Kesenian Indonesia 1 M. Junus Melalatoa (Universitas Indonesia) Abstract Art presents a discursive space for thought and affect that is part of the cultural configuration of a society. Thus defined, an assumption is made that Indonesia possesses no discursive space for the 200 million people that make up its pluralistic society, if traditional art presents space only for the bearers of that tradition. There are many who say that ‘Indonesian’ art has already emerged, and provide examples from various art forms. Furthermore, there is the notion that traditional art is generally static, inferior, unbefitting and unable to fulfil the needs of ‘modern’ Indonesians—especially going into the 21 st century. In fact, traditional art continues to undergo shifts and changes, or to disappear as a discursive space with any significance. While holding to the assumption mentioned above, this article seeks an understanding of traditional art extant in the ethnic groups that comprise Indonesia’s pluralistic society. The question is whether the Indonesian people see themselves as heirs to the various traditional art forms, or whether such art can serve as a vehicle for social integration in Indonesia.
Pendahuluan Sudah cukup banyak diskusi yang membuahkan pandangan atau pemikiran perihal ‘kesenian Indonesia’ (disingkat: KI). Semua itu merupakan jawaban atas sejumlah pertanyaan mendasar, misalnya: adakah atau yang manakah sesungguhnya KI yang dirasakan sebagai milik keseluruhan warga nation-state Indonesia yang berciri majemuk itu? Pertanyaan semacam itu mungkin masih relevan sampai hari ini. Pertama, karena adanya variasi atau perbedaan pandangan tentang apa itu KI. Kedua, karena susunan nation-state Indonesia sendiri kini sedang digoncang dinamika perubahan yang cukup signifikan, misalnya 1
Tulisan ini merupakan naskah yang disajikan dalam Sesi ‘Karya Antropologi dalam Seni dan Dokumentasi’ pada Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
amuk fenomena disorganisasi, disintegrasi, ‘keretakan’ kelompok dan antarkelompok, atau ‘krisis multidimensi’, dan macam-macam fenomena lain. Kajian ini sedikitnya tergelitik oleh cukilan pikiran tentang KI dalam Seminar Budaya UI 1987, sekitar 12 tahun yang lalu di Jakarta (Muhadjir 1987:263-268). Cukilan pikiran itu diangkat pula oleh surat kabar Kompas (12 Februari 1987) dalam sebuah beritanya berjudul: ‘Dari Seminar Budaya UI: Wajah Indonesia Masih Dicari’. Berita ini mengutip tanggapan peserta menyangkut seni tari. Peserta ingin mendapat kejelasan: Yang mana tari Indonesia itu ? Tor-tor itu bukan Indonesia, tapi Batak, sedang Gambyong itu Jawa. Apakah Indonesia itu yang gado-gado, dengan sikap tubuh gaya Bali, dan cara berjalan dari Sunda, dan entah dari mana lagi.
Kita bisa memaklumi mengapa pertanyaan semacam itu muncul, justru pada masa yang 1
terbilang ‘zaman normal’. Setelah ‘zaman’ itu berlalu 12 tahun, kita pun bicara lagi tentang KI pada Seminar Budaya UI 1999 ini, dalam keadaan yang sudah berganti menjadi ‘zaman krisis’. Wajarlah kalau kita bertanya: Apakah sudah bersua dengan ‘wajah (kesenian) Indonesia’ yang pernah dicari itu?
Sementara itu, ‘pencarian’ atas eksistensi KI memang terus bergulir dan tentu semakin seksama dan renyah, yang mungkin dipengaruhi sengatan isu global yang merisaukan. Kontroversi ragam pandangan pun tetap mencuat, misalnya menyangkut sepakat tidaknya ‘kesenian daerah’ itu sebagai bagian dari KI, seperti yang mengemuka dalam berita surat kabar di atas. Bahkan ada hujatan: Sudah saatnya menganggap selesai perdebatanperdebatan tentang orientasi utama dan bentuk terakhir kebudayaan Indonesia. Sebab tidak ada wakil-wakil resmi kebudayaan Indonesia (Dewanto 1991:7).
Akan tetapi, keseragaman semangat bahwa KI itu harus atau seharusnya ada, agaknya masih menjadi payungnya. Paparan ini akan lebih mengacu pada pemahaman ‘nilai seni’ pada fenomena seni dari hasil penelitian lapangan (field work), dari sekitar 10 suku bangsa (sebagai ‘nasion-lama’) di Nusantara sekitar lima tahun terakhir (19931998). 2 Jenis kesenian yang diteliti adalah kesenian yang telah hidup di kalangan suku bangsa itu sebelum terbentuknya nation-state Indonesia. Hasil pemahaman akan dijadikan bahan analisis, apakah ‘nilai-nilai seni’ itu bisa menjadi perekat bagi integrasi nasional Indonesia sebagai nation-state tadi. Satu pertanyaan yang terasa usang dan klise kembali 2
Penelitian ‘Hibah Bersaing’ ini dilaksanakan oleh satu Tim Peneliti dari PPKB Lembaga Penelitian UI dengan bantuan seorang tenaga peneliti dari IKJ, yang berlangsung selama 5 tahun. Setiap tahun meneliti kesenian dua suku bangsa dan menghasilkan 5 laporan penelitian.
2
dititipkan dalam seminar Jubileum ke-30 jurnal ini: Apakah sekarang ‘kesenian tradisional’ Nusantara itu dapat dinyatakan atau diakui sebagai KI?
Pertanyaan timbul karena kemajemukan budaya di Indonesia telah dinafikan sambil berupaya ‘menyeragamkannya’, yang konon menjadi salah satu faktor pemicu krisis yang terjadi belakangan ini.
Konsep seni Konsep ‘seni’ ada yang dipahami sebagai ekspresi hasrat manusia yang tidak lepas dari ‘keindahan’ (Koentjaraningrat 1982). Pandangan lain menyatakan seni tidak mesti terkait dengan keindahan. Ada pula yang menyatakan kesenian merupakan penggunaan imajinasi secara kreatif untuk menerangkan, memahami, dan menikmati hidup (Haviland 1993:224). Dengan tidak melepaskan diri dari definisidefinisi di atas, dalam kajian ini kita mencoba merangkum pemahaman yang dipetik dari hasil penelitian tersebut di atas tadi, bahwa: seni atau kesenian merupakan ‘ruang’ bagi wacana tempat bersemayamnya ‘pikiran’ dan ‘rasa’, sehingga terjelma satu konfigurasi budaya. Pikiran dan rasa yang sifatnya abstrak itu bisa merupakan wacana individual, wacana individu sebagai anggota masyarakat, atau wacana keseluruhan anggota masyarakat sebagai suatu kolektiva (lihat juga Melalatoa 1998). Konfigurasi pikiran dan rasa itu pernah diurai dengan jelas oleh Mursal Esten (1992) dalam kaitannya dengan kebudayaan dan kesenian Minangkabau. Model konfigurasi ini akan digunakan sebagai salah satu acuan dalam telaah ini. Hasil pemahaman di lapangan—yang ditunjang sumber-sumber referensi— menunjukkan adanya dua macam fenomena ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
yang bersentuhan dengan seni. Pertama, ada ‘fenomena seni’ yang bisa diamati sebagai produk seni karena ada ‘musik’, ‘tari’, ‘sastra’ dan gejala seni lainnya, tetapi kolektivanya menyatakan itu bukanlah laku-seni atau karya seni, bukan sebagai ekspresi hasrat akan keindahan. ‘Fenomena seni’ ini lebih mengacu pada pengertian menjadi ‘ruang’ tumpangan bagi tempat persemayaman keyakinan, pengetahuan atau nilai-nilai. 3 Kedua, pengetahuan, keyakinan, atau nilai-nilai menjadi muatan dalam karya seni yang bernuansa keindahan, yang oleh kolektivanya juga dirasakan dan diakui sebagai wujud ekspresi seni atau keindahan. Kedua macam ‘fenomena seni’ itu muncul pada sejumlah suku bangsa yang diteliti (lihat Sedyawati 1994-1998). Saya mengamati dan mengetahui, kedua macam fenomena tadi terjelma dalam wujud upacara dan berbagai jenis ‘kesenian tradisional’. Pada wujud semacam itulah diarahkan upaya pemahaman pesan-pesan budaya yang menyangkut nilai-nilai seni.
Pesan budaya Alisjahbana (1984) menyatakan, dalam kehidupan kebudayaan Indonesia, nilai seni bukan saja mendapat perkembangan sepenuhpenuhnya serta menghasilkan ciptaan seni yang banyak dan luar biasa indahnya, melainkan juga—dalam banyak hal—suasana dan logika seni menguasai lapangan kebudayaan yang lain: kehidupan politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan teristimewa, kehidupan agama. Di antara aneka ragam dan tingkat kesenian suku bangsa itu ada yang telah mencapai tingkat sophistication dan 3
Lagi pula dalam bahasa dari masing-masing suku bangsa itu tidak terdapat kosakata yang sama pengertiannya dengan ‘seni’. Kenyataan ini bisa menolak anggapan bahwa kesenian itu sama tuanya dengan umur manusia itu sendiri (lihat Herskovits 1952; Clifton 1968; Rohidi 1993).
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
keindahan yang sukar dicari tandingannya. Tetapi, semua itu sedang berada di tengah krisis masyarakat dan kebudayaan modern masa kini dengan tanda-tanda disintegrasi dan perpecahan dunia. Di sini peran budaya itu akan ditelusuri dan dikenali melalui ‘fenomena seni’ pada beberapa suku bangsa. 4 Pemahaman atas konfigurasi budaya dan seni Minangkabau dapat bertolak dari ungkapan adat, misalnya ‘Alam terkembang jadi guru’ (Alam takambang jadi guru). Ungkapan bersahaja ini kiranya bermuatan pesan: Bergurulah pada sifat dan hukum alam; pelajarilah alam itu untuk sampai pada hakekat makna yang tersirat, yang tidak lain adalah kebenaran, dan kebenaran itu adalah Sang Pencipta Alam Semesta itu sendiri. Berguru dan meraih kebenaran itu seharusnya menggunakan raso (‘rasa’) dan pareso (‘akalpikiran’). Rasa dan akal-pikiran menjadi seiring, setelah kebenaran berdasar akal-pikiran itu diuji dengan rasa. Sebaliknya, kebenaran sebagai pancaran rasa diuji dengan akal-pikiran. Lalu, keduanya masih akan diuji lagi pada ‘alur’ (alua) yang bermuatan sifat dan hukum alam yang mungkin ‘patut’ (patui). ‘Kepatutan’ itu sendiri bermuatan etika, kesusilaan dan hati nurani (lihat juga Navis 1984; Esten 1992). Semuanya itu merupakan konfigurasi budaya yang masih dipandu oleh keyakinan agama, yang berfungsi sebagai acuan bagi kehidupan sosial yang sedemikian luasnya. Adakah dan bagaimanakah sentuhan konfigurasi itu pada kesenian, yang juga sebagai tempat belajar dan bercermin? Cobalah kita simak, misalnya pada seni tari dan seni musik Minangkabau. Olah gerak tari Minangkabau terasa bernuansa gerak dinamis pencak silat (silek). Konon, pola gerak itu merupakan simbol 4
Sukubangsa yang diteliti adalah: Sunda, Bali, Minangkabau, Batak, Aceh, Sumba, Benuaq, Seram, Makassar dan Gayo.
3
akal pikiran yang menyiratkan makna ‘keterbukaan’ dan ‘kewaspadaan’, sebagai simbol acuan dalam merespons tantangan, seiring dengan perubahan lingkungan alam, lingkungan sosial dan budaya. Di sisi lain, seni musik yang dipahami, misalnya pada irama saluang merupakan pancaran atau simbol ‘rasa’ nan melankolis, mengalunkan duka-lara nan menyayat. Rupa-rupanya kedua nuansa tadi harus ada, berjalan seiring pada ‘alur’ nan ‘patut’, menyiramkan sesuatu yang harmoni, sebagai rasa, sebagai nilai, sekaligus acuan jati diri kehidupan kelompok. Di sini, nilai ‘harmoni’ hadir dan mengendap lewat proses dinamis dan melankolis, mewakili rasa dan akal-pikiran, lalu merasuk dan membayang pada ‘cermin’ yang tergantung pada bidang dinding rumahgadang, Ranah Minang, ruang wacana hidup keseharian. Seandainya pemahaman di atas tadi benar adanya, sesungguhnya fenomena dan pola semacam itu terasa dan ternyata bersemi pula pada nasion-nasion lama lain dalam tampilan variatif. Tampilan sebagai kesenian Sunda (Jawa Barat) ternyata bernuansa ‘riang’, ‘humor’, ‘kocak’, menjelma dalam tari, golek , irama gendang. Sebaliknya, irama petikan kecapi atau alunan suara seruling Sunda sedemikian melankolis, mengiris, atau menyayat rasa. ‘Kedua-duanya harus ada untuk melahirkan harmoni. Dan itulah Sunda,’ ujar Pak Uking Syukri (alm.), seorang seniman tua dari bumi Parahyangan. Etnik Batak (Sumatera Utara) memiliki gondang—‘teater total kehidupan’—dengan perangkat musik, tari (Tortor), sastra dan unsur seni lainnya. Gerak Tortor mengalir lembut teriring irama musik lincah, terkadang membahana, hantaran dan persembahan pargonsi pada suasana dinamis yang akhirnya terakumulasi dalam kesakralan. Para penari Tortor pun bersama geraknya menjadi lumat, 4
berurai air mata. Titik air mata itu rupanya ruang bagi wacana nilai-nilai, keseimbangan suka dalam duka. Pola hubungan tari dengan irama musik semacam ini muncul pula dalam kesenian Makassar (Sulawesi Selatan), irama musik yang semakin membahana diimbangi gerak tari yang semakin lembut dalam Salonre, sebuah tarian ritual. Dalam kesenian Didong di Gayo (Aceh Tengah), suara dan irama lembut (lungun) mengantar lirik syair duka dari seorang biduanpenyair (ceh) diikuti refrein para pengiring (penunung) dengan irama suara serta gerak tari yang riang dan dinamis. Hal yang sama dapat diamati dalam kesenian Seudati (Aceh). Bagaimana kontrasnya gerak tari yang begitu dinamis dan heroik terpadu dengan suara merdu aneuk-syahi mengalun dalam irama lembut menyayat. Contoh-contoh tadi memberikan pemahaman tentang bagaimana muatan rasa dan akal pikiran melahirkan keseimbangan, disemat dalam kesenian yang sekaligus berfungsi sebagai acuan bagi kehidupan. Pemahaman atas nilai-nilai masih dapat kiranya diungkap dalam berbagai kesenian tradisional tadi. Kesenian Didong (paduan seni sastra, seni suara, seni tari) pada etnik Gayo tadi, mengacu pada nilai dasar ‘harga diri’ kelompok. Nilai dasar ini harus ditunjang daya ‘kreativitas’ tinggi, dengan sifat ‘kompetitif’ yang lekat, dalam melahirkan ‘keindahan’ dan ‘berkualitas’, dengan nuansa rasa dan pikir amat menonjol. Kreativitas itu adalah tuntutan dari sistem kesenian Didong itu sendiri, yang harus secara terus menerus menghasilkan karya berupa lagu (sintak ) dan lirik baru yang berkualitas tinggi dalam arti makna yang dalam, tajam, serta bentuk tata-bunyi nan indah. Bobot lagu terukur oleh ‘warna’ Gayo, serta warna kepribadian dan kemandirian hasil karya yang lahir karena disiplin diri yang kuat dari ceh. Nilainilai yang diemban dan diacu oleh kesenian ini adalah harga diri, kreativitas, kualitas, ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
kompetitif, indah, disiplin, dan kepribadian hasil karya. Seseorang tidak pantas jadi seniman (ceh) tanpa kreativitas, kualitas karya, dan lainlainnya. Ia akan tergilas sendiri oleh sistem kesenian Didong itu. Sistem itu menyebabkan kesenian Didong melahirkan belasan ribu lagu dan puluhaan ribu bait puisi atau lirik (lihat Melalatoa 1982, 1990). Jadi, tidaklah tepat kalau kesenian tradisional itu dituding bersifat statis, dangkal, kasar, menolak perubahan, tidak kreatif, dan lain-lain. Belakangan, pandangan semacam ini memang telah banyak berubah (lihat misalnya Hoebel 1966; Gunther 1967; Merriam 1971). Tari Cakalele dan Maku-maku dari Seram, Maluku, bermuatan pesan ‘kesetiakawanan’ yang kental, terbangun oleh sifat ‘kompetitif’ yang berakhir dalam ‘damai’, yang semuanya berakar pada sejarah leluhur. Seni tenun ikat Sumba di NTT merupakan wahana membangun jati diri kelompok klen (kabihu), bersentuhan dengan ‘harga diri’, ditunjang ‘kreativitas’ dalam ‘disiplin diri’ yang pekat. Gejala-gejala seni musik, tari, sastra (mantra) dalam upacara Beliant pada Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, bertolak dari sistem keyakinan, lalu mengembangkan pengetahuan—untuk penyembuhan penyakit—melalui suatu proses ‘inovasi’ panjang yang melelahkan, melintasi beberapa zaman. Kesenian Bali amat lekat dengan sistem keyakinan, dengan adanya ‘nilai’ taksu . Keindahan sebuah karya ukir atau keindahan gerakan tari tidak lepas dari apakah sang seniman itu memperoleh taksu tadi.
Kesenian sebagai wacana budaya bangsa Mengapa ‘kesenian’ diperlukan menjadi satu topik kajian dalam ‘hajatan’ penting semacam Seminar Nasional dalam rangka memperingati Jubileum ke-30 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA tahun 1999? ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Jawabnya adalah karena kesenian merupakan salah satu ruang bagi wacana budaya dari satu masyarakat, satu bangsa, atau satu nationstate seperti Indonesia. Masyarakat Indonesia harus atau seharusnya punya ‘kebudayaan nasional’ dan juga ‘KI’, dan untuk itu, sejak lama dan sudah banyak dibuat disain-disain, tetapi akhirnya yang ‘dipanen’ adalah ‘krisis’ juga. Sekedar contoh buah pikiran tentang kebudayaan nasional dan KI, Koentjaraningrat (1982) berpendirian bahwa ‘kebudayaan nasional’ harus didukung oleh sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Untuk itu, seharusnya ada persyaratan dari unsur-unsur kebudayaan nasional itu. Syaratnya adalah harus a) bersifat khas, b) dapat menimbulkan rasa bangga, c) dapat memberi identitas kepada sebagian besar warga masyarakatnya, dan karenanya harus d) bermutu tinggi. Unsur kebudayaan yang mungkin sekali memenuhi persyaratan tersebut adalah ‘kesenian’ dan tentu Bahasa Indonesia. Namun, contoh kesenian yang diberikan cenderung yang bersifat fisik, misalnya gaya pakaian, seni bangunan, seni patung, relief, seni tenun, seni batik, dan lainnya. Edi Sedyawati (1987) berpendapat bahwa bidang seni yang paling maju dalam proses pembentukan kesatuan bangsa adalah seni tari. Pandangan ini ditunjang contoh seputar gaya, teknik, untuk saling kenal dan kemudian merasa saling memiliki. Pandangan kedua pakar tersebut terkait dengan kesenian suku bangsa. Pandangan S.T. Alisjahbana (lihat Pesan budaya) terkait dengan hasil-hasil pemahaman kita tentang nilai-nilai sebagai substansi kesenian pada sejumlah suku bangsa tadi. Dalam berbagai jenis dan corak ragam kesenian suku bangsa itu, akhirnya dapat diketahui adanya nilai-nilai yang sama, atau sebagian sama, misalnya indah, halus, riang, melankolis, kreatif, inovatif, harmoni, kompetitif, disiplin, 5
dinamis, waspada, tertib, iman, takwa, kebenaran, dan lain-lain. Sebagian nilai tersebut juga termasuk kategori nilai religi, nilai sosial, nilai pengetahuan, dan lain-lain. Kita pun tahu bahwa nilai budaya itu biasanya merupakan acuan yang ajeg serta penting bagi kehidupan sosial. Seandainya kita masih mengacu kepada pasal 32 UUD 1945, bahwa ‘…puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa,’ dan seandainya pasal itu boleh ditafsirkan, maka ‘puncak-puncak kebudayaan’ itu adalah nilai-nilai budaya itu sendiri.
Penutup Seandainya kesenian-kesenian suku bangsa itu masih ada dan masih bermuatan nilai tertentu di antara banyak nilai tadi—dan kebetulan belum sempat diporak-porandakan oleh amuk krisis—mengapa tidak kita lambaikan tangan agar hidupnya bergairah, paling tidak bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat etnisnya sendiri? Seandainya demikian, ‘Wajah (kesenian) Indonesia’ yang sempat dicari sejak sekitar 12 tahun yang lalu itu, sesungguhnya masih ada di sekitar kita. Seandainya ‘wajah’ itu mau diberi pupur (bedak), silakan saja, asal untuk kemaslahatan dan mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Kepustakaan Alisjahbana, S.T. 1984 ‘Perkembangan Seni Indonesia dalam Masyarakat dan Kebudayaan yang Sedang Tumbuh’, Ilmu dan Budaya 4(12). Clifton, J.A. 1968 Introduction to Cultural Anthropology. Boston: Houghton Miffin Company. Dewanto, N. 1991 ‘Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991’, Prisma 20(10):7. Esten, M. 1992 Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara.Jakarta: Intermasa. Gunther, E. 1967 ‘Art in the Life of Primitive Peoples’, dalam J.A. Clifton (peny.) Introduction to Cultural Anthropology: Essay in the Scope and Methods of the Science of Men.Boston: Houghton Miffin Company. Haviland, W.A. 1993 Antropologi jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Herkovits, M.J. 1952 Men and His Work . New York: Alfred A. Knopf. Hoebel, E.A. 1966 Anthopology, the Study of Man. New York: McGrow-Hill Book Company. Koentjaraningrat 1982 Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
6
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Kompas 1987 ‘Dari Seminar UI: Wajah Indonesia Masih Dicari’, Kompas:26 Februari. Melalatoa, M.J. 1982 Didong, Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990 ‘Penyair Tradisional di Zaman Baru: Mempertaruhkan Kreativitas dan Harga Diri’, Kompas: 6 Mei. 1998 ‘Krisis Kebudayaan, Sebagai Duka Sejarah’, Suara Pembaharuan:21 Desember. Merriam, A.P. 1979 ‘The Art and Anthropology’, dalam C.M. Otten (peny.) Anthropology and Art. New York: The American Museum of Natural History. Hal. 93-105. Muhadjir (peny.) 1987 Evaluasi dan Strategi Kebudayaan.Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Navis, A.A. 1984 Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Rohidi, T.R. 1993 Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Tesis S3 tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia. Sedyawati, E. 1987 ‘Tari: Bidang Seni yang Paling Maju dalam Proses Pembentukan Kesatuan Bangsa’, dalam Muhadjir (peny.) Evaluasi dan Strategi Kebudayaan. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sedyawati, E., dkk. 1994-1998 Kajian untuk Pemahaman Nilai Seni Daerah dalam rangka Upaya Integrasi Nasional Indonesia. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian UI dan Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti Depdikbud (5 Jilid dari 5 tahun Laporan Penelitian).
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
7