oleh pihak yang berperkara dan kemudian mengkonstruksikan peristiwaperistiwa hukumnya. 2) Mengkualifisir. Mengabstrasikan peristiwa konkrit (fakta-fakta hukum) yang diperoleh berdasarkan hasil pengkonstatiran, termasuk perkara dan jenis tindak pidana. 3) Mengkonstituir. Memberikan konstitusinya, hakim mencari pasal-pasal yang tepat terhadap fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, menggunakan metode silogisme, serta menarik kesimpulan dari premmis mayor ke premis minor.
f. Parameter Pembuktian. 1) Bewijstheori. Ada 4 teori pembuktian : a. Positief wettelijk bewisjtheorie : Hakim harus terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang, tanpa perlu keyakinan hakim. b) Conviction Intime : dalam menjatuhkan putusan hanya didasarkan pada keyakinan hakim semata. c) Conviction Raisonee : pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas tertentu dengan alasan yang logis. d) Negatief wettelijk bewisjtheorie : dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yg ditimbulkan dari alat-alat bukti menurut undang-undang. 2) Bewijsmiddelen. a) Alat-alat bukti yang dipergunakan untuk membuktikan suatu tindak pidana/peristiwa hukum berdasarkan alat bukti yang telah dibuktikan macam-macamnya oleh undang-undang. b) Pasal 184 KUHAP : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. c) Pasal 172 UU No. 31 Tahun 1997 : Keterangan Saksi, Ketarangan Ahli, Keterangan Terdakwa, Surat, Petunjuk. d) Perluasan Alat Bukti : informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,disimpan secara elektronik dengan alat optik (terorisme). 3) Bewijsvoering. a) Cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti yang ada kepada hakim di pengadilan. b) Due process model : teori ini mendapat perhatian karena sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (hak-hak tersangka). c) Contoh kasus : Unlawful legal evidence. Di Amerika : Polisi Amerika menangkap pengedar Narkoba dan kasus watergate. Di Indonesia : Penyadapan telepon dan rekaman yang diajukan secara tidak sah. d) Herbert L. Packer : Illegally acquired evidence. Perolehan bukti secara tidak sah tidak dapat dijadikan bukti di pengadilan. 4) Bewijslast. Penuntut umum yang wajib membuktikan kesalahan Terdakwa dan penasehat hukum membuktikan sebaliknya, asas pembuktian berimbang. Pembalikan beban pembuktian : 1) Absolut : Terdakwa semata yang harus atau wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah, reversal of burden proof/omkering van bewijslast. 2) Terbatas dan berimbang dikenal pada UU Tipikor pasal 37 UU 31 Tahun 1999.
Pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa adalah suatu hak, jika Terdakwa melepas hak tersebut atau terdakwa gunakan hak tersebut namun ia tidak dapat buktikan bahwa dia tidak bersalah, keadaan ini dianggap suatu hal yang memberatkan baginya (affirmative defense). 5) Bewijskraacht. Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti, Penilaiannya merupakan otoritas hakim, Dasar penilaiannya menggunakan: (4 karakter pembuktian, Bewijstheorie, Bewijs middlelen dan Bewijswering). 6) Bewijsminimum. a) Bukti minimum yang diperlukan untuk membuktikan suatu perbuatan pidana (Batas minimum pembuktian). b) Bersifat mengikat kebebasan hakim. Psl 183 KUHAP – Psl 173 Ayat (2) dan (3) UU 31 Th 1997 yaitu 2 (dua) alat bukti yang sah dan Keyakinan hakim. c) Dalam kasus pidana penuntut umum dan terdakwa posisinya sama untuk membuktikan terbukti tidaknya suatu perkara, hakim harus memberikan bobot nilai yuridisnya terhadap alat-alat bukti yang diajukan.
3. Pelaksanaan reformasi birokrasi di Mahkamah Agung dan 4 Peradilan Tahun 2017. Oleh Jeanny H.V. Hutauruk, S.E.,AK.,M.M.,CA a. Reformasi Birokrasi adalah upaya Pemerintah untuk mencapai Good Governance serta melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap antara lain sistem menyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspekaspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business proses) dan sumber daya manusia (aparatur). b. Langkah-langkah Reformasi Birokrasi ; 1) Mendapatkan komitmen pimpinan yang kuat; 2) Melibatkan seluruh pemangku kepentingan; 3) Membentuk tim reformasi birokrasi; 4) Menetapkan Road Map (8 Area Perubahan); 5) Menerapkan manajemen berbasis kinerja; 6) Menginformasikan upaya dan hasil secara berkala, termasuk quick wins; 7) Melaksanakan monitoring dan evaluasi (PMPRB); 8) Menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi. c. Sasaran Reformasi Birokrasi : 1) Birokrasi yang bersih dan akuntabel serta 2) Birokrasi yang efektif dan efisien. 3) Birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas
berkinerja
tinggi.
d. Kerangka Logis Evaluasi RB. 1) Pengungkit; a) Manajemen Perubahan. b) Penataan Peraturan Perundangan-undangan. c) Penataan dan Penguatan Organisasi. d) Penataan Tatalaksana. e) Penataan Sistem Manajemen SDM. f) Penguatan Akuntabilitas. g) Penguatan Pengawasan. h) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 2) Hasil. a) Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Organisasi. b) Pemerintah yang Bersih dan Bebas KKN. c) Kualitas Pelayanan Publik. e. Kendala Reformasi Birokrasi. 1) Kurangnya Komitmen dari Pimpinan Organisasi. 2) Kurangnya Pemahaman Tentang RB. 3) Keengganan untuk berubah (mengganggu dari comfort zone ke competitive zone). 4) Kurangnya Motivasi. 5) Kurangnya doa untuk organisasi.
4. Memahami sistem doktrin tni untuk meningkatkan kualitas integrity hakim militer dalam memutus suatu perkara. Oleh: Marsma TNI Yadi I. Sutanandika, M.S.S. a. Integritas. Adalah mutu, sifat, atau keadaan yg tunjukn kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. b. Sifat dan Pertimbangan. 1) Subjektif. segala keputusan yang diambil berdasarkan: a) kepentingan tertentu lain (intervented/under press). b) kepentingan sendiri (a.n.; ego; sentimen). 2) Objektif. Segala keputusan yang diambir berdasarkan: Sesuai ketentuan pasal/ayat dalam suatu hukum yg diref Pendapat umum (juri). c. Hakim Militer. Diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
d. Factual. Pada prinsipnya seorang militer wajib taat/tunduk terhadap atasannya, tetapi ketika sudah menjadi hakim militer tidak wajib tunduk pada atasannya terutama saat mengadili perkara militer. Sebab, selain terikat dengan 8 Wajib TNI dan Sapta Marga, hakim militer juga terikat dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang melarang adanya konflik kepentingan dengan atasannya.
5. Integritas Hakim Militer dalam memutus perkara di lihat dari sudut pandang profesi hakim militer. Oleh : Laksma TNI Dr. Sinoeng Hardjianti, S.H.,M.Hum. a. Tugas Hakim. 1) Memeriksa Perkara. Memeriksa syarat formil dan materil. Syarat formil sebagaimana di atur di dalam Pasal 130 UURI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sedangkan syarat Materil berkaitan dengaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, termasuk pemeriksaan para Saksi, Terdakwa dan barang bukti. 2) Mengadili Perkara. Mempertimbangkan baik keterangan para Saksi, Terdakwa dihubungkan dengan barang bukti untuk mencari fakta hukum yang terungkap di persidangan sebagai dasar hukum dalam memutus perkara. 3) Memutus Perkara. Putusan bisa berupa pemidanaan dan bukan pemidanaan,maksudnya yaitu: a) Apabila perbuatan yang didakwakan kpd Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan. b) Apabila perbuatan yang didakwakan kpd Terdakwa terbukti, tetap perbuatan itu tdk merupakan suatu tindak pidana, Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan. c) Apabila Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yg didakwakan kepadanya pengadilan menjatuhkan pidana. b. Profesi Hakim Militer Sebagai Pemutus Perkara. 1) Wakil Tuhan Di Bumi. a) Dalam memutus perkara dalam irah-irah putusan di cantumkan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. b) Hakim tidak boleh sewenang-wenang dalam mengadili perkara. c) Hakim mempunyai jiwa imparsial (tidak memihak). 2) Wakil TNI, Pelaksana Skeppera. Hakim Militer menyidangkan perkara berdasarkan Skeppera. Berdasarkan Pasal 5 UURI Nomor 31 Tahun 1997 ttg Peradilan Militer, Hakim Militer menegakan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan.
3. Pemberi Keadilan, Bukan Pemberi Hukuman Keadilan adalah keserasian antara kepastian hukum dan keseimbangan hukum. Dalam memutus perkara Hakim harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya dan harus seimbang. c. Pedoman Perilaku Hakim Militer. 1) Kode Etik TN.I a) Sumpah Prajurit. b) Sapta Marga. c) Delapan Wajib TNI. d) Sumpah Perwira. e) Kode Etik Perwira. f) Sebelas Azas Kepemimpinan. g) Tri Dharma Eka Karma. 2) Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim (Nomor 47/KMA/SKB/IV/200902/SKB/P.KY/IV/2009. a) Berprilaku Adil, b) Berprilaku jujur, c) Berprilaku Arif dan Bijaksana, d) Bersikap Mandiri, e) Berintegritas Tinggi, f) Bertanggung Jawab, g) Menjunjung Tinggi Harga Diri, h) Berdisiplin Tinggi, i) Berprilaku Rendah Hati, j) Bersikap Profesional. d. Fungsi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk membentuk Integritas Hakim dalam memutus perkara, yang utama : 1) Butir 1 sampai dengan butir 7 dan butir 9 harus melekat dalam jiwa Hakim yang tercermin dalam perilaku. 2) Butir 8 Berdisiplin Tinggi dalam melaksanakan hukum acara. 3) Butir 10 bersikap profesional dalam pembuatan putusan. e. Penutup. 1) Perilaku Hakim Militer dalam menjalankan profesinya sebagai seorang Hakim harus berpegang pada prinsip-prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta Kode Etik TNI. 2) Hakim Militer adalah figure seorang militer yang ideal sehingga dalam memutus perkara harus memiliki Integritas Tinggi. 3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim harus di Internalisasi dalam jiwa Hakim Militer.