PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR - MALAYSIA (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)
MUHAMAD HIDAYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia: Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 17 Agustus 2010 Muhamad Hidayanto NIM. P062070181
ABSTRACT MUHAMAD HIDAYANTO. 2010. Sustainable Land Productivity Improvement for Small Scale Cocoa Plantations in the Border Area of East KalimantanMalaysia: Case Study on Sebatik Island, Nunukan Regency, East Kalimantan Province. Under direction of SUPIANDI SABIHAM, SUDIRMAN YAHYA, and LE ISTIQLAL AMIEN. Sebatik Island is a major producer of cocoa in the Nunukan Regency. Productivity of cocoa from study area is less than of potential production. Improving land productivity is very important to increase productivity and quality of cocoa. This study was conducted on Sebatik Island, Nunukan Regency, East Kalimantan Province. The objectives of this study were: (1) to analyze land suitability of cocoa, (2) to examine the gap of land productivity of cocoa, (3) to examine sustainability index of land productivity of cocoa, (4) to identify need analysis, and (5) to formulate policy recommendations of sustainable land productivity improvement for small scale cocoa plantations. Methodology of this study was desk study, field survey and in-depth interview. Primary and secondary data obtained from field surveys (biophysical and socio-economic), and reinforced by the opinions of experts or specialists in their field. Soil sample was analysis to determine the physical soil properties, chemical and biological soil properties. Multi Dimensional Scaling (MDS) it’s called RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island) was used to evaluate sustainability of land productivity of cocoa. The result of this study indicated that: (1) land suitability of cocoa on Sebatik Island was suitable i.e. moderately suitable (S2) 7.616 ha (31,14%), marginally suitable (S3) 12.965 ha (53,01%) and not suitable (N) 3.628 ha (14,83%); (2) land productivity in existing conditions less than the optimum conditions and factors gap between current conditions and expected conditions include are the use of agricultural inputs (fertilizers, pesticide), plant maintenance (pest and disease eradication, pruning, rejuvenation), fermentation, integration crops and livestock; (3) analysis of farming system in the existing condition, B/C >1 [farming system of small scale cacao plantations on Sebatik Island is profitable]. However, in order to meet the needs of decent living required minimum land area (Lm) approximately 3,54 to 4,35 ha/household; (4) sustainability analysis for six dimensions (ecology, economic, social-cultural, infrastructure and technology, law and institutional, security and defender) on the existing conditions of moderately suitable (S2) i.e. ecological dimension less sustainable (40,75%), economic less sustainable (48,58%), socio-culture sustainable (75,20%), infrastructure and technology less sustainable (40,49%), law and institutional less sustainable (36,39%), defense and security less sustainable (36,39%). On marginally suitable (S3) i.e. ecological dimension less sustainable (36,78%), economic less sustainable (44,87%), socio-culture sustainable (75,20%), infrastructure and technology less sustainable (32,96%), law and institutional less sustainable (36,39%), defense and security less sustainable (36,39%). Therefore, more effort are required to increase land productivity and the index sustainability of small scale cocoa plantations on Sebatik Island. Keywords: border area, land productivity, Sebatik Island, sustainable
RINGKASAN Kawasan perbatasan Pulau Sebatik letaknya sangat strategis bagi Indonesia dan Provinsi Kalimantan Timur, baik ditinjau dari aspek geoekonomi, geopolitik, geografi, maupun geokultural. Permintaan komoditas kakao dari Pulau Sebatik untuk tujuan ekspor semakin tinggi tetapi tidak diimbangi dengan kualitas hasil (mutu rendah), sehingga harganya relatif rendah di pasar Malaysia. Produktivitas kakao dari daerah ini semakin menurun disebabkan antara lain oleh umur tanaman sudah tua, serangan hama penyakit dan rendahnya produktivitas lahan. Perkebunan kakao rakyat di daerah tersebut pada umumnya belum dikelola dengan baik, sehingga produktivitas hasil tanaman relatif rendah. Permasalahan pembangunan pertanian khususnya perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik cukup komplek dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penanganan berbagai masalah di sektor pertanian telah banyak dilakukan, namun masih parsial dan belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Oleh karena itu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan ini perlu dilakukan secara holistik, yang memadukan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Penelitian dilaksanakan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur dari bulan Maret hingga November 2009. Tujuan penelitian adalah: (a) mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kakao, (b) mempelajari kesenjangan dan kendala produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, (c) mempelajari status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, (d) mengidentifikasi kebutuhan stakeholders, dan (e) menformulasikan arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Metode yang digunakan adalah studi literatur, survei lapangan dan wawancara. Data primer dan sekunder diperoleh dari survei lapangan (biofisik dan sosial ekonomi), serta diperkuat oleh pendapat para pakar atau ahli di bidangnya. Sampel tanah hasil survei lapangan dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Analisis data meliputi: (1) analisis kesesuaian lahan, (2) analisis kesenjangan dan kendala produktivitas lahan, (3) analisis ekonomi, (4) analisis keberlanjutan, (5) analisis kebutuhan stakeholders, dan (6) analisis prospektif. Analisis keberlanjutan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island), hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Analisis Leverage dan Monte Carlo digunakan untuk mengetahui atribut-atribut sensitif atau pengungkit yang berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan. Untuk menyusun formulasi rekomendasi kebijakan dilakukan analisis prospektif berdasarkan hasil analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan stakeholders. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao diperoleh kelas lahan cukup sesuai (S2) seluas 7.616 ha (31,14%), kelas sesuai marginal (S3) seluas 12.965 ha (53,01%), dan kelas lahan yang tidak sesuai (N) seluas 3.628 ha (14,83%). Pada masing-masing kelas kesesuian lahan (S2, S3, N) memiliki faktor
pembatas untuk pertumbuhan tanaman kakao yang optimal. Pada kelas kesesuaian lahan S2 faktor pembatasnya adalah ketersediaan air (wa), bahaya erosi (eh) dan ketersediaan hara (nr). Kelas kesesuaian S3 faktor pembatasnya adalah ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), bahaya erosi (eh), ketersediaan hara (nr) dan media perakaran (rc). Pada kelas kesesuaian lahan N faktor pembatasnya adalah adanya bahaya sulfidik (xh) dan terbatasnya media perakaran (rc). Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwa: (1) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada kondisi saat ini (eksisting) di bawah dari kondisi yang diharapkan (optimal). Produktivitas hasil kakao kondisi eksisting dibandingkan kondisi optimal pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) yaitu sebesar 45,19 % dan sesuai marginal (S3) sebesar 44,00%. Faktor-faktor kesenjangan (gap) antara kondisi saat ini dan kondisi yang diharapkan antara lain adalah penggunaan sarana produksi pertanian (pupuk, obat-obatan), pemeliharaan tanaman (pemberantasan hama dan penyakit, penggunaan tanaman penaung, pemangkasan, peremajaan), fermentasi, integrasi tanaman dan ternak; (2) analisis usahatani pada kondisi eksisting diperoleh B/C > 1, artinya usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik menguntungkan. Namun demikian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), diperlukan luas lahan minimal (Lm) sekitar 3,54-4,35 ha KK-1. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani adalah melalui perbaikan terhadap beberapa faktor atau parameter sesuai dengan syarat pertumbuhan tanaman kakao dan untuk mencapai produktivitas hasil optimal. Berdasarkan jumlah kehilangan unsur hara akibat panen (faktor tanaman) dan hasil analisis tanah (faktor tanah), maka kebutuhan pupuk, kapur dan bahan organik adalah sebagai berikut: (1) di wilayah Tanjung Aru (Sebatik) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 375 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 354 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 394 kg ha-1th-1, (d) kapur pertanian 31 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 69 kwt ha-1. Pada kelas lahan sesuai marginal (S3): (a) Urea 408 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 361 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 451 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 38 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 81 kwt ha-1; (2) di wilayah Aji Kuning (Sebatik Barat) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 360 kg ha-1 th-1, (b) SP-36 sebanyak 324 kg ha-1 th-1, (c) KCl 419 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 39 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 74 kwt ha-1. Pada kelas lahan sesuai marginal (S3): (a) Urea sebanyak 410 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 350 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 441 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 39 kwt ha-1, (e) kieserit 75 kg ha-1 dan (f) bahan organik 79 kwt ha-1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala untuk meningkatkan produktivitas lahan adalah: (a) terbatasnya infrastruktur, (b) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia [terutama jika dilihat dari segi pendidikan petani kakao yang mayoritas hanya berpendidikan SD], (c) produktivitas lahan rendah, (d) produktivitas hasil pertanian rendah, (e) mutu hasil pertanian rendah, (f) terbatasnya sarana usahatani, (g) perhatian pemerintah rendah atau kurang, (h) penyuluhan kurang, dan (i) lemahnya kerjasama antar sektor. Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): dimensi ekologi statusnya kurang berkelanjutan (40,75%), dimensi ekonomi kurang berkelanjutan (48,58%), dimensi sosial budaya
berkelanjutan (75,20%), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (40,49%), dimensi hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan (36,39%), serta dimensi pertahanan dan keamanan kurang berkelanjutan (36,39%). Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3): dimensi ekologi statusnya kurang berkelanjutan (36,78%), dimensi ekonomi kurang berkelanjutan (44,87%), dimensi sosial budaya berkelanjutan (75,20%), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (32,98%), dimensi hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan (36,39%), serta dimensi pertahanan dan keamanan kurang berkelanjutan (36,39%). Atribut-atribut sensitif atau pengungkit terhadap indeks dan status keberlanjutan dari masing-masing dimensi perlu dilakukan upaya-upaya intervensi atau perbaikan untuk meningkatkan indeks dan status keberlanjutan. Perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan ini akan mampu meningkatkan tarap hidup masyarakat, dan meningkatkan daya saing kawasan perbatasan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, dilakukan berdasarkan analisis kesenjangan, dan dengan meningkatkan nilai skoring faktor dominan atau atribut kunci dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Faktor dominan tersebut adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sikronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen, sarana produksi pertanian, lembaga keuangan mikro [LKM]), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, serangan hama dan penyakit, daya saing kakao, serta industri pengolahan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui tiga skenario rekomendasi kebijakan. Pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) indeks keberlanjutan gabungan kondisi eksisting 45,81%; skenario I menjadi 51,38%; skenario II menjadi 62,38%; serta skenario menjadi III 69,48%. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) indeks keberlanjutan gabungan kondisi eksisting 42,83%; skenario I menjadi 47,32%; skenario II menjadi 58,44%; serta skenario III menjadi 65,44%. Arahan kebijakan berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan faktor dominan dan kondisi spesifik kawasan berturut-turut: (a) penambahan sarana dan prasarana pertahanan keamanan (hankam) untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif dalam berusahatani, (b) kebijakan pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek, (c) diseminasi inovasi teknologi budidaya ramah lingkungan dan pascapanen melalui pelatihan, dan sekolah lapang, (d) sarana produksi pertanian khususnya pupuk sasarannya agar tersedia tepat jumlah, waktu, tempat, jenis, harga dan tepat mutu, (e) lembaga keuangan mikro [LKM] didukung oleh pemerintah untuk membantu permodalan petani, (f) tindakan pemupukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, kesuburan tanah, dan diupayakan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan memanfaatkan limbah kakao sebagai pupuk organik, (g) peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua dan rusak [ > 20 tahun], (h) pengendalian dan pemberantasan hama penyakit ramah lingkungan [PHT], (i) perlakuan pascapanen kakao yang memadai, dan pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi untuk meningkatkan daya saing kakao, (j) penyediaan industri pengolahan kakao untuk meningkatkan nilai tambah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR - MALAYSIA (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)
MUHAMAD HIDAYANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup (28 Juni 2010): 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - PSL IPB) 2. Dr. Ir. AdeWachjar, MS. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura - AGH IPB) Pada Ujian Terbuka (02 Agustus 2010): 1. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS. (Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian [BBPSDLP]) 2. Dr. Ir. Mastur, MSi. (Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian [BPTP] Kaltim)
Judul Disertasi
: Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur - Malaysia (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)
Nama
: Muhamad Hidayanto
NIM
: P062070181
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota
Dr. Le Istiqlal Amien, MSc, APU. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S.
Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 02 Agustus 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini berjudul “Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur - Malaysia (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)”, dilaksanakan sejak bulan Maret hingga November 2009. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak atas bimbingan, masukan, saran, bantuan dan dukungannya terutama kepada: Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, MAgr, Bapak Prof.Dr.Ir. Sudirman Yahya, MSc, dan Bapak Dr. Le Istiqlal Amien, MSc (sebagai komisi pembimbing); Bapak Prof.Dr.Ir. Suryono H. Sutjahjo, MS., Bapak Dr.Ir. Ade Wachjar, MS., Bapak Prof.Dr.Ir. Irsal Las, MS dan Bapak Dr.Ir. Mastur, MSi (sebagai penguji luar komisi); Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi kesempatan dan biaya untuk tugas belajar; Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Badan Litbang Pertanian tahun 2009 yang telah membiayai penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini; Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur yang telah memberi ijin tugas belajar; Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Bappeda Nunukan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nunukan, serta Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Nunukan yang telah memberi ijin melakukan penelitian. Di samping itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa S3 PSL-IPB angkatan tahun 2007 atas kerjasamanya yang baik; Bapak Ropik (BBPPSDLP Bogor) yang telah membantu melaksanakan survei lapangan dan analisis data; koordinator PPL (penyuluh pertanian lapangan), PPL, petugas lapangan di Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat, serta ketua KTNA Sebatik yang telah banyak membantu penelitian di lapangan. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Bapak H. Pardi, BA dan Ibu Hj. Partini), kedua mertua (Bapak D. Surjadi dan Ibu B. Supiati), Istri tercinta (Yossita Fiana), anak-anak tersayang (Irfan Yasyfi Hidayat dan Hanna Rosyida Rachmayanti) atas pengertian, doa, dan kasih sayangnya; dan keluarga atas segala perhatian, dukungan, dan doa restunya; serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mudahmudahan semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan pahala berlipat ganda dari Allah SWT. Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, 17 Agutus 2010 Muhamad Hidayanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 17 Agustus 1965, anak ke-2 dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Pardi BA, dan Ibu Hj. Partini. Pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Tanah. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hingga saat ini bekerja sebagai peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Beberapa kegiatan penelitian telah dilakukan, baik bersifat intern institusi, kegiatan penelitian kerjasama dengan swasta, maupun dengan dinas dan instansi terkait lainnya. Kegiatan kerjasama penelitian dan pengkajian tersebut antara lain: (1) analisis tanah untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi di 10 Kabupaten sentra pengembangan padi di Kalimantan Timur, (2) pengelolaan lahan dan tanaman terpadu [PLTT] lahan pasang surut, (3) uji efektivitas pupuk organik cair untuk tanaman sayuran, (4) pewilayahan komoditas pertanian spesifik lokasi di Kalimantan Timur, (5) pengembangan kelapa sawit di kawasan perbatasan Kabupaten Nunukan - Kalimantan Timur, dan (6) identifikasi kendala peningkatan produktivitas lahan sawah. Karya ilmiah bagian dari hasil penelitian atau disertasi ini telah terbit pada jurnal terakreditasi, yaitu (1) Arahan Penggunaan Lahan Berkelanjutan untuk Tanaman Kakao di Kawasan Perbatasan Kaltim - Malaysia (Recommendation of Sustainable Landuse for Cocoa in the Border Area East Kalimantan - Malaysia) pada Jurnal Sumberdaya Lahan (JSDL) Vol 2 No 2 Tahun 2008, terakreditasi No: 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 [Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian]; (2) Analisis Keberlanjutan Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Sustainability Analysis of Cocoa in the Border Area on Sebatik Island, Nunukan District, East Kalimantan Province) pada Jurnal Agroekonomi (JAE) Vol 27 No 2 Tahun 2009, terakreditasi No: 198/AU1/P2MBI/08/2009 [Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian].
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………….. xii DAFTAR TABEL …………………………………………………… xv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. xviii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. xx I.
PENDAHULUAN ……………………………………………. 1.1. Latar Belakang ……………………………………….. 1.2. Tujuan Penelitian ……………………………………... 1.3. Kerangka Pemikiran …………………………………... 1.4. Perumusan Masalah …………………………………… 1.5. Manfaat Penelitian …………………………………… 1.6. Kebaruan (Novelty) ……………………………………. 1.7. Definisi Beberapa Istilah dalam Penelitian ……………
1 1 4 4 6 7 7 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………. 2.1. Produktivitas Lahan dan Usahatani Kakao ……………... 2.2. Kesuaian Lahan ..….………………………………....... 2.3. Kawasan Perbatasan .….…………………………….... 2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ……………….. 2.5. Pendekatan Sistem ……………………………………… 2.6. Analisis Kelayakan Ekonomi ……………………………. 2.7. Analisis Keberlanjutan …………………………………. 2.8. Analisis Leverage ……………………………………… 2.9. Analisis Monte Carlo …………………………………… 2.10. Analisis Prospektif ………………………………………
13 13 13 15 17 18 20 22 22 22 23
III.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………… 3.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ..................... 3.2. Topografi dan Fisiografi .................................................. 3.3. Geologi dan Jenis Batuan .............................................. 3.4. Geomorfologi dan Sistem Lahan .................................... 3.5. Jenis Tanah dan Iklim ..................................................... 3.6. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Pulau Sebatik ...... 3.7. Kondisi Sosial dan Ekonomi ........................................... 3.8. Kondisi Infrastruktur dan Sarana Lainnya ......................
25 25 26 27 29 29 31 31 33
xii
IV. METODE PENELITIAN …………………………………….. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………… 4.2. Bahan dan Alat ……………………………………… 4.3. Rancangan Penelitian ………………………………… 4.4. Lingkup dan Rencana Kegiatan ……………………… 4.5. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………. 4.6. Formulasi Rekomendasi Kebijakan ………………… 4.7. Analisis Data....................................................................
35 35 35 36 36 37 41 41
V.
53
HASIL DAN PEMBAHASAN
................................................
5.1. Keragaan Pertanian ........................................................ 5.1.1. Usaha Tani Kakao Rakyat .................................... 5.1.2. Kelembagaan Pertanian ....................................... 5.1.3. Kendala Umum Pengembangan Kakao Rakyat ..... 5.2. Sifat dan Kualitas Tanah ............................................... 5.3. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao ...................... 5.4. Analisis Kesenjanan (Gap Analysis) ............................. 5.5. Analisis Kendala, Perubahan yang Diinginkan dan Kelembagaan Pendukung ............................................. 5.5.1. Elemen Kendala .................................................. 5.5.2. Elemen Perubahan yang Diinginkan ................... 5.5.3. Kelembagaan Pendukung .................................... 5.6. Analisis Sosial Ekonomi ............................................... 5.7. Indeks dan Status Keberlanjutan .................................. 5.7.1. Analisis Keberlanjutan ....................................... 5.7.2. Keberlanjutan Dimensi Ekologi .......................... 5.7.3. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ....................... 5.7.4. Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ............... 5.7.5. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ............................................................. 5.7.6. Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ........................................................ 5.7.7. Keberlanjutan Dimensi Pertahanan dan Keamanan ............................................................ 5.7.8. Analisis Monte Carlo ...........................................
xiii
53 53 56 57 58 63 66 74 75 80 82 85 87 87 89 91 93 95 97 100 101
5.8.
5.9. 5.10. 5.11.
Model Peningkaan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan ...... 5.8.1. Indeks Keberlanjutan ......................................... 5.8.2. Kebutuhan Stakeholders ...................................... Faktor Kunci Keberlanjutan ........................................... Skenario Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat ............................................. Skenario Rekomendasi Kebijakan .................................
104 104 105 107 115 134
VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN ..............................................
137
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 7.1 Kesimpulan .................................................................... 7.2 Saran ..............................................................................
143 143 145
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
147
LAMPIRAN .........................................................................................
155
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 12 1. Dosis anjuran pemupukan tanaman kakao pada berbagai umur ....... 2. Luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Pulau Sebatik .....
26
3. Jenis-jenis tanah di Pulau Sebatik ....................................................
29
4. Neraca air di Kabupaten Nunukan
.................................................
30
5. Sumber dan teknik pengumpulan data ...........................................
38
6. Parameter dan metode analisis tanah ..............................................
40
7. Keterkaitan antara tujuan penelitian, kegiatan, data yang diperlukan, analisis data, dan keluaran yang diharapkan ...................................
43
8. Kategori indeks status keberlanjutan perkebunan kakao rakyat .....
45
9. Pedoman penilaian analisis prospektif .............................................
49
10. Pengaruh antar faktor peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik .............................................................................................
49
11. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi di masa depan pada peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ......................... 12. Hasil analisis skenario peningkatan produktivitas lahan untuk pengembangan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ..
50 51
13. Karakteristik dan penerapan teknologi usahatani kakao di Pulau Sebatik .............................................................................................
54
14. Sifat fisik tanah perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik ...........
58
15. Hasil analisis sifat kimia tanah di Pulau Sebatik .............................
60
16. Hasil analisis Cmic, C-organik, nisbah Cmic / C-organik tanah di Pulau Sebatik .................................................................................
62
17. Kelas kesesuaian lahan aktual dan faktor pembatas pada setiap satuan lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik ...................... 18. Produksi optimal tanaman kakao berdasarkan kelas kesesuaian lahan
66
19. Kesenjangan produktivitas hasil dan teknologi usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik .........................................................
67
20. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik .............................................................................................
64
21. Dosis kapur dan bahan organik di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik
68 69
22. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat ...................................................................................
70
23. Dosis kapur dan bahan organik di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat ………………………………………………………………
71
xv
24. Rekomendasi peningkatan produktivitas kakao rakyat di Pulau Sebatik ............................................................................................
71
25. Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik pada kondisi eksisting dan kondisi yang diharapkan (rekomendasi) ...............................................................
72
Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat pada kondisi eksisting dan kondisi yang diharapkan (rekomendasi) ………………………………………..
73
27. Kebutuhan hidup layak (KHL) di Pulau Sebatik ............................
86
26.
28. Perbedaan indeks keberlanjutan antara RAP-COCOA SEBATIK (MDS) dengan Monte Carlo .......................................................... 29. Nilai stress dan R2 dimensi keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ............................................. 30. Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh besar .... 31. Uraian masing-masing skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ...................................................................................
102 103 107
116
32. Perubahan kondisi faktor-faktor dominan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat .................................
117
33. Skenario strategi peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan .....
117
34. Perubahan skoring atribut pada skenario I .......................................
119
35. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario I ...................................................................
120
36. Perubahan skoring atribut pada skenario II ..................................... 37. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario II ..................................................................
123
38. Perubahan skoring atribut pada skenario III ....................................
127
39. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario III ................................................................ 40. Indeks keberlanjutan kondisi eksisting, dan kondisi masing-masing skenario ...........................................................................................
128
124
128
41. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi Skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ....................
131
42. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi Skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ................
134
xvi
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17. 18.
xvii
Halaman Kerangka pemikiran ....................................................................... 6 Persentase luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Nunukan .... 25 Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan tahun 2007 ..................................................................................... 32 Lokasi penelitian ............................................................................ 35 Tahapan penelitian ........................................................................ 37 45 Bagan proses aplikasi RAP-COCOA SEBATIK ……………….... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan produktivitas lahan di kawasan perbatasan dalam skala ordinasi pada dua titik ekstrim 48 buruk (0%) dan baik (100%) ......................................................... Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan .................... Penentuan elemen kunci peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat ............................. Kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik .............. Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ....................................... Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ................................................ Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ...................................
48 51 65
75
77
78
Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ........................................... Struktur hirarki antar sub elemen perubahan yang diinginkan untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) .................................................................................... Diagram klasifikasi sub elemen perubahan yang diinginkan untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) .................................................................................. Struktur hirarki antar sub elemen kelembagan yang terlibat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3)..
83
Diagram klasifikasi sub elemen kelembagaan yang terlibat dalam pemanfaatan lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3)..
84
79
81
82
19.
Diagram indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ......................................................................................
88
Diagram indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ................................................................................
88
Indeks keberlanjutan dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ................................................
89
Indeks keberlanjutan dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ...........................................
90
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ......................................................................................
92
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ...................................................................................
93
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ....................................
94
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ..............................................
96
27.
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ..........................................
97
28.
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ...........................
98
Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi pertahanan dan keamanan ...........................
101
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ........................................................
105
20. 21.
22.
23.
24.
25.
26.
29. 30.
31.
32.
xviii
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ............................................. 106 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit, gabungan antara analisis keberlanjutan dengan analisis kebutuhan .............. 108
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
42.
xix
Skenario peningkaan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ......................
118
Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ..............................
121
Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ...........................
122
Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ..............................
125
Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ........................... Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ..............................
126 129
Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) .......................... 130 Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) 132 Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ................................................................................................ 132 Model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ...................... 135
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Dimensi dan atribut skor keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia ........................................
157
2. Kelas kesesuaian lahan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) .......
163
3. Produksi optimal tanaman kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan kelas kesesuaian lahan ..............................................
164
4. Kriteria penilaian sifat kimia tanah ................................................
165
-1
xx
-1
5. Produktivitas hasil kakao (kg ha tahun ) berdasarkan umur tanaman dan kelas kesesuaian lahan ...............................................
166
6. Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik ..........................................
167
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia) memiliki panjang sekitar 1,02 ribu km, membentang dari Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kawasan perbatasan yang terletak di Kabupaten Nunukan adalah Pulau Sebatik. Pulau ini mempunyai luas sekitar 24,6 ribu ha. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur ini sangat strategis, terutama jika dilihat dari aspek geoekonomi, geopolitik, geografi, dan geokultural, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik. Pengembangan berbagai komoditas pertanian unggulan di kawasan ini sangat memungkinkan, karena didukung oleh kondisi biofisik sumberdaya lahan kering yang memadai (Puslittanak, 2000; BPTP Kaltim, 2007). Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan ini adalah kakao (Theobroma cacao L.), yang dikelola oleh perkebunan rakyat. Permintaan kakao untuk pasar ekspor dari kawasan ini cukup tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas kakao yang dihasilkan (kualitas rendah) sehingga sampai saat ini hanya sebagai pencampur kakao Malaysia. Luas perkebunan kakao rakyat di kawasan ini mencapai 5,2 ribu ha dengan produktivitas berkisar antara 600-800 kg ha-1 th-1 kakao kering (Abubakar, 2004; Samudra, 2005). Hasil penelitian di Ghana (Dormon et al., 2004) menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas kakao antara lain disebabkan oleh faktor biologi (hama penyakit) dan kondisi sosial ekonomi (keterbatasan modal, upah tenaga kerja mahal dan terbatasnya infrastruktur). Pengembangan pertanian tanaman perkebunan khususnya kakao di Pulau Sebatik mempunyai beberapa kendala teknis. Faktor pembatas kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan
2
produktivitas hasil tanaman, antara lain melalui evaluasi kualitas dan kesesuaian lahan, pengelolaan hara, konservasi air, pemanfaatan bahan organik dan integrasi tanaman-ternak (Benjamin et al., 2003; Bindraban et al., 2000; Dariah et al., 2005; Evah et al., 2000; Garrity dan Agus, 1999; Ouédraogo et al., 2001; Subagyono et al., 2004; Watung et al., 2003; Zhang et al., 2004). Berkaitan dengan kendala lahan untuk pengembangan pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan, karena setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Amien, 1996; Djaenudin et al., 2000). Tanah di Pulau Sebatik umumnya berkembang dari bahan sedimen dan sebagian kecil endapan sungai (marine) serta volkan. Wilayah ini mempunyai rejim kelembaban tanah daerah dataran tinggi tergolong udik dengan curah hujan tahunan > 2000 mm. Kelas kedalaman solum tanah bervariasi dari dangkal (< 50 cm) hingga sangat dalam (> 150 cm), namun secara umum didominasi oleh solum dalam (100 - 150 cm). Solum dangkal dijumpai pada tanah yang terbentuk dari bahan kuarsa dengan lereng datar-berombak, dan tanah yang terbentuk dari bahan batu pasir dengan lereng terjal. Pada beberapa lokasi dijumpai batuan yang muncul ke permukaan tanah. Berdasarkan sifat-sifat morfologi
dan
hasil
analisis
tanah,
tanah-tanah
di
daerah
penelitian
dikelompokkan menjadi 3 Ordo yaitu Entisols, Inceptisols, dan Ultisols (BPTP Kaltim, 2007). Jenis tanah tersebut umumnya memiliki kemampuan menahan air rendah (Uexkull, 1984; Spain, 1986), sehingga curah hujan yang melimpah tidak bermanfaat bagi tanaman apabila kapasitas menahan air tanah rendah. Keadaan biofisik lahan kering di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan atau produktivitas tanah relatif rendah, dan keterbatasan air tahunan yang membatasi pola pertanaman. Lahan kering ini dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut: (i) kondisi biofisik yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah relatif rendah, topografi berbukit (peka erosi), sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan infrastruktur terbatas (Puslittanak, 2000). Degradasi lahan yang disebabkan oleh adanya erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring di wilayah ini akan
3
menyebabkan makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), sehingga akan mempengaruhi produktivitas hasil komoditas yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Saliba (1985), bahwa produktivitas lahan akan mempengaruhi produktivitas hasil dari komoditas yang diusahakan pada suatu wilayah. Lebih lanjut Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa evaluasi sistem peningkatan produktivitas lahan dapat memberikan informasi
secara
detail,
yang
akan
membantu
pengambil
keputusan
mengidentifikasi pengelolaan pertanian optimal untuk meningkatkan produktivitas lahan
berkelanjutan.
Oleh
karena
itu
peningkatan
produktivitas
lahan
berkelanjutan dalam rangka pembangunan pertanian perlu dilaksanakan di kawasan Pulau Sebatik, sesuai dengan potensi sumberdaya dan kearifan lokal setempat. World Conservation Strategy mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan
pertanian
dalam
memenuhi
kebutuhan
manusia,
sekaligus
mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, selama ini penanganan berbagai masalah pertanian sudah banyak dilakukan, namun masih secara parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Pendekatan parsial untuk mengatasi suatu masalah adalah ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. Consultative Group on International Agriculture Research (CGIAR) mengubah strategi penelitian melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya (CGIAR,1978). Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative, dan dalam skala mikro dijabarkan dalam integrated crop management. Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan agroekosistem di kawasan perbatasan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
4
kegiatan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan secara holistik yang memadukan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Kalimantan TimurMalaysia, dengan studi kasus di Pulau Sebatik. Tujuan spesifiknya adalah: a) Mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kakao. b) Mempelajari kesenjangan produktivitas lahan dan kendala yang dihadapi. c) Mempelajari status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat. d) Mengidentifikasi kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat. e) Memformulasikan arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat.
1.3. Kerangka Pemikiran Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan sebagai salah satu kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di kawasan ini sangat memungkinkan, namun demikian faktor pembatas kualitas lahan perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman. Keadaan biofisik lahan untuk pengembangan pertanian di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap kerusakan lahan akibat erosi, dan produktivitas tanah relatif rendah. Berbagai masalah yang dihadapi untuk pengembangan komoditas unggulan di kawasan ini antara lain adalah: (a) keterbatasan air tahunan, (b) terjadinya degradasi lahan akibat erosi pada lahan perbukitan dan lahan miring, yang mengakibatkan makin menurunnya kesuburan
tanah
[lapisan
tanah
menipis,
agregat
tanah
tidak
stabil],
5
(c) pengelolaan sistem pertanaman (cropping system), pengelolaan tanah dan air di tingkat petani belum memadai. Permasalahan tersebut terkait dengan tingkat penguasaan petani terhadap teknologi budidaya komoditas unggulan, dan konservasi tanah serta air yang relatif kurang memadai. Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan Pulau Sebatik diusahakan untuk keperluan pasar ekspor ke Sabah (Malaysia). Akses pasar yang sangat baik merupakan faktor pendorong bagi masyarakat untuk mengusahakan tanaman perkebunan di kawasan tersebut. Permintaan komoditas kakao dari Pulau Sebatik untuk tujuan ekspor semakin tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas hasil (mutu rendah), sehingga harganya relatif rendah di pasar Malaysia. Produktivitas hasil kakao dari kawasan ini semakin menurun yang disebabkan antara lain oleh umur tanaman sudah tua, serangan hama penyakit, dan produktivitas lahan yang semakin menurun. Lahan pertanian untuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada umumnya belum dikelola dengan baik (Abubakar, 2004; Samudra, 2005; BPTP Kaltim, 2007). Masalah lain adalah teknologi yang tersedia bagi pengembangan lahan kering marginal ini umumnya memerlukan input tinggi, masih kurangnya informasi
potensi
sumberdaya
lahan,
terbatasnya
sumberdaya
manusia,
terbatasnya modal, belum didukung oleh kelembagaan usahatani yang memadai dan terbatasanya infrastruktur. Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan tersebut yang melandasi pentingnya penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat yang memadukan berbagai aspek keberlanjutan. Penelitian ini sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas komoditas unggulan dengan
tetap menjaga
kelestarian sumberdaya alam setempat sehingga akan tetap dapat mendukung keberlanjutan usaha pertanian pada suatu kawasan. Dengan demikian akan mendorong agribisnis komoditas unggulan pada suatu kawasan dan diharapkan akan mendukung ketersediaan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan pendapatan asli daerah. Kerangka pemikiran penelitian tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 1.
6
Kawasan Perbatasan Negara Sebagai Kawasan Strategis Nasional
• • • •
Perkebunan Kakao Rakyat
Ketersediaan pangan Pendapatan masyarakat Lapangan kerja PAD
Produksi dan Mutu Rendah
Identifikasi Faktor Berpengaruh
Data primer, sekunder dan pendapat pakar
Analisis
Kesesuaian Lahan
Kebutuhan stakeholders
Kesenjangan dan kendala, produktivitas lahan
Keberlanjutan
Ekonomi (kelayakan finansial)
Prospektif
Skenario
Berkelanjutan
Tidak
Ya Rekomendasi Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik
Gambar 1. Kerangka pemikiran 1.4. Perumusan Masalah Tanaman kakao merupakan komoditas pertanian unggulan dari Pulau Sebatik. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan multidimensi, terutama berkaitan dengan produktivitas dan mutu hasil kakao yang semakin
7
menurun. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yaitu (1) apakah lahan usahatani kakao rakyat sesuai dengan agroekologi kawasan setempat ? (2) bagaimana kesenjangan (gap) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (3) apakah kendala, perubahan yang diinginkan dan kelembagaan pendukung yang terlibat dalam perkebunan kakao rakyat ? (4) seberapa besar tingkat keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (5) apa saja kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat ? dan (6) bagaimana formulasi rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ? 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini diharapkan: a. Menjadi arahan atau rekomendasi bagi penentu kebijakan dan masyarakat setempat untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan, khususnya di Pulau Sebatik berdasarkan potensi sumberdaya alam, potensi ekonomi dan kelembagaan setempat. b. Mempertahankan keberlanjutan produktivitas lahan untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan. 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian ini adalah pengembangan dari penelitian sebelumnya yang terkait dengan pembangunan pertanian di kawasan perbatasan negara, beranjak dari pendekatan parsial menuju pendekatan holistik. Penelitian-penelitian sebelumnya antara lain: a) Susilo (2003) dengan judul penelitian “Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta” dengan menggunakan konsep keberlanjutan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Pangang dan Pulau Pari termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan.
8
b) Abubakar (2004) dengan judul “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur”. Penelitian tersebut menggunakan metode Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT), Analitycal Hierarchy Process (AHP) dan Linear Goal Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan di kawasan perbatasan cukup komplek dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. c) Samudra (2005) dengan judul “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pulau Sebatik Sebagai Pulau Kecil Perbatasan di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur Secara Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”. Metode yang digunakan adalah skoring sederhana dan SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumberdaya hayati unggulan Pulau Sebatik adalah (i) perikanan tangkap, (ii) perkebunan kakao, dan (iii) peternakan [kerbau, sapi, kambing]. d) Marhayudi (2006) dengan judul “Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat”. Penelitian tersebut menggunakan metode Rap-INSUSFORMA dan disimpulkan bahwa pengelolaan hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 36,85%. e) Thamrin (2008) dengan judul “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia”. Penelitian tersebut menggunakan Rap-BENGKAWAN dan
disimpulkan
bahwa
status
keberlanjutan
multidimensi
pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia cukup berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 52,43%. Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penanganan berbagai masalah pertanian di kawasan perbatasan telah banyak dilakukan, namun masih bersifat parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah:
9
1. Penggunaan
analisis
kesenjangan
(gap
analysis)
untuk
mengetahui
produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat pada kondisi saat ini (existing) dan kondisi yang diharapkan (optimum), sehingga akan diketahui upaya-upaya perbaikan. 2. Penggunaan alat analisis keberlanjutan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island) untuk peningkatan produktivitas lahan
berkelanjutan perkebunan
kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Alat analisis ini merupakan modifikasi dari RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries), yang semula hanya menyertakan 5 dimensi keberlanjutan (ecological, technology economic, social, and ethical), pada RAP-COCOA SEBATIK ini ditambahkan dimensi pertahanan keamanan, sehingga menjadi 6 dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan). 3. Alternatif skenario arahan kebijakan berdasarkan analisis kesenjangan produktivitas lahan (antara kondisi eksisting dengan kondisi yang diharapkan), dan analisis keberlanjutan dari berbagai dimensi atau aspek keberlanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. 1.7. Definisi Beberapa Istilah dalam Penelitian a. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 20). b. Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (atau wilayah negara tetangga). Sedangkan menurut UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 6, Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
10
c. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 21). d. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 22). e. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 28). f. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 11). g. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 12). h. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 13). i. Komoditas andalan adalah komoditas dengan ciri-ciri: merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat, merupakan komoditas spesifik lokasi, dan dapat dibudidayakan berdasarkan kondisi agroekologi setempat (Thamrin, 2008). j. Komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai ciri-ciri: merupakan
salah
satu
komoditas
andalan,
besaran
ekonominya
menguntungkan, memiliki prospek pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, potensi sumberdaya lahan yang besar, digemari oleh masyarakat, dan diusahakan sepanjang tahun (Thamrin, 2008).
11
k. Pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
adalah
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). l. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi
kebutuhan
manusia,
sekaligus
mempertahankan
dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam (Anonim, 1990; Sutanto, 2002). Pertanian berkelanjutan merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian. m. Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (FAO, 1976). n. Lahan atau land adalah suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (FAO, 1976). o. Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu. Produktivitas adalah suatu hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output).
12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Lahan dan Usahatani Kakao Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao perlu diketahui sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) dan dilakukan pemupukan sesuai dengan kandungan hara tanah serta kebutuhan tanaman. Menurut Jadin dan Snoeck (1985) pemupukan tanaman kakao akan lebih efektif jika ditekankan pada tercapainya perbandingan hara optimal, yaitu untuk K:Ca:Mg adalah 8:68:24. Tanaman kakao diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazone, Amerika Selatan yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol sekitar tahun 1560 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Di Indonesia tanaman ini sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat (89,59%), perkebunan besar negara (5,04%) dan perkebunan besar swasta (5,37). Produktivitas hasil kakao rata-rata nasional 945 kg ha-1, dimana produktivitas perkebunan rakyat 952,2 kg ha-1, perkebunan besar negara 861 kg ha-1 dan perkebunan besar swasta 889 kg ha-1 (Deptan, 2007) Secara umum syarat tumbuh tanaman kakao (PPKK, 1977; BBP2TP, 2008) sebagai berikut: (a) daerahnya terletak pada 10o LS-10o LU, (b) ketinggian tempat 0 - 600 m dpl, (c) curah hujan 1500 - 2500 mm th-1 dengan bulan kering kurang dari 3 bulan [< 60 mm bl-1], (d) suhu maksimum 30 - 32oC dan minimum 18 - 21oC,
(e) kemiringan tanah < 45% dengan kedalaman olah < 150 cm, (f)
tekstur tanah terdiri atas 50% pasir, 10 - 20% debu, dan 30 - 40% lempung atau lempung berpasir, (g) sifat kimia tanah pada lapis olah (0 – 30 cm): kadar bahan organik 35%;
> 3,5%; C/N ratio 10 - 12; KTK > 15 me 100g-1; kejenuhan basa > pH (H2O): 4,0 - 8,5 [optimum pH 6,0 - 7,0]; kadar unsur hara
minimum tanah yang dibutuhkan: N = 0,38%; P (Bray 1) = 32 ppm; K tertukar = 0,50 me 100g-1; Ca tertukar = 5,3 me 100g-1; dan Mg tertukar = 1 me 100g-1. 2.2. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan menggambarkan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (FAO, 1976). Evaluasi lahan pada tingkat semi detail akan menghasilkan informasi kesesuaian lahan yang dapat diterapkan untuk
14
kebutuhan operasional di lapangan, sedangkan evaluasi lahan pada tingkat tinjau ditujukan untuk arahan, atau informasi awal di tingkat regional (Djaenudin et al., 2000). Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (maching) antara kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Kelas kesesuaian lahan suatu areal atau kawasan dapat berbeda dan bergantung pada tipe penggunaan lahan. Evaluasi kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi suatu penggunaan tertentu untuk komoditas yang dikembangkan. Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya (Djaenudin et al., 2000) yaitu sebagai berikut: (1). Ordo Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Lahan termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan. Ordo N adalah lahan yang mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan secara lestari. (2). Kelas Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Kelas S1(sangat sesuai) Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti untuk penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas tidak berarti dan tidak akan menurunkan produktivitas secara nyata. Kelas S2(cukup sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas agak berat untuk penggunaan berkelanjutan. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan, sehingga diperlukan tambahan input, dan biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
15
Kelas S3(sesuai marginal) Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat. Faktor pembatas tersebut berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga memerlukan tambahan input yang lebih banyak daripada lahan kelas S2. Tanpa bantuan pemerintah atau pihak swasta, petani tidak akan mampu mengatasinya. Kelas N (tidak sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan sulit diatasi, sehingga tidak mungkin untuk digunakan. (3). Sub kelas Sub kelas kesesuian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas, kecuali S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas bergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditujukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Biasanya hanya satu simbol pembatas di dalam setiap sub kelas, akan tetapi dapat juga dua atau tiga simbol pembatas, dengan catatan jenis pembatas yang paling dominan di tempat pertama. (4). Satuan kesesuaian lahan Tingkat satuan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas. Satuansatuan berbeda antara satu dengan lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan, dan merupakan pembedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas secara detail akan memudahkan penafsiran perencanaan pada tingkat usahatani. Simbol kesesuaian lahan pada tingkat satuan dibedakan dengan angka arab yang ditempatkan setelah simbol sub kelas. 2.3. Kawasan Perbatasan Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan langsung berhadapan dengan negara lain (UU No 26 Tahun 2007). Wilayah dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (wilayah negara tetangga). Menurut UU No 43 Tahun 2008 tentang
16
Wilayah Negara, pada pasal 1 ayat 6, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Indonesia memiliki wilayah perbatasan darat (kontinen) dengan beberapa negara seperti Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, serta yang berbatasan laut (Maritim) di sepuluh negara seperti India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua New Guinea (Bappenas, 2004). Pembangunan di kawasan perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah (pusat dan daerah) jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang aksesnya lebih mudah, dan juga padat penduduknya. Kondisi tersebut membawa implikasi terhadap kawasan perbatasan yang semakin terisolir dan tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah lainnya, baik dari aspek ekonomi maupun sosial. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur memiliki arti sangat penting, terutama terhadap aspek ekonomi, dan pertahanan keamanan, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur ini cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Di samping masalah rendahnya dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga adalah akibat dari arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang negara. Sejalan dengan proses globalisasi saat ini, dan sejalan dengan agenda prioritas dari Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) kebijakan tersebut memerlukan koreksi agar menjadi ’outward looking’, sehingga kawasan perbatasan negara harus dimanfaatkan sebagai ’pintu gerbang’ untuk aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara (Bappenas, 2004; Bappeda Kaltim, 2006) antara lain:
17
1) Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir. 2) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan. 3) Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang. 4) Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga. 5) Sarana dan prasarana umum masih minim (terbatas). 6) Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera. 7) Terisolirnya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan. 8) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur-Malaysia terbentang memanjang dari wilayah timur hingga ke barat. Panjang garis perbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak dan Sabah Malaysia Timur sepanjang + 1.038 km, yang secara administrasi meliputi tiga kabupaten (Nunukan, Malinau dan Kutai Barat) dan mencakup 11 wilayah kecamatan. Pulau Sebatik merupakan salah satu kawasan perbatasan antara Kabupaten Nunukan dengan Malaysia. 2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menurut World Conservation Strategy pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Konsep pembanguan berkelanjutan dapat dipandang dari tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Aspek sosial budaya dalam pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari pembangunan sumberdaya manusia, dimana tujuan dasar pembangunan adalah memperbesar spektrum pilihan manusia. Menurut Firdausy (1998) esensi pembangunan manusia memberikan akses yang sama terhadap kesempatankesempatan pembangunan dan pengembangan, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Keterbatasan sumberdaya lahan untuk menyediakan kebutuhan
18
hidup manusia dapat dioptimalkan dengan pembangunan pertanian yang sesuai dengan kondisi biofisik dan daya dukung wilayah setempat. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Gips (1986) sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria: aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial, manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasikan. Selanjutnya menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. 2.5. Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisir untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan (Manetsch and Park, 1977). Menurut Djojomartono (1993), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Analisis sistem adalah serangkaian teknik yang mencoba untuk: (a) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi di dalam dan di antara subsistem; (b) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan sebagai akibat adanya masukan; (c) menduga apa yang mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah. Elemen dari sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan dan realitas fisik. Pola hubungan antara dua atau lebih elemen menentukan struktur sistem. Oleh karena itu pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem, baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Menurut Soerianegara (1978), jika dibandingkan dengan penelitian eksperimental, maka penelitian dengan menggunakan sistem atau simulasi mempunyai banyak kelebihan, antara lain: (a) dapat melakukan ekperimentasi
19
terhadap suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakuan terhadap sistem yang diteliti, (b) dapat digunakan untuk menciptakan suatu sistem yang diduga akan lebih baik dari keadaan sistem sesungguhnya yang diteliti, (c) dapat digunakan pada keadaan dimana ekperimen tak dapat dilakukan, (d) dapat melakukan penelitian yang bersifat multidisiplin dan teritegrasi yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya, serta (e) dari segi efisiensi dan kelayakan, analisis sistem dapat dilakukan dalam waktu singkat, biaya murah dan dengan hasil meyakinkan. Menurut Eriyatno (1999), metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yaitu (a) analisis kebutuhan, (b) identifikasi sistem, (c) formulasi masalah, (d) pembentukan alternatif sistem, (e) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, serta (f) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Pemodelan dengan interpretasi struktur (Interpretive Structural ModellingISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning proces), dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat (Eriyatno, 1998 dalam Marimin, 2004). ISM menganalisis sebuah elemen dari beberapa elemen dan menyajikan dalam bentuk grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkatannya. Saxena (1992) dalam Marimin (2004) menyebutkan bahwa sembilan elemen yang dapat dianalisis dengan menggunakan ISM yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Suatu kajian menggunkan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua elemen, atau hanya sebagian elemen saja, bergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan.
20
2.6. Analisis Kelayakan Ekonomi Alat ukur atau kriteria diperlukan untuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Analisis kelayakan usahatani kakao dilakukan untuk membandingkan besarnya investasi yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima. Alat ukur atau kriteria yang biasa digunakan adalah menggunakan Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C) dan Net Present Value (NPV) (Soekartawi, 1988). NPV diartikan sebagai nilai bersih sekarang, menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi (proyek). Nilai B/C menunjukkan berapa kali lipat keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya investasi yang dikeluarkan, sedangkan IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut tiap tahun. Nilai IRR menunjukkan kemampuan dari usaha tersebut dalam mengembalikan atau membayar bunga pinjaman. Pengertian yang sederhana tentang kriteria tersebut saling mendukung atau saling melengkapi dalam menunjukkan kelayakan dari suatu usaha.
2.6.1. Benefit Cost Ratio Analisis Benefit-Cost Ratio (B/C) merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menentukan kriteria layak atau tidaknya suatu usaha dijalankan. Bila B/C > 1, menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani suatu komoditas lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (usaha tersebut menguntungkan), sedangkan bila B/C < 1, maka usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. B/C dihitung dengan formulasi sebagai berikut: n
Bt
∑ (1 + i)
t
t =0
B/C =
....................……………..…………...... n
Ct
∑ (1 + i)
t
t =0
Keterangan: Bt = manfaat pada tahun t Ct = biaya pada tahun ke-t i = discount rate (%) t = tahun (umur)
(1)
21
2.6.2. Internal Rate of Return (IRR)
IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh tiap tahun atau merupakan kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga bank. Hal ini berarti bahwa IRR sama dengan tingkat bunga pada waktu NPV = 0. Perhitungan besarnya IRR dapat dilakukan dengan cara melakukan interpolasi antara tingkat bunga pada saat NPV bernilai positif dengan tingkat bunga pada saat NPV bernilai negatif. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
IRR = i1 +
NPV1 + (i1 − i2 ) NPV1 − NPV2
............................................. (2)
Keterangan: NPV1 = NPV bernilai positif NPV2 = NPV bernilai negatif i1 = tingkat bunga dimana NPV positif i2 = tingkat bunga dimana NPV negatif
Kegiatan investasi dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar daripada Discount Rate yang ditentukan. IRR > tingkat bunga bank, maka usaha tersebut layak dilakukan dan apabila IRR< tingkat bunga bank, maka usaha tersebut tidak layak dilakukan. 2.6.3. Net Present Value (NPV)
NPV adalah keuntungan yang diperoleh atau nilai kini yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi. Kriteria nilai sekarang bersih (NPV) didasarkan pada konsep
pendiskontoan
seluruh
arus
kas
ke
nilai
sekarang.
Dengan
mendiskontokan semua arus kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian menghitung kas bersihnya akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama (harga pasar) saat ini. Dengan demikian dua hal telah diperhatikan yaitu faktor nilai waktu dari uang serta selisih besar arus kas masuk dan keluar. Hal ini akan membantu pengambil keputusan untuk menentukan pilihan. Suatu investasi atau usaha layak dilaksanakan jika NPV > 0 dan jika NPV < 0, maka usaha atau investasi tidak layak untuk dilaksanakan. Secara matematis nilai NPV dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
NPV =
Bt − Ct
∑ (1 + i) t =0
t
........................................................................... (3)
22
Keterangan: Bt = benefit pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t i = tingkat bunga yang berlaku n = jumlah tahun t = tahun tertentu
2.7. Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan dengan model RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries) telah digunakan oleh University of British Columbia, Canada pada tahun 1998 untuk menilai status keberlanjutan sistem usaha perikanan (Alder et al., 2000; Kavanagh, 2001; Fauzi dan Anna, 2005). Metode analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) yang digunakan dalam model RAPFISH
ini
untuk
menilai
indeks
dan
status
keberlanjutan
serta
mengindentifikasi atribut-atribut yang paling sensitif dari masing-masing dimensi keberlanjutan melalui leverage analysis. Dengan analisis RAPFISH tersebut maka sistem perikanan yang komplek dapat dinilai secara cepat dan hasilnya dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif. Analisis dengan RAPFISH, penilaiannya dilakukan melalui pemberian skor (nilai) terhadap atribut-atribut yang telah ditetapkan dan dikelompokkan dalam group evaluation field, dengan skoring 0 atau kondisi buruk hingga skoring 3 atau kondisi berkelanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004). 2.8. Analisis Leverage
Analisis leverage (daya ungkit) digunakan untuk mengetahui efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan atau dilakukan ordinasi. Hasil analisis leverage dinyatakan dalam bentuk persentase (%) perubahan root mean square masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut dengan persentase tertinggi merupakan atribut atau faktor yang paling sensitif berpengauh terhadap keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004). 2.9. Analisis Monte Carlo
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Analisis ini merupakan metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek random error pada proses pendugaan dan diperlukan
23
untuk mempelajari efek ketidakpastian dari beberapa faktor yaitu (1) kesalahan pembuatan skoring dalam setiap atribut, (2) dampak keragaman skoring dari perbedaan penilaian, (3) stabilitas MDS dalam running, dan (4) tingginya nilai Sstress dari algoritma ASCAL. Jika perbedaan antara hasil perhitungan MDS dan Monte Carlo kurang dari 1, maka sistem yang dikaji cukup bagus atau sesuai dengan kondisi nyata (Kavanagh dan Pitcher, 2004; Fauzi dan Anna, 2005). 2.10. Analisis Prospektif
Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan skenario arahan kebijakan pada masa yang akan datang, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Analisis prospektif bertujuan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Tahapan analisis prospektif menurut Bourgeois (2007): (1) menerangkan tujuan, (2) melakukan identifikasi kriteria, (3) mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan, (4) analisis pengaruh antar faktor, (4) merumuskan kondisi faktor, (5) membangun dan memilih skenario, serta (6) implikasi skenario.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Pulau Sebatik berada di bagian utara Kabupaten Nunukan, yang terletak pada koordinat antara 117°41’05” - 117°55’56” BT, dan 4°01’37” - 4°10’05” LU. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Negara Malaysia Timur (Sabah), sebelah barat berbatasan dengan Selat Nunukan, sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Selat Makasar (Laut Sulawesi). Pulau Sebatik merupakan pulau yang terbagi menjadi dua wilayah atau bagian. Sebelah utara masuk wilayah Sabah (Malaysia) dan sebelah selatan masuk wilayah Indonesia. Pulau Sebatik posisinya sangat strategis bagi Indonesia dan Provinsi Kalimantan Timur, terutama ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Pulau Sebatik (Indonesia) merupakan salah satu wilayah dari Kabupaten Nunukan yang dibagi dalam 2 kecamatan yaitu Sebatik dan Sebatik Barat. Kecamatan Sebatik dimekarkan menjadi dua kecamatan sesuai dengan Perda Kabupaten Nunukan No. 03 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Kecamatan Sebatik Barat (BPS Nunukan, 2008). Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat merupakan dua dari lima kecamatan di Kabupaten Nunukan. Pulau Sebatik luas wilayahnya 24.661 ha atau sekitar 1,73 persen dari luas wilayah Kabupaten Nunukan, yang terdiri dari Kecamatan Sebatik 10.442 ha (0,73 persen) dan Kecamatan Sebatik Barat 14.219 ha (1,00 persen) (BPS Nunukan, 2008). Data luas wilayah per kecamatan selengkapnya disajikan pada Gambar 2. Sebatik 1%
Krayan 13%
Krayan Selatan 12% Sebatik Barat 1%
Sebuku 21%
Lumbis 26%
Nunukan 11% Sembakung 15%
Gambar 2. Persentase luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Nunukan
26
Kecamatan Sebatik meliputi 4 desa yaitu Tanjung karang, Tanjung aru, Sungai nyamuk dan Pancang. Kecamatan Sebatik Barat meliputi 4 desa yaitu Setabu, Binalawan, Liang bunyu dan Aji kuning. Luas wilayah pada masing masing Kecamatan tersebut selengkapnya tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Pulau Sebatik No
Kecamatan /Desa
Luas wilayah (ha)
1.
Sebatik a. Tanjung karang b. Tanjung aru c. Sungai nyamuk d. Pancang Jumlah (1)
10.442 39,00 32,00 26,00 38,64 104,42
Sebatik Barat a. Setabu b. Binalawan c. Liang bunyu d. Aji kuning Jumlah (2) Jumlah (1+2)
14.219 217,42 37,04 1.445,00 3.134,40 4.833,86 24.661
2.
Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan penduduk (jiwa km -2) 194,24
3.286 4.500 7.004 5.490 20.283 2,28 2.266 4.881 1.550 2.371 11.082 31.368
Sumber: BPS nunukan (2008)
3.2. Topografi dan Fisiografi Wilayah Pulau Sebatik mempunyai ketinggian 0 - 500 m dpl, dengan perincian 10 persen wilayah ketinggiannya 0 - 50 m dpl, 75 persen ketinggiannya 50 - 150 m dpl,
dan 15 persen wilayah ketinggiannya 150 - 500 m dpl.
Ketinggian maksimum terdapat di pegunungan tengah Pulau Sebatik yaitu 500 m dpl (Bappeda Nunukan, 2003; BPTP Kaltim, 2007). Pulau Sebatik mempunyai dataran pantai dengan lereng < 2 persen, wilayah daratan kemiringan lereng 2 - 25 persen, dan daerah perbukitan serta pegunungan tengah dengan kemiringan lereng 25 - 40 persen. Bentuk lahan atau topografi kawasan ini bervariasi, yaitu berupa cekungan (daerah pasang surut, rawa-rawa, endapan pantai, laut), teras laut, dataran, perbukitan, daerah bergelombang dan bergunung.
27
3.3. Geologi atau Jenis Batuan Jenis batuan dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dan daya dukung batuan, patahan dan sesar, resapan air, ketersediaan air, serta kandungan mineralnya. Jenis batuan (disarikan dari peta RePPProt 1987) dibedakan dalam lima formasi atau jenis batuan (Bappeda Nunukan, 2003): 1. Aluvial (Qa) dengan litologi sedimen, berupa endapan alluvial dan rawa berumur resent (quatenary) terdiri dari lempung, lempung pasiran dan pasir lempung berwarna coklat kemerahan, plastisitas tinggi, lunak. Lempung pasiran berwarna coklat muda, plastisitas rendah dan tingkat kekerasan lunak hingga stiff. Batu pasir berwarna putih keabu-abuan, berbutir halus-sedang seragam, bentuk butir menyudut tanggung-keras. Komposisi satuan batu lempung/ lumpur, pasir, kerakal, bahan tumbuhan dengan perbandingan yang tidak selaras, di atasnya batuan dasar yang terlapuk. Pengisian rawa dari bahan tumbuhan dan holosen pasir fluvial berumur pliosen dari batuan granitik. Jenis batuan tersebut terdapat di pantai timur dan barat Pulau Sebatik. 2. Formasi Sajau (TQps) berupa endapan litoral lumpur, pasir, kerakal, gampingan, dan bahan tumbuhan. Komposisi hubungan setara dengan pengisian rawa holosen. Terletak pada punggungan pantai atau terras pantai, berumur mulai trias hingga kwarter (Quatenary). Terletak di belakang jenis batuan alluvial di Pulau Sebatik. 3. Batuan terobosan retas dan sumbat diorit (Qpi), kuarsa (setempat), menerobos formasi sajau (TQps) dan formasi tabul (Tmt). Formasi batu berpasir sebanding dengan terobosan yang ada di Serawak. Sumbat dan rentas yang terdapat di Pulau Sebatik hanya satu tempat di bagian pantai barat, berumur kwarter (Quatenary). 4. Formasi tabul (Tmt) serpih batu lanau, karbonan dan gampingan berwarna kelabu muda berbutir halus hingga kasar. Formasi tidak selaras berumur miosen (Miocene Undifferentiated) terletak di perbukitan rendah di belakang formasi Sajau. 5. Formasi meliat (Tmm) terletak di Nunukan daratan pada perbukitan kasar tertoreh yang berbatasan dengan Malaysia. Batuan lumpur kerakal berumur Oligocene, gabro berlapis dan pejal, kemiringan curam komposisi tidak
28
selaras. Sentuhan tektonik mengakibatkan sesar/patahan memanjang di tengah Pulau Sebatik dengan arah barat laut-tenggara. Sesar/patahan memotong mulai dari Formasi Meliat (Tmm) dan Formasi Tabul dari tengah Pulau Sebatik (Malaysia) hingga pantai tenggara Pulau Sebatik (Indonesia). 3.4. Geomorfologi dan Sistem Lahan Berdasarkan geomorfologi genesis, kawasan Pulau Sebatik terjadi akibat gerakan tektonik yang mengakibatkan terangkatnya batuan di dasar laut ke atas permukaan air. Kondisi geomorfologi Pulau Sebatik dibedakan menjadi (Bappeda Nunukan, 2003): 1. Dataran batuan endapan berbukit kecil (TWH), tersebar luas di perbukitan tengah hingga pantai selatan dengan kelerengan 8-15 persen dan pada ketinggian 0-100 m dpl. 2. Kelompok pegunungan punggung panjang (MTL) dari batuan endapan dengan arah lereng terjal (25-30 persen). Sistem lahan ini terdapat di daerah pegunungan tengah Pulau Sebatik, yang sebagian besar masuk Desa Setabu, Sungai nyamuk, dan Bambangan. 3. Pegunungan batuan endapan yang tidak teratur (PHD). Sistem lahan ini hanya sedikit di pegunungan yang berbatasan dengan Malaysia di bagian barat. 4. Dataran berombak dan bergelombang (LWW), menempati daerah perbukitan di tengah batuan endapan TWH. Sistem lahan ini terletak di sekitar Desa Sungai nyamuk dan Tanjung karang. 5. Perbukitan batuan bukan endapan (MPT) yang tidak semitris dan tidak teratur. Sistem lahan ini hanya sedikit di perbukitan Gunung Batu bagian barat Pulau Sebatik. 6. Teras laut (PST) menempati pantai bagian barat dan tenggara Pulau Sebatik. 7. Dataran lumpur daerah pasang surut di bawah bakau dan nipah (KJP), terdapat di bagian barat daya Pulau Sebatik, terpotong-potong oleh formasi batuan endapan TWH dan KHY 8. Dataran pantai dan sungai yang tergabung (KHY), terdapat di Pulau Sebatik bagian timur dan tenggara. Dataran pantai ini di digunakan untuk daerah persawahan dan tambak.
29
3.5. Jenis Tanah dan Iklim Jenis tanah Tanah di Pulau Sebatik umumnya berkembang dari bahan sedimen dan sebagian kecil endapan sungai (marine) serta volkan. Wilayah ini mempunyai rejim kelembaban tanah di daerah dataran tinggi (upland) tergolong udik dengan curah hujan tahunan 2.363 mm th-1 (>2.000 mm th-1), sedangkan di daerah dataran rendah (lowland) tergolong akuik. Kedalaman solum tanah bervariasi dari dangkal (<50 cm) hingga sangat dalam (>150 cm), namun secara umum didominasi oleh solum dalam (100-150 cm). Tanah-tanah di kawasan ini dikelompokkan menjadi 3 Ordo, yaitu Entisols, Inceptisols, dan Ultisols (BPTP Kaltim, 2007). Jenis-jenis tanah tersebut umumnya memiliki kemampuan menahan air rendah (Uexkull, 1984; Spain, 1986) sehingga jika curah hujan melimpah maka tidak bermanfaat bagi tanaman, karena kapasitas menahan air tanah rendah. Jenis-jenis tanah di Pulau Sebatik tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis tanah di Pulau Sebatik Ordo Entisols
Inceptisols
Grup Quartzipsament Sulfaquent Endoaquent Udorthent Eutrudept Dystrudept Endoaquept
Ultisols
Sumber: BPTP Kaltim (2007)
Hapludults Kandiudults Paleudult
Subgrup Typic Quartzipsament Typic Sulfaquent Sulfic Endoaquent Typic Udorthent Typic Eutrudept Oxic Dystrudept Typic Dystrudept Aeric Endoaquept Typic Endoaquept Typic Hapludult Typic Kandiudult Typic Paleudult
30
Iklim Tipe iklim di Pulau Sebatik (Kabupaten Nunukan) menurut Koppen tergolong dalam tipe Af, yaitu iklim tropis dengan curah hujan bulanan terendah 95 mm dan suhu udara rata-rata bulanan > 18oC. Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten Nunukan pada kurun waktu 10 tahun terakhir sebesar 2.363 mm th-1 dengan rata-rata curah hujan 196,9 mm bl-1. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (324 mm) dan terendah bulan September (95 mm). Menurut Trojer (1976) pola hujan tergolong A, yaitu terdapat perbedaan yang jelas antara curah hujan di musim kemarau dengan curah hujan di musim penghujan. Wilayah penelitian termasuk tipe hujan B, yaitu mempunyai bulan basah (> 100 mm) selama 9 bulan dan bulan kering (< 60 mm) selama 2 bulan (Schmidt dan Ferguson, 1951 dalam Kartasapoetra, 1986). Perhitungan neraca air dapat digunakan untuk mengetahui kondisi keseimbangan antara air yang diterima (curah hujan) dengan air yang hilang melalui evapotranspirasi. Berdasarkan neraca air di Kabupaten Nunukan, kawasan ini mengalami defisit air selama 4 bulan (Juli, Agustus, September, dan Oktober) sebesar 61 mm th-1, sedangkan surplus air berlangsung selama 8 bulan mencapai 681 mm th-1 (Tabel 4). Tabel 4. Neraca air di Kabupaten Nunukan Parameter Curah hujan
Satua Jan n mm 324
Peb
Mar
Apr Mei Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop Des Tahunan
233
227
222 235 154
105
99
95
139
273 257
2.363
Suhu udara
o
C
27,4
28,1
28,3
28,5 28,5 27,5 27,3 27,0 27,1 27,9 28,0 28,2
27,8
Indeks panas
--
13,1
13,6
13,8
13,9 13,9 13,2 13,1 12,8 12,9 13,5 13,6 13,7
161,2
ET potensial
mm
154
170
171
176 176 151
163 167
---
Deklinasi surya Panjang hari
Rad. -0,37 -0,24 -0,04 0,16 0,32 0,401 0,37 0,25 0,06 -0,14 -0,31 -0,4
---
147
139
142
161
Jam
12,5
12,3
12,1
11,8 11,6 11,4 11,5 11,7 11,9 12,2 12,4 12,6
12,0
--
1,04
1,03
1,00
0,98 0,96 0,95 0,96 0,97 0,99 1,02 1,04 1,05
---
ETP terkoreksi mm
154
170
171
173 169 144
140
135
141
163
169 175
CH-ETP terk.
mm
170
63
56
49
66
10
-35
-36
-46
-24
104
82
---
APWL
mm
-
-
-
-
-
-
-35
-71
-118 -142
-
-
---
Air tersedia
mm
110
110
110
Perub. air tsd.
mm
0
0
0
ET aktual
mm
148
166
171
Defisit
mm
-
-
-
-
-
Surplus
mm
170
63
56
49
66
Faktor koreksi
Sumber: BPTP Kaltim (2007)
110 110 110 0
0
1905
79
56
36
29
110 110
---
-31
-23
-20
-7
81
---
136
122
115
146
-
4
13
26
17
-
-
61
10
-
-
-
-
185
82
681
0
173 169 144
0
159 155
1.844
31
3.6. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Pulau Sebatik Perhatian pemerintah terhadap pembangunan pertanian di kawasan perbatasan Pulau Sebatik relatif masih kurang. Hal ini terlihat dari terbatasnya sarana dan prasarana umum yang ada di kawasan tersebut. Jalan umum yang menghubungkan antar kecamatan dan desa sebagian besar rusak. Selain itu jalan usahatani di kawasan ini masih terbatas, sehingga masyarakat (khususnya petani kakao) mengalami kesulitan untuk mengangkut hasil panen, terutama pada saat musim
hujan.
Kebijakan
pengembangan
kawasan
mengakibatkan
makin
pembangunan
perbatasan besarnya
yang
khususnya
kesenjangan
belum di
jika
Pulau
memperhatikan Sebatik
dibandingkan
ini
dengan
perkembangan pembangunan di daerah lain, apalagi jika dibandingkan dengan perkembangan negara tetangga (Tawau-Malaysia). Untuk mengurangi kesenjangan dan mempercepat pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia khususnya di perbatasan Kalimantan Timur, pada tahun 2008 pemerintah provinsi Kalimantan Timur telah membentuk Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Terpencil (BPKPPDT). Badan yang mengurusi daerah perbatasan negara di Kalimantan Timur ini dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Organisasi dan tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Terpencil Provinsi Kalimantan Timur. Tugas pokok lembaga ini adalah melaksanakan penyusunan kebijakan daerah di bidang pengembangan wilayah perbatasan dan sumberdaya, peningkatan infrastruktur, pembinaan ekonomi dan dunia usaha, pembinaan lembaga sosial dan budaya. Visi BPKPPDT adalah mewujudkan percepatan pengelolaan kawasan perbatasan, pedalaman dan daerah terpencil yang terencana, terarah, terpadu dan bertanggungjawab (BPKPPDT, 2009). 3.7. Kondisi Sosial dan Ekonomi Kependudukan Penduduk Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 berjumlah 125.585 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 8,8 jiwa per km2. Bila dibandingkan
32
dengan tahun 2006, jumlah penduduk mengalami pertumbuhan sebesar 5,8 persen (BPS Nunukan, 2008). Berdasarkan pola persebaran penduduk Kabupaten Nunukan menurut luas wilayahnya belum merata, sehingga terjadi perbedaan kepadatan penduduk yang mencolok antar kecamatan. Dari delapan kecamatan di Kabupaten Nunukan, Kecamatan Sebatik kepadatan penduduknya tertinggi, yaitu 194,2 jiwa per km2, kemudian diikuti oleh Kecamatan Sebatik Barat dengan kepadatan 77,6 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di kecamatan lainnya hanya berkisar antara 1,29 - 33,79 jiwa per km2. Sebagian besar penduduk tinggal di Kecamatan Nunukan (sekitar 44,8 persen), dan 15,8 persen diantaranya tinggal di Kecamatan Sebatik, sedangkan sisanya tersebar di enam kecamatan yaitu Kecamatan Sebatik Barat, Lumbis, Sembakung, Sebuku, Krayan dan Krayan Selatan (BPS Nunukan, 2008). Berdasarkan komposisi penduduk menurut jenis kelamin, pada tahun 2007 jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio jenis kelamin 114,74 artinya pada setiap 100 orang perempuan terdapat 114 orang laki-laki (BPS Nunukan, 2008). Distribusi penduduk menurut kecamatan secara lengkap tertera pada Gambar 3. Sebatik Barat 9% Sebuku 9%
Lumbis 8%
Sembakung 7%
Kray an 7%
Sebatik 1 6%
Nunukan 42% Kray an Selatan 2%
Gambar 3. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan tahun 2007 Tingkat dan sarana pendidikan Penduduk di Pulau Sebatik umumnya adalah pendatang dari Pulau Sulawesi yang sebelumnya bekerja di Malaysia (Tawau). Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, sebelum bermukim di Pulau Sebatik mereka adalah
33
pekerja kebun (kakao dan sawit) di Malaysia. Tingkat pendidikan masyarakat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik umumnya relatif rendah. Mayoritas responden petani kakao tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh sarana dan prasarana pendidikan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat petani pada saat itu kurang mendukung untuk dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Sebatik pada saat ini terdiri atas TK (Taman Kanak-kanak) hingga SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Pada tahun 2007 sarana pendidikan yang tercatat di Kecamatan Sebatik terdiri atas 5 Taman Kanak-Kanak, 9 SD Negeri, 5 SD Swasta dan Madrasyah Ibtidaiyah, 2 SLTP Negeri, 1 SLTP Swasta, 1 SLTP Terbuka, 1 SMU Negeri dan 2 SMU Swasta dan Madrasyah Aliah. Di Sebatik Barat jumlah TK sebanyak 3 sekolahan, SD sebanyak 11 sekolahan dan SLTP sebanyak 2 sekolahan (UPTD Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan Sebatik dalam BPS Nunukan, 2008). Mata pencaharian Mata pencaharian utama penduduk di Pulau Sebatik adalah sebagai petani, sedangkan yang lain sebagai buruh, pedagang dan pegawai (negeri atau swasta), serta bekerja di sektor lainnya. Mata pencaharian penduduk secara umum di Kabupaten Nunukan berdasarkan persentase yaitu pertanian 54,6 persen; pertambangan dan penggalian 1,32 persen; industri 0,76 persen; listrik gas dan air 0,27 persen; konstruksi 5,84 persen; perdagangan 10,06 persen; transportasi dan komunikasi 5,05 persen; keuangan dan jasa 20,28 persen; dan lainnya 1,82 persen (BPS Nunukan, 2008). 3.8. Kondisi Infrastruktur dan Sarana Lainnya Sarana dan prasarana terutama jaringan jalan di Pulau Sebatik hingga saat ini relatif terbatas, dan belum semua jalan yang menghubungkan antar daerah diaspal (Siregar, 2008). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar masyarakat menjual hasil panen tanaman perkebunan dan tangkapan (ikan) ke Tawau (Malaysia), karena jaraknya relatif dekat dan sarana transportasi laut mudah dan murah jika dibandingkan dengan menjual ke Pulau Nunukan. Keterbatasan sarana transportasi dan letak wilayah yang secara geografis lebih dekat dengan Malaysia,
34
menjadi alasan bagi masyarakat di kawasan tersebut membeli barang-barang kebutuhan mereka sehari-hari ke Tawau. Sebagian besar masyarakat di Pulau Sebatik sudah mendapatkan sarana listrik, terutama yang bermukim dekat dengan jalan raya. Namun demikian bagi penduduk yang bermukin di wilayah yang jauh dari jalan raya atau bermukim di dekat kebun kakao, mereka belum mendapatkan sarana listrik. Sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari berasal dari sumur yang mereka gali di dekat pemukiman. Sarana komunikasi masyarakat di Pulau Sebatik umumnya adalah handphone (HP), namun demikian belum menjangkau ke seluruh wilayah di Pulau Sebatik.
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 4). Wilayah ini berada di bagian utara Kabupaten Nunukan, yang terletak pada koordinat antara 117°35’20” - 117°55’31” Bujur Timur, dan 3°57’58” - 4°10’00” Lintang Utara. Daerah tersebut di sebelah utara berbatasan langsung dengan Negara Malaysia Timur (Sabah), sebelah barat berbatasan dengan Selat Nunukan, sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Selat Makasar (Laut Sulawesi). Penelitian dilaksanakan bulan Maret hingga November 2009.
Sabah
P. Sebatik P. Sebatik
: Lokasi Penelitian Prov.Kaltim
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Lokasi penelitian (Provinsi Kalimantan Timur [a], Pulau Sebatik dan sekitarnya [b], dan Pulau Sebatik [c]) 4.2. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat survei (biofisik dan sosial-ekonomi) lapangan (bor tanah, pH meter, Munsell Soil Color Chart, abney level, GPS, Altimeter, kompas, peta-peta, bahan kimia, meteran, tempat sampel tanah) dan kuesioner untuk keperluan wawancara dengan responden. Data sekunder yang diperlukan yaitu (a) data iklim, peta-peta (topografi, tanah, penggunaan lahan, administrasi, zona agroekologi, arahan tata ruang, penggunaan lahan, dan peta pendukung lain), dan (b) laporan-laporan yang dikeluarkan oleh dinas dan instansi terkait (Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan, BPTP Kaltim, BPP [Balai Penyuluhan Pertanian] Sebatik dan Sebatik Barat).
36
4.3. Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, survei lapangan, analisis tanah di laboratorium dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data biofisik lahan dan sosial ekonomi. Wawancara dilakukan untuk: (a) mengetahui permasalahan, peluang, harapan dan pendapat dari stakeholders yang terkait dengan pengembangan komoditas unggulan pertanian, masalah lingkungan dan pola usahatani yang diterapkan; dan (b) mengetahui pendapat pakar atau ahli tentang peningkatan produktivitas lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan khususnya perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. 4.4. Lingkup dan Rencana Kegiatan Lingkup penelitian mencakup aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Penelitian dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survei lapangan, serta diperkuat oleh pendapat para pakar atau ahli di bidangnya. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam enam tahapan (Gambar 5). Tahap pertama adalah persiapan bahan, alat dan studi pustaka yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian, baik untuk mengumpulkan data primer maupun data sekunder pada tahap ke-2. Tahap ke-3 adalah melakukan survei lapangan (biofisik dan sosial ekonomi). Tahap ke-4 adalah melakukan enam analisis, yaitu (a) analisis kesesuaian lahan, (b) analisis kesenjangan, dan analisis kendala, (c) analisis ekonomi (kelayakan finansial), (d) analisis kebutuhan stakeholders, (e) analisis keberlanjutan, dan (f) analisis prospekif. Kemudian dilanjutkan pada tahap ke-5, yaitu menyusun skenario rekomendasi kebijakan yang dilakukan berdasarkan gabungan hasil analisis pada tahap 4. Pada tahap ke-6 adalah menyusun rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik.
37
Mulai (Persiapan)
Tahap I
Studi Pustaka
Faktor-faktor atau komponen-komponen peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik
Tahap II
Survei lapangan (biofisik dan sosial ekonomi
Tahap III
Analisis
Kesesuaian lahan
Kesenjangan, dan kendala produktivitas lahan
Ekonomi (kelayakan finansial)
Kebutuhan stakeholders
Keberlanjutan
Prospektif
Tahap IV
Skenario
Tahap V
Rekomendasi (Selesai)
Tahap VI
Gambar 5. Tahapan penelitian 4.5. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Variabel data yang dikumpulkan meliputi: tanah (biofisik, kimia, biologi), iklim (untuk melihat fenomena iklim secara umum di daerah penelitian), tanaman, sosial, ekonomi dan kelembagaan usahatani. Sumber dan teknik pengumpulan data secara rinci disajikan pada Tabel 5.
38
Tabel 5. Sumber dan teknik pengumpulan data No
Data
1.
2.
3.
Sumber data
Teknik pengumpulan data
Tanah (fisik, kimia, biologi), iklim (temperatur, curah hujan, kelembaban udara, intensitas hujan, kecepatan angin dan zona agroklimat), fisiografi, topografi.
Primer
Pengamatan, pengukuran di lapang dan analisis tanah di laboratorium
Sekunder
Studi literatur, dokumentasi dan laporan dari dinas/instansi terkait
Keadaan budidaya tanaman (benih/bibit yang digunakan, jarak tanam, gejala defisiensi hara, pemeliharaan [pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pemangkasan], produktivitas, pascapanen)
Primer
- Wawancara (kuesioner) - Pengamatan lapangan
Sekunder
Laporan, dokumen, monografi
Sosial ekonomi (demografi, kepemilikan lahan, jumlah anggota keluarga, jumlah usia produktif, curahan tenaga kerja, penggunaan saprodi, peralatan pertanian, biaya hidup, produktivitas, harga saprodi, harga komoditas, pendapatan usahatani dan non usahatani, komponen usahatani, preferensi petani terhadap komoditas unggulan, dll).
Primer
- Wawancara (kuesioner) - Indepth interview - Diskusi
Sekunder
Laporan, dokumen, monografi
4.
Primer Kelembagaan (sumber penyediaan saprodi, jenis saprodi, sumber modal, besarnya modal yang diperlukan, sistem penanganan hasil, pemasaran hasil, ketersediaan informasi dan teknologi, pelayanan penyuluhan, penyediaan informasi dan teknologi)
- Wawancara (kuesioner) - In depth interview - Diskusi
5.
Potensi, permasalahan dan peluang peningkatan produktivitas lahan (ketersediaan SDM petani, dukungan pemerintah, partisipasi petani)
Primer
PRA (Participatory Rural Appraisal)
Data primer yang bersumber dari responden terpilih diperoleh berdasarkan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan dinas dan instansi terkait, serta
39
penelusuran literatur atau publikasi. Diskusi kelompok dilakukan untuk pengisian kuesioner dan menggali informasi dari stakeholders yang terkait dengan persepsi dan keinginan mereka untuk melakukan peningkatan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Responden yang menjadi populasi penelitian berasal dari penduduk setempat yang melakukan aktivitas usahatani. 4.5.1. Data sumberdaya lahan Pada kegiatan survei lapangan dilakukan pengamatan, pengambilan sampel tanah, pengumpulan data iklim dan produksi. Data tersebut meliputi: (i)
Data tanah adalah data lapangan dan analisis tanah di laboratorium. Data lapangan meliputi: bentuk lahan, lereng, batuan permukaan, bahaya banjir, bahaya erosi, drainase, kedalaman efektif, kemudahan pengolahan dan morfologi tanah. Data untuk analisis laboratorium yaitu pH tanah, tekstur, kandungan bahan organik, Kation-kation dapat ditukar (Na, K, Ca, Mg), Kapasitas Tukar Kation (KTK), P dan K total (terekstrak HCl 25%), P dan K tersedia, Kejenuhan Basa, adanya bahan sulfidik (Balittanah, 2004). Parameter dan metode analisis tanah selengkapnya tertera pada Tabel 6. Pengambilan contoh tanah dilakukan sesuai dengan teknik sampling. Lokasi pengambilan sampel tanah berdasarkan pada peta satuan lahan homogen yang dihasilkan dari overly peta. Pengambilan sampel tanah menggunakan stratified random sampling. Setiap satuan lahan pengamatan diambil contoh tanah komposit hingga kedalaman 60 cm (0 - 30 cm dan 30 60 cm) untuk analisa sifat fisik dan kimia tanah.
(ii)
Data iklim (data sekunder) diperlukan untuk mengetahui keadaan iklim secara umum. Data yang dikumpulkan antara lain: curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin.
4.5.2. Data tanaman Data dan informasi budidaya tanaman diperoleh melalui pengamatan lapangan (data primer) dan data sekunder antara lain meliputi: (i) benih atau bibit yang digunakan (bahan tanam, perlakuan dan pemeliharaan, jenis tanaman yang digunakan, asal benih/bibit; (ii) penanaman (jarak tanam, penyulaman, sistem tanam, pemupukan bibit, tanaman/pohon penaung, penanaman sesuai kontur);
40
(iii) pemeliharaan (gejala defisiensi hara, pemupukan, hama-penyakit dan cara pengendaliannya, pemangkasan (Wahyudi dan Rahardjo,2008); (iv) produktivitas hasil; dan (v) pascapanen. Tabel 6. Parameter dan metode analisis tanah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Parameter tanah (sifat fisik, kimia, biologi) Tekstur (3 fraksi) Bobot isi (g cm-3) Porositas (%) Kemantapan agregat (%) pH H2O N-total (%) P-total (%) K-total (%) P-tersedia (ppm) K-tersedia (cmol+ kg-1) Al-dd (cmol+ kg-1) KTK (cmol+ kg-1) Kejenuhan Basa (%) C-organik (%) C-microbial biomass (ppm)
Metode analisis Pipet Gravimetri Gravimetri Metode ayakan basah Gelas elektrode Kjeldahl HCl 25% HCl 25% Bray I Morgan Titrimetri, KCN 1N Ekstrak NH4OAc pH 7 Ekstrak NH4OAc pH 7 Walkey and Black Fumigasi ekstraksi
4.5.3. Data sosial, ekonomi dan kelembagaan Penentuan responden berdasarkan metode stratified random sampling. (Walpole, 1995). Responden dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian dan kontribusinya terhadap kegiatan pertanian. Pembagiannya meliputi petani, pedagang, tokoh masyarakat, penyuluh pertanian lapangan (PPL), masyarakat, aparat (desa dan kecamatan), lembaga penyedia modal, dan para pakar/ahli (pertanian, pengelolaan lahan, dan perencanaan/kebijakan). Stakeholders yang menjadi responden
meliputi: (a) masyarakat atau
petani kakao 77 orang, pedagang pengumpul 4 orang, penyuluh pertanian lapangan (PPL) 5 orang, tokoh masyarakat 2 orang, aparat pemerintah (desa dan kecamatan) 3 orang. Jumlah responden tersebut dipilih secara acak sederhana, yang jumlahnya ditetapkan secara proporsional (proporsional cluster random sampling); (b) kalangan pakar/ahli yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) berjumlah 6 orang. Responden dari kalangan ahli yang dipilih memiliki
41
kepakaran sesuai dengan bidang yang diteliti dengan kriteria: (i) mempunyai pengalaman sesuai dengan bidang yang diteliti, (ii) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya sesuai dengan bidang yang diteliti, serta (iii) memiliki kredibilitas tinggi dan bersedia sebagai responden. Data dan informasi dari para pakar dilakukan dengan wawancara secara mendalam (indepth interview), yang bersifat lebih teknis sesuai dengan pengalaman dan keahliannya. 4.5.4. Potensi, peluang dan permasalahan Diskusi kelompok dilakukan pada saat dilakukan Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan cara belajar dari dan dengan masyarakat untuk menemukan, menganalisis, mengevaluasi kendala dan peluang pengembangan pertanian di wilayah setempat. PRA dilaksanakan
dengan teknik wawancara
langsung dengan kelompok (focus group discussion) yang terdiri dari kelompok tani, tokoh masyarakat, PPL, aparat desa, dan stakeholders yang dilaksanakan di empat tempat. 4.6. Formulasi Rekomendasi Kebijakan Formulasi rekomendasi kebijakan untuk menyusun model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan skenario rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. 4.7. Analisis Data Analisis data meliputi: (a) analisis kesesuaian lahan, (b) analisis kesenjangan produktivitas lahan, (c) analisis kendala produktivitas lahan, (d) analisis ekonomi [kelayakan finansial], (e) analisis keberlanjutan, (f) analisis kebutuhan stakeholders, dan (g) analisis prospektif. Analisis yang dilakukan dan keterkaitannya dengan tujuan dan keluaran yang diharapkan secara rinci tertera pada Tabel 7.
42
Analisis kesesuaian lahan Analisis kesesuaian lahan disusun untuk mendapatkan kesesuaian penggunaan lahan tanaman kakao melalui pendekatan sistem matching atau kecocokan
antara
kualitas
dan
sifat-sifat
tanah
(land
qualities/land
characteristics) dengan kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman kakao (Djaenudin et al., 2000). Analisis kesenjangan Analisis kesenjangan (gap analysis) bertujuan mengetahui kesenjangan antara produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat kondisi saat ini (eksisting) dengan produktivitas lahan yang diharapkan (optimal). Hasil analisis kesenjangan digunakan untuk mengidentifikasi kendala dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tarmizi et al. (2006), bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal pada perkebunan kelapa sawit dibutuhkan praktek pengelolaan tanah yang baik berdasarkan kesenjangan antara produktivitas hasil eksisting dan yang diharapkan. Analisis kendala Analisis ini dilakukan terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik, dengan menggunakan metode ISM (Eriyatno dan Sofyar, 2007; Marimin, 2004). Data dan informasi yang dikumpulkan adalah: (a) informasi pengelolaan lahan secara umum, antara lain luas kepemilikan lahan, lokasi, jenis pengelolaan lahan, status kepemilikan, kemiringan lahan, dan sistem pertanaman, (b) Local Ecological Knowledge (LEK) dalam menerapkan teknik budidaya dan pengelolaan lahan, pengetahuan dan pengalaman petani dalam mengelola lahan untuk budidaya tanaman, (c) jenis komoditas yang diusahakan (tanaman semusim, tahunan dan ternak), (d) program pembangunan pertanian di kawasan perbatasan, (e) potensi dan kendala pengembangan komoditas unggulan pertanian dari berbagai dimensi atau aspek keberlanjutan, serta (f) jumlah dan jenis lembaga yang ada, serta aktivitasnya.
43
Tabel 7. Keterkaitan antara tujuan penelitian, kegiatan, data yang diperlukan, analisis data, dan keluaran yang diharapkan. No
Tujuan
Kegiatan
Sumber Data
Analisis Data
1.
Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan untuk tanaman kakao
2.
Komponen-komponen peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan
Survei lapangan
Sampel tanah, topografi, hidrologi, vegetasi dan iklim Informasi pengelolaan lahan secara umum, jenis komoditas yang diusahakan Biofisik dan sosial ekonomi kawasan perbatasan Pulau Sebatik
Analisis tanah Evaluasi kesesuaian lahan
Identifikasi responden
Analisis kendala
Analisis ekonomi
3.
Rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan
Responden stakeholders di lokasi penelitian Responden pakar/ahli Informasi pengelolaan lahan untuk perkebunan kakao rakyat Kelembagaan (jumlah, jenis, aktivitas)
Analisis laboratorium Evaluasi lahan, Automated Land Evaluation System (ALES).
Keluaran Yang Diharapkan Sifat fisik, kimia dan biologi tanah Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao
Deskriptif Analisis kesenjangan (gap analysis) FGD
Data sumberdaya lahan Produktivitas lahan kondisi eksisting dan yang diharapkan Variabel-variabel kunci peningkatan produktivitas lahan
Kendala, kebutuhan dan lembaga yang terlibat Kelembagaan usahatani yang diperlukan Tingkat kelayakan usahatani kakao
ISM
Skala usahatani, pengeluaran biaya usahatani, perkembangan tingkat harga komoditi, suku bunga Bank, besarnya PBB (pajak bumi dan bangunan) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
Analisis kebutuhan stakeholders
Sosial ekonomi dan stakeholders
Prospektif
Faktor-faktor kunci
Rancangan rekomendasi kebijakan
Data-data analisis setiap sub kegiatan Hasil alternatif rancangan rekomendasi kebijakan
Gabungan analisis antar sub analisis kegiatan
Pilihan skenario rekomendasi kebijakan
Analisis keberlanjutan
B/C ratio, NVP (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), kebutuhan hidup layak RAP-COCOA SEBATIK (MDS)
Indeks dan status keberlanjutan
44
Analisis ekonomi Analisis ekonomi dilakukan untuk menghitung B/C-ratio, nilai tunai bersih (Net Present Value), Internal Rate of Return (IRR). Data yang diperlukan antara lain skala penggunaan lahan, pengeluaran biaya produksi, luas kawasan budidaya, perkembangan tingkat harga komoditas, kredit usahatani dan suku bunga bank, dll. Data kondisi sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara terstruktur terhadap responden yang dipilih secara acak dengan menggunakan bantuan kuesioner. Analisis keberlanjutan Metode analisis yang digunakan adalah Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on SEBATIK Island), merupakan modifikasi dari
RAPFISH (Rapid
Appraisal
Technique for Fisheries) yang digunakan oleh University of British Columbia, Canada. Metode ini digunakan untuk menilai indeks dan status keberlanjutan serta untuk mengindentifikasi atribut-atribut yang paling sensitif dari masing-masing dimensi keberlanjutan melalui leverage analysis. Teknik ordinasi RAP-COCOA SEBATIK dengan metode MDS dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) penentuan atribut pada setiap dimensi keberlanjutan dan mendefinisikannya melalui kajian pustaka dan pengamatan lapangan. Bagan proses aplikasi RAPCOCOA SEBATIK selengkapnya tertera pada Gambar 6. Penelitian ini mencakup 62 atribut pada 6 dimensi yang dianalisis, yaitu 13 atribut dimensi ekologi, 9 atribut dimensi ekonomi, 13 atribut dimensi sosial budaya, 9 atribut dimensi infrastruktur dan teknologi, 9 atribut dimensi hukum dan kelembagaan, serta 9 atribut dimensi pertahanan dan keamanan; (2) penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (skoring) berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan pendapat para pakar; (3) analisis ordinasi untuk menentukan posisi status keberlanjutan pada setiap dimensi dalam skala indeks keberlanjutan; (4) menilai indeks dan status keberlanjutan pada setiap dimensi; (5) melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) untuk menentukan peubah yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan, dan; (6) analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan dimensi ketidakpastian (Kavanagh, 2001; Pitcher dan David, 2001). Skala indeks keberlanjutan sistem yang dikaji mempunyai selang 0 - 100 persen, seperti tertera pada Tabel 8.
45
Tabel 8. Kategori indeks status keberlanjutan perkebunan kakao rakyat Nilai indeks
Kategori
0,00 - 25,00 25,01 - 50,00 50,01 - 75, 00 75,01 - 100,00
Buruk (tidak berkelanjutan) Kurang (kurang berkelanjutan) Cukup (cukup berkelanjutan) Baik (berkelanjutan)
Pada analisis dengan menggunakan MDS juga dilakukan analisis leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai stress dan koefisien determinasi (R2). Analisis leverage dilakukan untuk mengetahui atribut yang sensitif dan intervensi yang perlu dilakukan. Atribut yang sensitif diperoleh berdasarkan hasil analisis leverage yang terlihat pada perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan RMS, maka semakin sensitif peranan atribut tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan.
Start
Review atribut (berbagai kategori dan skoring kriteria)
Identifikasi dan pendefinisian produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat (didasarkan kriteria yang konsisten)
Penilaian skor setiap atribut
Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Analisis Monte Carlo (analisis ketidakpastian)
Analisis Leverage (analisis anomali)
Analisis keberlanjutan (sustainability assessment)
Gambar 6. Bagan proses aplikasi RAP-COCOA SEBATIK (dimodifikasi dari Alder et al. (2000); Fauzi dan Anna (2005)
46
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Nilai indeks Monte Carlo ini dibandingkan dengan indeks MDS. Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan atribut, dan mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan keadaan yang sebenarnya. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan 2 titik yang berdekatan terhadap titik asal ordinasi. Penentuan jarak dalam MDS berdasarkan pada Euclidian Distance (Fauzi dan Anna, 2005). Dalam ruang berdimensi n persamaannya adalah:
d=
(x − x 1
2 2
2
2
)
+ y1 − y2 + z1 − z 2 + ...
.............................. (4)
Ordinasi dari obyek atau titik kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij). dij = α + βδij + ε ..................................................................... (5)
Untuk meregresikan persamaan di atas, digunakan metode least squared bergantian berdasarkan akar Euclidian Distance (square distance) atau disebut dengan metode ALSCAL (Fauzi dan Anna, 2005). Metode ini mengoptimalkan jarak kuadrat (squared distance=dijk) terhadap data kuadrat (titik asal=Oijk). Dalam tiga dimensi (i,j,k) disebut S-Stress, sesuai dengan persamaan: ∑∑ d 2 − o 2 ijk i j ijk 1 m ∑ 4 k =1 ∑∑ o ijk i j
(
m
S=
) 2
................................................ (6)
Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian, sesuai dengan persamaan:
d
2 ijk
= ∑ wka
2
(x − x ) .......................................................... (7) ia
ja
Goodness of fit dalam MDS mengukur ketepatan konfigurasi dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit mencerminkan besaran nilai S-Stress dari R2. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good fit, sedangkan nilai S-Stress yang tinggi menunjukkan sebaliknya (Fauzi dan Anna, 2005; Malhotra, 2006). Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), model yang baik
47
(hasil analisis cukup baik) jika nilai S-stress kurang dari 0,25 (S < 0,25), dan R2 mendekati 1 (100%). Melalui
metode
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan metode rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable), dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50%. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 7.
Buruk 0%
Baik 100%
Gambar 7. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan dalam skala ordinasi pada dua titik ekstrim buruk (0%) dan baik (100%) Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 8. Ekologi 100 80 Hankam
60
Ekonomi
40 20 0
Hukum dan Kelembagaan
Sosial Budaya
Infrastruktur & Teknologi
Gambar 8. Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan
48
Hasil analisis tersebut diperoleh pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data yang hilang dan tingginya nilai stress. Nilai stress dapat diterima jika nilainya < 25% (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Untuk mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi digunakan analisis Monte Carlo, yaitu metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari random error pada proses pendugaan, serta untuk mengestimasi nilai yang sebenarnya.
Analisis kebutuhan stakeholders Analisis kebutuhan dilakukan untuk memperoleh komponen-komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan dari semua stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders, selanjutnya diperkirakan kebutuhan setiap stakeholders.
Analisis prospektif Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik pada masa yang akan datang, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Analisis prospektif bertujuan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1) mengindentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan, strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan dan menentukan strategi secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya yang ada. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis prospektif ini dilakukan dengan menggabungkan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh terhadap kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan dan faktor kunci yang diperoleh dari
49
analisis kebutuhan (need analysis). Selanjutnya hasil penggabungan faktor kunci disusun keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tahapan analisis prospektif menurut Bourgeois (2007) yaitu (a) menerangkan tujuan, (b) melakukan identifikasi kriteria, (c) mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan, (d) analisis pengaruh antar faktor, (e) merumuskan kondisi faktor, (f) membangun dan memilih skenario, serta (g) implikasi skenario. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar dengan menggunakan pedoman analisis prospektif, seperti tertera pada Tabel 9. Pengaruh antar faktor diisi sesuai dengan pedoman analisis prospektif adalah sebagai berikut: 1. Jika faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya diberi nilai 0. 2. Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya diberi nilai 3. 3. Jika tidak, baru dilihat apakah pengaruhnya kecil = 1, atau pengaruhnya sedang = 2. Tabel 9. Pedoman penilaian analisis prospektif Skor 0 1 2 3
Keterangan Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat
Sumber: Hardjomidjojo (2006)
Selanjutnya pengaruh antar faktor disusun menggunakan matrik seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh antar faktor peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik Dari ↓ Terhadap A B C D E ...
A
Sumber: Bourgeois (2007)
B
C
D
E
...
50
Untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen-elemen kunci di masa depan dari berbagai faktor atau elemen-elemen yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat. Cara menentukan elemen kunci tertera pada Gambar 9.
Faktor penentu INPUT
Faktor penghubung STAKE
Faktor bebas UNUSED
Faktor terikat OUTPUT
Gambar 9. Penentuan elemen kunci peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat (Bourgeouis dan Jesus, 2004; Hardjomidjojo, 2006; Bourgeois, 2007)
Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem, maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai alternatif menyusun skenario. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi di masa depan pada peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik Faktor 1 2 3 ... n
Keadaan yang mungkin terjadi 1A 2A 3A
1B 2B 3B
1C 2C 3C
nA
nB
nC
51
Selanjutnya berdasarkan hasil dari Tabel 11 dibangun skenario rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat, dengan beberapa kemungkinan skenario di masa depan seperti disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik Skenario 1
2 3
Uraian
Urutan Faktor
Bertahan pada kondisi seperti saat ini, dengan perbaikan terbatas Melakukan perbaikan, tetapi tidak maksimal Melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu
.................................................
................................................. .................................................
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keragaan Pertanian 5.1.1. Usaha Tani Kakao Rakyat Berdasarkan kondisi lahan, keragaan tanaman dan produktivitas hasil dari beberapa lokasi penelitian dapat diketahui bahwa faktor pembatas produktivitas lahan antara lain adalah bahaya erosi dan retensi unsur hara. Erosi menjadi faktor pembatas, karena lahan yang diusahakan untuk pengembangan tanaman kakao umumnya tidak atau kurang menerapkan tindakan konservasi (tidak membuat teras, tidak ada tanaman penutup tanah). Meskipun serasah tanaman digunakan untuk menutup tanah namun tidak dilakukan secara baik (ada yang tertutup dan tidak), sehingga akan mengakibatkan hara tanah di lapisan atas mudah terbawa ke bagian bawah. Luas lahan yang digunakan untuk usahatani di Pulau Sebatik berkisar antara 2 – 5 ha KK-1, merupakan kebun milik sendiri dan umumnya diusahakan untuk perkebunan kakao, dan tanaman lainnya seperti lada, kopi, kelapa, pisang, dan mangga. Sebagian besar petani berusahatani kakao dengan luas lahan garapan rata-rata sekitar 2 - 3 ha. Umur rata-rata tanaman kakao di Pulau Sebatik umumnya lebih dari 20 tahun, sehingga tanpa pemeliharaan yang optimal produktivitas hasilnya akan semakin menurun. Produktivitas hasil kakao di Pulau Sebatik cenderung menurun, dengan produktivitas hasil kondisi eksisting dalam bentuk biji berkisar antara 500 - 900 kg ha-1 th-1. Produktivitas hasil kakao tersebut di bawah potensi produksi yang diharapkan, yaitu 1.250-1.550 kg ha-1 th-1 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Relatif rendahnya produktivitas hasil kakao rakyat dari kawasan ini antara lain disebabkan oleh penggunaan bahan tanam asalan (kurang baik), umur tanaman yang sudah tua (> 20 tahun), penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah atau belum optimal, dan serangan hama penyakit (terutama penggerek buah kakao dan busuk buah). Pekebun kakao di Pulau Sebatik ini sebelumnya adalah sebagai tenaga kebun kakao di Sabah-Malaysia (15 - 30 tahun yang lalu). Pengalaman mereka bekerja di Malaysia adalah yang diterapkan untuk pengembangan kakao di Pulau Sebatik, mulai dari persiapan lahan hingga pascapanen. Dalam hal mutu hasil, komoditas perkebunan ini umumnya masih di bawah standar yang ditetapkan.
54
Secara umum karakteristik dan penerapan teknologi usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik dan penerapan teknologi usahatani kakao di Pulau Sebatik No
Uraian
Keterangan
1.
Luas lahan untuk kakao (ha)
2-3 ha
2.
Umur tanaman (th)
Rata-rata > 20 tahun
3.
Teknologi budidaya dan pascapanen
Belum optimal
4.
Jenis kakao dan asal bibit
Hasil sambung samping (klon 23, 25 dan 28) dari Sabah (Malaysia)
5.
Penggunaan saprodi dan tenaga kerja (input)
Pemupukan jarang dilakukan (saat ini) karena harga mahal dan sulit diperoleh
- Urea (kg ha-1 th-1)
374
-1
-1
- SP-36 (kg ha th ) -1
167
-1
- KCl (kg ha th ) -1
22
-1
- NPK (kg ha th )
-1
-1
- Pupuk organik (kg ha th ) -1
-1
-
- Pestisida (l ha th )
3
- Tenaga kerja (HOK)
80 (umumnya tenaga kerja keluarga)
6.
Frekuensi pemangkasan (rata-rata)
1 kali setahun (tidak tentu)
7.
Kualitas hasil biji kakao
Kurang, dan tidak difermentasi
8.
Pertemuan kelompok tani
Ada dan belum optimal
9.
Keaktifan anggota kelompok
Cukup
10.
Kegiatan penyuluhan pertanian
Ada dan belum optimal
Sumber: data primer (survei lapangan)
Bibit kakao yang digunakan umumnya berasal dari Malaysia, demikian juga teknologi yang digunakan untuk pengembangan tanaman kakao. Tanaman kakao yang banyak dikembangkan oleh masyarakat (menurut istilah mereka) adalah varietas/klon/galur 23, 25 dan 28 yang ditanam sejak tahun 1970-an. Varietas 23 ukuran buahnya relatif kecil dibandingkan dengan varietas 25 dan 28, dan relatif lebih sedikit dikembangkan karena produktivitasnya relatif rendah serta kurang tahan terhadap hama dan penyakit. Sebagai batang bawah mereka juga menggunakan varietas/klon/galur yang berasal dari Malaysia. Untuk pemeliharaan tanaman kakao, umumnya petani di Pulau Sebatik ini masih belum optimal dalam hal melakukan pemangkasan, pemupukan dan
55
pemberantasan hama penyakit. Pemangkasan tidak optimal dan rata-rata hanya dilakukan sekali dalam setahun (tidak dilakukan secara teratur). Pemupukan biasanya dilakukan setelah tanaman menghasilkan atau berbuah. Umumnya setelah tanaman berumur sekitar 3 tahun, kakao mulai berbunga atau berbuah dan pada saat setelah berbuah petani melakukan pemupukan. Pupuk yang digunakan oleh petani kakao di wilayah ini adalah NPK, Urea, dan pupuk dari Malaysia (Sebatian Biru, Baja Sebatian, Nitrophoska). Cara pemupukan adalah dengan cara ditabur di atas tanah dan tanpa dibuat parit. Pemupukan dilakukan setelah panen raya (besar) yaitu pada bulan April - Mei. Hama dan penyakit yang sering muncul dan merugikan petani adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penghisap buah (Helopeltis sp.). Cara penanggulangannya adalah dengan menggunakan plastik (sarungisasi atau kondomisasi). Untuk tanaman kakao yang terserang penggerek buah, petani telah menerapkan pencegahan terhadap serangan hama tersebut dengan melakukan pembungkusan buah sejak buah masih kecil. Hama penghisap buah ini cukup merugikan petani hampir di seluruh wilayah survei, terutama pada wilayah yang pemeliharaannya kurang baik. Panen dilakukan jika buah sudah masak. Biasanya buah dikumpulkan di kebun, diangkut, dipecah dan biji diperam selama 2-3 hari, kemudian dijemur. Sebagian petani di beberapa wilayah tidak melakukan pemeraman atau fermentasi, dan langsung dijemur. Harga jual kakao antara diperam dan tidak diperam relatif sama atau tidak ada perbedaan. Pemasaran hasil panen kakao (biji kakao) dijual di pedagang pengumpul di wilayah mereka (Aji kuning atau Tanjung aru), atau melalui pedagang pengumpul di wilayahnya. Harga jual kakao berfluktuasi dan ditentukan oleh pedagang pengumpul atau pedagang besar di Tanjung aru atau di Aji kuning. Harga di tingkat petani saat ini berkisar antara 5 - 8 ringgit (1 ringgit Malaysia = Rp2.800). Posisi tawar petani dan pedagang di kawasan ini sangat lemah dan diatur oleh pedagang kakao di Tawau Malaysia. Harga kakao pada masa sekarang ini (menurut petani kakao) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
56
5.1.2. Kelembagaan Pertanian Di Pulau Sebatik terdapat dua Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), yaitu di Sebatik dan Sebatik Barat. Masing-masing BPP ini mempunyai wilayah kerja masing-masing sesuai dengan pembagian wilayah administratif di kawasan tersebut. Setiap BPP mempunyai beberapa PPL (penyuluh pertanian lapangan), sebagai petugas lapangan pada kelompok tani di wilayah binaannya masing-masing. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pertemuan kelompok di masing-masing BPP ada yang dilakukan secara rutin dan ada yang tidak melakukan. Pertemuan rutin kelompok biasanya dihadiri oleh PPL, diikuti oleh pengurus dan anggota kelompok tani. Pada pertemuan tersebut selain membicarakan masalah pertanian juga dibahas masalah lain yang berkaitan dengan usahatani mereka. Pada masing-masing BPP setiap tahun disusun Programa Penyuluhan Pertanian, yang diperlukan untuk memberi arah, pedoman dan sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan. Programa tersebut disusun melalui serangkaian pertemuan yang dikoordinasikan oleh penyuluh pertanian di tingkat desa bersama gabungan kelompok tani, kelompok tani dan perangkat desa setempat. Di Desa Aji kuning, Kecamatan Sebatik Barat sudah ada Sub Terminal Agribisnis (STA) Mekar Sari. Jumlah anggota STA Mekar Sari ini sebanyak 370 orang, terdiri atas petani yang terdaftar dalam keanggotaan kelompok tani. Keberadaan stasiun agribisnis ini adalah dalam upaya untuk menampung hasil panen pertanian dari masyarakat sekitarnya, terutama hasil panen kakao. Harga jual kakao dari petani ditentukan oleh pedagang pengumpul (STA Mekar Sari) sesuai dengan kualitas produk hasil panen. Produk pertanian dari para petani di sekitarnya selanjutnya dijual ke pedagang kakao Tawau (di Malaysia). Sebelum tahun 2007 (sebelum STA dibangun) telah terjalin transaksi perdagangan antara pedagang setempat dengan pedagang Tawau. STA Mekar Sari ini melayani anggotanya dengan sistem pembayaran tunai atau kredit. Dengan sistem kredit petani mengambil pinjaman dalam bentuk barang atau kebutuhan lain dan pembayarannya dilakukan setelah panen dengan uang hasil penjualan kakao.
57
Kapasitas pemasaran produk pertanian dari STA Mekar Sari pada saat musim panen adalah sebagai berikut: (a) kakao per harinya 10 ton atau 300 ton per bulan, di luar musim panen 2 - 3 ton per hari atau 75 ton per bulan; (b) pisang 5 - 8 ton per hari atau 180 ton per bulan, mangga 2 ton per hari atau 50 ton per bulan, durian 3 - 5 ton per hari atau 100 ton per bulan, rambutan 2 - 4 ton per hari atau 90 ton per bulan, dan cempedak 1 - 2 ton per hari.
5.1.3. Kendala Umum Pengembangan Kakao Rakyat Lahan di Pulau Sebatik umumnya sesuai untuk pengembangan tanaman kakao. Pada lahan dengan kemiringan > 15% dominan diusahakan untuk pengembangan kakao tanpa adanya teras, pembuatan guludan dan tanpa tanaman penutup tanah. Umumnya kakao yang ditanam di kawasan ini berasal dari Malaysia (jenis 23, 25 atau 28), biasanya dibeli dari perkebunan kakao di Malaysia. Jenis 23 berbuah sepanjang tahun, tetapi ukuran buahnya relatif kecil, sedangkan jenis 25 buahnya relatif sedikit tetapi ukuran buahnya relatif lebih besar dan biasanya ditanam di lahan miring. Pemeliharaan tanaman kakao hingga saat ini relatif kurang diperhatikan karena produktivitas hasil kakao cenderung menurun yang diakibatkan oleh takaran penggunaan pupuk terbatas, harga pupuk mahal dan sulit diperoleh. Pupuk dari Malaysia relatif mudah diperoleh, namun harganya relatif lebih mahal. Jika satu karung pupuk (20 kg) di Indonesia (bersubsidi) harganya sekitar Rp 65.000 maka harga pupuk di Malaysia mencapai lebih dari Rp 400.000. Pengendalian hama penyakit juga kurang diperhatikan, karena penyuluhan dan pelatihan pemberantasan hama dan penyakit jarang dilakukan oleh petugas. Petani kakao di kawasan ini umumnya mengetahui cara budidaya kakao dari pengalaman mereka pada saat bekerja di Malaysia. Setelah buah masak, biasanya buah kakao langsung dipecah, diperam 2 - 3 hari lalu dijemur. Bahkan kadang-kadang tidak diperam, dan langsung dijemur untuk segera dapat dijual. Pemeraman atau fermentasi jarang dilakukan oleh petani karena tidak ada perbedaan harga yang signifikan antara kakao yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi.
58
Mayoritas petani kakao di Pulau Sebatik mengakui bahwa tanaman kakao mereka sudah tua (> 20 tahun), sehingga produktivitas hasilnya relatif rendah dan mudah terserang oleh hama dan penyakit. Sebagian kecil petani telah melakukan peremajaan dengan cara sambung samping (side grafting), dan produktivitas hasilnya masih dapat dipertahankan atau relatif cukup tinggi. Biasanya dengan cara disambung, setelah umur 1,5 tahun tanaman tersebut mulai berbuah. 5.2. Sifat dan Kualitas Tanah Kualitas tanah tidak dapat diukur dan bersifat komplek. Namun demikian kualitas tanah dapat diduga dengan menggunakan parameter atau sifat-sifat tanah yang digunakan sebagai indikator kualitas tanah (Acton dan Padbury dalam Islami dan Weil, 2000). Beberapa data yang dapat digunakan untuk menilai kualitas tanah adalah sifat fisik, kimia dan bilogi tanah (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994). Sifat fisik tanah Sifat fisik tanah di Pulau Sebatik berdasarkan hasil analisis contoh tanah di laboratorium tertera pada Tabel 14. Sifat fisik tanah berhubungan erat dengan pengelolaan tanah, penyediaan udara dan air tanah, perkembangan akar, dan daya menahan air. Tanah di lokasi penelitian umumnya bertekstur lempung berpasir sampai lempung berliat. Bobot isi tanah sekitar 1,37 g cm-3 (kedalaman 1-15 cm), 1,45 g cm-3 (kedalaman 15-40 cm) dan 1,47 g cm-3 (kedalaman 40 – 75 cm). Pori drainase cepat atau pori aerasi tergolong rendah, baik di lapisan atas maupun bawah (10,17 – 7,77%). Permeabilitas tanah tergolong lambat (di lapisan atas) dan sedang di kedalaman 15-75 cm (3-84-5,00%). Berdasarkan hasil analisis data tekstur tanah dapat diketahui bahwa tanah di kawasan tersebut mempunyai drainase cukup baik. Bobot isi (BD) tanah bertambah tinggi pada lapisan tanah yang lebih dalam, dan sebaliknya untuk aerasi tanah. Menurut Karlen et al.(1999) bobot isi merupakan quite variable dan dapat dimasukkan dalam evaluasi kualitas tanah. Selain sebagai parameter sifat fisik, bobot isi juga akan mengkonversi data konsentrasi ke unit volumentric yang lebih relevan.
59
Tabel 14. Sifat fisik tanah perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik Kedalaman dan kelas kesesuaian lahan
Parameter Pasir (%)
0-15 cm
16-40 cm
41-75 cm
S2
S3
S2
S3
S2
S3
34,67
28,67
29,33
24,33
24,83
20,00
Debu (%)
43,67
41,67
40,83
42,00
39,83
38,00
Liat (%)
21,67
29,67
29,83
33,67
35,33
42,00
BD (g cm-3)
1,37
1,48
1,45
1,48
1,47
1,49
Total pori (%)
46,92
42,03
44,82
43,32
43,01
43,93
Pori drainase cepat (%)
10,17
6,51
8,36
7,13
6,77
5,71
Pori drainase lambat (%) Pori air tersedia (%) Permeabilitas (cm jam-1) Agregat (%) Stabilitas agregat
4,59
5,29
3,70
2,72
3,72
3,24
17,74
23,43
15,57
22,64
14,91
24,10
0,63
0,45
3,84
0,24
5,00
0,24
65,00
34,50
65,80
37,70
-
-
186,00
95,70
183,60
60,20
-
-
Sumber: data primer (survei lapangan)
Berdasarkan hasil analisis kondisi sifat fisik, maka tanah di kawasan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik tersebut perlu diperbaiki agar dapat mendukung produktivitas hasil kakao yang optimal. Oleh karena itu penambahan hara melalui pemberian bahan organik atau cover crops untuk budidaya kakao di kawasan tersebut sangat perlu dan akan membantu memperbaiki sifat fisik tanah serta meningkatkan produktivitas hasil kakao. Permeabilitas tanah yang cenderung meningkat (cepat) pada lapisan yang lebih dalam menunjukkan bahwa peredaran udara dalam tanah cukup baik, sehingga laju erosi akibat aliran permukaan dapat berkurang karena laju infiltrasi tanah cukup baik. Stabilitas agregat di lokasi penelitian cukup mantap, baik pada lapisan atas maupun bawah. Stabilitas agregat dalam air (water stable aggregate) atau distribusi ukuran agregat direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah lapisan permukaan (surface soil quality) (Dariah, 2001). Stabilitas agregat merupakan sifat penting tanah karena faktor ini mempengaruhi banyak fungsi tanah dan juga dapat merefleksikan keterkaitan sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al., 1999; Islam dan Weil, 2000). Kemampuan agregat tanah untuk tidak pecah atau hancur bila basah oleh air (aggregate stability) sangat penting dalam hubungannya dengan daya simpan lengas, permeabilitas, dan aerasi tanah. Ukuran agregat tanah yang terbentuk berkaitan erat dengan kerentanan (susceptibility) terhadap transportasi oleh air dan atau angin yang lazim disebut
60
erosi. Ukuran agregat juga berhubungan erat dengan jumlah pori-pori yang terbentuk oleh proses agregasi (Bambang et al., 1998). Sifat kimia tanah Kemasaman tanah (pH) tanah di lokasi penelitian agak masam dan berkisar antara 4,82 - 4,97. Kandungan bahan organik rendah (1,08%) pada lapisan atas dan semakin menurun kandungannya pada lapisan yang lebih dalam. Kandungan N, P, K dan KTK tanah tergolong rendah, sedangkan kejenuhan basa (KB) tergolong sedang. Basa-basa dapat dipertukarkan (Ca, Mg, K dan Na) tergolong rendah yang disebabkan oleh bahan induk pembentuk tanah miskin bahan lapukan dan juga akibat curah hujan di lokasi penelitian yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya pencucian basa-basa. Data hasil analisis tanah selengkapnya tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil analisis sifat kimia tanah di Pulau Sebatik Parameter
Satuan
0-15 cm S2 S3
pH - H2O - KCl Bahan organik - C (Walkley & % Black - N (Kjeldalh) % - C/N P2O5 (HCl 25%) mg 100g-1 K2O5 (HCl 25%) mg 100g-1 P2O5 (Bray 1) ppm K2O (Morgan) ppm Nilai tukar kation (NH4-Acetat 1N, pH 7) - Ca cmol (+) kg-1 - Mg cmol (+) kg-1 -K cmol (+) kg-1 - Na cmol (+) kg-1 Jumlah cmol (+) kg-1 KTK KB Al 3+ (KCl 1N) H+ (KCl 1N)
cmol (+) kg-1 % cmol (+) kg-1 cmol (+) kg-1
Kedalaman dan kelas kesesuaian lahan 15-40 40-75 S2 S3 S2 S3
>75 S2
S3
5,07 4,33
4,87 3,90
4,73 3,87
4,93 3,77
5,07 3,17
4,57 3,83
5,30 3,90
4,60 3,80
1,19
0,96
0,55
0,58
0,29
0,31
0,28
0,65
0,09 13,00 11,17 13,17 3,43 56,33
0,07 13,39 10,33 10,67 2,87 39,00
0,04 12,00 10,17 11,83 2,15 63,83
0,05 12,22 8,67 11,63 1,47 58,33
0,03 11,00 9,67 14,67 2,85 68,00
0,03 11,67 9,33 14,33 3,00 59,33
0,02 12,00 13,20 14,20 4,42 68,00
0,05 12,90 6,00 7,00 3,07 36,00
2,58 3,32 0,13 0,09 5,24
1,96 2,88 0,07 0,06 5,59
1,63 3,00 0,12 0,09 4,91
1,78 3,99 0,11 0,14 6,00
1,80 3,13 0,12 0,24 5,29
2,39 4,45 0,11 0,26 7,20
1,65 3,09 0,13 0,25 5,51
1,37 1,78 0,10 0,07 3,29
9,48 56,67 1,38 0,19
8,75 61,00 1,54 0,17
10,41 48,83 2,70 0,29
8,17 57,33 3,55 0,33
10,88 50,67 2,72 0,31
8,40 65,33 3,59 0,27
10,50 47,80 2,66 0,27
7,94 40,67 3,05 0,23
Sumber: data primer (survei lapangan)
61
Berdasarkan hasil analisis data sifat kimia menunjukkan bahwa kondisi kesuburan tanah (kandungan hara tanah) relatif rendah dan belum mampu mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal, sehingga produktivitas hasil kakao di kawasan ini relatif rendah. Oleh karena itu penambahan hara melalui pemupukan dan penambahan bahan organik diperlukan untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah, agar dapat mendukung peningkatan produktivitas hasil kakao. Saat ini pemupukan yang dilakukan oleh petani belum mampu meningkatkan produktivitas hasil karena takaran pupuk relatif rendah (kurang sesuai dengan kebutuhan tanaman) dan jarang dilakukan. Sifat biologi tanah Evaluasi terhadap kualitas tanah umumnya lebih difokuskan pada sifat fisik dan kimia tanah, karena metodenya lebih sederhana (Larson dan Pierce, 1991). Padahal sifat biologi dan biokimia tanah dapat lebih cepat sebagai indikator yang sensitif terhadap perubahan agroekosistem atau produktivitas tanah (Kenedy dan Pependick, 1995). Menurut Paul dan Clark (1989) mikroorganisme tanah merupakan faktor penting dalam ekosistem tanah, karena berpengaruh terhadap siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas agregat tanah. Tiga parameter yang cukup baik untuk digunakan sebagai indeks kualitas tanah menurut hasil penelitian Islam dan Weil (2000) adalah CTMB (Total Microbial Biomass Carbon), CAMB (Active Microbial Biomass Carbon) dan qCO2 (Specifik Respiration Quotien). Menurut Karlen et al. (1999) pengukuran microbial biomass C (Cmic) dapat mendeteksi perbedaan atau perubahan karbon aktif yang disebabkan oleh variasi praktek pengelolaan lahan. Hasil penelitian Dariah (2001) menunjukkan bahwa Cmic memberikan respon yang lebih cepat terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan dibandingkan dengan C-total. Cmic merupakan indikator kualitas tanah yang lebih peka dibandingkan dengan sifat kimia dan sifat fisik tanah, sehingga parameter ini banyak dianjurkan sebagai indikator terjadinya perubahan kualitas lahan akibat tipe penggunaan lahan (landuse), konversi lahan, pola tanam (cropping pattern) maupun pengelolaan tanah (soil management) (Anderson dan Domsch, 1989; Henrot dan Robertson,
62
1994; Mendes et al., 1999; Karlen et al., 1999). Cmic sebagai tolok ukur ciri mikrobiologi tanah mempunyai korelasi yang besar dengan sifat biologi tanah lainnya, sehingga dapat digunakan untuk menilai perubahan sifat tanah secara umum (Franzluebbers et al., 1995). Perubahan Cmic (microbial biomass C) dapat menunjukkan pengaruh dari praktek pengelolaan terhadap sifat biologi dan kimia tanah (Powlson et al., 1987; Carter, 1991; Wang et al., 2009) Hasil analisis sifat biologi contoh tanah dari Pulau Sebatik selengkapnya tertera pada Tabel 16. Pada Tabel tersebut ditunjukkan bahwa tipe penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap microbial biomass C (Cmic). Pada lahan hutan mempunyai kandungan Cmic paling tinggi, kemudian berturut-turut Cmic kebun campuran, kakao dewasa dan kakao muda. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa Cmic merupakan indikator kualitas tanah yang lebih peka dibandingkan sifat kimia dan fisik tanah lainnya, sehingga parameter ini sering digunakan untuk menilai terjadinya perubahan kualitas tanah terutama yang berkaitan dengan pengaruh tipe penggunaan lahan (landuse), konversi lahan atau pengelolaan tanah (soil management) (Anderson dan Domch, 1989; Mendes et al., 1999; Karlen et al., 1999). Tabel 16. Hasil analisis Cmic, C-organik, dan nisbah Cmic / C-organik tanah di Pulau Sebatik Uraian penggunaan lahan Hutan Kebun campuran Kakao dewasa (>15 th) Kakao muda (<4 th)
Parameter dan kelas kesesuaian lahan C-organik (%) C-mic/C-org C-mic (ppm) S3 S2 S3 S2 S3 S2 378,25 a 1,64 a 1,14a 230,64 331,80 378,25 a 343,19 a 1,14 a 1,10a 313,37 311,99 357,24 a 342,19 a 305,54 a 1,20 a 1,10a 285,16 277,76 167,78 b 131,80 b 0,84 b 0,60b 195,09 219,67
Pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kadar Corganik tanah pada lahan hutan, kebun campuran, kakao dewasa dan kebun kakao muda. Terjadi penurunan kadar C-organik sekitar 47,36 - 48,78% akibat beralihnya fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan perkebunan kakao rakyat (kakao muda < 4 th). Namun demikian setelah tanaman kakao dewasa, tanaman kakao bisa mendukung pemulihan kualitas tanah yang ditunjukkan oleh kadar C-organik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan C-organik pada lahan perkebunan kakao muda, meskipun kadar bahan organik tanah sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh kemiringan lahan. Kadar bahan organik semakin
63
menurun dengan semakin meningkatnya kemiringan lahan pada semua jenis atau tipe penggunaan lahan. Faktor lereng berhubungan erat dengan terjadinya erosi pada lahan miring. 5.3. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan pencocokan (matching) antara kualitas lahan pada tiap satuan peta tanah dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman kakao (crop requirements), sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Djaenudin et al., 2000). Evalusai kesesuaian lahan ini merupakan kegiatan interpretasi data sumberdaya lahan. Karakteristik lahan dari masing-masing SPT diwakili dari jenis tanah yang memiliki luasan terbesar dari asosiasi tanah di kawasan Pulau Sebatik. Jenis tanah dengan luasan lebih kecil tidak dilakukan penilaian. Oleh karena itu kesesuaian lahan merupakan gambaran umum, sehingga pada lahan yang sesuai bisa terdapat lahan yang tidak sesuai. Kelas kesesuaian lahan aktual dan faktor pembatas pada setiap satuan lahan tertera pada Tabel 17. Pada Tabel tersebut dapat diketahui bahwa lahan di Pulau Sebatik yang sesuai (S) untuk tanaman kakao seluas 20.581 ha (84,15%). Kelas sangat sesuai (S1) tidak tersedia, karena sesuai dengan kriteria kelas kesesuaian lahan (Djaenuddin et al., 2000), dari beberapa karakteristik lahan (lereng, kedalaman tanah, pH tanah, C-organik dan KTK) tidak ada yang sesuai dengan kelas tersebut, terutama kriteria lereng (tidak ada < 8%). Kriteria utama yang digunakan untuk menyusun kelas kesesuaian lahan tanaman kakao di Pulau Sebatik ini adalah lereng. Kelas cukup sesuai (S2) seluas 7.616 ha (31,14%), kelas sesuai marginal (S3) seluas 12.965 ha (53,01%), sedangkan lahan yang tidak sesuai (N) seluas 3.628 ha (14,83%). Gambaran umum kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik tertera pada Gambar 10. Pada masing-masing kelas kesesuian lahan (S2, S3, N) memiliki faktor pembatas untuk pengembangan tanaman kakao. Kelas kesesuaian S2 faktor pembatasnya adalah ketersediaan air (wa), bahaya erosi (eh) dan ketersediaan hara (nr). Kelas kesesuaian S3 faktor pembatasnya adalah ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), bahaya erosi (eh), ketersediaan hara (nr) dan media
64
perakaran (rc). Pada kelas kesesuaian N faktor pembatasnya adalah adanya bahaya sulfidik dan terbatasnya media perakaran (rc). Tabel 17. Kelas kesesuaian lahan aktual dan faktor pembatas pada setiap satuan lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik No
Kelas
1.
S2
2.
S2
3.
Sub kelas/ pembatas (simbol) S2eh
Luas Faktor pembatas
Ha
(%)
Erosi rendah
4.861
19,88
S2eh & S2eh/rc
Erosi rendah, media perakaran
2.305
9,42
S2
S2oa/rc/xs & S3oa
Ketersediaan oksigen, media perakaran dan bahaya sulfidik
450
4.
S3
S3rc & S2rc
Media perakaran
187
0,76
5.
S3
S3eh & S2eh/rc
Erosi sedang dan media perakaran
137
0,56
6.
S3
S3eh
Erosi rendah
1.443
5,90
7.
S3
S3oa
Ketersediaan oksigen
989
4,04
8.
S3
S3rc
Media perakaran
2.991
12.23
9.
S3
S3eh/rc
Erosi sedang dan media perakaran
3.193
13,05
10.
S3
S3oa & S3rc
Ketersediaan oksigen dan media perakaran
1.726
7,06
11.
S3
S3rc & S3oa
Media perakaran dan ketersediaan oksigen
171
0,70
12.
S3
S3eh &S3eh/rc
Erosi sedang dan media perakaran
1.507
6,16
13.
S3
S3oa & Nxs
Ketersediaan oksigen dan bahaya sulfidik
621
2,54
14.
N
Nxs & S3oa
Bahaya sulfidik dan media perakaran
42
0,17
15.
N
Neh
Erosi sedang
3.551
14,52
16.
N
Nrc
Media perakaran
11
0,04
17.
N
Nxs
Bahaya sulfidik
24
0,10
18.
Td
Td
Td
248
1,01
24.457
100,00
Jumlah : Sumber: hasil perhitungan digital Keterangan: S1: sangat sesuai S2: cukup sesuai S3: sesuai marginal N : tidak sesuai
Pembatas: oa: ketersediaan oksigen xs: bahaya sulfidik rc: media perakaran nr: ketersediaan hara
eh: bahaya erosi wa: ketersediaan air Td: tidak dinilai
Gambar 10. Kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik
66
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), kelas kesesuaian lahan dapat berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial. Kelas kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data survei tanah atau sumberdaya lahan dan belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas bagi persyaratan tumbuh tanaman. Kelas kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Secara umum kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik adalah S2 dan S3. Produktivitas hasil kakao rakyat di kawasan ini berkisar antara 500-900 kg ha-1 th-1, di bawah rata-rata potensi produksi kakao yang mencapai 2.000 kg ha-1 th-1 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Produktivitas hasil kakao tersebut dapat dinaikkan ke tingkat produksi optimal dengan cara memperbaikai faktor pembatas. Perkiraan produksi tanaman yang dihasilkan berdasarkan klasifikasi kelas kesesuaian lahan (FAO, 1983) tertera pada Tabel 18. Tabel 18. Produksi optimal tanaman kakao berdasarkan kelas kesesuaian lahan
S1 S2
Klasifikasi kelas kesesuaian lahan Sangat sesuai Agak sesuai
Produksi optimal (%) > 80 60 – 80
S3
Sesuai marginal
40 – 60
Input praktis dan harus ekonomis
N
Tidak sesuai
< 40
Input tidak menambah produksi
Kelas
Input manajemen Tanpa input Input praktis dan ekonomis
Sumber: FAO (1983)
5.4. Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Gap analysis (analisis kesenjangan) dilakukan untuk membandingkan kondisi aktual dengan kondisi yang diharapkan. Gap analysis dalam penelitian ini bertujuan mengetahui kesenjangan antara produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik kondisi saat ini (eksisting) dengan produktivitas lahan yang diharapkan (optimal). Hasil analisis (Tabel 19) digunakan untuk mengidentifikasi kendala dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat agar lebih terarah, terpadu dan sesuai dengan kondisi wilayah setempat.
67
Tabel 19. Kesenjangan produktivitas hasil dan teknologi usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik No
Uraian
1.
Produktivitas hasil
2.
Penggunaan sarana produksi (pupuk, kapur)
3.
Pemeliharaan tanaman - Pemberantasan hama dan penyakit - Tanaman penaung - Pemangkasan
- Peremajaan tanaman
Aktual (existing)
1)
Kondisi Yang diharapkan (optimal) dan bisa dilaksanakan petani
550 – 610 kg ha-1th-1 N (60 kg ha-1), P (15 kg ha-1), K (11 kg ha-1)
1.250 - 1.350 kg ha-1th-1 N (51 kg ha-1), P (31 kg ha-1), K(111 kg ha-1), ppk organik (7-8 ton ha-1), kapur pertanian (3-3,8 ton ha-1) 2)
1 kali
Sesuai dengan tingkat serangan 3)
1 kali
20 - 40% 3) Pangkas produksi (2 kali: April - Oktober), pemeliharaan (selang 2 - 3 bulan antara pangkas produksi), wiwilan (tiap bulan) 3) Tanaman tua (> 20 th) dan rusak 3)
4.
Konservasi tanah
Teknik penanaman, pemanfaatan seresah
5.
Fermentasi
-
6.
Integrasi tanaman dan ternak
-
Teknik penanaman, drainase menurut kontur, terasering, rorak, pemanfaatan serasah, pemanfatan limbah kakao 3) Dilakukan fermentasi untuk meningkatkan kualitas hasil kakao Integrasi tanaman dan ternak (3 - 4 ekor ruminansia kecil) 4)
Keterangan: 1) Survei lapangan; 2) Sugiyono et al. (1995) & hasil perhitungan; 3) Wahyudi dan Raharjo (2008); 4) Priyanto( 2005)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik terdapat kesenjangan antara produktivitas lahan saat ini (eksisting) dengan produktivitas lahan yang diharapan. Kesenjangan (gap) pada beberapa faktor atau parameter yang diuji nilainya negatif, sehingga perlu dilakukan perbaikan. Survei lapangan (biofisik dan sosial ekonomi) dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting perkebunan kakao rakyat. Hasil analisis contoh tanah (survei lapangan) dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia dan biologi (kesuburan) tanah dan tindakan atau perbaikan yang diperlukan agar pertumbuhan dan produktivitas tanaman kakao sesuai yang diharapkan. Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik Berdasarkan jumlah kehilangan unsur hara akibat panen (faktor tanaman) dan hasil analisis tanah (faktor tanah), maka kebutuhan pupuk, kapur dan bahan organik untuk pertumbuhan optimal tanaman kakao pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 375 kg ha-1 th-1, (b) SP-36 sebanyak 354 kg ha-1 th-1, (c) KCl 394 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 31 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan bahan organik 69 kwt ha-1. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3):
68
(a) Urea 408 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebesar 361 kgha-1th-1, (c) KCl 451 kg ha-1th-1, (d) kapur pertanian 38 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 81 kwt ha-1. Data selengkapnya tertera pada Tabel 20 dan 21. Tabel 20. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik No 1.
Kelas kesesuaian lahan/ Parameter Cukup sesuai (S2) Faktor Tanaman 1) - Immobilisasi - Produksi (1500kg/ha) - Biji - Kulit buah Sub total Kebutuhan pupuk-f1 Faktor tanah - Kadar hara tanah hasil analisis (potensi)-T 2) - Hara optimum (yang diperlukan)-S 1) Sub total (S-T) Efektivitas pupuk (%)1) Kdr unsur hara pupuk (%) Kebutuhan pupuk- f2 Total pupuk (f1+f2)
2.
Hara tanaman (kg ha-1)
N 4
P2O5 5
K2 O 10
CaO 7
MgO 3
31 16 51 316,77
12 4 21 233,33
19 82 111 251,13
2 8 17 35,71
7 6 16 69,72
0,08 0,125-0,250 (%) 0,047 35 46 57,97
9,17 20-40 (ppm) 10,83 25 36 120,37
0,19 0,25-0,50 cmol(+)kg-1 0,32 85 60 142,53
2,61 2,12-4,25 cmol(+)kg-1 1,64 85 56 6,90
2,95 0,75-1,50 cmol(+)kg-1 0,0 85 27 0,0
374,74 Urea
353,70 SP-36
393,67 KCl
42,62 Kaptan (CaCO3)
69,72 Kieserit (MgSO4)
P2O5 5
K2 O 10
CaO 7
MgO 3
12 4 21 233,33
19 82 111 251,13
2 8 17 35,71
7 6 16 69,72
8,50 20-40 (ppm) 11,50 25 36 255,56
0,06 0,25-0,50 cmol(+)kg-1 0,44 85 60 199,85
1,05 2,12-4,25 cmol(+)kg-1 1,07 85 56 4,49
1,66 0,75-1,50 cmol(+)kg-1 0,0 85 27 0,0
361,11 SP-36
450,98 KCl
40,20 Kaptan (CaCO3)
69,72 Kieserit (MgSO4)
Sesuai marginal (S3) N Faktor Tanaman 1) - Immobilisasi 4 - Produksi (1.500kg/ha) - Biji 31 - Kulit buah 16 Sub total 51 Kebutuhan pupuk-f1 316,77 Faktor tanah - Kadar hara tanah (potensi)-T 2) 0,05 - Hara optimum 0,125 - 0,250 (yang diperlukan)-S 1) (%) Sub total (S-T) 0,073 35 Efektivitas pupuk (%) 1) 46 Kdr unsur hara pupuk (%) Kebutuhan pupuk- f2 91,10 Total pupuk (f1+f2)
407,87 Urea
Sumber: 1)Sugiyono et al. (1995) dan Aries (1995); 2)Survei lapangan (2009)
69
Tabel 21. Dosis kapur dan bahan organik di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik Nilai No
Kelas kesesuaian lahan/ uraian
Eksisting
1)
Syarat tumbuh
Kesenjangan (gap)
Kebutuhan kapur, BO (kwt ha-1)
2)3)
1.
Cukup sesuai (S2) pH (H2O) Bahan organik - C (Walkley & Black)[%] Al 3+ (KCl 1N) [cmol (+)kg-1]
2.
Sesuai marginal (S3) pH (H2O) Bahan organik - C (Walkley & Black)[%] Al 3+ (KCl 1N) [cmol (+) kg-1]
Keterangan
5,15
6 -7
(0,85 - 1,85)
30
Kaptan (CaCO3) [ke pH 6,0]
0,99
>3
(2,01)
69
2,03
-
Pupuk Organik (3% BO) 1,5 Al-dd; Kaptan (CaCO3)
4,99
6-7
(1,01 -2,01)
31
Kaptan (CaCO3) [ke pH 6,0]
0,64
>3
(2,36)
81
2,41
-
Pupuk Organik (3% BO) 1,5 Al-dd; Kaptan (CaCO3)
30
36
Sumber: 1)Survei lapangan/analisa tanah; 2)Sugiyono et al. (1995); 3)BBP2TP (2008)
Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat Berdasarkan jumlah kehilangan unsur hara akibat panen (faktor tanaman) dan hasil analisis tanah (faktor tanah), maka kebutuhan pupuk, kapur dan bahan organik untuk pertumbuhan optimal tanaman kakao pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 360 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebesar 324 kg ha-1th-1, (c) KCl 419 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 31 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan bahan organik 74 kwt ha-1. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) adalah: (a) Urea 410 kg ha-1 th-1, (b) SP-36 sebesar 350 kg ha-1th-1, (c) KCl 441 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 39 kwt ha-1, (e) kieserit 75 kg ha-1, dan (f) bahan organik 79 kwt ha-1. Data selengkapnya tertera pada Tabel 22 dan 23.
70
Tabel 22. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat No 1.
Kelas kesesuaian lahan/ Parameter Cukup sesuai (S2) Faktor Tanaman 1) - Immobilisasi - Produksi (1500kg/ha) - Biji - Kulit buah Sub total Kebutuhan pupuk-f1 Faktor tanah - Kadar hara tanah hasil analisis (potensi)-T 2) - Hara optimum (yang diperlukan)-S 1) Sub total (S-T) Efektivitas pupuk (%) 1) Kdr unsur hara pupuk (%) Kebutuhan pupuk- f2 Total pupuk (f1+f2)
2.
Sesuai marginal (S3) Faktor Tanaman 1) - Immobilisasi - Produksi (1500kg/ha) - Biji - Kulit buah Sub total Kebutuhan pupuk-f1 Faktor tanah - Kadar hara tanah (potensi)-T 2) - Hara optimum (yang diperlukan)-S 1) Sub total (S-T) Efektivitas pupuk (%)1) Kdr unsur hara pupuk (%) Kebutuhan pupuk- f2 Total pupuk (f1+f2)
Hara tanaman (kg ha-1)
N 4
P2O5 5
K2 O 10
CaO 7
MgO 3
31 16 51 316,77
12 4 21 233,33
19 82 111 251,13
2 8 17 35,71
7 6 16 69,72
0,09 0,125-,0250 (%) 0,035 35 46 0,81
11,84 20-40 (ppm) 8,17 25 36 233,33
0,13 0,25-0,50 cmol(+)kg-1 0,37 85 60 0,72
2,17 2,12-4,25 cmol(+)kg-1 0 85 56 (0,21)
3,44 0,75-1,50 cmol(+)kg-1 0 85 27 (23,44)
360,25 Urea
324,11 SP-36
418,55 KCl
35,71 Kaptan (CaCO3)
69,72 Kieserit (MgSO4)
N 4
P2O5 5
K2 O 10
CaO 7
MgO 3
31 16 51 316,77
12 4 21 233,33
19 82 111 251,13
2 8 17 35,71
7 6 16 69,72
0,05 0,125-0,250 (%) 0,075 35 46 0,68
9,50 20-40 (ppm) 10,55 25 36 181,56
0,08 0,25-0,50 cmol(+)kg-1 0,42 85 60 0,54
1,49 2,12-4,25 cmol(+)kg-1 0,63 85 56 2,65
0,13 0,75-1,50 cmol(+)kg-1 0,62 85 27 5,40
409,94 Urea
350,00 SP-36
441,18 KCl
38,36 Kaptan (CaCO3)
75,12 Kieserit (MgSO4)
Sumber: 1)Sugiyono et al. (1995) dan Aries (1995); 2)Survei lapangan (2009)
71
Tabel 23. Dosis kapur dan bahan organik di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat No
Kelas kesesuaian lahan/ Uraian
Nilai Syarat Eksisting tumbuh 1)
Kesenjangan (Gap)
Kebutuhan kapur, BO (kwt ha-1th-1)
4,95
6-7
(1,05 - 2,1)
37
Kaptan (CaCO3) [ke pH 6,0]
0,85
>3
(2,15)
74
2,04
-
Ppk Organik (3% BO) 1,5 Al-dd; Kaptan (CaCO3)
4,95
6-7
(1,05 - 2,1)
36
Kaptan (CaCO3) [ke pH 6,0]
0,77
>3
(2,23)
77
2,55
-
Ppk Organik (3% BO) 1,5 Al-dd; Kaptan (CaCO3)
2)3)
1.
Cukup sesuai (S2) pH (H2O) Bahan organik - C (Walkley & Black) [%] Al 3+ (KCl 1N) [cmol (+) kg-1]
2.
Sesuai marginal (S3) pH (H2O) Bahan organik - C (Walkley & Black) [%] Al 3+ (KCl 1N)
31
38
[cmol (+) kg-1]
Keterangan
Sumber: 1)Survei lapangan/analisa tanah; 2)Sugiyono et al. (1995); 3)BBP2TP (2008)
Rekomendasi peningkatan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik disusun berdasarkan: (1) kondisi produktivitas lahan saat ini (eksisting) yang diperoleh berdasarkan survei lapangan dan analisis tanah di laboratorium, dan (2) kondisi yang diharapkan. Rekomendasi disusun dalam tiga skenario (alternatif), melalui perbaikan faktor-faktor penting yang diperoleh berdasarkan analisis kesenjangan, yang dilengkapi dengan analisis usahatani. Skenario selengkapnya tertera pada Tabel 24. Tabel 24. Rekomendasi peningkatan produktivitas kakao rakyat di Pulau Sebatik Uraian
Eksisting
Pemupukan (organik dan anorganik), kapur, dll.
- Belum optimal dan belum sesuai anjuran
- N,P,K sesuai rekomendasi umum - Kieserit
Pemeliharaan (tanaman penaung, pemangkasan, pemberantasan hama penyakit dll)
- Tidak optimal
- Tidak optimal
Fermentasi
-
Integrasi tanaman ternak
-
Skenario 1
Rekomendasi Skenario 2 Skenario 3 - N, P, K sesuai hasil analisis tanah dan kebutuhan tanaman - Kieserit sesuai hasil analisis tanah - Kapur pertanian (1,5xAl-dd) atau ke pH 6,0 - Ppk organik belum optimal (1,5% BO) - Tanaman penaung - Pemangkasan teratur - Pemberantasan hama dan penyakit - Peremajaan (sebagian)
- N, P, K sesuai hasil analisis tanah dan kebutuhan tanaman - Kieserit sesuai hasil analisis tanah - Kapur pertanian (1,5 x Al-dd) atau ke pH 6,0 - Ppk organik optimal (3% BO) - Tanaman penaung - Pemangkasan teratur - Pemberantasan hama dan penyakit - Peremajaan (sebagian)
-
- Dilakukan
- Dilakukan
-
- Integrasi tanaman & ternak
- Integrasi tanaman & ternak
72
Berdasarkan analisis usahatani dapat diketahui bahwa pada kondisi eksisting dan masing-masing skenario diperoleh nilai B/C > 1 artinya usahatani perkebunan kakao rakyat tersebut menguntungkan untuk diusahakan. Namun demikian sesuai dengan hasil analisis, luas lahan garapan pada saat ini yang berkisar antara 2 - 3 ha belum mampu untuk dapat menenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp 18.000.000 KK-1 th-1. Perhitungan KHL selengkapnya dapat dilihat pada sub bab analisis sosial ekonomi (sub bab 5.6). KHL ini sesuai dengan standar garis kemiskinan Internasional senilai 1$US per hari per orang. Jika satu anggota keluarga diasumsikan berjumlah 5 orang dan 1$US sama dengan Rp 10.000, maka sesuai standar Internasional penghasilan selama satu tahun (5 orang x 30 hari x 12 bulan x Rp 10.000) = Rp 18.000.000 KK-1 th-1. Hasil analisis menunjukkan luas lahan garapan minimum untuk dapat menenuhi KHL berkisar antara 3,14 - 4,35 ha. Data analisis usahatani dan luas lahan minimum (Lm) yang dibutuhkan selengkapnya tertera pada Tabel 25 dan 26. Tabel 25. Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Tanjung aru, Kecamatan Sebatik Timur pada kondisi eksisting dan kondisi yang diharapkan (rekomendasi) Kelas kesesuaian lahan S2 Rekomendasi
Uraian
Pengeluaran (Rp) Penerimaan (Rp) Pendapatan (Rp) B/C Lm (ha) *)
*)
S3 Rekomendasi
Eksisting
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Eksisting
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
3.318.800
3.719.500
8.466.650
10.632.400
3.558.800
3.995.000
9.016.225
11.147.350
8.400.000
9.450.000
21.740.000
27.738.000
7.700.000
8.750.000
20.466.000
26.676.000
5.081.200
5.730.500
13.273.350
17.105.600
4.141.200
4.755.000
11.449.775
15.528.650
1,53
1,54
1,57
1,61
1,16
1,19
1,27
1,39
3,54
3,14
1,36
1,05
4,35
3,79
1,57
1,16
Lm (ha) = KHL/pendapatan
73
Tabel 26. Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat pada kondisi eksisting dan kondisi yang diharapkan (rekomendasi) Kelas kesesuaian lahan Uraian Eksisting Pengeluaran (Rp) Penerimaan (Rp) Pendapatan (Rp)
Eksisting
S3 Rekomendasi Skenario Skenario Skenario 1 2 3
3.318.800
3.724.500
8.469.225
10.690.350
3.558.800
3.971.500
8.877.525
10.946.150
8.400.000
9.450.000
21.740.000
27.738.000
7.700.000
9.100.000
20.466.000
26.676.000
5.081.200
5.725.500
13.270.775
17.047.650
4.141.200
5.128.500
11.588.475
15.729.850
1,53 3,54
1,54 3,14
1,57 1,36
1,59 1,06
1,16 4,35
1 ,29 3,51
1,31 1,55
1,44 1,14
B/C Lm (ha) *)
S2 Rekomendasi Skenario Skenario Skenario 1 2 3
Lm (ha) = KHL/pendapatan
Berdasarkan hasil analisis kesenjangan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik dapat diketahui bahwa: (1) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada kondisi saat ini (eksisting) di bawah kondisi yang diharapkan (optimal). Faktor-faktor kesenjangan (gap) antara kondisi saat ini dan kondisi optimal antara lain adalah: penggunaan sarana produksi (pupuk, obat-obatan), pemeliharaan tanaman (pemberantasan hama dan penyakit, penggunaan tanaman penaung, pemangkasan), fermentasi, integrasi tanaman dan ternak; (2) hasil analisis usahatani pada kondisi eksisting diperoleh nilai B/C > 1,16 artinya usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik menguntungkan. Namun demikian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) diperlukan luas lahan minimal (Lm) sekitar 3,14 - 4,35 ha, padahal luas lahan garapan petani kakao di Pulau Sebatik saat ini hanya berkisar antara 2 - 3 ha. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan melalui perbaikan terhadap beberapa faktor yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas hasil kakao yang optimal.
74
5.5. Analisis Kendala, Perubahan yang Dinginkan dan Kelembagaan Pendukung Analisis kendala, perubahan yang diinginkan dan kelembagaan pendukung yang terlibat dalam peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat dilakukan dengan menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur (Eryatno dan Sofyar, 2007). Tipe struktur yang dibangun dapat berupa struktur pengaruh (misalnya dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya lebih penting dari atau sebaiknya). ISM adalah suatu metodologi untuk menggambarkan struktur dari suatu sistem yang akan dikaji dan menganalisis elemen-elemen sistem dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Struktur adalah penggambaran pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antar elemen
dalam membentuk suatu sistem.
Melalui proses identifikasi struktur akan memberikan kontribusi yang besar dalam menangani permasalahan dalam sistem secara efektif dan memberikan sumbangan yang berarti dalam proses pengambilan keputusan. Elemen-elemen yang ditetapkan untuk dikaji dalam suatu topik penelitian yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran efektivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program (Saxena, 1992 dalam Marimin, 2004). Dengan mengacu pada elemen-elemen yang telah ditetapkan oleh Saxena (1992) dan pendapat pakar, maka peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan secara garis besar ditetapkan tiga elemen penting yang perlu dikaji yaitu (a) kendala utama yang dihadapi, (b) perubahan yang diharapkan, dan (c) lembaga yang terlibat dalam pengembangan kawasan perbatasan khususnya untuk pengelolaan lahan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Pulau Sebatik. Selanjutnya setiap elemen disusun sub elemen yang merupakan variabel-variabel yang akan dipertimbangkan dalam penyusunan arahan kebijakan.
75
5.5.1. Elemen Kendala Elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik diperoleh 9 sub elemen kendala yaitu (1) terbatasnya infrastruktur, (2) rendahnya kualitas SDM, (3) produktivitas lahan rendah, (4) produktivitas hasil pertanian rendah, (5) mutu hasil pertanian rendah, (6) terbatasnya sarana usahatani, (7) perhatian pemerintah rendah, (8) penyuluhan kurang, (9) lemahnya kerjasama antar sektor. Elemen kendala pada masing-masing kelas kesesuaian lahan adalah sebagai berikut: Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) Berdasarkan hasil analisis ISM pada sub elemen kendala diperoleh 5 level kendala seperti disajikan pada Gambar 11. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi dalam rangka peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik dapat dilakukan melalui 5 tahap atau level.
Level 5
k-3
k-4
k-5
k-2
Level 4
Level 3
k-1
k-6
Level 2
k-8
k-9
Level 1
k-7
Gambar 11. Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
76
Pada level pertama kendala yang dihadapi adalah perhatian pemerintah yang kurang (k-7), sehingga pemerintah perlu meningkatkan dukungan dan kebijakannya untuk pengembangan pertanian di kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan selama ini masih dianggap sebagai kawasan terbelakang, dan kawasan tertinggal. Diharapkan pada masa yang akan datang kawasan tersebut sebagai pintu gerbang negara, sehingga pengelolaan perkebunan kakao rakyat dapat dilakukan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Pada level selanjutnya (tahap 2) adalah kendala mengenai penyuluhan yang kurang (k-8) dan masih lemahnya kerjasama antar sektor (k-9) di wilayah perbatasan. Pada level 3 adalah kendala terbatasnya infrastruktur (k-1) dan terbatasnya sarana usahatani (k-6). Kemudian pada tahap 4 adalah kendala masih rendahnya kualitas SDM, dan pada tahap terakhir (tahap 5) adalah produktivitas lahan rendah (k-3), produktivitas hasil pertanian rendah (k-4) dan mutu hasil pertanian rendah (k-5). Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa terbatasnya sarana usahatani (k-6) dan lemahnya kerjasama antar sektor (k-9) terletak pada sektor IV (independent) yang merupakan elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di wilayah perbatasan Pulau Sebatik. Sub elemen tersebut merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub-elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan menjadi faktor penghambat utama terhadap pelaksanaan program peningkatan produktivitas lahan dan perkembangan kawasan. Kondisi eksisting di lapangan menunjukkan bahwa sarana usahatani tidak tersebar merata di beberapa kawasan pengembangan kakao. Sub elemen lain yang merupakan kendala yang terletak pada sektor III (linkage) adalah terbatasnya infrastruktur (k-1), produktivitas pertanian rendah (k4), perhatian pemerintah rendah (k-7), dan penyuluhan kurang (k-8). Kendalakendala pada sektor ini merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program dan memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula terhadap sub elemen yang lain.
77
9
k-7 8
Independent
Linkage
k-8
7
k-9 Driver Power
6 5
k-6
k-4
k-1
4
k-5
k-3
k-2
3
Autonomous
Dependent
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dependence
Gambar 12. Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) Pada sub elemen masih rendahnya kualitas SDM (k-2), produktivitas lahan rendah (k-3), dan mutu hasil pertanian rendah (k-5) berada pada sektor II (dependent) merupakan sub elemen akibat dari kendala sub elemen yang lain. Apabila kendala lain dapat diatasi, maka kendala pada sektor ini menjadi sangat penting terhadap pencapaian tujuan program. Kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) Berdasarkan hasil analisis ISM pada sub elemen kendala diperoleh 5 level kendala seperti disajikan pada Gambar 13. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi dalam rangka peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan dapat dilakukan melalui 5 tahap atau level. Pada level pertama kendala yang dihadapi adalah terbatasnya infrastruktur (k-1). Pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan untuk memudahkan akses petani untuk pemeliharaan dan mengangkut hasil panen kakao.
78
Level 5
k-3
k-5
k-9
k-2
Level 4
Level 3
k-7
k-8
Level 2
k-4
k-6
Level 1
k-1
Gambar 13. Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) Pada level selanjutnya (tahap 2) adalah kendala produktivitas hasil pertanian rendah (k-4) dan terbatasnya sarana usahatani (k-6). Pada level 3 adalah perhatian pemerintah kurang (k-7), dan penyuluhan yang kurang (k-8). Kemudian pada tahap 4 adalah kendala masih rendahnya kualitas SDM (k-2), dan pada level terakhir (tahap 5) adalah produktivitas lahan rendah (k-3), mutu hasil pertanian rendah (k-5) dan masih lemahnya kerjasama antar sektor (k-9) di kawasan perbatasan. Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa infrastruktur (k-1) dan produktivitas lahan rendah (k-3) terletak pada sektor IV (independent) yang merupakan elemen kunci yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di Pulau Sebatik. Sub elemen tersebut merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub-elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik, maka akan menjadi
79
faktor
penghambat
utama
terhadap
pelaksanaan
program
peningkatan
produktivitas lahan dan perkembangan kawasan. Kondisi eksisting di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) relatif terbatas dan produktivitas lahan relatif rendah. 9
k-7 8
Independent
k-1
Linkage
k-8
7
k-9 Driver Power
6
k-6
5
k-6
k-9
k-3
k-4
k-1
4
k-5
k-3
k-2
3
Autonom ous
k-4
Dependent
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dependence
Gambar 14. Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) Sub elemen lain yang merupakan kendala yang terletak pada sektor III (linkage) adalah terbatasnya sarana usahatani (k-6), perhatian pemerintah rendah (k-7), dan penyuluhan kurang (k-8), dan lemahnya kerjasama antar sektor (k-9). Kendala-kendala pada sektor ini merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) besar terhadap keberhasilan program dan memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula terhadap sub elemen lain. Pada sub elemen masih rendahnya kualitas SDM (k-2), produktivitas hasil pertanian rendah (k-4), dan mutu hasil pertanian rendah (k-5) berada pada sektor II (dependent) merupakan sub elemen akibat dari kendala sub elemen yang lain. Apabila kendala lain dapat diatasi, maka kendala pada sektor ini menjadi sangat penting terhadap pencapaian tujuan program.
80
5.5.2. Elemen Perubahan yang Diinginkan Elemen perubahan yang diinginkan dalam peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat terdiri atas 10 (sepuluh) sub elemen perubahan, yaitu (1) inovasi teknologi budidaya tanaman kakao, (2) pola pengelolaan kakao rakyat berorientasi ekspor, (3) ketersediaan sarana produksi pertanian yang memadai, (4) pengolahan pascapanen kakao, (5) keterlibatan antar sektor dalam pengembangan kawasan perbatasan, (6) jaminan pemerintah terhadap pengusahaan lahan perkebunan kakao rakyat, (7) peningkatan nilai tambah kakao rakyat, (8) peremajaan dan pengantian tanaman kakao tua, (9) peningkatan kualitas lahan, (10) tersedianya industri pengolahan kakao. Berdasarkan hasil analisis ISM pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) dihasilkan 7 level sub elemen perubahan seperti disajikan pada Gambar 15. Struktur tersebut menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antara sub elemen perubahan yang didukung melalui pemenuhan sub elemen pada hirarki yang berada di bawahnya. Sub elemen perubahan pola pengelolaan kakao rakyat yang berorientasi ekspor (p-2) merupakan tahap pertama pada hirarki perubahan yang akan mendorong terjadinya perubahan pada ketersediaan sarana produksi pertanian yang memadai (p-3) dan jaminan pemerintah terhadap pengusahaan lahan perkebunan kakao rakyat (p-6). Terjadinya perubahan pada sub elemen p-3 dan p-6 akan mendorong perubahan elemen kunci peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua (p-8), kemudian sub elemen ini akan mendorong perubahan keterlibatan antar sektor dalam pengembangan kawasan perbatasan (P-5). Keterlibatan antar sektor dalam pengembangan kawasan akan mendorong perubahan pada elemen kunci berikutnya yaitu tersedianya industri pengolahan kakao (p-10). Tersedianya industri pengolahan kakao (p-10) akan mendorong perubahan pada sub elemen tersedianya inovasi teknologi budidaya tanaman kakao (p-1), perubahan pengolahan pascapanen kakao (p-4) dan peningkatan kualitas lahan (p9) yang secara langsung akan mendorong terjadinya perubahan terhadap sub elemen peningkatan nilai tambah kakao rakyat (p-7). Hal ini berarti bahwa
81
perubahan terhadap jaminan pengusahaan lahan perkebunan kakao rakyat dapat terjadi apabila perubahan-perubahan lain dalam sistem telah tercapai. p-7
Level 7
Level 6
p-4
p-1
Level 5
p-10
Level 4
p-5
Level 3
p-8
Level 2
Level 1
p-9
p-6
p-3
p-2
Gambar 15. Struktur hirarki antar sub elemen perubahan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) Pada Gambar 16 dapat diketahui bahwa sub elemen perubahan hanya terdapat di dua daerah yaitu independent dan linkage. Sub elemen yang berada di daerah independent adalah sub elemen perubahan pada inovasi teknologi budidaya tanaman kakao (p-1), pengolahan pascapanen kakao (p-4), peningkatan nilai tambah kakao rakyat (p-7), dan sub elemen peningkatan kualitas lahan (p-9). Keempat sub elemen tersebut tidak tergantung oleh sub elemen lainnya tetapi perubahan yang terjadi pada keempat elemen tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap sub elemen lainnya.
82
Elemen Perubahan 9
Independent
Linkage
p-8
p-10
8
p-5
p-4
p-6
7
p-9
Driver Power
6
p-2 p-7
p-3
5
p-1 4 3 2 1
Autonomous
Dependent
0 0
2
4
6
8
10
12
Dependence
Gambar 16. Diagram klasifikasi sub elemen perubahan yang diinginkan untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) Sub elemen yang terdapat di daerah linkage adalah sub elemen perubahan pola pengelolaan kakao rakyat yang berorientasi ekspor (p-2), sub elemen ketersediaan sarana produksi pertanian yang memadai (p-3), sub elemen keterlibatan antar sektor dalam pengembangan kawasan perbatasan (p-5), sub elemen jaminan pemerintah terhadap pengusahaan lahan perkebunan kakao rakyat (p-6), sub elemen peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua (p-8) dan sub elemen perubahan tersedianya industri pengolahan kakao rakyat di Pulau Sebatik (p-10). Perubahan terhadap keenam elemen akan memberikan pengaruh terhadap elemen perubahan yang lain serta memiliki ketergantungan terhadap elemen perubahan dalam sistem. 5.5.3. Kelembagaan Pendukung Berdasarkan survei dan pendapat pakar, elemen-elemen kelembagaan yang terlibat dalam peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik diperoleh sepuluh sub elemen kelembagaan yang terkait, yaitu (1) pemerintah pusat, (2) pemerintah propinsi, (3) pemerintah kabupaten, (4) dinas dan instansi terkait, (5) perbankan, (6) koperasi, (7) lembaga keuangan
83
mikro, (8) pemerintah Malaysia, (9) kelompok tani, dan (10) lembaga swadaya masyarakat. Pada Gambar 17 terlihat bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) diperoleh lima tahapan atau level keterlibatan setiap lembaga dalam pengelolaan lahan di kawasan perbatasan. Lembaga yang diharapkan sangat berperan dalam pengelolaan lahan di kawasan perbatasan pada tahap pertama adalah pemerintah propinsi (l-2) dan pemerintah kabupaten (l-3). Kemudian pada tahap kedua, lembaga yang beperan adalah pemerintah pusat (l-1), dinas dan instansi terkait (l-4), perbankan (l-5), dan kelompok tani (l-9). Tahap selanjutnya adalah koperasi (l-6) dan lembaga keuangan mikro (k-7), kemudian pada tahap 4 dan 5 adalah pemerintah Malaysia (l-8) dan LSM (l-10).
Level 5
l-10
Level 4
l-8
Level 3
Level 2
Level 1
l-1
l-6
l-7
l-4
l-5
l-2
l-3
l-9
Gambar 17. Struktur hirarki antar sub elemen kelembagan yang terlibat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) Lembaga yang diharapkan sangat berperan adalah pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten. Jika dilihat diagram klasifikasi sub elemen Driver Power - Dependence (Gambar 18), dapat diketahui bahwa sebenarnya ketiga
84
lembaga (pemerintah pusat dan daerah) dapat bekerja bersama-sama dalam upaya peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan, karena ketiga lembaga tersebut terletak pada sektor linkage. Peran yang diharapkan adalah adanya komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah melalui kebijakan pengembangan kawasan perbatasan. 7 l-2
l-3
6 Inde pe n de n t
l-1,l-5,l-9
L ink age
Driver Power
5 l-4
l-7 4
l-6 3 l-8 2 Auto nom ous
De pe n de n t
1 t -10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
De pe nde nce
Gambar 18. Diagram klasifikasi sub elemen kelembagaan yang terlibat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) Pada sektor linkage (sektor III) terdapat sub elemen dari pemerintah pusat (l-1), pemerintah propinsi (l-2), pemerintah kabupaten (l-3), dinas/instansi terkait (l-4), perbankan (l-5), koperasi (l-6), lembaga keuangan mikro (l-7), kelompok tani (l-9). Sub elemen pada kelompok ini memiliki kekuatan pendorong (driver power)
yang
besar
terhadap
suksesnya
program,
tetapi
mempunyai
ketergantungan (dependence) yang besar pula terhadap lembaga yang lain. Namun demikian setiap elemen ini akan mempengaruhi keberhasilan program, dan sebaliknya apabila sub elemen ini mendapat perhatian yang kurang, maka akan berpengaruh terhadap kegagalan program. Menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah Malaysia merupakan hal yang sangat penting dirintis dalam rangka pengembangan kawasan perbatasan. Hubungan tersebut khususnya dalam hal kerjasama investasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan.
85
5.6. Analisis Sosial Ekonomi Ukuran garis kemiskinan dibagi dalam tiga tingkatan, mencakup konsepsi nilai ambang kecukupan pangan yaitu miskin, miskin sekali dan sangat miskin dinyatakan dalam Rp bl-1, ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg orang-1 th-1). Dengan demikian akan dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah di pedesaan dan di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk pengeluaran di daerah pedesaan 240 - 320 kg orang-1 th-1, sedangkan untuk wilayah perkotaan 360 - 480 kg ha-1 th-1 (Sajogjo, 1977). Keluarga tani dinyatakan hidup layak jika telah memenuhi kebutuhan hidup meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Menurut Sinukaban (2007), jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal adalah setara dengan: 320 kg beras setahun x harga (Rp kg-1) x jumlah anggota keluarga x 2,5. Dengan perincian: (a) nilai setara 320 kg beras orang-1 th-1 untuk kebutuhan fisik minimal (pangan, sandang, papan) yaitu 8,89 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg beras orang-1 th-1 (100%); (b) kebutuhan kesehatan dan rekreasi: 50% x 320 kg beras orang-1th-1, (c) kebutuhan pendidikan: 50% x 320 kg beras orang-1 th-1, (d) kebutuhan sosial, asuransi dll: 50% x 320 kg beras orang-1th-1. Kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat di Pulau Sebatik selengkapnya tertera pada Tabel 27. Luas lahan minimal (Lm) untuk memenuhi KHL dapat diperoleh dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih per hektar (Pb) atau dengan persamaan: Lm = KHL Pb-1 (Monde, 2008). Pendapatan bersih kakao (rata-rata) di Pulau Sebatik pada kondisi eksisting sekitar Rp 3 - 5 juta ha-1 th-1, sehingga luas lahan minimal yang harus digarap adalah 3,2 - 5,3 ha untuk dapat memenuhi KHL. Hasil produksi biji kakao rata-rata saat ini (eksisting) menunjukkan bahwa dengan luas usahatani kakao 2 - 3 ha, tidak akan mampu memenuhi KHL (sekitar Rp 18 juta). Dengan demikian agar usahatani kakao rakyat berkelanjutan secara ekonomi, maka produktivitas hasil kakao perlu ditingkatkan dan luas lahan garapan ditambah.
86
Tabel 27. Kebutuhan hidup layak (KHL) di Pulau Sebatik 1) Jenis pengeluaran 4
KFM ) Pendidikan Kesehatan Sosial, tabungan KHL
%
Kg beras
Harga beras
100 50 50
320 160 160
4.500 4.500 4.500
1.440.000 720.000 720.000
5 5 5
7.200.000 3.600.000 3.600.000
50
160
4.500
720.000
5
3.600.000
5)
(Rp kg-1) 2
)
Pengeluaran (Rp orang-1 th -1)
3.600.000
Jlm anggota keluarga 3)
Kebutuhan (Rp KK-1 th-1)
18.000.000
Sumber: data primer dan sekunder 1)
dimodifikasi dari Monde (2008) harga beras (rata-rata) di Pulau Sebatik pada saat penelitian 3) diasumsikan jumlah anggota keluarga 5 orang 4) KFM (kebutuhan fisik minimum) 5) KLH (Kebutuhan hidup layak) 2)
Produktivitas hasil kakao di kawasan Pulau Sebatik ini berkisar antara 550-610 kg ha-1 th-1, padahal potensi produksi biji kakao bisa mencapai 1.250 1.550 kg ha-1 th-1. Rendahnya produktivitas kakao ini disebabkan antara lain oleh pengelolaan kebun belum optimal, tanaman sudah tua, dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen belum optimal. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan lahan perkebunan kakao rakyat yang lebih optimal, mencakup penyediaan sarana produksi, tindakan pemupukan, pemeliharaan, pemangkasan, pemberantasan hama dan penyakit, serta adanya kegiatan penyuluhan pertanian.
87
5.7. Indeks dan Status Keberlanjutan Pulau Sebatik merupakan salah satu kawasan perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia yang terletak di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Pembangunan sektor pertanian di kawasan ini relatif masih rendah jika dibandingkan dengan perkembangan pembangunan di daerah lain. Sampai saat ini kawasan perbatasan tersebut relatif belum berkembang, karena paradigma pembangunan masa lalu yang menempatkan kawasan perbatasan sebagai halaman belakang negara. Pertanian merupakan sektor andalan di Pulau Sebatik, dan tanaman kakao merupakan komoditas unggulan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat setempat sejak tahun 1980-an. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan ini diharapkan akan dapat mendorong pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan sangat beragam dan bergantung pada keragaman masing-masing daerah. Beberapa pendekatan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan antara lain oleh: Etkin (1992) dalam Gallopin (2003) melalui pendekatan ekologi, ekonomi, sosial budaya dan etika; Dalay-Clayton dan Bass (2002) melalui keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, politik dan keamanan. 5.7.1. Analisis Keberlanjutan Analisis status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik dilakukan melalui analisis keberlanjutan dengan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-COCOA SEBATIK. Dimensi yang dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan meliputi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Status keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersebut digunakan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada masa yang akan datang terhadap faktor-faktor atau atribut-atribut yang sensitif atau pengungkit terhadap peningkatan produktivitas lahan perkebuan kakao rakyat.
88
Hasil analisis menggunakan RAP-COCOA SEBATIK menunjukan bahwa indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dari dimensi ekologi sebesar 40,75% (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi 48,58% (kurang berkelanjutan), dimensi sosial Ekologi 100
budaya 75,20% (berkelanjutan),
80
dimensi
infrastruktur
dan
60 40,75
Hankam
teknologi
40,49%
(kurang
Ekonomi
40 48,58 36,39
berkelanjutan), dimensi hukum
20 0
dan
kelembagaan
36,39%
(kurang
berkelanjutan),
serta
dimensi
pertahanan
dan
keamanan
36,39%
berkelanjutan).
36,39 75,20
Hukum & kelembagaan
(kurang
Pada
kelas
kesesuaian lahan sesuai marginal
Sosial Budaya
40,49
Infrastruktur & teknologi
Gambar 19. Diagram indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
(S3) dari dimensi ekologi sebesar 36,37% (kurang berkelanjutan) dimensi ekonomi 44,87% (kurang berkelanjutan), dimensi sosial budaya 75,20% (berkelanjutan),
dimensi
infrastruktur
dan
teknologi
berkelanjutan), dimensi hukum
32,96%
(kurang
Ekologi 100
dan
kelembagaan
36,39%
(kurang berkelanjutan), dimensi
80 60
Hankam
Ekonomi
37,50 40
pertahanan
dan
keamanan
36,39
36,39% (kurang berkelanjutan). Indeks
keberlanjutan
45,80 20 0
36,39
dari
75,20
masing-masing kelas kesesuaian
Hukum & kelembagaan
38,39
Sosial Budaya
lahan dan dimensi keberlanjutan selengkapnya
disajikan
Gambar 19 dan 20.
pada
Infrastruktur & teknologi
Gambar 20. Diagram indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
89
5.7.2. Keberlanjutan Dimensi Ekologi Dimensi ekologi menyertakan 13 atribut untuk analisis keberlanjutan. Atribut
kondisi
di
lapangan
yang
diperkirakan
berpengaruh
terhadap
keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) kesesuaian lahan dan agroklimat untuk tanaman kakao, (2) luas lahan tanaman kakao yang dikelola, (3) tingkat pemanfaatan lahan, (4) rata-rata umur tanaman kakao, (5) penggunaan benih atau bibit unggul kakao, (6) tingkat serangan hama PBK (penggerek buah kakao), (7) tingkat serangan penyakit busuk buah, (8) tingkat serangan hama dan penyakit selain PBK dan busuk buah, (9) produktivitas hasil kakao, (10) jarak kebun kakao dengan rumah/tempat tingggal, (11) tindakan konservasi lahan, (12) pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, (13) pengelolaan lahan dan lingkungan. Pada Gambar 21 dan 22 dapat diketahui bahwa besarnya indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan (S2 dan S3) masing-masing adalah 40,75% dan 36,78% (kurang berkelanjutan). RAP-COCOA SEBATIK Ordination
Leverage of Attributes
60 Tingkat ketersediaan akses jalan usahatani
UP
1,04
Pengelolaan lahan dan lingkungan
0,81
40 0,80
Tingkat pemanfaatan lahan
0,68
20 Pemanfaatan limbah untuk pupuk organik
0
BAD 0
20
1,30
Tingkat serangan hama & penyakit selain PBK & busuk buah
40,75
40
60
80
GOOD 100
120
Attribute
Other Distingishing Features
Penggunaan benih/ bibit kakao
1,47
Tingkat serangan penyakit busuk buah
0,71
Tingkat serangan hama PBK (penggerek buah kakao)
0,71 1,29
Tindakan konservasi lahan
-20
Rata-rata umur tanaman kakao
1,85
Produktivitas hasil kakao
1,14
-40 0,97
Luas lahan tanaman kakao yang dikelola
DOWN Kesesuaian lahan dan agroklimat untuk tanaman kakao
-60
0,67 0
Sebatik Sustainability
(a)
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 21. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) Analisis leverage digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis leverage (Gambar 21b dan 22b) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi, yang menjadi faktor pengungkit utama adalah: (1) rata-rata umur tanaman, (2) tingkat serangan hama dan
90
penyakit, (3) pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, dan (4) tindakan konservasi lahan. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) yang menjadi faktor pengungkit utama adalah: (1) rata-rata umur tanaman kakao, (2) pengelolaan lahan dan lingkungan, dan (3) tingkat ketersediaan akses jalan usahatani. Di masa mendatang dengan melakukan intervensi atau perbaikan terhadap atribut-atribut yang menjadi faktor pengungkit tersebut diharapkan dapat meningkatkan status keberlanjutan pada dimensi ini. RAP-SEBATIK Ordination RAP-COCOA SEBATIK Ordination
Leverage of Attributes
60
1,14
Tingkat ketersediaan akses jalan usahatani Pengelolaan lahan dan lingkungan
UP
1,58 0,24
Penggunaan benih/ bibit kakao
40
0,41 0,55
20 Tingkat serangan hama & penyakit selain PBK & busuk buah
0
36,78
BAD
Attribute
Other Distingishing Features
Tingkat pemanfaatan lahan Pemanfaatan limbah untuk pupuk organik
GOOD
0,61
Tingkat serangan penyakit busuk buah
0,62
Tingkat serangan hama PBK (penggerek buah kakao)
0
20
40
60
80
100
0,57
120 Tindakan konservasi lahan
-20
0,52
Rata-rata umur tanaman kakao
2,12 0,60
Produktivitas hasil kakao Luas lahan tanaman kakao yang dikelola
-40
0,68
Kesesuaian lahan dan agroklimat untuk tanaman kakao
0,69
DOWN 0
0,5
1
1,5
2
2,5
-60 Sebatik Sustainability
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) Umur tanaman kakao merupakan atribut yang paling sensitif. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa umur tanaman kakao di kawasan Pulau Sebatik umumnya berkisar antara 15-20 tahun, produktivitas hasil mulai menurun, mudah terserang hama penyakit, dan pemeliharaan (pemangkasan, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit) belum dilakukan dengan baik. Tanaman kakao produktivitasnya optimal pada umur 6-16 tahun, dan setelah itu cenderung menurun. Produktivitas perkebunan kakao rakyat di kawasan ini berkisar antara 500-900 kg ha-1 th-1 biji kakao kering, padahal potensi produksi biji kakao bisa mencapai 2.000 kg ha-1 th-1 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008), sehingga produktivitas hasil tersebut baru mencapai sekitar 25 - 45%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama dan penyakit yang merugikan antara lain penggerek buah kakao (Conopomorpha cramella Snellen), busuk buah atau kepik penghisap buah (Helopeltis antonii Sign), kanker batang dan jamur.
91
Tanaman kakao yang dibudidayakan di Pulau Sebatik umumnya berasal dari Malaysia dan penduduk setempat menyebutnya sebagai jenis atau klon 23, 25 atau 28. Petani di wilayah ini sebelum mengusahakan tanaman kakao di Pulau Sebatik, mereka adalah sebagai pekerja kebun kakao di Malaysia. Hal ini yang menyebabkan bibit kakao umumnya juga didatangkan dari negara tersebut, karena harganya relatif lebih murah dan mudah diperoleh dibandingkan jika harus mendatangkan dari Jawa atau daerah lain penghasil bibit kakao unggul di Indonesia. Oleh karena itu pada masa mendatang untuk melakukan peremajaan atau penggantian tanaman kakao baru perlu menggunakan bibit unggul yang tahan hama penyakit dan produktivitasnya tinggi serta sesuai dengan rekomendasi. 5.7.3. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Pada dimensi ekonomi faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan terdiri dari 9 atribut, yaitu (1) keuntungan usahatani kakao, (2) hasil usahatani selain kakao, (3) cara menjual hasil panen kakao, (4) tempat menjual atau memasarkan kakao, (5) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (6) tingkat ketersediaan akses jalan usahatani, (7) akses pasar, (8) tingkat ketergantungan terhadap pasar luar negeri [Malaysia], (9) kontribusi kakao terhadap pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil analisis keberlanjutan menggunakan RAP-COCOA SEBATIK (Gambar 23a dan 24a) yang menyertakan 9 atribut menunjukkan bahwa besarnya indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai dan sesuai marginal (S2 dan S3) masingmasing 48,58% dan 44,87% (kurang berkelanjutan). Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) adalah: (1) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (2) tempat menjual atau memasarkan kakao, (3) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, dan (4) akses pasar. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah: (1) tempat menjual atau memasarkan kakao, (2) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (3) akses pasar, dan (4) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ini perlu dilakukan perbaikan atau
92
diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan. Hasil analisis leverage selengkapnya tertera pada Gambar 23b dan 24b. Leverage of Attributes
Rap-SEBATIK Ordination RAP-COCOA SEBATIK Ordination Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB
60 UP
2.59
Tingkat ketergantungan terhadap pasar luar negeri (Malaysia)
5.03
40
20
4.74
Jumlah tenaga kerja pertanian
2.52
48,58
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
Attribute
Other Distingish in g Features
Akses pasar
120
Daya saing kakao dari Pulau Sebatik
7.49
Tempat menjual kakao/pemasaran kakao
6.98
Cara menjual kakao
-20
1.40
Hasil usahatani selain kakao
3.14
-40 Keuntungan usahatani kakao
2.46
DOWN 0
1
2
3
4
5
6
7
8
-60 Sebatik Sustainability
(a)
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 23. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
Daya saing produk kakao dari kawasan ini rendah, karena belum didukung oleh mutu atau kualitas hasil biji kakao, akibat kurang optimalnya perlakuan pascapanen. Pemasaran biji kakao dari kawasan ini tidak ada pilihan lain kecuali ke pedagang pengumpul dan kemudian diekspor ke Tawau (Malaysia). Pedagang pengumpul yang menentukan harga dan harga di tingkat pengumpul tersebut ditentukan oleh harga pasaran kakao di Malaysia, sehingga tingkat ketergantungan terhadap pasar Malaysia cukup tinggi. Peluang pasar cukup tinggi, tetapi akses pasar produk biji kakao dari kawasan ini terbatas hanya untuk keperluan pasar Malaysia. Menurut Mosher (1987), pemasaran merupakan syarat mutlak dalam pembangunan pertanian. Adanya pasar dan harga yang tinggi, maka seluruh biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh petani akan terbayar kembali sehingga petani mempunyai motivasi atau semangat untuk meningkatkan produksi hasil usahataninya. Oleh karena itu perbaikan berdasarkan skala prioritas terhadap atribut-atribut yang sensitif pada dimensi ekonomi perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan indeks keberlanjutan.
93
RAP-COCOA SEBATIK Ordination
Leverage of Attributes
60 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB
UP
0,26
Tingkat ketergantungan terhadap pasar luar negeri (Malaysia)
40
3,21
4,58
20 Jumlah tenaga kerja pertanian
44,87 BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
Attribute
Other Distingishing Features
Akses pasar
1,17
Daya saing kakao dari Pulau Sebatik
5,94
Tempat menjual kakao/pemasaran kakao
6,24
-20 Cara menjual kakao
0,66
Hasil usahatani selain kakao
0,19
-40 DOWN
Keuntungan usahatani kakao
0,50
0
-60
Sebatik Sustainability
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 24. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
5.7.4. Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Pada dimensi sosial budaya faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan terdiri dari 13 atribut, yaitu (1) tingkat pendidikan formal masyarakat, (2) status kepemilikan lahan usahatani kakao, (3) status lahan usahatani kakao, (4) rata-rata umur petani, (5) alokasi waktu untuk usahatani kakao, (6) akses masyarakat dalam kegiatan pertanian, (7) pandangan masyarakat terhadap usahatani kakao, (8) partisipasi keluarga dalam usahatani kakao [usia kerja 16-54 th], (9) tingkat penyerapan tenaga kerja [dari usahatani kakao], (10) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pertanian, (11) peran masyarakat adat dalam kegiatan pertanian, (12) pola hubungan masyarakat dalam kegiatan pertanian, (13) tingkat hubungan masyarakat lokal dengan masyarakat negara tetangga. Hasil analisis keberlanjutan dengan RAP-COCOA SEBATIK pada dimensi sosial budaya menunjukkan bahwa besarnya indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) adalah 75,20% (berkelanjutan). Indeks keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat dimensi sosial budaya selengkapnya tertera pada Gambar 25a. Meskipun dari dimensi sosial budaya sudah berkelanjutan, namun berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh beberapa atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan yaitu (1) tingkat pendidikan masyarakat atau petani kakao, (2) status lahan usahatani kakao, dan (3) rata-rata umur petani. Atribut-
94
atribut tersebut perlu diperbaiki atau dikelola dengan baik agar indeks keberlanjutan meningkat. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ini perlu dilakukan perbaikan atau diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan. Hasil analisis leverage selengkapnya tertera pada Gambar 25b. Rap-SEBATIK Ordination RAP-COCOA SEBATIK Ordination
Leverage of Attributes Hubungan masy lokal dengan masy negara tetangga
60
2,17
Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan pertanian
UP
1,37
Peran masy adat dalam keg. pertanian
40
1,96 4,78
Tingkat penyerapan tenaga kerja dari usahatani kakao
2,45
20 Partisipasi keluarga dalam usahatani kakao
75,20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
A ttrib u te
O th er Distin g ish in g F eatu res
Tingkat pendidikan formal masyarakat
2,66
Pandangan masyarakat terhadap usahatani kakao
2,77 4,39
Status lahan usahatani kakao
120
2,53
Alokasi waktu untuk usahatani kakao
-20 Rata-rata umur petani
3,45
Akses masyarakat dalam kegiatan pertanian
2,12
-40
1,71
Status kepemilikan lahan
DOWN
1,47
Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pertanian
-60
0
Sebatik Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 25. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3).
Tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Sebatik relatif masih rendah dan umumnya petani kakao di kawasan ini tidak tamat Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh sarana dan prasarana pendidikan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani pada saat itu kurang mendukung untuk dapat melanjutkan pendidikan. Namun demikian sarana sekolah mulai dan terus dikembangkan, mulai dari TK (taman kanak-kanak) hingga SLTA/SMU (BPS Nunukan, 2008). Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan penerapan teknologi dalam berusahatani. Menurut Wiriaatmadja (1977) petani yang cepat dalam menerapkan hal-hal baru umumnya adalah yang pendidikannya lebih tinggi dari masyarakat sekitarnya, pandai dan pengetahuannya luas. Oleh karena itu pendidikan formal dan informal perlu ditingkatkan dan dikembangkan di kawasan Pulau Sebatik, terutama pada daerah yang akses jalannya kurang baik. Pendidikan informal dalam bentuk penyuluhan, sekolah lapang, temu informasi, kursus sangat diperlukan terutama yang terkait dengan inovasi teknologi usahatani untuk pengembangan perkebunan kakao rakyat.
95
Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa status lahan usahatani umumnya belum kuat atau belum bersertifikat. Namun demikian petani masih dapat memperjualbelikan lahan usahatani mereka sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Untuk mendapatkan sertifikat pada lahan usahatani kakao, biayanya relatif mahal atau belum terjangkau oleh masyarakat setempat dan proses pengurusannya relatif sulit. Oleh karena itu agar petani memiliki kepastian berusahatani atas lahan garapannya perlu diperkuat dengan adanya sertifikat tanah dengan prosedur yang mudah dan biaya yang relatif terjangkau. Umur petani kakao di Pulau Sebatik berkisar antara 45-55 tahun, dan masih termasuk dalam umur produktif atau usia kerja. Namun demikian dalam jangka panjang kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap keberlanjutan usahatani kakao di kawasan perbatasan tersebut. Menurut Soekartawi (1988), petani yang lebih tua kurang termotivasi menerima hal-hal baru daripada mereka yang relatif lebih muda usianya. Untuk keberlanjutan usahatani kakao, penduduk atau masyarakat yang usianya masih relatif lebih muda perlu diberdayakan untuk ikut aktif dan tertarik dalam kegiatan pertanian terutama yang berkaitan dengan usahatani kakao. 5.7.5. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari sembilan yaitu (1) ketersediaan basis data sumberdaya lahan, (2) pedoman teknologi usahatani yang dimiliki, (3) sumber informasi teknologi dari negara tetangga, (4) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya, (5) tindakan pemangkasan tanaman, (6) tindakan pemupukan, (7) dukungan sarana dan prasarana transportasi, (8) standardisasi mutu produk pertanian, dan (9) ketersediaan industri pengolahan hasil. Hasil analisis keberlanjutan dengan RAP-COCOA SEBATIK pada dimensi infrastruktur dan teknologi yang menyertakan sembilan atribut menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) 40,49% (kurang berkelanjutan), dan sesuai marginal (S3) adalah 32,96% (kurang berkelanjutan). Indeks keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat dimensi infrastruktur dan teknologi selengkapnya tertera pada Gambar 26a dan 27a.
96
Leverage of Attributes
RAP-COCOA SEBATIK Ordination 60
Ketersediaan industri pengolahan hasil pertanian
1,06
UP Standardisasi mutu produk pertanian
2,65
Pedoman teknologi usahatani yang dimiliki
2,03
20 Dukungan sarana dan prasarana jalan
40,49 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
A ttribute
O th er Distin g ish in g F eatu res
40
2,81
Tingkat penguasaan teknologi pertanian
3,01
2,58
Sumber informasi teknologi dari negara tetangga (Malaysia)
-20
3,95
Tindakan pemupukan
1,55
Sumber informasi teknologi dari dinas dan instansi terkait
-40 0,66
Ketersediaan basis data sumberdaya lahan
DOWN
0
-60 SEBATIK Sustainability
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(a)
(b)
Gambar 26. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) adalah: (1) tindakan pemupukan (2) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi usahatani, (3) dukungan sarana dan prasarana jalan, dan (4) standardisasi mutu produk pertanian. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan adalah: (1) tingkat penguasaan teknologi, (2) sumber informasi teknologi dari negara tetangga, (3) dukungan sarana dan prasarana jalan, dan (4) tindakan pemupukan. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ini perlu dilakukan perbaikan atau diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan. Hasil analisis leverage selengkapnya tertera pada Gambar 26b dan 27b. Tingkat penguasaan teknologi usahatani kakao oleh petani relatif masih rendah, karena kurangnya sumber informasi atau terbatasnya diseminasi informasi teknologi pertanian. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, selain melalui penguasaan teknologi usahatani adalah dengan melakukan diversifikasi usaha (Deptan, 2007) yaitu (a) diversifikasi horizontal dengan pengembangan ternak (mix farming) maupun intercropping tanaman lain, dan (b) diversifikasi vertikal dengan pengembangan produk turunan maupun pemanfaatan hasil samping (limbah).
97
Leverage of Attributes
RAP-COCOA SEBATIK Ordination 60
Ketersediaan industri pengolahan hasil pertanian
1,85
UP Standardisasi mutu produk pertanian
40
3,12
20
3,58
Dukungan sarana dan prasarana jalan
32,96
BAD
0 0
20
40
60
80
-20
GOOD 100
Attribute
Other Distingishing Features
Pedoman teknologi usahatani yang dimiliki
120
4,72
Tingkat penguasaan teknologi pertanian
5,11
Sumber informasi teknologi dari negara tetangga (Malaysia)
4,86
3,86
Tindakan pemupukan Sumber informasi teknologi dari dinas dan instansi terkait
3,22
-40 0,61
Ketersediaan basis data sumberdaya lahan
DOWN 0
-60
Sebatik Sustainability
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 27. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
Sarana dan prasarana terutama jaringan jalan sampai saat ini relatif terbatas dan belum semua jalan yang menghubungkan antar desa diaspal atau dilakukan pengerasan. Selain itu keterbatasan sarana transportasi, dan letak wilayah yang secara geografis lebih dekat dengan Malaysia, menjadi alasan bagi masyarakat di kawasan tersebut menjual hasil panen kakao dan membeli barangbarang kebutuhan sehari-hari ke Malaysia (Tawau), karena jaraknya relatif dekat dan transportasi laut mudah serta murah. Standardisasi mutu produk pertanian sebagai atribut yang sensitif, disebabkan oleh belum diterapkannya standardisasi mutu bagi produk hasil kakao yang akan dijual ke pasar Malaysia, padahal permintaan produk ini cukup besar dan kawasan ini belum mampu memenuhi permintaan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu perbaikan berdasarkan skala prioritas terhadap atribut-atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan indeks keberlanjutan dimensi tersebut. 5.7.6. Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Pada dimensi hukum dan kelembagaan, atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan terdiri dari sembilan atribut yaitu (1) keberadaan dan peran lembaga penyuluhan pertanian, (2) keberadaan lembaga atau badan khusus kawasan perbatasan, (3) keberadaan dan peran perbankan
98
dalam kegiatan usahatani, (4) keberadaan lembaga keuangan mikro [LKM], (5) keberadaan kelompok tani, (6) keikutsertaan petani dalam kelompok tani, (7) mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan pertanian di kawasan perbatasan, (8) sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, (9) perjanjian kerjasama pengembangan pertanian dengan negara Malaysia. Berdasarkan analisis keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 28a) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) diperoleh indeks 36,39% (kurang berkelanjutan). Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut-atribut sensitif terhadap keberlanjutan dimensi ini yaitu (1) mekanisme kerjasama lintas sektor dalam pengembangan kawasan perbatasan, (2) sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, (3) keberadaan kelompok tani, dan (4) keberadaan lembaga keuangan mikro. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ini perlu dilakukan perbaikan atau diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan. Hasil analisis leverage selengkapnya tertera pada Gambar 28b. Leverage of Attributes
Rap-SEBATIK Ordination RAP-COCOA SEBATIK Ordination
Perjanjian kerjasama pengembangan kws perbat dengan negara Malaysia
60
2.04
UP Ketersediaan perangkat hukum adat/agama
1.19
40 4.20
Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan kawasan perbatasan
20 Attribute
Other Distingishing Features
Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah
36,39 0
BAD 0
20
40
60
-20
80
GOOD 100
120
4.75
3.83
Keberadaan kelompok tani
Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM)
3.81
3.38
Keberadaan lembaga perbankan
Keberadaan lembaga/badan khusus kawasan perbatasan
1.82
-40 Keberadaan Lembaga Penyuluhan Pertanian/ Perkebunan
2.42
DOWN 0
-60 Sebatik Sustainability
(a)
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 28. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan (b)
Mekanisme kerjasama lintas sektor dalam pengembangan kawasan perbatasan menjadi atribut yang paling sensitif, disebabkah oleh koordinasi antara sektor atau instansi yang terkait belum berjalan secara optimal, dan bahkan lebih banyak melaksanakan programnya masing-masing secara parsial serta kurang melibatkan sektor lainnya. Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah
99
termasuk dalam atribut sensitif, karena kebijakan pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah pusat selama ini lebih bersifat umum dan biasanya kurang melibatkan pemerintah daerah. Kelembagaan kelompok tani di Pulau Sebatik sudah ada, namun belum optimal. Padahal keberadaan kelembagaan kelompok tani ini sangat penting dalam pembangunan pertanian (Mosher, 1969; Todaro, 1994). Hasil penelitian Anantanyu (2009) menunjukkan bahwa keberadaan kelompok tani juga belum mampu membantu petani keluar dari persoalan kesenjangan ekonomi. Di masa mendatang diharapkan peran kelompok tani lebih optimal dalam melayani kebutuhan anggotanya. Oleh karena itu pengembangan kelembagaan kelompok tani sangat diperlukan agar dapat berperan lebih aktif dalam mendukung pengembangan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik. Koperasi Unit Desa, LKM dan lembaga keuangan lain di kawasan ini belum berkembang atau masih terbatas. Padahal keberadaan kelembagaan tersebut terutama LKM sangat dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan modal dan diharapkan dapat menyalurkan kredit untuk keperluan usahatani di kawasan ini. Hal tersebut berkaitan dengan keperluan modal usaha untuk membeli sarana produksi pertanian. Pengembangan kelembagaan diperlukan karena: (1) banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani, (2) sebagai sarana difusi inovasi teknologi dan pengetahuan kepada masyarakat, (3) untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka (Reed, 1979; Bunch, 1991 dalam Anantanyu, 2009). Di Kalimantan Timur pada tahun 2009 baru dibentuk badan khusus pengelola kawasan perbatasan. Badan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Terpencil (BPKPPDT). Tugas pokoknya adalah melaksanakan penyusunan dan kebijakan daerah di bidang pengembangan wilayah perbatasan dan sumberdaya, peningkatan infrastruktur, pembinaan ekonomi dan dunia usaha, pembinaan lembaga sosial dan budaya (BPKP2DT, 2009).
100
5.7.7. Keberlanjutan Dimensi Pertahanan dan Keamanan Pada dimensi pertahanan dan keamanan, atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan terdiri dari 9 atribut yaitu (1) peran masyarakat dalam pengamanan kawasan perbatasan, (2) konflik dan perebutan wilayah perbatasan, (3) aktivitas penyelundupan barang dari dan ke Tawau, (4) pelanggaran batas wilayah oleh negara tetangga, (5) pos pengamanan perbatasan (PAMTAS), (6) sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, (7) sarana dan prasarana lintas batas, (8) kesepakatan garis batas negara, (9) aktivitas penjagaan kawasan perbatasan. Berdasarkan analisis keberlanjutan (Gambar 29a) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) dari dimensi pertahanan dan keamanan diperoleh indeks 36,39% (kurang berkelanjutan). Hasil analisis leverage diperoleh atribut-atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan yaitu (1) sarana dan parasarana pertahanan dan keamanan, (2) sarana dan prasarana lintas batas, (3) pos pengamanan perbatasan (PAMTAS) dan (4) pelanggaran batas wilayah oleh negara tetangga. Atribut-atribut sensitif pada dimensi ini perlu dilakukan perbaikan atau diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan. Hasil analisis leverage selengkapnya tertera pada Gambar 29b. Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia). Masalah pertahanan dan keamanan menjadi sangat penting, karena berkaitan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional. Dengan kemampuan pertahanan yang kuat maka negara akan mampu menghadapi berbagai macam bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, maka tugas Kodam VI/Tanjungpura diantaranya adalah melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan. Dengan bentangan panjang garis di kawasan perbatasan sejauh 2004 km, cukup sulit bagi TNI khususnya Kodam VI/ Tanjungpura untuk melakukan gelar pertahanan secara fisik yang tergabung dalam Satuan Penugasan Pengamanan Perbatasan (Satgas PAMTAS) khususnya di Kalimantan Timur.
101
Leverage of Attributes
RAP-SEBATIK RAP-COCOA SEBATIKOrdination Ordination 60
Aktivitas penjagaan kawasan perbatasan
2.04
UP 1.19
Kesepakatan garis batas negara
40
20
4.20
Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan Attribute
O ther D istin g ishing F eatures
Sarana dan prasarana lintas batas
36.39 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
4.75
Pos pengamanan perbatasan (PAMTAS)
3.83
Pelanggaran batas wilayah oleh negara tetangga
3.81
3.38
Aktivitas penyelundupan barang dari dan ke tawau
-20
1.82
Konflik dan perebutan wilayah perbatasan
-40 2.42
Peran masyarakat dalam pengamanan kawasan perbatasan
DOWN 0
-60 Sebatik Sustainability
(a)
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 29. Indeks keberlanjutan (a) dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi pertahanan dan keamanan (b)
Sebagai wilayah yang berbataan darat dan laut, sarana dan prasarana pertahanan keamanan sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan Pulau Sebatik. Pos-pos pengawasan perbatasan (PAMTAS) di Pulau Sebatik saat ini telah disiapkan dan dibangun, namun jumlahnya hanya 4 titik (masih terbatas) dan belum sesuai dengan keperluan pertahanan keamanan serta belum didukung oleh alat pertahanan yang memadai. Selain itu batas atau patok perbatasan antar negara terutama di darat belum jelas dan pada masa yang akan datang akan bisa memicu perebutan tapal batas negara, seperti yang terjadi selama ini terutama di wilayah laut. Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan ini perlu dibenahi untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif bagi masyarakat dalam berusahatani dan untuk pengembangan Pulau Sebatik sebagai beranda depan negara. 5.7.8. Analisis Monte Carlo Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menilai dimensi ketidakpastian dalam MDS. Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 persen untuk masing-masing dimensi tidak banyak perbedaan (selisihnya relatif kecil). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa simulasi menggunakan RAP-COCOA SEBATIK (MDS) memiliki tingkat kepercayaan
102
tinggi (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Perbedaan atau selisih nilai indeks keberlanjutan antara MDS dan Monte Carlo tertera pada Tabel 28. Tabel 28. Perbedaan indeks keberlanjutan antara RAP-COCOA SEBATIK (MDS) dengan Monte Carlo pada masing-masing kelas kesesuaian lahan (S2 dan S3) Indeks keberlanjutan (%) Dimensi keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial budaya Infrastruktur dan teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
MDS S2
S3
40,75 48,58 75,20 40,49 36,39 36,39
36,78 44,87 75,20 32,96 36,39 36,39
Monte carlo S2 S3 40,22 47,86 73,27 40,99 37,38 37,05
36,67 45,38 73,27 34,33 37,38 37,05
Pebedaan (selisih) S2
S3
0,53 0,72 1,93 0,50 0,99 0,66
0,11 0,51 1,93 1,37 0,99 0,66
Perbedaan atau selisih antara indeks keberlanjutan MDS dan Monte Carlo relatif kecil menunjukkan bahwa RAP-COCOA SEBATIK yang menggunakan beberapa atribut tersebut: (1) kesalahannya relatif kecil dalam pemberian skoring pada setiap atribut, (2) relatif rendah kesalahan variasi pemberian skoring karena perbedaan opini, (3) stabilitas MDS tinggi, (4) kesalahan dalam memasukkan data atau data hilang dapat dihindari, (5) nilai S-stress yang tinggi dapat dihindari, (6) sistem yang dikaji mempunyai tingkat kepercayaan tinggi, dan (7) RAP-COCOA SEBATIK cukup baik sebagai salah satu alat evaluasi peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan. Hasil analisis dengan RAP-COCOA SEBATIK menunjukkan bahwa setiap atribut cukup akurat, yang terlihat dari nilai stress berkisar antara 0,127 - 0,139 dan nilai determinasi (R2) antara 0,950 - 0,952 (Tabel 29). Nilai tersebut cukup memadai berdasarkan pendapat Fisheries (1999) yang menyatakan bahwa nilai stress kurang dari 0,25 dan nilai R2 mendekati 1,0 cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk model sosial apabila R2 lebih dari 80 persen sudah sangat baik. Nilai stress dan R2 dari enam dimensi keberlanjutan selengkapnya tertera pada Tabel 29. Besarnya nilai stress antara 0,127 - 0,133 (< 0,25) menunjukkan bahwa ketepatan konfigurasi titik-titik (goodness of fit) model yang dibangun untuk keberlanjutan dari 6 dimensi dapat mempresentasikan model yang baik dan sudah menggunakan peubah-peubah yang baik dan cukup akurat (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Nilai R2 antara 0,950 - 0,952 menunjukkan bahwa
103
model yang menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 95,00 95,20% dari model yang ada dan cukup akurat (Fisheries, 1999). Tabel 29. Nilai stress dan R2 dimensi keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik Parameter dan kelas kesesuaian lahan
Dimensi keberlanjutan Ekologi
Ekonomi
Sosial budaya
Infrastruktur dan teknologi
Hukum dan kelembagaan
Hankam
S2
0,141
0,134
0,127
0,138
0,139
0,139
S3
0,139
0,135
0,127
0,134
0,139
0,139
S2
0,951
0,950
0,952
0,950
0,951
0,951
S3
0,952
0,952
0,952
0,952
0,951
0,951
Stress:
2
R:
104
5.8. Model Peningkaan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Penyusunan model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik dilakukan dengan menggunakan
analisis
prospektif.
Analisis
prospektif
digunakan
untuk
mendapatkan skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada masa yang akan datang, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Untuk mendapatkan faktor kunci dalam menyusun model dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan yaitu (1) menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan kondisi saat ini (existing condition), (2) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan yang diperoleh dari analisis kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan, dan (3) melakukan kombinasi tahap satu dan dua untuk memperoleh faktor kunci gabungan antara kondisi saat ini (existing condition) dan analisis kebutuhan (need analysis). 5.8.1. Indeks Keberlanjutan Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat dengan RAP-COCOA SEBATIK, diperoleh 19 atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dan merupakan faktor pengungkit kondisi saat ini (existing) yaitu (1) dimensi ekologi, yang menjadi faktor pengungkit utama adalah: (a) rata-rata umur tanaman, (b) serangan hama dan penyakit, (c) pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, dan (d) tindakan konservasi lahan; (2) dimensi ekonomi: (a) daya saing kakao dari Pulau Sebatik (b) tempat menjual atau memasarkan kakao, (c) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, dan (d) akses pasar; (3) dimensi sosial budaya: (a) tingkat pendidikan masyarakat atau petani kakao, (b) status lahan usahatani kakao, dan (c)rata-rata umur petani; (4) dimensi infrastruktur dan teknologi: (a) tindakan pemupukan, (b) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, (c) dukungan sarana dan prasarana jalan; (5) dimensi hukum dan kelembagaan: (a) sarana produksi pertanian, (b) sinkronisasi antara kebijakan
105
pemerintah pusat dan daerah, (c) keberadaan kelompok tani, dan (d) keberadaan Lembaga Keuangan Mikro [LKM]; (6) dimensi pertahanan dan keamanan: (a) sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, (b) sarana dan prasarana lintas batas. Faktor-faktor pengungkit tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari 19 atribut yang sensitif tersebut diperoleh 8 faktor kunci (Gambar 30) yaitu (1) rata-rata umur tanaman kakao, (2) serangan hama dan penyakit, (3) daya saing kakao, (4) tindakan pemupukan, (5) penguasaan teknologi usahatani, (6) sarana dan prasarana jalan, (7) Lembaga Keuangan Mikro [LKM], serta (8) sarana dan prasarana hankam. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2,50
Serangan hama penyakit
2,00 Daya saing kakao
Pengaruh
Rata-rata umur tanaman Tingkat penguasaan tekn
1,50
Lembaga keuangan mirko
Tindakan pemupukan Dukungan sarana & prasarana Sarana & prasarana HANKAM jalan Pemanfaatan limbah
1,00 Sarana dan prasarana lintas Tempat pemasaran kakao batas Status lahan usahatani Rata-rata umur petani
0,50
Tingkat pendidikan Akses pasar Sinkr kebij pst & daerah masyarakat Ketergat pasar Malaysia Sarana produksi pertanian Kelompok tani
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
Ketergantungan
Gambar 30. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3)
5.8.2. Kebutuhan Stakeholders Hasil wawancara dan survei lapangan menunjukkan bahwa dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat pada masa yang akan datang, faktor-faktor penting yang harus diperhatikan antara lain: (a) perlunya kerjasama antar lintas sektor dalam pembangunan kawasan perbatasan, (b) perlunya dukungan kebijakan pengembangan kawasan perbatasan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (c) perlunya peningkatan nilai tambah kakao rakyat, dan (d) perlunya melibatkan semua stakeholders atau pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha,
106
perbankan dan masyarakat) untuk mengembangkan kakao rakyat di kawasan perbatasan dari hulu hingga hilir. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholders diperoleh 13 faktor yang perlu mendapatkan perhatian yaitu (1) umur tanaman kakao yang sudah tua, (2) pengelolaan lahan dan lingkungan, (3) daya saing kakao, (4) tingkat ketergantungan terhadap pasar Malaysia, (5) rata-rata umur petani, (6) status lahan usahatani, (7) akses jalan, (8) industri pengolahan, (9) sarana produksi pertanian, (10) keberadaan kelompok tani, (11) penyuluhan pertanian, (12) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, serta (13) sarana dan prasarana lintas batas. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan stakeholders, diperoleh 7 faktor kunci peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor kunci yang perlu diperhatikan pada masa yang akan datang (Gambar 31) adalah: (1) rata-rata umur petani, (2) sarana produksi pertanian, (3) umur tanaman kakao yang sudah tua [perlu peremajaan], (4) tingkat ketergantungan pasar Malaysia, (5) industri pengolahan, (6) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, dan (7) status lahan usahatani. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.00
Sarana produksi
1.80 Umut tanaman (peremajaan)
1.60
Ketergantungan psr malaysia
Rata-rata umur petani
Pengaruh
1.40 Industri pengolahan
1.20
Sinkronisasi kebijakan pst dan daerah
1.00 Status lahan
Teknologi budidaya & pasca panen
0.80
Lembaga penyuluhanKelompk tani
0.60 pengelolaan lahan & lingkungan Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana lintas HANKAM batas
0.40 0.20 -
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 31. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3)
107
5.9. Faktor Kunci Keberlanjutan Skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat diperoleh berdasarkan faktor kunci keberlanjutan hasil analisis RAPCOCOA SEBATIK (MDS) yang menggambarkan kondisi eksisting (saat ini), dan analisis kebutuhan stakeholders yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor kunci tersebut diperoleh berdasarkan integrasi (penggabungan) antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan stakeholders. Hasil analisis gabungan berdasarkan tingkat kepentingan antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan diperoleh 15 faktor kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kerja sistem, yaitu 8 faktor kunci dari analisis keberlanjutan dan 7 faktor kunci dari analisis kebutuhan stakeholders. Faktor atau atribut dari kedua hasil analisis yang mempunyai kesamaan digabung, sehingga diperoleh 14 faktor kunci dan selanjutnya dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh atau menentukan faktor yang paling dominan. Hasil selengkapnya tertera pada Tabel 30. Tabel 30. Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh besar No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Faktor-faktor (atribut) sensitif atau kunci Analisis kebutuhan stakeholders Analisis keberlanjutan Rata-rata umur tanaman Tingkat serangan hama dan penyakit Daya saing kakao Tindakan pemupukan Penguasaan teknologi usahatani Sarana dan prasarana jalan Lembaga keuangan mikro (LKM) Sarana dan prasarana Hankam
Umur tanaman (peremajaan)
Rata-rata umur petani Status lahan Ketergantungan pasar Malaysia Industri pengolahan Sarana produksi pertanian Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
Hasil analisis gabungan diperoleh 10 faktor kunci dominan atau utama (Gambar 32), yaitu (a) rata-rata umur tanaman, (b) tingkat serangan hama dan penyakit, (c) daya saing kakao, (d) tindakan pemupukan, (e) penguasaan teknologi usahatani, (f) sarana dan prasarana hankam, (g) lembaga keuangan mikro, (h) industri pengolahan, (i) sarana produksi pertanian, dan (j) sinkronisasi kebijakan
108
pusat dan daerah. Faktor-faktor kunci utama tersebut digunakan sebagai dasar dalam menyusun skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
1,80 1,60
Saprodi pertanian
Penguasaan tek UT
LKM
1,40
Tindakan pemupukan
Pengaruh
1,20
Umurtanaman Sarana prasarana Hankam Serangan hama penyakit
1,00 Sinkronisasi kebij Pst &daerah
0,80
Daya saing kako Industri pengolahan
Rata-rata umur petani Sarana &prasarana jalan
0,60
Ketergantungan psr malaysia
0,40 Status lahan
0,20 -
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
Ketergantungan
Gambar 32. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit, gabungan antara analisis keberlanjutan dengan analisis kebutuhan stakeholders
Deskripsi keadaan dari masin-masing faktor dominan berdasarkan hasil analisis gabungan antara analisis keberlanjutan (pengaruh antar faktor) dan analisis kebutuhan (perubahan yang diinginkan) adalah sebagai berikut: (a) Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan (Hankam) Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau terluar dan berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia). Masalah pertahanan dan keamanan menjadi sangat penting, karena berkaitan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Sebagai wilayah yang berbatasan darat dan laut dengan negara tetangga, sarana dan prasarana pertahanan keamanan sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan Pulau Sebatik. Pos-pos pengawasan perbatasan (PAMTAS) di Pulau Sebatik saat ini telah disiapkan dan dibangun, namun jumlahnya hanya 4 titik (masih terbatas) dan belum sesuai dengan keperluan pertahanan keamanan serta belum didukung oleh alat pertahanan yang memadai. Selain itu batas atau patok perbatasan antar negara terutama di darat belum jelas dan akan bisa memicu perebutan tapal batas negara, seperti yang terjadi selama ini terutama di wilayah laut. Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan ini
109
perlu ditambah untuk memberikan suasana kondusif dan ketenangan masyarat dalam berusahatani kakao di Pulau Sebatik. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci ketersediaan sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan yaitu (a) tetap seperti kondisi saat ini atau hanya tersedia sedikit dan tidak memadai, (b) sarana dan prasarana hankam cukup tersedia namun belum memadai, (c) sarana dan prasarana hankam tersedia, lengkap dan cukup memadai. (b) Sikronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah Kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan kawasan perbatasan hingga saat ini belum dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan posisi strategis kawasan perbatasan. Kebijakan pusat dan daerah belum dikoordinasikan dengan baik, yang terlihat dari lambatnya perkembangan pembangunan di semua sektor dan belum secara jelas arah serta tujuan pembangunan kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Menurut Chairil (2008), hingga saat ini sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah di kawasan perbatasan masih kurang dab belum berjalan dengan baik. Kebijakan pengembangan pertanian yang dilakukan oleh pusat selama ini lebih bersifat umum dan kurang memperhatikan kebutuhan wilayah setempat. Pada saat ini, yang menjadi persoalan mendesak adalah kebijakan pengembangan kakao yang komprehensif, terintegrasi dan holistik dengan melihat persoalan
dari
berbagai
aspek.
Kebijakan
tersebut
antara
memperhatikan potensi, kendala, keunggulan komparatif,
lain
perlu
pembinaan dan
pengembangan kelembagaan berdasarkan kondisi spesifik wilayah. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah adalah: (a) kebijakan pemerintah pusat dan daerah tetap seperti saat ini atau tidak sinkron, (b) kebijakan pusat dan daerah kurang sinkron dan sesuai kebutuhan kawasan perbatasan, dan (c) kebijakan pusat dan daerah dilakukan dengan baik (sinkron) dan sesuai dengan kebutuhan wilayah.
110
(c) Penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengembangan kakao di Indonesia, termasuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik adalah sumberdaya manusia yang terbatas atau kurang. Lebih dari 90 persen petani kakao memiliki pengetahuan yang kurang mengenai teknologi budidaya dan pascapanen. Mereka hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam yang diwariskan dari pendahulu mereka atau dari pengalaman bekerja di perkebunan kakao di Malaysia. Menurut Dicky et al. (2008), keberhasilan memajukan kawasan perbatasan harus didukung oleh teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan, baik secara fiansial maupun rasa kebanggaan menjadi rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci keberhasilan atribut ini yaitu (a) penguasaan dan penerapan teknologi tetap seperti saat ini atau sangat rendah, (b) penguasaan dan penerapan teknologi sedang serta ramah lingkungan, (c) penguasaan dan penerapan teknologi tinggi serta ramah lingkungan. (d) Sarana produksi pertanian Sarana produksi (saprodi) pertanian untuk usahatani kakao rakyat relatif sulit diperoleh, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari ibu kota kecamatan dan yang akses jalannya belum baik. Kios sarana produksi belum ada di wilayah pengembangan kakao dan mereka membeli sarana produksi pupuk ke distributor (lewat kelompok tani) di ibu kota kecamatan (Sebatik), atau langsung ke pasar di Aji kuning. Kios sarana produksi pertanian perlu diupayakan untuk dikembangkan terutama pada wilayah pengembangan kakao di Pulau Sebatik yang selama ini belum ada kios saprodi karena lokasinya yang jauh dari ibu kota kecamatan atau pusat perdagangan/pasar kecamatan. Selain itu program penataan distribusi pupuk dan penyediaan sarana produksi pertanian perlu disesuaikan dengan jumlah dan jenis yang dibutuhkan. Kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci keberadaan sarana produksi pertanian yaitu (a) seperti saat ini atau kios saprodi
111
ada tetapi tidak memadai dan belum tersebar di kawasan pengembangan kakao, (b) kios sarana produksi tersedia tetapi sulit dijangkau oleh petani karena jaraknya relatif jauh dari lokasi kebun, (c) kios sarana produksi tersedia hampir di semua wilayah pengembangan kakao dan mudah dijangkau. (e) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Kelembagaan keuangan mikro yang dapat membantu petani dalam usahatani kakao di kawasan ini belum berkembang. Keberadaan LKM sangat dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan modal dan diharapkan akan dapat membantu menyalurkan kredit untuk keperluan usahatani kakao terutama pupuk dan obat-obatan. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) yaitu (a) tetap seperti saat ini atau LKM tidak ada, (b) LKM ada dan tidak optimal, (c) LKM ada dan berjalan optimal. (f) Tindakan pemupukan Pemupukan hingga saat ini jarang dilakukan oleh petani karena beberapa alasan yaitu harga pupuk relatif mahal, pupuk sulit diperoleh, stok di distributor Pulau Sebatik terbatas, dan jumlah serta jenis pupuk belum sesuai dengan kebutuhan. Pupuk yang digunakan antara lain adalah Urea, SP-36, KCl dan NPK, serta pupuk dari Malaysia (Sebatian Biru, Baja Sebatian, Nitrophoska) dengan dosis yang bervariasi sesuai dengan ketersediaan pupuk di distributor atau pasar, dan ketersediaan modal. Tanaman kakao umumnya setelah berumur 3 tahun mulai berbunga atau berbuah, dan umumnya setelah berbuah petani melakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan setelah panen raya (besar) yaitu bulan AprilMei. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci tindakan pemupukan tanaman kakao yaitu (a) tetap seperti saat ini atau tidak dilakukan pemupukan, (b) dilakukan pemupukan tetapi tidak optimal atau tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, (c) dilakukan pemupukan dan sesuai dengan rekomendasi.
112
(g) Umur tanaman kakao Umur rata-rata tanaman kakao di Pulau Sebatik umumnya lebih dari 20 tahun, padahal umur kakao produktif pada kisaran umur 10 - 15 tahun dan akan mengalami penurunan produksi pada umur 20 - 25 tahun. Dengan demikian tanpa pemeliharaan yang optimal dan dilakukan peremajaan tanaman, maka produktivitas hasilnya akan semakin menurun. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci umur tanaman yaitu (a) kondisi tetap seperti saat ini atau tidak dilakukan peremajaan, (b) dilakukan peremajaan sebagian dan tanaman yang rusak tidak diganti, (c) diremajakan sebagian dan tanaman yang rusak diganti dengan tanaman unggul baru. (h) Serangan hama dan penyakit Hama penyakit utama pada tanaman kakao yang sering muncul dan merugikan petani adalah Penggerek Buah Kakao (PBK, Conoppomorpha cramerella) dan penghisap buah (Helopeltis spp.). Hama PBK dapat menurunkan produksi kakao lebih dari 80 persen bila tidak dilakukan pengendalian sama sekali, sedangkan hama penghisap buah mengakibatkan penurunan produksi lebih dari 60 persen (Puslitkoka, 2008). Hama lain yang sering menyerang tanaman kakao adalah belalang (Valanga nigricornis), ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), dan penggerek batang (Zeuzera sp.). Penyakit yang sering ditemukan yaitu jamur upas, jamur akar yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium thebromae dan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytoptera palmivora. Cara penanggulangan hama PBK adalah dengan menggunakan plastik (sarungisasi/kondomisasi). Untuk tanaman kakao yang terserang penggerek buah, petani telah menerapkan pencegahan dengan melakukan pembungkusan sejak buah masih kecil. Penghisap buah cukup merugikan petani hampir di seluruh wilayah penelitian, terutama pada wilayah yang pemeliharaannya kurang baik. Puslitkoka (2008) melaporkan bahwa Semut Hitam (Dolichoderus thoracicus) merupakan
cara
pengendalian
biologi
yang
memiliki
prospek
untuk
dikembangkan dengan biaya relatif murah, aman bagi lingkungan dan berkesinambungan.
113
Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci serangan hama penyakit yaitu (a) kondisi tetap seperti saat ini dan fuso > 10 persen, (b) ada serangan sedang - berat < 10 persen, (c) serangan berat > 10 persen dan puso < 10 persen, (d) tidak ada serangan. (i) Daya saing kakao Indonesia merupakan produser kakao nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Kakao Indonesia memiliki keunggulan tidak mudah meleleh sehingga cocok digunakan untuk blending. Kakao asal Indonesia jika difermentasi dan diolah dengan baik, maka kualitasnya bisa lebih baik daripada kakao Ghana. Namun demikian hingga saat ini daya saing kakao Indonesia asal Pulau Sebatik di pasar luar negeri (Malaysia) relatif rendah, yang disebabkan oleh mutu atau kualitas hasil biji kakao relatif rendah, akibat kurang optimalnya perlakuan pascapanen. Biji kakao asal Pulau Sebatik dihargai rendah, karena mutu kakao asal kawasan ini rendah yang disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (a) tanaman kakao kebanyakan telah tua (> 20 th), (b) adanya seragan penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) dan hama PBK (pengerek buah kakao), (c) biji kakao tidak difermentasi terlebih dahulu, (d) teknologi pascapanen masih sederhana, dan (e) sarana prasarana pendukung (gudang, jalan usahatani, dan tempat pengolahan biji kakao) kurang. Mutu biji kakao yang dihasilkan oleh petani Sebatik hingga saat ini relatif rendah karena tidak ada insentif bagi petani untuk menghasilkan mutu biji kakao yang lebih baik melalui proses fermentasi. Selama ini petani jarang atau tidak bersedia melakukan fermentasi karena beberapa alasan yaitu (a) fermentasi memerlukan waktu lebih lama (9 -10 hari) agar hasilnya baik, sedangkan petani memerlukan uang segera sesudah panen untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, (b) korbanan untuk melakukan fermentasi tidak dikompensasi dengan harga jual biji kakao yang memadai. Keberhasilan dalam peningkatan daya saing kakao Indonesia tidak terlepas juga dari faktor-faktor yang mendukung, para pelaku yang terlibat di dalammya, serta sasaran atau tujuan yang ingin dicapai. Faktor utama yang dapat mendukung
114
keberhasilan dari peningkatan daya saing kakao Indonesia adalah startegi, struktur dan persaingan. Tujuan utama dari peningkatan daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional adalah meningkatkan posisi tawar, sedangkan aktor yang paling berperan dalam meningkatkan daya saing kakao adalah pihak swasta. Oleh karena itu pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci daya saing kakao dari Pulau Sebatik adalah: (a) daya saing kakao tetap seperti saat ini atau sangat rendah, (b) daya saing kakao relatif rendah, (c) daya saing kakao sedang, dan (d) daya saing kakao cukup tinggi. (j) Industri pengolahan Hingga saat ini industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah di Pulau Sebatik belum berkembang, sehingga mengakibatkan ekspor biji kakao masih dalam bentuk produk primer. Dengan demikian nilai tambah kakao tidak diterima oleh petani, tetapi dinikmati oleh pengusaha kakao di Malaysia (negara pengimpor biji kakao). Oleh karena itu peningkatan nilai tambah kakao dari kawasan ini perlu dilakukan agar pada masa yang akan datang ekspor biji kakao asal Pulau Sebatik tidak lagi berupa bahan mentah (biji), tetapi dalam bentuk hasil olahan atau diversifikasi produk (kakao bubuk, pasta dll). Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci ketersediaan industri pengolahan kakao di Pulau Sebatik adalah: (a) tetap seperti saat ini yaitu dengan teknologi sederhana untuk pengolahan kakao, (b) industri pengolahan kakao rakyat dengan teknologi sedang, dan (3) industri pengolahan kakao rakyat dengan teknologi tinggi.
115
5.10. Skenario Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat Peningkatan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat dilakukan dengan pendekatan analisis kesenjangan, analisis keberlanjutan kondisi eksisting dan analisis kebutuhan stakeholders. Untuk mengetahui indeks dan status keberlanjutan digunakan metode Multi Dimensional Scalling (MDS) yang disebut dengan RAP-COCOA SEBATIK. Indikator yang dianalisis mencakup 6 dimensi keberlanjutan yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan (Hankam). Masingmasing dimensi tersebut mempunyai faktor-faktor kunci yang mempengaruhi indeks dan status keberlanjutan. Analisis dengan RAP-COCOA SEBATIK diperoleh indeks dan status keberlanjutan pada masing-masing dimensi serta faktor-faktor pengungkit atau atribut kunci. Hasil analisis tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci atau dominan. Faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang akan dibangun dalam upaya untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbataan. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor berdasarkan preferensi kebutuhan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor atau atribut-atribut kebutuhan stakeholders tersebut kemudian dianalisis dengan analisis prospektif untuk memperoleh faktor-faktor kunci atau dominan terhadap pencapaian tujuan sistem peningkatan produktivitas lahan. Hasil analisis keberlanjutan diintegrasikan (digabungkan) dengan analisis kebutuhan stakeholders (need analysis) menggunakan analisis prospektif, dan hasilnya digunakan untuk menyusun model peningkatan produktivitas lahan. Hasil integrasi tersebut diperoleh faktor-faktor kunci atau dominan yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan. Skenario tersebut merupakan gambaran kondisi masa depan dari setiap dimensi dan setiap faktor kunci keberlanjutan. Skenario yang ditetapkan kemudian disimulasikan untuk menilai indeks dan status keberlanjutan pada masa
116
yang akan datang dengan menggunakan analisis MDS (RAP-COCOA SEBATIK). Perubahan kondisi (state) masing-masing faktor di masa yang akan datang memiliki sejumlah kemungkinan yang berbeda (Tabel 31). Berdasarkan Tabel 31 disusun skenario yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan diperoleh tiga skenario yaitu skenario I, skenario II, dan skenario III. Skenario-skenario tersebut memuat beberapa perbaikan terhadap atributatribut untuk meningkatkan status keberlanjutan dari masing-masing dimensi. Tabel 31. Uraian masing-masing skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik Skenario
Uraian (keterangan)
I
Tetap seperti kondisi eksisting dan dilakukan sedikit perbaikan, yaitu melalui peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada dimensi tidak berkelanjutan
II
Melakukan perbaikan dengan cara meningkatkan skoring beberapa atribut-atribut sensitif pada semua dimensi tetapi tidak maksimal
III
Melakukan perbaikan dengan cara meningkatkan skoring atributatribut sensitif yang terletak ada skala berikutnya setelah skenario II
Perubahan kondisi pada masa yang akan datang terhadap faktor kunci peningkatan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat selengkapnya tertera pada Tabel 32 dan 33.
117
Tabel 32. Perubahan kondisi faktor-faktor dominan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat No
1.
2.
3.
Keadaan pada masa yang akan datang
Faktor dominan Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan Sikronisasi kebijakan pusat dan daerah Penguasaan teknologi usahatani (budidaya dan pascapanen)
4.
Kios sarana produksi pertanian
5.
Lembaga keuangan mikro (LKM)
6.
7.
Tindakan pemupukan
Rata-rata umur tanaman
8.
Serangan hama dan penyakit
9.
Daya saing kakao dari Pulau Sebatik
10.
Industri pengolahan
A A sedikit dan tidak memadai A tidak sinkron A rendah
B B cukup dan belum memadai B kurang sinkron B sedang
C C cukup dan memadai
A tidak ada
C ada dan berjalan
A > 15 th, tdk ada peremajaan
B ada dan tidak berjalan B ada dan tidak berjalan B ada tetapi tidak optimal B > 15 th, dan < 25% peremajaan
C ada dan sesuai rekomendasi C > 15 th, dan > 50% peremajaan
A berat
B rendah
C sedang
A sangat rendah A tidak tersedia
B rendah
C sedang
B teknologi sederhana
C teknologi tinggi
A tidak ada
A tidak ada/ jarang
D
C sinkron C tinggi
C ada dan berjalan
D > 15 th, peremajaan dan diganti tanaman baru D tidak ada serangan D tinggi
Keterangan: A, B, C, D = skoring atribut
Tabel 33. Skenario strategi peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan Susunan faktor (atribut) Kondisi eksisting 1A, 2A, 3A, 4A, 5A, 6A, 7A, 8A, 9A, 10A.
Skenario I 1B, 2B, 3A, 4A, 5A, 6A, 7A, 8A, 9A, 10B.
II 1C, 2C, 3B, 4B, 5B, 6B, 7B, 8B, 9B, 10C.
III 1D, 2D, 3C, 4C, 5C, 6C, 7C, 8C, 9B, 10C.
118
Skenario disusun berdasarkan pada pertimbangan kondisi wilayah, potensi, kendala, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan pertanian khususnya perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan. Alur dan bagan skenario peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik selengkapnya tertera pada Gambar 33.
Faktor dominan: Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan 2. Sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah 3. Teknologi usahatani 4. Sarana produksi pertanian 5. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) 6. Pemupukan 7. Umur tanaman 8. Serangan hama penyakit 9. Daya saing kakao 10. Industri pengolahan
1.
Keadaan saat ini (existing) MDS
Prospektif
Skenario I Tetap seperti saat ini, dan hanya sedikit perbaikan pada faktor dominan dimensi tidak berkelanjutan
Indeks keberlanjutan (ekologi, ekonomi, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, pertahanan dan keamanan
Skenario II Perubahan terhadap faktor dominan pada semua dimensi keberlanjutan dan belum maksimal
Indeks keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosbud, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, pertahanan dan keamanan
Skenario III Perubahan menyeluruh terhadap faktor dominan pada semua dimensi keberlanjutan
Indeks keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosbud, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, pertahanan dan keamanan MDS
Gambar 33. Skenario peningkaan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik
119
Skenario I. Tetap seperti kondisi eksisting dan melakukan perbaikan terbatas dengan cara meningkatkan skoring beberapa atribut-atribut sensitif atau kunci pada dimensi yang tidak berkelanjutan Pada skenario I, upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan skoring terhadap beberapa atribut terutama
pada dimensi yang tidak
berkelanjutan, yaitu pada dimensi ekologi, ekonomi, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Perubahan skoring atribut-atribut pada skenario I selengkapnya tertera pada Tabel 34. Tabel 34. Perubahan skoring atribut pada skenario I No
Faktor Kunci
A. 1. 2. 3. 4.
Dimensi ekologi Rata-rata umur tanaman Tingkat serangan hama dan penyakit Pemanfaatan limbah untuk pupuk Konservasi lahan
B. 5. 6. 7. 8.
Dimensi ekonomi Daya saing kakao dari Pulau Sebatik Tempat menjual/ pemasaran kakao Tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia Akses pasar
C. 9. 10. 11.
Dimensi sosial budaya Tingkat pendidikan masyarakat atau petani Status lahan usahatani kakao Rata-rata umur petani
D. 12. 13. 14. 15.
Dimensi infrastruktur dan teknologi Tindakan pemupukan Tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen Dukungan sarana dan prasarana transportasi Standardisasi mutu produk pertanian
E. 16. 17. 18. 19.
Dimensi hukum dan kelembagaan Sarana produksi pertanian Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah Keberadaan kelompok tani Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM)
F. 20. 21. 22.
Dimensi pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana pertahanan keamanan Sarana dan prasarana lintas batas Pos pengamanan kawasan perbataasan (PAMTAS)
Skoring Saat ini (existing) Skenario I S3 S2 S3 S2 0 1 1 1
0 1 1 0
1 2 1 2
1 2 1 1
0 3 0
0 2 0
1 3 0
1 3 0
3
2
3
2
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1 1
0 1
0 0
1 1
1 0
0 1
0 1
0 1
0 1
0 0 1 1
0 0 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
0 0 1
0 0 1
1 0 1
1 0 1
120
Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan RAP-COCOA SEBATIK untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I (Tabel 35). Atribut-atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: rata-rata umur tanaman, tingkat serangan hama dan penyakit, konservasi lahan, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, tindakan pemupukan, sarana produksi pertanian, sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, serta sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan. Tabel 35. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario I No
Dimensi keberlanjutan
Nilai indeks Eksisting Skenario I
Perbedaan
S3
S2
S3
S2
S3
Ekologi
S2 40,75
36,78
46,11
40,73
5,36
3,95
Ekonomi
48,58
44,87
52,28
47,60
4,03
2,73
Sosial budaya
75,20
75,20
75,20
75,20
-
-
4.
Infrastruktur dan teknologi
40,49
32,96
45,53
37,11
5,04
4,15
5.
Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
36,39 36,39
46,96 42,82
46,96 42,82
10,57 6,43
10,57
6.
36,39 36,39
7.
Gabungan
45,81
42,83
51,38
47,32
5,57
4,49
1. 2. 3.
6,43
Pada Tabel 35 dapat diketahui bahwa nilai keberlanjutan dari masingmasing dimensi meningkat, namun yang di atas 50 persen hanya pada dimensi ekonomi dan sosial budaya, sedangkan dimensi yang lain masih di bawah 50 persen. Hasil tersebut diperoleh karena pada skenario I hanya dilakukan perbaikan seadanya terhadap beberapa atribut di dimensi yang tidak berkelanjutan. Secara rinci bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I tertera pada Gambar 34 dan 35.
121
Indeks keberlanjutan eksisting (45,81%)
Faktor dominan
Ekologi (40,75%)
Tingkat serangan hama dan penyakit Penggunaan benih atau bibit unggul
Ekonomi (48,58%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik
Sosial budaya (75,20%)
Indeks keberlanjutan skenario I
(46,11%)
(52,28%)
(75,20%) Indeks keberlanjutan gabungan (51,38 %)
Skenario I Infrastruktur & teknologi (40,49%)
Tindakan pemupukan
(45,53%)
Hukum & kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah
(46,96%)
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan
Formulasi Rekomendasi skenario I
(42,82%)
Gambar 34. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
122
Indeks keberlanjutan eksisting (42,83%)
Faktor dominan
Ekologi (36,78%)
Tingkat serangan hama dan penyakit Penggunaan benih atau bibit unggul
Ekonomi (48,58%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik
Sosial budaya (75,20%)
Indeks keberlanjutan skenario I
(40,73%)
(47,60%)
(75,20%) Indeks keberlanjutan gabungan (47,32%)
Skenario I Infrastruktur dan teknologi (32,96%)
Tindakan pemupukan
(37,11%)
Hukum dan kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah
(46,96%)
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan
Formulasi Rekomendasi skenario I
(46,82%)
Gambar 35. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
123
Skenario II. Melakukan perbaikan dengan cara meningkatkan skoring beberapa atributatribut sensitif pada semua dimensi tetapi belum maksimal Peningkatan skoring dilakukan terhadap atribut-atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi, namun belum dilakukan secara maksimal. Perubahan nilai atau skor pada masingmasing atribut tersebut tertera pada Tabel 36. Tabel 36. Perubahan skoring atribut pada skenario II No
Faktor Kunci
A. 1. 2. 3. 4.
Dimensi ekologi Rata-rata umur tanaman Tingkat serangan hama dan penyakit Pemanfaatan limbah untuk pupuk Konservasi lahan
B. 5. 6. 7. 8.
Dimensi ekonomi Daya saing kakao dari Pulau Sebatik Tempat menjual/ pemasaran kakao Tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia Akses pasar
C. 9. 10. 11.
Dimensi sosial budaya Tingkat pendidikan masyarakat atau petani kakao Status lahan usahatani kakao Rata-rata umur petani
D. 12. 13. 14. 15.
Dimensi infrastruktur dan teknologi Tindakan pemupukan Tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen Dukungan sarana dan prasarana tranportasi Standardisasi mutu produk pertanian
E. 16. 17. 18. 19. F. 20. 21. 22.
Skoring Saat ini (existing) Skenario II S2 S3 S2 S3 0 1 1 1
0 1 1 0
2 2 2 3
1 2 2 3
0 3 0
0 2 0
2 3 2
2 3 2
3
2
3
3
0 1 1
0 1 1
0 2 1
0 2 1
0 1
0 0
2 1
2 1
0 1
0 1
1 1
1 1
Dimensi hukum dan kelembagaan Sarana produksi pertanian Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah Keberadaan kelompok tani Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM)
0 0 1 1
0 0 1 1
2 1 1 2
2 1 1 2
Dimensi pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana lintas batas Pos pengamanan kawasan perbataasan (PAMTAS)
0 0 1
0 0 1
2 1 2
2 1 2
Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan RAP-COCOA SEBATIK untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II (Tabel 37). Atribut yang dinaikkan nilainya yaitu rata-rata umur tanaman, tingkat serangan hama dan penyakit, produktivitas hasil kakao, penggunaan benih atau bibit unggul, daya saing kakao dari
124
Pulau Sebatik, tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, status lahan usahatani kakao, tindakan pemupukan, dukungan sarana dan prasarana jalan,
sarana
produksi pertanian, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, serta pos pengamanan kawasan perbataasan (PAMTAS) Tabel 37. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario II No
Dimensi keberlanjutan
Nilai indeks Eksisting Skenario II
Perbedaan
S2
S3
S2
S3
S2
S3
36,78
51,04
45,78
10,29
9,00
44,87
60,18
54,62
11,60
9,75
1.
Ekologi
2.
Ekonomi
40,75 48,58
3.
Sosial budaya
75,20
75,20
81,71
81,71
6,51
6,51
4.
Infrastruktur dan teknologi
40,49
32,96
50,10
43,90
9,61
10,94
5.
Hukum dan kelembagaan
72,06
35,67
35,67
Pertahanan dan keamanan
36,39 36,39
72,06
6.
36,39 36,39
79,31
79,31
42,92
42,92
7.
Gabungan
45,81
42,83
62,38
58,44
16,57
15,61
Pada Tabel 37 dapat diketahui bahwa nilai keberlanjutan dari masing-masing dimensi meningkat, dan di atas 50 persen. Peningkatan atribut tertinggi adalah pada dimensi sosial budaya, karena kondisi eksisting dimensi tersebut sudah berkelanjutan pada nilai indeks 75,20 persen. Meskipun perbedaan nilai indeks keberlanjutan skenario II pada dimensi ini paling kecil yaitu 6,51 persen. Secara rinci bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II tertera pada Gambar 36 dan 37.
125
Indeks keberlanjutan eksisting (45,81%)
Faktor dominan
Indeks keberlanjutan skenario II
Ekologi (40,75%)
Ekonomi (48,58%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik Ketergantungan pasar Malaysia
(60,18%)
Sosial budaya (75,20%)
Status lahan usahatani
(81,71%)
Infrastruktur dan teknologi (40,49%)
Tindakan pemupukan Industri pengolahan
(50,10%)
Hukum dan kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian Lembaga Keuangan Mikro
(72,06%)
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sarana dan prasarana Hankam Sarana & prasarana lintas batas Pos PAMTAS
Umur tanaman Serangan hama & penyakit Produktivitas hasil Penggunaan benih/bibit unggul
(51,04%)
Skenario II
Indeks keberlanjutan gabungan (62,38%)
Formulasi Rekomendasi skenario II
(79,31%)
Gambar 36. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
126
Indeks keberlanjutan eksisting (42,83%)
Faktor dominan
Indeks keberlanjutan skenario II
Ekologi (36,78%)
Ekonomi (44,87%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik Ketergantungan pasar Malaysia
(54,62%)
Sosial budaya (75,20%)
Status lahan usahatani
(81,71%)
Infrastruktur dan teknologi (32,96%)
Tindakan pemupukan Industri pengolahan
(43,90%)
Hukum dan kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian Lembaga Keuangan Mikro
(72,06%)
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sarana dan prasarana Hankam Sarana dan prasarana lintas
(79,31%)
Umur tanaman Serangan hama dan penyakit Produktivitas hasil Penggunaan benih/bibit unggul
(45,78%)
Skenario II
Indeks keberlanjutan gabungan (58,44%)
Formulasi Rekomendasi skenario II
batas
Gambar 37. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
127
Skenario III. Melakukan perbaikan dengan cara peningkatan skoring atribut-atribut sensitif keenam dimensi yang terletak pada skala berikutnya setelah skenario II. Peningkatan skoring pada skala berikutnya dilakukan pada atribut-atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi, dan dilakukan secara maksimal. Perubahan nilai atau skor pada masing-masing atribut tertera pada Tabel 38. Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan RAP-COCOA SEBATIK untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III (Tabel 38). Tabel 38. Perubahan skoring atribut pada skenario III No
Faktor Kunci
A. 1. 2. 3. 4.
Dimensi ekologi Rata-rata umur tanaman Tingkat serangan hama dan penyakit Pemanfaatan limbah untuk pupuk Konservasi lahan
B. 5. 6. 7. 8.
Dimensi ekonomi Daya saing kakao dari Pulau Sebatik Tempat menjual/ pemasaran kakao Tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia Akses pasar
C. 9. 10. 11.
Dimensi Sosial Budaya Tingkat pendidikan masyarakat atau petani kakao Status lahan usahatani kakao Rata-rata umur petani
D. 12. 13. 14. 15.
Dimensi infrastruktur dan teknologi Tindakan pemupukan Tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen Dukungan sarana dan prasarana transportasi Standardisasi mutu produk pertanian
E. 16. 17. 18. 19. F. 20. 21. 22.
Skoring Saat ini (existing) Skenario II S3 S2 S3 S2 0 1 1 1
0 1 1 0
3 3 3 3
3 3 3 3
0 3 0
0 2 0
3 3 3
3 3 3
3
2
3
3
0 1 1
0 1 1
0 2 1
0 2 1
0 1
0 0
2 1
2 1
0 1
0 1
1 1
1 1
Dimensi hukum dan kelembagaan Sarana produksi pertanian Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah Keberadaan kelompok tani Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM)
0 0 1 1
0 0 1 1
2 2 2 2
2 2 2 2
Dimensi pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana lintas batas Pos pengamanan kawasan perbataasan (PAMTAS)
0 0 1
0 0 1
2 2 2
2 2 2
128
Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut sensitif atau kunci di setiap dimensi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan RAP-COCOA SEBATIK untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III (Tabel 39). Atribut yang dinaikkan nilainya adalah: rata-rata umur tanaman, tingkat serangan hama dan penyakit, produktivitas hasil kakao, penggunaan benih atau bibit unggul, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, status lahan usahatani kakao, tindakan pemupukan, dukungan sarana dan prasarana jalan, sarana produksi pertanian, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), sarana dan prasarana pertahanan keamanan, serta pos pengamanan kawasan perbataasan (PAMTAS) Tabel 39. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario III No
Dimensi keberlanjutan
Nilai indeks Eksisting Skenario III
Perbedaan
S3 36,78
S2 58,43
S3 53,20
S2 17,68
S3 16,42
1.
Ekologi
S2 40,75
2.
Ekonomi
48,58
44,87
70,53
65,58
21,95
20,71
3.
Sosial budaya
75,20
75,20
81,71
81,71
6,51
6,51
4.
Infrastruktur dan teknologi
40,49
32,96
66,73
55,43
26,24
22,47
5.
Hukum dan kelembagaan
36,39
36,39
72,06
72,06
35,67
35,67
6. 7.
Pertahanan dan keamanan Gabungan
36,39 45,81
36,39 42,83
79,31 69,48
79,31 65,44
42,92 23,67
42,92 22,61
Pada Tabel 39
dapat diketahui bahwa nilai keberlanjutan dari masing-masing
dimensi meningkat, dan di atas 50 persen. Secara rinci bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III tertera pada Gambar 38 dan 39.
129
Indeks keberlanjutan eksisting (45,81%)
Faktor dominan
Indeks keberlanjutan skenario III
Ekologi (40,75%)
Ekonomi (48,58%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik Ketergantungan pasar Malaysia
(70,53%)
Status lahan usahatani kakao
(81,71%)
Sosial budaya (75,20%) Skenario III
Umur tanaman Serangan hama dan penyakit Produktivitas hasil Penggunaan benih/bibit unggul
Infrastruktur dan teknologi (40,49%)
Tindakan pemupukan Penguasaan teknologi usahatani Industri pengolahan Sarana dan prasarana jalan
Hukum dan kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sinkronisasi kebij. pusat-daerah Keberadaan kelompok tani Keberadaan LKM
Sarana dan prasarana Hankam Sarana & prasarana lintas batas Pos PAMTAS
(58,43%)
Indeks keberlanjutan gabungan (69,48%)
Formulasi Rekomendasi skenario III
(66,73%)
(72,06%)
(79,31%)
Gambar 38. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)
130
Indeks keberlanjutan eksisting (42,83%)
Faktor dominan
Indeks keberlanjutan skenario III
Ekologi (36,78%)
Ekonomi (44,87%)
Daya saing kakao dari P. Sebatik Ketergantungan pasar Malaysia
(65,58%)
Status lahan usahatani kakao
(81,71%)
Sosial budaya (75,20%) Skenario III
Umur tanaman Serangan hama dan penyakit Produktivitas hasil Penggunaan benih/bibit unggul
Infrastruktur dan teknologi (32,96%)
Tindakan pemupukan Penguasaan teknologi usahatani Industri pengolahan Sarana dan prasarana jalan
Hukum dan kelembagaan (36,39%)
Sarana produksi pertanian
Pertahanan dan keamanan (36,39%)
Sinkronisasi kebij. pusat-daerah Keberadaan kelompok tani Keberadaan LKM
Sarana dan prasarana Hankam Sarana & prasarana lintas batas Pos PAMTAS
(53,20%)
Indeks keberlanjutan gabungan (65,44%)
Formulasi Rekomendasi skenario III
(55,43%)
(72,06%)
(79,31%)
Gambar 39. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)
131
5.11. Skenario Rekomendasi Kebijakan Untuk memformulasikan rekomendasi kebijakan dilakukan melalui tiga skenario yaitu skenario I, II dan III. Nilai indeks keberlanjutan pada masingmasing skenario selengkapnya tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Indeks keberlanjutan kondisi existing, dan kondisi masing-masing skenario Nilai indeks keberlanjutan (%) Skenario I Skenario II Skenario III
Kelas kesesuaian lahan dan dimensi keberlanjutan
Existing
Cukup sesuai (S2) 1) Ekologi Ekonomi Sosial budaya Infrastruktur dan teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan Gabungan B/C 2) Lm (ha/KK) 3)
40,75 48,58 75,20 40,49 36,39 36,39 45,81 1,53 3,54
46,11 54,28 75,20 45,53 46,96 42,82 51,38 1,54 3,14
51,04 60,18 81,71 50,10 72,06 79,31 62,38 1,57 1,36
58,43 70,53 81,71 66,73 72,06 79,31 69,48 1,61 1,05
Sesuai marginal (S3) 1) Ekologi Ekonomi Sosial budaya Infrastruktur dan teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan Gabungan B/C 2) Lm (ha/KK) 3)
36,78 44,87 75,20 32,96 36,39 36,39 42,83 1,16 4,35
40,73 47,60 75,20 37,11 46,96 42,82 47,32 1,19 3,79
45,78 54,62 81,71 43,90 72,06 79,31 58,44 1,27 1,57
53,20 65,58 81,71 55,43 72,06 79,31 65,44 1,39 1,16
2)
1)
3)
S2 dan S3 = kelas kesesuaian lahan; B/C = BC rasio; Lm= luas lahan minimal (ha KK-1)
Pada Tabel 40 dapat diketahui bahwa pada masing-masing skenario terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan, mulai skenario I hingga skenario III. Peningkatan indeks keberlanjutan masing-masing skenario pada setiap dimensi keberlanjutan berdasarkan diagram layang-layang selengkapnya disajikan pada Gambar 40 dan 41.
132
Ekologi 100 80 60
Hankam
Ekonomi 40 20 0
Hukum & kelembag
Sosial Budaya
Infrastruktur & teknologi Eksisting
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Gambar 40. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) Ekologi 100 80 60
Hankam
Ekonom i 40 20 0
Hukum & kelem bag
Sosial Budaya
Infrastruktur & teknologi
Eksisting
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Gambar 41. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) Pada Tabel 40 dapat diketahui bahwa pada masing-masing skenario mengalami peningkatan indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting. Dari ketiga skenario tersebut akan dapat diketahui skenario terbaik berdasarkan penghitungan jarak euclidian antara nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan nilai indeks pada masing-masing skenario (Tabel 41 dan 42).
133
Tabel 41. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) 1) A. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting 2) dan skenario I No 1.
Dimensi
X2
X1
X2 - X1
(X2-X1)2
Y2
Y1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
Ekologi
46.11
40.75
5.36
28.7296
7.20
5.68
1.52
2.3104
2.
Ekonomi
54.28
48.58
5.70
32.4900
7.95
14.67
-6.72
45.1584
3.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
75.20
75.20
0
0
2.70
2.70
0
0
45.53
40.49
5.04
25.4016
4.19
1.28
2.91
8.4681
46.96
36.39
10.57
111.7249
0.48
6.39
-5.91
34.9281
42.82
36.39
6.43
41.3449
3.71
6.39
-2.68
7.1824
∑ (X2-X1)2 [a]:
239.6910
4. 5. 6.
B. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting No 1.
Dimensi
X2
X1
2)
∑ (Y2-Y1)2 [b] :
98.0475
(a+b)
:
337.7384
Distance
:
18.3777
dan skenario II
X2 - X1
(X2-X1)2
Y2
Y1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
Ekologi
51.04
40.75
10.29
105.8881
7.88
5.68
2.2
4.8400
2.
Ekonomi
60.18
48.58
11.60
134.5600
4.85
14.67
-9.82
96.4324
3.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
81.71
75.20
6.51
42.3801
4.33
2.70
1.63
2.6569
50.1
40.49
10.02
100.4004
2.5
1.28
1.22
1.4884
72.06
36.39
25.67
1272.3490
0.67
6.39
-5.72
32.7184
79.31
36.39
42.92
1842.1260
-5.96
6.39
-12.35
152.5225
∑ (X2-X1)2 [a]:
3497.7000
4. 5. 6.
∑ (Y2-Y1) 2 [b] : (a+b) Distance
: :
290.6586 3788.3580 61.5496
C. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting 2) dan skenario III No 1.
Dimensi
X2
X1
X2 - X1
Y2
Y1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
58.43
40.75
17.68
312.5824
12.35
5.68
6.67
44.4889
2.
Ekonomi
70.53
48.58
21.95
481.8025
2.42
14.67
-12.25
150.0625
3.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
81.71
75.20
6.51
42.3801
4.33
2.70
1.63
2.6569
66.73
40.49
26.24
688.5376
-6.73
1.28
-7.72
59.5984
72.06
36.39
35.67
1272.3490
-4.19
6.39
-10.58
111.9364
79.31
36.39
42.92
1842.1260
11.30
6.39
4.91
24.1081
4. 5. 6.
∑ (X2-X1)2 [a]:
1)
(X2-X1)2
Ekologi
4639.7780
∑ (Y2-Y1)
2 [b]
:
392.8512
(a+b)
:
5032.6290
Distance
:
70.9410
2)
dimodifikasi dari Iswari (2008); hasil survei
Hasil analisis pada Tabel 41 dapat diketahui bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2), jarak euclidian skenario I sebesar 18,38 persen; skenario II sebesar 61,55 persen dan skenario III sebesar 70,94 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari ketiga skenario tersebut yang paling baik adalah skenario III.
134
Tabel 42. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) 1) A. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting 2) dan skenario I No 1.
Dimensi
X2
X1
X2 - X1
Y2
Y1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
Ekologi
40.73
36.78
3.95
15.6025
2.14
2.78
-0.64
0.4096
2.
Ekonomi
47.60
44.87
2.73
7.4529
7.95
0.87
7.08
50.1264
3. 4.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
75.20
75.20
0
0
2.70
2.70
0
0
37.11
32.96
4.15
17.2225
6.99
3.86
3. 13
9.7969
46.96
36.39
10.57
111.7249
0.48
6.39
-5.91
34.9281
42.82
36.39
6.43
41.3449
3.71
6.39
-2.68
7.1824
5. 6.
∑
(X2-X1)2 [a]
B. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting No 1.
Dimensi
X2
2)
:
193.3477
∑ (Y2-Y1)2 [b]
:
102.4430
(a+b)
:
295.7911
Distance
:
17.1986
dan skenario II (X2-X1)2
Y1
9.00
81.0000
7.88
5.68
2.2
4.8400
X2 - X1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
Y2
36.78
X1
Ekologi
45.78
2.
Ekonomi
54.62
44.87
9.75
95.0625
4.85
14.67
-9.82
96.4324
3.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
81.71
75.20
6.51
42.3801
4.33
2.70
1.63
2.6569
43.90
32.96
10.94
308.0030
2.5
1.28
1.22
1.4884
72.06
36.39
35.67
119.6838
0.67
6.39
-5.72
32.7184
79.31
36.39
42.92
1272.3490
11.3
6.39
4.91
24.1081
∑ (X2-X1)2 [a]:
3452.6020
4. 5. 6.
C. Jarak Euclidian antara kondisi exsisting No 1.
Dimensi
X2
X1
2)
∑ (Y2-Y1) 2 [b] :
162.2440
(a+b)
:
3614.8460
Distance
:
60.1236
dan skenario III
X2 - X1
(X2-X1)2
Y2
Y1
Y2-Y1
(Y2-Y1)2
Ekologi
53.20
36.78
16.42
269.6164
12.35
5.68
6.67
44.4889
2.
Ekonomi
65.58
44.87
20.71
428.9041
2.42
14.67
-12.25
150.0625
3.
Sosial budaya Infrastruktur & teknologi Hukum dan kelembagaan Pertahanan dan keamanan
81.71
75.20
6.51
42.3801
4.33
2.70
1.63
2.6569
55.43
32.96
22.47
504.9009
-6.73
1.28
-7.720
59.5984
72.06
36.39
35.67
1272.349
-4.19
6.39
-10.58
111.9364
79.31
36.39
42.92
1842.1300
11.30
6.39
4.91
24.1081
4. 5. 6.
∑ (X2-X1)2 [a]:
1)
(X2-X1)2
4360.2770
∑ (Y2-Y1)
2 [b]
:
392.851
(a+b)
:
4753.1280
Distance
:
68.9429
2)
dimodifikasi dari Iswari (2008); hasil survei
Hasil analisis pada Tabel 42 dapat diketahui bahwa pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3), jarak euclidian skenario I sebesar 17,20 persen; skenario II sebesar 60,12 persen; dan skenario III sebesar 68,94 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari ketiga skenario tersebut yang paling baik adalah skenario III.
135
Secara skematis model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik tertera pada Gambar 42. Perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik
Mulai
Survei lapangan
Kebijakan pembangunan kawasan perbatasan saat ini
Kesenjangan produktivitas lahan
Penentuan dimensi keberlanjutan, atribut dan skala
Analisis kesenjangan
(RAP-COCOA SEBATIK)
Identifikasi kebutuhan stakeholders
Analisis keberlanjutan
Indeks dan status keberlanjutan
Reference (studi literatur)
Analisis kebutuhan stakeholders (Prospektif)
Faktor atau atribut kunci
Kondisi eksisting dan yang diharapkan
Faktor atau atribut kunci
Skenario II
Kesenjangan, indeks dan status keberlanjutan, identifikasi kebut. stakeholders
Faktor atau atribut berpengaruh
Faktor atau atribut penggerak
Faktor dominan atau penggerak
Skenario I
Kondisi existing (potensi, kendala)
Skenario III
Arahan Kebijakan Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik
Skenario
Peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan
(Selesai)
Gambar 42. Model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik
136
VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, adalah berdasarkan skenario yang telah disusun yaitu Skenario I, II dan III. Skenario tersebut dilaksanakan secara bertahap dan disesuaikan dengan potensi, kendala dan ketersediaan sumberdaya. Masing-masing skenario dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor atau atribut dominan pada setiap dimensi keberlanjutan pada masing-masing kelas kesesuaian lahan (S2 dan S3). Pada skenario I, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan, terutama pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sarana produksi pertanian, tindakan pemupukan, rata-rata umur tanaman, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik. Pada skenario II, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan pada keenam dimensi, tetapi belum optimal. Atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, sarana produksi pertanian, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, dan industri pengolahan. Pada skenario III, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan pada keenam dimensi, yang terletak pada skala berikutnya setelah skenario II. Atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, sarana produksi pertanian, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, dan industri pengolahan.
138
Sesuai dengan faktor dominan yang dihasilkan berdasarkan hasil analisis prospektif, stakeholders,
penggabungan maka
antara
indeks
langkah-langkah
keberlanjutan
operasional
yang
dan
kebutuhan
dapat
dilakukan
berdasarkan skala prioritas adalah sebagai berikut: (a) Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan (Hankam) Masalah pertahanan dan keamanan menjadi sangat penting di Pulau Sebatik, karena berkaitan erat dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sebagai wilayah yang berbatasan darat dan laut, sarana dan prasarana pertahanan keamanan sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan Pulau Sebatik. Pos-pos pengawasan perbatasan (PAMTAS) di Pulau Sebatik saat ini telah disiapkan dan dibangun, namun jumlahnya terbatas (hanya 4 titik) dan belum sesuai dengan keperluan pertahanan keamanan dan belum didukung oleh alat pertahanan yang memadai. Selain itu batas atau patok perbatasan antar negara terutama di darat yang belum jelas akan bisa memicu perebutan tapal batas negara. Oleh karena itu sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan ini perlu diperhatikan kelayakannya melalui penambahan sarana dan prasarana, untuk memberikan suasana kondusif dan ketenangan kepada masyarakat dalam berusahatani di Pulau Sebatik sebagai pulau terluar dan beranda depan negara. (b) Sikronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah Kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan kawasan perbatasan sampai saat ini belum dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan posisi strategis kawasan perbatasan. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah belum dikoordinasikan dengan baik, yang terlihat dari lambatnya perkembangan pembangunan di semua sektor, padahal pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan harus segera dilakukan dan bersifat mendesak. Pada tanggal 10 Desember 2009, DPR RI dan Pemprov Kalimantan Timur bersepakat tentang pentingnya sinkronisasi kebijakan di semua tingkatan dan semua departemen untuk pembangunan yang terarah di kawasan perbatasan negara (Pemprov Kaltim, 2009). Khusus untuk sektor pertanian, kebijakan pemerintah pusat dan daerah
139
belum berjalan dengan baik, karena kebijakan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah pusat selama ini lebih bersifat umum dan belum sesuai dengan kebutuhan pengembangan pertanian di kawasan perbatasan. Oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah perlu diselaraskan dan sesuai dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek. (c) Penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengembangan kakao di Indonesia termasuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang terbatas atau kurang. Sekitar 90 persen petani kakao umumnya memiliki pengetahuan yang kurang tentang budidaya dan pascapanen kakao dan mereka hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam kakao yang diwariskan dari pendahulu mereka atau dari pengalaman mereka bekerja di perkebunan kakao di Malaysia. Oleh karena itu agar perkebunan kakao rakyat di kawasan ini produktivitasnya tinggi dan ramah lingkungan, perlu dilakukan diseminasi inovasi teknologi melalui penyuluhan, pelatihan dan sekolah lapangan (konservasi lahan, pengendalian hama terpadu, pembuatan pupuk organik dan pakan ternak dari limbah kakao, integrasi tanaman ternak). (d) Sarana produksi pertanian Sarana produksi pertanian terutama pupuk dan obat-obatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan kakao rakyat. Di Pulau Sebatik sarana produksi pertanian relatif sulit diperoleh, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari ibu kota kecamatan dan yang akses jalannya belum baik. Hingga saat ini kios sarana produksi pertanian belum tersebar di wilayah-wilayah sentra pengembangan kakao, sehingga petani biasanya membeli pupuk atau sarana produksi lainnya ke distributor (lewat kelompok tani), ke ibu kota kecamatan (Sebatik), atau ke pasar Aji Kuning. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao rakyat tetap tinggi, maka kios sarana produksi pertanian perlu dikembangkan pada wilayah-wilayah pengembangan kakao di Pulau Sebatik, terutama pada daerah yang lokasinya jauh dari ibu kota kecamatan atau pusat perdagangan/pasar kecamatan. Selain itu program penataan
140
penyediaan sarana produksi pertanian terutama distribusi pupuk perlu diperbaiki supaya sasarannya bisa tepat (jumlah, waktu, jenis, harga dan mutu), sehingga petani tidak tergantung pada sarana produksi pertanian dari Tawau (Malaysia) yang harganya relatif lebih mahal. (e) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat membantu petani dalam usahatani kakao di kawasan ini belum berkembang, padahal keberadaan lembaga ini sangat dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan modal dan diharapkan akan bisa membantu menyalurkan kredit untuk keperluan usahatani kakao. Agar perkebunan kakao tetap berkembang dan berkelanjutan, maka lembaga keuangan mikro perlu dirintis dan dikembangkan di kawasan ini. Keterlibatan pemerintah daerah dan lembaga perbankan sangat diharapkan untuk merintis dan mendukung pengembangan LKM, supaya dapat membantu permodalan petani dalam mengembangkan perkebunan kakao di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. (f) Tindakan pemupukan Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat tanah dari Pulau Sebatik, secara umum dapat diketahui bahwa tingkat kesuburan tanah (kandungan hara) relatif rendah dan belum mampu mendukung pertumbuhan tanaman kakao yang optimal. Dengan demikian tambahan hara melalui pemupukan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat. Pemupukan jarang dilakukan oleh petani (saat dilakukan penelitian) karena harga pupuk relatif mahal, pupuk sulit diperoleh, dan stok pupuk di distributor Pulau Sebatik terbatas serta belum sesuai dengan kebutuhan perkebunan kakao di kawasan tersebut. Pada masa yang akan datang yang perlu diperhatikan adalah: (i) distribusi pupuk ke kawasan Pulau Sebatik khususnya untuk tanaman kakao perlu diperbaiki, sehingga kebutuhan pupuk dapat tercukupi, (ii) perlu kebijakan khusus untuk memberikan subsidi agar harga pupuk di kawasan perbatasan ini terjangkau oleh masyarakat setempat, (iii) pemupukan dilakukan sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, kebutuhan tanaman serta ramah lingkungan, dan (iv) pemantaatan limbah kakao sebagai pupuk organik untuk mengurangi pupuk anorganik.
141
(g) Umur tanaman kakao Umur rata-rata tanaman kakao di Pulau Sebatik lebih dari 20 tahun, sehingga produktivitasnya mulai menurun dan perlu pemeliharaan yang optimal. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao di Pulau Sebatik tetap tinggi perlu dilakukan peremajaan tanaman dan penggantian tanaman kakao unggul baru bagi tanaman yang rusak. (h) Serangan hama dan penyakit Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman kakao di kawasan ini adalah Penggerek Buah Kakao (PBK, Conoppomorpha cramerella) dan penghisap buah (Helopeltis spp.) yang dapat menurunkan produksi antara 60 - 80 persen bila tidak dilakukan pengendalian. Hama lain yang sering menyerang tanaman kakao adakah belalang (Valanga nigricornis), ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Penyakit yang sering ditemukan yaitu jamur upas dan jamur akar yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium thebromae dan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytoptera palmivora. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao optimal, perlu dilakukan pemberantasan dan pencegahan terhadap hama penyakit tersebut melalui cara-cara yang telah direkomendasikan dan ramah lingkungan, serta dilakukan penggantian varietas unggul baru secara bertahap yang tahan terhadap hama dan penyakit. (i) Daya saing kakao Hingga saat ini daya saing kakao Indonesia asal Pulau Sebatik di pasar luar negeri (Malaysia) relatif rendah. Rendahnya daya saing kakao dari kawasan ini antara lain karena belum didukung oleh mutu atau kualitas hasil biji kakao akibat kurang optimalnya perlakuan pascapanen. Mutu biji kakao yang dihasilkan petani sampai saat ini relatif rendah karena tidak ada insentif bagi petani untuk menghasilkan biji kakao berkualitas melalui proses fermentasi. Oleh karena itu pada
masa yang akan datang daya saing kakao dari kawasan ini perlu ditingkatkan melalui perlakuan pascapanen yang memadai, dan perlu adanya perbedaan harga atau pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi.
142
(j) Industri pengolahan Hingga saat ini industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah di Pulau Sebatik belum berkembang. Keadaan tersebut mengakibatkan ekspor biji kakao dari kawasan ini masih dilakukan dalam bentuk produk primer, sehingga petani belum memperoleh nilai tambah. Oleh karena itu pada masa yang akan datang peningkatan nilai tambah kakao rakyat di Pulau Sebatik perlu dilakukan agar ekspor biji kakao tidak lagi berupa bahan mentah (biji), tetapi sudah dalam bentuk hasil olahan (diversifikasi produk: kakao bubuk, pasta dll), antara lain melalui penyediaan industri pengolahan, baik dengan teknologi sederhana, sedang maupun teknologi tinggi.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao meliputi kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan lahan sangat sesuai (S1) tidak ada karena kriteria lereng tanah yang sesuai dengan kelas S1 tidak ditemukan pada kawasan tersebut. Lahan kelas S2 produktivitas hasil kakao 45,19% dan kelas S3 sebesar 44% dari produktivitas hasil optimal. 2. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
kendala
untuk
meningkatkan
produktivitas lahan: (a) perhatian pemerintah relatif rendah atau kurang, (b) lemahnya kerjasama antar sektor, (c) penyuluhan kurang, (d) terbatasnya infrastruktur, (e) terbatasnya sarana usahatani (f) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia [pendidikan petani kakao mayoritas hanya SD], (g) produktivitas lahan rendah, (h) produktivitas hasil kakao rendah, (i) mutu hasil kakao rendah. 3. Faktor kunci kebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan pada masa yang akan datang: (a) umur petani kakao [mayoritas >50 thn], (b) sarana produksi pertanian, (c) tanaman kakao tua [umur >20 th], (d) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, (e) industri pengolahan kakao, (f) sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, dan (g) status lahan usahatani kakao. 4. Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) umumnya kurang berkelanjutan terutama dimensi ekologi, ekonomi, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan. Atribut sensitif atau pengungkit yang perlu diintervensi pada masing-masing dimensi tersebut adalah: a. Ekologi: (i) rata-rata umur tanaman, (ii) serangan hama dan penyakit, (iii) pemanfaatan limbah kakao untuk pupuk organik, dan (iv) tindakan konservasi lahan. b. Ekonomi: (i) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (ii) tempat menjual atau memasarkan kakao, (iii) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, dan (iv) akses pasar.
144
c. Infrastruktur dan teknologi: (i) tindakan pemupukan, (ii) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya serta pascapanen, (iii) dukungan sarana dan prasarana jalan. d. Hukum dan kelembagaan: (i) sarana produksi pertanian, (ii) sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, (iii) keberadaan kelompok tani, dan (iv) keberadaan lembaga keuangan mikro [LKM]. e. Pertahanan dan keamanan: (i) sarana dan prasarana pertahanan keamanan, (ii) sarana dan prasarana lintas batas. 5. Arahan kebijakan berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan faktor dominan dan kondisi spesifik kawasan perbatasan berturut-turut: (a) penambahan sarana dan prasarana pertahanan keamanan (hankam) untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif dalam berusahatani; (b) kebijakan pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek; (c) peningkatan penguasaan dan penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan [terutama konservasi lahan dengan membuat drainase menurut kontur, terasering, membuat rorak, pemanfaatan serasah sebagai penutup tanah] dan teknologi pascapanen melalui pelatihan dan sekolah lapangan; (d) sarana produksi pertanian khususnya pupuk sasarannya agar tersedia tepat jumlah, waktu, tempat, jenis, harga dan tepat mutu; (e) lembaga keuangan mikro [LKM] didukung oleh pemerintah untuk membantu permodalan petani; (f) tindakan pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, kesuburan tanah, dan diupayakan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan cara memanfaatkan limbah kakao sebagai pupuk organik; (g) peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua dan rusak [ > 20 tahun]; (h) pengendalian dan pemberantasan hama penyakit ramah lingkungan, antara lain dengan cara pengendalian hama terpadu [PHT]; (i) perlakuan pascapanen yang memadai dan pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi untuk meningkatkan daya saing kakao; (j) penyediaan industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah kakao rakyat dari Pulau Sebatik.
145
7.2. Saran 1. Perlu adanya implementasi arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan Pulau Sebatik sesuai dengan skala prioritas yang telah dihasilkan. 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao perlu disempurnakan dengan memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, serta melakukan penelitian khusus di berbagai daerah (spesifik lokasi) khususnya mengenai bahan induk tanah dan preferensi petani terhadap komoditas yang dibudidayakan. Dengan demikian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan tidak hanya berdasarkan syarat tumbuh tanaman kakao secara umum. 3. Perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani terutama melalui penyediaan sarana produksi pertanian, peremajaan tanaman, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan kesuburan tanah serta pemanfaatan limbah kakao sebagai pupuk organik, pemberantasan hama dan penyakit ramah lingkungan, pemangkasan, serta integrasi tanaman dan ternak. 4. Produktivitas hasil kakao ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis bahan tanam dan lingkungan, karena itu diperlukan klon baru yang lebih baik untuk penggantian tanaman pada masa peremajaan. 5. Perbaikan faktor atau atribut keberlanjutan seharusnya tidak hanya pada atribut sensitif atau pengungkit (sarana dan prasarana pertahanan keamanan, sikronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi usahatani, sarana produksi pertanian, lembaga keuangan mikro [LKM], tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, serangan hama dan penyakit, daya saing kakao dan industri pengolahan), tetapi juga pada atribut lain agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar M. 2004. Analisis kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur) [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Adimihardja A, Mappaona dan A Saleh. 2002.Teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Puslitbangtanak, Bogor. Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K Kaschner and B Feriss. 2000. How good is good? A Rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds).Methods for evaluationg the impacts of fisheries on the north atlantic ecosystem. Fisheries Center Research Reports, Vol (8) No.2 Amien LI. 1996. Karakterisasi dan analisis zona agroekologi. Pemantapan Metodologi Karakterisasi Zona Agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Anantanyu S.2009. Partisipasi petani dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anderson TH and KH Domsch. 1989. Ratio of microbial biomass carbon to total organic carbon in arable soil. Soil Biol Biochem. 21 (4):471-479. Anonim. 1990. Scientific information for sustainable development. SCOPE Newsletter (33): 4-5 Aris W. 1995. Pengantar penyusunan rekomendasi pemupukan pada kopi dan kakao. Di dalam: Kumpulan Materi Pelatihan Pengambilan Contoh Tanah dan Daun Kopi dan Kakao. Puslitkoka, Jember. [Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balittanah, Bogor. Bambang DK, S Hastuti, Supriyanto dan S Handayani. 1998. Panduan analisis fisika tanah. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nunukan. 2003. Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Bappeda Nunukan, Nunukan. [Bappeda] Badan Perencanaan Daerah Kalimantan Timur. 2006. Penyerasian program penelitian dan pengembangan dalam optimalisasi wilayah perbatasan. Bappeda Kaltim, Samarinda. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Kawasan Perbatasan, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan antar Negara di Indonesia. Bappenas, Jakarta. [BBP2TP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Dosis pemupukan spesifik lokasi kakao. http://www/balitbang_deptan.go.id/Pemupukan spesifik lokasi (diakses 28 Nopember 2008).
148
[BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Budidaya Kakao. BBPPTP, Bogor. Benjamin JG, DC Nielsen and MF Vigil. 2003. Quantifying effect of soil condition on plant growth and crop production. J Geoderma. 116:137-148. [BI] Bank Indonesia. 2009. Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=20216&idrb=41701 Bindraban PS, JJ Stoorvogel, DM Jousen, J Vlaming, and JJR Groot. 2000. Land quality indicators for sustainable land management: proposed method for yield gap and soil nutrient balance. J Agric, Ecos and Environ.81:103-112. Bourgeois R. 2007. Bahan Pelatihan Analisis Prospektif Partisipatif. Training of Trainer. ICASEPS, Bogor. Bourgeois R and F Jesus.2004.Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverly through Secondary Crops Development in Asia and The Pasific and French Agricultural Research Center for International Development. [BPKPPDT] Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalamam dan Daerah Tertinggal Kalimantan Timur. 2009. Rencana kerja kegiatan SKPD program pembangunan tahun 2010. Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Terpencil. Pemda Kaltim, Samarinda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan. 2008. Nunukan dalam Angka. BPS Nunukan, Nunukan. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. 2007. Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi Skala 1:50.000. BPTP Kaltim, Samarinda (tidak dipublikasikan). Carter MR. 1991. The influence of tillage on the proportion of organic carbon and nitrogen in the microbial biomass of medium-textured soils in a humid climate. Biol Fertil Soils. 11: 135-139. [CGIAR] Consultative Group on International Agriculture Research.1978. Farming systems research at International Agricultural Research Center Rome Secretariat Agric Dept. FAO. Chairil NS. 2008. Analisis potensi daerah pulau-pulau terpencil dalam rangka meningkatkan ketahanan, keamanan nasional, dan keutuhan wilayah NKRI di Nunukan Kaltim. J Sosiotek. Edisi 13 tahun 7, April 2008. Dalay-Clayton B and S Bass. 2002. Sustainable development strategies, A Resources Book. Organization for Economic Co-operation and Development, United Nation Development Programme. Earhscan Publication Ltd, London. Dariah A, F Agus dan Maswar. 2005. Kualitas tanah pada lahan usahatani berbasis tanaman kopi (studi kasus di Sumber Jaya, Lampung). J Tanah dan Iklim. 23:48-56.
149
[Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kakao. Deptan, Jakarta. Dicky R, Munaf, T Suseno, RI Janu, dan AM Bahar. 2008. Peran teknologi tepat guna untuk masyarakat daerah perbatasan. J Sosiotek. Edisi 13. ITB, Bandung. Djaenudin D, H Marwan, A Mulyani, H Subagyo dan N Suharta. 2000. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Versi 3,0. Puslittanak, Bogor. Djojomartono M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Makalah Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian, Kerjasama BPP Teknologi – Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor, 29 Juni – 16 Juli 1993. Doran JW and TB Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In: J.W Doran DC Colemen, DF Bezdicek and BA Stewart (Eds) Defining soil quality for sustainable environment. Soil Sci Soc Am J. Special Publication 35:3-21. Madison, Wilconsin, USA. Dormon ENA, A Van Huis, C Leeuwis, D Obeng-Ofori and O Sakyi-Dawson. 2004. Causes of low productivity of cocoa in Ghana: farmers’ perspectives and insights from research and the socio-political establishment. NJAS – Wageningen J of Life Sciences 53-3/4: 237–260. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Eriyatno dan F Sofyar. 2007. Riset kebijakan - metode penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press, Bogor. Evah WM, NK Karanja, PC Smithson and PL Woomer. 2000. Diagnostic of soil quality in productive and non productive smallholders field of Kenya’s Central Highlands. J Agric, Econ and Environ. 79: 1-8. [FAO] Food and Agriculture of Organization. 1976. A framework for Land Evaluation. Soil Bull. No. 32. FAO, Rome. [FAO] Food and Agriculture of Organization. 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil Resources Management and Conservation Services. Land and Water Development Division. FAO Soil Bull. No.52. FAO, Rome. Fauzi A dan S Anna. 2005. Pemodelan sumberdaya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. Gramedia Pustaka, Jakarta. Firdausy CM. 1998. Dimensi manusia dalam pembangunan berkelanjutan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Fisheries. 1999. Rapfish software for Excel. Fisheries Center Research Reports. Franzluebbers AJ, DA Zuberer and FM Hons. 1995. Comparison of microbiological methods for evaluating quality and fertility of soil. Biol Fertil Soils. 19:135-140. Gallopin G. 2003. A system approach to sustainability and sustainable development and human settlement division. Nacions Unidas Santiago, Chili.
150
Garrity DP and F Agus. 1999. Natural resource management on watershed scale: What can agroforestry contribute? In R. Lal (Eds.). Integrated Watershed Management in The Global Ecosystem. CRC Press LLC, Boca Raton, USA. Gips T. 1986. What is sustainable agriculture? In: Allen P and D Dusen (Eds.), Global Perspectives on Agroecology and Sustainable Agriculture Systems: th Proc. of the 6 Int. Scientific Conference of the International Federation of Organic Agriculture Movement (Santa Cruz: Agroecology Program, Univ. of California) vol 1: 63-74. Godet M. 1999. Scenarios and Strategies. A Toolsbox for Scenario Planning. Libraries des Arts et Métiers. Paris. France. Hardjomidjojo H. 2006. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Materi Kuliah PS-PSL Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi kesesuaian lahan dan perencanaan tataguna lahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Henrot J and GP Robertson. 1994. Vegetation removed in two soils of humid tropics: effect on microbial biomass. Soil Biol Biochem. 26:111-116. Islam KR and RR Weil. 2000. Soil quality indicator properties in Mid-Atlantic soils as influence by conservation management. J Soil and Water Conserv. 55:69-78. Iswari D. 2008. Indeks keberlanjutan pengembangan kawasan sentra produksi jeruk dengan Rap-Citrus studi kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jadin P and J Snoeck. 1985. The soil diagnosis method to calculate the fertilizer requirements of the cocoa three. Coffe Cacao. 39:267-272 Karlen DL, MJ Mausbach, JW Doran, RG Cline, RF Harris, and GE Schuman. 1997. Soil quality: a concept, definition and framework for evaluation (a guest editorial). Soil Sci Soc Am J. 61:4-10. Kartasapoetra AG. 1986. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Bina Aksara, Jakarta. Kavanagh P. 2001. Rapid appraisal of fisheries (Rapfish) project. Rapfish Sofware Des Eruption (For Microsoft Excel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kavanagh P and TJ Pitcher. 2004. Implementing microsoft excel sofware for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Report 12 (2). Kennedy AC and Pependick RI. 1995. Microbial characteristic of soil quality. J Soil Water Conserv. 50:243–248. Larson WE and FJ Pierce. 1994. The dymanic of soil quality as measure of sustainable management. Defining soil quality for a sustainable environment. Soil Sci Soc Am. Special Publication. 35:38-51.
151
Ling AH. 1983. Cocoa nutrition and maturing on Island soils in Peninsular Malaysia. Kumpulan makalah: Konferensi Coklat Nasional II, Medan. Malhotra MK. 2006. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. PT Indeks Gramedia, Jakarta. Manetsch TJ and GL Park. 1977. System analysis and simulation with applications to economic and social system. Part 2. Michingan State University, Michingan. Marhayudi. 2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk. Grasindo, Jakarta. Mendes IC, AK Bandick, RP Dick and PJ Bottomley. 1999. Microbial biomass and activities in soil aggregates affected by winter cover crops. Soil Sci Soc Am J. 63: 873–881. Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/ Agroforestry Kakao di DAS Nompu, Sulawesi Tengah [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mosher AT. 1991. Getting agriculture moving. Praeger, Inc. Publisher. New York. Munier FF.2005. Pengkajian pengembangan sistem usahatani integrasi kambing kakao di Sulawsi Tengah. Laporan hasil penelitian: Kerjasama BPTP Sulawesi Tengah, LRPI, Puslitbangtanak dan Puslitkoka. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Nortcliff S. 2002. Standardisation of soil quality attributes. J Agric, Ecos and Environ. 88(1):161-168. Oédraogo E A Mondo, and NP Zombé. 2001. Use of compost to improve soil properties and crop productivity under low input agricultural system in West Africa. J Agric, Ecos and Environ. 84(3): 259-266. Paul EA and FE Clark. 1989. Soil microbiology and biochemistry. Academic Press, Inc. London. [Pemprop Kaltim] Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. 2006. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara di Kalimantan Timur. Buku Rinci. Pemprov Kaltim, Samarinda. [Pemprop Kaltim] Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. 2009. Pengembangan kawasan perbatasan mendesak: Program pusat dan daerah harus terpadu (http://www.kaltimprov.go.id/kaltim.php?page=detailberita&id=2728). Pitcher TJ and P David. 2001. RAPFISH: A rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research 49.
152
Powlson DS, PC Brooks and BT Cristensen. 1987. Measurement of soil microbial biomass provides an early indication of changes in total soil organic matter due to straw incorporation. Soil Biol Biochem. 19: 159-164. [PPKK] Pusat Penelitian Kopi dan kakao. 1977. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kakao 9Theobroma cacao L.). PPKK, Jember. [PPT] Pusat Penelitian Tanah.1983. Jenis dan macam tanah di Indonesia untuk keperluan survei dan pemetaan tanah daerah transmigrasi. PPT, Bogor. Priyanto. 2005. Potensi limbah kulit kakao sebagai peluang integrasi dengan usaha ternak kambing di Propinsi Lampung. Prosiding Seminar Nasional. Teknologi Inovatif Pascapanen Untuk Pengembangan Berbasis Pertanian. Kerjasama: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian dengan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Puslitkoka] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2008. Semut hitam (Dolichoderus thoracicus) untuk pengendalian hayati hama utama tanaman kakao. Puslitkoka, Jember. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumber daya lahan Indonesia dan pengelolaannya. Puslittanak, Bogor. Saaty TL. 1993. Pengambilan keputusan bagi para pemimpin: proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Terjemahan. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Sajogjo. 1977. Garis miskin dan kebutuhan minimum pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Sajogyo dan Sajogyo P. 1990. Sosiologi Pedesaan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Saliba CB. 1985. Soil productivity and farmers erosion control incentives a dynamic modeling approach. J Agr Resource Econ. 10 (2): 354-364. Samudra. 2005. Kajian pengelolaan sumberdaya Pulau Sebatik sebagai pulau kecil perbatasan di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur secara terpadu, berkelanjutan dan berbasis masyarakat [tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban. 2007. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Di dalam: N Sinukaban, Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta. Siregar CN. 2008. Analisis potensi daerah pulau-pulau terpencil dalam rangka meningkatkan ketahanan, keamanan nasional, dan keutuhan wilayah NKRI di Nunukan–Kalimantan Timur. J Sosiotek. Edisi 13 Tahun 7, April 2008: 345-368. Soekartawi A. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press, Jakarta. Soerianegara I. 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
153
Spain JM. 1986. Strategies for overcoming soil acidity and aluminum toxicity as production constraints in the tropics and subtropics. In: Proceedings of the International Conference on the Management and Fertilization of Upland Soils in the Tropics and Subtropics. September, 7-11. Nanjing. p:79-83. Subagyono K, A Dariah, T Budyastoro dan NL Nurida. 2004. Pengembangan teknologi konservasi untuk peningkatan produktivitas tanaman perkebunan di lahan kering Kabupaten Ende. Kerjasama antara: Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation (PFI3P) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Sugiyono, AU Lubis dan Z Poeloengan, 1995. Penentuan Kebutuhan Kapur dan Pupuk untuk Tanaman Kakao Berdasarkan Analisis Tanah. Pelita Perkebunan 10 (4): 164-172. Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [disertasi]. Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Sutanto R. 2002. Gatra tanah pertanian akrab lingkungan dalam menyongsong pertanian masa depan. J Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 3 (1): 29-37. Faperta UGM, Yogyakarta. Tarmizi AM, K Haron and W Omar. 2006. Environmental aspect of agronomic practices on oil palm plantation. In International Oil Palm Conference: Optimun uses of resources-challenges and opportunities for sustainable oil palm development. 19-23 June. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Thamrin. 2008. Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia (Studi Kasus Kecamatan dekat Perbatasan di Kabupaten Bengkayang) [disertasi] Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Thong KC and WlL Ng.1987. Growth and nutrient consumption of mono crop cocoa plants in Inland Malaysia. Cocoa and Coconut Conf. Kualalumpur. Todaro Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid I Edisi Keempat. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Trojer H. 1976. Weather classification and plant-weather relationship. Food and Agricuture Organization Working. Paper no. 11. 85 pp. Uexkull HR. 1984. Managing acrisol in the humid tropics, ecology and management of problem soils in Asia. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region. Taiwan. p:382-397. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
154
Wahyudi T dan P Rahardjo. 2008. Sejarah dan Prospek Kakao (Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya, Jakarta. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wang XL, Y Jia, XL Li, RJ Long, Q Li Ma and YJ Song. 2009. Effect of land use on soil total and light fraction organic and microbial biomass C and N in a semi-arid ecosystem of northwest China. J Geoderma. 153: 285-290. Watung RL, T Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta and F Agus. 2003. Managing soil erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion Report. International Water Management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok, Thailand. Wiriaatmadja S.1977. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna, Jakarta. Zhang BY , D Chen, RE White and Y Lie. 2004. A quantitative evaluation system of soil productivity for intensive agriculture in China. J Geoderma 123: 319-331.
155
157
Lampiran 1:
Dimensi dan Atribut Skor Keberlanjutan Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia (Studi kasus di Pulau Sebatik, Kab. Nunukan) No A 1.
2. 3. 4. 5.
6.
7.
Dimensi dan Atribut Dimensi Ekologi Kesesuaian lahan dan agroklimat untuk tnm kakao Luas lahan tanaman kakao yang dikelola Tingkat pemenfaatan lahan Rata-rata umur tanaman kakao Penggunaan benih/ bibit kakao
Tingkat serangan hama PBK (penggerek buah kakao) Tingkat serangan penyakit busuk buah
Skor
Buruk (bad)
Baik (good)
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,1.5,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
8.
Tingkat serangan hama dan penyakit selain PBK dan busuk buah
0,1,2,3
0
3
9.
Produktivitas hasil kakao
0,1,2,3
0
3
Kriteria (0) tidak sesuai; (1) sesuai marginal; (2) cukup sesuai; (3) sangat sesuai (0) <0,5 ha; (1) 0,5-2 ha; (2) 2-5 ha; (3) >5 ha. (0) sangat rendah; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi. (0) >15 th; (1) <3 th; (2) 3-6th; (3) 6-15 th. (0) hampir semua benih/bibit tidak dapat ditelusuri asalusulnya; (1.5) sebagian benih/bibit dapat ditelusuri asal usulnya; (3) menggunakan benih/bibit unggul dan dapat ditelusuri asal usulnya. (0) puso>10%; (1) ada serangan sedang-berat <10%; (2) serangan berat> 10% dan puso <10%; (3) tidak ada serangan. (0) puso>10%; (1) ada serangan sedang-berat <10%; (2) serangan berat> 10% dan puso <10%; (3) tidak ada serangan. (0) serangan berat dan gagal >10%; (1) ada serangan sedangberat dan gagal <10%; (2) serangan sedang dan gagal <10%; (3) tidak ada serangan. (0) Sangat rendah; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi. (0) sangat rendah: produktivitas 0-25% dari produktivitas kakao rata-rata nasional; (1) rendah: 26-50% dari produktivitas kakao nasional, (2) sedang : 51-75% produktivitas kakao nasional; (3) tinggi: >75% produktivitas kakao nasional
Hasil
158
Dimensi dan Atribut Jarak kebun kakao dengan rumah/ tempat tingggal
0,1,2,3
Buruk (bad) 0
Baik (good) 3
0,1,2,3
0
3
12. Pemanfaatan limbah untuk pupuk organik
0,1,2,3
0
3
13.
Pengelolaan lahan dan lingkungan
0,1,2,3
0
3
(0) tidak melakukan dan tidak paham; (1) tidak mengerjakan dan sedikit paham; (2) mengerjakan dan cukup paham; (3) mengerjakan dan sangat paham
B.
Dimensi Ekonomi
1.
Keuntungan usahatani kakao
0,1,2,3
0
3
2.
Hasil usahatani selain selain kakao
0,1,2,3
0
3
3.
Cara menjual hasil panen kakao
0,1,2,3
0
3
4.
Tempat menjual/ memasakan kakao Daya saing kakao dari P. Sebatik (ditentukan oleh kualitas biji kakao) Tingkat ketersediaan akses jalan usahatani
0,1.5,3
0
3
0,1,2,3
0
3
(0) rugi; (1) kembali modal; (2) untung sedikit/ kurang dari 2 kali; (3) untung besar/ lebih dari 2 kali. (0) merugikan; (1) tidak mendukung; (2) sedikit mendukung; (3) banyak mendukung (0) sistem ijon; (1) dijual ke pedagang pengumpul/ tengkulak; (2) dijual sendiri; (3) dijual melalui koperasi (0) pasar lokal; (1.5) pasar di luar pulau; (3) pasar luar negeri (0) sangat rendah; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
0,1,2,3
0
3
Akses pasar
0,1,2,3
0
3
No 10.
11.
5.
6.
7.
Tindakan konservasi lahan
Skor
Kriteria (0) >1 km dan akses sulit; (1) < 1 km dan akses sulit; (2) > 1 km dan akses mudah; (3) 0-1 km dan akses mudah. (0) tidak dilakukan; (1) sebagian ditanami rumput atau dibuat teras atau guludan atau rorak; (2) ditanami rumput dan dibuat teras, atau rumput dan guludan, atau teras dan guludan, atau teras dan rorak; (3) ditanami rumput, dibuat teras, guludan, rorak dan saluran drainase (0) sangat rendah; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
(0) tidak ada; (1) kurang memadai; (2) cukup memadai; (3) sangat memadai (0) tidak memadai;(1) kurang memadai (2) memadai; (3) sangat memadai
Hasil
159
No 8.
9.
C. 1.
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
Dimensi dan Atribut Tingkat ketergantungan terhadap pasar luar negeri (Malaysia) Kontribusi kakao terhadap pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dimensi Sosial Budaya Tingkat pendidikan formal masyarakat Status kepemilikan lahan usahatani kakao Status lahan usahatani kakao Rata-rata umur petani Alokasi waktu untuk usahatani kakao Akses masyarakat dalam kegiatan pertanian Pandangan masyarakat terhadap usahatani kakao Partisipasi keluarga dalam usahatani kakao
Skor 0,1,2,3
Buruk (bad) 0
Baik (good) 3
Kriteria
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,1.5,3
0
3
(0) tidak sekolah; (1) SD; (2) SLTP; (3) tamat SLTP atau SLTA. (0) buruh; (1) penggarap/ sewa; (2) bagi hasil; (3) pemilik dan penggarap. (0) tanah adat; (3) tanah bersertifikat. (0) <20 thn; (1) >54 thn; (2) 40-54 thn; (3) 20-40 thn. (0) sambilan; (1.5) sesuai kebutuhan; (3) penuh
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi.
0,1.5,3
0
3
(0) tidak tertarik; (1.5) cukup tertarik; (3) sangat tertarik.
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi.
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada, (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi.
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada, (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi.
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi.
(0) sangat tinggi; (1) tinggi; (2) sedang; (3) rendah
(usia kerja 16-54 th)
9.
Tingkat penyerapan tenaga kerja (dari usahatani kakao) 10. Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pertanian 11. Peran masyarakat adat dalam kegiatan pertanian
Hasil
160
No
Dimensi dan Atribut
Buruk (bad)
Baik (good)
0,3
0
3
0,1,2,3
0
3
0,3
0
3
(0) tidak tersedia; (3) tersedia
0,1,2,3
0
3
0,1.5,3
0
3
(0) tidak ada; (1) selebaran; (2) leaflet; (3) leaflet dan buku panduan. (0) tidak ada; (1.5) ada tetapi tidak digunakan; (3) ada dan digunakan.
0,1,2,3
0
3
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; (3) sangat tinggi.
0,1.5,3
0
3
0,1,2,3
0
3
7.
0,1.5,3 Dukungan sarana dan prasarana jalan
0
3
8.
Standardisasi mutu produk pertanian
0,1.5,3
0
3
9.
Ketersediaan industri pengolahan hasil
0,1,2,3
0
3
(0) tidak ada; (1.5) ada tetapi tidak sesuai rekomendasi; (3) ada dan sesuai rekomendasi. (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak optimal; (2) ada dan sesuai rekomendasi; (3) sesuai rekomendasi dan ditambah pupuk mikro. (0) tidak ada; (1.5) ada tetapi tidak memadai; (3) ada dan memadai. (0) belum diterapkan; (1.5) diterapkan untuk produk tertentu; (3) diterapkan untuk semua produk. (0) tidak ada; (1) teknologi sederhana; (2) teknologi sedang; (3) teknologi tinggi.
12. Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan pertanian 13. Tingkat hubungan masyarakat lokal dengan masyarakat negara tetangga D. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi 1. Ketersediaan basis data sumberdaya lahan 2. Pedoman teknologi usahatani yang dimiliki 3. Sumber informasi teknologi dari negara tetangga (Malaysia) 4. Tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya 5. Tindakan pemangkasan tanaman 6. Tindakan pemupukan
Skor
Kriteria
(0) tidak saling menguntungkan; (3) mengutungkan (0) tidak ada; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
Hasil
161
No
E. 1.
2.
3.
Dimensi dan Atribut
Skor
Dimensi Hukum dan Kelembagaan 0,1.5,3 Keberadaan dan peran Lembaga Penyuluhan Pertanian 0,1,2,3 Keberadaan lembaga/badan khusus kawasan perbatasan 0,1,2,3 Kios sarana produksi pertanian
Buruk (bad)
Baik (good)
Kriteria
0
3
(0) tidak ada; (1.5) ada tetapi tidak berjalan/tidak optimal; (3) ada dan berjalan/optimal.
0
3
0
3
(0) tidak ada; (1) ada tetapi baru; (2) ada dan tidak berjalan; (3) ada dan berjalan optimal. (0) tidak ada; (1) jauh dan kurang mendukung; (2) agak jauh dan mendukung; (3) dekat dan mendukung. (0) tidak ada; (1) ada tetapi baru;(2) ada dan tidak berjalan; (3) ada dan berjalan. (0) tidak ada; (1) ada tetapi baru;(2) ada dan tidak berjalan; (3) ada dan berjalan. (0) tidak ikut; (1) ikut dan tidak aktif; (2) ikut dan kadang-kadang aktif, (3) ikut dan aktif. (0) tidak ada; (3) ada.
Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM) Keberadaan kelompok tani
0,1,2,3
0
3
0,1,2,3
0
3
6.
Keikutsertaan petani dalam kelompok tani
0,1,2,3
0
3
7.
Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan pertanian di kawasan perbatasan Sinkronisasi antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah Perjanjian kerjasama pengembangan pertanian dengan negara Malaysia
0,3
0
3
0,1,2
0
2
(0) tidak ada; (1) kurang; (2) sinkron/saling mendukung.
0,1.5,3
0
3
(0) tidak ada; (1.5) ada tetapi tidak berjalan; (3) ada dan berjalan.
4.
5.
8.
9.
Hasil
162
No
F. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7 8.
9
Dimensi dan Atribut Dimensi Pertahanan dan Keamanan
Keberadaan pos pengamanan perbatasan (Pos PAMTAS) Peran masyarakat dalam pengamanan kawasan perbatasan Pelanggaran batas wilayah oleh negara tetangga Konflik dan perebutan wilayah perbatasan Aktivitas penyelundupan barang dari dan ke Tawau (Malaysia) Aktivitas penjagaan kawasan perbatasan oleh TNI Kesepakatan garis batas negara Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan Sarana dan prasarana lintas batas. (Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dll)
Skor
Buruk (bad)
Baik (good)
Kriteria
0,1,2
0
2
(0) tidak ada; (1) sedikit dan terbatas; (2) jumlah cukup dan optimal.
0,1,2
0
2
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi dan optimal.
0,1,2
0
2
(0) sering; (1) jarang terjadi; (2) tidak ada
0,1,2
0
2
(0) sering terjadi; (1) jarang; (2) tidak ada.
0,1,2
0
2
(0) sering terjadi; (1) jarang; (2) tidak ada.
0,1,2
0
2
(0) tidak ada; (1) sedikit dan tidak optimal; (2) cukup dan optimal.
0,1,2
0
2
0,1,2
0
2
(0) tidak ada; (1) belum jelas; (2) ada dan jelas. (0) tidak ada; (1) kurang dan tidak memadai; (2) tersedia dan memadai.
0,1,2
0
2
(0) tidak ada; (1) terbatas dan tidak memadai; (2) cukup dan memadai.
Hasil
163
KUESIONER PENENTUAN NILAI INDIKATOR PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN KALTIM-MALAYSIA (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan)
Nama
: ………………………………………………
Jabatan
: ……………………………………………....
Instansi
: ................................................................
Kabupaten/Kota
: .................................................................
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
163
Lampiran 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao (Theobroma cacao L.) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
S1
Kriteria kesesuaian lahan S2 S3
N
Temperatur (tc) Temperatur rerata (oC)
25 - 28
20 - 25 28 - 32
-
< 20 > 35
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
1.500 – 2.500
2.500 – 3.000 2-3 65 - 75 35 - 40
1.250 – 1.500 3.000 – 4.000
< 1250 > 4.000
3–4 75 – 85 30 – 35
>4 > 85 < 30
baik, sedang
agak terhambat
terhambat, agak cepat
sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang <15 >100
-
kasar
15 - 35 75 - 100
agak kasar, agak halus 25 – 55 50 – 75
< 60 < 140
60 - 140 140 - 200
140 - 200 200 - 400
> 200 > 400
saprik +
saprik, hemik+
hemik, fibrik+
fibrik
> 16 > 35 6,0-7,0
< 20 <5,5 >7,6 < 0,8
-
>1,5
≤ 16 20 - 35 5,5-6,0 7,0-7,6 0,8 – 1,5
<1,1
1,1-1,8
1,8-2,2
>2,2
-
-
-
-
>125
100 - 125
60 - 100
< 60
<8 sangat rendah
8 - 16 rendahsedang
16 - 30 berat
> 30 sangat berat
F0
-
F1
>F2
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 24
Lamanya masa kering (bln) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstrur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH (H2O) C-organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
1-2 40 - 65
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003. (Petunjuk teknis evaluasi lahan untuk komoditas pertanian)
> 55 < 50
164
Lampiran 3. Produksi optimal tanaman kakao (Theobroma cacao L.) berdasarkan kelas kesesuaian lahan
S1 S2
Klasifikasi kelas kesesuaian lahan Sangat sesuai Agak sesuai
Produksi optimal (%) > 80 60 – 80
S3
Sesuai marginal
40 – 60
N
Tidak sesuai
< 40
Kelas
Sumber: FAO (1976)
Input manajemen Tanpa input Input praktis dan ekonomis Input praktis dan harus ekonomis Input tidak menambah produksi
165
Lampiran 4. Kriteria penilaian sifat kimia tanah Sifat tanah C (%) N (%) C/N rasio P2O5 HCl (mg/100g) P2O5 Bray I (ppm) P2O5 Olsen (ppm) K2O5 HCl (mg/100g) KTK (cmol(+)/kg) Susunan kation K (cmol(+)/kg) Na (cmol(+)/kg) Mg (cmol(+)/kg) Ca (cmol(+)/kg) Kejenuhan Basa (%) Kejenuhan Al (%) pH Sangat masam pH H2O <4,5 Sumber: Puslittanak (2000)
Sangat rendah <1,00 <0,10 <5 <10 <10 <10 <10 <5
Rendah
Sedang
Tinggi
1,00-2,00 0,10-0,20 5-10 10-20 10-15 10-25 10-20 5-16
2,01-3,00 0,21-0,50 11-15 21-40 16-25 26-45 21-40 17-24
3,01-5,00 0,51-0,75 16-25 41-60 26-35 46-60 41-60 25-40
Sangat tinggi >5,00 >0,75 >25 >60 >35 >60 >60 >40
<0,1 <0,1 <0,1 <2 <20 <10
0,1-0,2 0,1-0,3 0,4-1,0 2-5 20-36 10-20
0,3-0,5 0,4-0,7 1,1-2,0 6-10 36-50 21-30
0,6-0,1 0,8-1,0 2,1-8,0 11-20 51-70 31-60
>1,0 >1,0 >8,0 >20 >70 >60
Masam
Agak masam 5,6-6,5
Netral
Agak netral 7,6-8,5
Alkalis
4,5-5,5
6,6-7,5
>8,5
166
Lampiran 5. Produktivitas hasil kakao (kg ha-1 tahun-1) berdasarkan umur tanaman dan kelas kesesuaian lahan Kesesuaian lahan S1
S2
S3
Asumsi yang digunakan
600 750 1.050 1.300 1.450 1.600 1.750 1.800 1.800 1.900 1.900 1.900 1.900 1.900 1.900 1.900 1.900 1.800 1.600 1.500 1.450 1.450
500 650 900 1.100 1.250 1.350 1.500 1.550 1.550 1.650 1.650 1.650 1.650 1.650 1.650 1.650 1.550 1.350 1.300 1.250 1.250 1.250
450 600 850 1000 1.150 1.250 1.400 1.450 1.450 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.450 1.250 1.200 1.150 1.150
500 700 900 1.050 1.200 1.300 1.450 1.500 1.500 1.600 1.600 1.600 1.600 1.600 1.600 1.600 1.550 1.500 1.300 1.200 1.150 1.150
Tahun ke3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sumber: BI (2009) http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=20216&idrb=41701
167
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik 1. Aji Kuning, Sebatik Barat Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P1 Typic Halpudults Datar (agak miring) Baik Batu liat Kakao, pisang Desa Aji kuning, Sebatik Barat, Nunukan
Tiga lapis horison (Ap, BW, BC): 0-15,15-50, 50-70 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
Ap
II
Bw
III
BC
0-15 cm; coklat tua (10 YR4/4); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat dan agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 6,5. 15-50 cm; coklat tua (10 YR 5/6) liat, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 5,5. 50-70 cm; coklat tua (7,5 YR 5/6), 10 YR 6/4, 2,5 YR 5/8; batuan induk; pH 4,5.
Remark of side description: Kebun kakao rakyat campuran dengan tanaman pisang dan kelapa, pertumbuhan kakao cukup baik, produksi sedang, ada penyakit busuk buah.
168
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 2. Sungai Lebo, Sebatik Barat Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P2 Typic Hapludults Datar-berombak Baik Batu liat Kakao, pisang Desa Sungai lebo, Sebatik Barat, Nunukan
Empat lapis horizon (Ap, Bw1, BW2, C): 0-15, 15-28, 28-52, 52-70 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
Ap
II
Bw1
III
Bw2
IV
C
0-15 cm; coklat tua (10 YR3/4); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 6,0. 10-30 cm; coklat tua kekuningan (7,5 YR 5/6) liat, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 5,0. Terdapat fragmen batu pasir sedikit ø 0.5-2 cm dan lebih padat dari lapisan atas dan bawahnya. 28-52 cm; coklat kekuningan (5 YR 5/6) liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 4,5. 52-70 cm; coklat kekuningan (5 YR 5/6), 10 YR 4/8, 2.5 YR 6/6); liat; kuat; halus; gumpal agak bersudut; lekat; plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, akar halus sedikit; batas horison berangsur rata; pH 4,5.
Remark of side description: Perkebunan kakao rakyat, tanaman pisang, produktivitas hasil di bagian atas relatif rendah dibandingkan hasil di bagian bawah.
169
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 3. Aji Kuning, Sebatik Barat Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P3 Typic Hapludults Datar-berombak Baik Batu liat Kakao Aji Kuning, Sebatik Barat, Nunukan
Lima lapis horizon (AB, Bt1, Bt2, BC,C): 0-14, 14-39, 39-75, 75-103, 103-120 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
AB
II
Bt1
III
Bt2
IV
BC
V
C
0-14 cm; coklat tua (10 YR3/4); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 5,5. 14-39 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/4) liat berpasir, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; btas lapisan berangsur rata; pH 5,0. 39-75 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 6/6) liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 5,0. 90-105 cm; coklat kekuningan (10YR 5/6/ dan 10 YR 6/4) batuan induk; coklat kekuningan dan merah tua, masif. Terdapat hablur Mn sedikit 103-120 cm
170
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 4. Pancang, Sebatik Barat Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P4 Typic Hapludults Datar-berombak Baik Batu liat Kakao dan pisang sedikit Pancang, Sebatik Barat, Nunukan
Empat lapis horizon (AB, Bt, BC, C): 0-18, 18-39, 39-85, 85-130 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
AB
II
Bt
III
BC
V
C
0-18 cm; coklat tua (10 YR4/3), konkresi: (10 YR 4/4), (10 YR 5/4); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 5,5. 18-39 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 4/6), konkresi (10 YR 4/6); liat berpasir, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 5,0. 39-85 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/6), (2.5YR 5/3), (10 YR 6/3) liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 5,5. 85-130 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 4/2), konkresi (10 YR 6/6); pH 7,0.
171
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 5. Tanjung Aru, Sebatik Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P5 Typic Hapludults Datar-berombak Baik Batu liat Kakao rakyat Tanjung Aru, Sebatik, Nunukan
Tiga lapis horizon (Ap, Bt, BC): 0-8, 8-50, 50-110 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
Ap
II
Bt
III
BC
0-8 cm; coklat tua (10 YR4/4); liat; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 7,0. 8-50 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 4/6), (7,5 YR 5/6); liat, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 5,0; ada kerikil besi φ 0,5-1 cm. 50-110 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/6), (2,5YR 5/4), (10 YR 6/3); liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 5,5.
172
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 6. Tanjung Aru, Sebatik Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P6 Typic Hapludults Datar agak-berombak Baik Batu liat Kakao rakyat, pisang sedikit. Tanjung Aru, Sebatik, Nunukan
Empat lapis horizon (AB, Bt1, Bt2, BC): 0-15, 15-30, 30-80, 80-120 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
AB
II
Bt1
III
Bt2
IV
BC
0-15 cm; coklat tua (10 YR3/4); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 5,5. 15-30 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/4); liat berpasir, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 5,0. 30-80 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/6) liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 5,0. 80-120 cm; coklat kekuningan (10YR 5/6), (10 YR 6/4) dan (10 YR 4/6); batuan induk; coklat kekuningan dan merah tua; massif; pH 4,5.
173
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 7. Tanjung Aru, Sebatik Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P7 Typic Hapludults Datar Baik Batu liat Kakao dan ada pisang sedikit Tanjung Aru, Sebatik, Nunukan
Lima lapis horizon (Ap, Bw1, Bw2, Bw3,BC):0-15,15-36, 36-58, 58-80, 80125cm Lapisan
Horison
Uraian
I
Ap
II
Bw1
III
Bw2
IV
Bw3
V
BC
0-15 cm; coklat tua (10 YR 4/4), konkresi: (10 YR 4/4), (10 YR 4/6); liat berdebu; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 5,0. 15-36 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/6) ; liat berpasir, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; batas lapisan berangsur rata; pH 4,5. 39-58 cm; coklat kekuningan (7,5 YR 5/6), (10 YR 6/6); liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 4,5. 58-80 cm; coklat kekuningan (7,5 YR 5/8); liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 4,5. 80-125 cm; coklat kekuningan (5 YR 5/6), (10 YR 6/6); batuan induk; coklat kekuningan dan merah tua, massif; pH 4,5.
Remark of side description: Kebun campuran, kakao, pisang, nangka, rambutan, nenas.
174
Lampiran 6: Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik (lanjutan) 8. Kampung Lordes-Desa Berjoko, Aji Kuning, Sebatik Barat Kode Profil Klasifikasi USDA Bentuk Wilayah Drainase Bahan Induk Penggunaan Lahan Lokasi
: : : : : : :
P8 Typic Hapludults Datar Baik Batu liat Kakao dan ada pisang sedikit Lordes-Berjoko, Aji Kuning, Sebatik Barat, Nunukan
Lima lapis horizon (Ap, Bt1, Bt2, BC, C): 0-17, 17-32, 32-58, 58-90, 90-120 cm Lapisan
Horison
Uraian
I
Ap
II
Bt1
III
Bt2
V
BC
V
C
0-17 cm; coklat tua (10 YR 3/3), konkresi: (10 YR 5/6); liat; cukup halus; gumpal bersudut; agak lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak; meso sedikit; perakaran kasar sedang; meso sedang dan halus agak banyak; batas horison jelas rata; pH 5,0; kerikil φ 0,53 cm sekitar 10%. 15-36 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 5/8) ; liat, halus; gumpal bersudut; lekat agak plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit, makro sedikit; perakaran halus banyak, meso dan kasar sedikit; btas lapisan berangsur rata; pH 4,5. 39-58 cm; coklat kekuningan (10 YR 6/3), (10 YR 5/8); liat; kuat; halus sampai sedang; gumpal agak bersudut; lekat plastis (basah); pori mikro banyak, meso sedikit; batas horison berangsur rata; pH 4,5; kerikil φ1-3 cm sekitar 5%. 58-90 cm; coklat tua (10 YR 5/8), konkresi (10 YR 6/6) dan (10 YR 4/4); batuan induk; coklat kekuningan dan merah tua, masif. pH 4,5; kerikil besi φ 1-4 cm sekitar 20%. 90-120 cm; coklat tua kekuningan (10 YR 4/6), konkresi (10 YR 6/2) dan 5 YR 4/6; pH 4,5.
Remark of side description: Kebun kakao, terdapat kerikil di lapisan I, kerikil mudah dihancurkan, produksi hasil kakao relatif lebih rendah dibandingkan daerah lain.
156
52
24