4. AGENDA 4.1. PENGANTAR: DASAR-DASAR DAN PROPOSISI Orientasi kebijakan dan pembangunan perumahan dan permukiman (PP) selama ini adalah pada pasokan perumahan baru dan perbaikan lingkungan permukiman serta penyediaan pra-sarana dasar pada lingkungan permukiman secara selektif. Dalam hal penyediaan/pasokan perumahan baru — yang secara resminya ditujukan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak tepat sasaran — kesempatan yang luas diberikan terhadap sektor swasta untuk terlibat di dalam pembangunan perumahan. Di dalam pembangunan perumahan baru ini, mekanisme pasar mendapatkan perannya yang besar untuk proses pengadaannya walaupun terdapat upaya-upaya yang terfragmentasi untuk melakukan pendekatan lain di dalam pembangunan perumahan. Proses pembangunan PP di Indonesia tersebut ternyata mengandung sejumlah kelemahan. Beberapa faktor yang merupakan kelemahan yang melekat pada sektor pemerintah dan masyarakat serta tidak leluasanya sektor swasta di dalam pembangunan PP selama ini telah menyebabkan tiga masalah besar di dalam pembangunan PP (terutama di daerah-daerah perkotaan utama): tanah dan tata-ruang, dikotomi dan konflik, serta ketidakadilan. Orientasi kebijakan tersebut juga telah menyebabkan terabaikannya aspek dan isu-isu lain yang penting di dalam perkembangan PP. Sementara itu dikaitkan dengan desentralisasi pembangunan di Indonesia dan globalisasi yang ada di depan mata, pertanyaan yang muncul adalah sejauh apa orientasi kebijakan dan perkembangan tersebut di atas dapat dianggap cukup antisipatif dan responsif terhadap permasalahan yang berkembang dan perubahan yang sedang atau akan berjalan dengan berbagai implikasinya. Diperlukan suatu pengembangan kepranataan perumahan dan permukiman secara luas, yang dapat memunculkan norma-norma kehidupan perkotaan dan perdesaan yang menunjang kehidupan yang beraneka dan berorientasi pada kepentingan masyarakat dan publik. Selain itu, diperlukan suatu cara pandang baru di dalam melihat permasalahan pembangunan PP karena ini menjadi dasar bagi apa yang harus dilakukan di masa mendatang. Berikut ini adalah tiga proposisi yang menjadi dasar perumusan agenda pembangunan perumahan dan permukiman di masa depan, dimana di dalamnya termasuk aspek penciptaan good governance sebagai bagian daripadanya. 4.1.1.
Kesetaraan Mendapatkan Peluang Dan Akses
Salah satu masalah di dalam perkembangan dan pembangunan PP selama ini adalah ketidakadilan, konflik dan marjinalisasi/ pengucilan yang dirasakan Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 1
kelompok—bahkan sebagian besar— masyarakat yang rentan dan kurang berdaya. Keadaan ini pada hakekatnya terjadi akibat praktek ketidakadilan, pengucilan dan diskriminasi (dilakukan sengaja maupun tidak sengaja) politik, ekonomi dan spasial terhadap kelompok masyarakat yang kurang berdaya tersebut oleh kekuatan-kekuatan hegemonik. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan memberdayakan kelompok masyarakat tersebut dengan mengembangkan proses-proses dan mekanisme yang bersifat adil dan setara untuk mendapatkan berbagai peluang dan akses di dalam pembangunan dan perkembangan PP, dan diberikannya hakhak yang setara untuk mendapatkannya. Tetapi upaya-upaya ini tidak akan menjadi kenyataan praxis tanpa adanya pemberdayaan politik dan dibuatnya bingkai good governance untuk menopang tercapainya upaya-upaya tersebut. Tidak terlepas dari tujuan-tujuan kesetaraan dan keadilan ini adalah menghilangkan ketidakadilan di dalam aspek tata-ruang sebagai sumber permasalahan-permasalahan lingkungan, yang terjadi akibat praktek hegemoni global dari sektor ekonomi. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai terbentuknya iklim kesetaraan dan keadilan di dalam mendapatkan akses dan peluang di dalam pembangunan dan perkembangan perumahan dan permukiman adalah: Penciptaan kesetaraan di dalam mendapatkan: (a) hak dan akses atas tanah dan permukiman; (b) hak atas pelayanan permukiman; (c) hak dan akses atas informasi dan transparansi pelayanan permukiman; (d) hak perlindungan hukum atas masalah permukiman; (e) hak meminta pertanggungjawaban terhadap pemerintah atas masalah permukiman; (f) hak pekerja industri atas perumahan dan pelayanan perumahan; (g) hak partisipasi masyarakat atas proses produksi dan pemeliharaan permukiman.
Good go vernance untuk aspek kesetaraan dan keadilan: (a) Adanya konsensus antara warga/masyarakat, pembangun (swasta dan pemerintah), pemerintah sebagai pengatur dan kekuatan kekuatan sosial dan politik lokal dalam hal: pembangunan, penghunian dan pemeliharaan permukiman; dan (b) Adanya keterbukaan (transparansi), efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas lembaga-lembaga pemerintah sektor permukiman. 4.1.2.
Keseimbangan Pertumbuhan Makro Dan Mikro
Migrasi menunjukkan adanya perbedaan atau kesenjangan peluang antar tempat, atau kesenjangan. Jika pertumbuhan dan pertambahan penduduk ingin
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 2
diseimbangkan di antara berbagai jenis permukiman dan daerah serta pulau, maka yang perlu dilakukan adalah menciptakan kondisi agar semua tempat sama baiknya dalam memberikan peluang kepada penduduknya untuk hidup sejahtera. Selain daripada itu, pengadaan (dan pengendalian) ruang usaha bagi sektor informal merupakan tantangan besar bagi daerah perkotaan kita, sama halnya dengan pengadaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Hal yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tata-ruang dan sekaligus mencapai keadilan di dalamnya adalah menciptakan keadilan tata ruang melalui: (a) Penguatan ruang lokal, di mana masyarakat lokal memiliki identitas teritorial dan eksistensi dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya; dan: (b) Adanya akuntabiuitas penataan ruang, melalui rujukan-rujukan tata ruang yang terbuka atau transparan. 4.1.3.
Reorientasi Pembangunan Dan Perkembangan Permukiman
Pengadaan perumahan harus dapat menjawab tumbuhnya permintaan atau tuntutan yang semakin beraneka ragam; tidak hanya terbatas pada menjawab menurut kebutuhan kategori kelompok pendapatan. Perumahan baru bagi masyarakat berpendapatan rendah semestinya tidak dipumpunkan kepada tipe kecil, melainkan kepada upaya agar kebutuhan ruang kelompok ini dapat terpenuhi. Artinya, pembangunan permukiman harus memacu efisiensi agar diperoleh keadaan permukiman yang lebih sesuai dengan kebutuhan ruang dengan harga yang terjangkau. Selama ini murah selalu diartikan kecil dan sederhana. Untuk menjaga kualitas lingkungan seperti ini, jelas sumber daya kota yang diperlukan, seperti air, harus dikonsentrasikan pada kawasan ini. Hal ini — antara lain — dapat mempersempit jurang (gap) antara permukiman mewah dengan perkampungan yang umumnya berada saling berdekatan. Selain itu, pembangunan sangat terpumpun pada pemilikan rumah, padahal apabila melihat pada mobilitas (sosial maupun fisik) penduduk perkotaan yang ada sekarang, terdapat gejala kuat akan kebutuhan rumah bukan milik. Kepranataan yang ada juga tidak secara signifikan mengakomodasi kebutuhan perkembangan lingkungan permukiman yang ada (the existing stock) sebagai potensi penting bagi pemenuhan kebutuhan perumahan dan sarana bagi proses transformasi sosial maupun rumah-rumah individual. Sejak program pengadaan perumahan pertama kali diadakan, masalah utama yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah belum terpenuhinya kebutuhan perumahan yang layak bagi masyarakat dalam arti luas, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak tetap. Kelayakan tampaknya perlu pula dipahami dengan cara pandang lain, yaitu bukan secara teknis rational
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 3
melainkan dengan memahami kehidupan atau sifat sosio-ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah agenda perumahan dan permukiman yang perlu dipertimbangkan pelaksanaannya di kemudian hari. Uraian tentang Agenda Perumahan dan Permukiman ini dimulai dengan penyampaian tentang “visi dan misi” yang perlu dimiliki oleh perumahan dan permukiman di Indonesia mendatang. Atas dasar ini kemudian diuraikan tujuan dan Agenda Jangka Panjang pembangunan dan perkembangan perumahan dan permukiman, yang pada intinya adalah perumusan dan pengembangan (kembali) kepranataannya yang beralih dari memfasilitasi pasar ke melayani masyarakat banyak dan bersifat partisipatif. Agenda Tahun 2000 – 2005 kemudian diturunkan dari Agenda Jangka Panjang ini, dengan menekankan pada bagian-bagian yang dianggap strategis atau menjadi pra-kondisi bagi pelaksanaan Agenda Jangka Panjang tersebut yang diperkirakan dapat dilaksanakan dalam lima tahun mendatang ini. 4.2. TUJUAN UTAMA/JANGKA PANJANG PENGEMBANGAN PERMUKIMAN Atas dasar-dasar dan proposisi di atas, maka dapat dirumuskan tujuan utama atau jangka panjang pengembangan permukiman sebagai berikut: (1) Pembangunan suatu kepranataan pembangunan dan perkembangan PP yang partisipatif, transparan dan dapat dlipertanggungjawabkan (accountable), yang memiliki penekanan pada: a) pengadaan dan perkembangan PP bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau under-served, dan b) pengendalian pembangunan dan perkembangan PP untuk mencegah monopoli oleh mekanisme pasar di dalam prosesnya dan untuk mencegah tidak terintegrasinya pembangunan dan perkembangan PP dengan pembangunan tata ruang. (2) Pengembangan suatu proses pembangunan dan perkembangan PP yang: a) dapat memberdayakan seluruh kelompok masyarakat (dalam hal gender, usia dan lain-lain pengelompokan), khususnya yang selama ini terpinggirkan; b) efisien, adil dan efektif dalam pengalokasian sumber-sumber daya ruang, keuangan, infrastruktur dan lain-lain input PP; dan c) menghasilkan perkembangan PP yang terintegrasi secara ruang, lingkungan, sosial dan infrastruktur. (3) Meningkatkan peran dan tanggung-jawab Pemerintah Daerah dan mengembangkan kemampuannya di dalam pengelolaan pembangunan dan perkembangan PP.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 4
4.3. AGENDA Agenda Sektor Permukiman ini pada hakekatnya dirumuskan atas dasar komitmen kepada keberlanjutan pembangunan manusia. Dengan perkataan lain, pumpunan utama dari Agenda 21 ini adalah manusia. Hal ini perlu menjadi tekanan, mengingat pengabaian terhadap manusia dalam konteks pembangunan permukiman, ternyata telah membawa arah yang justeru tidak diharapkan oleh pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, reorientasi kebijakan pembangunan permukiman yang selama ini cenderung memperkuat sektor penyedia tertentu (yaitu pengembang) dan kelompok masyarakat tertentu, sangat diperlukan. Kebijakan pembangunan permukiman perlu direorientasikan lebih eksplisit kepada manusia-manusia yang membutuhkannya, termasuk di antaranya perempuan, orang tua, kaum disabled, anak-anak terlantar, tuna wisma, korban bencana alam dan kerusuhan, kelompok miskin dan berpenghasilan rendah, para pengungsi, dan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung lainnya. Namun demikian sangat disadari bahwa reorientasi kebijakan pembangunan permukiman yang diarahkan kepada manusia yang membutuhkan tidak akan terlaksana dengan baik apabila tidak ada dukungan politik berupa good governance. Dengan demikian, good governance diperlukan sebagai bingkai politik bagi terlaksananya kebijakan pembangunan permukiman untuk manusia dengan baik. Dua agenda utama dari Agenda 21 Sektor Permukiman ini (1) Pengembangan Kepranataan Permukiman, dan (2) Program Aksi, pada hakekatnya merupakan turunan dari arah baru kebijakan pembangunan permukiman yang memberi tekanan pada tema manusia dengan bingkai penguat good governance. 4.3.1.
Pengembangan Institusi (Kepranataan) Permukiman
(1) Mengembangkan kepranataan dan instrumen pembangunan dan perkembangan permukiman bagi masyarakat banyak sebagai berikut: a) Memperkuat dan mengembangkan upaya-upaya bagi penyediaan fasilitas permukiman bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung: kelompok miskin dan berpenghasilan rendah, perempuan, anak-anak terlantar, orang tua, para pengungsi, korban bencana alam dan kerusuhan, tuna wisma, serta kaum disabled. b) Memperkuat upaya-upaya lokal dalam pengadaan perumahan masyarakat lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya lokal, seperti misalnya dalam kasus-kasus magersari, ngindung, dam sejenisnya. Perkuatan ini dilakukan dengan pengakuan keberadaan praktek-praktek/kasus-kasus demikian di dalam perencanaan perumahan maupun tata ruang yang Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 5
bersifat lebih makro, serta diadakannya sistem insentif bagi upaya-upaya lokal ini untuk mendukung praktek-praktek seperti ini. c) Memberikan insentif kepada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan perumahannya sendiri. Dalam kaitan ini, insentif diberikan pada kelompok-kelompok yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan perumahannya sendiri, dan insentif diberikan baik untuk pembangunan baru maupun pengembangan permukiman yang ada. Insentif yang perlu diberikan adalah di dalam bentuk perijinan, pembiayaan, penguasaan tanah dan lain-lain. Secara kelembagaan, maka perlu dibangun sistem insentif yang melekat pada ketentuan-ketentuan dan mekanisme pembiayaan (subsidi) perumahan/ permukiman dan yang melekat pada ketentuan-ketentuan dan mekanisme penataan dan pengendalian ruang. Sedangkan kemampuan kelompok-kelompok tersebut dapat dibangun dengan dilibatkannya fungsi keperantaraan yang antara lain sekarang telah clikembangkan dalam bentuk profesi Konsultan Pembangunan. d) Melindungi masyarakat banyak dari praktek-praktek spekulasi dan monopoli penguasaan tanah agar tanah dapat lebih mudah tersedia untuk pembangunan perumahan yang membutuhkannya, terutama bagi mereka yang tergolong rentan terhadap gejolak harga tanah. Beberapa aspek pengembangan kepranataan yang perlu dilakukan untuk maksud ini adalah:
•
Reposisi kedudukan para pelaku pembangunan perumahan dan permukiman. Dalam hal ini, perhatian perlu ditujukan pada hal-hal berikut: -
Pengembangan prinsip dan mekanisme bahwa pengembang di kemudian hari tidak dibenarkan untuk “menguasai” tanah. Hal ini berarti perlunya pelaksanaan secara konsisten konsep KASIBA dan LISIBA seperti yang telah ditetapkan dan pelibatan para pemilik tanah bila daerahnya akan dibangun lingkungan perumahan;
-
Penyusunan ketentuan bahwa pengembang nantinya lebih berfungsi sebagai pembangun kawasan perumahan. Di samping hal ini, dapat dikembangkan kemungkinan fungsi pengembang (termasuk koperasi atau asosiasi-asosiasi permukiman) untuk juga memberikan bantuan teknik pada kelompok-kelompok masyarakat yang ingin membangun perumahan kelompoknya tentang pengembangan kawasan perumahan dan untuk menjadi mediator di dalam mencari investor pengembangan kawasan.
-
Dalam kaitan dengan butir di atas, perlu dibuat pengaturan mengenai kualifikasi dan kemampuan pengembang untuk dapat berpartisipasi dalam jenis-jenis maupun tahapan-tahapan pembangunan perumahan dan permukiman.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 6
-
• • •
Penyusunan ketentuan maupun metoda-metoda pembangunan areal perumahan yang lebih menghormati pemilik tanah.
Pengembangan sistem pencadangan tanah oleh pemerintah untuk pembangunan perumahan bagi masyarakat banyak, terutama mereka yang rentan terhadap gejolak harga tanah dan memiliki kelemahan untuk terlibat dalam pasar. Pengembangan ketentuan-ketentuan tentang penguasaan minimal tanah perkotaan, dis-insentif bagi spekulasi tanah dan insentif bagi pemilik tanah yang mau memfungsikan tanahnya untuk kepentingan publik (termasuk untuk perumahan masyarakat rentan terhadap pasar). Pengembangan sistem pengelolaan tanah (land managemeni) dan teknik-teknik yang berhubungan dengan perolehan tanah yang mendukung pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan.
e) Mengembangkan sistem pendukung yang memfasilitasi pembangunan/produksi maupun pengembangan rumah individual. Sistem ini nantinya akan memudahkan dan mendorong indlividu maupun keluarga untuk membangun atau mengembangkan huniannya karena adanya pelayanan registrasi/ administrasi tanah yang mudah dan murah, mekanisme pembiayaan pembangunan atau pengembangan untuk rumah individu/tunggal, pelayanan konsultasi teknik konstruksi pembangunan rumah, dan mekanisme perijinan yang sederhana dan murah. (2) Membangun kesatuan sistem perencanaan dan sistem pembangunan (implementasi rencana) tata ruang (yang pada hakekatnya sekarang belum ada) yang partisipatif dan memberdayakan masyarakat maupun Pemerintah Daerah. Dalam jangka panjang, mekanisme ini perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti berupa UU yang memiliki artikulasi. Dalam kaitan ini, peraturan-perundangan yang berhubungan dengan pembangunan tata ruang yang ada, seperti UU Perumahan dan Permukiman, UU Tata Ruang dan peraturan pemerintah lain turunannya, perlu dikaji ulang. Langkah-langkah utama yang perlu dilakukan untuk menuju ini adalah: a) Membangun sistem perencanaan tata ruang yang partisipatif (SPTRP) di daerah-daerah; meredefinisikan fungsi/sistem perencanaan tata ruang pada tingkat nasional, dan merumuskan keterkaitan di antara sistem/fungsi di daerah dan di pusat.
•
Membangun kapasitas daerah dalam perencanaan tata ruang yang bersifat “alternatif”, yaitu melalui pelatihan, diseminasi dan alokasialokasi kesempatan untuk pendidikan dan pemagangan.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 7
•
Mengembangkan SPTRP pada tingkat daerah melalui suatu proyek percontohan (“pilot project”) yang dievaluasi dan dikembangkan terusmenerus sebelum dibakukan: -
Memasukkan (incorporate) dan mengembangkan prosedur/proses public review, objection, dan public decision dalam proses/mekanisme perencanaan tata ruang partisipatif.
-
Mengembangkan sistem yang mendukung fungsi-fungsi keperantaraan di dalam perencanaan tata ruang untuk memberdayakan kelompok-kelompok yang kurang mampu mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhannya.
-
Merumuskan/menyusun sistem informasi perencanaan sebagai sistem pendukung bagi proses/mekanisme perencanaan tata ruang partisipatif.
-
Mengembangkan sistem kesepakatan rencana tata ruang yang memiliki kekuatan hukum.
b) Mengembangkan sistem pembiayaan pelaksanaan rencana kota yang mengatur perimbangan kewajiban pembiayaan dari unsur-unsur pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat, apabila rencana itu akan diwujudkan. Dalam kaitan ini, yang paling utama, haruslah dijelaskan pembedaan kewajiban antara sektor publik (pusat maupun daerah) dan sektor masyarakat/swasta di dalam pembangunan pra-sarana dan sarana serta komponen-komponennya yang dibangun, serta untuk tahap operasinya. c) Mengembangkan metoda-metoda pembangunan ruang kota, prasarana dan sarananya yang terutama ditujukan bagi implementasi rencana dan pengendalian perkembangan tata ruang. d) Mengembangkan ketentuan-ketentuan tentang pembangunan ruang kota dengan tujuan untuk pengendalian perkembangan ruang kota. Namun demikian, ketentuan-ketentuan ini sendiri harus bersifat positif (bukan aturan-aturan yang bersifat negatif), fleksibel dan responsif terhadap karakteristik yang bersifat lokal. e) Mengembangkan pembentukan perusahaan-perusahaan publik di daerah untuk pembangunan perumahan dan kota dengan tujuan terutama untuk menjadi agen utama yang mendorong implementasi rencana dan pengendalian perkembangan tata ruang, walaupun pelaku implementasi yang lebih signifikan tetap merupakan sektor masyarakat dan swasta.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 8
f) Mengadakan sistem yang memperkuat kelompok masyarakat (pokmas) yang memiliki kepedulian terhadap tata ruang. Yang dimaksud dengan “kepedulian” di sini adalah adanya perhatian terhadap permasalahanpermasalahan tata ruang mulai dari skala nasional, regional, kawasan, sampai lokal. Sistem ini nantinya ditujukan untuk memungkinkan pokmaspokmas tersebut memiliki fungsi efektif untuk membantu pemantauan perkembangan tata ruang dalam rangka pengendaliannya. g) Mengembangkan Sistem Peradilan Tata Ruang untuk memberikan fungsi arbitrase dan fungsi litigasi bagi persoalan-persoalan dan/atau pelanggaran yang berhubungan dengan perkembangan tata ruang oleh pelaku pelaku/petaruh pembangunannya. Jika melihat pada apa yang disampaikan di atas, maka apa yang harus dibangun adalah suatu kepranataan perencanaan dan pembangunan tata ruang yang bersifat menyeluruh. Walaupun perumahan dan permukiman merupakan suatu unsur dari perkembangan tata ruang, keberadaan pranata yang bersifat menyeluruh ini merupakan keniscayaan apabila pembangunan perumahan/ permukiman, baik secara tata ruang maupun aspek lainya yang menyertai, ingin diperbaiki. Walaupun demikian, efektifitas kepranataan ini tidak akan terjadi begitu saja setelah secara formal kepranataan tersebut terbentuk. Efektifitas kepranataan ini sangat tergantung pada kualitas sumberdaya manusia yang menjalankannya dan kekuatan legal dari unsur-unsur kepranataan tersebut untuk memberikan kepastian terhadap keputusan yang diambil. Oleh karena itu, pembangunan kepranataan tersebut merupakan suatu proses jangka panjang, dan kekuatan legal tersebut dapat diperoleh apabila keberadaan kepranaataan tersebut beserta kegiatannya berada di bawah lindungan undang-undang. (3) Membangun mekanisme perencanaan dan pembangunan perumahan yang terintegrasi dengan mekanisme perencanaan dan pembangunan tata ruang. Yang perlu dilakukan adalah: a) Perencanaan pembangunan perumahan ‘dilekatkan’ dengan perencanaan pembangunan jaringan dan sistem pelayanan transportasi maupun “pusatpusat” pertumbuhan. Dalam hal ini, maka fungsi perencanaan pembangunan perumahan harus memiliki kaitan yang erat dengan fungsi perencanaan tata ruang. b) Mendudukkan pembangunan perumahan sebagai bagian dari pembangunan prasanana. Dengan perkataan lain, pembangunan prasarana merupakan mainstream bagi pembangunan perumahan. Yang dimaksud dengan prasarana sebagai mainstream disini adalah bahwa pembangunan perumahan hanya akan dilakukan apabila pembangunan prasarana, pada Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 9
tingkat lokal maupun lebih makro, diputuskan.
yang terkait dengannya telah
c) Sosialisasi rencana-rencana tata ruang yang memiliki relevansi dengan perkembangan yang ada dan telah memiliki kekuatan hukum kepada masyarakat luas, baik melalui dokumen cetak, media massa maupun dalam bentuk pampangan di segala sudut ruang perkotaan yang strategis. (4) Mengembangkan sistem pelatihan untuk mensosialisasikan pendekatan-pendekatan alternatif dan meningkatkan kemampuan profesional di bidang perumahan bagi personil pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pelaku pembangunan perumahan dan permukiman lainya (stakeholder), seperti LSM, konsultan, organisasi kemasyarakatan, pengembang, dan lain-lain. (5) Mengembangkan fungsi/sistem informasi dan diseminasi mengenai “Hidup Bermukim Yang Baik” bagi masyarakat di dalam pemerintahan daerah. “Hidup Bermukim Yang Baik” merupakan suatu tema yang berhubungan dengan bagaimana warga mengerti kewajiban dan hak-haknya di dalam bermukim, berperilaku dan melakukan kegiatannya, baik sebagai tetangga, sebagai warga suatu lingkungan permukiman, sebagai warga kota, maupun sebagai warga negara. Pengetahuan dan kesadaran tentang hal ini di antara warga suatu lingkungan permukiman antara lain dapat diwujudkan apabila ada proses sosialisasi melalui mekanisme komunikasi yang tepat dalam suatu sistem informasi yang efektif. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sosialisasi ini secara berkesinambungan. Dalam kaitan ini perlu dilakukan: - memasukkan “Konsep Bermukim Yang Baik” ke dalam muatan lokal kurikulum Sekolah Dasar dan Lanjutan; - memberikan insentif bagi unit-unit permukiman yang menunjukkan prestasi “Hidup Bermukim Yang Baik”; - identifikasi tentang unsur di dalam pemerintahan daerah yang tepat untuk melakukan fungsi sosialisasi konsep “Bermukim Yang Baik”; - mengembangkan sistem komunikasi yang dapat menunjang sosialisasi “Bermukim Yang Baik”. (6) Pengembangan sistem pembiayaan dan subsidi untuk pembangunan dan perkembangan permukiman dengan sistem alokasi dan pengelolaannya yang terpumpun pada: - subsidi pembiayaan pembangunan perumahan bagi berpenghasilan rendah dan kelompok-kelompok rentan lain;
masyarakat
- subsidi pembiayaan pengadaan tanah untuk perumahan masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok-kelompok rentan lain; dan Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 10
- subsidi pembiayaan pembangunan prasarana permukiman untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok-kelompok rentan lain. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi sumber-sumber dan mekanisme untuk memperoleh dana-dana jangka panjang untuk subsidi-subsidi tersebut di atas. 4.3.2. Program-Program Aksi Untuk Mengatasi Masalah-Masalah Dalam Perkembangan Permukiman Yang Ada Selain pengembangan kepranataan pembangunan perumahan dan permukiman seperti diuraikan di atas, agenda lain yang perlu dilakukan dalam sektor permukiman adalah upaya-upaya menuju perumusan program-program aksi yang secara langsung mengintervensi perkembangan permukiman yang ada di Indonesia. Tujuan dari pelaksanaan agenda ini adalah terutama untuk mengantisipasi perkembangan permukiman yang mengandung persoalanpersoalan dalam perkembangan tata ruang, sosial dan lingkungan. Yang menjadi masalah dalam perumusan agenda ini adalah adanya persoalan yang perlu ditanggapi oleh agenda yang beragam, baik jenis maupun tingkat kompleksitasnya. Mengingat keragaman persoalan perkembangan permukiman, maka beberapa persoalan yang dianggap penting/strategis saja yang perlu mendapat perhatian. Di bawah ini adalah agenda dari sejumlah program aksi tersebut. (1) Program-program antisipasi urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat. Di Indonesia, terdapat sejumlah daerah dengan tingkat pertumbuhan yang sangat pesat. Sebagian besar adalah daerah-daerah yang menjadi tempat berkembangnya industri dan/atau kegiatan penambangan yang besar, selain yang secara historis telah menjadi pusat pertumbuhan. Contoh untuk kelompok pertama, misalnya, adalah Tangerang dan sekitarnya, Bekasi dan sekitarnya, Serang-Cilegon, Bontang, Tanjungpinang dan Bermera. Sedangkan contoh untuk kelompok yang kedua adalah kota-kota metropolitan dan beberapa kota-kota lainnya. Di samping itu, daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan pariwisata atau berada di dekatnya seringkali juga tumbuh dengan cepat. Daftar kota-kota yang ada di Indonesia beserta angka-angka pertumbuhan penduduknya seperti yang tercantum di dalam Tabel 3.4 dapat menjadi indikator untuk daerah-daerah yang cepat tumbuh ini. Secara garis besar, kedua jenis daerah-daerah yang tumbuh cepat tersebut masih dapat dibagi lagi pada dua kategori daerah; yaitu daerah padat dan daerah kurang padat. Banyak kota-kota metropolitan di Jawa maupun luar Jawa menjadi daerah yang cepat tumbuh dan sekaligus telah memiliki tingkat kepadatan yang tinggi. Namun demikian, tidak berarti bahwa daerah-daerah Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 11
yang cepat tumbuh tetapi masih berkepadatan rendah hanya terdapat di luar Jawa atau di luar daerah metropolitan. Banyak bagian pinggiran (fringe) dari daerah-daerah metropolitan yang sedang tumbuh dengan cepat juga masih memiliki kepadatan yang relatif rendah. Contoh dari yang terakhir ini adalah sebagian dari daerah Bekasi, Tangerang atau Bogor. Yang perlu diantisipasi dari daerah-daerah yang tumbuh dengan cepat tersebut adalah sejumlah persoalan berikut: pertumbuhan penduduk yang tidak tertampung oleh lapangan kerja yang ada, kebutuhan yang pesat akan perumahan, pertumbuhan perumahan dan permukiman secara tidak terkendali, pertumbuhan sektor informal yang sangat cepat yang umumnya menyertai fenomena urbanisasi, munculnya masalah-masalah sosial di lingkungan permukiman yang tumbuh pesat dan masalah-masalah lingkungan akibat pertumbuhan yang cepat. Perbedaan antara daerah dengan pertumbuhan cepat yang memiliki kepadatan tinggi dengan yang memiliki kepadatan rendah seringkali menghasilkan karakteristik persoalan yang berbeda. Persoalan lain yang perlu diantisipasi dari keberadaan daerah-daenah yang tumbuh cepat ini adalah potensi munculnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang telah diuraikan di bagian lain dari dokumen ini, termasuk ketimpangan antara Jawa dan Luar Jawa maupun antara Jabotabek dengan daerah sekitarnya. Di dalam agenda ini, karena keberagamannya, daerah-daerah yang cepat tumbuh dan persoalan spesifik di dalamnya belum dapat disebutkan. Identifikasi daerah-daerah ini justru merupakan salah satu agenda yang harus dilakukan sebagai bagian dari upaya menuju perumusan program aksi untuk mengatasi persoalan-persoalan permukiman secara langsung. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, agenda yang perlu dilakukan adalah: a) Identifikasi daerah-daerah yang tumbuh cepat serta persoalan-persoalan perumahan dan permukiman yang berkaitan. Langkah ini merupakan persiapan yang diperlukan sebelum dilakukan perumusan program-program aksi yang bersifat langsung untuk menangani persoalan-persoalan dalam perkembangan permukiman yang ada. Identifikasi perlu dilakukan dengan metode dan perhatian yang perlu diarahkan pada daerah-daerah (permukiman) yang tumbuh cepat dan memiliki salah satu atau beberapa keadaan berikut: -
daerah ini secara histonis menjadi pusat-pusat kegiatan yang cepat tumbuh dan memiliki angka urbanisasi yang tinggi;
-
daerah ini memiliki pertumbuhan dengan angka di atas rata-rata daerah perkotaan yang berada di dekatnya dan/atau di atas angka rata-rata pertumbuhan daerah perkotaan secara keseluruhan;
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 12
-
pada daerah ini, secara faktual, dengan cepat tumbuh lingkungan perumahan/ permukiman secara informal dan atau daerah ini menjadi sasaran perkembangan/ investasi industri, pertambangan, perumahan dan aktifitas ekonomi formal.
Terhadap daerah-daerah yang teridentifikasi kemudian dilakukan analisa masalah-masalah di dalam perkembangan permukiman yang ada, yang dipumpunkan pada munculnya masalah-masalah lingkungan, konflik sosial, tata ruang, pertumbuhan sektor informal dan kebutuhan perumahan dan prasarana. Langkah berikutnya adalah mengkaji ulang rencana tata-ruang maupun pembangunan perumahan/permukiman yang ada di atasnya untuk dilakukan perubahan yang diperlukan agar dapat dibuat panduan baru yang lebih relevan bagi perumusan program-program aksi yang memiliki kekuatan hukum. Hasil identifikasi dan analisa daerah-daerah (permukiman) yang tumbuh cepat serta hasil kaji ulang serta perubahan rencana tata ruang dan pembangunan perumahan/permukiman seperti tersebut di atas, kemudian dijadikan basis bagi perumusan program-program aksi pengembangan perumahan dan permukiman di daerah dengan pertumbuhan cepat yang terpilih. b) Merumuskan permukiman
program-program
aksi
pengembangan
perumahan
dan
Sebagai langkah lanjut yang perlu dilakukan adalah merumuskan programprogram aksi (action programs) untuk mengatasi secara langsung permasalahan perkembangan permukiman di daerah yang teridentifikasi di atas. Program-program aksi ini harus bersifat kontekstual sehingga antara satu daerah/lingkungan dengan yang lainnya akan memiliki program yang berbeda. Perumusan program harus melibatkan masyarakat; yang bersifat langsung apabila lingkup program adalah bersifat lokal, dan menggunakan asas keterwakilan apabila lingkup program adalah bersifat lebih luas (tidak lokal). Proses pelibatan masyarakat di sini dapat menjadi suatu kesempatan mengujicobakan sebagian proses-proses seperti yang dituliskan di dalam agenda yang tercantum pada 4.3.1.
c) Mengembangkan forum-forum stakeholders Forum-forum stakeholders perlu dirintis pengembangannya pada daerahdaerah yang tumbuh cepat yang teridentifikasi/terpilih untuk diberikan program-program aksi tersebut di atas. Keberadaan forum ini diperlukan untuk keperluan proses partisipasi dan perumusan dan pelaksanaan program-program tersebut. Yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah bentuk Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 13
forum ini, terutama apabila lingkup program tidak bersifat lokal. Perlu juga dipikirkan perintisan pengembangan fungsi-fungsi keperantaraan dan program-program pemberdayaan masyarakat apabila program terdapat pada lingkungan yang masyarakatnya relatif masih “perlu diberdayakan”. Pengembangan forum-forum stakeholders di sini dapat menjadi suatu kesempatan mencobakan sebagian proses-proses dan membangun unsur kepranataan seperti yang dituliskan di dalam agenda yang termasuk di dalam 4.3.2. Dalam kaitannya dengan antisipasi terhadap persoalan permukiman yang terdapat di daerah yang tumbuh cepat ini, perhatian perlu dipumpunkan pada daerah-daerah dengan pertumbuhan cepat sebagai berikut: (1) Daerah Botabek dan Pantura di Jawa Barat; (2) Fringe kota-kota metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan, Yogya, dan lain-lain); (3) Fringe dari kota-kota dengan kepadatan rendah yang tumbuh cepat, khususnya kota-kota menengah di luar Jawa; dan (4) Zona-zona pertumbuhan baru (Batam dan sekitarnya, Kalimantan Timur, daerah-daerah yang tumbuh pesat dengan perkembangan industri). Selain itu, dalam konteks pemecahan persoalan yang ada maupun untuk mengantisipasi persoalan di daerah yang tumbuh cepat seperti yang telah diuraikan di atas, program-program aksi yang akan dirumuskan tersebut perlu terpumpun pada:
•
•
Pembangunan prasarana/ sarana dan dorongan menanamkan investasi pada daerah-daerah dengan potensi sebagai pusat pertumbuhan di Luar Jawa. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan pertumbuhan di antara Jawa dan Luar Jawa dan mengantisipasi akumulasi persoalan pada daerah-daerah yang tumbuh cepat di Jawa. Pengendalian tata ruang pada daerah-daerah tumbuh cepat namun memiliki kepadatan rendah, untuk meningkatkan efisiensi perkembangan selanjutnya pada daerah-daerah ini dan mengantisipasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perkembangan ruang yang tidak terkendali (masalah sosial, lingkungan maupun permukiman). Yang dapat dipertimbangkan untuk maksud ini adalah: - pendekatan pembangunan jaringan prasarana utama untuk “membimbing” pertumbuhan/ perkembangan daerah-daerah yang bersangkutan, -
pelaksanaan program konsolidasi tanah untuk mengatur kembali geometri tatanan persil/ bidang-bidang tanah dan pelaksanaan programprogram yang berbasis pendekatan pengelolaan tanah (land management),
-
kombinasi antara butir satu dan dua di atas,
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 14
-
•
•
enforcement ketentuan-ketentuan—termasuk pembatasan—penataan ruang yang disepakati di stakeholders.
pembatasanantara para
Pembangunan prasarana dan sarana permukiman, perbaikan lingkungan permukiman maupun peremajaan lingkungan permukiman pada daerah yang tumbuh cepat yang memiliki kepadatan tinggi dengan kondisi prasarana dan sarana lingkungan dibawah standard. Program penciptaan lapangan pekerjaan dan pemberdayaan sektor informal pada daerah yang memiliki pertumbuhan penduduk maupun sektor informal yang pesat.
(2) Pemberdayaan termarjinalkan
masyarakat
dan
permukimannya
yang
Salah satu persoalan permukiman penting di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian adalah bila terdapat persinggungan antara permukiman setempat dengan kegiatan-kegiatan eksploitasi hutan, pembangunan prasarana dan sarana pariwisata, pembangunan perkebunan skala besar (seperti kelapa sawit), transmigrasi dan pembangunan sektor modern perkotaan (seperti pembangunan perumahan untuk kelompok kaya atau pembangunan sarana-sarana komersial kota). Yang dimaksud dengan permukiman setempat di sini adalah permukiman atau masyarakat yang secara historis dan turun-temurun sudah lama berada di tempat/daerah yang bersangkutan atau dari sudut waktu sudah terlebih dahulu ada dibandingkan kedatangan aktifitas-aktifitas yang disebut di atas. Permukiman-permukiman ini dapat berupa permukiman yang dihuni oleh masyarakat biasa, permukiman adat atau permukiman suku terasing. Seringkali, permukiman setempat yang mengalami persinggungan tersebut berada pada posisi yang lebih lemah — baik secara ekonomi, sosial, politik maupun skala ruangnya — dibandingkan unsur kegiatan luar yang masuk tersebut. Akibat dari persinggungan dengan kondisi seperti ini, maka marjinalisasi dari permukiman setempat maupun masyarakatnya menjadi suatu yang telah, dan potensial untuk, terjadi. Fenomena seperti ini merupakan hal yang umum terdapat di Indonesia, terutama karena keberadaan kebijakan Rejim Orde Baru yang berorientasi pada pertumbuhan yang “memaksakan” adanya investasi-investasi pada daerah-daerah yang sebelumnya berada, di dekat, atau merupakan bagian dari habitat masyarakat tertentu. Seperti halnya dengan informasi tentang fenomena di daerah yang memiliki pertumbuhan cepat, informasi tentang persinggungan-persinggungan semacam ini tidak lengkap dan tidak sistematis. Bahkan informasi dasar
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 15
tentang permukiman termarjinalkan yang perlu mendapatkan penanganan, tidak cukup memadai. Dengan demikian, langkah pertama yang diperlukan untuk sampai pada pelaksanaan program aksinya adalah inventarisasi atau pengumpulan informasi yang memadai tentang permukiman-permukiman tersebut. Oleh karena itu, agenda yang dapat dilakukan untuk merespon persoalan-persoalan di lingkungan seperti di atas adalah: a) Melakukan identifikasi dan inventarisasi permukiman-permukiman lokal yang telah dan berpotensi termarjinalkan Hasil dari langkah ini adalah suatu himpunan informasi yang diperlukan dari permukiman-permukiman lokal yang dianggap termarjinalkan atau berpotensi termarjinalkan oleh adanya kegiatan pembangunan di dekatatau di dalam-nya. Karena keberadaannya yang bervariasi dan substansial di Indonesia, tidak dapat dihindari adanya kebutuhan untuk menjalankan seleksi bagi identifikasi dan penghimpunan informasi mengenai permukiman tersebut. Dalam kaitan ini seleksi perlu dipumpunkan pada permukiman-permukiman yang berdampingan dengan atau berpotensi mengundang kegiatan-kegiatan investasi berskala besar dengan karakteristik sebagai berikut: -
Permukiman yang bersangkutan berbasis ekonomi yang serupa dengan atau berpotensi untuk disaingi oleh kegiatan investasi yang berasal dari luar. Kasus-kasus seperti ini banyak dijumpai di daerah-daerah pariwisata, daerah yang dikembangkan untuk fungsi- fungsi komersial perkotaan (misalnya, yang kemudian memunculkan persaingan tidak seimbang antara supermarket dan pasar tradisional), daerah nelayan yang dikembangkan menjadi daerah tambak modern, dan lain sebagainya.
-
Permukiman yang bersangkutan berpotensi untuk mengalami perubahan (transformasi) karena adanya kegiatan luar yang masuk. Contohnya adalah permukiman nelayan yang diubah menjadi daerah wisata, daerah pertanian yang diubah menjadi daerah industri, dan lain sebagainya.
-
Permukiman yang bersangkutan memiliki kerentanan untuk bertahan terhadap invasi kegiatan luar, baik secara sosial, budaya, ekonomi maupun lingkungan.
Walaupun demikian, di samping memperhatikan kriteria umum seperti tersebut di atas, pemilihannya dapat sejak dini diarahkan pada permukiman-permukiman yang berdampingan dengan (1) kegiatan penambangan, misalnya Freeport dan kegiatan-kegiatan penambangan besar lainnya; (2) permukiman-permukiman adat dan suku terasing yang berada di dalam atau dekat kawasan-kawasan eksploitasi hutan; (3) Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 16
permukiman yang berada dekat atau di dalam kawasan-kawasan pengembangan pariwisata seperti di Banten Barat, Pangandaran, Lombok dan Kepulauan Seribu; (4) permukiman-permukiman yang mengalami perubahan karena perkembangan industri (Pantura Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur); dan (5) kampung-kampung kota dan permukiman di dekat — atau yang (akan) diubah menjadi — kawasan perumahan baru atau fungsi-fungsi komersial perkotaan. Untuk yang terakhir ini, perhatian perlu dipumpunkan pada kampung-kampung di Jabotabek dan permukiman-permukiman di daerah Pantura. Dalam kaitan di atas, pemerintah di semua tingkat juga perlu mengidentifikasi unit-unit permukiman spesifik yang telah dan memiliki potensi termarjinalkan oleh pembangunan skala besar. b) Mengkaji ulang rencana-rencana pembangunan kegiatan yang berpotensi menghasilkan persinggungan-persinggungan yang dapat memarjinalkan permukiman setempat Atas dasar hasil identifikasi dan inventarisasi seperti yang diusulkan untuk diagendakan seperti menurut butir a) di atas, perlu dikaji-ulang rencanarencana pembangunan dan investasi (apabila belum diimplementasikan) menurut potensinya untuk memarjinalkan permukiman dan masyarakat di sekitar atau di tengah-tengahnya. Pengkajiulangan ini perlu sampai pada solusi untuk mengatasi/menghindari marjinalisasi tersebut dan — bilamana diperlukan — menata kembali rencana implementasi investasi dari luar tersebut. Selain itu, sebagai bagian dari penataan kembali ini adalah perumusan program-program pemberdayaan yang diperlukan bagi permukiman-permukiman yang bersangkutan. c) Memfasilitasi pengembangan fungsi-fungsi keperantaraan Seringkali, permukiman-permukiman yang dapat termarjinalisasi tersebut memiliki kelemahan-kelemahan untuk dapat memberdayakan dirinya. Masyarakat dan permukiman yang demikian tidak memiliki cukup pendidikan, pengetahuan dan pengalaman untuk dapat mengakses sumbersumber daya pembangunan yang diperlukan untuk memberdayakan dirinya dan berinteraksi dengan unsur-unsur pembangunan dan para stakeholder lainnya, terutama dari pihak yang membawa kegiatan investasi besar tersebut. Masyarakat dari permukiman demikian juga biasanya tidak memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan keinginan-keinginannya dan menegosiasikannya agar keinginan-keinginan tersebut dapat ditampung/dilaksanakan dalam rencana-rencana pembangunan di daerah yang bersangkutan, termasuk dalam revisi yang perlu dilakukan sebagai hasil dari pengkajian-ulang.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 17
Karena kelemahan-kelemahan tersebut, untuk mengatasinya diperlukan keberadaan unsur/ fungsi keperantaraan yang membantu dan menjadi wakil masyarakat setempat untuk berhubungan dengan stakeholder yang lain, menyampaikan keinginan-keinginannya dan mengakses sumbersumber daya pembangunan. Pada daerah-daerah yang disebutkan di atas, perlu dikembangkan dan didukung pembentukan fungsi-fungsi keperantaraan tersebut serta kepranataan yang memungkinkan fungsi keperantaraan ini dapat berjalan. Termasuk didalam pengembangan fungsi keperantaraan ini adalah pendidikan/pelatihan tentang “profesi” fungsi keperantaraan dimaksud. d) Memfasilitasi proses-proses pemberdayaan masyarakat setempat dengan mengadakan upaya-upaya nyata dan membangun sistem kepranataan yang relevan Inti dari tindakan merespons kemungkinan terjadinya marjinalisasi permukiman-permukiman setempat oleh adanya kegiatan investasi besar seperti yang disampaikan di atas adalah pemberdayaan masyarakat setempat (untuk dapat duduk sama tinggi dengan stakeholder lain) dan pembangunan kegiatan-kegiatan investasi besar yang dapat memberdayakan/ menguntungkan masyarakat setempat juga. Hal ini tidak hanya cukup dengan keberadaan fungsi keperantaraan dan perhatian terhadap rencana-rencana investasi pembangunan. Diperlukan juga “jaminan” dalam bentuk sistem kepranataan yang relevan yang memungkinkan fungsi keperantaraan tersebut dapat berjalan dan rencanarencana investasi dari luar yang bersifat memberdayakan/menguntungkan masyarakat setempat tersebut dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, agendanya adalah pembangunan kepranataan, yang rinciannya telah diuraikan dalam 4.3.1. Sebagai bagian dari pembangunan sistem kepranataan tersebut adalah juga pembentukan forum stakeholder yang berfungsi menghubungkan masyarakat setempat dengan pihak-pihak lainnya (terutama pembangun dari luar) untuk mempertemukan berbagai kepentingan yang ada. Di samping itu, perlu juga dilakukan upaya-upaya nyata untuk memfasilitasi pemberdayaan ini sebagai berikut: -
Diadakan upaya-upaya hukum, ekonomi dan dukungan finansial untuk memperkuat ketahanan teritori permukiman-permukiman spesifik setempat.
-
Diadakan dukungan moral dan dibentuk sistem insentif bagi kelompokkelompok masyarakat yang telah menunjukkan kapasitasnya melindungi teritori permukimannya sendiri, seperti telah ditunjukkan oleh masyarakat Tengger dan Baduy. Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 18
-
Sektor swasta dan pengembang besar perlu menyertakan konsep pembangunan masyarakat lokal dalam setiap kegiatan proyeknya.
-
Unit-unit permukiman setempat/spesifik yang telah atau memiliki potensi termarjinalkan oleh pembangunan skala besar perlu dimasukkan ke dalam rencana tata ruang untuk diberi perlindungan dan penguatan melalui program-program penanganan tata ruang.
(3) Melestarikan dan mengembangkan lingkungan yang memiliki nilai unik Pembangunan dapat memberikan dampak terhadap keberadaan bendabenda bernilai yang terdapat pada suatu lingkungan permukiman. Seringkali, benda-benda bernilai ini merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas ekonomi, sosial dan budaya dari masyarakat pemukim yang bersangkutan. Seringkali juga, adanya benda-benda ini memberikan suatu keunggulan bagi lingkungan permukiman tersebut, atau tertentu (competitiveness) memberikan ciri tertentu suatu lingkungan. Nilai-nilainya dapat bersifat historis, ekologis atau karena keunikan-keunikannya yang lain. Adanya pembangunan atau investasi sektor modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan keberadaan lingkungan dengan nilai unik ini demi tujuan ekonomi atau dapat menyebabkan persoalan dan dampak terhadap nilai-nilai tersebut, dan kemudian terhadap lingkungan permukiman yang bersangkutan. Namun demikian, informasi tentang adanya lingkungan yang memiliki nilai-nilai yang demikian itu belum dimiliki, sehingga upaya-upaya untuk menjaga lingkungan itu tidak dapat dijalankan. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan lingkungan-lingkungan permukiman yang memiliki keunikan-keunikan nilai sebagai bagian dari pengembangan permukiman secara keseluruhan juga memerlukan suatu himpunan informasi yang memadai terlebih dahulu. Dengan demikian, bagian pertama dari agendanya adalah upaya membangun himpunan/sistem informasi mengenai lingkungan tersebut. Agenda berikutnya adalah pelaksanaan program-program aksi yang bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan lingkungan-lingkungan tersebut. Di dalam perumusan dan pelaksanaan agenda pelestarian dan pengembangan lingkungan-lingkungan yang memiliki keunikan-keunikan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: - Program-program aksi tersebut mesti dapat mencegah intervensi yang dapat mereduksi atau melumpuhkan keunikan yang menjadi nilai inti dari suatu permukiman. - Salah satu substansi atau komponen dari program-program aksi tersebut adalah pembangunan prasarana atau sarana atau unsur lingkungan utama
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 19
yang dapat menjadi pilar bagi tegaknya nilai unik dari lingkungan permukiman yang bersangkutan. - Hasil dari pelaksanaan program aksi harus dapat memperkuat dan melindungi daur proses yang terjadi secara “alami” bagi keberlanjutan nilainilai unik lingkungan permukiman itu. - Proses dan hasil pelaksanaan program aksi (termasuk proses perumusannya/ perencanaannya) dapat memperkuat dan melindungi institusi-institusi yang menjadi penegak nilai-nilai keunikan lingkungan permukiman itu. (4)
Pemanfaatan lahan terlantar/tidur
Keberadaan lahan tidur sebagai akibat tidak terbangunnya lahan untuk pembangunan kota sebagai akibat krisis ekonomi di Indonesia tidak dapat diabaikan. Luasnya yang dapat mencapai puluhan ribu hektar di Botabek dan beberapa ribu hektar lainnya di sekitar kota-kota besar lainnya menunjukkan perlunya suatu antisipasi yang tepat bagi perkembangannya kemudian. Persoalan yang berhubungan dengan keberadaan lahan terlantar/tidur meliputi dua hal. Yang pertama adalah kemungkinannya untuk berkembang secara tak terintegrasi seperti yang terjadi selama ini apabila lahan tidur ini kemudian dapat dibangun/dikembangkan kembali. Yang kedua adalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya, baik dalam kaitan dengan pemanfaatannya maupun dalam kaitan dengan persoalan yang terjadi ketika pembebasannya dilakukan. Agar persoalan-persoalan tersebut dapat dicegah, dan pemanfaatan serta pengembangan lahan tidur maupun hasilnya dapat memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan permukiman maupun tata ruang di daerahnya, maka ada sejumlah hal yang harus dilakukan. Pertama, perlu dilakukan perencanaan ulang lahan tidur ini (peruntukan, layout maupun prasarananya) agar perkembangan satuan-satuan areal Ijin Lokasi dapat menjadi terintegrasi satu dengan yang lainnya dan tidak terisolasi dari permukiman-permukiman yang telah ada. Pada tingkat lokal/areal, dapat diprogramkan skema-skema konsolidasi tanah untuk memungkinkan integrasi ini dilakukan. Kedua, program-program aksi yang akan dijalankan pada lahan tidur tersebut perlu memperhatikan kemungkinan pemanfaatan secara sosial dan ekonomi bagi pemukim di lingkungan sekitarnya. Ketiga, bagi satuan-satuan areal Ijin Lokasi yang telah dibebaskan, perlu dikembangkan penerapan sistem disinsentif agar pemanfaatannya dapat segera menjadi optimal.
Agenda 21 Sektoral – Permukiman |
Hal 20