KESENJANGAN KAWASAN PERBATASAN DI PULAU KALIMANTAN BERDASARKAN METODE WILLIAMSON INDEX Andrio F. Sukma1, Andi Suriadi2 1
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Gd. Pustra, Jl. Raya Sapta Taruna Raya No. 26 Kompleks PU Ps. Jum’at – Jakarta Selatan Email:
[email protected] 2
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIP UI Kampus UI Depok Email:
[email protected]
ABSTRACT Recently, construction of public works infrastructure in the border area is being actively conducted. Governments at various levels (regency, province and state) have also allocated some budget to realize that; even the private sector and local communities also have a big contribution to increase the region’s economy and social economic conditions. The real question is that The Public Works infrastructure is really can provide a benefit to the community. How huge the welfare improvement for people in border area compare to people outside the border area. This paper tries to determine the welfare of the people in the border area with the people outside the border area by using disparity as an indicator. By using Williamson index, it obtained results that the disparity between the borders area with non-border areas are varied although not as high as public predicted. However, there is something to notice that the condition in Kalimantan is really left behind so that’s no difference condition between border area and non-border area. Keywords: disparity, border region, regional economic, welfare, Wiiliamson Index
ABSTRAK Saat ini, pembangunan infrastruktur PU di kawasan perbatasan sedang giat dilakukan. Pemerintah di berbagai level (kabupaten, provinsi, dan pusat) juga telah mengalokasikan sejumlah anggaran pembangunan; bahkan swasta dan masyarakat setempat juga telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap peningkatan perekonomian wilayah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertanyaannya apakah benar infrastruktur PU yang telah dibangun tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Seberapa besar sesungguhnya peningkatan kesejahteraan yang dialami masyarakat di kawasan perbatasan dibandingkan dengan masyarakat yang berada di luar kawasan perbatasan. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana kesejahteraan masyarakat di perbatasan dengan masyarakat di luar kawasan perbatasan dengan indikator berupa kesenjangan. Dengan menggunakan Indeks Williamson, diperoleh hasil bahwa ternyata kesenjangan antara kawasan perbatasan dengan kawasan nonperbatasan bervariasi meskipun tidak setinggi yang diperkirakan banyak orang. Namun, terdapat catatan khusus terkait hal ini yaitu apakah kondisi di Kalimantan memang benar-benar masih tertinggal sehingga tidak ada bedanya kondisi di perbatasan dengan kondisi di luar perbatasan. Kata Kunci: kesenjangan, perbatasan, perekonomian wilayah, kesejahteraan, Indeks Wiiliamson
143
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari pangkuan ibu pertiwi, kawasan perbatasan negara mendapat perhatian yang cukup besar. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya kawasan perbatasan masih tergolong sebagai kawasan tertinggal dibanding daerah-daerah sekitarnya. Data dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan bahwa dari 26 kabupaten yang tercakup dalam 12 provinsi sebagian besar masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Namun, sesungguhnya yang menarik apakah yang dimaksud dengan pernyataan “tertinggal” tersebut. Indikator apa yang menjelaskan bahwa memang kawasan perbatasan tersebut “tertinggal”. Tentunya kawasan perbatasan akan menjadi tertinggal jika dibandingkan dengan Ibukota Jakarta. Bahkan, dibandingkan dengan Ibukota Provinsi di mana wilayah perbatasan tersebut berada, sangat mungkin kawasan perbatasan merupakan kawasan tertinggal. Kemudian sampai sejauh mana pendefinisian “tertinggal” ini sehingga bisa ditentukan sampai sejauh mana lagi minimal pembangunan yang harus dilakukan di kawasan perbatasan tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan mengadakan perbandingan antara kawasan perbatasan dengan kawasan nonperbatasan di provinsi yang sama. Cara ini menjadi lebih fair karena kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya posisi kawasan perbatasan tersebut dalam provinsi bersangkutan. Melalui perbandingan ini, setidaknya akan terlihat batasan bagaimana kesenjangan yang terjadi antara kawasan perbatasan dengan kawasan di luar perbatasan. Perbandingan ini dilakukan untuk yang berada dalam satu provinsi, bukan dengan Indonesia secara keseluruhan sehingga bisa lebih mencerminkan bagaimana wilayah perbatasan yang sebenarnya. Secara khusus, kawasan perbatasan yang paling menarik perhatian yaitu kawasan perbatasan di Kalimantan. Sebenarnya, mungkin bukan hanya kawasan perbatasannya saja yang memang tertinggal, tetapi Kalimantannya sendiri mungkin memang tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Oleh karena itulah, menjadi kurang bijak bagi kita menyebutkan bahwa perbatasan Kalimantan tertinggal jika ternyata pada kenyataannya Kalimantannya sendiri merupakan kawasan tertinggal. Mengacu pada pernyataan tersebut, menjadi menarik untuk diteliti sebenarnya bagaimana posisi kawasan perbatasan Kalimantan di dalam wilayah Kalimantan itu sendiri. Apakah sesungguhnya di Kalimantan sendiri sudah terjadi kesenjangan antara kawasan perbatasan
144
dengan kawasan nonperbatasan ataukah memang secara umum kawasan perbatasan tersebut memang mencerminkan kondisi di Kalimantan itu sendiri.
Jika mencermati kebijakan pembangunan yang berlaku saat ini, sebenarnya beberapa instansi sudah memfokuskan pembangunan di Kalimantan. Beberapa Kementerian mengalokasikan anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan terkait dengan keinginan untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai “beranda depan” Indonesia. Khusus untuk Kementerian Pekerjaan Umum sendiri saat ini juga sedang memprioritaskan pembangunan infrastruktur PU di kawasan perbatasan di Kalimantan (Kirmanto, 2005). Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Pekerjaan Umum memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pembangunan infrastruktur pada tiga bidang yaitu sumber daya air, jalan dan jembatan, serta infrastruktur pendukung permukiman (seperti drainase, persampahan, dll). Selain itu, pengembangan wilayah melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga berada di bawah kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini mencoba membahas bagaimana sesungguhnya posisi kawasan perbatasan di dalam wilayah Kalimantan itu sendiri sehingga diharapkan dapat ditemukenali bagaimana sesungguhnya kesenjangan yang terjadi di Kalimantan. Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba melihat bagaimana peran infrastruktur PU dalam perekonomian di kawasan perbatasan. Diharapkan temuan dari tulisan ini bisa dijadikan bahan awal dalam penentuan program pembangunan terutama dalam pengembangan wilayah di Kalimantan. Jika dirumuskan dalam suatu pertanyaan maka terdapat dua pertanyaan penelitian yang harus dijawab dalam tulisan ini yaitu: (1) Bagaimana kesenjangan yang terjadi di kawasan perbatasan di Kalimantan? dan (2) Bagaimana peran infrastruktur PU dalam perekonomian di kawasan perbatasan di Kalimantan?
KERANGKA KONSEPTUAL
Secara empirik, menurut Lespperssi (2007), kondisi kawasan perbatasan relatif tertinggal dengan wilayah lain sehingga perlu penanganan secara terpadu dalam suatu sistem integratif. Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak dapat dilepaskan dari bagian pembangunan ekonomi secara nasional. Dalam upaya peningkatan aktivitas perekonomian, maka lokasi menjadi berperan penting dalam penentuan aktivitas ekonomi produktif dan hubungan antara produsen dan konsumen dalam setiap rantai kegiatan
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
produksi hingga ke konsumen akhir.
Aktivitas dalam setiap rantai produksi umumnya membutuhkan interaksi antara faktor input, faktor antara, dan output yang tidak selalu berada pada satu lokasi yang sama. Perbedaan lokasi akan menimbulkan adanya biaya transaksi dan transportasi yang semakin tinggi apabila semakin jauh jarak antara lokasi input faktor produksi dengan lokasi produksi dan pasar. Dalam hal ini menjadi penting adanya aksesibilitas wilayah yang dihubungkan oleh infrastruktur transportasi (termasuk jalan dan jembatan). Selain permasalahan lokasi, adanya potensi wilayah juga dapat menjadi salah satu faktor penarik adanya aktivitas ekonomi pada suatu lokasi tertentu dengan ketersediaan infrastruktur pendukung.
Menurut Jhingan (1993), sesuai dengan teori pertumbuhan dari Harrod-Domar, bahwa investasi memiliki peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi yaitu menciptakan pendapatan dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Disparitas distribusi investasi antardaerah dapat juga dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas pertumbuhan ekonomi atau pendapatan antardaerah (Tambunan, 2003). Pendidikan dapat menciptakan pembaharuan dalam bidang pengetahuan dan aspek kehidupan masyarakat. Menurut Perdana (2010), variabel modal manusia yang dimasukkan dalam model pertumbuhan ekonomi dapat memberikan penjelasan sebagian tentang fenomena kesenjangan tingkat pendapatan per kapita. Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Prasasti (2006), dimana telah ditemukan pengaruh positif dari tingkat pendidikan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia sehingga akan mempercepat terjadinya konvergensi pendapatan.
Menurut Lane dan Ersson (2002), secara implisit teori kesenjangan masyarakat mengisyaratkan adanya jurang ketimpangan kelimpahan kemakmuran ekonomi antara kelompok negara kaya dan miskin yang semakin memburuk sejak berakhirnya perang dunia kedua. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, baik pada tingkat negara maupun tingkat regional, prediksi teori kesenjangan adalah selisih antara negara atau daerah kaya dengan negara atau daerah miskin akan terus meningkat. Hal ini disebabkan negara sedang berkembang sangat sulit untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya karena adanya ledakan pertumbuhan penduduk dari masing-masing regional dan secara nasional.
Teori konvergensi menyatakan bahwa tingkat kemakmuran yang dialami oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang pada suatu saat akan konvergen (bertemu pada satu titik). Ilmu ekonomi juga menyebutkan bahwa akan terjadi catching up effect, yaitu ketika negara-negara berkembang berhasil mengejar negara-negara maju. Hal ini didasarkan asumsi bahwa negara-negara maju akan mengalami kondisi steady state, yaitu negara yang tingkat pendapatannya tidak dapat meningkat lagi karena tambahan investasi tidak menambah pendapatan. Sementara negara maju diam, negara berkembang yang memiliki tambahan investasi sehingga menambah pendapatannya, akan terus mengejar dan akhirnya pada suatu saat akan menyamai pendapatan negara maju atau terjadi catching up effect (Satriotomo, 2005). Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut.
Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan sebagainya.
Selain pengelompokan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antardaerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan
145
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis pada angka varian dalam distribusi statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Kesenjangan Secara kuantitatif, kesenjangan antarwilayah dapat dianalisis dengan menggunakan Williamson Index yang dapat mengetahui tinggi rendahnya METODE PENELITIAN tingkat kesenjangan antardaerah dalam satu Lokasi penelitian ini dilakukan di sejumlah kawasan atau provinsi tertentu berdasarkan tingkat kabupaten di Kalimantan yang berbatasan dengan pendapatan masyarakatnya. Mengingat pada Malaysia. Diambil 8 kabupaten yang meliputi: provinsi Kalimantan Timur terdapat minyak bumi Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang, Bengkayang dan dan gas alam (migas), maka akan terdapat 2 analisis Sambas di Kalimantan Barat dan Nunukan, Kutai yang dilakukan yaitu: (1) dengan memperhitungkan migas dan (2) tanpa memperhitungkan migas. Hal ini Barat dan Malinau di Kalimantan Timur. dilakukan mengingat migas memberikan kontribusi Data yang digunakan untuk analisis yang sangat signifikan dalam peningkatan PDRB merupakan data sekunder yang disediakan oleh suatu wilayah, tetapi hasil dari migas tersebut tidak BPS. Data sekunder ini dibedakan menjadi dua semuanya dapat dinikmati oleh penduduk di wilayah bagian utama yaitu: produksi karena adanya ketentuan mengenai bagi hasil. 1. Data yang meliputi: PDRB kedelapan Utama kabupaten tahun 2007 atas dasar harga konstan Untuk kemudahan penyediaan data dan tahun 2000, PDRB per kapita kedelapan analisis, maka kawasan perbatasan dalam tulisan ini kabupaten tahun 2007 atas dasar harga konstan mengacu pada wilayah administratif. Satu kabupaten tahun 2000, PDRB provinsi Kalimantan Barat dianggap merupakan kawasan perbatasan yang dan Kalimantan Timur tahun 2007 atas dasar kemudian akan dibandingkan kondisinya dengan provinsi dimana kabupaten tersebut berada. harga konstan tahun 2000, PDRB per kapita Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur tahun Dengan demikian, terdapat 8 kawasan perbatasan 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000, yang akan dianalisis di mana Kabupaten Sambas, Sanggau, Sintang, Bengkayang, dan Kapuas Hulu jumlah penduduk kedelapan kabupaten di tahun masuk merupakan Kawasan perbatasan yang dalam 2007, jumlah penduduk di Kalimantan Barat wilayah Kalimantan Barat. Sementara Kabupaten dan Kalimantan Timur tahun 2007, luas wilayah Malinau, Kutai Barat, dan Nunukan masuk ke dalam kedelapan kabupaten, luas wilayah Provinsi wilayah Kalimantan Timur. Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hasil indeks Williamson tersebut dapat dilihat 2. Data pendukung yang meliputi: kondisi pada gambar 1 dan gambar 2 sebagai berikut: infrastruktur, kondisi perekonomian, kondisi demografis, dan sejumlah data lainnya yang terkait.
data Analisis menggunakan indeks Williamson. Seperti sudah disebutkan sebelumnya indeks Williamson digunakan untuk melihat kesenjangan antarregional di wilayah perbatasan pada tahun 2007. Adapun menghitung cara koefisien variasi Williamson (Tambunan, 2003) adalah sebagai berikut: Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah.
Σ (Yi - Y fi Y
n , 0 < Vw < 1
Di mana:
Yi = Pendapatan perkapita kabupaten i Y = Pendapatan perkapita provinsi fi = Jumlah penduduk di kabupaten i n = Jumlah populasi di provinsi Jika diperoleh Hasil
Vw = 0 artinya merata sempurna Vw = 1 artinya ketimpangan sempurna
146
Vw =
Gambar 1. Williamson Indeks pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan dengan Memperhitungkan Migas
2
Sumber : BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah.
Gambar 2. Williamson Indeks pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan tanpa Memperhitungkan Migas
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
Berdasarkan kedua gambar di atas maka dilakukan analisis sebagai berikut: 1. Analisis Kesenjangan secara Umum
2. Analisis Kesenjangan berdasarkan Provinsi 3. Analisis Kesenjangan spesifik
1.1 Analisis Kesenjangan secara Umum Secara umum, tingkat kesenjangan di kawasan perbatasan Kalimantan sebenarnya terhitung rendah. Ini terlihat berdasarkan Indeks Williamson pada gambar 1 dan gambar 2 di atas. Meskipun demikian, untuk Kalimantan Timur terdapat sedikit catatan karena merupakan salah satu provinsi yang memproduksi migas sehingga untuk menentukan kesenjangannya agak berbeda dengan Kalimantan Barat. Secara riil, sebenarnya kesenjangan juga terjadi di kawasan perbatasan Kalimantan Timur. Namun, jika kita mengabaikan migas, maka kesenjangannya menjadi lebih rendah walaupun rata-rata indeks kesenjangannya masih berada di atas Kalimantan Barat. Hasil analisis di atas setidaknya bisa dibaca dalam dua pemahaman yaitu pertama bahwa kesenjangan sebenarnya memang tidak pernah benar-benar terjadi di Kalimantan. Ini ditunjukkan dengan angka indeks yang relatif kecil. Artinya, kondisi di kawasan perbatasan sebenarnya sama saja dengan kondisi di kabupaten lainnya sehingga tidak ada wilayah yang benar-benar tertinggal.
Namun di sisi lain, juga bisa dipahami bahwa memang kondisi di Kalimantan masih tertinggal sehingga di mana pun kita berada di Kalimantan, baik di kawasan perbatasan ataupun di luar kawasan perbatasan kondisinya sama saja. Ini artinya sejumlah kabupaten di Kalimantan masih belum tersentuh pembangunan secara holistik. Dengan demikian, sejumlah pernyataan yang menyebutkan bahwa wilayah Kalimantan merupakan kawasan tertinggal benar-benar terbukti. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih untuk melakukan aktivitas kegiatan sehari-harinya di negara tetangga (Malaysia). Apalagi ternyata infrastruktur yang ada di Kalimatan ternyata juga masih kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Ini menjadi pekerjaan rumah sendiri terutama bagi pemerintah untuk mengembangkan Kalimantan menjadi beranda depan Indonesia. 1.2 Analisis Kesenjangan berdasarkan Provinsi
Jika dilihat kesenjangan yang terjadi di perbatasan Kalimantan Barat dengan perbatasan Kalimantan Timur, terlihat bahwa ternyata kesenjangan yang lebih tinggi berada di Kalimantan Timur. Ini terlihat terutama dari gambar 1 di mana
angka indeks berada di atas 0,5 untuk wilayah perbatasan di Kalimantan Timur, sedangkan di Kalimantan Barat angka indeksnya lebih kecil berkisar di angka 0,1.
Hal ini bisa disebabkan berbagai hal. Yang pertama dilihat dari luas wilayah. Luas wilayah perbatasan di Kalimantan Timur lebih besar daripada di Kalimantan Barat meskipun jumlah kabupatennya lebih sedikit. Kemudian dilihat dari jumlah penduduknya juga terlihat bahwa penduduk di Kalimantan Timur lebih banyak daripada di Kalimantan Barat. Kegiatan perekonomian juga lebih hidup di Kalimantan Timur daripada di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Timur terdapat sejumlah kegiatan pertambangan yang meliputi tambang minyak bumi, gas bumi dan batubara. Hal ini menyebabkan sejumlah kabupaten yang memiliki pertambangan tersebut memiliki perekonomian yang lebih maju sehingga kesenjangannya menjadi lebih melebar. Selain itu, juga sejumlah perkebunan dan kegiatan kehutanan juga lebih banyak terdapat di Kalimantan Timur sehingga menyebabkan kesenjangan di Kalimantan Timur lebih tinggi.
Dilihat dari kondisi topografi wilayahnya juga menunjukkan hal tersebut. Topografi di Kalimantan Timur yang berbukit-bukit, lebih banyak sungai menyebabkan sulitnya transportasi sehingga kondisi ini juga menyebabkan kesenjangan di Kalimantan Timur jauh lebih tinggi daripada di Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki lebih sedikit kabupaten sehingga jika dilakukan perhitungan dengan membandingkan antara PDRB dengan jumlah penduduk dan luas kabupaten, hasilnya akan lebih kecil sehingga kesenjangannya menjadi lebih tinggi.
Memang jika dilihat dari kondisi perekonomiannya terlihat bahwa Kalimantan Timur lebih maju dibandingkan dengan Kalimantan Barat. Akibatnya, terdapat sejumlah kota/kabupaten di Kalimantan Timur yang sangat maju, namun di sisi lain terdapat sejumlah kota/kabupaten yang tertinggal. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan munculnya kesenjangan. Apalagi untuk kawasan perbatasan yang memang terletak jauh dari pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Kondisi seperti ini seperti buah simalakama mengingat konsep awalnya yaitu berharap terjadinya trickling down effect. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi sehingga kawasan yang maju semakin maju dan kawasan yang terbelakang tetap tertinggal. Bahkan, ke depannya justru terjadi backwash effect. Akan tetapi, untuk kawasan perbatasan di Kalimantan, ternyata backwash effect terjadi ke Malaysia sehingga pada akhirnya Indonesia sendirilah yang dirugikan.
147
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Mengingat Indeks Williamson bersifat relatif, maka sebetulnya akan lebih baik jika pada saat yang bersamaan dilakukan juga analisis kesenjangan di wilayah lain yang dianggap memiliki tingkat kesenjangan rendah, misalnya di Pulau Jawa. Karena bisa juga Indeks Williamson menunjukkan angka yang tinggi mengingat sifat Indeks Williamson tersebut. Untuk membandingkannya, juga bisa dilakukan analisis kesenjangan di seluruh kota/ kabupaten di Kalimantan, namun mengingat tujuan dari tulisan ini lebih untuk mengetahui bagaimana kesenjangan di wilayah perbatasan, maka analisis kesenjangan secara spesifik dilakukan hanya di wilayah perbatasan.
Seperti yang telah dijelaskan juga sebelumnya setelah mengetahui bahwa memang terjadi kesenjangan di wilayah perbatasan, maka kemudian coba dilakukan analisis kira-kira apa penyebabnya sehingga bisa terjadi kesenjangan tersebut. Penyebab ini sebagaimana telah diuraikan diatas yaitu meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi topografi wilayah, kondisi perekonomian makro, dan sejumlah penyebab lainnya.
Akan lebih menarik lagi jika dilakukan analisis lanjutan yang menghubungkan antara kesenjangan dengan sejumlah variabel tersebut di atas sehingga akan diketahui bagaimana hubungan antara jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi topografi, kondisi perekonomian, dll. Dengan demikian, bisa menjadi salah satu strategi dalam pengembangan kawasan perbatasan. Yang pasti pengembangan kawasan perbatasan khususnya di Kalimantan mutlak diperlukan apalagi belakangan ini banyak terjadi kegiatan lintas batas yang sangat merugikan Indonesia seperti pembalakan liar (ilegal logging), pemindahan patok perbatasan, penjualan manusia (traficking), penyelundupan, dan sejumlah kegiatan lainnya. 1.3 Analisis Kesenjangan Spesifik
Maksud dari kesenjangan spesifik yaitu kesenjangan yang terjadi di tingkat tertinggi yaitu di Kabupaten Nunukan yang memiliki kesenjangan tertinggi (0,81) dan Kabupaten Sanggau yang memiliki kesenjangan terendah (0,02). Dalam analisis ini, akan coba diuraikan mengapa kesenjangan di Kabupaten Sanggau merupakan yang paling rendah serta mengapa kesenjangan di Kabupaten Nunukan yang paling tinggi.
Jika dilihat dari luas wilayah memang luas wilayah, Kabupaten Sanggau merupakan yang paling kecil jika dibandingkan dengan seluruh wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan. Sementara Kabupaten Nunukan merupakan kabupaten terluas. Tentunya tidak mengherankan jika kesenjangan di
148
Sanggau merupakan yang terendah dan kesenjangan di Nunukan merupakan yang tertinggi.
Kemudian dilihat dari jumlah penduduknya juga terlihat bahwa penduduk di Kabupaten Sanggau lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di kabupaten perbatasan lainnya di Kalimantan Barat. Akibatnya kesenjangan di Sanggau lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Sebaliknya jumlah penduduk di Nunukan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya di Kalimantan Timur sehingga kesenjangan di Nunukan menjadi lebih tinggi daripada wilayah perbatasan lainnya di Kalimantan Timur. Sementara ditinjau dari kegiatan perekonomiannya sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan perekonomian di Kalimantan Timur lebih berkembang daripada di Kalimantan Barat. Di sisi lain kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan belum terlalu berkembang. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya kesenjangan. Namun, karena kegiatan perekonomian di Sanggau lebih maju dibandingkan dengan kabupaten perbatasan lainnya di Kalimantan Barat, maka kesenjangan di Sanggau menjadi rendah. Hal berkebalikan justru terjadi di Nunukan di mana kegiatan perekonomian di Nunukan justru lebih tertinggal dibandingkan dengan kabupaten perbatasan lainnya sehingga menyebabkan kesenjangan di Nunukan menjadi yang paling tinggi. Perlu diperhatikan di sini bahwa Nunukan berbatasan dengan Serawak yang lebih maju. Kesenjangan yang tinggi di Nunukan bisa menyebabkan masyarakat yang tinggal di perbatasan merasa termarjinalkan dan malah melakukan kegiatan yang “merugikan” Indonesia seperti berpindah kewarganegaraan, menjadi pelaku kriminal seperti pembalakan liar, traficking, dll.
Untuk ke depannya memang perlu diperhatikan pembangunan kawasan perbatasan terutama untuk kabupaten yang memiliki angka kesenjangan tinggi. Dalam kasus ini pembangunan di Nunukan menjadi lebih prioritas dibandingkan dengan di Sanggau, tetapi tidak berarti melupakan begitu saja pembangunan di Sanggau. Pada akhirnya memang peningkatan kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan khususnya di Kalimantan merupakan tugas besar yang harus segera diwujudkan. Menjadi lebih menarik jika dilakukan analisis secara menyeluruh, terutama untuk provinsi yang memiliki perbatasan. Memang pada masa lalu pembangunan lebih menekankan kepada pertumbuhan, tetapi melupakan pemerataan. Diharapkan dengan pertumbuhan yang tinggi
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
pemerataan terjadi dengan sendirinya. Pada kenyataannya, tidak semua wilayah bisa tumbuh seperti yang diharapkan dan pemerataan juga tidak bisa terjadi dengan sendirinya. 2. Peran Infrastruktur PU
Selain menghitung kesenjangan di kawasan perbatasan, tulisan ini juga mencoba untuk menghitung seberapa jauh infrastruktur PU berperan dalam perekonomian di kawasan perbatasan Kalimantan. Sebelum dilakukan analisis, perlu dipahami dahulu bahwa mengingat adanya keterbatasan data maka infrastruktur PU di sini hanya akan dibatasi pada 2 sektor saja yaitu 1) sektor air bersih, yang memang merupakan domain PU dan 2) konstruksi, yang dipilih dengan asumsi bahwa PU memang memiliki tanggung jawab dalam pembinaan konstruksi di Indonesia, apalagi dalam sektor konstruksi terdapat konstruksi jalan, jembatan dan prasarana irigasi yang merupakan domain PU. Peran infrastruktur PU ini dihitung dengan didasarkan pada berapa besar presentase sektor air bersih dan sektor konstruksi dalam membangun PDRB pada kawasan perbatasan di Kalimantan.
Analisis peran infrastruktur PU ini hanya merupakan analisis pendukung untuk analisis kesenjangan yang dilakukan sebelumnya. Analisis hanya sebagai dilakukan identifikasi awal saja dan sebagai bahan pertimbangan apakah memungkinkan untuk meningkatkan lagi peran infrastruktur PU tersebut.
Hasil perhitungan peran infrastruktur PU tersebut dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah
Keterangan: * Dengan Migas
** Tanpa Migas
Nunukan Untuk sektor air bersih masih tergabung dengan listrik dan gas
Gambar 3. Persentase Peran Infrastruktur PU pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan
Berdasarkan pada gambar tersebut di atas terlihat bahwa peran infrastruktur PU di kawasan perbatasan di Kalimantan masih agak rendah karena masih berkisar di bawah 15%, kecuali untuk Kabupaten Malinau di mana peran sektor konstruksi mencapai 23,13%. Bahkan, untuk sektor air bersih semuanya berada di bawah 1% atau sangat tidak signifikan perannya dalam perekonomian. Meskipun demikian, persentase pada gambar tersebut di atas sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan peran infrastruktur PU di provinsinya sendiri. Untuk Kalimantan Barat, peran sektor air bersih hanya 0,13% dan sektor konstruksi sebesar 7,86%. Sementara di Kalimantan Timur jika menghitung migas maka peran sektor air bersih hanya 0,31% dan sektor konstruksi sebesar 3,41%. Jika migas tidak dihitung, peran sektor air bersih hanya sedikit meningkat menjadi 0,58%, dan sektor konstruksi meningkat dua kali lipatnya menjadi 6,37%.
Dari sejumlah uraian di atas, sebenarnya infrastruktur PU memang belum terlalu berperan di kawasan perbatasan Kalimantan. Namun demikian, hal ini tidak berarti infrastruktur PU tidak ada perannya sama sekali. Temuan di beberapa tempat lain biasanya menunjukkan bahwa infrastruktur lebih bersifat memacu dan mendorong pertumbuhan yang berarti indeks keterkaitan ke belakang (IKB) lebih besar daripada indeks keterkaitan ke depan (IKD). Artinya, sektor PU lebih banyak memanfaatkan output dari sektor lain daripada dimanfaatkan output-nya oleh sektor lain. Ini memang sesuai dengan karakteristik infrastruktur PU yang biasanya membutuhkan banyak bahan baku dalam penyediaannya dan setelah jadi tidak ada seperser rupiah pun yang dibayarkan oleh pemanfaatnya sehingga kecenderungannya menjadi barang modal. Hal ini tampaknya juga terjadi di kawasan perbatasan Kalimantan ketika peran infrastruktur PU dalam perekonomian tidak terlalu tinggi, namun sangat signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kasus khusus mungkin terjadi di Kapuas Hulu, Malinau, dan Kutai Barat di mana peran infrastruktur PU cukup tinggi. Ini mungkin terjadi karena pembangunan infrastruktur PU di ketiga kabupaten tersebut sangat gencar dilakukan. Akibatnya, perekonomian menjadi lebih menggeliat dengan adanya pembangunan infrastruktur PU karena membutuhkan sejumlah bahan baku yang kemudian menggerakkan sektor lainnya selaku penyedia bahan baku bagi pembangunan infrastruktur PU. Berdasarkan kejadian di ketiga kabupaten tersebut, maka infrastruktur PU sebenarnya dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi kesenjangan. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan menggencarkan pembangunan infrastruktur
149
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PU. Dengan demikian, diharapkan sektor lainnya yang menjadi penyedia bahan baku turut bergerak, kemudian roda pembangunan akan menggelinding dan perekonomian. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat sehingga mengurangi kesenjangan dan ketertinggalan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum, kesenjangan antarwilayah perbatasan dengan wilayah nonperbatasan di Kalimantan ternyata tidak seperti yang diduga banyak orang. Indeks Williamson menunjukkan angka yang berkisar di antara 0 – 0,3. Angka ini dinyatakan rendah karena koefisien dari Indeks Williamson mendekati angka nol, yang berarti hampir mendekati merata sempurna. Namun, jika menghitung migas, maka terjadilah kesenjangan terutama di perbatasan Kalimantan Timur di mana Indeks Williamson berada di atas 0,5. Pengecualian terjadi di Kabupaten Nunukan yang memiliki tingkat kesenjangan yang cukup tinggi, baik dengan menghitung atau mengabaikan migas. Indeks Williamson Kabupaten Nunukan, bahkan hampir mencapai 1 ketika migas dihitung. Di sisi lain infrastruktur PU ternyata belum bisa memberikan peran yang signifikan dalam perekonomian di perbatasan Kalimantan. Ini terlihat dari persentase 2 sektor PU yaitu sektor air bersih dan sektor konstruksi yang memiliki nilai di bawah 10%. Ini terkait dengan karakteristik sektor PU yang lebih banyak memerlukan supply bahan baku, namun pemanfaatannya yang belum optimal. Pengecualian terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu, Malinau, dan Kutai Barat di mana ternyata sektor PU memiliki peran yang cukup penting dalam perekonomian yang ditunjukkan melalui persentasenya yang berada di atas 10%.
Sebagai tambahan, analisis yang dilakukan masih merupakan analisis awal sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Untuk menyempurnakan penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang membahas mengenai kesenjangan untuk seluruh wilayah di Pulau Kalimantan. Kemudian juga dilakukan analisis secara time series sehingga bisa terlihat apakah kesenjangan yang ada semakin rendah atau malah semakin tinggi. Selain itu, sebagai perbandingan, akan sangat baik jika dilakukan analisis kesenjangan untuk wilayah yang dipandang memiliki kesenjangan rendah. Kemudian, jika data yang ada mendukung maka analisis kesenjangan dilakukan hingga tingkat kecamatan sehingga bisa lebih menggambarkan kesenjangan yang terjadi.
150
DAFTAR PUSTAKA Departemen Sosial, 2008. Revitalisasi Model Pemberdayaan Pranata Sosial Di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara, Ringkasan Laporan, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial masyarakat Badan Pendidikan Dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI, Jakarta. Gama, Ayu Savitri, 2009. “Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”, Input Jurnal Ekonomi dan Sosial, Volume 2 No. 1 tahun 2009 hal. 38 – 48, Universitas Udayana Denpasar, http:// ejournal.unud.ac.id/abstrak/input%20 2%5B1%5D-h38-48.pdf (accessed October 21, 2010) Jhingan, M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Kirmanto, Joko, 2005. Arah Kebijakan Program Pembangunan Bidang Pekerjaan Umum Di Daerah Perbatasan Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur dalam Konteks Pembangunan Daerah Tertinggal, Makalah disampaikan pada acara Rapat Koordinasi Penyusunan dan Pengendalian Program Pembangunan Daerah Perbatasan Terpadu, JAKARTA, 15 NOVEMBER 2005. Departemen Pekerjaan Umum. Lane, Jan-Erik dan Ersson, Svante. 2002. Ekonomi Politik Komparatif Demokratisasi dan Pertumbuhan Benarkah Kontradiktif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Lespressi, 2007. Reformasi Sistem Manajemen Perbatasan Indonesia, Makalah disampaikan pada seminar Good Practice in Border Management and Border Security: Lessons Learned in New Democracy, 21 Maret 2007. Hotel Pranger Bandung. Perdana, Ari A. 2005. Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan, Kompas. http://www.mail-archive.com/proletar@ ya h o o g ro u p s . c o m / m s g 0 6 0 5 9 . h t m l (accessed 21 October 2010) Prasasti, Diah. 2006. “Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita 30 Provinsi di Indonesia Periode 1993-2003 : Pendekatan Disparitas Regional dan Konvergensi,” Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia Vol. 21 No. 4 344-360 Satriotomo, Rachmad, “Teori Konvergensi dan Liberalisasi Ekonomi” Sinar Harapan, 2003 Suhana, 2006. Revitalisasi Negara Kepulauan, Makalah disampaikan dalam memperingati hari Nusantara, 13 Desember 2006, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir, IPB, Bogor. Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia ___________, 2007. Pola Kesenjangan Antardaerah. http://www.bappeda.jabarprov.go.id/ docs/perencanaan/20070620_065405.pdf (accessed October 21, 2010)